pbl
DESCRIPTION
FREETRANSCRIPT
LAPORAN PBL BLOK HPK 234
Kaki Bengkak
Kelompok 6Nama anggota kelompok :
1) Anetta Lesmana 111170011
2) Arin Yustiana 111170012
3) I Gusti Ayu Nita A 111170033
4) Krysna Sinar Alam 111170041
5) Lukita Aprilia 111170043
6) Meidita Wahyu S 111170045
7) Sherly Rongrong 111170063
8) Sri Tati Hartati 111170065
9) Surya Dimas P 111170066
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERUNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON2012
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PBL
Diajukan untuk kegiatan belajar tutorial dan sebagai syarat mengikuti Ujian Akhir Blok di Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Telah disetujui
Pada tanggal 08 Oktober 2012
Disusun oleh :
Kelompok 6
Cirebon, 08 Oktober 2012
Dosen Pembimbing,
dr. Frista Martha Rahayu
2
Kasus 2
Kaki Bengkak
Seorang perempuan umur 35 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
bengkak dan nyeri pada kedua sendi lutut, pergelangan tangan dan kaki yang
dialami sejak beberapa bulan yang lalu dan tersa hangat ketika diraba dia
mengatakan bahwa nyeri sendi ini menghilang setelah minum obat-obat
penghilang nyeri sendi yang ditontonnya di televisi dan dibeli di minimarket dekat
rumahnya, akan tetapi nyerinya berulang dan selalu muncul kembali. Pasien juga
mengatakan bahwa dia tidak pernah mengalami jatuh atau terbentur benda keras
pada persendiannya. Akhir-akhir ini dia cepat merasa lelah, nafsu makan menurun
dan berat badan yang menurun.
STEP 1
1. Bengkak : Penumpukan cairan berlebih diruang antar sel yang merupakan
upaya pertahanan tubuh untuk menghilangkan penyebab jejas.
2. Nyeri : Rasa tidak nyaman yang lebih atau kurang terlokalisasi akibat
rangsangan pada ujung-ujung saraf khusus. Dan merupakan reaksi imun atau
pertahanan tubuh terhadap adanya kerusakan jaringan
3. Sendi : Perlekatan antar dua tulang, bantalan, sendi mengandung tulang
rawan.
STEP 2
1. Penyebab bengkak dan nyeri?
2. Mekanisme bengkak?
3. Diferential diagnosis dari tanda dan gejala?
4. Obat-obat penghilang nyeri?
5. Mekanisme nyeri?
6. Hubungan merasa lelah, nafsu makan dan berat badan menurun dengan
keluhan bengkak dan nyeri pada sendi lutut?
7. Mengapa pada lokasi nyeri dan bengkak diikuti rasa hangat?
8. Pemeriksaan penunjang
3
STEP 3
1. - infeksi: virus, mikroba, baketri
- trauma : benda tajam/ tumpul
- cedera fisik dan kimiawi radiasi
- jaringan nekrosit
- beda asing : tertusuk serpihan kayu
- reaksi imun : reaksi hipersensitivitas
- termodinamika dan limfedema
2. Mekanisme bengkak
↑ permeabilitas vaskular → cairan eksudat keluar jaringan
ekstravaskuler → protein plasma hilang → ↓ tekanan osmotik
intravaskuler dan ↑tekanan osmotik interstitial → ↑ tekanan
hidrostatik → ↑ aliran darah keluar cairan → menumpuk di
jaringan interstitial → edema.
Radang → sensorik aferen ke hipotalamus → kelenjar pituitari,
hipofise anterior → ACTH → kelenjar adrenal → hormon
kortisol ↑→ hormon kortisol ke sel radang → memanggil
makrofag dan neutrofil seingga terjadi fagositosit →
peradangan → respon awal untuk menghilangkan jejas sel pada
kerusakan sel.
Inflamasi akut → respon segera da dini mengirimkan leukosit
ke peradangan.
Mediator :
Prostaglandin → vasodilatasi
Histamin
Anafilaksis permeabilitas vaskular ↑
Kinin
Sitokin dan PG → aktifitas leukosit
Sel darah merah (+) → viskositas ↑→ berkumpul di endotel →
leukosit merembas → edema
Inflamasi kronik
Lebih lama
4
Inflamasi akut bisa menjadi inflamasi kronik.
3. Osteoarthritis
Arthritis Reumatoid
Gout
4. Analgesik, obat penghilang nyeri
Asam mefenamat
Paracetamol → antipiretik lebih kuat
Morfin
5
STEP 4
6
Inflamasi
Pembagian
Waktu
EtiologiAkut
Kronik
SpesifikNon
Spesifik
Letak
Sistemik
Lokal
penyebab
Infeksi
Cedera
Nekrosis
Agen kimia
Reaksi Imun
Mekanisme
Bengkak
NyeriHangat
Kemerahan
Hilang Fungsi
Pengobatan Nyeri
Analgesik
Asam mefenamaat
Parasetamol
Morfin
Penyakit Inflamasi
sendi
Gout, OA, RA
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan Radiologis
STEP 5
1. Pembagian inflamasi dan mekanisme menurut waktu, etiologi dan letak?
2. Penyebab inflamasi?
3. Penyakit inflamasi pada sendi?
4. Pemeriksaan penunjang?
5. Pengobatan nyeri?
6. Hubungan antara inflamasi dengan lelah, berat badan turun dan tidak nafsu
makan?
STEP 6
1. Pembagian Inflamasi
A. Inflamasi berdasarkan letak
- Inflamasi lokal
Inflamasi lokal memberikan proteksi dini terhadap infeksi atau cedera
jaringan. Inflamasi akut melibatkan baik respons lokal dan sistemik. Reaksi lokal
terdiri atas tumor, rubor, kalor, dolor dan gangguan fungsi. Bila darah keluar dari
sirkulasi darah, kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik diaktifkan. Banyak
perubahan vaskular yang terjadi dini disebabkan oleh efek direk mediator enzim
plasma seperti bradikinin dan fibrinopeptida yang menginduksi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskular. Beberapa efek vaskular disebabkan efek
anafilatoksin (C3a dan C5a) yang menginduksi degranulasi sel mast yang melepas
histamin. Histamin menimbulkan vasodilatasi dan kontraksi otot polos. PG juga
berperan dalam vasodilatasi dan peningkatan permabilitas vaskular.
Dalam beberapa jam setelah awitan perubahan vaskular, neutrofil
menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga
jaringan, memakan patogen dan melepas mediator yang berperan dalam respons
inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan melepas sitokin (IL-1, IL-6 dan
TNF-α) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut
menginduksi koagulasi dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel
endotel seperti TNF-α yang meningkatkan ekspresi selektin-E, IL-1 menginduksi
7
peningkatan ekskresi ICAM-1 dan VICAM-1. Neurofil, monosit dan limfosit
mengenal molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah dan
selanjutnya ke jaringan.
IL-1 dan INF-α juga memacu makrofag dan sel endotel untuk
memproduksi kemokin yang berperan pada influks neutrofil melalui peningkatan
ekspresi molekul adhesi. IFN-γ dan TNF-α juga mengaktifkan makrofag dan
neutrofil, meningkatkan fagositosis dan penglepasan enzim ke rongga jaringan.
Lama dan intensitas inflamasi lokal akut perlu dikontrol agar tidak terjadi
kerusakan jaringan. TGF-β membatasi respons inflamasi dan memacu akumulasi
dan proliferasi fibroblas dan endapan matriks ekstraselular yang diperlukan untuk
perbaikan jaringan. Kegagalan dalam adhesi leukosit dapat menimbulkan penyakit
seperti telihat pada defisiensi molekul adhesi.
8
- Inflamasi sistemik
Respons inflamasi lokal disertai dengan respons fase akut-sistemik.
Respons tersebut ditandai oleh induksi demam, peningkatan sintesis hormon
seperti ACTH dan hidrokortison, peningkatan produksi leukosit dan APP di hati.
Peningkatan suhu (demam) mencegah pertumbuhan sejumlah kuman patogen dan
nampaknya meningkatkan respons imun terhadap patogen. CRP merupakan APP
yang kadarnya dalam serum meningkat 1000 kali selama respons fase akut.
Berbagai efektor mekanisme sistem imun nonspesifik biasanya tidak
bekerja sendiri-sendiri, tetapi terkoordinasi dalam respons yang dikenal sebagai
respons inflamasi. Inflamasi dapat diartikan sebagai pengatur untuk memobilisasi
berbagai efektorsistem imun nonspesifik dan mengerahkannya ke tempat-tempat
yang membutuhkan. Infeksi atau cedera dapat memacu produksi peptida vasoaktif
yang berperan dalam peningkatan permeabilitas vaskular dan enzim dari kaskade
kinin dan plasmin yang dapat mengaktifkan kaskade komplemen. Kaskade
plasmin penting dalam remodeling matriks ekstravaskular yang diperlukan pada
penyembuhan luka. Akibat aktivasi komplemen, sel-sel polimorfonuklear, limfosit
dan monosit dapat bermigrasi dari sirkulasi masuk ke jaringan. Ekstravasasi
tersebut diatur oleh sitokin yang diproduksi sel mast (diaktifkan oleh komplemen)
dan makrofag (diaktifkan oleh bakteri).
Cedera atau infeksi mengaktifkan kaskade plasmin dan kinin. Kaskade
kinin menghasilkan peptida vasoaktif yang meningkatkan permeabilitas endotel.
Enzim dari kaskade kinin juga mengaktifkan kaskade komplemen. Kaskade
plasmin penting dalam remodeling matriks ekstraselular yang menyertai
penyembuhan luka. Enzim dari kaskade plasmin juga mengaktifkan kaskade
komplemen. Aktivasi komplemen menimbulkan migrasi (ekstravasasi) leukosit
seperti polimorfonuklear, limfosit dan monosit, dan homing ke tempat infeksi atau
cedera. Ekstravasasi dan homing juga diatur sitokin yang dihasilkan sel mast
setempat (diaktifkan oleh komplemen) dan makrofag (diaktifkan produk bakteri)
(Karnen, 2010).
9
10
B. Inflamasi berdasarkan etiologi
- Inflamasi spesifik dan nonspesifik
Terdapat dua bagian fungsi pertahan tubuh, yaitu sistem imun bawaan
(tidak spesifik), dan penyesuaian (spesifik). Masing-masing terdiri dari
bermacam-macam sel dan faktor-faktor yang larut. Sel-sel dari respons bawaan
adalah neutrofil fagositosis, dan makrofag, bersama-sama dengan basofil, sel-sel
mast, eosinofil, trombosit, monosit dan sel-sel pembunuh alami (Natural Killer
(NK) cells).
Sel-sel yang termasuk dalam fungsi penyesuaian adalah antibodi,
imunoglobulin IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD, yang dihasilkan oleh limfosit B dan
sel plasma, dan limfokin-limfokin yang kebanyakan diproduksi oleh limfosit T.
Sedangkan faktor yang bawaan yang larut adalah lisosim, interferon, sitokin,
komplemen protein fase akut.
Respons bawaan merupakan garis pertahanan terhadap invasi ke jaringan
oleh mikroorganisme dan berguna dalam pengenalan oleh antigen spesifik atau
kemahiran dalam mengingat. Sedangkan sistem imun penyesuaian menggunakan
ingatan untuk menjelaskan ke tingkat limfosit T dan B (Aru W, 2006).
