pbl rgn blok 18
DESCRIPTION
pblTRANSCRIPT
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)
Regina Enggeline*
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6, Telp 56942061, Jakarta
Pendahuluan
Skenario 3
Seorang laki-laki berusia 57 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan sesak nafas yang
memberat dan terus menerus sejak 5 jam yang lalu. Keluhan disertai batuk berdahak warna putih
sejak 3 hari yang lalu. Keluhan seperti ini sudah beberapa kali timbul, sejak 3 tahun terakhir
pasien sudah merasa nafasnya terasa berat terutama jika beraktifitas berat dan bila sedang
demam dan batuk. Riwayat merokok sejak usia 30 tahun sebanyak ± 1-2 bungkus/ hari. Pada
pemeriksaan fisik tampak sakit sedang, kesadaran : compos mentis. Pada pemeriksaan tanda vital
diperoleh tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi : 100x/menit, frekuensi napas: 30x/mnt,
suhu: 36⁰C, thorak pulmo: simetris dalam keadaan statis dinamis, retraksi intercostalis (+), taktil
fremitus simetris, perkusi :sonor pada kedua lapang paru, suara nafas wheezing +/+, ronki basah
kasar
Anamnesis
Identifikasi data
Mengidentifikasi data seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status pernikahan. Sumber
riwayat biasanya pasien, tetapi dapat juga dari anggota keluarga, teman, surat rujukan atau
rekam medis.
Keluhan utama
Satu atau lebih gejala atau kekhawatiran pasien yang menyebabkan pasien mencari
perawatan
1
*NIM: 10.2010.252, Kelompok : C3, Email : [email protected]
Penyakit saat ini
Menjelaskan keluhan utama, gambarkan bagaimana perkembangan setiap gejala, tunjukan
tujuh gambaran dari setiap gejala yaitu lokasi (di mana, apakah menyebar), kualitas (seperti
apa rasanya), kuantitas atau keparahan (seberapa parah), waktu terjadinya gejala (kapan
mulai dirasakan, sudah berapa lama, seberapa sering gejala muncul), kondisi saat gejala
terjadi (meliputi faktor lingkungan, aktivitas individu, reaksi emosi, atau keadaan lain yang
berperan terhadap timbulnya penyakit), faktor yang meredakan atau memperburuk penyakit,
manifestasi terkait (apakah anda mengenali hal-hal lain yang menyertai gejala tersebut).
Kemudian juga termasuk pikiran dan perasaan klien mengenai penyakitnya. Poin pengkajian
dapat mencakup medikasi, alergi, kebiasaan merokok, alkohol, karena kerap kali terkait
dengan penyakit yang sedang diderita.
Riwayat kesehatan masa lalu
Penyakit yang diderita pada masa kanak-kanak, penyakit yang dialami saat dewasa lengkap
dengan waktunya yang sedikitnya mencakup empat kategori berikut: medis, pembedahan;
obstetrik/ginekologik dan psikiatrik, termasuk praktik mempertahankan kesehatan seperti
imunisasi, uji skrining, masalah gaya hidup, dan keamanan rumah.
Riwayat keluarga
Gambaran atau diagram usia dan keadaan kesehatan atau usia dan penyebab kematian,
apakah bersumber dari saudara kandung, orangtua, dan kakek nenek. Dokumen yang
menunjukan ada atau tidak adanya penyakit khusus dalam keluarga, seperti hipertensi,
penyakit arteri koroner, dan sebagainya.
Riwayat pribadi dan sosial
Jelaskan tentang tingkat pendidikan, suku bangsa keluarga, keadaan rumah tangga saat ini,
minat individu, dan gaya hidup.1,2
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk mengetahui adanya lesi pada dinding dada, kelinan bentuk dada,
menilai frekuensi, sifat dan pola pernafasan.
2
1. Kelainan dinding dada
Kelainan-kelainan yang bisa didapatkan pada dinding dada yaitu parut bekas operasi,
pelebaran vena-vena superfisial akibat bendungan vena, spider nevi, ginekomastia tumor,
luka operasi, retraksi otot-otot interkostal dan lain-lain.
2. Kelainan bentuk dada.
Dada yang normal mempunyai diameter latero-lateral yang lebih besar dari diameter
anteroposterior. Kelainan bentuk dada yang bisa didapatkan yaitu:
- Dada paralitikum dengan ciri-ciri dada kecil, diameter sagital pendek; sela iga sempit, iga
lebih miring, angulus costae <900, terdapat pasien dengan malnutrisi.
- Dada emfisema (barrel shape) yaitu dada menggembung, diameter anteroposterior lebih
besar dari diameter latero-lateral; tulang punggung melengkung (kifosis), angulus costae
>900, terdapat pada pasien dengan bronkitis kronis, PPOK.
- Kifosis dengan ciri-cirinya kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah
anterior. Kelainan ini akan terlihat jelas bila pemeriksaan dilakukan dari arah lateral pasien.
- Skoliosis cirinya kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah lateral. Kelainan
ini terlihat jelas pada pemeriksaan dari posterior.
- Pectus excavatum cirinya dada dengan tulang sternum yang mencekung.
- Pectus carinatum (pigeon chest atau dada burung) cirinya dada dengan tulang sternum
menonjol ke depan.
3. Frekuensi pernapasan
Frekuensi pernapasan normal 14-20 kali per menit. Pernapasan kurang dari 14 kali per menit
disebut bradipneu, misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik, kelainan serebral.
Pernapasan lebih dari 20 kali per menit disebut takipneu, misalnya pada pneumonia,
anksietas, asidosis.
4. Jenis pernapasan
- Torakal misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis umum.
- Abdominal misalnya pasien PPOK lanjut.
- Kombinasi (jenis pernapasan ini terbanyak). Pada perempuan sehat umumnya pernapasan
torakal lebih dominan dan disebut torako-abdominal. Sedangkan pada laki-laki sehat,
pernapasan abdominal lebih dominan dan disebut abdomino-torakal. Keadaan ini disebabkan
3
bentuk anatomi dada dan perut perempuan berbeda dari laki-laki. Perhatikan juga apakah
terdapat pemakaian otot-otot bantu pernapasan misalnya pada pasien tuberkulosis paru lanjut
atau PPOK. Di samping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal dalam pernapasan
dan bila ada, keadaan ini menunjukan adanya gangguan pada daerah tersebut.
- Jenis pernapasan lain yaitu pursed lips breathing (pernapasan seperti menghembus sesuatu
melalui mulut, didapatkan pada pasien PPOK) dan pernapasan cuping hidung, misalnya pada
pasien pneumonia.
5. Pola pernapasan
- Pernapasan normal: irama pernapasan yang berlangsung secara teratur ditandai dengan
adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti.
- Takipnea: napas cepat dan dangkal.
- Hiperpnea/hiperventilasi: napas cepat dan dalam.
- Pernapasan cheyne stokes: irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode apnea
(berhentinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea (pernafasan mula-
mula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan kemudian mengecil lagi). Siklus ini
terjadi berulang-ulang. Terdapat pada pasien dengan kerusakan otak, hipoksia kronik. Hal ini
terjadi karena terlambatnya reseptor klinis medula otak terhadap pertukaran gas.
- Pernapasan biot (ataxic breathing): jenis pernapasan yang tidak teratur baik dalam hal
frekuensi maupun amplitudonya. Terdapat pada cedera otak. Bentuk kelainan irama
pernapasan tersebut, kadang-kadang dapat ditemukan pada orang normal tapi gemuk
(obesitas) atau pada waktu tidur. Keadaan ini basanya merupakan pertanda yang kurang baik.
- Sighing respiration: pola pernapasan normal yang diselingi oleh tarikan napas yang dalam.
Palpasi
Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis.
1. Palpasi dalam keadaan statis.
Pemeriksaan palpasi yang dilakukan pada keadaan ini adalah:
- Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang membesar di daerah
supraklavikula dapat memberikan petunjuk adanya proses di daerah paru seperti kanker paru.
Pemeriksaan kelenjar getah bening ini dapat diteruskan ke daerah submandibula dan kedua
aksila.
