pemahaman dan penggunaan pemali oleh masyarakat …

26
i PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT TORAJA DALAM KAITANNYA DENGAN PERILAKU KESEHATAN Sartika Pongsilurang Aloysius L. S. Soesilo Chr. Hari Soetjiningsih Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Abstract Taboo is an anthropological term used to set apart an object or person or the prohibition of some acts on the ground that it would be a violation of a culture’s system of thought or belief. Torajans, one among many of the ethnic communities in Indonesia, take taboo seriously in daily communal lives. Ancestors and local beliefs, known as aluk todolo are two important things that cannot be separated from the origins of taboo in Toraja. Based on these, the purpose of this research is to describe what and how taboo is understood and applied in the Torajan society nowadays as it is related to health behavior. This qualitative study involved five participants: a tribal community leader and four Torajans who still upheld and honored the taboo. The findings showed that all of the participants believed that the origins of some particular diseases were had their origins in taboo violations. They also believed that the ill-health consequences of the violation could not be cured with medical treatment but through the confession of the violation and repentance of the wrong-doing to their community leader or shaman and to ancestors. For these healing purposes, a set of rituals was conducted. The conclusion of this research was that honoring and obeying taboo was a way of preventing the occurrence of some diseases. It is deemed important for the participants to continue these traditional practices. They also urged the Torajan community at large to honor taboos as a way of preventing diseases and of promoting health behaviors. Taboos for participants were often used in the context of health and funeral customs. Key word: taboo, health behavior, aluk todolo, Toraja

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

i

PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT

TORAJA DALAM KAITANNYA DENGAN PERILAKU KESEHATAN

Sartika Pongsilurang Aloysius L. S. Soesilo

Chr. Hari Soetjiningsih Fakultas Psikologi – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Abstract

Taboo is an anthropological term used to set apart an object or person or the

prohibition of some acts on the ground that it would be a violation of a culture’s

system of thought or belief. Torajans, one among many of the ethnic

communities in Indonesia, take taboo seriously in daily communal lives.

Ancestors and local beliefs, known as aluk todolo are two important things that

cannot be separated from the origins of taboo in Toraja. Based on these, the

purpose of this research is to describe what and how taboo is understood and

applied in the Torajan society nowadays as it is related to health behavior. This

qualitative study involved five participants: a tribal community leader and four

Torajans who still upheld and honored the taboo. The findings showed that all

of the participants believed that the origins of some particular diseases were

had their origins in taboo violations. They also believed that the ill-health

consequences of the violation could not be cured with medical treatment but

through the confession of the violation and repentance of the wrong-doing to

their community leader or shaman and to ancestors. For these healing

purposes, a set of rituals was conducted. The conclusion of this research was

that honoring and obeying taboo was a way of preventing the occurrence of

some diseases. It is deemed important for the participants to continue these

traditional practices. They also urged the Torajan community at large to honor

taboos as a way of preventing diseases and of promoting health behaviors.

Taboos for participants were often used in the context of health and funeral

customs.

Key word: taboo, health behavior, aluk todolo, Toraja

Page 2: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

1

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara berkembang yang terdiri dari berbagai suku,

agama dan ras. Kemajemukan inilah yang melatarbelakangi perkembangan

budaya yang berefek pada pola tingkah laku dalam suatu kelompok

masyarakat. Ada banyak hal menyangkut budaya yang sangat memengaruhi

tingkah laku masyarakat, salah satunya adalah praktek penggunaan pemali

dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan bermasyarakat, pemali

bukanlah hal yang asing di telinga masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh hasil

penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2010) terhadap 83 orang dengan

sampel acak melalui kusioner yang diisi secara online melalui website

Polldaddy. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua responden pernah

mendengar tentang pemali. Kebanyakan dari mereka sering atau pernah

mendengar pemali dari orang tua yaitu 58 responden (41%), dari nenek atau

kakek 39 responden (28%), dan dari teman 33 responden (23%), dan lainnya

11 responden (8%). Responden yang menyatakan pemali berhubungan dengan

agama adalah 12 responden (15% ), responden yang menyatakan pemali tidak

berhubungan dengan agama adalah 68 responden (83%), dan responden yang

tidak menjawab adalah 2 responden (2%).

Di Indonesia, budaya untuk menjaga dan melestarikan pemali masih terasa

sangat kental, khususnya untuk beberapa lapisan masyarakat atau suku

tertentu. Salah satu contoh nyata daerah dan masyarakat yang mayoritas

penduduknya masih meyakini dan melestarikan pemali adalah masyarakat

Toraja. Praktek penggunaan dan pengaruh pemali cukup kental terasa pada

masyarakat di Kabupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Keyakinan

masyarakat Toraja terhadap pemali diwujudkan dalam perilaku taat dan tidak

melanggar pemali yang diyakini dapat menghindarkan mereka dari konsekuensi

berupa penyakit, gagal panen, maupun kejadian-kejadian buruk lainnya.

Pandangan masyarakat mengenai pemali ialah sebuah ajaran yang diturunkan

atau diwariskan oleh leluhur, berisikan aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-

simbol menghubungkan manusia secara khas dengan tatanan faktual, baik

dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam.

Page 3: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

2

Kepercayaan inilah yang membentuk pandangan hidup masyarakat Toraja dan

menjadi budaya yang melekat dengan begitu kuatnya.

Meskipun banyak dari masyarakat Toraja yang mengatakan bahwa pemali

tidak berlaku lagi seperti zaman dulu, karena sekarang orang telah memiliki

kepercayaan kepada Tuhan atau beragama, namun hingga kini tanpa mereka

sadari mereka tetap melakukannya. Salah satu bukti nyata penerapan pemali

dalam kehidupan sehari-hari ditunjukkan oleh partisipan, yaitu dengan tidak

melakukan perbuatan ataupun mengkonsumsi beberapa jenis makanan yang

dianggap pantang. Tindakan tersebut didasari sebuah keyakinan yang menjadi

acuan mereka sampai saat ini, bahwa ketaatan terhadap pemali khususnya jika

mereka tidak mengkonsumsi beberapa jenis daging yang dianggap pemali jika

dicampur secara bersamaan, dapat menghindarkan mereka dari jenis penyakit

tertentu dan kemalangan lainnya. Pola hidup tersebut terus berlangsung

sampai saat ini, dan menjadi proses yang berkesinambungan dari generasi ke

generasi karena partisipan mewariskannya kepada anak dan cucu mereka.

