pelayanan kesehatan perorangan di indonesia
TRANSCRIPT
Volume 4 Nomor 2 Februari 2018
Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014
Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015 Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode Januari - Maret 2016 Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik Di Palembang Periode 2015-2016 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016 Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis
Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia
Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi
kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua
di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri
pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap
berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh
Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas
5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan
bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik
seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia,
yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh).
“Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria,
Johannes van den Bosch, dan Herman Willem
Daendels memesan lukisan emas dari pemilik
istana gothic - moors ini”
Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15
Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang
merupakan seorang misionaris Belanda beserta
sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan
Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau
perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai
pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan
berbagai golongan masyarakat tanpa memandang
kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta
agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana
Negara) pada 1 September 1895.
Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk
mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut
hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh
sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan
tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan
kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang
bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma
diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini.
Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca
pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of
War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda
hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman.
Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan
kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr.
H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische
Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan
dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI
Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI
Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan
Masyarakat di Tanjung Barat.
Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan
Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal
pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi.
Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah
sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini
juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/emergency, rawat jalan, rawat
inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga
rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam
rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan
Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan
yang optimal.
Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah karya
Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 4 Nomor 2 Februari 2018
Penanggung Jawab Umum Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM
CHAMPS
(Center for Health Administration and Policy Studies) FKM UI
Dewan Redaksi
Ketua Dewan Redaksi
Prof. Amal Chalik Sjaaf, SKM, Dr.PH
Universitas Indonesia
Wakil Dewan Redaksi
Dr. Adib A. Yahya, MARS PERMAPKIN
(Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia)
Anggota Dewan Redaksi
Prof. Dr. dr. Adik Wibowo, MPH
Universitas Indonesia
Dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS
Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), DTM&H, MARS. DCTE
Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan
Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K) ARSPI
Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia
Dr. Widodo J. Pudjiraharjo, MS, MPH, Dr.PH
Universitas Airlangga
Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS
Universitas Hasanuddin
Dr. Suprijanto Rijadi, MPA, Ph.D PERMAPKIN
Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia
Redaktur Pelaksana Vetty Yulianty Permanasari, S.Si, MPH
drg. Masyitoh, MARS
Puput Oktamianti, SKM, MM
Sekretaris Redaksi Anita P. Lubis, SKM
Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) merupa-
kan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinal tentang pengetahuan dan informasi riset tentang pengembangan terkini di bidang kesehatan, khususnya terkait dengan isu mengenai administrasi rumah sakit. Jurnal ini diterbitkan 3 kali (3 nomor) dalam 1 tahun (1 volume). Adapun artikel atau naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal ARSI mencakup ranah penelitian, studi kasus, atau konseptual yang masing-masing mengusung pilar corporate governance, clinical governance, atau keduanya (bridging). Penerbit: Pusat Kajian Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM UI& Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN) Alamat Redaksi: Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI Depok 16424 Tlp. 021-80736060 Fax. 021-7867370 Hp. 085211003451 E-mail: [email protected]
ISSN 2406 9108
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 4 Nomor 2 Februari 2018
e-ISSN 1446008136
1. Jurnal ini memuat naskah dalam bidang ilmu Administrasi Rumah Sakit.
2. Naskah yang diajukan dapat berupa artikel penelitian, artikel telaahan, dan
makalah kebijakan yang belum pernah dipublikasikan.
3. Komponen artikel penelitian, yaitu:
Judul ditulis maksimal 15 patah kata
Identitas penulis ditulis di bawah judul terdiri dari nama, alamat korespodensi,
nomor telepon, dan email
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata,
dalam satu alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5
kata kunci.
Pendahuluan berisi latar belakang, tinjauan pustaka secara singkat dan relevan
serta tujuan penelitian
Metode meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik atau instrumen
pengumpul data, dan prsedur analisis data.
Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat.
Pembahasan menguraikan secara tepat dan juga argumentatif hasil penelitian
dengan teori dan temuan terdahulu yang relevan.
Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuao dengan penampilan dalam
teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar dengan judul singkat.
Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian dengan tidak melampaui
kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan dibuat dengan
berbentuk narasi, logis, dan tepat guna.
4. Rujukan sesuai aturan Harvard dengan urut sesuai dengan pemunculan dalam
keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan diutamkan rujukan jurnal terkini..
5. Naskah masksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan menggunakan
program computer Microsoft Word dan PDF. Dikirm via email ke alamat
[email protected], CD/unggah melalui web www.champs.fkm.ui.ac.id/
content/manuscript.
6. Hardcopy naskah dikirim melalui pos disertai dengan surat pengantar yang
ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada permintaan secara
tertulis.
7. Naskah dikirim kepada : Redaksi Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit
Indonesia) Gedung G Lt.3 R.312 FKM UI Depok 16424, Tlp.021-80736060
Fax.021-7867370, Hp.085211003451.
8. Substansi naskah terdiri dari 5% abstrak, 10%pendahuluan, 15% tinjauan
teoritis, 10% metodologi penelitian, 35% hasil dan pembahasan, 25%
kesimpulan dan saran terhitung dari jumlah halaman naskah.
Contoh bentuk referensi:
Artikel Jurnal Penulis Individu:
Zainuddin AA. Kebijakan Pengelolaan Kualitas Udara Terkait Transportasi di Provinsi DKI
Jakarta. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 4 (6): 281-8.
Artikel Jurnal Penulis Organisasi:
Diabetes Prevention Program Reaserch Group. Hypertension, Insulin, & Proinsulin in Partici-
pants with Impaired Glucose Tolerance. Hypertension. 2002: 40 (5): 679-86
Buku yang Ditulis Individu:
Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. Medical Microbiology. 4th ed. St. Louis:
Mosby; 2002.
Buku yang Ditulis Organisasi dan Penerbit:
Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical Nursing. Compendium
of Nursing Research & Practice Development, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide
University; 2001.
Bab dalam Buku:
Derrida, J. (1979) “Living on Border Lines,” trans. J.Hulbert, in Deconstruction & Criticism, New
York: Continuum, pp. 75–176.
Materi Hukum atau Peraturan:
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Perda) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844).
CD-ROM:
LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. "Racism and the Landfill." The Chronicle-Herald 7
Mar. 1992: B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic Groups. Vol. 4. Art. 42.
Artikel Jurnal di Internet:
Nielsen, Laura Beth. "Subtle, Pervasive, Harmful: Racist and Sexist Remarks in Public as Hate
Speech." Journal of Social Issues 58.2 (2002): 265.
Buku di Internet:
Foley KM, Gelband H, Editors. Improving Palliative Care For Cancer [Monograph on The
internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from:
<http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/encyclopedia.html>.
Ensiklopedia di Internet:
Duiker, William J. "Ho Chi Minh." Encarta Online Encyclopedia. 2005. Microsoft.
10 Oct. 2005. <http://encarta.msn.com/encyclopedia_761558397/
Ho_Chi_Minh.html>.
Situs Internet:
Gearan, Anne. "Justice Dept: Gun Rights Protected." Washington Post. 8 May 2002.
SIRS. Iona Catholic Secondary School, Mississauga, ON. 23 Apr. 2004 <http://
www.sirs.com>.
ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 4 Nomor 2 Februari 2018
Artikel Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balik-
papan Tahun 2014 ………………………………………………...………….………….. Ahmad Jais
Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya ……...……..……………………... Danyel Suryana
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015 …………………………………………………... Yulia Yasmi, dkk
Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwi-bowo Periode Januari - Maret 2016 ……………………………………………………….. Antonius Artanto EP Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang Periode 2015-2016 …….………….……..…. Martina Ovinda Suandi
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016 ……….…………………………...……………….. Timbul Mei Silitonga Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis …………..……………………
Myrna Octaviany
Jurnal arsi Jurnal arsi (Administrasi rumah sakit Indonesia)
Daftar Isi
1
14
26
38
51
63
75
ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 4 Nomor 2 Februari 2018
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 1
Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso
Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014
Analysis of Heart Disease Care System in Hospital Balikpapan Dr. Kanujoso
Djatiwibowo Hospital Balikpapan 2014
Ahmad Jais
Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email :[email protected]
ABSTRAK
Analisis Sistem merupakan penguraian operasional suatu sistem yang meliputi upaya pengidentifikasian tujuan,
kegiatan, pelaksanaan kegiatan, situasi yang dihadapi serta informasi yang dibutuhkan sistem disetiap tahap
pelaksanaannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan perpaduan Teori Sistem Donabedian-Azwar, dengan
pokok tahapan Struktur/Input-Proses-Output/Outcome untuk melihat sistem pelayanan penyakit jantung di RSUD
Dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Nopember 2015,
menggunakan rancangan kualitatif dengan metode deskriptif analitik. Analisis dilakukan dengan data bersumber
dari telaah dokumen medik pasien penyakit jantung di RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan tahun 2014,
observasi dan wawancara mendalam terhadap informan terpilih. Hasil penelitian menunjukan faktor dari
Struktur/Input yang berpengaruh terhadap mortalita dalam sistem pelayanan penyakit jantung di RSUD Dr Kanujoso
Djatiwibowo Balikpapan adalah faktor Pasien, SDM, Fasilitas, dan Metode. Faktor Proses berupa proses pemberian
pelayanan, koordinasi dokter-perawat dan keterpaduan layanan. Disarankan agar pihak RSUD Dr Kanujosos
Djatiwibowo Balikpapan melakukan penambahan tenaga dokter Spesialis Jantung, membuat pelayanan satu atap
pasien penyakit jantung/Cardiac Center dan meningkatkan kerjasama/koordinasi yang baik antara pihak RSUD Dr
Kanujosos Djatiwibowo dengan Faskes Pelayanan Primer, Dinas Kesehatan Kota Balikpapan dan pihak rumah sakit
lainnya yang ada di Kota Balikpapan.
Kata kunci: sistem, donabedian-azwar, input, proses, output, mortalita penyakit jantung.
ABSTRACT
Decomposition Analysis System is operating a system that includes identification efforts objectives, activities,
implementation of activities, the situation faced and information needed at each stage of system implementation.
This study uses a blend of Systems Theory approach Donabedian-Azwar, the principal stages of Structural or Input-
Process-Output or Outcome to look at heart disease care system in hospitals Dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan
2014. The study was conducted from April to November 2015, using a design qualitative descriptive analytic method.
Analysis was performed with the data derived from the study of medical documents cardiac patients in hospitals Dr
Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan in 2014, observation and depth interview with selected informants. The results
showed a factor of structure or Inputs that influence mortality in cardiovascular disease care system in the Hospital
Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan is Patient factors, human resources, facilities, and methods. Factors such as
the process of service delivery, the doctor- nurse coordination and integration of services. It is recommended that
the hospitals Dr Kanujosos Djatiwibowo Balikpapan perform additional doctors Heart Specialist, create one- stop
service for cardiovasculardisease or Cardiac Center and increase cooperation orcoordination between the
hospitals Dr Kanujosos Djatiwibowo with Primary Health Care Facility, City Health Department Balikpapan and
house parties other hospitals in the city of Balikpapan.
Keywords: system, donabedian-azwar, input, process, output, heart disease mortality.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 2
PENDAHULUAN
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan
kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam
upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia. Sebagai suatu organisasi rumah
sakit dituntut untuk meningkatkan kinerjanya sesuai
pertumbuhan dan pengaruh lingkungan agar mampu
memberikan pelayanan yang bermutu. Pasien
mengartikan pelayanan yang bermutu dan efektif jika
pelayanannya nyaman, menyenangkan dan petugas
ramah yang mana secara keseluruhan memberikan
kesan kepuasan terhadap pasien, masuk rumah sakit
dalam keadaan yang sakit dan keluarnya menjadi
sembuh. Sedangkan dari pihak pemberi pelayanan,
mengartikan pelayanan yang bermutu dan efisien jika
pelayanan sesuai sesuai standar pemerintah. Adapun
kondisi yang sering dikeluhkan oleh pemakai jasa
rumah sakit adalah sikap dan tindakan dokter atau
perawat, sikap petugas administrasi, sarana yang kurang
memadai, lambannya pelayanan, persediaan obat, tarif
pelayanan, peralatan medis dan lain-lain (Azwar, 2010).
Berdasarkan data sepuluh penyakit penyebab kematian
dalam dekade tahun 2013 dan tahun 2014 dari Dinkes
Kota Balikpapan dapat dikatakan bahwa secara umum
di Kota Balikpapan penyakit- penyakit degenerative
yang terbanyak menyebabkan kematian, dimana jenis
penyakit stroke (cerebrovascular disease), penyakit
jantung (ischemic heart disease), masing-masing
menjadi peringkat pertama dan kedua. Sementara itu
data dari RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan
yang merupakan rumah sakit pusat rujukan di Kota
Balikpapan (RS Kelas B), penyakit jantung
(atherosclerosisic hearth disease dan Congestive hearth
failure) merupakan penyakit penyebab kematian yang
selalu menduduki peringkat lima terbesar dalam dua
tahun terakhir. Berdasarkan data tersebut penulis tertarik
untuk meneliti tentang Sistem Pelayanan Penyakit
Jantung di RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo
Balikpapan Tahun 2014. Dengan demikian yang
menjadi pertanyaan penelitian atau permasalahan
adalah:”Bagaimanakah sistem pelayanan penyakit
Jantung di RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo
Balikpapan Tahun 2014?
Penelitian ini secara umum bertujuann menganalisis
sistem pelayanan penyakit jantung di RSUD Dr.
Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014.
Tujuan khusus:
1. Diketahuinya gambaran input yang berkaitan
dengan pemberian layanan medis penyakit Jantung
(Kondisi Pasien saat masuk RS, SDM, Sarana-
Prasarana, dan Metode) yang ada di RSUD Dr.
Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014.
2. Mendapat gambaran proses yang meliputi proses
pemberian pelayanan dari dokter dan perawat,
koordinasi antara dokter–perawat serta keterpaduan
pelayanan pasien penyakit Jantung di RSUD
Dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun
2014.
3. Diketahuinya gambaran output Mortalitas berupa
NDR dan GDR dari pasien penyakit Jantung di
RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan
Tahun 2014.
TINJAUAN TEORITIS
Pengertian Sistem
Jogiyanto (2005) menyatakan sistem adalah kumpulan
dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai
tujuan. Sistem terbentuk dari bagian atau elemen-
elemen yang saling mempengaruhi. Secara umum
sistem dapat dibedakan atas dua macam yaitu sistem
sebagai wujud dan sistem sebagai metoda. Sistem
sebagai wujud apabila bagian-bagian atau elemen-
elemen yang terhimpun dalam sistem tersebut
membentuk suatu wujud yang ciri- cirinya dapat
dideskripsikan secara jelas. Sistem sebagai metode
apabila bagian-bagian yang terhimpun dalam sistem
tersebut membentuk suatu metode yang dapat dipakai
sebagai alat dalam melakukan pekerjaan administrasi.
Unsur Sistem
Sistem terbentuk dari bagian atau elemen. Ditinjau dari
sudut peranan dan kedudukannya terhadap lingkungan,
maka pembagian sistem dapat dibedakan atas
Suprasistem, Sistem dan Subsistem. Lingkungan
dimana sistem itu berada disebut suprasistem, sesuatu
yang sedang diamati dan menjadi objek dan subjek
pengamatan disebut sistem, sedangkan subsistem
merupakan bagian dari sistem yang secara mandiri
membentuk sistem pula tetapi kedudukan dan
peranannya lebih kecil dari sistem (Azwar, 2010).
Elemen pada pendekatan sistem ada enam unsur,
yaitu:
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 3
1. Input (Masukan ) 2. Process (Proses)
3. Feed back (Umpan Balik)
4. Impact (Dampak)
5. Environment (Lingkungan)
(ditampilkan dalam gambar 1).
Analisis Sistem
Pendekatan sistem adalah upaya untuk melakukan
pemecahan masalah yang dilakukan dengan melihat
masalah yang ada secara menyeluruh.Pendekatan
sistem harus memenuhi persyaratan Banathi 1991
dalam Miarso (2011) yaitu: sistemik (menyeluruh),
sistematik (berurutan, terarah), senergistik (adanya nilai
tambah diseluruh aspek kegiatan), dan isomeristik
(menggabungkan hal-hal yang sesuai dengan kajian
bidang).
Sementara itu ada juga pendekatan sistem yang
diterapkan dalam layanan kesehatan dengan membagi
sistem kesehatan menjadi tiga komponen, yaitu
struktur, processes, dan outcome. Teori ini
diperkenalkan oleh Dr. Avendis Donabedian 1980
dalam U.S Departemen of Health and Human Service
(2011), ditampilkan dalam gambar 2.
Menurut Donabedian 1980 dalam Bustami (2011),
juga mengemukakan bahwa komponen dari sistem
pelayanan kesehatan terdiri dari masukan (Input,
disebut juga structure), proses, dan hasil (outcome).
Kondisi Pasien Masuk IRD
IRD ( Instalasi Rawat Darurat ) atau ada yang
menyebutnya UGD (Unit Gawat Darurat) maupun
Emergency Room merupakan sebuah unit yang
melayani pasien dalam kondisi gawat darurat
berdasarkan Triage (Triase) yang ditentukan oleh
dokter UGD. Sedangkan Triage adalah sebuah
tindakan pengelompokan pasien berdasarkan berat
ringannya kasus, harapan hidup dan tingkat
keberhasilan yang akan dicapai sesuai dengan standar
pelayanan UGD yang dimiliki. Dalam menentukan
prioritas penanganan pasien maka perlu melihat dan
menemukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang
dihadapi oleh pasien dengan pendekatan triage
(http://www.kompasiana.com/bidancare/Pelayanan-Pa
sien-dengan-Sistem-Triage-di-Unit-Gawat-Darurat),
yaitu:
a. Biru: Gawat darurat, resusitasi segera yaitu untuk
penderita sangat gawat/ ancaman nyawa.
b. Merah: Gawat darurat, harus MRS yaitu untuk
penderita gawat darurat (kondisi stabil atau tidak
membahayakan nyawa )
c. Kuning: Gawat darurat, bisa MRS /Rawat jalan
yaitu untuk penderita darurat, tetapi tidak gawat.
d. Hijau: Gawat tidak darurat, dengan penanganan
bisa rawat jalan yaitu untuk bukan penderita gawat.
e. Hitam : Meninggal dunia
Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia merupakan pilar utama
sekaligus penggerak roda organisasi dalam upaya
mewujudkan visi dan misinya. Karenanya harus
dipastikan sumber daya ini dikelola dengan sebaik
mungkin agar mampu memberi kontribusi secara
optimal. SDM di rumah sakit menjadi hal penting yang
mendukung berkembangnya rumah sakit dan menjadi
tolak ukur penting dalam penilaian pengembangan
mutu pelayanan di rumah sakit. Maka diperlukanlah
sebuah pengelolaan secara sistematis dan terencana agar
tujuan yang diinginkandimasa sekarang dan masa
depan bisa tercapai yang sering disebut sebagai
manajemen sumber daya manusia (Rivai, 2004)
Jika ditinjau dari kegiatan badan usaha maka sumber
daya manusia selalu dikaitkan dengan produktivitas
kerja. Secara umum disebutkan bahwa suatu Negara
mempunyai SDM yang berkualitas apabila
produktivitas kerja para tenaga kerja di Negara tersebut
adalah tinggi. Adapun yang dimaksud dengan
produktivitas kerja disini adalah kemampuan tenaga
kerja menghasilkan barang atau jasa persatuan waktu.
Makin banyak dan bermutu barang atau jasa yang
dihasilkan tersebut, maka makin tinggi produktivitas
kerja tenaga kerja yang dimaksud (Azwar, 2004).
Sarana–Prasarana atau Fasilitas
Dalam kajian kebutuhan penyelenggaraan rumah sakit
harus didasarkan pada studi kelayakan dengan
menggunakan prinsip pemerataan pelayanan, efisiensi
dan efektivitas, serta demografi. Bangunan rumah sakit
harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan
pelatihan, serta penelitian dan pengembangan ilmu
Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 4
pengetahuan dan teknologi kesehatan. Bangunan
rumah sakit juga harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Persyaratan administratif dan persyaratan teknis
bangunan gedung pada umumnya, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Persyaratan teknis bangunan rumah sakit, harus
sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan kemudahan
dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan
keselamatan bagi setiap orang, termasuk pula
penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut.
Prasarana rumah sakit meliputi: instalasi air; instalasi
mekanikal dan elektrikal; instalasi gas medik; instalasi
uap; instalasi pengelolaan limbah; pencegahan dan
penanggulangan kebakaran; petunjuk, standar dan
sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat; instalasi
tata udara; sistem informasi dan komunikasi; serta
ambulan. Semua prasarana tersebut harus menuhi
standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan
kesehatan kerja penyelenggaraan rumah sakit, untuk itu
maka prasarana tersebut harus dalam keadaan
terpelihara dan berfungsi dengan baik.
Kebijakan
Kebijakan ditekankan pada pandangan luas yang masih
dalam pemikiran dan bersifat universal dan objektif.
Kebijakan atau sering diistilahkan wisdom berpangkal
dari kata wise yang didefinisikan sebagai having gained
a great deal of knowledge from books or both and able
to use well. Bila dikaitkan dengan keputusan maka akan
bergeser maknanya menjadi bijaksana (Subijanto,
2004).
Beberpa Prinsip/Filosofi Kebijakan Perumahsakitan di
Indonesia antara lain:
1. Melindungi masyarakat (Protection the people) dari
pelayanan substandar;
2. Memberikan arah kepada rumah sakit (To guide the
hospital);
3. Memberdayakan masyarakat organisasi profesi,
asosiasi institusi, serta Pemerintah Daerah
(Empowering Profesional and Institutions);
4. Ada kepastian hukum untuk rumah sakit, tenaga
kesehatan dan pasien/masyarakat;
5. Biaya pelayanan pasien di ruang perawatan kelas 3
rumah sakit Pemerintah dan Swasta sedapat
mungkin ditanggung pembiayaannya oleh
Pemerintah;
6. Mendorong rumah sakit di daerah terpencil dan
perbatasan untuk memenuhi standar rumah sakit
melalui pemeberian bantuan fisik bangunan dan
peralatan medis;
7. Pengembangan akreditasi rumah sakit dan patient
safety. Dimana rumah sakit menjadi wajib ikut
akreditasi minimal untuk pelayanan medis, gawat
darurat, keperawatan, rekam medis dan administarsi
- manajemen.
Standar Prosedur Operational (SPO)
Tambunan (2013) menjelaskan bahwa pada dasarnya
SPO adalah pedoman yang berisi prosedur-prosedur
operasional standar yang ada dalam suatu organisasi
yang digunakan untuk memastikan bahwa semua
keputusan dan tindakan serta penggunaan fasilitas-
fasilitas proses yang dilakukan oleh orang-orang
didalam organisasi berjalan efektif, efisien, konsisten
dan sistematis. Prosedur sudah dianggap baik,
terkadang dipahami dan dilaksanakan secara berbeda,
hal ini disebabkan kurangnya pelatihan terkait dengan
penerapan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan,
kurangnya sosialisasi, prosedur tersebut dianggap tidak
cocok dengan kondisi yang ada pada saat itu.
Proses Pemberian Pelayanan
Menurut Bustami (2011), bahwa Proses adalah semua
kegiatan atau aktivitas dari seluruh karyawan atau
tenaga profesi dalam interaksinya dengan pelanggan,
baik pelanggan internal (sesama petugas atau
karyawan) maupun pelanggan eksternal (pasien,
pemasok barang dan masyarakat yang datang ke
puskesmas atau di rumah sakit untuk maksud
tertentu).Penjelasan lain Donabedian 1980 dalam
Bustami (2011) disebutkan a set of activities that go on
within and between practitioners and patients, atau
serangkaian kegiatan yang berlangsung di dalam dan di
antara praktisi dan pasien.
Pengertian dan Lingkup Rumah Sakit
Istilah hospital (rumah sakit) berasal dari kata Latin,
hospes (tuan rumah), yang juga menjadi akar kata
hotel dan hospitality (keramahan). Rumah sakit
(hospital) adalah sebuah institusi perawatan kesehatan
profesional yang pelayanannya disediakan oleh
dokter, perawat dan tenaga ahli kesehatan lainnya
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 5
(Alexandra I, 2012)
Definisi/pengertian atau batasan rumah sakit cukup
beragam:
UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Pasal 34, rumah sakit adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan
dan gawat darurat.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1045/Menkes/Per/XI/2006, rumah sakit
didefinisikan sebagai suatu fasilitas pelayanan
kesehatan perorangan yang menyediakan rawat
inap dan rawat jalan yang memberikan pelayanan
kesehatan jangka pendek dan jangka panjang
yang terdiri dari observasi, diagnostik, terapeutik
dan rehabilitatif untuk orang-orang yang
menderita sakit, cidera dan melahirkan.
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka konsep dibangun berdasarakan kerangka
teori Sistem Donabedian- Azwar yang dimodifikasi
dengan kebutuhan penelitian. Berdasarkan tinjauan
kepustakaan dan kerangka teori diatas peneliti
menggunakan pendekatan teori sistem dengan
tahapan Input, Proses, dan Output untuk melihat
gambaran sistem pelayanan penyakit jantung di
RSUD Dr. Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan
(ditampilkan dalam gambar 3).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini merupakan gambaran umum kematian
pasien penyakit Jantung berdasarkan data dari Bidang
Rekam Medik RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo
Balikpapan dan analisis peneliti (ditampilkan dalam
tabel 1, 2, 3, 4 dan tabel 5).
Analisis Faktor Struktur yang Mempengaruhi
Mortalitas Pasien Jantung
(ditampilkan dalam tabel 6 dan tabel 7).
Sumber Daya Manusia
Hasil analisis SDM Perawat Instalasi Gawat Darurat
dapat dilihat pada tabel 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan tabel 14.
Sarana-Prasarana
Analisis sarana dilaksanakan di ruang IRD, ICCU dan
CatLab sebagai tempat pelayanan terhadap pasien
Jantung. Telaah sarana Instalasi Rawat Inap dilakukan
hanya berdasarkan wawancara mendalam saja. Hasil
telaah dan observasi sarana yang telah dilakukan
ditampilkan dalam tabel 15.
Hasil swab terhadap ruang ICCU untuk lantai,
pegangan pintu dan AC terdapat mikrobiologi di atas
kadar maksimum yang diperbolehkan.Hasil
wawancara terkait dengan Sarana-Prasarana antara lain
sebagai berikut:
“Mengenai sarana dan prasarana berkaitan dengan
pelayanan pasien penyakit Jantung saya kira cukup
memadai.lengkaplah di RSKD ini selaku pusat rujukan
yang ada di Kota Balikpapan.”
“Saya kira alat yang dimiliki oleh RS ini sudah
standarlah.. artinya apa yang dipersyaratkan sebagai
rumah sakit di type B dan pusat rujukan di Kota
Balikpapan dan sekitarnya terus dibenahi dan di up
date pihak manajemen.”
Metode (Kebijakan dan SPO)
Berdasarkan observasi penulis di tempat yang terkait
dengan pelayanan pasien penyakit Jantung, penulis
menemukan di Ruangan IRD, di Ruangan CathLab
dan di Ruang ICCU, Poli Jantung, dan Ruang Rawat
Inap masing-masing telah memiliki Standar
Operasional Prosedur (SPO), sementara yang terkait
dengan Kebijakan yang sekiranya dapat menghambat
pelayanan, penulis menggali dari wawancara
mendalam. Berikut ini cuplikan sebagian dari hasil
wawancara terkait dengan pertanyaan “Apakah ada
kebijakan khusus yang diterapkan untuk pelayanan
pasien penyakit Jantung di RSUD Dr Kanujoso
Djatiwibowo Balikpapan, Apakah ada prosedur atau
kebijakan yang menghambat dalam penanganan
pasien dan apakah sudah ada Standar Operasional
Prosedur (SPO) untuk pelyanan pasien penyakit
Jantung?“ :
“Tidak ada kebijakan khusus yang diterapakan untuk
penderita penyakit Jantung, karena setiap penanganan
pasien yang sifatnya darurat ya sama.harus segera
Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 6
mendapatkan pertolongan. life saving, soal
administrasi itu soal belakangaan dan menjadi urusan
bagian administrasi dengan keluarga si pasien yang
penting penyelamatan pasien yang utama.”
“Kebijakan BPJS karena adanya pembatasan
obat.terkadang ada obat yang dibutuhkan tetapi karena
belum masuk di Fornas maka tidak bisa diberikan ke
pasien kecuali jika keluarga pasien bayar.”
“Kalau SPO ya itu harus dan di kami sudah ada,
mungkin perlu lebih dilengkapi lagi untuk setiap
pelayanan semestinya perlu di setiap ruangan
pelayanan yang ada di RS ini ada SPO pelayanan
dasar gangguan Jantung.”
Analisis Faktor Proses yang mempengaruhi angka
Mortalitas Jantung
Hal ini dianalisa oleh penulis melalui wawancara
mendalam, karena berdasarkan observasi sepintas
tergambar bahwaa proses pemberian pelayanan itu
sudah berjalan sebagaimana mestinya, namun tetap
yang menjadi keluhan dari perawat persoalan jumlah
dokter Jantungnya yang sendiri sehingga kesempatan
untuk berdiskusi terkait proses penanganan ke pasien itu
menjadi terbatas.
“Ada kejadian obat life saving lagi habis.”
“Keberadaan dokter Jantungnya yang hanya
seoarang diri.tentunya kadang jadwal visitasi pasien ke
ruangan tidak sesuai jadwal.yang mestinya jam 10
saya sudah visitasi.tetapi karena lagi ada penangan
pasien di cathlab ya jadinya kadang jam 11 bahkan
sudah siang baru sempat keruangan.namun demikian
sedapat mungkin terlaksana.”
“Kendala tersebut selalu ada dan itulah tantangannya
sehingga kami dituntut untuk selalu berbenah.termasuk
kedepan untuk menambah tenaga SDM khususnya
dokter Spesialis Jantung.”
Input
Secara umum gambaranmortalitas pasien penyakit
Jantung tahun 2014 yang berjumlah 105 orang hampir
semua pasien yang meninggal tersebut memiliki riwayat
penyakit lain yang juga sebagai pemberat penyakitnya,
dan yang paling tinggi adalah diabetes mellitus, riwayat
penyakit Hipertensi, riwayat gangguan ginjal, dan ada
pasien yang sudah memiliki masalah gangguan jantung
sebelumnya. Hal ini sejalan juga dengan hasil
wawancara dari beberapa informan bahwa sebagian dari
pasien yang meninggal tersebut memiliki riwayat
penyakit komplikasi lainnya yang ikut memperparah
kondisinya saat masuk dirawat di RSUD Dr.Kanujoso
Djatiwibowo Balikpapan.
Analisis mengenai kompetensi SDM perawat di
RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan,
memang sudah terlihat upaya untuk meningkatkan
kualitas SDM guna mewujudkan Misi “Memuaskan
pelanggan dengan memberikan pelayanan berstandar
internasional”. Kegiatan pengelolaan dan pelayanan
pasien tentu tidak terlepas dari kualitas sumber daya
manusia petugas-petugas kesehatan yang terlibat
didalam tindakan pelayanan kepada pasien baik secara
langsung maupun tidak langsung, khususnya dokter,
perawat, dan juga pihak manajemen yang ada di rumah
sakit yang saling berhubungan. Jika kualitas sumber
daya manusia yang baik maka sebuah program dapat
berjalan dan mengahasilkan output yang baik pula
(Sembiring, 2008). Menurut Hasibuan (2005)
kemampuan seseorang ditentukan oleh ilmu
pengetahuan dan keterampilannya. Menurut
Notoatmojo 1997 dalam Pratiwi (2009), pengetahuan
atau kognitif adalah domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan, bila perilaku tidak didasari
dengan pengetahuan maka perilaku tersebut tidak akan
berlangsung lama. Menurut Green 1980 dalam Dewi
(2010) pengetahuan merupakan faktor predisposisi
seseorang untuk berperilaku positif. Berdasarkan
pendapat diatas pengetahuan sangat erat kaitannya
dengan tindakan dan menurut peneliti sebagian besar
pengetahuan petugas kesehatan terkait dengan
pelayanan kesehatan pasien jantung sudah bagus.
Berdasarkan observasi penulis menemukan bahwa
ruang IRD dan ICCU cukup berdekatan tetapi untuk ke
Ruang CathLab itu berjauhan. Letak ruangan IRD dan
ICCU ada digedung lama sementara letak CathLab ada
digedung baru yang letaknya cukup jauh walaupun
masih dalam satu kawasan. Semestinya ruang untuk
IRD, ICCU dan CathLab serta ruang perawatan dan
pemeriksaan penunjang lainnya menjadi berdekaatan
atau lebih baik lagi jika menjadi satu atap dibuat
semacam Cardiac Center sehingga pelayana menjadi
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 7
lebih cepat, efektif, dan terpadu. Beberapa kebijakan
berdasarkan hasil analisis dokumen yang menghambat
proses perawatan sumber data adalah kebijakan dari
luar RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan
yaitu kendala adanya kebijakan dari BPJS sebagai
badan pengelola JKN perihal terapi yang diberikan
harus sesuai Formularium Nasional (Fornas).
Masalah yang lain terkait Standar Prosedur Operasional
(SPO) yang masih belum lengkap atau belum ada pada
beberapa pelayanan dalam rangka meningkatkan
kualitas pelayanan di RSKD, misalnya belum adanya
SPO penanganan kondisi kritis karena serangan
Jantung di IRD. Ada juga SPO yang sudah jelas dan
rinci namun belum optimal dalam pelaksanaannya.
Faktor Proses
Proses pemberian pelayanan itu sudah berjalan
sebagaimana mestinya, namun tetap yang menjadi
keluhan dari perawat persoalan jumlah dokter
Jantungnya yang sendiri sehingga kesempatan untuk
berdiskusi untuk proses penanganan ke pasien itu
menjadi terbatas. Menurut para informan faktor proses
pemberian perawatan dan juga pelayanan yang
diberikan itu apakah sudah sesuai dengan tatalaksana
penyakit jantunng atau belum tentunya akan sangat
mempengaruhi terjadinya kematiaan pasien penyakit
Jantung tersebut.
Output Mortalitas
Apapun kondisi yang ada di faktor input dan poses
terkait dengan pelayanan pasien penyakit Jantung akan
mempengaruhi tinggi rendahnya angka mortalitas
akibat penyakit Jantung.
Persoalan masih tingginya mortalitas penyakit Jantung
di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikapapan
sejalan yang disampaikan oleh Rasmanto (2012)
Angka kematian adalah indikator hasil kinerja dari
sebuah proses pelayanan kesehatan, di rumah sakit ada
kematian di bawah 48 jam dan ada kematian di atas 48
jam, kematian yang terjadi di bawah 48 jam
diindikasikan jika terjadi adalah semata karena faktor
tingkat kegawatan yang berpihak atau berada pada
pasien, artinya kondisi pasien lebih menentukan
kematiannya, sementara kematian yang terjadi setelah
48 jam di lakukan perawatan atau penananganan di
RSUD Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan dapat
menjadi cerminan kinerja pelayanan yang telah
dilakukan rumah sakit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kondisi Pasien saat masuk yang sudah cukup parah
dan memiliki penyakit riwayat penyakit penyerta
lainnya berkonstribusi besar pada masih tingginya
angkaMortalitas Penyakit Jantung di RSKD, namun
demikian kondisi pasien saat masuk menjadi faktor
external dirumah sakit.
2. Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih kurang
khususnya dokter spesialis Jantung yang hanya 1
orang, dan keterbatasan pelatihan atau sertifikasi
Perawat Khusus Jantung yang juga masih kurang,
berkonstribusi mempengaruhi proses pelayanan
dan juga output dalam sistem pelayanan penyakit
Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo
Balikpapan.
3. Sarana dan Prasarana untuk layanan Jantung belum
terpadu, jarak dari IRD ke ICCU cukup berdekatan
tetapi dari IRD atau ICCU ke Cath Lab jaraknya
berjauhan.
4. Adanya Kebijakan BPJS terkait dengan rujukan
berjenjang, dan obat yang belum masuk di Fornas.
5. Ada kendala dalam melaksanakan instruksi dokter.
6. Ada kendala dalam koordinasi dokter dan perawat
dimana keterbatasan dokter Jantung yang hanya 1
orang dan juga bertugas tidak hanya di RSUD Dr
Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan tetapi juga di
RS yang lain.
7. Kendala dari faktor proses di Instalasi Rawat
Darurat (IRD) mengenai kelengkapan anamnesa,
kecepatan pelayanan dan pemeriksaan penunjang
sangat berpengaruh pada proses perawatan
selanjutnya dan prognosa kesembuhan pasien.
Saran
Untuk Pihak Manajemen RSUD Dr Kanujoso
Djatiwibowo Balikpapan:
1. Penambahan tenaga dokter spesialis Jantung
sebaiknya menjadi prioritas dari manajemen RSUD
Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan agar segera
terpenuhi.
2. Peningkatan kemampuan Bidang Diklat RSKD
Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 8
untuk menjadi Lembaga Sertifikasi Profesi
Keperawatan guna pemenuhan kebutuhan
peningkatan SDM keperawatan dan dapat menjadi
center pelatihan keperawatan di Kalimantan Timur.
3. Sebaiknya layanan pasien untuk penyakit Jantung di
RSUD Dr. Kanudjoso Djatiwibowo selaku rumah
sakit rujukan tertinggi di Kota Balikpaapan dibuat
Cardiac Center sehingga pelayanan menjadi lebih
terpadu lebih cepat dan efisien.
Untuk Pihak Dokter-Perawat:
1. Meningkatkan kepatuhan SDM untuk
melaksanakan pelayanan sesuai SPO (Standar
Prosedur Operating).
2. Perlunya komitmen melengkapi anamnesa pasien
dan kecepatan pelayanan.
Untuk Pihak Dinas Kesehatan Kota Balikpapan:
1. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) melalui
program promotif prepentif kepada pasien dan
keluarga pasien penyakit Jantung serta masyarakat
luas bagaimana mengenal tanda-tanda dini
terjadinya penyakit Jantung ataupun serangan
Jantung, dan penanganan awal yang bisa dilakukan
serta alur penggunaan kartu jaminan kesehatan bagi
penggunanya masih perlu untuk terus ditingkatkan,
disinergikan dengan peran dari Tim PKRS
(Promosi Kesehatan Rumah Sakit) yang ada di
masing-masing rumah sakit.
2. Perlunya meningkatkan kerjasama dan koordinasi
yang baik antara Puskesmas atau Dinas Kesehatan
Kota Balikpapan dengan pihak rumah sakit yang
ada di Kota Balikpapan untuk menyelenggarakan
kegiatan bersama dalam rangka meningkatkan
kapasitas petugas kesehatan, yang dapat berupa
peningkatan pengetahuan, skill dan penajaman
deteksi dini penyakit Jantung di sarana pelayanan
kesehatan tingkat primer sehingga tindakan rujukan
dan penanganan dini kepasien jantung dapat
terlaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara. Jakarta.
Aditama Yoga Tjandra. 2007.. Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Edisi Kedua. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press),.
Wendra, Ali. 1996. Wendra, Penyakit Jantung, Hipertensi dan Nutrisi, Cetakan kedua. Sinar
grafika Offset. Alexandra I. 2012. Etika dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Grasia Book
Publisher.
Bustami. 2011. Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan & Aksestabilitasnya. Jakarta: Erlangga.
Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan & Teknis Medis Kementerian Kesehatan. 2011.
Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Di Rumah Sakit. Jakarta. Donabedian A. 2005. Evaluating the Quality of Medical Care, the Milbank Quarterly Volume
83 Number 4.
Dunn, W. N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: G. M. U. Press Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1998.
Fathoni, Abdurrahman. 2009. Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Rineka Cipta,. Hasibuan, MSP. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Hafizurrachman. 2009. Sumber Daya Manusia Rumah Sakit di Q-Hospital. Majalah Kedokteran IndonesiaVolume 59 Nomor 8.
Heriyanto, Irwan. 2009. Analisa Implementasi SOP Asuhan Keperawatan Anak dengan
Diare oleh Perawat di Ruang Rawat RS Rawa Lumbu. Universitas Indonesia. Ilyas, Yaslis. 2002. Kinerja, Teori, Penilaian dan Penelitian Cetakan Kedua. Depok:
Universitas Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat. Jogiyanto. 2005. Analisis dan Desain Sistem Informasi: Pendekatan
Terstruktur Teori dan Aplikasi Bisnis Edisi 2. Jogjakarta.
Kambuaya, M. 2013. Tesis: Analisis Sistem Rekam Medis Rawat Jalan di Unit Rekam Medis RSU Bhakti Yudha Depok Tahun 2013. Depok: Universitas Indonesia Fakultas
Kesehatan Masyarakat.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Kelas B. Jakarta.
Muninjaya. 2004. Manajemen Kesehatan, EGC. Jakarta.
Maulana M. 2007. Penyakit Jantung, Pengertian, Penanganan, dan Pengobatan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Murt, B. 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di
Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Notoatmojo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Tahun 2014 tentang
Panduan Praktek Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 tentang Klasifikasi dan
Perijinan Rumah Sakit. Jakarta.