Tabel 1. Radang (Infalamsi) dan Respons Tubuh
11
Sel-sel
Faktor-faktor yang larut
Alami (tak spesifik)
Netrofil
Eosinofil
Basofil
Trombosit
Makrofag
Monosit
Sel Mast
Sel NK
Lisozim sitokin
INF
Komplemen
Protein fase akut
Didapat (penyesuaian
spesifik)
Sel B dan T
APC
Sel-sel dendritik
Sel-sel Langerhans
ANTIBODI
ANTIBODI
IgG dan subklas, IgM
IgA, IgE, IgD Limfokin
C. Inflamasi Berdasarkan Waktu
1) Inflamasi Akut
12
Inflamasi akut merupakan respons segera dan dini terhadap jejas yang
dirancang untuk mengirimkan leukosit ke tempat jejas. Sesampainya di tempat
jejas, leukosit membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai
proses penguraian jaringan nekrotik. (Robbins et all, 2004)
Proses ini memiliki dua komponen utama (Robbins et all, 2004):
Perubahan vaskular: perubahan dalam kaliber pembuluh darah yang
mengakibatkan peningkatan aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan
struktural yang memungkinkan protein plasma untuk meninggalkan
sirkulasi (peningkatan permeabilitas vaskular).
Berbagai kejadian yang terjadi pada sel: emigrasi leukosit dari
mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas (rekrutmen dan aktivasi
selular).
Manifestasi lokal utama pada inflamasi akut:
(1) Dilatasi pembuluh darah (menyebabkan eritema dan hangat),
(2) ekstravasasi cairan plasma dan protein (edema), dan
(3) emigrasi dan akumulasi leukosit ditempat jejas.
Rentetan bertingkat (kaskade) kejadian pada inflamasi akut diintegrasikan
oleh pelepasan lokal mediator kimiawi. Perubahan vaskular dan rekrutmen
sel menentukan tiga dari lima tanda lokal klasik inflamasi akut: panas
(kalor), merah (rubor), dan pem-bengkakan (tumor). Dua gambaran
kardinal tambahan pada inflamasi akut, yaitu nyeri (dolor) dan hilangnya
fungsi (functio laesa), terjadi akibat perluasan mediator dan kerusakan
yang diperantarai leukosit (lihat bahasan selanjutnya). (Robbins et all,
2004)
Perubahan vaskular
Perubahan pada kaliber dan aliran pembuluh darah. Perubahan ini dimulai
relatif lebih cepat setelah jejas terjadi, tetapi dapat berkembang dengan kecepatan
yang beragam, bergantung pada sifat dan keparahan jejas asalnya. (Robbins et all,
2004)
Setelah vasokonstriksi sementara (beberapa detik), terjadi vasodilatasi
13
arteriol, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah dan penyumbatan
lokal (hiperemia) pada aliran darah kapiler selanjutnya. Pelebaran
pembuluh darah ini merupakan penyebab timbulnya warna merah
(eritema) dan hangat yang secara khas terlihat pada inflamasi akut.
Selanjutnya, mikrovaskulatur menjadi lebih permeabel, mengakibatkan
masuknya cairan kaya protein ke dalam jaringan ekstravaskular. Hal ini
menyebabkan sel darah merah manjadi lebih terkonsentrasi dengan baik
sehingga meningkatkan viskositas darah dan memperlambat sirkulasi.
Secara mikroskopik perubahan ini digambarkan oleh dilatasi pada
sejumlah pembuluh darah kecil yang dipadati oleh eritrosit. Proses tersebut
dinamakan stasis.
Saat terjadi stasis, leukosit (terutama neutrofil) mulai keluar dari aliran
darah dan berakumulasixvb di sepanjang permukaan endotel pembuluh
darah. Proses ini disebut dengan marginasi. Setelah melekat pada sel
endotel, leukosit menyelip di antara sel endotel tersebut dan bermigrasi
melewati dinding pembuluh darah menuju jaringan interstisial.
Peningkatan Permeabilitas Vaskular
Pada tahap paling awal inflamasi, vasodilatasi arteriol dan aliran darah yang
bertambah meningkatkan tekanan hidrostatik intravaskular dan pergerakan cairan
dari kapiler. Cairan ini, yang dinamakan transudat, pada dasarnya merupakan
ultrafiltrat plasma darah dan mengandung sedikit protein. Namun demikian,
transudasi segera menghilang dengan meningkatnya permeabilitas vaskular yang
memungkinkan pergerakan cairan kaya protein, bahkan sel ke dalam interstisium
(disebut eksudat). Hilangnya cairan kaya protein ke dalam ruang perivaskular
menurunkan tekanan osmotik intravaskular dan meningkatkan tekanan osmotik
cairan interstisial. Hasilnya adalah mengalirnya air dan ion ke dalam jaringan
ekstravaskular, akumulasi cairan ini dinamakan edema. (Robbins et all, 2004)
Inflamasi akut menyebabkan kebocoran selapis endotel melalui sejumlah
cara. Arteriol, kapiler, dan venula mengalami hal ini secara berbeda-beda,
bergantung pada mekanisme yang berperan, serta onset, durasi, volume, dan
karakteristik (tmnsudat vs eksudat) cairan yang dihasilkan. (Robbins et all, 2004)
14
Kontraksi sel endotel menimbulkan intercellular gap pada venula. Pada
permeabilitas vaskular yang meningkat, bentuk tersering kontraksi sel
endotel adalah suatu proses reversibel yang dihasilkan oleh histamin,
bradikinin, leukotrien, dan banyak kelompok mediator kimiawi lainnya.
Kontraksi sel terjadi dengan cepat setelah pengikatan mediator dengan
reseptor spesifik danbiasanya berlangsung singkat (15 sampai 30 menit);
akibatnya, hal ini disebut respons segera sementara (immediate transient
response). Hanya sel endotel yang melapisi venula pascakapiler kecil yang
mengalami kontraksi. Endotel kapiler dan arteriol tidak mengalami hal
tersebut akibat jumlah reseptor untuk mediator kimiawi yang sesuai lebih
sedikit. Sebagai sisipan, banyak kejadian berikutnya pada leukosit dalam
inflamasi (misalnya, adhesi dan emigrasi) juga terjadi secara menonjol
pada venula pascakapiler.
Retraksi sel endotel merupakan mekanisme reversibel lain yang
menimbulkan peningkatan permeabilitas vaskular. Mediator sitokin (yaitu
tumor necrosis factor [TNF] dan interleukin 1 [IL-1] menyebabkan
reorganisasi struktural pada sitoskeleton endotel sehingga sel yang
mengalami retraksi satu sama lain dan cell-junction menjadi terganggu.
Berlawanan dengan respons segera sementara, terjadinya retraksi endotel
memerlukan waktu 4 sampai 6 jam setelah pemicuan awal, dan menetap
selama 24 jam atau lebih. ]ejas endotel langsung akan mengakibatkan
kebocoran vaskular dengan menyebabkan nekrosis dan lepasnya sel
endotel. Efek ini biasanya terlihat setelah cedera berat (misalnya, luka
bakar atau infeksi), dan lepasnya sel endotel sering kali disertai dengan
adhesi trombosit dan trombosis. Pada sebagian besar kasus, kebocoran
dimulai segera setelah terjadi jejas dan menetap selama beberapa jam (atau
hari) sampai pembuluh darah yang rusak mengalami trombosis atau
diperbaiki. Oleh karena itu, reaksi ini dikenal sebagai immediate sustained
response. Venula, kapiler, dan arteriol semuanya dapat mengalami hal ini,
bergantung pada tempat jejas.
Jejas langsung pada sel endotel juga dapat menginduksi kebocoran
memanjang yang melambat (delayed prolonged leakage), yang mulai
15
terjadi setelah terlambat 2 sampai 12 jam, berlangsung selama beberapa
jam atau bahkan berhari-hari, dan mengenai venula dan kapiler.
Contohnya, jejas suhu ringan sampai sedang, toksin bakteri tertentu, dan
radiasi sinar-X atau ultraviolet (misalnya, terbakar sinar matahari yang
muncul di malam hari setelah seharian terkena sinar matahari). Walaupun
mekanismenya tidak jelas, baik kerusakan sel yang melambat akibat
apoptosis maupun kerja sitokin. Jejas endotel yang bergantung leukosit
dapat terjadi akibat akumulasi leukosit selama respons inflamasi terjadi.
Seperti telah dibahas sebelumnya, leukosit seperti itu dapat melepaskan
spesies oksigen toksik dan enzim proteolitik, yang kemudian menyebab-
kan cedera atau lepasnya endotel. Bentuk cedera ini sebagian besar terjadi
secara terbatas di tempat-tempat pembuluh darah (venula dan kapiler
pulmonalis) yang leukositnya dapat melekat pada endotel.
Peningkatan transitosis melalui jalur vesikular intrasel meningkatkan
permeabilitas venula, khususnya setelah pajanan terhadap mediator
tertentu (misalnya, vascular endothelial growth factor [VEGF].
Transitosis terjadi dengan melintasi kanal-kanal yang dibentuk oleh fusi
vesikel yang tanpa selubung.
Kebocoran dari pembuluh darah baru, pada perbaikan jaringan terjadi
pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis). Bakal pembuluh darah
masih bocor sampai sel endotel yang mengalami proliferasi berdiferensiasi
secara memadai untuk membentuk intercellular junction. Sel endotel baru
juga telah meningkatkan pengeluaran reseptor untuk mediator vasoaktif
dan f aktor angiogenik tertentu yang secara langsung menginduksi
peningkatan permeabilitas vaskular melalui transitosis.
Walaupun mekanisme di atas dapat dipisahkan, semuanya dapat berperan serta
pada keadaan adanya rangsangan khusus. Sebagai contoh, pada luka bakar akibat
panas, kebocoran terjadi akibat kontraksi endotel yang diperantarai secara
kimiawi, juga akibat jejas langsung dan kerusakan yang diperantarai leukosit.
Mediator kimiawi yang berbeda juga dihasilkan pada tahap lanjutan suatu respons
radang, mengakibatkan terjadinya perubahan vaskular yang lambat dan/atau
16
menetap. Akhirnya, kebocoran cairan yang terjadi pada kapiler baru sebagai
proses penyembuhan dimulai setelah terjadi jejas apa pun. (Robbins et all, 2004)
Gambar 1.
Mekanisme peningkatan permeabilitas vaskular pada inflamsi
(Robbins et all, 2004)
Berbagai Peristiwa yang Terjadi pada Sel
Urutan kejadian ekstravasasi leukosit dari lumen pembuluh darah ke ruang
ekstravaskular dibagi menjadi (Robbins et all, 2004):
Marginasi dan rolling,
Adhesi dan transmigrasi antarsel endotel, dan
o Migrasi pada jaringan interstisial terhadap suatu rangsang
kemotaktik.
