pariwisata internasional dan ekonomi kreatif web view- media: penyiaran, media digital, film dan...
TRANSCRIPT
PARIWISATA INTERNASIONAL DAN EKONOMI KREATIF
diajukan untuk memenuhi tugas makalah kelompok mata kuliah
Pariwisata dalam Hubungan Internasional
Dosen Pengampu:
Drs. Usmar Salam, M.Int.Stu.
Disusun Oleh:
Imas Indra Hapsari 13/345339/SP/25553Muhammad Zaki T 13/349500/SP/25804Rifani Agnes 13/345260/SP/25530Brian Patrianoki 14/363157/SP/26049Anja Litani Ariella 14/364359/SP/26093Farras Khalida M 14/367544/SP/26423
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA2016
PARIWISATA INTERNASIONAL DAN EKONOMI KREATIF:
PARIWISATA, KREATIVITAS DAN PERKEMBANGAN
1. Pengelompokan Ekonomi, Pariwisata dan Industri Kreatif Di Plymouth
Mengembangkan Alat Praktis Untuk Penilaian Dampak
1.1 Budaya urban, industri kreatif dan pertumbuhan ekonomi
Budaya telah menjadi unsur yang semakin penting dalam strategi regenerasi, dan
demikian juga memiliki pengembangan cluster bisnis yang menguntungkan dari yang
terletak di perkotaan untuk menciptakan keunggulan kompetitif (Landry, 2000; Porter
1995) dan juga bertindak sebagai objek wisata yang menarik di pasar wisata.1 Bahan
disajikan dalam bab ini secara khusus berfokus pada hubungan dan interaksi antara
aspek-aspek yang terkandung dalam satu proyek regenerasi yang dilakukan Universitas
Plymouth untuk memimpin dalam proyek modal utama dikota Plymouth, hal ini
melibatkan penciptaan 'zona budaya' yang bertujuan untuk mengembangkan dan
mengintegrasikan industri kreatif dengan pendidikan tinggi.
Dimasa ini kita bergerak ke dalam suatu bingkai dunia yang saling berhubungan serta
pergerakan dari jaringan global dan arus orang, modal, komoditas dan pengetahuan
(Castells 1989, 2000)2, menjadikan batas-batas yang pernah ada antara ruang perkotaan
manufaktur dan perkotaan ruang konsumsi, wisata dan kantong-kantong pun mulai
perlahan menghilang. Perkotaan saat ini menawarkan sebuah kota yang mencampurkan
unsur sejarah dan modern, budaya dan konsumsi, yang mana menambahkan varian
pengalaman bagi wisatawan. Hal ini dilihat sebagai menambahkan ekstra 'nilai tambah'
dimensi kehidupan perkotaan. Sebagai catatan Hall, 'budaya sekarang dilihat sebagai
pengganti ajaib untuk semua yang hilang pabrik dan gudang, dan sebagai perangkat yang
akan membuat kota baru imaji, membuat kota lebih menarik untuk modal dan profesional
1 K.Meethan dan J. Beer ‘Economic clustering, tourism and the creative industries in Plymouth :Developing a practical tool for impact assessment’ dalam G.Richards & J.Wilson (ed) ‘Tourism, Creativity and Development’, Routledge, New York, 2007, p. 217.2 Meethan,pp.218.
1
pekerja (2000: 640).
1.2 Budaya, Industri Kreatif dan Pengelompokkan Ekonomi
Pengguanan istilah budaya sering kali disamaratakan untuk mendefinisikan dan
menggambarkan kegiatan sosial fisik dan bervariasi lazim di daerah manapun. Namun,
ada komponen yang semakin penting dalam struktur budaya make-up dari setiap lokasi
yakni peran dari orang-orang dan organisasi yang kegiatannya berkontribusi pada baik
ekonomi, serta memberikan kontribusi untuk kehidupan budaya. Salah satunya yaitu
industri kreatif, yang ditandai dengan bentuk-bentuk khusus dari organisasi dan pola
yang mengandalkan jaringan yang luas, swadaya dan bekerja kolaborasi dan dengan
demikian cenderung mendukung hirarki datar dan kemitraan, dan akibatnya juga
didominasi oleh usaha mikro, wiraswasta dan pedagang tunggal. Dengan demikian,
sektor ini tumbuh subur pada inovasi, mobilitas dan fleksibilitas, ini merupakan inti dari
industri berbasis pengetahuan berkembang dan menciptakan nilai tambah dari hak
kekayaan intelektual.
Singkatnya, sektor ini menunjukkan banyak karakteristik dari ekonomi pengetahuan
Fordist pasca (Castells 1989). Industri kreatif juga merupakan pekerjaan yang menarik
dan populer pilihan bagi orang-orang muda, karena mereka memungkinkan ruang untuk
berekspresi, diera teknologi yang kian berkembang.
1.3 Pendidikan Tinggi di Regenerasi Dan Clustering
Peran seni di lembaga pendidikan tinggi (HEIs) di dalam kota belum banyak dibahas
dalam industri kreatif dan regenerasi perkotaan. Lembaga pendidikan tinggi juga besar
dan mahir dalam mengatur proyek untuk kegiatan budaya dan masyarakat budaya dalam
universitas baik aktif dalam mengembangkan hubungan dengan masyarakat setempat,
serta sering menjadi berperan dalam pengorganisasian festival budaya yang berfungsi
untuk memperkuat dan mempertahankan profil budaya mereka dan keterlibatan dan
masyarakat setempat.
2
1.4 Dan South West England: Ekonomi, Pariwisata dan Visi
Secara historis, ekonomi Plymouth telah sebagian besar tergantung pada sektor
pertahanan, tapi sementara pekerjaan pertahanan telah menurun jauh di dua dekade
terakhir, menjadikan Pymouth mengembangkan kotanya salah satunya dengan menjadi
kota 'non-resort' besar. Dengan ekonomi lokal didominasi oleh industri pertahanan,
khususnya galangan kapal angkatan laut, dan besar, sektor dominan publik lainnya,
pengusaha, Plymouth menghindari putaran pertama de-industrialisasi yang melanda dan
dikembangkan Barat sepanjang 1980-an. Oleh karena itu benar untuk mengatakan bahwa
kota telah tertinggal jauh di belakang dalam hal regenerasi dan reinvestasi, dibandingkan
dengan kota-kota lain dari perbandingan ukuran. Hal tersebut setidaknya karena
kurangnya kepemimpinan sipil dan tidak adanya salah satu kunci unsur yang dibutuhkan
untuk intervensi skala besar seperti: rencana strategis dan visi untuk kota. Sekarang kota
ini akhirnya terlibat dalam permainan regenerasi, Plymouth memiliki perencana utama
dipekerjakan untuk memproduksi Visi untuk Plymouth atau apa yang telah disebut
sebagai 'Mackay Vision' setelah arsitek utama (Mackay et al. 2004).
1.5 Membuat Zona Budaya
Untuk menunjukkan strategi dan visi bahwa Universitas Plymouth berusaha untuk
memimpin dalam proyek modal utama untuk memfasilitasi penciptaan zona budaya,
Universitas secara strategis menempatkan beberapa untuk mendukung perkembangan ini.
Pertama, lokasi fisik berdekatan dengan, dan mudah Akses dari pusat kota. Kedua,
keputusan untuk menutup kampus terpencil yang dan pindah staf dan mahasiswa ke situs
Plymouth, khususnya fakultas seni. Dan ketiga, komitmen baru ditemukan untuk
berkontribusi lebih kepada sosial dan kehidupan budaya kota, membuat investasi yang
substansial dalam seni baru bangunan yang tidak hanya akan memberikan ruang
mengajar, tetapi juga masyarakat seperti galeri, teater dan bioskop dan ruang inkubasi
untuk pengembangan kewirausahaan di sektor industri kreatif. Menyediakan bangunan
adalah satu hal, namun infrastruktur perlu dilengkapi dengan paket keseluruhan yang
menyediakan lebih dari fisik Kehadiran di kota itu sendiri. Zona Budaya di Plymouth
akan memaksimalkan dampak yang ada berbagai peluang yang saat ini hadir, dan itu akan
memberikan dampak yang besar dan katalis untuk inovasi, kreativitas dan perusahaan di
3
kota dan masyarakat sekitar. Singkatnya, media untuk manfaat jangka panjang dari
bangunan harus juga dilihat seiring dengan peran potensial sebagai katalis untuk
pengembangan dari Zona Budaya baru di Plymouth.
