pelengkap buku pegangan penyelenggaraan · pdf fileemail: [email protected]. ... sejalan...
TRANSCRIPT
Pelengkap
BUKU PEGANGAN
Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah
2013
Affi rmative Policy Dalam Percepatan Pembangunan Daerah Untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
ii
Pelengkap Buku Pegangan 2013
Affi rmative Policy Dalam Percepatan Pembangunan Daerah Untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan
April 2013
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGANGedung Radius Prawiro Lantai 9
Jl. DR. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710
Telp. (021) 3509442, Faks. (021) 3509443
Website: www. Djpk.depkeu.go.id
Email: [email protected]
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 iii
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
KATA PENGANTAR
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, taufi k dan hidayah-Nya sehingga Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menyelesaikan Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah. Pelengkap Buku Pegangan ini mengambil tema: Affi rmative Policy dalam Percepatan Pembangunan Daerah untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat.
Indonesia telah melakukan transisi ekonomi yang cukup cepat. Namun sejalan dengan kecepatan transformasi tersebut Pemerintah Pusat menghadapi kendala dalam implementasinya, baik dari sisi kapasitas keuangan negara maupun dari sisi penataan institusi pengelola keuangan negara. Penerimaan negara dari sumber daya terutama minyak dan gas relatif semakin terbatas, sementara mobilisasi dari pajak masih menghadapi banyak kendala. Akibatnya keuangan negara masih harus ditopang dari pembiayaan melalui pinjaman dalam dan luar negeri. Sementara di sisi lain, ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap dana transfer dari
iv
Pemerintah Pusat (APBN) cenderung semakin meningkat. Mengingat tantangan yang semakin berat dalam mengelola APBN ke depan, perlu kiranya untuk memaksimalkan pendapatan serta mengefi sienkan dan mengefektifkan belanja negara termasuk transfer ke Daerah. Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan Pusat terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih efektif apabila Daerah dapat mengelolanya dengan profesional.
Melalui penguatan sumber-sumber pendapatan daerah dan pemberian diskresi belanja daerah maka diharapkan terdapat efi siensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di Daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya sehingga pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Dalam jangka waktu selanjutnya peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong akses layanan publik dan akan mendorong perekonomian daerah serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan kewenangan yang dimiliki dan keleluasaan di dalam penggunaaan dana transfer yang diterimanya, Daerah dapat berbuat banyak untuk penguatan sektor riil di wilayahnya masing-masing. Disamping itu, koordinasi dan kerja sama antar daerah juga perlu dilakukan agar terjadi sinergi dalam pelaksanaan program yang direncanakan oleh Daerah. Selanjutnya masyarakat sebagai subyek dan obyek dari semua program yang dilaksanakan pemerintah, perlu diminta masukan dan sarannya, agar terjadi kesesuaian apa yang dilakukan oleh pemerintah dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 v
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Peranan Pemerintah Daerah yang lebih besar dalam fungsi alokasi menunjukkan tanggung jawab daerah yang juga lebih besar dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan di Daerah, sehingga tujuan otonomi daerah dan desentralisasi fi skal dapat tercapai. Dalam kaitan inilah, maka upaya untuk membangun kebijakan yang lebih mempertimbangkan kepentingan publik dirasakan semakin penting. Untuk itu, penciptaan lingkungan yang kondusif perlu dibangun, antara lain melalui kepastian peraturan, transparansi pelaksanaan aturan, kecepatan pemberian layanan, kemudahan dan kesederhanaan proses memperoleh layanan publik tersebut, serta sinergi antara Pusat dan Daerah, serta antar daerah.
Sejalan dengan semakin besarnya kewenangan Pemerintah Daerah melalui otonomi daerah dan semakin besarnya dana yang didaerahkan melalui desentralisasi fi skal, maka sudah sepatutnya semakin besar pula peran dan tanggung jawab Daerah dalam ikut serta mengatasi berbagai masalah yang terjadi secara nasional, seperti krisis global yang sedang kita hadapi pada saat ini. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah harus secara bersama-sama, bahu membahu, berkontribusi untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut.
Buku ini diterbitkan sebagai upaya untuk menjembatani kebutuhan informasi tentang pelaksanaan kebijakan desentralisasi fi skal di Indonesia. Diharapkan dengan adanya buku ini, Daerah akan lebih memahami kebijakan pemerintah di bidang desentralisasi fi skal dan dengan demikian Daerah dapat melaksanakan program-program pembangunannya yang sejalan dengan kebijakan tersebut. Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh jajaran Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang telah bekerja dengan itikad dan dedikasi yang baik serta
vi
memberikan kontribusi dalam penyusunan buku ini, mulai dari proses perancangan hingga fi nalisasi dan harmonisasi substansinya. Akhirnya saya berharap semoga buku ini dapat memberikan motivasi yang positif dan bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fi skal yang lebih baik di Indonesia demi meningkatkan kesejateraan rakyat yang lebih cepat dan lebih luas.
MENTERI KEUANGAN,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 vii
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................. iii
Daftar Isi ............................................................................................ vii
Daftar Grafi k ...................................................................................... x
Daftar Gambar................................................................................... xi
Daftar Tabel ....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
BAB II PENGATURAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH... 6
2.1. Kewenangan Perpajakan dan Retribusi Daerah ................... 8
2.1.1. Sinkronisasi Penetapan Tarif Pajak Daerah dengan Kebijakan Nasional ................................................. 12
2.1.2. Pengalihan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah ........... 15
2.1.3. Penambahan Jenis Retribusi Daerah ..................... 20
2.2. Dana Perimbangan ............................................................... 24
2.2.1. DBH ........................................................................ 24
2.2.2. DAU ........................................................................ 42
2.2.3. DAK ........................................................................ 45
2.3. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ............................. 49
2.3.1. Dana Otonomi Khusus............................................ 49
2.3.2. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Tunjangan
Profesi Guru, Dana Tambahan Penghasilan Guru . 50
viii
2.3.3. Dana Insentif Daerah dan P2D2 ............................. 55
2.3.4. Dana Keistimewaan DIY ......................................... 59
2.4. Dana Darurat, Pinjaman dan Hibah ...................................... 60
2.4.1. Dana Darurat .......................................................... 60
2.4.2. Pinjaman Daerah .................................................... 62
2.4.3. Hibah Daerah.......................................................... 63
2.5. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ...................... 66
2.6. Pengelolaan Keuangan Daerah ............................................ 68
2.6.1. Pengelolaan APBD ................................................. 68
2.6.2. Pengelolaan Defi sit ................................................. 79
2.6.3. Sistem Informasi Keuangan Daerah ....................... 82
2.7. Arah Kebijakan Revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 84
BAB III ARAH KEBIJAKAN TRANSFER DAN HIBAH KE DAERAH TAHUN 2013 ......................................................................... 88
3.1. Perkembangan Transfer ke Daerah ...................................... 89
3.2. Kebijakan DAU ..................................................................... 95
3.2.1. Penetapan Besaran DAU Nasional ........................ 95
3.2.2. Perhitungan Alokasi DAU ....................................... 95
3.3. Kebijakan DAK ...................................................................... 98
3.3.1. Kebijakan Umum DAK Tahun 2013 ........................ 98
3.3.2. Penentuan Daerah Penerima DAK ......................... 99
3.3.3. Data Dalam Perhitungan DAK ................................ 100
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 ix
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
3.3.4. Penentuan Besaran Alokasi DAK ........................... 101
3.3.5. Arah Kebijakan, Ruang Lingkup dan Indikator Teknis Masing-masing Bidang DAK ................................... 102
3.4. Kebijakan Hibah .................................................................... 123
BAB IV AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT .............................................. 125
4.1. Latar Belakang ...................................................................... 125
4.2. Kriteria Ketertinggalan .......................................................... 126
4.3. Kondisi Keuangan Daerah Tertinggal ................................... 130
4.4. Arah Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal ................ 131
4.5. Penganggaran dan Pengalokasian DAK Daerah Tertinggal . 138
4.6. Pedoman Pelaksanaan ......................................................... 142
BAB V PENUTUP ............................................................................. 147
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 149
LAMPIRAN
x
DAFTAR GRAFIK
Grafi k 2.1 Perkembangan Alokasi BOS Melalui Transfer ke Daerah 52
Grafi k 2.2 Grafi k Penetapan APBD Tahun Anggaran 2008-2012 Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Indonesia .................... 71
Grafi k 2.3 Trend Belanja Daerah TA 2009 – 2012 ............................ 72
Grafi k 2.4 Penyerapan Belanja APBD .............................................. 75
Grafi k 2.5 Tren SiLPA Tahun Berkenaan .......................................... 76
Grafi k 2.6 Trend Dana Pemda di Perbankan 2009 – 2012 (data per Desember) ....................................................................... 77
Grafi k 2.7 Opini BPK Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2007 – 2011 .......................................................... 78
Grafi k 3.1 Komposisi Dana Transfer ke Daerah ............................... 90
Grafi k 3.2 Pertumbuhan Dana Transfer ke Daerah .......................... 91
Grafi k 3.3 Pertumbuhan Dana Transfer ke Daerah (Per Jenis Dana) 92
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 xi
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah 8
Gambar 2.2 Tahap Penyaluran DBH SDA ........................................... 41
Gambar 4.1 Alokasi APBN Untuk Daerah Tertinggal (APBN-2012) .... 126
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tarif PBB-KB Sesuai Perda Provinsi ...................................... 13
Tabel 2.2 Kesiapan Daerah Dalam Memungut PBB-P2 .................. 17
Tabel 2.3 Pemerintah Daerah yang Belum Menetapkan Perda BPHTB ............................................................................. 20
Tabel 2.4 Jenis dan Persentase DBH Pajak .................................... 25
Tabel 2.5 Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat (DJP) dengan Pemerintah Daerah 27
Tabel 2.6 Penyaluran DBH Pajak dan CHT ..................................... 31
Tabel 2.7 Jenis dan Porsi Bagi Hasil DBH SDA .............................. 33
Tabel 2.8 Jenis dan Tarif PNBP yang Dibagihasilkan ...................... 34
Tabel 2.9 Periode Lifting dan Penyaluran DBH SDA Migas ............ 40
Tabel 2.10 Daerah Yang Melakukan Perjanjian Pinjaman Dengan PIP Tahun 2012 ...................................................................... 66
Tabel 3.1 Alokasi 2012-2013 Dana Transfer ke Daerah dan Dana Penyesuaian .................................................................... 90
Tabel 3.2 Tingkat Pertumbuhan Dana Transfer ke Daerah ............. 92
Tabel 3.3 Pagu dan Realisasi 2009 – 2013 ..................................... 93
Tabel 3.4 Perkembangan Hibah ke Daerah ..................................... 95
Tabel 3.5 Data Dalam Perhitungan DAU ......................................... 96
Tabel 3.6 Penetapan Bobot Variabel Dalam Penghitungan DAU .... 97
Tabel 3.7 Alokasi DAK Per Bidang TA 2013 .................................... 101
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 xiii
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Tabel 4.1 Daerah Tertinggal Per Provinsi ........................................ 129
Tabel 4.2 Kapasitas Fiskal dan DAK Tahun 2012 ............................ 130
Tabel 4.3 Perbandingan Rata-Rata Alokasi DAK Tahun 2012 ......... 131
Tabel 4.4 Hubungan Kriteria Daerah Tertinggal Dengan Kriteria Alokasi DAK ..................................................................... 135
Tabel 4.5 Dukungan DAK Terhadap Program PDT ......................... 136
Tabel 4.6 Alokasi DAK Per Bidang TA 2013 .................................... 140
Tabel 4.7 Besaran Dana Pendamping DAK Tambahan ................... 142
Tabel 4.8 Petunjuk Teknis DAK TA 2013 ......................................... 142
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 1
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Bab IPendahuluan
Komitmen Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi secara konsisten dan berkelanjutan telah terlihat dengan jelas baik dari kenaikan dana transfer ke daerah dari tahun ke tahun dan revisi berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Komitmen tersebut tentunya didasari pertimbangan dan fakta yang menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi merupakan instrumen yang lebih efektif dan efi sien untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik di tingkat lokal. Secara nasional, transfer perkapita meningkat sangat tajam dari tahun ke tahun dan selaras dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Tingkat kemiskinan menurun dari 17,75% dalam tahun 2006 menjadi 11,96% pada tahun 2012. Pada beberapa daerah yang tingkat transfer perkapitanya sangat tinggi, ternyata juga mengalami penurunan kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Dengan kebijakan desentralisasi, daerah-daerah yang selama ini masih tertinggal telah dapat mengejar ketertinggalannya. Keberhasilan desentralisasi juga terlihat dari beberapa indikator pelayanan publik di daerah. Sebagai contoh di bidang pendidikan, angka partisipasi murni (APM) SD meningkat di seluruh provinsi dan dalam bidang kesehatan angka kematian bayi (IMR) menurun signifi kan di seluruh provinsi.
Secara keseluruhan disadari bahwa kebijakan desentralisasi yang diambil oleh pemerintah belum sepenuhnya sejalan dengan capaian tingkat kesejahteraan di tingkat lokal. Pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah yaitu penyediaan barang-barang untuk kebutuhan publik (public goods) seperti jalan, jembatan, pasar terminal, rumah sakit dan lain-lainnya dan kedua adalah pengaturan-pengaturan publik (public regulations) yang dikemas dalam bentuk peraturan daerah seperti Perda Ijin Mendirikan Bangunan, Perda Kependudukan, Perda
2
Pajak dan Retribusi Daerah dan lain-lainnya belum banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat. Setelah lebih dari satu dekade pasca reformasi, pelaksanaan otonomi daerah masih memerlukan pembenahan dalam penyediaan pelayanan publik khususnya yang terkait dengan penyediaan pelayanan dasar yang masih belum menunjukkan pencapaian yang signifi kan dari standard pelayanan minimal (SPM).
Politik anggaran di tingkat lokal kurang sejalan dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Proses penetapan anggaran memerlukan waktu yang cukup lama. Masih banyak daerah yang terlambat menetapkan APBD sehingga berpengaruh pada efektivitas penyerapan anggaran. Beberapa daerah dikenakan sanksi berupa penundaan penyaluran DAU karena penetapan APBD terlambat. Di sebagian besar daerah, alokasi anggaran belanja lebih banyak untuk pegawai dibandingkan untuk pelayanan kepada masyarakat (belanja modal). Sampai dengan tahun 2011, alokasi belanja pegawai cenderung terus meningkat hingga mencapai lebih dari 40% dari total belanja APBD (untuk provinsi di kisaran 25% dan untuk Kab/Kota di kisaran 51%) dan pada tahun 2012 mengalami penurunan. Proporsi belanja modal mengalami peningkatan di tahun 2011 dan 2012, yaitu diatas 20%. Di sisi lain, pengalokasian anggaran APBD juga masih belum optimal. Dana APBD juga masih banyak yang tidak dimanfaatkan oleh Daerah secara optimal. Dalam tahun 2012 jumlah dana APBD yang mengendap di perbankan mencapai 106,9 triliun atau sekitar 18,04% dari total APBD. Besarnya dana idle ini dapat mendistorsi pencapaian sasaran fi skal nasional.
Selain permasalahan pengelolaan keuangan, berbagai tudingan negatif masyarakat juga dialamatkan kepada pelaksanaan otonomi daerah, seperti munculnya istilah raja-raja kecil, desentralisasi korupsi, dinasti kepemimpinan daerah dan lain-lainnya. Sedangkan cita-cita reformasi adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diantaranya melalui otonomi daerah dan
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 3
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
menjadikan otonomi daerah sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan.
Pengaturan mengenai hubungan kewenangan Pusat dan Daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu terus didiseminasikan kepada berbagai pihak terkait dan bahkan diperbaharui agar sejalan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Desentralisasi politik yang memberikan tanggung jawab yang besar kepada masyarakat lokal dalam menentukan preferensi kebutuhannya masih jauh dari harapan. Pemilihan DPRD dan kepala daerah secara langsung belum menunjukkan keterkaitan yang erat dengan tingkat pelayanan. Pemilihan DPRD dan kepala daerah secara langsung diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih akuntabel dan bertanggung jawab. Keterlibatan masyarakat secara langsung maupun melalui lembaga DPRD dalam berbagai pengambilan keputusan berbagai kebijakan daerah diharapkan dapat meningkatkan efi siensi dan efektivitas penyediaan pelayanan. Sistem rekrutmen partai politik dan Pilkada kelihatannya perlu diperbaiki agar bisa sejalan dengan tujuan desentralisasi tersebut.
Pengaturan dan konsistensi pelaksanaan urusan antara tingkat pemerintahan, pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi dasar pembagian sumber-sumber keuangan perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Beberapa urusan yang telah menjadi tanggung jawab daerah berdasarkan undang-undang, ditetapkan kembali menjadi tanggung jawab Pusat baik dengan peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden/Peraturan Menteri) maupun dengan undang-undang sektoral. Juga masih terdapat inkonsistensi mengenai pendanaan. Pada dasarnya pengaturan mengenai pembagian urusan dalam undang-undang menempatkan daerah lebih kompeten dalam penyediaan layanan kepada masyarakat. Pemerintah Pusat dibatasi hanya bertanggung jawab terhadap urusan yang menyangkut kedaulatan negara dan bertanggung
4
jawab untuk menyusun norma, standard, prosedur dan kriteria (NSPK) yang menjadi acuan bagi daerah dalam melaksanakan urusannya. Dalam praktiknya, Pemerintah Pusat masih banyak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah menjadi tanggung jawab daerah.
Di bidang fi skal, kebijakan desentralisasi diarahkan untuk memberikan diskresi yang besar dalam pengelolaan keuangan sejalan dengan pemberian tanggung jawab yang besar pula dalam pelayanan. Kewenangan daerah dalam perpajakan daerah terus ditingkatkan baik dari jenis pajak yang dapat dipungut oleh daerah maupun dalam penetapan tarif pajak. Kebijakan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengendalikan pengeluaran daerah dengan mengkaitkan pembayaran pajak dengan tingkat pelayanan di daerah. Selain itu, dana transfer yang disalurkan kepada daerah sebagian besar berupa dana alokasi umum. Kebijakan ini diambil agar daerah dapat mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap daerah.
Pengaturan mengenai hubungan Pusat dan Daerah baik terkait politik, pembagian urusan dan fi skal akan disesuaikan terus dengan arah memperkuat otonomi daerah. Saat ini RUU terkait Desa, Pilkada dan Pemerintahan Daerah sedang dibahas di DPR. Sementara itu, RUU terkait desentralisasi fi skal (pengganti Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004) juga akan disampaikan ke DPR untuk dibahas menjadi undang-undang. Undang-undang tersebut akan diarahkan untuk memperbaiki formulasi dana transfer dan pengendalian terhadap belanja APBD. Sistem pendanaan urusan akan diatur dengan jelas dan bahkan akan dikenakan sanksi bagi setiap level pemerintahan yang mengalokasikan dana untuk kegiatan di luar tanggung jawabnya. Pengalokasian dana perimbangan akan direformulasi dengan arah memberikan kepastian sumber pendanaan bagi daerah dan memberikan insentif bagi peningkatan kualitas pelayanan. Alokasi dana akan lebih diarahkan pada pencapaian standar pelayanan minimum pelayanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi dan air
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 5
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
minum. Kementerian dan Lembaga yang menangani urusan tersebut akan lebih berperan untuk menilai tingkat pencapaian pelayanan pada bidang tersebut dan penilaian tersebut menjadi dasar untuk mengalokasikan dana alokasi khusus.
Terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, dalam RUU tersebut juga diatur mengenai sistem penganggaran APBD yang harus sejalan dengan APBN. Target fi skal nasional harus dipertimbangkan dalam penyusunan APBD.
6
Bab II
Pengaturan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Hubungan keuangan Pusat dan Daerah timbul sebagai konsekuensi dari adanya pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan, antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Masing-masing tingkat pemerintahan berhak dan berkewajiban menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Seperti diketahui, urusan pemerintahan dibagi menjadi urusan absolut dan urusan konkuren. Urusan absolut yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fi skal nasional, dan agama merupakan urusan yang mutlak menjadi urusan Pusat. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Selain urusan mutlak tersebut, terdapat bagian dari urusan pemerintahan yang bersifat konkuren yang dapat dilakukan secara bersama antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Distribusi urusan pemerintahan antara tingkat pemerintahan tersebut dilakukan dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efi siensi. Ketiga level pemerintahan tersebut dapat saja melakukan kegiatan dalam satu urusan, namun berbeda dalam hal cakupan atau jenis kegiatannya. Dengan pertimbangan tersebut, Pemerintah Pusat berwenang untuk melaksanakan berbagai urusan di luar urusan absolut sepanjang urusan tersebut memiliki eksternalitas nasional dan internasional.
Urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pusat diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Pusat atau dapat dilimpahkan sebagian kepada perangkatnya di daerah atau kepada wakil pemerintah di daerah atau ditugaskan kepada pemerintah daerah atau kepala desa.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 7
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Walaupun semua urusan pemerintahan telah dibagi habis antar tingkat pemerintahan, namun terdapat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Sebagai Negara Kesatuan, tanggung jawab akhir terhadap semua urusan tersebut tetap berada pada tingkat Pusat. Terkait dengan tanggung jawab tersebut, Pemerintah Pusat berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK) yang menjadi acuan bagi Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan tersebut. Pemerintah Pusat juga akan melakukan monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi terhadap penyelenggaraan urusan tersebut.
Sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan tersebut, sumber-sumber keuangan dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagai daerah otonom, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi (local taxing power). Pemberian kewenangan untuk mengenakan pajak dan retribusi dimaksudkan agar daerah dapat menyediakan pelayanan sesuai dengan kemampuan masyarakatnya. Namun demikian, perbedaan dalam pertimbangan pembagian urusan pemerintahan dan kewenangan perpajakan mengakibatkan terjadinya ketimpangan vertikal antara Pusat dan Daerah. Artinya, pembagian urusan tidak selalu bisa diselaraskan dengan pembagian kewenangan perpajakan. Terdapat hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Pemerintah Pusat harus mengalokasi dana perimbangan kepada daerah untuk mendanai urusan-urusan yang menjadi tanggung jawab daerah. Selain pemberian dana perimbangan tersebut, Pemerintah pusat juga memberikan sumber pendanaan lainnya berupa hibah dan pinjaman.
Dalam rangka menjamin harmonisasi pengelolaan fi skal daerah dengan Pusat, pengaturan mengenai hubungan keuangan tidak saja mengatur pembagian sumber-sumber keuangan tetapi juga mengatur pengelolaan keuangan dan pengendalian terhadap belanja daerah. Selengkapnya mengenai kerangka pengaturan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat dilihat dalam gambar 2.1.
8
Gambar 2.1
Kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
2.1 Kewenangan Perpajakan dan Retribusi DaerahSalah satu esensi desentralisasi fi skal adalah adanya pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) dan retribusi. Kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut telah diatur terakhir dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang 28 Tahun 2009 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang secara efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Undang-undang tersebut merupakan langkah strategis untuk memperkuat desentralisasi yang lebih ideal. Beberapa perubahan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yaitu:
1. Kebijakan dalam penetapan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dari open-list system menjadi closed-list system. Salah satu
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 9
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
pertimbangan penerapan closed-list system adalah untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah yang wajib dibayar, serta meningkatkan efi siensi pemungutan PDRD. Dengan closed-list system, pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD yang tercantum dalam undang-undang. Dengan kebijakan ini, pemerintah daerah didorong untuk mengoptimalkan pemungutan PDRD dengan landasan hukum yang kuat dan tidak menciptakan jenis pungutan baru yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan dan retribusi daerah (local taxing empowerment), melalui beberapa kebijakan, yaitu:
a. memperluas basis PDRD yang sudah ada, seperti perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) yang meliputi kendaraan Pemerintah/TNI/Polri, Pajak Hotel termasuk persewaan ruangan, Pajak Restoran termasuk jasa boga/katering, dan Retribusi Izin Gangguan yang juga mencakup ketertiban lingkungan dan keselamatan kerja;
b. menambah jenis PDRD, seperti Pajak Rokok, Pajak Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Selain itu, khusus untuk jenis retribusi daerah masih dibuka peluang untuk ditambah jenisnya sesuai dengan kriteria yang diatur dalam undang-undang dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
c. menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, seperti PKB, BBN-KB, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), Pajak Hiburan, Pajak Parkir, dan Pajak Mineral Bukan
10
Logam dan Batuan. Dengan kebijakan ini, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah sekaligus sebagai kompensasi hilangnya penerimaan dari beberapa jenis pungutan daerah akibat dari adanya perubahan dari open-list system menjadi closed-list system; dan
d. memberikan diskresi penetapan tarif pajak. Pemerintah daerah diberikan kewenangan sepenuhnya untuk
menetapkan besaran tarif pajak daerah, namun tidak boleh melebihi tarif maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Kecuali Pajak Rokok, seluruh jenis pajak daerah dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 diberikan batas tarif maksimum. Kebijakan ini memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk memberikan insentif dan disinsentif kepada masyarakat berkaitan dengan pemungutan pajak daerah.
3. Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota yang lebih pasti, serta kebijakan earmarking untuk jenis pajak daerah tertentu. Kebijakan bagi hasil pajak ini mencerminkan bentuk tanggung jawab pemerintah provinsi untuk ikut serta menanggung beban biaya yang diperlukan oleh kabupaten/kota dalam melaksanakan fungsinya, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, dengan adanya kebijakan earmarking, dapat menjamin bahwa sebagian hasil pendapatan pajak daerah tertentu dialokasikan untuk mendanai kegiatan tertentu yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
4. Meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan dari sistem represif menjadi sistem preventif dan korektif.
Pelaksanaan pemungutan PDRD tersebut dilakukan melalui penetapan peraturan daerah (Perda). Setiap Rancangan Perda (Raperda) tentang PDRD, sebelum ditetapkan menjadi Perda harus dievaluasi terlebih
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 11
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
dahulu. Untuk Raperda Kabupaten/Kota dievaluasi oleh Gubernur dan untuk Raperda Provinsi dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri. Evaluasi Raperda yang dilakukan oleh Gubernur dan Menteri Dalam Negeri tersebut dilakukan dengan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
Setelah Raperda dievaluasi dan disampaikan kepada pemerintah daerah yang bersangkutan, Raperda disesuaikan dengan hasil evaluasi dan kemudian ditetapkan menjadi Perda. Perda yang sudah ditetapkan dapat dibatalkan oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum. Pembatalan Perda yang semula dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri diubah dengan Peraturan Presiden. Hal ini dilakukan dalam rangka memperkuat dasar hukum pembatalan Perda. Selain itu, terhadap pemerintah daerah yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang PDRD dapat dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fi skal, perubahan kebijakan tersebut diharapkan akan memberikan dampak positif khususnya bagi pemerintah daerah. Dampak positif yang diharapkan antara lain, pemerintah daerah dapat lebih menyesuaikan kebijakan perpajakan dengan kondisi daerah masing-masing, munculnya competitiveness antar pemerintah daerah untuk lebih menciptakan iklim investasi yang lebih baik, terjalinnya hubungan kemitraan yang lebih baik antara pemerintah daerah dengan pengusaha/investor dan masyarakat untuk memikul tanggung jawab pembangunan karena didukung dengan adanya kejelasan, kepastian dan kesederhanaan berbagai regulasi yang ada, serta pertumbuhan ekonomi daerah akan lebih cepat karena didorong dengan sumber pendanaan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana perekonomian.
12
2.1.1 Sinkronisasi Penetapan Tarif Pajak Daerah dengan Kebijakan Nasional
Pada prinsipnya diskresi daerah dalam perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terletak pada penetapan besarnya tarif dalam batas yang ditetapkan dalam undang-undang. Namun demikian, penetapan besaran tarif tersebut perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian daerah dan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, tarif PBB-KB ditetapkan maksimum 10 persen dari sebelumnya maksimum 5 persen. Pemerintah Provinsi diberikan kewenangan untuk menerapkan tarif PBB-KB sampai dengan 10 persen dalam Perda. Undang-undang tersebut juga memberikan kewenangan kepada provinsi untuk menetapkan tarif PBB-KB untuk bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan kendaraan umum paling sedikit 50% lebih rendah dari tarif PBB-KB untuk kendaraan pribadi. Dengan demikian, pengenaan tarif PBB-KB dapat dilakukan secara diskriminatif baik antar daerah maupun antar jenis penggunaan kendaraan bermotor. Pengenaan tarif diskriminatif antara kendaraan bermotor dilakukan dengan memperhatikan aspek kesiapan daerah untuk membedakan pengguna bahan bakar. Peluang pemberlakuan diskriminasi tarif tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing daerah, karena harga jual per liter BBM dapat berbeda antar daerah. Diskriminasi harga tersebut secara tidak langsung juga ditujukan agar pemerintah daerah dapat berperan optimal menurunkan konsumsi BBM, memperbaiki moda transportasi umum, mengurangi tingkat kemacetan, mengurangi polusi, meningkatkan produktivitas masyarakat dengan adanya penurunan kemacetan, serta untuk meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD). Bagi Pemerintah Pusat, kenaikan tarif PBB-KB tersebut untuk jangka panjang akan mengurangi beban subsidi dengan asumsi penggunaan BBM bersubsidi (bensin dan minyak solar) menurun akibat adanya kenaikan harga.
Dalam kondisi tertentu, sesuai Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengintervensi tarif PBB-
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 13
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
KB yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan presiden. Penetapan tarif oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif PBB-KB tersebut dilakukan dalam hal:
1. kenaikan harga minyak dunia melebihi 130 persen dari asumsi harga minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan. Bila harga minyak dunia sudah kembali normal, peraturan presiden dicabut dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
2. Stabilisasi harga BBM untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Ketentuan ini diperlukan untuk menghindari gejolak sosial akibat adanya kemungkinan perbedaan harga BBM antar daerah.
Berdasarkan data yang ada, dari 33 pemerintah provinsi yang telah menetapkan perda tentang PBB-KB, sebanyak 14 daerah menetapkan tarif sebesar 5 persen, 13 daerah sebesar 7,5 persen dan 6 daerah sebesar 10 persen. Data daerah yang telah menetapkan Perda tentang PBB-KB selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1
Tarif PBB-KB Sesuai Perda Provinsi
No. Provinsi Nomor dan Tahun Perda Tarif PBB-KB1 Aceh Perda 2 Tahun 2012 5%2 Sumatera Utara Perda 1 Tahun 2011 10%3 Sumatera Barat Perda 1 Tahun 2012 5%4 Riau Perda 8 Tahun 2011 5%5 Jambi Perda 6 Tahun 2011 7,5%6 Sumatera Selatan Perda 3 Tahun 2011 7,5%7 Bengkulu Perda 2 Tahun 2011 5%8 Lampung Perda 2 Tahun 2011 7,5%9 Kepulauan Bangka Belitung Perda 1 Tahun 2011 5%
14
10 Kepulauan Riau Perda 8 Tahun 2011 10%11 DKI Jakarta Perda 10 Tahun 2010 5%12 Jawa Barat Perda 13 Tahun 2011 5%13 Jawa Tengah Perda 2 Tahun 2011 5%14 Daerah Istimewa Yogyakarta Perda 3 Tahun 2011 5%15 Jawa Timur Perda 9 Tahun 2010 10%16 Banten Perda 1 Tahun 2011 5%17 Bali Perda 1 Tahun 2011 10%18 Nusa Tenggara Barat Perda 1 Tahun 2011 10%19 Nusa Tenggara Timur Perda 2 Tahun 2010 10%20 Kalimantan Barat Perda 8 Tahun 2010 7,5%21 Kalimantan Tengah Perda 7 Tahun 2010 7,5%22 Kalimantan Selatan Perda 5 Tahun 2011 7,5%23 Kalimantan Timur Perda 01 Tahun 2011 7,5%24 Sulawesi Utara Perda 7 Tahun 2011 5%25 Sulawesi Tengah Perda 1 Tahun 2011 7,5%26 Sulawesi Selatan Perda 10 Tahun 2010 7,5%27 Sulawesi Tenggara Perda 5 Tahun 2011 7,5%28 Gorontalo Perda 5 Tahun 2011 5%29 Sulawesi Barat Perda 01 Tahun 2011 7,5%30 Maluku Perda 05 Tahun 2010 7,5%31 Maluku Utara Perda 05 Tahun 2011 7,5%32 Papua Barat Perda 5 Tahun 2011 5%33 Papua Perda 4 Tahun 2011 5%
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 15
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
KEBIJAKAN TARIF PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR
Mengingat saat ini harga jual eceran jenis BBM tertentu, antara lain, bensin (gasoline) RON 88 dan minyak solar (gas oil) masih disubsidi oleh Pemerintah, peningkatan tarif PBB-KB yang ditetapkan oleh Provinsi di satu pihak akan meningkatkan PAD, namun di lain pihak dapat berdampak terhadap peningkatan subsidi BBM dalam kebijakan harga tidak seragam. Dalam rangka mengendalikan beban subsidi dan stabilisasi harga BBM, Pemerintah mengambil kebijakan mengubah tarif PBB-KB dengan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Tarif PBB-KB. Peraturan Presiden tersebut mengubah tarif PBB-KB yang telah ditetapkan dalam Perda Provinsi menjadi sebesar 5 persen dan berlaku sampai dengan tanggal 15 September 2012.
Dengan mempertimbangkan kondisi keuangan negara, ekonomi dunia, serta pertimbangan lainnya, Pemerintah mengambil kebijakan untuk menjaga stabilitas harga BBM bersubsidi agar tidak terjadi disparitas harga antar daerah akibat perbedaan tarif PBB-KB. Salah satu langkah yang dilakukan Pemerintah untuk menjaga stabilitas harga BBM bersubsidi tersebut adalah dengan menyampaikan himbauan kepada Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi di seluruh Indonesia agar tarif PBB-KB untuk BBM bersubsidi dapat ditetapkan sebesar 5 persen melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 973/2896/SJ tanggal 31 Juli 2012.
Meskipun demikian, Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan/regulasi yang selaras dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dengan mempertimbangkan dampak tarif PBB-KB terhadap fi skal, infl asi, dan sosial. Pemerintah juga perlu memberikan kepastian kepada Pemerintah Provinsi, penyedia BBM bersubsidi, dan masyarakat pengguna BBM bersubsidi terkait dengan kebijakan PBB-KB pasca berakhirnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2011.
2.1.2 Pengalihan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, seluruh kewenangan pengelolaan PBB-P2 diserahkan kepada pemerintah daerah. Dengan penyerahan ini, PBB-P2 diharapkan akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi pemerintah daerah, dibandingkan penerimaan jenis pajak daerah yang ada selama ini. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2014 pelaksanaan pemungutan PBB-P2 dialihkan ke pemerintah daerah. Beberapa daerah telah melaksanakan pemungutan
16
PBB-P2 tersebut, dan 2013 ini merupakan tahun terakhir untuk melakukan berbagai persiapan pemungutan pajak tersebut. Apabila daerah dalam tahun 2014 belum memungut PBB-P2 tersebut, maka pemerintah daerah tidak lagi mendapatkan bagi hasil PBB-P2 seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah Pusat sejak tahun 2014 tidak lagi berhak untuk memungutnya.
Agar kualitas layanan kepada Wajib Pajak dan stakeholders tetap terjaga selama masa peralihan, maka proses dalam masa peralihan menjadi hal yang paling penting untuk dipikirkan dan direncanakan secara cermat. Kunci sukses pelaksanaan devolusi PBB-P2 kepada Pemerintah Daerah, antara lain:
1. Proses peralihan kewenangan pemungutan PBB-P2 berjalan lancar (smooth) dengan harga (cost) yang minimal, baik untuk pihak yang mengalihkan maupun pihak yang menerima pengalihan;
2. Stabilitas penerimaan PBB-P2 bagi Pemerintah Daerah tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat ditekan seminimal mungkin sehingga daerah tidak banyak kehilangan penerimaan dengan adanya pengalihan tersebut;
3. Masyarakat sebagai Wajib Pajak tidak merasakan adanya perubahan pelayanan atau bahkan dapat merasakan adanya peningkatan yang signifi kan dalam hal kualitas dan kecepatan pelayanan.
Dalam rangka persiapan pengalihan kewenangan memungut PBB-P2, sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 213/ PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB-P2 sebagai Pajak Daerah, pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk mempersiapkan beberapa hal, yaitu Perda tentang PBB-P2, Peraturan Kepala Daerah mengenai standard operating procedure (SOP) pemungutan PBB-P2, sarana dan prasarana, kerjasama dengan pihak terkait, dan pembukaan rekening penampungan PBB-P2. Langkah persiapan tersebut perlu dilakukan sedini mungkin oleh pemerintah daerah.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 17
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Sampai dengan 18 Maret 2013, terdapat 284 daerah atau 57,7 persen dari jumlah daerah yang telah menetapkan Perda PBB-P2. Potensi PBB-P2 dari 284 daerah tersebut mencakup sekitar 93,9 persen dari total penerimaan PBB-P2 tahun 2011. Sementara itu, terdapat 107 daerah atau 21,8 persen dari jumlah daerah yang masih dalam proses menetapkan Perda PBB-P2. Dari keseluruhan daerah ini, potensi penerimaan PBB-P2 sekitar 4,2 persen dari total penerimaan PBB-P2 tahun 2011. Daerah lainnya sebanyak 101 daerah atau 20,5 persen dari jumlah daerah yang belum menyusun Perda PBB-P2 dengan potensi penerimaan PBB-P2 sekitar 1,9 persen dari total penerimaan tahun 2011.
Dari 284 daerah yang telah menetapkan Perda PBB-P2, terdapat 1 daerah, yaitu Kota Surabaya yang telah memungut PBB-P2 pada tahun 2011, 17 daerah pada tahun 2012, dan 105 daerah pada tahun 2013. Sementara itu, 161 daerah akan memungut pada tahun 2014. Data kesiapan daerah dalam memungut PBB-P2 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 2.2.
Tabel 2.2
Kesiapan Daerah dalam Memungut PBB-P2(Posisi: 18 Maret 2013)
No. Kesiapan Daerah
Jumlah Prosentase (%)
DaerahPotensi Berdasar-kan Penerimaan Tahun 2011 (Rp)
Jumlah Daerah
Potensi Berdasarkan Penerimaan Tahun 2011
1. Perda yang telah siap:
284 7.756.855.238.926 57,72 93,91
a. Memungut tahun 2011
1 498.640.108.488 0,20 6,04
b. Memungut tahun 2012
17 1.074.236.906.348 3,46 13,01
c. Memungut tahun 2013
105 4.905.980.775.043 21,34 59,41
d. Memungut tahun 2014
161 1.277.997.449.046 32,72 15,47
18
2. Raperda (dalam proses)
107 344.382.362.565 21,75 4,17
3. Belum menyusun Raperda
101 158.865.407.221 20,53 1,92
Total 492 8.260.103.008.712 100 100
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak
Dalam rangka mempercepat pengalihan PBB-P2 dan sekaligus sebagai bentuk pelaksanaan tanggung jawab moral, pada tahun 2011 Pemerintah bersama dengan DPR-RI telah melakukan kegiatan sosialisasi di 160 Kabupaten/Kota. Kegiatan sosialisasi ini akan terus dilakukan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 2012, kegiatan sosialisasi juga telah dilaksanakan di 160 Kabupaten/Kota. Sosialisasi tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan awareness dan memotivasi daerah agar segera menyiapkan fasilitas dan infrastruktur yang diperlukan untuk menerima pengalihan pemungutan PBB-P2. Di sisi lain, sosialisasi ini juga sebagai public announcement, khususnya kepada masyarakat dan aparat yang akan menangani pemungutan terkait dengan kebijakan pengalihan PBB-P2 sebagai pajak daerah.
Pelaksanaan sosialisasi ini melibatkan Komisi XI DPR-RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Materi yang disampaikan meliputi, fi losofi pengalihan, kebijakan pengalihan, teknis pemungutan PBB-P2, serta struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah terkait dengan persiapan pengalihan. Peserta sosialisasi meliputi, unsur DPRD Kabupaten/Kota, SKPD terkait, Camat, Kepala Desa/Lurah, Sekretaris Desa/Lurah, Kantor Pertanahan (BPN), KPP Pratama, Notaris/PPAT, akademisi, dan tokoh masyarakat setempat.
Selanjutnya, sebagai upaya pemerintah mendukung suksesnya pengalihan PBB-P2, khususnya terkait dengan penyiapan sumber daya manusia,
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 19
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, telah membuka program D1 Keuangan Spesialisasi Pajak Konsentrasi Penilai PBB-P2 dan D1 Keuangan Spesialisasi Pajak Konsentrasi operator console (OC). Pemerintah daerah dapat mengirimkan beberapa pegawai yang akan menangani pemungutan PBB-P2 untuk dididik dan dipersiapkan agar pada saatnya nanti bisa mengelola PBB-P2 dengan baik.
Sementara itu, pelaksanaan pemungutan BPHTB menjadi pajak daerah yang secara efektif telah berlaku sejak 1 Januari 2011, masih terdapat sejumlah pemerintah daerah yang belum menetapkan Perda BPHTB karena berbagai kendala dan pertimbangan. Kendala dan pertimbangan yang dihadapi tersebut, antara lain, pemerintah daerah mengambil kebijakan untuk menunda menerbitkan Perda karena tidak ada atau kecilnya potensi penerimaan BPHTB, proses pembahasan Raperda dengan DPRD yang berlarut-larut karena perbedaan kepentingan politik. Selain itu, beberapa kepala daerah sedang tersangkut masalah hukum, persiapan pemilihan kepala daerah, serta masa transisi pergantian kepala daerah juga mengakibatkan proses penyusunan Perda BPHTB menjadi terhambat.
Berdasarkan data sampai dengan 18 Februari 2013, terdapat 482 daerah atau 98,0 persen dari jumlah daerah yang telah menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi BPHTB sekitar 99,9 persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Sementara itu, terdapat 10 daerah atau 2,0 persen dari jumlah daerah yang masih dalam proses menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaan BPHTB sekitar 0,000002 persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Data daerah yang belum menetapkan Perda BPHTB selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 2.3.
20
Tabel 2.3
Pemerintah Daerah yang Belum Menetapkan Perda BPHTB(Posisi: 18 Maret 2013)
No. Daerah ProvinsiProgres/Status Raperda
Sudah Dievaluasi Menkeu
Dibahas di DPRD
Dibahas di Eksekutif
1 Kab. Kep. Aru Maluku √
2 Kab. Sarmi Papua √
3 Kab. Pegunungan Bintang Papua √
4 Kab. Tolikara Papua √
5 Kab. Memberamo Tengah Papua √
6 Kab. Nduga Papua √
7 Kab. Puncak Papua √
8 Kab. Dogiyai Papua √
9 Kab. Intan Jaya Papua √
10 Kab. Deiyai Papua √
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2.1.3 Penambahan Jenis Retribusi Daerah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, kewenangan penetapan PDRD bersifat closed-list system. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah, masih dibuka peluang untuk dapat menambah jenis retribusi daerah selain yang telah ditetapkan undang-undang sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Dibukanya peluang untuk menambah jenis retribusi daerah dimaksud dalam rangka mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah kepada daerah. Selain itu, peluang untuk menambah jenis retribusi daerah ini juga dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pemerintah. Salah satu permasalahan yang menjadi isu nasional adalah kemacetan lalu lintas di berbagai kota besar.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 21
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Kemacetan lalu lintas terutama di kota-kota besar bukan merupakan masalah yang berdiri sendiri. Pertumbuhan kendaraan bermotor merupakan dampak langsung dari kemajuan ekonomi masyarakat. Sejalan dengan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tersebut, kepemilikan kendaraan pribadi terus meningkat. Pada kondisi demikian, jumlah kendaraan yang beredar di jalan makin bertambah, sementara volume jalan tidak tumbuh secara signifi kan sehingga mengakibatkan tingkat kemacetan yang semakin tinggi. Kemacetan yang terjadi secara langsung akan menyebabkan dampak negatif lainnya, yaitu meningkatnya tingkat pencemaran/polusi udara dan suara, kerugian ekonomi, gangguan kesehatan karena kualitas udara yang semakin buruk, pemborosan konsumsi BBM dan lain sebagainya.
Pemecahan masalah kemacetan dengan menambah kapasitas jalan atau membangun jalan-jalan baru di kota-kota besar tidak mudah untuk dilakukan, karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan lahan yang akan digunakan makin terbatas. Salah satu instrumen yang akan diaplikasikan guna mengatasi permasalahan kemacetan adalah dengan menerapkan electronic road pricing (ERP). Pengenaan ERP diharapkan akan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas dan hasil penerimaannya dapat di-earmark untuk memperbaiki infrastruktur serta sistem angkutan massal.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, penerbitan perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam Provinsi merupakan urusan Provinsi dan penerbitan perpanjangan IMTA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota merupakan urusan Kabupaten/Kota. Dalam rangka melaksanakan prinsip money follows function, penerbitan perpanjangan IMTA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam Provinsi dan penerbitan perpanjangan IMTA yang lokasi kerjanya dalam
22
wilayah kabupaten/kota yang sudah menjadi urusan Daerah juga disertai dengan pendanaannya. Hal ini dapat dilihat dengan kebijakan dihapusnya biaya kompensasi atas pelayanan penerbitan perpanjangan IMTA yang sudah menjadi urusan pemerintah daerah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Sejalan dengan pemberian kewenangan untuk menambah jenis retribusi daerah selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
RETRIBUSI PENGEDALIAN LALU LINTAS DAN RETRIBUSI PERPANJANGAN IMTA
1. Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
a. Objek Retribusi adalah penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh kendaraan bermotor perseorangan dan barang, kecuali oleh:
• sepeda motor;
• kendaraan penumpang umum;
• kendaraan pemadam kebakaran; dan
• ambulans.
b. Kriteria ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu yang dapat dipungut retribusi, yaitu:
• Memiliki 2 jalur jalan yang masing-masing jalur memiliki paling sedikit 2 (dua) lajur; dan
• Tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum massal dalam trayek.
c. Kriteria tingkat kepadatan lalu lintas:
• Memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,9 (nol koma sembilan); dan
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 23
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
• kecepatan rata-rata sama dengan atau kurang dari 10 (sepuluh) km/jam; dan berlangsung secara rutin pada setiap hari kerja.
d. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan kendaraan perseorangan atau kendaraan barang pada ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu.
e. Golongan Retribusi adalah Retribusi Jasa Umum.
f. Penerimaan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas diperuntukkan bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kegiatan peningkatan kinerja lalu lintas paling sedikit meliputi:
• perbaikan pada jalan yang dilakukan pembatasan;
• pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan pada kawasan, koridor, atau ruas jalan tertentu yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan di ruas jalan dan/atau persimpangan;
• pemeliharaan dan pengembangan teknologi untuk kepentingan lalu lintas; dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Kegiatan peningkatan pelayanan angkutan umum paling sedikit meliputi:
• penyediaan dan pemeliharaan lajur, jalur, atau jalan khusus untuk angkutan umum massal;
• penyediaan dan pemeliharaan sarana dan fasilitas pendukung angkutan umum massal; dan
• penerapan dan pengembangan teknologi informasi untuk kepentingan pelayanan angkutan umum massal.
2. Retribusi Perpanjangan IMTA
a. Objek Retribusi adalah pemberian Perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja tenaga kerja asing yang telah memiliki IMTA dari Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan atau Pejabat yang ditunjuk, tidak termasuk perpanjangan IMTA bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
b. Subjek Retribusi adalah badan selaku pemberi kerja tenaga kerja asing yang memperoleh Perpanjangan IMTA dari Pemerintah Daerah.
c. Golongan Retribusi adalah Retribusi Perizinan Tertentu.
d. Besarnya tarif Retribusi Perpanjangan IMTA ditetapkan paling tinggi sebesar tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian di bidang ketenagakerjaan.
24
2.2 Dana Perimbangan
Dana Perimbangan diberikan kepada Daerah sebagai konsekuensi logis atas adanya pembagian kewenangan antara tingkat pemerintahan, Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Implikasi dari pembagian kewenangan tersebut adalah terjadinya ketimpangan fi skal antar tingkat pemerintahan. Ketimpangan tersebut terjadi karena perbedaan dalam kapasitas fi skal dan perbedaan dalam kebutuhan fi skal. Dengan pertimbangan efi siensi dan stabilitas fi skal pemerintah pusat biasanya menguasai sumber-sumber penerimaan pajak yang besar, daerah hanya menguasai sumber-sumber penerimaan yang relatif kecil. Sementara itu, daerah dengan pertimbangan lebih dekat dengan masyarakat mempunyai tanggungjawab yang lebih besar dalam penyediaan pelayanan. Perbedaan dalam potensi ekonomi, karakteristik antar daerah juga menyebabkan perbedaan dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, di dalam negara yang menganut desentralisasi terdapat perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan atau terdapat sistem transfer dari pusat ke daerah. Dana perimbangan berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
2.2.1. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan presentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil dan untuk pemerataan. DBH tersebut digunakan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA).
e. Penerimaan Retribusi Perpanjangan IMTA diutamakan untuk mendanai kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal.
f. Ketentuan mengenai Retribusi Perpanjangan IMTA sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 25
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
DBH Pajak
Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, penerimaan pajak yang dibagihasilkan kepada pemerintah daerah sebagai DBH pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 WPOPDN dan Pasal 21. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sejak tahun 2011 BPHTB telah menjadi pajak daerah sehingga tidak lagi dibagihasilkan kepada daerah. Di samping PBB dan PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN, berdasarkan ketentuan Pasal 66A Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, sejak tahun 2008 penerimaan negara dari cukai hasil tembakau termasuk penerimaan negara yang dibagihasilkan ke daerah.