17
Rolling, adhesi, dan transmigrasi diperantarai oleh ikatan molekul adhesi
komplementer pada leukosit dan permukaan endotel. Mediator kimiawi
(kemoatraktan dan sitokin tertentu) memengaruhi proses ini dengan mengatur
ekspresi permukaan atau aviditas molekul adhesi. (Robbins et all, 2004)
Gambar 2
Kejadian emigrasi leukosit pada inflamasi
(Robbins et all, 2004)
Marginasi dan Rolling
Saat darah mengalir dari kapiler menuju venula pascakapiler, sel dalam
sirkulasi dibersihkan oleh aliran laminar melawan dinding pembuluh darah. Selain
itu, sel darah merah diskoid yang lebih kecil cenderung bergerak lebih cepat
daripada sel darah putih sferis yang lebih besar. Akibat pengaruh ini, leukosit
terdorong dari sumbu sentral pembuluh darah (tempat leukosit biasanya mengalir)
sehingga leukosit mempunyai kesempatan lebih baik untuk berinteraksi dengan
sel endotel yang melapisinya.
Interaksi ini dibantu dengan meningkatnya permeabilitas vaskular yang terjadi
pada inflamasi dini yang menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan
aliran darah melambat. Proses akumulasi leukosit di tepi pembuluh darah ini
disebut marginasi. Selanjutnya, leukosit yang berguling-guling pada permukaan
endotel, untuk sementara melekat di sepanjang perjalanannya itu. Proses ini
dinamakan rolling. (Robbins et all, 2004)
18
Adhesi transien (sementara) dan relatif longgar yang terlibat dalam proses
rolling, dilakukan oleh kelompok molekul selektin. Selektin merupakan reseptor
yang dikeluarkan pada leukosit dan endotel dan ditandai dengan adanya daerah
ekstrasel yang meng-ikat gula tertentu (oleh karena itu, lektin menjadibagian
namanya). Selektin ini meliputi selektin-E (juga disebut CD62E), terbatas pada
endotel; selektin-P (CD62P), ter-dapat pada endotel dan trombosit; dan selektin-L
(CD62L), terdapat pada permukaan sebagian besar leukosit. Selektin mengikat
oligosakarida bersialat yang menghiasi glikoprotein mirip musin pada sel target.
(Robbins et all, 2004)
Selektin endotel secara khusus dikeluarkan pada kadar yang rendah atau tidak
muncul sama sekali pada sel normal. Selektin tersebut diatur (up-regulation)
setelah adanya rangsangan oleh mediator spesifik. Hal , ini menyebabkan derajat
spesifisitas pengikatan terbatas pada tempat yang terus mengalami cedera.
Sebagai contoh, pada sel endotel yang tidak teraktivasi, selektin-P terutama
ditemukan di dalam badan-badan Weibel-Palade intrasel; namun dalam beberapa
menit setelah terpajan mediator, misalnya histamin atau trombin, selektin-P
disebar ke permukaan sel, tempat selektin-P dapat memf asilitasi pengikatan
leukosit. Demikian pula selektin-E, yang tidak terdapat pada endotel normal,
diinduksi setelah adanya pe-rangsangan oleh mediator inflamasi, seperti IL-1 dan
TNF. (Robbins et all, 2004)
Adhesi dan Transmigrasi
Leukosit akhirnya melekat kuat pada permukaan endotel (adhesi) sebelum
merayap di antara sel endotel dan melewati membran basalis masuk ke ruang
ekstravaskular (diapedesis). Adhesi kuat ini diperantarai oleh molekul superfamili
imunoglobulin pada sel endotel yang berinteraksi dengan integrin yang muncul
pada pemukaan sel leukosit. Molekul adhesi endotel, yaitu ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule 1) dan VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule 1); sitokin,
seperti TNF dan IL-1, menginduksi pengeluaran ICAM-1 dan VCAM-1. Integrin
merupakan glikoprotein heterodimer, transmembran yang juga berfungsi sebagai
reseptor sel untuk matriks ekstraselular. ICAM-1 utama yang mengikat integrin
adalah LFA-1 (CDlla/CD18) dan Mac-1 (CD11b/CD18); VCAM-1 berikatan pada
19
integrin VLA-4. Integrin biasanya muncul pada membran plasma leukosit, tetapi
tidak melekat pada ligannya yang sesuai sampai leukosit diaktivasi oleh agen
kemotaktik atau rangsang lainnya (dihasilkan oleh sel endotel atau sel lainnya di
tempat jejas). Kemudian, hanya integrin yang mengalami perubahan bentuk yang
diperlukan untuk memberikan afirvitas pengikatan yang tinggi terhadap molekul
adhesi endotel. (Robbins et all, 2004)
Diapedesis leukosit terjadi secara menonjol di venula pembuluh darah
sistemik, walaupun hal itu juga terjadi di kapiler pada sirkulasi pulmonal. Setelah
adhesi kuat terjadi pada permukaan endotel, leukosit bertransmigrasi terutama
dengan merembes di antara sel pada intercellular junction. PECAM-1 (platelet
endothelial cell adhesion molecule 1, juga disebut CD 31), suatu molekul adhesi
sel-ke-sel superfamili imunoglobulin, merupakan protein yang dominan dalam
memerantarai proses ini. Setelah melintasi endothelial junction, leukosit
menembus membran basalis dengan mendegradasinya secara fokal menggunakan
kolagenase yang disekresi. (Robbins et all, 2004)
Neutrofil, monosit, eosinofil, dan berbagai jenis limfosit menggunakan
molekul yang berbeda (namun saling tumpang tindih) untuk rolling dan adhesi.
Jenis leukosit yang direkrut tergantung pada sifat rangsang yang menyerang dan
usia tempat peradangan. Oleh karena itu, pada sebagian besar bentuk inf lamasi
akut, neutrofil menonjol pada 6 sampai 24 jam pertama dan digantikan oleh
monosit pada 24-48 jam berikutnya. Pola ini paling baik dijelaskan dengan
pengeluaran secara berurutan molekul adhesi yang berbeda-beda dan faktor
kemotaktik pada tahap respons inflamasi yang berbeda-beda. Selain itu, usia
neutrofil agak pendek, akan mengalami apoptosis dalam 24 hingga 48 jam setelah
keluar dari aliran darah, sementara monosit pada dasarnya bertahan hidup lebih
lama dan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama sebagai makrofag.
(Robbins et all, 2004)
Kemotaksis dan Aktivasi
Setelah terjadi ekstravasasi dari darah, leukosit bermigrasi menuju tempat
jejas mendekati gradien kimiawi pada suatu proses yang disebut kemotaksis.
Kedua zat eksogen dan endogen dapat bersifat kemotaktik terhadap leukosit,
20
meliputi (1) produk bakteri yang dapat larut, khususnya peptida dengan N-formil-
metionin termini; (2) komponen sistem komplemen, terutama C5a; (3) produk
metabolisme asam arakidonat (AA) jalur lipoksigenasi, terutama leukotrien B4
(LTB4); dan (4) sitokin, terutama kelompok kemokin (misalnya, IL-8). (Robbins
et all, 2004)
Molekul kemotaksis berikatan pada reseptor permukaan sel spesifik
sehingga menyebabkan aktivasi fosfolipase-C yang diperantarai protein G;
fosfolipase C menghidrolisis fosfatidilinositol bifosfat (PIP2) membran plasma
menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3). Kemudian, DAG
menyebabkan sejumlah kejadian sekunder, sedangkan IP3 meningkatkan kalsium
intrasel (dengan keluar dari retikulum endoplasma dan dengan influks ekstrasel).
Meningkatnya kalsium sitosol memicu perakitan elemen kontraktil sitoskeletal
yang diperlukan untuk pergerakan. Leukosit bergerak dengan memperpanjang
pseudopodia yang berlabuh ke matriks ekstraselular dan kemudian menarik sel ke
arah perpanjangan tersebut. Dengan demikian, pada ujung utama pseudopodia,
monomer aktin dipolimeri-sasi menjadi filamen panjang; pada saat yang sama,
filamen aktin di mana pun dalam sel harus dibongkar untuk memungkinkan
adanya aliran ke arah pseudopodia yang memanjang. Arah pergerakan seperti itu
utamanya terjadi karena densitas interaksi reseptor-ligan kemotaktik yang lebih
tinggi pada ujung utama sel tersebut. (Robbins et all, 2004)
Selain merangsang pergerakan, faktor kemotaksis juga menginduksi respons
leukosit lainnya, yang umumnya disebut sebagai aktivasi leukosi (Robbins et all,
2004)t:
Degranulasi dan sekresi enzim lisosom, dan terjadi pembakaran oksidatif
melalui aktivasi protein kinase C yang diinduksi oleh DAG.
Produksi metabolit AA melalui aktivasi fosfolipase A2 yang diinduksi
oleh kalsium dan DAG.
Modulasi molekul adhesi leukosit melalui peningkatan kalsium intrasel,
termasuk peningkatan (atau penurunan) jumlah dan peningkatan (atau
penurunan) afinitas.
21
Fagositosis dan Degranulasi
Fagositosis dan elaborasi enzim degradatif merupakan dua manfaat utama dari
adanya leukosit yang direkrul pada tempat inflamasi. Fagositosis terdiri atas tiga
langkah berbeda, tetapi saling terkait (Robbins et all, 2004):
Pengenalan dan perlekatan partikel pada leukosit yang menelan;
Penelanan dengan pembentukan vakuola fagositik selanjutnya; dan
Pembunuhan dan degradasi material yang ditelan.
Gambar 3
Aktivasi leukosit (Robbins et all, 2004)
Pengenalan dan perlekatan leukosit pada sebagian besar mikroorganisme
difasilitasi oleh protein serum yang secara umum disebut opsonin; opsonin
mengikat molekul spesifik pada permukaan mikroba dan selanjutnya
22
memfasilitasi pengikatannya dengan reseptor opsonin spesifik pada leukosit.
