pbl blok 14 muskuloskeletal 2
DESCRIPTION
About muskulosceletal system pathologyTRANSCRIPT
PENANGANAN FRAKTUR DISTAL FEMUR
DAN TERAPI YANG DIBERIKAN
Andy Santoso Hioe
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no.6 - Jakarta Barat
e-mail: [email protected]
Pendahuluan
Dewasa ini, tingkat kecelakaan kendaraan bermotor di Indonesia meningkat. Karena dituntut
untuk menandingi kecepatan globalisasi yang ada, masyarakat menjadi tidak memikirkan
keselamatan mereka saat di jalan raya. Salah satu akibat dari kelalaian keselamatan lalu lintas
adalah fraktur distal femur. Fraktur distal femur merupakan fraktur yang terjadi pada
sepertiga panjang tulang paha, dapat bersifat terbuka ataupun tertutup. Sebagai dokter umum,
penanganan terhadap fraktur harus dikuasai. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk
menjelaskan fraktur distal femur dari penyebab sampai penanganan yang ada. Dalam tinjauan
pustaka ini, penulis menjelaskan mekanisme fraktur, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
diperlukan, diagnosis, penatalaksanaan, epidemiologi, prognosis, dan komplikasi fraktur
distal femur.
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien.
Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri yang disebut Auto Anamnesa apabila
pasien dalam kondisi sadar dan baik, bisa juga melalui keluarga terdekat atau orang yang
bersama pasien selama ia sakit apabila pasien dalam kondisi tidak sadar atau kesulitan
berbicara disebut dengan Allo Anamnesa.1
Dengan dilakukanya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Sedangkan
30%nya lagi didapatkan dari pemeriksaan fisik, lab, dan radiologi (kalau diperlukan). Hal
yang perlu ditanyakan dokter pada saat anamnesis antara lain:1
1
Keluhan utama yakni gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan
penderita sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan
pertolongan serta menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. Hal ini
merupakan dasar untuk memulai evaluasi pasien.
Riwayat pribadi merupakan segala hal yang menyangkut pribadi pasien seperti
data diri pasien seperti nama, tanggal lahir, umur, alamat, suku, agama, dan
pendidikan.
Riwayat sosial mencakup keterangan mengenai pekerjaan, aktivitas, perkawinan,
lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain.
Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah di derita
pasien pada masa lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang
dialami sekarang.
Riwayat keluarga meliputi segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter
dan kontak antara anggota keluarga mengenai penyakit yang dialami.
Pada riwayat penyakit sekarang dapat menanyakan mengenai:
sejak kapan muncul gangguan atau gejala-gejala tersebut
frekuensi serangan atau kualitas penyakit
sifat serangan atau kuantitas penyakit
lamanya penyakit tersebut diderita
perjalanan penyakitnya, riwayat pengobatan sebelumnya
lokasi sakitnya
akibat yang timbul
gejala-gejala yang berhubungan
Mendapatkan anamnesis pasien yang cermat dan lengkap dapat menyediakan
informasi yang berguna untuk memulai daftar diagnosis diferensial sebelum melakukan
pemeriksaan radiologis. Anamnesis harus memberikan spesifikasi mekanisme luka,
mendapatkan informasi mengenai keparahan tenaga yang didapat, dan memperingatkan para
dokter pada luka asosiasi, penyakit, atau problem yang relevan secara medik. Ketika
anamnesis yang akurat mungkin susah atau tidak mungkin didapatkan pada pasies yang
terluka dengan hebat, detail yang lebih selalu dapat dilihat dan direkonfirmasi saat pasien
membaik atau informasi lebih dapat diperoleh. Anamnesis mungkin membantu dalam
menangani fraktur terbuka dengan tersedianya informasi sebagai berikut: identifikasi sumber
dan tingkat kontaminasi; waktu yang berlalu dari terjadinya trauma dan, mempertanyakan
tulang yang menonjol apakah karena luka ekstremitas atau tidak.2
2
Anamnesis tidak konsisten dengan tingkat keparahan luka menandakan apakah fraktur
merupakan fraktur patologis atau kemungkinan terjadi kekerasan. Anak yang normal,
terutama dibawah 2 tahun, tidak boleh patah femurnya ketika bermain atau dengan kasar,
oleh teman atau orang tua. Pasien yang lebih tua secara normal tidak akan mendapatkan
fraktur femur ketika berbalik saat berbaring. Meskipun fraktur patologis dapat dicurigai pada
pasien dengan penyakit metabolik yang parah dan dapat didahului oleh nyeri lokal, fraktur
dapat terjadi dalam pasien yang benar-benar asimtomatik. Pada anak-anak muda, fraktur
multiple dalam berbagai tingkat penyembuhan merupakan patognomonik pada kekerasan
anak, diagnosis dan penanganan yang tepat dapat menyelamatkan jiwa. Laporan nyeri dan
terganggunya fungsi dari sebuah ekstremitas membutuhkan evaluasi yang teliti untuk
mengeluarkan fraktur atau luka pada sendi, saraf, otot, atau struktur vaskuler.2
Pemeriksaan Fisik
Awalnya, aspek terpenting yang harus diperiksa adalah status neurovascular pasien.