Rachmat, J. 2005. Analisis Mutu Pelayanan Penyakit Jantung Bawaan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPD HK) Jakarta. Depok:
Universitas Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. 2014. Profil
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Sinambela, Lijan Poltak. 2012. Kinerja Pegawai Teori Pengukuran dan Implikasi.
Yogyakarta: Graha Ilmu. Subijanto, B. 2004. Stratifikasi Kebijaksanaan Nasional Perspektif, Power & Politic. Jakarta:
Lemhanas RI.
Tambunan R. M. 2013. Standard Operating Procedures (SOP) Edisi Kedua, Meistas Publishing. Jakarta.
Terry, G. R. & Rue, L. W. 1991. Dasar-Dasar Manajemen, Alih Bahasa oleh Ticoale. Jakarta:
Bumi Aksara.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 9
INPUT
- Pasien - SDM - Fasilitas
- Metode
PROSES
- Pemberian Pelayanan Kepada Pasien
- Koordinasi Dokter-Perawat dan
Keterpaduan Pelayanan
OUTPUT
Mortalita
(NDR dan GDR)
Gambar 1. Hubungan Unsur-Unsur Sistem Sumber: Azwar (2010)
Structure Processes Outcomes
Gambar 2. Pendekatan Sistem Pelayanan Kesehatan Menurut U.S Departemen of Helath and
Human Service (2011)
Gambar 3. Kerangka Konsep Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD
Tabel 1. Distribusi Pasien Jantung yang Meninggal Berdasarkan Umur Tahun 2014
No Umur Jumlah %
1 0 tahun - 9 tahun 8 7.61
2 10 tahun - 19 tahun 2 1.90
3 20 tahun - 29 tahun 3 2.85
4 30 tahun - 39 tahun 5 4.76
5 40 tahun - 49 tahun
10 9.52
Dampak
Umpan Balik
Masukan Proses Keluaran
Lingkungan
Inputs Steps Outputs
- Patients
- Equipment
- Supplies
- Training
- Environment
E.q. 24 hour
CCM coverage
- Coordination
- Physician
Orders
- Nursing/Resp Rx
E.g. VAP, Sepsis,
EGDT
- Clinical
Outcomes
- Functional
Status
- Satisfaction
- Cost
E.g. Mortality
Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 10
No Umur Jumlah %
6 50 tahun - 59 tahun 33 31.42
7 60 tahun - 69 tahun 30 28.57
8 70 tahun - 79 tahun 11 10.47
9 80 tahun – Keatas 3 2.85
TOTAL 105 100.00
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 2. Distribusi Pasien Jantung yang Meninggal Berdasarkan Lama Dirawat Tahun
2014
No Lama Dirawat Jumlah %
1 0 sampai 2 hari 55 52.38
2 3 sampai 6 hari 25 23.80
3 7 sampai 10 hari 12 11.42
4 11 sampai 14 hari 8 7,61
5 15 sampai 18 hari 2 1.90
6 19 sampai 22 hari 1 0.95
7 23 sampai 26 hari 1 0.95
8 27 sampai 30 hari 1 0.95
TOTAL 105 100.00
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 3. Distribusi Pasien Jantung yang Meninggal Berdasarkan Cara Bayar Tahun
2014
No Cara Bayar Jumlah %
1 PBI 16 15.24
2 Non PBI 60 57.14
3 Tunai 15 14.29
4 Perusahaan 1 0.95
5 Jaminan Kabupaten/Kota 13 12.38
TOTAL 105 100.00
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 4. Distribusi Pasien Jantung yang Meninggal Menurut Jenis Kelamin Tahun 2014
No Jenis kelamin Jumlah %
1 Laki-Laki 59 56.19
2 Perempuan 46 43.81
Total
105
100.00
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 11
Tabel 5. Distribusi Pasien yang Meninggal Berdasarkan 10 Besar Penyakit Jantung
Tahun 2014
No Jenis Penyakit Jumlah %
1 Congestive heart failure 41 39.05
2 Artherosclerotic heart disease 24 22.86
3 Acute myocardial infarction 14 13.33
4 Atrial fibrillation and flutter 6 5.71
5 Congenital malformation of heart 5 4.76
6 Unstable Angina 4 3.81
7 Old myocardial infarction 3 2.86
8 Acute subendocrdial myocardial inf 2 1.90
9 Pulmonary heart disease 2 1.90
10 Ventricular septal defect 2 1.90
11 Penyakit Lainnya, Peny.penyerta 2 1.90
TOTAL 105 100
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 6.
Distribusi Pasien Meninggal Berdasarkan Riwayat Penyakit Tahun 2014
No Riwayat Penyakit Jumlah %
1 Diabetes Mellitus 28 26.67
2 Hipertensi 22 20.95
3 Gangguan Ginjal 16 15.24
4 Gangguan Jantung 15 14.29
5 Riwayat Stroke 7 6.67
6 Asam Urat & Kolesterol Tinggi 5 4.76
7 Prostat, Gastritis 4 3.81
8 Anemia & DBD 4 3.81
9 Riwayat Sakit Tidak Diketahui 4 3.81
TOTAL 105 100
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 7. Distribusi Pasien Meninggal Berdasarkan Status Pasien Masuk
No Status Pasien Masuk Jumlah %
1 Rujukan 55 52.38
2 Datang Sendiri 50 47.62
TOTAL 105 100.00
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 12
Tabel 8. Distribusi SDM Perawat IRD Berdasarkan Pendidikan dan Status Kepegawaian
Tahun 2014.
No Jenis Pendidikan IRD PNS/CPNS % TKWT % Jumlah %
1 D III Keperawatan 21 60.00 6 17.14 27 77.14
2 D III Kebidanan 5 14.29 0 - 5 14.29
3 D IV Keperawatan 1 2.86 - 1 2.86
4 S1 Keperawatan 1 2.86 1 2.86 2 5.71
TOTAL 28 80.00 7 20.00 35 100
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 9. Distribusi Perawat IRD Yang Mengikuti Pelatihan PPGD/BTLS Tahun 2014.
No Jenis
Sertifikat Sudah Memp unyai %
Belum
Mempunyai % Jumlah %
1 PPGD/B
TLS 30 85.71 5 14.29 35 100.00
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 10. Distribusi SDM Perawat ICCU/ICU Berdasarkan Pendidikan dan Status
Kepegawaian Tahun 2014
No Jenis Pendidikan PNS/CPNS % TKWT % JML %
1 D III Keperawatan 15 65.22 4 17.39 19 82.61
2 D IV Keperawatan 3 13.04 0 - 3 13.04
3 S1 Keperawatan 1 4.35 0 - 1 4.35
TOTAL 19 82.61 4 17.39 23 100
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 11. Distribusi SDM Perawat Ruang Flamboyan A Berdasarkan Pendidikan dan
Status Kepegawaian Tahun 2014.
No Jenis Pendidikan PNS/CPNS % TKWT % Jumlah %
1 D III Keperawatan 5 19.23 18 69.23 23 88.46
2 D III Kebidanan 0 - 1 3.85 1 3.85
3 D IV Keperawatan 1 3.85 0 - 1 3.85
4 S1 Keperawatan 0 - 1 3.85 1 3.85
TOTAL 6 23.08 20 76.92 26 100
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 13
Tabel 12. Distribusi Sertifikasi Perawat Ruang Flamboyan A RSKD Tahun 2014.
No Jenis sertifikasi
Flamboyan A Memiliki %
Belum
Memiliki % Jumlah %
1 BTCLS 19 73.08 7 26.92 26 100
2 Pelatihan Teknis
Lainnya 10 38.46 16 61.54 26 100
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 13. Distribusi SDM Perawat Ruang Anggrek Hitam Lantai 5 Berdasarkan
Pendidikan dan Status Kepegawaian Tahun 2014.
No Jenis Pendidikan AH Lantai
5 PNS/CPNS % TKWT % Jumlah %
1 D III KEPERAWATAN 1 4.17 17 70.83 18 75.00
2 D III KEBIDANAN 0 - 2 8.33 2 8.33
3 D IV KEPERAWATAN 1 4.17 0 - 1 4.17
4 S1 KEPERAWATAN 1 4.17 2 8.33 3 12.50
TOTAL 3 12.50 21 87.50 24 100
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 14. Distribusi Sertifikasi Perawat Ruang Anggrek Hitam Lantai 5 RSKD Hasil
Analisa Data Sekunder Tahun 2014.
No Jenis sertifikasi Perawat Ruang AH Lantai 5 Jumlah %
1 BTCLS 15 62.50
2 Pelatihan Teknis Lainnya 8 33.33
3 Tidak ada pelatihan 1 4.17
Jumlah 24 100.00
Sumber Data: Analisis Dokumen Bidang Keperawatan RSUD Dr.Kanujoso Djatiwibowo BPN
Tabel 15. Distribusi Hasil Uji Mikrobiologi Ruang ICCU Tahun 2014
No Hasil Uji Mikrobiologi Ruang ICCU Satuan Kadar Maksimum yang
Diperbolehkan Hasil Pemeriksaan
1 MIKROBIOLOGI Lantai Ruang ICCU CFU/cm2
5-10 43
2 Tiang Ruang ICCU CFU/cm2
5-10 7
3 Pegangan pintu masuk ruang ICU CFU/cm2
5-10 36
Ahmad Jais, Analisis Sistem Pelayanan Penyakit Jantung di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Tahun 2014
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 14
Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis
Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya
Efforts to Reduce Drug Waiting Time for Outpatient Patients with Lean Hospital Analysis in
Outpatient Pharmacy Installation at Atma Jaya Hospital
Danyel Suryana
Program Pasca Sarjana Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Salah satu cara untuk melakukan efisiensi, meningkatkan mutu pelayanan dan meningkatkan keselamatan pasien di
Amerika dengan menggunakan konsep Lean Thinking yang diterapkan di rumah sakit menjadi Lean Hospital. Di
Rumah Sakit Atma Jaya yang merupakan Rumah Sakit Swata Kelas B Pendidikan, penelitian ini menganalisis alur
pelayanan resep di Instalasi Farmasi Rawat Jalan sebagai data untuk perbaikan. Dengan menggunakan Root Cause
Analysis (RCA), metodologi penelitian operational research, dilakukan observasi dan wawancara mendalam
memperlihatkan bahwa kegiatan non value added bisa sampai 85% dan kegiatan value added hanya 15% pada
penyiapan obat non racikan. Sedangkan untuk obat racikan kegiatan non value added sekitar 68% dan value added
sebesar 32% nilainya. Data tersebut menunjukan bahwa telah terjadi pemborosan (waste). Usulan perbaikan untuk
mengurangi pemborosan antara lain penggantian SIM RS yang baru dan menggiatkan fungsi Tim Kendali Mutu di
Instalasi Farmasi. Bila perbaikan ini telah di implementasi, diharapakan terjadi peningkatan efisiensi di Instalasi
Farmasi Rawat Jalan dan meningkatkan kepuasan pasien.
Kata kunci: konsep lean, lean thinking, lean hospital, resep, waktu tunggu obat, rawat jalan, pemborosan, analisis
akar masalah.
ABSTRACT
One option to increase efficiency, service quality and patient safety in the United States of America is by using the
Lean Thinking concept, which are implemented in Hospitals to become a Lean Hospital. In Atma Jaya Hospital, a
class B study private hospital, the research analyses the workflow of prescription sevice in outpatient pharmacy
departement to act as data for improvement analysis. Also, by utilizing Root Cause Analysis (RCA), operational
research methology, in-depth observation and interviews are conducted at compounding and non-compounding
medicine storage of Outpatient Patient Departement, the result shows non-value added activities reaches 85%, while
value added activities are only 15% on non-compounding medicine storage. While, on compounding medicine storage,
non-value added and value added activities are at 68% and 32% respectively. These data clearly shows that great
inefficiencies has occurred. Solution is suggested to increase the efficiency in the department, changing Hospital
Information System and activate the Quality Control Team function. If these steps are implemented, we can expect the
overall efficiency in the Outpatient Pharmacy Departement to improve significantly and resulted in higher patient
satisfaction.
Keywords: concepts lean, lean thinking, lean hospital, prescription, drug waiting time, outpatient, waste, root cause
analysis.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 15
PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang sangat
kompleks, dimana organisasi ini terkenal dengan organisasi
padat modal, padat usaha dan padat karya. Keadaan ini
menuntut manajemen rumah sakit untuk bisa menjaga
keseimbangan antara kualitas pelayanan dan kepuasan
pelanggan. Selain itu, Rumah Sakit dituntut tidak hanya
mampu memberikan pelayanan yang memuaskan
(customer satisfaction) tetapi juga berorientasi pada nilai
(customer value). Organisasi tidak semata-mata mengejar
pencapaian produktifitas kerja yang tinggi tetapi juga
kinerja yang akan diberikan. (Gaspers and Fontana 2011).
RS Atma Jaya adalah rumah sakit swasta non profit tipe B
dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 125 tempat tidur.
RS Atma Jaya sejak Januari 2014 telah bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan dan sejak itu jumlah kunjungan
pasien meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu,
khususnya jumlah kunjungan pasien rawat jalan.
Peningkatan jumlah pasien merupakan sebuah hal yang
patut di syukuri oleh pihak Rumah Sakit, karena RS Atma
Jaya masih menjadi pilihan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan pelayan kesehatannya.
Sebagai bagian dari proses mawas diri maka RS Atma Jaya
melakukan Survey Kepuasan Pasien secara rutin, dan
berdasarkan hasil Survey Kepuasan Pasien Poliklinik
Rawat Jalan RS Atma Jaya bulan September 2016
(didapatkan bahwa mayoritas pasien tidak puas dengan
kecepatan layanan di farmasi (ditampilkan dalam grafik 1
dan table 1).
Pelayanan farmasi merupakan salah satu kegiatan di rumah
sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu.
Berdasarkan Kepmenkes No. 1197 Tahun 2004 Pelayanan
farmasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi
kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu,
termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat. Farmasi merupakan unit yang
memberikan pendapatan terbesar untuk sebuah rumah sakit
Besarnya omzet obat mencapai 50-60% dari anggaran
rumah sakit (Trisnantoro 2009).
Waktu tunggu pelayanan obat dibagi menjadi dua yaitu
waktu tunggu pelayanan resep obat non racikan dan waktu
tunggu pelayanan resep obat racikan. Menurut Permenkes
No 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit dijelaskan bahwa waktu tunggu pelayanan
resep obat non racikan adalah tenggang waktu mulai pasien
menyerahkan resep sampai dengan menerima obat non
racikan/ obat jadi. Sedangkan waktu tunggu pelayanan
resep obat racikan adalah tenggang waktu mulai pasien
meyerahkan resep sampai dengan menerima obat racikan.
(Graban and Mark 2012) dalam buku Improving Quality,
patients Safety, and Employee Engagement mengatakan
bahwa Lean adalah sebuat metodologi yang dapat
dilakukan rumah sakit untuk meningkatkan kualitas pelayanan
terhadap pasien dengan cara mengurangi kesalahan dan
waktu tunggu. Lean meruapakan pendekatan yang
mendukung staf dan tenaga medis menjadi lebih fokus
dalam memberikan pelayanan, juga dapat membantu
membangun hubungan yang lebih sinergis antar departemen
di rumah sakit.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas
masalah utama yang dihadapi oleh Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Atma Jaya khususnya di bagian Instalasi
Farmasi Unit Rawat Jalan adalah waktu tunggu pelayanan
obat yang lama. Menurut Permenkes Nomor 58 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit
ditetapkan waktu tunggu obat maksimal 15 menit untuk
obat non racikan dan 30 untuk obat racikan, tanpa melihat
jumlah item obat. Dengan menganalisis waktu tunggu
pelayanan resep obat di Instalasi Farmasi Unit Rawat Jalan
dengan pendekatan Lean diharapkan dapat memperbaiki
waktu tunggu obat yang lama.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut (Widiasari 2009), waktu pelayanan resep terdiri
dari berbagai tahap yaitu:
1. Tahap pemberian harga, tahap pembayaran dan
penomoran memakan waktu lebih dari satu menit.
2. Tahap resep masuk dan tahap pengecekan dan
penyerahan obat.
3. Tahap pengambilan obat paten, tahap pembuatan obat
racikan dan tahap etiket dan kemas.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 16
Menurut (Pillay 2011) dalam penelitiannya di Malaysia
mengatakan bahwa sejumlah faktor yang memberikan
kontribusi terhadap waktu tunggu pasien di rumah sakit
umum dinilai dari persepsi karyawan, sebagai berikut :
1. Beban kerja mempengaruhi waktu tunggu pasien,
salah satunya seperti kurangnya staff atau dokter.
Kurangnya SDM di Rumah Sakit Umum Malaysia
disebabkan Karena adanya kesenjangan gaji antara
rumah sakit umum dan swasta, yang menyebabkan
migrasi tenaga.
2. Kesehatan terlatih dari rumah sakit umum ke rumah
sakit swasta. Kesulitan melacak kartu pasien saat
pekerjaan berlangsung dirasakan menambah beban
kerja, diikuti gangguan dari pasien yang memerlukan
bantuan informasi sehingga menyebabkan petugas
melakukan tugas non-terkait lainnya.
3. Fasilitas yang tidak memadai, kurangnya ruang
konsultasi dianggap berkontribusi pada masalah waktu
tunggu, sama seperti ramainya ruang tunggu.
4. Dokter sering terlambat praktek dan kurangnya
pengawasan dari pihak manajemen mengakibatkan
timbulnya penumpukan pasien. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh (Purwanto, Indiati et al. 2015),
“Resep datang bersamaan menambah waktu tunggu
antrian. Intervensi sistem pelayanan dokter perlu
dipertimbangkan yaitu pemeriksaan pelayanan pasien
lebih awal.”.
5. Sikap karyawan yang kurang memiliki kompetensi,
komitmen dan proses bekerja yang tidak efisien.
Kerjasama antar bagian yang tidak baik.
Faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi selain
faktor antrian adalah jumlah pelayanan, computer yang
kurang dan software yang lambat, ketersediaan obat tidak
lancar, tidak semua petugas paham administrasi dan sistem
administrasi BPJS yang rumit (Purwanto, Indiati et al. 2015)
Lean Healthcare merupakan strategi yang berfokus
menghilangkan tidak efisien dan dengan demikian
memberikan waktu yang lebih untuk aktivitas pelayanan
pasien (Lestie, Hagood et al. 2006). Alur proses pelayanan
di rumah sakit yang sering dikeluhkan oleh pasien adalah
dokter yang datang tidak tepat waktu, ruang tunggu yang
kurang nyaman, dan rekam medis yang sering terlambat
(Wasetya and Dwiyani 2012) Big Picture Mapping
merupakan tool yang digunakan untuk menggambarkan
sistem secara keseluruhan dan value stream yang ada di
dalamnya. Dari tool ini, informasi tentang aliran informasi
dan fisik dalam sistem (ditampilkan dalam table 2).
Waste merupakan segala tindakan yang dilakukan tanpa
menghasilkan nilai, sebagai contoh perbaikan yang dilakukan
akibat adanya kesalahan, produk yang tidak diinginkan
pasien, penumpukan inventori, tahap proses yang tidak
terlalu dibutuhkan, pemindahan karyawan atau barang yang
tidak perlu dari suatu tempat ke tempat lain, menunggu
akibat pengantaran yang tidak tepat waktu, dan seluruh
barang dan jasa yang tidak sesuai di mata konsumen
(ditampilkan dalam table 3).
Dalam Toyota Triangle bahwa berbagai instrument atau
alat teknik yang ada hanyalah satu komponen dari sebuah
sistem Lean yang terintegrasi. Berikut ini lean tools yang
bisa diterapkan, antara lain 5S, Kanban, Kaizen, Error
Proofing dan Visual Management.
a) 5S
Tahapan 5S aslinya merupakan metode yang berasal
dari lima kata dalam bahasa Jepang, yaitu Seiri, Seiton,
Seiketsu dan Shitsuke. Sedangkan dalam Bahasa
Inggris, 5S adalah Short, Store, Shine, standardize dan
Sustain.
a. Seiri (Sort): Memisahkan barang yang dibutuhkan
dan membuang barang yang tidak diperlukan dari
tempat kerja.
b. Seiton (Stabilize, Straighten, Set in Order, Simplify):
Menyimpan barang yang diperlukan di tempat
yang tepat agar mudah diambil saat digunakan.
c. Seiso (Shine, Sweep): Mempertahankan tempat
kerja agar tetap bersih dan rapi.
d. Seiketsu (Standardize): diperlukan standarisasi
terhadap praktek 5S di atas (Seiri, Seiton, Seiso) agar
tempat kerja terjaga kebersihan dan kerapiannya.
e. Shitsuke (Sustain, Self-discipline): diperlukan
kedisiplinan dan budaya dalam melakukan pekerjaan
sesuai standard dan dibangun rencana masa depan
agar sistem kerja dapat dikembangkan terus-
menerus.
b) Kanban
Metode Kanban bersumber pada prinsip Just in Time
yang artinya barang disediakan sesuai kebutuhan, pada
Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di
Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 17
saat yang tepat dan dalam jumlah yang tepat, sehingga
tidak terjadi pemborosan pada persediaan.
c) Visual Management
Metode manajemen visual membuat berbagai waste,
permasalahan, kondisi abnormal dengan mudah dan
nyata terlihat oleh seluruh karyawan dan manajemen.
Bentuk dari manajemen visual di rumah sakit diantaranya
petunjuk arah, daftar praktek dokter, daftar fasilitas dan lain
sebagainya.
d) Kaizen
Kaizen adalah suatu proses perbaikan yang dilakukan
secara terus-menerus atau continous improvement yang
dilakukan setiap hari. Perubahan yang terjadi secara
bertahap sedikit demi sedikit. Siklus Plan-Do-Check-
Act (PDCA) adalah kerangka operasi Lean dan
merupakan metodelogi yang diterapkan dalam
implementasi Kaizen.
e) Error Proofing
Error Proofing bukan suatu teknologi spesifik, melainkan
suatu pola pikir dan pendekatan yang membutuhkan
kreativitas diantara mereka yang merancang peralatan,
desain proses atau yang mengelola proses (Graban,
2012). Error-proofing berfokus pada kesalahan itu
sendiri, dan respon untuk penyelesaian masalahnya
adalah mengerti dan mencegah kesalahan.
Value Stream Mapping merupakan diagram terstruktur
atau suatu metode yang dipakai dalam melakukan
pemetaan berkaitan dengan aliran produk dan aliran
informasi mulai dari pemasok, produsen dan pelanggan
dalam suatu gambar utuh meliputi semua proses suatu
sistem (Graban and Mark 2012).
Value Stream Mapping mengidentifikasi seberapa lama
langkah setiap proses diperlukan untuk menyelesaikannya
dan yang lebih penting waktu yang dihabiskan dari setiap
proses tersebut. Dapat diketahui juga seluruh proses
produksi mulai dari awal hingga barang atau jasa sampai di
pelanggan. Dari Setiap proses yang dilalui akan terlihat
value dan waste, sehingga dapat digambarkan Future State
Map sebagai upaya perbaikan. Berikut adalah langkah-
langkah dalam proses membuat Value Stream Mapping
menurut Locher (Locher 2008).
1. Persiapan: Mengidentifikasi tim pemetaan, produk atau
proyek dengan mempelajari bagaimana produk akan
dipetakan.
2. Current State: Sepakat terhadap peta yang telah
dipahami dari kondisi saat ini (current state value
stream map).
3. Future State: Sepakat terhadap pemetaan design proses
masa depan (future state value stream map).
4. Perencanaan dan penerapan: Pengembangan perencanaan
untuk mencapai future state
METODOLOGI PENELITIAN
Desain penelitian ini menggunakan operational research.
Dengan konsep lean hospital dalam melakukan telaah
dokumen, observasi dan wawancara. Penelitian dilakukan
di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya dan
pengambilan data dilakukan pada bulan April dan Mei
2017.
Sumber data penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer didapatkan melalui observasi
langsung dan wawancara terstruktur. Observasi di lapangan
dengan mengukur waktu tunggu resep obat pasien di
Instalasi Farmasi Rawat Jalan sejak pasien menyerahkan
resep hingga pasien mengambil obat.
Wawancara terstruktur dilakukan dengan Direktur Pelayanan,
Manager penunjang Medik, Supervisor Farmasi, Staf
Farmasi, Dokter Spesialis, Pasien Rawat Jalan.Populasi
penelitian ini adalah semua resep pasien Instalasi Rawat
Jalan yang datang setiap hari Senin sampai dengan Sabtu
pada Pukul 08.00 – 14.00 WIB. Jumlah sampel yang akan
diambil pada penelitian ini adalah sebanyak 30 resep. Dari
jumlah diatas, akan di bagi sebesar 70% (20) sebagai
sampel non racikan, dan 30% (10) sebagai sampel racikan.
Data yang telah dikumpulkan harus dijaga validitasnya
dengan melakukan uji validitas yaitu triangulasi data. Ini
bertujuan untuk meningkatkan validitas dan realibilitas,
ketepatan dalam interpretasi dan meningkatkan keyakinan
bahwa data yang dikumpulkan menunjukan data yang
sesungguhnya dan tidak dibuat-buat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 18
Pada hasil observasi dilapangan dan hasil wawancara
ditemukan bahwa proses Penulisan Etiket dilakukan
sebelum proses Penyiapan Obat, sedangkan pada SPO
yang tertulis dijelaskan bahwa proses Penulisan Etiket
dilaksanakan sesudah proses Penyiapan Obat (ditampilkan
dalam gambar 1). Berdasarkan hasil observasi alur proses
pelayanan resep di Instalasi Farmasi Rawat Jalan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Setelah pasien mendapatkan resep dari dokter, maka
pasien di arahkan ke Instalasi Farmasi Rawat Jalan.
b. Apoteker kemudian akan melakukan skrinning resep,
meliputi: Adiministrasi, Farmasetis dan Klinis.
c. Bila tidak ada kendala maka petugas kemudian akan
input resep ke SIM RS (Sistem Informasi Manajemen
RS) dan mencetak struk pembayaran dan diserahkan
kepada pasien atau keluarga pasien.
Bila ditemukan kendala, terutama bilamana terkait
dengan farmasetik dan klinis maka apoteker akan
mengkonsultasikan lebih lanjut kepada dokter yang
bersangkutan. Setelah kendala atau masalah teratasi
baru resep akan di input ke dalam SIM RS.
d. Pasien ataukeluarga pasien menuju ke Kasir untuk
melakukan pembayaran sesuai dengan antrian
pembayaran di kasir.
e. Petugas farmasi menyiapkan obat sesuai dengan resep
dokter, penulisan etiket dan pengemasan.
f. Setelah melakukan pembayaran di Kasir, keluarga
pasien menyerahkan bukti pembayaran (kwitansi) ke
petugas Instalasi Farmasi Rawat Jalan.
g. Setelah obat siap, maka apoteker akan menjelaskan
kepada pasien/keluarga pasien mengenai jenis obat
yang diterima dan cara minum obat tersebut. Kemudian
apoteker menyerahkan obat kepada pasien atau
keluarga pasien.
Hasil observasi setiap resep yang masuk dikelompokkan
sesuai dengan variasi obat racikan atau non racikan dan
diberi keterangan apakah proses yang dilewati pasien
merupakan kegiatan yang bernilai tambah (value added)
atau kegiatan yang tidak menambah nilai (non value
added).
Data kegiatan yang bernilai tambah dan kegiatan yang tidak
bernilai tambah dipetakan dengan Value Stream Mapping,
yang bertujuan untuk memetakan sebuah proses, melihat
keseluruhan dari proses kegiatan yang berlangsung, secara
lebih visual sehingga lebih mudah dipahami dan akan
terlihat proses kegiatan antar departemen (ditampilakn
dalam gambar 2 dan gambar 3).
1. Data hasil observasi resep racikan
Pada VSM pelayan resep racikan pasien rawat jalan di
Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya, terlihat
bahwa waktu rata-rata yang dibutuhkan sejak rèsep
diserahkan sampai dengan obat diberikan kepada
pasien adalah 106 menit, yang terdiri dari kegiatan yang
menambah nilai (VA) sebanyak 34 menit (32%) dan
kegiatan yang tidak menambah nilai (NVA) sebanyal
72 menit (68%). Dari sini peneliti dapat melihat secara
sekilas bahwa sekitar 70% dari total waktu rata-rata
dihabiskan hanya untuk melakukan kegiatan yang tidak
menambah nilai.
2. Data hasil observasi resep non racikan
Pada VSM pelayan resep racikan pasien rawat jalan di
Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya, terlihat
bahwa waktu rata-rata yang dibutuhkan sejak resep
diserahkan sampai dengan obat diberikan kepada
pasien adalah 88 menit, yang terdiri dari kegiatan yang
menambah nilai (VA) sebanyak 13 menit (14,7%) dan
kegiatan yang tidak menambah nilai (NVA) sebanyak
75 menit (85,3%). Dari sini peneliti dapat melihat secara
sekilas bahwa sekitar 85% dari total waktu rata-rata
dihabiskan hanya untuk melakukan kegiatan yang tidak
menambah nilai.
Pada observasi alur proses pelayanan di Instalasi Farmasi
Rawat Jalan, sejak pasien menyerahkan resep sampai
dengan pasien mendapat obat dan pulang, dapat diidentifikasi
waste pada setiap proses yang dapat dikelompokkan
berdasarkan 8 jenis pemborosan (waste) yang terjadi di
pelayanan rawat jalan Poliklinik Spesialis. Pemborosan
(waste) yang terjadi pada alur proses pelayanan di Instalasi
Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya. (ditampilkan dalam
tabel 4).
RS Atma Jaya telah memiliki aplikasi sistem informasi
manajemen rumah sakit dengan nama Hospit sejak tahun
2008 yang dikelola oleh Bagian Informasi Teknologi (IT).
Sistem Hospit ini menggunakan server operating system
Novell Netware 4.11, Novell ini dikembangkan sejak tahun
1996 dan dipakai di Rumah Sakit Atma Jaya pada tahun
2008. Artinya sampai dengan 8 tahun ini software atau
aplikasi yang digunakan di rumah sakit ini tidak pernah
Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 19
dilakukan upgrade versinya dapat dikatakan bahwa
aplikasi atau software ini out of date.
Berdasarkan hasil dari FGD dan RCA ditemukan bahwa
SIM RS yang kuno ini merupakan akar permasalahan dari
berbagai kendala yang timbul di lapangan, seperti: Harga
obat sering salah, Penulisan etiket secara berulang-ulang,
obat sering habis, dll. Oleh sebab itu keputusan untuk
mengganti SIM RS yang lama ke SIM RS yang baru
merupakan keputusan yang sudah tepat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada Current State Value Mapping dikethui bahwa
kegiatan terbesar yang dilakukan pada penyiapan resep
obat racikan merupakan kegiatan non value added (waste),
yaitu 68%, sedangkan kegiatan value added hanya 32%.
Sedangkan pada penyiapan resep obat non racikan,
kegiatan non value added sebesar 85% dan kegiatan value
added sebesar 15%. Hal ini menunjukan bahwa proses
pelayanan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya
termasuk dalam Un-Lean Enterprise dan diperlukan upaya
untuk mengefisiensikan pelayanan.
Hasil observasi ditemukan terjadi penumpukan resep pada
saat antara penerimaan resep ke entri harga obat. Setelah
dilakukan FGD ditarik kesimpulan bahwa prioritas masalah
terletak pada 2 faktor, yaitu: Sistem Informasi (SIM RS) RS
Atma Jaya yang sudah kuno dan perlu segera diganti.
Faktor kedua adalah kurang efektifnya komunikasi antara
staf farmasi dengan staf RS lainnya. Sehingga perlu
dibentuk jembatan komunikasi.
Saran
a. Menggiatkan fungsi Tim Kendali Mutu, Kendali Biaya
dan Pencegahan Kecurangan JKN RS Atma Jaya.
Usulan yang disampaikan kepada Tim ini terkait
dengan kewenangan Tim Kendali Mutu, Kendali Biaya
dan Pencegahan Kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional
RS Atma Jaya yang berfokus pada permasalahan
kefarmasian pasien JKN antara lain, yaitu:
Membuat rekomendasi kebijakan penggunaan obat
JKN.
Membuat rekomendasi standar terapi yang disesuaikan
dengan plafon INA CBG’s dengan berkoordinasi
dengan Komite Medis.
Melakukan intervensi dalam meingkatkan penggunaan
obat yang rasional
Melakukan sosialisasi terkait dengan kebijakan
penggunaan obat JKN (contoh: penggunaan obat
kronis, Fornas, dll.)
b. Menerapkan metode 5S, visual management dan
penggunaan kartu Kanban di farmasi.
c. Disetiap pertemuan dan briefing di Instalasi Farmasi
Rawat Jalan selalu diingatkan agar petugas teliti dalam
melaksanakan tugasnya, selalu melakukan double check
agar petugas tidak perlu mengulang pekerjaannya dan
tidak perlu melakukan input ulang ke SIM RS.
d. Membuat petunjuk arah yang jelas di Loket
Penerimaan Resep dan Penyerahan Obat agar pasien
tidak keliru menyerahkan resep.
e. Petugas Humas membantu di Poliklinik saat jam sibuk
untuk membantu mengarahkan pasien rawat jalan
apabila pasien/keluarga pasien kebingungan.
Untuk usulan jangkah menengah dan jangka panjang perlu
dilakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhan dan
anggaran RS Atma Jaya.
a. Mengatur jadwal praktek dokter spesialis di Poliklinik
Spesialis.
b. Membeli Sistem Informasi Manajemen RS (SIM RS)
yang baru menggantikan Hospit sehingga dapat
mengatasi berbagai kendala yang dihadapi, seperti:
pemantauan stok secara real time, cetak label pasien
untuk tempel di etiket obat, penggunaan E-prescibing
untuk mengurangi kesalahan penulisan resep.
DAFTAR PUSTAKA
Gaspers, V. and A. Fontana (2011). Lean Six Sigma for Manufacturing and Service Industries.
Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Trisnantoro, L. (2009). Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit (Cetakan Keempat). Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Graban and Mark (2012). Lean Hospitals : Improving Quality, Patient Safety, and Employee
Engagement. . New York, Taylor & Prancis Group CRC Press. Widiasari, E. (2009). Analisa Waktu Pelayanan Resep di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS
Tugu Ibu Depok Tahun 2009. Depok, Universitas Indonesia.
Pillay (2011). "Hospital Waiting Time : The Forgotten Premise of Healthcare Sevice Delivery." International Journal of Health Care Quality Assurance 24(7): 506-522.
Purwanto, et al. (2015). "Faktor Penyebab Waktu Tunggu Lama di Pelayanan Instalasi
Farmasi Rawat Jalan RSUD Blambangan." Jurnal Kedokteran Brawijaya 28(2): 159-163.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 20
Grafik 1. Jumlah Kunjungan Poliklinik Rawat Jalan RS Atma Jaya Januari –
Desember 2016
Tabel 1. Survey Kepuasan Pasien Poliklinik Rawat Jalan RS Atma Jaya September Tahun
2016
No. Keterangan Skor Total %
10 9 8 Kepuasan
a Keramahan Petugas 44 56 63 163 92
b Ketrampilan perawat 34 61 64 159 89
c Keramahan dokter 55 60 55 170 96
d Kejelasan informasi tentang penyakit 41 53 71 165 93
e Ketepatan jadwal pelayanan 33 39 76 148 83
f Kejelasan prosedur pelayanan 33 44 75 152 85
g Kecepatan proses pelayanan 28 40 80 148 83
h Keramahan petugas keamanan 26 39 81 146 82
i Kenyamanan ruang tunggu 28 44 66 138 78
j Kemudahan sistem pendaftaran / antrian 27 29 69 125 70
k Kecepatan layanan Farmasi 21 27 72 120 67
l Kejelasan informasi tentang obat 23 34 80 137 77
RATA-RATA KEPUASAN (%) 83
Sumber: Laporan Humas RS Atma Jaya, September 2016
4.108 4.013
4.574
5.229 4.974 4.984
4.329
5.942 6.020 6.259
6.796 6.483
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nov Des
Jumlah Kunjungan Rajal Jan-Des 2016
Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 21
Tabel 2. Prinsip Lean Thinking di Rumah Sakit
Prinsip Lean di Rumah Sakit harus
Value Spesifikasi value mulai dari titik awal sampai titik akhir (pasien)
Value Stream Identifikasi seluruh value-added pada seluruh departemen, menghilangkan langkah yang tidak ada value
Flow Menciptakan alur proses yang lancar dengan mengeliminasi penyebab
masalah seperti masalah kualitas
Pull Menghindari mendorong untuk bekerja. Bekerja sesuai kebutuhan
Perfection Mencapai kesempurnaan melalui perbaikan berkelanjutan.
Sumber: Lean Enterprise Institute, 2007 dalam Graban M. Lean Hospitals: Improving Quality, Patient Safety
and Employee Satisfaction. New York: Taylor & Francis Group, 2012
Tabel 3. Delapan Pemborosan (Waste) dalam Lean
Tipe Waste Penjelasan Singkat Contoh Dalam Farmasi
Kecacatan (Defects)
Pengulangan pekerjaan karena ada proses yang salah.
Pengulangan terjadi karena pada kegiatan tidak
tersedianya informasi yang tepat.
obat yang salah atau dosis yang salah diberikan kepada pasien
Produksi berlebihan (Overproduction)
melakukan lebih dari apa yang dibutuhkan oleh
pelanggan, atau melakukannya lebih lebih cepat dari
yang dibutuhkan Membuat paket-paket racikan puyer
Menunggu
(Waiting)
Seseorang tidak dapat memulai sebuah proses pekerjaan karena menunggu seseorang, barang dan informasi yang
dibutuhkan
Pasien menunggu obat, Apoteker menunggu
konfirmasi obat dari dokter, pasien menunggu
tagihan obat, dll.
Pemborosan SDM (Non Utilized People)
Kemampuan yang dimiliki seseorang tidak diketahui dan dimanfaatkan dengan baik
Karyawan tidak melakukan aktivitas apapun di
dalam jam kerja
Karyawan tidak dapat memberikan
masukan/ide untuk upaya perbaikan
Transportasi (Transportation) Pergerakan “produk” yang tidak diperlukan (pasien-pasien, spesimen, material-material) dalam sebuah
sistem
Penyimpanan barang yang digunakan sehari-
hari tidak ditempat dimana barang tersebut
digunakan
Petugas berjalan dari satu tempat ke tempat
lain untuk mengambil catatan yang diperlukan
Persediaan (Inventory)
Besarnya persediaan mengakibatkan peningkatan beban
biaya penyimpanan dan perawatan, membutuhkan tempat yang lebih besar
Obat kadaluarsa
Obat hilang
Obat susah dicari
Pergerakan
(Motion)
Pergerakan oleh para pekerja di dalam sistem yang tidak diperlukan
Petugas mencari berkas yang tidak dikembalikan ke tempat semula
Tata letak ruangan yang kurang baik
Proses yang berlebihan (Extra-processing)
Melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien atau yang tidak bernilai tambah
Informasi yang diberikan berulang-ulang
Menanyakan ke pasien hal-hal detail secara
berulang
Sumber: Westwood, 2007, Going Lean in the NHS. Graban, M., Lean Hospital
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 1
Jurnal ARSI/Februari 2018 22
Gambar 1. Alur Proses Pelayanan Resep di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya Berdasarkan Hasil
Observasi
Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 23
Gambar 2. Value Stream Mapping Pelayanan Resep Racikan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 24
Gambar 3. Value Stream Mapping Resep Non Racikan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya
Danyel Suryana., Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma Jaya
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 25
Tabel 4. Indentifikasi Waste di Setiap Proses di Instalasi Farmasi Rawat Jalan
Defect Over Production Non Utilized People Waiting Transportation Inventory Motion Extra
Processing
Letak loket penerimaan resep di gang sehingga
tidak mudah terlihat
oleh pasien.
Beban waktu pekerjaan
petugas farmasi yang tidak terbagi secara
merata akibat
penumpukan resep di satu waktu
Petugas menunggu
pasien datang
mengambil obat (obat yang ditinggal pulang
oleh pasien)
Peletakan obat-obatan
yang kurang teratur
menyulitkan untuk pencarian dan bolak-
balik
Ketidaksesuaian data
stok di SIM RS dengan data stok fisik yang ada
Mencari atau Menelepon dokter
untuk konfirmasi resep
atau mengganti obat
Petugas input resep ke SIM RS berulang-
ulang akibat SIM RS
sering error
Input obat ke dalam SIM RS kadang suka
error (harganya
menjadi 0)
Pasien menunggu obat
Alat tulis, lem, dan
kertas etiket sering
tercecer atau hilang
sehingga petugas sering harus mencari-
cari, terutama saat jam
sibuk.
Jumlah persediaan obat
kosong
Pengisian etiket yang
seharusnya dilakukan
setelah penyiapan obat, dilakukan sebelum
proses penyiapan obat.
Jika pasien
membatalkan menebus
seluruh obat di resep, maka Petugas farmasi
harus melakukan
penginputan dan mencetak ulang nota
pembayaran
Dokter tidak tahu pasien sudah mendapat
obat sebelumnya
sehingga double resep untuk pasien kronis.