Opsonin yang terpenting adalah molekul imunoglobulin G (IgG) (khususnya
bagian Fc molekul), fragmen C3b komplemen, serta lektin yang mengikat
karbohidrat plasma yang disebut kolektin, yang berikatan pada dinding gugus gula
sel mikroba. Pada banyak kasus, ikatan IgG bertanggung jawab untuk memicu
kaskade aktivasi komplemen sehingga terjadi deposisi fragmen C3b pada partikel
yang menjadi target; namun demikian, sejumlah rangsang (misalnya, permukaan
mikroba) secara langsung dapat menginduksi aktivasi komplemen melalui suatu
jalur alternatif'yang tergantung IgG. Reseptor pada leukosit yang saling
berhubungan adalah reseptor Fc (FcR) untuk IgG, reseptor komplemen 1,2, dan 3
(CR1, 2, dan 3) untuk fragmen komplemen, dan Clq untuk kolektin. (Robbins et
all, 2004)
Pengikatan partikel teropsonisasi memicu penelaran (engulfment); selain
itu, pengikatan IgG pada FcR menginduksi aktivasi selular yang memacu
degradas: mikroba yang ditelan. Pada penelanan, pseudopodi; diperpanjang
mengelilingi objek, sampai akhirnya membentuk vakuola fagositik. Membran
vakuola kemudian berfusi dengan membran granula lisosom diperantarai IP3- dan
DAG untuk kemotaksis dan aktivasi. (Robbins et all, 2004)
Langkah akhir dalam fagositosis mikroba adalah pembunuhan dan
degradasi. Pembunuhan mikroba dilakukan sebagian besar oleh spesies oksigen
reaktif. Fagositosis merangsang suatu pembakaran oksidatif yang ditandai dengan
peningkatan konsumsi oksigen yang tiba-tiba, katabolisme glikogen
(glikogenolisis), peningkatan oksidasi glukosa, dan produksi metabolit oksigen
reaktif. Pembentukan metabolit oksigen terjadi karena aktivasi cepat suatu
NADPH oksidase leukosit, yang mengoksidasi NADPH (nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate tereduksi) dan, selama prosesnya, mengubah oksigen
menjadi ion superoksida. (Robbins et all, 2004)
Superoksida kemudian diubah melalui dismutasi spontan menjadi
hidrogen peroksida (02-+ H2
+—H2O2). Jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan
pada umumnya tidak cukup untuk membunuh dengan efektif sebagian besar
bakteri (walaupun pembentukan superoksida dan radikal hidroksil dapat cukup
23
jumlahnya untuk melakukan hal tersebut). Namun demikian, lisosom neutrofil
(dinamakan granula azurofilik) mengandung enzim mieloperoksidase (MPO), dan
dengan adanya halida seperti Cl-, mieloperoksidase mengubah H2O2 menjadi
HOCl- (radikal hipoklorat). HOCl merupakan oksidan dan anti mikroba yang
sangat kuat (NaOCl adalah bahan aktif dalam pemutih klorin) yang membunuh
bakteri melalui halogenasi, atau dengan peroksidasi protein dan lipid. Untungnya,
NADPH oksidase hanya aktif setelah translokasi subunit sitosolnya menuju
membran fagolisosom; oleh karena itu, produk akhir reaktif hanya dibentuk di
dalam kompartemen tersebut, Setelah pembakaran oksigen, akhirnya H2O2
terurai menjadi air dan O2 oleh kerja katalase, dan spesies oksigen reaktif lainnya
juga didegradasi. Mikroorganisme yang mati kemudian didegradasi oleh kerja
hidrolase asam lisosom. (Robbins et all, 2004)
Penting untuk diperhatikan bahwa bahkan saat tidak terjadi pembakaran
oksigen, unsur granula leukosit lainnya mampu membunuh bakteri dan agen inf
eksius lainnya. Unsur tersebut, yaitu protein yang meningkatkan permeabilitas
bakterisidal (menyebabkan aktivasi fosfolipase dan degradasi fosfolipid
membran), lisozim (menyebabkan degradasi oligosakarida selubung bakteri),
protein dasar utama (unsur granula eosinofil yang penting dengan sitotoksisitas
yang kuat terhadap parasit), dan defensin (peptida yang membunuh mikroba
dengan membentuk lubang di dalam membrannya). (Robbins et all, 2004)
Langkah akhir dalam fagositosis mikroba adalah pembunuhan dan degradasi.
Pembunuhan mikroba dilakukan sebagian besar oleh spesies oksigen reaktif.
Fagositosis merangsang suatu pembakaran oksidatif yang ditandai dengan
peningkatan konsumsi oksigen yang tiba-tiba, katabolisme glikogen
(glikogenolisis), peningkatan oksidasi glukosa, dan produksi metabolit oksigen
reaktif. Pembentukan metabolit oksigen terjadi karena aktivasi cepat suatu
NADPH oksidase leukosit, yang mengoksidasi NADPH (nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate tereduksi) dan, selama prosesnya, mengubah oksigen
menjadi ion superoksida.
24
2) Inflamasi kronik
Inflamasi kronik dapat dianggap sebagai inflamasi memanjang (berminggu-
minggu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun), dan terjadi inflamasi
aktif jejas jaringan, dan penyembuhan secara serentak. Berlawanan dengan
inflamasi akut, yang dibedakan dengan perubahan vaskular, edema, dan infiltrat
neutrofilik yang sangat banyak, infla'masi kronik ditandai dengan hal-hal berikut
(Robbins et all, 2004):
Infiltrasi sel mononuklear (radang kronik), yang mencakup makrofag,
limfosit, dan sel plasma.
Destruksi jaringan, sebagian besar diatur oleh sel radang.
Repair (perbaikan), melibatkan proliferasi pem-buluh darah baru
(angiogenesis) dan fibrosis.
Gambar 4
Penyebab dan dampak inflamasi kronik
25
(Robbins et all, 2004)
Inflamasi kronik dapat berkembang dari inflamasi akut. Perubahan ini
terjadi ketika respons akut tidak teratasi karena agen cedera yang menetap atau
karena gangguan proses penyembuhan normal. Sebagai contoh, ulkus peptikum
duodenum awalnya mem-perlihatkan inflamasi akut yang diikuti dengan tahap
awal perbaikan (resolusi). (Robbins et all, 2004)
Kemungkinan lain, beberapa bentuk jejas (misal, infeksi virus)
menimbulkan respons, yaitu inflamasi kronik yang pada dasarnya terjadi sejak
awal. Walaupun agen berbahaya yang memerantarai inflamasi bisa kurang
berbahaya dibanding agen yang menyebabkan inflamasi akut, seluruh kegagalan
untuk memperbaiki proses itu dapat menyebabkan cedera yang pada dasarnya
berlangsung lebih lama. Fibrosis, secara khusus—proliferasi fibroblas dan
akumulasi matriks ekstraselular yang berlebihan—merupakan gambaran umum
pada banyak penyakit radang kronik dan merupakan penyebab penting disfungsi
organ. Inflamasi kronik terjadi pada keadaan sebagai beriku (Robbins et all,
2004)t:
Infeksi Virus
Infeksi intrasel apa pun secara khusus memerlukan limfosit (dan
makrofag) untuk mengidentifikasi dan mengeradikasi sel yang terinfeksi.
(Robbins et all, 2004)
Infeksi Mikroba Persisten
Sebagian besar ditandai dengan adanya serangkaian mikroorganisme
terpilih, termasuk mikobakterium (Basilus ruberkel), Treponema pallidum
(organisme penyebab sifilis), dan fungus tertentu. Organisme ini memiliki
patogenisitas langsung yang lemah, tetapi secara khusus dapat menimbulkan
respons imun yang disebut hipersensitivitas lambat, yang bisa berpuncak pada
suatu reaksi granulomatosa. (Robbins et all, 2004)
Penyakit Autoimun
26
Seseorang mengalami respons imun terhadap antigen dan jaringan
tubuhnya sendiri. Karena antigen yang bertanggung jawab sebagian besar
diperbaharui secara konstan, terjadi reaksi imun terhadap dirinya sendiri yang
berlangsung terus-menerus (misalnya, artritis rheumatoid atau sklerosis multipel).
(Robbins et all, 2004)
Sel dan mediator inflamasi kronik
Makrofag
Makrofag merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit dalam
sirkulasi setelah beremigrasi dari aliran darah. Makrofag— normalnya tersebar
difus pada sebagian besar jaringan ikat—juga bisa ditemukan dalam jumlah yang
meningkat di organ, seperti hati (disebut sel kupffer), limpa dan kelenjar getah
bening (disebut histiosit sinus), sistem saraf pusat (sel mikroglia), dan paru
(makrofag alveolus). Di tempat ini, makrofag bertindak sebagai penyaring
terhadap bahan berukuran partikel, mikroba, dan sel-sel yang mengalami proses
kematian/senescent (disebut juga sistem fagosit mononuklear), dan bekerja
sebagai sentinel untuk memperingatkan komponen spesifik sistem imun (limfosit
T dan B) terhadap rangsang yang berbahaya. (Robbins et all, 2004)
Waktu paruh monosit dalam sirkulasi sekitar 1 hari; di bawah pengaruh
molekul adhesi dan faktor kemotaksis, monosit mulai beremigrasi ke tempat jejas
dalam waktu 24 sampai 48 jam pertama setelah onset inflamasi akut, seperti
dijelaskan sebelumnya. Pada saat mencapai jaringan ekstravaskular, monosit
berubah menjadi makrofag yang lebih besar, dan mampu melakukan fagositosis
besar. Makrofag juga bisa menjadi teraktivasi, suatu proses yang menyebabkan
ukuran sel bertambah besar, meningkatnya kandungan enzim lisosom, memiliki
metabolisme yang lebih aktif, dan memiliki kemampuan lebih besar untuk
membunuh organisme yang dimangsa. Sinyal aktivasi mencakup sitokin yang
disekresi oleh limfosit T yang tersensitisasi, endotoksin bakteri, berbagai mediator
yang dihasilkan selama inflamasi akut, dan protein matriks ekstraselular seperti
fibronektin. Setelah aktivasi, makrofag menyekresi produk yang aktif secara
biologis dalam jumlah beragam, yang apabila tidak diawasi, dapat menyebabkan
27
jejas jaringan dan menimbulkan tanda fibrosis inflamasi kronik. Produk tersebut
mencakup (Robbins et all, 2004):
Protease asam dan protease netral. Protease netral juga terlibat sebagai
mediator kerusakan jaringan pada inflamasi akut. Enzim lain, seperti
aktivator plasminogen, sangat memperkuat pembentukan zat proinflamasi.
Komponen komplemen dan faktor koagulasi. Walaupun hepatosit
merupakan sumber utama protein ini di dalam plasma, makrofag
teraktivasi dapat melepaskan protein ini dalam jumlah yang bermakna
secara lokal ke dalam matriks ekstraselular. Komponen ini, meliputi
protein komplemen Cl sampai C5; properdin; faktor koagulasi V dan VIII;
dan faktor jaringan.
Spesies oksigen reaktif dan no.
Metabolit AA (eikosanoid).
Sitokin, seperti IL-1 dan TNF, serta berbagai faktor pertumbuhan yang
memengaruhi proliferasi sel otot polos dan fibroblas, serta produksi
matriks ekstraselular.
Di tempat inflamasi akut—tempat iritan dibersihkan dan proses inflamasi
tersebut diperbaiki— makrofag akhirnya mati atau masuk ke dalam
pembuluh limfe. Namun demikian, di tempat peradangan kronik,
akumulasi makrofag menetap, dan makrofag dapat berproliferasi.