1.6 Mengembangkan alat praktis untuk penilaian dampak
Evans (2005a: 1) mencatat bahwa 'mengukur sosial, ekonomi dan lingkungan
dampak dikaitkan dengan unsur budaya di regenerasi daerah bermasalah 'dan bahwa'
bukti seberapa jauh unggulan dan utama budaya proyek berkontribusi untuk berbagai
tujuan regenerasi. . . terbatas'. Sebagai pentingnya kreativitas dan inovasi untuk
keberhasilan knowledge yang ekonomi berbasis menjadi lebih luas didirikan, itu akan
menjadi semakin penting dari pendidikan formal mampu menawarkan sepenuhnya
pendidikan kreatif dan budaya.3
Apa yang berbeda di sini untuk banyak contoh regenerasi (dalam Inggris Raya
setidaknya) adalah peran sentral bahwa Universitas bermain di pengembangan budaya.
Padahal ada sejumlah hasil 'lembut' yang perkembangan ini akan capai, seperti
meningkatkan profil kota dan bertindak sebagai pendorong investasi masuk lebih jauh,
niat tidak hanya untuk mensubsidi seni, tetapi untuk menciptakan hidup dan sukses secara
komersial klaster ekonomi yang akan memiliki manfaat nyata untuk kedua kota dan
wilayah.
2. Industri Kreatif dan Pariwisata di Negara Berkembang, Studi Kasus: Afrika Selatan
Konsep dari “industri kreatif” merepresentasikan “kategori yang cukup ‘baru’ dalam
diskursus akademis, kebijakan dan industri” Cunningham 2003:1. Konsep aslinya dapat
ditemukan dalam establishment Blair Labour Government dari Creative Industries Task Force
(CITF) pada 1997.
Menurut Department of Culture, Media, and Sport (1998) industri kreatif adalah aktivitas-
aktivitas yang berawal dari kreativitas individual, skill, dan bakat dan memiliki potensi terhadap
penyediaan lapangan kerja lintas generasi dan eksploitasi hak milik intelektual.
3 Meethan,pp.226.
4
Namun, batasan dari industri kreatif’ masih kabur.
Perkembangan ekonomi kreatif dan meningkatnya rasa optimis terhadap distrik-distrik kultural-
industrial sebagai pemicu pengembangan ekonomi lokal pada lokasi-lokasi tertentu, di atas kota-
kota kosmopolitan, tapi juga dalam konteks geografi lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, industri kreatif dan distrik kreatif telah menjadi pertimbangan
baru dalam ekonomi pinggiran dan politik kota. Inisiasi kebijakan untuk memelihara kategori
dari industri-industri kreatif telah diluncurkan oleh beberapa kota-kota termasuk Amsterdam,
Brisbane, Berline, Barcelona, Dublin, Helsinki, Manchester, Milan, Montreal, Tilburg, dan
Toronto.
Wu (2005:3) menyatakan bahwa untuk suatu tempat yang meng’host’ suatu konsentrasi yang
signifikan dari industri-industri kreatif ini akan menghasilkan pengaruh yang sangat luar biasa
menguntungkan, terutama terhadap potensi pertumbuhan lokal.
Secara umum, industri-industri kreatif sekarang ditambahkan pada daftar yang berbeda dari
‘leading edge’ atau ‘sektor-sektor pertumbuhan’ seperti jasa finansial, ICT atau teknologi tinggi,
yang memberi sinyal terhadap kekuatan dan potensi dari ekonomi lokal (Evans 2005b)
Pada level nasional, industri kreatif dari perancang mode (fashion) mulai diperhatikan di Inggris
dan Selandia Baru selama dekade 1990an. Perhatian yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini
diberikan pada perancang mode oleh awak media dan pemerintah nsional dalam kampanye
seperti “Cool Britannia’. Lebih lanjut, fashion juga memiliki tugas ganda dari pengembangan
ekonomi dan re-branding Selandia Baru sebagai bangsa yang kreatif dan berbakat (Bill 2005:7)
Menurut Musterd dan Deurloo (2006) dan Wu (2005), beberapa faktor yang mempengaruhi dari
kemunculan sektor-sektor kreatif yang dinamis adalah kapasitas inovasi dari penduduk lokal,
kemampuan untuk mengusahakan modal, peran dari institusi-institusi untuk proses mediasi
kolaborasi, dasar-dasar pengetahuan dan kemampuan yang baik, serta kebijakan-kebijakan
publik yang telah disasar. Evans (2005b:7) menambahkan bahwa signifikansi yang amat kuat
melekat pada pentingnya sinergi pengembangan antara industri kreatif dan sektor lain, termasuk
pariwisata.
5
Tujuan dari bab “Creative Industries and Tourism in the Developing World: The Example of
South Africa” ini adalah untuk memberikan penjelasan dari nexus antara industri kreatif dan
pariwisata dalam konteks negara berkembang dengan melihat rekor dari perkembangan terakhir
yang tercatat di Afrika Selatan sedari transisi demokrasi pada tahun 1994.
National level debates in South Africa: tourism and creative industries
Afrika Selatan merupakan contoh yang menarik dari kemunculan kepentingan kebijakan yang
membantu perkembangan sinergi potensial antara industri kreatif dan pariwisata. Hal ini
merupakan fenomena perubahan Afrika Selatan paska periode Apartheid. Bagi pemerintah
Afrika Selatan lewat Departemen Perdagangan dan Industri, industri kreatif dan pariwisata
merepresentasikan dua sektor dalam agenda penting kebijakan ekonomi.
The Shifting economic role of tourism in South Arica
Awal 1990an, mungkin bukan sebuah awal dekade akhir abad 20 yang diinginkan oleh Afrika
Selatan. Industri pariwisata negara paling selatan Benua Hitam ini ada dalam posisi krisis. Hal
ini dipicu oleh beberapa sebab seperti kurangnya investasi yang masuk, rendahnya angka turis
yang berkunjung, serta warisan sanksi dari kebijakan apartheid yang dahulu diterapkan. Oleh
Department of Environmental Affairs and Tourism (DEAT), ditemukan bahwa dibandingkan
dengan beberapa negara Afrika lainnya, pada 1994, pengembangan pariwisata di Afrika Selatan
merupakan suatu kesempatan yang terlewatkan. Karenanya, pemerintah kemudian membuat
suatu kerangka kebijakan baru lewat adanya White Paper on the Developmental and Promotion
of Tourism 1996 guna memaksimalkan kesempatan agar sektor pariwisata dapat berperan lebih
dalam pertumbuhan ekonomi, pembuatan lapangan kerja, serta pengembangan usaha. Pada tahun
2003, hal ini menjadi suatu pencapaian yang luar biasa, khususnya dalam tataran pertumbuhan
dari kedatangan turis-turis internasional. Lebih dari itu, DEAT diposisikan sebagai salah satu
departemen inti dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ini dikarenakan Afrika Selatan
dinilai sebagai salah satu destinasi wisata yang aman, terkait dengan beberapa aksi terorisme
yang terjadi antara tahun-tahun tersebut. Antara tahun 1990 hingga 2004, saham Afrika Selatan
dalam dunia kedatangan pariwisata meningkat empat kali lipat.
Paska era apartheid di Afrika Selatan, pariwisata dinilai sebagai sektor penting untuk
6
rekonstruksi nasional dan pengembangan dan salah satu sektor yang menawarkan potensi luar
biasa sebgai katalis untuk ekonomi dan perkembangan sosial di seluruh negara.