Persentase bagian provinsi dan kabupaten/kota dari PBB, PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Besaran persentase pembagian dapat dilihat dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4
Jenis dan Persentase DBH Pajak
Jenis Pusat Provinsi Kab./Kota Keterangan
1. PBB 10% 16,2% 64,8%
9% biaya pemungutan dibagi antara Pusat, provinsi dan kab/kota, 10 % bagian pusat dikemba-likan 6,5% secara merata ke seluruh kab/kota dan 3,5% sisanya sebagai in-sentif
2. PPh Pasal 21, Pasal 25/29 80% 8% 12%
Bagian Kab/Kota 12% dibagi antara Kab/Kota WP terdaftar 8,4%, 3,6% bagi rata dalam provinsi bersangkutan
26
3. CHT 98% 0,6% 1,4%
Pembagian per Provinsi berdasarkan penerimaan cukai dan produksi tem-bakau, Pembagian per Kab/Kota dilakukan oleh Provinsi
PBB sektor pertambangan migas yang dikenakan atas tubuh bumi dan PBB sektor pertambangan Migas perairan (offshore) dibagi kepada seluruh daerah termasuk kepada daerah bukan penghasil Migas. Pembagian tersebut dilakukan berdasarkan formula tertentu yang tidak saja mempertimbangkan daerah penghasil Migas, tetapi juga untuk pemerataan keuangan antar daerah. PBB sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan dan kehutanan dibagi berdasarkan realisasi penerimaan dari daerah yang bersangkutan.Bagian pemerintah pusat dari PBB sebesar 10% dibagihasilkan lagi kepada daerah dengan ketentuan 6,5% dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota dan 3,5% dibagikan sebagai insentif bagi kabupaten/kota yang penerimaan PBB sektor perkotaan dan pedesaannya melebihi target penerimaan. Pemberian insentif ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Pusat (Kementerian Keuangan) telah melibatkan kabupaten/Kota di Provinsi DKI Jakarta dalam pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (BP PBB) adalah dana yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan operasional pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan pemerintah daerah. Biaya Pemungutan PBB dibagi antara Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, dengan Pemerintah Daerah. Pembagiannya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 83/KMK.04/2000 tentang Pembagian dan Penggunaan Biaya Pemungutan PBB.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 27
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Imbangan pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan antar Direktorat Jenderal Pajak dan pemerintah daerah didasarkan pada besar atau kecilnya peranan masing-masing dalam melakukan kegiatan operasional pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.
Besarnya imbangan pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5
Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunanantara Pusat dengan Daerah
No Sektor Pusat Daerah1 Perdesaan 10 902 Perkotaan 20 803 Perkebunan 60 404 Perhutanan 65 355 Pertambangan 70 30
Sementara untuk imbangan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota diatur oleh masing-masing gubernur yang ditetapkan dalam peraturan gubernur. BP PBB merupakan bagian dari Dana Perimbangan, dengan demikian BP PBB dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan yang menjadi urusan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
28
PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 tidak sepenuhnya dibagihasilkan kepada daerah kabupaten/kota penghasil. Sebesar 3,6% dari penerimaan PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 dari daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota yang ada di provinsi yang bersangkutan. PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi kerja (bendahara di Pemerintahan) dimana karyawan yang bersangkutan bekerja, tidak dikenakan berdasarkan domisili. Demikian juga dengan karyawan swasta PPh Pasal 21 dikenakan dan diadministrasikan di wilayah daerah tempat kerja.
Perhitungan DBH PBB migas dan panas bumi
Perhitungan alokasi DBH PBB migas dan panas bumi ditatausahakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. PBB migas onshore dan panas bumi ditatausahakan berdasarkan letak dan kedudukan objek pajak dan dibagi by origin;
2. PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi ditatausahakan per kabupaten/kota dengan menggunakan formula dan dibagi sesuai persentase DBH PBB.
dimana perhitungan PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi per kabupaten/kota dari PBB migas yang ditanggung Pemerintah ditetapkan
– 10% menggunakan formula
– 90% dibagi secara proporsional sesuai realisasi PBB migas tahun anggaran sebelumnya.
Formula yang digunakan untuk menghitung PBB migas yang ditanggung pemerintah:
PBB migas yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi menggunakan formula:
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 29
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Sementara itu, pembagian DBH CHT kepada kabupaten/kota sebesar 1,4% dapat dijabarkan sebesar 0,8% dibagikan kepada kabupaten/kota penghasil dan 0,6% dibagikan kepada kabupaten/kota lainnya. Pembagian lebih lanjut kepada kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.
Perencanaan dan Penganggaran
Berdasarkan PMK Nomor 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah, indikasi kebutuhan dana dan rencana dana pengeluaran untuk bagi hasil disusun oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan berdasarkan perkiraan penerimaan PBB, PPh dan CHT setelah berkoordinasi dengan Ditjen Pajak, Ditjen BC, dan BKF. Indikasi kebutuhan dana DBH Pajak dan CHT digunakan sebagai dasar penyusunan indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara, sedangkan rencana dana pengeluaran DBH Pajak dan CHT digunakan sebagai dasar penyusunan rancangan Undang-Undang mengenai APBN.
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN
Pajak penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh WPOP dalam negeri. Pajak Penghailan Pasal 21 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh Pemotong Pajak, yaitu pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggaraan kegiatan. Pelaporan penerimaan PPh Pasal 21 dilakukan berdasarkan tempat kerja
PPh Pasal 25 terkait dengan Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas atau memperoleh penghasilan teratur lainnya yang bersifat tidak fi nal yang diangsur setiap bulannya. Sedangkan PPh Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah disetor sendiri. Pencatatan penerimaan PPh Pasal25/29 berdasarkan asas domisili wajib pajak.
30
Penetapan Alokasi
Perhitungan alokasi DBH Pajak dan CHT dilakukan setelah ditetapkannya pagu penerimaan pajak dan CHT tersebut dalam APBN. Berdasarkan PMK No. 165/PMK.07/2012, perhitungan alokasi dilakukan berdasarkan data rencana penerimaan PBB dan PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 untuk alokasi sementara DBH Pajak dan data rencana penerimaan CHT untuk alokasi sementara DBH CHT. Alokasi sementara tersebut merupakan dasar untuk penyaluran sampai dengan triwulan III. Mengingat penyaluran DBH dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan maka pada akhir tahun ditetapkan alokasi defi nitif berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PBB, PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29, dan CHT. Alokasi defi nitif tersebut merupakan dasar untuk penyaluran pada triwulan terakhir. Penyesuaian terhadap alokasi defi nitif tersebut dilakukan setelah realisasi penerimaan PBB, PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29, dan CHT ditetapkan dan telah diaudit oleh BPK.
Alokasi sementara DBH PBB terdiri dari DBH PBB bagi rata, insentif pemungutan PBB (mulai tahun 2013), DBH PBB bagian daerah, dan biaya pemungutan PBB. Sementara itu, alokasi defi nitif PBB terdiri dari DBH PBB bagi rata, insentif PBB, bagian daerah sektor Pertambangan Migas dan Panas Bumi dan biaya pemungutan sektor Migas dan Panas Bumi tersebut. Alokasi defi nitif bagian daerah dari sektor lainnya tidak ditetapkan karena telah disalurkan secara langsung di masing-masing daerah.
Alokasi sementara PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 ditetapkan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran berjalan berdasarkan pagu rencana penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBN. Sedangkan alokasi defi nitif ditetapkan paling lambat bulan Oktober tahun anggaran berjalan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 tahun yang bersangkutan.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 31
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Penetapan alokasi oleh DJPK dalam Peraturan Menteri Keuangan dilakukan setelah data rencana dan prognosa penerimaan disampaikan oleh Ditjen Pajak. Dalam hal rencana penerimaan yang disampaikan Ditjen Pajak sangat berbeda dengan data realisasi tahun sebelumnya, alokasi sementara DBH dapat disesuaikan dengan realisasi penerimaan tahun sebelumnya. Apabila data prognosa penerimaan tidak disampaikan oleh Ditjen Pajak, maka penyaluran DBH untuk triwulan menggunakan alokasi sementara.
Alokasi DBH CHT sementara ditetapkan berdasarkan rencana penerimaan CHT yang ditetapkan dalam APBN dan alokasi defi nitif ditetapkan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan CHT yang disampaikan oleh Ditjen Bea Cukai. Alokasi DBH CHT provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan ketetapan pembagian DBH CHT per kabupaten/kota oleh gubernur.
Tabel 2.6
Penyaluran DBH Pajak dan CHT
I Dana Bagi Hasil Pajak A DBH PBB a. DBH PBB Bagian Pusat
(10%)Tahap I : 25%; Tahap II : 50%; dari alo-kasi sementara Tahap III : selisih alokasi defi nitif dengan yang telah disalurkan
b. DBH PBB Bagian Daerah (81%)
Setiap minggu yaitu sebesar 81% (64,8 % untuk Kabupaten/Kota; 16,2% untuk Provinsi) dari realisasi penerimaan se-cara mingguan
c. DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah (9%)
Setiap minggu, yaitu sebesar persen-tase yang ditetapkan untuk Provinsi dan Kabupaten/kota sesuai dengan realisasi penerimaan secara mingguan
d. DBH PBB & Biaya Pemun-gutan DBH PBB Sektor Pertambangan Migas & Panas Bumi
Setiap triwulan sebesar 25% (Maret, Juni, September, Desember); dari aloka-si sementara;Triwulan IV : selisih alokasi defi nitif dengan yang telah disalurkan
B DBH PPh
32
a. DBH PPh Pasal 21 Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; dari alokasi semen-tara; Triwulan IV : selisih alokasi defi nitif dengan yang telah disalurkan
b. DBH PPh Pasal 25/29 Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; dari alokasi semen-tara; Triwulan IV : selisih alokasi defi nitif dengan yang telah disalurkan
II DBH Cukai Hasil Tembakau Triwulan I : 20%; Triwulan II & Triwulan III: 30% ; dari alokasi sementara; Triwu-lan IV : selisih alokasi defi nitif dengan yang telah disalurkan
Penyaluran DBH PBB dan Biaya Pemungutan PBB sektor pertambangan migas dan panas bumi yang dilaksanakan setiap triwulan sebesar 25% dilakukan oleh pemerintah pusat melalui pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. Demikian juga dengan penyaluran PBB bagi rata, insentif, DBH PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29, dan DBH CHT dilaksanakan dari Pusat melalui pemindahbukuan. Khusus untuk PBB sektor Perdesaan, Perkotaan, Perkebunan, dan Perhutanan, termasuk biaya pungut yang merupakan bagian daerah disalurkan setiap minggu di masing-masing daerah.
Penyaluran DBH CHT triwulan IV dilakukan setelah diterimanya laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT semester I tahun anggaran berjalan. Apabila laporan yang dipersyaratkan belum disampaikan maka penyaluran triwulan IV akan ditunda sampai dengan diterimanya laporan realisasi penggunaan DBH CHT sampai dengan akhir tahun berjalan.
DBH SDA
Dana Bagi hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) merupakan dana yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA). Jenis dan besaran persentase bagian daerah dari PNBP SDA tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. DBH SDA bersumber dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi. DBH SDA diberikan
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 33
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
kepada daerah kabupaten/kota penghasil dan daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Provinsi Papua dan Aceh selain mendapatkan bagi hasil yang sama seperti provinsi lainnya, juga mendapatkan tambahan bagi hasil minyak dan gas bumi masing-masing sebesar 55% dan 40%. Berikut tabel mengenai jenis dan porsi masing-masing jenis DBH SDA.
Tabel 2.7
Jenis dan Porsi Bagi Hasil DBH SDA
Jenis Pusat Provinsi Kab./KotaKab/Kota
dalam satu Provinsi
(bagi rata)
Tamba-han Khusus
Papua, Papua Barat
dan AcehKehutanan- IIUPH 20% 16% 64% -
- PSDH 20% 16% 32% 32%
- Dana Reboisasi 60% - 40%
Pertambangan Umum- Landrent 20% 16% 64%
- Royalti 20% 16% 32% 32%
- Perikanan 20% - 80%
Minyak Bumi 55%
- Wilayah Kab/Kota 84,5% 3,1% 6,2% 6.2%
- Wilayah Provinsi 5,17% 10,33%
Gas Bumi 40%
- Wilayah Kab/Kota 69,5% 6,1 12,2% 12.2%
- Wilayah Provinsi 10,17% 20,33%
Panas Bumi 20% 16% 32% 32%
Tarif dan dasar perhitungan PNBP yang dibagihasilkan kepada daerah sangat bervariasi dan diatur dalam peraturan pemerintah. Khusus penerimaan Negara dari pertambangan migas, bagian daerah dihitung setelah memperhitungkan pajak dan pungutan lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya, jenis dan tarif PNBP yang dibagihasilkan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
34
Tabel 2.8
Jenis dan Tarif PNBP yang Dibagihasilkan
Jenis Dasar Hukum Dasar Perhitungan Pungutan Tarif Keterangan
1. Kehutanan
- IIUPH PP 92 Tahun 1999 Luas areal Hutan Rp/ha
• Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/perpanjangan/HPHTI).
• IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu ber-lakunya HPH (atau sekitar 20 tahun)
- PSDH
• PP 6/1999
• KepMen Kehutanan dan Perkebunan Nomor 859/Kpts-II/1999
Volume kayu Rp/m3
• Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu.
• PSDH) dikenakan terha-dap pemegang HPH, pe-megang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin Peman-faatan Kayu (IPK).
- Dana Reboisasi PP 92/1999 Volume kayu/bahan baku serpih USD/m3
• DR dihitung dengan men-jumlahkan penerimaan kayu bulat dan/atau bahan baku serpih yang berasal dari HPH sesuai dengan SAKB atau DKB dengan mengalikan tariff DR yang berlaku
2. Pertambangan Umum:
- Landrent PP 9/2012Luas Wilayah Ijin
Usaha Pertambangan (ha)
USD
- Royalti PP 9/2012 Jumlah Produksi yang terjual
Persentase Harga Jual
(USD)
3. Perikanan
• PP 19/2006
• KEPMEN KP No.22/MEN/2004
Tonase Kapal Rp/GT
4. Minyak Bumi UU 21/2001PNBP dihitung dari hasil usaha minyak bumi dengan porsi pembagian pusat 84,5 %, Daerah 15,5 %
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 35
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
5. Gas Bumi UU 21/2001PNBP dihitung dari hasil us-aha gas bumi dengan porsi pembagian Pusat 69,5%, Daerah 30,5%
6. Panas Bumi UU 27/2003 Jumlah listrik yang terjual (kwh) Rp
- Setoran bagian Pemerintah
Penerimaan bersih usaha (Net Operating
Income/NOI)34%
Dikenakan atas kontrak pen-gusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum ditetapkan UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
- Iuran Tetap Dikenakan atas kontrak pen-gusahaan panas bumi yang ditandatangani setelah ber-lakunya UU No. 27 Tahun 2003.
- Iuran Produksi
Perencanaan, Penganggaran dan Penetapan Alokasi
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DBH SDA serta Rencana Dana Pengeluaran DBH SDA setelah berkoordinasi dengan Kementerian Teknis yang mengelola SDA tersebut terlebih dahulu. Masing-masing indikasi kebutuhan dana dan rencana dana pengeluaran disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran minggu pertama bulan Maret dan bulan Juni tahun anggaran sebelumnya untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara dan sebagai dasar penyusunan Rancangan Undang-undang mengenai APBN.
Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam Undang-undang APBN, Menteri Teknis menerbitkan surat penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian daerah penghasil PNBP SDA tahun anggaran bersangkutan dan menyampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan. Berdasarkan surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil PNBP SDA, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi DBH SDA untuk provinsi, kabupaten, dan kota dan dapat dilakukan rasionalisasi dengan mempertimbangkan realisasi PNBP SDA per daerah paling kurang 3 (tiga) tahun terakhir. Sebagaimana tercantum dalam PMK Nomor 165/
36
PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah perhitungan perkiraan alokasi DBH SDA dapat ditetapkan di bawah pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN. Selanjutnya Kementerian Keuangan c.q. Ditjen Perimbangan Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya Surat Penetapan tersebut.
Jika terdapat perubahan terhadap target penerimaan SDA dalam APBN Perubahan, maka Kementerian Teknis menyampaikan kembali Surat Ketetapan tentang Perubahan Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Perhitungan Bagian Daerah Penghasil DBH SDA paling lambat bulan Oktober tahun anggaran bersangkutan. Berdasarkan perubahan tersebut, Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan perubahan terhadap PMK Perkiraan Alokasi DBH SDA.
PMK Alokasi DBH SDA ditetapkan setiap akhir tahun anggaran yang merupakan realisasi penyaluran satu tahun (triwulan I s.d IV). Selain itu PMK Alokasi memuat adanya Dana Cadangan DBH SDA untuk menampung perkiraan realisasi penerimaan SDA pada tahun anggaran bersangkutan yang belum dibagihasilkan sampai dengan penyaluran triwulan IV tahun bersangkutan. Besaran Dana Cadangan DBH SDA adalah sebesar selisih antara Pagu APBN/APBN Perubahan dengan realisasi penyaluran triwulan I s.d IV atau sebesar perkiraan penerimaan SDA sampai dengan akhir tahun anggaran. Besaran alokasi yang terdapat dalam PMK Alokasi DBH SDA merupakan realisasi DBH SDA yang dibagihasilkan dan di beberapa daerah besaran alokasi disertai dengan lebih salur yang terjadi pada periode penyaluran sebelumnya.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 37
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Proses penetapan perkiraan alokasi DBH SDA Migas
a. Besaran asumsi dasar prognosa lifting, kurs Rupiah terhadap Dollar, dan harga minyak Indonesia (ICP) ditetapkan dalam APBN oleh Pemerintah dan DPR;
b. Berdasarkan asumsi tersebut Menteri ESDM menetapkan daerah penghasil dan dasar perhitungan DBH SDA Migas. Ketetapan tersebut paling lambat 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya ketetapan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan. Dalam hal lapangan migas tersebut berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil berdasarkan pertimbangan menteri teknis paling lambat 60 hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis. Ketetapan Menteri Dalam Negeri tersebut menjadi dasar perhitungan lifting per daerah penghasil SDA Migas oleh Menteri ESDM.
c. Bersamaan dengan proses tersebut, Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas, dulu BP Migas) melakukan perhitungan perkiraan Cost Recovery, Gross Revenue, First Trance Petroleoum (FTP), dan Bagian Pemerintah per KKKS;
d. Berdasarkan ketetapan Menteri ESDM tersebut, Direktur Jenderal Anggaran melakukan perhitungan perkiraan faktor-faktor pengurang (Domestic Market Obligation/DMO, Fee usaha Hulu Migas, PPN, PBB sektor pertambangan Migas, PDRD). Hasil perhitungan PNBP SDA Migas per KKKS tersebut disampaikan kepada Dirjen Perimbangan Keuangan;
e. Berdasarkan Ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Direktur Jenderal Anggaran tersebut, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas yang kemudian diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas paling lambat 30 hari setelah diterimanya ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran.
38
Mekanisme perhitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas
a. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan grouping per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) berdasarkan data Prognosa lifting dalam surat Keputusan Menteri ESDM tentang penetapan daerah penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data perkiraan PNBP per KKKS yang disampaikan Ditjen Anggaran. Lifting yang tersusun perdaerah penghasil per KKKS pada data Ditjen migas dikonsolidasi dengan data lifting per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan data lifting per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil;
b. data hasil grouping tersebut di persentasekan dengan total lifting per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) sehingga didapat rasio lifting per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) perdaerah penghasil. Rasio lifting dimaksud untuk mengetahui porsi lifting yang dihasilkan KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) pada daerah penghasil tertentu;
c. rasio tersebut dikalikan dengan PNBP per KKKS (sebagaimana yang tercantum dalam surat Dirjen Anggaran tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk mengetahui PNBP per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil;
d. PNBP per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) per daerah penghasil yang berada pada daerah penghasil yang sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil;
e. PNBP per daerah penghasil dihitung porsi DBH-nya untuk bagian Pemerintah, daerah penghasil, dan daerah pemerataan berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah;
f. porsi DBH dari masing-masing daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga didapat perkiraan alokasi DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota untuk selanjutnya ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan.
Data yang digunakan sebagai dasar perhitungan perkiraan Alokasi DBH SDA Migas adalah:
1. Prognosa lifting per daerah penghasil berdasarkan surat Keputusan Menteri Energi dan sumber Daya Mineral tentang Penetapan Daerah Penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas;
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 39
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
2. Surat Dirjen Anggaran, Kementerian Keuangan, tentang Perkiraan PNBP Migas per KKKS (per jenis minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP).
Jika terdapat perubahan terhadap asumsi makro dalam APBN dan perubahan target penerimaan SDA Migas dalam APBN Perubahan maka Kementerian ESDM menyampaikan kembali Surat Ketetapan tentang Perubahan Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Perhitungan Bagian Daerah Penghasil DBH SDA Migas dan Surat Dirjen Anggaran tentang data perkiraan PNBP Migas per KKKS paling lambat bulan Oktober tahun anggaran bersangkutan. Berdasarkan perubahan tersebut Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Kuangan melakukan perubahan terhadap Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas.
Realisasi PNBP SDA Migas dihitung berdasarkan lifting dari bulan Desember tahun sebelumnya sampai dengan bulan November tahun berjalan agar hasil perhitungan PNBP tersebut dapat disalurkan DBH-nya pada bulan Desember. Namun kenyataannya sampai dengan bulan Desember pihak penyedia data PNBP Migas belum siap menyediakan data, baru kemudian pada awal Februari data realisasi PNBP satu tahun dapat disediakan. Untuk itu diambil kebijakan untuk mengalihkan sisa anggaran tersebut ke Rekening Dana Cadangan Menteri Keuangan pada Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Pengelola Rekening Kas Negara). Dengan demikian realisasi PNBP Migas yang dibagikan ke daerah tetap meliputi waktu 12 bulan (sebagai contoh: realisasi Desember 2011 s/d Agustus 2012 yang disalurkan pada Desember 2012, dan realisasi September s/d November 2012 yang disalurkan pada Pertengahan Februari 2013).
40
Tabel 2.9
Periode Lifting dan Penyaluran DBH SDA Migas
Triwulan PeriodeLifting
WaktuPenyaluran
Triwulan IMARET
20% Perkiraan Alokasi,tidak memperhitungkan realisasi PNBP
Triwulan II Desember Januari Februari
JUNI
20% Perkiraan Alokasi,tidak memperhitungkan realisasi
PNBP
Triwulan III Maret April MeiSEPTEMBER
Realisasi dari lifting Des. s/d Meidikurangi penyaluran DBH Tw. I dan II
Triwulan IV Juni Juli AgustusDESEMBER
Realisasi dari lifting Des. s/d Agust. dikurangi penyaluran DBH Tw. I sd III
Dana Cadangan September Oktober November
FEBRUARI
Realisasi dari lifting Des. s/d Novdikurangi penyaluran DBH Tw. I sd IV
PMK Alokasi DBH SDA Migas ditetapkan setiap akhir tahun anggaran yang merupakan realisasi penyaluran satu tahun (triwulan I s.d IV).
Penyaluran
Berdasarkan PMK No.06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, penyaluran DBH SDA dilakukan secara triwulanan dengan rincian sebagai berikut:
Triwulan I (Maret) sebesar 20% PMK Perkiraan Alokasi untuk MIGAS, PERTUM dan PANAS BUMI serta 15 % PMK Perkiraan Alokasi untuk PERIKANAN dan KEHUTANAN
Triwulan II (Juni) sebesar 20% PMK Perkiraan Alokasi untuk MIGAS dan PANAS BUMI serta 15 % PMK Perkiraan Alokasi untuk PERTUM, PERIKANAN dan KEHUTANAN
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 41
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Triwulan III (September) sebesar realisasi s.d triwulan III dikurangi penyaluran triwulan I dan II
Triwulan IV (Desember) sebesar realisasi s.d triwulan IV dikurangi penyaluran s.d triwulan III
Dana Cadangan (Februari) sebesar Pagu PMK Alokasi – realisasi s.d triwulan IV
Gambar 2.2
Tahap Penyaluran DBH SDA
Penyaluran DBH SDA sesuai dengan PMK No.06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Dae rah bahwa penyaluran triwulan I dan triwulan II dilakukan berdasarkan prosentase dari pagu PMK Perkiraan Alokasi DBH SDA, masing-masing pada bulan Maret dan Juni tahun berjalan. Dalam rangka penyaluran triwulan III dan triwulan IV dilakukan rekonsiliasi DBH SDA antara pemerintah pusat dengan daerah penghasil, kecuali untuk DBH SD Perikanan. Penyaluran triwulan III dilaksanakan pada bulan September sedangkan penyaluran triwulan IV dilakukan pada bulan Desember tahun anggaran berjalan.
TW I
Tw II
Tw III
Tw IV
Dana Cadangan
42
Berdasarkan UU 33 Tahun 2004 bahwa penyaluran DBH SDA dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan SDA-nya, maka mekanisme Dana Cadangan dilakukan untuk menampung penerimaan yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum dibagihasilkan ke daerah. Penyaluran Dana Cadangan dilaksanakan paling lambat akhir bulan Februari tahun anggaran berikutnya sesuai dengan PMK No.256/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Penyimpanan dan Pencairan Dana Cadangan.
Kurang/Lebih Bayar
Mengingat bahwa penyaluran DBH berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 didasarkan atas realisasi penerimaan yang baru akan diketahui pada tahun berikutnya, maka jumlah DBH yang telah disalurkan berdasarkan alokasi sementara dapat melampaui (lebih bayar) atau lebih rendah (kurang bayar) dari realisasi penerimaan. Hal ini dikarenakan penetapan alokasi sementara DBH dilakukan berdasarkan rencana penerimaan pada awal tahun anggaran.
Dalam prosesnya, perhitungan kurang bayar/lebih bayar DBH dilakukan melalui proses rekonsiliasi data penerimaan dengan data penyaluran DBH yang melibatkan DJP, DJPK, dan DJPb. Penyelesaian Kurang Bayar DBH dalam satu tahun anggaran dimulai dengan penganggaran alokasi kurang bayar dalam APBN/APBNP. Adapun penyelesaian atas Lebih Bayar dilakukan dengan memperhitungkan alokasi DBH atau dana transfer lainnya tiap-tiap daerah untuk tahun anggaran berikutnya.
2.2.2. DAU
DAU dialokasi kepada daerah dari pendapatan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Pengalokasian DAU adalah tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah sehingga semua daerah mampu untuk mendanai semua urusan yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagai equalization grant, DAU bertujuan untuk mengurangi ketimpangan fi skal antar Daerah (horizontal imbalances). Berdasarkan Undang-
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 43
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
undang Nomor 33 Tahun 2004, DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto. PDN neto merupakan pendapatan dalam negeri setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada Daerah. Proporsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan masing-masing sebesar 10% dan 90%.
Pengalokasian DAU untuk suatu daerah didasarkan atas formula yang memperhitungkan Alokasi Dasar dan Celah Fiskal (Fiscal Gap). Alokasi Dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah, yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan serta tunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil termasuk didalamnya tunjangan beras dan tunjangan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21). Sedangkan Celah Fiskal merupakan selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal. Kebutuhan Fiskal mencerminkan kebutuhan dana yang diperlukan oleh daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Kebutuhan Fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sementara Kapasitas Fiskal mencerminkan kemampuan fi skal daerah dalam mendanai pelaksanaan layanan dasar umum. Kapasitas fi skal dalam perhitungan DAU adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
DAU atas dasar celah fi skal untuk suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU atas dasar celah fi skal seluruh provinsi, dimana angka bobot provinsinya diperoleh dari perbandingan antara celah fi skal provinsi yang bersangkutan dengan total celah fi skal seluruh provinsi. Begitu pula dengan DAU atas dasar celah fi skal untuk suatu kabupaten/kota, besarnya dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU atas dasar celah fi skal seluruh kabupaten/kota. Bobot kabupaten/kota diperoleh dari perbandingan
44
antara celah fi skal provinsi yang bersangkutan dengan total celah fi skal seluruh kabupaten/kota. Bagi daerah otonom baru, DAU dialokasi setelah adanya penetapan defi nitif daerah yang bersangkutan melalui undang-undang pembentukan daerah. Alokasi DAU daerah otonom baru dihitung setelah tersedianya data yang digunakan untuk menghitung alokasi dasar dan celah fi skal. Sebelum adanya ketersediaan data, DAU untuk daerah tersebut dihitung dengan cara membagi DAU secara proporsional dengan daerah induknya berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, dan belanja pegawai.
DAU = AD + CFKeterangan:AD = Alokasi DasarCF = Celah Fiskal
KpF = PAD + DBH SDA + DBH PajakKeterangan:PAD = Pendapatan Asli DaerahDBH SDA = Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
DBH Pajak = Dana Bagi Hasil Pajak
CF = KbF – KpFKeterangan:CF = Celah FiskalKbF = Kebutuhan Fiskal
KpF = Kapasitas Fiskal
KbF = TBR ((α1IP + (α2IW + (α3IKK + (α4IPM + (α5IPDRB/Kapita)Keterangan:TBR = Total Belanja Daerah Rata-rataIP = Indeks PendudukIW = Indeks WilayahIKK = Indeks Kemahalan KonstruksiIPM = Indeks Pembangunan ManusiaIPDRB = Indeks PDRB per kapita
α = bobot indeks masing-masing variable
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 45
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Penyaluran DAU
Sampai dengan tahun 2007 penyaluran DAU dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan melalui KPPN setempat. Kepala daerah bertindak selaku KPA dari Bendaharawan Umum Negara (BUN) membuat DIPA dan menyampaikannya kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan. Selanjutnya, kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM dan menyampaikannya kepada KPPN setempat untuk penyaluran DAU setiap bulan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, mulai tahun 2008 Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan bertindak selaku KPA yang menyusun DIPA dan menyampaikannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk mendapatkan pengesahan.
Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 dari besaran alokasi masing-masing daerah. Dalam rangka penyaluran tersebut, Dirjen Perimbangan Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan SPM setiap bulan dan menyampaikannya kepada Kuasa BUN (KPPN Jakarta II - DJPB).
2.2.3. DAK
DAK dialokasikan untuk membantu daerah dalam mendanai program/kegiatan yang menjadi kewenangan daerah dan menjadi prioritas nasional. Tujuan DAK adalah agar Daerah dapat menyediakan infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik secara memadai sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum masing-masing bidang. DAK dialokasikan berdasarkan tiga kriteria, yakni: (1) Kriteria Umum, (2) Kriteria Khusus, dan (3) Kriteria Teknis.
Kriteria Umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang
46
dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai. Dalam bentuk rumus, kriteria umum tersebut dapat ditunjukkan pada beberapa persamaan dibawah ini:
Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD – Belanja Pegawai Daerah
Penerimaan Umum = PAD + DAU + (DBH-DBHDR)
Keterangan:
Belanja Pegawai Daerah = Belanja PNSD
PAD = Pendapatan Asli Daerah
APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
DAU = Dana Alokasi Umum
DBH = Dana Bagi Hasil
DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi
PNSD = Pegawai Negeri Sipil Daerah
Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui Indeks Fiskal Neto (IFN) tertentu yang ditetapkan setiap tahun. Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan rendah layak diberikan DAK. Berdasarkan kebijakan yang disepakati bersama, defi nisi daerah yang memiliki kemampuan keuangan rendah adalah daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya berada dibawah rata-rata nasional atau IFN-nya kurang dari 1 (satu).
Rata-rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah
Total Kemampuan Keuangan Daerah Secara Nasional
Jumlah Daerah =
= IFN Daerah t Kemampuan Keuangan Daerah t
Rata-rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah
Jika IFN daerah t < 1, atau jika daerah t memiliki IFN lebih kecil dari rata-rata nasional maka daerah t tersebut layak untuk mendapatkan alokasi DAK.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 47
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Undang-Undang 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 40 Ayat 3 menjelaskan bahwa “kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah”, dan ditambahkan melalui peraturan pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan Pasal 56 Ayat 2. “kriteria khusus dirumuskan melalui indeks kewilayahan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan masukan dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri/Pimpinan Lembaga terkait. Kriteria khusus yang digunakan dalam perhitungan alokasi DAK memperhatikan: Peraturan Perundang-Undangan merupakan daerah khusus; seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Daerah tertinggal/terpencil; dan karakteristik daerah yang meliputi daerah pesisir dan/atau kepulauan kecil, daerah perbatasan dengan Negara lain, daerah rawan bencana, daerah masuk dalam kategori ketahananan pangan, dan daerah pariwisata. Penyediaan data tentang kekhususan daerah tersebut Menteri Keuangan berkoordinasi dengan lembaga terkait.
Kriteria teknis adalah kriteria yang mencerminkan kondisi sarana dan prasarana masing-masing bidang. Daerah yang kondisi sarana dan prasarananya kurang baik akan diprioritaskan untuk mendapatkan DAK. Kriteria tersebut ditetapkan oleh kementerian teknis terkait. Dalam perhitungan alokasi DAK, besaran kriteria teknis dirumuskan sebagai indeks fi skal teknis (IFT).
Pada tahun 2006, DAK dialokasikan untuk 9 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, air minum, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, pertanian dan lingkungan hidup. Selanjutnya, pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang keluarga berencana (KB) dan bidang kehutanan. Untuk tahun 2009 bertambah dua bidang juga yaitu bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang. Dengan dipisahkannya DAK air minum dan DAK sanitasi yang pada tahun sebelumnya berdiri dalam satu bidang, maka
48
bidang DAK pada tahun 2010 menjadi 14 bidang. Bidang DAK dalam tahun 2011 bertambah menjadi 5 bidang sehingga menjadi 19 bidang, adapun tambahan 5 bidang baru tersebut yaitu bidang listrik perdesaan, perumahan dan permukiman, keselamatan transportasi darat, transportasi perdesaan dan sarana dan prasarana kawasan perbatasan.
Dengan makin bertambahnya bidang DAK, maka tujuan alokasinya juga makin melebar, sehingga tidak sesuai dengan fi losofi awal, yakni sebagai dana specifi c grant yang diarahkan untuk membantu daerah dalam mempercepat penyediaan infrastruktur pelayanan publik di daerah. Untuk itu, ke depan perlu dilakukan reformulasi terhadap DAK, termasuk mengatur percepatan pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah menjadi DAK. Hal ini perlu dilakukan karena sesuai hasil audit BPK, sebagian anggaran kementerian/lembaga masih digunakan untuk mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Namun, anggaran tersebut tidak bisa segera dialihkan menjadi DAK karena adanya beberapa permasalahan/hambatan, antara lain apabila dialihkan menjadi DAK dikhawatirkan kementerian/lembaga tidak lagi punya kendali operasional atas pelaksanaan kegiatan di daerah, beban daerah menjadi berat karena adanya kewajiban untuk menyediakan dana pendamping, dan adanya sebagian kegiatan nonfi sik yang tidak bisa dilaksanakan karena DAK lebih diarahkan untuk mendanai kegiatan fi sik.
Pada tahun 2012, prioritas kebijakan terkait dengan alokasi DAK diarahkan untuk mempersiapkan pengalihan sebagian program/kegiatan yang sebelumnya dilaksanakan oleh kementerian/lembaga menjadi program/kegiatan yang dilaksanakan oleh daerah. Dengan pengalihan tersebut, maka dana yang selama ini dikelola oleh kementerian/lembaga untuk mendanai urusan pemerintahan yang sudah menjadi kewenangan daerah dapat dialokasikan ke Daerah dalam bentuk DAK atau dana transfer lainnya.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 49
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Penyaluran DAK
DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah yang dilaksanakan secara bertahap, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap I : disalurkan sebesar 30% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling cepat pada bulan februari setelah DJPK menerima Perda APBD tahun anggaran berjalan, laporan penyerapan penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, laporan realisasi penyerapan DAK tahap III tahun anggaran sebelumnya, dan surat pernyataan penyediaan dana pendamping.
b. Tahap II : disalurkan sebesar 45% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap I tahun anggaran berjalan yang secara kumulatif telah mencapai 90%.
c. Tahap III : disalurkan sebesar 25% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap II tahun anggaran berjalan.
2.3. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
2.3.1. Dana otonomi Khusus
Dana Otonomi Khusus (Dana otsus) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang diberikan kepada daerah yang telah ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus berdasarkan undang-undang otonomi khusus. Ada dua undang-undang yang mengatur Otonomi Khusus, yaitu Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusu Papua jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Alokasi Dana otsus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat besarnya setara 2% dari
50
Pagu DAU Nasional, dengan pembagian 70% untuk Provinsi Papua dan 30% untuk Provinsi Papua Barat yang ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Dalam rangka Otonomi Khusus pula, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan Infrastruktur yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi masing-masing sebesar 55% dan 40%.
Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh berlaku untuk jangka waktu 20 tahun sejak 2008, yang alokasinya dibedakan menjadi dua, yakni: (i) untuk tahun pertama s.d tahun ke lima belas, besarnya setara dengan 2% plafon DAU Nasional, dan (ii) untuk tahun keenam belas s.d tahun kedua puluh, besarnya setara dengan 1% plafon DAU Nasional.
2.3.2 Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Tunjangan Profesi Guru, Dana Tambahan Penghasilan Guru
Dana BOS
BOS dialokasikan kepada daerah terutama untuk stimulus dan bukan sebagai pengganti dari kewajiban Daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan (BOSDA) dan atau Bantuan Operasional Pendidikan. BOS digunakan terutama untuk biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar, dan dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk teknis Menteri Pendidikan Nasional.
Alokasi BOS per daerah berdasarkan data jumlah siswa tahun ajaran 2012/2013 dari Kemendikbud. Penyaluran BOS dilakukan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi untuk selanjutnya diteruskan ke sekolah. Alokasi dan tata cara penyaluran BOS ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 51
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
a. Alokasi Per Siswa Per Tahun
• SD/SDLB Negeri dan Swasta Rp 580.000,00
• SMP/SMPLB/SMP TERBUKA/ SMP SATAP/TKBM Negeri dan Swasta. Rp 710.000,00
b. Alokasi BOS TA 2013
c. Sasaran
• SD/SDLB Negeri dan Swasta.
• SMP/SMPLB/SMP TERBUKA/ SMP SATAP/TKBM Negeri dan Swasta.
d. Pola Penyaluran
• Penyaluran BOS dan Dana Cadangan BOS (Buffer Fund) dilakukan secara triwulanan untuk satuan pendidikan dasar di wilayah tidak terpencil dan semesteran untuk satuan pendidikan dasar di wilayah terpencil.
B
R
BOS
Rp21
S DI DT
1.79
DAEEPE
99.20
ERAHNCI
05.5
H TIDL
530.
DAK
0000
R
PA
Rp23
B
Rp
AGUDAL
3.44
BOST
635
U NALAM
46.90
DI DEPE
.621
ASIOM AP
00.0
DAERNCIL
1.68
ONALBN
000.
RAHL
80.00
L
000
H
00
DDANRp1
A CA1.012
ADA2.07
ANGA72.79
AN B90.0
BOS000
S
DDJPK (KKPA) JAKP
AKARPN RTAA II BBANK PR
RKUROV
UD VINSSI SEKKOLAAH
52
e. Pelaporan
f. Perkembangan Alokasi BOS Melalui Transfer ke Daerah
Grafi k 2.1
Perkembangan Alokasi BOS melalui Transfer ke Daerah
Dalam miliar rupiah
BOOS, 2ALO011,
KASI 16,
812.01
BOSA
S, 201ALOKA12, 2
ASI 23,5994.800 BBOS,
ALO2013
OKAS3, 23
SI 3,4466.90
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 53
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Tunjangan Profesi Guru PNSD
Tunjangan Profesi guru PNSD adalah tunjangan yang diberikan kepada Guru PNSD yang telah memiliki sertifi kat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tunjangan profesi guru disalurkan dari RKUN ke RKUD melalui mekanisme transfer ke daerah secara triwulanan, yaitu seperempat dari pagu alokasi yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan. Triwulan I, II, III, dan IV masing-masing disalurkan pada akhir, Maret, Juni, September, dan November.
Pelaksanaan penyaluran Tunjangan Profesi Guru PNSD memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
• Penyaluran triwulan I dilaksanakan secara serentak kepada seluruh kabupaten/kota penerima alokasi TPG.
• Penyaluran triwulan II dilaksanakan setelah Pemerintah Daerah menyampaikan Laporan Realisasi Pembayaran TP Guru PNSD semester II tahun anggaran sebelumnya kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Apabila Pemerintah Daerah belum menyampaikan laporan tersebut, penyaluran triwulan II akan ditunda sampai dengan disampaikannya laporan dimaksud.
• Penyaluran triwulan III dan IV dilaksanakan tanpa syarat sepanjang penyaluran triwulan II telah dilaksanakan.
• Dalam hal setelah triwulan IV terdapat TP Guru PNSD yang tidak terealisasi di kabupaten/kota penerima alokasi dan terdapat kondisi sebagai berikut:
a. seluruh Guru PNSD yang berhak mendapatkan TP Guru PNSD telah menerima pembayaran TP Guru PNSD; atau
b. Guru PNSD yang berhak mendapatkan TP Guru PNSD namun belum menerima pembayaran TP Guru PNSD baik sebagian
54
maupun seluruhnya karena TP Guru PNSD yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat tidak mencukupi kebutuhan pembayaran TP Guru PNSD, maka TP Guru PNSD tersebut diperhitungkan dengan alokasi TP Guru PNSD Tahun Anggaran berikutnya.
Tambahan Penghasilan Guru PNSD
Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) adalah tambahan penghasilan yang diberikan kepada Guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi Guru PNSD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dana Tambahan Penghasilan Guru disalurkan dari RKUN ke RKUD melalui mekanisme transfer ke daerah secara triwulanan, yaitu seperempat dari pagu alokasi yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan. Triwulan I, II, III, dan IV masing-masing disalurkan pada akhir, Maret, Juni, September, dan Desember.
Pelaksanaan penyaluran Tunjangan Profesi Guru PNSD memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
• Penyaluran triwulan I dilaksanakan secara serentak kepada seluruh kabupaten/kota penerima alokasi TPG.
• Penyaluran triwulan II dilaksanakan setelah pemerintah daerah menyampaikan Laporan Realisasi Pembayaran Tambahan Penghasilan Guru PNSD semester II tahun anggaran sebelumnya kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Apabila Daerah belum menyampaikan laporan tersebut, penyaluran triwulan II akan ditunda sampai dengan disampaikannya laporan dimaksud.
• Penyaluran triwulan III dan IV dilaksanakan tanpa syarat sepanjang penyaluran triwulan II telah dilaksanakan.
• Dalam hal setelah triwulan IV terdapat Tambahan Penghasilan Guru PNSD yang tidak tersalur dan terdapat kondisi sebagai berikut:
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 55
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
a. seluruh Guru PNSD yang berhak mendapatkan Tambahan Penghasilan Guru PNSD telah menerima pembayaran Tambahan Penghasilan Guru PNSD; atau
b. Guru PNSD yang berhak mendapatkan Tambahan Penghasilan Guru PNSD namun belum menerima pembayaran Tambahan Penghasilan Guru PNSD baik sebagian maupun seluruhnya karena Tambahan Penghasilan Guru PNSD yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat tidak mencukupi kebutuhan pembayaran Tambahan Penghasilan Guru PNSD, maka Tambahan Penghasilan Guru PNSD tersebut diperhitungkan dengan alokasi Tambahan Penghasilan Guru PNSD Tahun Anggaran berikutnya.
2.3.3. Dana Insentif Daerah dan P2D2
Dana Insentif Daerah
Dana Insentif Daerah (DID) dialokasikan kepada daerah sebagai penghargaan atas pencapaian kinerja pemerintah daerah di bidang pengelolan keuangan, kinerja pendidikan, dan kinerja ekonomi dan kesejahteraan dan ditujukan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan fungsi pendidikan sebagai kebijakan pemerintah pusat. Pelaksanaan fungsi pendidikan tersebut merupakan pengalokasian belanja fungsi pendidikan yang dianggarkan dalam APBD dan/atau APBD Perubahan Tahun Anggaran 2013 yang menjadi kewenangan/ urusan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Alokasi DID bertujuan untuk mendorong agar pemerintah daerah berupaya untuk mengelola keuangannya dengan lebih baik yang ditunjukkan dengan perolehan opini dari Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah dan mendorong agar daerah berupaya untuk selalu menetapkan APBD secara tepat waktu.
56
Diatur dalam Pasal 62 PMK Nomor 06/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah, DID dialokasikan ke daerah tertentu dengan mempertimbangkan kriteria tertentu, yaitu kriteria utama dan kriteria kinerja.
Yang dimaksud dengan kriteria utama yaitu:
a. Ketepatan waktu penyampaian peraturan daerah mengenai APBD; dan
b. Opini laporan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Sedangkan yang dimaksud dengan kriteria kinerja meliputi kriteria kinerja keuangan, kriteria kinerja pendidikan, dan kriteria kinerja ekonomi dan kesejahteraan.
Hasil perhitungan kinerja berdasarkan kriteria-kriteria tersebut menghasilkan nilai kinerja daerah yang digunakan sebagai dasar penentuan bobot daerah. Yang mana alokasi DID suatu daerah dihitung dengan mengalikan bobot daerah dengan Rencana Dana Pengeluaran DID nasional.
Penyaluran Dana Insentif Daerah (DID) dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah secara sekaligus, dan dilakukan setelah Daerah pener ima menyampaikan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, berupa:
a. Peraturan Daerah mengenai APBD Tahun anggaran bersangkutan;
b. Surat Pernyataan dari Daerah akan mencantumkan DID dalam APBD atau APBD Perubahan tahun anggaran bersangkutan dan bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan kegiatan yang didanai dari Dana Insentif Daerah tahun anggaran bersangkutan dan
c. Rencana Penggunaan DID.
Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2)
Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) adalah Dana yang bersumber dari APBN dan dialokasikan sebagai insentif kepada daerah percontohan P2D2 berdasarkan hasil Verifi kasi Keluaran sesuai dengan Perjanjian Pinjaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 57
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Bank Dunia tentang Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi. Daerah percontohan P2D2 terdiri dari 75 daerah di 5 provinsi percontohan, yaitu Provinsi Jambi, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Sulawesi Barat.
Verifi kasi Keluaran adalah proses verifi kasi atas keluaran pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Infrastruktur di Daerah Percontohan P2D2 dengan hasil yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan serta dalam kurun waktu yang tepat berdasarkan hasil Verifi kasi Keluaran yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sesuai dengan ketentuan Perjanjian Verifi kasi antara BPKP dan Bank Dunia.
DAK bidang infrastruktur yang di verifi kasi adalah bidang infrastruktur jalan, bidang infrastruktur irigasi dan bidang infrastruktur air minum. Pagu P2D2 ditetapkan dalam UU APBN. Besaran yang dialokasikan kepada masing-masing daerah penerima P2D2 sebesar maksimal 10% (sepuluh persen) dari nilai Verifi kasi Keluaran yang dibagi secara proporsional. Penyaluran Dana P2D2 kepada daerah penerima dilakukan sekaligus setelah keluarnya PMK mengenai alokasi dana P2D2.
58
Web Based Reporting System Dana Alokasi Khusus (WBRS-DAK)
Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) baik dari sisi keuangan maupun teknis, DJPK telah membangun suatu aplikasi pelaporan DAK berbasis web yang diberi nama Web-Based Reporting System Dana Alokasi Khusus (WBRS-DAK) pada tahun anggaran 2011 melalui Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2). Dengan adanya aplikasi ini maka seluruh informasi proyek di daerah yang dibiayai dari DAK dapat disajikan secara cepat, lengkap dan akurat. Dari aplikasi ini dapat diperoleh informasi mengenai lokasi proyek (titik koordinat latitude dan longitude), gambar (foto) riil proyek, kemajuan fi sik, dan penggunaan/penyerapan dana.Aplikasi tersebut telah diterapkan di 5 provinsi (berikut kabupaten/kota di dalamnya) sebagai pilot project yaitu: Jambi, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara mulai tahun anggaran 2012. Saat ini Aplikasi WBRS-DAK hanya diterapkan pada DAK Bidang infrastruktur (jalan, irigasi, dan air minum). Diharapkan pada masa mendatang aplikasi ini bisa diterapkan di provinsi/kabupaten/kota seluruh Indonesia dan mencakup seluruh bidang DAK.Key succes factors implementasi Aplikasi WBRS-DAK adalah keterlibatan aktif para petugas di Pemda dalam memasukkan data ke dalam aplikasi. Ada 4 kelompok besar petugas yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan implementasi Aplikasi WBRS-DAK di Pemda yaitu: Administrator, Operator DPPKA, Operator SKPD, dan Pemantau.Administrator bertanggung jawab mengelola username dan password seluruh user di Pemda yang bersangkutan. Operator DPPKA bertanggung jawab memasukkan data seluruh SP2D untuk semua bidang DAK. Operator SKPD bertanggung jawab memasukkan seluruh data perencanaan, pemaketan, dan pelaksanaan proyek yang dibiayai dari DAK (saat ini hanya terbatas pada DAK Bidang Infrastruktur saja). Sedangkan kelompok Pemantau adalah pengguna informasi yang disajikan oleh Aplikasi WBRS-DAK. Yang termasuk dalam kelompok Pemantau antara lain adalah Bappeda, Gubernur/Bupati/Walikota dan Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota.Namun berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi terhadap implementasi Aplikasi WBRS-DAK yang dilakukan pada akhir bulan September hingga pertengahan Desember 2012, ditemukan fakta bahwa petugas Pemda belum optimal terlibat aktif dalam implementasi Aplikasi WBRS-DAK.Ada 2 faktor utama penyebab belum optimalnya keterlibatan petugas Pemda dalam implementasi Aplikasi WBRS-DAK yaitu: a. Transfer knowledge kepada para petugas Pemda belum maksimal karena waktu
pelaksanaan Bimtek Penggunaan Aplikasi WBRS-DAK yang sangat terbatas; danb. Kendala teknis berupa kesulitan mengakses Aplikasi WBRS-DAK karena
rendahnya kualitas infrastruktur jaringan internet di beberapa daerah (terutama wilayah Indonesia Timur).
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 59
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
2.3.4. Dana Keistimewaan DIY
Kebijakan dana keistimewaan DIY merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sesuai dengan undang-undang tersebut, dana keistimewaan DIY dialokasikan dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan keistimewaan DIY. Kewenangan dalam urusan keistimewaan DIY tersebut meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.