Page 4: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

3

Kajian Teoritik

Berikut akan dipaparkan teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini,

meliputi teori tentang pemali, perilaku kesehatan, regulasi diri, aluk todolo serta

penjelasan tentang suku Toraja.

Pemali

Pemali sering disebut dengan istilah taboo, berasal dari kata Polinesia.

Farberow (dalam Evans, Averi, & Pederson, 1999) mengatakan bahwa dalam

kata taboo terkandung makna yakni diperbolehkan dan dilarang, yang harus

dan tidak boleh dilakukan, dimana pengembangannya dilakukan oleh

masyarakat untuk para anggotanya dengan tujuan untuk melindungi diri dan

sebagai motivasi untuk meningkatkan tradisi, sehingga dalam pemali

terkandung konsep menjaga. Pemali mempunyai dua makna yang berlawanan

arah, pada satu sisi ia berarti kudus dan suci, tetapi di sisi lain berarti aneh,

berbahaya, terlarang, dan kotor.

Menurut Freud (2002) yang sedang kita hadapi adalah suatu bangsa primitif

yang menerapkan seperangkat batasan atas diri mereka sendiri, ini dan itu

dilarang tanpa alasan yang jelas. Mereka (bangsa primitif) juga tidak pernah

mempertanyakan hal ini, sebab kepatuhan mereka pada batasan-batasan ini

adalah sesuatu hal yang wajar bagi mereka dan meyakini bahwa suatu

pelanggaran secara otomatis akan mendapatkan hukuman yang lebih berat.

Sedangkan menurut Kamal (2009) pemali adalah larangan sosial yang kuat,

yang berkaitan dengan setiap area kegiatan manusia atau kebiasaan sosial

yang dinyatakan sebagai suci dan terlarang. Orang Mesir kuno percaya bahwa

pemali ditanamkan oleh dewa khususnya pada benda, tindakan, bangunan, dan

bahkan individu. Mereka meyakini bahwa hanya pencipta yaitu dewa sendiri

atau raja yang dapat mengubah pemali, sehingga bagi masyarakat Mesir kuno

pemali merupakan gabungan dari agama, ritual larangan, dan penghindaran

yang memengaruhi semua aspek kehidupan mereka.

Page 5: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

4

Bagi Margaret Mead (dalam Steiner, 1956) pemali dapat didefiniskan

sebagai sanksi negatif, siapa yang melakukan pelanggaran maka hasilnya akan

otomatis tanpa mediasi dengan manusia. Wardhaugh (dalam Chu, 2009)

mengatakan bahwa pemali ditetapkan karena orang percaya bahwa

ketidaksesuaian akan mendatangkan konsekuensi yang berbahaya bagi

mereka, baik karena perilaku non-verbal ataupun perilaku verbal, diakibatkan

karena melanggar kode moral masyarakat berdasarkan keyakinan

supranatural. Kewenangan dibalik larangan-larangan sering dikaitkan dengan

kekuatan supranatural dan bahaya yang melekat pada perilaku itu sendiri,

sehingga melanggar pemali dapat membawa sial baik itu untuk diri sendiri

maupun bagi keluarga.

Selanjutnya akan dijabarkan mengenai klasifikasi serta objek pemali

menurut beberapa tokoh. Kamal (2009) mengklasifikasikan taboo dalam

masyarakat Mesir kuno ke dalam dua bagian yaitu pemali mengkonsumsi

makanan tertentu diantaranya babi, ikan, dan madu. Pemali terhadap tindakan

misalnya tindakan yang dapat menyebabkan pencemaran di sungai nil,

menerima suap atau sogokan, tindakan kriminal seperti pencurian dan

pembunuhan, mengkonsumsi hewan kurban, merusak kesucian tempat yang

dianggap suci.

Menurut Freud (2002) objek-objek dari pemali terdiri dari tiga bagian, yang

pertama yaitu pemali langsung yang dimaksudkan untuk melindungi orang

penting meliputi kepala suku, pendeta, dan barang-barang dari mara bahaya,

menjaga kaum yang lemah yaitu perempuan dan anak-anak dari mana

(pengaruh magis) yang kuat, melindungi diri dari bahaya yang muncul akibat

memakan makanan tertentu, mengamankan manusia dari murka atau kuasa

dewa-dewa dan roh–roh, mengamankan bayi yang belum lahir dan anak kecil

yang memiliki hubungan emosi yang khusus dengan orang tuanya dari akibat

tindakan-tindakan tertentu, dan yang lebih penting pengaruh-pengaruh

makanan. Objek yang kedua, yaitu pemali yang diberlakukan untuk melindungi

kekayaan, alat–alat, dll, milik seseorang dari curian.

Page 6: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

5

Objek yang ketiga, pemali yang umum diberlakukan di suatu wilayah yang

luas, sama dengan larangan gerejawi dan bisa berlaku lama. Menurut Freud

(2002) terdapat beberapa cakupan dari pemali, yaitu sifat suci (atau kotor) dari

orang atau benda, jenis larangan yang diakibatkan oleh sifat tersebut, dan

kesucian (atau kekotoran) yang diakibatkan oleh pelanggaran terhadap

larangan tersebut.

Perilaku Kesehatan

Pada dasarnya setiap individu mempunyai keinginan untuk selalu berada

dalam kondisi yang sehat dan normal, sehingga jika merasa kondisi kesehatan

terancam atau terganggu diakibatkan oleh penyakit, maka mereka terdorong

untuk melakukan sebuah upaya guna untuk mengembalikan dan meningkatkan

kondisi kesehatan mereka. Pemahaman partisipan mengenai timbulnya

penyakit tertentu diakibatkan karena pelanggaran terhadap pemali.

Pemahaman serta keyakinan tersebut terbentuk berdasarkan pengalaman

pribadi, serta informasi yang mereka dapatkan dari lingkungan terdekat, dan

kemudian mendorong mereka untuk melakukan tindakan bertujuan untuk

mempertahankan kondisi kesehatan mereka terlebih untuk pencegahan. Untuk

menjelaskan lebih rinci, maka digunakan teori perilaku kesehatan dengan

model regulasi diri dari Leventhal. Prinsip utama dari model ini adalah setiap

orang akan membentuk representasi kognitif terhadap ancaman kesehatan,

yang kemudian mengarahkan mereka untuk memilih sebuah tindakan yang

dapat mengatasi ancaman tersebut.