Data dari DEAT pada 2005 menyebutkan bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor strategis
yang memiliki prioritas tinggi dan digunakan untuk mengembangkan strategi baru untuk
pariwisata.
Intinya, pariwisata menjadi sektor andalan dari Afrika Selatan, bahkan menjadi ‘gold’ baru. Juga
dibentuk suatu kerangka kebijakan makro bertajuk Accelerated and Shared Growth – South
Africa (ASGI-SA) .
Diantara sumber potensial yang belum digunakan untuk inovasi dari produk pariwisata Afrika
Selatan adalah mengembangkan hubungan yang lebih kuat antara pariwisata dan industri kreatif.
Policy Interest concerning South African Creative Industries
Penggunaan kata “kota kreatif” baru diperkenalkan di Afrika Selatan oleh Dirsuweit dalam
pekerjaannya pada pengembangan budaya dan ekonomi di Johannesburg. Hingga 2005, industri
kreatif masih sangat jarang digunakan dalam debat kebijakan pada level nasional dalam
pengembangan ekonomi Afrika Selatan. Alasannya adalah bahwa industri kreatif di Afrika
Selatan adalah bagian yang paling least transformed.
Di Afrika Selatan sendiri, program mengenai industri kreatif masuk dalam Cultural Strategy
Group. Baik di tingkat nasional ataupun di level urban, sama-sama dimengerti bahwa pariwisata
itu sangat penting. Hal ini imbasnya pada meningkatnya perhatian pemerintah thd sektor industri
kreatif. Chapter ini ngambil contoh di Johannesburg. Johannesburg menarik wisatawan dengan
bisnis shopping utk wisatawan regional (karena disana banyak jual barang2 merek yg gak ada di
tempat afrika lainnya), dan jual juga wisata sejarahnya yg related to Apartheid.
Industri kreatif juga memainkan peran penting dan potensial ddalam kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi Johannesburg yg tertuang dalam Joburg 2030. Dimana, dalam dokumen
tersebut disebutkan bahwa pemerintah mensupport targeted strategic sectors dari urban economy.
Dan secara aktif akan mensupport industri kreatif.
The scoping study made a series of recommendations to Council for development of the sector.
7
The most significant recommendations were as follows:
• branding an image for Johannesburg’s creative industries so that additional demand is
generated; • addressing the chronic skills shortages in the sector; • enhancing networks and
alliances such that the capacity of the cluster is strengthened to rapidly respond to new demands;
• developing a strong business development infrastructure in terms of providing a business-
friendly foundation of physical space, telecommunications, policy support and funding
mechanisms; • dealing with the high levels of crime and urban decay in the inner city which act
as deterrents to tourists and the audiences of creative industries.
The City of Johannesburg’s creative industries consolidated sector support initiative was
announced by the Economic Development Unit in 2005 (City of Johannesburg 2005a). The
central goal is described as ‘to support both cultural workers with talent but limited institutional
support, as well as emerg ing companies with an entertainment industry focus’ (City of
Johannes burg 2005a).
Hal ini kemudian didukung dengan berbagai inisiatif.
Conclusion
Afrika Selatan menjadi contoh yang merepresentasikan tumbuhnya kepentingan dalam negara
berkembang terhadap potensi pengembangan industri kreatif. Secara lebih spesifik, hal ini
menyingkap pengakuan kebijakan dari pentingnya hubungan katalistik yang sinergis antara
industri kreatif dan pariwisata. Pada level nasional, industri kreatif dan pariwiasata diidentifikasi
sebagai prioritas dalam sektor ekonomi yang menuntut dukungan untuk memaksimalkan
potensinya di masa depan. Industri kreatif dan pariwisata juga memainkan peran penting dalam
level yang lebih kecil, seperti di beberapa kota besar Afrika Selatan, misalnya Johannesburg.
Yang perlu diingat adalah bahwa pengembangan industri kreatif dan pariwisata ini
membutuhkan pengawasan karena Afrika Selatan bisa jadi contoh yang baik untuk negara-
negara berkembang lainnya.
(Rogerson 2007)
8
Tambahan:
Bab 11.
Penelitian Florida (nama orang) mengatakan bahwa: But in the creative economy, according to
Florida, the creative class is ‘footloose’ and migrates to the cities where they want to live and
work.
Florida (2002: 249) calls these important conditions ‘the three Ts of econ omic development:
Technology, Talent and Tolerance’ (Figure 11.1). According to Florida, a city must fulfill all
three conditions to be considered attractive to the creative class. Briefly, the three Ts can be
described as:
• Tolerance: openness, acceptance of all ethnicities, races and lifestyles; • Talent: the proportion
of the population with a bachelor’s degree or higher; • Technology: a concentration of innovation
and technology in the region.
According to Florida (2002: 244) ‘The key to economic growth lies not just in the ability to
attract the creative class, but to translate that underlying advantage into creative economic
outcomes in the form of new ideas, new high-tech businesses and regional growth.’
Lebih lanjut halaman 178-179. (lumayan banyak2in teori hehe)
3. Industri Kreatif dan Pariwisata di Singapura
Singapura mengamini bahwa industri kreatif mampu meningkatkan perkembangan
ekonomi, menarik investor, meremajakan lingkungan fisik, dan mendorong gejolak
kebudayaan. Bahkan, Singapura menjadi salah satu negara yang paling bersemangat untuk
mengembangkan industri kreatif di Asia. Dengan kekayaan yang dibuktikan dari transportasi
yang jauh di atas mumpuni, gedung pencakar langit yang memenuhi petak tanah, dan
penduduk yang sangat mapan, lumrah jika industri kreatif menjadi tren selanjutnya. Daya
tarik wisata--seni dan budaya; desain dan multimedia, semua itu menjadi jalur bagi
9
pemerintah untuk mencapai ekonomi yang tangguh. Pariwisata ikut andil besar dalam
ekonomi kreatif. Lantas, bagaimana pariwisata masuk dalam skema besar industri kreatif?
Dengan model top-down, dan pemerintah langsung terlibat dalam pengelolaan kreatifitas. Ini
menjadi cerminan rezim otoritas halus di Singapura.
3.1 Ekonomi Kreatif di Singapura
Pada tahun 2001, pemerintah Singapura mendirikan Economic Review Committee
(ERC), dengan tujuan untuk mengembangkan strategi ekonomi. ERC Sub Committee
Workgroup on Creative Industries (ERC-CI) mengajak agar Singapura bergerak dari
ekonomi industri ke ranah ekonomi yang lebih inovatif (ERC-CI 2002: iii). Singapura
harus menampung kreatifitas multidimensi yang dimiliki oleh masyarakatnya untuk
‘keuntungan kompetitif’ (ERC-CI 2002: iii). Tidak mengejutkan karena Singapura
memang telah sejak lama mencoba untuk berpaling ke industri kreatif.
Langkah inisiatif pertama diambil setelah rilisan laporan dewan penasihat budaya
dan seni di Singapura di tahun 1989. Setelah itu, National Arts Council (NAC) dibentuk
pada tahun 1991. Pemerintah mulai memberi budaya dan seni perhatian berlebih(Chang
and Lee 2003).
Lalu, setelah pertimbangan mengenai pentingnya kesenian dan kebudayaan, serta
rekomendasi di tahun 1989 tersebut, Singapore Tourism Board (STB) dan Ministry of
Information, Communication and the Arts (MICA) bermaksud untuk membentuk
Singapura sebagai ‘Kota Seni Global’ (Chang 2000a; MITA and STPB 1995; Ooi 2001).
Di tahun 2000, MICA mencanangkan Singapura sebagai ‘Kota Renaisans’ (MITA 2000).
Mengembangkan nilai estetika dan ketertarikan terhadap warisan budaya sudah
semestinya menjadi langkah yang harus diambil Singapura dalam nation building (MITA
2000: 13).