Mekanisme penganggaran dana keistimewaan DIY dilakukan melalui pengajuan rencana kebutuhan dana keistimewaan DIY kepada kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian terkait, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian PPN/Bappenas. Pengajuan dana keistimewaan DIY tersebut harus mengacu kepada RPJMD, RKPD, dan Perdais. Dana keistimewaan DIY hanya diperuntukkan bagi dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi DIY.
Aplikasi WBRS-DAK yang sudah ada saat ini adalah aplikasi berbasis web, dimana untuk mengaksesnya pengguna harus mempunyai koneksi internet. Kondisi ini mengakibatkan beberapa daerah yang infrastruktur jaringan internetnya kurang baik mengalami kesulitan untuk mengakses Aplikasi WBRS-DAK. Oleh karena itu pada tahun anggaran 2013, DJPK akan membangun Aplikasi WBRS-DAK Versi Offl ine agar Pemda bisa tetap aktif mengisikan data ke dalam Aplikasi WBRS-DAK meskipun koneksi internet di daerah yang bersangkutan sangat terbatas.ImplementasiAplikasiWBRS-DAK Versi Offl ine diutamakan di daerah (provinsi/kabupaten/kota) Kalimantan Tengah, Provinsi Sulawasi Barat dan Maluku Utara. Oleh karena itu dalam rangka transfer knowledge kepada para petugas Pemda terkait Aplikasi WBRS-DAK Versi Offl ine, DJPK akan melakukan Bimtek untuk aplikasi ini hanya di 3 daerah tersebut. Pemda di luar 3 daerah dimaksud apabila menghendaki Bimtek untuk Aplikasi WBRS-DAK Vers Offl ine dapat menyampaikan surat permintaan resmi kepada DJPK. Selain itu DJPK selalu siap setiap saat untuk memberikan Bimtek Penggunaan Aplikasi WBRS-DAK (Versi Online) apabila ada permintaan dari Pemda.
60
Pengalokasian dan penyaluran dana keistimewaan DIY dilakukan melalui mekanisme transfer ke daerah. Menteri Keuangan menetapkan alokasi dana keistimewaan kepada Pemerintah Provinsi DIY berdasarkan undang-undang APBN. Menteri Keuangan menetapkan alokasi dana keistimewaan kepada Pemerintah Daerah DIY sebagai dasar penganggaran dalam APBD. Penyaluran dana keistimewaan dilakukan melalui pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD dan dilakukan secara bertahap berdasarkan kinerja. Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran dana keistimewaan, Pemerintah Provinsi DIY wajib menyampaikan laporan akhir realisasi penggunaan Dana Keistimewaan DIY kepada Menteri Keuangan paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya.
2.4 Dana Darurat, Pinjaman dan Hibah
2.4.1 Dana Darurat
Dana Darurat merupakan dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dana Darurat digunakan untuk keperluan yang mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/peristiwa luar biasa tersebut ditetapkan oleh Presiden. Dengan demikian, hanya daerah yang terkena bencana dan telah mendapat penetapan sebagai bencana nasional oleh Presiden yang dapat mengajukan dana darurat kepada Pemerintah Pusat.
Pengaturan lebih lanjut mengenai Dana Darurat diatur dalam PP Nomor 44 Tahun 2012 tentang Dana Darurat. Dana Darurat digunakan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap pascabencana yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 61
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
perundang-undangan yang mengatur kewenangan daerah. Sedangkan, pendanaan pada tahap prabencana dan tanggap darurat menjadi kewenangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dana darurat tersebut merupakan bagian dari dana desentralisasi yang digunakan untuk mendanai kewenangan daerah. Dana Darurat tersebut dapat diteruskan oleh Pemerintah Daerah kepada badan usaha milik daerah yang melaksanakan fungsi pelayanan publik.
Dalam proses penganggaran Dana Darurat, Pemerintah Daerah mengajukan permintaan Dana Darurat kepada Menteri Keuangan dengan melampirkan kerangka acuan kegiatan. Menteri Keuangan bersama Kepala BNPB dan/atau menteri/pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian terkait melakukan verifi kasi dan evaluasi terhadap permintaan Dana Darurat. Menteri Keuangan menetapkan kebijakan Dana Darurat dalam Nota Keuangan dan Rancangan APBN tahun anggaran berikutnya yang disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya, setelah melalui pembahasan antara Pemerintah dan DPR, Menteri Keuangan menetapkan alokasi Dana Darurat yang merupakan bagian belanja transfer ke Daerah.
Penyaluran Dana Darurat dilakukan melalui tata cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Dana Darurat tersebut disalurkan secara bertahap sesuai dengan capaian kinerja. Menteri Keuangan, Kepala BNPB, dan menteri/ pimpinan lembaga pemerintahan non-kementerian terkait melakukan pemantauan dan evaluasi atas penyaluran dan penggunaan Dana Darurat. Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran Dana Darurat, Pemerintah Daerah wajib menyampaikan laporan realisasi penggunaan Dana Darurat kepada Menteri Keuangan paling lambat tanggal 31 Januari Tahun Anggaran berikutnya.
62
2.4.2 Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah. Pinjaman dicatat dan dikelola dalam APBD. Pinjaman daerah dilakukan harus merupakan inisiatif pemerintah daerah. Untuk pinjaman jangka menengah dan jangka panjang wajib mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, pinjaman yang dilakukan harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan, yakni taat pada peraturan perundang-undangan, transparan, akuntabel, efi sien dan efektif, serta kehati-hatian. Pemberian pinjaman oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau sebaliknya merupakan wujud pelaksanaan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pinjaman dapat digunakan untuk menutup kekurangan arus kas daerah, membiayai pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan, atau membiayai kegiatan investasi berupa pengadaan prasarana dan/atau sarana daerah yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat maupun menghasilkan penerimaan bagi APBD. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari:
1. Pemerintah Pusat;
2. Pemerintah Daerah lainnya;
3. Lembaga Keuangan Bank;
4. Lembaga Keuangan Non Bank; dan
5. Masyarakat.
Pemerintah Daerah dapat pula mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yakni dengan menerbitkan instrumen Obligasi
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 63
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Daerah. Penerbitan Obligasi Daerah merupakan efek yang diterbitkan pemerintah daerah dan diterbitkan di pasar modal domestik. Pemerintah pusat tidak menjamin penerbitan Obligasi Daerah. Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.
Kegiatan investasi dalam pembangunan sarana/prasarana publik memberikan sumbangan bagi perekonomian daerah pada umumnya dan/atau penerimaan daerah pada khususnya. Selain itu, dana pinjaman juga dapat ditujukan untuk mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas daerah. Oleh karena itu, bagi pemerintah daerah yang akan melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan daya saing daerah, pinjaman daerah dapat menjadi salah satu alternatif pembiayaannya. Namun demikian, dalam melakukan pinjaman, pemerintah daerah harus memperhitungkan risiko yang mungkin timbul, memperhatikan asas kecermatan dan kehati-hatian serta melakukan pengelolaan pinjaman secara profesional dan akuntabel.
2.4.3 Hibah Daerah
Hibah daerah didefi nisikan sebagai pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari pemerintah atau pihak lain kepada pemerintah daerah atau sebaliknya yang secara spesifi k telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian. Hibah daerah dapat berbentuk uang, barang, dan/atau jasa. Hibah dari pemerintah kepada pemerintah daerah tersebut dapat diteruspinjamkan, diterushibahkan, dan/atau dijadikan penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah. Dasar hukum tentang hibah daerah telah diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor
64
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188 Tahun 2012 tentang Hibah Dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah.
Pemberian hibah pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Hibah diberikan untuk mendanai penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah;
b. Diprioritaskan untuk penyelenggaraan pelayanan publik;
c. Dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme APBN dan APBD;
d. Dilaksanakan berdasarkan Perjanjian Hibah antara Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan dengan kepala daerah;
e. Penyaluran dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan capaian kinerja;
f. Hibah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah.
Untuk hibah yang bersumber dari penerimaan dalam negeri, pengusulan besaran hibah dan daftar nama pemerintah daerah dilakukan oleh menteri teknis/pimpinan lembaga kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan menerbitkan surat penetapan pemberian hibah kepada masing-masing pemerintah daerah setelah dasar pemberian hibah yang bersumber dari penerimaan dalam negeri ditetapkan oleh pemerintah dan pagunya ditetapkan dalam APBN. Berdasarkan surat penetapan pemberian hibah tersebut dilakukan penandatanganan Perjanjian Hibah Daerah.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 65
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Sedangkan untuk hibah yang bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri, menteri teknis/ pimpinan lembaga mengusulkan besaran hibah dan daftar nama pemerintah daerah yang diusulkan sebagai penerima hibah kepada Menteri Keuangan berdasarkan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah dan/atau Daftar Rencana Kegiatan Hibah yang diterbitkan oleh Bappenas. Menteri Keuangan menerbitkan surat penetapan pemberian hibah dan surat persetujuan penerusan hibah kepada masing-masing pemerintah daerah setelah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri dan pagunya ditetapkan dalam APBN serta setelah Perjanjian Hibah Luar Negeri ditandatangani. Selanjutnya, Perjanjian Hibah Daerah atau Perjanjian Penerusan Hibah ditandatangani antara Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan dengan kepala daerah atau kuasanya.
Penyaluran hibah dilakukan berdasarkan permintaan penyaluran dana dari pemerintah daerah setelah mendapat pertimbangan dari kementerian teknis dan dapat dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan capaian kinerja. Penyaluran hibah kepada pemerintah daerah dalam bentuk uang yang bersumber dari penerimaan dalam negeri dilakukan melalui pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke dalam Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Penyaluran hibah kepada pemerintah daerah dalam bentuk uang yang bersumber dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri dapat dilakukan melalui 5 (lima) mekanisme yaitu: pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD, pembayaran langsung, rekening khusus, letter of credit (L/C); dan/atau pembiayaan pendahuluan.
Penerimaan hibah oleh daerah dicatat sebagai pendapatan hibah dalam kelompok Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah pada APBD. Pemerintah daerah penerima hibah menyampaikan laporan triwulan pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari hibah tersebut kepada Menteri Keuangan dan Menteri teknis/pimpinan lembaga terkait.
66
PINJAMAN DAERAH DARI PEMERINTAH PUSAT: PUSAT INVESTASI PEMERINTAH (PIP)
Salah satu sumber pinjaman dari pemerintah pusat yaitu Dana Investasi Pemerintah, termasuk di dalamnya dana yang dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP). PIP merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia dan menjadi operator investasi Pemerintah. Adapun cakupan sektor investasi PIP meliputi bidang infrastruktur dan bidang lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Investasi di bidang pemban-gunan infrastruktur sebagai salah satu fokus dari investasi PIP didasarkan pada ala-san fi losofi s bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Salah satu bentuk investasi langsung PIP adalah pemberian pinjaman kepada pemda. Pinjaman yang diberikan PIP kepada pemda dibatasi hanya untuk pemban-gunan infrastruktur dasar, antara lain mencakup: Ketenagalistrikan, Jalan/Jembatan, Transportasi, Pasar, Rumah sakit, Terminal, dan Air Bersih.
Tabel 2.10
Daerah Yang Melakukan Perjanjian Pinjaman Dengan PIP Tahun 2012
NO DAERAH PENGGUNAAN
1. Kab. Mukomuko Pembangunan RSUD Mukomuko
2. Kab. Lombok Timur Pembangunan Pasar Masbagik
3. Kab. KarangasemPembangunan Pasar & Pusat Seni
Pembangunan RSUD
4. Kota Bandar Lampung Pembangunan Jalan Layang & Pelebaran Jalan
5. Kota Medan Pembangunan Pasar
6. Prov. Sulawesi Tenggara Pembangunan Infrastruktur Jalan & Jembatan
7. Kab. Lombok Tengah Pembangunan Infrastruktur Jalan
8. Kota Palu Pembangunan RSUD
9. Kota Gorontalo Pembangunan Terminal Kota
10. Prov. Sulawesi Selatan Pembangunan Infrastruktur JalanSumber: PIP
2.5. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari anggaran Kementerian/Lembaga. Oleh karenanya, rumusan arahan kebijakan terkait pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk tahun anggaran berikutnya
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 67
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
harus ditetapkan di dalam Musrenbangnas Kementerian/Lembaga. Dalam perumusan arah kebijakan pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut, Kementerian Keuangan juga mempunyai peran. Secara lebih spesifi k, peran tersebut merupakan salah satu tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan No.156/PMK.07/2008 yang mengamanatkan Menteri Keuangan untuk menyampaikan Rekomendasi Menteri Keuangan yang akan dijadikan dasar pertimbangan bagi kementerian/lembaga dalam rangka perencanaan lokasi dan anggaran kegiatan dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan selambat-lambatnya bulan Maret sebelum penyusunan renja K/L. Berdasarkan amanat peraturan perundangan tersebut, setiap tahun anggaran ditetapkan Rekomendasi Menteri Keuangan tentang Keseimbangan Pendanaan di Daerah Dalam Rangka Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Secara umum arahan kebijakan dalam rekomendasi
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Daerah yang direkomendasikan untuk diprioritaskan mendapat alokasi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan adalah:
a. Daerah Prioritas 1 yaitu kelompok daerah yang mempunyai KFD dan IPM di bawah rata-rata nasional. Kelompok daerah ini dapat dikatakan termasuk “daerah yang tertinggal”, sehingga dipandang perlu adanya intervensi Pemerintah Pusat sesuai kewenangannya untuk membantu menstimulasi pembangunan di daerah tersebut melalui penyelenggaraan program dan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
b. Daerah Prioritas 2 yaitu kelompok daerah yang mempunyai KFD di bawah rata-rata nasional namun IPM di atas rata-rata nasional. Kelompok daerah ini dapat dikatakan termasuk “daerah yang berkinerja baik”, sehingga kelompok daerah ini perlu didorong terus untuk mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan
68
masyarakatnya melalui dukungan penyelenggaraan program dan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
2. Kementerian/lembaga wajib memperhatikan bahwa program/kegiatan yang didanai melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah program/kegiatan pemerintah dan bukanlah merupakan program/kegiatan yang sudah menjadi kewenangan daerah;
3. Kementerian/Lembaga menerapkan kebijakan reward and punishment dalam perencanaan lokasi dan anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan mempertimbangkan aspek kinerja daerah, dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan kegiatan dan pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
4. Kementerian/Lembaga wajib melakukan koordinasi dengan gubernur sebelum penyusunan Renja K/L dalam rangka sinergi kebijakan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
2.6. Pengelolaan Keuangan Daerah
2.6.1 Pengelolaan APBD
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diamanatkan agar keuangan daerah dikelola secara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efi sien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Sebagai implementasinya, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada prestasi kerja, dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan outcome yang diharapkan dari kegiatan dan program. Dengan demikian, pendekatan kinerja sekaligus akan mencerminkan efi siensi dan efektivitas pelayanan publik. Efi sien
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 69
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
akan diwujudkan dalam kesesuaian antara input (termasuk pendanaan) dengan output yang paling optimal yang bisa dihasilkan. Sedangkan efektifi tas akan diwujudkan dengan kesesuaian antara output dengan ekspektasi masyarakat terhadap pemenuhan kualitas dan kuantitas layanan publik yang dihasilkan.
Wujud dan implementasi dari kebijakan dan sekaligus operasionalisasi pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah adalah dengan melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD tidak hanya akan berperan sebagai dokumen anggaran dan pelaksanaannya, namun sekaligus merupakan alat politik dan kebijakan publik dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang optimal serta upaya dalam mendorong pembangunan ekonomi suatu daerah.
Untuk melaksanakan pengelolaan keuangan daerah dengan baik, saat ini Daerah sudah diberikan pedoman yang diatur dalam peraturan perundangan secara komprehensif, mulai dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sebagai peraturan pelaksanaan telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah diubah dua kali dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 dan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011. Bahkan, Kemendagri selalu menetapkan peraturan yang mengatur pedoman penyusunan APBD setiap tahun anggaran. Pada tahun anggaran 2013 ini telah ditetapkan Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2013.
70
Meskipun peraturan perundangan dan petunjuk pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah sudah lengkap, namun masih banyak terdapat kendala dalam pelaksanaannya. Beberapa kendala tersebut antara lain, masih banyaknya daerah yang terlambat menetapkan APBD, struktur APBD yang kurang ideal, penyerapan belanja yang relatif lambat, masih tingginya dana idle yang tidak tergunakan dalam pengeluaran publik, maupun kendala administratif pengelolaan keuangan yang tercermin dari masih banyaknya daerah yang mendapat opini kurang baik dari BPK. Satu per satu kendala tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
1. Keterlambatan Penetapan APBDAnggaran daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifi tas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktivitas berbagai unit kerja. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas pembangunan, terutama prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai sesuai sumber daya yang tersedia.
Berangkat dari pentingnya APBD tersebut, maka penyusunan dan penetapan APBD menjadi hal yang penting untuk dimulainya pelaksanaan suatu siklus pengelolaan keuangan. Dengan penyusunan yang baik dan penetapan yang tepat waktu, maka APBD akan dapat segera dieksekusi dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Berdasarkan ketentuan perundangan, APBD seharusnya ditetapkan paling lambat 31 Desember sebelum tahun anggaran berjalan. Namun demikian ternyata masih banyak pemerintah daerah yang menetapkan APBD-nya melewati tenggat waktu tersebut.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 71
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Grafi k 2.2
Grafi k Penetapan APBD Tahun Anggaran 2008 – 2012Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia
Sumber: DJPK (data diolah)
Untuk APBD Tahun 2012, dari 524 daerah yang menetapkan APBD-nya tepat waktu (sebelum 31 Desember) sebanyak 274 daerah (52% daerah), kondisi ini meningkat dari tahun 2011 yg hanya 211 daerah (40%) dan tahun 2010 sebanyak 214 daerah (41%)
Adanya keterlambatan penetapan APBD dapat memberikan dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan dari keterlambatan dalam penyusunan APBD adalah terlambatnya pelaksanaan program pemerintah daerah sehingga dapat berdampak pada pelayanan publik terhadap masyarakat. Selain itu dapat juga berpengaruh terhadap perekonomian daerah, karena belanja daerah menjadi terlambat dalam memberikan injeksi bagi pembangunan ekonomi daerah. Disamping itu, keterlambatan penetapan APBD juga akan merugikan masyarakat karena dapat berimbas pada dijatuhkannya sanksi penundaan penyaluran DAU, sehingga berpengaruh pada aliran uang atau transaksi di daerah.
72
2. Dominasi Belanja Pegawai Dalam Struktur APBDBelanja Daerah secara nasional pada TA 2012 mencapai Rp591,887 triliun. Belanja Pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 44,1% atau sebesar Rp261,153 triliun. Belanja Modal mencapai Rp137,438 triliun atau sebesar 23,2%. Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp71,071 triliun atau 12,0%.
Grafi k 2.3
Trend Belanja Daerah TA 2009 – 2012 (dalam % dan miliar rupiah)
Jenis Belanja Daerah(dalam miliar rupiah) 2009 2010 2011 2012
Belanja Pegawai 180,439 198,562 229,081 261,153
Belanja Barang dan Jasa 79,600 82,007 104,221 122,225
Belanja Modal 114,598 96,179 113,523 137,438
Belanja Lain-Lain 40,594 50,110 48,449 71,071
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009 - 2012 (diolah)
Berdasarkan tabel di atas maka dapat kita amati porsi tiap jenis Belanja Daerah setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Bila dicermati Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung terus meningkat dari tahun 2009 hingga 2012, di mana pada tahun 2009 total Belanja Pegawai secara nasional baru
43.4646.52 46.25 44.12
19.17 19.21 21.04 20.6527.60
22.53 22.92 23.22
9.78 11.74 9.78 12.01
0%
10%
20%
30%
40%
50%
2009 2010 2011 2012
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 73
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
mencapai angka Rp180,4 miliar rupiah dan di tahun 2012 meningkat menjadi Rp261,1 miliar rupiah. Rata-rata peningkatan Belanja Pegawai mencapai 13,1%. Pada tahun 2012 Belanja Pegawai mengalami peningkatan sebesar 14,0% dibandingkan dengan tahun 2011.
Fenomena yang agak berbeda terlihat dari trend Belanja Modal TA 2009 hingga 2012, di mana secara rata-rata mengalami peningkatan di kisaran 7,7% dari tahun 2009 hingga 2012. Namun demikian, bila dilihat secara nominal, maka trend tersebut cenderung fl uktuatif, dimana pada tahun 2009 total Belanja Modal mencapai Rp114,6 miliar rupiah lalu mengalami penurunan di tahun 2010 yaitu hanya sebesar Rp96,2 miliar rupiah, kemudian mengalami peningkatan di dua tahun terakhir hingga mencapai Rp137,4 miliar rupiah di tahun 2012. Proporsi belanja modal mengalami peningkatan di tahun 2011 dan 2012, di mana belanja modal mempunyai proporsi diatas 20%
Dengan semakin tingginya porsi belanja pegawai, maka porsi belanja modal semakin tergerus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 belanja modal masih berada di kisaran 27%, terus turun hingga menjadi 22% di tahun 2012. Hal ini perlu menjadi perhatian yang serius karena belanja modal ditambah belanja barang dan jasa merupakan belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh signifi kan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Realisasi belanja modal akan memiliki multiplier effect dalam menggerakkan roda perekonomian daerah.
3. Penyerapan Belanja APBD Relatif LambatAnggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila terealisasi dengan baik. Namun demikian, ternyata secara umum kondisi penyerapan belanja daerah masih belum terlalu memuaskan.
74
Rendahnya realisasi belanja daerah salah satunya disebabkan karena pada triwulan I semua proses pelelangan/tender baru mulai dilaksanakan dan ini membutuhkan waktu minimal 2 bulan dimulai dari pengumuman lelang sampai dengan penetapan pemenang lelang/tender sehingga baru pada triwulan II dan bahkan triwulan III pelaksanaan kegiatan dimulai.
Pada triwulan II dan triwulan III, realisasi belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja lain-lain mengikuti pola yang relatif lebih baik. Namun, untuk belanja modal perkembangannya masih cenderung lambat. Beberapa hal yang sangat mungkin menjadi penyebab keterlambatan tersebut antara lain keterlambatan penetapan APBD, proses lelang yang belum selesai atau juga permasalahan teknis lain yang mengakibatkan belanja modal baru dapat direalisasikan setelah adanya perubahan APBD (yang rata-rata dilakukan pada bulan Agustus-September).
Pada triwulan IV realisasi belanja modal melonjak tinggi, namun demikian juga tidak mencapai 100% dari anggaran induknya. Hal ini disebabkan adanya permasalahan yang sama dengan triwulan sebelumnya seperti penetapan APBD maupun APBD perubahan yang terlambat, adanya efi siensi belanja modal dan berbagai kebijakan penghematan.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 75
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Grafi k 2.4
Penyerapan Belanja APBD (dalam miliar rupiah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Namun demikian, secara umum penyerapan belanja modal yang tidak dapat dimulai pada awal tahun anggaran akan menyebabkan proyek yang direncanakan pemerintah daerah tidak dapat diselesaikan tepat waktu sehingga akan menghambat daya dorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Proses tender yang relatif lama juga menyebabkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proyek-proyek menjadi lebih sedikit sehingga terdapat beberapa proyek yang tidak selesai pada akhir Desember 2012.
4. Silpa dan Dana Idle Pemda di PerbankanSisa Lebih Penghitungan Anggaran (SiLPA) merupakan sisa anggaran yang tidak tergunakan di tahun anggaran berkenaan, namun dapat digunakan di tahun berikutnya. Dalam realisasi APBD terdapat dua macam SiLPA, pertama adalah SiLPA yang menjadi salah satu penerimaan pembiayaan yang dikenal dengan SiLPA tahun sebelumnya. Kedua adalah hasil penjumlahan surplus/defi sit dengan netto pembiayaan yang disebut SiLPA tahun berkenaan.
0
50
100
150
TW 1 TW 2 TW 3 TW 4
B. Pegawai B. Barang&Jasa B. Modal
B. Lainnya Total Belanja
76
SiLPA tahun berkenaan merupakan suatu indikator yang cukup krusial dalam realisasi APBD. SiLPA tahun berkenaan yang merupakan selisih positif antara surplus/defi sit dengan netto pembiayaan akan menunjukkan kinerja realisasi anggaran secara keseluruhan. Semakin tinggi SiLPA tahun berkenaan, maka semakin rendah kinerja pengelolaan APBD secara keseluruhan. SiLPA tahun berkenaan (atau sering juga disebut sebagai surplus penerimaan) menunjukkan besarnya dana publik yang tidak tergunakan dalam belanja maupun tidak tergunakan dalam transaksi pembiayaan. Dengan demikian, SiLPA tahun berkenaan betul-betul menunjukkan total dana idle pada akhir tahun yang telah berjalan. Untuk realisasi SiLPA tahun berkenaan tahun 2008-2011 dapat dilihat dalam grafi k berikut.
Grafi k 2.5
Tren SiLPA Tahun Berkenaan
Sumber: DJPK (data diolah)
Dana Idle merupakan dana yang tidak atau belum digunakan oleh pemerintah daerah (pemda). Dana idle yang dapat dipantau oleh pemerintah pusat setiap bulannya adalah dana idle pemda yang disimpan di perbankan. Dana pemda di perbankan merupakan akumulasi dana pemda baik yang berupa dana cadangan, investasi dan dana idle. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat dalam grafi k berikut:
Mili
ar R
upia
h
20
40
60
80
100
p
-
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
-
00
00
00
00
00
668,2
200
216
08
5
2
52,2
200
234
09
5
2
56,5
201
74
0
7
2
8,06
201
65
1
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 77
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Grafi k 2.6
Trend Dana Pemda di Perbankan 2009 – 2012 (data per Desember)
Sumber: Bank Indonesia (data diolah)
Bulan Desember merupakan titik terendah dalam tiap tahunnya. Besaran dana pemda di perbankan pada bulan Desember 2012 lebih besar dibandingkan pada bulan Desember 2011. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan besaran SiLPA tahun berkenaan dari tahun ke tahun.
Secara akumulatif dana pemerintah kabupaten/kota di perbankan lebih besar dari akumulasi dana pemerintah provinsi di perbankan. Namun demikian, apabila dilihat per entitas unit pemerintahan, terlihat bahwa rata-rata dana pemerintah provinsi di perbankan lebih besar daripada daripada rata-rata dana pemerintah kabupaten/kota di perbankan. Secara tidak langsung hal tersebut menggambarkan dana pemerintah provinsi yang menganggur lebih besar dibanding dana pemerintah kabupaten/kota.
Mili
Ri
hM
iliar
Rup
iah
20
40
60
80
100
120
-
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
-
00
00
00
00
00
00
59,8
20,7
39,0
20
814
782
032
09T
4
2
2
Total
62,
23,
38,
20P
,088
,345
,743
010Prov
8
5
3
vinssi
80
28
51
20Ka
0,44
8,51
1,92
011ab/
46
19
27
1Kota
99
32
66
2
9,24
2,33
6,90
2012
40
36
05
2
78
5. Belum Optimalnya Kualitas Pengelolaan Administratif
Grafi k 2.7
Opini BPK Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2007 - 2011
Sumber Data: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK s.d. Semester I Tahun 2012, September 2012
Untuk menilai optimal atau tidaknya pengelolaan keuangan pemerintah daerah dapat pula dengan melihat hasil opini BPK atas LKPD Pemerintah Daerah. Untuk LKPD tahun 2011 sampai dengan semester I, BPK telah menyelesaikan pemeriksaan/audit terhadap daerah dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) diberikan kepada 67 daerah, lalu sebanyak 316 LKPD diberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), 5 LKPD diberikan opini Tidak Wajar (TW), dan 38 LKPD diberi opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP).
Dari Hasil Pemeriksaan sampai dengan saat ini, dari 426 yang sudah diperiksa, terdapat peningkatan jumlah daerah yang mendapatkan WTP daripada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Perbaikan opini tersebut antara lain karena entitas yang diperiksa, dalam hal ini pemerintah daerah, telah menindaklanjuti rekomendasi BPK. Meskipun demikian masih terdapat banyak daerah yang mendapat Tidak Wajar bahkan dinyatakan Tidak Memberikan Pendapat.
Secara garis besar, penyebab LKPD pemerintah daerah tidak memperoleh opini WTP pada tahun 2011 (hasil pemeriksaan semester I Tahun 2012)
2
4
0
200
400
W
4 1
WT
13 15
P
5 33667
283
WD
3323 3
DP
331 3221316
12
6
TM
23 118
MP
8 111776
388
T
59 3
TW
1 48 24 5
200
200
200
20
20
07
08
09
10
11
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 79
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
antara lain permasalahan pengelolaan akun kas, persediaan, investasi permanen dan non permanen, serta aset tetap.
2.6.2. Pengelolaan Defi sit
Dalam rangka pengendalian batas maksimal defi sit dan pinjaman pemerintah daerah, Menteri Keuangan setiap bulan Agustus menetapkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai batas maksimal defi sit APBD dan batas maksimal pinjaman daerah. Untuk tahun anggaran 2013, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan No. 137/PMK.07/2012 tentang Batas Maksimal Defi sit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2013. Pengaturan dalam PMK tersebut antara lain:
1. Batas Maksimal Kumulatif Defi sit APBD untuk Tahun Anggaran 2013 ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari proyeksi PDB Tahun Anggaran 2013.
2. Indikatif Batas Maksimal Defi sit APBD Tahun Anggaran 2013 untuk masing-masing daerah ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari perkiraan Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2013.
3. Batas maksimal kumulatif pinjaman daerah yang masih menjadi kewajiban daerah sampai dengan Tahun Anggaran 2013 ditetapkan sebesar 0,35% (nol koma tiga puluh lima persen) dari proyeksi PDB Tahun Anggaran 2013.
4. Pinjaman daerah tersebut termasuk pinjaman yang diteruskan menjadi pinjaman, hibah, dan/atau penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah.
5. Dalam rangka pengendalian defi sit/surplus APBD, maka pemerintah daerah menganggarkan pembiayaan neto sebesar defi sit/surplus APBD.
80
6. Pemerintah daerah wajib melaporkan rencana defi sit APBD kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebelum APBD ditetapkan.
7. Dalam hal defi sit APBD akan ditutup sebagian atau seluruhnya dari pinjaman dan/atau penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, maka defi sit APBD tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan.
8. Persetujuan atau penolakan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan terhadap rencana defi sit yang dibiayai sebagian atau seluruhnya dari pinjaman dan/atau penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, menjadi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD atau evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD Perubahan.
Tata cara pengajuan permohonan persetujuan defi sit APBD yang akan ditutup sebagian atau seluruhnya dengan pinjaman dan/atau penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1. Gubernur, Bupati atau Walikota mengajukan permohonan persetujuan atas rencana defi sit APBD yang akan ditutup sebagian atau seluruhnya dari pinjaman dan/atau penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan permohonan disampaikan Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Keuangan Daerah.
2. Surat permohonan persetujuan yang diajukan oleh Bupati atau Walikota ditembuskan kepada Gubernur.
3. Pengajuan permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sebelum Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD atau Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD Perubahan dikirimkan untuk dievaluasi.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 81
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
4. Terhadap rencana defi sit APBD yang akan ditutup sebagian atau seluruhnya dari pinjaman daerah, surat permohonan persetujuan sebagaimana tersebut di atas memuat rencana kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman daerah, dengan dilampiri dokumen:
a. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah;
b. Rancangan Ringkasan APBD atau Rancangan Ringkasan APBD Perubahan Tahun Anggaran 2013;
c. Perhitungan sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan
d. Perhitungan tentang rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (Debt Service Coverage Ratio/DSCR).
5. Terhadap rencana defi sit APBD yang akan ditutup sebagian atau seluruhnya dari penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, permohonan persetujuan dilampiri dokumen :
a. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 3 (tiga) tahun terakhir yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah;
b. Rancangan Ringkasan APBD atau Rancangan Ringkasan APBD Perubahan Tahun Anggaran 2013; dan
c. Pernyataan gubernur, bupati, atau walikota mengenai bidang usaha dan struktur permodalan sebelum dan setelah penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
6. Terhadap rencana defi sit APBD yang akan ditutup sebagian atau seluruhnya dari pinjaman daerah yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri, Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, atau lembaga keuangan bukan bank, persetujuan/penolakan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan diberikan dengan terlebih dahulu meminta pertimbangan Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Keuangan Daerah.
82
7. Direktur Jenderal Keuangan Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri memberikan pertimbangan dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya surat permintaan pertimbangan dari Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan.
8. Dalam hal Direktur Jenderal Keuangan Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri tidak menyampaikan pertimbangan dalam jangka waktu yang ditetapkan, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas rencana defi sit APBD.
9. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan wajib memberikan persetujuan atau penolakan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah surat permohonan diterima dari pemda beserta dokumen diterima secara lengkap.
Untuk APBD tahun 2013, terdapat 9 (sembilan) daerah yang merencanakan defi sit dan ditutup sebagian dengan pinjaman yakni Kabupaten Temanggung, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Sumbawa Barat, Kota Gorontalo, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kota Bandar Lampung, dan Provinsi Sulawesi Selatan.
2.6.3. Sistem Informasi Keuangan Daerah
Dalam rangka perumusan kebijakan fi skal, khususnya terkait dengan perimbangan keuangan dan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan, Pemerintah Pusat berkewajiban menyajikan informasi keuangan daerah yang komprehensif. Dalam menyajikan informasi tersebut, Pemerintah berkewajiban untuk memanfaatkan perkembangan kemajuan teknologi informasi untuk meningkatkan kemampuan mengelola keuangan daerah dan menyampaikan informasi keuangan daerah kepada stakeholder. Hal ini dilakukan agar proses pembangunan sejalan dengan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 83
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Kewajiban Pemerintah untuk menyelenggarakan SIKD tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 sebagaimana direvisi dengan PP Nomor 65 Tahun 2010. Dalam PP tersebut diamanatkan bahwa penyelenggara SIKD secara nasional adalah Menteri Keuangan, sedangkan Pemerintah Daerah menyelenggarakan SIKD di daerahnya masing-masing dengan menggunakan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah.
SIKD Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan selama ini dilakukan berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk hardcopy. Kewajiban daerah menyampaikan informasi tersebut dan tatacara penyampaian telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.02/2006 sebagaimana diubah dengan PMK Nomor 04/PMK.07/2011 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah.
Pelaksanaan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah di 524 daerah menggunakan aplikasi pengelolaan keuangan yang sangat beragam. Sebagian besar diantaranya menggunakan SIMDA yang dikembangkan oleh BPKP dan SIPKD yang dikembangkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Diluar SIMDA dan SIPKD, pemerintah daerah menggunakan aplikasi pengelolaan keuangan daerah yang berbeda-beda tergantung pada kebijakan di daerah masing-masing.
Dalam rangka mempercepat penyampaian informasi keuangan daerah dari daerah kepada pusat telah dibangun sistem komunikasi dan manajemen data nasional (KOMANDAN). Mengenai tatacara penyampaian data dengan KOMANDAN tersebut telah diterbikan Surat Edaran Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Nomor SE-03/PK/2011 tentang Tata Cara Teknis Penyampaian Informasi Keuangan Daerah melalui Sistem Komunikasi dan Manajemen Data Nasional SIKD (KOMANDAN SIKD).
84
KONSEP KOMANDAN SIKD
KOMANDAN SIKD merupakan media penyampaian data keuangan daerah dalam bentuk softcopy dengan tujuan untuk mengurangi sumber daya dalam melakukan input dan mengolah data sehingga diharapkan dapat meningkatkan efi siensi dan efektivitas sumber daya yang ada. Pendekatan yang dilakukan dalam KOMANDAN SIKD adalah pembakuan elemen data melalui standarisasi output dari aplikasi pengelolaan keuangan daerah.
KOMANDAN SIKD yang ada saat ini dapat menampung data APBD, APBD Perubahan, Laporan Realisasi APBD Semester I, serta Laporan Realisasi APBD Audited/Perda. Kedepannya, KOMANDAN SIKD akan dikembangkan sehingga dapat menampung Laporan Realisasi APBD Triwulanan, Neraca, dan informasi keuangan daerah lain yang digunakan oleh stakeholder sebagai bahan pengambilan kebijakan.
Penyelenggaraan KOMANDAN SIKD sebagai perwujudan SIKD secara nasional bertujuan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberi kemudahan bagi Pemerintah Daerah dalam mengirimkan Informasi Keuangan Daerah kepada DJPK.
2. Menyediakan Informasi Keuangan Daerah secara nasional yang lengkap, dapat diandalkan, akurat dan up-to-date.
3. Menyediakan analisis pengelolaan keuangan daerah sebagai bahan evaluasi dalam perumusan kebijakan.
4. Menyediakan informasi keuangan daerah yang diperlukan dalam perhitungan alokasi Transfer ke Daerah.
2.7. Arah Kebijakan Revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
Dalam rangka mewujudkan hubungan keuangan yang lebih selaras dan seimbang yang mampu meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal, mengembangkan kualitas belanja daerah yang lebih bertanggung jawab, serta mengharmonisasikan belanja pusat dan daerah untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang optimal, saat ini Pemerintah telah menyusun Rancangan Undang-undang tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (RUU HKPD) sebagai pengganti atas Undang-undang Nomor 33
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 85
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dengan telah ditetapkannya RUU HKPD dalam Program Prolegnas Prioritas Tahun 2013, diharapkan pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR dapat dilakukan secara paralel dengan pembahasan RUU Pemerintah Daerah serta dapat diselesaikan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009 – 2014. Secara umum, pokok-pokok perubahan dalam RUU HKPD mencakup:
a. Penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan Dana Perimbangan seperti:
• Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB dan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan yang selama ini menjadi komponen DBH Pajak dialihkan menjadi Pajak Daerah;
• Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, mengatur Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dalam RUU Perubahan ini;
• Undang-undang APBN menetapkan berbagai jenis dana alokasi ke daerah (selain DBH, DAU, DAK), seperti Dana BOS, Tunjangan Guru, Dana Insentif Daerah;
b. Pemekaran Daerah
• Untuk mengendalikan pemekaran daerah, Dana perimbangan dialokasikan paling cepat 1 (satu) tahun sejak Undang-undang pembentukannya ditetapkan, setelah melalui daerah persiapan;
• Pemekaran daerah lebih mempertimbangkan kriteria keuangan berupa rasio pajak dan retribusi serta DBH terhadap PDRB, dan kesiapan sistem administrasi keuangan.
c. Pengendalian belanja daerah
• Memprioritaskan sasaran alokasi DAK, hibah dan pinjaman untuk belanja daerah yang bersifat pelayanan dasar dan sektor unggulan daerah;
86
• Alokasi DAU tidak lagi memperhitungkan secara langsung belanja PNSD dengan tujuan meningkatkan pemerataan antar daerah dan tidak memberikan insentif kepada daerah pemekaran dan penambahan PNSD;
• Penetapan porsi belanja PNSD maksimal 50% dari total belanja sehingga mendorong daerah untuk meningkatkan belanja modal untuk pelayanan kepada masyarakat;
• Pengenaan sanksi terhadap lambannya penyerapan DAK, dari penundaan sampai dengan pembatalan sisa alokasi;
d. Pengelolaan keuangan daerah
• Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah mengacu pada sistem dan prosedur keuangan Pemerintah Pusat;
• Penguatan peran gubernur dalam melakukan fungsi alokasi DBH pemerataan kepada Kabupaten/Kota;
• Penyampaian laporan keuangan secara elektronik yang periodik dan continue dari Pemerintah Daerah ke Pemerintah Pusat;
• Larangan daerah/pusat mendanai kegiatan yang bukan urusannya dan dikenakan sanksi atas pelanggaran tersebut;
• Pengendalian SiLPA yang tinggi melalui penundaan transfer dana perimbangan atau memberikan transfer dalam bentuk Surat Utang Negara.
e. Reformulasi sumber pendanaan daerah
• DBH dialokasikan by origin dan disalurkan per triwulan berdasarkan prognosa realisasi dan disesuaikan dengan realisasi pada tahun anggaran berikutnya;
• Meningkatkan prediktabilitas (kepastian) sumber pendanaan transfer Pemerintah Pusat melalui penetapan bobot DAU yang digunakan selama periode 3 tahun (MTEF);
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 87
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
• Dana penyesuaian menjadi komponen dari DAK yang lebih diarahkan untuk membantu mendorong pemenuhan pelayanan dasar;
• Peningkatan fl eksibilitas penggunaan pinjaman daerah untuk membiayai penyediaan pelayanan penerimaan dengan tetap menjaga jumlah pinjaman yang aman dan terkendali.
f. Pemberdayaan BUMD
• Penegasan BUMD bukan sumber pendanaan bagi daerah;
• Pengalokasian dana APBD kepada BUMD diprioritaskan untuk BUMD yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak ;
• Pemberian subsidi hanya kepada BUMD yang tarif pelayanannya dibawah rata-rata biaya produksi.
g. Surveilence Kinerja Keuangan Daerah
• Pemerintah dapat memberikan insentif terhadap daerah yang berkinerja baik;
• Pemerintah memberikan insentif non fi skal untuk perbaikan kinerja bagi daerah yang kinerjanya rendah;
• Pemerintah dapat mengusulkan penghapusan daerah yang kinerja keuangannya buruk.
88
Bab III
Arah Kebij akan Transfer dan Hibah ke Daerah Tahun 2013
Kebijakan alokasi Dana Transfer ke Daerah disesuaikan dengan pembagian urusan antara Pusat dengan Daerah dan terus diarahkan untuk mendukung kesinambungan fi skal nasional. Secara nasional dana transfer ke daerah tahun 2013 meningkat seperti tahun sebelumnya sejalan dengan beban pemerintah daerah yang semakin besar dalam penyediaan layanan publik. Peningkatan dana transfer ini dimaksudkan juga untuk mengurangi kesenjangan antar daerah baik dari sisi fi skal maupun dalam kualitas pelayanan publik antar daerah. Untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah-daerah tersebut dalam tahun 2013 akan dialokasikan DAK yang relatif lebih besar dibandingkan dengan DAK untuk daerah-daerah yang tidak tertinggal.
Secara rinci kebijakan alokasi Transfer ke Daerah pada tahun 2013 diarahkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan kapasitas fi skal daerah dan mengurangi kesenjangan fi skal antara pusat & daerah dan antar daerah.
2. Menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah & mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah.
4. Mendukung kesinambungan fi skal nasional.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 89
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
5. Meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah.
6. Meningkatkan efi siensi pemanfaatan sumber daya nasional.
7. Meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah.
8. Meningkatkan daya saing daerah.
9. Meningkatkan perhatian pembangunan di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan.
3.1. Perkembangan Transfer ke Daerah
Secara keseluruhan dana transfer ke daerah dalam tahun 2013 sebesar Rp528.630,3 miliar dengan rincian Dana Perimbangan sebesar Rp444.798,8 miliar, Dana Otonomi Khusus sebesar Rp13.445,6 miliar, dan Dana Penyesuaian sebesar Rp70.385,9 miliar. Alokasi Dana Perimbangan sebesar Rp444.798,8 miliar terdiri dari DBH sebesar Rp101.962,4 miliar, DAU sebesar Rp311.139,29 miliar, dan DAK sebesar Rp31.697,1 miliar. Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar dalam Transfer ke Daerah yaitu sebesar 84,1% dan menjadi sumber pendanaan utama dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi fi skal dan daerah.
Jumlah dana transfer ke daerah tahun 2013 meningkat sebesar 10,2% dari tahun 2012. Apabila dirinci per jenis dana transfer, maka kenaikan terbesar adalah pada DAK, yaitu sebesar 21,4%.
90
Tabel 3.1
Dana Transfer ke Daerah dan Dana Penyesuaian Tahun 2012-2013(dalam Triliun Rupiah)
Jenis Dana Alokasi 2012 Alokasi 2013 Persentase kenaikan
DBH 108.421,7 101.962,4 -6.0 %DAU 273.814,4 311.139,3 13.6 %DAK 26.115,9 31.697,1 21.4 %Otonomi Khusus 11.952,6 13.445,6 12.5 %Dana Penyesuaian
- BOS
- Tamsil
- TPG
- DID
- Penyesuaian Lainnya
59.481,2
23.594,8
2.898,9
30.559,8
1.387,8
30.0
70.385,9
23.446,9
2.412,0
43.057,8
1.387,8
81,4
18.3 %
-0.6 %
16.8 %
40.9 %
-
171.3 %Jumlah 479.785,8 528.630,3 10.2 %
Dari tahun ke tahun jumlah dana Transfer ke Daerah terus mengalami peningkatan yang cukup signifi kan. Kenaikan pagu APBN secara otomatis akan menyebabkan kenaikan pada alokasi dana transfer ke daerah sesuai dengan amanat otonomi daerah.
Grafi k 3.1
Komposisi Dana Transfer ke Daerah
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 91
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Berdasarkan APBN 2013, Dana Transfer ke Daerah tahun 2013 sebesar Rp528,6 Triliun atau 32% dari Pagu APBN sebesar Rp1.683,0 Triliun. Dilihat dari komposisinya, dana Transfer ke Daerah didominasi oleh DAU sebesar 59%, kemudian DBH 19%, Dana Penyesuaian 13%, DAK 6%, dan Dana Otsus sebesar 3%.
Grafi k 3.2
Pertumbuhan Dana Transfer ke Daerah
Dalam kurun waktu 2009 - 2013, jika dibandingkan dengan Alokasi Transfer ke Daerah tahun 2009 sebesar Rp310,5 Triliun, terjadi kenaikan alokasi sebesar Rp224,3 Triliun atau sebesar 73,2% atau rata-rata naik sebesar 14,6% pertahun.
92
Tabel 3.2
Tingkat Pertumbuhan Dana Transfer ke Daerah(dalam miliar rupiah)
TAHUN 2013JENIS DANA PAGU PAGU
(1) (2) (3) (4)=(3)-(2) (5)=(4):(2) (6)=(4)/5 (7)=(6):(2)DAK 24,819.6 31,697.1 6,877.55 27.7% 1,375.51 5.5%DAU 186,414.1 311,139.3 124,725.19 66.9% 24,945.04 13.4%DBH 73,819.4 101,962.4 28,143.04 38.1% 5,628.61 7.6%OTSUS 9,526.6 13,445.6 3,919.01 41.1% 783.80 8.2%PENYESUAIAN 11,733.1 70,385.9 58,652.79 499.9% 11,730.56 100.0%
BOS - 23,446.9 23,446.90 Tamsil 4,494.5 2,412.0 (2,082.53) TPG - 43,057.8 43,057.80 DID - 1,387.8 1,387.80
Penyes. Lainnya 7,238.6 81.4 (7,157.18) JUMLAH TOTAL 306,312.7 528,630.3 222,317.6 72.6% 44,463.5 14.5%
% ∆ AVG PER TAHUN
% AVG2009
∆ 2009 - 2013
Porsi terbesar kenaikan alokasi transfer ke daerah ini disumbang oleh DAU yang rata-rata naik sebesar Rp24,9 Triliun atau naik sebesar 13,4% setiap tahunnya, disusul kenaikan rata-rata per tahun Dana Penyesuaian sebesar Rp11,7 Triliun atau naik sebesar 100%, DBH sebesar Rp5,6 Triliun atau naik sebesar 7,6%, DAK sebesar Rp1,3 Triliun atau naik sebesar 5,5%, dan Dana OTSUS sebesar Rp0,8 Triliun atau naik sebesar 8,2%.
Grafi k 3.3
Pertumbuhan Dana Transfer ke Daerah(Per Jenis Dana)
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 93
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Kenaikan pagu DAU yang cukup besar disebabkan karena naiknya pagu APBN. Sesuai Pasal 27 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Ayat (1) diatur bahwa jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari PDN Neto yang ditetapkan dalam APBN, hal ini menyebabkan DAU akan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan naiknya pagu APBN. Kenaikan yang cukup besar juga terjadi pada Dana Penyesuaian, seiring dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan dana pendidikan dan kesejahteraan untuk para guru salah satunya dengan memberikan tambahan penghasilan dan tunjangan profesi kepada guru PNSD.
Tabel 3.3
Pagu dan Realisasi 2009 – 2013(dalam Miliar Rupiah)
Jenis Dana2009 2010 2011 2012 2013
Pagu %Real Pagu %Real Pagu %Real Pagu %Real Pagu
DBH 73.819,4 103,1 89.618,4 102,9 96.772,1 100 108.421,7 102,9 101.962,4
DAU 186.414,1 100 192.490,3 100 225.533,7 100 273.814,4 100 311.139,3
DAK 24.819,6 99,5 21.138,4 99,1 25.232,8 98,3 26.115,9 99,3 31.697,1
OTSUS 9.526,6 100 9.099,6 100 10.421,3 100 11.952,6 100 13.445,6
PENYE-SUAIAN
11.733,1 99,9 30.520,4 97,9 54.044,3 99,4 59.481,2 96,6 70.385,9
BOS - - - - 16.329,9 100 23.594,8 95,7 23.446,9
Tamsil 4.494,5 100 4.175,5 99,2 3.696,2 99,6 2.898,9 99,5 2.412,0
TPG - - 10.994,9 99,7 18.537,7 100 1.387,8 100 43.057,8
DID - - 1.387,8 100 1.387,8 100 1.387,8 100 1.387,8
Penyesuaian Lainnya
7.238,6 99,9 13.962,2 96 14.092,7 97,7 30 100 81,4
Jumlah 306.312,7 100,7 342.867,2 100,5 412.004,2 97,9 479.785,8 98,1 528.630,3
Dari sisi realisasi penyaluran dana Transfer ke Daerah selama kurun waktu tahun 2009 - 2012, DAU dan Dana OTSUS selalu tersalur 100%, DAK dan Dana Penyesuaian selalu tersalur kurang dari 100%, sementara DBH selalu tersalur lebih dari 100%.