Gochman (dalam Conner, 2002) mendefinisikan perilaku kesehatan

sebagai pola perilaku, tindakan dan kebiasaan yang berhubungan dengan

pemeliharaan kesehatan, untuk pemulihan kesehatan serta peningkatan

kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2005) perilaku kesehatan adalah semua

aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable)

maupun yang tidak dapat diamati (unobservable), yang berkaitan dengan

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.

Page 7: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

6

Pemeliharaan kesehatan mencakup pencegahan atau perlindungan diri dari

penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari

peyembuhan apabila sakit atau terkena masalah terkait dengan kesehatan.

Menurut Saunders (dalam Foster & Anderson, 1986) munculnya berbagai

masyarakat menciptakan suatu strategi adaptasi baru dalam menghadapi

penyakit, suatu strategi yang memaksa manusia untuk menaruh perhatian

utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usaha untuk

menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan suatu kompleks luas

dari pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai,

ideologi, sikap, adat-istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang

saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan

saling membantu.

Menurut Aguirre (dalam Foster & Anderson, 1986) pada umumnya tindakan

preventif merupakan tingkahlaku individu yang secara logis mengikuti konsep

tentang penyebab penyakit, sambil menjelaskan mengapa orang jatuh sakit,

sekaligus mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan untuk menghindari

penyakit tersebut. Jika masyarakat percaya bahwa penyakit terjadi karena

dikirim oleh dewa-dewa atau leluhur yang marah untuk menghukum suatu

dosa, prosedur yang nyata untuk mencegahnya adalah pengakuan dosa,

observasi yang cermat tehadap pantangan-pantangan sosial dan pelaksanaan

yang seksama atas ritus-ritus serta upacara-upacara yang ditujukan terhadap

dewa-dewa dan para leluhur.

Menurut Leventhal (dalam Ogden, 2007) terdapat beberapa faktor–faktor

yang dapat memprediksikan perilaku sehat meliputi :

- Faktor sosial, meliputi norma-norma sosial. Norma sosial bersifat mengikat,

setiap norma yang terdapat dalam suatu masyarakat merupakan nilai-nilai

sosial, yang harus ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat setempat.

- Faktor genetik.

- Faktor emosional, meliputi rasa takut, cemas, dan depresi. Faktor

emosional akan mengalami perubahan jika merasa dirinya dalam bahaya,

sehingga munimbulkan emosi-emosi negatif.

Page 8: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

7

- Persepsi terhadap gejala, meliputi pandangan setiap individu terhadap

gejala-gejala suatu penyakit, banyak hal yang berperan dalam membentuk

persepsi individu salah satunya yaitu kognisi.

- Keyakinan atau kepercayaan, keyakinan setiap individu terhadap suatu

penyakit dapat memberi sumbangsih terhadap perkembangan penyakit

serta perilaku mereka.

Model Regulasi Diri

Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam Wit & Ridder,

2006) istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia

mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan dalam mencapai tujuan

mereka. Leventhal (dalam Ogden, 2007) menjabarkan model regulasi diri ke

dalam tiga tahap yaitu interpretasi, koping, dan penilaian. Tahap pertama yaitu

interpretasi, individu menginterpretasikan gejala suatu penyakit yang timbul

melalui dua jalur, yaitu persepsi gejala (symptom perception) dan pesan sosial

(social messages). Persepsi gejala (symptom perception) dimana individu

memahami dan menilai sebuah gejala berdasarkan pengalaman mereka, selain

itu informasi tentang sebuah penyakit diperoleh oleh individu dari lingkungan

sosial (keluarga, teman, tetangga, media). Persepsi terhadap gejala penyakit

memengaruhi bagaimana seorang individu menafsirkan sebuah penyakit.

Persepsi dipengaruhi oleh mood dan kognisi. Interpretasi individu terhadap

gejala penyakit atau masalah membentuk sebuah representasi terhadap

ancaman bagi kesehatan meliputi, identitas mencakup pemberian label pada

penyakit, penyebab dari penyakit, konsekuensi atau akibat yang ditumbulkan,

rentang waktu, dan pengobatan, selain hal tersebut, interpretasi individu

terhadap sebuah penyakit memunculkan atau menimbulkan respon emosional

terhadap ancaman kesehatan berupa rasa takut, cemas, dan depresi.

Sekali individu menerima informasi tentang kemungkinan dari suatu

penyakit melalui jalur yang telah disebutkan pada paragraf di atas, menurut

teori pemecahan masalah (problem solving) maka orang tersebut akan

termotivasi untuk kembali pada keadaan normal. Pada tahap selanjutnya

individu mulai mempertimbangkan dan mengembangkan strategi koping.

Page 9: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

8

Koping terdiri dari dua kategori besar yaitu, pendekatan koping (mis. pergi ke

dokter, beristirahat, berbicara dengan kerabat terkait dengan emosi atau

perasaan), penghindaran koping (mis. Penolakan atau menyangkal, harapan

kosong). Saat menghadapi penyakit, seseorang akan mengembangkan strategi

koping untuk kembali pada keadaan yang sehat dan normal.

Taylor dan rekannya (dalam Ogden, 2007) menguraikan tiga proses yang

dilakukan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kondisi yang mengancam

atau berbahaya (termasuk penyakit) meliputi mencari arti atau makna, mencari

keahlian, dan proses peningkatan atau perbaikan diri–saya lebih baik dari

banyak orang. Ketiga proses tersebut adalah inti untuk mengembangkan dan

mempertahankan khayalan, bahwa khayalan merupakan proses adaptasi

kognitif. Pada tahap yang terakhir orang akan mengevaluasi strategi koping

yang mereka gunakan apakah efektif atau sebaliknya. Jika dinilai efektif, maka

strategi tersebut tetap digunakan dan diteruskan, begitupun dengan

sebaliknya jika strategi tersebut dinilai tidak efektif maka orang akan termotivasi

untuk mencari alternatif lainnya.

Page 10: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

9

Bagan 1. Model regulasi diri dari Leventhal (dalam Ogden, 2007)

Tahap 3:

Penilaian

•Strategi

koping yang

efektif?

Respon emosional

terhadap ancaman

kesehatan

• Takut

• Kecemasan

• Depresi

Tahap 2: Koping

• Pendekatan

koping

•Penghindaran

koping

Tahap 1: Interpretasi

• Persepsi gejala

• Pesan sosial

→Penyimpangan

dari norma

Gambaran ancaman

kesehatan

• Identitas

• Penyebab

• Konsekuensi

• Rentang waktu

•Pengobatan

Page 11: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

10

Suku Toraja

Sebelum berganti nama, Toraja dikenal dengan tondok lepongan bulan

matarik allo. Pada umumnya suku Toraja menetap di pegunungan bagian utara

Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa,

dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja.

Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut

Islam dan kepercayaan yang dikenal dengan aluk to dolo. Kata Toraja berasal

dari bahasa Bugis, to riaja yang berarti orang yang berdiam di negeri atas.

Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.

Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan

ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang

penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama

beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom.

Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada

awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama

Kristen. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi

budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi

masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor

pariwisata yang terus meningkat. Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara

jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-

20.

Kata Toraja pertama kali digunakan oleh penduduk dataran rendah untuk

memanggil penduduk dataran tinggi. Pada awalnya suku Toraja lebih banyak

memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis, suku

Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di

Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris

Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di

wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya

pariwisata di Tana Toraja.

Page 12: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

11

Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama, yaitu suku

Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar

(pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja

yang merupakan petani di dataran tinggi (Wikipedia, 2012).

Aluk Todolo

Di kala masyarakat Toraja belum mengenal agama samawi, mereka

mempercayai suatu keyakinan yang dikenal dengan aluk todolo. Aluk todolo

sering pula disebut dengan nama alukta, singkatan dari aluk todolo. Aluk dalam

bahasa Toraja artinya sama dengan agama, todolo dalam bahasa Toraja

artinya sama dengan nenek semula. Menurut kepercayaan aluk todolo, Tuhan

yang tinggi ialah Puang Matua, pencipta manusia pertama dan segala isinya.

Totu Mampata artinya yang menciptakan manusia dan yang dimaksudkan ialah

Puang Matua. Dalam bahasa sehari-hari seringkali orang berkata dalam

merencanakan sesuatu: “kenaeloranni Totu Mampata” artinya jika dikehendaki

pencipta kita, ialah Tuhan Allah.

Manusia diciptakan oleh Totu Mampata atau Puang Matua untuk hidup

bersama. Agar kehidupan manusia teratur, Puang Matua menurunkan aluk

todolo dengan segala persyaratan hukumnya. Pengawasan dan

pertanggungjawab atas tertibnya kehidupan masyarakat, Puang Matua

memberi kuasa Puang Titanan Tallu (Tri Maha Tunggal) yang terdiri dari puang

banggai rante ialah dewata yang menguasai bumi dan isinya, tuang tulak

padang ialah dewata yang menguasai isi bumi dan air, gaung tikembong

dewata yang menguasai angkasa angin dan halilintar. Dewata adalah makhluk

halus yang diberi kuasa besar oleh Puang Matua untuk mengawasi manusia

dalam hidupnya di dunia ini dan menghukum siapa saja yang melanggar

perintah Puang Matua. Manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dijaga oleh

roh halus sehingga jika dirusak maka dewata akan memberi hukuman

malapetaka di dunia (Labuhari, 1997).

Page 13: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

12

Setelah masuknya agama Kristen di Tana Toraja, situasi berangsur-angsur

mulai berubah terutama sikap dan tata cara hidup yang bermasyarakat,

meskipun belum seluruhnya meninggalkan tata cara hidup yang bersifat

tradisional. Kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat masih tetap

berdampingan dengan kebiasaan-kebiasaan yang diturunkan oleh leluhur,

seperti kepercayaan tentang hari-hari baik dan hari buruk, kepercayaan

terhadap penyebab malapetaka misalnya melakukan perjalanan, menanam

padi, dan melakukan perjalanan.

Menurut Tangdilintin (dalam Duli dan Hasanuddin, 2003) aluk todolo adalah

salah satu kepercayaan atau keyakinan yang diturunkan oleh Puang Matua

(sang pencipta). Adapun aturan agama dalam aluk todolo bahwa manusia dan

segala isi bumi harus menyembah. Penyembahan ditunjukkan pada Puang

Matua sebagai pencipta yang diwujudkan dalam bentuk sajian. Puang Matua

sebagai sang pencipta memberi kekuasaan kepada deata-deata (sang

pemelihara). Manusia diwajibkan mempergunakan segala yang ada dalam

dunia dan sekaligus menyembah Puang Matua dan deata-deata.

Dalam ajaran aluk to dolo dikenal tiga golongan deata yaitu deata tangga

langi’ sang pemelihara di langit, deata kapadanganna sang pemelihara di bumi,

deata tangana padang pemelihara menguasai segala isi tanah. Selain ketiga

golongan deata dalam ajaran aluk to dolo sesuai ketentuan sukaran aluk, maka

manusia harus menyembah kepada tiga aturan yaitu Puang Matua, deata–

deata, tomembali puang. Ajaran aluk to dolo mengonsepsikan adanya struktur

dewa-dewa yang tersusun secara vertikal. Puang Matua dipandang sebagai

dewa tertinggi yang berperan sebagai pencipta seluruh alam, sedangkan di

pihak lain deata-deata berkedudukan sebagai pemelihara, penguasa, pengatur

kehidupan ciptaan Puang Matua, dan tomembali Puang berkedudukan sebagai

pengawas (Duli dan Hasanuddin, 2003).

Apabila salah seorang anggota keluarga dalam rumah selalu sakit, atau

hidup seseorang selalu sial maka dipanggillah pemimpin agama tominaa untuk

massuru-suru. Orang yang sakit atau orang tuanya yang merendahkan diri dan

merenungkan kiranya keluarga atau anggota yang bersangkutan pernah

melanggar aturan agama atau pernah berkhianat kepada orang tua,

Page 14: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

13

menyiksa binatang dan merusak tanaman. Kemudian yang bersangkutan

“mengaku komba” menyesali perbuatan-perbuatan dan pemimpin agama

tominaa mentarapkan yang dilakukan. Tentu banyak perbuatan-perbuatan yang

dianggap menyalahi norma agama tetapi tominaa mencari yang paling

menyalahi tujuan hidup sesuai aluk todolo. Dalam hal ini diadakan terkaan

memakai biang, semacam rumput gajah dibelah di tengah malam diantara

keluarga dengan doa: lamangaku komba’ ki’ langan Puang Totu Mampata. Ladi

parokko mi tebiang, lama’ kada tongan diongbaliaran ampa’ rantean tujo.