Pasien antri menunggu
di kasir untuk
pembayaran
Menulis etiket obat
secara manual dan
berulang.
Tulisan dokter tidak
jelas atau kurang lengkap
Petugas farmasi
menelepon dokter
namun tidak diangkat-angkat. (Menunggu
konfirmasi)
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 26
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di
Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015
Factors Associated With Patient Safety Culture in Karya Bhakti Pratiwi Bogor Hospital
2015
Yulia Yasmi1, Hasbullah Thabrany2
1,2Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Insiden Keselamatan Pasien (IKP) di RSKBP berkisar antara 0,31% sampai dengan 3,01% dengan angka
kematian 2,22%.IKP di RSKBP dinilai masih under reporting karena sebagian besar IKP tidak dilaporkan.
Membangun budaya keselamatan pasien merupakan elemen penting untuk meningkatkan keselamatan pasien
dan kualitas pelayanan.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui budaya keselamatan pasien dan faktor-faktor
yang berhubungan dengan budaya keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015. Penelitian dilakukan bulan Maret
s/d April 2015, dengan sampel 115 responden. Desain penelitian explanatory sequential. Analisa data dilakukan
dengan regresi logistic.Penelitian menunjukan budaya keselamatan pasien di RSKBP masih kurang. Faktor-
faktor yang berhubungan dengan budaya keselamatan pasien di RSKBP adalah umpan balik laporan insiden
(p=0,021 α=0,05, OR= 15,516 ) budaya tidak menyalahkan ( p=0,019 α=0,05, OR= 14,396 ) dan budaya belajar
( p=0,006 α=0,05, OR= 0,096 ).Disarankan agar RSKBP dapat memperbaiki budaya keselamatan pasien dengan
upaya yang komprehensif dan terstruktur.
Kata kunci: Keamanan pasien; budaya keselamatan pasien; faktor yang terkait dengan budaya keselamatan
pasien.
ABSTRACT
Adverse even (AE) in RSKBP ranged from 0.31% to 3.01% with a mortality rate of 2.22%.AE in RSKBP still
considered under-reporting because most AE not reported. Building a culture of patient safety is an important
element to improve patient safety and quality. This research aims to know the culture of patient safety and the
factors related to the patient safety culture in RSKBP 2015. The study was conducted in March to April 2015,
with a sample of 115 respondents it is Sequential explanatory research design. The data analysis with regression
logistic.Patient safety culture in RSKBP still lacking. Factors related to the patient safety culture in RSKBP
feedback is incident report (p = 0.021 α = 0.05, OR = 15.516) culture is not to blame (p = 0.019 α = 0.05, OR
= 14.396) and a learning culture (p = 0.006 α = 0.05, OR = 0.096) .RSKBP sugest to improve patient safety
culture with a comprehensive and structured efforts.
Keywords: Patient safety; patient safety culture;factors related to the patient safety culture.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 27
PENDAHULUAN
Keberagaman dan kerutinan pelayanan di rumah
sakit apabila tidak dikelola dengan baik dapat
mengakibatkan terjadinya kejadian tidak diharapkan
(KTD) atau Adverse Event, yang mengancam
keselamatan pasien (Depkes, 2006).
Keselamatan pasien menjadi perhatian dunia sejak
Institute of Medicine (IOM) melaporkan hasil
penelitianya di Amerika Serikat tahun 2000 “ To Err
Is Human bahwa di Utah dan Colorado ditemukan
KTD sebesar 2,9% dimana 6,6% diantaranya
meninggal. Sedangkan di New York, sebesar 3,7%
dengan angka kematian 13,6%. Angka kematian
akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh
Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun, berkisar
44.000 – 98.000 pasien”. (Depkes RI, 2008). Angka
ini sebanding dengan 1 pesawat jumbo jet
berpenumpang 268 orang jatuh setiap hari dalam satu
tahun (Lumenta, 2011). Publikasi WHO pada tahun
2004 dari penelitian Worl Alliance for Patient Safety
Forward Program, di berbagai Negara (Amerika,
Inggris, Denmark dan Australia) menyatakan
“Adverse event dalam pelayanan pasien rawat inap di
rumah sakit berkisar antara 3-16% (Depkes RI, 2006).
Di Indonesia data tentang KTD apalagi kejadian
nyaris cidera (KNC) masih langka (Depkes RI, 2008).
Dari beberapa penelitian diperoleh data bahwa insiden
keselamatan pasien berdasarkan provinsi pada tahun
2007 adalah sebagai berikut: provinsi DKI Jakarta
menempati urutan tertinggi yaitu 37,9%, Jawa
Tengah 15,9%, D.I.Yogyakarta 13,8%, Jawa Timur
11,7%, Sumatra Selatan 6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali
1,4%, Aceh 1,07% dan Sulawesi Selatan 0,7%
(Budiharjo, 2008 dalam Puspitasari, 2015). Angka di
atas belum mewakili KTD yang sebenarnya di
Indonesia karena pelaporan insiden masih rendah
(Depkes RI, 2008). Menurut Smits (2008) dalam
Rahmawati (2011) 50 % dari KTD merupakan
kejadian yang dapat dicegah. National Patient Safety
Agency (NPSA), menyatakan bila terjadi satu KTD
berat berarti telah terjadi 25 KTD ringan dan 300
Kejadian Nyaris Cedera (KNC) (Lestari, 2013).
Di rumah sakit Karya Bhakti Pratiwi keselamatan
pasien menjadi prioritas, akan tetapi KTD selalu
terjadi setiap bulan hampir di semua unit dengan
akibat yang bervariasi. Mengingat pentingnya
program keselamatan pasien agar RSKBP tetap bisa
mempertahankan eksistensinya dan untuk meningkatkan
mutu pelayanan serta memberikan jaminan terhadap
pengguna jasanya maka diperlukan upaya untuk
dapat menurunkan dan mencegah KTD ini dimasa
yang akan datang sehingga keselamatan pasien di
RSKBP semakin baik.
Weaver at al (2013) mengatakan bahwa“Developing
a culture of safety is a core element of many efforts to
improve patient safety and care quality” “Safety
culture refers to the way patient safety is thought
about, structured and implemented in an organization
(Kristensen, S).
Sehubungan dengan kondisi di atas, yang menjadi
permasalahan adalah belum diketahuinya budaya
keselamatan pasien di RSKBP dan faktor yang
berhubungan dengan budaya keselamatan pasien
tersebut, karena belum pernah dilakukan penelitian
mengenai hal ini. Oleh karena itu dirasa perlu
melakukan penelitian mengenai budaya keselamatan
pasien dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
budaya keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015
sehingga dapat dibuat perencanaan kegiatan untuk
peningkatan keselamatan pasien dimasa yang akan
dating
TINJAUAN PUSTAKA
Keselamatan pasien rumah sakit adalah: suatu sistem
dimana rumah sakit membuat asuhan yang lebih
aman melalui upaya-upaya, mengidentifikasi resiko,
pengelolaan resiko, belajar dari resiko yang terjadi
agar tidak terulang di masa yang akan datang. Dengan
lebih sederhana dapat dikatakan keselamatan pasien
rumah sakit adalah mencegah kejadian yang tidak
diinginkan, apabila tidak dapat dicegah diupayakan
agar tidak terulang, melalui upaya belajar dari
kesalahan.Keselamatan merupakan prinsip dasar
dalam pelayanan pasien dan komponen kritis dari
manajemen mutu. (WHO, 2004 dalam Lumenta,
2011).
WHO pada tanggal 2 Mei 2007 menerbitkan
panduan “ Nine life-saving patient safety solution”
Sembilan solusi keselamatan pasien rumah sakit
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 28
(KKP-RS, 2008) yaitu:perhatikan nama obat, rupa
dan ucapan mirip (Look Alike, Sound- Alike
Medication Name), pastikan identifikasi pasien,
komunikasi secara benar saat serah terima atau
pengoperan pasien,pastikan tindakan yang benar pada
sisi tubuh yang benar, kendalikan cairan elektrolit
pekat, pastikan akurasi pemberian obat pada
pengalihan pelayanan, hindari salah kateter dan salah
sambung selang gunakan alat injeksi sekali pakai,
tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan
infeksi nosokomial.
KKP-RS dalam Panduan Nasional keselamatan
Pasien Rumah sakit membuat sitematika langkah
penerapan Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KPRS) yang terdiri dari 3 fase yaitu: fase persiapan,
fase pelaksanaan dan fase evaluasi.
1. Fase Persiapan :
Menetapkan kebijakan, rencana jangka pendek
dan program tahunan keselamatan pasien rumah
sakit.
2. Fase Pelaksanaan
Deklarasi gerakan Keselamatan pasien, program
7 langkah keselamatan pasien, penerapan standar
akreditasi keselamatan pasien, buat unit sebagai
model (pilot project), buat program-program
kusus terkait keselamatan pasien seperti, program
cuci tangan, dokter penanggung jawab pasien,
pelaporan dan sebagainya, bentuk forum diskusi
periodik untuk pengembangan KPRS.
3. Fase Evaluasi
Evaluasi menyeluruh setahun sekali untuk
memperbaiki program KPRS.
Mengacu pada hal tersebut, maka RS harus
merancang proses baru atau memperbaiki proses
yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja
melalui pengumpulan data, menganalisis secara
intensif KTD dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi,
misi dan tujuan RS, kebutuhan pasien, petugas
pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik
bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang
berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh
Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit”, yaitu:
(Depkes RI, 2008).
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.
Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang
terbuka dan adil.
2. Pimpin dan dukung staf anda. Bangunlah
komitmen dan fokus kuat dan jelas tentang
keselamatan pasien di rumah sakit anda.
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Kembangkan
sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan
identifikasi dan assessmen hal yang potensial.
4. Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf anda
agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian
atau insiden serta RS mengatur pelaporan kepada
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKPRS)
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien.
Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka
dengan pasien
6. Belajar dan berbagi sebuah pengalaman tentang
keselamatan pasien. Dorong staf anda untuk
melakukan analisis akar masalah untuk belajar
bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem
keselamatan pasien. Gunakan informasi yang ada
tentang kejadian atau masalah untuk melakukan
perubahan pada sistem pelayanan.
Terkait dengan upaya-upaya keselamatan pasien
untuk menekan angka kejadian tidak diinginkan di
rumah sakit, diyakini bahwa upaya menciptakan atau
membangun budaya keselamatan (safety culture)
merupakan langkah pertama dalam langkah-langkah
mencapai keselamatan pasien, sebagaimana tercantum
pula dalam langkah pertama dari konsep ”Tujuh
Langkah Menuju keselamatan pasien RS” di
Indonesia, yaitu ”Bangun Kesadaran akan Nilai
keselamatan pasien, ciptakan kepemimpinan dan
budaya yang terbuka dan adil ”(Depkes, 2008).
Inti dari budaya keselamatan pasien adalah keyakinan
karyawan tentang pentingnya keselamatan, yang
ditunjukkan melalui sikap, norma-norma yang
berlaku dan perilaku termasuk nilai-nilai yang
menjadi asumsi dasar tentang bagaimana bertindak,
“The essence of safety culture resides in employee's
beliefs about the importance of safety, including their
values, norms, attitudes and basic assumptions, It is
demonstrated through attitudes, accepted norms and
behaviors. It is about how things work and "the way
things are done around here” (Kristensen, S).
Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya
Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 29
Keselamatan pasien adalah sebuah transformasi
budaya, dimana budaya yang diharapkan adalah
budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan,
budaya lapor dan budaya belajar. Dalam proses ini
diperlukan upaya transformasional yang menyangkut
intervensi multi tingkat dan multi dimensional yang
terfokus pada misi dan strategi organisasi, leadership
style, serta budaya organisasi. Keberhasilan transformasi
70%-90 % ditentukan oleh peran leadership dan
sisanya (0 % - 30 %) oleh peran managership (Adib,
2012).
Menurut Agency of Healthcare Research and Quality
(2004) dalam menilai budaya keselamatan pasien di
rumah sakit terdapat beberapa aspek dimensi yang
perlu diperhatikan yaitu harapan dan tindakan
supervisor atau manajer dalam mempromosikan
keselamatan pasien, pembelajaran, peningkatan
bekerlanjutan, kerjasama tim dalam unit, keterbukaan
komunikasi, umpan balik terhadap error, respon tidak
menyalahkan, staf yang adekuat, persepsi secara
keseluruhan, dukungan manajamenen rumah sakit,
kerjasama tim antar unit, penyerahan dan pemindahan
pasien dan frekuensi pelaporan kejadian (AHRQ,
2004).
Penilaian terhadap budaya keselamatan merupakan
permulaan dari proses pengembangan program
keselamatan pasien itu sendiri yang hasilnya dapat
digunakan untuk mengidentifikasi area/unit yang
akan dikembangkan, untuk evaluasi program, untuk
membuat perbandingan secara internal maupun
eksternal dan sebagai dasar pembuatan kebijakan
(Nieva, 2003).Survey budaya atau iklim keselamatan
sudah menjadi pendekatan yang umum untuk
memonitoring keselamatan pasien, dan berbagai jenis
instrumen pengukurannya terus mengalami pengembangan
(Matsubara et al, 2008) dalam Rahmawati (2011).
Pengukuran budaya keselamatan pasien dapat
dilakukan berdasarkan dimensi yang mendasari
ataupun berdasarkan tingkat maturitas dari organisasi
dalam menerapkan budaya keselamatan pasien.
Dikarenakan belum adanya konsensus mengenai
standard pengukuran budaya keselamatan pasien,
menyebabkan bervariasinya definisi, konsep maupun
dimensi budaya keselamatan pasien. Beberapa
organisasi mengembangkan standard pengukuran
dengan masing-masing instrumennya, antara lain
AHRQ, Stanford dan MaPSaF (Manchester Patient
Safety Assesment Framework). Namun, sejauh ini
kuesioner HSOPSC dari AHRQ yang paling banyak
direkomendasikan untuk mengukur budaya keselamatan
pasien karena telah terjamin validitas dan reliabilitasnya
secara internasional dan mempunyai sifat psikometris
yang terbaik dan dirancang untuk seluruh pekerja di
RS. Hospital Survey on Patient Safety Culture
(HSOPSC), terdiri dari 10 dimensi budaya
keselamatan pasien dan 4 dimensi outcome. 10
dimensi budaya keselamatan AHRQ yaitu: Kerjasama
tim dalam satu unit, Pembelajaran organisasi dan
pengembangan berkelanjutan, Umpan balik dan
komunikasi tentang kesalahan, Dukungan manajemen,
Sikap supervisor dalam mendukung keselamatan
pasien, Kerjasama antar tim, Ketenagaan, Serah
terima, Komunikasi, Budaya tidak menyalahkan
(Respon non punitive). 4 Dimensi Out Come dari
AHRQ yaitu :Perceptions of Safety (Persepsi
terhadap Keselamatan Pasien RS), Frequency of
Event Reporting (Frekuensi Pelaporan), Patient Safety
Grade of the Hospital Unit (Keselamatan Pasien
Tingkat Unit Di RS), Number of Events Reported
(Jumlah Insiden yang Dilaporkan).
METODOLOGI PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah urutan pembuktian (The
Explanatory Sequential Design) yang dimulai
dengan penelitian kuantitatif diikuti dengan penelitian
kualitatif untuk kemudian dilakukan analisa secara
keseluruhan. Penelitian ini merupakan penelitian
eksplorasi untuk mengukur budaya keselamatan
pasien,melihat struktur organisasi serta pelaksanaan
dari program keselamatan pasien di RSKBP dan
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
budaya keselamatan pasien di RSKBP tahun
2015.Dari hasil penelitian ini kemudian akan
dirumuskan langkah-langkah untuk memperbaiki
keselamatan pasien di RSKBP.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan bersamaan
dengan penelitian. Sampel uji validitas dan reliabilitas
adalah karyawan yang tidak termasuk kriteria inklusi
sebagai responden penelitian. Pengujian validitas
kuesioner dilakukan dengan sampel 30 responden.
Dari semua item kuesioner terdapat 1 item pada
dimensi ketenagaan yang tidak valid dan tidak
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 30
diikutkan dalam pengolahan data. Uji reliabilitas
dilakukan setelah uji validitas. Uji reliabilitas
dilakukan terhadap item yang valid dan hasilnya
semua reliabel.
Responden terdiri dari 64,35% perempuan dan
35,65% laki-laki dengan kelompok umur terbanyak
adalah 31-40 tahun (39,13%), sebagian besar
responden (58,3%) telah menjalani profesinya selama
1-5 tahun,79,1% responden bekerja antara 40 sampai
dengan 59 jam dalam satu minggu,71,3% kontak
langsung dengan pasien dan 28,7% tidak kontak
langsung dengan pasien.
Responden menganggap bahwa keselamatan pasien
itu penting, 81,57% responden tidak pernah
mengorbankan keselamatan pasien untuk mengerjakan
pekerjaan yang lebih banyak, akan tetapi karena
prosedur kerja yang belum baik, jumlah tenaga dan
sarana kurang, beberapa responden tidak yakin kalau
di unitnya tidak ada masalah berhubungan dengan
keselamatan pasien (ditampilkan dalam tabel 1).
Hasil penelitian diolah dan dianalisa secara multivariat
dengan menggunakan regresi logistik ganda.
Sebelum dilakukan uji multivariat masing-masing
variabel independen diuji secara bivariat dengan
variabel dependen (Budaya Keselamatan Pasien).
Bila hasil uji bivariat variabel independen tersebut p
value nya < 0,25 maka variabel tersebut langsung
masuk ketahap uji multivariate (Hastono, S P,2007)
(ditampilkan dalam tabel 2).
Variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap
Budaya keselamatan pasien adalah Umpan Balik
Laporan dengan Odds Ratio (OR = 15,516), disusul
oleh Budaya tidak Menyalahkan (OR = 14,396) dan
Budaya Belajar (OR = 0,096).
Frekuensi Pelaporan Insiden
Faktor – faktor yang bermakna berhubungan dengan
frekuensi laporan adalah budaya tidak menyalahkan
dengan OR = 2,959 (ditampilkan dalam tabel 3).
Pendapat Responden mengenai Keselamatan
Pasien Tingkat Unit
Faktor yang berhubungan secara bermakna dengan
keselamatan pasien tingkat unit adalah komunikasi
(OR= 2,832), Umpan Balik laporan insiden (OR =
2,551) dan Budaya belajar (OR = 0,200) (ditampilkan
dalam tabel 4).
Tingkat Keselamatan Pasien
Tingkat keselamatan pasien terbukti berhubungan
secara bermakna dengan budaya belajar dan budaya
tidak menyalahkan (ditampilkan dalam tabel 5).
Jumlah Insiden yang dilaporkan
Jumlah insiden yang telah dilaporkan tidak terbukti
behubungan dengan faktor-faktor yang ada.
Struktur Organisasi, Pengelolaan Keselamatan
Pasien dan Pelaksanaan Program Keselamatan
Pasien di RSKBP tahun 2015
Struktur Organisasi, pengelolaan dan pelaksanaan
program keselamatan pasien di RSKBP diteliti secara
kualitatif melalui wawancara mendalam kepada
direktur sebagai perwakitan pembuat kebijakan,
Manager on duty (MOD) sebagai pengawas kebijakan
dan ketua tim di tiap-tiap unit sebagai perwakilan
pelaksana kebijakan, disertai dengan telaah dokumen
dan pengamatan di lapangan, untuk validasi data yang
didapatkan dari wawancara (Triangulasi).
Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa di
RSKBP belum ada tim kusus yang dibentuk yang
bertanggung jawab terhadap pengelolaan keselamatan
pasien. Kebijakan terkait keselamatan pasien yang di
tetapkan oleh direktur juga belum ada, demikian juga
dengan program tahunan dan rencana jangka pendek
terkait keselamatan pasien belum ada.Saat ini di
RSKBP kalau ada insiden keselamatan pasien sesuai
dengan kebijakan direktur dilaporkan kepada atasan
langsung atau kepada MOD.Alur pelaporan insiden
belum ada akan tetapi petugas tahu kalau ada insiden
melapor ke atasan atau ke MOD.Direktur melakukan
pertemuan rutin dengan MOD membahas permasalahan
yang terjadi seminggu sekali setiap hari Selasa. Jadwal
pertemuan tertulis yang dibuat tidak ada, akan tetapi
notulen dan hasil pertemuan tercatat dalam buku
catatan MOD. Dalam pertemuan biasanya dibahas
mengenai permasalahan terkait keselamatan pasien
baik yang terkait dengan kebijakan, sarana dan
prasarana serta operasional dilapangan. Ronde
Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya
Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 31
keselamatan pasien belum pernah dilakukan, serta
belum ada metoda untuk evaluasi, analisa dan tindak
lanjut terhadap KTD. Pencatatan dan pelaporan
dilakukan oleh MOD. Pelaksana memendang
pelaporan yang ada saat ini belum mencari akar
permasalahan, tetapi cenderung mencari siapa yang
salah dan yang terbukti bersalah akan diberi surat
peringatan. Pelaksana belum semuanya berani
melapor, karena takut disalahkan.
Dari telaah dokumen peneliti juga melihat bahwa
dokumen standar operasional prosedur dimaksud
ada, dan petugas dilapangan sudah mengetahuinya
dan sudah dilaksanakan, tetapi belum pernah
dilakukan supervisi dan evaluasi pelaksanaanya.
Sarana prasarana pendukung terkait prosedur tersebut
juga ada, seperti gelang pasien untuk identifikasi,
wastafel dan hand rub di setiap tempat, dan setiap
ruang perawatan, poster terkait 7 langkah cuci tangan
juga ada di setiap wastafel, akan tetapi untuk kamar
mandi belum semua dilengkapi pegangan untuk
mencegah pasien jatuh, demikian juga dengan tempat
tidur khusunya tempat tidur ruangan perawatan
Jasmin Kelas III pengamanya tidak memadai (Anak
bisa lolos karena rongga pengamanya sangat
lebar).Evaluasi keselamatan pasien belum pernah
dilakukan, kalau ada insiden tidak ada sosialisasi
kepada unit terkait maupun unit lainya.
Membangun budaya keselamatan pasien merupakan
elemen penting untuk meningkatkan keselamatan
pasien dan kualitas pelayanan. Penilaian budaya
keselamatan pasien di rumah sakit dapat dilakukan
dengan menilai dimensi–dimensi yang terkait dengan
budaya keselamatan pasien. Salah satu survey untuk
menilai budaya keselamatan pasien adalah dari
AHRQ.Ada 12 dimensi yang dinilai dalam survey
AHRQ, 4 diantaranya merupakan dimensi outcome.
(AHRQ, 2004).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa budaya
keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015 masih
kurang.Hasil penilaian terhadap outcome budaya
keselamatan pasien yang menggambarkan budaya
keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015 termasuk
katagori kurang (tabel 1).Variabel yang dinilai paling
jelek diantara ke empat variabel outcome ini adalah
jumlah insiden yang dilaporkan dalam 1 tahun terakir,
hanya 2,61% responden yang pelaporan insidennya
termasuk katagori baik.
Outcome kedua untuk menilai budaya keselamatan
pasien adalah frekuensi pelaporan insiden. IKP yang
paling jarang dilaporkan adalah kejadian potensial
cidera (KPC). Hanya 42,61% dari responden yang
selalu atau sering melaporkan KPC 48,70% yang
selalu atau sering melaporkan KNC dan 56,52%
responden yang selalu atau sering melaporkan KTD.
Hasil ini lebih baik dari yang didapatkan Elrifda di
Jambi dengan rata-rata responden yang selalu dan
sering melaporkan IKP hanya rata-rata 35%, dan
hampir sama dengan yang didapatkan Yogyaswari di
RS harapan kita dimana IKP dilaporkan selalu atau
sering oleh 43% responden.
Frekuensi pelaporan kejadian yang kurang merupakan
hambatan staf untuk melakukan pembelajaran dari
insiden yang terjadi. Laporan merupakan awal proses
pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama
terulang kembali. Agar segala kejadian atau insiden
dapat terdokumentasi dengan baik, sehingga dapat
dilakukan analisa serta tindakan korektif atau preventif
selanjutnya (KKPRS, 2008). Hal ini terkait dengan
budaya tidak menyalahkan merupakan dimensi yang
dinilai masih sangat rendah. Dari semua dimensi
budaya keselamatan pasien yang dinilai, budaya tidak
menyalahkan merupakan dimensi kedua terjelek
setelah ketenagaan. Rendahnya frekuensi pelaporan
kejadian merupakan hambatan bagi Manajemen
RSKBP untuk belajar dari kesalahan. Hal ini
diperburuk oleh persepsi sebagian staf bahwa
manajemen akan memberikan surat peringatan (SP)
pada karyawan yang telah melakukan kesalahan,
karyawan takut dihukum apabila salah, serta takut
kesalahan yang mereka lakukan akan mempengaruhi
penilaian kinerja. Kondisi ini diperburuk dengan
belum disusunnya alur yang jelas untuk pelaporan
insiden keselamatan pasien di RSKBP. Selama ini
kalau ada IKP dilaporkan langsung kepada atasan
atau MOD yang bertugas saat kejadian terjadi.
Dari keempat variabel di atas (jumlah insiden yang
dilaporkan, frekuensi pelaporan insiden, keselamatan
pasien tingkat RS, dan keselamatan pasien tingkat
unit) disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien
di RSKBP termasuk katagori kurang dan masih perlu
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 32
ditingkatkan.Elrifda di Jambi memperoleh hasil yang
hampir sama.
Uji statistik yang dilakukan menunjukan bahwa
budaya keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015
secara bermakna berhubungan dengan 3 dimensi.
Dari ketiga dimensi tersebut yang mempunyai
hubungan paling kuat dengan budaya keselamatan
pasien di RSKBP tahun 2015 adalah umpan balik
laporan insiden (OR =15,516),disusul oleh Budaya
tidak Menyalahkan (OR=14,396) dan Budaya
Belajar (OR=0,096).
Nafas dari keselamatan pasien adalah budaya belajar,
belajar dari KTD yang terjadi dimasa lalu untuk
selanjutnya disusun langkah-langkah agar kejadian
serupa tidak terulang kembali, baik di unit yang sama
maupun di unit yang lain dalam satu rumah sakit atau
di rumah sakit yang lain. Proses pembelajaran ini
bukan merupakan hal yang sederhana, dimulai dari
proses pelaporan kejadian, dilanjutkan dengan analisa
kejadian, sampai ditemukan akar masalahnya sebagai
dasar dasar untuk mendisain ulang suatu sistim
sehingga tercapai suatu asuhan pasien yang lebih
aman di rumah sakit. Kalau kita perhatikan maka
proses di atas merupakan suatu siklus, yang awal
penggerakanya diawali dengan sistim pelaporan,
sistim pelaporan merupakan detak jantung dari
keselamatan pasien (KKPRS, 2008).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa umpan balik
laporan insiden di RSKBP dinilai positif oleh 51,15%
responden. Hasil ini berbeda dengan Yogyaswari di
RS harapan kita dimana respon positif dari responden
adalah 73%, tetapi hampir sama dengan Elrifda di
Jambi 49,2%.Sedangkan budaya belajar di RSKBP
dinilai baik oleh 74,78% responden, berbeda dengan
Elrifda di Jambi 50,8% dan Yogyaswari di RS
harapan Kita 81%. Disini kita lihat bahwa budaya
belajar di RSKBP sudah lebih baik dari RS di jambi
akan tetapi masih kurang bila dibandingkan dengan
RS harapan kita. Beberapa upaya telah dilakukan
manajemen untuk meningkatkan pembelajaran di
RSKBP, akan tetapi masih perlu ditingkatkan lagi di
masa yang akan datang.
Yang terjadi di RSKBP adalah sebagai berikut:
Laporan insiden sangat rendah, disebabkan oleh
budaya tidak menyalahkan masih kurang, budaya
tidak menyalahkan yang kurang akibat belum
dipahaminya budaya keselamatan pasien karena
budaya belajarnya juga masih kurang, sehingga
umpan balik dari laporan insiden juga rendah yang
secara akumulatif akan menyebabkan budaya
keselamatan pasien kurang dan keselamatan pasien di
RSKBP rendah. Disamping 3 dimensi budaya
keselamatan pasien di atas yang berhubungan secara
bermakna dengan budaya keselamatan pasien di
RSKBP dimensi-dimensi budaya keselamatan lainya
tidak bisa diabaikan, karena sewaktu dilakukan uji
statistik mengeluarkan dimensi yang p value nya lebih
dari 0,05 secara bertahap nilai OR dari variabel lain
berubah lebih dari 10% ini artinya antara variabel
tersebut terdapat interaksi (Hastono, 2007).
Dimensi ketenagaan merupakan dimensi yang paling
sedikit (2,61%) responden yang menilai baik, artinya
97,39% responden berpendapat bahwa tenaga di
RSKBP saat ini kurang, hal ini dibenarkan oleh
kepala seksi kepegawaian, memang saat ini jumlah
tenaga yang tersedia kurang jika dibandingkan
dengan beban kerja. Saat ini sedang diupayakan untuk
pemenuhan tenaga secara bertahap. Hasil yang sama
pada penelitian Elfrida yaitu 10,5% dan Yogyaswari
42% responden yang menilai ketenagaan di unitnya
cukup.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari empat dimensi outcome AHRQ yang dinilai
untuk menentukan budaya keselamatan pasien di
RSKBP tahun 2015 yaitu: frekuensi pelaporan,
jumlah insiden yang dilaporkan, keselamatan pasien
tingkat unit dan keselamatan pasien tingkat rumah
sakit disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien
di RSKBP masih kurang.Frekuensi pelaporan dan
jumlah insiden yang dilaporkan masih sangat kurang,
Kurangnya frekuensi pelaporan ini berhubungan
dengan budaya tidak menyalahkan (p=0,007 α=0,05,
OR=2,959). Di RSKBP budaya tidak menyalahkan
menempati urutan ke dua yang dinilai paling paling
jelek setelah ketenagaan. Saat ini dari 115 responden
hanya 41,74% yang menilai baik budaya tidak
menyalahkan. Karyawan takut melapor karena takut
diberi surat peringatan, takut laporanya akan
menyebabkan penilaian kinerjanya menjadi jelek dan
Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya
Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 33
takut dihukum. Keselamatan pasien tingkat unit dan
keselamatan pasien tingkat rumah sakit menurut
responden juga masih kurang. Saat ini hanya 9,57%
dari responden yang menilai keselamatan pasien
tingkat rumah sakit baik dan 40% yang menilai
bahwa keselamatan pasien di unit kerjanya sudah
baik. Faktor-faktor yang berhubungan secara
bermakna dengan keselamatan pasien tingkat unit
adalah: komunikasi (p= 0,014, α=0,05, OR=2,832),
budaya belajar ( p= 0,001, α=0,05, OR=0,200 ) dan
umpan balik laporan insiden (p= 0,035, α=0,05,
OR=2,511). Responden menilai keselamatan pasien
di rumah sakit maupun tingkat unit masih kurang
berhubungan dengan jumlah tenaga yang kurang dan
fasilitas pendukung pekerjaan dan keselamatan pasien
belum memadai.Secara keseluruhan faktor-faktor
yang berhubungan signifikan dengan budaya
keselamatan pasien di RSKBP tahun 2015 adalah
umpan balik laporan insiden (p=0,021 α=0,05, OR=
15,516) budaya tidak menyalahkan ( p=0,019
α=0,05, OR= 14,396) dan budaya belajar (p=0,006
α=0,05, OR= 0,096).
Dari 10 dimensi budaya keselamatan pasien yang
dinilai di RSKBP, tiga dimensi termasuk katagori
baik.Sedangkan 7 dimensi lainya dinilai masih
termasuk katagori kurang. Struktur organisasi dan
pelaksanaan program keselamatan pasien di RSKBP
juga belum ada. Belum ada tim kusus serta belum ada
program dan implementasi keselamatan pasien di
RSKBP untuk tahun 2015 ini.Belum ada alur, format
dan sistem pelaporan insiden yang disepakati,
disosialisasikan serta di terapkan di RSKBP. Standar
Operasional Prosedur terkait Keselamatan pasien:
Identifikasi, Komunikasi, Kewaspadaan Obat
LASA, Pencegahan pasien Jatuh, Pencegahan Infeksi
Nosokomial, dan Prosedur pencegahan salah sisi
operasi sudah ada, sudah dilaksanakan tetapi tidak ada
supervisi dan belum pernah dievaluasi. Beberapa
upaya telah dilakukan manajemen untuk meningkatkan
keselamatan pasien di RSKBP. Evaluasi program
keselamatan pasien juga belum berjalan. Demikian
juga dengan fasilitas yang mendukung keselamatan
pasien di RSKBP masih kurang, beberapa peralatan
tidak dalam kondisi siap untuk digunakan, serta
belum adanya (SOP) penyiapan alat sebelum dan
sesudah digunakan, hal ini akan menjadi suatu potensi
timbulnya kejadian tidak diharapkan apabila tidak
menjadi perhatian dari manajemen. Upaya yang
sudah dilakukan manajemen baru berupa pelatihan-
pelatihan tentang keselamatan pasien bagi seluruh
karyawan, baik yang baru bergabung maupun
karyawan lama.
Saran
Disarankan agar RSKBP dapat memperbaiki budaya
keselamatan pasien dengan upaya yang komprehensif
dan terstruktur berpedoman kepada permenkes 1691
tahun 2011 dan pedoman keselamatan pasien rumah
sakit dari KKPRS-DEPKES 2008. Usulan rencana
implementasi untuk pengembangan budaya keselamatan
pasien di RSKBP terkait dengan hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut:
A. Membentuk tim keselamatan pasien rumah sakit
(TKPRS), Dengan Uraian tugas sebagai berikut:
a. Membuat usulan program kerja untuk
meningkatkan keselamatan pasien.
b. Mengusulkan kebijakan dan prosedur
terkait program keselamatan pasien kepada
direktur.
c. Menjalankan peran untuk melakukan
motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan
dan evaluasi tentang penerapan program
keselamatan pasien.
d. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden,
analisa insiden serta mengembangkan solusi
untuk pembelajaran.
e. Memberikan pertimbangan kepada direktur
rumah sakit dalam rangka pengambilan
kebijakan yang berhubungan dengan
keelamatan pasien.
f. Membuat laporan kegiatan dan evaluasi
program kepada direktur rumah sakit.
B. Meningkatkan Frekuensi pelaporan dan jumlah
insiden yang dilaporkan dengan target ≥ 75%
karyawan melaporkan setiap IKP yang
ditemukannya dengan cara:
Manajemen dibantu oleh TKPRS merumuskan:
a. Sistim pelaporan insiden yang terorganisir.
b. Alur pelaporan insiden.
c. Format laporan insiden.
Pihak manajemen yang dibantu oleh TKPRS
mensosialisasikan:
a. Tujuan dan manfaat pelaporan insiden.
b. Apa yang harus dilaporkan.
c. Siapa yang harus melapor.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 34
Berpedoman kepada pedoman pelaporan
insiden dari KKPRS-Depkes 2008.
C. Meningkatkan Umpan Balik laporan Insiden
dengan target minimal 75 % dari laporan
insiden diberikan umpan balik dalam bentuk
sistem/alur/ atau SOP baru kepada unit terkait
dan unit lain di rumah sakit supaya kejadian
yang sama tidak terulang kembali. Hal ini
dimungkinkan apabila:
a. TKPRS melakukan Root Caouse Analysis
(RCA) terhadap insiden yang dilaporkan
serta Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA) untuk mencari potensi adanya
IKP.
b. TKPRS Memanfaatkan wadah komunikasi
yang sudah berjalan seperti pertemuan unit,
pertemuan komite medik, pertemuan
komite keperawatan untuk menyampaikan
umpan balik laporan insiden dan hasil
FMEA secara berkala (sebulan sekali).
D. Menghilangkan persepsi karyawan bahwa
apabila melakukan kesalahan akan dihukum.
Upaya yang bisa dilakukan adalah melalui
pembelajaran bagi seluruh unsur terkait mulai
dari manajemen sampai kepada pelaksana
sehingga pemahaman terhadap kesalahan bisa
bergeser dari mencari siapa yang salah menjadi
apa yang salah. Dan TKPRS dengan dukungan
manajemen membuat program penghargaan
bagi yang melaporkan IKP.
E. Meningkatkan pengetahuan semua pihak di
rumah sakit tentang keselamatan pasien melalui
upaya pembelajaran berkelanjutan.
a. Bagian kepegawaian memasukan keselamatan
pasien sebagai bagian program pendidikan
dan pengembangan karyawan baik melalui
pelatihan eksternal maupun internal.
b. Pelatiah RCA bagi Tim KPRS dan
pelatihan investigasi sederhana bagi katim
dan kepala instalasi.
c. Pelatihan Risk Grading bagi Tim KPRS dan
katim serta kepala instalasi.
d. Pelatihan komunikasi yang baik (metode
SBAR) untuk seluruh karyawan.
F. Supervisi berjenjang pelaksanaan SOP, komunikasi
efektif dan evaluasi pelaksanaanya.
G. Membuat program percontohan pada salah satu
unit sebagai pedoman bagi unit lain.
H. Menyusun prioritas program untuk mencapai 6
sasaran keselamatan pasien yang berupa contoh:
Program cuci tangan, Program pelaporan insiden
dll, serta diadakan lomba sebagai motivasi bagi
unit-unit terkait.
I. Meningkatkan dukungan dari manajemen
terkait keselamatan pasien dengan cara :
a. Manajemen menghitung ulang jumlah
tenaga dan beban kerja , sesuai dengan
ketentuan dan peraturan yang berlaku
b. Manajemen melengkapi secara bertahap
fasilitas untuk keselamatan pasien.
c. Manajemen melengkapi SOP terkait
keselamatan pasien.
J. Setelah usulan strategi-strategi peningkatan
budaya keselamatan pasien tersebut dilakukan
manajemen melakukan evaluasi pelaksanaanya
dan evaluasi ulang budaya keselamatan pasien
di RSKBP minimal setiap tiga tahun sekali.
Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya
Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 35
DAFTAR PUSTAKA
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). (2011).Organizational
Culture Distinguishes Top-Performing Hospitals in Patient Outcomes from Heart
Attack:ResearchActivities,June2011,No.370.Rockville,MD.http://www.ahrq.g
ov/news/newsletters/researchctivities/jun11. Agency for Healthcare Research and Quality, Rockville MD. (2012).Surveys on
Patient
SafetyCulture.www.ahrq.gov/professionals/qualitypatientsafety/patientsafetyculture/ index.html.
Agrawal, A. (2014).Patient Safety, A case-based comprehensive guide p-ix. New
York: Springer. Akbar, R.Uji Validitas dan realibilitas instrument penelitian diunduh dari
https://www.google.co.id/?gws_rd=ssl#q=uji+reliabilitas+cronbach+alphah
Cahyono. (2008).Membangun Budaya Keselamatan Pasien Dalam Praktek Kedokteran,
diunduhdarihttp://www.kanisiusmedia.com/product/detail/027686/MEMBA
NGUN-BUDAYA-KESELAMATAN-PASIEN-DALAM-PRAKTEK-KEDOKTERAN Maret 2015
Cooper, D. (2000) Towardsa Modelof Safety Culture diunduh
http://158.132.155.107/posh97/private/culture/model_of_safety_culture.html. Cooper, D. (2001).Improving safety Culture, a Practical Guide.London.John Wiley&
Sons.
Creswell, J.(2012).Educational research:Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research (4thed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson
Education dalam Fischler, Abraham S, Mixed Method, Nova: Southeastern University, diunduh tanggal 17 April 2015 dari http://www.fischlerschool
.nova.edu/Resources/uploads/app/35/files/ARC_Doc/mixed_methods.pdf.
Current News. (2013), 77% Bisa Adaptasi Kurang dari Enam Bulan, Edisi Rabu, 20 Nov 2013 diunduh dari web http://careernews.web.id/issues/view/2166-77-
Bisa-Adaptasi-Kurang-dari-Enam-Bulan.
Daud, A. (2010) Budaya Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Slide workshop Patien Safety, Jakarta: Persi.
Dean, Bryony, Mike Schachter, Charles Vincent, Nick Barber THE LANCET • Vol
359 • April 20, 2002 • www.thelancet.com h 1375. Departemen Kesehatan, KKP-RS. (2006).Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (patient Safety) Edisi-1. Jakarta: Depkes.
Departemen Kesehatan, KKP-RS. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (patient Safety) Edisi-2. Jakarta: Depkes.
Depkes. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan no 129 tahun 2018 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah sakit, Jakarta: Dirjen Bina Pelayanan Medik Depkes. (2012). Peraturan Menteri Kesehatan no 12 tahun 2012 tentang Akreditasi
Rumah Sakit, Jakarta: Menkumham, Berita Negara RI no 413.
Depkes. (2014).Peraturan Menteri Kesehatan no 59 tahun 2014 tentang, Klasifikasi dan Perizinan Rumah sakit. Jakarta: Menkumham, Berita Negara RI no 1221.