4
- Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinum. Posisi mediastinum dapat ditentukan
dengan melakukan pemeriksaan trakea dan apeks jantung.
- Pemeriksaan palpasi selanjutnya diteruskan ke daerah dada depan dengan jari tangan untuk
mengetahui adanya kelainan dinding dada misalnya tremor, nyeri tekan pada dinding dada,
krepitasi akibat emfisema subkutis, dan lain-lain.
2. Palpasi dalam keadaan dinamis.
Pada keadaan ini dapat dilakukan pemeriksaan unutk menilai ekspansi paru serta
pemeriksaan vokal fremitus.
- Pemeriksaan ekspansi paru. Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-sama
mengembang selama inspirasi biasa maupun dengan inspirasi maksimal. Berkurangnya
gerakan pada salah satu sisi menunjukan adanya kelainan pada sisi tersebut. untuk menilai
pengembangan paru bagian bawah dilakukan pemeriksaan dengan meletakkan kedua telapak
tangan dan ibu jari secara simetris pada masing-masing tepi iga, sedangkan jari-jari lain
menjulur sepanjang sisi lateral lengkung iga. Kedua ibu jari harus saling berdekatan/hampir
bertemu di garis tengah dan sedikit diangkat ke atas sehingga bergerak bebas saat bernafas.
Pada saat pasien menarik napas dalam keadaan kedua ibu jari menjadi tidak simetris dan ini
memberikan petunjuk adanya kelainan pada sisi tersebut.
- Pemeriksaan vokal fremitus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan kedua
telapak tangan pada permukaan dinding dada, kemudian pasien diminta menyebut angka 77
atau 99, sehingga getaran suara yang ditimbulkan akan lebih jelas. Pemeriksaan ini disebut
tactile fremitus. Bandingkan secara bertahap tactile fremitus secara bertahap dari atas ke
tengah dan seterusnya ke bawah baik pada paru bagian depan maupun belakang. Pada saat
pemeriksaan kedua telapak tangan harus disilang secara bergantian. Hasil pemeriksaan
fremitus ini dilaporkan ebagai normal, melemah, atau mengeras. Fremitus yang melemah
didapatkan pada penyakit empiema, hidrotoraks, atelektasis. Fremitus yang mengeras terjadi
karena adanya infiltrat pada parenkim paru (misalnya pada pneumonia, tuberkulosis paru
aktif).
Perkusi
Berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketokan yang terdengar dapat bermacam-macam yaitu:
5
- Sonor (resonant): terjadi bila udara dalam paru (alveoli) cukup banyak, terdapat pada paru
yang normal
- Hipersonor (hiperresonant): terjadi bila udara dalam paru /dada menjadi jauh lebih banyak,
misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang letaknya superfisial, pneumotoraks, dan
bula yang besar
- Redup (dull): bila bagian yang padat lebih banyak daripada udara misalnya adanya
infiltrat/konsolidasi
Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada kedua paru.
Auskultasi
Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara melalui
sitem trakeobronkial.
Suara napas pokok yang normal terdiri dari:
- Vesikular: suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah di mana fase inspirasi
langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa diselingi jeda, dengan perbandingan 3:1. Dapat
didengarkan pada hampir kedua lapangan paru.
- Bronkovesikular: suara napas pokok dengan intensitas dan frekuensi yang sedang di mana
fase ekspirasi menjadi lebih panjang sehingga hampir menyamai fase inspirasi dan
diantaranya kadang-kadang dapat diselingi jeda. Dalam keadaan normal bisa didaptkan pada
dinding anterior setinggi sela iga 1 dan 2 serta daerah interskapula.
- Bronkial: suara napas pokok yang keras dan berfrekuensi tinggi, di mana fase ekspirasi
menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya diselingi jeda. Terjadi perubahan
kualitas suara sehingga terdengar seperti tiupan dalam tabung. Dalam keadaan normal dapat
didengar pada daerah manubrium sterni.
- Trakeal: suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan pada daerah trakea.
- Amforik: suara napas yang didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya perifer dan
berhubungan dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam botol kosong.
Dalam keadaan normal suara napas vesikular yang berasal dari alveoli dapat didengar
pada hampir seluruh lapangan paru. Sebaliknya suara napas bronkial tidak akan terdengar karena
getaran suara yang berasal dari bronkus tersebut tidak dapat dihantarkan ke dinding dada karena
6
dihambat oleh udara yang terdapat dalam alveoli. Dalam keadaan abnormal misalnya pneumonia
di mana alveoli terisi infiltrat maka udara di dalamnya akan berkurang atau menghilang. Infiltrat
yang merupakan penghantar getaran suara yang baik akan menghantarkan suara bronkial sampai
ke dinding dada sehinggadapat terdengar sebagai suara napas bronkovesikular (bila hanya
sebagian alveoli yang terisi infiltrat) atau bronkial (bila seluruh alveoli terisi infiltrat).
Suara nafas tambahan terdiri dari:
- Ronki basah (crakels atau rales): suara nafas yang terputus-putus, bersifat nonmusical, dan
biasanya terdengar pada saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam saluran
napas. Ronki basah lebih lanjut dibagi menjadi ronki basah halus dan kasar tergantung
besarnya bronkus yang terkena. Ronki basah halus terjadi karena adanya cairan pada
bronkiolus, sedangkannyang halus lagi berasal dari alveoli yang disebut krepitasi, akibat
terbukanya alveoli pada akhir inspirasi. Krepitasi terutama dapat didengar fibrosis paru. Sifat
ronki basah ini dapat bersifat nyaring (bila ada infiltrat misalnya pada pneumonia) ataupun
tidak nyaring (pada edema paru).
- Rongki kering: suara napas kontinyu, yang bersifat musical, dengan frekuensi yang relatif
rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit, misalnya
akibat adanya sekret yang kental. Wheezing adalah ronki kering yang frekuensinya tinggi
dan panjang yang biasanya terdengar pada serangan asma.
- Bunyi gesekan pleura (pleural friction rub): terjadi karena pleura parietal dan viseral yang
meradang saling bergesekan satu dengan yang lainnya. Pleura yang meradang akan menebal
atau menjadi kasar. Bunyi gesekan ini terdengar pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi.
- Hippocrates succussion: suara cairan pada rongga dada yang terdengar bila pasien digoyang-
goyangkan. Biasanya didaptkan pada pasien dengan hidropneumotoraks.
- Pneumothorax click: bunyi yang bersifat ritmik dan sinkron dengan saat kontraksi jantung,
terjadi bila didapatkan adanya udara di antara kedua lapisan pleura yang menyelimuti
jantung.2
7
Pada pasien PPOK pada pemeriksaan fisik:
- Pasien biasanya tampak kurus dengan barel shaped chest (diameter anteroposterior dada
meningkat).
- Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
- Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak
jantung berkurang.
- Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
- Foto toraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-
garis paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
- Pada emfisema paru, foto toraks menunjukan adanya overinflasi dengan gambaran diafragma
yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan ke
distal.4
2. Pemeriksaan fungsi paru
Menunjukan obstruksi aliran napas dan menurunnya pertukaran udara akibat destruksi
jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meningkat akibat udara yang
terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien negalami perbaikan
dengan pemberian bronkodilator. 4
3. Pemeriksaan gas darah
Analisa gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Pada hipoksemia kronis
kadar hemoglobin bisa meningkat.4
Diagnosa Kerja
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) ditujukan untuk mengelompokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala
berupa terhambatnya arus udara pernapasan. Masalah yang menyebabkan terhambatnya arus
udara tersebut bisa terletak pada saluran pernapasan maupun parenkim paru. Kelompok yang
8
dimaksud adalah bronkitis kronik (masalah pada saluran pernapasan), emfisema (masalah pada
parenkim). Ada beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok ini, yaitu asma bronkial
kronik, fibrosis kistik dan bronkiektasis. 5
Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK jika
obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif. Kedua penyakit tadi (bronchitis
kronik,emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam kelompok PPOK jika keparahan
penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif. Pada fase awal, kedua penyakit
ini belum dapat digolongkan ke dalam PPOK.5
Diagnosa PPOK ditegakkan oleh adanya obstruksi aliran udara yang ditunjukkan dengan
penurunan rasio FEV1/FVC < 0,7 yang bersifat irreversible (peningkatan FEV1 <15%) dengan
terapi bronkodilator atau steroid. 1
Penyakit paru obstruksi kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut. Pasien
PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien mengalami perburukan yang
bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan dengan variasi gejala harian normal
sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan yang sudah biasa digunakan. Eksaserbasi
akut ini biasanya disebabkan oleh karena infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara
atau obat golongan sedatif. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut ini tidak diketahui. 1
Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai degan gejala yang khas seperti
sesak napas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi
sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, fatigue dan
gangguan susah tidur. Roisin membagi gejala klinis PPOK eksaserbasi akut menjadi gejala
respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi yaitu berupa sesak napas yang semakin bertambah
berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering dan napas yang
dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut
nadi serta gangguan status mental pasien. 1
Diagnosa Banding
A. Asma
9
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri bronkospasme periodik
(kontraksi spasme pada saluran napas). Asma merupakan penyakit kompleks yang dapat
diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi. Asma terbagi
menjadi alergi, idiopatik, nonalergik, dan campuran (mixed) :
1. Asma alergik/ekstrinsik, merupakan suatu jenis asma dengan yang disebabkan oleh alergen
(misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-lain). Alergen yang
paling umum adalah alergen yang perantaraan penyebarannya melalui udara (airborne) dan
alergen yang muncul secara musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan ekzema atau
rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Gejala asma
umumnya dimulai saat kanak-kanak.
2. Idiopatik atau nonallergic asthma/intrinsik, merupakan jenis asma yang tidak berhubungan
secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran
napas atas, aktivitas, emosi, dan polusi lingkungan dapat menimbulkan serangan asma.
Beberapa agen farmakologi, antagonis beta-adrenergik, dan agen sulfite (penyedap makanan)
juga dapat berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asma idiopatik atau nonalergik dapat
menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat berkembang menjadi
bronkhitis dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi
asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun).
3. Asma campuran (mixed asthma), merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan.
Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergik.6
Etiologi
Sampai saat ini, etiologi asma belum diketahui dengan pasti. Namun suatu hal yang
sering kali terjadi pada semua penderita asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkhus.
Bronkhus penderita asma sangat peka terhadap rangsang imunologi maupun nonimunologi.
Karena sifat tersebut, maka serangan asma mudah terjadi akibat berbagai rangsang baik fisik,
metabolisme, kimia, alergen, infeksi, dan sebagainya. Faktor penyebab yang sering
menimbulkan asma perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan. Faktor-faktor tersebut
adalah :
10
Alergen utama : debu rumah, spora jamur, dan tepung sari rerumputan
Iritan seperti asap, bau-bauan, dan polutan
Infeksi saluran napas terutama yang disebabkan oleh virus
Perubahan cuaca yang ekstrem
Aktivitas fisik yang berlebihan
Lingkungan kerja, obat-obatan, emosi
Lain-lain : seperti refluks gastro esofagus6
Epidemiologi
Sekitar 5% orang dewasa dan 8% anak-anak di Amerika Serikat menderita asma.
Diperkirakan bahwa 15 juta orang Amerika Serikat menderita asma. Terdapat peningkatan
insidensi dan mortalitas asma secara bermakna selama beberapa dekade terakhir, terutama pada
populasi minoritas. Faktor risiko :
Lebih dari 20 abnormalitas genetik memiliki kaitan dengan asma termasuk interleukin-4 (IL-
4), sitokin inflamasi, interferon gamma (INFγ), reseptor adrenergis beta, 5-lipoksigenase, dan
sintetase leukotrien C4.
Pajanan alergen (bahkan selama kehidupan janin via kebocoran transplasenta) akan
meningkatkan resiko asma pada individu yang terpredisposisi secara genetis dengan
pergeseran sistem imun ke arah imunitas humoral (yang di mediasi-antibodi). Alergen
tersering adalah kutu debu, kutu anjing atau kucing dan kecoak sebagai penyebab utama
gejala sepanjang tahun; serbuk sari dan rerumputan untuk gejala musiman.
Penduduk perkotaan dengan pajanan terhadap ozone, nitrogen dan sulfur dioksida, karbon
monoksida, serpihan karet ban, dan partikel dari pembakaran bahan bakar telah dihubungkan
dengan peningkatan risiko asma.
Pajanan okupasional seperti debu, bahan kimia dan bahan iritan juga telah dihubungkan
dengan asma.
Infeksi virus rekuren pada saluran napas (terutama RSV) di masa kanak-kanak dapat
meningkatkan resiko asma di kemudian hari, dan virus adalah penyebab tersering eksaserbasi
asma akut. Infeksi virus menyebabkan inflamasi dan cedera pada saluran napas bawah
11
(memajankan saraf sensoris) dengan menginduksi pelepasan berbagai macam sitokin
inflamasi.6
Patofisiologi
Ada dua pengaruh genetik yang ditemukan pada penyakit asma, yaitu kemampuan
seseorang untuk mengalami asma (atopi) dan kecenderungan untuk mengalami hiperaktivitas
jalan napas yang tidak bergantung pada atopi. Lokasi kromosom 11 yang berkaitan dengan atopi
mengandung gen abnormal yang mengode bagian reseptor imunoglobulin (Ig) E. Faktor-faktor
lingkungan berinteraksi dengan faktor-faktor keturunan untuk menimbulkan reaksi asmatik yang
disertai bronkospasme. Pada asma, dinding bronkus mengadakan reaksi yang berlebihan
terhadap berbagai rangsangan sehingga terjadi spasme otot polos yang periodik dan
menimbulkan konstriksi jalan napas berat. Antibodi IgE yang melekat pada sel-sel mast yang
mengandung histamin dan pada reseptor membran sel akan memulai serangan asma intrinsik.
Ketika terpajan suatu antigen, seperti polen, antibodi IgE akan berikatan dengan antigen ini. Pada
pajanan selanjutnya dengan antigen tersebut, sel-sel mast mengalami degranulasi dan
melepaskan mediator. Sel-sel mast dalam jaringan interstisial paru akan terangsang untuk
melepaskan histamin dan leukotrien. Histamin terikat pada tempat-tempat reseptor dalam
bronkus yang besar tempat substansi ini menyebabkan pembengkakan pada otot polos. Membran
mukosa mengalami inflamasi, iritasi, dan pembengkakan. Pasien dapat mengalami dispnea,
ekspirasi yang memanjang dan frekuensi respirasi yang meningkat.
Leukotrien melekat pada tempat reseptor dalam bronkus yang lebih kecil dan
menyebabkan pembengkakan lokal otot polos. Leukotrien juga menyebabkan prostaglandin
bermigrasi melalui aliran darah ke dalam paru-paru dan dalam organ ini, prostaglandin
meningkatkan efek kerja histamin. Bunyi mengi (wheezing) dapat terdengar pada saat batuk yang
semakin tinggi nadanya, semakin sempit lumen bronkus. Histamin menstimulasi membran
mukosa untuk menyekresi mukus secara berlebihan dan selanjutnya membuat lumen bronkus
menjadi sempit. Sel-sel goblet menyekresi mukus yang sangat lengket dan sulit dibatukkan
keluar sehingga pasien semakin batuk, memperdengarkan bunyi ronki serta mengi bernada tinggi
dan mengalami distress pernapasan yang bertambah berat. Selanjutnya edema mukosa dan sekret
kental akan menyumbat jalan napas.