Periksa denyut nadi dan pengisisan kapiler, serta sensasi dan kisaran gerak aktif dan pasif
pada ekstremitas (jangan lakukan kisaran gerak pasif pada sendi lutut kecuali jika telah
tercapai fiksasi rigid yang aboslut). Lihat pula apakah ada pembengkakan dan deformitas,
meskipun pembengakakan muncul belakangan terutama pada pasien dengan syok
hipovolemik. Reduksi dan pemasangan splint secepatnya dapat mengurangi rasa nyeri dan
kehilangan darah, dan sering mengembalikan sirkulasi darah pada ekstremitas bawah. Dapat
pula terjadi dislokasi sendi lutut pada fraktur distal femur. Luka intra-artikuler biasanya
menyebabkan hemartrosis kalau kapsula sendi terganggu, dimana dalam kasus ini bengkak
jaringan lunak yang lebih difus terdapat di sekitar sendi. Instabilitas atau gerakan abnormal
ketika meregangkan sendi mungkin sukar untuk didapatkan jika daerah tersebut lunak, tetapi
hal ini penting dan berguna dalam pasien yang dianestesi. Relokasi segera sendi yang
terdislokasi diperlukan terutama ketika terdapat gangguan sirkulasi.3,4
Periksa kompartemen ekstremitas bawah mengenai kekenyalan dan pantau tekanan
kompartemen jika terdapat kecurigaan sindrom kompartemen. Gangguan fungsi sensoris dan
motorik tidak terjadi secara langsung dan berhubungan dengan nekrosis kompartemen. Khas
dari sindrom kompartemen berkembang beberapa jam atau lebih setelah kecelakaan, sebelum
atau sesudah penaganan dimulai, dan dapat bergantung pada bidai atau balutan yang terlalu
ketat yang mengakibatkan bengkak pada ekstremitas. Pelepasan segera balutan dapat menjadi
informasi diagnosis bahkan dapat bersifat terapeutik. Intra-compartmental monitoring
3
dengan garis arterial dapat membantu pada pasien yang tidak sadar. Pada pasien yang sadar,
nyeri terus-menerus dan kaki yang membengkak dank eras harus diasumsikan sebagai
sindrom kompartemen. Pasien yang diduga mengalami sindrom kompartemen harus segera
dibawa ke ruang operasi untuk dilakukan fasciotomi pada semua kompartemen. Tidak
dianjurkan untuk memotong hanya sebagian kompartemen.3,4
Status neurovaskular mungkin susah untuk dinilai secara klinik pada pasien terluka
parah. Oleh karena itu, kecurigaan yang tinggi harus diperlukan dalam penilaian ini.
Pengisian kapiler buka bukti yang adekuat secara klinik pada cabang vaskuler proksimal yang
utuh. Denyut nadi distal dapat terjadi setelah luka arterial yang signifikan. Mungkin luka
arterial yang paling dapat dikenali pada ekstremitas bawah adalah arteri poplitea yang
berhubungan dengan dislokasi lutut atau fraktur periartikuler. Thrombosis yang terjadi
kemudian sebagai permulaan luka nonoklusif dapat berakibat kehilangan ekstremitas.
Penilaian denyut nadi ekstremitas bawah berkali-kali dibutuhkan untuk beberapa pasien.
Perubahan apapun pada denyut nadi ekstremitas bawah diperlukan penilaian, setidaknya
dengan pengukuran tekanan Doppler. Pengukuran tekanan darah sistolik sendi pergelangan
kaki merupakan hal penting dalam pemeriksaan fisik. Tekanan dibawah 90% dari tangan atau
kaki yang bersebelahan memerlukan penanganan yang lebih dari seorang dokter bedah
vascular. Pewarnaan Doppler atau arteriografi kontras dapat dilakukan bila nadi berkurang,
tetapi tanpa harus menunda konsultasi kepada ahli bedah. Faktor risiko kehilangan kaki
adalah keterlambatan operasi, kontusio arteri dengan trombosis yang berurutan, dan yang
paling bahaya adalah gagalnya revaskularisasi.3,4
Status neurologik ekstremitas harus dicatat sebelum penanganan definitif apapun, jika
dimungkinkan. Pemeriksaan neurologik, seperti pemeriksaan vaskuler, mungkin sukar untuk
didapatkan pada pasien yang mengalami luka parah. Stocking hypoesthesia mungkin
disebabkan iskemia akut, luka saraf langsung, atau mekanisme psikogenik. Tak adanya
sensasi yang terbatas pada area sensoris terisolasi susunan saraf tepi menandakan luka pada
saraf tersebut. Gangguan fungsi motorik mungkin disebabkan oleh nyeri dan instabilitas, luka
saraf tepi, luka sumsum tulang belakang. Luka saraf tepi berasosiasi dengan beberapa luka
ekstremitas bawah. Dislokasi posterior tungkai dapat melukai saraf siatik, lebih sering karena
komponen peronealnya. Dislokasi sendi lutut atau luka yang sebanding dapat melukai nervus
peroneus communis dan/atau nervus tibialis pada fossa popliteal, tanda yang mungkin
berhubungan pada luka arterial. Tekanan dari pembalut dapat juga melukai nervus peroneus
karena nervus ini melingkari collum fibula pada lutut.3
4
Selain itu, periksa ada-tidaknya eritema atau secret pada luka yang dapat
menunjukkan adanya infeksi. Jika terdapat edema, pasien harus diinstruksikan untuk
mengelevasikan ekstremitasnya.3,4
Bila pasien datang setelah dua minggu terjadi fraktur periksa luka untuk menilai ada-
tidaknya eritema atau secret, dan angkat staples atau benang. Evaluasi ada-tidaknya krepitasi,
atau varus/valgus, atau angulasi sagittal, yang menunjukkan adanya kehilangan fiksasi.