Dodsworth, M. (2007) Organizational Climate Metrics as a Leading She
Performance Indicator and an Aid to Relative Risk Ranking within Industry diunduh dari http://homepages.nildram.co.uk/~dodsy/index.htm.
Elrifda, S. (2001).Budaya Keselamatan Pasien danKarakteristik Kesalahan Pelayanan
Di Salah Satu Rumah Sakit Di Kota Jambi, Jurnal Kesmas: FKM UI Depok Emanuel, Linda, .What exactly is patient safety? http://www.ahrq.gov/prof
esionals/quality patient-safety/pasient safety resources/advance-in-patient-safety
2/vol/advances-Emanuel Berwick. Diunduh Feb 2015. Gibson, at al. (2012).Organizations, Behavior, Struktur and Process. New York: Mc
Graw-Hill.
Hastono, SP, (2007). Analisa Data Kesehatan FKM UI: Depok. Haryanti, A. (2006).Analisis Faktor-Faktor Yang Menjadi Prediktor Organisasi
Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan, Tesis, Undip:
Semarang. Health and Safety Executive (HSE), United Kingdom. (2005). A Review of Safety
Culture and Safety Climate Literature for the Development of the Safety Culture
Inspection Toolkit. Ilyas, Y. (2003) Kiat Sukses Manajemen Tim Kerja, Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.
Ilyas, Y. (2011) Perencanaan SDM Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,
Depok: Jakarta
Ivancevich, Jhon A, Kanopaske, R, Mattesson, M,. (2007) Perilaku dan Manajemen
Organisasi Edisi ke-7 diterjemahkan oleh Gania, Gina. Jakarta: Airlangga. Kemenkes. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan no 1691 tahun 2011 tentang,
Keselamatan Pasien Rumah sakit. Jakarta: Menkumham, Berita Negara RI.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), 2011 Standar Akreditasi Rumah sakit.Jakarta: Kementrian Kesehatan RI..
Komisi Akreditasi Rumah Sakit. (2012). Instrumen Akreditasi Versi Standar akreditasi
2012, Jakarta: KARS. Kristensen, S .at al, Patient Safety Culture as a measure of patient Safety diunduh dari
http://www.zdravstvokvaliteta.org/attachments/article/5/Solvejg_PSC_as_perf
ormance_measure_Croatia_24052013%20[Compatibility%20Mode].pdf, Tanggal 14 April 2015.
KKP-RS. (2008). Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien. Jakarta: KKPRS
Llestari, P. (2013). Gambaran Budaya Keselamatan Pasien oleh perawat dalam melaksanakan Pelayanan di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr Wahidin Sudiro
diunduh dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5447/JURNAL.pdf?sequence 23 April 2014 jam 13.30 WIB.
Lumenta, N. (2011). State of the art comprehensive patient Safety, slide presentasi,
lokakarya Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: KKP-RS. Nieva V, Sorra J. (2003). Safety Culture Assessment: A Tool for Improving Patient
Safety In Healthcare Organizations, Qual Saf Health Care.
Puspitasari, M. (2015). Merumuskan Learning Organization Melalui Analisis Budaya Keselamatan Pasien Dan Budaya Organisasi Di Rs.Masmitra. Jakarta: UI.
Raharjo, S. (2014). Tutorial Uji Validitas dan Reliabilitas SPSS Lengkap, You tube
diunduh dari https://www.youtube.com/watch?v=ouSIm3mnFKs. Rahmawati, E. (2011). Model Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien di RS
Muhammadiyah-Aisyiyah tahun 2011, Disertasi Doktor: Jakarta. Univ Prof Hamka.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang no 44 Tahun 2009, Tentang Rumah
Sakit. Jakarta: Sekretariat, Negara Lembaran Negara RI tahun 2009, no 153. Republik Indonesia. (2003).Undang-Undang no 13 Tahun 2003, Tentang
Ketenagakerjaan. Jakarta: Sekretariat, Negara Lembaran Negara RI tahun 2003,
no 39. Roughton, J. Crutchfield,N., 2014, Safety Culture, An Innovative Leadership
Approach, Waltham: Elsevier.
Rumus-rumus pengambilan Sampel diunduh dari http://tesisdisertasi.blogspot.com /2009/12/rumus-rumus-pengambilan-sampel.html.
Safety Matters! A Guide to Health & Safety at Work diunduh dari
http://www.manajementbriefs.com/_media/pdfs/safety_matters_chapter3.pdf tanggal 14 April 2015.
Sammer CE, Lykens K, Singh KP, Mains DA, Lackan NA. What is patient safety
culture? A review of the literature. J Nurs Scholarsh 2010 Jun; 42(2):156-65. Dalam Kristensen.
Sammer, Christine E. at al., (2011). Patient Safety Culture: The Nursing Unit Leader's
RoleOnline J Issues Nurs. 2011; 16(3). Timpe, A. (1992). Kinerja, Seri Ilmu dan Manajemen Bisnis, Jakarta: Elex Media
Komputindo, Gramedia.
Virawan, K M. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan staf perawat dan staf farmasi menggunakan enam benar dalam menurunkan kasus kejadian
yang tidak diharapkan dan kejadian nyaris cidera dirumah sakit umum surya
husada, Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Weaver SJ, Lubomksi LH, Wilson RF, Pfoh ER, Martinez KA, Dy SM. Promoting
aculture of safety as a patient safety strategy: a systematic review. Ann InternMed.
2013 Mar 5; 158 (5 Pt 2):369-74. Doi: 10.7326/0003-4819-158-5-201303051-00002.Review. PubMed PMID: 23460092. Diunduh dari http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23460092 tanggal 17 April 2015.
WHO, (2015). Patient Safety Februari 2015. http://www.euro.who.int/en/health-topics/Health-systems/patient-safety.
Wong, J.Beglaryan, H (2004) Strategies for Hospitals to Improve Patient Safety: A
Review of the Research Diunduh dari http://www.providence.on.ca/wp-content/uploads/2012/05/Change-Foundation-Improve-Patient-Safety.pdf
tanggal 15 April 2015.
Yahya, A. (2012). Memimpin dan Mendukung staf untuk komitmen dan Fokus pada Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Workshop keselamatan pasien dan
manajemen risiko klinis di rumah sakit. Jakarta: PERSI.
Youngberg, Barbara J, (2013). Patient Safety Hand book, second edition Burlington:
Edwards Brothers Mailoy.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 36
Tabel 1. Penilaian Terhadap Budaya Keselamatan Pasien Dan Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan Kuesioner
AHRQ Di RSKBP Tahun 2015
No Dimensi Yang Dinilai Responden yang
menilai Baik (%) Kesimpulan
Budaya Keselamatan Pasien Kurang 1 Frekuensi pelaporan kejadian 42,61-56,52 Kurang 2 Pendapat responden mengenai keselamatan pasien di unitnya 40,00 Kurang 3 Tingkat keselamatan pasien di RSKBP 9,57 Kurang 4 Jumlah kejadian yang dilaporkan dalam 12 bulan terakhir 2,61 Kurang Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Budaya
Keselamatan Pasien
1 Kerjasama Dalam unit 85,22 Baik
2 Kerjasama Antar Unit 81,74 Baik 3 Tindakan Kepala Instalasi untuk Keselamatan Pasien 81,74 Baik 4 Budaya Belajar 74,78 Kurang 5 Dukungan Manajemen 72,17 Kurang 6 Serah Terima 63,48 Kurang 7 Umpan balik Insiden Keselamatan Pasien 52,15 Kurang 8 Komunikasi 46,09 Kurang 9 Budaya Tidak Menyalahkan 41,74 Kurang 10 Ketenagaan 2,61 Kurang
*Diurutkan berdasarkan persentase penilaian baik terbanyak
Tabel 2. Faktor-Faktor Yang Terbukti Secara Bermakna Berhubungan Dengan
Budaya Keselamatan Pasien Di RSKBP Tahun 2015.
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Budaya Belajar
Budaya Tidak Menyalahkan Umpan Balik Laporan
Constant
-2,346 0,858 7,472 1 0,006 0,096
2,667 1,134 5,527 1 0,019 14,396
2,742 1,187 5,332 1 0,021 15,516
-4,696 1,425 10,854 1 0,001 0,009
Tabel 3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Frekuensi Pelaporan Insiden di
RSKBP tahun 2015
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Budaya Tidak Menyalahkan 1,085 0,399 7,381 1 0,007 2,959
Constant -1,001 0,276 13,202 1 0,000 0,367
Tabel 4.Faktor-faktor berhubungan dengan Pendapat Responden Mengenai
Keselamatan Pasien di Unitnya tahun 2015
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Komunikasi 1,041 0,424 6,036 1 0,014 2,832
Budaya Belajar -1,611 ,504 10,207 1 0,001 0,200
Umpan Balik Insiden 0,921 0,437 4,437 1 0,035 2,511
Constant -0,213 0,453 0,221 1 0,638 0,808
Tabel 5.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Keselamatan Pasien di
RSKBP tahun 2015
Yulia Yasmi, Hasbullah Thabrany., Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Karya
Bhakti Pratiwi Bogor Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 37
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Budaya Belajar -2,521 0,766 10,827 1 0,001 0,080
Budaya Tidak Menyalahkan 2,206 0,860 6,574 1 0,010 9,082
Constant -2,225 0,758 8,608 1 0,003 0,108
Tabel 6. Faktor-faktor yang Berhubungan secara bermakna dengan Jumlah
Insiden Yang dilaporkan di RSKBP tahun 2015
Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Budaya Belajar -0,855 0,630 1,840 1 0,175 0,425
Constant -1,569 0,492 10,182 1 0,001 0,208
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 38
Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr.
Kanujoso Djatiwibowo Periode Januari - Maret 2016
Factors Causes of Claim Delayed Health BPJS Dr. Kanujoso Djatiwibowo Period January -
March 2016
Antonius Artanto EP
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Terdapat sekitar 10-15% klaim yang tertunda pembayarannya di Rumah Sakit Umum Daerah dr Kanujoso
Djatiwibowo. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada tertundanya klaim Badan
Penyelenggara Kesehatan Sosial Kesehatan sesuai panduan klaim dan perjanjian kerjasama. Sumber data yang diambil
berasal dari jumlah klaim yang tertunda di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Kanujoso Djatiwibowo periode Januari -
Maret 2016 dan menggali penyebab terjadinya permasalahan tersebut melalui informan. Penelitian bersifat kuantitatif
dan kualitatif dengan metode deskriptif analitik menggunakan studi retrospektif dari data sekunder resume medis yang
tidak lengkap dan wawancara serta diskusi. Hasil penelitian menunjukkan faktor yang mempengaruhi klaim tertunda
adalah ketidaklengkapan resume medis yang didominasi ketiadaan tanda tangan Dokter Penganggungjawab Pasien
(DPJP) disebabkan didapatkan adanya tugas ganda pada case manager sehingga terjadinya keterlambatan dalam
penyelesaian resume medis elektronik. Saran yang diajukan adalah penggunaan rekam medis elektronik, pemisahan
tugas antara case manager dengan dokter ruangan, peningkatan kepatuhan case manager untuk menulis sejak awal
data resume medis pasien antara lain dengan penilaian kinerja dan remunerasi terintegrasi.
Kata kunci: BPJS, case manager, klaim, resume medis, tanda tangan.
ABSTRACT
There was 10-15% pending of claim because uncomplete medic in Dr. Kanujoso Djatiwiwo Hospital. The purpose of
this study is to find factors affecting pending of claims of Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan as claims
guidance and contract paper. Data sources has taken from pending of claims of dr Kanujoso Djatiwibowo hospital
periode January – March 2016 and see the deeper problem behind this problems through informans. This study is
quantitative qualitative research with analitic describtion method with retrospective study from pending of claims,
interview and discussion. The result from this study shows factor affecting pending of claims is the absence of specialist
doctor who responsible for the patien because there is double function from case manager that effect delaying
completing electronic medical resume. Suggest to use immediately electronic medical record, splitting job for case
manager and doctor on ward, increasing obedience to write patien data from beginning such as performance
evaluation and integrated remuneration.
Keywords: BPJS, claim, case manager, medical resume, signature.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 39
PENDAHULUAN
Sistem kesehatan mulai berubah perlahan sejalan waktu
dan menyesuaikan perkembangan jaman. Sistem
asuransi semakin berkembang di kalangan pelayanan
medis. Sistem ini membentuk biaya pelayanan yang
pembiayaan tanpa batas menjadi pembiayaan pelayanan
kesehatan terkontrol, terprogram dan terukur. Dengan
sistem asuransi ini masyarakat tidak perlu takut akan biaya
kesehatan yang tidak terduga. Masyarakat cukup
membayar uang asuransi yang biasa disebut iuran atau
premi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku
tergantung dari kebutuhan masing-masing. Sistem
Jaminan Sosial Nasional merupakan asuransi sosial yang
disahkan oleh undang-undang no 40 tahun 2004. Sistem
ini dikelola oleh suatu badan yang ditetapkan oleh
undang-undang yaitu Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) dan dibagi menjadi 2 yaitu BPJS Kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan ini sama halnya dengan asuransi
kesehatan bekerjasama dengan fasilitas kesehatan baik
dokter, klinik dan rumah sakit. Dalam mengelola
kesehatan pasien di setiap fasilitas kesehatan di wajibkan
adanya dokumen rekam medis. Menurut Permenkes No:
269/MENKES/PER/III/2008 yang dimaksud rekam
medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen
antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan
yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien. Diakhir perawatan
seseorang diterbitkannya resume medis. Resume medis
harus diisi dengan lengkap untuk menjaga mutu rekam
medis dan juga sering digunakan untuk administrasi
persyaratan dalam klaim asuransi.
RSUD dr Kanujoso Djatiwibowo sebagai rumah saki
pemerintah yang lebih tepatnya rumah sakit propinsi
Kalimantan Timur wajib melayani peserta BPJS
Kesehatan. Setelah rumah sakit memberikan layanan
kesehatan, rumah sakit berhak meminta imbalan atas jasa
yang diberikan berupa tagihan atau klaim kepada BPJS
Kesehatan. Tagihan yang diminta sesuai dengan tarif
Gubernur yang berlaku. BPJS Kesehatan dalam
pembayaran klaim menerapkan tarif paket diagnosis
berdasar Indonesia Case Base Grup atau INA CBGs’s.
Setiap layanan yang diberikan diberi kode atau koding
sesuai diagnose dan komplikasi yang ada.
Dalam pengajuan klaim ke BPJS Kesehatan, rumah sakit
menyertakan resume medis sebagai salah satu syarat
berkas pengajuan. Resume medis diberikan diakhir
perawatan pasien baik hidup sembuh atau meninggal. Jika
resume medis tidak lengkap maka BPJS Kesehatan akan
mengembalikan resume medis tersebut. Pengembalian
resume medis berakibat pada tidak terbayarnya pelayanan
kesehatan yang dilakukan rumah sakit dan akan
mengakibatkan menurunnya pemasukan rumah sakit.
Klaim adalah tagihan atau tuntutan atas sebuah imbalan
dari hasil layanan yang diberikan. Dalam hal ini klaim
rumah sakit terhadap BPJS Kesehatan adalah tuntutan
imbalan atas jasa layanan yang diberikan rumah sakit
melalui tenaga kerjanya baik dokter, perawat, apoteker
dan lain-lain atas kepada peserta BPJS Kesehatan yang
berobat atau dirawat di rumah sakit. Pengajuan klaim ke
BPJS Kesehatan harus menggunakan resume medis
dengan diagnose merujuk pada ICD 10 atau ICD 9 CM
(ditampilkan dalam tabel 1).
Salah satu penyebabnya terbanyak adalah ketidakadaan
tanda tangan dokter penanggung jawab pasien pada
lembar resume medis padahal secara hukum tanda tangan
resume medis adalah salah satu keabsahan dari resume
medis (Permenkes no. 269/MENKES/PER/III/2008
pasal (4) ayat 2). Ketidakadaan tanda tangan resume
medis membuat klaim BPJS Kesehatan tidak bisa di
grouping oleh unit penjaminan sehingga terjadi
penundaan (pending) klaim BPJS Kesehatan. Penundaan
ini menyebabkan pembayaran klaim menjadi menurun
dan cash flow rumah sakit menjadi menurun dikarenakan
hampir 90% pasien rumah sakit adalah pasien BPJS
Kesehatan.
Tujuan Penelitian
Mengetahui faktor-faktor yang peyebab klaim tertunda
BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo
periode Januari – Maret 2016.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 40
TINJAUAN PUSTAKA
Negara telah mengatur sistem jaminan sosial melalui
undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem ini merupakan
asuransi kesehatan sosial yang diselenggrakan Negara
dengan pengumpulan Dana yang bersifat wajib yang
berasal dari iuran dari rakyat untuk dimanfaatkan Negara
dalam memberikan perlindungan atas resiko sosial
ekonomi yang menimpa rakyat. Menurut Thabrany
(2014) asuransi kesehatan sosial (social health insurance)
adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan kesehatan
yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia karena
kehandalan sistem ini menjamin kebutuhan kesehatan
rakyat suatu Negara. Asuransi kesehatan sosial merupakan
suatu perwujudan Universal Health Coverage (UHC) yaitu
perlindungan kesehatan bagi rakyat atau masyarakat luas.
WHO mendefinikan Universal Health Coverage
(Tunggal, 2015) adalah sebuah konsep untuk memastikan
seluruh masyarakat memiliki akses yang dibutuhkan
terhadap usaha promosi, pencegahan, pengobatan, dan
rehabilitasi oleh pelayanan kesehatan dengan kualitas
yang mencukupi agar menjadi efektif dan memastikan
seluruh masyarakat tidak mengalami kesulitan keuangan
ketika membayar untuk layanan kesehatan. Definisi
tersebut meliputi tiga tujuan utama yang terkait dalam
UHC yaitu kesetaraan alam akses pelayanan kesehatan,
kualitas pelayanan kesehatan cukup baik untuk
meningkatkan kesehatan siapa saja yang menggunakannya,
perlindungan atas risiko kejatuhan finansial.
Menurut penjelasan undang-undang no 40 tahun 2004
ayat 19, prinsip asuransi sosial adalah kegotong royongan
antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang
tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah,
kepesertaan yang berisfat wajib dan tidak selektif, iuran
berdasarkan persentase upah atau penghasilan, bersifat
nirlaba, prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh
pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak
terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.
BPJS Kesehatan adalah badan yang mengelola sistem
jaminan nasional yang merupakan program Negara yang
bertujuan memberikan kepastian perlindungan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat sesuai undang-undang republik
Indonesia nomor 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS Kesehatan adalah
harapan bagi warga yang tidak mampu dalam
menjaminkan kesehatannya sendiri bila terjadi kesakitan
dan hingga rawat inap. Biaya pengobatan yang semakin
tinggi, penggunaan teknologi yang baru yang artinya
tingginya harga alat yang dibeli dan berimbas pada tarif
yang harus dibayar, tidak bisa diprediksinya biaya
pengobatan yang akan dijalani dan keterbatasan faktor
finansial atas biaya perawatan penyakit. Hal hal tersebut
terjawab dengan sistem INA CBGS’s yaitu suatu sistem
tarif yang terpaket untuk kondisi penyakit tertentu
sehingga biaya perawatan dan pengobatan bisa
diperkirakan sejak awal. Adapun tujuan dibentuknya
BPJS (Pamukti, Panjaitan, 2016) adalah mewujudkan
terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi peserta dan atau
anggota keluarganya. Kebutuhan dasar hidup yang
dimaksud adalah kebutuhan esensial setiap orang agar
dapat hidup layak demi terwujudnya kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat. BPJS dibuat untuk menciptakan
untuk mengurangi rasa kuatir peserta atas resiko kerugian
yang ditimbulkan oleh penyakit yang dideritanya
sehingga aset yang dimiliki peserta dapat dipakai hal lain
yang lebih produktif.
Selaku pengelola SJSN dibidang kesehatan, BPJS
Kesehatan memberikan imbalan kepada rumah sakit
yang melakukan pelayanan kepada pasiennya melalui
sistem Indonesia Case Base Groups (INA-CBG’s) yaitu
pembayaran sistem paket berdasar pada penyakitnya
yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan no 27
tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesia
Case Base Group. Tarif INA CBGS mempunyai 1.077
kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup/kelompok rawat
inap dan 288 kode grup/kelompok rawat jalan,
menggunakan sistem koding dengan ICD 10 untuk
diagnosis serta ICD 9 CM untuk prosedur/tindakan.
Dengan demikian rumah sakit dan para dokter wajib
untuk hati-hati dalam memberikan terapi tanpa
mengurangi mutu pelayanan sehingga paket yang
diberikan masih dapat menguntungkan bagi rumah sakit.
Rekam medis adalah perjalanan penyakit pasien yang
dibuat oleh dokter yang berisi jenis penyakit, perawatan
penyakit, perkembangan penyakit dan terapinya. Pasal 46
ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran, rekam
Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode
Januari-Maret 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 41
medis merupakan berkas yang berisi catatan dan
dokumen yang terdiri dari identitas pasien, pemeriksaan
yang telah dilakukan, pengobatan yang diberikan oleh
dokter, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan
kepada pasien. Gemala Hatta (2008) mengatakan rekam
medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan
seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan
sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleh
para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien.
Rekam medis menurut IDI No.315/PB/A. 4/88:
1. Rekam medis (kesehatan) adalah rekaman dalam
bentuk tulisan atau gambaran aktifitas pelayanan
yang diberikan oleh pemberi pelayanan medis
(kesehatan) kepada seorang pasien.
2. Rekam medis (kesehatan) meliputi identitas lengkap
pasien, catatan tentang penyakit (diagnosis, terapi
dan pengamatan perjalanan penyakit), catatan dari
pihak ketiga, hasil pemeriksaan laboratorium, foto
rontgen, pemeriksaan USG dan lain-lainnya serta
resume.
3. Rekam medis (kesehatan) harus dibuat segera dan
dilengkapi seluruhnya paling lambat 48 jam setelah
pasien pulang atau meninggal.
4. Perintah dokter melalui telepon untuk suatu tindakan
medis, harus diterima oleh perawat senior.
5. Perubahan terhadap rekam medis (kesehatan) harus
dilakukan dalam lembaran khusus yang harus
dijadikan satu dengan dokumen rekam medis
kesehatan lainnya.
6. Rekam medis (kesehatan) harus ada untuk
mempertahankan kualitas layanan professional
yang tinggi untuk melengkapi kebutuhan informasi
locum tennens, untuk kepentingan dokter pengganti
yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi
masa datang, serta diperlukan karena adanya hak
untuk melihat dari pasien.
7. Berdasarkan butir 6 diatas, rekam medis (kesehatan)
wajib ada di rumah sakit, puskesmas atau balai
kesehatan dan praktik dokter pribadi atau praktek
berkelompok.
8. Berkas rekam medis (kesehatan) adalah milik
RUMAH SAKIT, fasilitas kesehatan lainnya atau
dokter praktik pribadi atau praktek berkelompok.
9. Pasien adalah pemilik kandungan rekam medis
(kesehatan) yang bersangkutan maka dalam hal
pasien tersebut menginginkannya, dokter yang
merawatnya harus mengutarakannya baik secara
lisan maupun secara tertulis.
10. Pemaparan isi kandungan rekam medis (kesehatan)
hanya boleh dilakukan oleh dokter yang bertanggung
jawab dalam perawatan pasien yang bersangkutan.
Dan hal ini hanya boleh dilakukan untuk pasien
yang bersangkutan, kepada konsulen, atau untuk
kepentingan pengadilan.
11. Lama penyimpanan berkas rekam medis/kesehatan
adalah 5 tahun dari tanggal terakhir pasien berobat
atau dirawat, dan selama 5 tahun itu pasien yang
bersangkutan tidak berkunjung lagi untuk berobat.
Setelah batas waktu tersebut pada butir 11 berkas
rekam medis (kesehatan) dapat dimusnahkan.
12. Rekam medis (kesehatan) adalah berkas yang perlu
dirahasiakan.
Menurut Permenkes No 269 Tahun 2008, rekam medis
harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas. Rekam
medis yang bermutu salah satunya dapat dilihat dari
kelengkapan isi rekam medis. Kelengkapan tersebut
ditambahkan dengan autentikasi dari rekam medis seperti
Nama dokter yang merawat, tanda tangan dan tanggal
pembuatan. Rekam medis yang lengkap adalah rekam
medis yang telah diisi oleh dokter dalam waktu ≤ 24 jam
setelah penyelesaian pelayanan rawat jalan atau rawat inap
diputuskan untuk pulang, yang meliputi identitas pasien,
anamnesis, rencana asuhan, pelaksanaan asuhan, dan
resume (Depkes, 2006). Menurut Kementerian Kesehatan
berdasar KEPMENKES RI no 129/MENKES/SK/II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit
yang mengatakan tentang standar pengisian rekam medis
yaitu kelengkapan pengisisan rekam medis 24 jam
setelah selesai pelayanan dan kelengkapan informed
consent setelah mendapat informasi yang jelas memiliki
standar yaitu 100%.
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia dalam Manual
Rekam Medis (2006), jenis rekam medis dibagi 2 yaitu:
rekam medis konvensional dan rekam medis elektronik.
Rekam medis ditulis secara manual sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
794a/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis
dan secara elektronik yang tersirat pada Peraturan Menteri
Kesehatan No 269/MENKES/PER/III/2008 tentang
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 42
Rekam Medis Bab II ayat 1 yaitu rekam medis harus
dibuat secara tertulis lengkap dan jelas atau secara
elektronik.
Resume medis adalah ringkasan hasil perawatan pasien
yang berisi keluhan, hasil pemeriksaan, diagnose dan
terapi serta saran kepada pasien yang bersangkutan yang
ditulis dokter. Menurut Depkes RI dalam pedoman
penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah
Sakit di Indonesia (2006) bahwa resume medis adalah
ringkasan kegiatan pelayanan medis yang diberikan oleh
tenaga kesehatan khususnya dokter selama masa
perawatan hingga pasien keluar baik dalam keadaan hidup
maupun meninggal. Lembar ini harus ditandatangani oleh
dokter yang merawat pasien (Hatta, 2008). Penandatanganan
lembar resume medis sebagai tanda keabsahan dan
persetujuan dokter yang merawat atas isi resume medis
tersebut. Susunan resume medis menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor 269/MENKES/PER/III/2008
pasal (4) ayat 2 meliputi : identitas pasien, diagnosis
masuk, indikasi pasien dirawat, ringkasan hasil fisik dan
penunjang, diagnose akhir, pengobatan, tindak lanjut,
nama dan tanda tangan dokter atau dokter gigi yang
memberikan pelayanan
Menurut Dirjen Yanmed Depkes RI (1997) tujuan
dibuatnya resume medis ini adalah
a. Untuk menjamin kontinuitas pelayan medik dengan
kualitas yang tinggi serta sebagai bahan referensi
yang berguna bagi dokter yang menerima, apabila
pasien tersebut dirawat kembali di rumah sakit.
b. Sebagai bahan penilaian staf medis rumah sakit
c. Untuk memenuhi permintaan dari badan-badan
resmi atau perorangan tentang perawatan seorang
pasien, misalnya dari Perusahaan Asuransi (dengan
persetujuan Pimpinan)
d. Untuk diberikan tembusan kepada sistem ahli yang
memerlukan catatan tentang pasien yang pernah
mereka rawat.
Klaim adalah tagihan atau tuntutan atas sebuah imbalan
dari hasil layanan yang diberikan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, klaim adalah tuntutan pengakuan atas
suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau
mempunyai) atas sesuatu. Klaim asuransi adalah tagihan
atau tuntutan dari sebuah imbalan dari hasil pelayanan
kesehatan dengan jumlah yang telah disepakati dalam
perjanjian. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian
yang telah tertulis dalam kontrak kerjasama yang telah
disepakati sejak awal.
Klaim pada peserta BPJS Kesehatan di Rumah Sakit dr
Kanujoso Djariwibowo Balikapan dibuat oleh dokter
penanggung jawab pasien yang berupa resume medis
lengkap dengan diagnose menggunakan ICD 10 atau
ICD 9 CM serta sudah ditandatangani oleh Dokter
Penanggung Jawab Pasien (DPJP). Klaim yang
dibayarkan sesuai dengan paket tarif INA CBGS yang
telah ditentukan oleh Kemenkes.
Klaim disetorkan sesuai bulan kejadian. Misal kejadian
bulan juni maka seluruh klaim pasien bulan juni harus
disetorkan ke BPJS Kesehatan lengkap atau tidak
lengkap. Jika tidak lengkap maka berkas klaim akan
dikembalikan ke rumah sakit untuk dilengkapi dan
dimasukan dalam klaim pending atau tagihan tertunda.
Klaim diserahkan ke BPJS Kesehatan sebelum tanggal 10
pada bulan berjalan yang kemudian akan di verikasi oleh
tim verifikator BPJS Kesehatan dalam bentuk softcopy
dan hardcopy. Jika klaim dianggap lengkap, layak dan
sesuai antara diagnose dengan koding INA CBG’s dan
terdapatnya prosedur dan terapi serta tanda tangan DPJP
maka klaim akan dibayarkan setelah 15 hari kerja
(panduan praktis administrasi klaim faskes BPJS
Kesehatan).
Klaim yang tidak lengkap dan dianggap tidak layak
diserahkan kembali ke rumah sakit melalui unit
penjaminan untuk dikoreksi dan direvisi oleh unit
penjamin. Dari hasil koreksi dan revisi dilakukan oleh unit
penjamin missal meminta tanda tangan dpjp, penyesuaian
koding INA CBG’s, telusur prosedur dan terapi kepada
dpjp atau melihat rekam medis pasien yang bersangkutan.
Klaim yang sudah direvisi akan disertakan pada klaim
baru yang diserahkan ke BPJS Kesehatan sebelum
tanggal 10 bulan berjalan (ditampilkan dalam gambar 1).
METODOLOGI PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian deskriptif
analitik dengan pendekatann kuantitatif kualitatif dengan
Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode
Januari-Maret 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 43
menggunnakan pengumpulan data sekunder dan
observasi.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr
Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.
Waktu Penelitian
Pengumpulan data dilakukan selama 3 bulan yaitu Januari
– Maret 2016. Data yang dikumpulkan berupa rekam
medis bulan Januari – Maret 2016, data klaim yang
tertunda bulan Januari – Maret 2016 di rumah sakit dr.
Kanujoso Djatiwibowo.
Sumber data
Sumber data diperoleh dengan menggunakan data
sekunder dan observasional melalui telaah dokuen,
wawancara dan Focused Group Discussion.
Populasi
Populasi yang kami teliti adalah populasi target yaitu
resume medis yang belum lengkap sebagai klaim yang
tertunda selama bulan januari 2016 hingga maret 2016.
Karakteristik Populasi
Populasi yang kami teliti untuk kuantitatif adalah seluruh
klaim yang tertunda periode bulan Januari – Maret 2016.
Untuk informan penelitian ini, kami mewawancarai dan
berdiskusi dengan dokter penaggung jawab pasien
(DPJP) (3 orang), Kepala idang pelayanan medis (1
orang), case manager (6 orang), perawat (3 orang), Unit
penjaminan (3 orang), unit rekam medis (2 orang).
Sumber dan Jenis Data
Sumber data ini diperoleh dari dokumen atau arsip dari
RSUD dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. Focused
Group Discusion adalah diskusi dengan beberapa
informan yang mengerti betul tentang permasalahan
resume medis dan klaim tertunda BPJS Kesehatan.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah mengumpulkan
semua klaim tertunda BPJS Kesehatan dengan melihat
resume medis yang belum lengkap di unit penjaminan
rumah sakit dan observasi di ruangan rawat inap dan
focused group discussion dengan beberapa informan.
Validasi data
Dalam pengumpulan data sekunder kami meminta data
dari unit pengolahan data elektronik dan unit penjaminan
untuk membandingkan data sekunder untuk memvalidsasi
data tentang klaim yang tertagih berdasar jumlah pasien
keluar rumah sakit.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Klaim rumah sakit adalah tagihan yang berupa biaya atas
pelayanan yang telah diberikan kepada pasien peserta
asuransi dalam hal ini BPJS Kesehatan. Klaim yang
ditagihan oleh RSUD dr. KanujosoDjatiwibowo berupa
harga sesuai peraturan gubernur yang berlaku sehingga
terdapat terlihat selisih jumlah tagihan antara nilai riil
dengan nilai berdasar INA CBG;s. Klaim yang ditagihkan
bulan yang sebelumnya diserahkan ke BPJS sebelum
tanggal 5 bulan berikutnya. Penyerahan data klaim
mengikuti akidah persyaratan yang telah disepakati dalam
perjanjian kontrak kerjasama. Klaim BPJS per pasien
yang dianggap sah adalah berkas pasien pulang yang
berupa:
1. Surat Eligibilitas Peserta (SEP)
2. Surat perintah rawat inap
3. Resume medis yang ditandatangani oleh DPJP
4. Bukti pelayanan lain yang ditandatangani oleh DPJP
(bila diperlukan), misal:
a) Laporan operasi
b) Protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian
obat) pemberian obat khusus
c) Perincian tagihan Rumah Sakit (manual atau
automatic billing)
d) Berkas pendukung lain yang diperlukan.
Surat Eligibilitas Peserta (SEP) adalah surat yang
membuktikan bahwa peserta ini adalah peserta yang
masih aktif dan ditanggung oleh BPJS. Surat ini muncul
disaat pasien datang dan mendaftar berobat ke rumah sakit
sehingga tanpa ada terbitnya Surat Eligibilitas Peserta
(SEP) maka pasien tidak akan dilayani di rumah sakit.
Begitupun saat pasien akan dirawat inap, mereka harus
mendapat surat ini sebagai tanda bahwa selama dirawat
inap dan dalam pengobatan ataupun tindakan BPJS
kesehatan akan menanggung seluruh biaya yang timbul
yang diakibatkan layanan medis selama itu. Surat
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 44
Eligibilitas Peserta (SEP) dipakai juga sebagai salah satu
persyaratan pengajuan klaim oleh rumah sakit ke BPJS.
Surat perintah rawat inap adalah surat pengantar dari
spesialis kepada pasien untuk mendapatkan layanan
medis rawat inap untuk mengobati penyakitnya. Surat ini
bisa berasal dari poliklinik atau dari ruang rawat inap saat
pasien berobat. Surat ini harus ditandatangani oleh dokter
spesialis atau yang diberi limpahan wewenang misalnya
dokter ruangan. Surat ini berisi tentang diagnose dan
rencana terapi serta tindakan selama rawat inap. Surat ini
dipakai saat pasien akan meminta Surat Eligibilitas Peserta
(SEP) kepada BPJS sebagai bukti bahwa pasien benar-
benar di rawat inap. Surat perintah ini juga sebagai
persyaratan mutlak pengajuan klaim layanan medis
rumah sakit ke BPJS.
Perincian tagihan rumah sakit adalah bukti pelayanan lain
yang diminta BPJS kesehatan sebagai syarat pengajuan
klaim. Perincian tagihan rumah sakit dibuat oleh bagian
keuangan rumah sakit pada saat akhir dari layanan medis
yang diberikan kepada pasien. Perincian tagihan rumah
sakit yang diberikan kepada BPJS menggunakan tarif
berdasarkan peraturan gubernur yang berlaku saat ini.
Rincian akhir rumah sakit pada layanan medis pasien
BPJS akan diserahkan ke unit penjaminan pada hari itu
juga.
Resume medis adalah kesimpulan perjalanan penyakit
seorang pasien yang dipulangkan oleh DPJP dan
diberikan di saat dia pulang baik berupa resume medis
tertulis ataupun resume medis elektronik. Resume medis
dibuat oleh DPJP sesuai dengan bentuk format yang
berlaku di rumah sakit tersebut. Pada kenyataanya DPJP
hanya menuliskan diagnose utama dan diagnose
sekunder bila ada serta jenis obat yang akan diberikan.
Diakhir resume, DPJP wajib membubuhkan tanda tangan
sebagai tanda keaslian dan sah nya resume medis tersebut.
Untuk melengkapi isian yang lain DPJP menyerahkan
kepada dokter ruangan atau case manager.
Di RSUD dr Kanujoso Djatiwibowo diberlakukan
resume medis elektronik sejak Oktober 2015 sebagai
pengganti resume medis konvensional atau tulisan.
Resume medis elektronik juga ditetapkan sebagai salah
satu berkas klaim ke BPJS. Resume medis ini diketik di
computer dengan format yang telah ditentukan sesuai
Permenkes no. 269/MENKES/PER/III/2008 pasal (4)
ayat 2. Dalam resume medis elektronik isi resume medis
diketik oleh case manager sesuai dengan uraian tulisan
yang ditulis DPJP pada resume medis manual. Dalam
proses pengisisan melibatkan koder dalam menterjemahkan
diagnose DPJP ke dalam ICD 10 atau ICD 9 CM. Isian
dalam resume medis elektronik harus terisi lengkap mulai
anamnesa hingga tanda tangan DPJP. Resume medis
elektronik dibuat dengan tujuan untuk memperjelas
keterangan yang ada di resume medis manual atau tulisan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tulisan dokter
sebagian besar susah untuk dibaca sehingga terjadi
kesalahan persepsi dalam membaca resume medis.
Dalam hasil Gambar 2 pengamatan resume medis
elektronik yang berlaku belum sepenuhnya resume medis
elektronik. Resume medis elektronik di lapangan dalah
resume medis yang diketik di computer dan disimpan di
database server rumah sakit. Sistem belum online
pembuatan resume medis bisa dicicil dengan memasukan
satu persatu data.
Dari tabel 2 diketahui persentase klaim yang tidak lengkap
selama 3 bulan. Dalam tabel ini juga terlihat bahwa jumlah
klaim tidak menunjuk signifikan nilai klaim. Bobot tiap
penyakit berdasar tarif sangat berbeda misal 10 pasien
diare sangat berbeda tarif dengan 1 pasien dengan tumor
otak yang harus dioperasi dan masuk ICU. Maka dari itu
nilai klaim lebih bermakna dibandingkan dengan jumlah
klaim. Dalam tabel terlihat pula penurunan jumlah resume
medis yang tidak lengkap sekitar 50%. Berdasar
wawancara dengan unit penjaminan bahwa penurunan
resume medis ini diakibatkan dari negosiasi dari pihak
rumah sakit dengan BPJS Kesehatan tentang kelengkapan
resume medis terutama dibagian tanda tangan DPJP
untuk sekiranya bisa diterima dengan tanda tangan dokter
case manager pada resume medis elektronik (ditampilkan
dalam tabel 3).
Tanda tangan DPJP mempunyai peranan penting dalam
pembayaran klaim. Karena tanda tangan DPJP adalah
tanda keaslian dokumen dan syarat mutlak pengajuan
klaim yang diatur dalam perjanjian kontrak kerjasama
antara rumah sakit dengan BPJS (ditampilkan dalam tabel
4).
Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode
Januari-Maret 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 45
Berkurangnya klaim yang ditunda menunjukkan kinerja
unit penjaminan dalam menyelesaikan klaim BPJS yang
tertunda. Setiap klaim yang ditunda, petugas dari unit
penjaminan dengan cepat mengevaluasi faktor apa yang
menyebabkan terjadinya penundaan pembayaran. Dalam
hal ini petugas unit penjaminan langsung turun ke
lapangan sendiri untuk mempercepat penyelsaian resume
medis.
Beberapa DPJP terkadang mempunyai koding yang
biasa mereka gunakan untuk pasien-pasien tertentu.
Koding ini biasanya mereka sudah tahu berapa nilai
besarannya, sehingga mereka memerintahkan case
manager untuk mengisi bagian kode INA CBG’S
dengan kode yang mereka sukai meskipun terkadang
tidak sesuai dengan diagnose penyakit. Untuk penolakan
klaim karena ketidaksesuaian INA CBG’s biasanya
muncul setelah pengajuan klaim. Ini dikarenakan
verifikator BPJS berhak untuk menilai kode yang sesuai
dengan diagnose dan tindakan yang dilakukan oleh DPJP.
Jika terjadi seperti itu maka unit penjaminan akan
berkoordinasi dengan DPJP dalam pengkodean ulang
sehingga klaim bisa terbayarkan.
Pada beberapa penyakit, terapi dan prosedur tidak
dilakukan secara agresif melainkan dengan cara
konservatif atau obat-obatan dengan harapan penyakit
tersebut akan sembuh tanpa tindakan yang agresif atau
intervensif seperti operasi, cuci darah, dan transfusi. Hal ini
menyebabkan beberapa diagnose penyakit dengan kode
tertentu dan menimbulkan biaya yang cukup besar tidak
sesuai dengan terapi dan prosedurnya. Ditingkat DPJP
melihat pasien sebagai obyek yang harus disembuhkan
tanpa memikirkan biaya yang ditimbulkan seperti
pengkodingan INA CBG’s tetapi bagi BPJS, diagnose
adalah biaya yang timbul, biaya yang timbul bagi BPJS
adalah paket kode INA CBG’s tanpa melihat berapa besar
biaya yang muncul. Pada saat masalah ini muncul maka
unit penjaminan akan menghubungi DPJP dalam
melengkapi terapi dan prosedurnya atau mengikuti
kemauan BPJS sehingga klaim bisa terbayarkan.