12
Pada saat inspirasi, lumen bronkus yang sempit masih dapat sedikit mengembang
sehingga udara dapat masuk ke dalam alveoli. Pada saat ekspirasi, peningkatan tekanan
intratorakal menyebabkan penutupan total lumen bronkus. Udara bisa masuk, tetapi tidak bisa
keluar. Dada pasien akan mengembang dan menyerupai tong sehingga diberi nama dada tong
(barrel chest) sementara pada perkusi dada, didapatkan bunyi hipersonor (hiperesonan). Mukus
akan mengisi dasar paru dan menghalangi ventilasi alveoli. Darah dipintas ke dalam alveoli pada
bagian paru yang lain tetapi pemintasan ini masih tidak mampu mengimbangi penurunan
ventilasi. Hiperventilasi dipicu oleh reseptor paru-paru untuk meningkatkan volume paru dan
disebabkan oleh udara yang terperangkap serta obstruksi jalan napas. Tekanan gas intrapleural
serta alveoler meningkat dan peningkatan ini menyebabkan penurunan perfusi pada alveoli paru.
Peningkatan tekanan gas alveoler, penurunan ventilasi dan perfusi mengakibatkan rasio ventilasi-
perfusi tidak merata dan tidak cocok di berbagai segmen paru. Hipoksia memicu hiperventilasi
melalui stimulasi pusat pernapasan yang selanjutnya akan menurunkan tekanan parsial
karbondioksida arteri (PaCO3) dan meningkatkan pH sehingga terjadi alkalosis respiratorik.
Seiring semakin berat obstruksi jalan napas, semakin banyak pula alveoli paru yang tersumbat.
Ventilasi serta perfusi tetap tidak adekuat dan terjadilah retensi karbon dioksida. Akibatnya, akan
timbul asidosis respiratorik dan akhirnya pasien mengalami gagal napas.6
Manifestasi Klinik
Gejala asma terdiri atas triad : dispnea, batuk, dan mengi (bengek atau sesak napas).
Gejala sesak napas sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (‘sine qua non’). Hal tersebut
berarti jika penderita menganggap penyakitnya adalah asma namun tidak mengeluhkan sesak
napas, maka harus diyakinkan bahwa pasien bukan menderita asma. Gambaran klinis pasien
yang menderita asma adalah :
1. Gambaran objektif yang ditangkap adalah kondisi pasien dalam keadaan seperti ini :
Sesak napas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apeks dan hilus)
Dapat disertai batuk dengan sputum kental dan sulit dikeluarkan
Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan
Sianosis, takikardia, gelisah, dan pulsus paradoksus
13
2. Gambaran subjektif yang diketahui adalah pasien mengeluhkan sukar bernapas, sesak dan
anoreksia.
3. Gambaran psikososial yang diketahui adalah pasien merasa cemas, takut, mudah tersinggung,
dan kurangnya pengetahuan pasien terhadap situasi penyakitnya.6
Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip penatalaksanaan asma bronkhial :
Diagnosis status asmatikus, faktor penting yang harus diperhatikan adalah waktu terjadinya
serangan dan obat-obatan yang telah digunakan (jenis dan dosisnya).
Pemberian obat bronkodilator, penilaian terhadap perbaikan serangan, pertimbangan terhadap
pemberian kortikosteroid.
Setelah serangan mereda, carilah faktor penyebab dan modifikasi pengobatan penunjang
selanjutnnya.6
Pengobatan yang dapat diberikan adalah :
Beta agonisis (β-adrenergic agents), merupakan jenis obat yang diberikan paling awal yang
digunakan dalam pengobatan asma. Hal tersebut dikarenakan obat ini bekerja dengan cara
mendilatasikan otot polos. Agen adrenergik juga meningkatkan pergerakan silia, menurunkan
mediator kimia anafilaksis, dan dapat meningkatkan efek bronkolasi dari kortikosteroid. Agen
adrenergik yang sering digunakan antara lain epinephrine, albuterol, metaproterenol,
isoproterenol, isoetharine, dan terbutaline. Biasanya diberikan secara parenteral atau inhalasi.
Cara inhalasi merupakan jalan pilihan utama dikarenakan dapat memengaruhi secara langsung
dan mempunyai efek samping yang lebih kecil.
Bronkodilator, pada kasus penyakit asma bronkodilator tidak digunakan secara oral tetapi
dipakai secara inhalasi atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan
simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan Aminophilin secara parenteral. Demikian
sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan Teofilin secara oral maka
sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral. Obat-
obatan bronkodilator simpatomimetik berefek samping menimbulkan takikardia sehingga
penggunaan parenteral pada orang tua harus dilakukan dengan hati-hati. Obat jenis inipun
14
berbahaya pada pasien dengan penyakit hipertensi, kardiovaskuler, dan serebrovaskuler. Pada
orang dewasa, bronkodilator diberikan bersama 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000
(perbandingan tersebut adalah perbandingan epinefrin dengan zat pengencer, sehingga yang
digunakan adalah epinefrin dengan pengenceran 10-3) secara subkutan. Sedangkan pada anak-
anak diberikan bronkodilator sebanyak 0,01 mg/kgBB subkutan (1 mg permil) dan dapat
diulang tiap 30 menit sebanyak 2-3 kali atau sesuai kebutuhan. Obat-obatan bronkodilator
golongan simpatomimetik yang selektif terhadap adrenoreseptor (Orsiprendlin, Salbutamol,
Terbutalin, Ispenturin, dan Fenoterol). Selain itu, obat-obatan tersebut mempunyai sifat yang
lebih efektif dengan masa kerja lebih lama dan efek samping lebih kecil daripada bentuk
nonselektif (Adrenalin, Efedrin, dan Isoprendlin). Obat-obat bronkodilator yang diberikan
dengan aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping sistemiknya lebih kecil. Campuran
tersebut baik digunakan untuk sesak napas berat pada anak-anak dan dewasa. Untuk
menggunakannya, mula-mula diberikan sebanyak sedotan Metered Aerosol Defire (Afulpen
Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan, maka dapat diulang tiap 4 jam dan jika tidak
ada perbaikan selama 10-15 menit segera berikan Aminophilin secara intravena. Pemberian
Aminophilin dengan perlahan disuntikkan secara intravena dalam durasi 5-10 menit. Efek
samping yang timbul jika diberikan secara tidak perlahan adalah menurunnya tekanan darah.
Dosis awal yang diberikan sebesar 5-6 mg/kgBB untuk orang dewasa dan anak-anak.
Sedangkan dosis penunjang yang diberikan adalah sebesar 0,9 mg/kgBB/jam secara infus.
Kortikosteroid, diberikan bila pemberian obat-obatan bronkodilator tidak menunjukkan
perbaikan. Dilanjutkan dengan 200 mg hidrokortison secara oral atau dengan dosis 3-4
mg/kgBB intravena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara parenteral
sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti pemberian 30-60 mg prednison atau dengan
dosis 1-2 mg/kgBB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara
bertahap.
Pemberian oksigen, menggunakan kanul hidung dengan kecepatan aliran O2 2-4 liter/menit
yang dialirkan melalui air untuk memberikan kelembapan. Obat ekspektoran seperti
Gliserolguaiakolat dapat juga digunakan untuk memperbaiki dehidrasi. Oleh karena itu, intake
cairan per oral dan infus harus cukup dan sesuai dengan prinsip rehidrasi. Antibiotik diberikan
hanya bila ada infeksi.6
15
Komplikasi
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang mengancam jiwa
yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dapat terjadi pada beberapa individu. Pada
kasus ini, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja pernapasan meningkat,
kebutuhan oksigen juga meningkat. Karena individu yang mengalami serangan asma tidak
dapat memenuhi kebutuhan oksigen normalnya, individu semakin tidak sanggup memenuhi
kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk berinspirasi dan berekspirasi
melawan spasme bronkiolus, pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini
dapat menyebabkan pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi.
Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal napas, dan kematian.6
B. Emfisema
Emfisema adalah penyakit obstruktif kronis dengan karakteristik penurunan elastisitas
paru dan luas permukaan alveolus yang berkurang akibat destruksi dinding alveolus dan
pelebaran ruang distal udara ke bronkrolus terminal. Kerusakan dapat terbatas hanya di bagian
sentral lobus, dalam hal Ini yang paling terpengaruh adalah integritas dinding bronkioulus, atau
dapat mengenai paru secara keseluruhan, yang menyebabkan kerusakan bronkus dan alveolus.