Tidak tersalurnya sebagian DAK disebabkan karena keterbatasan daerah dalam menyerap DAK yang mengakibatkan daerah tidak memenuhi persyaratan dalam pelaporan DAK yang mensyaratkan penyerapan 90%
94
dari DAK yang ada di Rekening Kas Umum Daerah. Dana Penyesuaian tidak terealisasi 100% karena tidak terserapnya dana Cadangan BOS dan daerah tidak menyampaikan laporan realisasi penyerapan Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD dan Dana Tunjangan Penghasilan Guru PNSD. Sementara DBH selalu terealisasi lebih dari 100% karena besaran penyaluran DBH khususnya DBH SDA mengikuti realisasi Penerimaan SDA dan penerimaan Pajak.
Perkembangan Hibah ke Daerah
Realisasi hibah ke daerah dalam tahun 2011 dan 2012 tidak terlalu besar dari pagu alokasi, yaitu sebesar Rp350,039 miliar pada tahun 2011 dan Rp75,911 miliar pada tahun 2012 sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 3.4. Hibah tersebut sebagian merupakan penerusan hibah dan sebagian lainnya merupakan pinjaman pemerintah pusat yang diterushibahkan kepada daerah. Sebagian besar alokasi dana hibah adalah untuk MRT sebesar Rp5,2 triliun, namun hanya sebesar Rp6,7 miliar yang direalisasikan dalam tahun 2011 dan Rp3,49 miliar dalam tahun 2012. Realisasi hibah terbesar dari alokasi adalah hibah air minum yang dialokasikan kepada 35 daerah. Penerima hibah terbanyak adalah untuk Water Resources and Irrigation Sector Management Project – APL 2 (WISMP-2) yaitu sebanyak 114 daerah, namun yang direalisasikan hanya sebesar Rp14,584 miliar dari Rp575 miliar yang dialokasikan.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 95
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Tabel 3.4
Perkembangan Hibah ke Daerah(dalam Miliar Rupiah)
No KegiatanTotal
Alokasi (Rp)
Realisasi 2011 (Rp)
Realisasi 2012 (Rp)
Daerah Penerima
1 Mass Rapid Transit 5.200 6,7 3,49
2 Hibah Air Minum 199,5 199,05 - 353 Hibah Air Limbah 25 24,13 - 5
4 Infrastructure Enhance-ment Grant (IEG) - Sanitasi 48 43,389 - 22
5 IEG - Transportasi 6,4 - 5,365 2
6 Local Basic Education Capacity (L-BEC) 125 70,473 42,838 50
7 Water and Sanitation – Sub Program D (WASAP-D) 17,95 6,297 9,634 6
8Water Resources and Irri-gation Sector Management Project – APL 2 (WISMP-2)
575 - 14,584 114
Total 6.196,85 350,039 75,911 234
3.2. Kebijakan DAU
3.2.1. Penetapan Besaran DAU Nasional
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, DAU untuk tahun 2013 ditetapkan 26% dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN) Netto dengan proporsi pembagian DAU antara provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan sebesar 10% untuk provinsi dan 90% untuk kabupaten/kota. Alokasi DAU tahun 2013 ditetapkan sebesar Rp311.139,3 Miliar dengan pembagian Rp31.113,93 Miliar untuk provinsi dan Rp280.025,37 untuk kabupaten/kota.
3.2.2. Perhitungan Alokasi DAU
1) Parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat pemerataan kemampuan keuangan antar daerah adalah Williamson Index (WI). WI yang dipilih menggambarkan tingkat pemerataan yang paling optimal,
96
relatif lebih baik dari tahun lalu, dan memperhatikan jumlah daerah yang mengalami penurunan DAU, serta total penurunannya relatif kecil.
2) Alokasi Dasar dihitung berdasarkan data jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dan besaran belanja gaji PNSD dengan memperhatikan kebijakan-kebijakan terkait dengan perbaikan penghasilan PNS antara lain kenaikan gaji pokok, gaji bulan ke-13, formasi CPNSD tahun 2012, dan kebijakan-kebijakan lain terkait penggajian. Adapun data dasar yang digunakan adalah data gaji induk bulan Juni 2012 yang terdiri dari komponen Gaji Pokok, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Jabatan, Tunjangan PPh, dan Tunjangan Beras.
3) Untuk lebih mengoptimalkan peranan formula celah fi skal (CF) dalam perhitungan DAU porsi AD terhadap DAU secara nasional sebesar 46% untuk provinsi dan 49% untuk kabupaten/kota. Komponen Alokasi Dasar dalam DAU tidak dimaksudkan untuk menutup seluruh kebutuhan belanja gaji PNSD, terlebih untuk daerah yang memiliki kapasitas fi skal tinggi (Penjabaran dari Pasal 32, UU No.33 Tahun 2004).
4) Data-data yang digunakan dalam penghitungan DAU adalah:
Tabel 3.5
Data dalam Perhitungan DAU
Jenis Data Basis Data Sumber/Keterangan
1. PAD 2011 Laporan Realisasi APBD dari Daerah dan Kementerian Keuangan
2. DBH 2011 Laporan Realisasi APBD dari Daerah dan Kementerian Keuangan
3. Jumlah penduduk 2012 BPS
4. Luas Wilayah 2012
• Luas wilayah daratan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2011 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Daerah.
• Luas wilayah perairan (laut) yang bersumber dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Data luas wilayah perairan laut dimaksud dihitung 4 mil dari garis pantai untuk kabupaten/kota dan 12 mil untuk provinsi.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 97
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
5. IKK 2012
BPS
IKK digunakan sebagai proxy untuk mengukur tingkat kesulitan geografi s suatu daerah, semakin sulit letak geografi s suatu daerah maka semakin tinggi pula tingkat harga di daerah tersebut.
6. IPM 2011
BPS
IPM merupakan indikator komposit yang mengukur kualitas hidup manusia melalui pendekatan 3 (tiga) dimensi yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Indikator ini penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk) atau secara komprehensif dianggap sebagai ukuran kinerja suatu negara/wilayah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
7. PDRB 2011
Untuk daerah dengan PDRB per kapita outlier atau pencilan, nilainya diperhitungkan untuk ditarik ke tingkat PDRB per kapita tertinggi di dalam layer dibawahnya agar hasil perhitungan lebih mencerminkan pemerataan yang lebih baik.
8. Belanja Rata-Rata 2011 Laporan Realisasi AP BD dari Daerah dan Kementerian Keuangan
Bobot masing-masing variabel untuk provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan sebagai berikut:
Tabel 3.6
Penetapan Bobot Variabel Dalam Penghitungan DAU
Jenis DataBobot
KeteranganProvinsi Kab/Kota
1. PAD 50% 60%2. DBH:
a. Pajak
b. SDA
70%
55%
55%
55%
3. Jumlah penduduk 30% 30%
98
4. Luas Wilayah 13% 13%
Untuk provinsi daratan dihitung 100% sedangkan perairan dihitung 35%.
Kabupaten/kota daratan dihitung 100% sedangkan perairan dihitung 40%.
5. IKK 28% 28%6. IPM 11% 14%7. PDRB 18% 15%
3.3. Kebijakan DAK
3.3.1. Kebijakan Umum DAK Tahun 2013
Sesuai dengan amanat Pasal 39 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Pasal 51 Peratuan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 pengalokasian DAK dimaksudkan agar daerah dapat mengalokasikan APBD-nya untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah. Sesuai hal tersebut mum arah kebijakan umum DAK Tahun 2013 ditetapkan sebagai berikut:
• membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah dalam membiayai pelayanan publik dalam rangka mendorong pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM), melalui penyediaan sarana dan prasarana fi sik pelayanan dasar masyarakat, serta meningkatkan efektifi tas belanja daerah;
• memantapkan perencanaan DAK dengan mendorong pendekatan berbasis output/outcome, sesuai dengan RPJM;
• meningkatkan koordinasi penyusunan Petunjuk Teknis;
• meningkatkan akurasi data-data teknis dan menghindari duplikasi kegiatan antar bidang DAK;
• memperhatikan daerah tertinggal di masing-masing bidang DAK;
• meningkatkan kinerja dan kualitas pengelolaan DAK;
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 99
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
• mendorong Kementerian/Lembaga untuk mengalihkan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran Kementerian/Lembaga yang masih digunakan untuk melaksanakan urusan daerah secara bertahap ke DAK;
• meningkatkan koordinasi pengelolaan DAK, sehingga dapat membantu sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan yang didanai dari sumber pendanaan lainnya (APBN dan APBD);
• menerapkan kebijakan disinsentive kepada daerah yang tidak melaporkan pelaksanaan kegiatan DAK melalui penggunaan kinerja pelaporan sebagai salah satu pertimbangan dalam penyusunan kriteria teknis perhitungan alokasi DAK.
3.3.2. Penentuan Daerah Penerima DAK
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 daerah penerima DAK ditentukan dengan menggunakan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum adalah kriteria kemampuan keuangan daerah, yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja gaji pegawai negeri sipil daerah. Penerimaan umum APBD terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Daerah yang memiliki kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional (IFN) diprioritaskan mendapatkan DAK.
Kriteria khusus adalah kriteria yang menunjukkan kekhususan daerah yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah yang disepakati dalam pembahasan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan Papua Barat dan karakteristik daerah yang meliputi daerah tertinggal, daerah pesisir dan/atau kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah ketahanan pangan, dan daerah pariwisata diprioritaskan
100
mendapat DAK. Terkait dengan kriteria teknis daerah-daerah yang kondisi sarana dan prasarana kurang baik juga akan diprioritaskan untuk mendapatkan alokasi DAK.
3.3.3. Data dalam Perhitungan DAK
1) PAD, Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdasarkan laporan APBD realisasi tahun 2011 yang bersumber dari Daerah dan Kementerian Keuangan.
2) DBH Pajak, berdasarkan data Laporan Realisasi Anggaran 2011, dengan memperhitungkan potongan lebih bayar selama tahun 2011 dan kurang bayar yang disalurkan selama tahun 2011, tidak termasuk DBH CHT.
3) DBH SDA, berdasarkan data LRA 2011 dengan memperhitungkan potongan lebih bayar selama tahun 2011 dan dana cadangan tahun 2010 dan kurang bayar DBH yang disalurkan pada tahun 2011. Tidak termasuk dana cadangan DBH tahun 2011, DBH dalam rangka Otsus, DBH DR dan DBH Migas 0,5% (earmark).
4) DAU, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 06 Tahun 2011 tentang DAU Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota TA. 2011, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.07/2011 tentang Koreksi Alokasi DAU Kabupaten/Kota TA. 2010 dalam pelaksanaan penyaluran DAU kabupaten/kota TA. 2011, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.07/2011 tentang Koreksi Positif DAU dan Koreksi Positif DAK TA. 2010.
5) Gaji PNSD, Berdasarkan data gaji PNSD Tahun 2011.
6) Indeks Kemahalan Konstruksi, Berdasarkan data IKK Tahun 2012.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 101
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
3.3.4. Penentuan Besaran Alokasi DAK
Besaran alokasi DAK untuk masing-masing daerah dilakukan dengan menggunakan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis, dengan ketentuan Pembobotan IFN, IKW, IT sebagai berikut:
a) Dalam penentuan kelayakan daerah penerima DAK, digunakan bobot :
- Untuk Menghitung IFW = IFN : 50% dan IKW : 50%
- Untuk Menghitung IFWT = IFW : 50% dan IT : 50%
b) Dalam penentuan Besaran Alokasi DAK, digunakan bobot :
- Untuk Menghitung IFW = IFN : 50% dan IKW : 50%
- Untuk Menghitung IFWT = IFW : 20% dan IT : 80%
Berdasarkan arah kebijakan dan cara perhitungan DAK sebagaimana di atas, dalam APBN 2013 telah dialokasikan DAK Tahun 2013 sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 3.7
Alokasi DAK Per Bidang TA 2013(dalam Ribuan Rupiah)
No Bidang DAK Jumlah (Rp) %1 Pendidikan 11.090.774 34,992 Kesehatan 3.101.545 9,783 Infrastruktur Jalan 5.373.518 16,954 Infrastruktur Irigasi 1.614.062 5,095 Infrastruktur Air Minum 609.911 1,926 Infrastruktur Sanitasi 569.456 1,807 Prasarana Pemerintahan Daerah 481.279 1,528 Kelautan dan Perikanan 1.812.301 5,729 Pertanian 2.542.312 8,0210 Lingkungan Hidup 530.548 1,6711 Keluarga Berencana 442.869 1,40
102
12 Kehutanan 539.419 1,7013 Sarana Perdagangan 694.700 2,1914 Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal 716.995 2,2615 Energi Perdesaan 432.491 1,3616 Perumahan dan Permukiman 205.041 0,6517 Keselamatan Transportasi Darat 221.006 0,7018 Transportasi Perdesaan 260.774 0,8219 Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan 458.142 1,45
Total 31.697.143 100,00
3.3.5. Arah Kebijakan, Ruang Lingkup dan Indikator Teknis Masing-Masing Bidang DAK
Agar pelaksanaan kegiatan yang didanai dengan DAK dapat mendukung program nasional maka besaran alokasi per subbidang, arah dan ruang lingkup kegiatan serta indikator masing-masing bidang DAK ditetapkan sebagaimana dijelaskan berikut ini.
Alokasi masing-masing bidang DAK adalah sebagai berikut:
1) DAK Bidang Pendidikan
DAK sebesar Rp10.090.774,0 juta dialokasikan untuk sekolah dasar (SD) sebesar Rp3.563.929,0 juta, sekolah menengah pertama (SMP) sebesar Rp2.510.325,0 juta, sekolah menengah atas (SMA) sebesar Rp1.606.608,0 juta dan sekolah menengah kejuruan (SMK) sebesar Rp2.409.912,0 juta.
Arah kebijakan DAK bidang pendidikan adalah untuk mendukung penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang bermutu dan merata dalam rangka memenuhi SPM dan secara bertahap memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, kegiatan DAK Pendidikan 2013 juga diarahkan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan menengah universal melalui penyediaan sarana prasarana pendidikan yang berkualitas dan mencukupi. Kegiatan DAK Pendidikan tahun 2013 akan diprioritaskan untuk
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 103
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
melaksanakan rehabilitasi ruang kelas dan/atau ruang belajar rusak sedang jenjang SD/SDLB dan SMP/SMPLB, rehabilitasi ruang belajar rusak berat jenjang SMA/SMK/SMLB, pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) dan Ruang Belajar Lain (RBL) beserta perabotnya bagi jenjang SMP/SMPLB, pembangunan ruang perpustakaan beserta perabotnya, penyediaan buku referensi perpustakaan, pembangunan laboratorium bagi jenjang SMA/SMK/SMLB, dan penyediaan peralatan pendidikan. Sekolah penerima DAK Bidang Pendidikan tahun 2013 meliputi jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB, baik negeri maupun swasta.
Lingkup kegiatan DAK bidang pendidikan meliputi: (1) rehabilitasi ruang kelas rusak sedang jenjang SD/SDLB; (2) rehabilitasi ruang belajar rusak sedang jenjang SMP/SMPLB; (3) pembangunan ruang belajar jenjang SMP/SMPLB; (4) rehabilitasi ruang belajar rusak berat jenjang SMA/SMK/SMLB (5) pembangunan ruang kelas baru jenjang SMP/SMPLB; (6) pembangunan perpustakaan jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB; (7) pembangunan ruang Laboratorium jenjang SMA/SMK/SMLB; (8) pengadaan peralatan pendidikan jenjang SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/SMLB; (9) pengadaan buku teks pelajaran/ referensi jenjang SMP/SMPLB dan SMA/SMK/SMLB.
Indikator Teknis:
a) SD/SDLB
- Jumlah Ruang Kelas Rusak Sedang
- Jumlah SD/SDLB Yang Belum Memiliki Perpustakaan
- Angka Partisipasi Murni (APM) SD/SDLB
104
b) SMP/SMPLB
- Jumlah Ruang Belajar Rusak Sedang
- Jumlah Kebutuhan Ruang Kelas Baru (RKB)
- Jumlah Kebutuhan Alat IPA
- Jumlah Kebutuhan Alat IPS
- Jumlah Kebutuhan Alat Matematika
- Jumlah Kebutuhan Alat Olah Raga
- Kebutuhan Alat Laboratorium Bahasa
- Laporan DAK SMP/SMPLB Tahun 2010 dan 2011.
- Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/SMPLB
c) SMK
- Rehabilitasi Ruang Belajar Rusak
- Pembangunan Ruang Perpustakaan
- Pengadaan Buku Teks
- Pembangunan Ruang Laboratorium
- Pengadaan Peralatan Laboratorium
- Angka Partisipasi Kasar (APK) SMK
d) SMA
- Rehabilitasi Ruang Belajar Rusak
- Kebutuhan Ruang Perpustakaan
- Kebutuhan Ruang Laboratorium IPA
- Kebutuhan Peralatan Laboratorium IPA
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 105
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
- Kebutuhan Buku Teks
- Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA
2) DAK Kesehatan
DAK bidang kesehatan sebesar Rp3.101.545,0 juta dialokasikan untuk kesehatan pelayanan dasar sebesar Rp1.251.604,0 juta, pelayanan kefarmasian sebesar Rp1.100.685,0 juta, kesehatan pelayanan rujukan provinsi sebesar Rp117.420,0 juta, dan pelayanan rujukan untuk kabupaten/kota sebesar Rp631.836,0 juta.
Kebijakan DAK bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs yang difokuskan pada penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak, penanggulangan masalah gizi, serta pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), dengan dukungan penyediaan jaminan persalinan dan jaminan kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, peningkatan sarana prasarana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan termasuk kelas III Rumah Sakit, penyediaan dan pengelolaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin yang berkhasiat, aman, bermutu dan bermanfaat dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan 2014.
Lingkup kegiatan DAK bidang kesehatan meliputi:
(1) pelayanan kesehatan dasar yakni pemenuhan sarana, prasarana, dan peralatan bagi puskesmas dan jaringannya, antara lain meliputi (a) Pembangunan Puskesmas Pembantu/Puskesmas di Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan
106
(DTPK)/Puskesmas Perawatan mampu PONED/Instalasi pengolahan limbah puskesmas/pembangunan poskesdes/posbindu, (b) Peningkatan Puskesmas menjadi Puskesmas Perawatan di DTPK, (c) Rehabilitasi puskesmas/rumah dinas dokter/dokter gigi/paramedis (Kopel), (d) Penyediaan sarana dan prasarana penyehatan lingkungan/pengadaan UKBM Kit;
(2) pelayanan kesehatan rujukan yakni pemenuhan/pengadaan sarana, prasarana dan peralatan bagi RSUD antara lain meliputi: (a) Pengadaan sarana dan prasarana RS Siap PONEK, (b) Penyediaan fasilitas Tempat Tidur Kelas III RS, (c) Pembangunan IPL RS, (d) Pemenuhan peralatan UTD RS/BDRS, (e) Pengadaan sarana dan prasarana ICU dan IGD;
(3) pelayanan kefarmasian, antara lain meliputi: (a) Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan, (b) Pembangunan baru, rehabilitasi, penyediaan sarana pendukung instalasi farmasi kabupaten/kota, (c) Pembangunan baru instalasi farmasi gugus kepulauan/satelite dan sarana pendukungnya.
Indikator Teknis:
a) Pelayanan Dasar
- Pembangunan Puskesmas Pembantu (Pustu)
- Pembangunan Puskesmas terutama di DTPK (Daerah Tertinggal Pesisir Kepulauan)
- Pembangunan Puskesmas Perawatan Mampu PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar)
- Pembangunan Instalasi Pengolah Limbah (IPL)
- Jumlah Poskesdes
- Peningkatan Puskesmas menjadi Puskesmas perawatan di DTPK
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 107
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
- Rehabilitasi Puskesmas Pembantu
- Rehabilitasi Puskesmas
- Rehabilitasi Puskesmas Perawatan
- Rehabilitasi Puskesmas Perawatan mampu Poned
- Rehabilitasi Rumah Dinas Dokter/Dokter Gigi
- Rehabilitasi Rumah Dinas Paramedis
- Sanitarian Kit
b) Pelayanan Rujukan
- Sarana prasarana RS Siap PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif)
- Fasilitas Tempat Tidur Kelas III
- Instalasi Pengolahan Limbah RS
- Peralatan UTD RS/BDRS
- Sarana Prasarana ICU dan IGD
c) Pelayanan Kefarmasian
- Alokasi Obat dan Perbekalan kesehatan
- Sarana dan prasarana instalasi farmasi
- Kondisi khusus kefarmasian
3) DAK Infrastruktur Jalan
DAK bidang Infrastruktur Jalan sebesar Rp4.373.518,0 juta dialokasikan untuk: infrastruktur jalan provinsi sebesar Rp618.922,0 juta, dan infrastruktur jalan kabupaten/kota sebesar Rp3.754.596,0 juta. Arah kebijakan DAK bidang infrastruktur jalan ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja pelayanan prasarana
108
jalan provinsi, kabupaten dan kota serta menunjang aksesibilitas keterhubungan wilayah (domestic connectivity) dalam mendukung pengembangan koridor ekonomi wilayah/kawasan.
Lingkup kegiatan DAK mencakup: (1) pemeliharaan berkala jalan dan jembatan yang kewenangan pengaturannya oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota, (2) peningkatan dan pembangunan jalan yang kewenangan pengaturannya oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota, (3) penggantian dan pembangunan jembatan yang kewenangan pengaturannya oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
Indikator Teknis DAK infrastruktur jalan meliputi panjang jalan, kondisi jalan, luas wilayah, jumlah penduduk, kepedulian, dan pelaporan.
4) DAK Infrastruktur Irigasi
DAK Infrastruktur Irigasi sebesar Rp1.614.062,0 juta, dialokasikan untuk provinsi sebesar Rp432.271,0 juta; dan kabupaten/kota sebesar Rp1.181.791,0 juta. Kebijakan DAK Infrastruktur Irigasi diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja layanan jaringan irigasi/rawa kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka mendukung pemenuhan sasaran Prioritas Nasional di Bidang Ketahanan Pangan khususnya Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Menuju Surplus Beras 10 Juta Ton Pada Tahun 2014.
Lingkup kegiatan DAK Infrastruktur meliputi kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi yang kewenangan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dengan tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan untuk kegiatan peningkatan jaringan irigasi. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan DAK Irigasi, kegiatan SID dan operasi/pemeliharaan jaringan irigasi menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagai kegiatan komplementer.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 109
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Indikator Teknis mencakup luas daerah irigasi, kondisi daerah irigasi, kepedulian, penanaman, serta pelaporan.
5) DAK Infrastruktur Air Minum
Dialokasikan sebesar Rp609.911,0 juta, untuk daerah kabupaten/kota. Kebijakan DAK infrastruktur air minum diarahkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) penyediaan air minum di kawasan perkotaan, perdesaan termasuk daerah tertinggal.
Lingkup kegiatan DAK infrastruktur air minum mencakup: (1) Perluasan dan peningkatan sambungan rumah (SR) perpipaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) perkotaan. Daerah yang menjadi sasaran adalah kabupaten/kota yang memiliki idle capacity yang memadai untuk dibangun SR perpipaan; (2) Pemasangan master meter untuk MBR perkotaan khususnya yang bermukim di kawasan kumuh perkotaan. Daerah yang menjadi sasaran adalah kabupaten/kota yang memiliki idle capacity yang memadai untuk dibangun SR perpipaan; dan (3) Pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) perdesaan. Daerah yang menjadi sasaran adalah desa-desa dengan sumber air baku yang relatif mudah.
Indikator Teknis yang diperhitungkan meliputi kerawanan air minum, masyarakat berpenghasilan rendah, cakupan air minum, Idle Capacity, kepedulian, dan pelaporan.
6) DAK Infrastruktur Sanitasi
DAK Infrastruktur Sanitasi dialokasikan sebesar Rp569.456,0 juta, untuk daerah kabupaten/kota. Arah Kebijakan DAK Infrastruktur Sanitasi ditujukan untuk meningkatkan cakupan dan kehandalan
110
pelayanan sanitasi, terutama dalam pengelolaan air limbah dan persampahan secara komunal/terdesentralisasi untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) penyediaan sanitasi di kawasan daerah rawan sanitasi, termasuk daerah tertinggal.
Lingkup Kegiatan meliputi: (1) Subbidang air limbah: pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal; dan (2) Subbidang persampahan: pembangunan dan pengembangan fasilitas pengelolaan sampah dengan pola 3R (reduce, reuse, dan recycle) di tingkat komunal yang terhubung dengan sistem pengelolaan sampah di tingkat kota.
Indikator Teknis: Strategi Sanitasi Kota, Masyarakat Berpenghasilan Rendah, Cakupan Pelayanan Sanitasi, Kepedulian, Pelaporan, dan Koefi siensi Program Sanitasi.
7) DAK Prasarana Pemerintahan Daerah
DAK Prasarana Pemerintahan Daerah sebesar Rp481.279,0 juta diarahkan untuk meningkatkan kinerja Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Prioritas diberikan kepada daerah pemekaran, dan daerah tertinggal guna meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah tersebut.
Lingkup Kegiatan mencakup: (1) Pembangunan/perluasan gedung kantor Bupati/Walikota; (2) Pembangunan/perluasan gedung kantor Setda Kab/Kota; (3) Pembangunan/perluasan gedung kantor DPRD Kab/Kota dan Sekretariat DPRD Kab/Kota; dan (4) Pembangunan/perluasan gedung kantor SKPD Kab/Kota.
Indikator Teknis: Status Otonomi: Daerah Otonomi Baru, Daerah Induk/Dampak Pemekaran, dan Non Pemekaran, Status Kepemilikan
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 111
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Gedung (sewa, gabung, milik pemda), Kondisi Bangunan (rusak berat, rusak sedang, rusak ringan), dan Rasio Kapasitas Gedung: ≥ 9,6 m2/orang dan < 9,6 m2/orang.
8) DAK Kelautan dan Perikanan
DAK sebesar Rp1.812.301,0 juta dialokasikan untuk provinsi sebesar Rp187.500,0 juta, dan untuk kabupaten/kota sebesar Rp1.624.801,0 juta. Arah kebijakan DAK kelautan dan perikanan adalah untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, mutu, pemasaran, pengawasan, penyuluhan, data statistik dalam rangka mendukung industrialisasi kelautan dan perikanan dan minapolitan, serta penyediaan sarana prasarana terkait dengan pengembangan kelautan dan perikanan di pulau-pulau kecil.
Lingkup Kegiatan mencakup: (a) untuk Provinsi : Penyediaan kapal perikanan >30 GT; dan (b) untuk Kab/Kota: (1) Pengembangan sarana dan prasarana perikanan tangkap; (2) Pengembangan sarana dan prasarana perikanan budidaya; (3) Pengembangan sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan; (4) Pengembangan sarana dan prasarana dasar di pesisir dan pulau-pulau kecil; (5) Pengembangan sarana dan prasarana pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan; (6) Pengembangan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; (7) Pengembangan sarana penyediaan data statistik kelautan dan perikanan.
Indikator Teknis terdirti dari: a). Untuk provinsi mencakup: Produksi Tangkap Laut (ton), Panjang Pantai (km), Jumlah Nelayan (orang); dan b). Untuk Kab./Kota mencakup: Jumlah produksi Perikanan & Kelautan (ton), Jumlah produk olahan (ton), Jumlah Kapal Berlabuh (unit), Jumlah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), Luas Lahan Budidaya (ha), Jumlah Tenaga Kerja (orang), Jumlah Pokmaswas (kelompok), Luas Kawasan Konservasi Perairan Daerah (ha), Jumlah
112
Pasar Ikan Tradisional, Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI), Jumlah Penyuluh Perikanan (orang), Kawasan Minapolitan (kawasan), Lokasi Industrialisasi (lokasi), dan Ketertiban laporan dan kinerja (Y/T).
9) DAK Pertanian
DAK bidang pertanian sebesar Rp2.542.312,0 juta, dialokasikan untuk provinsi sebesar Rp417.143,0 juta; dan kabupaten/kota sebesar Rp2.125.169,0 juta. Kebijakan DAK pertanian diarahkan untuk mendukung pengembangan prasarana dan sarana air, pengembangan prasarana dan sarana lahan, pembangunan dan rehabilitasi balai penyuluhan pertanian serta pengembangan lumbung pangan masyarakat dalam rangka peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri guna mendukung ketahanan pangan nasional.
Lingkup kegiatan meliputi: (a) untuk Provinsi: (1) Pembangunan/Rehabilitasi PTD/Balai/ Perbenihan/Perbibitan, (2) Pembangunan/Rehabilitasi UPTD/Proteksi Tanaman, (3) Pembangunan/Rehabilitasi Laboratorium Kesehatan Hewan; (b) untuk Kabupaten/Kota: (1) Pengembangan Prasarana dan Sarana Air; (2) Pengembangan Prasarana dan Sarana Lahan; (3) Pembangunan/Rehabilitasi balai penyuluhan pertanian kecamatan; dan (4) Pembangunan Lumbung Pangan masyarakat.
Indikator Teknis DAK pertanian meliputi: a). Untuk provinsi: Luas penggunaan lahan sawah (Sawah irigasi dan sawah non irigasi), Fungsional pengawas benih/bibit, Penangkar benih binaan, Petugas laboratorium dan pengamat OPT, Jenis laboratorium proteksi, Jenis laboratorium kesehatan hewan, Petugas kesehatan hewan; dan b). Untuk Kabupaten/Kota: Luas Penggunaan Lahan (Sawah, Tegal, Ladang), Jumlah Balai Penyuluhan Pertanian, Jumlah Penyuluh Pertanian, Kondisi Daerah Kerawanan Pangan, dan Pelaporan.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 113
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
10) DAK Lingkungan Hidup
DAK lingkungan hidup sebesar Rp530.548,0 juta diarahkan untuk: (1) Membantu Kab/Kota dalam rangka mendanai kegiatan untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang lingkungan hidup yang merupakan urusan daerah, dan upaya pencegahan perubahan iklim; (2) Menunjang percepatan penanganan masalah lingkungan hidup di daerah; (3) Memperkuat kapasitas kelembagaan/institusi pengelolaan LH di daerah; (4) Mendorong penciptaan komitmen Pimpinan Daerah untuk memperbaiki dan/atau mempertahankan kualitas lingkungan; (5) Mendorong pimpinan institusi LH daerah untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja lembaganya; (6) Mendorong pengembangan orientasi pengelolaan LH yang berbasis output dan outcome sebagai upaya pemecahan masalah lingkungan; (7) Mendorong pencapaian indikator kinerja utama (IKU) Kab/Kota, Provinsi dan KLH; dan (8) Mendorong peran Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) dan Provinsi dalam pembinaan dan pengawasan pelaksanaan DAK Bidang LH di Kab/Kota guna peningkatan kinerja DAK Bidang LH.
Lingkup Kegiatan DAK lingkungan hidup meliputi: (1) Alat pemantauan dan pengawasan LH melalui kegiatan: pengadaan peralatan laboratorium (untuk laboratorium yang telah beroperasi) dan kendaraan operasional pemantauan dan pengawasan; (2) Alat pengendalian pencemaran lingkungan melalui kegiatan: pembangunan IPAL UKM, IPAL Medik, IPAL Komunal dan unit pengolah sampah 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di fasilitas umum; (3) Kegiatan pencegahan perubahan iklim melalui kegiatan : pembangunan taman hijau/kehati dan instalasi biogas; dan (4) Kegiatan perlindungan fungsi lingkungan melalui kegiatan: pembangunan sumur resapan/biopori, pengolahan gulma, pencegah longsor/turap, embung, dan penanaman pohon.
Indikator Teknis mencakup Kepadatan Penduduk per Kab/Kota, Jumlah Panjang Sungai per Kab/Kota, Luas Tutupan Lahan Terhadap
114
Total Lahan Kritis per Kab/Kota, Bentuk Kelembagaan per Kab/Kota, Luas Ruang Terbuka Hijau per Kab/Kota, Jumlah (Volume) Sampah Harian per Kab/Kota, dan Kinerja Pelaporan.
11) DAK Keluarga Berencana
Dialokasikan sebesar Rp442.869,0 juta diarahkan untuk mendukung kebijakan peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB yang merata, yang dilakukan melalui: a) peningkatan daya jangkau dan kualitas penyuluhan, penggerakan, pembinaan program KB lini lapangan; b) peningkatan sarana dan prasarana pelayanan KB; c) peningkatan sarana pelayanan advokasi, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) Program KB; d) peningkatan sarana pembinaan tumbuh kembang anak; dan e) peningkatan pelaporan dan pengolahan data dan informasi berbasis teknologi informasi.
Lingkup Kegiatan DAK Keluarga Berencana mencakup: (1) Penyediaan sarana kerja dan mobilitas serta sarana pengelolaan data dan informasi berbasis teknologi informasi bagi tenaga lini lapangan; (2) Pemenuhan sarana pelayanan KB di klinik KB (statis) dan sarana dan prasarana pelayanan KB keliling dan pembangunan gudang alat/obat kontrasepsi; (3) Penyediaan sarana dan prasarana penerangan KB keliling, pengadaan Public Address dan KIE Kit; (4) Penyediaan Bina Keluarga Balita (BKB) Kit; (5) Pembangunan/Renovasi Balai Penyuluhan KB tingkat Kecamatan.
Indikator Teknis: Jumlah Penyuluh KB (PKB)/Petugas Lapangan KB (PLKB), Jumlah Pengawas Petugas Lapangan KB (PPLKB), Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Kecamatan, dan Jumlah Klinik KB.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 115
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
12) DAK Kehutanan
DAK sebesar Rp539.419,0 juta, dialokasikan untuk provinsi sebesar Rp26.971,0 juta, dan kabupaten/kotasebesar Rp512.448,0 juta.
Kebijakan DAK diarahkan dalam rangka Peningkatan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama di daerah hulu dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung wilayah, mendukung komitmen presiden dalam penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan sampai dengan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020 sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Selain itu, DAK Bidang Kehutanan diarahkan untuk meningkatkan tata kelola kehutanan melalui pembentukan, operasionalisasi dan perkuatan KPHP dan KPHL yang menjadi tanggung jawab kabupaten/kota.
Lingkup Kegiatan: (1) Rehabilitasi hutan lindung dan lahan kritis di luar kawasan hutan (termasuk hutan rakyat, penghijauan lingkungan, turus jalan), kawasan mangrove, hutan pantai, Tahura dan Hutan Kota; (2) Pengelolaan Tahura dan Hutan Kota termasuk pengamanan hutan; (3) Pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi tahun sebelumnya; (4) Pembangunan dan pemeliharaan bangunan sipil teknis (bangunan Konservasi Tanah dan Air/KTA) yang meliputi dam penahan, dam pengendali, gully plug, sumur resapan, embung dan bangunan konservasi tanah dan air lainnya; (5) Peningkatan penyediaan sarana dan prasarana pengamanan hutan; (6) Peningkatan penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan kehutanan; dan (7) Peningkatan penyediaan sarana dan prasarana operasionalisasi KPH.
Indikator Teknis terdiri dari: a). Untuk provinsi: Luas Lahan Kritis di dalam Kawasan TAHURA, Luas Hutan Mangrove, Luas Hutan
116
Pantai, Kelembagaan KPH, Kelembagaan TAHURA, Penyuluh kehutanan, Gangguan Hutan, dan Laporan; dan b). Untuk Kab./Kota: Luas Lahan Kritis di dalam Kawasan Hutan (Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Pantai, Hutan Mangrove), Luas Lahan Kritis di luar Kawasan Hutan pada daerah Tangkapan Air (catchment Area), Memiliki Kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Memiliki Kelembagaan / Penyuluh Kehutanan, Perlindungan Hutan: Jumlah hot spot tahun 2011 dan Gangguan keamanan hutan, Tertib Laporan, Bukan Daerah Penghasil Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR).
13) DAK Sarana dan Prasarana Perdagangan:
Dialokasikan sebesar Rp694.700,0 juta. Kebijakan DAK diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana perdagangan untuk mendukung: (1) Pasokan dan ketersediaan barang (khususnya bahan pokok) sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat, terutama di daerah-daerah tertinggal, perbatasan, daerah pemekaran, dan/atau daerah yang minim sarana perdagangannya serta,(2) Pelaksanaan tertib ukur untuk mendukung upaya perlindungan konsumen dalam hal jaminan kebenaran hasil pengukuran terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi UTTP yang cukup besar dan belum dapat ditangani.
Lingkup kegiatan: (1) Pembangunan dan pengembangan sarana distribusi perdagangan (pasar); (2) Pembangunan dan peningkatan sarana metrologi legal, melalui pembangunan gedung laboratorium Metrologi Legal dan pengadaan peralatan pelayanan tera/tera ulang (meliputi peralatan standar kerja, unit berjalan tera/tera ulang roda empat, unit fungsional pengawasan roda empat dan unit mobilitas roda dua); serta (3) Pembangunan gudang komoditas pertanian dalam kerangka Sistem Resi Gudang.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 117
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Indikator Teknis terdiri dari:
a) Pasar: Jumlah Pasar Tanpa Bangunan, dan Jumlah Desa yang Tidak Memiliki Pasar Permanen/Semi Permanen pada Jarak < 3 km.
b) Metrologi: Jumlah potensi UTTP (selain meter kwh dan meter air) di wilayahnya sekurang-kurangnya 1500 unit UTTP, Jumlah SDM kemetrologian sekurang-kurangnya 4 orang tenaga penera atau yang telah diusulkan untuk mengikuti Diklat Kemetrologian, UPTD atau telah memiliki komitmen untuk membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) metrologi legal, dan Ketersediaan lahan untuk pembangunan gedung yang akan dijadikan kantor dan laboratorium pelayanan tera/tera ulang.
c) Gudang: Jumlah produksi padi, Jumlah produksi jagung, Jumlah produksi kopi, Jumlah produksi kakao, Jumlah produksi lada, Jumlah produksi karet, Jumlah produksi rumput laut, dan Jumlah produksi rotan.
14) DAK Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal
DAK sebesar Rp716.995,0 juta diarahkan untuk mendukung kebijakan pembangunan daerah tertinggal yang diamanatkan dalam RPJMN 2010-2014 dan RKP 2013 yaitu pengembangan perekonomian lokal di daerah tertinggal melalui peningkatan kapasitas, produktivitas dan industrialisasi berbasis komoditas unggulan lokal secara berkesinambungan beserta sarana prasarana pendukungnya sehingga daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang relatif lebih maju.
Lingkup kegiatannya mencakup : (1) Penyediaan sarana transportasi umum darat dan air untuk mendukung pengembangan ekonomi
118
lokal; (2) Pembangunan/rehabilitasi dermaga kecil/tambatan perahu; (3) Pembangunan embung di daerah rawan air.
Indikator Teknis terdiri dari:
a) Kebutuhan Moda Transportasi: Jarak Tempuh dari Desa ke Kecamatan dan Kabupaten, Topografi , Kondisi Jalan (Aspal, Kerikil, Tanah, dan Lainnya), Moda Transportasi Darat, dan Moda Transportasi Air.
b) Kebutuhan Dermaga/Tambatan Perahu.
c) Persentase Desa yang Berbatasan dengan Laut Sungai dan Waduk dan digunakan untuk Transportasi.
d) Kebutuhan Embung: Lahan Tidak Berpengairan, dan Lahan dengan Pengairan Non Teknis.
e) Tingkat Pelaporan, Tingkat Kepatuhan pada Pelaporan
f) Kebijakan Afi rmasi: Daerah Perbatasan, Kabupaten yang memiliki Pulau Terluar, Kabupaten yang diproyeksikan maju, Papua-Non Papua, Kebutuhan minimum penanganan resiko bencana/konfl ik.
15) DAK Energi Perdesaan:
DAK sebesar Rp432.491,0 juta. Arah kebijakan DAK energi pedesaan adalah untuk diversifi kasi energi, yaitu untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan setempat untuk meningkatkan akses masyarakat perdesaan, termasuk masyarakat di daerah tertinggal dan kawasan perbatasan, terhadap energi modern.
Lingkup Kegiatan meliputi: (1) Pembangunan PLTMH baru; (2) Rehabilitasi PLTMH yang rusak; (3) Perluasan/peningkatan pelayanan tenaga listrik dari PLTMH; (4) Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat dan PLTS tersebar (SHS); dan (5) Pembangunan instalasi biogas.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 119
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Indikator Teknis terdiri dari Rasio Elektrifi kasi dan Rasio Ternak (sapi dan kerbau) per Kepala Keluarga
16) DAK Perumahan dan Permukiman
Arah Kebijakan DAK untuk meningkatkan penyediaan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka menstimulan pembangunan perumahan dan permukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Menengah dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBM/R) di Kabupaten/Kota termasuk kawasan tertinggal, rawan air dan rawan sanitasi.
Lingkup Kegiatan adalah untuk membantu daerah dalam mendanai kebutuhan fi sik infrastruktur perumahan dan permukiman dalam rangka mencapai Standar Pelayanan Minimum (SPM) meliputi: (1) Penyediaan jaringan pipa air minum,(2) Sarana air limbah komunal,(3) Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), (4) Jaringan distribusi listrik, (5) Penerangan jalan umum.
Indikator Teknis:
- Angka jumlah kekurangan rumah (Backlog) pada Kab/Kota
- Angka APBD Sektor Perumahan Tahun 2011-2012
- Rencana Pembangunan Rumah Tahun 2013 di Kab/Kota
- Kinerja DAK Tahun 2011-2012
- Kesiapan lokasi yang dilihat berdasarkan legalitas Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)
17) DAK Keselamatan Transportasi Darat
DAK sebesar Rp221.006,0 juta, dilokasikan untuk provinsi sebesar Rp33.151,0 juta, dan kabupaten/kota sebesar Rp187.855,0 juta.
120
Kebijakan DAK diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di provinsi, kabupaten/kota guna menurunkan tingkat fatalitas (jumlah korban meninggal) akibat kecelakaan lalu lintas secara bertahap sebesar 20% pada akhir tahun 2014 dan menurunkan korban luka-luka sebesar 50% hingga akhir tahun 2014.
Lingkup Kegiatan:
a) Pengadaan dan pemasangan fasilitas keselamatan transportasi darat; dan
b) Pengadaan dan pemasangan alat pengujian kendaraan bermotor.
Indikator Teknis:
- Aksesibilitas (Panjang Jalan / Luas Wilayah)
- Kepadatan Penduduk (Jumlah Penduduk / Luas Wilayah)
18) DAK Transportasi Perdesaan
Arah Kebijakan DAK Transportasi Perdesaan adalah untuk: (1) Meningkatkan pelayanan mobilitas penduduk dan sumber daya lainnya yang dapat mendukung terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah perdesaan, dan diharapkan dapat menghilangkan keterisolasian dan memberi stimulan ke arah perkembangan di semua bidang kehidupan, baik perdagangan, industri maupun sektor lainnya di daerah perdesaan; (2) Pengembangan sarana dan prasarana wilayah perdesaan yang memiliki nilai strategis dan diprioritaskan untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan di kawasan strategis cepat tumbuh yang meliputi sektor pertanian, perikanan, pariwisata, industri, energi dan sumber daya mineral, kehutanan dan perdagangan.
Lingkup kegiatan mencakup: (1) Pembangunan, peningkatan, dan pemeliharaan jalan poros desa; (2) Pengadaan sarana transportasi perdesaan.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 121
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Indikator Teknis:
- Indeks Kebutuhan Prasarana Angkutan (IKPA)
- Indeks Kebutuhan Sarana Angkutan (IKSA)
- Indeks Karakteristik Kewilayahan (IKK)
- Indeks Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (IKSCT)
19) DAK Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan
DAK sebesar Rp458.142,0 juta. Kebijakan DAK diarahkan untuk mendukung kebijakan pembangunan kawasan perbatasan yang diamanatkan dalam RKP 2013 yaitu untuk mengatasi keterisolasian wilayah yang dapat menghambat upaya pengamanan batas wilayah, pelayanan sosial dasar, serta pengembangan kegiatan ekonomi lokal secara berkelanjutan di kecamatan-kecamatan lokasi prioritas yang ditetapkan oleh Keputusan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Lingkup kegiatan mencakup: (1) Pembangunan/peningkatan kondisi permukaan jalan non-status yang menghubungkan kecamatan perbatasan prioritas dengan pusat kegiatan di sekitarnya; (2) Pembangunan dan rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu untuk mendukung angkutan orang dan barang, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan; dan (3) Penyediaan moda transportasi perairan/kepulauan untuk meningkatkan arus orang, barang dan jasa.
Indikator Teknis:
a) Kondisi prasarana transportasi dari desa/kelurahan menuju jalan raya ke kantor Camat terdekat
122
- Jumlah desa dengan “Jenis Permukaan Jalan Utama” masih berupa tanah
- Jumlah desa dengan “Jenis Permukaan Jalan Utama” tidak dapat dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun
- Jumlah desa dengan “Jenis Permukaan Jalan Utama” dengan kerusakan di sepanjang jalan
- Jumlah jembatan
- Jalan utama desa yang memerlukan jembatan tambahan
b) Transportasi dari kantor Kepala Desa/Lurah ke kantor Camat
- Desa yang tidak memiliki trayek tetap
- Prioritas angkutan umum utama
c) Transportasi dari kantor Kepala Desa/Lurah ke kantor Bupati/Walikota
- Desa yang tidak memiliki trayek tetap
- Prioritas angkutan umum utama
20) DAK Tambahan
a) DAK tambahan sebesar Rp2.000,0 miliar, digunakan untuk mendanai kegiatan di 2 (dua) bidang DAK, yaitu (1) Infrastruktur Pendidikan sebesar Rp1.000,0 miliar; dan (2) Infrastruktur Jalan sebesar Rp1.000,0 miliar.
b) Perhitungan Alokasi DAK tambahan:
- Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK tambahan diberikan kepada daerah yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal sebagaimana ditetapkan dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 123
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
- Penentuan besaran alokasi DAK tambahan untuk masing-masing daerah penerima ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
c) Arah kebijakan dan ruang lingkup DAK tambahan sesuai ketentuan DAK bidang Pendidikan dan Infrastruktur Jalan.
d) Indikator teknis DAK tambahan adalah sebagai berikut:
- Untuk bidang infrastruktur pendidikan menggunakan gabungan dari keempat indikator teknis DAK bidang pendidikan
- Untuk bidang infrastruktur jalan menggunakan indikator teknis DAK bidang infrastruktur jalan
e) Dana pendamping DAK tambahan ditetapkan berdasarkan kemampuan keuangan daerah pada daerah tertinggal, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Kemampuan Keuangan Daerah Rendah Sekali, diwajibkan menyediakan dana pendamping minimal 0%.
- Kemampuan Keuangan Daerah Rendah, diwajibkan menyediakan dana pendamping minimal 1%;
- Kemampuan Keuangan Daerah Sedang, diwajibkan menyediakan dana pendamping minimal 2%;
- Kemampuan Keuangan Daerah Tinggi, diwajibkan menyediakan dana pendamping minimal 3%.
3.4. Kebijakan Hibah
Kebijakan alokasi hibah ke daerah tahun 2013 diarahkan pada upaya mendukung peningkatan kapasitas daerah dalam menyediakan pelayanan dasar umum di bidang perhubungan, pembangunan sarana air minum,
124
pengelolaan air limbah, sanitasi, irigasi, dan eksplorasi geothermal. Sejalan dengan arah kebijakan hibah ke daerah, maka dalam APBN 2013 hibah ke daerah direncanakan sebesar Rp3,6 triliun. Alokasi anggaran hibah ke daerah tersebut terdiri atas: (1) Hibah MRT sebesar Rp3,1 triliun, (2) Hibah WISMP-2 sebesar Rp166,9 miliar, (3) Hibah Air Minum sebesar Rp234,1 miliar, (4) Hibah Air Limbah sebesar Rp9,4 miliar, (5) Hibah Development of Seulawah Agam Geothermal in NAD Province sebesar Rp61,2 miliar, dan (6) Program Hibah Australia Indonesia untuk Pembangunan Sanitasi sebesar Rp93,6 miliar.
Kegiatan MRT bersumber dari pinjaman JICA yang diteruskan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bentuk hibah dan pinjaman. MRT bertujuan untuk membangun sarana transportasi publik untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Hibah MRT menggunakan mekanisme Pembayaran Langsung. WISMP-2 merupakan kegiatan yang bersumber dari pinjaman Bank Dunia untuk mendukung pengembangan irigasi partisipatif. WISMP-2 diterushibahkan kepada 100 kabupaten/kota dan 14 provinsi dengan menggunakan mekanisme penggantian dana (pembiayaan pendahuluan). Hibah Seulawah Agam Geothermal bersumber dari hibah KfW dengan menggunakan mekanisme pembayaran langsung. Selain itu, bercermin dari kesuksesan pencapaian output kegiatan hibah di periode sebelumnya, Pemerintah Australia melalui AusAID berkomitmen untuk melanjutkan program hibahnya di bidang sanitasi dan air minum. Hibah Air Minum diarahkan untuk mendukung pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) dalam peningkatan akses air bersih bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hibah ini mensyaratkan adanya penyertaan modal kepada PDAM dan menggunakan mekanisme penggantian dana. Hibah Air Limbah diarahkan untuk pembangunan sambungan rumah untuk air limbah dengan menggunakan mekanisme penggantian dana. Terakhir, dalam mendukung pembangunan sanitasi, dilaksanakan juga kegiatan hibah Australia Indonesia Untuk Pembangunan Sanitasi dengan menggunakan mekanisme pembiayaan pendahuluan oleh daerah.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 125
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Bab IV
Affi rmative Policy dalam Percepatan Pembangunan Daerah untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
4.1. Latar belakang
Kesenjangan antar wilayah di beberapa daerah di Indonesia masih sangat besar. Hal ini ditunjukkan oleh masih tingginya disparitas kualitas sumber daya manusia antar wilayah, perbedaan kemampuan perekonomian antar daerah, serta belum meratanya ketersediaan infrastruktur antar wilayah. Untuk mengurangi kesenjangan tersebut, setiap tahunnya dialokasikan DAK untuk membantu daerah-daerah yang masih memiliki kualitas pelayanan publik yang masih rendah. Namun demikian, pengalokasian dana tersebut belum mampu mengakselerasi pembangunan di beberapa daerah. Untuk itu dalam tahun 2013, Pemerintah mengambil kebijakan pengalokasian DAK yang lebih berpihak kepada daerah-daerah yang pencapaian pembangunannya masih tertinggal (affi rmative policy).