Sejak saat itu, tak hanya festival seni dan pertunjukkan semakin bertambah, aksesnya
pun dipermudah. Contohnya, Panggung Esplanade, panggung ikonik Singapura,
menawarkan banyak konser gratis setiap tahunnya, dan selainSingapore Arts Festival dan
Singapore Film Festival, ada banyak festival etnis bagi etnis Tiongkok, Melayu, dan
India. Singapura akan menjadi semakin ramah akan kebudayaan baik bagi penduduk
10
maupun wisatawan.
Singapura fokus pada tiga sektor kreatif (ERC-CI 2002: iii):
- Seni dan Budaya: seni pertunjukan, seni visual, sastra, fotografi, seni kriya,
perpustakaan, museum, galeri, kearsipan, situs warisan budaya, festival, dan pameran
kesenian.
- Desain: iklan, arsitektur, web dan software, grafis produk industri, fashion, komunikasi,
interior, serta lingkungan.
- Media: Penyiaran, media digital, film dan video, serta rilisan musik.
Sektor kesenian dan kebudayaan dianggap menjadi fondasi kehidupan dari ekonomi
kreatif serta memegang peran penting dalam menjaga performa ekonomi dari berbagai
industri kreatif. Sektor kesenian dan kebudayaan juga akan dijadikan penyedia sarana
belajar dan bereksperimen bagi pekerja industri kreatif (ERC-CI 2002: 10). Mereka juga
dianggap sebagai investasi yang menjanjikan.
Pariwisata akan mendapat keuntungan sekaligus menyokong industri kreatif.
Wisatawan akan membelanjakan banyak uang untuk membeli produk kreatif Singapura,
terlebih yang termasuk kategori seni dan kebudayaan. Demi mengembangkan hal ini,
STB menghimpun kepercayaan sebagai tonggak promosi kesenian dan pemasaran wisata
kebudayaan dalam ekonomi kreatif (MITA 2000: 8).
Pertama, STB aktif menyusun agenda agar konferensi internasional, pameran seni,
dan berbagai kegiatan di bidang kreatif dihelat di Singapura. Mantan pimpinan Creative
Industries Singapore, Baey Yam Keng menjelaskan mengapa STB mesti melanjutkan
langkah ini:
Baru-baru ini [2005], kami menjadi tuan rumah pertemuan International Olympic
Council. Pada dasarnya, perhelatan semacam ini tidak terlalu menguntungkan
secara finansial. . . . [Tapi] bisa mencuri perhatian masyarakat internasional
mengenai citra Singapura.
11
Kedua, STB terus berusaha agar Singapura mampu menjadi penghubung di
komunitas global dan regional, termasuk institusi media, desain, telekomunikasi,
farmasi, dan bisnis. Dengan begitu, pebisnis akan banyak mengunjungi Singapura.
MTV, Discovery Channel, HBO, dan BBC sudah membangun markas regionalnya di
Singapura. Tentu hal ini membuat Singapura memiliki lingkungan bisnis yang
kondusif. STB juga memanfaatkan hal itu untuk mempromosikan konten rasa
Singapura di hadapan khalayak internasional; pendapatan meningkat, lapangan kerja
makin luas. Dalam ranah pariwisata, turis pebisnis akan bertambah dan citra
Singapura sebagai pusat bisnis meningkat.
Ketiga, dan masih terhubung dengan dua poin di atas, STB terus berusaha agar
menjadi ujung tombak dalam pembentukan lingkungan kota baik secara fisik maupun
budaya. Iklim budaya dan seni penting agar citra Singapura sebagai pusat bisnis dan
pariwisata global terus berkembang.(ERC-CI 2002: 10; MITA 2000: 24). Menurut
The Economist Intelligence Unit, langkanya aktivitas budaya membuat Singapura
tertinggal oleh Tokyo dan Hong Kong Sebagai tempat yang paling dicari ekspatriat
(Anon. 2002).
Perubahan ini membagi opini publik menjadi dua. Apakah membuka diri
membuat Singapura kehilangan jati dirinya sebagai negara di Asia? Beberapa orang
bahkan khawatir seksualitas tak lagi menjadi barang yang tabu. Di sisi lain, tentu
Singapura menjadi negara yang toleran terhadap perbedaan nilai dan semakin maju.
Dalam hal ini, STB tak hanya membangun lingkungan yang hidup dan berbudaya di
sektor hiburan; STB juga mengguncang nilai dan norma banyak warga Singapura.
Keempat, sektor seni dan budaya dalam ekonomi kreatif membutuhkan
pariwisata. Pada 2005, Singapura dikunjungi nyaris 9 juta turis dan menghasilkan
S$11 miliar (STB 20 Januari 2005). STB lalu memasang angka S$30 miliar,
menambah angka pengunjung menjadi 17 juta, dan menghasilkan 100.000 lapangan
kerja di 2015 (STB 20 Januari 2005). Pemerintah Singapura sudah mengalokasikan
S$2 miliar untuk STB agar mereka dapat mencapai target di tahun 2015 (STB 11
Januari 2005).
12
Kelima, STB memperkenalkan ‘Uniquely Singapore’ kepada dunia dan juga
warga Singapura sebagai branding Singapura. Slogan tersebut mengisahkan
Singapura sebagai kota dengan racikan sempurna antara adat ketimuran dan dunia
barat, modern dan tradisional. Setelah peluncuran ‘Uniquely Singapore’ pada 2004,
warga Singapura semakin gatal mencari tahu tentang produk yang terintegrasi
dengan ‘Uniquely Singapore’(Ooi 2004, 2005a).
Paparan di atas menunjukkan bahwa ekonomi kreatif tak semata tentang
pariwisata, tapi pariwisata memegang peran sentral dalam skema yang dicanangkan
Singapura. Namun, cara Singapura melanggengkan ekonomi kreatif melalui
pariwisata tetap saja menemui rintangan serius.
3.2 Tantangan terhadap Pendekatan Ekonomi Kreatif Singapura
Pengaturan terhadap seni dan budaya selalu mengalami penolakan (Crewe dan
Beaverstock 1998; Hughes 1998; Jayne 2004; Roodhouse dan Mokre 2004). Penolakan
ini menjadi rintangan tersendiri bagi pihak berwenang untuk diselesaikan atau setidaknya
dicari jalan tengahnya. Rintangan pertama adalah kekhawatiran terhadap kualitas.
Bagaimana pariwisata akan mempengaruhi varian produk budaya dan kreatif? Ketakutan
akan dikorbankannya kualitas demi keuntungan bukanlah romantisme banal belaka.
Contohnya saja, gedung pertunjukkan di London jamak dikritik karena dianggap ‘tunduk
pada pasar wisatawan, menyebabkan standarisasi, hambar, dan terlalu pusing terhadap
jumlah penonton’ (Hughes, H. L. 1998: 447). Kritik ini cukup menonjol karena otoritas
Singapura selalu berdalih bahwa perubahan ini dilakukan untuk kepentingan ekonomi
(Chua 1995; George 2000; Koh and Ooi 2000).
Keresahan masyarakat Singapura terhadap langkah yang diambil STB dalam
meningkatkan kesadaran sosial menjadi rintangan kedua. Contohnnya, sebuah komunitas
aktivis gay di Singapura, People Like Us, justru merasa tidak nyaman meski mereka
diberi ruang di lingkungan sosial. Pasalnya, STB memberi mereka ruang sosial hanya
untuk menunjukkan bahwa Singapura adalah negara yang toleran. Bagi People Like Us,
STB hanya memandang mereka sebagai komoditas ekonomi, bukan warga yang berhak
atas kesamaan hak.
13
Rintangan ketiga timbul saat otoritas Singapura mesti ‘mengelola ekspresi kreatif’.