Hilangnya elastisitas paru dapat memengaruhi alveolus dan bronkus. Elastisitas
berkurang akibat destruksi serabut elastik dan kolagen yang terdapat di seluruh paru dari produk
yang dihasilkan dengan mengaktivasi makrofag alveolus. Penyebab pasti emfisema masih belum
jelas, tetapi lebih dari 80% kasus, penyakit biasanya muncul setelah bertahun-tahun merokok.
Komponen dalam asap rokok diduga mengubah secara langsung struktur molekul elastik
Emfisema juga memberi efek pada serabut elastik yang berhubungan dengan penyakit infeksius
berulang dan keadaan inflamasi kronis yang menyertai infeksi. Sebagai akibatnya, elastisitas
jalan napas hilang dan kolaps alveolus, menurunkan ventilasi. Jalan napas kolaps terutama pada
ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (rekoil) paru secara pasif setelah
inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi rekoil pasif, udara akan terperangkap di dalam
paru dan jalan napas kolaps.
16
Dinding diantara alveolus-alveolus, yang disebut septum alveolus juga dapat mengalami
kerusakan. Keadaan ini menyebabkan luas permukaan alveolus yang tersedia untuk pertukaran
gas berkurang dan menurunkan kecepatan difusi.
Faktor risiko primer untuk emfisema adalah merokok. Akan tetapi, pajanan berulang
pada perokok pasif juga dapat menyebabkan emfisema. Selain itu, ada emfisema bentuk familial
yang berhubungan dengan defisiensi anti-protease, alfa-1 antitripsin. Bentuk emfisema ini jurang
ditemukan, dan terjadi pada individu yang tidak terpajan dengan asap rokok, meskipun asap
tembakau memperburuk penyakit emfisema pada individu yang mengalami defisiensi ini.6
Perangkat Diagnostik
Hasil yang abnormal pada pemeriksaan fungsi paru, termasuk penurunan hasil pengukuran
FEV1 (volume ekspirasi paksa), penurunan kapasitas vital, dan peningkatan volume residual
(udara yang tersisa di dalam saluran napas setiap kali bernapas) mengakibatan penurunan
elastisitas paru.
Seiring perkembangan penyakit, analisis gas darah yang pertama kali menunjukkan hipoksia.
Pada tahap lanjut penyakit, kadar karbon dioksida juga dapat mengalami peningkatan.6
Patofisiologi
Emfisema disebabkan oleh destruksi progresif septum alveolar dan kapiler, yang
menyebabkan jalan napas dan ruang udara (bula) yang membesar, recoil elastik paru yang
menurun, dan jalan napas yang semakin mudah mengalami kolaps. Obstruksi jalan napas yang
disebabkan oleh kolaps jalan napas distal selama ekspirasi akibat hilangnya traksi radial elastik
terjadi pada paru normal (Gambar 25c). Hiperinflasi yang terjadi meningkatkan aliran udara
ekspirasi tetapi otot inspirasi bekerja dengan kerugian mekanis. Patofisiologi emfisema dapat
melibatkan suatu ketidakseimbangan antara protease sel inflamasi dan pertahanan antiprotease
(Bab 18). Emfisema sentrilobular disebabkan oleh kebiasaan merokok dan terutama mengenai
zona paru bagian atas. Emfisema panasinar disebabkan oleh defisiensi a,-antiiripsin (Bab 18) dan
terutama mengenai zona paru bagian bawah. Pasien dengan emfisema biasanya mengalami
obstruksi aliran udara dengan peningkatan TLC. FRC dan RV, penurunan Z>, co, dan
peningkatan compliance paru statik. Pasien tersebut cenderung sulit bernapas dan takipnea
17
(respirasi cepat) saat istirahat, dengan tanda-tanda hiperinflasi dan malnutrisi yang meliputi
barrel chest dan tubuh kurus, penggunaan otot respirasi tambahan dan bernapas dengan
mengerutkan bibir. Bernapas dengan mengerutkan bibir meningkatkan tekanan pada jalan napas
atas sehingga membatasi kolaps jalan udara distal. Auskultasi menunjukkan bunyi napas jauh
dengan mengi ekspirasi memanjang. Gas darah normal saat istirahat, dengan desaturasi 09 yang
nyata selama aktivitas. Secara radiografis, emfisema dapat tampak sebagai paru yang mengalami
hiperinflasi dengan ruang udara retrosternal yang besar dan diafragma datar. Bila keadaan
berlanjut, terdapat area-area dengan berkurangnya vaskularitas atau visualisasi bula. CT resolusi
tinggi berguna untuk memperlihatkan pembesaran ruang udara dan terperangkapnya udara.6
Gejala Klinis
Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru menyebabkan dada mengembang
(peningkatan diameter anterior-posterior)
Bunyi napas tidak ada pada saat auskultasi.
Penggunaan otot aksesori pemapasan.
Takipnea (peningkatan frekuensi pernapasan) akibat hipoksia dan hiperkapnia. Karena
peningkatan kecepatan pernapasan pada penyakit ini efektif, sebagian besar individu yang
mengidap emfisema tidak memperlihatkan perubahan gas darah arteri yang bermakna sampai
penyakit tahap lanjut pada saat kecepatan pernapasan tidak dapat mengatasi hipoksia atau
hiperkapnia. Pada akhirnya, semua nilai gas darah memburuk dan terjadi hipoksia,
hiperkapnia, dan asidosis.
Depresi sistem saraf pusat dapat terjadi akibat tingginya kadar karbon dioksida (narkosis
karbon dioksida).
Suatu perbedaan kunci antara emfisema dan bronchitis kronis adalah pada emfisema tidak
terjadi pembentukan sputum.6
Penatalaksanaan
Pengobatan emsifema bertujuan menghilangkan gejala dan mencegah perburukan kondisi
penyakit. Emfisema tidak dapat disembuhkan, Terapi antara lain:
Mendorong individu untuk berhenti merokok.
18
Mengatur posisi dan pola bernapas untuk mengurangi jumlah udara yang terperangkap.
Memberi pengajaran mengenai teknik relaksasi dan cara untuk menghemat energi,
Banyak pasien emfisema memerlukan terapi oksigen agar dapat menjalankan aktivitas sehari-
hari. Terapi oksigen dapat memperlambat kemajuan penyakit dan mengurang morbiditas dan
mortalitas.
Terapi latihan yang dirancang dengan baik dapat memperbaiki gejala.6
Komplikasi
Hipertensi paru akibat vasokonstriksi hipoksik paru kronis, yang akhirnya menyebabkan kor
pulmonalise.
Penurunan kualitas hidup pada pengidap penyakit ini yang parah.6
C. Bronkiektasis
Bronkiekstasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari pelebara bronkus yang
abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muskular dinding
bronkus. Bronkiekstasis diklasifikasikan dalam bronkiekstasis silindris, fusiform, dan kistik
atau sakular. Bronkiekstasis biasanya didapat pada masa anak-anak.
Etiologi
Kerusakan bronkus pada penyakit ini hampir selalu disebabkan oleh infeksi. Penyebab infeksi
tersering adalah H. Influenzae dan P. Aeruginosa. Infeksi oleh bakteri lain, seperti Klebsiella dan
Staphyolcoccus aureus disebabkan oleh absen atau terlambatnya pemberian antibiotik pada
pengobatan pneumonia. Bronkiekstasis ditemukan pula pada pasien dengn infeksi HIV atau virus
lain seperti adenovirus atau virus influenza. Faktor penyebab noninfeksi yang dapat
menyebabkan penyakit ini adalah paparan substansi toksik, misalnya terhirupnya gas toksik
(amonia, aspirasi asam dari cairan lambung, dan lain-lain).1
Gejala klinis
19
Gejala sering dimulai pada saat anak-anak, 60% gejala timbul sejak pasien berusia 10 tahun.