Periksa sensasi, denyut nadi, dan pengisian kapiler, terutama jika ada gangguan
neurovaskular sebelumnya.3
Untuk empat sampai delapan minggu periksa ada-tidaknya eritema atau secret pada
luka yang menunjukkan adanya infeksi. Evaluasi ada-tidaknya krepitasi atau deformitas
angular.3,4
Dalam delapan sampai dua belas minggu periksa luka untuk menilai ada-tidaknya
eritema atau secret, dan tungkai untuk menilai alignment atau deformitas angular. Dalam dua
belas sampai enam belas minggu periksa kesegarisan dan deformitas angular tungkai. Periksa
luka untuk menilai ada-tidaknya eritema atau sekret.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada seseorang yang mengalami fraktur
femur distal adalah pemeriksaan radiologi berupa X-ray, CT scan dan MRI.3,5
Bila secara klinis ada atau diduga ada fraktur, maka harus dibuat 2 foto tulang yang
bersangkutan. Sebaiknya dibuat foto antero-posterior dan lateral. Bila kedua proyeksi ini
tidak dapat dibuat karena keadaan pasien yang tidak memungkinkan, maka dibuat 2 proyeksi
yang tegak lurus satu sama lain. Perlu diingat bahwa bila hanya satu proyeksi yang dibuat,
ada kemungkinan fraktur tidak dapat dilihat. Adakalanya diperlukan proyeksi khusus,
misalnya proyeksi aksial, bila ada fraktur pada femur proksimal.5
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan radiologi adalah lokasi fraktur,
tipe fraktur dan kedudukan fragmen, struktur tulang (normal atau patologis), adanya
dislokasi atau fraktur epifisis bila dekat dengan persendian, adanya pelebaran sela sendi
karena efusi ke dalam rongga sendi. Pemeriksaan radiologi selanjutnya adalah untuk kontrol
a) segera setelah reposisi untuk menilai kedudukan fragmen. Bila dilakukan reposisi terbuka
5
perlu diperhatikan kedudukan pen intramedular (kadang-kadang pen menembus tulang), plate
dan screw, b) pemeriksaan periodik untuk menilai penyebuhan fraktur.5
Pemeriksaan radiologi dalam fraktur femur distal adalah untuk melihat adanya varus-
valgus, dan alignment (kesegarisan) rotasional pada tempat fraktur, serta bandingkan dengan
lutut sehat. Periksa juga adanya dislokasi atau hilangnya fiksasi. Karena fraktur femur distal
umumnya melibatkan daerah metafisis, tempat yang mempunyai suplai darah yang baik,
penyembuhan fraktur biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama setelah cedera. Intepretasi dari
gambaran radiologi tersebut berada dalam kurun waktu saat cedera sampai satu minggu
setelahnya.5
Saat mencapai dua minggu, pemeriksaan radiologi digunakan untuk menilai
kesegarisan pada tempat fraktur. Terutama, bandingkan antara lutut yang sakit dengan lutut
yang sehat untuk menilai alignment varus-valgus, serta deformitas rotasional. Diperiksa pula
ada tidaknya dislokasi atau hilangnya fiksasi.3
Untuk empat sampai delapan minggu dilihat adanya alignment dan kalus pada tempat
fraktur. Pembentukan kalus pada pemasangan alat fiksasi rigid menandakan hilangnya fiksasi
rigid sehingga tidak terjadi penyembuhan tulang secara primer. Bandingkan alignment varus-
valgus, serta deformitas rotasional antara fraktur dan lutut yang sehat. Periksa juga ada-
tidaknya dislokasi atau kehilangan fiksasi.3
Dua belas sampai enam belas minggu dapat dilacak adanya alignment dan kalus pada
tempat fraktur; secara khusus, bandingkan dengan lutut yang sehat mengenai kesegarisan
varus dan valgus, serta ada-tidaknya deformitas rotasional. Periksa juga adanya dislokasi atau
kehilangan fiksasi yang adekuat. Bila tidak ada kalus yang terlihat dan garis fraktur tidak
menghilang, pasien mengalami delayed union atau non-union.3
Diagnosis
Working Diagnosis
Fraktur Distal Femur
Fraktur distal femur melibatkan aspek distal atau metafisis femur. Daerah ini
mencakup 8-15 cm bagian distal femur. Fraktur ini sering melibatkan sendi.3
6
Sistem klasifikasi AO yang diperbaharui oleh Muller diterima secara luas. Sistem ini
mencakup pembagian fraktur menjadi ekstra-artikular (tipe A), unikondilar (tipe B), dan
bikondilar (tipe C). klasifikasi ini kemudian dibagi lagi menjadi 3 subtipe pada masing-
masing kelompok.derajat keparahan fraktur semakin meningkat dan prognosisnya semakin
buruk sejalan dengan peningkatan tipe dari A ke C, juga 1-3.3
Pasien dengan fraktur distal femur mengalami pembengkakan jaringan lunak sekitar,
kekenyalan, dan deformitas pada daerah bagian distal paha dan lutut. Kulit harus diinspeksi
untuk kemungkinan adanya fraktur terbuka. Meskipun luka arterial di daerah ini jarang
terjadi daripada fraktur proksimal tibia, diperlukan pemeriksaan neurovascular secara cermat.