Masalah yang terbesar dari dari resume medis yang tidak
lengkap adalah tidak ada tanda tangan DPJP di resume
medis. Sesuai peraturan BPJS, menteri kesehatan bahwa
resume medis harus ada tanda tangan spesialis (Hatta,
2008). Menurut pengamatan di ruang rawat inap bahwa
pasien banyak membawa surat keluar rumah sakit
daripada resume medis terlebih resume medis elektronik.
Penerapan resume medis elektronik dimulai Oktober
2015 membuat penyelesaian resume medis lama.
Penyelesaian resume medis dikerjakan setelah pelayanan
medis selesai sehingga tanda tangan DPJP dimintakan
besok hari atau kalau DPJP kembali ke ruangan bila ada
pasiennya.
Dalam mempercepat penyelesaian resume medis
terutama tanda tangan, perawat ikut membantu dalam
pengumpulan berkas sehingga case manager dapat
konsentrasi dalam memasukan data satu persatu kedalam
resume medis elektronik. Case manager dan perawat
bersama-sama menyelesaikan resume medis dan
melengkapi rekam medis sehingga dapat terkumpul di
unit rekam medis masximal 2x 24 jam sesuai SOP yang
ada di rumah sakit. Dibeberapa ruangan rawat inap, rekam
medis dikumpulkan setelah DPJP tanda tanda di resume
medis dan kadang-kadang lebih dari pada 2x24 jam. Ini
dikarenakan spesialis tersebut tidak mempunyai pasien
lagi di ruangan tersebut.
Ada beberapa dokter spesialis suka menumpuk pasien
dan tidak dibuat resume medisnya. DPJP ini biasanya
mempunyai pasien banyak di ruangan dan di klinik
sehingga kelelahan dalam menulis dan konsentrasi tidak
bisa focus. Ada pula yang karena banyak operasi, DPJP
buru-buru dan tidak sempat mengisim resume medis
pasien.
Berdasar pengamatan ada beberapa ruangan yang
mengumpulkan rekam medis ke unit rekam medis begitu
ada resume medis konvensionalnya. Ini karena SOP yang
harus rekam medis kembali 2x24 jam ke unit rekam
medis. Terutama di ruangan rawat inap kelas 3. Dengan
jumlah pasien yang banyak maka case manager tidak bisa
cepat mengerjakan semua resume medis elektroniknya
sehingga resume medis elektronik tercecer dengan rekam
medisnya. Untuk resume medis elektronik yang terlambat
biasanya diserahkan kepada para perawat untuk dicarikan
tandatangan DPJP. Case manager hanya menulis isi dan
kode INA CBG’s saja tanpa ada tanda tangan DPJP.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 46
Hal tersebut diatas bisa diselesaikan dengan adanya rekam
medis elektronik dan bila tidak ada maka perlunya
menyicil resume medis pasien sejak awal masuk sehingga
tidak terjadi tercecernya resume medis elektronik dengan
rekam medisnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini untuk mencari faktor-faktor penyebab klaim
tertunda BPJS Kesehatan RSUD dr Kanujoso
Djatiwibowo berdasarkan dari data dan observasi yang
kami lakukan maka didapatkan ketidaksesuaian INA
CBG’s sebesar 4,8 %. Hal ini disebabkan ketidaksamaan
koding dan diagnose dari rumah sakit dengan koding dari
verifikator BPJS Kesehatan. Penyamaan persepsi tentang
diagnose antara DPJP, koder rumah sakit dan verifikator
harus ditingkatkan untuk semakin meminimalisir
ketidaksesuaian koding. Dalam penelitian ini kami juga
menemukan ketidaksesuaian diagnose dan terapi sebesar
4,3%. Hal ini diakibatkan standard penilaian diagnose dan
komplikasi penyakit menurut BPJS Kesehatan harus
diterapi sesuai keadaan sedangkan bagi DPJP tidak semua
penyakit dan komplikasinya harus diberikan terapi yang
agresif dan intervesif tetapi diagnose tetaplah ditulis
sebagai bahan acuan pertimbangan penanganan medis
dimasa datang. Temuan terbesar pada penelitian ini adalah
ketiadaan tanda tangan DPJP sebesar 90,9%. Ini timbul
karena proses resume medis elektronik yang diberlakukan
belum sepenuhnya berfungsi online yang menyebabkan
proses pemasukan data ke sistem resume medis eletronik
harus diketik satu persatu terkecuali permintaan koding
dan data pasien. Dengan tugas ganda dokter ruangan
sebagai case manager dan dokter fungsional
menyebabkan pengisian data dilakukan diakhir pelayanan
medis pasien. Penggunaan rekam medis elektronik
sangatlah bermanfaat untuk membuat waktu pengerjaan
resume medis eletronik dapat dipersingkat.
Saran
Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP)
Dalam visite pasien DPJP harus memerintahkan case
manager untuk membuat pengisian awal resume medis
bagi pasien yang akan dipulangkan sehingga saat pasien
dipulangkan di pagi hari, resume medis elektronik sudah
siap ditandatangani. DPJP harus sanggup bila diminta
tanda tangan di tempat lain bila berhalangan hadir atau ada
kesibukan pelayanan lain guna penyelesaian resume
medis elektronik. Penilaian kinerja dalam penyelesaian
resume medis elektronik bagi DPJP bisa menjadi
indikator bagi penambahan remunerasi.
Case Manager
Saat bertemu dengan DPJP harus mengingatkan pasien
mana sajakan yang bisa dipulangkan besok sehingga case
manager bisa mengisi resume medis eletronik sejak awal
untuk mengurangi penumpukan tugas dengan tugas
pelayanan medis. Berkoordinasi dengan perawat dalam
mencari tanda tangan DPJP sehingga resume medis
elektronik bisa lengkap dan dimasukan dalam rekam
medis untuk dikembalikan ke unit rekam medis.
Unit Penjaminan
Berkoordinasi secara aktif dengan case manager dan
DPJP dalam penyelesaian klaim yang tertunda akibat
resume medis yang belum lengkap.
Kepala Bidang Pelayanan Medis
Penggunaan rekam medis elektronik sesegera mungkin
sehingga pembuatan resume medis elektronik dapat
dipersingkat dan dipermudah. Pemisahkan fungsi case
manager dengan dokter ruangan sehingga bisa fokus
pada bidang masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
---------, Keputusan Menteri Kesehatan No 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal.
----------, Panduan Praktis Administrasi Klaim Faskes BPJS Kesehatan (2014)) ----------, Peraturan Menteri Kesehatan no 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis.
----------, Peraturan Menteri Kesehatan no 27 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesia
Case Base Groups. ----------, Peraturan Menteri Kesehatan No 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. ----------, IDI No.315/PB/A.4/88.
----------,Undang-Undang no 29 Tahun 2013 tentang Praktik Kedokteran.
----------, Undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. ----------, Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
----------, 2014. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional & Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial edisi terbaru. Bandung: Fokusindo Mandiri. Adikoesoemo, S., 2012. Manajemen Rumah Sakit. keenam ed. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Angger Sigit Pamukti dan Andre Budiman Panjaitan, 2016. Pokok-Pokok Hukum Asuransi.
Pertama ed. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Boedihartono, H., 1991. Petunjuk Teknis Peyelenggaraan Rekam Medik/Medical Record Rumah
Sakit. Jakarta: Depkes Direktorat Jendral Pelayanan Medik.
Darmawi, H. ,2004, Manajemen Asuransi (Pertama ed.). Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode
Januari-Maret 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 47
Depkes. ,2006, Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah Sakit di
Indonesia.
Dewi Kurniawati, Ida Sugiarti. (Maret 2014). Tinjauan Pengisian Resume Keluar Rawat Inap Ruang Teratai Triwulan IV di RSUD Kabupaten Ciamis tahun 2012. Jurnal Manajemen
Informasi Kesehatan Indonesia, 2 (2337-585X), 1.
Dian Mawarni, Ratna Dwi Wulandari, 2013. Identifikasi Ketidakanlengkapan Rekam Medis Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Aministrasi Kesehatan Indonesia,
April-Juni, 1(2).
Dirjen YanMed Depkes RI.,1997, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rekam Medis.
Dokumen Perjanjian Kerjasama antara BPJS Kesehatan cabang Balikpapan dengan RSUD dr.
Kanujoso Djatiwibowo (1 Januari 2016-31 Desember2016). Pelayanan Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjutan Bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Farodis, Z., 2014. Buku Pintar Asuransi. pertama ed. Jakarta: Laksana.
Hasmi, 2016, Metode Penelitian Kesehatan. Bogor: In Media.
Hatta, R. G.,2008., Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Jakarta: UI Press.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 48
Tabel 1.1 Laporan Klaim BPJS Kesehatan yang Tertunda Januari 2016-Februari 2016
Bulan Pasien Pulang Jumlah Klaim yang tertunda
Januari 2016 1707 187
February 2016 1718 103
Maret 2016 1774 58
Tabel 2. Persentase Jumlah Resume Medis yang Tidak Lengkap Periode Januari-Maret
2016
Bulan Total Resume
medis
Resume medis yang tidak
lengkap Persentase resume medis Nilai klaim
Januari 1741 187 10.74 % Rp 405,248,907
Februari 1730 103 5.9 % Rp 718,662,219
Maret 1774 58 3.2 % Rp 446,060,613
Tabel 3. Persentase Jenis Ketidaklengkapan Resume Medis
Jenis ketidaklengkapan Jumlah %
Ketidaksesuaian kode INA CBG ’S 17 4,8
Ketidaksesuaian diagnose dan terapi 15 4.3
Ketidak adaan tanda tangan DPJP 316 90,9
Total 348 100
Tabel 4. Data Sisa Resume Medik yang Belum Terbayar Periode Januari 2016 – Maret
2016 dan Besaran yang Belum Terbayar
Bulan Jumlah resume medic yang belum
dibayar Angka rupiah
Persentase dibanding
nilai awal
Januari 12 121.876.755 30,07 %
Februari 17 149.435.222 20,79 %
Maret 16 151.375.495 21,06 %
Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode
Januari-Maret 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 49
a.
b.
c.
d.
Gambar 1. Alur Verifikasi Persyaratan Pengajuan Klaim BPJS
1. Verifikasi administrasi
kepesertaan.
2. Verifikasi administrasi
pelayanan.
3. Verifikasi pelayanan.
4. Verifikasi menggunakan
software verifikasi.
Fasilitas Kesehatan
Verifikator BPJS
Kesehatan BPJS Kesehatan
1. Berkas klaim.
2. File .txt
1. Formulir
pengajuan klaim.
2. Data .xml.
3. Persetujuan klaim.
4. Melakukan
pembayaran.
(Permenkes no.
269/MENKES/PER/III/2008 pasal (4) ayat 2)
1. Identitas pasien
2. Diagnosis masuk 3. Indikasi pasien dirawat
4. Ringkasan hasil fisik dan
penunjang 5. Diagnose akhir
6. Pengobatan
7. Tindak lanjut 8. Nama dan tanda tangan dokter
atau dokter gigi yang
memberikan pelayanan.
(Panduan Praktis Administrasi Klaim
Faskes BPJS Kesehatan (2014))
1. Surat Eligibilitas Peserta (SEP)
2. Surat perintah rawat inap
3. Resume medis yang
ditandatangani oleh DPJP
4. Bukti pelayanan lain yang
ditandatangani oleh DPJP (bila
diperlukan), misal:
a. Laporan operasi
b. Protokol terapi dan regimen
(jadwal pemberian obat) pemberian obat khusus
c. Perincian tagihan Rumah
Sakit (manual atau
automatic billing) d. Berkas pendukung lain
yang diperlukan
Software INA CBG’s : 1. Identitas pasien (no rekam
medis dll) 2. No jamina peserta.
3. No surat SEP
4. Jenis perawatan. 5. Tanggal masuk rumah
sakit.
6. Tanggal keluar rumah sakit.
7. Lama perawatan (LOS)
8. Nama dokter. 9. Jumlah biaya riil rumah
sakit.
10. Tanggal lahir. 11. Umur (dalam tahun)
ketika masuk rumah sakit.
12. Umur (dalam hari) ketika masuk rumah sakit.
13. Jenis kelamin.
14. Surat rujukan atau surat
perintah control.
15. Status ketika pulang.
16. Berat badan baru lahir (dalam gram).
17. Diagnosis utama.
18. Diagnosis sekunder (komplikasi dan
komorbidity)
19. Prosedur atau tindakan.
Klaim pending
BPJS Kesehatan.
Lampiran II Perjanjian No /VIII.02/PKS/1215
tentang Tata Cara Pengajuan dan Pembayaran
Klaim Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan no 3.
1. Formulir pengajuan klaim (FPK).
2. Kuitansi asli, bermeterai secukupnya. 3. Surat elijibilitas peserta (SEP).
4. Bukti pelayanan yang mencantumkan
diagnose dan prosedur serta ditandatangani oleh dokter
penanggung jawab pasien (DPJP). 5. Surat perintah rawat inap (untuk
RITL).
6. Resume medis yang mencantumkan
diagnose dan prosedur serta
ditandatangani oleh DPJP (untuk
RITL) 7. Pada kasus tertentu bila ada
pembayaran klaim diluar INA CBG’s
(jenis pelayanan diluar INA CBG’s sesuai ketentuan yang berlaku)
diperlukan tambahan bukti pendukung
: a. Protocol terapi dan rejimen
termasuk produk batch label
(jadwal pemberian) obat khusus.
b. Resep obat.
c. Resep alat bantu kesehatan. d. Tanda terima alat bantu
kesehatan diluar paket INA
CBG’s. 8. Berkas pendukung lain yang termasuk
didalam kelengkapan pendukung
verifikasi misalnya : Laporan operasi, laporan anestesi,
product batch special prosthesis, batch
obat untuk kasus top up special drug termasuk di dalam lampiran pengajuan
klaim.
9. Tagihan klaim rumah sakit menjadi sah setelah mendapat persetujuan dan
ditandatangani direktur/kepala dan
petugas verifikator BPJS Kesehatan. 10. Pihak rumah sakit mengirimkan secara
resmi tagihan klaim dalam bentuk
softcopy dan hard copy.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 50
Gambar 2. Alur Berkas Pasien di Ruangan
1. Fotocopy kartu BPJS.
2. Surat elijibilitas peserta 3. Surat rujukan.
4. Surat perintah masuk rumah sakit.
Pasien awal dirawat Pasien dalam perawatan Pasien pulang
1. Laporan operasi.
2. Protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian obat) pemberian obat
khusus .
Lembar tagihan dari back office
1. Resume Medis Elektronik oleh
case manager 2. Surat keluar rumah sakit
(manual)
Antonius Artanto EP., Faktor-Faktor Penyebab Klaim Tertunda BPJS Kesehatan RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Periode
Januari-Maret 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 51
Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian
Target Rencana Strategis RS Katolik Di Palembang Periode 2015-2016
Analysis of Leadership Style and Organizational Profile to the Achievement of Strategic
Planning in Catholic Hospital in Palembang Period of 2015-2016
Martina Ovinda Suandi
Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Rencana strategis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari organisasi bisnis. Gaya kepemimpinan dan variabel
dalam profil organisasi memiliki peranan penting dalam pencapaian target rencana strategis. Penelitian ini
menganalisis hubungan gaya kepemimpinan dan profil organisasi dalam pencapaian target rencana strategis RS katolik
di Palembang periode 2015-2016, dengan menggunakan desain cross sectional melalui pendekatan kuantitatif
dilanjutkan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di dua RS dengan tipe B dan tipe C. Hasil penelitian
menunjukkan gaya kepemimpinan yang dominan adalah supporting dengan fleksibilitas fleksibel.Tiga variabel dari
profil organisasi (lingkungan organisasi, hubungan organisasi dan situasi organisasi) separuhnya tidak baik. Sedangkan
pencapaian target rencana strategis dengan berdasarkan balance scorecard sebagian besar menunjukkan tidak baik.
Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan yang bermakna antara tipe RS dan situasi organisasi terhadap
pencapaian target rencana strategis. Hal ini didukung oleh pernyataan para informan yang merupakan anggota direksi
dari RS katolik di Palembang. Saran untuk RS dan pemilik: perbaikan sistem manajemen SDM, monitoring, evaluasi
dan tindak lanjut rencana strategis dan pembentukan jaringan pelayanan kesehatan dari mulai dari fasilitas kesehatan
tingkat pertama untuk bertahan di era JKN.
Kata kunci: balance scorecard gaya kepemimpinan; profil organisasi; target rencana strategis.
ABSTRACT
Strategic plan is an integral part of the business organization. Leadership styles and variable in organization’s profile
have an important role to attainment the target of strategic plan. This study was analyzing the relationship of leadership
style and organization's profile to attain the target of 2015-2016 Catholic Hospitals’ Strategic Plan in Palembang,
using cross sectional design with quantitative approach followed by qualitative approach. The study was conducted in
two hospitals with B type and C type. The results showed that the dominant leadership style is supporting with the
flexibility. Three variable of organizational profile (organization environ, organizational relation and organizational
situation) half was not good. While target attainment of the strategic plan based on a balanced scorecard mostly show
in not good results. The results of the bivariate analysis shown a significant association among hospital type and
organizational situation towards target attainment of the strategic plan. This is supported by the statements of the
informant who is a member of the board of directors of the Catholic Hospital in Palembang. Suggestion for hospital
and owner: improvement of human resource management system, monitoring, evaluation and follow-up of the strategic
plan and the establishment of a health care network from the first-level health facilities to survive in the era of
Universal Health Coverage.
Keywords: balance scorecard; leadership style; organizational profile; target of strategic planning.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 52
PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan organisasi dengan tingkat
kompleksitas yang tinggi dan fungsi yang kompleks pula.
Pada awalnya, rumah sakit sepenuhnya menjalankan
fungsi sosial dan mengalami perkembangan yang pesat
pada saat abad ke 18. Rumah sakit awalnya berkembang
dari keperawatan orang sakit dan korban perang yang
dipelopori oleh ordo-ordo keagamaan. Seiring berkembangnya
ilmu kedokteran, rumah sakit menjadi organisasi yang lebih
kompleks dan terstruktur. Perkembangan ini disertai dengan
perubahan sifat rumah sakit dari organisasi sosial menjadi
organisasi ekonomi, menuntut rumah sakit membentuk
suatu struktur organisasi untuk menjalankan fungsi
manajemen secara keseluruhan.
Secara umum, kesuksesan atau kegagalan suatu perusahaan
atau organisasi seringkali dikaitkan dengan kepemimpinan.
Peran pemimpin meliputi serangkaian penyebaran fungsi
manajemen dalam struktur manajerial suatu perusahaan.
Oleh karena itu, sosok pemimpin akan sangat mempengaruhi
fungsi manajamen dalam suatu organisasi. Robbin (1996)
mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mengarahkan
dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas
para anggota kelompok ke arah tercapainya tujuan.
Studer (2008) dalam Thompson (2012) mengatakan
bahwa untuk mengelola organisasi yang berorientasi hasil
memerlukan suatu kerangka kerja yang terdiri dari
beberapa pilar utama. Pada rumah sakit, pilar tersebut terdiri
dari orang (karyawan, pasien dan dokter), pelayanan, mutu,
keuangan, dan perkembangannya. Untuk mengarahkan
setiap pilar tersebut perlu disusun suatu rencana strategis
(strategic planning) yang dapat memberikan arah dan
tujuan dari organisasi. Hal ini diperlukan untuk
memberikan arah dalam pelaksanaan kegiatan di rumah
sakit. Salah satu aspek penting yang berperan dalam
manajemen perumahsakitan adalah adanya perencanaan
strategis.
Proses pelaksanaan rencana strategis dimulai dengan
menyelaraskan tujuan seluruh aspek rumah sakit.
Pemimpin sebagai panutan dalam organisasi, harus dapat
menyatukan persepsi seluruh anggota rumah sakit. Oleh
karena itu seorang pemimpin diharapkan dapat menjadi
motor penggerak. Tujuan suatu organisasi bukanlah hanya
untuk bertahan dalam, selain untuk mempertahankan
eksistensinya, organisasi juga memerlukan suatu perkembangan.
Kepemimpinan memiliki peran yang sangat penting untuk
pencapaian kinerja organisasi (Peterson, Smith, Martorana
& Owens, 2003).
Dalam kerangka kinerja Malcolm Baldrige Criteria for
Performance Excellence, kepemimpinan dengan dasar
profil organisasi menjadi aspek pertama dalam menggerakkan
organisasi. Menurut kriteria Baldrige, seorang pemimpin
memiliki tanggung jawab menciptakan strategi-strategi
organisasi, mengatur sistem manajemen yang sesuai,
menemukan metode yang tepat untuk mencapai keunggulan
kinerja, menstimulasi inovasi, meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan, serta menjamin ketahanan organisasi.
Rumah Sakit RK. Charitas dan RS Myria yang merupakan
RS Katolik di Palembang diampu oleh Yayasan RS
Charitas, sudah memiliki perencanaan strategis yang
disusun berdasarkan prinsip Balance Scorecard (BSC).
BSC menjadikan tahap perencanaan strategis yang
komprehensif, sehingga rencana strategis yang dihasilkan
dapat digunakan untuk menghadapi lingkungan bisnis
yang kompleks. Rencana strategis (renstra) ini disusun
dengan periode waktu 5 (lima) tahun. Perencanaan strategis
menurut Balance Scorecard disusun berdasarkan 4 (empat)
perspektif yang terdiri dari : perpektif keuangan, perpektif
pelanggan, perpektif proses bisnis internal dan perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan. Empat perspektif ini
menjadi dasar pengukuran kinerja manajemen dalam
mencapai visi dan misi organisasi sesuai jangka waktu yang
sudah ditentukan.
Sejak ditetapkan pada tahun 2014, Renstra RS Katolik di
Palembang telah dievaluasi dua kali pada tahun 2015 dan
2016. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa target dari
indikator kunci kinerja yang ditetapkan dari masing-masing
perspektif sebagian besar belum tercapai. Pencapaian indikator
kinerja masing-masing perspektif BSC (ditampilkan dalam
tabel 1).
Berdasarkan data pada tabel 1, banyak faktor yang
menyebabkan tidak tercapainya target, sehingga berdampak
dengan menurunnya kinerja rumah sakit di semua
perspektif renstra. Menurut Yaslis (2012), untuk negara
berkembang seperti di Indonesia, variabel supervisi dan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 53
kontrol masih sangat penting pengaruhnya dengan kinerja
individu, dimana tugas supervisi dan kontrol ini merupakan
tanggung jawab dari seorang pemimpin dan kinerja
individu akan turut menentukan kinerja organisasi secara
keseluruhan.
Menurut O’Dell dan dan Combes (2009) keberhasilan
suatu perencanaan strategis membutuhkan komitmen yang
menjadi filosofi budaya dan keseriusan untuk melaksanakannya,
yang bermula dari para pimpinan level atas. Di kedua RS
Katolik, penyusunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
Renstra melibatkan para manajer yang berada di level atas
dan menengah. Lodge dan Derek (1993) dalam Rahmah
(2010) menyebutkan, perilaku pemimpin memiliki dampak
signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja pegawai.
Efektifitas pemimpin juga dipengaruhi karakteristik staf dan
terkait dengan proses komunikasi yang terjadi antara
pemimpin dan stafnya. Komunikasi memegang peranan
penting dalam penyebaran informasi suatu organisasi.
Pencapaian target Renstra, selain ditentukan oleh pemimpin,
juga harus ditopang oleh pemahaman yang jelas mengenai
profil organisasi yang bersangkutan. Dalam kerangka
Malcolm Baldrige 2015-2016, profil organisasi menjadi
lempengan dasar yang akan mempengaruhi kinerja organisasi,
salah satunya adalah perencanaa strategis. Profil organisasi ini
memberikan gambaran komprehensif bagaimana suatu
organisasi dapat berjalan.
Melihat banyaknya target renstra yang tidak tercapai
menyangkut dengan masalah kepemimpinan, dirasakan
perlu untuk melakukan penelitian mengenai gaya
kepemimpinan direksi dan profil organisasi yang berperan
penting dalam pencapaian target renstra Rumah Sakit.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal yang
peneliti lakukan, peneliti merasa tertarik untuk meneliti
bagaimanakah gaya kepemimpinan dan profil organisasi
sangat berperan penting dalam penentukan pencapaian
target rencana strategis RS katolik di Palembang di bawah
satu Yayasan pemilik.
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan
dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari
pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan
bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa
orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang
lain, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut
dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia
selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan
tertentu.
Konsep kepemimpinan situasional awalnya dikembangkan
oleh Paul Hersey, yang menulis Buku Pemimpin Situasional
dan Ken Blanchard. Teori pertama kali diperkenalkan
sebagai “teori siklus hidup kepemimpinan” (Blanchard &
Hersey,1996, dalam Thompson et.al, 2014) dan kemudian
berganti nama menjadi teori kepemimpinan situasional
pada tahun 1972. Setelah diterapkan, mereka menemukan
bahwa beberapa aspek dari model tidak sedang divalidasi
dalam praktek. Oleh karena itu, Ken Blanchard
menciptakan model diperbarui kedua yang disebut
Kepemimpinan Situasional II (SLII) (Mwai, 2011).
Kepemimpinan situasional didasarkan pada hubungan
yang saling mempengaruhi antara 3 hal :
1. Tingkat pengarahan (perilaku memberi tugas) yang
pemimpin berikan.
2. Tingkat dukungan sosioemosional (perilaku hubungan)
yang pemimpin sediakan.
3. Tingkat perkembangan atau kesiapan pengikut untuk
dihadapkan pada tugas, fungsi dan aktifitas tertentu atau
tujuan yang ingin dicapai oleh pemimpin melalui
individu atau kelompok.
Tingkat perkembangan pengikut untuk pekerjaan atau
tujuan tertentu dan bukan penilaian keterampilan atau sikap
secara keseluruhan. Tingkat perkembangan ini terdiri dari 4
(empat) tahap sebagai berikut :
D1: kompetensi rendah - komitmen tinggi D2: kompetensi rendah - sedang - komitmen rendah D3: kompetensi sedang-tinggi - komitmen tidak
menentu D4: kompetensi tinggi - komitmen tinggi
Dalam kepemimpinan situasional, terdapat 4 (empat) gaya
kepemimpinan yang terdiri dari 4 kombinasi perilaku
pengarahan dan dukungan (Blanchard, 200):
Directing (S1) – Tinggi pengarahan dan rendah
dukungan
Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang
Periode 2015-2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 54
Pemimpin memberikan pengarahan yang spesifik
mengenai tujuan, menunjukkan dan memberitahukan
bagaimana melakukan pekerjaan, dan secara tertutup
menelusuri kinerja individu untuk memberikan umpan
balik secara berkala terhadap pekerjaan yang dilakukan. Coaching (S2) - Tinggi pengarahan dan tinggi dukungan
Pemimpin memberikan penjelasan, meengumpulkan saran
dan masukan, memuji perilaku yang baik dan terus-menerus
mengarahkan untuk mencapai tujuan atau penyelesaian
tugas.
Supporting (S3) - Rendah pengarahan dan tinggi dukungan
Pemimpin dan bawahan membuat keputusan bersama.
Peran untuk memfasilitasi, mendengarkan, mengajak
bicara, memberikan semangat dan dukungan.
Delegating (S4) - Rendah pengarahan dan rendah
dukungan
Pemimpin memperkuat individu untuk bekerja secara
bebas dengan menggunakan sumber daya untuk
menyelesaikan pekerjaan.
Menurut kerangka kerja Malcolm Baldrige (2015), profil
organisasi merupakan gambaran umum dari organisasi,
yang memiliki pengaruh utama dalam operasional organisasi
dalam lingkungan bisnis yang kompetitif. Profil organisasi
bersama dengan kepemimpinan akan menentukan hasil
akhir dari suatu kinerja organisasi. Dalam tesis ini, akan
lebih difokuskan pada penilaian terhadap Profil Organisasi
sebagai dasar dalam pelaksanaan organisasi. Profil
organisasi ini terdiri dari deskripsi organisasi dan situasi
organisasi. Deskripsi organisasi terbagi menjadi lingkungan
organisasi dan hubungan organisasi.
1) Deskripsi Organisasi yang menjelaskan karakteristik
organisasi. Deskripsi organisasi menjabarkan
keadaan RS di dalam lingkungan bisnis dari berbagai
aspek. Deskripsi organisasi ini terdiri dari
a) Lingkungan Organisasi
Lingkungan organisasi adalah semua elemen di
dalam maupun di luar organisasi yang dapat
mempengaruhi sebagian atau keseluruhan suatu
organisasi. Dalam kerangka penilaian Malcolm
Baldrige, lingkungan organisasi terdiri dari :
1) Misi, Visi dan Nilai
Pernyataan misi, visi dan nilai organisasi
harus diketahui dan dipahami oleh seluruh
tingkatan dalam organisasi. Kompetensi
organisasi secara strategi merupakan
kapabilitas penting yang merupakan pokok
dalam pemenuhan misi serta memberikan
keuntungan untuk mendapatkan pangsa
pasar dan lingkungan pelayanan. Kompetensi
utama seringkali menjadi tantangan bagi
kompetitor atau penyalur dan rekanan untuk
meniru dan seringkali mempertahankan
manfaat berkompetitif.
2) Profil Tenaga Kerja
Kelompok tenaga kerja dan penentuan segmen
tenaga kerja dapat ditentukan berdasarkan jenis
tenaga kerja dan hubungan kontrak antara
perusahaan dan tenaga kerja, penempatan,
pemindahan tugas, lingkungan pekerjaan,
kebijakan terhadap keluarga dan rekan, serta
faktor lainnya
3) Aset
Yang termasuk aset adalah fasilitas, teknologi
dan peraltan yang digunakan untuk mendukung
kinerja organisasi.
4) Regulasi yang berlaku di organisasi
Peraturan perundangan yang berlaku dalam
suatu oganisasi ditentukan oleh area geografis
dimana perusahaan itu berada dan jenis usaha
yang dilakukan.
b) Hubungan Organisasi
Dalam suatu organisasi terdapat hubungan informal
dan juga hubungan formal. Hubungan informal
menyangkut hubungan manusiawi, di luar dinas
atau bersifat tidak resmi. Sedangkan hubungan
formal merupakan bentuk hubungan yang
sengaja, secara resmi (kedinasan), yang biasanya
ditunjukkan dalam suatu struktur organisasi
(Anoraga, 2011). Baldrige membagi hubungan
dalam oganisasi menjadi :
1) Struktur Organisasi
Struktur dan sistem yang berlaku dalam suatu
organisasi mempengauhi pelaksanaan
pekerjaan dalam organisasi. Struktur organisasi
yang dimaksud di sini dapat meliputi hubungan
dengan sumber pembiayaan utama seperti
yayasan
2) Pelanggan dan Pemangku Kepeningan
Perusahaan dapat membagi sasaran pasar
menjadi beberapa segmen pasar berdasarkan
lini produk, jalur pendistribusian, volume
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 55
bisnis, kondisi geografis dan faktor lain yang
dapat meneukan segemen pasar. Pelanggan
memilih produk atau jasa suatu perusahaan
berdasarkan harapan, perilaku prefernsi atau
profil dari suatu produk. Kepentingan pemangku
terhadap perusahaan termasuk tanggung
jawab sosial perusahaan dan pelayanan terhadap
masyarakat.
3) Penyalur (Suppliers) dan Rekanan
Dengan memahami harapan dan kebutuhan
pelanggan serta pemangku kepantingan,
organisasi dapat meningkatkan sensitivitas
organisasi terhadap risiko produk atau jasa,
dukungan dan interupsi rantai persediaan dari
penyalur serta rekanan.
2) Situasi Organisasi
Situasi yang dihadapai organisasi akan menentukan
langkah yang akan ditempuh organisasi. Situasi ini
termasuk:
1) Lingkungan Kompetitif
Terdiri dari posisi perusahaan dalam lingkungan
kompetitif, perubahan pola kompetitif, dan juga
ketersediaan data pendukung alam kompetisi
dalam bidang dimana perusahaan bergerak.
2) Konteks Strategis
Tantangan strategis dan keunggulan mungkin
berhubungan dengan teknologi, produk, keuangan,
operasi, struktur organisasi dan budaya, kemampuan
organisasi utama, pelanggan dan pasar, pengakuan
merek dan reputasi, industri dimana perusahaan
bergerak, globalisasi, perubahan iklim, dan sumber
daya manusia..
3) Sistem Peningkatan Kinerja
Pendekatan dalam sistem peningkatan kinerja
disesuaikan dengan kebutuhan dalam organisasi.
Pendekatan yang dapat dimplementasikan termasuk
standarisasi dari lembaga yang diakui atau dengan
metodogi seperti Lean atau PDCA.
Penerapan Balance Scorecard sebagai pendekatan untuk
menerjemahkan dan mengimplementasikan strategi di
perusahaan dimulai pada pertengahan tahun 1993 oleh
Renaissance Solution, Inc, sebuah perusahaan konsultasi
yang dipimpin oeh David P. Norton. Kekomprehensifan
dan kekoherenan rencana straegis yang dihasilkan melalui
pendekatan Balance Scorecard berdampak besar terhadap
proses perencaan berikutnya: penyusunan program
(programming) dan penyusunan anggaran (budgeting). Pada
tahap perkembangan, Balance Scorecard dimanfaatkan
sebagai alat yang efektif untuk perencanaan strategis. Pada
tahap perencanaan strategis, kerangka kerja Balance
Scorecard, misi, visi, tujuan, keyakinan dasar, nilai dasar,
dan strategi diterjemahkan ke dalam sasaran strategis di
empat perspektif (Mulyadi, 2009) : a. Perspektif Finansial
b. Perspektif Pelanggan
c. Perspektif Proses Bisnis Internal
d. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah metode penelitian
kuantitatif dan kualitatif, dengan tipe penelitian kombinasi
Sequential Explanatory Design (Sugiyono, 2012), yaitu
pengumpulan dan analisis data terdiri dari 2 tahap yaitu:
pengumpulan dan analisis data kuantitatif, diikuti dengan
pengumpulan dan analisis data kualitatif. Adapun tahapan
yang dimaksud adalah :
1. Tahap pertama, pengumpulan data dengan menggunakan
kuisioner dan analisis data kuantitatif. Pengumpulan
data melalui kuisioner dilakukan untuk mengetahui
gaya kepemimpinan, profil organisasi dan pencapaian
target Renstra di RS RK Charitas dan RS Myria.
2. Tahap kedua, peneliti akan melakukan wawancara
mendalam tidak berstruktur dengan direksi dari kedua
rumah sakit untuk mendapatkan gambaran yang lebih
mendalam terhadap hasil pengumpulan data yang
didapat melalui kuisioner.
Populasi penelitian ini adalah staf pejabat struktural di 2
(dua) RS Katolik di Palembang. Metode pengambilan
sampel yang digunakan adalah total sampling dengan
sampel yang termasuk dalam kriteria inklusi berjumlah 110
orang. Adapun pengambilan data primer dilakukan dengan
menggunakan 3 buah kuesioner dengan responden staf di
tiap direktorat dan komite di RS RK Charitas:
a. Untuk mengukur variabel bebas tentang gaya
kepemimpinan menggunakan kuesioner Leadership
Behaviour Analysis yang dikembangkan Blanchard
Training and Development Inc. dan digunakan oleh
Rahmah (2010) dengan modifikasi peneliti.
Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang
Periode 2015-2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 56
b. Untuk mengukur variabel-variabel bebas tentang
profil organisasi menggunakan kriteria Organizational
Profile dari Baldrige Excellence Framework 2015-
2016 dengan modifikasi peneliti.
c. Untuk mengukur variabel terikat tentang Pencapaian
Target Renstra periode 2015-2016 melalui pendekatan
Balanced Scorecard.
Selanjutnya dilakukan penelitian Kualitatif berupa
pedoman wawancara mendalam tidak berstruktur kepada
anggota direksi dari 2 RS Katolik di Palembang untuk
mengkonfirmasi hasil dari kuesioner yang diisi oleh
responden.
Pada penelitian ini kuesioner profil organisasi dan kuesioner
pencapaian target Renstra dilakukan uji validitas memakai
metode Corrected Item-Total Correlatio. Dengan
membandingkan r tabel dengan r hasil pada tingkat
kemaknaan 0,05. Bila r hasil > r tabel maka pernyataan
variabel dinilai valid. Data kualitatif yang diperoleh melalui
wawancara mendalam dengan anggota direksi dilakukan
triangulasi untuk meningkatkan validitas dan kredibilitas
data dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, 2013). Uji
reliabilitas apabila telah dilakukan dengan uji cronbach’s
alpha. Hasilnya jika ≥ 0,6 maka variabel dinilai sebagai
reliable. Seluruh pertanyaan dalam kueioner profil
organisasi dan pencapaian target Renstra memiliki nilai ≥
0,6.
Untuk menilai gaya kepemimpinan jawaban dari
responden dimasukkan ke dalam tabel skor.Jumlah
jawaban terbanyak dari kolom yang ada (S1, S2, S3, S4)
merupakan gaya kepemimpinan yang paling dominan.
Dari hasil input data ke dalam kolom, bisa didapatkan satu
ataupun dua gaya kepemimpinan yang dominan. Untuk
menilai variabel dependen lingkungan organisasi, situasi
organisasi, dan hubungan organisasi, skoring menggunakan
skala likert 1-4 lalu dilakukan penjumlahan skor jawaban
responden dan dikategorikan dengan cara cut off point
mean, didapatkan nilai : 1 = baik (≥ mean), dan 2 = tidak
baik (< mean) Untuk menilai variabel independen
pencapaian target renstra, persepsi responden diskoring
dengan menggunakan skala likert 1-5 lalu dilakukan
penjumlahan skor jawaban responden dan dikategorikan
dengan cara cut off point mean, didapatkan nilai : 1 = baik
(≥ mean), dan 2 = tidak baik (< mean). Analisis bivariate
dengan menggunakan uji Pearson Chi-Square antara
variabel independen gaya kepemimpinan, dan Profil
Organisasi (Tipe RS, Lingkungan Organisasi, Hubungan
Organisasi, Situasi Oganisasi) terhadap variabel dependen
(Pencapaian Target Renstra) (ditampilkan dalam gambar
1).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan distribusi
dari karakteristik responden penelitian yaitu pejabat
struktural yang bekerja di Rumah Sakit Charitas dan RS
Myria yang dihimpun menggunakan kuesioner, meliputi:
jenis kelamin, posisi atau profesi di unit kerja, umur,
pendidikan, lama kerja di rumah sakit, dan lama kerja
sebagai pejabat structural (ditampilkan dalam tabel 2).
Dari penilaian 110 responden mengenai gaya kepemimpinan
direktur, didapat paling banyak yaitu gaya kepemimpinan
supporting. Gaya kepemimpinan ini sebagian besar dinilai
oleh staf di level middle management. Kedua terbanyak
yaitu gaya kepemimpinan coaching yang dipilih sebagian
besar sta di level low management, diikuti dengan gaya
kepemimpinan campuran coaching – supporting. Gaya
kepemimpinan delegating sebagian besar dinilai staf
middle management dan gaya kepemimpinan directing
paling sedikit frekuensinya (ditampilkan dalam tabel 3).
Persepsi responden terhadap 30 pertanyaan dari variabel
Lingkungan Organisasi. Hubungan Organisasi, menunjukkan
12 pertanyaan berada dibawah nilai rata-rata yaitu 8 dari 14
pertanyaan dalam variabel lingkungan organisasi, 3 dari 10
pertanyaan dari variabel situasi organisasi dan 3 dari 6
pertanyaan variabel situasi organisasi. Untuk variabel
pencapaian target renstra, persepsi responden terhadap
pencapai target renstra dari 4 perspektif Balanced Scorecard
menunjukkan 4 pertanyaan berada di bawah nilai rata-rata.
persepsi responden secara lengkap ditampilkan dalam tabel 4.
Hasil analisis Pearson Chi-Square dengan hipotesis bila P
< 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima maka berdasarkan
tabel di atas variabel independen yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap variabel dependen pencapaian target
Renstra, yaitu variabel Tipe RS (P-value = 0,02) dan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 57
variabel Situasi Organisasi (P value = 0,012). Sedangkan
variabel yang tidak memiliki hubungan yang signifikan
terhadap pencapaian target Renstra yaitu antara gaya
kepemimpinan (P-Value = 0,407), Fleksibilitas gaya
kepemimpinan (P-value = 0,194), Lingkungan Organisasi
(P value =0,069) dan Hubungan Organisasi (P value
=0,045).
Hasil analisis dengan menggunakan uji Pearson Chi
Square diperloleh bahwa variabel independen yang
mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel
dependen pencapaian target Renstra dengan P-Value <
0,05 adalah variabel tipe RS dan variabel situasi organisasi.