Komitmen Pemerintah Pusat untuk membangun daerah tertinggal diwujudkan dengan mengalokasikan DAK yang meningkat relatif cukup besar dibandingkan daerah lainnya. Pengalokasian dana DAK dimaksudkan agar pemerintah pusat dapat mengarahkan belanja daerah untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal. Dengan kata lain, pengalokasian DAK juga untuk mensinkronkan kebijakan fi skal daerah dengan kebijakan fi skal nasional. Hal ini dilakukan mengingat sebagian besar fungsi alokasi berupa penyediaan barang publik telah diserahkan kepada pemerintah daerah. Pengalokasian dana tersebut diharapkan dapat mempercepat pembangunan daerah tertinggal yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun demikian
126
alokasi dana selain DAK juga cukup banyak dialokasikan Pusat baik melalui anggaran Kementerian dan Lembaga maupun melalui anggaran tugas pembantuan. Dalam APBN 2012 jumlah dana yang dialokasikan kepada daerah tertinggal cukup besar. Dari keseluruhan dana transfer ke daerah sebesar 110,8 triliun (77%) untuk daerah tertinggal, sedangkan dana vertikal dan tugas pembantuan masing-masing sebesar 30,9 triliun (21%) dan 3,3 triliun (2%).
Gambar 4.1
Alokasi APBN Untuk Daerah Tertinggal(APBN 2012)
4.2. Kriteria Ketertinggalan
Berdasarkan RPJM 2010-2014 yang ditetapkan dengan Perpres No. 5 Tahun 2010, pengertian daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Daerah tertinggal ditetapkan berdasarkan 6 kriteria, yaitu:
1. Perekonomian masyarakat, dengan variabel :
a. persentase keluarga miskin dan
b. pengeluaran konsumsi per kapita.
Transfer ke Daerah; 110,8 T; 77%
Dana Ver kal; 30,9 T; 21%
Tugas Pembantuan; 3,3 T; 2%
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 127
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
2. Sumber daya manusia, dengan variabel :
a. angka harapan hidup,
b. rata-rata lama sekolah dan
c. angka melek huruf.
3. Infrastruktur, dengan variabel :
a. jumlah desa dengan jenis permukaan jalan terluas (aspal, diperkeras, tanah, dan lainnya),
b. rumah tangga (RT) pengguna listrik,
c. RT pengguna air,
d. RT pengguna telefon,
e. jumlah desa yang memiliki pasar tanpa bangunan permanen,
f. jumlah prasarana kesehatan per seribu penduduk,
g. jumlah dokter per seribu penduduk, jumlah SD/SMP per seribu penduduk
4. Kemampuan keuangan lokal, yaitu fi skal gap
5. Aksesibilitas, dengan variabel :
a. rata-rata jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kab/kota,
b. akses ke pelayanan kesehatan > 5 km,
c. akses ke pelayanan pendidikan dasar
6. Karakteristik daerah, dengan variabel:
a. persentase desa gempa bumi,
b. persentase desa tanah longsor,
c. persentase desa banjir,
128
d. persentase desa bencana lainnya,
e. persentase desa di kawasan lindung,
f. persentase desa berlahan kritis,
g. persentase rata-rata desa konfl ik satu tahun terakhir.
Pada tahun 2004 berdasarkan kondisi kesenjangan pembangunan antar wilayah telah ditetapkan 199 kabupaten yang tergolong daerah tertinggal, 62 persen berada di kawasan timur Indonesia. Melalui kebijakan, strategi, program, dan kegiatan yang dilaksanakan selama RPJMN 2004-2009, telah terjadi penurunan jumlah daerah tertinggal. Sebanyak 40 kabupaten (20,1 persen) dari 199 kabupaten yang pada awal pelaksanaan RPJM Nasional dikategorikan sebagai daerah tertinggal berpotensi lepas dari status tertinggal menjadi daerah yang relatif maju dalam skala nasional. Selanjutnya, pada akhir tahun 2009 terdapat 10 kabupaten yang berpeluang untuk menjadi daerah maju berdasarkan arah kecenderungan yang terjadi. Dengan demikian, selama periode RPJMN 2004-2009 terdapat 50 kabupaten tertinggal yang telah keluar dari daftar daerah tertinggal berdasarkan ukuran ketertinggalan. Namun, sejalan dengan adanya pemekaran daerah, saat ini terdapat 34 kabupaten Daerah Otonom Baru hasil pemekaran dari daerah induk yang merupakan daerah tertinggal sehingga total daerah tertinggal pada tahun 2009 adalah sebanyak 183 kabupaten. Untuk itu, 183 kabupaten tertinggal ini akan menjadi fokus penanganan daerah tertinggal pada periode 2010-2014.
Bila dilihat per provinsi, terdapat 26 provinsi yang memiliki kabupaten tertinggal, hanya 7 provinsi yang tidak mempunyai kabupaten yang tergolong tertinggal. Jika dilihat dari jumlah kabupaten, provinsi yang paling banyak memiliki kabupaten tertinggal adalah Provinsi Papua yaitu sebanyak 27 kabupaten kemudian diikuti Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 21 kabupaten dan Provinsi Aceh sebanyak 12 kabupaten. Dibandingkan dengan jumlah kabupaten/kota yang ada di Provinsi yang bersangkutan, Provinsi yang paling banyak daerah tertinggal adalah Provinsi Sulawesi Barat (100%), yaitu seluruh daerahnya termasuk
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 129
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
daerah tertinggal, kemudian diikuti oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur (95,2%) dan Provinsi Papua (93,1%). Selengkapnya sebaran jumlah daerah tertinggal per provinsi dapat dilihat dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1
Daerah Tertinggal Per Provinsi
No. Provinsi Jumlah Kab/Kota Jumlah Daerah Tertinggal %
1. Aceh 23 12 52,22. Sumatera Utara 33 6 18,23. Sumatera Barat 19 8 42,14. Kepulauan Riau 7 2 28,65. Sumatera Selatan 15 7 46,76. Bangka Belitung 7 1 14,37. Bengkulu 10 6 60,08. Lampung 14 4 28,69. Jawa Barat 26 2 7,7
10. Banten 8 2 25,011. Jawa Timur 38 5 13,212. Kalimantan Barat 14 10 71,413. Kalimanatan Tengah 14 3 21,414. Kalimantan Timur 14 3 21,415. Sulawesi Utara 15 3 20,016. Gorontalo 6 3 50,017. Sulawesi Tengah 11 10 90,918. Sulawesi Selatan 24 4 16,719. Sulawesi Barat 5 5 100,020. Sulawesi Tenggara 12 9 75,021. Nusa Tenggara Barat 10 8 80,022. Nusa Tenggara Timur 21 20 95,223. Maluku 11 8 72,724. Maluku Utara 9 7 77,825. Papua 29 27 93,126. Papua Barat 11 8 72,7
Total 406 183 45,1
130
4.3. Kondisi Keuangan Daerah Tertinggal
Salah satu faktor yang membuat daerah menjadi daerah tertinggal adalah kondisi kapasitas fi skal daerah (Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil) yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan daerah tidak tertinggal. Dengan kapasitas fi skal yang terbatas kemampuan daerah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di daerah menjadi sangat terbatas. Berdasarkan data tahun 2012, secara rata-rata, kemampuan fi skal daerah tertinggal (Rp. 533,26 M) masih berada di bawah rata-rata daerah yang tidak tertinggal (Rp.784,03 M).
Pada dasarnya keterbatasan dana tersebut disebabkan oleh perkembangan ekonomi yang juga terbatas di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, daerah-daerah yang memiliki kapasitas fi skal yang terbatas atau dibawah rata-rata akan mendapat alokasi DAU yang relatif besar dan diprioritaskan untuk mendapatkan aloksi DAK untuk pendanaan program-program pelayanan dasar dan prioritas nasional. Namun demikian besaran alokasi DAU dan DAK untuk daerah tertinggal kurang signifi kan karena adanya pertimbangan-pertimbangan lainnya dalam pengalokasian dana tersebut. Dalam pengalokasian DAU selain pertimbangan kapasitas fi skal juga dipertimbangkan kebutuhan belanja pegawai, sedangkan dalam pengalokasian DAK juga mempertimbangkan kondisi prasarana yang ada di daerah tersebut. Pada tahun 2012, alokasi dana yang dialokasiakan kepada daerah tertinggal melalui DAK lebih besar dibandingkan dengan DAK yang dialokasikan kepada daerah tidak tertinggal, baik dilihat secara rata-rata per daerah maupun per kapita.
Tabel 4.2
Kapasitas Fiskal dan DAK Tahun 2012
Daerah Rata-rata Kapasitas Fiskal
(miliar rupiah)
Rata-Rata Alokasi DAK per daerah(miliar rupiah)
Rata-Rata Alokasi DAK per kapita per
daerah (rupiah)Tertinggal 533,26 57,27 507.365Tidak Tertinggal 784,03 46,44 138.861
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 131
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Demikian juga bila dilihat alokasi DAK per pulau, alokasi DAK baik per daerah maupun per kapita lebih tinggi di daerah tertinggal dibandingkan dengan daerah tidak tertinggal. Daerah tertinggal di Pulau Jawa – Bali mendapat alokasi DAK per daerah lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah tertinggal di pulau lainnya, namun DAK daerah tertinggal per kapita terendah terdapat di Pulau Jawa – Bali. Namun demikian, besaran DAK per daerah dan per kapita tidak menunjukkan kemajuan daerah yang bersangkutan.
Tabel 4.3
Perbandingan Rata-Rata Alokasi DAK Tahun 2012
DaerahRata-Rata DAK (Miliar Rupiah)
Rata-Rata DAK Per kapita
(Rupiah)Tertinggal Tidak Tertinggal Tertinggal Tidak Tertinggal
Sumatera 48,2 40,6 278.818 158.061
Jawa Bali 86,6 60,1 76.114 70.282
Kalimantan 66,1 26,4 322.131 144.036
Sulawesi 53,6 45,3 333.609 217.806
NTB, NTT, Maluku 55,1 35,7 350.059 260.211
Papua, Papua Barat 63,8 46,1 1.254.088 340.217
4.4. Arah Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal
Pembangunan daerah tertinggal merupakan bagian dari rencana pembangunan nasional yang berdimensi kewilayahan. Pembangunan daerah tertinggal lebih ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Pembangunan daerah tertinggal mencakup berbagai unsur yang saling melengkapi satu sama lain, penataan ruang, pertanahan, perkotaan, perdesaan, ekonomi lokal dan daerah, kawasan strategis, kawasan perbatasan, daerah tertinggal, kawasan rawan bencana, pengaturan kembali mengenai otonomi, hubungan pusat daerah, dan antar daerah serta tata kelola dan kapasitas pemerintahan daerah.
132
Rencana pembangunan daerah tertinggal telah diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan peraturan pelaksanannya. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, RPJMN 2005-2009 dan RPJMN 2010-2014, percepatan pembangunan daerah tertinggal telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas nasional, seiring dengan upaya pembangunan daerah perbatasan, pulau-pulau terpencil dan terluar, serta daerah pascakonfl ik.
Pemihakan kebijakan terhadap percepatan pembangunan daerah tertinggal telah ditegaskan juga dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025. Undang-undang tersebut memuat secara khusus perlunya perhatian khusus pada wilayah dan daerah yang tertinggal dalam rangka mewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan. Sebagai penjabaran tahunan dari RPJMN 2010-2014, setiap tahunnya Rencana Kerja Pemerintah (RKP) telah menetapkan prioritas pembangunan nasional pada daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonfl ik. Adapun focusing dan pemberian prioritas kepada pembangunan daerah tertinggal dapat dilakukan melalui koordinasi oleh Bappenas bersama-sama Kementerian PDT dan Kementerian terkait lainnya serta pemerintah daerah melalui perumusan kebijakan dan kegiatan yang akan menjadi masukan bagi penyusunan RKP setiap tahun.
Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan di daerah tertinggal dapat dijelaskan berikut ini.
1. Pengelolaan potensi sumber daya lokal dalam pengembangan perekonomian daerah tertinggal masih belum optimal. Permasalahan yang dihadapi terkait dengan pengelolaan sumber daya alam antara lain disebabkan oleh: (1) rendahnya kemampuan permodalan, penguasaan teknologi, informasi pasar dan investasi dalam pengembangan produk unggulan daerah, dan (2) rendahnya
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 133
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya lokal;
2. Kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal masih rendah. Kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan yang masih rendah antara lain tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan angkatan kerja, rendahnya derajat kesehatan masyarakat, dan tingginya tingkat kemiskinan;
3. Koordinasi antarpelaku pembangunan di daerah tertinggal masih lemah, karena belum dimanfaatkannya kerjasama antardaerah tertinggal pada aspek perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan pembangunan;
4. Tindakan afi rmatif kepada daerah tertinggal belum optimal, khususnya pada aspek kebijakan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, koordinasi, dan pengendalian pembangunan;
5. Aksesibilitas daerah tertinggal terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah masih rendah, khususnya terhadap sentra-sentra produksi dan pemasaran karena belum didukung oleh sarana dan prasarana angkutan barang dan penumpang yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tertinggal;
6. Sarana dan prasarana pendukung ekonomi lainnya masih terbatas, yang meliputi energi listrik, telekomunikasi, irigasi dan air bersih.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, mulai tahun 2012, Pemerintah Pusat telah memberikan perhatian khusus dalam perencanaan pembangunan daerah tertinggal dan untuk tahun 2013 dibentuk desk khusus untuk Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PPDT) pada forum pra-Musrenbangnas 2012, sebagai bentuk afi rmatif dari proses perencanaan tahunan dalam penyusunan RKP 2013 terhadap daerah tertinggal.
134
Melalui forum Rakorbangpus dan pra-Musrenbangnas serta Musrenbangnas 2012 dalam rangka penyusunan RKP 2013 tersebut, seluruh K/L dan Pemerintah Provinsi akan lebih memberikan perhatiannya kepada daerah tertinggal mulai tahun 2013. Pemerintah mempunyai komitmen untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal yang dituangkan dalam RKP setiap tahunnya. Pengalokasian anggaran untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal antara lain melalui alokasi DAK, dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, maupun dana yang dialokasikan untuk melaksanakan fungsi dan kegiatan Kementerian dan Lembaga yang terkait di Daerah Tertinggal.
Pengalokasian DAK kepada daerah tertinggal dapat dilihat dari berbagai pendekatan. Dari pendekatan kewilayahan yang berbasis prioritas pembangunan daerah tertinggal, pengalokasian DAK untuk mengintegrasikan dan mensinergikan antara beberapa kebijakan, program, dan kegiatan yang bermuara pada kemakmuran rakyat di daerah tertinggal. Perumusan kebijakan, koordinasi pelaksanaan kebijakan dan operasionalisasi kebijakan merupakan mata rantai untuk menjamin adanya sinergi antara kebijakan pemberdayaan masyarakat, infrastruktur perdesaan, dan pengembangan ekonomi lokal.
Pengalokasian DAK berdasarkan pendekatan fokus lokasi yang berbasis variabel ketertinggalan dimaksudkan agar pengalokasian DAK tersebut dilakukan berdasarkan faktor-faktor penyebab ketertinggalan dari kabupaten. Selanjutnya, dengan pendekatan sinergitas kegiatan antar sektor dimaksudkan agar pengalokasian DAK lebih optimal dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal maka kegiatan yang dibiayai dengan DAK tersebut harus bersinergi dengan kegiatan sektor lain, dan kegiatan pemerintahan daerah.
Pengalokasian DAK untuk daerah tertinggal juga sejalan dengan arah kebijakan DAK atau kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Kriteria-kriteria yang ditetapkan untuk menentukan ketertinggalan daerah
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 135
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
berhubungan erat dengan kriteria yang dibangun untuk mengalokasikan DAK. Demikian juga dengan program-program yang terkait dengan pembangunan daerah tertinggal memiliki hubungan dengan bidang-bidang DAK. Tingkat perekonomian masyarakat di daerah tertinggal yang relatif kurang maju tentu sangat terkait dengan kondisi sarana dan prasarana yang digunakan dalam kriteria teknis selama ini. Demikian juga dengan kemampuan keuangan daerah di daerah-daerah tertinggal juga sejalan dengan kriteria umum berupa kemampuan keuangan daerah yang digunakan selama ini dalam penetapan DAK.
Tabel 4.4
Hubungan Kriteria Daerah Tertinggal dengan Kriteria Alokasi DAK
No Kriteria Hubungan dengan DAK
1 Perekonomian Masyarakat Digunakan dalam Kriteria Khusus dan Kriteria Teknis
2 SDM/Tingkat PendidikanDigunakan dalam arah kebijakan DAK secara umum, Kriteria Teknis yang terkait dengan kesehatan dan pendidikan
3 Infrastruktur Digunakan dalam penetapan besaran seluruh bidang DAK
4 Kemampuan Keuangan/ Celah Fiskal
Digunakan dalam menentukan daerah penerima dan besaran alokasi DAK
5 Aksesibilitas
• Kondisi /karakteristik daerah menjadi salah satu pertimbangan
• Tercermin dalam pemakaian IKK untuk penentuan besaran alokasi DAK
6 Karakteristik Daerah Memprioritaskan Daerah Tertinggal, Pesisir & Kepulauan, Bencana, Perbatasan
Demikian juga dengan keberpihakan pengalokasian anggaran DAK untuk mendukung program pembangunan daerah tertinggal telah sejalan dengan kebijakan pengalokasian DAK. Program PDT untuk pengembangan ekonomi lokal yang antara lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dapat dicapai dengan pengalokasian anggaran DAK yang lebih besar untuk bidang infrastruktur.
136
Tabel 4.5
Dukungan DAK Terhadap Program PDT
No Program PDT Bidang DAK
1 PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (a.l.mendorong pertumbuhan ekonomi lokal)
Infrastruktur Jalan, Irigasi, Perikanan, Pertanian, Perdagangan, Energi Perdesaan, Transportasi Perdesaan, Sarpras Daerah Tertinggal
2PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (a.l. meningkatkan efi siensi dan efektivitas penyediaan layanan umum)
Infrastruktur Jalan, Irigasi, Air Bersih, Pendidikan, dan Kesehatan
3
PENGEMBANGAN PRASARANA DAN SARANA (a.l. pengembangan sarana & prasarana sosial dasar terutama bidang pendidikan & kesehatan)
Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur Jalan, Irigasi, Air Minum, Prasarana Pemerintahan
4 PENCEGAHAN DAN REHABILITASI BENCANA
Lingkungan Hidup, Kehutanan, Pertanian, dan hampir seluruh bidang DAK yang terkait dengan infrastruktur
5
PENGEMBANGAN DAERAH PERBATASAN (a.l meningkatkan kapasitas daerah perbatasan sebagai koridor peningkatan ekspor dan perolehan devisa)
Infrastruktur Jalan, Irigasi, Kehutanan, Perdagangan
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, keberpihakan pembangunan untuk daerah tertinggal lebih diarahkan agar daerah-daerah tertinggal dapat lebih memacu ketertinggalannya sehingga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan tingkat kesejahteraan di daerah-daerah yang tidak tertinggal. Secara rinci tujuan DAK untuk Daerah Tertinggal adalah sebagai berikut:
a. Mempercepat pengentasan daerah tertinggal dengan menambah alokasi DAK untuk bidang-bidang yang mempunyai daya ungkit yang besar terhadap pembangunan daerah tertinggal;
b. Memberikan kerangka anggaran percepatan pembangunan daerah tertinggal;
c. Memberikan stimulan untuk pembangunan daerah tertinggal yang sesuai dengan kewenangan daerah dan sesuai prioritas nasional;
d. Mengurangi mismatch kegiatan yang dibiayai DAK dengan kebutuhan strategis daerah tertinggal.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 137
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
e. Mengurangi kesenjangan fi skal antara daerah tertinggal dengan daerah non tertinggal;
f. Meningkatkan kapasitas fi skal daerah tertinggal untuk memberi pelayanan publik dan pelayanan infrastruktur dasar sesuai dengan standar minimalnya;
g. Meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal yang merupakan salah satu mainstream pembangunan nasional;
Keberpihakan DAK kepada daerah tertinggal juga dapat dilihat dari berbagai kebijakan sebagai berikut:
1. Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, Buku I: Prioritas Nasional masuk sebagai prioritas 10 Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konfl ik
2. Pidato Presiden pada Penyampaian Keterangan Pemerintah Atas RUU Tentang APBN Tahun Anggaran 2013 Beserta Nota Keuangannya Di Depan Rapat Paripurna DPR RI. “Di bidang DAK, dalam rangka mempercepat pembangunan di daerah tertinggal, kita berikan prioritas dan perhatian khusus kepada daerah-daerah tertinggal dalam pengalokasian anggaran DAK. Dengan kebijakan itu, maka distribusi alokasi DAK ke daerah tertinggal meningkat dari sebelumnya Rp10,5 triliun dalam APBN-P 2012, menjadi Rp13,06 triliun dalam RAPBN tahun 2013.
3. Trilateral Meeting DAK 2013 telah disampaikan himbauan agar DAK seluruh bidang mencantumkan prioritas lokasi kepada daerah tertinggal sebagai bentuk keberpihakan terhadap daerah tertinggal.
4. Pasal 40 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 mengatur agar daerah tertinggal diprioritaskan untuk mendapatkan DAK karena menjadi bagian dari “Kriteria Khusus” dalam perhitungan alokasi DAK.
138
Selain DAK, bentuk keberpihakan APBN terhadap Daerah Tertinggal dilakukan melalui Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) berupa :
a. Bansos melalui program pembangunan daerah tertinggal dalam program PNPM Mandiri.
b. Program Percepatan Pembangunan Daerah dalam Kementerian PDT antara lain untuk:
1) bantuan stimulan pengembangan infrastruktur ekonomi;
2) bantuan stimulan pengembangan infrastruktur transportasi;
3) bantuan stimulan pengembangan infrastruktur energi.
4.5. Penganggaran dan Pengalokasian DAK Daerah Tertinggal
Penganggaran dan pengalokasian DAK kepada daerah tertinggal dilakukan sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013. Dalam rangka mendukung tema Rencana Kerja Pemerintah tahun 2013 untuk memperkuat perekonomian domestik bagi peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat ditetapkan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya. Prioritas nasional tersebut mencakup (1)Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha; (8) Energi; (9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konfl ik; (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi. Adapun tiga prioritas lainnya, yaitu: (1) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; (2) Bidang Perekonomian; (3) Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Prioritas alokasi anggaran untuk daerah tertinggal dilakukan sebagai bentuk upaya pemutusan keterisolasian pembangunan kecamatan-kecamatan terdepan termasuk kawasan pulau kecil terdepan, serta untuk mendukung percepatan pembangunan daerah tertinggal. Alokasi anggaran diwujudkan dalam bentuk peningkatan alokasi DAK terhadap
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 139
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
daerah tertinggal dan perbatasan serta pelaksanaan DAK Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal, Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan dan DAK bidang lainnya secara sinergis dan terintegrasi dengan kegiatan terkait lainnya. Aokasi anggaran tersebut diperlukan untuk membantu pencapaian sasaran-sasaran pokok pembangunan daerah tertinggal pada tahun 2013 berupa peningkatan kinerja pembangunan daerah tertinggal yang tercermin dari:
1. Meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 6,9 persen pada tahun 2013;
2. Berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal hingga mencapai rata-rata sebesar 15,4 persen pada tahun 2013;
3. Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal yang diindikasikan oleh rata-rata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2013 menjadi 71,2.
Untuk mencapai sasaran tersebut arah kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal Tahun 2013 dilakukan melalui: (1)pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal untuk mengoptimalkan potensi unggulan melalui pendekatan klaster; dan (2)peningkatan sarana prasarana infrastruktur, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal.
Alokasi APBN 2013 untuk DAK sebesar Rp31.697,1 miliar, sebesar Rp3.880,0 miliar atau sebesar 12,2% persen diprioritaskan untuk daerah tertinggal. Alokasi DAK sebesar Rp27.817,1 miliar yang dialokasikan untuk 19 bidang DAK juga terbuka bagi daerah tertinggal sepanjang memenuhi kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis. Dari jumlah DAK yang sebesar Rp27.817,1 miliar, sebanyak Rp11.046,4 atau sebesar 39,71% dialokasikan kepada daerah tertinggal. Bila diperhitungkan dengan alokasi DAK dalam rangka affi rmative policy sebesar Rp1.880,0 Miliar, maka jumlah DAK yang dialokasikan kepada daerah tertinggal
140
mencapai Rp14.926,461 miliar atau sebesar 47,09%. Dengan affi rmative policy, rata-rata alokasi DAK untuk daerah tertinggal mengalami kenaikan sebesar 35,12%.
Alokasi DAK untuk 183 daerah tertinggal dalam rangka affi rmative policy diperuntukkan bagi 12 bidang DAK, yaitu: (1)Pendidikan (SD); (2)Kesehatan (Pelayanan Kesehatan Dasar); (3)Infrastruktur Jalan; (4)Infrastruktur Irigasi; (5) Infrastruktur Air Minum; (6) Infrastruktur Sanitasi; (7) Kelautan dan Perikanan; (8) Pertanian; (9) Sarana dan Prasarana Perdagangan (Pasar); (10) Energi Perdesaan; (11) Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal; (12) Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan, dan DAK Tambahan sebesar Rp2 triliun, masing-masing Rp1 triliun untuk infrastruktur pendidikan dan Rp1 triliun untuk infrastruktur jalan. Alokasi DAK per-bidang untuk tahun 2013 dapat digambarkan sebagaimana tabel 4.6, sedangkan untuk alokasi DAK per daerah dapat dilihat dalam lampiran I.
Tabel 4.6
Alokasi DAK Per Bidang TA 2013
No Bidang DAK RegulerAffi rmative
PolicyDAK
TambahanTotal
Alokasi
1 PENDIDIKAN 10,041,300 49,474 1,000,000 11,090,774
2 KESEHATAN 3,052,071 49,474 3,101,545
3 INFRAS JALAN 4,126,150 247,368 1,000,000 5,373,518
4 INFRAS IRIGASI 1,440,904 173,158 1,614,062
5 INFRAS AIR MINUM 560,437 49,474 609,911
6 INFRAS SANITASI 519,982 49,474 569,456
7 SARPRAS PEMERINTAHAN DAERAH 481,279 481,279
8 KELAUTAN DAN PERIKANAN 1,639,143 173,158 1,812,301
9 PERTANIAN 2,369,154 173,158 2,542,312
10 LINGKUNGAN HIDUP 530,548 530,548
11 KELUARGA BERENCANA 442,869 442,869
12 KEHUTANAN 539,419 539,419
13 SARPRAS DAERAH TERTINGGAL 469,627 247,368 716,995
14 PERDAGANGAN 447,332 247,368 694,700
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 141
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Pengalokasian DAK sebesar Rp1.880 miliar pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III. Dengan kata lain, sepanjang daerah tertinggal memiliki data indeks teknis pada 12 bidang affi rmative policy tersebut, maka daerah tertinggal tersebut akan mendapatkan tambahan alokasi DAK untuk bidang-bidang tersebut. Perhitungan Alokasi DAK Tambahan untuk masing-masing daerah tertinggal sama dengan cara perhitungan DAK dalam rangka affi rmative policy. Indikator teknis DAK tambahan infrastruktur pendidikan menggunakan gabungan dari keempat indikator teknis DAK infrastruktur pendidikan dan indikator teknis infrastruktur jalan menggunakan indikator teknis DAK bidang infrastruktur jalan.
Daerah tertinggal yang mendapatkan DAK Tambahan juga diwajibkan menyediakan dana pendamping seperti halnya untuk DAK yang ada selama ini berdasarkan ketentuan dalam UU 33 Tahun 2004. Besaran dana pendamping untuk DAK Tambahan tidak ditetapkan sama untuk masing-masing daerah sebesar 10% seperti DAK pada umumnya tetapi ditetapkan berdasarkan kemampuan keuangan daerah masing-masing. Ketentuan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013. Kemampuan keuangan daerah ditetapkan berdasarkan besaran selisih antara pendapatan (PAD + DBH + DAU) dan belanja PNSD dan dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu rendah sekali, rendah, sedang dan tinggi. Besaran masing-masing dana pendamping berdasarkan kemampuan keuangan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.7.
15 KESELAMATAN TRANSPORTASI DARAT 221,006 221,006
16 ENERGI PEDESAAN 259,333 173,158 432,491
17 PEDESAAN DAN PERMUKIMAN 205,041 205,041
18 SARPRAS KAWASAN PERBATASAN 210,774 247,368 458,142
19 TRANSPORTASI PEDESAAN 260,774 260,774
TOTAL 27,817,143 1,880,000 2,000,000 31,697,143
142
Tabel 4.7
Besaran Dana Pendamping DAK Tambahan
NO. Kategori Kemampuan Keuangan Dana Pendamping1 Rendah Sekali 0%2 Rendah 1%3 Sedang 2%4 Tinggi 3%
4.6. Pedoman pelaksanaan
Agar DAK dapat mendorong pencapaian sasaran-sasaran pembangunan yang telah ditetapkan, Kementerian Teknis menyusun Pedoman Teknis penggunaan DAK untuk masing-masing bidang. Pedoman Teknis tersebut diharapkan dapat menjadi panduan daerah dalam menyusun program dan kegiatan yang sejalan dengan sasaran-sasaran nasional yang ditetapkan. Adapun daftar Petunjuk Teknis DAK TA 2013 dapat dilihat dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8
Petunjuk Teknis DAK TA 2013
NO BIDANG NOMOR JUKNIS TANGGALDITETAPKAN
PMK Nomor 201/PMK.07/2012 17-12-2012
1
Pendidikan: a. SD
b. SMP
c. SMA/SMK
SD/SMP : Permendikbud No. 12 Tahun 2013
SMA/SMK : Permendikbud No. 18 Tahun 2013
15-02-2013
08-02-2013
2 Kesehatan Permenkes Nomor 55 Tahun 2012 26-12-2012
3 Keluarga Berencana
Surat Plt. Kepala BKKBN Nomor 3065/RC.104/B1/2012, Juknis DAK KB 2013 adalah Juknis DAK KB 2012 yang telah disesuaikan di beberapa kegiatan juknis
00-12-2012
4 Kelautan dan Perikanan Per.33/Men/2012 27-12-2012
5 Kehutanan P.47/Menhut-II/2012 20-12-2012
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 143
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
6 Pertanian Permentan Nomor 06/Permentan/OT/140/I/2013
10-01-2013
7 Perdagangan Permendag No. 86/M-DAG/PER/12/2013
28-02-2012
8 Lingkungan Hidup Permen LH Nomor 16 Tahun 2012 16-12-2012
9 Infrastruktur PU (Jalan, Irigasi, Air Minum, Sanitasi) Permen PU No. 15/PRT//2010 01-11-2010
10 Sarpras Daerah Tertinggal Permen PDT Nomor 7 Tahun 2012 28-12-2012
11 Prasarana Pemerintahan Permendagri Nomor 83 Tahun 2012 28-12-2012
12 Energi Pedesaan Permen ESDM Nomor 03 Tahun 2013
11-01-2013
13 Perumahan dan Permukiman Permenpera Nomor 40 Tahun 2012 21-12-2012
14 Keselamatan Transportasi Darat Permenhub Nomor 9 Tahun 2013 13-12-2013
15 Transportasi Perdesaan Permendagri Nomor 83 Tahun 2012 28-12-2012
16 Sarana Prasarana Kawasan Perbatasan
Peraturan Kepala BNPP Nomor 2 Tahun 2013 11-02-2013
Dalam melaksanakan dan mengelola DAK khususnya untuk 12 bidang DAK yang mendapat affi rmative policy Rp1, 88 triliun dan DAK Tambahan (infrastruktur pendidikan dan jalan) sebesar Rp2 triliun, Pemerintah Daerah tetap memperhatikan Petunjuk Teknis masing-masing bidang diatas. Pelaksanaan affi rmative policy bagi 12 bidang DAK diprioritaskan untuk melakukan kebijakan yang telah diatur dalam masing-masing petunjuk teknis, yaitu:
a. Bidang Pendidikan
• mendukung penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun;
• mendukung pelaksanaan pendidikan menengah universal melalui penyediaan sarana prasarana pendidikan yang berkualitas dan mencukupi;
• rehabilitasi ruang kelas dan/atau ruang belajar rusak.
144
b. Bidang Kesehatan
Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang difokuskan pada penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak, penanggulangan masalah gizi, serta pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan.
c. Bidang Infrastruktur Jalan
Mempertahankan dan meningkatkan kinerja pelayanan prasarana jalan provinsi, kabupaten dan kota serta menunjang aksesibilitas keterhubungan wilayah (domestic connectivity) dalam mendukung pengembangan koridor ekonomi wilayah/kawasan.
d. Bidang Infrastruktur Irigasi
Mempertahankan dan meningkatkan kinerja layanan jaringan irigasi/rawa kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka mendukung pemenuhan sasaran Prioritas Nasional di Bidang Ketahanan Pangan khususnya Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) menuju surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014.
e. Bidang Infrastruktur Air Minum
Meningkatkan cakupan pelayanan air dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) penyediaan air minum di kawasan perkotaan dan perdesaan.
f. Bidang Infrastruktur Sanitasi
Meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan sanitasi, terutama dalam pengelolaan air limbah dan persampahan secara komunal/terdesentralisasi untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan sanitasi di kawasan daerah rawan sanitasi.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 145
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
g. Bidang Kelautan dan Perikanan
Meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, mutu, pemasaran, pengawasan, penyuluhan, data statistik dalam rangka mendukung industrialisasi kelautan dan perikanan dan minapolitan, serta penyediaan sarana prasarana terkait dengan pengembangan kelautan dan perikanan di pulau-pulau kecil.
h. Bidang Pertanian
Mendukung pengembangan prasarana dan sarana air, pengembangan prasarana dan sarana lahan, pembangunan dan rehabilitasi balai penyuluhan pertanian serta pengembangan lumbung pangan masyarakat dalam rangka peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri guna mendukung ketahanan pangan nasional.
i. Bidang Sarana Perdagangan
• meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana perdagangan untuk mendukung: (1) Pasokan dan ketersediaan barang (khususnya bahan pokok) sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat;
• mendukung pelaksanaan tertib ukur sebagai upaya untuk mendukung perlindungan konsumen dalam hal jaminan kebenaran hasil pengukuran terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi UTTP yang cukup besar dan belum dapat ditangani.
j. Bidang Sarpras Daerah Tertinggal
Mendukung pengembangan perekonomian lokal di daerah tertinggal melalui peningkatan kapasitas, produktivitas dan industrialisasi berbasis komoditas unggulan lokal secara berkesinambungan beserta sarana prasarana pendukungnya sehingga daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang relatif lebih maju.
146
k. Bidang Energi Pedesaan
Memanfaatkan sumber energi terbarukan setempat untuk meningkatkan akses masyarakat perdesaan, termasuk masyarakat di daerah tertinggal dan kawasan perbatasan.
l. Bidang Sarpras Kawasan Perbatasan
Mengatasi keterisolasian wilayah yang dapat menghambat upaya pengamanan batas wilayah, pelayanan sosial dasar, serta pengembangan kegiatan ekonomi lokal secara berkelanjutan di kecamatan-kecamatan lokasi prioritas yang ditetapkan oleh Keputusan Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 147
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Bab V
Penutup
Desentralisasi saat ini telah menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografi s, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Hubungan kekuasaan agntara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu: (a) asas desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan. Dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Sementara Asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat.
148
Tujuan awal dilakukannya desentralisasi fi skal adalah mengurangi kesenjangan fi skal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fi scal imbalance) dan antardaerah (horizontal fi scal imbalance). Selain itu diharapkan meningkatkan peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah. Dan juga meningkatkan efi siensi pemanfaatan sumber daya nasional. Dengan adanya desentralisasi fi skal tata kelola keuangan transparan dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efi sien, dan adil.
Melalui kebijakan desentralisasi fi skal yang lebih berpihak pada daerah tertinggal diharapkan perekonomian daerah menjadi tumbuh lebih pesat yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Harapan ini tidaklah berlebihan mengingat transfer uang ke daerah dalam era desentralisasi fi skal semakin besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Disamping itu Pemerintah Pusat juga telah
mendelegasikan sejumlah wewenang ke Daerah.
Hal yang diinginkan oleh para pendiri negeri kita dengan pengaturan pembagian kewenangan dan urusan antara pusat dan daerah adalah agar kesejahteraan rakyat, pemberdayaan rakyat dan demokratisasi dapat terwujud dengan cepat. Artinya kehendak bangsa akan cepat terwujud dengan desentralisasi fi skal dan otonomi daerah, karena pemerintahan menjadi lebih dekat dan akuntabilitas menjadi lebih nyata. Rakyat dapat dengan mudah dalam menyampaikan keinginan dan keluhan yang terkait dengan tugas dan akuntabilitas pemerintah dalam melayani masyarakat.
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 149
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Keuangan, (2012), Buku Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2012.
PMK Nomr 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah.
PMK Nomor 188/PMK.07/2012 tentang Hibah dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah.
PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
PP Nomor 65 Tahun 2010 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
PP Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
PP Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
PP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan.
Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) dan Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah (SEKDA), Bank Indonesia.
150
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013.
UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012.
UU Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012.
www.bps.go.id
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 151
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n I
1Ka
b. A
ceh
Bara
t50
,946
.93
8,
145.
59
10,0
07.9
5
69
,100
.47
35.6
3%2
Kab.
Ace
h Be
sar
56,5
00.2
5
8,79
1.59
10
,214
.20
75,5
06.0
4
33
.64%
3Ka
b. A
ceh
Sela
tan
49,9
04.1
9
7,08
5.85
9,
948.
64
66,9
38.6
8
34
.13%
4Ka
b. A
ceh
Sing
kil
42,2
79.1
6
5,75
7.26
8,
560.
23
56,5
96.6
5
33
.86%
5Ka
b. A
ceh
Tim
ur59
,696
.76
9,
692.
20
11,8
34.5
2
81
,223
.48
36.0
6%6
Kab.
Sim
eulu
e51
,473
.19
8,
228.
60
9,50
0.64
69
,202
.43
34.4
4%7
Kab.
Nag
an R
aya
42,8
28.1
7
6,75
1.70
9,
401.
50
58,9
81.3
7
37
.72%
8Ka
b. A
ceh
Jaya
38,6
21.9
8
6,42
9.77
8,
416.
36
53,4
68.1
1
38
.44%
9Ka
b. A
ceh
Bara
t Day
a49
,703
.23
6,
427.
95
9,37
3.36
65
,504
.54
31.7
9%10
Kab.
Gay
o Lu
es35
,150
.58
5,
581.
34
7,69
8.87
48
,430
.79
37.7
8%11
Kab.
Ben
er M
eria
h39
,021
.39
5,
052.
67
8,23
2.76
52
,306
.82
34.0
5%12
Kab.
Pid
ie Ja
ya36
,604
.49
5,
956.
03
8,08
6.75
50
,647
.27
38.3
6%13
Kab.
Nia
s46
,468
.70
8,
776.
54
9,35
7.91
64
,603
.15
39.0
3%14
Kab.
Tap
anul
i Ten
gah
63,3
80.3
1
8,90
6.81
10
,967
.13
83,2
54.2
5
31
.36%
15Ka
b. P
akpa
k Bh
arat
41,0
07.1
6
5,58
0.74
7,
418.
01
54,0
05.9
1
31
.70%
16Ka
b. N
ias
Sela
tan
76,8
32.9
7
11,5
42.2
0
13,4
24.6
8
10
1,79
9.85
32
.50%
17Ka
b. N
ias
Bara
t43
,634
.72
5,
626.
33
9,87
9.23
59
,140
.28
35.5
3%18
Kab.
Nia
s U
tara
40,7
85.4
3
5,77
9.47
9,
817.
76
56,3
82.6
6
38
.24%
19Ka
b. K
epul
auan
Men
taw
ai57
,774
.82
8,
475.
93
11,6
76.7
7
77
,927
.52
34.8
8%20
Kab.
Pad
ang
Pari
aman
73,6
26.8
9
10,1
38.7
4
13,2
58.7
3
97
,024
.36
31.7
8%21
Kab.
Pes
isir
Sel
atan
63,9
51.4
5
10,5
30.3
8
12,4
40.5
7
86
,922
.40
35.9
2%22
Kab.
Siju
njun
g50
,875
.59
7,
482.
74
10,4
10.8
4
68
,769
.17
35.1
7%23
Kab.
Sol
ok55
,297
.40
7,
114.
48
9,09
8.40
71
,510
.28
29.3
2%24
Kab.
Pas
aman
Bar
at51
,056
.85
7,
987.
59
10,4
76.5
5
69
,520
.99
36.1
6%25
Kab.
Dha
rmas
raya
40,9
04.7
3
5,70
0.88
7,
956.
09
54,5
61.7
0
33
.39%
26Ka
b. S
olok
Sel
atan
35,7
01.0
1
5,02
2.46
7,
668.
65
48,3
92.1
2
35
.55%
27Ka
b. N
atun
a50
,124
.76
15
,147
.71
9,
487.
44
74,7
59.9
1
49
.15%
28Ka
b. A
nam
bas
42,8
31.0
1
9,62
3.02
8,
194.
93
60,6
48.9
6
41
.60%
29Ka
b. L
ahat
49,8
70.3
1
6,24
3.12
9,
950.
25
66,0
63.6
8
32
.47%
30Ka
b. M
usi R
awas
73,8
34.6
4
11,4
37.7
1
12,6
65.8
6
97
,938
.21
32.6
5%31
Kab.
Oga
n Ko
mer
ing
Ilir
82,4
10.1
9
11,9
61.3
5
16,4
18.4
2
11
0,78
9.96
34
.44%
DA
K RE
GU
LER
PEM
DA
NO
ALO
KASI
DA
K TA
201
3 U
NTU
K D
AER
AH
TER
TIN
GG
AL T
OTA
L
ALO
KASI
DA
K
(dal
am ju
ta r
upia
h)
DA
K A
FFIR
MA
TIV
E PO
LICY
D
AK
TAM
BAH
AN
PERS
ENTA
SE K
ENA
IKA
N
ALO
KASI
DA
K
152
Lam
pira
n I
DA
K RE
GU
LER
PEM
DA
NO
ALO
KASI
DA
K TA
201
3 U
NTU
K D
AER
AH
TER
TIN
GG
AL T
OTA
L
ALO
KASI
DA
K
(dal
am ju
ta r
upia
h)
DA
K A
FFIR
MA
TIV
E PO
LICY
D
AK
TAM
BAH
AN
PERS
ENTA
SE K
ENA
IKA
N
ALO
KASI
DA
K
32Ka
b. B
anyu
asin
112,
349.
90
15,6
10.0
8
19,2
30.5
0
14
7,19
0.48
31
.01%
33Ka
b. O
gan
Ilir
58,4
59.7
0
7,53
0.09
12
,055
.37
78,0
45.1
6
33
.50%
34Ka
b. O
gan
Kom
erin
g U
lu S
elat
an46
,391
.68
8,
446.
28
8,68
8.95
63
,526
.91
36.9
4%35
Kab.
Em
pat L
awan
g39
,977
.42
5,
462.
32
8,56
2.91
54
,002
.65
35.0
8%36
Kab.
Ban
gka
Sela
tan
45,7
84.4
2
7,58
1.02
9,
803.
43
63,1
68.8
7
37
.97%
37Ka
b. K
aur
41,1
78.6
9
7,00
1.21
8,
082.
77
56,2
62.6
7
36
.63%
38Ka
b. S
elum
a44
,399
.14
6,
436.
67
9,02
6.10
59
,861
.91
34.8
3%39
Kab.
Muk
omuk
o46
,738
.70
8,
007.
03
8,91
2.33
63
,658
.06
36.2
0%40
Kab.
Leb
ong
39,2
70.1
6
5,91
5.49
7,
942.
45
53,1
28.1
0
35
.29%
41Ka
b. K
epah
iang
35,7
17.1
4
5,33
3.01
7,
742.
04
48,7
92.1
9
36
.61%
42Ka
b. B
engk
ulu
Teng
ah46
,490
.94
6,
670.
93
7,77
2.32
60
,934
.19
31.0
7%43
Kab.
Lam
pung
Bar
at67
,131
.21
9,
427.
38
12,7
23.5
6
89
,282
.15
33.0
0%44
Kab.
Lam
pung
Uta
ra70
,735
.56
8,
681.
21
12,7
38.3
3
92
,155
.10
30.2
8%45
Kab.
Way
Kan
an65
,109
.64
7,
640.
73
12,1
80.3
9
84
,930
.76
30.4
4%46
Kab.
Pes
awar
an54
,674
.72
7,
609.
24
10,1
42.8
7
72
,426
.83
32.4
7%47
Kab.
Gar
ut14
4,47
0.95
9,
934.
82
25,3
27.1
1
17
9,73
2.88
24
.41%
48Ka
b. S
ukab
umi
128,
045.
73
11,8
85.7
3
24,1
52.8
6
16
4,08
4.32
28
.15%
49Ka
b. L
ebak
93,8
73.8
1
9,49
9.16
17
,812
.63
121,
185.
60
29.0
9%50
Kab.
Pan
degl
ang
110,
871.
95
11,3
78.4
1
19,6
10.8
6
14
1,86
1.22
27
.95%
51Ka
b. B
angk
alan
81,3
23.4
6
10,0
88.3
6
13,8
29.5
8
10
5,24
1.40
29
.41%
52Ka
b. B
ondo
wos
o60
,872
.47
9,
744.
43
10,0
93.7
0
80
,710
.60
32.5
9%53
Kab.
Pam
ekas
an75
,667
.69
6,
741.
69
14,6
62.4
0
97
,071
.78
28.2
9%54
Kab.
Sam
pang
81,3
93.4
3
9,47
3.77
14
,517
.31
105,
384.
51
29.4
8%55
Kab.
Situ
bond
o60
,969
.27
9,
144.
67
11,3
13.3
5
81
,427
.29
33.5
5%56
Kab.
Ben
gkay
ang
65,4
28.8
1
15,7
69.0
0
10,8
01.4
9
91
,999
.30
40.6
1%57
Kab.
Lan
dak
66,0
56.3
4
10,1
32.8
1
12,5
22.3
1
88
,711
.46
34.3
0%58
Kab.
Kap
uas
Hul
u84
,550
.21
22
,924
.20
13
,717
.25
121,
191.
66
43.3
4%59
Kab.
Ket
apan
g92
,900
.22
13
,730
.64
16
,764
.31
123,
395.
17
32.8
3%60
Kab.
Sam
bas
88,3
18.5
2
14,9
44.6
0
13,4
37.4
8
11
6,70
0.60
32
.14%
61Ka
b. S
angg
au72
,446
.61
15
,183
.24
12
,687
.67
100,
317.
52
38.4
7%62
Kab.
Sin
tang
93,5
60.7
0
24,7
12.1
6
13,7
72.5
5
13
2,04
5.41
41
.13%
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 153
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n I
DA
K RE
GU
LER
PEM
DA
NO
ALO
KASI
DA
K TA
201
3 U
NTU
K D
AER
AH
TER
TIN
GG
AL T
OTA
L
ALO
KASI
DA
K
(dal
am ju
ta r
upia
h)
DA
K A
FFIR
MA
TIV
E PO
LICY
D
AK
TAM
BAH
AN
PERS
ENTA
SE K
ENA
IKA
N
ALO
KASI
DA
K
63Ka
b. S
ekad
au58
,423
.36
8,
843.
67
10,0
65.9
6
77
,332
.99
32.3
7%64
Kab.
Mel
awi
61,9
56.0
0
8,88
5.22
13
,626
.15
84,4
67.3
7
36
.33%
65Ka
b. K
ayon
g U
tara
45,6
05.3
7
7,72
1.46
8,
019.
08
61,3
45.9
1
34
.51%
66Ka
b. S
eruy
an52
,028
.78
9,
652.
46
8,51
8.27
70
,199
.51
34.9
2%67
Kab.
Bar
ito K
uala
74,6
18.6
5
12,1
35.7
1
13,1
41.7
6
99
,896
.12
33.8
8%68
Kab.
Hul
u Su
ngai
Uta
ra45
,465
.97
7,
761.
94
8,86
5.86
62
,093
.77
36.5
7%69
Kab.
Kut
ai B
arat
73,7
34.9
7
17,0
94.2
3
13,2
71.7
2
10
4,10
0.92
41
.18%
70Ka
b. M
alin
au57
,737
.28
17
,192
.83
11
,065
.67
85,9
95.7
8
48
.94%
71Ka
b. N
unuk
an64
,284
.90
28
,143
.24
9,
497.
37
101,
925.
51
58.5
5%72
Kab.
San
gihe
61,9
16.0
6
13,0
69.7
2
10,2
34.5
3
85
,220
.31
37.6
4%73
Kab.
Kep
ulau
an T
alau
d74
,941
.47
14
,406
.21
9,
864.
49
99,2
12.1
7
32
.39%
74Ka
b. K
ep. S
iau
Tagu
land
ang
Biar
o41
,047
.67
5,
314.
57
8,83
7.49
55
,199
.73
34.4
8%75
Kab.
Boa
lem
o48
,077
.20
8,
768.
21
9,49
4.11
66
,339
.52
37.9
9%76
Kab.
Poh
uwat
o51
,896
.47
8,
464.
66
9,42
6.28
69
,787
.41
34.4
7%77
Kab.
Gor
onta
lo U
tara
47,0
54.1
0
8,60
0.39
9,
044.
40
64,6
98.8
9
37
.50%
78Ka
b. B
angg
ai49
,989
.47
7,
994.
74
10,3
00.8
3
68
,285
.04
36.6
0%79
Kab.
Ban
ggai
Kep
ulau
an56
,287
.50
7,
518.