Hadirnya dan kuatnya denyut nadi kaki dan fungsi dari nervus peroneus communis dan
nervus tibialis posterior harus diperiksa. Penggunaan ultrasonografi Doppler dapat
mengarahkan penilaian sirkulasi pada tungkai. Nervus peroneus lebih dimungkinkan untuk
mengalami luka karena fraktur distal femur daripada nervus tibialis posterior. Nervus
peroneus mungkin rusak karena gaya langsung dari sisi posterolateral lutut (disebabkan oleh
hantaman bemper mobil) atau dari luka peregangan yang mengenai saraf ini saat fraktur
mengalami angulasi dan displacement. Evaluasi ekstremitas bawah terus-menerus sangat
penting saat beberapa hari pertama setelah fraktur sehingga sindrom kompartemen yang
sedang berkembang dapat dideteksi. Tekanan kompartemen harus diukur jika tanda-tanda
klinis dan gejala dari sindrom kompartemen terjadi, meskipun adanya nadi yang utuh. Foto
radiologi posisi AP dan lateral pada ujung distal femur dapat mengungkap fraktur. Dengan
kemungkinan adanya fraktur pada beberapa tulang, radiografi terhadap seluruh tulang dapat
dilakukan, termasuk sendi yang berada di atas atau di bawah titik luka. Demikian, radiografi
seluruh femur, termasuk sendi panggul dan lutut, harus dilakukan ketika pasien dimulai untuk
dievaluasi.6
Differential Diagnosis
Fraktur Corpus Femur
Fraktur corpus femur merupakan fraktur diafisis femur yang tidak melibatkan daerah
articular atau metafisis. Fraktur ini disebabkan oleh trauma berenergi tinggi seperti
kecelakaan bermotor. Fraktur ini sering berhubungan dengan trauma jaringan lunak yang
berat dan pada saat yang bersamaan dapat terjadi luka terbuka.6
7
Trauma berenergi rendah dan gaya tak langsung juga dapat menyebabkan fraktur pada
manula yang tulangnya osteopenik atau melemah akibat tumor. Cedera tulang patologis
biasanya sebagai akibat gaya puntiran atau spiral dan jarang disertai cedera jaringan lunak.6
Pada pemeriksaan fisik harus dievaluasi dengan teliti keluhan nyeri, parestesia, dan
pembengkakan pada ekstremitas yang sakit, yang terjadi pada 1/3 tengah batang femur.
evaluasi untuk menilai ada-tidaknya neuropati, iskemia, atau hematoma paha yang bertambah
luas.6
Gradasi kekuatan gerakan otot kaki sebagai berikut:
1. dorsofleksi : nervus peroneus profundus
2. plantar fleksi : nerbus tibialis
3. ekstensi ibu jari : nervus peroneus profundus
4. eversi : nervus peroneus superficialis
5. inversi : nervus tibialis
Kekuatan gerakan tersebut mencerminkan fungsi pars tibialis dan pars peroneus n.
ischiadicus.3,6
Lalu, evaluasilah sensasi sebagai berikut:
1. n. peroneus superficialis : dorsum pedis
2. n. peroneus profundus : sela jari kaki digiti I dan II
3. n. suralis : batas lateral kaki
4. n. tibialis : aspek medial kaki-cabang plantar: telapak kaki.
Evaluasi kisaran gerak aktif dan pasif lutut dan sendi panggul. Serta bandingkan
kesegarisan tungkai yang diperbaiki dengan sisi yang sehat.3,6
Pemeriksaan penunjang dilakukan foto rontgen AP dan lateral seluruh femur untuk
melihat daerah mana yang mengalami fraktur.3,5,6
Etiologi & Mekanisme Kerja
Fraktur terjadi ketika kekuatan yang diterima tulang melebihi kekuatan tahanannya.
Pola fraktur berhubungan terhadap kekuatan tulang dan kekuatan yang menyebabkan fraktur.
Individu yang aktif dan muda mempunyai tulang yang kuat. Tulang anak-anak dapat
mengalami plastic deformation dan dapat bengkok tanpa patah. Pada orang tua yang
8
osteoporosis tentu saja mempunyai tulang yang lemah. Defek tulang fokal dapat melemahkan
tulang secara signifikan sehingga dapat terjadi fraktur patologis. Penyebab fraktur patologi
antara lain tumor, infeksi, atau dysplasia, dapat pula karena kondisi umum yang
menyebabkan kelemahan tulang parah, seperti osteoporosis.2,6
Banyaknya energi yang menghasilkan fraktur dinilai dari anamnesis pasien dan pola
fraktur. Remuk (adanya lebih dari dua fragmen fraktur) mengindikasikan luka berenergi
tinggi yang menghasilkan garis fraktur multiple. Pindahnya dan adanya kerusakan lokal
jaringan lunak juga merefleksikan banyak energi yang terserap. Fraktur spiral terjadi karena
gaya torsional tak langsung. Kerusakan jaringan lunak yang ringan umumnya ada, tetapi
fraktur spiral comminutiva yang parah dapat terjadi karena tenaga yang menyebabkan setiap
fragmen seolah-olah menjadi “misil internal” berkecepatan tinggi, menghasilkan kerusakan
yang signifikan pada jaringan sekitar.2,6
Fraktur distal femur paling sering disebabkan oleh gaya langsung ke sisi anterior atau
lateral paha atau jatuh dari ketinggian. Trauma langsung femur distal dapat terjadi dari
trauma kendaraan, jatuh dengan kaki terfleksi, atau saat aktivitas olahraga. Pada anak-anak
kurang dari 4 tahun, terutama yang kurang dari 1 tahun, berhubungan dengan kekerasan
terhadap anak. Kurangnya penjelasan yang beralasan dari luka tersebut, penundaan mencari
bantuan medis yang tak masuk akal, atau adanya luka tambahan membuat kekerasan terhadap
anak menjadi bukti kuat. Fraktur plastis berbentuk busur pada metafisis distal femur yang
telah digambarkan dapat pula menyerupai subluksasi kongenital lutut. Pada anak yang lebih
tua, fraktur dislokasi atau fraktur stress dapat terjadi. Pasien tersebut yang mengalami nyeri
lokal dan kekenyalan, dan radiografi membuktikan tulang periosteal baru. Kemungkinan dari
fraktur patologis dapat diasumsikan pada pasien ini. Fraktur distal femur juga dilaporkan
berasosiasi dengan beberapa kondisi musculoskeletal, seperti osteogenesis imperfecta, spinal
muscular atrophy, dan hemofilia.2,6
Trauma tak langsung disebabkan karena gaya varus/valgus atau
hiperekstensi/hiperfleksi; menghasilkan kompresi simultan terhadap satu aspek fisis dengan
distraksi ke yang lain. Yang paling khas, patah tulang Salter-Harris tipe 2 merupakan yang
tersering. Luka sekunder pada kelahiran sungsang atau arthrogryposis dapat menyebabkan
fraktur ini.2,6
9
Epidemiologi
Fraktur distal femur merupakan kejadian fraktur yang jarang terjadi. Data yang telah
diambil dari beberapa laporan menyebutkan bahwa pria lebih sering mengalami fraktur distal
femur, dengan kejadian penyebab fraktur terbanyak adalah jatuh dan kecelakaan lalu lintas.