Pelepasan terus-menerus faktor yang berasal dari limfosit (lihat
pembahasan selanjut-nya) merupakan mekanisme penting yang merekrut
atau mengimobilisasi makrofag di tempat radang. IL-4 atau IFN-ƴ juga
dapat menginduksi fusi makrofag menjadi sel besar berinti banyak,
dinamakan sel raksasa (giant cell). (Robbins et all, 2004)
Limfosit, Sel Plasma, Eosinofil, Dan Sel Mast
Jenis sel lain yang muncul pada inflamasi kronik adalah limfosit, sel
plasma, eosinofil, dan sel mast. Limfosit T dan B, keduanya bermigrasi ke tempat
radang dengan menggunakan beberapa pasangan molekul adhesi dan kemokin
serupa yang merekrut monosit. Limfosit dimobilisasi pada keadaan setiap ada
rangsang imun spesifik (yaitu infeksi), dan pada inflamasi yang diperantarai
28
nonimun (yaitu karena infark atau trauma jaringan). Limfosit T memiliki
hubungan timbal balik terhadap makrofag pada inflamasi kronik, limfosit T pada
mulanya teraktivasi oleh interaksi dengan makrofag yang menyajikan fragmen
antigen terproses pada permukaan selnya. Limfosit teraktivasi kemudian
menghasilkan berbagai mediator, termasuk IFN-ƴ, suatu sitokin perangsang utama
untuk mengaktivasi monosit dan makrofag. Makrofag teraktivasi selanjutnya me-
lepaskan sitokin, yaitu IL-1 dan TNF, yang lebih jauh mengaktivasi limfosit dan
jenis sel lainnya (seperti yang telah kita saksikan). Hasil akhirnya adalah adanya
suatu fokus radang, yaitu tempat makrofag dan sel T secara persisten dapat saling
merangsang satu sama lain sampai antigen pemicu hilang, atau terjadi beberapa
proses pengaturan. Sel plasma merupakan produk akhir dari aktivasi sel B yang
mengalami diferensiasi akhir; sel plasma dapat menghasilkan antibodi yang
diarahkan untuk melawan antigen di tempat radang atau melawan komponen
jaringan yang berubah. (Robbins et all, 2004)
Eosinofil secara khusus ditemukan di tempat radang sekitar terjadinya
infeksi parasit atau sebagai bagian reaksi imun yang diperantarai oleh ige, yang
berkaitan khusus dengan alergi. Emigrasi eosinofil dikendalikan oleh molekul
adhesi yang serupa dengan molekul adhesi yang digunakan oleh neutrofil, dan
oleh kemokin spesifik (yaitu eotaksin) yang berasal dari sel leukosit atau sel
epitel. Granula spesifik-eosinofil mengandung protein dasar utama, yaitu suatu
protein kationik bermuatan besar, yang toksik terhadap parasit, tetapi juga
menyebabkan lisis sel epitel. (Robbins et all, 2004)
Sel mast merupakan sel sentinel yang tersebar luas dalam jaringan ikat di
seluruh tubuh dan dapat berperan serta dalam respons radang akut maupun kronik.
Sel mast dipersenjatai dengan ige terhadap antigen tertentu. Bila kemudian
antigen ini ditemukan, sel mast sebelum dipersenjatai dipicu untuk melepaskan
histamin dan metabolit AA yang menyebabkan perubahan vaskular dini pada
suatu inflamasi akut. (Robbins et all, 2004)
29
Gambar 5
Interaksi limfosit dan makrofag pada inflamasi kronik
(Robbins et all, 2004)
2. Penyebab Radang (Inflamasi)
Reaksi peradangan dipicu oleh berbagai rangsangan. Setiap stimulus
tersebut dapat memicu reaksi dengan gambaran tersendiri, tetapi semua reaksi
peradangan memiliki gambaran dasar yang sama. (Underwod. 1999)
a. Penyebab radang akut adalah :
Infeksi Mikrobial
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang
adalah infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara
multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik mengawali
proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding
sel. Disamping itu, beberapa macam organisme, melalui reaksi hipersensitivitas,
dapat menyebabkan radang yang diperantarai imunologi. Infeksi parasit dan
radang tuberkulosa merupakan contoh bahwa hipersensitivitas sangat penting.
(Underwod. 1999)
1. Reaksi Hipersensitivitas
30
Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihnya reaksi imun yang akan
merusak jaringan. Semuanya mempunyai perantara seluler atau kimiawi
yang serupa dengan yang terjadi pada proses radang. (Underwod. 1999)
2. Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma
fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebihan.
(Underwod. 1999)
3. Bahan kimia iritan atau korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa)
akan merusak jaringan, yang kemudian akan memprovokasi terjadinya
proses radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan
bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi, dan langsung mengakibatkan
radang. (Underwod, 1999).
4. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya
pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan
mengakibatkan terjadinya kematian jaringan. Kematian jaringan sendiri
merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah
infark sering memperlihatkan suatu respons radang. (Underwod. 1999)
b. Penyebab radang kronik adalah :
1. Agen infeksi yang resisten terhadap fagositosis dan penghancuran
intraseluler
Misalnya : Tuberkulosis, lepra, bruselosis, dan infeksi virus. (Underwod.
1999)
2. Reaksi benda asing
Material endogenosa, misalnya : jaringan adiposa yang nekrotik,
kristal asam urat, tulang.
Material eksogenosa, misalnya : silika, serabut asbes, benang,
protesa yang ditanam.
(Underwod. 1999)
31
3. Beberapa penyakit autoimun
Penyakit organ spesifik, misalnya : Hashimoto tiroiditis, gastritis
kronis pada anemia pernisiosa.
Penyakit non-organ spesifik, misalnya : Artritis reuatoid
Reaksi hipersensitivitas kontak, misalnya : antigen sendiri yang
berubah oleh nikel. (Underwod. 1999)
4. Penyakit spesifik yang etiologinya yang tidak diketahui
Penyakit radang kronis usus, misalnya : kolitis ulseratif. (Underwod.
1999)
5. Penyakit Granulomatosa primer
Penyakit Chorn, Sarkoidosis, reaksi terhadap berilium (Underwod.
1999)
3. Penyakit Penyebab Nyeri Sendi
1) Osteoartritis
Osteoartritis (OA) adalah sekelompok penyakit yang overlap dengan etiologi
yang mungkin berbeda-beda, namun mengakibatkan kelainan biologis,
morfologis dan gambaran klinis yang sama. Proses penyakitnya tidak hanya
mengenai rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang
subkondral, ligamentum, kapsul danjaringan sinovial serta jaringan ikat
periartikular. Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang paling banyak di
jumpai dan prevalensinya semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Masalah osteoartritis di Indonesia tampaknya lebih besar dibandingkan
negara barat kalau melihat tingginya prevalensi penyakit osteoartritis di
Malang.Lebih dari 85% pasien osteoartritis tersebut terganggu aktivitasnya
terutama untuk kegiatan jongkok, naik tangga dan berjalan.Arti dari gangguan
jongkok dan menekuk lutut sangat penting bagi pasien osteoartritis di
Indonesia oleh karena banyak kegiatan sehari-hari yang tergantung kegiatan
ini khususnya Sholat dan buang air besar. Kerugian tersebut sulit diukur
dengan materi.
32
Pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis ostedartritis (OA) akhir-
akhir ini diperoleh antara lain berkat meningkatnya pengetahuan mengenai
biokimia dan biologi molekuler rawansendi. Dengan demikian diharapkan kita
dapat mengelola pasien OA dengan lebih tepat dan lebih aman. Perlu dipahami
bahwa penyebab nyeri yang terjadi pada OA bersifat multifaktorial.Nyeri
dapat bersumber dari regangan serabut syaraf periosteum, hipertensi
intraosseous, regangan kapsul sendi, hipertensi intraartikular, regangan
ligament, mikrofraktur tulang subkondral, entesopati, bursitis dan spasme
otot. Dengan demikian penting difahami, bahwa walaupun belum ada obat yang
dapat menyembuhkan OA saat ini, namun terdapat berbagai cara untuk
mengurangi nyeri dengan memperhatikan kemungkinan sumber
nyerinya, memperbaiki mobilitas dan meningkatkan kwalitas hidup.
2) Artritis Reumatoid (AR)
Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh
sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan
jaringanekstraartikular.Sebagian besar kasus perjalananya kronik fluktuatif yang
mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian
dini.
Prevalensi dan insidensi penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainya, di Amerika Serikat, kanada dan beberapa daerah di Eropa prevalensi
AR sekitar 1% pada kaukasia dewasa.Di Indonesia dari hasil penelitian di
Malang pada penduduk berusia di atas 40 tahun didapatkan prevalensi AR
0.5% di daerah Kotamadya dan 0.6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik
Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus
baru artritis reumatoid merupakan 4.1% dari seluruh kasus baru.
Dampak penting dari AR adalah kerusakan sendi dan kecacatan.Kerusakan
sendi pada AR terjadi terutama dalam 2 tahun pertama perjalanan penyakit.
Kerusakan ini bisa dicegah atau dikurangi dengan pemberian DMARD,
sehingga diagnosis dini dan terapi agresif sangat penting untuk mencegah
terjadinya kecacatan pada pasien AR.
33
Pada sisi lain diagnosis dini sering menghadapi kendalayaitu pada masa dini
sering belum didapatkan gambarankarakteristik AR karena gambaran
karakteristik ARberkembang sejalan dengan wakru dimana sering
sudahterlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat Diagnosis AR
hingga saat ini masih mengacu pada kriteriadiagnosis menurut ACR tahun 1987,
tetapi di Indonesiagejala klinis nodul reumatoid sangat jarang dijumpai
Berdasarkan hal ini perlu dipikirkan untuk membuat kriteriadiagnosis AR versi
Indonesia pada masa yang akan datang berdasarkan data pola klinis AR di
Indonesia. Artritis reumatoid sering mengenai penduduk pada usia produktif
sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
3) Gout
Gout adalah sekelompok penyakit yang terjadi akibat deposit kristal
monosodium urat di jaringan. Deposit iniberasal dari cairan ekstra selular yang
sudah mengalamisupersarurasi dari hasil akhir metabolisme purin yaitu asam urat.
Prevalensi gout di Eropa dan Amerika Utara hampir sama yaitu 0.30% dan
0.27%, sedang pada populasi AsiaTenggara dan New Zaeland prevalensinya lebih
tinggiLebih dari 90% serangan gout primer terjadi pada laki-laki, sedang pada
wanita jarang terjadi sebelum menopause. Manifestasi klinik gout meliputi artritis
gout, tofus, batuasam urat saluran kemih dan nefropati gout. Tiga stadiumklasik
perjalanan alamiah artritis gout adalah artritis goutakut, gout interkritikal dan gout
kronik bertofus.
Artritis gout atau lebih umum di masyarakat disebutdengan istilah sakit asam
urat, selama ini banyak terjadi mispersepsi yaitu bahwa hampir semua keluhan
reumatik yang berupa nyeri, kaku dan bengkak sendi dianggap sebagai kelainan
akibat asam urat atau artritis gout. Bahkansejumlah kalangan medis ada yang masih
memiliki persepiyang sama dengan sebagian besar masyarakat tersebut.
Selain itu, pemberian obat penurun asam urat juga masihperlu mendapat
perhatian lebih, agar pemberian obat tersebut dapat lebih tepat sehingga akan
memberikanmanfaat yang lebih besar bagi pasien.
4) Lupus Eritematosus Sistemik
34
Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengannamasystemic lupus
erythematosus (SLE) merupakanpenyakit kronik inflamatif autoimun yang belum
diketahuietiologinya dengan manifestasi klinis beragam sertaberbagai
perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode
remisi dan episode seranganakut dengan gambaran klinis yang beragam
berkaitandengan berbagai organ yang terlibat.
SLE merupakanpenyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanitapada
usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan
berperan dalam proses patofisiologi penyakit SLE. Prevalensi SLE di Amerika
adalah 1:1.000 dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari
total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data
epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia.
Namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang. Meskipun relatif
jarang, penyakit ini menimbulkan masalah tersendiri karena seringkali mengenai
wanita pada usia produktif dengan prognosis yang kurang baik. Kesintasannya
(survival) SLE berkisar antara 85% dalam kurun waktu 10 tahun pertama dan
65% setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali
lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular
ateroslerotik. Kalim H dan laisworini H (1996) melaporkan bahwa meskipun
gambaran Minis dan penyebab kematian pasien LES di Malang tidak berbeda
dengan pasien Kaukasia (kulit putih), larapan hidup pasien-pasien tersebut nyata
lebih rendah yaitu 67,5% 5 tahun dan 48,65% harapan hidup 10 tahun.
Faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan dan penghasilan dipandang
berperan penting pada timbulnya perbedaan harapan hidup pasien LES.Meskipun
demikian aiar belakang genetik (ras) perlu diperhatikan. Kusworini H (2000)
melaporkan bahwa alel kerentanan untuk ranbulnya LES pada populasi
Indonesia ialah HLA-DR 2 yang temyata sama dengan yang dilaporkan pada Cina
tras Mongoloid) dan AfroAmerika (ras Negroid). Telah diketahui bahwa
harapan hidup pasien LES Cina 4an AfroAmerika tersebut lebih buruk dari pada
35
ras Kaikasoid, dengan alel kerentanan HLA-DR3.Dalamkaitan dengan LES, orang-
orang dengan alel HLA DR2 diduga mempunyai respons imun yang lebih
patogenik dan pada orang-orang dengan alel HLA-DR3.Apakah hal ini bahwa
secara genetik pasien lebih rentan terhadap LES, masih perlu penelitian lebih lanjut.
Bagaimana interaksi latar belakang genetik tersebut dengan faktor sosial ekonomi
dalam menentukan harapan tetap hidup, juga perlu diteliti. ( Chandrasoma ett all,
2005)
4. Pemeriksaan Penunjang Untuk Nyeri Sendi
A. Analisis Sendi: Jenis-Jenis Pemeriksaan Sendi
Jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan pada analisis cairan sendi dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Pemeriksaan Rutin Pemeriksaan Makroskopis
Meliputi: Warna, kejernihan,
viskositas, potensi terbentuknya
batuan, volume.
Pemeriksaan Mikroskopis
Meliputi: Jumlah leukosit, hitung
jenis leukosit, pemeriksaan
sediaan basah dengan mikroskop
polarisasi dan fase kontras.
Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan Mikrobiologi
Meliputi: Pengecatan khusus
(silver, PAS, Ziehl Nielsen),
kultur bakteri, jamur, virus, atau
M.Tuberkulosis, analisis antigen
atau asam nukleat mikroba (PCR)
Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serologi meliputi kadar
komplemen hemolitik, kadar
komponen, autoantibodi.
Pemeriksaan Kimiawi Pemeriksaan kimiawi meliputi:
glukosa, protein total, pHH, pO2,
36
asam organik (asam laktat dan
suksinat), LDH (lactate
dehydrogenase)
Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis cairan sendi merupakan pemeriksaan
bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menentukan cairan sendi
tersebut termasuk kedalam kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3)
inflamasi, 4) purulen atau 5) hemoragik. Diagnosis spesifik jarang bisa
dibuat hanya berdasarkan pemeriksaan makroskopis saja.
Bekuan
Cairan sinovia sedikit sekali kandungan protein pembekuan seperti
fibrinogen, protrombin, faktor V, faktor VII, dan trombloplastin jaringan.
Sehingga, cairan sinovia normal tidak membeku. Tetapi pada kondisi
inflamasi “membran diallisat” sendi menjadi rusak sehingga protein
dengan berat molekul yang lebih besar seperti protein-protein pembekuan
akan menerobos masuk ke cairan sinovia, sehingga cairan sinovia pada
penyakit sendi inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya
bekuan berkorelasi dengan derajat inflamasi sinovia.
Volume
Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan sendi,
bahkan pada sendi besar seperti lutut hanya mengandung 3-4 ml cairan
sinovia. Pada kondisi sinovitis, yang mengakibatkan rusaknya “membran
dialisat” sendi, sejumlah besar cairan bisa berakumulasi pada ruang sendi.
Meskipun volume cairan sendi tidak dpat membedakan kelainan sendi
inflamasi dan noninflamasi, tetapi colume aspirat pada aspirasi serial
bermanfaat untuk menilai hasil pengobatan kkarena penurunan volume
aspirat biasanya sesuai dengan perbaikan klinis
Viskositas
Cairan sendi normal sangat kental, karena tingginya konsentrasi
ppolimer hyaluronat. Asam hyaluronat merupakan komponen non protein
37
utama cairan sinovia dan berperan penting pada lubrikasi jariingan
sinovia. Pada penyakit sed inflamasi asam hyaluronat rusak atau
mengalami depolarisasi, yang menurunkan viskositas cairan sendi.
Viskositas merupakan penilaian tidak langsung dari konsetrasi asam
hyaluronat pada cairan sinovia. Penilaian cairan viskositas sendi
dilakukan dengan pemeriksaan “string test”, yaitu melihat cairan sendi
pada saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada cairan sendi normal
akan terbentuk juluran (string out) 7-10cm atau lebih. Pemeriksaan bekuan
musin juga merupakan pemeriksaan untuk menilai konsentrasi polimer
asam hyaluronat. Pemeriksaan bekuan musin dilakukan dengan menambah
1 bagian cairan sendi kedalam 4 bagian asam asetat 2%. Pada cairann
sendi kelompok I dan III (inflamasi dan purulen) akan terbentuk bekuan
yang buruk atau kurang baik.
Warna dan Kejernihan
Cairan sendi normal tidak berwarna seperti air atau seperti putih
telur. Pada sendi inflamasi, jumlah eritriosit dan leukosit pada cairan
sinovia meningkat. Eritosit pada sinovia selanjutnya akan mengalami
kerusakan yang akan memberikan warna kekuningan pada cairan sendi
inflamasi. Leukoosit akan membuat warna cairan sendi menjadi putih,
sehingga semakin tinggi jumlah lekosit maka semakin ptutih warna cairan
sendi atau krem seperti pada artritis septik. Selain dipengaruhi oleh jumlah
eritrosit dan leukosit, warnaa cairan sendi juga dipengaruhi oleh jenis
kuman dan kristal yang ada di dalam cairan sendi. Staphylococcus aureus
akan memberikan pigmen keemasan, serratia marcesscens akan
memberikan warn kemerahan dan kristal monosodium urat akan
memberikan warna putih seperti susu.
B. Pemeriksaan Mikroskopis
Jumlah dan Hitung Jenis Leukosit
Pemeriksaan julmah dan hitung jenis leukosit sangat membantu dalam
mengelompokkan cairan sendi. Paling tidak, pemeriksaan ini dapat
membedakan kelompok inflamasi dan non inflamasi. Pada cairan sendi
38
kelompok II seperti artritis reumatoid jumlah leukosit umumnya 3000-50000
sel/ml, sedang pada kelompok III jumlah leukosit biasanya di atas 50000/ml.
Kristal
Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan basah segera setelah
aspirasi cairan sendi. Kristal monosodium urat dapat diperiksa dengan
mikroskop cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik memerlukan
mikroskop polarisasi. Pada mikroskop polarisasi ini terdapat dua polarizing
plate. Pertama disebut plarizer yang diletakkan antara sumber cahaya dan gelas
objek (bahan), kedua disebut analyzer yang diletakkan antara gelas objek
(bahan) dan observer dan diletakkan pada posisi 90 derajat dari polaryzer.
Dengan demikian tidak ada cahaya yang masuk ke mata observer, yang dilihat
oleh observer adalah lapangan gelap.
C. Pemeriksaan Mikrobiologi
Artritis septik harus selalu dipikirikan terutama pada artritis inflamasi
yang terjadi bersama dengan infeksi lain (endokarditis, selulitis, pneumonia),
sebelumnya terdapat kerusakan sendi serta pada pasien-pasien diabetes dan pasc
transplantasi.
D. Foto Polos Sendi
Mungkin normal atau tidaknya dengan tampak adanya osteoponia atau
erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit. Foto ppergelangan tangan
dan pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pembanding untuk
pemeriksaan tahap selanjutnya.
E. MRI
Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan
foto polos, tampilan struktur sendi akan terlihat lebih rinci.
The American College of Rheumatology Subcomittee on Rheumatoid Arthritis
(ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar, yakni:
- Darah Perifer Lengkap
- Faktor Rheumatoid
- Laju endap darah
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal
39
- Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif bisa dilakukan dengan
pemeriksaan anti RA33 untuk membedakan penderita AR yang
mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk. ( Sudoyo AW ett
all ,2006)
5. Pengobatan Nyeri atau Analgesik
Analgetika dapat dibagi dalam dua golongan besar, yakni analgetika
narkotik dengan kerja pusat dan analgetika non-narkotik dengan kerja perifer.
A. Analgetika Narkotik
Zat-zat ini memiliki daya menghalang nyeri yang kuat sekali dengan ti tik
kerja yang terletak di SSP. Mereka umumnya mengurangi kesadaran (sifat
meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia).
Lagipula mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi), serta
ketergantungan fisik dan psikis ("ketagihan, adiksi") dengan gejala-gejala
abstinensi bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka
kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-
Undang Narkotika dan
penggunaannya diawasi dengan ketat oleh DirJen POM.
Secara kimiawi obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok
sebagi berikut:
a. Alkaloida Candu alamiah dan sintetis; morfin dan kodein, heroin,
hidromorfon, hidrokodon dan dionin.
b. pengganti-pengganti morfin yang terdiri dari:
- petidin dan turunan-turunannya: fentanil dan sufentanil (Sufenta, J & J).
- metadon dan turunan-turunannya: dekstromoramida, bezitramida,
piritramida (Dipidolor, J & J), dan d-propoksifen.
- fenantren dan turunannya levorfanol, termasuk pula pentazosin.
Dari obat-obat ini pentazosin, d-propoksifen dan etoheptazin tidak ter -
masuk Undang-Undang Narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksi hanya
40
ringan sekali. Namun penggunaannya untuk waktu yang lama tidak dianjurkan.
Pada tahun 1978 d-propoksifen juga dimasukkan dalam daftar Narkotika.
Khasiat analgetik dari analgetika sentral berdasarkan kemampuannya
untuk menduduki sisa reseptor-reseptor nyeri yang belum ditempati enkefalin-
enkefalin. Tetapi bilamana analgetika tersebut diberikan terus-menerus, maka
pembentukan reseptor-reseptor tersebut justru distimulir dan produksi enkefalin di
ujung-ujung saraf otak dirintangi dan terjadilah kebiasaan dan ketagihan. Di A.S.
sedang dilakukan percobaan-percobaan untuk menggunakan enkefalin-
enkefalin ini yang diduga tidak bersifat adiksi sebagai analgetika dalam terapi.
Al. Morfin (F.I.)
Candu diperoleh sebagai getah yang dikeringkan dari tumbuhan Papa-ver
somniferum (bahasa Latin: menyebabkan tidur) dan mengandung dua
kelompok alkaloida, yang kimiawi sangat berlainan. Kelompok fenantren
meliputi morfin, kodein dan tebain yang berkhasiat analgetik, kelompok kedua
adalah senyawa-senyawa isokinolin dengan khasiat berlainan, yakni papaverin,
narkotin dan narsein.
Morfin pertama kali diisolasi oleh apoteker Jerman Sertiirner (1803) yang
juga memberikan namanya (Morpheus adalah dewa impian Yunani). Di
samping khasiat analgetiknyayang sangat kuat, morfin memiliki banyak jenis
kerja sentral lainnya, antara lain menurunkan rasa kesadaran (sedasi, hipnotis),
menghambat pernafasan, menghilangkan refleks batuk dan menimbulkan
euforia (rasa nyaman),
Begitu pula dikenal efek-efek stimulasi SSP, misalnya miosis (penciutan pupil
mata, mual dan muntah-muntah, eksitasi dan konvulsi-konvulsi. Efek-efek
perifernya yang penting adalah obstipasi dan vasodila-tasi di kulit.