78
10,4
26.6
8
74
,232
.96
31.8
8%80
Kab.
Buo
l36
,384
.69
6,
254.
16
7,92
7.91
50
,566
.76
38.9
8%81
Kab.
Tol
i-Tol
i50
,715
.89
7,
552.
98
9,75
2.01
68
,020
.88
34.1
2%82
Kab.
Don
ggal
a60
,154
.48
9,
770.
88
10,4
27.1
1
80
,352
.47
33.5
8%83
Kab.
Mor
owal
i55
,168
.14
6,
238.
52
10,6
29.0
6
72
,035
.72
30.5
7%84
Kab.
Pos
o57
,479
.31
7,
749.
07
8,75
2.55
73
,980
.93
28.7
1%85
Kab.
Par
igi M
outo
ng60
,652
.64
12
,500
.50
9,
339.
00
82,4
92.1
4
36
.01%
86Ka
b. T
ojo
Una
Una
53,2
68.1
6
8,89
8.88
9,
494.
73
71,6
61.7
7
34
.53%
87Ka
b. S
igi
42,3
29.2
5
5,98
6.38
8,
665.
53
56,9
81.1
6
34
.61%
88Ka
b. Je
nepo
nto
58,7
31.8
4
7,98
3.28
9,
579.
74
76,2
94.8
6
29
.90%
89Ka
b. P
angk
ajen
e Ke
pula
uan
59,0
10.9
4
8,16
3.72
11
,026
.40
78,2
01.0
6
32
.52%
90Ka
b. K
epul
auan
Sel
ayar
58,0
87.8
3
7,80
9.04
9,
261.
99
75,1
58.8
6
29
.39%
91Ka
b. T
oraj
a U
tara
63,5
98.0
3
9,30
8.87
12
,557
.45
85,4
64.3
5
34
.38%
92Ka
b. M
ajen
e55
,445
.42
6,
434.
95
9,05
3.15
70
,933
.52
27.9
3%93
Kab.
Mam
uju
78,0
87.4
3
9,63
0.78
13
,893
.35
101,
611.
56
30.1
3%
154
Lam
pira
n I
DA
K RE
GU
LER
PEM
DA
NO
ALO
KASI
DA
K TA
201
3 U
NTU
K D
AER
AH
TER
TIN
GG
AL T
OTA
L
ALO
KASI
DA
K
(dal
am ju
ta r
upia
h)
DA
K A
FFIR
MA
TIV
E PO
LICY
D
AK
TAM
BAH
AN
PERS
ENTA
SE K
ENA
IKA
N
ALO
KASI
DA
K
94Ka
b. P
olew
ali M
anda
r63
,202
.17
8,
029.
98
10,7
25.1
2
81
,957
.27
29.6
7%95
Kab.
Mam
asa
73,3
86.3
0
8,17
7.87
13
,551
.87
95,1
16.0
4
29
.61%
96Ka
b. M
amuj
u U
tara
41,3
26.7
6
5,59
3.11
8,
557.
74
55,4
77.6
1
34
.24%
97Ka
b. B
uton
65,0
76.2
0
7,79
1.86
12
,579
.40
85,4
47.4
6
31
.30%
98Ka
b. K
onaw
e51
,064
.13
7,
756.
60
9,42
5.31
68
,246
.04
33.6
5%99
Kab.
Mun
a80
,916
.23
10
,918
.98
14
,016
.04
105,
851.
25
30.8
2%10
0Ka
b. K
onaw
e Se
lata
n74
,922
.66
11
,856
.89
11
,199
.04
97,9
78.5
9
30
.77%
101
Kab.
Bom
bana
53,0
39.6
6
9,02
7.03
9,
187.
99
71,2
54.6
8
34
.34%
102
Kab.
Wak
atob
i44
,839
.61
7,
130.
20
9,29
4.83
61
,264
.64
36.6
3%10
3Ka
b. K
olak
a U
tara
42,8
53.8
9
6,08
0.74
9,
932.
52
58,8
67.1
5
37
.37%
104
Kab.
Kon
awe
Uta
ra38
,544
.85
6,
233.
19
8,83
8.91
53
,616
.95
39.1
0%10
5Ka
b. B
uton
Uta
ra40
,540
.85
7,
062.
47
8,91
0.89
56
,514
.21
39.4
0%10
6Ka
b. B
ima
66,8
12.4
4
11,3
39.1
9
11,4
75.1
8
89
,626
.81
34.1
5%10
7Ka
b. D
ompu
48,0
92.4
5
9,42
6.52
8,
801.
60
66,3
20.5
7
37
.90%
108
Kab.
Lom
bok
Bara
t59
,190
.78
8,
135.
03
9,66
7.83
76
,993
.64
30.0
8%10
9Ka
b. L
ombo
k Te
ngah
72,2
23.0
2
8,56
1.58
13
,263
.75
94,0
48.3
5
30
.22%
110
Kab.
Lom
bok
Tim
ur81
,953
.75
11
,209
.23
13
,826
.76
106,
989.
74
30.5
5%11
1Ka
b. S
umba
wa
58,6
36.1
2
10,7
57.5
2
10,4
43.1
4
79
,836
.78
36.1
6%11
2Ka
b. S
umba
wa
Bara
t31
,578
.82
7,
151.
22
7,33
1.75
46
,061
.79
45.8
6%11
3Ka
b. L
ombo
k U
tara
47,7
14.1
7
8,60
2.39
8,
871.
43
65,1
87.9
9
36
.62%
114
Kab.
Alo
r61
,154
.49
14
,464
.56
10
,459
.75
86,0
78.8
0
40
.76%
115
Kab.
Bel
u74
,829
.43
20
,550
.45
10
,844
.28
106,
224.
16
41.9
6%11
6Ka
b. E
nde
50,3
52.6
5
7,26
2.11
9,
813.
97
67,4
28.7
3
33
.91%
117
Kab.
Flo
res
Tim
ur50
,360
.62
5,
580.
24
9,66
7.21
65
,608
.07
30.2
8%11
8Ka
b. K
upan
g56
,239
.39
13
,368
.70
9,
367.
50
78,9
75.5
9
40
.43%
119
Kab.
Lem
bata
38,7
42.8
1
5,64
9.21
8,
375.
58
52,7
67.6
0
36
.20%
120
Kab.
Man
ggar
ai68
,938
.50
9,
824.
21
12,5
74.5
4
91
,337
.25
32.4
9%12
1Ka
b. N
gada
46,3
50.1
2
6,29
2.76
8,
844.
70
61,4
87.5
8
32
.66%
122
Kab.
Sik
ka47
,791
.32
5,
230.
06
10,7
14.0
7
63
,735
.45
33.3
6%12
3Ka
b. S
umba
Bar
at42
,725
.84
7,
922.
10
7,77
9.78
58
,427
.72
36.7
5%12
4Ka
b. S
umba
Tim
ur50
,171
.31
9,
429.
38
9,34
6.40
68
,947
.09
37.4
2%
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 155
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n I
DA
K RE
GU
LER
PEM
DA
NO
ALO
KASI
DA
K TA
201
3 U
NTU
K D
AER
AH
TER
TIN
GG
AL T
OTA
L
ALO
KASI
DA
K
(dal
am ju
ta r
upia
h)
DA
K A
FFIR
MA
TIV
E PO
LICY
D
AK
TAM
BAH
AN
PERS
ENTA
SE K
ENA
IKA
N
ALO
KASI
DA
K
125
Kab.
Tim
or T
enga
h Se
lata
n73
,327
.83
10
,123
.02
13
,641
.05
97,0
91.9
0
32
.41%
126
Kab.
Tim
or T
enga
h U
tara
56,9
93.9
9
16,7
14.3
3
9,97
4.75
83
,683
.07
46.8
3%12
7Ka
b. R
ote
Nda
o58
,764
.28
15
,563
.62
8,
827.
03
83,1
54.9
3
41
.51%
128
Kab.
Man
ggar
ai B
arat
43,0
70.4
8
8,37
6.80
8,
417.
97
59,8
65.2
5
38
.99%
129
Kab.
Nag
ekeo
49,0
81.1
2
7,77
3.44
9,
515.
66
66,3
70.2
2
35
.23%
130
Kab.
Sum
ba B
arat
Day
a51
,840
.81
8,
994.
66
10,7
36.9
1
71
,572
.38
38.0
6%13
1Ka
b. S
umba
Ten
gah
32,1
83.3
5
7,33
8.06
7,
015.
63
46,5
37.0
4
44
.60%
132
Kab.
Man
ggar
ai T
imur
63,0
68.2
8
8,74
1.45
11
,645
.26
83,4
54.9
9
32
.32%
133
Kab.
Sab
u Ra
ijua
45,4
24.3
7
8,70
9.96
7,
211.
83
61,3
46.1
6
35
.05%
134
Kab.
Mal
uku
Teng
gara
Bar
at49
,255
.99
9,
953.
46
8,94
2.05
68
,151
.50
38.3
6%13
5Ka
b. M
aluk
u Te
ngah
68,9
51.5
9
8,66
0.78
13
,200
.00
90,8
12.3
7
31
.70%
136
Kab.
Bur
u38
,037
.90
5,
922.
71
8,31
5.75
52
,276
.36
37.4
3%13
7Ka
b. S
eram
Bag
ian
Bara
t42
,484
.59
6,
069.
41
8,34
2.97
56
,896
.97
33.9
2%13
8Ka
b. S
eram
Bag
ian
Tim
ur47
,566
.35
7,
235.
24
10,0
25.7
8
64
,827
.37
36.2
9%13
9Ka
b. K
epul
auan
Aru
51,8
86.6
8
11,9
42.2
0
7,89
1.67
71
,720
.55
38.2
3%14
0Ka
b. M
aluk
u Ba
rat D
aya
60,6
17.5
6
16,3
88.7
5
11,2
45.6
4
88
,251
.95
45.5
9%14
1Ka
b. B
uru
Sela
tan
44,4
07.2
0
9,07
0.31
8,
322.
19
61,7
99.7
0
39
.17%
142
Kab.
Hal
mah
era
Teng
ah50
,834
.12
7,
206.
50
9,96
3.14
68
,003
.76
33.7
8%14
3Ka
b. H
alm
aher
a Ba
rat
50,8
48.9
0
7,74
6.92
9,
927.
64
68,5
23.4
6
34
.76%
144
Kab.
Hal
mah
era
Tim
ur51
,250
.15
9,
856.
81
9,99
9.90
71
,106
.86
38.7
4%14
5Ka
b. K
epul
auan
Sul
a52
,839
.13
6,
470.
67
11,0
81.3
6
70
,391
.16
33.2
2%14
6Ka
b. H
alm
aher
a Se
lata
n49
,835
.09
6,
911.
68
10,9
18.9
4
67
,665
.71
35.7
8%14
7Ka
b. H
alm
aher
a U
tara
50,1
86.4
1
7,23
5.12
10
,194
.53
67,6
16.0
6
34
.73%
148
Kab.
Pul
au M
orot
ai60
,525
.24
13
,536
.00
9,
961.
63
84,0
22.8
7
38
.82%
149
Kab.
Bia
k N
umfo
r63
,441
.82
5,
630.
35
10,9
55.4
4
80
,027
.61
26.1
4%15
0Ka
b. Ja
yaw
ijaya
102,
318.
36
16,8
95.8
2
13,5
03.8
6
13
2,71
8.04
29
.71%
151
Kab.
Mer
auke
169,
476.
02
37,4
76.6
1
27,8
03.1
9
23
4,75
5.82
38
.52%
152
Kab.
Mim
ika
59,8
32.5
3
7,81
8.40
12
,712
.62
80,3
63.5
5
34
.31%
153
Kab.
Nab
ire
56,9
47.9
0
7,82
0.45
10
,956
.31
75,7
24.6
6
32
.97%
154
Kab.
Pan
iai
70,2
64.6
0
13,0
64.6
9
15,3
01.3
3
98
,630
.62
40.3
7%15
5Ka
b. P
unca
k Ja
ya84
,075
.92
16
,576
.32
13
,100
.62
113,
752.
86
35.3
0%
156
Lam
pira
n I
DA
K RE
GU
LER
PEM
DA
NO
ALO
KASI
DA
K TA
201
3 U
NTU
K D
AER
AH
TER
TIN
GG
AL T
OTA
L
ALO
KASI
DA
K
(dal
am ju
ta r
upia
h)
DA
K A
FFIR
MA
TIV
E PO
LICY
D
AK
TAM
BAH
AN
PERS
ENTA
SE K
ENA
IKA
N
ALO
KASI
DA
K
156
Kab.
Kep
ulau
an Y
apen
39,1
43.1
8
5,39
5.48
8,
695.
00
53,2
33.6
6
36
.00%
157
Kab.
Sar
mi
47,9
16.7
8
6,34
5.19
9,
104.
28
63,3
66.2
5
32
.24%
158
Kab.
Kee
rom
70,0
20.9
7
18,8
38.3
9
12,3
14.9
9
10
1,17
4.35
44
.49%
159
Kab.
Yah
ukim
o78
,465
.39
14
,225
.90
11
,354
.23
104,
045.
52
32.6
0%16
0Ka
b. P
egun
unga
n Bi
ntan
g12
3,83
0.59
42
,845
.38
14
,814
.66
181,
490.
63
46.5
6%16
1Ka
b. T
olik
ara
94,5
27.1
4
17,5
12.9
9
12,2
78.2
6
12
4,31
8.39
31
.52%
162
Kab.
Bov
en D
igoe
l57
,604
.50
18
,124
.87
10
,701
.18
86,4
30.5
5
50
.04%
163
Kab.
Map
pi82
,924
.24
14
,585
.89
15
,443
.87
112,
954.
00
36.2
1%16
4Ka
b. A
smat
66,6
51.4
5
11,5
91.4
2
11,6
84.2
8
89
,927
.15
34.9
2%16
5Ka
b. W
arop
en42
,737
.61
7,
136.
24
8,55
6.90
58
,430
.75
36.7
2%16
6Ka
b. S
upio
ri54
,609
.30
11
,340
.37
8,
529.
09
74,4
78.7
6
36
.38%
167
Kab.
Mam
bera
mo
Raya
53,9
95.7
0
10,3
20.5
4
12,8
02.1
3
77
,118
.37
42.8
2%16
8Ka
b. M
ambe
ram
o Te
ngah
67,3
06.4
6
17,7
13.4
6
11,7
35.5
8
96
,755
.50
43.7
5%16
9Ka
b. Y
alim
o88
,924
.97
16
,615
.25
11
,753
.62
117,
293.
84
31.9
0%17
0Ka
b. L
anny
Jaya
111,
200.
33
17,3
30.3
8
12,4
60.4
5
14
0,99
1.16
26
.79%
171
Kab.
Ndu
ga67
,890
.84
17
,034
.10
11
,681
.55
96,6
06.4
9
42
.30%
172
Kab.
Pun
cak
95,5
03.6
9
21,1
31.7
6
19,4
60.6
1
13
6,09
6.06
42
.50%
173
Kab.
Dog
iyai
51,2
41.3
0
11,5
56.0
4
10,4
22.0
8
73
,219
.42
42.8
9%17
4Ka
b. In
tan
Jaya
78,0
05.1
6
20,8
68.4
6
10,4
25.9
2
10
9,29
9.54
40
.12%
175
Kab.
Dei
yai
62,5
34.7
7
13,0
13.2
2
12,6
77.0
3
88
,225
.02
41.0
8%17
6Ka
b. S
oron
g66
,821
.41
10
,290
.71
12
,766
.48
89,8
78.6
0
34
.51%
177
Kab.
Sor
ong
Sela
tan
50,3
25.9
6
7,98
5.28
8,
475.
72
66,7
86.9
6
32
.71%
178
Kab.
Raj
a A
mpa
t59
,376
.52
13
,979
.70
9,
361.
15
82,7
17.3
7
39
.31%
179
Kab.
Tel
uk B
intu
ni63
,142
.77
9,
208.
82
12,3
44.1
8
84
,695
.77
34.1
3%18
0Ka
b. T
eluk
Won
dam
a51
,136
.53
7,
848.
24
8,29
5.66
67
,280
.43
31.5
7%18
1Ka
b. K
aim
ana
44,1
53.1
0
7,15
2.35
7,
614.
36
58,9
19.8
1
33
.44%
182
Kab.
May
brat
64,0
89.2
9
11,2
41.7
0
9,55
9.01
84
,890
.00
32.4
6%18
3Ka
b. T
ambr
auw
76,7
33.5
7
15,0
58.7
7
10,8
14.3
9
10
2,60
6.73
33
.72%
11,0
46,4
61.1
4
1,88
0,00
0.00
2,
000,
000.
00
31,6
97,1
43.0
0
35.1
2%TO
TAL
TOTA
L A
LOKA
SI D
AK
SECA
RA N
ASI
ON
AL
ALO
KASI
DA
K U
NTU
K D
AER
AH
TER
TIN
GG
AL
14,9
26,4
61.1
4
47.0
9%PO
RSI A
LOKA
SI D
AK
KE D
AER
AH
TER
TIN
GG
AL
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 157
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
1Pr
ovin
si Ac
eh
1
,169,5
60,86
0,484
1,0
92,44
5,518
,000
75
,148,5
10,00
0
-
6,222
,785,7
83,00
0
-
40
8,000
,000
-
455,1
16,37
0,000
7,8
45,90
4,181
,000
2Ka
b. Ac
eh B
arat
26,83
2,140
,373
507,5
82,40
7,000
59
,092,5
20,00
0
10,00
7,950
,000
-
31
,320,5
97,88
8
5,446
,000,0
00
-
-
613,4
49,47
4,888
3
Kab.
Aceh
Bes
ar
30,12
4,978
,752
618,3
23,62
8,000
65
,291,8
40,00
0
10,21
4,200
,000
-
66
,822,4
75,74
0
5,180
,750,0
00
-
-
765,8
32,89
3,740
4
Kab.
Aceh
Sela
tan
28,29
5,208
,921
528,5
79,44
5,000
56
,990,0
40,00
0
9,948
,640,0
00
-
52,72
9,552
,368
7,0
53,00
0,000
-
-
65
5,300
,677,3
68
5Ka
b. Ac
eh S
ingkil
23
,499,6
04,05
2 33
6,786
,951,0
00
48,03
6,420
,000
8,5
60,23
0,000
-
11
,911,6
30,60
8
2,584
,250,0
00
-
-
407,8
79,48
1,608
6
Kab.
Aceh
Ten
gah
28
,757,1
89,31
3 51
3,863
,035,0
00
41,80
3,310
,000
-
-
42
,078,4
47,64
8
5,555
,500,0
00
-
-
603,3
00,29
2,648
7
Kab.
Aceh
Ten
ggar
a
25,81
2,133
,998
470,5
77,37
4,000
40
,861,1
20,00
0
-
-
32,16
7,708
,176
5,1
27,00
0,000
-
-
54
8,733
,202,1
76
8Ka
b. Ac
eh T
imur
84
,494,4
53,81
4 60
0,936
,437,0
00
69,38
8,960
,000
11
,834,5
20,00
0
-
54,98
9,688
,240
7,5
90,00
0,000
-
-
74
4,739
,605,2
40
9Ka
b. Ac
eh U
tara
467
,457,1
34,87
8 69
0,327
,098,0
00
56,31
5,630
,000
-
-
10
4,406
,246,0
00
4,005
,250,0
00
-
-
855,0
54,22
4,000
10
Kab.
Bire
un
38,11
0,483
,729
699,0
60,58
9,000
59
,183,4
70,00
0
-
-
106,4
51,81
7,408
7,7
85,00
0,000
-
-
87
2,480
,876,4
08
11Ka
b. Pi
die
27,33
4,280
,345
683,7
66,68
7,000
67
,887,6
50,00
0
-
-
76,73
0,672
,328
5,5
54,35
0,000
-
-
83
3,939
,359,3
28
12Ka
b. Si
meulu
e
24,12
6,196
,757
345,2
42,68
8,000
59
,701,7
90,00
0
9,500
,640,0
00
-
11,94
7,716
,048
4,4
10,00
0,000
-
-
43
0,802
,834,0
48
13Ko
ta Ba
nda A
ceh
43
,436,8
99,79
1 56
7,628
,828,0
00
31,00
3,110
,000
-
-
10
7,588
,305,7
28
2,789
,500,0
00
33,47
8,767
,000
-
74
2,488
,510,7
28
14Ko
ta Sa
bang
24
,997,7
67,03
1 30
1,933
,548,0
00
28,13
5,400
,000
-
-
12
,372,1
39,58
4
857,0
00,00
0
-
-
34
3,298
,087,5
84
15Ko
ta La
ngsa
28
,227,1
02,39
2 38
1,240
,982,0
00
29,92
0,830
,000
-
-
46
,013,9
78,82
4
3,627
,750,0
00
-
-
460,8
03,54
0,824
16
Kota
Lhok
seum
awe
66
,133,7
89,34
5 43
7,793
,850,0
00
30,89
0,340
,000
-
-
43
,982,0
90,21
2
3,042
,000,0
00
-
-
515,7
08,28
0,212
17
Kab.
Naga
n Ray
a
28,22
0,697
,833
464,1
91,40
2,000
49
,579,8
70,00
0
9,401
,500,0
00
-
23,83
6,446
,720
3,6
91,50
0,000
2,0
00,00
0,000
-
55
2,700
,718,7
20
18Ka
b. Ac
eh Ja
ya
27,10
4,969
,503
341,7
73,45
9,000
45
,051,7
50,00
0
8,416
,360,0
00
-
10,73
3,882
,832
3,5
87,00
0,000
-
-
40
9,562
,451,8
32
19Ka
b. Ac
eh B
arat
Daya
24
,522,3
96,38
6 36
2,624
,746,0
00
56,13
1,180
,000
9,3
73,36
0,000
-
33
,129,6
70,03
2
4,140
,000,0
00
-
-
465,3
98,95
6,032
20
Kab.
Gayo
Lues
30
,473,7
26,32
8 37
4,040
,972,0
00
40,73
1,920
,000
7,6
98,87
0,000
-
10
,557,3
12,67
2
3,465
,750,0
00
-
-
436,4
94,82
4,672
21
Kab.
Aceh
Tam
iang
80
,067,0
10,40
8 42
3,677
,588,0
00
41,00
6,940
,000
-
-
48
,093,0
33,31
2
4,107
,500,0
00
-
-
516,8
85,06
1,312
22
Kab.
Bene
r Mer
iah
25,04
5,401
,208
375,3
10,91
7,000
44
,074,0
60,00
0
8,232
,760,0
00
-
26,15
7,051
,360
4,4
78,25
0,000
-
-
45
8,253
,038,3
60
23Ko
ta Su
bulus
salam
21
,724,2
31,17
8 25
1,634
,726,0
00
27,45
7,570
,000
-
-
10
,221,6
61,75
2
2,880
,000,0
00
-
-
292,1
93,95
7,752
24
Kab.
Pidie
Jaya
23
,174,6
70,26
4 35
0,574
,172,0
00
42,56
0,520
,000
8,0
86,75
0,000
-
40
,754,7
16,51
0
2,904
,000,0
00
-
-
444,8
80,15
8,510
25
Prov
insi
Sum
ater
a Uta
ra
4
07,34
0,146
,161
1,223
,445,4
04,00
0
73,09
7,930
,000
-
-
-
54
3,000
,000
19,36
0,721
,000
1,5
87,16
4,900
,000
2,903
,611,9
55,00
0
26
Kab.
Asah
an
25,74
9,841
,340
733,6
71,98
8,000
79
,875,4
80,00
0
-
-
107,6
12,64
2,232
6,8
71,20
5,000
-
-
92
8,031
,315,2
32
27Ka
b. Da
iri
21,47
0,353
,326
512,4
77,04
1,000
61
,125,5
90,00
0
-
-
59,73
3,748
,080
7,4
22,00
0,000
-
-
64
0,758
,379,0
80
28Ka
b. De
li Ser
dang
51
,590,3
77,54
3 1,2
60,75
5,135
,000
81
,867,5
90,00
0
-
-
258,7
24,21
0,356
15
,994,5
19,50
0
-
-
1,617
,341,4
54,85
6
29
Kab.
Tana
h Kar
o
25,14
8,562
,193
625,8
22,34
8,000
48
,120,1
30,00
0
-
-
74,57
6,318
,976
8,8
72,25
0,000
-
-
75
7,391
,046,9
76
30Ka
b. La
buha
n Batu
31
,439,7
41,38
6 52
0,457
,519,0
00
49,73
8,450
,000
-
-
69
,555,8
85,84
0
5,104
,750,0
00
-
-
644,8
56,60
4,840
31
Kab.
Lang
kat
132
,030,9
67,10
1 98
2,658
,132,0
00
81,16
5,730
,000
-
-
16
9,083
,206,3
52
12,69
9,000
,000
-
-
1,2
45,60
6,068
,352
32Ka
b. Ma
ndail
ing N
atal
27
,243,1
54,70
7 62
5,543
,432,0
00
51,72
1,690
,000
-
-
85
,093,1
20,51
2
11,71
1,500
,000
-
-
77
4,069
,742,5
12
33Ka
b. Ni
as
12
,454,9
66,31
1 31
9,069
,648,0
00
55,24
5,240
,000
9,3
57,91
0,000
-
12
,855,7
13,02
8
2,874
,000,0
00
-
-
399,4
02,51
1,028
34
Kab.
Sima
lungu
n
31,00
6,717
,789
977,8
08,61
1,000
80
,773,9
70,00
0
-
-
166,7
81,40
6,672
12
,960,7
50,00
0
-
-
1,238
,324,7
37,67
2
35
Kab.
Tapa
nuli S
elatan
40
,192,8
95,91
1 51
7,342
,688,0
00
54,32
1,700
,000
-
-
41
,409,2
74,89
6
5,583
,250,0
00
-
-
618,6
56,91
2,896
36
Kab.
Tapa
nuli T
enga
h
20,65
3,020
,261
491,0
10,81
8,000
72
,287,1
20,00
0
10,96
7,130
,000
-
59
,160,2
57,23
2
5,985
,750,0
00
-
-
639,4
11,07
5,232
37
Kab.
Tapa
nuli U
tara
23
,596,9
22,03
2 55
2,463
,211,0
00
55,77
8,010
,000
-
-
87
,042,2
50,08
0
7,707
,250,0
00
26,93
0,091
,000
-
72
9,920
,812,0
80
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
158
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
38Ka
b. To
ba S
amos
ir
20,14
2,884
,637
423,2
92,45
3,000
46
,036,2
40,00
0
-
-
60,65
5,435
,006
5,2
20,00
0,000
-
-
53
5,204
,128,0
06
39Ko
ta Bi
njai
30
,527,4
29,36
1 47
7,553
,537,0
00
30,65
6,930
,000
-
-
72
,914,0
73,26
4
4,293
,000,0
00
-
-
585,4
17,54
0,264
40
Kota
Meda
n
1
96,81
4,893
,603
1,270
,244,7
94,00
0
74,27
6,510
,000
-
-
32
8,422
,264,1
92
11,53
8,000
,000
36
,792,7
97,00
0
-
1,721
,274,3
65,19
2
41
Kota
Pema
tang S
iantar
26
,104,5
06,34
9 49
2,115
,399,0
00
41,39
9,700
,000
-
-
80
,376,8
57,28
0
1,573
,517,0
00
-
-
615,4
65,47
3,280
42
Kota
Sibo
lga
18,27
8,322
,842
338,5
07,47
1,000
29
,474,0
70,00
0
-
-
26,99
4,727
,440
2,2
69,95
0,000
2,0
00,00
0,000
-
39
9,246
,218,4
40
43Ko
ta Ta
njung
Bala
i
15,96
1,200
,479
369,2
46,57
6,000
28
,391,0
40,00
0
-
-
28,39
1,562
,720
2,1
25,00
0,000
-
-
42
8,154
,178,7
20
44Ko
ta Te
bing T
inggi
17
,753,4
90,82
5 36
8,586
,756,0
00
36,28
3,080
,000
-
-
48
,789,2
59,08
0
1,755
,000,0
00
-
-
455,4
14,09
5,080
45
Kota
Pada
ng S
idimp
uan
23
,092,6
53,19
1 42
3,251
,346,0
00
39,95
7,160
,000
-
-
66
,080,9
36,59
2
3,225
,000,0
00
-
-
532,5
14,44
2,592
46
Kab.
Pakp
ak B
hara
t
19,02
7,687
,871
273,5
98,95
1,000
46
,587,9
00,00
0
7,418
,010,0
00
-
9,298
,946,4
48
1,9
87,50
0,000
-
-
33
8,891
,307,4
48
47Ka
b. Ni
as S
elatan
21
,344,7
71,85
5 42
2,944
,097,0
00
88,37
5,170
,000
13
,424,6
80,00
0
-
9,522
,393,6
96
6,8
46,00
0,000
-
-
54
1,112
,340,6
96
48Ka
b. Hu
mban
g Has
undu
tan
24,84
0,717
,120
440,9
19,62
2,000
50
,779,5
70,00
0
-
-
54,96
9,806
,304
5,1
16,25
0,000
-
-
55
1,785
,248,3
04
49Ka
b. Se
rdan
g Bed
agai
24
,246,6
98,94
9 62
8,900
,240,0
00
68,23
0,650
,000
-
-
11
2,797
,226,3
76
5,918
,750,0
00
-
-
815,8
46,86
6,376
50
Kab.
Samo
sir
16,28
8,578
,488
384,7
60,68
0,000
44
,730,0
00,00
0
-
-
36,23
9,576
,256
4,7
33,33
7,500
-
-
47
0,463
,593,7
56
51Ka
b. Ba
tubar
a
19,57
3,217
,508
517,7
34,10
2,000
42
,178,6
40,00
0
-
-
65,61
3,054
,672
4,4
19,00
0,000
-
-
62
9,944
,796,6
72
52Ka
b. La
buha
n Batu
Utar
a
19,78
6,126
,465
457,7
14,72
0,000
48
,433,3
00,00
0
-
-
48,96
3,819
,600
2,7
08,00
0,000
-
-
55
7,819
,839,6
00
53Ka
b. La
buha
n Batu
Sela
tan
21,65
8,008
,242
400,5
66,65
3,000
53
,225,6
80,00
0
-
-
28,85
9,961
,744
4,6
08,00
0,000
-
-
48
7,260
,294,7
44
54Ka
b. Pa
dang
Lawa
s Utar
a
18,91
9,001
,769
387,9
54,94
9,000
36
,311,0
60,00
0
-
-
24,37
5,561
,984
4,4
12,25
0,000
-
-
45
3,053
,820,9
84
55Ka
b. Pa
dang
Lawa
s
29,86
9,055
,460
371,6
50,11
1,000
31
,082,9
00,00
0
-
-
21,20
5,850
,544
4,3
24,50
0,000
-
-
42
8,263
,361,5
44
56Ka
b. Ni
as U
tara
11
,711,2
03,98
8 29
4,071
,932,0
00
46,56
4,900
,000
9,8
17,76
0,000
-
13
,802,4
14,25
6
2,079
,000,0
00
-
-
366,3
36,00
6,256
57
Kab.
Nias
Bar
at
10,24
1,251
,417
251,6
31,63
4,000
49
,261,0
50,00
0
9,879
,230,0
00
-
9,863
,716,0
57
1,5
12,00
0,000
-
-
32
2,147
,630,0
57
58Ko
ta Gu
nung
sitoli
12
,148,5
00,61
2 35
6,042
,897,0
00
35,58
5,700
,000
-
-
32
,536,8
61,29
2
2,432
,750,0
00
-
-
426,5
98,20
8,292
59
Prov
insi
Sum
ater
a Bar
at
1
41,46
8,167
,493
1,039
,922,5
11,00
0
64,82
2,530
,000
-
-
-
85
5,000
,000
-
560,5
00,32
0,000
1,6
66,10
0,361
,000
60Ka
b. Lim
apulu
h Kota
21
,662,5
20,35
5 63
2,930
,786,0
00
51,50
2,690
,000
-
-
11
6,952
,396,8
96
6,790
,725,0
00
-
-
808,1
76,59
7,896
61
Kab.
Agam
20
,805,8
32,74
4 67
6,516
,360,0
00
66,03
7,810
,000
-
-
15
2,788
,548,5
72
4,709
,250,0
00
-
-
900,0
51,96
8,572
62
Kab.
Kepu
lauan
Men
tawai
20
,707,7
07,08
4 46
5,535
,454,0
00
66,25
0,750
,000
11
,676,7
70,00
0
-
7,241
,233,2
76
3,9
00,00
0,000
-
-
55
4,604
,207,2
76
63Ka
b. Pa
dang
Par
iaman
15
,764,9
53,30
9 63
3,453
,395,0
00
83,76
5,630
,000
13
,258,7
30,00
0
-
128,7
04,93
4,352
5,7
03,50
0,000
-
-
86
4,886
,189,3
52
64Ka
b. Pa
sama
n
18,70
0,182
,276
481,1
80,15
9,000
41
,291,7
80,00
0
-
-
70,08
5,309
,616
3,7
08,75
0,000
-
-
59
6,265
,998,6
16
65Ka
b. Pe
sisir S
elatan
22
,391,9
67,68
9 68
9,380
,494,0
00
74,48
1,830
,000
12
,440,5
70,00
0
-
120,8
09,99
3,240
10
,341,0
00,00
0
-
-
907,4
53,88
7,240
66
Kab.
Sijun
jung
19
,499,1
67,77
5 44
8,681
,128,0
00
58,35
8,330
,000
10
,410,8
40,00
0
-
50,08
4,912
,896
4,5
46,75
0,000
-
-
57
2,081
,960,8
96
67Ka
b. So
lok
20,15
6,278
,544
588,0
40,07
4,000
62
,411,8
80,00
0
9,098
,400,0
00
-
95,39
5,096
,884
5,6
12,25
0,000
-
-
76
0,557
,700,8
84
68Ka
b. Ta
nah D
atar
17
,229,6
80,34
7 58
7,104
,249,0
00
53,77
1,930
,000
-
-
98
,842,6
64,68
4
5,163
,500,0
00
-
-
744,8
82,34
3,684
69
Kota
Bukit
Ting
gi
16,10
7,802
,179
368,3
11,19
5,000
29
,814,0
60,00
0
-
-
92,32
6,254
,624
1,5
81,50
0,000
-
-
49
2,033
,009,6
24
70Ko
ta Pa
dang
Pan
jang
14
,155,1
38,84
3 30
2,846
,549,0
00
22,73
2,660
,000
-
-
26
,668,5
24,24
0
1,376
,250,0
00
-
-
353,6
23,98
3,240
71
Kota
Pada
ng
61,62
2,871
,114
1,003
,116,0
93,00
0
81,84
1,800
,000
-
-
27
2,685
,930,1
24
10,00
4,248
,000
-
-
1,3
67,64
8,071
,124
72Ko
ta Pa
yaku
mbuh
14
,000,9
39,77
1 36
9,115
,746,0
00
34,95
0,620
,000
-
-
52
,884,8
94,24
4
2,172
,000,0
00
-
-
459,1
23,26
0,244
73
Kota
Sawa
hlunto
22
,985,7
06,62
8 29
6,397
,490,0
00
30,30
7,130
,000
-
-
30
,370,0
68,92
8
1,745
,500,0
00
-
-
358,8
20,18
8,928
74
Kota
Solok
15
,373,5
60,16
7 31
8,606
,999,0
00
25,42
4,230
,000
-
-
34
,977,5
69,04
0
1,909
,500,0
00
-
-
380,9
18,29
8,040
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 159
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
75Ko
ta Pa
riama
n
17,36
0,235
,923
343,0
61,62
2,000
33
,771,1
30,00
0
-
-
41,04
9,956
,304
2,1
90,00
0,000
-
-
42
0,072
,708,3
04
76Ka
b. Pa
sama
n Bar
at
19,61
6,843
,362
523,5
34,85
0,000
59
,044,4
40,00
0
10,47
6,550
,000
-
65
,676,7
18,08
0
4,878
,000,0
00
-
-
663,6
10,55
8,080
77
Kab.
Dhar
masra
ya
19,28
5,353
,602
400,3
74,12
8,000
46
,605,6
10,00
0
7,956
,090,0
00
-
41,17
1,284
,820
4,2
53,50
0,000
-
-
50
0,360
,612,8
20
78Ka
b. So
lok S
elatan
22
,885,3
02,47
1 35
1,505
,736,0
00
40,72
3,470
,000
7,6
68,65
0,000
-
33
,969,5
93,10
4
3,896
,000,0
00
-
-
437,7
63,44
9,104
79
Prov
insi
Riau
2,71
2,574
,633,7
39
726,6
30,91
6,000
38
,738,3
20,00
0
-
-
-
426,0
00,00
0
18
,062,1
98,00
0
640,5
65,11
0,000
1,4
24,42
2,544
,000
80Ka
b. Be
ngka
lis
2,58
6,032
,305,9
06
31,86
2,241
,000
10,05
2,520
,000
-
-
81
,447,4
74,76
8
10,67
2,600
,000
-
-
13
4,034
,835,7
68
81Ka
b. Ind
ragir
i Hilir
480
,349,0
61,44
0 77
3,041
,103,0
00
56,91
1,990
,000
-
-
76
,076,5
71,16
8
9,046
,000,0
00
-
-
915,0
75,66
4,168
82
Kab.
Indra
giri H
ulu
5
17,62
9,092
,494
587,9
33,54
3,000
14
,544,9
70,00
0
-
-
70,01
1,848
,620
6,4
80,00
0,000
-
-
67
8,970
,361,6
20
83Ka
b. Ka
mpar
987
,902,4
08,79
5 68
5,859
,400,0
00
54,94
9,780
,000
-
-
12
7,254
,821,9
04
11,75
0,000
,000
-
-
87
9,814
,001,9
04
84Ka
b. Ku
antan
Sing
ingi
424
,778,8
30,85
9 56
9,206
,381,0
00
1,541
,560,0
00
-
-
74
,904,5
70,75
6
6,402
,750,0
00
-
-
652,0
55,26
1,756
85
Kab.
Pelal
awan
542
,820,9
63,65
5 49
1,287
,503,0
00
12,35
5,990
,000
-
-
39
,246,8
77,23
6
4,636
,500,0
00
-
-
547,5
26,87
0,236
86
Kab.
Roka
n Hilir
1
,352,8
78,79
2,493
38
8,866
,199,0
00
52,51
1,390
,000
-
-
41
,665,1
37,74
0
8,344
,750,0
00
-
-
491,3
87,47
6,740
87
Kab.
Roka
n Hulu
505
,585,6
79,81
0 52
8,854
,782,0
00
18,90
5,960
,000
-
-
54
,516,9
24,28
8
6,681
,000,0
00
-
-
608,9
58,66
6,288
88
Kab.
Siak
1
,518,6
28,50
9,182
27
2,530
,626,0
00
17,72
6,220
,000
-
-
55
,570,6
74,17
2
5,218
,000,0
00
2,000
,000,0
00
-
353,0
45,52
0,172
89
Kota
Duma
i
4
53,83
4,668
,528
345,0
90,26
2,000
-
-
-
44
,837,1
84,00
0
4,813
,375,0
00
-
-
394,7
40,82
1,000
90
Kota
Peka
nbar
u
5
17,25
1,028
,572
738,1
07,46
9,000
30
,355,8
70,00
0
-
-
164,0
80,34
4,372
5,2
47,75
0,000
-
-
93
7,791
,433,3
72
91Ka
b. Ke
pulau
an M
eran
ti
5
02,40
0,549
,256
342,0
86,71
8,000
18
,219,1
10,00
0
-
-
23,87
3,124
,624
3,4
88,25
0,000
-
-
38
7,667
,202,6
24
92Pr
ovin
si Ke
pulau
an R
iau
9
15,50
4,926
,851
656,0
67,61
0,000
36
,672,9
10,00
0
-
-
-
84,00
0,000
20
,261,6
53,00
0
167,8
73,85
0,000
88
0,960
,023,0
00
93Ka
b. Bi
ntan
283
,552,0
73,48
8 28
8,685
,934,0
00
21,63
0,860
,000
-
-
27
,581,5
24,99
6
2,437
,250,0
00
-
-
340,3
35,56
8,996
94
Kab.
Natun
a
7
75,25
9,115
,774
177,9
49,26
2,000
65
,272,4
70,00
0
9,487
,440,0
00
-
11,82
3,983
,424
2,2
52,50
0,000
-
-
26
6,785
,655,4
24
95Ka
b. Ka
rimun
279
,806,3
27,04
4 30
6,219
,557,0
00
10,82
4,160
,000
-
-
34
,837,9
44,48
0
3,200
,250,0
00
-
-
355,0
81,91
1,480
96
Kota
Batam
358
,356,3
10,20
6 52
8,839
,827,0
00
59,43
4,120
,000
-
-
44
,787,2
92,41
6
4,489
,500,0
00
-
-
637,5
50,73
9,416
97
Kota
Tanju
ng P
inang
268
,943,3
24,25
0 34
8,778
,489,0
00
1,766
,620,0
00
-
-
43
,116,5
68,45
6
1,879
,500,0
00
-
-
395,5
41,17
7,456
98
Kab.
Lingg
a
2
66,64
4,467
,334
298,5
52,15
4,000
6,4
13,89
0,000
-
-
15,64
3,518
,912
3,9
99,00
0,000
-
-
32
4,608
,562,9
12
99Ka
b. Ke
pulau
an A
namb
as
4
96,53
0,593
,129
233,1
24,88
0,000
52
,454,0
30,00
0
8,194
,930,0
00
-
3,792
,197,0
88
1,3
59,00
0,000
-
-
29
8,925
,037,0
88
100
Prov
insi
Jam
bi
5
05,50
5,069
,853
836,5
78,06
2,000
51
,035,7
90,00
0
-
-
-
-
-
338,9
94,41
0,000
1,2
26,60
8,262
,000
101
Kab.
Batan
ghar
i
2
53,80
9,660
,711
507,4
78,48
7,000
49
,684,4
50,00
0
-
-
49,75
7,784
,192
4,5
69,50
0,000
-
-
61
1,490
,221,1
92
102
Kab.
Bung
o
93,44
7,331
,355
523,6
80,27
0,000
54
,327,9
10,00
0
-
-
73,83
3,856
,960
5,0
52,00
0,000
-
-
65
6,894
,036,9
60
103
Kab.
Kerin
ci
70,33
1,031
,916
501,1
85,35
3,000
60
,810,2
70,00
0
-
-
77,32
6,196
,400
3,6
30,00
0,000
-
-
64
2,951
,819,4
00
104
Kab.
Mera
ngin
92
,345,9
74,20
7 56
5,160
,895,0
00
51,81
4,890
,000
-
-
13
5,829
,617,1
84
5,985
,000,0
00
-
-
758,7
90,40
2,184
10
5Ka
b. Mu
aro J
ambi
225
,124,7
79,59
8 54
3,498
,995,0
00
53,32
6,370
,000
-
-
62
,467,8
07,55
6
5,465
,250,0
00
-
-
664,7
58,42
2,556
10
6Ka
b. Sa
rolan
gun
155
,165,3
16,80
7 47
2,596
,098,0
00
45,96
7,650
,000
-
-
43
,678,1
78,34
8
5,205
,000,0
00
-
-
567,4
46,92
6,348
10
7Ka
b. Ta
njung
Jabu
ng B
arat
391
,078,5
09,20
6 38
7,991
,551,0
00
3,548
,560,0
00
-
-
49
,299,2
19,21
6
4,377
,000,0
00
-
-
445,2
16,33
0,216
10
8Ka
b. Ta
njung
Jabu
ng T
imur
310
,162,9
65,32
4 43
0,383
,112,0
00
8,069
,440,0
00
-
-
8,4
99,07
4,442
3,854
,500,0
00
-
-
450,8
06,12
6,442
10
9Ka
b. Te
bo
1
16,84
0,022
,378
461,0
06,76
6,000
41
,950,1
60,00
0
-
-
56,49
8,490
,896
4,4
12,00
0,000
-
-
56
3,867
,416,8
96
110
Kota
Jamb
i
1
31,84
2,012
,778
626,3
31,74
3,000
56
,330,9
90,00
0
-
-
132,9
93,71
7,264
4,1
46,50
0,000
-
-
81
9,802
,950,2
64
111
Kota
Sung
ai Pe
nuh
67
,237,8
71,11
8 34
4,517
,814,0
00
27,50
3,860
,000
-
-
46
,759,2
09,55
2
2,379
,000,0
00
-
-
421,1
59,88
3,552
160
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
112
Prov
insi
Sum
ater
a Sela
tan
1
,737,2
78,42
9,482
87
0,516
,767,0
00
25,18
8,400
,000
-
-
-
78
0,000
,000
-
812,5
55,45
0,000
1,7
09,04
0,617
,000
113
Kab.
Laha
t
3
56,28
3,035
,377
566,7
88,21
6,000
56
,113,4
30,00
0
9,950
,250,0
00
-
84,98
0,042
,548
6,4
11,00
0,000
-
-
72
4,242
,938,5
48
114
Kab.
Musi
Bany
uasin
2
,198,3
65,34
0,882
45
1,257
,714,0
00
63,49
0,600
,000
-
-
62
,160,0
20,17
2
7,821
,250,0
00
-
-
584,7
29,58
4,172
11
5Ka
b. Mu
si Ra
was
665
,586,6
50,46
2 63
5,200
,715,0
00
85,27
2,350
,000
12
,665,8
60,00
0
-
58,21
5,429
,648
7,5
45,00
0,000
-
-
79
8,899
,354,6
48
116
Kab.
Muar
a Enim
779
,996,1
99,80
2 67
8,488
,372,0
00
46,52
7,530
,000
-
-
10
1,187
,324,1
41
8,259
,000,0
00
-
-
834,4
62,22
6,141
11
7Ka
b. Og
an K
omer
ing Ili
r
2
29,74
0,684
,435
844,1
90,64
9,000
94
,371,5
40,00
0
16,41
8,420
,000
-
82
,748,6
38,03
2
11,93
1,000
,000
2,0
00,00
0,000
-
1,0
51,66
0,247
,032
118
Kab.
Ogan
Kom
ering
Ulu
2
69,73
6,368
,984
517,3
09,97
2,000
20
,890,1
90,00
0
-
-
63,02
4,645
,888
5,2
43,25
0,000
-
-
60
6,468
,057,8
88
119
Kota
Palem
bang
280
,534,2
51,79
7 1,1
25,00
8,229
,000
66
,991,1
20,00
0
-
-
338,9
05,27
0,559
12
,171,3
68,75
0
32,56
3,403
,000
-
1,5
75,63
9,391
,309
120
Kota
Paga
r Alam
192
,303,7
76,67
2 31
6,529
,382,0
00
32,26
9,310
,000
-
-
28
,125,2
34,72
0
3,324
,000,0
00
-
-
380,2
47,92
6,720
12
1Ko
ta Lu
buk L
ingga
u
1
93,08
3,597
,945
377,9
66,60
5,000
31
,334,5
50,00
0
-
-
49,17
5,338
,464
3,1
17,00
0,000
2,0
00,00
0,000
-
46
3,593
,493,4
64
122
Kota
Prab
umuli
h
2
32,06
5,693
,614
352,6
45,05
8,000
30
,853,6
30,00
0
-
-
38,11
9,616
,064
2,8
48,75
0,000
-
-
42
4,467
,054,0
64
123
Kab.
Bany
uasin
381
,727,2
46,76
5 77
2,464
,315,0
00
127,9
59,98
0,000
19
,230,5
00,00
0
-
86,72
5,205
,004
9,4
79,75
0,000
2,0
00,00
0,000
-
1,0
17,85
9,750
,004
124
Kab.
Ogan
Ilir
242
,497,4
17,65
7 52
0,287
,726,0
00
65,98
9,790
,000
12
,055,3
70,00
0
-
64,59
2,886
,768
7,7
07,75
0,000
-
-
67
0,633
,522,7
68
125
Kab.
Ogan
Kom
ering
Ulu
Timur
203
,149,8
12,94
1 61
5,538
,759,0
00
59,76
0,030
,000
-
-
80
,755,9
81,34
4
8,427
,750,0
00
-
-
764,4
82,52
0,344
12
6Ka
b. Og
an K
omer
ing U
lu Se
latan
192
,492,8
07,39
2 45
9,577
,915,0
00
54,83
7,960
,000
8,6
88,95
0,000
-
29
,432,7
66,52
8
4,659
,490,0
00
-
-
557,1
97,08
1,528
12
7Ka
b. Em
pat L
awan
g
1
90,65
8,080
,791
308,4
18,22
9,000
45
,439,7
40,00
0
8,562
,910,0
00
-
21,19
8,148
,416
3,5
67,00
0,000
-
-
38
7,186
,027,4
16
128
Prov
insi
Bang
ka B
elitu
ng
1
32,24
7,821
,607
717,1
40,11
8,000
44
,170,5
70,00
0
-
-
-
-
-
131,1
90,22
0,000
89
2,500
,908,0
00
129
Kab.
Bang
ka
98
,638,2
62,42
4 44
4,188
,100,0
00
44,74
9,920
,000
-
-
40
,837,9
00,89
6
4,561
,250,0
00
28,35
3,598
,000
-
56
2,690
,768,8
96
130
Kab.
Belitu
ng
50
,809,3
26,56
2 37
6,540
,510,0
00
41,54
9,650
,000
-
-
29
,769,2
65,94
8
3,201
,000,0
00
-
-
451,0
60,42
5,948
13
1Ko
ta Pa
ngka
l Pina
ng
52,93
4,160
,023
384,4
21,52
3,000
32
,626,0
40,00
0
-
-
35,48
1,819
,792
2,3
48,25
0,000
-
-
45
4,877
,632,7
92
132
Kab.
Bang
ka S
elatan
54
,580,2
14,16
2 36
3,886
,920,0
00
53,36
5,440
,000
9,8
03,43
0,000
-
18
,841,7
96,20
8
2,573
,000,0
00
-
-
448,4
70,58
6,208
13
3Ka
b. Ba
ngka
Ten
gah
68
,149,4
68,44
4 33
6,873
,338,0
00
37,67
0,750
,000
-
-
19
,973,2
65,12
0
3,141
,000,0
00
2,000
,000,0
00
-
399,6
58,35
3,120
13
4Ka
b. Ba
ngka
Bar
at
69,79
6,694
,288
358,1
51,69
1,000
37
,411,9
20,00
0
-
-
19,40
3,374
,344
2,7
07,51
2,500
-
-
41
7,674
,497,8
44
135
Kab.