Dilaporkan pula bahwa orang tua lebih sering mengalami fraktur, mungkin disebabkan
karena proses degeneratif yang menyebabkan berkurangnya BMD orang tua, seperti
osteoporosis. 2/3 dari kasus fraktur merupakan fraktur Salter-Harris tipe 2 dan terjadi pada
remaja.7
Penatalaksanaan
Medika Mentosa
Pasien dengan trauma ganda (termasuk luka pada kepala) membutuhkan analgesik,
dan pemberian ini tidak dapat ditunda oleh alasan apapun yang dapat membingungkan
penilaian pasien. Dalam memberikan analgesik, terdapat tiga faktor yang harus
dipertimbangkan:
1. Kondisi pasien dan apakah ia mempunyai alergi atau sedang berada dalam
pengobatan lain.
2. Rute pemberian obat, yang dapat menentukan kecepatan onset dan durasi aksi
obat tersebut
3. Efek dan efek samping obat tersebut.
Blok anestesi lokal berguna dan sering dilupakan dan dihindari karena risiko yang
terkadang lebih besar daripada efek pengobatannya, seperti depresi pernapasan pada
pemberian opioid. Ketika memberikan analgesik opioid secara sistemik, diharuskan untuk:
memperhatikan titrasi obat bila diberikan intravena, catat dosis dan waktu pemberian,
monitor perkembangan pasien dengan cermat, sediakan nalokson, dan sediakan alat bantu
respirasi.2,8
Banyak opioid yang diabsorbsi lemah secara oral karena harus melewati metabolisme
lintas pertama. Pada pasien trauma sebaiknya diberikan intravena dan dititrasi sampai
menimbulkan efek. Dosis tinggi sering dibutuhkan pada luka yang parah, dan terdapat
variabilitas yang luas dalam kebutuhan dosis setiap pasien- 20-30 mg i.v. morfin yang
10
dibutuhkan dalam dosis titrasi pada pasien usia muda dan sehat dengan luka parah. Analgesik
opioid yang dapat diberikan antara lain:
1. Morfin
Morfin merupakan opioid yang digunakan secara luas. Dosis permulaan intravena
yang diperbolehkan adalah 2,5-5 mg bergantung pada usia, ukuran dan kondisi
pasien, dengan tambahan 2-5 mg bila dibutukan. Morfin kurang lipofilik daripada
opioid yang lain, dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menembus
sawar darah-otak. Onset dari morfin baru terlihat sekitar 10-15 menit. Lepasnya
histamine sistemik dapat berkontribusi pada hipootensi sedang setelah pemberian
intravena. Pada pasien trauma dengan disfungsi hepar atau ginjal, efeknya
mungkin dapat beragregasi oleh akumulasi morfin atau metabolitnya dalam
pemakaian jangka panjang.2,8
2. Pethidine
Aksi dan efek samping dari pethidine serupa dengan morfin. Pethidine
mempunyai efek kolinergik, yang menyebabkan mulut kering dan takikardia.