Pemberlakuan JKN di seluruh Indonesia JKN mewajibkan
seluruh RS wajib untuk menjadi provider. Dengan sistem
rujukan regional berjenjang, RS tipe C diuntungkan karena
lebih banyak mendapat rujukan pasien, sehingga pasien
menjadi meningkat tajam, mendukung pencapaian target
Renstra terutama dari perspektif pelanggan. Namun
penatalaksanaan pasien JKN yang tidak sesuia dengan alur
klinis (clinical pathway) akan berdampak kurang baik
terhadap kinerja keungan RS karean tidak adnya kendali
biaya. Sedangkan untuk RS tipe B, terjadi penurunan
pasien karena RS tipe merupakan rujukan tersier, meskipun
tidak menutup kemungkinan penurunan pasien ini
disebebkan oleh penurunan kualitas pelayanan, namun
pertumbuhan pendapatan RS tipe B lebih stabil karena
masih ada pasien pribadi /pasien non-JKN. RS harus dapat
memanfaatkan peraturan perundangan yang diberlakukan
untuk dapat tetap mempertahankan diri dengan semakin
meningkatnya persaingan antar RS.
Adanya hubungan yang signifikan antara variabel situasi
organisasi terhadap pencapaian target Renstra sesuai
dengan kerangka manajemen strategis yang dikemukakan
David (2001) dalam Ayuningtyas (2013). Analisis situasi
eksternal dan internal merupakan salah satu dari tahapan
penyusunan rencana strategis. Perencanaan yang baik akan
menghasilkan hasil yang baik pula. Analisis terhadap
lingkungan eksternal dan internal secara tepat dengan
didukung informasi yang dan dilakukan oleh personel
kompeten, yang meyakini hubungan sebab akibat akan
menghasilkan perencanaan yang baik untuk menghasilkan
kinerja organisai yang baik (Mulyadi, 2009). RS Katolik di
Palembang sudah melakukan proses ini dengan baik tetapi
belum optimal. Kurang tepatnya penetapan rencana sesuai
dengan analisa eksternal dapat menyebabkan RS
kehilangan pangsa pasar. Pelaksanaan rencana kegiatan
yang kurang sesuai dengan renstra yang sudah ditetapkan
menyebabkan tidak tercapainya persentase kesesuaian
rencana dan realiasi anggaran. Selain itu, belum berjalannya
sistem monitoring, evaluasi dan tindak lanjut dari
pencapaian kinerja dari program berjalan menyebabkan
ketidakjelasan dalam penilaian ketercapaian sasaran dan
efektivitas inisiatif strategis. Program-program kegiatan
yang tidak kurang menguntungkan RS belum mendapatkan
tindak lanjut yang jelas untuk dilanjutkan atau dihentikan.
Gaya kepemimpinan berdasarkan persepsi responden yang
dominan adalah gaya kepemimpinan supporting namun
berdasarkan hasil wawancara dengan para informan
diketahui bahwa lama kerja dan pengalaman tidak
menjamin bahwa peningkatan kompetensi dan kesiapan
staf dalam menjalankan suatu pekerjaan. Budaya organisasi
RS katolik yang masih ketat yang berpegang pada Hukum
Gereja dengan kepemimpinan konvensional yang umumnya
menempatkan keputusan terbaik ada di tangan pimpinan.
Pimpinan cenderung dianggap paling mengetahui dan
memahami segala sesuatu, menyebabkan gaya kepemimpinan
yang memberikan karyawan untuk dapat melaksanakan
tugas dengan campur tangan pimpinan yang minimal tidak
dapat berjalan dengan baik. Jobes dan Steinbender (1996)
dalam Luna dan Jolly (2008) mengatakan bahwa
perubahan daramatis dalam pelayanan kesehatan
menyebabkan pola keperawatan dan gaya kepemimpinan
berhasil di masa lampau tidak lagi sesuai untuk pelayanan
di masa sekarang. Kesesuaian antara pimpinan dan staf
dalam menentukan tingkat perkembangan staf, baik
penilaian oleh pimpinan maupun staf itu sendiri, akan
menunjukkan gaya kepemimpinan yang tepat untuk
diaplikasikan oleh pimpinan (Thompson, 2014).
Pelayanan kesehatan sebagai produk yang ditawarkan oleh
RS berkaitan erat dengan indikator kinerja yang menjadi
target dalam perencanaan strategis. Pemberian pelayanan
ini harus didukung oleh visi misi dan nilai yang berlaku di
rumah sakit sehingga penentuan target bisnis, harus pula
disesuaikan dengan visi dan misi organisasi. Pemberlakuan
JKN dengan sistem rujukan berjenjang akan menguntungkan
bagi RS tipe C, sedangkan RS tipe B merupakan rujukan
tersier, hanya mendapatkan rujukan lanjutan. Hal ini
Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang
Periode 2015-2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 58
menyebabkan produk pelayanan yang berorientasi pada
perencaan strategis belum tepat karena produk pelayanan
kedokteran umum yang justru lebih banyak dicari
pelanggan.
Manjemen SDM yang tidak kompeten menyebabkan
perencanaan dan pengelolaan SDM yang tidak baik.
Pengembangan SDM yang menyesuaikan dengan besarnya
jumlah SDM menyebabkan pendidikan dan pelatihan
menjadi kurang merata dan kurang tepat sasaran. Menurut
American Hospital Association (AHA) (2013) organisasi
pelayanan kesehatan seharusnya melakukan evaluasi
model perencaaan ketenagakerjaan secara berkala dan
melakukan revisi untuk menyesuaikan perubahan di dalam
RS. Yang perlu diperhatikan saat melakukan evaluasi
adalah bagaimana strategi rumah sakit ke depannya dan
menentukan bagaimana arah ini mempengaruhi kebutuhan
ketenagaan di RS.
Untuk penyediaan sarana dan prasarana, diperlukan analisis
yang tepat mengenai kebutuhan peralatan yang
mendukung pelayanan. Teknologi kesehatan yang terus
berkembang merupakan hal yang tidak dapat dihindari,
sehingga RS yang tidak mengkiutinya lambat laun akan
tertinggal. Di RS Katolik di palemabng masih ada proses
pengadaan sarana prasarana yang tidak sesuai prosedur
menyebabkan ketidaksesuaian antara penggunan alat dan
peralatan yang dibeli, sehingga pada beberapa kasus
ditemukan alat tidak terpakai karena user tidak mau
menggunakan peralatan. Untuk pemenuhan peraturan
perundangan, RS Katolik di Palembang sudah berusaha
untuk memnuhi sebagian besar peraturan tersebut
meskipun masih ada beberapa yang belum terpenuhi dan
mempengaruhi fungsi manajamen RS.
Struktur organisasi di RS Katolik memang sudah
mendukung perencanaan strategis namun tidak semua
struktur di dalam organisasi terlibat dalam proses
penyusunan, sosialisasi dan pelaksanaannya. Tata kelola
yang baik melibatkan struktur organisasi mulai dari Dewan
Pengawas, Pemilik, Direksi sampai dengan struktur di
bawahnya. UU No 44 Tahun 2009 mewajibkan Dewan
Pengawas RS terdiri dari pemilik, organisasi profesi,
asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat. Saat ini
dewan pengawas di 2 RS katolik di Palembang hanya diisi
oleh personil pemilik rumah sakit. Hal ini mungkin
berpengaruh terhadap fungsi Dewan Pengawas dalam hal
pengawasan pelaksanaan rencana strategis. Saran dan
masukan juga dari pelanggan belum sepenuhnya menjadi
acuan untuk meningkatkan pelayanan. Koordinasi dengan
pemerintah yang dilakukan hanya sebatas untuk memenuhi
regulasi saja, sehingga pelayanan yang dikembangkan di RS
tidak sesuai dengan rencana pengembangan pelayanan
kesehatan regional yang dicanangkan pemerintah. Selain
itu manajemen logisitik belum efektif dan efisien
menyebabkan banyak waste bagi RS.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Terdapat hubungan yang signifikan antara tipe RS dan
situasi organisasi terhadap pencapaian target rencana
strategis RS Katolik di Palembang periode 2015-2016,
tetapi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya
kepemimpinan, lingkungan organisasi dan hubungan
organisasi terhadapa pencapaian target renstra. Tidak
terdapatnya hubungan yang signifikan ini disebabkan oleh
ketidak sesuaian antara persepsi responden dan informasi
dari informan pada wawancara.
Saran
Diperlukan perbaikan gaya kepemimpinan yang
menyesuaikan dengan tingkat perkembangan bawahan
serta menjalankan tata kelola yang baik dan benar sehingga
perencanaan rencana strategis dapat terimplementasi.
Sistem monitoring, evaluasi serta tindak lanjut yang
dijalankan dengan efektif akan mendorong pencapaian
target rencanan srategsi secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, P. 2011. Pengantar Bisnis : Pengelolaan Bisnis Dalam Era Globalisasi. Jakarta :
Rineka Cipta. Armstrong, M. 2012. Armstrong’s Handbook of Management and Leadership Developing
Effectice People Skills For Better Leadership and Mangement. 3rd ed. Philadelphia
: Koganpage Ayuningtyas, D. 2013. Perencanaan Strategis Untuk Organisasi Pelayanan Kesehatan.
Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Barnes, Neil. Carsten, FJ. 2006. The Quality Of Leader / Employee Relationship In Business Performance. South African Journal of Human Resource Management. 4(2). 10-
19
Bhatti, N. Mailto, G.M. Shaikh, N. 2012. The Impact of Autocratic and Democratic Leadership Style on Job Satisfaction. International Business Research. 5 (2). 192-
201.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 59
Casciani, S.J. 2012. Strategic Planning. In : Buchbinder, S.B & Shanks, N.H. (eds). Introduction to Health Care Management. Burlington : Jones & Bartlett Learning.
Cohen, W. 2010. Drucker On Leadership.San Fransisco : Jossey-Bass
Fahmi, I.(2014). Perilaku Organisasi (Teori, Aplikasi dan Kasus). Bandung : Penerbit Alfabeta
Fields, T.(2014). Doorway into the Hospital. In : Griffin, D (4th ed). Hospitals What are They
and How They Work. Massachusets : Jones & Bartlett Learning. Gaspersz, Vincent. 2007. Ge way and Malcolm Baldridge Criteria for Performance
Excellence. Jakarta: Gramedia
Gibson, J.L. Ivancevich, J.M. Donelly Jr, J.H. Konopaske, R. 2012. Organizations Behaviour, Structure Proecesses.14th.ed. New York : McGraww-Hill.
Hersey, P. Blanchard K.H. (n.d). Situational Leadership : A Summary. Diunduh dari
https://www.researchgate.net/file.PostFileLoader.html?id=5389104cd4c11879228b4685&assetKey=AS%3A273575699779600%401442236937677 tanggal
26 Oktober 2016
Ilyas, Y. 2013. Perencanaan SDM Rumah Sakit Teori, Metoda dan Formula. Depok :
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Ilyas, Y. 2012. Kinerja Teori, Penilaian & Penelitian. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Irawanto, D.W. 2011. Exploring Paternalistic Leadership and Its Apllication to the Indonesian
Context. New Zealand : Massey University. Desertasi. Kaufman, K. Goldstein, L. 2008. Leadership and Succesful Financial Perhormance in
Healthcare. Bulletin of The Natioanl Centre for Healthcare Leadership, 9-21.
Kreitner, R. Kinicki, A. 2005. Perilaku Organisasi. Alih Bahasa Suandy. Jakarta. Salemba Empat.
Lo, et.al. (2016). Measurement of Clinical Pharmacy Key Performance Indicators to Focus
and ImproveYour Hospital Pharmacy Practice. The Canadian Journal of Hospital Pharmacy. 69(2). 149-155. Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pmc/articles/PMC4853183/ tanggal 08 Maret 2017
McCleskey, J.A. 2014. Situational, Transformational, and Transactional Leadership and Leadership Development. Journal of Business Studies Quarterly. 5(4). 117-130
Mosley III, G.B. 2009. Managing Healthcare Business Strategy. Massachusets : Jones &
Bartlett Publishers. Mulyadi. 2009. Sistem Terpadu Pengelolaan Kinerja Personel Berbasis Balanced
Scorecard. Yogyakarta : UPP STIM YKPN
Murphy, S. Ensher, E. (2008). A Qualitative Analysis Of Charismatic Leadership In Creative Teams: The Case Of television directors. The Leadership Quarterl.19, 335–352
Mwai, E. 2011. Creating Effective Leaders Through Situational Leadership Approach. JAMK University of Applied Sciences. Tesis.
National Institute of Standards and Technology. 2015. 2015–2016 Baldrige Excellence
Framework, A Systems Approach to Improving Your Organizations’s
Performance. Diunduh dari http://www.baldrigepe.org/alliance. tanggal 4 Juni 2016
Notoatmodjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Ed.Rev-Jakarta : Rineka Cipta
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 56 Tahun 2014 tentang Kualifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit
Rahmah, Balqis. 2010. Kajian Gaya kepemimpinan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) terhadap Fungsi kepemimpinan Direktur dalam Pelaksanaan
Manajemen RSUD di DKI Jakarta Tahun 2010. Tesis FKM-UI : Depok. Tidak
dipublikasikan Reeve, et.al, (2014) A Comprehensive Health Service Evaluation and Monitoring
Framework. Evaluation and Program Planning Journal, 53 (2015),91-98.
Diunduh dari http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014971891500093 tanggal 05
Maret 2017
Rencana Strategis Bisnis RS RK Charitas Palembang Tahun 2015-2019. Tidak
dipublikasikan.
Sekhar, S.2008 .Hospital Organisation Structure. In : Srinivasan, A.V. Managing A Modern
Hospital 2nd ed. New Delhi : Response Books The Ken Blanchard Companies. 2000. Situational Leadership IITeaching Others. Diunduh
dari http://www.lifelongfaith.com/uploads/5/1/6/4/5164069/situational_leadership
_teach_others.pdf tanggal 27 Oktober 2016 The American Hospital Association’s Center for Healthcare Governance. 2009. Succesful
Strategic Planning The Board’s Role. Illinois : Center for Healthcare Governance
Thompson, G. Glaso, L. (2015) . Situational Leadership Theory: A Test From Three Perspectives. Leadership & Organization Development Journal. 36 (5), 527-544.
Diunduh dari www.emeraldinsight.com/0143-7739.htm tanggal 26 Oktober
2016. Thompson, J.M. Buchbinder,S.B, Shanks, N.H. 20120. An Overview of Healthcare
Management. In : Buchbinder, S.B & Shanks, N.H. (eds). Introduction to Health
Care Management. Burlington : Jones & Bartlett Learning. Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
West, M. et. Al. 2015. Leadership and Leadership Development in Health Care : The
Evidence Base. The Faculty of Medical Leadership and Management with The King’s Fund and the Center for Creative Leadershi, London. Diunduh dari From
www.fmlm.ac.uk. tanggal 03 Juni 2016
Yulk G, 2010. Kepemimpinan dalam organisasi. Leadership in organization. Alih Bahasa oleh Budi Supriyanto, Edisi Bahasa Indonesia. Penerbit PT Indeks ; Jakarta
Zuckerman, A.M. 20120. Healthcare Strategic Planning 3rd Ed. Chicago : HAP ACHE Management Series
Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang Periode 2015-2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 60
Tabel 1. Pencapaian Resmtra RS Katolik di Palembang Periode 2015- 2016
No PERSPEKTIF BSC
Pencapaian Renstra RS RK Charitas Pencapaian Renstra RS Myria
2015 2016 2015 2016
Tercapai Tidak
Tercapai Tercapai
Tidak
Tercapai Tercapai
Tidak
Tercapai Tercapai
Tidak
Tercapai
1 Perspektif Keuangan 66% 34% 43% 57% 60% 40% 40% 60%
2 Perspektif Pelanggan 43% 57% 23% 77% 55% 45% 60% 40%
3 Perspektif Proses
Bisnis Internal 40% 60% 45% 55% 35% 65% 40% 60%
4
Perspektif
Pembelajaran dan
Pertumbuhan
40% 60% 35% 65% 50% 50% 40% 60%
Gambar 1. Kerangka Konsep
Gaya Kepemimpinan
Profil Organisasi
Tipe RS
Lingkungan organisasi
Hubungan organisasi
Situasi organisasi
Pencapaian Target
Rencana Strategis
Variabel Independen Variabel Dependen
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 61
Tabel 2. Distribusi Karakteristik Responden
Karakteristik Kategori Kelompok Frek ( N= 110) %
Jenis Kelamin 1. Laki-laki 21 30,91
2. Perempuan 49 69,09
Umur
1. < 30 13 11,82%
2. 30 - 40 46 41,82%
3. 41 - 50 34 30,91%
4. > 50 17 15,45%
Pendidikan
1. SMA/SPK 13 11,82%
2. D3 43 39,09%
3. Strata 1 (S1) 29 26,36%
4. Strata 2 (S2) 25 22,73%
Lama Kerja di
RS
1. < 5 Tahun 43 39,09%
2. 5 – 10 tahun 28 25,45%
3. 11 – 20 Tahun 21 19,09%
4. > 20 Tahun 18 16,36%
Lama Menjadi
Pejabat
Struktural
1. < 5 Tahun 81 73,64%
2. 5 – 10 tahun 23 20,91%
3. 11 – 20 Tahun 5 4,55%
4. > 20 Tahun 1 0,91%
Level Staf 1. Middle 59 53,64%
2. Low 51 46,36%
Tabel 3. Distribusi Gaya Kepemimpinan Direksi
Gaya Kepemimpinan Jumlah Level Staf
Middle Low
Directing 7 (6,36%) 2 (28,6%) 5 (71,4%)
Coaching 28 (25,45%) 11 (39,3%) 17 (60,7%)
Supporting 37 (33,64%) 22 (59,5%) 15 (40,5%)
Delegating 14 (12,73%) 12 (85,7%) 2 (14,3%)
Mix(Coaching-Supporting ) 24 (21,82%) 12 (50%) 12 (50%)
Total 110 (100%)
Tabel 4. Nilai Rata-Rata dan Simpangan Baku Pertanyaan Profil Organisasi dan
Pencapaian Target Renstra
Pertanyaan Variabel Nilai Rata-rata
I. Lingkungan Organisasi Χ= 2,762
< Mean >Mean SD
1 RS sudah memberikan pelayanan yang sesuai dengan renstra 2,8 0,465
2 Alur pelayanan di rumah sakit memberikan kemudahan bagi pasien 2,71 0,544
3 Perencanan strategis dibuat sesuai dengan visi, misi dan nilai di dalam RS 3,1 0,405
4 Pelayanan kesehatan di RS sudah berjalan sesuai visi, misi dan nilai 2,8 0,538
5 RS mengelola SDM sesuai dengan perencanaan strategis 2,6 0,608
6 RS menerapkan perencanaan jumlah dan jenis SDM secara tepat untuk
mencapai target perencanaan strategis 2,454 0,552
7 Pendidikan dan pelatihan merata dan tepat sasaran sesuai kebutuhan SDM di RS
2,436 0,533
8 RS melakukan monitoring, evaluasi dan umpan balik atas kinerja SDM 2,663 0,594
Martina Ovinda S., Kajian Gaya Kepemimpinan dan Profil Organisasi Terhadap Pencapaian Target Rencana Strategis RS Katolik di Palembang
Periode 2015-2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 62
Pertanyaan Variabel Nilai Rata-rata
I. Lingkungan Organisasi Χ= 2,762
< Mean >Mean SD
9 Sarana dan prasarana yang ada RS mendukung pelayanan RS secara optimal
dalam mencapai target/sasaran pelayanan 2,709 0,456
10 RS mengikuti perkembangan teknologi kesehatan untuk melengkapi
pelayanan di RS 2,727 0,447
11 Pemeliharaan sarana dan prasarana RS berjalan baik sehingga mendukung
pelayanan kepada masyarakat 2,690 0,520
12 RS menjamin sarana prasarana terpelihara dengan baik sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku 2,863 0,497
13 RS telah memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh peraturan perundangan
yang berlaku 3,127 0,560
14 Peraturan perundangan yang berlaku mendukung RS dalam usaha mencapai
perencanaan strategis 2,981 0,405
II. Hubungan di Organisasi Χ= 2,780
1 Struktur organisasi RS mendukung upaya pencapaian rencana strategis 2,845 0,387
2 Rencana strategis disusun dengan melibatkan struktur di dalam organisasi
dalam setiap tahap dan proses penyusunan maupun pelaksanaannya 2,718 0,509
3 RS memiliki tata kelola yang baik 2,472 0,501
4 Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan RS sesuai dengan kebutuhan
pelanggan dan masyarakat saat ini. 2,89 0,435
5 RS menggunakan informasi, saran dan masukan dari pelanggan untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan.
2,881 0,519
6 RS mencari dan menggunakan informasi dari pelanggan RS pesaing untuk
meningkatkan pelayanan 2,681 0,523
7 RS berkoordinasi dengan pemerintah dalam menentukan dan melaksanakan pengembangan pelayanan RS
2,927 0,463
8 RS memiliki prosedur/ mekanisme dalam mengatur hubungan kerjasama
antara RS dan penyalur 3,045 0,564
9 Pelaksanaan manajemen logistik di RS sudah efektif dan efisien 2,381 0,574
10 Penyalur dan perusahaan rekanan memberikan dukungan kepada RS untuk
menjamin mutu pelayanan 2,963 0,505
Situasi Organisasi Χ= 2,771
1 RS telah melakukan analisis eksternal untuk mengetahui posisi RS dalam persaingan bisnis kesehatan untuk mengetahui peluang dan ancaman yang akan
dihadapi RS.
2,845 0,51
2 RS telah melakukan analisis/penilaian internal untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan RS
2,827 0,539
3
Data analisis eksternal digunakan RS sebagai dasar untuk merubah ancaman
menjadi peluang berinovasi untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu
pelayanan.
2,736 0,482
4 RS melakukan pengukuran dan analisis trend terkait kinerja pelayanan yang
digunakan untuk mengoptimalkan pelayanan. 2,845 0,51
5 Penetapan prioritas kegiatan di RS sesuai dengan rencana strategi. 2,727 0,557
6 RS melakukan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut terhadap laporan kegiatan dan kinerja di RS.
2,659 0,610
Pencapaian Target Renstra Χ= 2,926 SD
1
Perspektif Pelanggan
Jumlah pasien rawat inap 2,745 1,176
Jumlah pasien rawat jalan 2,827 1,065
2
Perspektif Bisnis Internal
Kecepatan resep non racikan di farmasi rawat jalan < 20’ 3,118 0,774
Respons time IGD < 5’ 3,563 0,883
3
Perspektif Keuangan.
% Kesesuaian rencana dan realisasi anggaran 2,663 0,859
% Pertumbuhan pendapatan 3 0,741
4
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Indeks kepuasan karyawan 2,454 0,841
Lama waktu pelatihan karyawan per tahun (jam/orang) 3,036 0,811
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 63
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat
Jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016
The Influential Factors Againts the Long of Outpatient Waiting Time AtSanta Elisabeth
Batam Hospital 2016
Timbul Mei Silitonga
Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Lama waktu tunggu pelayanan di Unit Rawat Jalan menggambarkan kinerja dan mutu pelayanan Rumah Sakit
terhadap para pelanggannya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui rata-rata lama waktu tunggu rawat jalan serta
faktor-faktor yang terkait dengan hal itu, ditinjau melalui pendekatan kriteria Malcolm Baldrige di bidang
kesehatan yang meliputi: profil organisasi, kepemimpinan, rencana strategis, fokus pada pelanggan, pengukuran,
analisa dan manajemen pengetahuan, fokus pada sumber daya manusia, fokus pada proses dan hasil-hasil. Metode
penelitian yang dipergunakan adalah eksplanatori sekuensial, yaitu suatu metode campuran antara penelitian
kuantitatif yang diperkuat oleh penelitian kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif dengan cara pengamatan,
penghitungan dan pencatatan waktu tunggu pasien. Data-data kualitatif diperoleh melalui proses wawancara
mendalam secara terstruktur dan melakukan telaah dokumen yang terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nilai rata-rata lama waktu tunggu rawat jalan sebesar 66,58 menit per pasien yang berarti melebihi standard waktu
pelayanan minimal yaitu ≤ 60 menit sebagaimana yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Hasil analisa terhdap faktor-faktor yang terkait dengan lama waktu tunggu rawat jalan menunjukkan
bahwa ketujuh kriteria Malcolm Baldrige tersebut sangat berhubungan dengan nilai rata-rata lama waktu tunggu
rawat jalan tersebut di atas.
Kata kunci: kriteria Malcolm Baldrige, unit rawat jalan, waktu tunggu rawat jalan.
ABSTRACT
Long waiting time of service in the Outpatient Unit describes the performance and quality of hospital’s service
against its customers. The purpose of this research is to know the average length of outpatient waiting time as well
as the factors associated with it, are reviewed through the approach of Malcolm Baldrige in health which includes:
organization profile; leadership; strategic plan; focus on customers; measurement, analysis and management of
knowledge; focusing on human resources; focus on process and outcomes. The research method used was the
sequential explanatory, a mix methods between quantitative research that reinforced by qualitative research.
Quantitative data collection by way of observation, calculation and recording patient waiting time. Qualitative
data obtained through in-depth interviews are structured and do study related documents. The results showed that
the average value of long outpatient waiting time is 66.58 minutes per patient means exceeding the standard
minimum of service time, ≤ 60 minutes as defined by the Health Ministry of the Republic of Indonesia. The analysis
results of the factors related to long waiting time outpatient showed that seven criteria of Malcolm Baldrige is so
related to the average value of the long outpatient waiting time.
Keywords: Malcolm Baldrige Criteria, outpatient waiting time, outpatient units.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 64
PENDAHULUAN
Salah satu kriteria yang paling dianggap tepat dan
diinginkan oleh pasien dalam suatu organisasi pelayanan
kesehatan adalah pengobatan yang cepat dan tepat.
Pelayanan pengobatan yang dianjurkan di suatu rumah
sakit yaitu meminimalkan waktu pasien untuk mendapatkan
pelayanan pengobatan yang menyenangkan (Dansky &
Miles, 1997). Selain itu, pengelolaan alur pasien secara
efektif di unit rawat jalan adalah kunci untuk mencapai
keunggulan operasional dan kepastian kualitas klinis.
Hal ini suatu keutamaan di unit rawat jalan rumah sakit
yang besar dalam menangani banyaknya pasien dengan
pelbagai macam kasus (Mardiah & Basri, 2013 dalam
Mohebbifar et all, 2013).
Mohebbifar et all, 2013 juga menginformasikan suatu
penelitian yang dilakukan oleh dua rumah sakit
pendidikan yang berafiliasi ke Universitas Ghazvin di
Iran, yang bertujuan untuk mensurvei waktu tunggu
pasien rawat jalan sebanyak 160 orang di empat klinik
yaitu: klinik dermatologis (spesialis kulit), opthamologis
(spesialis mata), orthopedis (spesialis bedah tulang) dan
urologis (spesialis bedah saluran kemih).
Dari tabel 1 didapatkan data bahwa nilai rata-rata waktu
tunggu total terlama yaitu di klinik opthamologis sebesar
245 ± 29,8 menit untuk setiap pasien. Diikuti oleh klinik
dermatologis denga nilai rata-rata waktu tunggu total
sebesar 216 ± 32 menit untuk setiap pasien. Kemudian
di klinik urologis dengan nilai rata-rata waktu tunggu
total sebesar 81 ± 41.6 menit. Dan nilai rata-rata waktu
tunggu total tercepat terjadi di klinik orthopedis yaitu 77
± 43.4 menit untuk setiap pasien.
Pelayanan yang berkualitas terbaik dalam organisasi
pelayanan kesehatan adalah hak setiap orang. Waktu
menunggu dapat mengakibatkan perburukan kondisi
pasien yang membutuhkan konsultasi dokter. Salah satu
cara paling penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan
adalah dengan mengurangi lamanya waktu tunggu
(Matthews et al, 1991, dalam Mohebbifar, et al, 2013).
Seperti dinyatakan juga oleh Sinaga, 2006 dalam
Yamani, 2013 bahwa waktu tunggu yang lama harus
menjadi perhatian yang prioritas, oleh karena dapat
mengakibatkan perburukan penyakit pada pasien, keluarga
yang menunggu di rumah menjadi cemas, inefisiensi
waktu pelayanan dan hilangnya jam kerja yang
seharusnya masih dapat dipergunakan oleh pasien atau
keluarganya.
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam adalah salah satu
rumah sakit swasta tipe C, milik Yayasan Fransiskanes
Santa Elisabeth, yang berada di Provinsi Kepulauan
Riau. Rumah Sakit ini telah terakreditasi versi 2012 dan
memberikan pelayanan terhadap para pelanggannya
yang terdiri dari pasien umum, pasien dari beberapa
perusahaan rekanan dan klien asuransi. Rumah Sakit
Santa Elisabeth Batam juga merupakan rumah sakit
fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang melayani para
klien BPJS Kesehatan sejak tahun 2015 dan BPJS
Ketenagakerjaan sejak tahun 2016.
Di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth
Batam diterapkan alur pelayanan pasien rawat jalan.
Sebagai contoh: pasien umum (bukan pasien dari
perusahaan, asuansi ataupun BPJS) yang berkunjung,
mengambil nomor antrian di bagian pendaftaran.
Kemudian pasien dipanggil sesuai dengan nomor
antrian untuk didaftarkan oleh Staf Unit Pendaftaran.
Selanjutnya pasien diarahkan oleh staf pendaftaran ke
Unit Kasir untuk melakukan pembayaran biaya
pelayanan. Dari Unit Kasir pasien kembali ke bagian
pendaftaran untuk mengembalikan lembar tanda bukti
pembayaran. Setelah itu pasien menunggu di Poliklinik.
Bila ada resep dari dokter, lalu mengambil obat di Unit
Farmasi. Dari Unit Farmasi pasien kembali ke Unit
Kasir untuk melakukan pembayaran obat yang akan
dibeli. Dan pasien kembali lagi ke Unit Farmasi untuk
menerima obat yang telah diresepkan dokter baginya.
Setelah itu pasien pulang (SK Direktur RS Santa
Elisabeth Batam No. 298/DIR/BTM/SK/V/2016).
Berdasarkan hasil penelitian awal terhadap para pasien
dalam proses mendapatkan pelayanan di Unit Rawat
Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam, diperoleh
data-data lama waktu tunggu pasien atau waktu tunggu
rawat jalan dapat dilihat pada tabel 2.
Tampak bahwa waktu tunggu rawat jalan di klinik
dokter spesialis anak: 23 menit. Di klinik dokter
spesialis obsgyn 42 menit dan 158 menit. Sedangkan di
klinik internist (dokter spesialis penyakit dalam) 41
menit. Dan di klinik dokter spesialis mata tercatat
selama 113 menit. Waktu Tunggu Rawat Jalan terlama
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 65
dialami oleh pasien dokter obsgyn, yaitu 158 menit.
Waktu Tunggu Rawat Jalan tercepat dialami oleh
pasien dokter spesialis anak, yaitu 23 menit.
Peraturan Dirjen Bina Upaya Kesehatan Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Penilaian Kinerja Individu
Direktur Utama Rumah Sakit dan Kepala Balai
menetapkan bahwa Waktu Tunggu Rawat Jalan
(WTRJ) adalah rata-rata waktu yang diperlukan mulai
dari pasien yang sudah terdaftar tiba di poliklinik
sampai dilayani dokter, yaitu ≤ 60 menit.
Salah satu tujuan penelitin ini untuk mengetahui rata-
rata Waktu Tunggu Rawat Jalan (WTRJ) yang dialami
oleh pasien yang berkunjung ke Unit Rawat Jalan
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam, terhitung sejak
pasien telah terdaftar hingga pasien tersebut mulai
dilayani oleh dokter di ruangan klinik.
Hasil penelitian awal yang dilakukan pada 18 – 19
Oktober 2016 menunjukkan bahwa WTRJ ada yang
melebihi standard yang ditetapkan oleh Peraturan
Dirjen Bina Upaya Kesehatan Tahun 2014 tersebut di
atas (≤ 60 menit), yaitu pasien di klinik dokter spesiais
mata yang tercatat 113 menit dan pasien di klinik dokter
spesialis obsgyn yang tercatat 158 menit. Hal ini
mengindikasikan munculnya permasalahan yang
berhubungan dengan lama waktu tunggu pasien di
Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.
Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence
(MBCfPE) yang disebut juga dengan Baldrige
Excellence Framework merupakan perangkat untuk
mengukur keunggulan kinerja suatu organisasi. Baldrige
Excellence Framework (Health Care) atau Health Care
Criteria for Performance Excellence, kerangka kerja
pengukuran keunggulan kinerja dalam bidang kesehatan
yang meliputi Profil Organisasi dan 7 Kriteria:
Kepemimpinan; Strategi; Pelanggan; Pengukuran,
Analisa dan Manajemen Pengetahuan, SDM/ Tenaga
Kerja, Operasional dan Hasil-hasil {(2015-2016 Baldrige
Excellence Framework (Health Care)} dipergunakan
sebagai pendekatan sistem dalam upaya mengatasi
masalah lama waktu tunggu pasien di Unit Rawat Jalan
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.
Profil Organisasi dan ketujuh Kriteria Baldrige tersebut
juga dapat dijabarkan menjadi Kepemimpinan; Perencanaan
Strategis; Fokus pada Pelanggan; Pengukuran, Analisa
dan Manajemen Pengetahuan atau Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit (SIMRS); Fokus pada
SDM atau Tenaga Kerja; Fokus pada Operasional dan
Hasi-hasil.
Kenapa Peneliti memilih dan menetapkaan Health
Care Criteria for Performance Excellence atau Kriteria
Baldrige sebagai pendekatan sistem dalam mengatasi
maslah yang tersebut di atas? Peneliti merujuk pada
Sadikin, 2009, yang mengemukakan bahwa setidaknya
ada lima alasan untuk memilih dan menetapkan
Kriteria Baldrige sebagai framework (kerangka kerja)
yang terkait sistem manajemen kinerja, yaitu:
1. Kriteria Baldrige untuk memperbaiki keunggulan
kinerja suatu organisasi, dengan mendorong organisasi
tersebut dalam mengembangkan pendekatan yang
kreatif dan fleksibel sesuai kebutuhannya, selain itu
untuk menunjukkan hubungan sebab-akibat antara
pendekatan dengan hasilnya.
2. Kriteria Baldrige bersifat inklusif yang berarti
menguraikan kerangka kerja yang terintegratif dengan
menjawab seluruh faktor organisasi, operasional dan
hasilnya.
3. Kriteria Baldrige berfokus pada persyaratan yang
bersifat umum, bukan sekedar pada prosedur, tools
atau teknik.
4. Kriteria Baldrige bersifat adaptable, dapat digunakan
antara lain oleh organisasi edukasi, pelayanan
kesehatan, organisasi pemerintahan dan nirlaba
serta organisasi yang hanya memiliki satu lokasi
atau yang tersebar di seluruh dunia.
5. Kriteria Baldrige merupakan praktik manajemen
yang unggul karena selalu divalidasi. Kriteria
Baldrige secara regular diperbaiki untuk meningkatkan
lingkup kinerja yang didorong strategi, menjawab
kebutuhan seluruh pemangku kepentingan serta
mengakomodir kebutuhan dan praktik organisasi
yang penting.
Dari latar belakang di atas disebutkan bahwa lama
waktu tunggu pasien atau lama waktu tunggu rawat
jalan pada keempat klinik dokter spesialis yang
meliputi: klinik dokter spesialis obsgyn, klinik internist
(dokter spesialis penyakit dalam), klinik dokter spesialis
anak dan klinik dokter spesialis mata di Unit Rawat
Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam menunjukkan
bahwa waktu tunggu rawat jalan yang dialami pasien
telah melebihi standard yaitu > 60 menit. Hal ini
mengindikasikan adanya masalah yang berhubungan
Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 66
dengan lama waktu tunggu pasien di Unit Rawat Jalan
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.
Berdasarkan kenyataa di atas, Peneliti tertantang untuk
menyelidiki dan menganalisa lebih lanjut kenapa
masalah tersebut dapat terjadi? Dan bagaimana upaya
yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah
tersebut.
1. Tujuan Penelitian
2. Tujuan Umum
Mengetahui nilai rata-rata lama waktu tunggu rawat
jalan yang dialami pasien di Rumah Sakit Santa
Elisabeh Batam.
Tujuan Khusus:
1. Mengetahui faktor Profil Orgnisasi Rumah Sakit
yang berpengaruh terhadap lama waktu tunggu
rawat jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.
2. Mengetahui faktor Kepemimpinan yang berpengaruh
terhadap lama waktu tunggu rawat jalan di Rumah
Sakit Santa Elisabeth Batam.
3. Mengetahui faktor Perencanaan Strategis yang
berpengaruh terhadap lama waktu tunggu rawat
jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.
4. Mengetahui faktor Fokus pada Pelanggan yang
berpengaruh terhadap lama waktu tunggu rawat
jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.
5. Mengetahui faktor Pengukuran, Analisa dan Manajemen
Pengetahuan yang berpengaruh terhadap lama waktu
tunggu rawat jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth
Batam.
6. Mengetahui faktor Fokus pada SDM atau Tenaga
Kerja yang berpenagaruh terhadap lama waktu
tunggu rawat jalan di Rumah Sakit Santa Elisabeth
Batam.
7. Mengetahui faktor Fokus pada Opersional terhadap
lama waktu tunggu rawat jalan di Rumah Sakit
Santa Elisabeth Batam.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian yang berjudul “Faktor-faktor Yang
Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat
Jalan Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun
2016” ini, Malcolm Baldrige Criteria Health Care for
Excellence Performance yang disebut juga dengan
Kriteria Baldrige menjadi kerangka teori pendekatan
dalam meninjau faktor-faktor yang terkait dengan
kinerja staf di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Santa
Elisabeth Batam, yang output (hasil)nya adalah Lama
Waktu Tunggu Pasien Rawat Jalan (ditampilkan dalam
gambar 1).
Terdapat 7 Kriteria Baldrige yang meliputi:
1. Leadership (Kepemimpinan)
2. Strategiy (Perencanaan Strategis)
3. Customers (Fokus pada Pelanggan)
4. Measurement, Analysis and Knowledge Maagement
(Pengukuran, Analisa dan Manajemen Pengetahuan)
5. Workfoce (Fokus pada SDM atau Tenaga Kerja)
6. Operations (Fokus pada Operasional atau Proses)
7. Results (Hasil-hasil).
Ketujuh Kriteria Baldrige ini dibangun di atas dasar 11
Konsep Inti yang terdiri dari:
1. Kepemimpinan Visioner (Visionary Leadership)
2. Keunggulan yang digerakkan oleh pelanggan
(Customer –Driven Excellent)
3. Pembelajaran Organisasi dan Pribadi (Organizational
and Personal Learning)
4. Pemberian nilai pada karyawan dan mitra kerja
(Valuating Workforce Members and Partners
5. Ketangkasan (Agility)
6. Berfokus pada masa depan (Focuse on the Future)
7. Manajemen untuk Inovasi (Managing for Innovation)
8. Manajemen berdasarkan Fakta (Management by
Fact)
9. Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
10. Berfokus pada Hasil-hasil dan penciptaan Nilai
(Focus on Results and Creating Values)
11. Sistem Perspektif (Perspective System)
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode Eksplanatori
sekuensial yang merupakan campuran antara data
penelitian kualitatif yang dipakai untuk membantu
dalam menjelaskan secara detail tentang data penelitian
kuantitatif yang dilakukan di tahap awal (Creswell,
2014).
Proses penelitian ini diawali oleh suatu penelitian
kuantitatif yaitu dengan melakukan pengamatan, pengukuran
dan pencatatan berapa lama waktu tunggu yang dialami
setiap pasien mulai dari saat pendaftaran sampai pasien
mendapatkan pelayanan dokter di Unit Rawat Jalan
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam. Setelah itu
dilanjutkan dengan penelitian kualitatif berupa kegiatan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 67
wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap
beberapa informan atau narasumber terpilih serta menelaah
dokumen terkait untuk memperkuat hasil-hasil penelitian
kuantitatif.
Penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional
(potongan lintang), yang bertujuan mengamati hubungan
antara variabel-variabel penelitian pada waktu yang
bersamaan (Wibowo, 2014). Dalam penelitian ini variabel-
variabel independennya adalah: suatu profil organisasi;
kepemimpinan, perencanaan strategis; fokus pada pelanggan;
pengukuran, analisa dan manajemen pengetahuan; fokus
pada SDM/ Staf dan operasional. Variabel dependennya
adalah Waktu Tunggu Rawat Jalan (WTRJ).
Populasi penelitian ialah para pasien yang berkunjung ke
poliklinik Dokter Umum, Spesialis Anak, Spesialis
Obsgyn, Spesialis Penyakit Dalam, Spesialis Bedah,
Spesialis Kulit & Kelamin dan Spesialis Mata di Unit
Rawat Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.
Dalam pemilihan dan penetapan sampel, Peneliti
menerapkan teknik Non Probability Purposive Sampling
yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu (Sugiyono, 2015).