Mantannako rara’ talingannako bulan, tang dipenduanni tangdipetallunni”,

artinya kiranya kita mengaku dengan tulus ikhlas dihadap Allah. Biang ini akan

berbicara benar dihamparan tikar di tengah kita. Demi saksi kebenaran yang

murni, tepat dan jitu, tidak diulang. Ajaran seperti ini sedikit demi sedikit mulai

ditinggalkan oleh masyarakat Toraja, walaupun orang-orang tua masih tetap

bertahan dan semakin bermunculan orang yang berpendidikan ingin

mempertahankan agama dan adat orang Toraja dengan adanya pengakuan

juridis yang mengakui kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Dalam aluk todolo terdapat beberapa hukum yang harus dipatuhi oleh

penganutnya yang disebut dengan pemali, meliputi :

- Pemali urrusak pote dibolong, artinya tidak boleh mengganggu upacara

penguburan orang mati.

- Pemali ma’ pangan buni, tidak boleh berzinah.

- Pemali unromok tatanan pasak, tidak boleh mengacau dipasar

- Pemali unteka’ palanduan, golongan budak dilarang kawin dengan

golongan tomakaka dan tokapua (bangsawan).

- Pemali massape-ao’, tidak boleh berangkat meninggalkan rumah pada

hari yang sama dengan arah yang berbeda.

- Pemali boko, tidak boleh mencuri.

- Pemali umboko sunga’ na pedanta tolino, jangan membunuh sesama

manusia.

- Pemali ma’ kada penduan, tidak boleh berdusta.

- Pemali unkasirisan deata misanta, jangan mengkhianati orang tua.

- Pemali ungkattai bubun, jangan berak di sumur.

Page 15: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

14

- Pemali umbala’ bala’ tomanglaa, jangan menyiksa anak gembala.

- Pemali meloko, dilarang mengambil barang di kuburan.

- Pemali umbala - bala’ patuoan, jangan menyiksa binatang ternak.

Sanksi yang dikenakan pada pelanggaran pemali berbeda menurut berat

ringannya pelanggaran, seperti sanksi yang berat ialah sangsi membunuh

dimana semua keluarga dari yang menjadi korban pembunuhan bersumpah

turun temurun tidak boleh berhubungan dalam bentuk apapun dengan keluarga

pembunuh (sisallang). Seorang hamba yang kawin dengan golongan

bangsawan diusir seumur hidup dari lingkungan Toraja. Sanksinya sama

dengan orang yang mencuri benda milik orang meninggal dari kubur. Orang

berpisah dari satu rumah pada hari yang sama dengan arah yang berlawanan,

tidak ada sanksi hukumnya tetapi biasanya salah seorang anggota keluarga

mendapat celaka (Labuhari, 1997).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini

melibatkan lima partisipan, yang terdiri dari dua laki-laki dan tiga perempuan.

Kelima partisipan berasal dan tinggal di kabupaten Toraja Utara, provinsi

Sulawesi Selatan. Adapun karakteristik partisipan yaitu salah satu dari

partisipan merupakan ketua adat dalam lingkungan Toraja, dikarenakan ketua

adat merupakan orang yang lebih tahu mengenai latar belakang dan seluk

beluk tentang pemali di Toraja. Partisipan merupakan masyarakat biasa yang

masih meyakini dan menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari. Metode

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara dan

observasi. Dilakukan wawancara mendalam terhadap semua partisipan, selain

itu peneliti melihat dan mengamati perilaku yang nampak dari partisipan. Data

yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik

analisa data kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman

(dalam Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data,

display data, kesimpulan.

Page 16: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

15

Hasil Penelitian

Semua partisipan dalam penelitian ini adalah masyarakat keturunan asli

Toraja dari latar belakang keturunan bangsawan yang bertempat tinggal di

Kabupaten Toraja Utara. P1 merupakan ketua adat, sedangkan P2 hingga P5

merupakan masyarakat Toraja yang percaya dan taat terhadap pemali. Semua

partisipan mendapatkan ajaran tentang pemali dari orang tua sejak mereka

kecil. Mereka tumbuh dalam keluarga yang taat dan percaya terhadap pemali.

Kelima partisipan memperoleh ajaran tentang pemali dari orang tua mereka,

tergambarkan dalam situasi yang sama yaitu dalam situasi santai sehabis

makan malam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Ajaran serta perilaku

yang ditunjukkan lingkungan terdekat yang mencerminkan ketaatan terhadap

pemali, menjadi dasar bagi partisipan untuk mulai memahami tentang pemali

dan kemudian menggunakannya sesuai dengan konteksnya.

Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf di atas, bahwa semua partisipan

memperoleh ajaran tentang pemali sejak mereka kecil. Semua partisipan

memahami dan menerapkan pemali sesuai dengan konteksnya, ketika mereka

mulai beranjak remaja dan dewasa. P1 percaya terhadap pemali dan

menerapkannya sejak usia 25 tahun, P2 dan P3 percaya terhadap pemali sejak

usia 18 dan 15 tahun, sedangkan P4 dan P5 percaya dan menerapkan pemali

sejak usia 13 tahun. Pada usia tersebut semua partisipan mulai memahami baik

itu tujuan maupun manfaat pemali bagi kehidupan mereka hingga saat ini. Bagi

mereka pemali mempunyai tujuan yang baik, yaitu untuk menghindarkan

mereka dari penyakit dan kejadian–kejadian buruk lainnya serta untuk

mengatur kehidupan mereka menjadi lebih baik. Berawal dari pemahaman

tersebut, partisipan kemudian menerapkan pemali dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kelima partisipan, pemali merupakan ketentuan yang berisikan

larangan–larangan pada perbuatan dan jenis makanan tertentu untuk

dilakukan. Semua partisipan meyakini bahwa pemali berasal dari nenek

moyang orang Toraja. Mereka membentuk dan menetapkan pemali sebagai

sebuah ketentuan berdasarkan keyakinan yang mereka peluk saat itu yang

dikenal dengan aluk todolo, kepercayaan yang tertuju kepada Tuhan Yang

Page 17: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

16

Maha Esa (Puang Matua). Mereka juga percaya bahwa pada zaman nenek

moyang orang Toraja, terdapat pengantara yang menjadi penghubung manusia

dengan Tuhan yaitu deata, bagi mereka deata mempunyai kedudukan yang

sama dengan Tuhan Yesus. Pernyataan tersebut tampak berbeda dengan

pernyataan yang diungkapkan oleh P2. Menurut P2 keyakinan nenek moyang

orang Toraja pada zaman dahulu yaitu keyakinan tertuju kepada setan,

sehingga ia percaya bahwa keyakinan tersebut menjadi landasan nenek

moyang orang Toraja untuk membentuk dan menetapkan pemali.