Belitu
ng T
imur
54
,222,5
89,61
1 35
8,875
,317,0
00
38,32
3,020
,000
-
-
20
,133,4
05,36
0
3,102
,750,0
00
-
-
420,4
34,49
2,360
13
6Pr
ovin
si Be
ngku
lu
74,61
6,473
,483
854,6
47,82
8,000
51
,587,3
30,00
0
-
-
-
249,0
00,00
0
-
20
0,422
,450,0
00
1,106
,906,6
08,00
0
13
7Ka
b. Be
ngku
lu Se
latan
19
,746,9
18,80
7 44
4,045
,665,0
00
46,49
1,850
,000
-
-
55
,298,5
76,65
6
4,185
,000,0
00
-
-
550,0
21,09
1,656
13
8Ka
b. Be
ngku
lu Ut
ara
45
,054,8
72,99
2 48
3,142
,211,0
00
46,76
2,980
,000
-
-
57
,202,7
28,89
6
4,347
,750,0
00
-
-
591,4
55,66
9,896
13
9Ka
b. Re
jang L
ebon
g
22,63
2,598
,100
498,0
73,13
8,000
48
,767,6
10,00
0
-
-
61,23
0,778
,880
4,0
78,50
0,000
-
-
61
2,150
,026,8
80
140
Kota
Beng
kulu
28,65
3,935
,484
537,9
03,52
1,000
44
,259,8
50,00
0
-
-
84,10
5,958
,032
4,7
49,75
0,000
-
-
67
1,019
,079,0
32
141
Kab.
Kaur
23
,192,5
46,91
1 32
9,881
,353,0
00
48,17
9,900
,000
8,0
82,77
0,000
-
25
,582,8
29,68
0
2,953
,000,0
00
2,000
,000,0
00
-
416,6
79,85
2,680
14
2Ka
b. Se
luma
22
,671,7
90,08
4 39
7,724
,977,0
00
50,83
5,810
,000
9,0
26,10
0,000
-
37
,059,0
82,41
6
4,397
,624,0
00
-
-
499,0
43,59
3,416
14
3Ka
b. Mu
komu
ko
24,39
3,617
,877
404,3
97,72
6,000
54
,745,7
30,00
0
8,912
,330,0
00
-
29,07
2,552
,564
3,0
94,25
0,000
2,0
00,00
0,000
-
50
2,222
,588,5
64
144
Kab.
Lebo
ng
26,28
5,060
,167
332,4
87,82
3,000
45
,185,6
50,00
0
7,942
,450,0
00
-
22,24
5,261
,984
3,2
35,50
0,000
-
-
41
1,096
,684,9
84
145
Kab.
Kepa
hiang
21
,371,4
04,30
5 35
7,903
,449,0
00
41,05
0,150
,000
7,7
42,04
0,000
-
28
,205,3
08,58
7
2,741
,500,0
00
-
-
437,6
42,44
7,587
14
6Ka
b. Be
ngku
lu Te
ngah
41
,553,8
24,77
1 33
0,693
,785,0
00
53,16
1,870
,000
7,7
72,32
0,000
-
30
,348,4
32,23
2
3,122
,750,0
00
-
-
425,0
99,15
7,232
14
7Pr
ovin
si La
mpu
ng
2
69,11
3,498
,532
1,060
,663,1
83,00
0
60,10
8,230
,000
-
-
-
41
7,000
,000
2,000
,000,0
00
774,3
90,08
0,000
1,8
97,57
8,493
,000
148
Kab.
Lamp
ung B
arat
41
,304,6
63,58
1 55
8,555
,207,0
00
76,55
8,590
,000
12
,723,5
60,00
0
-
61,84
5,184
,800
6,7
26,00
0,000
28
,186,3
03,00
0
-
744,5
94,84
4,800
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 161
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
149
Kab.
Lamp
ung S
elatan
43
,716,2
94,63
5 76
9,867
,834,0
00
77,18
1,780
,000
-
-
13
0,773
,011,0
40
8,053
,250,0
00
2,000
,000,0
00
-
987,8
75,87
5,040
15
0Ka
b. La
mpun
g Ten
gah
65
,224,9
50,65
4 1,0
86,33
5,279
,000
92
,974,6
00,00
0
-
-
235,1
06,85
3,364
11
,243,0
00,00
0
-
-
1,425
,659,7
32,36
4
15
1Ka
b. La
mpun
g Utar
a
44,90
4,147
,398
761,2
18,38
4,000
79
,416,7
70,00
0
12,73
8,330
,000
-
12
3,189
,820,7
04
12,24
6,000
,000
-
-
98
8,809
,304,7
04
152
Kab.
Lamp
ung T
imur
134
,914,1
09,52
3 86
0,136
,385,0
00
62,38
3,990
,000
-
-
19
0,793
,296,8
00
9,306
,000,0
00
-
-
1,122
,619,6
71,80
0
15
3Ka
b. Ta
ngga
mus
48
,040,5
94,84
2 60
0,816
,655,0
00
71,17
9,650
,000
-
-
95
,855,2
48,00
0
5,746
,000,0
00
-
-
773,5
97,55
3,000
15
4Ka
b. Tu
lang B
awan
g
67,05
6,223
,328
482,2
30,95
0,000
53
,295,6
80,00
0
-
-
40,22
3,540
,472
3,5
56,80
0,000
-
-
57
9,306
,970,4
72
155
Kab.
Way
Kan
an
45,76
2,072
,678
517,2
19,74
6,000
72
,750,3
70,00
0
12,18
0,390
,000
-
68
,453,2
14,11
2
6,060
,750,0
00
-
-
676,6
64,47
0,112
15
6Ko
ta Ba
ndar
Lamp
ung
68
,780,0
44,85
7 86
4,816
,041,0
00
65,02
8,050
,000
-
-
21
8,567
,195,2
72
4,481
,250,0
00
27,93
0,145
,000
-
1,1
80,82
2,681
,272
157
Kota
Metro
38
,654,5
22,85
0 37
4,201
,187,0
00
36,67
6,760
,000
-
-
64
,054,6
41,08
0
1,332
,423,0
00
2,000
,000,0
00
-
478,2
65,01
1,080
15
8Ka
b. Pe
sawa
ran
33
,859,3
22,41
1 53
8,309
,950,0
00
62,28
3,960
,000
10
,142,8
70,00
0
-
77,94
8,177
,904
4,3
47,00
0,000
-
-
69
3,031
,957,9
04
159
Kab.
Pring
sewu
33
,178,9
35,58
5 49
9,454
,898,0
00
57,50
8,750
,000
-
-
11
6,839
,474,2
94
4,074
,000,0
00
-
-
677,8
77,12
2,294
16
0Ka
b. Me
suji
31
,828,3
58,50
3 33
8,570
,276,0
00
40,15
7,750
,000
-
-
18
,000,6
90,57
6
2,334
,750,0
00
-
-
399,0
63,46
6,576
16
1Ka
b. Tu
lang B
awan
g Bar
at
35,90
6,161
,215
380,9
47,21
8,000
48
,614,1
20,00
0
-
-
42,14
4,214
,464
2,1
67,50
0,000
2,0
00,00
0,000
-
47
5,873
,052,4
64
162
Prov
insi
DKI J
akar
ta
10,19
2,089
,356,0
98
299,1
82,46
6,000
-
-
-
1,2
57,35
4,705
,576
31,32
3,000
,000
2,0
00,00
0,000
79
7,642
,250,0
00
2,387
,502,4
21,57
6
16
3Pr
ovin
si Ja
wa B
arat
1
,347,9
80,22
7,121
1,4
72,45
3,011
,000
80
,072,0
50,00
0
-
-
-
5,979
,000,0
00
-
4,161
,094,4
10,00
0
5,7
19,59
8,471
,000
164
Kab.
Band
ung
160
,272,6
81,34
4 1,7
30,06
3,709
,000
15
9,094
,010,0
00
-
-
428,3
53,13
5,139
12
,422,0
00,00
0
-
-
2,329
,932,8
54,13
9
16
5Ka
b. Be
kasi
358
,227,5
33,61
4 1,0
83,59
0,174
,000
11
4,477
,860,0
00
-
-
213,9
34,94
6,256
12
,846,0
00,00
0
-
-
1,424
,848,9
80,25
6
16
6Ka
b. Bo
gor
194
,707,9
98,34
4 1,8
87,77
0,112
,500
21
6,694
,720,0
00
-
-
344,7
18,09
3,444
10
,629,0
00,00
0
-
-
2,459
,811,9
25,94
4
16
7Ka
b. Ci
amis
75
,765,5
52,31
3 1,3
03,90
7,527
,000
95
,612,6
80,00
0
-
-
353,7
36,71
0,928
6,0
29,50
0,000
-
-
1,7
59,28
6,417
,928
168
Kab.
Cian
jur
75,58
9,464
,784
1,305
,617,2
57,00
0
97,51
3,400
,000
-
-
30
2,402
,752,2
32
9,961
,262,5
00
-
-
1,715
,494,6
71,73
2
16
9Ka
b. Ci
rebo
n
81,68
1,881
,874
1,280
,797,1
28,00
0
97,24
5,530
,000
-
-
29
5,662
,185,1
06
8,219
,000,0
00
-
-
1,681
,923,8
43,10
6
17
0Ka
b. Ga
rut
122
,763,1
06,69
7 1,5
63,83
3,157
,000
15
4,405
,770,0
00
25,32
7,110
,000
-
41
3,509
,477,0
37
4,320
,962,5
00
-
-
2,161
,396,4
76,53
7
17
1Ka
b. Ind
rama
yu
1
75,80
7,783
,523
1,134
,695,1
13,00
0
74,21
1,500
,000
-
-
23
4,820
,459,9
25
10,21
4,514
,000
-
-
1,4
53,94
1,586
,925
172
Kab.
Kara
wang
265
,804,7
76,26
9 1,1
34,53
0,200
,000
10
5,540
,220,0
00
-
-
244,4
19,33
2,120
12
,994,7
50,00
0
-
-
1,497
,484,5
02,12
0
17
3Ka
b. Ku
ninga
n
59,77
8,245
,725
998,5
86,96
1,000
62
,124,6
40,00
0
-
-
223,9
39,30
1,904
11
,337,0
00,00
0
-
-
1,295
,987,9
02,90
4
17
4Ka
b. Ma
jalen
gka
87
,158,0
65,91
1 99
5,993
,633,0
00
72,96
3,000
,000
-
-
23
0,576
,406,6
20
8,838
,000,0
00
-
-
1,308
,371,0
39,62
0
17
5Ka
b. Pu
rwak
arta
77
,762,2
99,56
2 72
2,162
,721,0
00
56,13
7,400
,000
-
-
15
5,559
,704,4
20
3,966
,512,5
00
-
-
937,8
26,33
7,920
17
6Ka
b. Su
bang
187
,265,0
43,06
6 1,0
32,56
7,532
,000
59
,497,1
00,00
0
-
-
242,3
86,86
6,288
4,9
98,00
0,000
-
-
1,3
39,44
9,498
,288
177
Kab.
Suka
bumi
109
,504,4
41,24
2 1,3
31,01
2,058
,000
13
9,931
,460,0
00
24,15
2,860
,000
-
28
4,686
,849,5
84
6,942
,750,0
00
-
-
1,786
,725,9
77,58
4
17
8Ka
b. Su
meda
ng
68,72
7,233
,139
1,036
,263,4
13,00
0
81,90
0,500
,000
-
-
22
3,099
,261,3
08
8,721
,600,0
00
-
-
1,349
,984,7
74,30
8
17
9Ka
b. Ta
sikma
laya
68
,982,6
26,23
6 1,2
25,93
4,879
,000
98
,997,3
70,00
0
-
-
336,2
60,02
5,168
4,6
41,75
0,000
-
-
1,6
65,83
4,024
,168
180
Kota
Band
ung
255
,880,5
85,85
1 1,4
85,94
1,032
,000
67
,312,5
30,00
0
-
-
404,4
53,52
5,236
12
,595,8
00,00
0
-
-
1,970
,302,8
87,23
6
18
1Ko
ta Be
kasi
117
,278,8
56,68
7 1,0
51,23
5,707
,000
36
,189,7
90,00
0
-
-
212,0
65,98
9,840
5,8
37,62
5,000
-
-
1,3
05,32
9,111
,840
182
Kota
Bogo
r
85,14
6,175
,364
686,5
20,75
9,000
26
,223,5
50,00
0
-
-
159,8
10,96
2,688
3,7
51,75
0,000
-
-
87
6,307
,021,6
88
183
Kota
Cire
bon
60
,646,0
25,07
5 53
6,884
,996,0
00
28,84
5,610
,000
-
-
59
,537,0
83,96
8
2,317
,250,0
00
-
-
627,5
84,93
9,968
18
4Ko
ta De
pok
87
,993,9
74,80
2 77
4,683
,814,0
00
29,57
2,960
,000
-
-
13
0,181
,675,0
36
8,400
,500,0
00
2,000
,000,0
00
-
944,8
38,94
9,036
18
5Ko
ta Su
kabu
mi
54,62
4,000
,676
449,1
79,03
7,000
28
,349,8
70,00
0
-
-
75,14
1,215
,779
-
-
-
55
2,670
,122,7
79
162
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
186
Kota
Cima
hi
55,34
5,183
,475
489,1
74,79
2,000
25
,643,5
50,00
0
-
-
109,1
00,20
7,468
3,1
63,00
0,000
-
-
62
7,081
,549,4
68
187
Kota
Tasik
malay
a
60,49
6,878
,885
657,0
12,12
5,000
36
,374,2
00,00
0
-
-
169,9
81,61
8,572
1,5
42,25
0,000
-
-
86
4,910
,193,5
72
188
Kota
Banja
r
63,36
6,217
,325
317,1
22,02
3,000
21
,127,3
40,00
0
-
-
43,28
6,641
,592
94
0,500
,000
-
-
382,4
76,50
4,592
18
9Ka
b. Ba
ndun
g Bar
at
63,18
1,310
,762
909,3
59,89
8,000
64
,682,7
70,00
0
-
-
211,8
72,78
7,824
8,1
99,00
0,000
-
-
1,1
94,11
4,455
,824
190
Prov
insi
Bant
en
4
15,86
3,955
,205
617,0
81,10
1,000
14
,134,9
50,00
0
-
-
-
882,0
00,00
0
-
1,0
49,56
3,240
,000
1,681
,661,2
91,00
0
19
1Ka
b. Le
bak
70
,426,7
72,69
8 90
1,740
,477,0
00
103,3
72,97
0,000
17
,812,6
30,00
0
-
178,2
15,79
6,724
8,1
96,75
0,000
-
-
1,2
09,33
8,623
,724
192
Kab.
Pand
eglan
g
68,35
4,773
,671
988,5
36,47
6,000
12
2,250
,360,0
00
19,61
0,860
,000
-
17
9,371
,048,9
92
13,67
1,000
,000
-
-
1,3
23,43
9,744
,992
193
Kab.
Sera
ng
68,93
4,728
,352
868,6
52,74
3,000
75
,493,7
10,00
0
-
-
142,1
89,93
1,716
7,5
55,25
0,000
31
,885,6
37,00
0
-
1,125
,777,2
71,71
6
19
4Ka
b. Ta
nger
ang
139
,178,2
92,99
1 1,1
15,36
4,627
,000
12
0,033
,790,0
00
-
-
193,0
82,78
4,480
2,9
86,87
5,000
28
,921,9
04,00
0
-
1,460
,389,9
80,48
0
19
5Ko
ta Ci
legon
83
,408,0
67,77
4 46
1,398
,284,0
00
5,558
,320,0
00
-
-
69
,164,1
62,12
0
2,655
,250,0
00
28,42
4,490
,000
-
56
7,200
,506,1
20
196
Kota
Tang
eran
g
1
73,29
9,041
,287
829,3
87,85
6,000
27
,706,1
30,00
0
-
-
182,0
20,61
1,292
4,8
19,50
0,000
34
,422,9
01,00
0
-
1,078
,356,9
98,29
2
19
7Ko
ta Se
rang
47
,230,1
77,63
1 51
3,769
,007,0
00
35,55
5,680
,000
-
-
88
,755,6
80,01
6
4,971
,000,0
00
28,74
4,488
,000
-
67
1,795
,855,0
16
198
Kota
Tang
eran
g Sela
tan
95,60
9,301
,400
536,1
77,45
4,000
88
4,850
,000
-
-
95
,621,3
91,08
8
1,570
,500,0
00
34,21
3,477
,000
-
66
8,467
,672,0
88
199
Prov
insi
Jawa
Ten
gah
686
,097,6
00,19
3 1,6
70,85
9,369
,000
82
,522,5
10,00
0
-
-
-
2,034
,000,0
00
21,82
6,131
,000
2,7
50,30
6,650
,000
4,527
,548,6
60,00
0
20
0Ka
b. Ba
njarn
egar
a
31,10
7,489
,395
763,4
26,56
6,000
69
,482,6
30,00
0
-
-
180,6
49,62
4,032
5,6
25,64
6,360
-
-
1,0
19,18
4,466
,392
201
Kab.
Bany
umas
62
,603,7
51,43
3 1,1
27,93
9,938
,000
78
,662,7
30,00
0
-
-
291,0
21,31
6,560
8,5
74,97
5,000
2,0
00,00
0,000
-
1,5
08,19
8,959
,560
202
Kab.
Batan
g
29,02
2,469
,985
641,6
63,63
0,000
49
,792,4
40,00
0
-
-
122,5
87,09
9,372
4,4
96,85
0,000
-
-
81
8,540
,019,3
72
203
Kab.
Blor
a
68,47
4,162
,127
753,8
30,03
6,000
53
,492,8
90,00
0
-
-
185,7
55,94
5,680
4,6
60,75
0,000
-
-
99
7,739
,621,6
80
204
Kab.
Boyo
lali
33
,228,6
04,99
3 87
1,685
,981,0
00
59,23
3,500
,000
-
-
23
2,839
,397,2
48
6,594
,250,0
00
2,000
,000,0
00
-
1,172
,353,1
28,24
8
20
5Ka
b. Br
ebes
37
,763,8
20,12
0 1,0
98,99
9,510
,000
82
,628,9
00,00
0
-
-
211,6
23,01
7,256
9,0
60,50
0,000
-
-
1,4
02,31
1,927
,256
206
Kab.
Cilac
ap
81,54
3,930
,825
1,197
,315,0
60,00
0
108,1
57,35
0,000
-
-
27
6,890
,696,1
77
10,68
4,187
,500
24
,693,6
37,00
0
-
1,617
,740,9
30,67
7
20
7Ka
b. De
mak
39
,246,3
02,63
4 73
7,911
,647,0
00
76,55
6,190
,000
-
-
15
4,749
,232,5
12
3,738
,000,0
00
-
-
972,9
55,06
9,512
20
8Ka
b. Gr
obog
an
45,22
3,472
,047
906,6
66,36
5,000
10
4,304
,440,0
00
-
-
199,9
82,22
8,112
6,5
76,00
0,000
-
-
1,2
17,52
9,033
,112
209
Kab.
Jepa
ra
40,26
2,149
,519
814,3
80,32
4,000
67
,487,3
70,00
0
-
-
143,6
02,17
8,363
7,9
76,21
2,500
2,0
00,00
0,000
-
1,0
35,44
6,084
,863
210
Kab.
Kara
ngan
yar
34
,940,3
11,77
2 81
0,216
,582,0
00
55,20
3,060
,000
-
-
21
1,761
,122,7
31
8,148
,250,0
00
-
-
1,085
,329,0
14,73
1
21
1Ka
b. Ke
bume
n
37,85
3,100
,525
1,021
,871,1
80,00
0
79,06
3,860
,000
-
-
21
7,596
,678,3
15
12,51
3,000
,000
2,0
00,00
0,000
-
1,3
33,04
4,718
,315
212
Kab.
Kend
al
62,56
8,581
,766
788,1
34,07
8,000
59
,393,6
90,00
0
-
-
176,4
21,79
0,800
5,9
90,50
0,000
-
-
1,0
29,94
0,058
,800
213
Kab.
Klate
n
42,15
5,772
,654
1,066
,318,4
27,00
0
61,17
5,420
,000
-
-
28
9,973
,285,0
88
5,617
,250,0
00
-
-
1,423
,084,3
82,08
8
21
4Ka
b. Ku
dus
161
,476,8
14,42
9 71
9,406
,935,0
00
52,20
8,880
,000
-
-
14
5,846
,272,3
84
6,829
,750,0
00
-
-
924,2
91,83
7,384
21
5Ka
b. Ma
gelan
g
37,85
3,981
,865
899,5
28,36
9,000
70
,070,8
70,00
0
-
-
149,3
20,42
4,240
14
,732,8
73,00
0
-
-
1,133
,652,5
36,24
0
21
6Ka
b. Pa
ti
41,88
9,294
,073
960,4
79,32
6,000
72
,903,3
70,00
0
-
-
233,0
58,77
6,688
5,0
79,67
5,000
-
-
1,2
71,52
1,147
,688
217
Kab.
Peka
longa
n
26,80
3,321
,047
768,5
00,11
7,000
60
,587,5
90,00
0
-
-
149,1
94,34
7,120
9,1
26,75
0,000
-
-
98
7,408
,804,1
20
218
Kab.
Pema
lang
33
,014,9
28,55
3 93
1,426
,998,0
00
71,40
2,250
,000
-
-
19
9,125
,550,3
68
3,929
,250,0
00
-
-
1,205
,884,0
48,36
8
21
9Ka
b. Pu
rbali
ngga
30
,149,0
01,45
4 71
9,185
,020,0
00
66,64
1,060
,000
-
-
14
3,160
,936,2
92
7,575
,500,0
00
-
-
936,5
62,51
6,292
22
0Ka
b. Pu
rwor
ejo
29,96
6,658
,931
793,9
04,67
9,000
53
,323,0
20,00
0
-
-
213,2
31,14
9,730
6,4
96,25
0,000
-
-
1,0
66,95
5,098
,730
221
Kab.
Remb
ang
34
,855,7
31,48
8 64
0,273
,360,0
00
56,77
1,470
,000
-
-
14
4,682
,060,2
24
4,047
,000,0
00
-
-
845,7
73,89
0,224
22
2Ka
b. Se
mara
ng
34,40
3,152
,720
778,6
04,92
0,000
59
,113,4
70,00
0
-
-
191,2
93,73
6,832
6,1
97,25
0,000
-
-
1,0
35,20
9,376
,832
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 163
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
223
Kab.
Srag
en
32,59
1,002
,798
869,1
55,54
5,000
61
,857,5
60,00
0
-
-
212,6
49,55
6,368
6,7
02,50
0,000
-
-
1,1
50,36
5,161
,368
224
Kab.
Suko
harjo
35
,805,8
73,93
8 76
3,462
,900,0
00
53,12
4,680
,000
-
-
17
1,225
,388,7
64
8,577
,000,0
00
-
-
996,3
89,96
8,764
22
5Ka
b. Te
gal
35
,465,1
77,44
6 95
7,576
,304,0
00
72,52
4,910
,000
-
-
19
8,079
,950,5
28
10,34
3,000
,000
-
-
1,2
38,52
4,164
,528
226
Kab.
Tema
nggu
ng
44,08
7,885
,063
651,1
71,67
4,000
46
,658,2
40,00
0
-
-
126,9
67,06
7,136
5,7
23,39
8,000
-
-
83
0,520
,379,1
36
227
Kab.
Won
ogiri
34
,771,5
16,89
2 91
7,476
,557,0
00
75,70
5,890
,000
-
-
22
5,100
,524,0
96
6,307
,401,6
30
-
-
1,224
,590,3
72,72
6
22
8Ka
b. W
onos
obo
30
,893,4
62,11
0 66
5,548
,034,0
00
57,95
0,180
,000
-
-
13
7,357
,945,4
24
6,444
,000,0
00
-
-
867,3
00,15
9,424
22
9Ko
ta Ma
gelan
g
22,37
6,062
,522
385,8
59,24
1,000
22
,793,5
60,00
0
-
-
60,73
4,360
,532
1,9
43,75
0,000
-
-
47
1,330
,911,5
32
230
Kota
Peka
longa
n
28,01
3,160
,858
384,4
89,36
8,000
38
,549,6
50,00
0
-
-
6,791
,402,8
80
1,7
09,75
0,000
-
-
43
1,540
,170,8
80
231
Kota
Salat
iga
22,54
0,811
,293
358,3
31,86
7,000
28
,398,4
10,00
0
-
-
51,72
4,387
,728
2,1
81,80
0,000
-
-
44
0,636
,464,7
28
232
Kota
Sema
rang
138
,874,8
48,34
2 1,0
54,00
2,569
,000
49
,976,7
40,00
0
-
-
253,3
26,82
1,196
8,8
76,00
0,000
-
-
1,3
66,18
2,130
,196
233
Kota
Sura
karta
53
,822,1
70,47
2 65
9,647
,382,0
00
37,91
4,730
,000
-
-
18
3,656
,981,8
24
2,461
,000,0
00
32,95
5,109
,000
-
91
6,635
,202,8
24
234
Kota
Tega
l
27,27
2,844
,780
370,6
42,98
3,000
33
,530,9
10,00
0
-
-
69,16
3,140
,372
2,5
34,00
0,000
2,0
00,00
0,000
-
47
7,871
,033,3
72
235
Prov
insi
DI Y
ogya
karta
97
,906,8
46,03
5 82
8,334
,768,0
00
34,49
5,900
,000
-
-
-
1,8
60,00
0,000
23
,968,1
42,00
0
272,8
70,83
0,000
1,1
61,52
9,640
,000
236
Kab.
Bantu
l
34,65
8,119
,780
854,8
10,63
4,000
47
,196,8
80,00
0
-
-
170,4
77,15
4,144
5,0
07,05
0,000
-
-
1,0
77,49
1,718
,144
237
Kab.
Gunu
ng K
idul
27
,219,7
64,72
5 77
9,069
,238,0
00
65,28
3,610
,000
-
-
19
2,912
,365,3
28
7,185
,000,0
00
-
-
1,044
,450,2
13,32
8
23
8Ka
b. Ku
lon P
rogo
23
,949,5
36,06
7 59
4,978
,790,0
00
52,89
4,140
,000
-
-
13
2,730
,499,8
56
8,604
,500,0
00
-
-
789,2
07,92
9,856
23
9Ka
b. Sl
eman
51
,261,2
21,25
9 89
1,589
,912,0
00
50,82
3,330
,000
-
-
23
4,561
,520,8
80
12,30
9,250
,000
32
,095,3
25,00
0
-
1,221
,379,3
37,88
0
24
0Ko
ta Yo
gyak
arta
55
,486,7
70,03
5 59
7,212
,209,0
00
6,220
,630,0
00
-
-
13
2,153
,231,1
68
6,370
,750,0
00
30,42
2,296
,000
-
77
2,379
,116,1
68
241
Prov
insi
Jawa
Tim
ur
1,35
3,092
,362,2
40
1,632
,648,2
87,00
0
85,64
4,430
,000
-
-
-
16
8,000
,000
27,30
1,155
,000
2,7
77,42
0,060
,000
4,523
,181,9
32,00
0
24
2Ka
b. Ba
ngka
lan
1
20,20
4,286
,519
778,0
24,11
2,000
91
,411,8
20,00
0
13,82
9,580
,000
-
16
2,475
,376,0
78
3,864
,750,0
00
2,000
,000,0
00
-
1,051
,605,6
38,07
8
24
3Ka
b. Ba
nyuw
angi
64
,120,2
10,41
3 1,1
54,49
5,171
,000
76
,997,7
60,00
0
-
-
298,4
04,24
6,240
4,2
85,50
0,000
-
-
1,5
34,18
2,677
,240
244
Kab.
Blita
r
52,33
8,812
,959
944,2
97,54
2,000
70
,322,5
60,00
0
-
-
289,9
55,04
6,600
2,3
60,86
2,500
-
-
1,3
06,93
6,011
,100
245
Kab.
Bojon
egor
o
4
90,04
1,942
,733
876,0
21,91
4,000
62
,060,8
30,00
0
-
-
242,3
62,15
5,888
5,1
78,00
0,000
-
-
1,1
85,62
2,899
,888
246
Kab.
Bond
owos
o
50,05
4,815
,113
752,7
76,70
4,000
70
,616,9
00,00
0
10,09
3,700
,000
-
14
1,984
,418,4
44
5,746
,500,0
00
31,36
4,539
,000
-
1,0
12,58
2,761
,444
247
Kab.
Gres
ik
1
70,02
7,465
,768
804,9
03,51
1,000
49
,106,1
80,00
0
-
-
168,3
38,88
1,692
2,9
10,00
0,000
27
,010,9
88,00
0
-
1,052
,269,5
60,69
2
24
8Ka
b. Je
mber
82
,283,7
85,70
6 1,4
17,60
3,982
,000
87
,809,6
20,00
0
-
-
342,9
17,76
5,328
3,1
48,23
7,500
-
-
1,8
51,47
9,604
,828
249
Kab.
Jomb
ang
72
,517,3
22,07
6 92
0,097
,938,0
00
58,28
9,380
,000
-
-
22
1,708
,112,4
90
4,386
,000,0
00
-
-
1,204
,481,4
30,49
0
25
0Ka
b. Ke
diri
77
,517,6
04,65
4 1,0
56,48
1,076
,000
69
,281,8
10,00
0
-
-
283,6
49,01
1,036
-
-
-
1,4
09,41
1,897
,036
251
Kab.
Lamo
ngan
79
,097,3
33,52
0 95
8,344
,988,0
00
75,66
5,880
,000
-
-
24
0,531
,843,3
12
2,160
,250,0
00
28,71
2,194
,000
-
1,3
05,41
5,155
,312
252
Kab.
Luma
jang
49
,793,7
45,26
3 82
8,524
,528,0
00
58,66
7,580
,000
-
-
17
3,688
,126,3
36
3,795
,500,0
00
-
-
1,064
,675,7
34,33
6
25
3Ka
b. Ma
diun
47
,008,9
64,55
4 73
4,152
,390,0
00
51,12
9,000
,000
-
-
17
4,977
,063,4
24
2,848
,000,0
00
-
-
963,1
06,45
3,424
25
4Ka
b. Ma
getan
46
,313,6
09,89
4 76
1,637
,391,0
00
46,16
4,370
,000
-
-
20
7,263
,949,2
84
1,063
,162,5
00
-
-
1,016
,128,8
72,78
4
25
5Ka
b. Ma
lang
95
,642,6
94,28
1 1,4
39,23
4,034
,000
11
2,312
,350,0
00
-
-
376,4
79,04
9,812
11
,973,0
00,00
0
-
-
1,939
,998,4
33,81
2
25
6Ka
b. Mo
joker
to
75,38
6,557
,276
832,2
66,68
2,000
52
,117,7
00,00
0
-
-
184,1
62,84
2,540
1,8
59,50
0,000
-
-
1,0
70,40
6,724
,540
257
Kab.
Ngan
juk
58,55
8,002
,900
928,2
65,61
1,000
79
,245,2
30,00
0
-
-
248,4
97,68
9,024
1,1
74,28
8,000
-
-
1,2
57,18
2,818
,024
258
Kab.
Ngaw
i
52,95
6,572
,680
896,0
52,87
0,000
71
,219,8
40,00
0
-
-
203,8
08,36
9,696
5,1
54,00
0,000
-
-
1,1
76,23
5,079
,696
259
Kab.
Pacit
an
45,86
1,079
,398
647,2
93,40
3,000
51
,937,5
20,00
0
-
-
158,1
51,92
9,076
4,8
33,00
0,000
2,0
00,00
0,000
-
86
4,215
,852,0
76
164
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
260
Kab.
Pame
kasa
n
83,06
2,202
,575
702,6
10,21
7,000
82
,409,3
80,00
0
14,66
2,400
,000
-
14
5,828
,996,9
68
4,687
,250,0
00
-
-
950,1
98,24
3,968
26
1Ka
b. Pa
suru
an
1
18,68
1,422
,625
992,6
89,47
4,000
77
,421,8
70,00
0
-
-
235,2
95,72
1,360
8,2
26,75
0,000
-
-
1,3
13,63
3,815
,360
262
Kab.
Pono
rogo
51
,770,2
34,91
3 89
0,922
,311,0
00
65,30
7,550
,000
-
-
24
2,485
,420,7
96
2,382
,000,0
00
-
-
1,201
,097,2
81,79
6
26
3Ka
b. Pr
oboli
nggo
76
,405,4
81,57
7 84
8,994
,313,0
00
62,23
5,420
,000
-
-
17
0,882
,687,2
24
3,110
,500,0
00
25,76
7,431
,000
-
1,1
10,99
0,351
,224
264
Kab.
Samp
ang
75
,457,0
30,86
8 68
3,242
,704,0
00
90,86
7,200
,000
14
,517,3
10,00
0
-
95,08
5,266
,256
5,0
59,50
0,000
-
-
88
8,771
,980,2
56
265
Kab.
Sido
arjo
148
,868,4
55,78
2 1,1
04,58
0,340
,000
54
,281,0
80,00
0
-
-
273,9
45,25
7,048
6,9
81,00
0,000
-
-
1,4
39,78
7,677
,048
266
Kab.
Situb
ondo
53
,471,4
74,05
1 69
2,549
,026,0
00
70,11
3,940
,000
11
,313,3
50,00
0
-
123,6
45,06
7,056
4,8
62,75
0,000
-
-
90
2,484
,133,0
56
267
Kab.
Sume
nep
152
,713,9
90,81
6 91
7,539
,019,0
00
79,21
9,770
,000
-
-
15
3,186
,237,0
72
9,050
,000,0
00
-
-
1,158
,995,0
26,07
2
26
8Ka
b. Tr
engg
alek
47
,561,2
43,60
6 73
7,814
,627,0
00
64,97
4,660
,000
-
-
19
1,725
,961,8
43
2,933
,000,0
00
-
-
997,4
48,24
8,843
26
9Ka
b. Tu
ban
98
,696,2
20,77
2 84
9,399
,312,0
00
49,17
3,770
,000
-
-
21
1,213
,316,1
28
2,942
,250,0
00
2,000
,000,0
00
-
1,114
,728,6
48,12
8
27
0Ka
b. Tu
lunga
gung
59
,562,9
88,86
8 99
6,300
,694,0
00
71,68
7,640
,000
-
-
28
0,389
,067,1
85
2,686
,512,5
00
28,76
3,620
,000
-
1,3
79,82
7,533
,685
271
Kota
Blita
r
39,60
9,570
,839
355,6
73,00
6,000
29
,707,7
30,00
0
-
-
59,39
9,683
,104
78
7,150
,000
-
-
445,5
67,56
9,104
27
2Ko
ta Ke
diri
96
,594,3
32,37
2 56
2,943
,089,0
00
29,99
9,610
,000
-
-
92
,321,2
37,90
8
1,207
,500,0
00
-
-
686,4
71,43
6,908
27
3Ko
ta Ma
diun
44
,041,2
66,64
8 47
4,093
,362,0
00
27,54
4,290
,000
-
-
64
,955,7
13,74
2
1,651
,500,0
00
30,23
9,200
,000
-
59
8,484
,065,7
42
274
Kota
Malan
g
83,28
5,881
,221
746,6
86,93
7,000
30
,315,7
10,00
0
-
-
148,8
56,32
8,288
3,7
73,25
0,000
35
,795,1
20,00
0
-
965,4
27,34
5,288
27
5Ko
ta Mo
joker
to
45,24
4,915
,955
354,4
52,40
7,000
21
,279,5
40,00
0
-
-
37,33
6,518
,318
1,1
28,00
0,000
2,0
00,00
0,000
-
41
6,196
,465,3
18
276
Kota
Pasu
ruan
42
,881,5
84,60
0 35
3,127
,853,0
00
25,89
0,580
,000
-
-
45
,679,3
18,84
8
1,089
,248,0
00
-
-
425,7
86,99
9,848
27
7Ko
ta Pr
oboli
nggo
46
,412,7
81,96
3 41
4,534
,284,0
00
32,34
1,470
,000
-
-
57
,420,9
71,28
0
1,232
,500,0
00
-
-
505,5
29,22
5,280
27
8Ko
ta Su
raba
ya
3
36,02
5,486
,344
1,160
,025,6
93,00
0
68,18
0,790
,000
-
-
34
5,347
,980,0
72
4,385
,500,0
00
-
-
1,577
,939,9
63,07
2
27
9Ko
ta Ba
tu
44,17
3,692
,531
374,3
62,26
1,000
25
,376,2
30,00
0
-
-
39,92
2,558
,944
2,4
54,00
0,000
-
-
44
2,115
,049,9
44
280
Prov
insi
Kalim
anta
n Ba
rat
149
,435,6
57,56
7 1,1
44,71
2,840
,000
74
,172,3
90,00
0
-
-
-
303,0
00,00
0
-
53
4,270
,810,0
00
1,753
,459,0
40,00
0
28
1Ka
b. Be
ngka
yang
24
,567,8
36,13
8 45
7,245
,355,0
00
81,19
7,810
,000
10
,801,4
90,00
0
-
33,70
5,608
,840
4,9
16,25
0,000
-
-
58
7,866
,513,8
40
282
Kab.
Land
ak
34,03
7,053
,718
534,1
66,87
3,000
76
,189,1
50,00
0
12,52
2,310
,000
-
47
,704,9
30,56
0
6,525
,000,0
00
-
-
677,1
08,26
3,560
28
3Ka
b. Ka
puas
Hulu
41
,734,6
76,94
5 78
2,050
,975,0
00
107,4
74,41
0,000
13
,717,2
50,00
0
-
43,51
5,456
,336
6,6
96,00
0,000
-
-
95
3,454
,091,3
36
284
Kab.
Ketap
ang
74
,871,8
13,70
3 89
8,337
,135,0
00
106,6
30,86
0,000
16
,764,3
10,00
0
-
57,15
6,447
,144
6,9
01,00
0,000
-
-
1,0
85,78
9,752
,144
285
Kab.
Ponti
anak
18
,608,7
13,45
2 46
3,983
,726,0
00
48,28
1,810
,000
-
-
58
,253,9
63,28
0
2,700
,500,0
00
-
-
573,2
19,99
9,280
28
6Ka
b. Sa
mbas
28
,725,8
86,62
2 70
2,231
,663,0
00
103,2
63,12
0,000
13
,437,4
80,00
0
-
100,3
51,58
0,248
8,0
57,75
0,000
-
-
92
7,341
,593,2
48
287
Kab.
Sang
gau
44
,116,1
22,88
1 67
4,049
,502,0
00
87,62
9,850
,000
12
,687,6
70,00
0
-
46,19
3,085
,648
6,3
84,50
0,000
-
-
82
6,944
,607,6
48
288
Kab.
Sinta
ng
37,81
3,139
,051
738,6
22,01
1,000
11
8,272
,860,0
00
13,77
2,550
,000
-
52
,370,7
22,36
8
6,354
,000,0
00
-
-
929,3
92,14
3,368
28
9Ko
ta Po
ntian
ak
51,35
3,892
,732
626,8
79,05
4,000
28
,031,3
20,00
0
-
-
115,1
44,28
1,216
2,8
41,75
0,000
33
,572,7
08,00
0
-
806,4
69,11
3,216
29
0Ko
ta Si
ngka
wang
20
,500,0
50,92
4 43
1,527
,888,0
00
61,79
5,550
,000
-
-
49
,068,7
04,88
0
3,585
,000,0
00
-
-
545,9
77,14
2,880
29
1Ka
b. Se
kada
u
24,13
2,334
,340
386,0
21,90
7,000
67
,267,0
30,00
0
10,06
5,960
,000
-
27
,141,8
92,39
2
3,548
,250,0
00
-
-
494,0
45,03
9,392
29
2Ka
b. Me
lawi
33
,280,4
31,84
9 46
8,104
,101,0
00
70,84
1,220
,000
13
,626,1
50,00
0
-
19,55
7,932
,112
5,1
96,00
0,000
-
-
57
7,325
,403,1
12
293
Kab.
Kayo
ng U
tara
21
,861,7
91,26
7 34
3,376
,301,0
00
53,32
6,830
,000
8,0
19,08
0,000
-
11
,325,3
37,20
0
3,111
,000,0
00
-
-
419,1
58,54
8,200
29
4Ka
b. Ku
bu R
aya
32
,613,7
54,80
1 62
7,894
,391,0
00
98,92
3,710
,000
-
-
55
,773,6
08,51
4
4,922
,500,0
00
-
-
787,5
14,20
9,514
29
5Pr
ovin
si Ka
liman
tan
Teng
ah
2
64,48
4,111
,962
1,062
,516,9
40,00
0
63,29
9,310
,000
-
-
-
-
-
24
5,407
,820,0
00
1,371
,224,0
70,00
0
29
6Ka
b. Ba
rito S
elatan
69
,303,9
11,30
3 50
4,292
,137,0
00
39,19
7,280
,000
-
-
38
,938,6
75,73
2
4,311
,000,0
00
-
-
586,7
39,09
2,732
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 165
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
297
Kab.
Barito
Utar
a
1
17,89
8,408
,576
475,1
80,28
0,000
38
,431,7
10,00
0
-
-
29,63
3,957
,232
5,0
68,00
0,000
-
-
54
8,313
,947,2
32
298
Kab.
Kapu
as
1
09,89
2,416
,507
744,6
17,15
0,000
78
,791,5
70,00
0
-
-
97,82
6,448
,096
4,8
97,15
0,000
-
-
92
6,132
,318,0
96
299
Kab.
Kotaw
aring
in Ba
rat
50
,827,6
03,22
7 56
6,405
,844,0
00
17,16
9,750
,000
-
-
42
,797,2
13,71
2
3,650
,500,0
00
-
-
630,0
23,30
7,712
30
0Ka
b. Ko
tawar
ingin
Timur
66
,879,2
90,88
1 70
8,665
,917,0
00
57,01
1,340
,000
-
-
15
8,559
,461,5
02
8,667
,000,0
00
25,48
0,253
,000
-
95
8,383
,971,5
02
301
Kota
Palan
gkar
aya
50
,357,5
11,64
0 53
9,535
,616,0
00
43,77
3,450
,000
-
-
59
,968,1
69,18
0
5,332
,750,0
00
-
-
648,6
09,98
5,180
30
2Ka
b. Ba
rito T
imur
75
,121,8
13,72
4 42
4,326
,347,0
00
39,51
9,570
,000
-
-
34
,611,1
73,58
4
3,972
,000,0
00
-
-
502,4
29,09
0,584
30
3Ka
b. Mu
rung
Ray
a
1
60,87
1,517
,680
545,9
32,78
2,000
-
-
-
17
,512,3
75,87
2
4,627
,500,0
00
-
-
568,0
72,65
7,872
30
4Ka
b. Pu
lang P
isau
47
,381,9
05,21
5 45
3,776
,884,0
00
42,60
7,930
,000
-
-
41
,176,2
47,02
4
3,939
,750,0
00
-
-
541,5
00,81
1,024
30
5Ka
b. Gu
nung
Mas
52
,761,0
79,85
4 47
6,671
,178,0
00
49,24
7,710
,000
-
-
24
,618,2
32,10
8
4,570
,000,0
00
-
-
555,1
07,12
0,108
30
6Ka
b. La
mand
au
56,79
0,205
,394
383,3
25,89
8,000
37
,830,7
20,00
0
-
-
13,52
1,153
,264
2,6
18,00
0,000
-
-
43
7,295
,771,2
64
307
Kab.
Suka
mara
43
,030,9
55,90
7 38
1,154
,120,0
00
40,37
9,700
,000
-
-
8,4
18,08
7,648
2,073
,000,0
00
-
-
432,0
24,90
7,648
30
8Ka
b. Ka
tinga
n
73,79
6,460
,937
579,3
01,37
7,000
1,9
60,72
0,000
-
-
28,13
7,228
,440
5,7
42,00
0,000
-
-
61
5,141
,325,4
40
309
Kab.
Seru
yan
80
,960,6
05,64
2 51
3,570
,135,0
00
61,68
1,240
,000
8,5
18,27
0,000
-
13
,705,6
36,75
2
3,010
,501,5
00
-
-
600,4
85,78
3,252
31
0Pr
ovin
si Ka
liman
tan
Selat
an
7
52,36
1,712
,561
683,5
11,44
1,000
41
,553,5
40,00
0
-
-
-
237,0
00,00
0
-
32
2,856
,840,0
00
1,048
,158,8
21,00
0
31
1Ka
b. Ba
njar
214
,024,3
28,38
1 59
0,526
,945,0
00
27,49
7,900
,000
-
-
88
,024,6
49,18
4
5,345
,500,0
00
-
-
711,3
94,99
4,184
31
2Ka
b. Ba
rito K
uala
129
,251,9
60,99
4 49
0,244
,084,0
00
86,75
4,360
,000
13
,141,7
60,00
0
-
66,60
3,652
,272
4,3
75,75
0,000
-
-
66
1,119
,606,2
72
313
Kab.
Hulu
Sung
ai Se
latan
144
,298,9
76,11
6 45
2,522
,473,0
00
49,61
3,620
,000
-
-
52
,915,9
25,85
3
4,758
,500,0
00
-
-
559,8
10,51
8,853
31
4Ka
b. Hu
lu Su
ngai
Teng
ah
1
21,75
0,230
,663
453,3
12,61
9,000
48
,210,8
20,00
0
-
-
80,72
7,753
,816
4,5
68,50
0,000
-
-
58
6,819
,692,8
16
315
Kab.
Hulu
Sung
ai Ut
ara
122
,253,7
82,49
2 41
5,479
,351,0
00
53,22
7,910
,000
8,8
65,86
0,000
-
52
,323,1
77,91
2
3,954
,037,5
00
-
-
533,8
50,33
6,412
31
6Ka
b. Ko
tabar
u
2
95,22
8,153
,282
564,5
92,30
5,000
24
,436,1
70,00
0
-
-
39,34
7,152
,272
5,1
66,00
0,000
-
-
63
3,541
,627,2
72
317
Kab.
Taba
long
332
,312,5
18,26
5 40
5,082
,029,0
00
-
-
-
57,10
9,005
,936
4,0
11,50
0,000
-
-
46
6,202
,534,9
36
318
Kab.
Tana
h Lau
t
2
96,70
2,518
,673
439,1
95,37
9,000
19
,607,7
40,00
0
-
-
64,76
5,259
,424
4,2
45,00
0,000
-
-
52
7,813
,378,4
24
319
Kab.
Tapin
231
,143,8
58,71
2 38
3,383
,301,0
00
36,98
0,660
,000
-
-
47
,325,6
39,02
4
3,671
,750,0
00
-
-
471,3
61,35
0,024
32
0Ko
ta Ba
njarb
aru
123
,405,9
46,86
4 35
8,995
,070,0
00
39,50
2,500
,000
-
-
54
,463,5
09,67
5
2,079
,000,0
00
-
-
455,0
40,07
9,675
32
1Ko
ta Ba
njarm
asin
143
,571,3
33,76
5 63
1,124
,460,0
00
47,04
4,150
,000
-
-
13
7,284
,966,2
48
5,460
,500,0
00
-
-
820,9
14,07
6,248
32
2Ka
b. Ba
langa
n
3
19,50
9,046
,487
287,6
13,14
4,000
1,7
78,83
0,000
-
-
27,75
4,879
,592
3,2
45,25
0,000
-
-
32
0,392
,103,5
92
323
Kab.
Tana
h Bum
bu
3
16,50
2,382
,239
398,8
01,45
8,000
8,4
49,44
0,000
-
-
34,25
4,442
,680
3,2
14,50
0,000
-
-
44
4,719
,840,6
80
324
Prov
insi
Kalim
anta
n Ti
mur
4
,474,6
41,72
1,215
55
,539,3
36,50
0
8,0
47,84
0,000
-
-
-
-
-
408,6
18,28
0,000
47
2,205
,456,5
00
325
Kab.
Bera
u
8
71,60
5,422
,302
471,9
29,72
0,000
6,0
68,99
0,000
-
-
29,52
5,460
,336
4,5
45,00
0,000
29
,051,4
97,00
0
-
541,1
20,66
7,336
32
6Ka
b. Bu
lunga
n
9
02,17
8,786
,029
326,7
87,10
5,000
5,9
79,76
0,000
-
-
26,85
3,286
,916
3,8
65,25
0,000
-
-
36
3,485
,401,9
16
327
Kab.
Kutai
Kar
taneg
ara
3
,741,3
94,21
0,225
15
0,245
,858,0
00
70,26
1,370
,000
-
-
14
7,779
,176,0
32
27,38
9,998
,000
-
-
39
5,676
,402,0
32
328
Kab.
Kutai
Bar
at
8
16,88
4,815
,530
599,7
31,06
0,000
90
,829,2
00,00
0
13,27
1,720
,000
-
29
,094,9
18,76
8
6,665
,562,5
00
-
-
739,5
92,46
1,268
32
9Ka
b. Ku
tai T
imur
1
,734,8
44,93
8,900
50
6,528
,289,0
00
12,06
7,290
,000
-
-
34
,990,2
97,05
6
5,481
,250,0
00
-
-
559,0
67,12
6,056
33
0Ka
b. Ma
linau
647
,911,5
25,00
3 62
0,970
,044,0
00
74,93
0,110
,000
11
,065,6
70,00
0
-
10,03
0,242
,912
2,7
35,75
0,000
-
-
71
9,731
,816,9
12
331
Kab.