A2. Kodein (F.L) metilmorfin
41
Alkaloida candu ini memiliki khasiat analgetik yang lebih kurang 6 kali lebih
lemah daripada morfin, dan berhubung efek efek sampingnya yang lebih
ringan sering digunakan guna menekan rangsangan batuk dan nyeri di dalam
tubuh. Hampir tidak mengakibatkan depresi pernafasan, lebih jarang terjadi
muntah-muntah dan obstipasi, sedangkan jarang sekali me-nimbulkan
kebiasaan dan adiksi. Efek sampingnya yang paling sering ada-lah pusing-
pusing dan mual.
Khasiatnya diperkuat oleh asetosal, dan mungkin juga oleh barbital-barbital,
maka kombinasi dari ketiga obat kerapkali dipergunakan (Dol-viran, Bayer).
A3. Petidin: meperidin, Dolantin (Hoechst), Doloneurin
Zat sintetik ini secara kimiawi lebih mirip atropin daripada morfin. Ber-lainan
dengan morfin dan hidromorfon, petidin juga memiliki daya spas-molitik,
khasiat penekanan rangsangan batuknya adalah sama, sedangkan kerja
analgetiknya terletak lebih kurang antara morfin dan kodein. Mulai kerjanya
lebih cepat daripada morfin, tetapi juga lebih pendek, lebih kurang 3 jam.
Efek samping pada dosis tinggi adalah vasodilatasi, tremor-tremor dan
konvulsi. Tidak mengakibatkan obstipasi; depresi pernafasan dan sedasi lebih
ringan daripada morfin, maka dapat digunakan selama persalinan dan pada
asma, pada mana khasiat spasmolitiknya terhadap otot-otot licin berguna sekali.
Berlawanan dengan morfin, petidin mengakibatkan mi-driasis (memperbesar
pupil). Petidin menimbulkan kebiasaan dan adiksi dengan pesat pula.
B. Analgetika perifer (non-narkotik)
Obat-obat ini juga dinamakan analgetika perifer, karena tidak mempe-ngaruhi
SSP, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Maka itu
42
zat-zat ini sebetulnya tidak termasuk Seksi IV (Obat-obat SSP), namun untuk
praktisnya juga digolongkan dalam bab analgetika ini.
Khasiat antipiretik. Semua analgetika perifer memiliki pula kerja anti-piretik,
yakni menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut pula
analgetika antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat
pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vaso-dilatasi perifer (di
kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan di-sertai keluarnya banyak
keringat. Banyak obat rema juga bersifat antipiretik, misalnya indometasin,
ibuprofen dan diklofenak.
Khasiat antiflogistik, terkecuali antipirin, parasetamol, fenasetin dan gla-fenin,
semua analgetika perifer memiliki kerja anti-radang pula. Pada asetosal,
amidopirin, ibuprofen dan asam mefenaminat khasiat anti-radangnya sama
kuatnya dengan kerja analgetiknya, maka obat-obat ini dapat digunakan sebagai
obat anti nyeri maupun sebagai obat rematik. Sebaliknya dikenal beberapa obat
di mana kerja antiflogistiknya berkuasa, misalnya derivat-derivat fenilbutazon,
antranilat dan aril asetat (nifluminat dan sulindak), atau pula obat-obat yang
hanya bekerja analgetik jika serentak
Bl. Asam asetilsalisilat (F.I.): asetosal, Aspirin (Bayer), Cafenol (S.W.)
Dari semua senyawa salisilat, asetosal memiliki khasiat analgetik, antipiretik
dan antiflogistik yang terkuat. M#ka banyak digunakan dalam segala macam
preparai untuk melawan demam, influenza, sakit kepala, otot, sendi, gigi, dan
sebagainya: terhadap nyeri "di dalam" (organ-organ) kurang efektif. Untuk
rematik penghambat prostaglandin ini masih seringg dianggap sebagai obat
pilihan pertama, meskipun banyak obat rematik telah dikeluarkan. Berdasarkan
daya menghambatnya terhadap tromboxan dan agregasi trombosit (bergumpalnya
plat darah) asetosal sejak beberapa tahun terakhir sering digunakan bersama
dipiridamol guna mencegah serangan kedua pada pasien-pasien yang sudah
menderita infark jantung. Begitupula ternyata efektif sebagai pencegah
"beroerte" (TIA = transient cerebral ischaemic attacks), khususnya pada pria.
43
Resorpsinya dari lambung dan usus baik, dalam dinding usus dan darah
dirombak menjadi asam salisilat. Distribusinya ke jaringan-jaringan cepat, efek
sudah tercapai setelah V2-I jam. Plasma t'/2nya pendek sekali, lebih kurang 20
menit, tV2 metabolitnya (asam salisilat) antara 3-6 jam tergan-tung dari dosis.
Ekskresinya melalui ginjal untuk lebih kurang 70% sebagai salisilat dan
diperlancar oleh zat-zat alkalis (natriumbikarbonat, sitrat, dan sebagainya).
Asetosal juga berkhasiat urikosurik dan antiflogistik pada dosis tinggi, lebih
dari 5 g sehari, tetapi berhubung kerjanya agak lemah dan efek-efek
sampingnya, maka pada encok lebih disukai obat-obat penghalau asam urat
lainnya. Pada dosis analgetik biasa, lebih kurang.2 g sehari, asetosal justru
memperlihatkan hambatan ekskresi urat (efek para-doks).
Selain dari ini asetosal memperbanyak keluarnya keringat dan pada dosis
lebih tinggi dari normal dapat mengakibatkan tinnitus (suara bergema di
telinga), gangguan-gangguan pernafasan (hiperventilasi), juga me-ngigau.
Interaksi-interaksi. Asetosal terikat agak kuat pada protein darah maka dapat
menggeserkan obat-obat lain dengan PP tinggi dari ikatan albuminnya,
misalnya antidiabetika oral dan metotreksat, yang efeknya diperkuat, Asetosal
juga memperpanjang waktu protrombin darah dan menghambat agregasi
trombosit dengan jalan menginaktivir cy-clooxygenase, yang perlu bagi sintesis
tromboxan. Oleh karenanya asetosal memperpanjang efek antikoagulansia.
Khasiat obat-obat encok probenesid dan sulfinpirazon dikurangi, begitu pula
dari diuretikum spironolakton. Kerja analgetiknya dipotensiasi oleh kodein
(dan d-propoksifen) dan mungkin juga oleh barbital. Alkohol memper-tinggi
perdarahan lambung usus.
Dosis: oral 3-4 kali sehari 500 mg sesudah makan, dilarutkan dalam ba-nyak air.
Untuk rematik 4-6 kali sehari 500-1000 mg, juga rektal. Sebagai profilaktik
infark jantung: 1-2 x sehari 500 mg bersama dipiridamol (Per-santin) 3 kali
sehari 75 mg.
* Diflunisal (Dolocid, MSD) adalah derivat-difluorfenil yang agak baru
(1980) dengan khasiat dan efek-efek samping lebih kurang sama dengan
44
asetosal, tetapi efeknya bertahan lebih lama (plasma-tVi 8-11 jam). Juga
berdaya urikosurik dan anti radang dengan jalan perintangan prostaglandin.
Diflunisal memperkuat efek antikoagulansia, indometasin dan diuretika
tiazida, sedangkan kadar plasmanya dikurangi oleh asetosal (15%).
Dosis: oral permula 500 mg utuh (tanpa dikunyah), lalu 2 kali sehari 250-
500 mg; pada penggunaan menahun maksimal 750 mg sehari.
* Natriumsalisilat (F.I.) berkhasiat lebih lemah dari asetosal, maka dosisnya
hams lebih tinggi, yakni 3-4 kali sehari.
Efek sampingnya, lebih kurang sama dengan asetosal, terkecuali tidak
merintangi tergumpalnya pelat-pelat darah dan hanya pada dosis tinggi
(reumatik) memperpanjang waktu protrombin.
* Salisilamida (F.I.) adalah turunan salisilat, yang juga lebih lemah khasiat
analgetiknya, lagipula efeknya tak dapat dipercaya. Lebih sering
mengganggu pencernaan, perdarahan okult lebih ringan. Di dinding usus
mengalami FPE (first pass effect, penguraian) yang besar, maka dosisnya
harus
tinggi. Dalam tubuh tidak dirombak menjadi salisilat.
Dosisnya: oral 4 kali sehari 1 g setelah makan.
* Metilsalisilat (Wintergreen oil) adalah cairan dengan bau karakteristik yang
dapat diperoleh dari daun dan akar tumbuhan Gaultheria procumbens
(Akar wangi), atau dibuat secara sintetik. Khasiatnya sama dengan salisilat-
salisilat lainnya dan pada penggunaan lokal secara cepat diresorpsi kulit.
Maka banyak digunakan dalam salep dan obat-obat gosok terhadap segala
macam nyeri. Pada penggunaan oral 30ml sudah bisa fatal, terutama
anak-anak kecil sangat peka terhadapnya.
B2. Fenasetin (F.I.) asetofenetidin
Derivat asetanilida ini berkhasiat antipiretik dan analgetik, dan umumnya
digunakan bersama asetosal dan kofein atau kodein, yang memperkuat
kerjanya (APC, asifeko). Tidak memiliki kerja anti-radang.
45
Reasorbsinya dari usus lengkap dan lancar, begitupula distribusinya ke
semua cairan badan. PP-nya lebih kurang 30%, plasma tV2-nya lebih kurang
1,5 jam. Dalam hati dengan cepat dirombak menjadi asetaldehida dan
parasetamol, yang lalu dikeluarkan dengan air seni. Kadar optimal sudah
tercapai setelah 1 jam. Efek-efek sampingnya yang penting adalah efek
terhadap SSP, antara lain nyeri kepala (karena mana seringkali dosis
dipertinggi) dan semacam euforia, yang mudah mengakibatkan kebiasaan. Pada
dosis tinggi dapat terjadi gangguan-gangguan darah parah sedangkan pada
penggunaan lama bersama asetosal atau aminofenazon dan kofein dapat
merusak ginjal yang biasanya berakhir fatal. Karena nefritis ini tidak terjadi bila
fenasetin atau asetosal diberikan tersendiri, maka diperkirakan penyebab nya
mungkin adalah suatu metabolit abnormal dari kedua obat bersama. Kombinasi
dari parasetamol dan asetosal ternyata tidak toksis bagi ginjal. Pada dosis
sangat tinggi fenasetin merusak hati pula, sedangkan kanker ginjal juga
dilaporkan.
Berhubung dengan efek-efek samping tersebut ini, maka mulai tahun 1978
sediaan-sediaan yang mengandung fenasetin tidak diidzinkan lagi beredar
sebagai obat bebas di wilayah R.I. Juga di negara-negara Inggeris, Swiss,
Swedia dan Belanda (1984) fenasetin dilarang beredar.
Dosis: oral 3 kali sehari 250-500 mg, umumnya dalam kombinasi dengan
analgetika lain.