Pemali tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Toraja,

sehingga telah menjadi bagian dari budaya Toraja. Bagi P1 selaku ketua adat

mengungkapkan bahwa seseorang yang mempunyai anggapan bahwa pemali

tidak berlaku lagi seperti zaman dahulu karena sekarang orang telah memiliki

kepercayaan kepada Tuhan atau beragama, baginya orang tersebut tidak

memiliki budaya dalam dirinya. Bagi P1 sudah layak dan sepantasnya selaku

generasi penerus untuk menjaga dan melestarikan warisan dari leluhur yang

merupakan bagian dari budaya Toraja.

Contoh–contoh pemali yang diutarakan oleh semua partisipan kecuali

partisipan keempat, yaitu pemali membawa pulang bambu ataupun kayu yang

digunakan untuk membawa peti ke makam, pemali membongkar bangunan

tempat menyimpan jenazah di lapangan upacara kematian, pemali memasak

daging yang berasal dari acara kedukaan dengan daging yang berasal dari

acara syukuran secara bersamaan dalam satu wadah, pemali memakan daging

kerbau bersama sayur paku secara bersamaan, pemali berkunjung ke makam

saat padi mulai tumbuh. Kelima partisipan meyakini bahwa pelanggaran

terhadap pemali dapat menimbulkan konsekuensi berupa dosa dan karma,

dalam bentuk penyakit, gagal panen, serta kejadian buruk lainnya.

Pengalaman pernah menyaksikan konsekuensi yang timbul akibat

pelanggaran pemali berupa gagal panen dan penyakit, pernah disaksikan oleh

P2 dan P3, sedangkan pengalaman pernah merasakan sendiri konsekuensi

yang timbul akibat pelanggaran pemali berupa penyakit yaitu pada bagian

perut, kaki, dan pundak dialami oleh P3 dan P5.

Page 18: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

17

Beda halnya dengan P1 dan P4 yang belum pernah menyaksikan konsekuensi

yang timbul akibat pelanggaran pemali, baik itu berupa penyakit ataupun gagal

panen. Motivasi kelima partisipan untuk percaya dan taat terhadap pemali yaitu

karena takut terhadap konsekuensi yang akan timbul baik itu berupa penyakit

dan kejadian-kejadian buruk lainnya. Pesan dari orang tua menjadi sebuah

peringatan kepada kelima partisipan untuk tidak melanggar pemali.

Bagi kelima partisipan pesan dari orang tua terkait dengan pemali, menjadi

tanda atau bukti bahwa mereka yang dalam hal ini adalah orang tua para

partisipan pernah menyaksikan dampak tersebut, sehingga pemali menjadi

sebuah pesan dari orang tua kepada anak–anaknya. Keyakinan serta

pandangan tersebut semakin diperkuat oleh pengalaman partisipan yang

pernah menyaksikan dan mengalami dampak secara langsung, sehingga bagi

mereka pesan tersebut benar.

Beberapa contoh-contoh pemali yang berbeda yang diutarakan oleh kelima

partisipan. Bagi P, pemali mengambil benda–benda orang yang telah

meninggal baik itu benda yang dikenakan pada badan orang yang telah

meninggal maupun benda yang diletakkan di dalam makam, baginya benda-

benda orang yang telah meninggal tidak boleh dibawa ke dalam kehidupan

orang yang hidup, pemali selingkuh dengan saudara kandung dan selingkuh

dengan orang tua. Adapun contoh pemali lainnya yang diutarakan P2 yaitu

pemali memasak telur ataupun menggoreng telur, serta mengupas kelapa

menjelang musim panen padi. Contoh lainnya yang diutarakan oleh P3, yaitu

pemali melakukan kegiatan yang berkaitan dengan acara kedukaan dan acara

syukuran tanpa adanya peristiwa yang nyata menggambarkan kedua peristiwa

tersebut. Contoh yang berbeda diutarakan oleh P4, yaitu pemali menyapu di

dalam rumah pada malam hari, pemali bertopang dagu, pemali tidur pada jam

lima sore ke atas. Contoh lain diutarakan oleh partisipan kelima, yaitu pemali

memakan kepala babi, pemali bagi sepasang suami istri memotong ayam

bersama–sama, pemali memukul anak menggunakan tangkai pohon bambu,

dan pemali memakan daging anjing.

Page 19: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

18

Semua partisipan meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemali akan

menimbulkan dampak, oleh karena itu harus berujung pada sebuah pengakuan

sebagai wujud penyesalan dan pertobatan serta memohon pengampunan

kepada Tuhan. Tindakan tersebut merupakan sebuah upaya yang diyakini

partisipan dapat menyembuhkan mereka dari penyakit.

Pembahasan

Fokus penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pemahaman dan

penggunaan pemali oleh masyarakat Toraja dalam kaitannya dengan perilaku

kesehatan. Untuk memahami proses tersebut, penting untuk mengetahui

terlebih dahulu tentang perilaku kesehatan. Menurut Leventhal (dalam Ogden,

2007) faktor–faktor yang memprediksikan perilaku sehat yaitu faktor sosial,

meliputi norma-norma sosial, meniru, penguatan, dan belajar. Norma sosial

bersifat mengikat, setiap norma yang terdapat dalam suatu masyarakat

merupakan nilai-nilai sosial yang harus ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat

setempat. Perilaku yang ditunjukkan oleh kedua orang tua dan lingkungan

terdekat mereka yang mencerminkan ketaatan terhadap pemali, perlahan-lahan

mereka tiru dan aplikasikan dalam kehidupan sehari–hari, hingga pada akhirnya

menjadi sebuah nilai yang menjadi acuan mereka dalam berperilaku.

Faktor kedua faktor emosional, meliputi rasa takut, cemas, dan depresi.

Faktor emosional akan mengalami perubahan jika merasa dirinya dalam

bahaya, sehingga menimbulkan emosi-emosi negatif. Rasa takut dan cemas

timbul dalam diri partisipan saat membayangkan kemungkinan-kemungkinan

buruk yang akan terjadi pada diri mereka jika melanggar pemali. Emosi

tersebut timbul saat mereka berada dalam situasi berbahaya, yaitu sebuah

situasi yang dihadapkan pada partisipan jika dilakukan maka terjadi

pelanggaran pemali. “Rasa takut, kalau diperbuat itu nanti betul-betul terjadi

bagaimana mi kita nanti”. Emosi negatif berupa rasa takut dan cemas akan

hilang jika partisipan mengambil sebuah tindakan yaitu tidak melanggar pemali,

dengan sebuah keyakinan yang mereka pegang bahwa jika mereka taat dan

tidak melanggar pemali maka dampak buruk tidak akan menimpa mereka.