Nunu
kan
751
,433,6
93,47
8 30
7,765
,777,0
00
92,42
8,140
,000
9,4
97,37
0,000
-
16
,648,6
54,46
4
5,751
,000,0
00
-
-
432,0
90,94
1,464
33
2Ka
b. Pa
sir
9
11,07
3,154
,992
301,9
50,34
3,000
15
,126,5
80,00
0
-
-
49,75
2,806
,256
4,1
64,00
0,000
25
,689,6
38,00
0
-
396,6
83,36
7,256
33
3Ko
ta Ba
likpa
pan
723
,737,2
27,59
0 42
7,133
,126,0
00
23,18
6,930
,000
-
-
91
,901,6
28,02
8
3,920
,498,0
00
-
-
546,1
42,18
2,028
166
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
334
Kota
Bonta
ng
7
37,59
3,575
,620
140,1
09,32
8,000
-
-
-
17
,843,9
40,65
2
1,422
,000,0
00
-
-
159,3
75,26
8,652
33
5Ko
ta Sa
marin
da
7
78,75
1,537
,301
579,6
34,96
8,000
16
,596,2
20,00
0
-
-
153,9
69,39
1,209
5,4
19,50
0,000
-
-
75
5,620
,079,2
09
336
Kota
Tara
kan
705
,513,1
90,48
1 24
9,444
,302,0
00
-
-
-
31,41
0,541
,584
2,3
25,00
0,000
27
,354,7
61,00
0
-
310,5
34,60
4,584
33
7Ka
b. Pe
najam
Pas
er U
tara
725
,209,2
64,13
0 19
4,579
,185,0
00
4,588
,340,0
00
-
-
21
,174,2
47,35
2
2,391
,000,0
00
-
-
222,7
32,77
2,352
33
8Ka
b. Ta
na T
idung
607
,090,4
08,46
1 13
3,386
,322,0
00
7,580
,720,0
00
-
-
1,5
24,93
1,920
1,562
,250,0
00
-
-
144,0
54,22
3,920
33
9Pr
ovin
si Su
lawes
i Uta
ra
93,42
2,224
,429
885,6
84,27
7,000
54
,346,1
40,00
0
-
-
-
237,0
00,00
0
-
25
5,793
,430,0
00
1,196
,060,8
47,00
0
34
0Ka
b. Bo
laang
Mon
gond
ow
16,53
5,338
,262
437,8
04,38
7,000
58
,766,2
00,00
0
-
-
40,44
1,106
,342
4,3
65,00
0,000
-
-
54
1,376
,693,3
42
341
Kab.
Mina
hasa
24,46
6,303
,235
550,1
00,00
8,000
61
,893,6
40,00
0
-
-
93,41
7,007
,104
5,0
19,25
0,000
-
-
71
0,429
,905,1
04
342
Kab.
Sang
ihe
13,17
4,522
,902
433,2
01,22
1,000
74
,985,7
80,00
0
10,23
4,530
,000
-
42
,692,4
25,05
6
3,777
,000,0
00
-
-
564,8
90,95
6,056
34
3Ko
ta Bi
tung
17
,029,0
48,34
7 42
1,672
,562,0
00
43,45
3,920
,000
-
-
26
,241,6
21,84
0
2,644
,500,0
00
33,60
2,094
,000
-
52
7,614
,697,8
40
344
Kota
Mana
do
46,42
9,312
,380
647,5
65,93
1,000
51
,989,8
70,00
0
-
-
130,4
66,30
2,128
4,2
03,00
0,000
-
-
83
4,225
,103,1
28
345
Kab.
Kepu
lauan
Tala
ud
15,91
4,672
,286
393,7
29,03
2,000
89
,347,6
80,00
0
9,864
,490,0
00
-
30,79
0,791
,232
3,5
85,00
0,000
-
-
52
7,316
,993,2
32
346
Kab.
Mina
hasa
Sela
tan
16,66
5,426
,733
435,8
48,66
3,000
47
,635,5
70,00
0
-
-
69,00
2,617
,896
4,4
06,60
0,000
-
-
55
6,893
,450,8
96
347
Kota
Tomo
hon
20
,925,5
15,09
1 33
0,892
,646,0
00
41,78
2,340
,000
-
-
42
,219,3
64,30
4
1,994
,250,0
00
-
-
416,8
88,60
0,304
34
8Ka
b. Mi
naha
sa U
tara
33
,204,5
88,12
2 39
5,558
,587,0
00
51,80
0,070
,000
-
-
46
,544,7
28,01
6
3,757
,000,0
00
-
-
497,6
60,38
5,016
34
9Ko
ta Ko
tamob
agu
15
,575,0
64,56
1 31
1,773
,832,0
00
34,34
2,900
,000
-
-
40
,022,6
32,29
2
1,543
,250,0
00
-
-
387,6
82,61
4,292
35
0Ka
b. Bo
laang
Mon
gond
ow U
tara
15
,408,8
68,90
2 28
8,250
,888,0
00
34,71
8,130
,000
-
-
12
,603,6
06,11
2
2,667
,000,0
00
-
-
338,2
39,62
4,112
35
1Ka
b. Ke
pulau
an S
iau T
agula
ndan
g Biar
o
13,03
5,514
,639
315,4
09,48
5,000
46
,362,2
40,00
0
8,837
,490,0
00
-
19,21
2,987
,392
2,5
49,75
0,000
-
-
39
2,371
,952,3
92
352
Kab.
Mina
hasa
Ten
ggar
a
14,16
5,408
,926
355,9
16,10
9,000
43
,474,5
10,00
0
-
-
23,75
4,866
,112
2,6
11,50
0,000
-
-
42
5,756
,985,1
12
353
Kab.
Bolaa
ng M
ongo
ndow
Tim
ur
16,44
0,998
,757
254,5
09,41
0,000
35
,476,3
90,00
0
-
-
7,275
,578,1
12
89
6,500
,000
-
-
298,1
57,87
8,112
35
4Ka
b. Bo
laang
Mon
gond
ow S
elatan
10
,709,6
59,18
4 26
7,064
,711,0
00
38,87
4,620
,000
-
-
5,4
52,07
7,600
1,654
,250,0
00
-
-
313,0
45,65
8,600
35
5Pr
ovin
si Go
ront
alo
27,16
4,518
,151
652,2
84,26
1,000
43
,013,5
30,00
0
-
-
-
-
-
120,6
57,99
0,000
81
5,955
,781,0
00
356
Kab.
Boale
mo
14,07
7,506
,013
341,1
52,43
5,000
56
,845,4
10,00
0
9,494
,110,0
00
-
24,19
5,805
,488
2,5
03,75
0,000
-
-
43
4,191
,510,4
88
357
Kab.
Goro
ntalo
13,53
5,402
,430
517,2
29,98
8,000
60
,926,7
30,00
0
-
-
88,03
5,551
,136
5,6
33,50
0,000
26
,605,8
08,00
0
-
698,4
31,57
7,136
35
8Ko
ta Go
ronta
lo
17
,364,9
41,04
8 41
9,154
,808,0
00
37,48
4,840
,000
-
-
76
,283,0
90,06
4
2,811
,000,0
00
-
-
535,7
33,73
8,064
35
9Ka
b. Po
huwa
to
15,36
0,094
,258
390,9
79,13
1,000
60
,361,1
30,00
0
9,426
,280,0
00
-
21,08
9,108
,160
3,8
93,25
0,000
-
-
48
5,748
,899,1
60
360
Kab.
Bone
Bola
ngo
17
,480,7
16,91
4 36
7,000
,042,0
00
43,00
8,850
,000
-
-
43
,071,5
97,07
2
3,222
,750,0
00
25,96
3,896
,000
-
48
2,267
,135,0
72
361
Kab.
Goro
ntalo
Utar
a
13,07
1,552
,643
288,2
05,29
8,000
55
,654,4
90,00
0
9,044
,400,0
00
-
17,72
3,709
,120
2,0
01,00
0,000
-
-
37
2,628
,897,1
20
362
Prov
insi
Sulaw
esi T
enga
h
85,70
8,887
,600
994,6
58,68
5,000
65
,949,3
50,00
0
-
-
-
45,00
0,000
-
31
7,324
,160,0
00
1,377
,977,1
95,00
0
36
3Ka
b. Ba
ngga
i
35,46
5,121
,553
711,1
34,46
1,000
57
,984,2
10,00
0
10,30
0,830
,000
-
85
,555,0
00,65
6
5,405
,250,0
00
-
-
870,3
79,75
1,656
36
4Ka
b. Ba
ngga
i Kep
ulaua
n
20,39
6,188
,572
446,3
40,73
8,000
63
,806,2
80,00
0
10,42
6,680
,000
-
34
,016,7
09,45
6
4,920
,000,0
00
-
-
559,5
10,40
7,456
36
5Ka
b. Bu
ol
19,29
9,563
,696
405,3
10,33
9,000
42
,638,8
50,00
0
7,927
,910,0
00
-
24,29
7,025
,680
6,4
92,00
0,000
-
-
48
6,666
,124,6
80
366
Kab.
Toli-T
oli
19,53
0,079
,706
487,3
96,29
9,000
58
,268,8
70,00
0
9,752
,010,0
00
-
33,79
7,899
,296
4,9
08,00
0,000
-
-
59
4,123
,078,2
96
367
Kab.
Dong
gala
25
,347,8
62,19
7 52
3,660
,657,0
00
69,92
5,360
,000
10
,427,1
10,00
0
-
55,50
4,706
,560
6,0
69,00
0,000
28
,058,0
41,00
0
-
693,6
44,87
4,560
36
8Ka
b. Mo
rowa
li
56,12
4,413
,808
615,4
22,86
7,000
61
,406,6
60,00
0
10,62
9,060
,000
-
49
,706,7
30,86
4
6,645
,000,0
00
-
-
743,8
10,31
7,864
36
9Ka
b. Po
so
25,80
3,640
,846
583,8
06,85
9,000
65
,228,3
80,00
0
8,752
,550,0
00
-
83,55
1,099
,536
7,7
46,00
0,000
-
-
74
9,084
,888,5
36
370
Kota
Palu
29
,608,7
11,55
9 57
5,235
,328,0
00
45,04
2,350
,000
-
-
11
1,358
,382,6
88
4,752
,000,0
00
28,46
0,512
,000
-
76
4,848
,572,6
88
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 167
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
371
Kab.
Parig
i Mou
tong
24
,053,8
35,81
2 58
8,502
,963,0
00
73,15
3,140
,000
9,3
39,00
0,000
-
59
,478,4
65,77
2
5,235
,000,0
00
-
-
735,7
08,56
8,772
37
2Ka
b. To
jo Un
a Una
23
,042,5
58,25
5 42
6,316
,322,0
00
62,16
7,040
,000
9,4
94,73
0,000
-
22
,169,1
60,96
0
5,298
,000,0
00
-
-
525,4
45,25
2,960
37
3Ka
b. Si
gi
16,37
4,833
,963
503,9
90,76
9,000
48
,315,6
30,00
0
8,665
,530,0
00
-
50,50
2,888
,624
5,8
68,00
0,000
-
-
61
7,342
,817,6
24
374
Prov
insi
Sulaw
esi S
elata
n
2
83,76
6,027
,502
1,089
,771,4
38,00
0
64,26
4,340
,000
-
-
-
84
6,000
,000
2,000
,000,0
00
918,4
25,54
0,000
2,0
75,30
7,318
,000
375
Kab.
Banta
eng
21
,552,0
75,90
3 37
9,463
,356,0
00
53,71
4,160
,000
-
-
45
,480,1
57,42
4
3,567
,000,0
00
-
-
482,2
24,67
3,424
37
6Ka
b. Ba
rru
20,74
5,790
,215
417,9
42,37
9,000
43
,713,4
40,00
0
-
-
59,11
3,179
,660
3,4
38,75
0,000
-
-
52
4,207
,748,6
60
377
Kab.
Bone
64
,203,6
71,49
7 86
7,813
,851,0
00
88,24
4,460
,000
-
-
18
4,981
,663,4
40
11,11
8,000
,000
-
-
1,1
52,15
7,974
,440
378
Kab.
Buluk
umba
23
,048,7
59,40
8 59
1,388
,184,0
00
65,05
1,440
,000
-
-
97
,958,6
31,49
2
5,982
,000,0
00
-
-
760,3
80,25
5,492
37
9Ka
b. En
reka
ng
25,28
3,880
,979
436,5
42,18
0,000
48
,908,3
40,00
0
-
-
65,00
3,105
,520
4,8
36,00
0,000
-
-
55
5,289
,625,5
20
380
Kab.
Gowa
26
,659,7
56,91
3 67
0,579
,761,0
00
67,66
2,600
,000
-
-
72
,335,3
26,19
2
7,797
,000,0
00
2,000
,000,0
00
-
820,3
74,68
7,192
38
1Ka
b. Je
nepo
nto
23,13
9,902
,972
494,0
87,42
7,000
66
,715,1
20,00
0
9,579
,740,0
00
-
64,26
4,098
,816
5,2
53,00
0,000
-
-
63
9,899
,385,8
16
382
Kab.
Luwu
18
,832,0
25,64
5 54
2,118
,008,0
00
59,69
0,400
,000
-
-
73
,740,4
39,80
0
3,888
,000,0
00
-
-
679,4
36,84
7,800
38
3Ka
b. Lu
wu U
tara
26
,986,8
78,03
7 51
2,644
,776,0
00
53,18
7,510
,000
-
-
53
,354,2
72,80
4
4,191
,000,0
00
-
-
623,3
77,55
8,804
38
4Ka
b. Ma
ros
23
,365,5
78,33
3 54
0,383
,322,0
00
51,20
5,510
,000
-
-
84
,210,2
46,50
4
3,303
,000,0
00
28,64
3,116
,000
-
70
7,745
,194,5
04
385
Kab.
Pang
kajen
e Kep
ulaua
n
28,88
0,138
,830
566,9
29,21
7,000
67
,174,6
60,00
0
11,02
6,400
,000
-
80
,491,7
79,40
8
4,547
,250,0
00
-
-
730,1
69,30
6,408
38
6Ka
b. Pi
nran
g
21,55
8,089
,208
574,2
44,53
1,000
63
,154,0
20,00
0
-
-
86,94
1,825
,704
5,0
43,00
0,000
-
-
72
9,383
,376,7
04
387
Kab.
Kepu
lauan
Sela
yar
19
,683,0
35,82
4 42
1,256
,593,0
00
65,89
6,870
,000
9,2
61,99
0,000
-
40
,120,7
17,10
4
4,032
,000,0
00
-
-
540,5
68,17
0,104
38
8Ka
b. Si
denr
eng R
appa
ng
28,64
4,267
,981
499,6
99,75
3,000
41
,831,3
30,00
0
-
-
80,00
1,450
,784
3,7
32,00
0,000
-
-
62
5,264
,533,7
84
389
Kab.
Sinja
i
21,59
1,321
,540
474,5
28,81
4,000
46
,854,4
80,00
0
-
-
61,86
9,828
,240
5,8
20,00
0,000
-
-
58
9,073
,122,2
40
390
Kab.
Sopp
eng
24
,823,5
15,46
5 51
7,805
,122,0
00
49,27
6,640
,000
-
-
90
,243,7
82,20
8
4,929
,000,0
00
-
-
662,2
54,54
4,208
39
1Ka
b. Ta
kalar
19
,977,7
76,70
3 47
9,073
,701,0
00
48,95
6,910
,000
-
-
76
,162,7
75,90
4
3,957
,000,0
00
-
-
608,1
50,38
6,904
39
2Ka
b. Ta
na T
oraja
16
,779,1
27,98
7 44
4,741
,329,0
00
55,95
5,450
,000
-
-
63
,376,5
87,69
6
4,692
,000,0
00
-
-
568,7
65,36
6,696
39
3Ka
b. W
ajo
1
45,63
7,649
,312
592,2
75,82
7,000
73
,454,7
00,00
0
-
-
107,1
58,55
8,608
3,2
94,75
0,000
-
-
77
6,183
,835,6
08
394
Kota
Pare
-par
e
20,16
0,392
,968
384,0
96,06
3,000
45
,798,2
30,00
0
-
-
50,93
6,611
,536
2,8
87,75
0,000
-
-
48
3,718
,654,5
36
395
Kota
Maka
ssar
93
,861,5
30,80
8 1,0
33,58
3,903
,000
40
,886,8
80,00
0
-
-
270,9
35,65
7,136
6,4
70,93
9,914
24
,963,5
85,00
0
-
1,376
,840,9
65,05
0
39
6Ko
ta Pa
lopo
18
,036,4
97,52
2 40
8,527
,791,0
00
39,24
3,130
,000
-
-
47
,046,4
50,64
0
3,414
,000,0
00
-
-
498,2
31,37
1,640
39
7Ka
b. Lu
wu T
imur
60
,981,4
21,03
9 41
0,974
,651,0
00
38,90
9,600
,000
-
-
39
,869,3
68,10
4
3,303
,000,0
00
-
-
493,0
56,61
9,104
39
8Ka
b. To
raja
Utar
a
14,33
2,864
,094
404,5
97,21
4,000
72
,906,9
00,00
0
12,55
7,450
,000
-
58
,705,2
02,40
0
3,283
,750,0
00
-
-
552,0
50,51
6,400
39
9Pr
ovin
si Su
lawes
i Bar
at
41,90
5,156
,544
685,4
97,59
2,000
47
,017,0
00,00
0
-
-
-
351,0
00,00
0
-
15
2,367
,660,0
00
885,2
33,25
2,000
40
0Ka
b. Ma
jene
21
,525,4
36,97
4 41
6,986
,177,0
00
61,88
0,370
,000
9,0
53,15
0,000
-
37
,205,2
42,31
5
5,007
,902,0
00
-
-
530,1
32,84
1,315
40
1Ka
b. Ma
muju
64
,431,6
33,85
1 58
7,833
,771,0
00
87,71
8,210
,000
13
,893,3
50,00
0
-
47,43
8,289
,483
5,4
54,00
0,000
-
-
74
2,337
,620,4
83
402
Kab.
Polew
ali M
anda
r
20,33
1,123
,251
555,9
43,29
1,000
71
,232,1
50,00
0
10,72
5,120
,000
-
78
,509,4
91,05
6
6,964
,250,0
00
-
-
723,3
74,30
2,056
40
3Ka
b. Ma
masa
17
,720,0
23,31
8 41
0,741
,106,0
00
81,56
4,170
,000
13
,551,8
70,00
0
-
20,04
2,991
,216
3,4
68,00
0,000
-
-
52
9,368
,137,2
16
404
Kab.
Mamu
ju Ut
ara
35
,753,0
41,04
2 33
8,786
,109,0
00
46,91
9,870
,000
8,5
57,74
0,000
-
8,7
32,72
1,456
871,0
00,00
0
-
-
40
3,867
,440,4
56
405
Prov
insi
Sulaw
esi T
engg
ara
101
,774,1
17,66
8 98
1,035
,741,0
00
53,26
6,770
,000
-
-
-
43
2,000
,000
-
301,4
29,50
0,000
1,3
36,16
4,011
,000
406
Kab.
Buton
28
,480,3
87,08
9 53
5,326
,605,0
00
72,86
8,060
,000
12
,579,4
00,00
0
-
70,79
5,878
,384
4,7
16,50
0,000
26
,068,5
22,00
0
-
722,3
54,96
5,384
40
7Ka
b. Ko
nawe
24
,520,4
92,25
9 61
3,042
,674,0
00
58,82
0,730
,000
9,4
25,31
0,000
-
61
,666,8
86,30
4
6,471
,000,0
00
30,95
7,317
,000
-
78
0,383
,917,3
04
168
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
408
Kab.
Kolak
a
63,00
5,344
,346
613,7
42,50
3,000
60
,384,4
90,00
0
-
-
64,53
0,961
,392
5,6
19,00
0,000
-
-
74
4,276
,954,3
92
409
Kab.
Muna
22
,904,1
51,20
5 63
5,053
,318,0
00
91,83
5,210
,000
14
,016,0
40,00
0
-
107,2
09,06
1,136
4,6
62,25
0,000
-
-
85
2,775
,879,1
36
410
Kota
Kend
ari
33
,719,7
65,32
4 55
5,693
,881,0
00
54,25
8,370
,000
-
-
91
,701,8
26,87
7
3,825
,750,0
00
-
-
705,4
79,82
7,877
41
1Ko
ta Ba
u-ba
u
24,68
6,978
,907
427,5
09,76
3,000
36
,286,0
80,00
0
-
-
60,28
8,910
,416
2,8
73,25
0,000
25
,253,0
76,00
0
-
552,2
11,07
9,416
41
2Ka
b. Ko
nawe
Sela
tan
33,96
2,129
,892
538,6
54,98
8,000
86
,779,5
50,00
0
11,19
9,040
,000
-
49
,340,8
33,18
4
4,090
,500,0
00
-
-
690,0
64,91
1,184
41
3Ka
b. Bo
mban
a
35,25
3,882
,971
382,9
86,68
0,000
62
,066,6
90,00
0
9,187
,990,0
00
-
24,53
0,181
,264
3,1
50,75
0,000
-
-
48
1,922
,291,2
64
414
Kab.
Wak
atobi
22
,671,2
12,37
5 35
3,873
,348,0
00
51,96
9,810
,000
9,2
94,83
0,000
-
29
,132,3
25,45
6
3,159
,750,0
00
-
-
447,4
30,06
3,456
41
5Ka
b. Ko
laka U
tara
33
,355,1
63,08
9 38
5,721
,156,0
00
48,93
4,630
,000
9,9
32,52
0,000
-
14
,625,6
60,67
2
4,115
,000,0
00
-
-
463,3
28,96
6,672
41
6Ka
b. Ko
nawe
Utar
a
32,54
2,889
,938
417,3
40,32
3,000
44
,778,0
40,00
0
8,838
,910,0
00
-
9,603
,278,3
52
2,9
01,50
0,000
-
-
48
3,462
,051,3
52
417
Kab.
Buton
Utar
a
18,33
0,906
,035
329,3
71,28
3,000
47
,603,3
20,00
0
8,910
,890,0
00
-
10,26
9,277
,200
2,6
31,50
0,000
-
-
39
8,786
,270,2
00
418
Prov
insi
Bali
144
,350,5
57,70
1 79
2,365
,876,0
00
43,83
5,380
,000
-
-
-
2,8
15,50
0,000
-
39
1,318
,650,0
00
1,230
,335,4
06,00
0
41
9Ka
b. Ba
dung
55
,712,5
78,12
6 37
2,625
,383,0
00
560,8
00,00
0
-
-
42,95
8,056
,384
2,7
96,50
0,000
28
,958,1
82,00
0
-
447,8
98,92
1,384
42
0Ka
b. Ba
ngli
19
,109,1
22,25
6 45
0,812
,694,0
00
41,70
3,550
,000
-
-
48
,027,8
28,96
0
2,018
,250,0
00
-
-
542,5
62,32
2,960
42
1Ka
b. Bu
lelen
g
31,00
4,808
,600
796,4
19,22
4,000
67
,312,0
20,00
0
-
-
183,9
03,09
0,768
73
9,750
,000
-
-
1,048
,374,0
84,76
8
42
2Ka
b. Gi
anya
r
24,16
8,234
,043
609,2
93,26
6,000
45
,158,7
40,00
0
-
-
121,9
31,04
4,752
2,5
15,75
0,000
25
,669,5
34,00
0
-
804,5
68,33
4,752
42
3Ka
b. Je
mbra
na
19,11
0,594
,935
450,9
19,72
6,000
45
,403,2
70,00
0
-
-
69,23
9,242
,616
68
8,250
,000
-
-
566,2
50,48
8,616
42
4Ka
b. Ka
rang
asem
22
,251,1
33,40
7 56
3,981
,785,0
00
51,20
9,640
,000
-
-
11
6,501
,658,1
20
4,610
,000,0
00
-
-
736,3
03,08
3,120
42
5Ka
b. Kl
ungk
ung
18
,265,3
01,86
8 44
4,174
,019,0
00
43,71
1,680
,000
-
-
69
,123,9
64,03
2
3,642
,000,0
00
-
-
560,6
51,66
3,032
42
6Ka
b. Ta
bana
n
20,66
2,755
,317
663,1
56,59
5,000
48
,921,4
70,00
0
-
-
147,5
32,00
0,320
3,2
08,25
0,000
-
-
86
2,818
,315,3
20
427
Kota
Denp
asar
71
,241,3
68,05
7 58
0,807
,702,0
00
10,79
1,890
,000
-
-
12
5,663
,274,2
88
2,854
,500,0
00
-
-
720,1
17,36
6,288
42
8Pr
ovin
si Nu
sa T
engg
ara B
arat
166
,693,0
46,83
3 85
9,353
,026,0
00
57,40
7,690
,000
-
-
-
82
8,000
,000
2,000
,000,0
00
455,5
64,80
0,000
1,3
75,15
3,516
,000
429
Kab.
Bima
29
,848,6
92,35
3 69
8,561
,969,0
00
78,15
1,630
,000
11
,475,1
80,00
0
-
110,8
66,54
5,142
4,5
87,50
0,000
-
-
90
3,642
,824,1
42
430
Kab.
Domp
u
25,33
4,751
,972
470,8
25,40
2,000
57
,518,9
70,00
0
8,801
,600,0
00
-
54,36
6,023
,860
6,3
08,50
0,000
-
-
59
7,820
,495,8
60
431
Kab.
Lomb
ok B
arat
34
,161,5
98,66
6 61
2,621
,760,0
00
67,32
5,810
,000
9,6
67,83
0,000
-
10
1,720
,206,0
58
3,619
,750,0
00
-
-
794,9
55,35
6,058
43
2Ka
b. Lo
mbok
Ten
gah
48
,135,8
98,16
9 79
3,651
,563,0
00
80,78
4,600
,000
13
,263,7
50,00
0
-
138,6
59,01
0,948
3,9
06,75
2,000
-
-
1,0
30,26
5,675
,948
433
Kab.
Lomb
ok T
imur
82
,046,0
41,60
1 93
2,462
,555,0
00
93,16
2,980
,000
13
,826,7
60,00
0
-
185,5
64,26
9,872
8,5
17,00
0,000
-
-
1,2
33,53
3,564
,872
434
Kab.
Sumb
awa
34
,870,9
05,04
8 64
7,640
,513,0
00
69,39
3,640
,000
10
,443,1
40,00
0
-
92,64
1,577
,904
4,0
08,75
0,000
-
-
82
4,127
,620,9
04
435
Kota
Matar
am
45,21
3,406
,213
500,0
43,55
3,000
35
,346,0
60,00
0
-
-
97,24
8,686
,480
1,7
18,75
0,000
-
-
63
4,357
,049,4
80
436
Kota
Bima
24
,992,2
27,22
0 37
7,377
,812,0
00
40,87
9,460
,000
-
-
62
,031,0
04,84
8
2,475
,000,0
00
-
-
482,7
63,27
6,848
43
7Ka
b. Su
mbaw
a Bar
at
71,78
4,344
,519
272,9
59,41
0,000
38
,730,0
40,00
0
7,331
,750,0
00
-
25,66
3,747
,104
3,2
16,00
0,000
-
-
34
7,900
,947,1
04
438
Kab.
Lomb
ok U
tara
20
,330,9
39,88
3 31
4,808
,074,0
00
56,31
6,560
,000
8,8
71,43
0,000
-
26
,372,8
94,22
0
1,519
,750,0
00
-
-
407,8
88,70
8,220
43
9Pr
ovin
si Nu
sa T
engg
ara T
imur
84
,566,6
95,79
2 1,0
03,99
1,703
,000
77
,822,6
60,00
0
-
-
-
-
-
717,2
87,62
0,000
1,7
99,10
1,983
,000
440
Kab.
Alor
13
,969,7
94,63
3 46
1,359
,979,0
00
75,61
9,050
,000
10
,459,7
50,00
0
-
35,32
6,480
,296
7,6
08,00
0,000
-
-
59
0,373
,259,2
96
441
Kab.
Belu
16
,604,9
30,23
0 57
8,912
,159,0
00
95,37
9,880
,000
10
,844,2
80,00
0
-
46,82
3,835
,888
9,1
74,00
0,000
-
-
74
1,134
,154,8
88
442
Kab.
Ende
16
,855,9
80,16
2 50
6,181
,070,0
00
57,61
4,760
,000
9,8
13,97
0,000
-
58
,926,9
76,41
6
5,892
,000,0
00
-
-
638,4
28,77
6,416
44
3Ka
b. Flo
res T
imur
16
,576,1
33,31
2 47
7,818
,636,0
00
55,94
0,860
,000
9,6
67,21
0,000
-
47
,207,5
99,20
0
7,046
,450,8
56
-
-
597,6
80,75
6,056
44
4Ka
b. Ku
pang
14
,507,4
52,32
0 53
4,827
,407,0
00
69,60
8,090
,000
9,3
67,50
0,000
-
64
,350,0
96,73
1
5,618
,250,0
00
-
-
683,7
71,34
3,731
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 169
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
445
Kab.
Lemb
ata
13,02
1,004
,060
352,3
53,77
8,000
44
,392,0
20,00
0
8,375
,580,0
00
-
17,76
2,814
,259
3,7
19,75
0,000
-
-
42
6,603
,942,2
59
446
Kab.
Mang
gara
i
14,51
2,550
,832
452,2
87,75
8,000
78
,762,7
10,00
0
12,57
4,540
,000
-
44
,531,8
80,57
6
4,905
,000,0
00
-
-
593,0
61,88
8,576
44
7Ka
b. Ng
ada
10
,720,1
34,24
3 35
0,219
,646,0
00
52,64
2,880
,000
8,8
44,70
0,000
-
25
,350,8
58,72
0
4,503
,000,0
00
-
-
441,5
61,08
4,720
44
8Ka
b. Si
kka
14
,469,9
02,64
1 49
8,499
,639,0
00
53,02
1,380
,000
10
,714,0
70,00
0
-
45,77
3,447
,328
8,0
42,99
8,000
-
-
61
6,051
,534,3
28
449
Kab.
Sumb
a Bar
at
10,52
2,546
,426
307,5
33,20
0,000
50
,647,9
40,00
0
7,779
,780,0
00
-
15,34
1,780
,577
2,6
75,42
4,250
-
-
38
3,978
,124,8
27
450
Kab.
Sumb
a Tim
ur
18,66
5,928
,986
515,7
36,11
1,000
59
,600,6
90,00
0
9,346
,400,0
00
-
31,09
0,233
,888
2,9
33,00
0,000
-
-
61
8,706
,434,8
88
451
Kab.
Timor
Ten
gah S
elatan
17
,727,2
01,92
2 60
6,976
,388,0
00
83,45
0,850
,000
13
,641,0
50,00
0
-
64,51
0,858
,596
7,7
84,75
0,000
-
-
77
6,363
,896,5
96
452
Kab.
Timor
Ten
gah U
tara
16
,170,0
14,52
8 45
9,487
,080,0
00
73,70
8,320
,000
9,9
74,75
0,000
-
29
,931,1
03,15
2
5,283
,750,0
00
-
-
578,3
85,00
3,152
45
3Ko
ta Ku
pang
26
,615,0
01,16
8 52
7,785
,630,0
00
56,49
9,880
,000
-
-
93
,045,2
23,35
6
5,268
,500,0
00
-
-
682,5
99,23
3,356
45
4Ka
b. Ro
te Nd
ao
13,67
1,569
,338
345,2
48,89
6,000
74
,327,9
00,00
0
8,827
,030,0
00
-
18,76
1,533
,056
3,6
38,00
0,000
-
-
45
0,803
,359,0
56
455
Kab.
Mang
gara
i Bar
at
13,89
3,709
,368
382,4
03,55
8,000
51
,447,2
80,00
0
8,417
,970,0
00
-
30,06
3,071
,856
5,2
87,49
4,000
-
-
47
7,619
,373,8
56
456
Kab.
Nage
keo
12
,900,2
39,04
5 33
4,481
,490,0
00
56,85
4,560
,000
9,5
15,66
0,000
-
27
,422,6
17,87
2
4,965
,250,0
00
-
-
433,2
39,57
7,872
45
7Ka
b. Su
mba B
arat
Daya
13
,766,6
00,43
5 36
3,108
,797,0
00
60,83
5,470
,000
10
,736,9
10,00
0
-
20,01
5,811
,264
5,7
75,00
0,000
-
-
46
0,471
,988,2
64
458
Kab.
Sumb
a Ten
gah
11
,989,8
34,18
2 25
3,664
,988,0
00
39,52
1,410
,000
7,0
15,63
0,000
-
7,8
98,54
6,485
2,227
,000,0
00
-
-
310,3
27,57
4,485
45
9Ka
b. Ma
ngga
rai T
imur
11
,221,4
99,69
2 38
2,067
,746,0
00
71,80
9,730
,000
11
,645,2
60,00
0
-
31,23
9,626
,532
4,0
07,25
0,000
-
-
50
0,769
,612,5
32
460
Kab.
Sabu
Raij
ua
7,24
8,711
,625
270,6
24,35
5,000
54
,134,3
30,00
0
7,211
,830,0
00
-
9,365
,757,7
92
9,0
18,00
0,000
-
-
35
0,354
,272,7
92
461
Prov
insi
Malu
ku
71,90
5,132
,371
897,6
57,19
2,000
53
,424,8
80,00
0
-
-
-
468,0
00,00
0
-
21
8,360
,410,0
00
1,169
,910,4
82,00
0
46
2Ka
b. Ma
luku T
engg
ara B
arat
20
,403,7
98,89
5 41
2,152
,331,0
00
59,20
9,450
,000
8,9
42,05
0,000
-
28
,824,0
53,13
6
5,455
,250,0
00
-
-
514,5
83,13
4,136
46
3Ka
b. Ma
luku T
enga
h
32,76
7,199
,567
766,7
30,63
7,000
77
,612,3
70,00
0
13,20
0,000
,000
-
67
,868,2
32,04
8
16,09
7,250
,000
-
-
94
1,508
,489,0
48
464
Kab.
Maluk
u Ten
ggar
a
20,11
8,653
,121
376,5
16,76
3,000
57
,973,6
00,00
0
-
-
23,26
9,347
,024
4,8
20,50
0,000
-
-
46
2,580
,210,0
24
465
Kab.
Buru
22
,103,5
18,10
9 35
6,075
,091,0
00
43,96
0,610
,000
8,3
15,75
0,000
-
17
,729,6
07,21
6
5,253
,000,0
00
-
-
431,3
34,05
8,216
46
6Ko
ta Am
bon
29
,601,7
26,21
6 55
1,507
,941,0
00
49,53
1,570
,000
-
-
10
9,112
,773,6
80
9,708
,000,0
00
-
-
719,8
60,28
4,680
46
7Ka
b. Se
ram
Bagia
n Bar
at
20,68
6,873
,946
441,2
10,13
5,000
48
,554,0
00,00
0
8,342
,970,0
00
-
26,79
5,277
,096
6,8
69,51
2,500
-
-
53
1,771
,894,5
96
468
Kab.
Sera
m Ba
gian T
imur
71
,313,8
59,70
2 36
6,782
,861,0
00
54,80
1,590
,000
10
,025,7
80,00
0
-
9,310
,685,2
80
4,6
56,00
0,000
-
-
44
5,576
,916,2
80
469
Kab.
Kepu
lauan
Aru
22
,493,1
78,34
5 37
5,944
,887,0
00
63,82
8,880
,000
7,8
91,67
0,000
-
9,1
11,81
8,304
5,046
,000,0
00
-
-
461,8
23,25
5,304
47
0Ko
ta Tu
al
11,03
4,199
,431
265,6
98,68
3,000
36
,233,4
90,00
0
-
-
12,22
1,942
,256
1,3
10,50
0,000
-
-
31
5,464
,615,2
56
471
Kab.
Maluk
u Bar
at Da
ya
17,60
0,289
,969
402,8
56,36
1,000
77
,006,3
10,00
0
11,24
5,640
,000
-
10
,780,5
63,64
4
5,091
,000,0
00
-
-
506,9
79,87
4,644
47
2Ka
b. Bu
ru S
elatan
17
,254,8
61,15
2 29
4,019
,779,0
00
53,47
7,510
,000
8,3
22,19
0,000
-
2,4
97,45
1,616
2,832
,000,0
00
-
-
361,1
48,93
0,616
47
3Pr
ovin
si Ma
luku
Uta
ra
1
04,48
8,221
,335
772,5
91,16
2,000
69
,688,3
80,00
0
-
-
-
297,0
00,00
0
-
15
3,315
,130,0
00
995,8
91,67
2,000
47
4Ka
b. Ha
lmah
era T
enga
h
38,83
1,273
,344
353,0
60,17
8,000
58
,040,6
20,00
0
9,963
,140,0
00
-
7,206
,178,2
48
3,3
10,91
2,500
-
-
43
1,581
,028,7
48
475
Kab.
Halm
aher
a Bar
at
32,38
5,116
,285
364,6
86,84
3,000
58
,595,8
20,00
0
9,927
,640,0
00
-
18,18
4,488
,336
6,1
11,00
0,000
-
-
45
7,505
,791,3
36
476
Kota
Tern
ate
44,69
9,424
,944
462,6
45,74
6,000
44
,427,8
30,00
0
-
-
43,87
7,309
,164
5,3
13,00
0,000
-
-
55
6,263
,885,1
64
477
Kab.
Halm
aher
a Tim
ur
78,87
9,441
,259
337,7
07,08
6,000
61
,106,9
60,00
0
9,999
,900,0
00
-
5,335
,513,7
76
4,4
56,75
0,000
-
-
41
8,606
,209,7
76
478
Kota
Tidor
e Kep
ulaua
n
30,57
8,113
,795
443,1
77,44
6,000
55
,218,8
80,00
0
-
-
29,96
0,835
,396
1,9
31,48
7,500
-
-
53
0,288
,648,8
96
479
Kab.
Kepu
lauan
Sula
34
,918,2
61,72
8 40
8,687
,131,0
00
59,30
9,800
,000
11
,081,3
60,00
0
-
19,12
1,820
,508
4,6
99,50
0,000
-
-
50
2,899
,611,5
08
480
Kab.
Halm
aher
a Sela
tan
57,43
3,789
,526
479,6
27,29
3,000
56
,746,7
70,00
0
10,91
8,940
,000
-
18
,010,9
91,31
6
3,376
,000,0
00
-
-
568,6
79,99
4,316
48
1Ka
b. Ha
lmah
era U
tara
44
,575,1
17,96
2 36
6,797
,961,0
00
57,42
1,530
,000
10
,194,5
30,00
0
-
15,75
5,887
,668
4,8
75,75
0,000
-
-
45
5,045
,658,6
68
170
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
482
Kab.
Pulau
Mor
otai
21
,301,7
02,72
6 31
2,486
,619,0
00
74,06
1,240
,000
9,9
61,63
0,000
-
2,2
16,68
1,024
3,033
,000,0
00
-
-
401,7
59,17
0,024
48
3Pr
ovin
si Pa
pua
468
,458,3
73,76
2 1,8
89,26
7,850
,000
13
3,897
,240,0
00
-
4,927
,378,6
20,00
0
-
-
-
33
6,580
,280,0
00
7,287
,123,9
90,00
0
48
4Ka
b. Bi
ak N
umfor
30
,870,1
72,23
1 46
4,681
,810,0
00
69,07
2,170
,000
10
,955,4
40,00
0
-
24,92
0,863
,056
4,3
84,52
1,440
-
-
57
4,014
,804,4
96
485
Kab.
Jaya
pura
42
,543,2
32,16
1 53
3,111
,084,0
00
53,19
4,590
,000
-
-
27
,311,7
04,91
2
3,854
,000,0
00
-
-
617,4
71,37
8,912
48
6Ka
b. Ja
yawi
jaya
34
,794,0
53,59
0 58
4,835
,644,0
00
119,2
14,18
0,000
13
,503,8
60,00
0
-
9,938
,302,1
28
2,8
98,00
0,000
-
-
73
0,389
,986,1
28
487
Kab.
Mera
uke
56
,788,4
45,35
7 1,0
39,46
0,880
,000
20
6,952
,630,0
00
27,80
3,190
,000
-
35
,407,1
64,47
9
4,665
,000,0
00
-
-
1,314
,288,8
64,47
9
48
8Ka
b. Mi
mika
464
,176,3
08,84
1 50
6,661
,741,0
00
67,65
0,930
,000
12
,712,6
20,00
0
-
11,16
2,012
,560
6,2
58,00
0,000
-
-
60
4,445
,303,5
60
489
Kab.
Nabir
e
37,52
0,832
,660
545,4
82,65
6,000
64
,768,3
50,00
0
10,95
6,310
,000
-
15
,588,5
89,51
2
3,739
,500,0
00
-
-
640,5
35,40
5,512
49
0Ka
b. Pa
niai
30
,841,9
01,37
8 44
0,647
,916,0
00
83,32
9,290
,000
15
,301,3
30,00
0
-
3,098
,162,8
54
28
3,500
,000
-
-
542,6
60,19
8,854
49
1Ka
b. Pu
ncak
Jaya
34
,865,5
75,84
4 53
3,372
,754,0
00
100,6
52,24
0,000
13
,100,6
20,00
0
-
787,5
44,20
8
1,614
,000,0
00
-
-
649,5
27,15
8,208
49
2Ka
b. Ke
pulau
an Y
apen
37
,446,3
97,29
8 38
9,582
,165,0
00
44,53
8,660
,000
8,6
95,00
0,000
-
19
,422,6
46,56
0
2,756
,500,0
00
-
-
464,9
94,97
1,560
49
3Ko
ta Ja
yapu
ra
46,60
0,978
,472
586,1
98,48
6,000
61
,325,0
80,00
0
-
-
51,98
6,826
,432
4,8
21,00
0,000
-
-
70
4,331
,392,4
32
494
Kab.
Sarm
i
45,92
8,068
,354
566,9
14,71
1,000
54
,261,9
70,00
0
9,104
,280,0
00
-
2,636
,976,3
84
1,6
29,00
0,000
-
-
63
4,546
,937,3
84
495
Kab.
Keer
om
41,18
8,402
,635
432,2
57,06
8,000
88
,859,3
60,00
0
12,31
4,990
,000
-
11
,077,6
53,31
2
1,470
,000,0
00
-
-
545,9
79,07
1,312
49
6Ka
b. Ya
hukim
o
43,19
3,612
,390
556,2
57,15
1,000
92
,691,2
90,00
0
11,35
4,230
,000
-
12
6,971
,712
2,1
27,00
0,000
-
-
66
2,556
,642,7
12
497
Kab.
Pegu
nung
an B
intan
g
43,87
0,957
,768
695,8
77,61
3,000
16
6,675
,970,0
00
14,81
4,660
,000
-
1,5
56,32
3,632
1,343
,250,0
00
-
-
880,2
67,81
6,632
49
8Ka
b. To
likar
a
36,27
6,848
,661
507,2
70,13
2,000
11
2,040
,130,0
00
12,27
8,260
,000
-
28
5,460
,848
1,8
78,00
0,000
-
-
63
3,751
,982,8
48
499
Kab.
Bove
n Digo
el
60,02
2,182
,110
660,8
45,14
0,000
75
,729,3
70,00
0
10,70
1,180
,000
-
2,5
47,00
5,472
1,749
,000,0
00
-
-
751,5
71,69
5,472
50
0Ka
b. Ma
ppi
45
,751,7
13,33
2 63
9,823
,176,0
00
97,51
0,130
,000
15
,443,8
70,00
0
-
4,600
,208,9
76
4,4
25,00
0,000
-
-
76
1,802
,384,9
76
501
Kab.
Asma
t
42,64
3,385
,271
744,4
92,14
5,000
78
,242,8
70,00
0
11,68
4,280
,000
-
2,8
85,12
9,280
2,733
,000,0
00
-
-
840,0
37,42
4,280
50
2Ka
b. W
arop
en
46,26
7,250
,152
416,2
43,43
8,000
49
,873,8
50,00
0
8,556
,900,0
00
-
2,397
,309,6
96
2,7
75,00
0,000
-
-
47
9,846
,497,6
96
503
Kab.
Supio
ri
28,30
7,560
,739
372,1
46,68
3,000
65
,949,6
70,00
0
8,529
,090,0
00
-
2,520
,837,9
36
1,7
76,00
0,000
-
-
45
0,922
,280,9
36
504
Kab.
Mamb
eram
o Ray
a
1
44,08
9,154
,287
605,6
20,69
2,000
64
,316,2
40,00
0
12,80
2,130
,000
-
39
1,128
,096
2,7
48,00
0,000
-
-
68
5,878
,190,0
96
505
Kab.
Mamb
eram
o Ten
gah
22
,091,5
81,14
5 49
1,012
,731,0
00
85,01
9,920
,000
11
,735,5
80,00
0
-
-
1,365
,000,0
00
-
-
589,1
33,23
1,000
50
6Ka
b. Ya
limo
23
,443,8
70,02
4 48
8,582
,116,0
00
105,5
40,22
0,000
11
,753,6
20,00
0
-
-
663,0
00,00
0
-
-
60
6,538
,956,0
00
507
Kab.
Lann
y Jay
a
24,68
4,069
,947
517,5
05,34
2,000
12
8,530
,710,0
00
12,46
0,450
,000
-
29
2,377
,867
1,7
70,00
0,000
-
-
66
0,558
,879,8
67
508
Kab.
Ndug
a
23,02
8,979
,734
439,8
88,36
8,000
84
,924,9
40,00
0
11,68
1,550
,000
-
-
1,4
97,00
0,000
-
-
53
7,991
,858,0
00
509
Kab.
Dogiy
ai
27,13
0,952
,320
388,1
83,04
5,000
62
,797,3
40,00
0
10,42
2,080
,000
-
99
6,241
,216
2,2
29,00
0,000
-
-
46
4,627
,706,2
16
510
Kab.
Punc
ak
28,69
9,199
,211
624,6
49,05
3,000
11
6,635
,450,0
00
19,46
0,610
,000
-
38
0,147
,904
2,4
57,00
0,000
-
-
76
3,582
,260,9
04
511
Kab.
Intan
Jaya
27
,224,1
80,65
3 55
7,179
,679,0
00
98,87
3,620
,000
10
,425,9
20,00
0
-
247,3
57,15
2
1,011
,000,0
00
-
-
667,7
37,57
6,152
51
2Ka
b. De
iyai
24
,258,9
07,37
8 33
6,371
,266,0
00
75,54
7,990
,000
12
,677,0
30,00
0
-
-
1,905
,000,0
00
-
-
426,5
01,28
6,000
51
3Pr
ovin
si Pa
pua B
arat
665
,085,3
00,97
5 1,0
64,87
2,637
,000
64
,931,2
00,00
0
-
2,295
,407,1
63,00
0
-
15
3,000
,000
-
119,6
50,48
0,000
3,5
45,01
4,480
,000
514
Kab.
Soro
ng
2
29,80
2,271
,142
465,6
69,51
9,000
77
,112,1
20,00
0
12,76
6,480
,000
-
22
,285,6
11,85
6
3,154
,500,0
00
-
-
580,9
88,23
0,856
51
5Ka
b. Ma
nokw
ari
86
,092,5
78,79
9 61
4,096
,216,0
00
50,11
3,510
,000
-
-
15
,834,7
15,92
0
4,296
,000,0
00
-
-
684,3
40,44
1,920
51
6Ka
b. Fa
k Fak
87
,333,7
31,18
6 54
1,068
,761,0
00
43,08
2,050
,000
-
-
13
,992,1
02,86
0
4,644
,000,0
00
-
-
602,7
86,91
3,860
51
7Ko
ta So
rong
44
,008,3
30,95
6 39
2,494
,592,0
00
51,34
0,410
,000
-
-
32
,522,5
57,17
6
3,220
,750,0
00
-
-
479,5
78,30
9,176
51
8Ka
b. So
rong
Sela
tan
57,81
7,150
,978
335,4
83,02
5,000
58
,311,2
40,00
0
8,475
,720,0
00
-
4,190
,930,9
28
1,9
29,00
0,000
-
-
40
8,389
,915,9
28
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 171
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lam
pira
n II
NoNa
ma D
aera
h D
BH
DAU
DAK
DAK
TAMB
AHAN
OTSU
STJ
. PRO
FTA
MSIL
DID
BOS
JUML
AH T
OTAL
2013
ALOK
ASI D
ANA
TRAN
SFER
KE
DAER
AH T
AHUN
ANG
GARA
N 20
13
519
Kab.
Raja
Ampa
t
68,64
8,144
,770
486,0
42,05
2,000
73
,356,2
20,00
0
9,361
,150,0
00
-
3,428
,674,6
52
2,2
80,00
0,000
-
-
57
4,468
,096,6
52
520
Kab.
Teluk
Bint
uni
253
,681,9
86,13
6 55
0,845
,412,0
00
72,35
1,590
,000
12
,344,1
80,00
0
-
2,020
,108,9
92
1,5
09,00
0,000
-
-
63
9,070
,290,9
92
521
Kab.
Teluk
Won
dama
53
,464,1
74,01
8 35
1,726
,364,0
00
58,98
4,770
,000
8,2
95,66
0,000
-
1,2
63,99
3,984
698,2
50,00
0
-
-
42
0,969
,037,9
84
522
Kab.
Kaim
ana
49
,019,1
77,14
6 49
9,597
,980,0
00
51,30
5,450
,000
7,6
14,36
0,000
-
5,6
48,05
6,128
1,577
,530,8
00
-
-
565,7
43,37
6,928
52
3Ka
b. Ma
ybra
t
30,11
3,636
,285
353,9
78,78
3,000
75
,330,9
90,00
0
9,559
,010,0
00
-
1,614
,533,4
72
1,5
54,00
0,000
-
-
44
2,037
,316,4
72
524
Kab.
Tamb
rauw
28
,806,3
47,04
8 36
8,794
,108,0
00
91,79
2,340
,000
10
,814,3
90,00
0
-
538,7
79,63
2
323,2
50,00
0
-
-
47
2,262
,867,6
32
90
,233,2
31,38
8,540
31
1,139
,289,1
65,00
0
29
,697,1
43,00
0,000
2,000
,000,0
00,00
0
13
,445,5
71,56
6,000
43,05
7,800
,000,0
00
2,4
12,00
0,000
,000
1,387
,800,0
00,00
0
23
,446,9
00,00
0,000
426,5
86,50
3,731
,000
51
8
18
3
3
48
8
51
5
74
PAGU
TOT
ALJU
MLAH
DAE
RAH