Gejala yang timbul tergantung dari luas, berat, lokasi serta ada atau tidaknya komplikasi. Gejala
tersering adalah batuk kronik dengan sputum yang banyak. Batuk dan pengeluaran sputum
dialami paling sering pada pagi hari, setelah tiduran atau berbaring pada posisi yang berlawanan
dengan sisi yang mengandung kelainan bronkiekstasi. Pada bronkiekstasis ringan mungkin tidak
terdapat gejala. Kalau pun ada, biasanya batuk bersputum yang menyertai batuk-pilek selama 1-2
minggu. Pada bronkiekstasis berat, pasien mengalami batuk terus-menerus dengan sputum yang
banyak (200-300 ml) yang bertambah berat bila terjadi infeksi saluran napas atas. Biasanya dapat
diikuti dengan demam, tidak ada nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri pleura, dan
lemah badan. Sesak nafas dan sianosis timbul pada kelainan yang luas.1
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang terpenting adalah terdapat ronki basah sedang sampai kasar pada
daerah yang terkena dan menetap pada pemeriksan yang berulang. Kadang-kadang dapat
ditemukan ronki kering dan bising mengi. Ditemukan perkusi yang redup suara napas yang
melemah bila terdapat komplikasi empiema. Pada kasus yang berat mungkin terdapat sianosis
dan tanda kor pulmonal.1
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bertujuan untuk mengupayakan pengeluaran dan mengurangi sekresi dahak
dengan cara drainase postural serta mencegah terjadinya infeksi. Upaya drainase dahak
tergantung pada jumlah dahak yang diproduksi, namun sebaiknya dilakukan paling tidak 2x
sehari, yaitu pada saat bangun tidur di pagi hari dan pada saat akan tidur malam, Seringkali
diperlukan penggetaran dinding dada agar dahak mudah keluar, yaitu dengan cara memukul
punggung. Infeksi pada bronkiektasis memerlukan pemberian antibiotika. Kortikosteroid perlu
diberikan pada pasien yang disertai obstruksi saluran pernapasan. Pada bronkiektasis yang parah,
mungkin diperlukan pembedahan paru, yaitu berupa reseksi bagian yang rusak. Selain itu, juga
dapat dilakukan transplantasi kedua buah paru pada pasien yang berumur di bawah 60 tahun
yang mempunyai FEV, kurang dari 30% dari predicted. 1
D. Bronkitis kronis
20
Definisi
Penyakit ini terdapat pada semua pasien yang mengalami batuk menertap disertai
pembentukkan sputum selama paling sedikit 3bulan pada paling tidak 2tahun berturutan, tanpa
kausa lain yang dapat teridentifikasikan. Pada bronkitis kronik biasa (simple chronic bronchitis ),
pasien mengalami batuk produkti, tetapi hanya bukti-bukti fisiologik obstruksi saluran nafas.
Sebagian orang mungkin memperlihatkan hiperreaktifitas saluran nafas dengan serangan
bronkospasme dan mengi. Keadaan ini disebut bronkitis asmatik kronik. Sebagian pasien,
terutama perokok berat, mengalami obstruksi saluran nafas kronik biasanya disertai tanda-tanda
emfisema dan diklasifikasikan sebagai bronkitis kronik obstruktif. 7
Patofisiologi
Faktor primer atau pemicu dalam pembentukkan bronkitis kronik tampaknya adalah
iritasi kronik oleh bahan-bahan yang terhirup, misalnya asap rokok dan padi-padian, kapas, dan
debu silica. Infeksi bakteri dan virus merupakan hal penting yang dapat memicu eksaserbasi
akut penyakit. Kedua jenis kelamin dan semua usia dapat terkena, tetapi bronkitis kronik paling
sering dijumpai pada pria usia pertengahan.
Gambaran paling dini pada bronkiitis kronik adalah hipersekresi mukus di saluran napas
besar karena terjadinya hipertrofi kelenjar submukosa di trakea dan bronkus. Protease yang
dikeluarkan dari neutrofil, misalnya elastase dan katepsin neutrofil serta metalloproteinase
matriks, merangsang hipersekresi mukus ini. Seiring dengan menetapnya bronkitis kronik, juga
terjadi peningkatan mencolok jumlah sel goblet di saluran napas kecil (bronkus kecil dan
bronkiolus) sehingga terjadi produksi mukus berlebihan yang ikut menyebabkan obstruksi
saluran napas. Diperkirakan bahwa, baik hipertrofi kelenjar submukosa maupun peningkatan sel
goblet adalah suatu reaksi metaplastik protektif terhadap asap rokok atau polutan lain.
Hipersekresi mukus di saluran napas besar adalah penyebab pembentukkan berlebihan
sputum. Namun kini diperkirakan bahwa perubahan di saluran napas kecil paru (bronkus kecil
dan bronkiolus) dapat menyebabkan manifestasi obstruksi saluran napas kronik yang secara
fisiologis penting dan muncul dini. Penelitian-penelitian histologik terhadap saluran napas kecil
pada perokok muda mengungkapkan adanya metaplasia sel goblet disertai sumbatan lumen oleh
21
mukus, kelompok-kelompok makrofag alveolus berpigmen, infiltrasi peradangan, dan fibrosis
dinding bronkiolus. Studi fisiologik menyatakan bahwa bronkitis kronik ini merupakan
komponen penting pada obstruksi saluran napas dini dan relatif ringan. Namun, jika bronkiolitis
disertai oleh obstruksi saluran napas sedang sampai berat, emfisema menjadi kelainan yang
dominan.
Peran infeksi tampaknya hanya sekunder. Infeksi tiak memicu bronkitis kronik, tetapi
mungkin penting dalam mempertahankannya dan mungkin berperan dalam menimbulkan
eksaserbasi akut. Asap rokok mempermudah terjadinya infeksi melalui lebih dari satu caram
dapat dengan mengganggu kerja silia epitel saluran napas, dapat secara langsung merusak epitel
saluran napas dan menghambat kemampuan leukosit bronkus dan alveolus membersihkan
bakteri. Infeksi virus juga dapat menyebabkan ekserbasi bronkitis kronik.7
Gambaran klinis
Gejala utama bronkitis kronik adalah batuk berdahak yang menetap. Selama bertahun-
tahun, tidak ada gangguan pernapasan lain, tetapi akhirnya pasien mengalami sesak jika
beraktifitas (berolahraga). Dengan berlalunya waktu, dan biasanya dengan berlanjutnya
merokok, elemen-elemen lain PPOK mulai muncul, termasuk hiperkapnia,hipoksemia, dan
sianosis ringan. 7
Penatalaksanaan
Penyuluhan kesehatan agar pasien menghindari pajanan iritan lebih lanjut, terutama asap
rokok.
Terapi antibiotik profilaktik, terutama pada musim dingin, untuk mengurangi insiden infeksi
saluran napas bawah, karena setiap infeksi akan semakin meningkatkan pembentukan
mukus dan pembengkakan.
Karena banyak pasien yang mengalami spasme saluran napas akibat bronkitis kronis yang
mirip dengan spasme pada asma kronis, individu sering diberikan bronkndilator.
Obat anti-inflamasi menurunkan produksi mukus dan mengurangi sumbatan.
Ekspektoran dan peningkatan aaupan cairan untuk mengencerkan mukus.
Mungkin diperlukan terapi oksigen.
22
Vaksinasi terhadap pneumonia pneumokokus sangat dianjurkan. 7
Komplikasi
Hipertensi paru dapat terjadi akibat vasokonstriksi hipoksik paru yang kronis, yang akhirnya
menyebabkan kor pulmonalise.
Dapat terjadi jari tabuh di segmen ujung jari, mengindikasikan stres hipoksik yang kronis.
Polisitemia (peningkatan konsentrasi sel darah merah) terjadi akibat hipoksia kronis dan
stimulasi sekresi eritropoietin, disertai sianosis, yang memberi warna kebiruan pada kulit.
Kanker paru.7
Congestive Heart Failure(Gagal Jantung Kongestif)
Keadaan patofisiologis yaitu jantung tidak stabil umtuk menghasilkan curah jamtung yang
adekuat sehingga perfusi jaringan tidak adekuat, dan/atau peningkatan tekanan pengisisan
diastolik pada ventrikel kiri, sehingga tekanan kapiler paru meningkat. CHF merujuk disfungsi
primer ventrikel kiri (LV). CHF bisa sistolik, diastolik, atau keduanya. Disfungsi primer pada
ventrikel kanan paling sering berhubungan dengan penyakit paru dan tidak dianggap sebagai
gagal jantung kongestif.