Perhitungan sampel menggunakan formula estimasi
proporsi populasi Lemeshow (1983) sebagai berikut:
n = Z21- α/2 P(1-P)
d2
Jika Z dengan tingkat kepercayaan 95% = 1,96. P
maksimal estimasi = 0,5. d = alpha (0,10) atau sampling
error = 10%,
maka n = (1,96)2 x 0,5 x (1-0,5)
(0,10)2
= 3,8416 x 0,25 = 96,04
0,01
Maka jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah
96,04 dengan pembulatan menjadi 96 pasien.
Informan dalam penelitian kualitatif yang ditetapkan
oleh Peneliti melalui pendekatan purposive sampling
yakni: teknik penentuan sampel sumber data atas
pertimbangan tertentu. Sampel ini lebih sesuai untuk
penelitian kualitatif (Sugiyono, 2015).
Informan yang berperan dalam penelitian ini diharapkan
dapat memberikan segala hal informatif terkait dengan
waktu tunggu pasien di Unit Rawat Jalan Rumah sakit
Santa Elisabeth Batam, berdasarkan wawasan pengetahuan
dan pengalamannya.
Instrumen atau perangkat alat ukur yang digunakan di
tahap penelitian kuantitatif ini adalah: pedoman observasi
(pengamatan) berupa lembar pengukuran dan pencatatan
waktu tunggu pasien. Di samping itu alat penunjuk
waktu yaitu: jam digital.
Instrumen yang dipergunakan pada tahap selanjutnya,
penelitian kulitatifnya yakni: pedoman wawancara
terstruktur dan mendalam (in-depth interview), dilengkapi
dengan alat perekam (hand phone) untuk merekam hasil
wawancara dan buku catatan bagi peneliti selama proses
wawancara berlangsung.
Teknik pengumpulan data yang dirancang dalam
penelitian ini melalui kegiatan yang terfokus pada
observasi, wawancara mendalam dan telaah dokumen.
Pengolahan dan Analisis Data
Seluruh data penelitian dari kegiatan observasi,
wawancara mendalam dan telaah dokumen diolah dan
dianalisis secara statistic.
Tahapan pengolahan data sebagai berikut:
a. Editing: untuk melihat hasil pengumpulan data yang
telah lengkap, mengandung keabsahan atau valid.
Konsisten dari setiap jawaban yang diberikan responden
pada kuesioner.
b. Coding untuk mengklasifikasikan data dn pemberian
kode pada setiap jawaban kuesioner.
c. Entry: tahapan yang dilakukan setelah proses editing
dan coding. Sebelum entry data terlebih dahulu akan
diperiksa ulang.
d. Data cleaning: tahapan untuk membersihkan semua
data dari potensi kesalahan yang mungkin terjadi
pada saat entry data. Data cleaning berfungsi untuk
melihat distribusi frekuensi guna menemukan hal-
hal yang tidak wajar pada data tersedia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil observasi (pengamatan), penghitungan dan
pencatatan diperoleh nilai rata-rata Waktu Tunggu
Rawat Jalan yang dialami seluruh sampel pasien pada
penelitian ini adalah 66,58 menit, yang melebihi
standard yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan No.129/Menkes/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rawat Jalan di Rumah
Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 68
Sakit yaitu ≤ 60 menit. Data distribusi rata-rata waktu
tunggu pasien di Poliklinik Dokter ditampilkan dalam
tabel 3.
Hasil pengolahan data secara statistik tentang Waktu
Tunggu Rawat Jalan pasien di Poliklinik Dokter Rumah
Sakit Santa Elisabeth Batam. Tabel 4 menunjukkan
bahwa mean (rata-rata) waktu tunggu pasien di Unit
Rawat Jalan Rumah Santa Elisabeth Batam adalah 66,
58 menit. Nilai median lama waktu tunggu rawat Jalan
adalah 53,00 menit. Lama waktu tunggu rawat jalan
minimal pasien adalah 10 menit, di Poliklinik Dokter
Spesialis Obsgyn. Dan lama waktu tunggu rawat jalan
maksimal pasien adalah 220 menit, di Poliklinik Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin.
Data-data mean, median, minimal, maksimal dan
standard deviasi Waktu Tunggu Rawat Jalan pasien di
Polikinik Dokter (ditampilkan dalam grafik 1).
Variabel-variabel independen yang meliputi profil
organisasi rumah sakit; kepemimpinan; rencana strategis;
fokus pada pelanggan; pengukuran, analisa dan
manajemen pengetahuan; fokus pada SDM dan fokus
pada proses atau operasional telah ditelususri melalui
proses wawancara mendalam terhadap semua informan,
serta dengan melakukan kegiatan telaah dokumen-
dokumen yang terkait.
Hal itu merupakan bagian proses penelitian kualitatif
yang dipergunakan untuk memperkuat data-data hasil
penelitian kuantitatif untuk mengetahui nilai rata-rata
lama Waktu Tunggu Rawat Jalan (WTRJ) di Rumah
Sakit Santa Elisabeth Batam. Sebagaimana diketahui
bahwa Waktu Tunggu Rawat Jalan (WTRJ) ini
menjadi variabel dependen dalam penelitian ini.
Peneliti mengkaji permasalahan lamanya waktu tunggu
pasien yang melebihi standard ( ≤ 60 menit ) di Unit
Rawat Jalan Rumah Sakit Elisabeth Batam periode
November – Desember tahun 2016 melalui pendekatan
Malcolm Baldrige Criteria for Health Care Performance
Excellence ( Kriteria Malcolm Baldrige untuk menilai
keunggulan kinerja dalam bidang pelayanan kesehatan
), 2015-2016 Health Care Criteria for Performance
Excellence, yang biasa disebut dengan Kriteria Baldrige.
1. Profil Organisasi
Kriteria ini merupakan gambaran singkat rumah
sakit, pengaruh-pengaruh kunci adalah bagaimana
penyelenggaraannya dan lingkungan persaingannya.
Dan antara lain juga tentang produk utama
pelayanan kesehatan yang ditawarkan, hubungan
kepentingannya dengan kesuksesan dan mekanisme
pelayanan kesehatan yang diberikan (2015-2016
Health Care Criteria for Performance Excellence).
Dari hasil wawancara mendalam terhadap informan
luar, beberapa pelanggan baik itu pasien atau orang
tua pasien, mereka mengungkapkan kesan awal
tentang profil Rumah Sakirt Santa Elisabeth Batam
adalah Rumah Sakit dengan reputasi yang baik.
Berkomitmen dan berupaya memberikan pelayanan
yang aman, nyaman, ramah dan memuaskan para
pelanggannya.
2. Kepemimpinan
Yang dimaksud kriteria kepemimpinan adalah bagaimana
perilaku para pemimpin senior mengarahkan dan
mempertahankan organisasi rumah sakit. Dan juga
sistem tata kelola rumah sakit dan bagaimana rumah
sakit memenuhi tanggung jawab sosial, etika dan
hukum. Dan bagaimana para pemimpin senior
dengan dan melibatkan seluruh tenaga kerja dan
pelanggan kunci (2015-2016 Health Care Criteria
for Performance Excellence). Dari kegiatan telaah
dokumen dapat diperlihatkan Standard Prosedur
Operasional dari Unit-unit Pendaftaran, Kasir, Rekam
Medis dan Poliklinik yang menjadi bagian Unit
Rawat Jalan. Disamping itu juga Kebijakan
Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien/PMKP
serta Pedoman dan Program PMKP yang di
dalamnya terdapat indikator mutu WTRJ.
3. Rencana Strategis
Kriteria rencana strategis turut membahas tentang
pengembangan rencana tindakan dan tujuan staregis,
demikian pula implementasi dan perubahannya jika
diperlukan, dan pengukuran kemajuan (2015-2016
Health Care Criteria for Performance excellence).
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 69
Dari hasil wawancara mendalam dengan Direktur
bagaimana rencana strategis yang dicanangkan
untuk menngatasi permasalahan lama waktu tunggu
pasien rawat jalan yang melebihi standard waktu
pelayanan minimal antara lain sebagai berikut:
1. Menambah pelayanan dokter yang terlalu ramai
untuk memindahkan jam pelayanannya.
2. Menambah tenaga di Unit Rekam Medis agar
proses penngambilan dokumen rekam medis
pasien bisa dipercepat.
3. Memperbanyak jam pelayanan dokter, tidak
hanya pada pagi dan sore, tetapi juga siang hari.
4. Fokus Pada Pelanggan
Kriteria fokus pada pelanggan membahas tentang
bagaimana menguji rumah sakit dalam melibatkan
para pasien dan pelanggan lain untuk kesuksesan
pasar jangka panjang, termasuk bagaimana rumah
sakit mendengarkan suara para pelanggan, membangun
hubungan dengan para pasien dan pelanggan lain,
dan menggunakan informasi dari mereka untuk
meningkatkan dan mengidentifikasikan peluang
inovatif ( 2015-2016 Health Care Criteria for
Prformance Excellece ).
Dari hasil wawancara menddalam terhadap mereka
sebagai informan luar ada beberapa catatan yang
terkait topik lama waktu tunggu pasien, sebagaimana
yang mereka harapkan. Pendapat mereka bervariasi.
Ada informan yang mengharapkan bahwa waktu
tunggu pasien yaitu antara 10 – 15 menit. Ada juga
yang mengharapkan waktu tunggu pasien 15 – 20
menit.
5. Pengukuran, Analisa & Manajemen Pengetahuan
Kriteria pengukuran, analisa dan juga manajemen
pengetahuan mengkaji bagaimana rumah sakit
memilih, mengumpulkan, menganalisis, mengelola,
dan memperbaiki data, informasi, dan modal
pengetahuan; bagaimana memepelajari; dan bagaimana
mengelola teknologi informasi. Kriteria ini juga
membahas bagaimana organisasi menggunakan
peninjauan temuan-temuan untuk meningkatkan
kinerjanya (2015-2016 Health Care Criteria for
Performance Excellence).
Dari hasil wawancara dengan informan, bahwa
dengan adanya Sistem Informasi Rumah Sakit
berbasis web ini sangat bermanfaat dan membantu
dalam melancarkan setiap proses yang bertujuan
memberikan pelayanan yang prima terhadap para
pasien maupun pelanggan lainnya.
6. Fokus pada SDM atau Staf
Kriteria Malcolm Baldrige fokus pada SDM atau
tenaga kerja mengkaji bagaimana organisasi rumah
sakit dalam menilai kemampuan dan kapasitas
(daya tampung) dan membangun lingkungan kerja
mereka yang kondusif untuk suatu kinerja yang
tinggi. Bagaimana orgnisasi rumah sakit merekrut,
mempekerjakan, dan mempertahankan keanggotaan
para tenaga kerja yang baru (2015-2016 Health Care
Criteria for Performance Excellence).
Permasalahan kekurangan jumlah tenaga kerja atau
staf di Unit Rekam Medis skala prioritas yang diikuti
oleh Unit Kasir. Dari hasi pengamatan di Unit
Rekam Medis tercatat hanya ada empat orang saja.
Dengan formasi ketenagaan satu orang berlatar
belakang pendidikan D III Rekam Medis/ Perekam
Kesehatan dan tiga orang lainnya berpendidikan
sederajat dengan SMA/SMK.
7. Fokus pada Proses atau Operasional
Kriteria fokus pada proses membahas bagaimana
rumah sakit harus merancang, meningkatkan, dan
menginovasikan pelayanan kesehatan dan proses
kerjanya. Disamping itu juga meningkatkan efektifitas
operasional untuk memberikan nilai bagi para pasien
dan pelanggan lainnya, serta untuk mencapai
keberhasilan rumah sakit yang sedang berjalan
(2015-2016 Health Care Criteria for Performance
Excellence).
Proses alur pelayanan di Unit Rawat Jalan yang
dialami oleh pasien atau pelanggan terlalu lama.
Setelah pasien itu terdaftar, ia harus ke unit kasir. Di
unit kasir pun ia mengantri. Dari unit kasir kembali
lagi ke unit pendaftaran. Lalu pasien menunggu
antrian di poliklinik untuk dilayani oleh dokter.
Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 70
Peneliti menemukan adanya masalah yang dihadapi
oleh pasien khususnya ketika harus melalui proses
pendaftaran sampai ia bertemu dan mulai dilayani
oleh dokter di klinik Unit Rawat Jalan Rumah Sakit
Santa Elisabeth Batam.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan data-data hasil peneltian dan pembahasannya,
maka peneliti menyimpulkan beberapa hal di bawah ini:
1. Nilai rata-rata waktu tunggu pasien keseluruhan di
Unit Rawat Jalan yang diperoleh adalah sebesar
66,58 menit per pasien. Ini menunjukkan masih
melebihi standard waktu pelayanan minimal rawat
jalan yaitu ≤ 60 menit.
2. Faktor-faktor yang sangat berkaitan dengan nilai
rata-rata waktu tunggu rawat jalan dari hasil
penelitian, ditinjau dari pendekatan Kriteria Malcolm
Baldrige yakni :
Faktor Profil Organisasi, Rumah Sakit Santa
Elisabeth Batam menghadirkan Unit Rawat
Jalan sebagai salah satu produk unggulan
pelayanan kesehatan yang berpedoman pada
visi, misi, niali-nilai, tujuan dan mottonya bagi
lapisan masyarakat kota Batam khususnya dan
Provonsi Kepulauan Riau pada umumnya,
namun masih diperhadapkan masalah dalam hal
WTRJ melebihi standard yang berdampak
ketidak puasan dan ketidak nyaman pelanggannya.
Kepemimpinan, dalam hal ini Direksi belum
memprioritaskan tentang WTRJ yang sangat
berkaitan erat dengan kegiatan pelayanan
terhadap pasien di Unit Rawat Jalan meskipun
sudah ada Peraturan Direktur Rumah Sakit
Santa Elisabeth Batam tentang Kebijakan
Peningkatan Mutu Dan Keselamatan Pasien
(PMKP) serta Pedoman dan Program PMKP
yang di dalamnya terdapat indikator mutu
WTRJ.
Faktor Rencana Strategis, pada bagian pernyataan
strategi melengkapi dan menyempurnakan
perencanaan Standard Operating Procedure
dari seluruh unit pelayanan untuk menunjang
kelancaran manajemen rumah sakit yang akan
berdampak terhadap peningkatan kecepatan dan
ketepatan pelayanan secara administratif, masih
belum diperlengkapi dengan lampiran kebijakan
Direktur tentang WTRJ beserta Standard
Prosedur Operasional atau SPO nya.
Faktor Fokus pada Pelanggan, tidak semua
pelanggan Unit Rawat Jalan mengalami suatu
kepuasan dan rasa nyaman.
Faktor Pengukuran, Analisa dan Manajemen
Pengethuan yang diimplementasikan dalam
bentuk penyelenggaraan Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit berbasis web tak
terluput dari gangguan pada sistem jaringan
internet khususnya. Situasi ini memicu keterlambatan
dalam mengakses pelayanan yang terkait
dengan verifikasi atau pengklaiman ke pihak
klien asuransi rekanan Rumah Sakit santa
Elisabeth Batam.
Faktor Sumber Daya Manusia atau Staf Pelayan
di Unit-unit yang terkait dengan Unit Rawat
Jalan yang meliputi pendaftaran, kasir, rekam
medis dan poliklinik. Jumlah staf di unit rekam
medis dan kasir yang masih kurang mengakibatkan
beban kerja mereka bertambah dan kinerja yang
tidak maksimal. Dampaknya adalah terjadi lama
waktu tunggu pasien rawat jalan yang melebihi
standard.
Faktor Operasional, yang mengkaji tentang
kebijakan Direksi tentang Alur Pelayanan Pasien
Rawat Jalan serta penerapannya di Unit Rawat
Jalan Rumah Sakit Santa Elisabeth. Alur
pelayanan pasien rawat jalan ini kenyataannya
tidak efisien dan efektif bagi para pasien yang
berobat. Proses yang harus dijalani para pasien
terlalu panjang.
Dengan munculnya permasalahan lamanya rata-
rata Waktu Tunggu Rawat Jalan yang melebihi
nilai standar (≤ 60 menit) sangat berpengaruh
terhadap faktor Fokus pada Pelanggan dalam hal
kenyamanan dan kepuasan para pelanggan
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam.
Saran
1. Untuk mengantisipatif munculnya permasalahan
lama WTRJ yang semakin rumit di Unit Rawat
Jalan, sebaiknya Direktur segera mensosialisasikan
kebijakan Pedoman Peningkatan Mutu dan
Keselamatan Pasien (PMKP) yang di dalamnya
terkandung indikator Waktu Tunggu Rawat Jalan
(WTRJ) yang telah ada bagi seluruh staf pelaksana
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 71
di Unit Rawat Jalan dan semua dokter yang
melayani di Poliklinik.
2. Kebijakan tentang “Alur Pelayanan Rawat Jalan”
sebaiknya ditinjau kembali dan selanjutnya dilakukan
perubahan ke arah yang lebih efisien dan efektif
terhadap para pelanggan pasien khususnya, sehingga
tidak membingungkan bahkan membuat ketidak
nyaman bagi para pelanggan pasien dalam
menjalani proses mulai dari pendaftaran sampai
mereka bertemu dengan dokter di ruangan untuk
mendapatkan pelayanan medis.
Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan yaitu
memberikan kemudahan sekaligus keistimewaan
bagi para pelanggan pasien dengan tidak perlu
membayar biaya administrasi pendaftaran dan
konsultasi dokter di awal pelayanan. Yang terpenting
bagaimana memberikan pelayanan medis terlebih
dahulu, dan hal ini mempunyai nilai tambah dalam
hal citra pelayanan rumah sakit. Prosedur yang dapat
diterapkan untuk opsi ini adalah setelah pasien
dilayani oleh dokter, kemudian perawat sigap dan
cepat mendampingi pasien ke unit kasir untuk
melakukan transaksi pembayaran biaya pengobatannya.
Selain itu, dalam hal merancang Bagan Alur
Pelayanan Rawat Jalan mengacu pada ketentuan
internasional (Point Flowchart). Pada Bagan Alur
Pelayanan Rawat Jalan yang ada saat ini, sebaiknya
istilah kata farmasi diubah dengan pernyataan
pengambilan obat. Istilah kata kasir diganti dengan
kata pembayaran dan kata out dengan kata pulang.
Tujuannya agar pasien lebih mudah mengerti
dengan penggunaan Bahasa Indonesia ini.
3. Manajemen Direksi mendelegasikan Kepala Seksi
SDM agar secara konsisten mengoptimalkan
keberadaan tenaga kerja atau staf pelaksana di Unit
Rawat Jalan dengan memperhatikan aspek standarisasi,
jumlah dan kompetensi sesuai kebutuhan dan
Uraian Tugas dan Wewenang (UTW) mereka.
4. Penambahan tenaga kerja atau staf pelaksana di Unit
Rekam Medis dan Unit Kasir dapat dipertimbangkan
oleh Manajemen Direksi bersama Kepala Seksi
SDM, sesuai kebutuhan dengan mengacu pada
standar ketersediaan sumber daya manusia di
Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Kementerian
Kesahatan Republik Indonesia. Selain itu juga
berdasarkan Index Staffing Need (ISN).
5. Manajemen Direksi melalui Bagian Pendidikan dan
Pelatihan membuat program pelatihan tentang
Manajemen Pendaftaran Pasien serta melaksanakannya
secara intensif secara khusus bagi Staf Pekerja di
Unit Informasi atau Pendaftaran.
6. Manajemen Direksi mengingatkan dan memotivasi
seluruh dokter di Rumah Sakit agar memulai
pelayanan di Unit Rawat Jalan dengan tepat waktu.
Jika diperlukan menerapkan “punishment and
reward concept”.
7. Membuka shift pelayanan bagi para dokter spesialis
khususnya yang berpraktek di Poliklinik pada siang
sampai sore hari, pukul 14.00 – 17.00 wib untuk
menghindari padatnya kunjungan pasien di shift
pagi atau malam hari. Dalam hal ini perlu
dipertimbangkan remunerasi bagi para dokter yang
bersedia melaksanakannya.
8. Untuk meningkatkan daya saing terhadap rumah
sakit yang sudah lebih modern di kawasan kota
Batam ini khususnya, dengan telah diterapkan
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit, maka
Manajemen Direksi sudah seharusnya malakukan
dan mempertimbangkan dan mewujudkan sistem
pelayanan pendaftaran pasien Unit Rawat Jalan
bersifat on line 24 jam. Beberapa opsi yang dapat
diwacanakan adalah:
Sistem pendaftaran on line 24 jam melalui jalur
komunikasi telepon, SMS dan Whatsapp.
Sistem pendaftaran on line 24 jam melalui jalur
media sosial, misalnya dengan membuka akun
facebook Rumah Sakit Santa Elisabeth Kota
Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Pada situs Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam
yang telah ada, sebaiknya ditambahkan aplikasi
sistem pendaftaran pasien Unit Rawat Jalan on
line 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
2015-2016 Malcolm Baldrige Health Care of Excellence Framework
http://www.nist.gov/baldrige.
Creswell, John W, 2016. Research Design, Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran, Edisi 4, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik N0. 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal.
Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 72
Lemeshow, Stanley et All, Lwanga, Stephen K. Adequacy of Sample Size in Health Studies.
University Massachusetts and World Health Organization. Moehebbifar et All, 2013. Outpatient Waiting Time in Health Services and Teaching Hospitals:
A Case Study in Iran dalam 30279-107330-2-PB%20.pdf diunduh 7 Februari 2017.
Peraturan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Penilaian Kinerja Individu Direktur Utama Rumah Sakit & Kepala Balai.
Rumah Santa Elisabeth Batam, SK Direktur No. 298/Dir/BTM/SK/V/2016 tentang Alur
Pasien Rawat Jalan Umum.
Sadikin, Iskandar, 2009-2010, Edisi VI. Bunga Rampai Kriteria Malcolm Baldrige National
Quality Award (MBNQA). Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, Cetakan ke 22. Bandung.
Penerbit Alfabeta.
Wibowo, Adik, 2014. Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Edisi 1, Cetakan 2. Jakarta: Rajawali Pers.
Yamani, Cholid, 2013. Analisis Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan Di Klinik Dr. Katili
Bogor Tahun 2012. Tesis. Program Paska Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit FKM Universitas Indonesia. Depok.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 73
Tabel 1. Rata-Rata Waktu Tunggu dan Kunjungan Setiap Pasien
Durasi waktu klinik
(menit)
Total Waktu Tunggu Waktu Kunjungan
Mean ± SD Mean ± SD
Klinik Dermatologis 216 ± 32 4 ± 0.8
Klinik Ophamologis 245 ± 29.8 6 ± 1
Klinik Urologis 81 ± 41.6 4 ± 0.7
Klinik Orthopedis 77 ± 43.4 6 ± 0.8
Sumber: Mohebbifar et all, 2013
Tabel 2. Lama Waktu Tunggu Pelayanan Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Santa
Elisabeth Batam, 18-19 Oktober 2016.
No. No. RM
Pasien
Waktu Pasien
terdaftar
(Wib)
Waktu Pasien
membayar di
Kasir
(Wib)
Waktu
Penyiapan RM
Pasien (Wib)
Waktu Pasien
Mulai Dilayani
Dokter (Wib)
WTRJ =
TC-RT
(Menit)
Poliklinik
Dokter
1. 07-76-85 09.32 09.33 09.49 10.15 42 Sp. Obsgyn
2. 19-88-49 09.59 09.59 10.09 10.40 41 Internist
3. 21-07-39 10.07 10.09 10. 11 12.00 113 Sp. Mata
4. 20-57-71 08.17 08.18 08.44 10.55 158 Sp. Obsgyn
5. 20-82-06 09.57 10.03 10.05 10.20 23 Sp. Anak
Sumber: Unit Informasi & Pendaftaran RS Santa Elisabeth Batam
Keterangan: AWT = Actual Waiting Time; TC = Time Called (Waktu Pasien Mulai Dilayani Dokter). RT =
Registration Time (Waktu Pasien Terdaftar)
Gambar 1. 2015-2016 Baldrige Excellence Framework (Health Care)
Timbul Mei Silitonga., Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Waktu Tunggu Rawat Jalan di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 74
Tabel 3. Data Distribusi Rata-Rata Waktu Tunggu Pasien di Poliklinik Dokter
Tabel 4. Data Mean, Median, Min-Max, Std Deviasi WTRJ di Poliklinik Dokter
No. Waktu Tunggu Rawat Jalan
(WTRJ) Pasien
Lama Waktu
( Menit ) Poliklinik Dokter
1. Mean ± Std. Error 66.58 ± 3.885
2. Median 53.00
3. Minimal 10 Spesialis Obsgyn
4. Maksimal 220 Spesialis Kulit & Kelamin
5. Standard Deviasi 45.472
Grafik 1. Data Waktu Tunggu Rawat Jalan Pasien di Poliklinik Dokter
Spesialis
Obsgyn
Spesialis
Kulit &
Kelamin
Mean Median Minimal MaksimalStandard
Deviasi
Lama Waktu (Menit) 66,58 53 10 220 45,472
0
50
100
150
200
250
Grafik Waktu Tunggu Rawat Jalan
No. Poliklinik Jumlah Pasien Waktu Tunggu Pasien
( Menit )
Rata-rata Waktu
Tunggu
( Menit )
1 Dokter Spesialis Anak 52 982 18,90
2 Dokter Spesialis Peny. Dalam 30 1.358 45,30
3 Dokter Spesialis Obsgyn 31 878 28,30
4 Dokter Spesialis Bedah 5 150 30,00
5 Dokter Spesialis Kulit & Kelamin 8 175 21,90
6 Dokter Spesialis Mata 1 169 169,00
7 Dokter Umum 11 236 21,50
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 75
Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada
Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis
Analysis of Antibiotics Inventory Control at Meilia Hospital in 2014 Using ABC Critical
Index Method
Myrna Octaviany
Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran proses pengendalian persediaan obat antibiotik di RS Meilia pada
tahun 2014 dengan menggunakan metode analisis ABC indeks kritis. Desain penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kuantitatif. Data yang digunakan adalah data pemakaian obat antibiotik di bulan Januari s/d Desember
2014 dan hasil pengisian kuesioner nilai kritis obat. Hasil penelitian menunjukkan kelompok A hasil analisis ABC
indeks kritis terdiri dari 10 item obat antibiotik dengan nilai investasi sebesar Rp 2.114.748.870,- (39.91%).
Kelompok B terdiri dari 45 item dengan nilai investasi sebesar Rp 2.380.506.460,- (44.92%). Kelompok C terdiri
dari 110 item dengan nilai investasi sebesar Rp. 803.183.274,- (15.17%). Analisis persediaan pada kelompok A
dilakukan dengan menghitung EOQ dan ROP. Tiga metode peramalan digunakan pada penelitian ini yaitu Single
Smoothing Exponential, Moving Average 3 periode, dan Weighted Moving Average 3 periode. Pemilihan metode
peramalan yang akan digunakan dengan mempertimbangkan tingkat akurasi data yang dihasilkan dan pengaruh
hasil peramalan pada besaran nilai investasi.
Kata kunci: metode indeks kritis ABC; EOQ; Peramalan; Kontrol inventaris; ROP.
ABSTRACT
The purpose of this research is to analyze antibiotics inventory control using ABC critical index method at Meilia
Hospital in 2014. The design of this research is a descriptive quantitative research. In this research the data is
based on the consumed antibiotics in January to December 2014 and the critical index value of antibiotics. The
result showed that the group A consisted of 10 items with a value of Rp 2.114.748.870,- (39.91%). The group B
consisted of 45 items with a value of Rp 2.380.506.460,- (44.92%). The group C consisted of 110 items with a
value of Rp 803.183.274,- (15.17%). An inventory control analysis was done by calculating EOQ and ROP of the
group A. The three methods of forecasting were used in this research, i.e Single Smoothing Exponential, 3 period
Moving Average, and 3 period Weighted Moving Average. Forecasting method that will be used is determined by
the level of accuracy and the influence of forecast result on hospital cost.
Keywords: ABC critical index method; EOQ; Forecasting; Inventory control; ROP.
PENDAHULUAN
Rumah sakit sebagai sebuah institusi pelayanan
kesehatan, menjalankan beberapa fungsi pelayanan,
diantaranya fungsi pelayanan penunjang medis
(Aditama, 2006). Pelayanan farmasi merupakan salah
satu pelayanan penunjang yang mutlak dimiliki oleh
setiap rumah sakit.
Salah satu yang menjadi poin perhatian dalam
pelayanan kefarmasian adalah jaminan ketersediaan
obat di rumah sakit. Perencanaan persediaan obat yang
baik memberikan jaminan ketersediaan obat sesuai
dengan kebutuhan.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 76
Salah satu fungsi manajerial yang penting di rumah
sakit adalah fungsi pengendalian persediaan (inventory
control). Persediaan berfungsi untuk mengantisipasi
kebutuhan yang muncul dalam rangkaian proses
pelayanan (Dewanty, 2012). Bowersox (2004)
menyebutkan bahwa persediaan merupakan salah satu
poin yang riskan dan membutuhkan perhatian khusus
dalam manajemen logistik. Menilik pada hal-hal yang
telah disebut sebelumnya, maka perencanaan
persediaan obat yang tidak dilakukan dengan baik,
akan menimbulkan beban bagi rumah sakit. Beban
tersebut dapat berupa terganggunya pelayanan
kesehatan karena tidak tersedianya obat sesuai dengan
kebutuhan dan nilai persediaan obat yang besar
sehingga menjadi beban keuangan rumah sakit. Dapat
disimpulkan pengelolaan obat secara benar, efisien dan
efektif adalah mutlak dibutuhkan oleh rumah sakit dan
pengelolaan yang baik berawal dari perencanaan yang
baik pula.
Rumah Sakit Meilia sebagai sebuah rumah sakit
swasta yang berkembang, saat ini belum menerapkan
sistem perencanaan kebutuhan dan pengendalian
persediaan obat. Hal – hal yang perlu mendapat
perhatian terkait persediaan obat di RS Meilia
tergambar dari hasil wawancara informal dengan
Penanggungjawab Unit Farmasi, Wadir Keuangan
dan hasil pengamatan yang dilakukan selama masa
residensi, yaitu meliputi :
1. Biaya pembelian obat di RS Meilia mencapai lebih
dari 60% total biaya pengadaan bahan baku. Total
biaya pengadaan bahan baku meliputi : obat,
reagen dan labu darah, film dan fixer developer, alat
kesehatan, gas medis, dan konsumsi (makanan)
pasien (ditampilkan dalam tabel 1).
2. Nilai persediaan antibiotik rata-rata mencapai 25%
dari nilai persediaan obat secara keseluruhan,
meskipun jumlah jenis obat antibiotik kurang dari
10% total jenis obat di RS Meilia.
3. Belum dilakukan evaluasi dan revisi terhadap
formularium yang ditetapkan pertama kali pada
tahun 2009.
4. Kebijakan terkait pemberlakuan pola peresepan
berdasarkan formularium rumah sakit belum
diimplementasikan dengan baik.
Rata-rata jumlah resep keluar per bulan berdasarkan
data bulan Juli – Desember 2014 bernilai sekitar Rp
106.486.740,-. Data yang ditampilkan hanya
mencakup resep yang diproses melalui Unit Farmasi
RS Meilia, sehingga jumlah resep keluar yang
sebenarnya dapat berjumlah lebih besar dari data di
atas. Hal ini terjadi karena belum diterapkannya
peresepan elektronik dalam sistem informasi rumah
sakit. Pasien dapat memilih untuk membeli obat
melalui Unit Farmasi RS atau membeli di apotek luar
dan rumah sakit sulit mencegah hal tersebut.
Penerapan DOS yang tidak optimal dapat sangat
mempengaruhi persediaan obat. Di RS Unit Farmasi
menambah persediaan dengan obat-obatan yang
sebelumnya tidak masuk dalam formularium hanya
berdasarkan permintaan yang diterima dari para dokter.
Metode ABC indeks kritis, Economic Order Quantity
(EOQ) dan Reorder Point (ROP) merupakan salah
satu metode yang dapat digunakan dalam
pengendalian persediaan obat. Metode ABC indeks
kritis berperan dalam menentukan kelompok prioritas
pengendalian dengan mempertimbangkan jumlah
pemakaian, besaran investasi, dan nilai kritis dari setiap
obat.
Berawal dari gambaran permasalahan yang muncul
terkait dengan persediaan obat di RS Meilia dan belum
diterapkannya metode pengendalian persediaan obat,
peneliti merasa perlu melakukan analisis pengendalian
persediaan obat di RS Meilia pada tahun 2014 dengan
menggunakan metode ABC indeks kritis yang
dilanjutkan dengan EOQ dan ROP. Diharapkan, dari
penelitian ini dapat diperoleh metode pengendalian
persediaan yang tepat untuk diterapkan di RS Meilia
yang dapat mendukung langkah efisiensi biaya di
rumah sakit dan meningkatkan kualitas pelayanan
pasien di RS Meilia.
TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen logistik adalah sebuah proses pengelolaan
yang strategis terhadap seluruh komponen pengelolaan
logistik. Wolper (1995) dalam Sabarguna (2011)
berpendapat bahwa manajemen logistik mempunyai
peranan dalam pengendalian barang dan pelayanan
mulai dari akuisisi sampai disposisi.
Fungsi manajemen logistik dapat dijabarkan sebagai
berikut : (Aditama, 2002)
1. Fungsi perencanaan dan penetapan kebutuhan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 77
Dalam membuat perencanaan dan penetapan
kebutuhan farmasi, terdapat tiga metode yang dapat
digunakan, yaitu : (Febriawati, 2013)
a. Metode konsumsi
b. Metode epidemiologi
c. Metode kombinasi
2. Fungsi penganggaran
Fungsi penganggaran berperan menetapkan
batasan biaya, sehingga keseluruhan proses
pengelolaan logistik memberikan keuntungan bagi
perusahaan.
3. Fungsi pengadaan
Tujuannya adalah memenuhi kebutuhan
operasional berdasarkan perencanaan yang telah
dibuat dan disesuaikan dengan anggaran yang telah
dialokasikan.
4. Fungsi penyimpanan dan penyaluran
Fungsi ini sangat berkaitan dengan monitoring
kualitas barang, sehingga dapat meminimalkan
risiko kerusakan dan diterima oleh user dalam
kondisi baik dan siap pakai.
5. Fungsi pemeliharaan
Fungsi pemeliharaan erat hubungannya dengan
fungsi penyimpanan. Keduanya mempunyai
peranan penting dalam menjaga kualitas
barang/persediaan, sehingga meminimalkan risiko
kerusakan persediaan yang merugikan perusahaan.
6. Fungsi penghapusan
Menurut Subagya (1994) dalam Febriawati
(2013), penghapusan adalah kegiatan atau usaha
pembebasan barang dari pertanggungjawaban
sesuai peraturan yang berlaku.
7. Fungsi pengendalian
Merupakan fungsi inti dari seluruh rangkaian
pengelolaan logistik yang meliputi usaha untuk
mengawasi dan mengamankan keseluruhan
proses pengelolaan logistik.
Pengelolaan logistik di fasilitas kesehatan mempunyai
peranan yang besar dalam keseluruhan rangkaian
operasional. Berbagai survei menunjukkan bahwa
30%–50% dari anggaran rumah sakit berhubungan
dengan materials, consumables, equipment dan
outsourcing (Kafetzidakis dan Mihiotis, 2012). Sistem
pelayanan kesehatan menjadi sektor industri yang
terakhir menerapkan pengendalian persediaan dan
biaya. (Simchi-Levi et al, 2003).
Penerapan manajemen persediaan dapat memberikan
kontribusi positif terhadap profit perusahaan.
Manajemen persediaan yang bertujuan untuk
meminimalkan nilai investasi dalam persediaan
(pengadaan dan penyimpanan) dengan tetap
memperhatikan demand dan supply (West, 2009).
Persediaan berguna untuk mengantisipasi fluktuasi
permintaan, kurangnya pasokan, dan waktu tunggu
barang yang dipesan (Dewanty, 2012). Persediaan
yang terlalu banyak/sedikit dapat menimbulkan
kerugian bagi perusahaan/rumah sakit. Bila persediaan
berlebih, maka rumah sakit akan terbebani oleh
besarnya biaya penyimpanan. Persediaan yang terlalu
sedikit, menyebabkan rumah sakit tidak mendapat
keuntungan yang seharusnya diperoleh dari penjualan
barang tersebut dan rumah sakit mengalami penurunan
kinerja karena pelayanan yang diberikan tidak
maksimal pada pasiennya (Peterson, 2004).
Tujuan pengendalian persediaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan habis pakai adalah untuk :
1. Penggunaan obat sesuai dengan formularium
rumah sakit
2. Penggunaan obat yang rasional, sesuai dengan
diagnosis dan terapi.
3. Memastikan bahwa ketersediaan sesuai dengan
kebutuhan dalam pelayanan
Analisis ABC adalah salah satu metode yang
digunakan dalam perencanaan dan pengendalian
persediaan. Fokus utama dari analisis ABC adalah
pengelompokan persediaan berdasarkan jumlah
kumulatif pemakaian dan nilai investasi dari setiap
persediaan yang ada. Pengelompokan ini dilakukan
untuk menentukan prioritas pengendalian.
Diperlukannya penetapan kelompok prioritas
mengingat jumlah obat-obatan di rumah sakit sangat
banyak dan beragam (Peterson, 2004) (Mishra &
Lsoni, 2012).
Analisis ABC berkembang dari Pareto Principles,
yang menyatakan bahwa “80% of the effects come
from 20% of causes.“ Hal ini bila diterapkan dalam
manajemen persediaan rumah sakit yaitu 20% dari
total persediaan mempunyai nilai 80% dari total
investasi persediaan (Williams, 2003).
Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 78
Dalam metode analisis ABC, terdapat dua jenis analisis
yang dilakukan, yaitu analisis ABC pemakaian dan
analisis ABC investasi. Langkah-langkah melakukan
analisis ABC adalah sebagai berikut :
1. Membuat daftar seluruh item persediaan yang
akan diklasifikasikan beserta harga beli per satuan
dari masing-masing item tersebut.
2. Menghitung jumlah pemakaian per tahun dari
setiap item.
3. Urutkan mulai dari item dengan jumlah
pemakaian terbasar s/d terkecil.
4. Jumlahkan nilai pemakaian dari seluruh item
untuk mendapat total nilai pemakaian
5. Hitung persentase pemakaian masing-masing
item obat terhadap jumlah pemakaian obat.
6. Selanjutnya menghitung persentase kumulatif
pemakaian dari masing-masing item obat
7. Menghitung nilai investasi masing-masing obat
per tahun dengan mengalikan jumlah pemakaian
per tahun dengan harga satuan terkecil dari
masing-masing item.
8. Urutkan mulai dari item obat dengan nilai
investasi terbesar s/d terkecil.
9. Jumlahkan nilai pemakaian dari seluruh item
untuk mendapat total nilai pemakaian
10. Hitung persentase nilai investasi masing-masing
item obat terhadap total nilai investasi persediaan
obat.
11. Selanjutnya menghitung persentase kumulatif
nilai investasi dari masing-masing item obat
12. Selanjutnya menghitung persentase kumulatif
pemakaian dari masing-masing item obat
13. Kelompokkan hasil penghitungan persentase
kumulatif pemakaian dan persentase kumulatif
investasi ke dalam kelompok A,B, dan C dengan
ketentuan :
a. Kelompok A : persentase kumulatif s/d 70%
b. Kelompok B : persentase kumulatif 71 s/d
90%
c. Kelompok C : persentase kumulatif 91 s/d
100%
Pengelolaan persediaan rumah sakit, khususnya obat-
obatan, tidaklah cukup dilakukan analisis dan
pengelompokan berdasarkan jumlah pemakaian dan
pengaruhnya terhadap keuangan rumah sakit.
Dikembangkanlah sebuah metode analisis yang
berawal dari analisis ABC yatiu analisis ABC indeks
kritis. Metode ini menggabungkan tiga aspek analisis
yaitu analisis ABC pemakaian, analisis ABC investasi,
dan nilai kritis barang terhadap pelayanan. Pada
metode ini dilibatkan pemakai, dalam hal ini adalah
para dokter yang berkontribusi dalam melakukan
peresepan untuk menentukan nilai kritis terhadap
persediaan yang ada.
Langkah-langkah melakukan analisis ABC indeks
kritis :
1. Penentuan nilai kritis obat antibiotik yang
digunakan pada bulan Januari s/d Desember 2014
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Penentuan responden nilai kritis obat antibiotik.
b. Responden mengelompokan obat antibiotik
dengan kriteria sebagai berikut :
Kelompok X : barang yang tidak boleh
diganti, harus selalu tersedia.
Kelompok Y : barang yang dapat
digantikan, toleransi kekosongan
persediaan tidak lebih dari 48 jam
Kelompok Z : barang yang dapat
digantikan dan toleransi kekosongan
persediaan dapat lebih dari 48 jam
Kelompok O : barang yang tidak dapat
diklasifikasikan dalam kelompok X,Y,Z
c. Pembobotan dari setiap kelompok dengan
ketentuan : X=3, Y=2, Z=1, O tidak diberi
bobot. Selanjutnya dihitung nilai kritis rata-rata
dari masing-masing item barang.