Misalnya, beberapa lakon dan film tidak diberi izin tampil; pihak berwenang melarang
lakon Talaq oleh P. Elangovan di 2002. Lakon tersebut berkisah tentang pemerkosaan di
kalangan pernikahan muslim India, dan komunitas India di Singapura tidak senang akan
cerita terssebut. Elangovan (2002) mengeluhkan, ‘Ini adalah penghinaan bagi tujuan
Singapura untuk menjadi Kota Renaisans’. Pemerintah Singapura yang sedikit otoriter
akan terus mengatur jalannya ekspresi kreatif, yang mungkin tidak akan berakhir baik
bagi iklim kreatif.
Ada kekhawatiran umum bahwa promosi dalam industri kreatif hanya bertujuan
untuk pemasaran dan keuntungan saja (Leslie 2005). Kekhawatiran itu tercermin dari tiga
poin di atas. Bahkan, bisa dikatakan wajah kreatif Singapura dibentuk hanya oleh STB.
‘Uniquely Singapore’ yang digadang-gadang sebagai ramuan sempurna antara
modernisasi dan cita rasa tradisional pun memarjinalkan sebagian rupa Singapura. Oleh
karena itu, wajar bila muncul pendapat bahwa penerimaan masyarakat umum hanya akan
hadir bila pesan pemasaran dan produk budaya dan seni yang dikomersilkan berarti bagi
masyarakat (Cohen 1988; Ooi 2004).
4. Kreatifitas dalam Perkembangan Pariwisata
Ketika berbicara kreatifitas dalam kaitannya dengan pariwisata, maka harus disadari
bahwa pembahasan topik dimaksud akan melibatkan begitu banyak perspektif dan
pendekatan. Termasuk bagaimana kreatifitas dan pariwisata itu sendiri berada dalam spektrum
yang ekstrim, antara piranti keras dan lunak. Kreatifitas dalam pendekatan piranti keras
menitikberatkan pada pengembangan ruang kreatif dan infrastruktur, sedangkan piranti lunak
lebih banyak menekankan pada pengembangan pengalaman turis.4 Pariwisata yang dipahami
saat ini berusaha memediasi dua pendekatan ekstrim tersebut. Pariwisata sudah seharusnya
didukung infrastruktur yang mampu menciptakan pengalaman bagi turis. Mediasi kedua
spektrum tersebut bisa dilakukan dengan mengimplementasikan kebijakan, strategis dan 4 G. Richards & J. Wilson, ‘Creativities in tourism development,’ dalam G. Richards & J. Wilson (eds.), Tourism, Creativity and Development, Routledge, Oxon, 2007, p. 255.
14
menajemen kerangka kerja yang mampu menghubungkan antara kedua piranti.5
Bab terakhir buku ini berusaha menarik poin-poin penting dari pembahasan-pembahasan
sebelumnya. Kreatifitas dalam perkembangan pariwisata, kembali harus diingat dalam dua
konteks yang berbeda yaitu luas dan sempit. Ketika pemahaman dua konteks yang berbeda
tersebut sudah terbangun, lalu bab ini akan membahas aspek-aspek penting lainnya. Di antara
aspek-aspek penting tersebut adalah kreatifitas dan ruang; kreatifitas dan pengalaman turis;
kreatifitas dan kebijakan; kreatifitas dan produksi; pemasaran dan manajemen kreatifitas; gaya
hidup dan keanekaragamaan; keanekaragaman, perbedaan dan kreatifitas; hingga pembahasan
mengenai dampak kreatifitas pada perkembangan pariwisata. Aspek-aspek yang disebutkan
sebelumnya berusaha dijelaskan dengan singkat, dengan menekankan pada persoalan-
persoalan yang dihadapi pariwisata ketika berhadapan dengan kreatifitas.
4.1 Konteks Kreatifitas dalam Pariwisata
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kreatifitas dalam pariwisata tidak bisa
diartikan secara mutlak. Kreatifitas dalam pariwisata dipahami sebagai dua konteks yang
berbeda: luas dan sempit. Dalam konteks luas, kreatifitas dipahami sebagai sebuah
tantangan bagi individu bahwa belajar bisa menjadi hal kreatif. Sebaliknya, dalam
konteks sempit ia diartikan sebagai proses yang menyangkut pada sektor tertentu saja.6
Lagi-lagi dalam implementasi pariwisata, aktor-aktor yang berkepentingan berusaha
memediasi dua konteks ekstrim tersebut. Mediasi yang dimaksud dilakukan dengan
membangun sinergi antara modal kreatifitas yang tersedia dengan kebutuhan atau
keinginan turis dengan penduduk lokal.7
Model termudah untuk mewujudkan sinergi antara modal dan kebutuhan adalah
dengan spesifik mentarget ‘kelas kreatif’ sebagai turis’. Model kedua, yang lebih sulit,
diwujudkan dengan pembangunan pariwisata yang lebih endogen. Model kedua ini
menekankan pada pemberdayaan kelas kreatif yang dari awal memang mendiami area
yang dijadikan tempat wisata. Sehingga penduduk lokal tidak dijadikan objek wisata,
tetapi ia memiliki peran sebagai subjek yang mengembangkan wilayahnya. Namun,
5 G. Richards & J. Wilson, p. 255.6 G. Richards & J. Wilson, p. 256.7 G. Richards & J. Wilson, p. 256.
15
model yang terakhir ini memiliki beberapa kelemahan. Selain karena dibutuhkan waktu
lama untuk mengembangkannya, juga karena model endogen membutuhkan banyak
interpretasi dan alih bahasa. Di mana hal tersebut membuat pengalaman pariwisata
menjadi kurang maksimal bagi turis.
4.2 Aspek-Aspek Penting dalam Kreatifitas dalam Pariwisata
Kreatifitas dalam pariwisata dipandang sebagai sebuah solusi baru yang menjawab
tantangan kompetisi pariwisata akibat globalisasi. Kreatifitas dianggap sebagai hal yang
selalu bisa diperbarui atau berkelanjutan, sehingga ia cenderung aman untuk
keberlangsungan sebuah tempat wisata. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kreatifitas
juga menuntut perhatian pada aspek-aspek tertentu. Terutama pada perbedaan pendekatan
kreatifitas dalam implementasi pariwisata. Penekanan tersebut harus dilakukan untuk bisa
mencapai tujuan awal: kreatifitas akan menjawab persoalan pariwisata di era global.
Berikut ini adalah poin-poin penting kaitannya dengan kreatifitas dalam pariwisata:
Kreatifitas dan ruang. Kreatifitas sudah pasti berada dalam medium ruang, dan tidak
dipungkiri kreatifitas sangat bergantung padanya.8 Ada dua ekstrim yang
menggambarkan kreatifitas dan ruang: antara kota dan desa. Dua ekstrim tersebut
menggambarkan betapa pentingnya kota atau desa sebagai area yang menyumbang
pariwisata kreatif. Florida menekankan kota sebagai area penting dalam pariwisata
kreatif, karena area tersebut memiliki konsentrasi modal kapital dan penduduk yang yang
beragam. Ekstrim lain mengatakan desa lah yang memegang peranan penting. Karena ia
bisa dianggap sebagai sebuah alterantif terhadap model kreatifitas kota yang hegemonik
dan juga kritik massa terhadap sentralitas pembangunan kota.9
Kreatifitas dan Pengalaman Turis. Dua sifat dasar pariwisata adalah wisata
sebagai rekreasi (gazing) dan sebagai sebuah pembelajaran atau pencarian pengalaman
(experiencing). Dua sifat ini berusaha dikombinasikan melalui wisata berbasis panggung.
Di mana penglihatan dan pengalaman dikombinasikan menjadi satu. Namun, kombinasi
ini menjadi bermasalah apabila merujuk kembali pada sifat kreatif itu sendiri. Wisata
panggung (staging) melibatkan intervensi yang menghilangkan sifat otentik dari 8 G. Richards & J. Wilson, p. 257.9 G. Richards & J. Wilson, p. 258-262.
16
pengalaman kreatif itu sendiri.