Epidemiologi
Faktor resiko terjadinya gagal jantung yang paling sering adalah usia
CHF merupakan alasan paling umum bagi lansia untuk dirawat dirumah sakit (75%
pasien yang dirawat dengan CHF berusia antara 65 dan 75 tahun )
44% pasien medicare yang dirawat karene CHF ajan dirawat kembali pada 6 bulan
kemudian.
Terdapat 2 juta kunjungan pasien rawat jalan per tahun yang menderita CHF, biaya nya
diperkirakan 10 milliar dollar per tahun
Daya tahan hidup selama 8 tahun bagi semua kelas CHF adalah 30% untuk CHF berat,
angka mortalitas dalam 1 tahun adalah 60%
Faktor resiko terpenting untuk CHF adalah penyakit arteri koroner dengan penyakit
jantung iskemik. Hipertensi adalah faktor risiko terpenting kedua untuk CHF. Faktor
23
risiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, daibetes, dan penyakit katup
jantung5
Patofisiologi
CHF terjadi karena interaksi kompleks antara faktor faktor yang mempengaruhi
kontraktilitas, after, load, preload, atau fungsi lusitropik (fungsi relaksasi) jantung,
dan respons neurohormonal dan hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan
kompensasi sirkulasi.
Meskipun konsekuensi hemodinamik gagal jantung berespons terhadap intervensi
farmakologis standar, terdapat interaksi neurohormonal kritis yang efek gabungan nya
memperberat dan memperlama sindrom yang ada.
Gejala dispenea khususnya saat olahraga; ortopnea; dispenea nokturnal paraksimal;
batuk, udem kaki, penurunan, haluaran urine, keletihan, penambahan berat badan,
nyeri dada.
Faktor risiko penyakit jantung iskemik(merokok. Diabetes, hipertensi)
Penatalaksanaan
CHF akut
- Pasien dipersilakan duduk tegak bila tidak mengalami hipotensi
- Oksigen : pasang masker pada 60% intubasi bila terjadi gagal ventilasi atau bila
pasien mengalami sianosis secara progresif dan status mentalnya menurun.
- Tangani iskemia bila ada indikasi
- Berikan morfin, nitrogliserin, dan diuretik per intravena
- Pertimbangkan inotropik (dobutamin, dopamin ) intravena
CHF kronis
- Penatalaksanaan definitif pada penyebab yang mendasari nya adalah optimal
- Modifikasi gaya hidup dengan pembatasan asupan garam, olahraga, pendidikan
mengenai gejala (menimbang berat badan tiap hari, dispnea, nyeri dada)
Membedakan antara dispinea kardiak dan pulmoner
24
Pada sebagian besar pasien dispenea terdapat bukti klinis yang jelas ada nya penyakit pada
jantung atau pada paru.gejala dispenea pada penyakit paru obtruktif menahun (PPOM) atau
kronik cenderung timbul secara lebih berangsur angsur bila dibandingkan dengan dispenea pada
penyakit jantung. Tentu saja, pengecualian keadaan ini terdapat pada pasien penyakit paru
obstruktif yang mengalami serangan bronkitis infeksiosa, pneumonia atau pneumotoraks atau
eksaserbasi asma. Seperti hal nya pasien dispenea kardiak, pasien penyakit paru obtruktif
menahun juga dapat terbangun di malam hari karena sesak napas, tatapi gejala ini biasanya
disertai dengan produksi sputum.
Gejala dispenea akan mereda setelah pasien berhasil mengeluarkan sputumnya. Pasien
dengan riwayat bronkitis kronik atau asma yang menderita gagal jantung kiri cenderung untuk
mengalami bronkokonstriksi yang rekuren dan mempedengarkan suara wheezing yang
berkaitang dengan serangan dispenea nokturnal paroksismal serta odema paru.serangan asma
kardiale yang akut selanjut nya dapat dibedakan dari serangan akut asma bronkiale berdasarkan
gejala diaforesis, suara saluran nafas yang lebih bergelak dan kejadian sianosis yang lebih sering
ditemukan.9
Etiologi
Penyebab PPOK yang sering ditemukan meliputi kebiasaan merokok, infeksi saluran
napas atas yang kambuhan atau kronis, polusi udara, alergi, faktor-faktor familial atau herediter
seperti defisiensi antitripsin-alfa. Perubahan patologis paru sesuai dengan emfisema atau
bronkitis kronis. Keterbatasan aliran udara memburuk selama ekspirasi (diukur dengan volume
ekspirasi paksa dalam 1 detik [FEV1]) dan tidak memperlihatkan reversibilitas bermakna dalam
berespons terhadap obat farmakologis. PPOK bisa juga memasukkan keterkaitan dengan
bronkitis asmatik kronis yang memiliki komponen reversibel pada keterbatasan aliran udara
namun semakin memburuk dan menjadi kurang reversibel.3
Epidemiologi
Karena adanya tumpang tindih kedua penyakit emfisema dan bronkitis kronik pada pasien dan
kausa , data epidemiologis umumnya membahas kedua penyakit bersama-sama di bawah judul
PPOK. PPOK mengenai lebih dari 10 juta orang Amerika Serikat; bronkitis kronik adalah
25
diagnosisnya pada sekitar 75 % kasus dan emfisema pada sisanya. Insidens, prevalensi dan
angka kematian PPOK meningkat seiring pertambahan usia, dan lebih tinggi pada pria , orang
berkulit putih dan golongan sosioekonomi lemah. Merokok masih menjadi kausa utama penyakit
pada hampir 90% pasien dengan bronkitis kronik dan emfisema. Namun, hanya 10-15% perokok
mengalami PPOK. 10
Patofisiologis
Pada bronkitis kronik maupun emfisema terjadi penyempitan saluran napas. Penyempitan
ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas dan menimbulkan sesak. pada bronkitis kronik,
saluran pernapasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit, berkelok-
kelok, dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet. Saluran napas
besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus. Pada emfisema paru
penyempitan saluran napas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.4
Merokok menyebabkan hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan poduksi
mukus , menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis kronis (‘batuk produktif > 3 bulan/tahun
selama > 2 tahun) perubahan awal terjadi pada saluran udara yang kecil. Selain itu terjadi
destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal (emfisema) yang menyebabkan
hilangnya elastic recoil, hiperinflasi, terperangkapnya udara, dan peningkatan usaha untuk
bernafas, sehingga terjadinya sesak napas. 4
Dengan berkembangnya penyakit kadar CO2 meningkat dan dorongan respirasi bergeser
dari CO2 ke hipoksemia. Jika oksigen tambahan menghilangkan hipoksemia, dorongan
pernapasan juga mungkin akan hilang, sehingga memicu terjadinya gagal napas.4
Manifestasi Klinis
Gejala klinisnya antara lain:
Batuk
Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen
Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk bernafas.1
26
Adanya gejala batuk dan napas pendek yang bersifat progresif lambat dalam beberapa tahun
pada perokok atau mantan perokok cukup untuk menetukan diagnosis. Beratnya penyakit
ditentukan berdasarkan obstruksi saluran napas (volume ekspirasi paksa I detik [FEV1]:
Penyakit ringan: FEV1 60-80% dari perkiraan usia/jenis kelamin-batuk, dispenea
minimal, pemeriksaan fisis paru normal.
Penyakit sedang: FEV1 40-59% - batuk, sesak napas saat aktivitas yang tidak terlalu
berat, mengi, hiperinflasi, dan penurunan udara yang masuk.
Penyakit berat: FEV1 < 40% - batuk, sesak napas saat aktivitas ringan: tanda-tanda PPOK sedang
dan kemungkinan gagal napas serta kor pulmonal. 4
Penatalaksanaan
1. Managemen di Rumah
a. Bronkodilator. Bronkodilator utama yang sering digunakan adalah : b2 – agonis,
antikolinergik dan metilxantin. Obat tadi dapat diberikan secara monoterapi atau
kombinasi. Pemberian secara inhalasi (MDI) lebih menguntungkan daripada cara oral atau
paraenteral karena efeknya cepat pada organ paru dan efek sampingnya minimal.