2. Penentuan hasil analisis ABC indeks kritis
Terlebih dahulu melakukan pembobotan
terhadap kelompok A,B, dan C hasil analisis
ABC pemakaian dan investasi dengan
ketentuan sebagai berikut :
A = 3, B = 2, C = 1
Kemudian menghitung analisis indeks kritis
dengan rumus (ditampilkan dalam gambar 1).
Keterangan :
W1 = Nilai kritis
W2 = Analisis ABC pemakaian
W3 = Analisis ABC investasi
Hasil penghitungan dikelompokkan dengan
kententuan : kelompok A dengan indeks kritis
antara 9.5 – 12, kelompok B dengan indeks
kritis 6.5 – 9.4, dan kelompok C dengan indeks
kritis 4.0 – 6.4.
Economic order quantity (EOQ) pertama kali
dipublikasikan oleh Ford W.Harris pada tahun 1915
dan masih digunakan sampai dengan saat ini (Render
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 79
& Stair, 2012). Metode EOQ dapat digunakan apabila
terdapat pola pembelian berulang dari sebuah produk
barang sehingga dapat menekan biaya (Peterson,
2004) (Waters, 2003).
Dalam penggunaan metode EOQ membutuhkan
beberapa asumsi ditetapkan terlebih dahulu, yaitu :
1. Jumlah permintaan diketahui dan bersifat konstan
2. Lead time, yaitu waktu antara pemesanan sampai
dengan barang diterima, diketahui dan bersifat
konstan
3. Harga beli setiap barang diasumsikan tidak
berubah sepanjang tahun dan tidak adanya
potongan harga
4. Jumlah pemesanan pada titik di mana kekosongan
persediaan dapat dihindarkan (ditampilkan dalam
gamnar 2).
Setelah menentukan jumlah pemesanan, maka
langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah
menetapkan waktu pemesanan dilakukan kembali.
Rangkuti (1996) mendefinisikan reorder point sebagai
batas dari jumlah persediaan yang masih ada, di mana
kondisi tersebut menandakan perlu dilakukannya
pemesanan kembali. Yang perlu menjadi
pertimbangan adalah waktu yang dibutuhkan antara
pemesanan dilakukan sampai dengan barang diterima.
Pada jeda waktu tersebut, harus ada jaminan bahwa
persediaan tetap ada sehingga tidak mengganggu
pelayanan. Penghitungan ROP menggunakan rumus
(ditampilkan dalam gambar 3).
Apabila terdapat besaran safety stock maka
penghitungan ROP (ditampilkan dalam gambar 4).
Keterangan :
d = jumlah pemakaian per hari
L = waktu tunggu antara pemesanan hingga barang
diterima / Lead time ( hari )
Safety stock didefinisikan sebagai jumlah persediaan
tambahan yang disiapkan untuk menghindari
terjadinya kekosongan persedian (stock out). Safety
stock tidak akan berpengaruh pada jumlah barang
harus dipesan, tetapi mempengaruhi waktu pemesanan
(Waters, 2003).
Rumus Safety Stock (ditampilkan dalam gambar 5).
Peramalan dapat dilakukan dengan tiga metode
peramalan utama, yaitu : (Bowersox, 2002)
1. Metode Kausal
Metode ini mengasumsikan bahwa permintaan
akan suatu produk tergantung pada satu atau
beberapa faktor independen, diterapkan pada
peramalan jangka pendek – menengah dengan
biaya yang relatif sedang.
2. Metode Ekstrapolasi atau deret berkala (time series)
Metode ini menggunakan permintaan masa lalu
dalam membuat peramalan kebutuhan yang akan
datang. Yang termasuk metode deret berkala antara
lain : Moving Average, Weigthed Moving Average,
Exponential Smoothing, dan Seasonal Adjustment.
3. Metode Kualitatif
Metode ini mengandalkan opini pakar dalam
membuat prediksi masa depan dan digunakan
pada peramalan jangka panjang.
Penelitian ini menggunakan tiga metode peramalan
yaitu:
a. Single Smoothing Exponential
b. Simple Moving Average 3 periode
c. Weighted Moving Average 3 periode
Average Error dan Mean Absolute Error digunakan
untuk menentukan metode yang tepat dalam
forecasting atau peramalan (Brockwell dan Davis,
2002). Metode dengan nilai AE/MAE yang paling
kecil yang akan dipilih sebagai metode peramalan.
AE/MAE dengan nilai paling kecil menunjukkan
kesalahan peramalan terkecil dibandingkan dengan
data riil yang ada.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Unit Farmasi Farmasi RS
Meilia pada bulan Mei 2015. Penelitian ini adalah
merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, yang
melakukan analisis terhadap pengendalian persediaan
obat, khususnya kelompok antibiotik di RS Meilia.
Metode analisis persediaan yang digunakan adalah
metode analisis ABC indeks kritis, yang selanjutnya
dikembangkan dengan penghitungan Economic
Order Quatity (EOQ) dan Reorder Point (ROP).
Populasi penelitian ini adalah obat kelompok antibiotik
yang digunakan di RS Meilia pada periode Januari–
Desember 2014 yaitu sejumlah 165 item obat
antibiotik. Sampel penelitian ini adalah antibiotik
kelompok A – analisis ABC indeks kritis.
Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan
Metode Analisis ABC Indeks Kritis
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 80
Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Pengumpulan data obat antibiotik yang digunakan
di RS Meilia periode Januari s/d Desember 2014
disertai jumlah pemakaian obat dan nilai beli satuan
terkecil dari masing-masing obat.
2. Pengelompokan obat antibiotik dengan
menggunakan analisis ABC pemakaian dan
investasi.
3. Penentuan nilai kritis dari masing-masing obat
antibiotik.
4. Penghitungan analisis ABC indeks kritis.
5. Melakukan perhitungan Economic Order
Quantity (EOQ) dari kelompok A analisis ABC
indeks kritis. Adapun biaya penyimpanan
diasumsikan sebesar 10% dari harga beli masing-
masing obat antibiotik (dalam satuan terkecil) dan
biaya pemesanan sebesar 5% harga beli masing-
masing obat antibiotik (dalam satuan terkecil).
6. Penghitungan Safety Stock dan Reorder Point (
ROP )
7. Forecasting atau peramalan
Peramalan dengan menggunakan 3 metode, yaitu :
Simple Moving Average 3 Periode
Weighted Moving Average 3 Periode
Single Smoothing Exponential
8. Pengukuran akurasi dari masing-masing metode
peramalan yang digunakan dengan menggunakan
penghitungan Average Error (AE) dan Mean
Average Error (MAE).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah:
1. Data sekunder yang dapat digunakan terbatas
pada periode Januari s/d Desember 2014. Data
dari periode sebelumnya tidak tersedia oleh karena
sistem informasi rumah sakit hanya berfungsi
selama kurang lebih satu tahun yaitu pada bulan
Maret 2014 sampai dengan Februari 2015 .
2. Penghitungan biaya penyimpanan dan
pemesanan ditentukan berdasarkan asumsi yang
ditetapkan oleh Unit Farmasi dan Direktorat
Keuangan.
3. Peramalan yang dilakukan dalam penelitian ini
terbatas untuk memberikan gambaran cara
penghitungan. Diharapkan Unit Farmasi dapat
menerapkan metode yang dipilih pada proses
perencanaan kebutuhan obat antibiotik selanjutnya.
Persediaan Obat di RS Meilia
Berdasarkan laporan keuangan RS Meilia diperoleh
data bahwa pengeluaran rumah sakit pada item obat
pada periode Januari – Desember 2014 mencapai Rp
22.782.657.058,- (20.36%) dari seluruh biaya
operasional yang dikeluarkan rumah sakit. Nilai obat
tersebut mencapai 66.39% dari nilai bahan baku pada
tahun 2014 yaitu sebesar Rp 34.312.115.499,- Hal ini
melandasi diperlukannya pengendalian yang baik
terkait persediaan obat di RS Meilia.
Persediaan obat di RS mengacu pada formularium
rumah sakit. Formularium yang digunakan saat ini di
RS Meilia adalah hasil penyusunan pada tahun 2009
dengan disertai beberapa penambahan jenis obat pada
tahun 2012. Obat-obat yang tidak termasuk dalam
formularium rumah sakit masih dimungkinkan
diadakan oleh Unit Farmasi, terutama bila dokter yang
meresepkan tidak bersedia dilakukan penggantian obat
dengan sediaan sejenis yang ada di rumah sakit.
Setiap tahunnya Unit Farmasi membuat perencanaan
anggaran dengan menghitung jumlah total investasi
terkait persediaan obat yang diperlukan, tanpa
melakukan penghitungan jumlah kebutuhan per jenis
obat secara terperinci. Proses pembelian dilakukan 3
(tiga) kali dalam seminggu dengan waktu tunggu yang
dibutuhkan rata-rata berisar 1-2 hari.
Pemantauan persediaan dilakukan satu kali setiap
tahunnya dengan melaksanakan stock opname di Unit
Farmasi, Gudang, dan depo-depo yang terdapat di unit
pelayanan ( Ranap, Rajal, OK, UGD ). Pencatatan
persediaaan obat dilakukan secara manual dengan
menggunakan kartu stok dan buku register pemakaian
obat. Pencatatan belum dibuat dengan menggunakan
program Microsoft Excel Worksheet, sehingga cukup
menyulitkan dalam pengolahan data selanjutnya.
Analisis ABC Pemakaian
Kelompok A analisis ABC pemakaian terdiri dari 21
item obat antibiotik (12.72%) dengan jumlah
pemakaian mencapai 69.64% dari total pemakaian
obat antibiotik. Kelompok B analisis ABC pemakaian
mencakup 29 item obat antibiotik (17.58%) dengan
jumlah pemakaian 20.33% dari total pemakaian obat
antibiotik, sedangakan kelompok C analisis ABC
pemakaian terdiri dari 115 item obat (69.70%) dengan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 81
jumlah pemakaian 10.03% dari total pemakaian obat
antibiotik pada periode Januari s/d Desember 2014.
Mengacu pada formularium yang berlaku di RS
Meilia, terdapat 4 (empat) sediaan obat antibiotik yang
masuk dalam kelompok A analisis ABC pemakaian,
namun tidak tercantum dalam formularium.
Analisis ABC Investasi
Dari 165 obat antibiotik yang digunakan terdapat 21
item obat (12.72%) yang masuk ke dalam kelompok
A dengan nilai investasi mencapai 68.74% dari total
investasi obat antibiotik. Kelompok B analisis ABC
investasi meliputi 28 item obat antibotik (16.96%)
dengan nilai investasi Rp 1.114.064.031,- atau 21.02%
dari total investasi obat antibiotik. Sedangkan
kelompok C analisis ABC investasi terdiri dari 116
item obat dengan nilai investasi 10.24% dari nilai
investasi obat antibiotik pada periode Januari s/d
Desember 2014.
Bila dibandingkan dengan formularium yang berlaku
saat ini di RS Meilia, terdapat lima sediaan obat
antibiotik yang masuk dalam kelompok A-analisis
ABC investasi, namun tidak tercantum dalam
formularium.
Analisis ABC Indeks Kritis
Pengelompokan obat antibiotik berdasarkan analisis
indeks kritis menggabungkan hasil yang diperoleh dari
analisis ABC pemakaian, investasi dan nilai kritis.
Berdasarkan hasil penghitungan analisis ABC indeks
kritis diperoleh kelompok A yang terdiri dari 10 item
obat ( 6.06% ) dengan nilai investasi mencapai 39.91%
dari seluruh nilai investasi obat antibiotik. Kelompok B
yang terdiri dari 45 item obat antibiotik (27.27%)
dengan nilai investasi 44.92%. Kelompok C analisis
ABC indeks kritis terdiri dari 110 item (66.67%)
dengan besaran nilai investasi 15.17% dari seluruh
investasi kelompok antibiotik pada bulan Januari s/d
Desember 2014. Economic Order Quantity (EOQ)
Penghitungan EOQ dilakukan pada obat antibiotik
yang termasuk ke dalam kelompok A analisis ABC
indeks kritis. Besaran biaya penyimpanan dan
pemesanan ditetapkan sesuai dengan nilai yang
diberlakukan di RS Meilia, yaitu 10% dari harga satuan
tiap obat untuk biaya penyimpanan dan 5% dari harga
satuan obat untuk biaya pemesanan (ditampilkan
dalam tabel 2).
Besar jumlah pemesanan berdasarkan nilai EOQ
dalam penerapannya juga disesuaikan dengan
anggaran rumah sakit. Pada sediaan obat antibiotik
dengan harga satuan tinggi, dapat dipertimbangkan
besaran jumlah pemesanan sesuai nilai EOQ dibagi
dalam beberapa periode. Hal ini dilakukan sehingga
tidak membebani anggaran rumah sakit, namun tetap
memperhatikan besarnya kebutuhan di pelayanan.
Reorder Point (ROP) dan Safety Stock
Berdasarkan penghitungan EOQ, diperoleh frekuensi
pemesanan untuk Cefat 500 mg Tab adalah sebanyak
83.25 kali. Maka dengan service level 99% masih ada
kemungkinan kekosongan stok sebanyak 1% dari
frekuensi pemesanan atau 0.84 kali pemesanan. Cefat
500 mg Tab mempunyai nilai safety stock 34 unit yang
bertujuan untuk mengantisipasi kekosongan stok dan
menjamin kelancaran pelayanan di rumah sakit
(ditampilkan dalam tabel 3).
Peramalan atau Forecasting
Contoh peramalan pada data pemakaian obat Terfacef
Inj.
Peramalan Single Smoothing Exponential (Tabel 5)
pada pemakaian Terfacef Inj menghasilkan nilai AE
yaitu 55 yang berarti jumlah selisih peramalan yang
dihasilkan oleh metode ini sebesar 55 poin. Nilai MAE
yang didapat adalah 47.70. Hal ini berarti rata-rata
absolut kesalahan yang diperoleh adalah 47.70 poin
(ditampilkan dalam tabel 4).
Berdasarkan penghitungan dengan metode Simple
Moving Average 3 periode (Tabel 5) diperoleh rata-rata
jumlah kesalahan 224 poin dan nilai rata-rata absolut
kesalahan peramalan sebesar 55.78 poin bila
dibandingkan hasil peramalan dengan nilai riil
pemakaian obat Terfacef Inj (ditampilkan dalam tabel
6).
Metode Weighted Moving Average melakukan
peramalan dengan menghitung rata-rata bergerak dari
data tiga periode sebelumnya yang diberikan bobot
50%,30%, dan 20%. Bobot terbesar digunakan pada
data periode terdekat dengan periode yang akan
diramal; contoh pada peramalan pemakaian obat bulan
ke-9 pemberian bobot 50% pada data pemakaian
Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 82
bulan ke-8, 30% pada data bulan ke-7, dan 20% pada
data bulan ke-6.
Nilai AE dan MAE yang kecil memiliki arti bahwa
peramalan dengan menggunakan metode tersebut
memiliki kesalahan yang paling kecil bila kemudian
dibandingkan dengan data riil yang ada. Hasil
peramalan terhadap jumlah pemakaian obat antibiotik
yang masuk kelompok A-analisis ABC indeks kritis
dalam penelitian memperlihatkan hasil AE dan MAE
terkecil tidak selalu pada metode peramalan yang
sama. Hal ini terjadi karena pengaruh dari pola data
historis yang mendasari peramalan. Metode yang
memberikan hasil penghitungan AE dan MAE/MAD
terkecil pada penghitungan terhadap sepuluh obat
antibiotik yang termasuk kelompok A analisis ABC
indeks kritis
Dalam proses pengendalian persediaan, terdapat hal-
hal yang menjadi fokus perhatian yaitu jenis barang
yang harus disediakan, jumlah barang yang dipesan,
dan waktu barang tersebut harus dipesan (Waters,
2003). Hal ini yang akan mendasari pembahasan dari
hasil penelitian yang telah dilakukan.
Kotler (2008) menjabarkan formularium sebagai daftar
yang ditetapkan oleh Komite Farmasi dan Terapi di
rumah sakit, yang didalamnya mencakup obat-obatan
yang akan digunakan dan diadakan persediaannya
pada periode waktu tertentu. Peraturan Menteri
Kesehatan No. 58 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit menyatakan
bahwa penyusunan dan revisi formularium harus
dikembangkan dengan mempertimbangkan pola
terapi dan perubahan ekonomi yang terkini, sehingga
dapat selalu memenuhi kebutuhan obat yang rasional.
Saat ini RS Meilia masih menggunakan Formularium
Obat yang ditetapkan pada tahun 2009 dengan
beberapa sisipan/tambahan daftar obat pada tahun
2012. Revisi secara menyeluruh belum dilakukan.
Tindak lanjut yang penting terkait penentuan obat-
obatan yang masuk dalam formularium adalah
membentuk Tim Farmasi dan Terapi yang bertugas
melakukan evaluasi dan revisi formularium obat RS
Meilia. Pimpinan RS selanjutnya akan menetapkan
kebijakan perihal pemberlakuan formularium obat RS
Meilia yang baru sebagai sebagai acuan dalam
pelayanan dan seluruh rangkaian proses pengelolaan
persedian obat di rumah sakit.
Penetapan jumlah persediaan tidak hanya
memperhatikan tingkat kebutuhan obat di pelayanan,
namun juga harus mempertimbangkan kemampuan
anggaran rumah sakit terkait persediaan obat. Unit
Farmasi membuat perhitungan rencana anggaran
berupa total biaya persediaan obat pada tahun anggaran
berikutnya. Sedangkan total biaya persediaan tidak
dilanjutkan dalam perencanaan kebutuhan untuk setiap
item obat. Besaran kebutuhan obat tetap disesuaikan
dengan kebutuhan harian di pelayanan.
Dukungan sistem informasi rumah sakit (SIRS) yang
belum optimal mempunyai kontribusi yang cukup
besar sehingga RS belum dapat melakukan
pengendalian persediaan obat dengan baik. Salah satu
komponen SIRS yang dapat dikembangkan adalah e-
prescribing (peresepan elektronik). Peresepan
elektronik dapat memberikan jaminan pola peresepan
yang mengacu pada formularium yang telah
ditetapkan dan memastikan pasien membeli obat yang
telah diresepkan di Unit Farmasi RS. Kedua hal
tersebut akan sangat bermakna dalam proses
mengendalikan persediaan obat di rumah sakit.
Keterbatasan SDM di Unit Farmasi berperan dalam
terlaksananya pengendalian persediaan obat yang baik.
Kurangnya tenaga apoteker juga menyebabkan tidak
hanya proses pengelolaan persediaan obat di RS Meilia
tidak berjalan optimal, namun juga seluruh pelayanan
kefarmasian lainnya tidak mampu dilaksanakan
dengan baik.
Analisis ABC Indeks Kritis
Berdasarkan hasil analisis ABC indeks kritis, rumah
sakit mendapatkan masukan mengenai kelompok obat
antibiotik yang menjadi prioritas pertama dalam proses
pengendalian pengendalian persediaan obat. Kelompok
A menjadi prioritas dalam pengendalian persediaan
obat disebabkan obat-obat yang ada di dalam
kelompok ini mempunyai jumlah pemakaian, nilai
investasi, dan juga tingkat kekritisan yang tinggi.
Pengendalian persediaan bertujuan untuk memberikan
jaminan ketersediaan obat-obat tersebut di pelayanan
dan pengendalian biaya yang dikeluarkan rumah sakit
terkait dengan persediaan obat-obat tersebut.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 83
Terdapatnya empat jenis obat dalam kelompok A di
luar formularium rumah sakit memberikan informasi
ke rumah sakit, bahwa belum maksimalnya penerapan
formularium obat rumah sakit. Pengelolaan persediaan,
termasuk di dalamnya adalah tahapan perencanaan
yang baik dan pengendalian yang ketat dibutuhkan
pada kelompok tersebut. Hal itu dimaksudkan agar
ketersediaan obat-obat yang masuk dalam kelompok
A terjamin, sehingga pelayanan pasien berjalan lancar
dan rumah sakit tidak terbebani dengan nilai persedian
yang terlalu besar ataupun risiko kerugian akibat
kekosongan stok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok A-
analisis ABC indeks kritis mempunyai nilai investasi
mencapai Rp 2.114.748.870,- atau 39.91% dari total
nilai investasi obat antibiotik. RS memprioritaskan
investasi pada kelompok A yang berarti rumah sakit
menaruh investasi sebesar 39.91% dari keseluruhan
rencana anggaran persediaan obat. Sisa anggaran dapat
dialokasikan pada pengeluaran operasional lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan obat
antibiotik kelompok A dapat digunakan pada
pengadaan obat antibiotik kelompok B dan C. Dengan
demikian rumah sakit dapat mengambil manfaat dari
analisis ABC indeks kritis tidak hanya dalam
pengendaliaan persediaan, namun juga dalam
pengaturan keuangan rumah sakit.
EOQ, Safety Stock, dan ROP
EOQ menerapkan asumsi dalam penghitungannya
yaitu harga beli konstan tidak berpengaruh pada jumlah
ataupun waktu pembelian dan semua permintaan
dapat dipenuhi (Bowersox, 2002). Pada proses
pengelolaan persediaan yang sebenarnya akan ditemui
bahwa jumlah kebutuhan obat bervariasi dan adanya
jeda waktu yang dibutuhkan sejak waktu pemesanan
dilakukan hingga barang diterima. Sehingga idealnya
penghitungan EOQ kemudian didukung dengan
penetapan safety stock pada masing-masing jenis obat.
Pada penghitungan ROP dalam penelitian ini
menggunakan service level 99%. Service level 99%
artinya probabilitas permintaan dapat terpenuhi
sebanyak 99% dan 1% untuk kemungkinan
permintaan tidak dapat dipenuhi. Menggunakan nilai
service level 99% dalam penelitian ini dengan
pertimbangan bahwa kelompok obat antibiotik yang
digunakan sebagai data dasar adalah hasil dari analisis
ABC indeks kritis. Penggunaan service level yang
tinggi sesuai dengan tingkat prioritas yang dimiliki obat
antibiotik yang termasuk kelompok A-analisis ABC
indeks kritis.
ROP juga mempertimbangkan pentingnya safety stock
guna mengantisipasi permintaan/kebutuhan yang tidak
pasti. Semakin tinggi service level yang diinginkan,
maka semakin besar safety stock yang harus disediakan
(King, 2011).
Peramalan
Penghitungan peramalan dimaksudkan untuk
memberikan pengenalan perihal metode peramalan
yang dapat digunakan dalam proses perencanaan
persediaan obat di rumah sakit. Kualitas peramalan
sangat erat hubungannya dengan data historis yang
digunakan. Metode peramalan akan memberikan nilai
kesalahan yang berbeda-beda pada setiap data yang
digunakan. Kita dapat memilih metode peramalan
dengan kesalahan peramalan yang paling kecil.
Akurasi peramalan dapat diketahui dengan menghitung
Average Error (AE) dan Mean Absolute Error
(MAE).
Bila hasil peramalan pemakaian obat antibiotik
dikaitkan dengan nilai investasi yang dikeluarkan
rumah sakit, akan memperlihatkan nilai investasi pada
metode single smoothing exponential bernilai negatif.
Hal ini berarti bahwa nilai investasi dengan
berdasarkan pada hasil peramalan lebih besar
dibandingkan dengan data riil pemakaian dan investasi
yang ada.
Penentuan metode peramalan dalam penelitian ini juga
mempertimbangkan kemampuan para staf Unit
Farmasi untuk menggunakan metode tersebut. Ketiga
metode di atas dapat digunakan dengan dibantu
program Excel sederhana. Metode yang sederhana dan
mudah diaplikasikan akan lebih berguna dalam
peningkatan kualitas proses pengendalian persediaan
obat di rumah sakit ke depannya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan
Metode Analisis ABC Indeks Kritis
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 84
1. Gambaran masalah terkait dengan pengendalian
persediaan obat di RS Meilia, yaitu meliputi :
a. Sistem pencatatan Unit Farmasi belum berjalan
dengan baik dan belum didukung oleh sistem
informasi rumah sakit.
b. Penerapan formularium rumah sakit sebagai
acuan dalam pola peresepan dan perencanaan
persediaan obat belum berjalan dengan baik.
Hal ini disebabkan karena kebijakan penerapan
formularium rumah sakit belum dijalankan
dengan benar dan formularium yang berlaku
saat ini belum dievaluasi dan direvisi secara
lengkap.
c. Sistem informasi rumah sakit di RS Meilia
masih dalam proses pengembangan. Dibutuhkan
kerjasama yang baik antara tim IT, Unit
Farmasi dan unit pelayanan untuk menciptakan
sebuah sistem/modul yang dapat digunakan
sebagai cara pengendalian persediaan obat.
2. Berdasarkan analisis ABC pemakaian terhadap
165 item obat antibiotik yang digunakan pada tahun
2014 diperoleh obat antibiotik yang termasuk
kelompok A terdiri dari 21 item obat antibiotik atau
12.72% dari total obat antibiotik yang digunakan,
memiliki jumlah pemakaian mencapai 69.64%
dari total pemakaian obat antibiotik.
3. Analisis ABC investasi terhadap 165 item obat
antibiotik yang digunakan pada tahun 2014
mengelompokkan 21 item obat antibiotik atau
12.72% dari total obat antibiotik ke dalam
kelompok A. Kelompok ini mempunyai nilai
investasi mencapai 68.74% dari total nilai investasi
pada obat antibiotik.
4. Analisis ABC indeks kritis dilakukan dengan
penggabungan hasil analisis ABC pemakaian,
investasi, dan nilai kritis dari masing-masing obat
antibiotik. Terdapat 10 item obat dari 165 obat
antibiotik yang digunakan pada tahun 2014
termasuk kelompok A, dengan nilai investasi
mencapai 39.91% dari total investasi pada
persediaan obat antibiotik.
5. Economic Order Quantity (EOQ) direkomendasikan
sebagai metode pengendalian persediaan yang
dapat diterapkan di RS Meilia. Metode EOQ lebih
mudah diaplikasikan oleh staf farmasi karena
komponen data yang dibutuhkan dalam
penghitungannya dan cara penghitungannya lebih
mudah untuk dipahami.
6. Penentuan metode peramalan yang akan
digunakan dengan mempertimbangkan hasil
penghitungan akurasi hasil peramalan yang terbaik
yaitu dengan nilai AE dan MAE terkecil, serta
mempertimbangkan konsekuensi besaran nilai
investasi yang didapat dengan menggunakan data
pemakaian hasil peramalan. Metode terpilih juga
harus bersifat applicable di Unit Farmasi.
Saran
Beberapa masukan yang dapat diberikan setelah
dilakukan penelitian ini meliputi:
1. Melakukan evaluasi dan revisi formularium obat
rumah sakit dengan langkah-langkah :
a. Membentuk Tim Farmasi dan Terapi, yang
salah satu tugas pentingnya adalah melakukan
evaluasi terhadap formularium yang saat ini
masih digunakan oleh RS Meilia dan
menyusun revisi formularium yang baru
b. Penerapan formularium/daftar obat standar
yang baru dengan dukungan kebijakan dari
Pimpinan rumah sakit.
c. Sosialisasi formularium/daftar obat standar
yang baru kepada seluruh dokter dan unit
pelayanan terkait.
2. Perbaikan sistem pencatatan manual yang
dilakukan oleh Unit Farmasi dan unit pelayanan
pengguna obat terkait dengan pemakaian dan
persediaan obat. Konsistensi dalam pengunaan
kartu stok dan penggunaan program microsoft
excel worksheet sebagai bentuk pencatatan dapat
diterapkan di Unit Farmasi, sehingga kemudian
akan mempermudah proses pengolahan data
selanjutnya. Pencatatan yang digunakan mengacu
pada metode perpetual yang melibatkan sistem
komputerisasi. Dibutuhkan kerjasama dalam
penginputan setiap pemakaian, sehingga nilai
persediaan dapat selalu up to date.
3. Pengembangan sistem informasi rumah sakit
(SIRS) yang baik sehingga dapat berperan optimal
dalam proses pengendalian persediaan obat di
rumah sakit. Fokus pengembangan SIRS saat ini
adalah merancang sistem yang mampu
mengakomodir kebutuhan seluruh unit kerja di
rumah sakit dan saling terhubung dengan baik.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam
pengembangan sistem informasi rumah sakit
terkait pengendalian persediaan adalah :
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 85
a. Pengembangan sistem peresepan elektronik di
unit pelayanan. Hal ini bertujuan untuk
memaksimalkan peresepan yang mengacu
pada formularium rumah sakit. Langkah ini
dapat menjadi awal dalam proses pengendalian
persediaan obat.
b. Pengembangan sistem informasi yang
menghubungkan unit pelayanan pasien yang
mempunyai depo penyimpanan obat sehingga
setiap data pemakaian dan persediaan dapat
diinput langsung oleh unit pemakai.
c. Pengembangan sistem informasi yang
menghubungkan Unit Farmasi sebagai
penanggungjawab pengelolaan obat di rumah
sakit dengan seluruh unit pelayanan, sehingga
Unit Farmasi dapat mengolah data pemakaian
dan persediaan di rumah sakit dengan data yang
terkini.
4. Melakukan penghitungan biaya pemesanan dan
biaya penyimpanan dengan lebih rinci, tidak hanya
berdasarkan asumsi. Diharapkan dengan
dukungan data yang lebih baik, hasil penghitungan
EOQ sebagai cara pengendalian persediaan obat
yang direkomendasikan menjadi lebih akurat dan
bermanfaat bagi rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA Aditama, T.Y. (2002). Manajemen Administrasi Rumah Sakit (Edisi ke-2). Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia.
Atmaja, Hermina K. (2012). Penggunaan ABC Indeks Kritis Untuk Pengendalian
Persediaan Obat Antibiotik Di Rumah Sakit M.H.Thamrin Salemba. Tesis. Depok: Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit FKM UI
Bowersox, D.J et al. (2002). Supply Chain Logistiks Management. New York : The
McGraw-Hill Company Brockwell, Peter J & Davis, Richard A. (2002). Introduction to Time Series and Forecasting.
2nd Edition. New York : Springer
Dewanty, Mega. (2012). Pengendalian Persediaan Obat Generik Melalui Analisis ABC
Indeks Kritis di Seksi Logistik Perbekalan Kesehatan Rumah Sakit Islam
Jakarta Cempaka Putih Tahun 2012. Tesis. Depok : Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit FKM UI
Febriawati, Henni.(2013). Manajemen Logistik Farmasi Rumah Sakit. Sleman : Gosyen Publishing.
Kafetzidakis, I. (2012). Logistics in the Health Care System : The Case of Greek Hospitals.
International Journal of Business Administration. Vol.3 No.5. Patras : Sciedu Press
Kotler, Philip. Shalowitz, Joel. & Stevens, Robert J. (2008). Strategic Marketing for Health
Care Organizations. San Francisco : Jossey-Bass
Mishra, Avinash & Lsoni, M. (2012). ABC Analysis Tehcnique of Material Towards Inventory Management. International Journal of Management Research and
Review. Vol.3. Article No-11. New Delhi : IJMRR
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 58 Tahun 2018 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Peterson, A.M. (2004). Managing Pharmacy Practice : Principles, Strategies, And Systems.
Denver : CRC Press.
Rangkuti, Reddy. (1996). Manajemen Persediaan : Aplikasi di Bidang Bisnis.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Render, Barry.,Stair, Ralph M. & Hanna, Michael E. (2012). Quantitative Analysis For
Management (11th edition). New Jersey : Prentice Hall. Sabarguna, B.S. (2011). Buku Pegangan Mahasiswa Manajemen Rumah Sakit Jilid 2.
Jakarta : Sagung Seto.
Waters, D. (2003). Logistik : An Introduction to Supply Chain Management. New York :
Palgrave Macmillan
West, D. (2009). Purchasing and Inventory Management. Dalam S.P Desselle &
D.P Zgarrick (Ed). Pharmacy Management Essentials for All Practice Settings (2nd Ed)(p.385-389). New York : The McGraw-Hill Company
Wild, Tony. (1997). Best Practice in Inventory Management. New York : John Wiley &
Sons, IncWilliams, Mark K. (2003). Reducing Inventory Levels Through ABC Inv.Mgmt. Techniques. Inventory Management Report. Vol.11. page 7. ProQuest
Research Library.
Wolper, L.F. (2011). Health Care Administration Managing Organized Delivery Systems (5th ed.) . Massachusetts : Jones and Bartlett Publishers.
Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan Metode Analisis ABC Indeks Kritis
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 86
Tabel 1. Perbandingan Total Biaya Pembelian Obat dan Bahan Baku Periode November
2014 – Januari 2015
No. Bulan Biaya Pembelian Obat
(Rp)
Pembelian Bahan Baku
(Rp)
( % )
1. November 1,998,759,059 2,950,400,331 67.74
2. Desember 1,802.749.497 2,884,939,655 62,48
3. Januari 1,585,940,640 2,499,376,051 63.45
Sumber: Bagian Keuangan RS Meilia (telah diolah kembali)
Gambar 1. Analisis Indeks Kritis
Gambar 2. Rumus EOQ
Gambar 3. Penghitungan ROP
Gambar 4. Penghitungan ROP
Gambar 5. Safety Stock
Tabel 2. EOQ Kelompok A-Analisis ABC Indeks Kritis
NO.
ANTIBIOTIK KELOMPOK
A - ANALISIS INDEKS
KRITIS
EOQ
1 CEFAT 500MG TAB @100 84
2 CEFIXIME 100MG OGB
TAB 105
3 TRICEFIN INJ 47
4 TERFACEF INJ 42
5 AZOMAX 500MG TAB
@ 10 73
Indeks kritis = 2W1 + W2 + W3
𝟐 × 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒆𝒎𝒂𝒌𝒂𝒊𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 × 𝑩𝒊𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒆𝒎𝒆𝒔𝒂𝒏𝒂𝒏
𝑩𝒊𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒚𝒊𝒎𝒑𝒂𝒏𝒂𝒏
ROP = d x L
ROP = ( d x L ) + Safety Stock
𝒁 × 𝑳𝒆𝒂𝒅 𝑻𝒊𝒎𝒆 × 𝑺𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓𝒅 𝑫𝒆𝒗𝒊𝒂𝒔𝒊 𝑻𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕 𝑲𝒆𝒃𝒖𝒕𝒖𝒉𝒂𝒏
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 87
NO.
ANTIBIOTIK KELOMPOK
A - ANALISIS INDEKS
KRITIS
EOQ
6 FIXIPHAR 100MG TAB @30 104
7 FIXIPHAR 200MG TAB @10 82
8 STARCEF 200MG TAB @10 77
9 STARCEF 100MG TAB@ 30 73
10 CEFTRIAXONE INJ OGB 82
Tabel 3. ROP dan Safety Stock Antibiotik Kelompok A-Analisis ABC Indeks Kritis
NO. NAMA OBAT SAFETY
STOCK ROP
1 CEFAT 500MG TAB
@100 34 72
2 CEFIXIME 100MG
OGB TAB 35 95
3 TRICEFIN INJ 27 40
4 TERFACEF INJ 26 35
5 AZOMAX 500MG TAB
@ 10 30 59
6 FIXIPHAR 100MG
TAB @30 31 90
7 FIXIPHAR 200MG
TAB @10 41 77
8 STARCEF 200MG TAB
@10 71 104
9 STARCEF 100MG
TAB@ 30 31 61
10 CEFTRIAXONE INJ
OGB 34 71
Tabel 4. Hasil Peramalan Terfacef Inj (Single Smoothing Exponential)
BULAN PEMAKAIAN
SINGLE SMOOTHING
EXPONENTIAL
FT AE ABS
AE MAE
1 160 160 - 0
47.70
2 101 160 (59) 59
3 119 148 (29) 29
4 85 142 (57) 57
5 121 131 (10) 10
6 195 129 66 66
7 110 142 (32) 32
8 155 136 19 19
9 90 140 (50) 50
10 108 130 (22) 22
11 196 125 71 71
Myrna Octaviany., Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di RS Meilia pada Tahun 2014 dengan Menggunakan
Metode Analisis ABC Indeks Kritis
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 4 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2018 88
BULAN PEMAKAIAN
SINGLE SMOOTHING
EXPONENTIAL
FT AE ABS
AE MAE
12 297 139 158 158
Total 1,737 1,682 55 572
Tabel 5. Hasil Peramalan Terfacef Inj (Simple Moving Average 3 Periode)
BULAN PEMAKAIAN
SIMPLE MOVING
AVERAGE 3 PERIODE
FT AE ABS
AE MAE
1 160
55.78
2 101
3 119
4 85 127 (42) 42
5 121 102 19 19
6 195 108 87 87
7 110 134 (24) 24
8 155 142 13 13
9 90 153 (63) 63
10 108 118 (10) 10
11 196 118 78 78
12 297 131 166 166
Total 1,737 1,133 224 502
Tabel 6. Hasil Peramalan Terfacef Inf (Weighted Moving Average 3 Periode)
BULAN PEMAKAIAN
WEIGHTED MOVING
AVERAGE 3 PERIODE
FT AE ABS
AE MAE
1 160
55.59
2 101
3 119
4 85 122 (37) 37
5 121 98 23 23
6 195 110 85 85
7 110 151 (41) 41
8 155 138 17 17
9 90 150 (60) 60
10 108 114 (6) 6
11 196 112 84 84
12 297 148 149 149
Total 1,737 1,142 215 500
ormulir F
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Alamat :
Telepon :
Email :
Bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) sejumlah biaya cetak dan biaya kirim dengan rincian sebagai
sebagai berikut:
Volume : ………………………………………………………………………………………………………………………………………
…...…………………………, …………
(……………………………………….)
Untuk besaran biaya dan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Sekretariat Jurnal ARSI di nomor telepon 021-786 7370,
HP. 08568246932, e-mail: [email protected], atau kunjungi website: http://journal.fkm.ui.ac.id/arsi
Kami Menyediakan Forum
Pelatihan Untuk Anda
1. Developing Hospital Business Strategy to Improve
Hospital Service & Quality
2. Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit
Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis
3. Strategic Leadership and Systems Thinking
C HAMPS Informasi Lebih Lanjut:
Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI
HP. 085284722766, Fax. 021-7867370,
E-mail: [email protected], [email protected]
Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis
TUJUAN
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan rumah
sakit dalam membuat clinical pathway dan panduan praktik klinis.
PESERTA
Peserta terdiri dari tim praktisi perumahsakitan baik pemerintah maupun
swasta yang tergabung dalam tim, yang terdiri dari:
1. Klinisi dan penunjang (dokter); 2. Perawat; 3. Tenaga farmasi; 4. Tenaga gizi;
5. Tenaga rekam medik; dan
6. Peserta maksimal 10 tim.
TEMPAT DAN TANGGAL
Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.
BIAYA
Biaya dalam pelatihan ini sebesar untuk satu tim rumah sakit (terdiri dari 5 orang) adalah Rp. 15.000.000/Rumah Sakit (belum termasuk biaya
akomodasi dan tiket narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).
Strategic Leadership and Systems Thinking
TUJUAN
Tujuan Umum:
Meningkatkan pemahaman para peserta mengenai
kepemimpinan strategis dan berfikir sistem.
Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai berfikir sistem dan kepemimpinan
strategis;
2. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai mental model sebagai landasan
dalam berfikir sistem;
3. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai personal mastery sebagai modal
dasar dalam kepemimpinan;
4. Meningkatkan pemahaman peserta dan mampu mengaplikasikan theory of
constraint dan root cause analysis; dan
5. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai learning organization dan team
learning.
PESERTA
Peserta pelatihan ini dibatasi 30 orang.
TEMPAT DAN TANGGAL
Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.
BIAYA
Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (besaran
biaya belum termasuk biaya akomodasi, tiket narasumber dan outbond
bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).
“Bersama kami, mari beraktualisasi!”
- CHAMPS FKM UI
Developing Hospital Business Strategy to Improve Hospital Service & Quality
TUJUAN
Peserta akan memperoleh wawasan, pengetahuan, & keterampilan tentang:
1. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang peta kebijakan strategis pelayanan kesehatan;
2. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang konsep strategi bisnis untuk peningkatan mutu layanan RS;
3. Peningkatan motivasi seluruh peserta yang dilandasi core value dan core belief untuk mengadopsi konsep
manajemen strategi dalam meningkatkan mutu layanan di rumah sakit;
4. Tersusunnya rencana strategis bisnis RS; dan
5. Peningkatan kemampuan RS dalam melakukan praktik bisnis yang sehat yaitu mempunyai manajemen yang
baik, bermutu dan berkesinambungan yang semua itu berdampak pada meningkatnya kepuasan
pelanggan.
PESERTA
Peserta pelatihan ini adalah praktisi perumahsakitan dan pengambil keputusan strategis rumah sakit baik
pemerintah maupun swasta. Peserta dibatasi 30 orang.
TEMPAT DAN TANGGAL
Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.
BIAYA
Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (belum termasuk biaya akomodasi dan tiket
narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).
Hospital Management
Program (HMP)
Hospital Administration
Conference (HAC)
Program Kerja
Unggulan