Page 20: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

19

Menurut Leventhal dkk (1980) jika ketakutan memainkan peranan dalam

tindakan jangka panjang kemungkinan karena memiliki pengaruh pada ingatan.

Faktor ketiga yaitu persepsi simtom–simtom, meliputi pandangan setiap

individu terhadap gejala-gejala suatu penyakit, banyak hal yang berperan dalam

membentuk persepsi individu salah satunya yaitu kognisi. Pengalaman di masa

lalu serta pesan dari orang tua mengenai pemali menjadi hal yang penting,

karena pengalaman serta pesan yang mereka dapatkan dari orang tua menjadi

pertimbangan bagi mereka untuk mempersepsikan gejala suatu penyakit.

Faktor keempat yaitu keyakinan atau kepercayaan, keyakinan setiap individu

terhadap suatu penyakit dapat berdampak terhadap perkembangan penyakit

serta perilaku mereka. Hal tersebut tercermin pada partisipan yang memiliki

pengalaman pernah merasakan sakit pada bagian kaki, perut, dan bahu,

dengan meyakini bahwa penyakit tersebut timbul akibat melanggar pemali,

sehingga bagi mereka penyakit yang timbul akibat pelanggaran pemali tidak

dapat disembuhkan dengan bantuan medis berupa obat-obatan melainkan

dengan pengakuan. Pengalaman tersebut menjadi sebuah bukti pembenaran

terhadap pesan yang diajarkan oleh orang tua mereka “ Karena saya sudah

coba to, na benar-benar mau ada akibatnya ’’.

Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam Wit & Ridder, 2006)

istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia untuk

mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan, dalam mencapai tujuan

mereka. Menurut Hagger dan Orbell (wearden & Peters, 2008) model regulasi

diri memberikan kerangka untuk membantu memahami peran faktor kognitif

dan persepsi dalam menanggapi dan mengelola berbagai penyakit kronis dan

ancaman lain terhadap kesehatan.

Keterkaitan antara pemali dengan perilaku kesehatan dapat dijelaskan

dengan model regulasi diri dari Leventhal, terdiri dari tiga tahap yaitu

interpretasi, koping, dan penilaian. Tahap yang pertama yaitu tahap dimana

individu menginterpretasikan gejala suatu penyakit. Semua partisipan meyakini

bahwa penyebab timbulnya penyakit tertentu diakibatkan pelanggaran terhadap

pemali. Salah satu contoh jenis penyakit yang diyakini oleh partisipan dapat

Page 21: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

20

timbul jika mencampur daging yang berasal dari acara kedukaan yaitu daging

babi dan kerbau dengan daging yang berasal dari acara syukuran yaitu daging

ayam dan daging babi, jika daging tersebut dicampur maka akan menyebabkan

timbulnya penyakit ayan. Informasi tersebut mereka dapatkan melalui pesan

yang disampaikan oleh orang tua partisipan. Persepsi terhadap sebuah gejala

penyakit memengaruhi bagaimana seorang individu menafsirkan sebuah

penyakit. Konsekuensi berupa penyakit tidak hanya berlaku pada pemali

tersebut, namun bagi partisipan hampir semua pelanggaran pada contoh

pemali lainnya dapat menimbulkan penyakit. “Sebab kita tidak lihat itu kita

kenna’ apakah mata kita buta, apakah kita pincang, apakah perut kita bengkak,

banyak macam”.

Hasil dari pengolahan informasi menurut model regulasi diri (Benyamini,

Gozlan, & Kokia, 2004) adalah representasi kognitif terhadap ancaman

kesehatan (identitas, penyebab, konsekuensi, rentang waktu, dan pengobatan)

serta respons emosional berupa takut dan cemas. Rasa takut yang timbul

pada diri partisipan, berlandaskan pada sebuah keyakinan yang mereka

pegang bahwa jika melanggar pemali, maka dampak yang akan timbul

menimpa mereka yaitu berupa penyakit. Selain itu, rasa takut terhadap penyakit

yang akan timbul yang dapat berujung pada kematian, menjadi landasan

timbulnya munculnya emosi-emosi negatif. “ Ada rasa takut, takut nanti kita

sakit atau kita mati”. Untuk mengatasi ancaman terhadap kesehatan serta untuk

menurunkan respons emosi, maka partisipan terdorong untuk melakukan

sebuah upaya guna mencegah dari penyakit serta meningkatkan kesehatan

mereka yaitu dengan taat terhadap pemali.

Bagi partisipan penyakit yang timbul akibat pelanggaran pemali, tidak

dapat disembuhkan dengan bantuan medis, sehingga upaya yang dilakukan

ialah mengadakan sebuah pengakuan sebagai bentuk penyesalan dan

pertobatan serta memohon ampun kepada Tuhan. “ Iya kalau itu terjadi kita itu

mulai koreksi diri, mungkin ada pelanggaran pemali yang saya perbuat ini. Kita

pergi sama orang yang dituakan itu di dalam masyarakat, tanya-tanya saya

pernah melanggar pemali apa yang harus saya perbuat.

Page 22: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

21

Di situ kita dikasih tahu, pergi di tongkonan mengaku di tongkonan bahwa ini

tidak saya sengaja, tapi ini kelalaian saya, saya perbuat saya mengaku mohon

Tuhan dengarkan doa saya”.

Semua partisipan meyakini bahwa upaya yang mereka lakukan untuk

menghindarkan diri atau pencegahan dari konsekuensi berupa penyakit yaitu

dengan percaya dan taat terhadap pemali. Bagi mereka taat terhadap pemali

merupakan sebuah tindakan yang efektif yang dapat mencegah timbulnya

penyakit yang akan menimpa diri mereka, yang kemudian mereka terapkan

dalam kehidupan sehari-hari “ Memang itu sudah pengalaman, orang yang taat

kepada pemali-pemali itu banyak manfaatnya, tapi orang yang sudah tidak

menghiraukan pemali lagi, itu nampak juga dalam hidupnya itu, pasti ada

hukum karmanya itu”. Bagi partisipan tindakan tersebut efektif untuk mencegah

penyakit, sehingga mereka menerapkannya guna menjaga kondisi mereka

untuk tetap sehat dan mencegah timbulnya penyakit. Keyakinan dan tindakan

tersebut kemudian mereka teruskan dan ajarkan kepada anggota keluarga.