Pethidine kurang memberikan efek sedasi dan miosis daripada morfin. 2,8
3. Fentanyl
Fentanyl merupakan opioid sintetik lipofilik. Mempunyai onset yang lebih cepat
daripada morfin ketiak diberikan intravena dan mempunyai aksi yang lebih
singkat. Mempunyai efek samping yang kurang lebih sama dengan morfin, tetapi
fentanyl kurang menyebabkan hipotensi dan tidak menyebabkan pelepasan
histamine. Fentanyl biasanya digunakan dalam konjungsi dengan agen
penginduksi-anestetik untuk membantu mengurangi respons hipertensif intubasi. 2,8
4. Nalbuphine
Nalbuphine merupakan agonis ƙ parsial dan µ antagonis. Dengan dosis lebih dari
30 mg tidak terdapat penambahan efek analgesik dan yang lebih penting, tidak
terdapat penambahan efek depresi pernapasan. 2,8
5. Kodein
Kodein merupakan opioid lemah yang lebih baik diserap secara oral daripada
morfin. Sekitar 10-20% kodein dimetabolisme menjadi morfin. Kurang
menyebabkan sedasi daripada morfin, dan mempunyai efek minimal pada respons
pupil.2,8
11
6. Tramadol
Tramadol merupakan agonis µ yang juga menginhibisi reuptake noradrenalin dan
serotonin pada spina chordalis. Dosis harian maksimum yang dianjurkan adalah
400 mg.2,8
Efek samping dari opioid antara lain depresi pusat pernapasan, mual, muntah, pusing,
gangguan mental (kesedihan, cemas, marah), disforia, pruritus, konstipasi, peningkatan
tekanan dalam saluran empedu, retensi urin dan hipotensi.6
Nalokson harus disediakan ketika opioid sedang digunakan. Jika nalokson diberikan
pada pasien yang secara mental tidak sadar karena overdosis opiate, respons nalokson tidak
akan terlihat kecuali diberikan dosis yang cukup besar. Dosis 2 mg atau lebih diperlukan pada
dewasa. Dosis bolus harus diberikan secara hati-hati, karena pelepasan opioid dapat
menghasilkan nyeri yang parah, hipertensi dan kejang. Jika diberikan untuk mengatasi efek
kelebihan obat, dosis 0,1-0,2 mg cukup adekuat, dan ideal untuk membalikkan kondisi dari
depresi pernapasan dan sedasi hebat tanpa mempengaruhi efek analgesik. Efek baru terlihat
saat 2-3 menit, dan durasi kerjanya 20-30 menit. Pasien sebelumnya harus diobservasi secara
saksama, mengingat efek opioid akan terjadi lagi bila efek nalokson telah habis, dan
pengulangan dosis atau infus mungkin diperlukan.2,6
Mual dan muntah merupakan efek samping umum dari opioid, dan antiemetic yang
dapat diberikan dengan opioid antara lain:2
Prochloperazine; 12,5 mg; i.m.
Cyclizine; 50 mg; i.v. atau i.m.
Metoclopramide; 10 mg; i.v. atau i.m.
Ondansetron; 4-8 mg; i.v. atau i.m.
Ketamine merupakan analgesik dan agen anestesi yang berguna, terutama dalam
departemen kegawatdaruratan. Menghasilkan keadaan dimana pasien dapat berbicara dan
bergerak, dan tetap membuka mata mereka, tetapi tak dapat mengingat kejadian tersebut.
Dalam dosis subanestetik, ketamine merupakan analgesik kuat dan dapat menyebabkan
stimulasi simpatetik yang menghasilkan takikardia dan hipertensi. Dengan pasien yang
hipovolemik, keadaan ini sangat membantu, mengingat ketamine tidak dapt menyebabkan
hipotensi seperti agen anestesi lain. Tetapi, ketamine mempunyai efek depresan miokardial
langsung, dan dapat menimbulkan hipotensi pada pasien yang syok hebat dan telah
dirangsang saraf simpatetiknya secara maksimal. Ketamine dapat pula mengakibatkan
hipotensi pada trauma berat saraf tulang belakang. Respirasi spontan biasanya dijaga oleh
12
ketamine, meskipun depresi pernapasan dapat terjadi. Ketamine menambah tonus otot pada
rahang bawah dan faring, sehingga reflex jalan nafas dapat terjadi dan ketamine mempunyai
efek bronkodilator. Secara umum, ketamine menyebabkan peningkatan aliran darah otak
yang menghasilkan penambahan tekanan intracranial pada pasien dengan trauma kepala, dan
menambah konsumsi oksigen otak. Pasien yang telah sadar dari efek ketamine mengalami
halusinasi, yang dapat dicegah dengan benzodiazepine dan biarkan pasien beristirahat dalam
ruangan yang tenang dan gelap. Untuk efek analgesik dibutuhkan 0,25-0,5 mg/kgBB i.v.2,6
Non medika mentosa
Gaya yang dihasilkan otot pada fragmen distal dapat mengakibatkan masalah dalam
mendapatkan dan mempertahankan kesegarisan yang tetap dari fraktur distal femur. Secara
umum, fragmen distal berpindah ke arah posterior, sering dengan adanya fleksi, karena
tarikan dari caput m. gastrocnemius. Jika garis fraktur berada pada proksimal insertion distal
m.adductor magnus, fragmen distal dapat pula mengalami angulasi menjadi posis varus.
Pilihan penanganan dari luka ini termasuk traksi diikuti dengan pembalutan hemi spica,
aplikasi cast brace, fiksasi eksternal, fiksasi pin perkutaneus diikuti dengan balutan tungkai,
ORIF, dan submuscular bridge plating.2,9
Osteosintesis dari fraktur distal femur telah menjadi tantangan tersendiri bagi para
praktisi karena tingkat risiko yang tinggi. Problem khas yang terdapat pada fraktur ini adalah
hilangnya fiksasi pada pada fragmen femur distal, terutama pada tulang yang mengalami
osteoporosis, oleh karena penggunaan implant konvensional, seperti condylar buttress plate.