Kreatifitas dan Kebijakan. Perbedaan pandangan untuk memahami kreatifitas dalam
pariwisata sudah seharusnya ditengahi melalui pembentukan kebijakan. Kebijakan yang
dibentuk pemerintah berusaha mempatenkan dan mensistematisasi langkah-langkah yang
digunakan untuk membangun kreatifitas dalam pariwisata. Namun demikian, bukan
berarti pembentukan kebijakan bisa menyelesaikan permasalahan. Ketika kreatifitas
dibakukan dalam kebijakan ada dua masalah yang terjadi. Pertama, kebijakan kreatif akan
cenderung meniru kebijakan dari tempat lain. Sehingga sulit untuk membedakan nilai
tambah pariwisata satu tempat dengan yang lain.10 Padahal, perbedaan menjadi sangat
penting dalam menarik turis. Kedua, wisata kreatif dan kultural dalam kebijakan
diletakkan pada bidang yang sama, padahal keduanya jelas berbeda. Wisata kreatif
bersifat spontan dan dinamis, sedangkan wisata kultral cenderung menekankan pada high
culture yang kaku dan paten. Kegagalan dalam memisahkan kedua hal tersebut dalam
kebijakan berakibat pada kembalinya orientasi pariwisata pada aspek kultural. Di mana
hal tersebut membuat pariwisata kreatif tidak berkembang.
Selain kedua hal tersebut, kebijakan justru tidak menyelesaikan persoalan-
persoalan yang krusial. Pertama, kebijakan belum mampu mendorong keterlibatan
penduduk lokal sebagai aktor dalam pariwisata itu sendiri. Kedua, kebijakan belum
mengatur bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan aktor kreatif dalam pariwisata.
Akibatnya, aktor kreatif lebih banyak terusir dari wilayahnya sendiri akibat privatisasi
yang dilakukan dalam bidang pariwisata.
Produksi kreatif. Produksi kreativitas tidak bisa disamakan dengan produksi
barang tetap. Karena aktor kreatif biasanya terus bergerak, maka produksi komoditas
kreatif ada baiknya diinvestasikan secara footloose.11 Di sisi lain, produksi kreatif hampir
tidak bisa dipisahkan juga dengan intellectual property (IP). Suatu tempat pariwisata
didorong untuk menerapkan label kualitas untuk menjaga IP-nya. Namun,
implementasinya akan sangat tergantung bentuk komoditas kreatif yang ditawarkan.
Dikatakan bahwa komoditas yang berupa pengalaman akan sangat sulit patenkan,
10 G. Richards & J. Wilson, p. 263. 11 G. Richards & J. Wilson, p. 267-268.
17
sehingga IP kurang memainkan dalam aspek tersebut. Akan tetapi, komoditas
pengalaman tidak menutup kemungkinan untuk distandarisasi dan menciptakan kesamaan
di wilayah-wilayah pariwisata.
Pemasaran dan manajamen kreativitas. Pada sub bab ini dibahas bagaimana
kreatifitas menimbulkan perdebatan dalam wujud brand atau non-brand. Kreatifitas yang
dipatenkan menjadi sebuah merk, memang memiliki kualitas yang cenderung konstan.
Tetapi di sisi lain, kreatifitas sebagai sebuah merk justru hanya diakui oleh sedikit
kalangan. Hal ini karena proses kreatif untuk belajar dan mendapatkan pengalaman baru
hanya diminati oleh sedikit turis. Sedangkan pariwisata kreatif yang tidak mengambil
bentuk merk, memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dengan sesamanya. Dan tidak
bisa dipungkiri hal tersebut berimplikasi pada pariwisata yang monopolistik.
Gaya hidup dan keanekaragaman. Perkembangan industri kreatif erat berkaitan
dengan perkembangan gaya hidup tertentu yang didasarkan pada pola produksi dan
konsumsi suatu tempat.12 Perkembangan yang dimaksud disebut rendah keragaman dan
cenderung menarik turis dengan latar belakang yang sama.
Keragaman, kekhususan dan kreatifitas. Keragaman dikatakan sebagai modal
kreatif yang krusial untuk menimbulkan kekhususan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa
banyak pemerintah di berbagai negara kesulitan untuk mengatur keragaman yang
negaranya miliki. Keragaman di sisi lain sering kali disembunyikan daripada
didayagunakan.13 Perdebatan tentang hal ini dirangkum oleh Fainstein yang mengatakan
bahwa “Sometimes exposure to “the other” evokes greater understanding, but if lifestyles
are too incompatible, it only heightens prejudice”.14
4.3 Kreatifitas dan Pariwisata: Sebuah Tantangan Masa Depan
Kreativitas dianggap sebagai inovasi baru untuk memajukan sektor pariwisata di
seluruh dunia. Setiap negara berusaha memajukan kreativitas yang dimiliki sumber daya
manusianya untuk menciptkana keunikan, sehingga sebuah negara lebih diminati untuk
berwisata. Namun demikian, nampaknya kreativitas sebagai inovasi belum dianggap
12 G. Richards & J. Wilson, p. 272.13 G. Richards & J. Wilson, p. 274.14 G. Richards & J. Wilson, p. 276.
18
sebagai hal yang serius. Tampak dari bagaimana kesulitan-kesulitan yang muncul belum
bisa ditangani secara baik oleh pihak berwenang. Industri kreatif dalam pariwisata masih
menghadapi persoalan yang berupa polarisasi. Berikut inti persoalan pariwisata kreatif
dalam pariwisata yang dirangkum dari paparan sebelumnya:
Pertama, pariwisata kreatif masih sangat didominasi oleh peran kelas menengah
kreatif. Hal ini nampak pada sejumlah pembahasan mengenai pembangunan infrastruktur
yang berada di wilayah urban, yang merupakan tempat bagi kelas menengah kreatif
tinggal. Dengan asumsi yang sama, pembangunan berdasarkan tempat tinggal kelompok
tersebut menargetkan turis dari kelas kreatif yang sama. Selain itu karena kelas kreatif
cenderung berpindah dan memiliki selera yang tidak jauh berbeda, satu tempat dengan
tempat yang lain menjadi semakin sama. Kondisi ini menyebabkan kelompok masyarakat
kreatif lain sulit mendapatkan tempat. Dan meminimalisasi kesempatan wisata kreatif
yang lebih beragam untuk berkembang. Hal tersebut banyak berpengaruh terhadap
rendahnya keanekaragaman pariwisata dalam sebuah tempat atau negara.
Kedua, industri kreatif yang sulit didefinisikan menyebabkan keberadaanya sulit
berkembang. Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan, industri kreatif masih berada di
spektrum antara gazing dan experiencing. Akan sangat mudah bagi pihak terkait untuk
membangun infrastruktur kreatif dalam lingkup gazing seperti museum, taman, pusat
kuliner dan sebagainya. Namun, diperlukan usaha lebih untuk membawa industri kreatif
pada tahap experiencing. Selain karena diperlukan perencanaan yang matang, juga belum
banyak turis yang memiliki keinginan untuk belajar dan mengalami jenis wisata yang
dimakusd.
Ketiga, peran pemerintah yang tidak signifikan. Dalam hal ini bisa didebatkan
sejauh mana pemerintah berperan dalam pembangunan industri kreatif. Pemerintah
memang menjadi aktor utama yang merencanakan pembangunan dan kebijakan
pariwisata, namun dalam tahap implementasi sulit untuk melihat signifikansi perannya.
Pemerintah di sisi lain lebih banyak memberikan ruang pada pihak swasta dalam tahap
implementasi. Sehingga kelompok kreatif mandiri semakin terdesak oleh pihak swasta
yang membuat biaya hidup semakin tinggi. Kebijakan pemerintah juga dilihat sebagai hal
yang kaku.