Pemberian secara MDI lebih disarankan dari pada pemberian cara nebulizer. obat dapat
diberikan sebanyak 4-6 kali, 2-4 hirup sehari. Bronkodilator kerja cepat (fenoterol,
salbutamol, terbutalin) lebih menguntungkan dari pada yang kerja lambat (salmeterol,
formeterol), karena efek bronkodilatornya sudah dimulai dalam beberapa menit dan efek
puncaknya terjadi setelah 15-20 menit dan berakhir setelah 4-5 jam. Bila tidak segera
memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian anti kolinergik sampai dengan
perbaikan gejala.1
b. Glukokortikosteroid. Jika FEV1 < 50% prediksi, dapat diberikan 40 mg prednisolon (oral)
per hari selama 10-14 hari bersamaan dengan pemberian bronkodilator. Budesonid
nebulizer bisa dipakai sebagai alternatif terapi selain oral. Glukokosteroid dipakai untuk
pengobatan yang non asidosis.1
c. Antibiotik. Diberikan jika gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan
volume dan purulensi sputum. Antibiotik hendaknya diberikan dengan spektrum luas yang
27
bisa menghadapi H.influenzae, S.pneumoniae dan M.catarrhalis sambil menunggu hasil
kultur sensitivitas kuman. Berdasarkan penelitian, ketiga kuman diatas merupakan kuman
penyebab eksaserbasi akut yang paling sering ditemukan. 1
2. Manajemen di Rumah Sakit
Terapi farmakologi pada PPOK akut eksaserbasi di rumah sakit adalah :
Bronkodilator kerja cepat : β2 – agonis dan antikolinergik dosis ditinggikan dan frekuensi
pemberian dinaikkan
Steroid : oral atau intravena
Antibiotik : oral atau intravena
Pertimbangan teofilin oral atau intravena (masih kontroversial)
Pertimbangan ventilator mekanik invasif1
Pada keadaan berat seperti ancaman gagal napas akut, kelainan asam basa berat atau perburukan
status mental, maka pemasangan ventilator mekanik invasif dapat dipertimbangkan.
3. Stop merokok
Menghentikan kebiasaan merokok pada pasien PPOK sebenarnya merupakan usaha yang
mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi progesivitas penyakit. Bila pasien dapat
berhenti merokok maka progesivitas penurunan FEV1-nya dapat diperkecil. Pasien PPOK
yang merokok akan mengalami penurunan FEV1 > 50 ml per tahun (pada orang normal yang
tidak merokok, penurunan FEV1 hanya 18 ml per tahun). Bila pasien dapat menghentikan
merokok, maka penurunan FEV1 yang drastis ini dapat dicegah seperti penurunan normal
orang yang tidak merokok.1
Komplikasi
Kor Pulmonal.
Kor pulmonal disebabkan oleh peningkatan tekanan darah di arteri paru-paru, pembuluh yang
membawa darah dari jantung ke paru-paru. Hal ini menyebabkan pembesaran dan kegagalan
berikutnya dari sisi kanan jantung. 5
Eksaserbasi akut PPOK.
28
Secara sederhana, eksaserbasi dapat didefinisikan sebagai memburuknya gejala PPOK.
Banyak orang dengan PPOK menderita beberapa episode eksaserbasi akut tahun, sering
menyebabkan rawat inap meningkat, kegagalan pernapasan dan bahkan kematian. 5,6
Hipertensi paru.
Hipertensi paru terjadi ketika ada abnormal tekanan tinggi dalam pembuluh darah paru-paru.
Normalnya, darah mengalir dari jantung melewati paru-paru, di mana sel-sel darah
mengambil oksigen dan mengirimkannya ke tubuh. Pada hipertensi paru, arteri paru menebal.
Ini berarti darah kurang mampu mengalir melalui pembuluh darah. 5,6
Pneumotoraks.
Pneumotoraks didefinisikan sebagai akumulasi udara atau gas di ruang antara paru dan
dinding dada. Pneumotoraks terjadi karena lubang yang berkembang di paru-paru, yang
memungkinkan udara untuk melarikan diri dalam ruang di sekitar paru-paru, menyebabkan
paru-paru untuk sebagian atau seluruhnya runtuh. Orang yang memiliki PPOK berada pada
risiko lebih besar untuk pneumotoraks karena struktur paru-paru mereka lemah dan rentan
terhadap perkembangan spontan dari jenis lubang. 5,6
Polisitemia sekunder.
Polisitemia sekunder diperoleh dari kelainan langka yang ditandai oleh kelebihan produksi
sel darah merah dalam darah. Ketika terlalu banyak sel darah merah yang diproduksi, darah
menjadi tebal, menghalangi perjalanan melalui pembuluh darah kecil. Pada pasien dengan
COPD, polisitemia sekunder dapat terjadi sebagai tubuh mencoba untuk mengkompensasi
penurunan jumlah oksigen dalam darah. 9
Kegagalan pernafasan.
Kegagalan pernapasan terjadi ketika paru-paru tidak dapat berhasil mengekstrak oksigen
yang cukup dan / atau menghapus karbon dioksida dari tubuh. Kegagalan pernapasan dapat
disebabkan oleh sejumlah alasan, termasuk PPOK atau pneumonia.5,6
Prognosis
29
Prognosis penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti merokok, penurunan fungsi paru
akan lebih cepat daripada bila pasien berhenti merokok. Terapi oksigen jangka panjang
merupakan satu-satunya terapi yang terbukti memperbaiki angka harapan hidup.2 Pada
eksaserbasi akut, prognosis baik dengan terapi.1 Bila FEV1 1,4 liter dapat hidup selama 10 tahun,
semakin kecil FEV1 masa hidup semakin pendek. Bentuk bronkitis kronis asmatika lebih baik
daripada bentuk empisematous.11
Kesimpulan
Pada skenario ini, pasien didiagnosa menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
(PPOK) adalah penyakit obstruksi jalan napas karena bronkitis kronik atau emfisema. Obstruktif
tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat
reversibel.Ada berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya PPOK yaitu kebiasaan merokok
polusi udara, paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja, riwayat infeksi saluran napas
dan bersifat genetik yaitu defisiensi α-1 antitripsin. Penatalaksanaannya bisa diberikan antibiotik,
terapi oksigen, bronkodilator dan sebagainya. Kita dapat melakukan berbagai hal untuk
mencegah atau menghindari penyakit ini yaitu menghindari polusi udara baik di luar maupun di
dalam ruangan, asap rokok, dan mengurangi paparan dari pekerjaan yang meningkatkan resiko
terkena penyakit paru obstruktif kronik.
30
Daftar Pustaka
1. Sudoyo Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid I. Jakarta: EGC; 2007. h.18
2. Bickley S. Lynn. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5.
Jakarta: EGC; 2008. Hal 15.
3. Davey Patrick. Medicine at glance. Jakarta; Penerbit Erlangga; 2005. h.181-183.
4. Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rkhmi, Wardhani Ika Wahyu, Seiowulan
Wiiwiek. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FK UI;
2007. Hal 472-476, 480-483.
5. Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta : EGC,2009.h. 120-5
6. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a glance sistem respirasi. Jakarta :
Penerbit Erlangga, 2007.h.59
7. Vinay K, Abbas KA, Fausto N. Dasar patologis penyakit. Edisi ke-
7.Jakarta:EGC,2010.h.737-45.
8. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC, 2009.h.533-4, 537, 565-75
9. Valentina B. Aplikasi Klinis Patofisiologis. Ed.2. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.
10. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit : pengantar menuju kedokteran klinis. Ed
5. Jakarta : EGC, 2010.h. 252-60
11. Halim-Mubin A. Panduan praktis ilmu penyakit dalam: diagnosis dan terapi. Jakarta:
EGC; 2001. h.201-03.
31