Parasetamol: asetaminofen, Panadol (Winthrop), Tempra (M.J.) adalah
metabolit fenasetin dengan khasiat analgetik dan antipiretik yang sama
(sedikit lebih lemah daripada asetosal). Sifat-sifat farmakokinetiknya
lebih kurang sama dengan fenasetin, efek-efek sampingnya lebih ringan,
khu-susnya tidak nefrotoksis dan tidak menimbulkan euforia dan
ketergan-tungan psikis. Karena tidak menimbulkan perdarahan lambung
seperti asetosal, maka pada tahun-tahun terakhir parasetamol banyak
sekali digu-nakan di Indonesia sebagai analgetikum-antipiretikum
yang aman.
46
Namun penggunaannya tetap harus dengan hati-hati, karena
dosis dari 6-12 g sudah dapat merusak hati secara fatal. Hal ini
disebabkan oleh karena terbentuknya metabolit toksis di dalam hati,
yang pada dosis di ba-wah ca lOg dapat diikat oleh glutathion. Tetapi
pada dosis yang lebih tinggi persediaan akan zat ini telah terpakai
seluruhnya dan terjadilah pengikatan pada molekul-molekul makro
lain-nya dari sel-sel hati hingga mengakibatkan kerusakan yang
irreversibel.
Keuntungan lain dari parasetamol dibandingkan dengan
fenasetin adalah kelarutannya dalam air, sehingga dapat digunakan
dalam sediaan-sediaan cair. Terhadap intoksikasi dapat digunakan N-
asetil-sistein (Fluimu-cil) atau metionin pada pasien-pasien borok-
lambung.
Dosis: 4-6 kali sehari 325-650 mg, biasanya bersama kofein 50 mg
yang memperkuat khasiatnya, maksimal 4 g sehari. Anak-anak
tergantung dari usia, 60-120 mg beberapa kali sehari, maksimal 1,2-
2,4 g sehari.
B3. Aminofenazon: aminopirin (F.I.), amidopirin, Pyramidon (Hoechst).
Derivat pirazolon ini memiliki khasiat analgetik, antipiretik dan antiflo-
gistik yang kuat sekali dan digunakan pada nyeri hebat (dengan radang) yang
tidak dapat dikendalikan oleh asetosal atau parasetamol. Mulai ker-janya lebih
cepat daripada salisilat.
Reasorbsinya setelah penggunaan oral cepat dan praktis lengkap, kadar
darah optimal dicapai setelah 1-2 jarn. Dalam hati dengan pesat dirombak
menjadi metabolit-metabolit inaktif, yang diekskresi melalui ginjal. Plasma
tV2-nya lebih kurang 3 jam.
Efek-efek sampingnya yang terpenting adalah gangguan-gangguan da-rah,
yakni leukopenia dan agranulositosis yang seringkali fatal. Juga demam, shock,
dermatitis di samping retensi air dan natrium, yang pada orang tua dan pasien
47
jantung dapat mengakibatkan de-compensatio cordis (ketidakmampuan jantung
untuk memelihara sirkulasi darah yang cukup. Dengan spura-spura
nitrogenoksida dari udara dengan segera dapat dibentuk nitrosodimetilamin
yang sangat bersi-fat karsinogen. Nitrosamin ini tidak dibentuk oleh deri-vat-
derivat novaminsulfon dan propifenazon.
Berhubung dengan efek-efek sampingnya yang ganas ini, maka di
Amerika Serikat, Inggeris dan Swedia peredarannya telah dilarang, begi-tupula
dari novaminsulfon. Mulai akhir tahun 1976 Pemerintah Indonesia membatasi
impor obat ini dengan tujuan untuk menghapuskan peredarannya.
Dosis: oral atau rektal 3 kali sehari 300-600mg, maksimal 3 g sehari (pada
nyeri hebat atau demam tinggi), i.m. 250mg, maksimal 500mg se-kali dan 1,5g
sehari. Untuk bayi, rektal maksimal 100mg sehari. (Anak-anak sangat peka,
pada overdose dapat terjadi intoksikasi akut).
Novaminsulfon (antalgin, dipiron, metampiron, metamizol, nor-
amidopi-rin, Pyronal-Tanabe, Novalgin-Hoechst) adalah derivat-
sulfonat yang dapat larut dalam air dengan khasiat dan efek-efek
samping yang sama. Seringkali dikombinasi dengan diazepam atau
klordiazepoksida guna raem-perkuat efeknya, begitupula dengan
vitamin Bj, Bg dan B^ (Dactron®, Stileran). Di Amerika Serikat,
Inggeris dan Swedia peredarannya telah dilarang.
Dosis: oral, rektal atau i.v. 2-3 kali sehari 0,5-1 g.
Fenazon (F.I.): antipirin, adalah senyawa-induk obat-obat tersebut di
atas yang lebih kurang sama khasiatnya, hanya tidak berkhasiat
antiradang. Penggunaannya sebagai analgetikum sudah praktis
ditinggalkan karena kerjanya lebih lemah dan lebih sering
menimbulkan reaksi-reaksi kulit.
Dosisnya: oral 3 kali sehari 500 mg.
48
Propifenazon (isopropilantipirin) adalah derivat yang sama khasiat
analge-tiknya dengan aminofenazon, tetapi tidak memiliki kerja anti-
radang, dan lama kerjanya lebih pendek (plasma tV2 lebih kurang 2
jam). Dikatakan kurang toksis bagi darah, agranulositosis belum
dilaporkan.
Dosis: oral 3 kali sehari 250 mg, biasanya dalam kombinasi dengan
analgetika lain, misalnya parasetamol dan kofein, atau dengan
fenilbutazon 125 mg.
Isopropilaminofenazon (isopirin) adalah derivat yang lebih kurang sama
khasiatnya dengan aminofenazon, termasuk kerja anti-radangnya.
Selain ini juga bekerja sedatif, pada dosis tinggi hipnotik. Toksisitasnya
dikatakan lebih ringan.
Dosis: oral, rektal atau i.v. 3 kali sehari 400 mg selama seminggu, ke-
mudian 600 mg sehari. Tomanol (Byk-G) adalah kombinasi dari
fenilbutazon 100 + isopirin 200mg.
B4. Fenilbutazon: Butazolidin (Geigy)
Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih kuat dari-
pada kerja analgetiknya. Karena ini khususnya digunakan sebagai obat re-matik,
seperti juga halnya dengan oksifenilbutazon
B5. Glafenin: Glifanan (Roussel), Glaphen (Pharos)
Zat ini adalah suatu derivat 4-aminokinolin (seperti obat rematik kloro-
quin) yang terikat pada asam antranilat (ester gliserolnya). Khasiat analgetiknya
lebih kurang sama dengan asetosal, tetapi tidak memiliki kerja antipiretik dan
antiradang pada dosis normal. Berguna sebagai pengganti parasetamol untuk
mengobati nyeri ringan sampai sedang.
49
Reasorbsinya dari usus baik dan agak cepat, setelah lebih kurang 1 jam
tercapai kadar darah maksimal. Lama kerjanya lebih kurang 5 jam. Dalam
darah ester-gliserol dihidrolisa dan terbentuk asam glafeninat, yang diperkirakan
menghasilkan efek analgetik dari glafenin. Ekskresi terjadi melalui empedu
(70%) dan urin (30%).
Efek-efek samping jarang terjadi dan berupa gangguan-gangguan lam-bung-
usus, rasa kantuk dan pusing-pusing. Adakalanya terjadi reaksi-reaksi alergi
(shock anafilaktik) serta kerusakan hati, yang adakalanya berakibat fatal. Oleh
karena itu sejak tahun 1985 di negeri Belanda penyerahan hanya diperbolehkan
atas resep dokter.
Dosis: oral permula 2 tablet dari 200 mg. a.a, lalu 3-5 kali sehari 200 mg.
Maksimal 1 g sehari.
Floktafenin (Idalon, Roussel) adalah derivat CF3
efek samping lebih kurang sama dengan glafenin. Ekskresi berlangsung
sebagai asam floktafenat melalui hati (60%) dan ginjal (40%).
Toksisitasnya lebih ringan. Dosis: oral permula 1-2 tablet dari 200 mg,
lalu 3-6 kali sehari 200 mg, maksimal 1,6 g sehari.
Asam Mefenaminat (Ponstan, P.D.) adalah derivat antranilat pula
dengan khasiat analgetik, antipiretik dan antiflogistik yang cukup baik;
dapat di gunakan pula sebagai obat rematik. Efek sampingnya yang
tersering terja di adalah gangguan-gangguan lambung-usus, reaksi-reaksi
alergi kulit dan kerusakan-kerusakan darah. Derivat-derivat antranilat
lainnya (asam flu- fenaminat dan nifluminat) memiliki khasiat anti-
radang yang lebih kuat dan khususnya digunakan sebagai obat
rematik. Dosis: oral permula 2 kapsul dari 250 mg, kemudian 3-4 kali
sehari 250 mg setelah makan. (Schmitz G, 2008)
6. Keluhan yang menyertai dari keluhan utama pasien
Terlepas dari gambaran lokal radang akut dan radang kronis yang terdiri dari
kolor (panas), Rubor (kemerahanan), Tumor (bengkak), dolor (nyeri), dan
Fungsio lasea (hilang fungsi). Fokus radang dapat memberikan efek sistemik.
50
Pireksia
Polimorf dan makrofag menghasilkan komponen yang dikenal sebagai
endogen pirogen yang mempengaruhi hipotalamus untuk mengatur
mekanisme termoregulator paa temperatur yang lebih tinggi. Pelepasan
endogen pirogen dirangsang oleh fagositosis, endotaksin dan kompleks imun.
Simptom konstitusional
Keluhan konstitusional termasuk malaise, anoreksia, dan nausea
Berat badan turun
Penurunan berat badan akibat keseimbangan nitrogen yang negatif sering
ditemukan untuk radang kronis yang ekstensif.
Perbahan Hematologi
Meningkatnya laju endap darah, peningkatan ini merupakan suatu keadaan
yang tidak khas untuk beberapa jenis radang.
Leukositosis, neutrofil terjadi pada infeksi piogenik dan destruksi jaringan,
eosinofil pada kelainan alergi dan infeksi parasit, limfositosis pada infeksi
kronis, berbagai infeksi virus dan batuk, sedangkan monositosis dan infeksi
bakteri tertentu
Anemia, sebagai akibat hilangnya darah dalam eksudat radang (misalnya
kolitis ulseratif), haemolisis dan anemia dari kelainan kronis akibat
penekanan tulang oleh bahan toksik.
Amiloiddosis
Radang kronis yang berlagsung lama (misalnya pada artritis reumatoid)
dengan kenaikan protein serum amiloid A (SAA), dapat menyebabkan
amiloid tertimbun pada berbagai jaringan dan menghasilkan amiloidosis
sekunder (reaktif).
51
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG., Rengganis I. 2010. Imunologi Dasar Edisi
Kesembilan. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Kumar., Robbins., Cotran. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 1. Jakarta.
EGC. 2007.
Schmitz G., Lepper H., Heidrich M. Farmakologi dan Toksikologi Edisi 3.
Jakarta. EGC. 2008.
Chandrasoma, Parakrama. Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta. EGC. 2005.
Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I, Simadibrata M., Setiati S. 2006.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid 1. Jakarta. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Underwood, J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistemik Edisi 2 Vol.1.
Jakarta. EGC. 231-255 hal.
52
53