19
Untuk bisa memajukan industri kreatif dalam pariwisata, penulis melihat perlunya
ada usaha untuk mengatasi tiga permasalahan di atas. Selain itu, juga diperlukan peran
serta pihak-pihak yang tidak secara langsung berkaitan dengan industri kreatif seperti
penduduk lokal dan akademisi. Penduduk lokal berperan penting dalam industri kreatif,
karena tanpanya perkembangan industri kreatif akan berjalan lambat. Peran mereka juga
penting karena pada akhirnya perkembangan industri kreatif ditujukan untuk
memperbaiki kehidupan mereka.
Di sisi lain, peran akademisi dibutuhkan untuk melakukan riset-riset yang
berkaitan dengan modal pariwisata yang dimiliki suatu wilayah dan permintaan-
permintaan yang datang dari turis. Sebagaimana dijelaskan di halaman-halaman awal,
penyesuaian antara modal dan permintaan menjadi sangat penting untuk memajukan
industri kreatif. Penyesuaian yang dilakukan juga tidak perlu menghalangi usaha-usaha
untuk memajukan modal pariwisata yang tidak dimiliki tempat lain. Peran inilah yang
kiranya belum banyak disebutkan di dalam bacaan. Peran yang tidak sepenuhnya bisa
dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah.
20
5. Teori Pembanding
5..1 Teori Ekonomi Kreatif
Manusia telah melakukan kegiatan ekonomi sejak awal mula peradaban. Mulai dari produksi,
konsumsi, dan juga pada akhirnya distribusi. Semakin berkembangnya peradaban manusia, teknologi
semakin berkembang, menyebabkan pola ekonomi turut berkembang guna memenuhi permintaan yang
ada. Kemajuan teknologi tersebut semakin lama menyebabkan industrialisasi di seluruh belahan bumi,
akan tetapi ketatnya persaingan ekonomi memaksa masyarakat untuk memunculkan ide-ide baru dan
industri baru yang akan diminati konsumen. Urgensi tersebut yang akhirnya berhasil melahirkan
kegiatan ekonomi kreatif yang kian hari semakin berkembang dan menjadi salah satu daya tarik bagi
dunia pariwisata negara-negara di dunia.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ekonomi kreatif, perlu dipahami dahulu konteks dari
ekonomi kreatif pada tulisan ini. Kata ekonomi dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti “Ilmu
mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti hal
keuangan, perindustrian, dan perdagangan).”. Sedangkan kata kreatif sendiri mempunyai arti “Memiliki
daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; bersifat (mengandung) daya cipta: pekerjaan yang
menghendaki kecerdasan dan imajinasi”. Kemudian ketika kedua istilah tersebut digabungkan berubah
menjadi sebuah istilah yang baru. Sesuai dengan definisi yang diberikan oleh John Howkins, penulis buku
“Creative Economy, How People Make Money from Ideas”, ekonomi kreatif adalah kegiatan produksi,
distribusi dan konsumsi dimana input dan output-nya adalah gagasan.15 Jika dijelaskan secara lebih
singkat, ekonomi kreatif adalah esensi dari kreativitas dan gagasan.
Menurut John sendiri, ekonomi kreatif tidak melulu berupa output yang tangible, seperti contohnya
seorang musisi, aktor dan artis yang menciptakan karyanya masing-masing. Mereka termasuk kedalam
komunitas ekonomi kreatif yang karyanya akan diproteksi oleh HAKI. Mengapa orang-orang tersebut
termasuk dalam komunitas ekonomi kreatif adalah dikarenakan permintaan pasar untuk karya-karya
yang telah diciptakan. Belum lagi jumlah materi yang dihasilkan oleh orang-orang tersebut. Seperti yang
15 Journal of Economic Geography (2008), 1 September 2008. p.699
21
dikatakan oleh John bahwa ekonomi kreatif merupakan esensi dari kreativitas, sehingga seseorang tidak
perlu memberikan output yang tangible, melainkan berupa ide atau gagasan super yang dapat
dimanfaatkan. Ide adalah bagian terpenting dari sebuah kegiatan ekonomi, karena ide tersebut adalah
awal dari seluruh kegiatan ekonomi. Bahkan menurut Paul Romer (1993) ide sendiri adalah suatu barang
dan merupakan hal yang paling penting, lebih penting dibandingkan objek yang sering ditekankan pada
mayoritas model dan sistem ekonomi.16
Ekonomi Kreatif merupkan sebuah konsep yang menjalar pada era ekonomi baru yang berfokus
pada infromasi dan kreativitas denga mengandalkan ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya
Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Seperti yang diketahui, pada
awal mula peradaban manusia, kegiatan ekonomi banyak berfokus pada Sumber Daya Alam. Teknologi
dan globalisasi banyak menyumbang perkembangan kegiatan ekonomi yang mengubah pola ekonomi
bertumpu pada SDA menjadi bertumpu SDM. Manusia mulai mengembangkan ide-ide yang dapat
bermanfaat bagi masyarakat luas. Hal ini kemudian memberikan harapan pada masyarakat kelas-kelas
pekerja yang notabene tidak memiliki uang cukup banyak untuk membiayai seluruh proses kegiatan,
oleh karena ide merupakan objek yang muncul dari diri sendiri. Dr. Richard Florida dari Amerika Serikat,
penulis buku “The Rise of Creative Class” dan “Cities and the Creative Class.” mengataka: “Seluruh umat
manusia adalah kreatif, baik ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja jalanan yang
tengah membuat musik hip-hop. Namun perbedaannya adalah pada statusnya (kelasnya), karena ada
individu-individu yang secara khusus bergelut dibidang kreatif dan mendapat faedah ekonomi secara
langsung dari aktivitas tersebut. Maka tempat kota-kota yang mampu menciptaka produk-produk baru
inovatif tercepat, dapat dipastikan sebagai pemenang kompetisi di era ekonomi kreatif ini.”. Pendapat
ini juga kemudian didukung oleh Robert Lucas seorang pemenang Nobel pada bidang ekonomi. Konsep
Ekonomi Kreatif ini kemudian memayungi juga konep lain, yaitu Industri Kreatif.
Era Ekonomi Kreatif dapat merubah pola ekonomi menjadi lebih luas lagi, karena ekonomi bukan
lagi mengacu kepada produksi barang, tetapi juga kepada produksi jasa. Contoh hasil ekonomi kreatif
berupa persebaran data, software, berita, hiburan, perklanan dan lainnya. Bukti konkrit suksesnya
ekonomi dapat dilihat dari Perusahaan Google dan Yahoo!, kedua perusahaan tersebut tidak menjual
16 Ibid, p.172
22
atau menghasilkan barang yang tangible akan tetapi jumlah materi yang dihasilkan berhasil
menempatkan perusahaan-perusahaan tersebut menduduki posisi tertinggi dalam ekonomi dunia.
Ekonomi Kreatif juga telah menyebabkan independensi masyarakat, ekonomi tidak lagi sepenuhnya
diatur oleh pemerintah melainkan oleh masyarakat yang kemudian dengan sendirinya berhasil membuat
pasar bebas. Akan tetapi bukan berarti semuanya bebas tanpa ada campur tangan dari pemerintah,
namun pemerintah juga harus menuruti pola pasar bebas. Akan tetapi negara sendiri mulai memberikan
lapangan luas bagi kebebasan pasar untuk menentukan kegiatannya, karena pasar bebas yang didukung
oleh ekonomi kreatif ini telah banyak menyumbang GDP negara.
5.2 Teori Pariwisata Internasional
Pariwisata merupakan kegitan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia dan telah
banyak menghasilkan devisa negara. Jika dihubungkan dengan teori sebelumnya yang mengangkat
tentang ekonomi kreatif, maka hubungan antara pariwisata dan ekonomi kreatif sendiri saling
bergantung juga saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika suatu negara terkenal oleh karena
sebuah objek wisata A maka wisatawan akan berdatangan ke tempat tersebut, dengan begitu
banyak lapangan pekerjaan yang bisa dimanfaatkan seperti membuka jasa foto, penjualan barang-
barang suvenir, dan sebagainya. Begitupula ketika suatu negara terkenal dikarenakan kegiatan
ekonominya yang begitu menarik seperti contohnya Hollywood kemudian banyak menarik
wisatawan dan akhirnya menjadi salah satu tempat wisata yang banyak dikunjungi.