Contoh-contoh pemali yang disebutkan oleh partisipan, kebanyakan

mengacu kepada mayat. Hal tersebut diduga karena di dalam adat Toraja

sendiri menganggap bahwa mereka yang telah meninggal masih hidup dan

dihormati. Pernyataan dari salah satu partisipan yang mengatakan bahwa

barang orang yang telah meninggal tidak boleh di bawah ke dalam dunia orang

yang masih hidup, menandakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut

mayat khususnya benda-benda milik orang yang telah meninggal, pantang jika

disentuh karena dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Penghormatan

kepada hal-hal yang berbahaya merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh

partisipan agar tidak terkontaminasi dengan penyakit yang dapat mengancam

kesehatan mereka.

Page 23: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

22

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka diperoleh

kesimpulan mengenai pemahaman dan penggunaan pemali oleh masyarakat

Toraja dalan kepentingannya dengan perilaku kesehatan sebagai berikut.

Pemali merupakan sebuah ajaran yang diturunkan oleh nenek moyang orang

Toraja, berisikan larangan-larangan pada perbuatan dan objek tertentu, jika

dilanggar dapat menimbulkan dampak berupa penyakit, gagal panen, serta

kejadian-kejadian buruk lainnya. Bagi kelima partisipan, pemali mempunyai

tujuan dan manfaat yang baik yaitu untuk menghindarkan mereka dari

kemalangan-kemalangan khususnya penyakit, serta untuk mengatur kehidupan

mereka untuk menjadi lebih baik. Kelima partisipan memiliki pemahaman

bahwa ketidaktaatan terhadap pemali dapat menimbulkan dampak berupa

penyakit, sehingga upaya yang mereka lakukan untuk mencegah timbulnya

dampak tersebut yaitu dengan percaya dan taat terhadap pemali. Rasa takut

dan cemas terhadap penyakit yang akan timbul kerap kali mewarnai kehidupan

partisipan. Hal tersebut kemudian menjadi motivasi partisipan untuk taat dan

patuh terhadap pemali.

Pemahaman partisipan mengenai penyakit yang timbul akibat

pelanggaran pemali, didasari dengan sebuah pandangan pribadi mereka yang

tergambarkan lewat pengalaman serta informasi yang mereka dapatkan dari

orang-orang terdekat. Berawal dari pemahaman tersebut kemudian mendorong

mereka untuk menerapkannya. Tindakan tersebut merupakan sebuah upaya

yang membuat mereka keluar dari kondisi takut dan cemas. Pandangan

partisipan terhadap sebuah penyakit khususnya menjadi penyebab timbulnya

penyakit, menjadi dasar perkembangan penyakit itu sendiri serta menjadi acuan

bagi individu untuk memilih sebuah langkah yang dapat mengobati terlebih

untuk mencegah timbulnya penyakit.

Page 24: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

23

Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti dari

penelitian ini yaitu :

1. Bagi peneliti selanjutnya yaitu untuk melakukan penelitian dengan

memfokuskan pada alasan logis atau ilmiah terkait dengan hal-hal yang

dijadikan sebagai objek pemali, selain hal tersebut peneliti selanjutnya

dapat mengkaji lebih dalam terkait dengan pemali menjelang pernikahan,

dan pemali khusus untuk upacara kedukaan.

2. Bagi pembaca secara umum hasil penelitian ini dapat memberikan

gambaran mengenai pemahaman dan penggunaan pemali oleh

masyarakat Toraja dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan.

Page 25: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

24

Daftar Pustaka

Benyamini, Y., Gozlan, M., & Kokia, E. (2004). On the Self-Regulation of a Health Threat:Cognitions, Coping, and Emotions Among Women Undergoing Treatment for Infertility. Cognitive Therapy and Research, 28, 5. Diakses Agustus, 06, 2014 dari : http://link.springer.com/article/10.1023/B%3ACOTR.0000045566.97966.22

Chu, M. P. (2009). Chinese cultural taboos that affect their language and behavior choices. Asian culture and history, 1, 2. Diakses Agustus 16, 2013, dari www.ccsenet.org/journal.html.

Conner, M. (2002). Health behaviors. University of Leeds UK.

Duli, A., & Hasanuddin. ( 2003). Toraja Dulu dan Kini. Makassar : Pustaka Refleksi.

Evans, W. R., Averi, G. P., & Pederson, V. P. (1999). Taboo topics: Cultural restraint on teaching social issue. The social Studies, 90, 5. Diakses Agustus 07, 2014 dari http://web.b.ebscohost.com/ehost/detail/detail?sid=9e3b00b0-1140-4925-86f80e9d2d8e80d0%40sessionmgr111&vid=0&hid=112&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=pbh&AN=2215244

Foster. G. M., & Anderson, B. A. (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta : Universitas Indonesia.

Freud, S.(2002). Totem and Tabu. Yogyakarta : Jendela.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Salemba Humanika

Imelda, D. (2010). Pemali dan Logikanya. Diakses Agustus 19, 2013 dari: http://www.google.com/#hl=en&q=pamali+dan+logikanya+daisy+imelda&s ell=1&s

Kalua, A, R. (2010). Toraja Tallu Lembangna. Jakarta : Keluarga Besar Tallu Lembangna.

Kamal, S. M. (2009). Taboos in Ancient Egypt. 3rd IRT International scientific conference integrated relational tourism–territories and development in the mediterranean area. Diakses Januari 23, 2014 dari : http://www.arces.it/public/Pubblicazioni_Ricerche/Turismo_Relazionale/Irt_conference/Paper%20Book/Vol%201/Paper%20Book_Vol1_12.pdf

Labuhari, T. M. U. (1997). Budaya Toraja. Jakarta : Yayasan Maraya.

Page 26: PEMAHAMAN DAN PENGGUNAAN PEMALI OLEH MASYARAKAT …

25

Leventhal, H., Meyer, D., & Nerenz, D. (1980). The common sense . representation of illnes danger. Medical Psychology, 11. Diakses Mei 27,

2014 dari :http://www.academia.edu/259452/The_Common_Sense_Repres entation_of_Illness_Danger

Notoatmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta : PT Rineka Cipta. Ogden, J. ( 2007). Health Psychology (Fourth edition). New York : Two Penn Plaza. Steiner, F. (1956). Taboo. Australia : Penguin Books.

Wearden, A., & Peters, S. (2008). Therapeutic techniques for interventions based on Leventhal’s common sense model. Health Psychology, 13, 189-193. Diakses Agustus 06, 2014 dari : www.bpsjournals.co.uk

Wikipedia.(2013). Suku Toraja. Diakses Agustus 16, 2013, dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja