peb • i'ftlio/, ) apr cjmei bahla dengan li...

2
a () (V1inggu ~) Sabtu i<amfs ::J Rabu -, Senin Seiese ',-< 1 2 3 4 5 6 17 18 19 20 21 ' . ) Apr Peb I'fi"/, tlO Jumai 7 B 9 10 11 12 13 14 15 16 @ 23 24 25 26 27 28 29 30 31 CJMei bahla dengan li lisa "NONSENSE bila Anda turun ke jalan tiap hari. Anda menvia-nyiakan waktu Anda dan fungsi sebagai mahasiswa, anak, warga negara," kata Fadjroel Rahman, man- tan aktivis mahasiswa 1980-an saat berbicara di depan puluhan peserta kajian "Quo Vadis Perger- akan Mahasiswa" yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa (KM) ITB di Kampus ITB, )In. Ganeca Bandung, Sabtu (17/3). Fadjroel menyoroti aksi mahasiswa yang terlalu sering bertindak konfrontatif, tanpa memandang momentum yang benar-benar tepat, Aksi turun ke jalan belakangan ini menjadi cukup kontroversial di tengah masyarakat terutama saat banyak fasilitas umum dan sosial terganggu. Di sisi lain, efektivitas aksi tidak signifikan karena menurut Fadjroel, pe- rubahan revolusioner harus sesuai dengan momen- tum yang banyak dan benar-benar kuat. "Peruba- han revolusioner tidak harus dengan turun ke jalan, ·banyak jalan lain," katanya. "Turun ke jalan hanya satu dari satu triliun ben- tuk gerakan mahasiswa," tutur Tizar Bijaksana, Ke- tua KM ITB di forum yang sama. Tizar menyayangkan bila gerakan mahasiswa se- lalu diindentikkan dengan aksi turun ke jalan. Pandangan ini disadari atau tidak memang men- guasai benak mahasiswa pada umumnya. Seba- gaimana pernah ditanvakan seorang peserta diskusi Forum Pembaca Pikiran Rakyat yang diseleng- garakan lebih dari satu tahun lalu. Pada forum yang dihadiri mahasiswa dari sejum- lah kampus di Jawa Barat ini, penanya men- geluhkan minimnya perhatian media massa kepada aksi mahasiswa (di jalanan). Media massa >- khususnya cetak -- dianggapkurang mem-blow up setiap aksi mahasiswa yang notabene sebagai ben- tuk kontrol sosial mereka terhadap "ketidakadilan" yang terjadi. Menanggapi keluhan tersebut -- sebagaimana pernah dirnuat di suplemen Kampus beberapa wak- tu lalu -- H Budiana, Pemimpin Redaksi HU Piki- ran Rakyat, mengatakan bahwa mahasiswa bisa be- raksi melalui media massa seperti koran. Media massa bisa rnenjadi ajang mahasiswa menyuarakan aspirasinya atas ketidakadilan yang ditemui. Na- mun, hal tersebut sayangnya sangat jarang di- lakukan oleh mahasiswa. Pada kenyataannya, ma- hasiswa seolah mengalami kelemahan akut ketika harus menuliskan aspirasinya di koran umum. Padahal, menurut Wild an Nugraha, Ketua Fo- rum Lingkar Pena (FLP) Jawa Barat, ~enulis ' merupakan salah satu kegiatan yang diinginkan banyak orang termasuk mahasiswa. Hal ini seti- daknya dari penuturan reman-rernannva dahulu di kampus dan para juniornya di FLP. "Masalah muncul setelah dihadapkan pada lap- top atau mesin tik. Bingung mau menulis seperti apa, seakan-akan tidak ada ideoNanti pas keternu skripsi, stres," ujar alumnus Fakultas Pertanian Un- pad ini saat dihubungi Kampus, Minggu (18/3). Kenyataannya, begitu banyak pesan yang bisa disuarakan mahasiswa di media massa yang menampung tulisan, ketimbang berteriak di jalan dengan satu-dua pesan savup-sayup, Di media mas- sa, mahasiswa ditantang untuk memerankan fungsinya sebagai "intelektual publik". Mengutip Budhiana, setidaknya ada dua macam mahasiswa, yaitu "intelektual kampus" dan "in- telektual publik", Mahasiswa sebagai intelektual kampus hanya baru melakukan semacam diskusi dengan sesamanya di kampus. Areanya lebih sern- pit. Beda dengan intelektual publik. Seorang intelektual publik harus memiliki syarat-syarat tertentu. Karena mereka berhubun- gan dengan massa yang heterogen dan luas. Di an- tara syarat itu adalah pengetahuan akan topik ba- hasan, kompetensi, keaktualan isi, dan tentu saja kemampuan menguasai bahasa publik. Menyuarakan aspirasi melalui media massa inilah yang kemudian disebut sebagai intelektual publik. Apa pun bahasannya, karena menggunakan fasili- tas media massa yang dibaca publik, dia disebut se- bagai intelektual publik. ' Antara budaya clan paradigma Menurut Kang Arul, pengasuh menulisyuk.com, situs pelatihan menulis, setidaknya terdapat faktor internal dan eksternal yang menyebabkan maha- siswa lemah dalam menulis. ' " Kenyataannya, begitu banyak pe- san yang bisa dis~ uarakan maha~ siswa di media massayang menampung tulisan, ketimbang berteriak di jalan dengan satu~dua pesan sayup~sayup. Vi media massa, mahasiswa ditanta~ untuk merner- ankan fungsinya sebagai "intelektu~ al publik". " I{ lip i n g Hum a 5 U n pad 2012

Upload: voquynh

Post on 28-Apr-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

a() (V1inggu~) Sabtu• i<amfs::J Rabu

-,Senin Seiese',-<

1 2 3 4 5 6

17 18 19 20 21'.) AprPeb • I'fi"/,tlO

Jumai

7 B 9 10 11 12 13 14 15 16@ 23 24 25 26 27 28 29 30 31

CJMei

bahla denganli lisa

"NONSENSE bila Anda turun ke jalantiap hari. Anda menvia-nyiakan waktuAnda dan fungsi sebagai mahasiswa,

anak, warga negara," kata Fadjroel Rahman, man-tan aktivis mahasiswa 1980-an saat berbicara didepan puluhan peserta kajian "Quo Vadis Perger-akan Mahasiswa" yang diselenggarakan KeluargaMahasiswa (KM) ITB di Kampus ITB, )In. GanecaBandung, Sabtu (17/3).Fadjroel menyoroti aksi mahasiswa yang terlalu

sering bertindak konfrontatif, tanpa memandangmomentum yang benar-benar tepat, Aksi turun kejalan belakangan ini menjadi cukup kontroversialdi tengah masyarakat terutama saat banyak fasilitasumum dan sosial terganggu. Di sisi lain, efektivitasaksi tidak signifikan karena menurut Fadjroel, pe-rubahan revolusioner harus sesuai dengan momen-tum yang banyak dan benar-benar kuat. "Peruba-han revolusioner tidak harus dengan turun kejalan, ·banyak jalan lain," katanya."Turun ke jalan hanya satu dari satu triliun ben-

tuk gerakan mahasiswa," tutur Tizar Bijaksana, Ke-tua KM ITB di forum yang sama.Tizar menyayangkan bila gerakan mahasiswa se-

lalu diindentikkan dengan aksi turun ke jalan.Pandangan ini disadari atau tidak memang men-guasai benak mahasiswa pada umumnya. Seba-gaimana pernah ditanvakan seorang peserta diskusiForum Pembaca Pikiran Rakyat yang diseleng-garakan lebih dari satu tahun lalu.Pada forum yang dihadiri mahasiswa dari sejum-

lah kampus di Jawa Barat ini, penanya men-geluhkan minimnya perhatian media massa kepadaaksi mahasiswa (di jalanan). Media massa >-khususnya cetak -- dianggapkurang mem-blow upsetiap aksi mahasiswa yang notabene sebagai ben-tuk kontrol sosial mereka terhadap "ketidakadilan"yang terjadi.Menanggapi keluhan tersebut -- sebagaimana

pernah dirnuat di suplemen Kampus beberapa wak-tu lalu -- H Budiana, Pemimpin Redaksi HU Piki-ran Rakyat, mengatakan bahwa mahasiswa bisa be-raksi melalui media massa seperti koran. Mediamassa bisa rnenjadi ajang mahasiswa menyuarakan

aspirasinya atas ketidakadilan yang ditemui. Na-mun, hal tersebut sayangnya sangat jarang di-lakukan oleh mahasiswa. Pada kenyataannya, ma-hasiswa seolah mengalami kelemahan akut ketikaharus menuliskan aspirasinya di koran umum.Padahal, menurut Wild an Nugraha, Ketua Fo-

rum Lingkar Pena (FLP) Jawa Barat, ~enulis 'merupakan salah satu kegiatan yang diinginkanbanyak orang termasuk mahasiswa. Hal ini seti-daknya dari penuturan reman-rernannva dahulu dikampus dan para juniornya di FLP."Masalah muncul setelah dihadapkan pada lap-

top atau mesin tik. Bingung mau menulis sepertiapa, seakan-akan tidak ada ideoNanti pas keternuskripsi, stres," ujar alumnus Fakultas Pertanian Un-pad ini saat dihubungi Kampus, Minggu (18/3).Kenyataannya, begitu banyak pesan yang bisa

disuarakan mahasiswa di media massa yangmenampung tulisan, ketimbang berteriak di jalandengan satu-dua pesan savup-sayup, Di media mas-sa, mahasiswa ditantang untuk memerankanfungsinya sebagai "intelektual publik".Mengutip Budhiana, setidaknya ada dua macam

mahasiswa, yaitu "intelektual kampus" dan "in-telektual publik", Mahasiswa sebagai intelektualkampus hanya baru melakukan semacam diskusidengan sesamanya di kampus. Areanya lebih sern-pit. Beda dengan intelektual publik.Seorang intelektual publik harus memiliki

syarat-syarat tertentu. Karena mereka berhubun-gan dengan massa yang heterogen dan luas. Di an-tara syarat itu adalah pengetahuan akan topik ba-hasan, kompetensi, keaktualan isi, dan tentu sajakemampuan menguasai bahasa publik.Menyuarakan aspirasi melalui media massa inilahyang kemudian disebut sebagai intelektual publik.Apa pun bahasannya, karena menggunakan fasili-tas media massa yang dibaca publik, dia disebut se-bagai intelektual publik. 'Antara budaya clan paradigmaMenurut Kang Arul, pengasuh menulisyuk.com,

situs pelatihan menulis, setidaknya terdapat faktorinternal dan eksternal yang menyebabkan maha-siswa lemah dalam menulis. '

"Kenyataannya,begitu banyak pe-san yang bisa dis~uarakan maha~siswa di mediamassayangmenampung

tulisan, ketimbangberteriak di jalandengan satu~dua

pesan sayup~sayup.Vi media massa,

mahasiswa ditanta~untuk merner-

ankan fungsinyasebagai "intelektu~

al publik".

"

I{ lip i n g Hum a 5 U n pad 2 0 1 2

Dari faktor internal, mahasiswa tidak melihatbahwa menulis merupakan keahliag yang bisa di-jadikan profesi dalam menghasilkan pemasukan .•Juga, jika selama ini mereka menu lis, dianggap se-bagai beban dan keterpaksaan, karena iru meru-pakan bagian dari tugas-tugas kuliah.Sementara kondisi eksternal, menurut dosen ko-

munikasi massa di sejumlah kampus komunikasiini, terutama dipengaruhi secara langsung ataupuntidak langsung oleh pola pendldikan di Indonesia.Individu dianggap sebagai individu yang hanya dil-ihat dari kuantitas atau nilai.

"Coba lihat bagaimana sejak TK sarnpai pergu-ruan tinggi yang dilihat adalah nilai ujian akhir,"tutumya saat dihubungi Karnpus, Minggu (18/3).Dengan kondisi ini, mau tidak mau individu

harus mengejar target nilai tersebut dan kurikulummenjadi tidak humanis. Keadaan tersebut tidakmemberi peluang bagi pengembangan kemampuanindividu (mahasiswa) sehingga terbiasa dalammenu lis.Lalu, bagaimana mengubah buah dari karut-

marut dunia pendidikan Indonesia ini?Teman-teman kita dari pers mahasiswa (persma)

]umpa Universitas Pasundan Bandung setidaknyamempunyai beberapa resep urituk menumbuhkanbudaya menu lis pada anggotanya. Sejak berdiri pa-da 1995, ]umpa terbilang sebagai salah saru persmayang konsisten dalam menerbitkan sejumlah me-dia massa kampus. Hingga saat ini terdapat empat .jenis produk media massa yang mereka kelola.Buletin yang terbit sebulan sekali hasil ramuan

para anggota baru menyoal kabar di kampus. Dis-usul tabloid yang disusun para pengurus setiap duabulan membahas masalah hangat di tingkat na-sional. Lalu, majalah yang muncul setengah tahunsekali dan penerbitan online yang digarap beramai-ramai."Alhamdulillah kami tidak pernah kehabisan

bahan. Bahkan, selalu banyak yang kirim darialumnus, aktivis, atau dosen," kata Agung Gu-nawan Sutrisna, Pemimpin Redaksi [umpa Onlinesaat dihubungi Kampus, Minggu (18/3).

Di}umpa, menurut Agung, untuk m~ngayuh

konsistensi anggota lama dan baru yang kiniberjumlah 37 orang diadakan sejumlah stimulus.Nomor wahid, diadakan bedahbuku. "Buku yangdibedah dicari dari yang lagi ramai sekarang, untuksatu judul, hunting-nya bareng-bareng dan pernbe-dahnya satu kelompok anggota baru," kata maha-siswa jurusan ekonomi manajemen ini.Lalu, diskusi mingguan yang membahas semua isu

yang sedang hangat di mahasiswa, seperti wirausaha.Dari kedua acara ini diharapkan anggota dan peser-ta yang hadir mendapat inspirasi yang menjadi ba-han bakar penulisan. Ketiga, semangat itu dijagadengan berusaha selalu menghadiri pelatihanpenulisan dan jumalistik atau mengadakannya.Seperti yarig baru digelar UKM yang bermarkas diKampus Unpas Jln. Tamansari ini dengan rnenga-dakan pelatihan menulis cerita pendek untuk siswaSMA se-jawa Barat, Januari lalu.Bila melongok ke dapur FLP Jawa Barat, kampa-

nye meningkatkan budaya membaca dan bahanbacaan saat ini menjadi program utama komunitaspenulis yang sudah berdiri sejak lima belas tahunsilam tersebut. Menurut Wildan, yang telahmenu lis sejak kuliah di semester I, kampanye iniberawal dari fakta akan wawasan bacaan anggotayang diketahuinya belum luas, sampai-sampaimenjadi kendala utama mereka saat menulis."Dengan demikian, mereka sulit untuk mern-

bandingkan tulisan yang bagus dan tidak bagus,"ujar Wildan yang getol mengirim tulisan ke pelba-gai media massa sejak kuliah di Jatinangor.Padahal, dari membaca lalu menu lis, Wildan

mendulang faidah ilmu bak pepatah masyhur il-muwan Islam, Al Imam Asy Syafi'i "Ikatlah ilmudengan rulisan"."Sesuatu yang dituliskan itu lebih menernpel

makanya kalau s~a ingin belajar suaru hal, sayakemudian menulis, pelajaran jadi lebih dipahami,"tutur penggerak Lembaga Pemberdayaan Desa se-Jawa Barat ini.

Heykal Sya'ban,[email protected]