Kedua plate osteosintesis konvensional bersamaan dengan prosedur intramedullary nailing
telah dihubungkan dengan tingginya tingkat hilangnya reduksi, malunion, nonunion, dan
infeksi secara primer dan sekunder. Temuan terbaru menunjukkan pendekatan biologis
dengan teknik invasive minimal yang berkaitan dengan perkembangan implant angular-
stable yang memungkinkan penempatan perkutaneus pada locking head screw yang
menghasilkan perkembangan yang baik. Termasuk didalamnya menambah tingkat penyatuan
tulang tanpa perlu adanya penambahan donor tulang dan mengurangi tingkat infeksi dan
menghilangkan reduksi oleh karena penggunaan teknik minimal-invasive atau less-invasive
locked plating atau retrograde intramedullary nails.9
Secara umum telah disetujui prinsip penaganan fraktur artikuler termasuk reduksi
anatomis dan fiksasi permukaan sendi, dengan fiksasi yang cukup stabil yang memungkinkan
pergerakan sendi aktif dan/atau pasif, dan penundaan penahanan berat sapai permukaan sendi
13
telah sembuh dan fraktur telah membaik. Implant klasik yang ditemukan oleh Maurice Muller
merupakan condylar blade plate yang menyediakan stabilitas yang cukup untuk
penyembuhan fraktur distal femur. Namun, pemasangan condylar blade plate merupakan
teknik yang sangat rumit sehingga akan gagal bila tidak dipasang dengan benar.9
Fraktur intraartikular parsial pada condylus femoralis biasanya ditangani dengan
teknik open reduction and internal fixation (ORIF), agar tercapai reduksi anatomis dari
fraktur pada permukaan sendi. Pada penggunaan teknik fiksasi retrograde intramedullary
nail, nail dimasukkan secara minimal-invasive melalui sendi lutut, melewati fossa
intercondylaris pada distal femur, dan melewati tempat fraktur. Fraktur pada permukaan
sendi harus direduksi dan difiksasi terlebih dahulu, dengan maksud untuk menghindari
dislokasi atau interferensi perkakas operasi saat nail dimasukkan dan dimasukkan locking
screw proksimal dan distal.9
Pada pengaplikasian traksi dan balutan, traksi digunakan pada ekstremitas bawah
untuk memperoleh reduksi tetap dari fraktur sampai kalus terbentuk agar kesegarisan dapat
dipertahankan secara aman pada gips hemi spica. Pada anak-anak, traksi kulit dapat
digunakan pada bagian bawah tungkai, tetapi traksi pin tulang lebih dipilih pada anak-anak
lebih dari 3 tahun.9
Traksi tulang dapat dilakukan melalui bagian proksimal tibia atau bagian distal femur.
Pin traksi tulang yang berupa K-wire atau pin Steinmann digunakan secara aseptik saat
anestesi lokal atau umum. Bila tibia proksimal yang dipilih, pin harus dimasukkan dengan
arah lateral ke medial untuk meminimalisasi luka nervus peroneus. Jika dipilih distal femur,
pin harus dimasukkan secara medial ke lateral untuk mengurangi risiko luka arteri femoralis
pada bagian kanalis adduktorius. Karena terdapat gaya otot yang khas, traksi tunggal tidak
dapat menahan kesegarisan secara adekuat. Traksi pin-berganda biasanya sering digunakan.
Pin tibia proksimal dapat digunakan untuk traksi longitudinal, tetapi perlu pula dimasukkan
pin kedua ke dalam distal femur untuk menyediakan gaya ke anterior untuk mendapatkan
posisi lateral yang diinginkan. Sama pula jika fragmen distal femur cukup panjang, dua pin
dapat dimasukkan pada fragmen femur proksimal. Meskipun traksi dua pin dapat
menyediakan kontrol bidang sagittal yang memuaskan, perlunya mempertahankan sendi
panggul dan lutut tetap dapat fleksi pada traksi 90/90 membuat kesukaran dalam menetukan
secara akurat apakah posisi varus atau valgus yang terjadi. Jika kalus pertama telah terbentuk
dan kesegarisan bidang agital memuaskan, lutut dapat diluruskan secara perlahan; foto lateral
14
dapat diambil untuk memastikan kesegarisan bidang sagittal terjaga. Dengan lutut yang
berada pada posisi lebih ekstensif, posisi varus atau valgus dapat dikoreksi ketika gip hemi
spica digunakan, saat kalus masih lunak.9
Durasi imobilisasi beragam bergantung pada umur pasien; semakin muda umur pasien
semakin cepat penyembuhannya. Setelah pelepasan balutan, rehabilitasi dimulai untuk
menguatkan m. quadriceps femoris dan hamstring. Penahanan berat badan dapat ditoleransi,
tetapi alat penyokong diperlukan untuk menjaga sampai gerakan lutut dan kekuatan otot paha
adekuat. Diperbolehkan untuk kembali ke aktivitas regular setelah m. quadriceps femoris
telah kembali kuat dan pergerakan penuh dari sendi lutut tercapai.9
Cast brace dapat digunakan setelah periode permulaan traksi pada remaja dengan
fraktur yang tidak mempunyai angulasi eksesif posterior. Penggunaan cast brace dapat
memberikan kesempatan untuk ambulasi lebih cepat dan menghindari kekakuan sendi lutut
dan atrofi otot yang terjadi pada imobilisasi hemi spica.9
Pada teknik yang dijelaskan oleh Gross dan kawan-kawan, pin Steinmaan besar
dimasukkan ke dalam ujung distal femur dengan pasien berada dalam keadaan anestesi
umum. Pin harus dilapisi dengan cast padding, dan cylinder cast dimasukkan dengan hati-hati
pada tempat fraktur untuk menghindari angulasi varus. Bila radiografi menunjukkan reduksi
telah tercapai, plaster elliptical dilepas dari bagian posterior lutut.9
Secara umum, cast braces untuk penanganan fraktur femur telah jarang digunakan.
Meskipun metode lain lebih canggih daripada metode cast brace, beberapa praktisi masih
menganggap metode ini lebih baik untuk fraktur distal femur. 9
Prognosis
Prognosis dari fraktur distal femur bergantung terhadap penanganan yang dilakukan
serta tipe fraktur yang dialami. Jika penaganan dilakukan segera secara tepat, maka tingkat
kesembuhan akan besar. Risiko terjadinya sindrom kompartemen dapat diatasi dengan
melakukan tinjauan terus-menerus pada pasien setelah penanganan trauma diberikan. Secara
umum, dengan penanganan yang tepat prognosis dari fraktur ini baik.2,9,10
15
Komplikasi
Komplikasi umumnya terjadi pada fraktur distal femur adalah delayed-union,
malunion, nonunion, luka pada pembuluh popliteal dan nervus perineus communis, kaku
lutut, vena thrombosis dalam, infeksi, kegagalan implant, dan lain-lain.2,9,10
Diagnosis nonunion dibuat ketika terjadi kegagalan dalam penyembuhan komplit
dalam waktu enam sampai sembilan bulan diikuti dengan pengobatan fraktur definitif.
Fraktur mempunyai perbedaan perkiraan waktu penyembuhan bergantung pada tempat dan
tipe fraktur. Fraktur femur lebih cepat sembuh daripada fraktur tibia. Nonunion menjadi lebih
rumit jika terdapat kehilangan tulang (bone loss), malalignment yang signifikan, atau infeksi.
Terapi untuk memperoleh kesatuan kembali tulang-tulang membutuhkan waktu dua sampai 5
tahun dan banyak tindakan operasi.2,9,10
Nonunion digolongkan menjadi bersifat hipertrofi, normotrofi, dan atrofi. Perbedaan
ini kritikal karena mendeskripsikan penyebab pokok dari nonunion dan pemilihan
penanganan yang tepat. Nonunion hipertrofi merupakan fraktur yang telah gagal sembuh
karena adanya suplai darah lokal yang baik dan pembentukan kalus yang nyata. Stabilisasi
mekanik sendiri biasanya dapat menggabungkan tulang-tulang tersebut dalam situasi tersebut.
Nonunion normotrofik menunjukkan pembentukan kalus minimal tetapi tanpa resorpsi
tulang. Kondisi ini memerlukan stabilisasi mekanik dan lokal autogenous bone graft.
Nonunion atrofik menunjukkan sedikit atau tidak adanya pembentukan kalus dan terdapat
resopsi tulang lokal. Nonunion atrofik mempunyai suplai darah lokal yang kurang dan akan
membutuhkan stabilisasi mekanik rigid, bone graft lokal, dan dalam banyak kasus reseksi
tulang yang mati dan dilapisis penutup. Jika reseksi tulang signifikan, distraksi osteogenesis
dengan cincin atau fiksator transport eksternal monolateral (monolateral transport external
fixator) akan dibutuhkan. Jika deformitas masih ada dengan fraktur nonunion, kedua problem
harus ditangani secara simultan, jika memungkinkan.2,9,10
Malunion meliputi pemendekan (shortening), angulasi, dan/atau malrotasi yang
mengikuti fraktur. Ketika jumlah shortening dapat ditoleransi dengan baik, shortening lebih
dari 2 cm membutuhkan sepatu yang dimodifikasi untuk menyamai panjang kaki.
Pemanjangan tungkai elektif, pemendekan ekstremitas kontralateral, bahkan amputasi
merupakan alternative operasi untuk mendapatkan panjang kaki yang sama. Bermacam
teknik tersedia menggunakan fiksator eksternal atau specialized lengthening intramedullary
nails untuk memperoleh panjang tungkai yang sesuai.2,9,10
16
Deformitas angular dan rotasional dapat ditoleransi lebih baik pada femur daripada
tibia. Deformitas varus atau valgus mungkin tidak dapat diterima secara kosmetik dan dapat
menyebabkan gejala pada lutut dan pergelangan kaki yang harus dilakukan osteotomy
korektif. Deformitas signifikan dapat juga menjadi osteoarthritis progresif dari pengisian
asimetrik sendi.2,9,10
Penutup
Fraktur distal femur merupakan fraktur yang terjadi pada sepertiga distal femur.
Tanda-tanda dari fraktur distal femur adalah nyeri pada sepertiga distal femur diikuti dengan
kekakuan. Analgesik opioid diberikan pada pasien fraktur untuk mengurangi rasa sakit yang
tak tertahankan. Prognosis bergantung pada tipe fraktur dan penaganan yang tepat dari fraktur
tersebut. Komplikasi dari fraktur femur adalah malunion, naonunion, dan deformitas angular.
Daftar Pustaka
1. Santoso M. Peemriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan
Diabetes Indonesia; 2004. h. 2-3
2. Greaves I, Porter K, Garner J. editor. Trauma care manual. CRC Press. 2008. p.
237-45
3. Mahode AA, Halim MJ, Bourman V, et al. editor. Terapi dan rehabilitasi medik.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011. h. 290-321
4. Dwijayanthi L, Novrianti A, Karolina S. editor. Buku ajar pemeriksaan fisik dan
riwayat kesehatan bates. Ed. 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. h.
487-526
5. Rasad S. Radiologi diagnostic. Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2005. h. 31-61
6. Rockwood CA, Green DP. Rockwood & green’s fracture in adults. USA:
Lippincot Williams & Wilkins. 2010. p. 201-15
7. Ebnezar J. Textbook of orthopedics. 4th ed. India: Jaypee Brothers Medical
Publishers. 2010. P. 236-8
8. Gutstein HB, Akil H. Analgesik Opioid. Dalam: Tim Alih Bahasa Sekolah
Farmasi ITB. Translator. Goodman & gilman dasar farmakologi terapi. ed. 10.
vol. 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012. h. 553-95
9. Egol KA, Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of fracture. USA: Lippincott
William Wilkins. 2010. P. 200-15.
17
10. Feliciano DV, Mattox KL, Moore EE. Editors. Trauma. 6th ed. USA: The
Mcgraww-Hill Companies. 2008. p. 907-36
18