Kata pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua suku kata yaitu pari
berarti berkeliling dan berputar-putar. Kemudian juga kata wisata yang artinya berpergian atau
perjalanan. Sehingg ketika disatukan, pariwisata memiliki arti perjalanan berkeliling ataupun
perjalanan yang dilakukan dari satu tempat ke tempat yang lain. Secara umum pariwisata berarti
perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu yang diselenggarakan dari suatu tempat ke
tempat yang lainnya dengan suatu perencanaan atau bukan maksud untuk mencari nafkah di
tempat yang dikunjunginya, melainkan guna memenuhi keinginan bertamasya dan rekreasi.
Pengertian tentang pariwisata dan wisatawan mulai muncul di Negara Perancis pada abad ke-17,
namun pada waktu itu wisata tidak banyak dilakukan bukan hanya karena transportasi yang
23
terbatas namun juga karena banyaknya waktu yang harus ditempuh untuk menuju tempat lokasi.
Belum lagi masalah materi yang harus dikeluarkan dan keamanan yang masih belum terjamin.
Hal-hal yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke destinasi wisata berupa17 :
1. Natural Amenities, adalah benda-benda yang berasal dari alam, sudah ada di alam, atau
tersedia di alam. Contohnya adalah iklim, pemandangan alam, fenomena alam, dan lain sebagainya.
2. Man Made Supply, objek wisata yang dibuat oleh manusia. Contohnya danau buatan,
waduk, pantai buatan seperti yang ada di Singapur.
3. Way of Life, tata cara hidup masyarakat yang biasanya masih tradisional. Contohnya
sekatenan yang ada di Yogyakarta.
4. Culture, merupakan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di kawasan
objek wisata tersebut. Contohnya banyak wisatawan mengunjungi Bali untuk melihat upacara-
upacara keagamaan yang dilakukan.
Pariwisata ini juga kemudian akan menimbulkan kegiatan ekonomi yaitu Tourist Service, yang
biasanya diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta secara komersil. Guna memenuhi standar
sebagai kawasan wisata yang baik, maka beberapa hal ini perlu dipenuhi18 :
1. Something to see, objek yang menarik untuk dilihat. Ex: Pegunungan, Pantai, Perkotaan, dan
sebagainya.
2. Something to buy, segala sesuatu yang menarik untuk dibeli. Ex: Suvenir.
3. Something to do, adanya aktivitas yang bisa dilakukan di tempat tersebut. Ex: Berenang,
menikmati pemandangan, menginap, dan sebagainya.
Poin-poin diatas merupakan unsur yang diperlukan guna membangun kawasan wisata yang baik,
17 Auge, M. (1995): “Non-places: Introduction to Anthropology of Supermodernity” Howe, J. Translator. London: Verso Books.18 Duim, V.R. Van der. (2005): “Tourismscapes”. Dissertation Wageningen University. Wageningen: Wageningen University.
24
akan tetapi masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pula19 :
1. Harus ada kemampuan bersaing dengan objek wisata di kawasan lainnya.
2. Memiliki fasilitas pendukung dan ciri khas sendiri.
3. Tidak berpindah-pindah, kecuali di bidang pembangunan dan pengembangan.
4. Menarik.
Jika hal-hal tersebut dapat dipenuhi maka tentunya kegiatan ekonomi dan pariwisata mampu
bersandingan dengan baik. Lebih lagi antara bidang pariwisata dan ekonomi kreatif saling mendukung
perkembangan masing-masing.
5.3 Pariwisata Internasional dan Ekonomi Kreatif: Teori Pembanding
Bab 14 hingga 17 dari buku Greg Richards dan Julie Wilson yang berjudul Tourism,
Creativity, and Development mencoba menjelaskan mengenai industri kreatif yang ada di
negara-negara berkembang saat ini. Contohnya adalah industri kreatif di Afrika Selatan dan
Singapur. Kedua bab ini menjelaskan langkah-langkah yang digunakan oleh kedua negara
berkembang tersebut dalam mengembangkan industri kreatif di negaranya masing-masing,
meskipun tidak langkah-langkah tersebut belum semuanya dilaksanakan, khususnya di Afrika
Selatan mengingat masih banyak perdebatan diantara elit-elit pemerintah mengenai
pengalokasian dana yang lebih besar kepada sektor pariwisata. Adapun aspek-aspek penting
dalam kreativitas dalam pariwisata yang dituliskan di bagian kesimpulan tidak bersifat sugesti
bagi pembacanya. Kami mencoba membandingkan aspek tersebut dengan salah satu riset tim
pariwisata OECD pada tahun 2014 yang berjudul Tourism and The Creative Economy.20 Dalam
buku ini, tepatnya bab 4 terdapat langkah-langkah yang seharusnya diambil atau digunakan oleh
semua negara yang mencoba meningkatkan Industri Kreatif di negaranya. Langkah-langkah yang
perlu diperhatikan tersebut adalah (1) Pendekatan Pemerintah yang terkoordinir dan terintergrasi;
(2) Pembuatan Inovasi dan Pengalaman; (3) Industri Kecil dan Menengah; (4) Pengembangan 19 Ibid.20 OECD (2014), Tourism and the Creative Economy, OECD Studies on Tourism, OECD Publishing. < http://dx.doi.org/10.1787/9789264207875-en >, pp. 71-90.
25
Jaringan dan Berkelompok; dan (5) Branding dan Promosi Tempat.
Pendekatan Pemerintah yang Terkoodinir dan Terintergrasi
Dalam hal ini, OECD menjelaskan bahwa adanya pendeketan kebijakan yang kohesif
sangat diperlukan di era pariwisata yang baru ini. Mengutip perkataan UNESCO dalam bukunya,
ada anjuran untuk pemerintah agar segera memahami kompleksitas dari sektor pariwisata
tersebut.21 Menurutnya pariwisata itu sangat kompleks dimana pariwisata mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kebijkakan-kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, pendekatan yang terkoodinir
dengan efektif antara pemerintah dan sektor privat akan memaksimalkan keuntungan nilai
tambah dari hubungan pemerintah dan sektor privat. Sedangkan pendekatan yang terintegrasi
akan membuka jajaran keuntungan baru seperti merangsang inovasi melalui pertukaran ide dari
sektor yang berbeda, membuat gambaran positif melalui promosi industri kreatif dengan
pariwisata, dan menemukan serta menghapus hambatan untuk perkembangan industri kreatif.
Korea Selatan dan Austria merupakan contoh dari adanya pendekatan pemerintah yang
terkoodinir dan terintegrasi. Di Korea Selatan, pengembangan pariwisata kreatif berada di dalam
kerangka kebijakan nasional untuk pengembangan ekonomi kreatif.22 Bukti paling nyatanya
adalah kumpulan budaya kontemporer yang di dalamnya termasuk fashion, film, musik dan
kuliner yang lebih sering dikenal sebagai Hallyu atau Korean Wave. Adanya Hallyu ini telah
meningkatkan penjualan produk-produk lokal Korea Selatan secara bertahap dan bahkan
memperbagus nama Korea di dunia serta membuat beberapa orang tertarik kepada budaya Korea
yang akhirnya membuat mereka untuk berkunjung ke Korea Selatan. Hallyu berhasil
mempengaruhi secara positif dari pariwisata dan industri kreatif Korea Selatan. Dalam kasus
Austria, pemerintah membuatkan sebuah program bernama Austria Kreatif dalam bidang
pariwisata. Program ini berhasil menunjukkan kerjasama yang efektif dapat terjalin antara sektor
publik dan sektor privat, dimana sektor privat membimbing konten pengembangan dan sektor
publik memberikan dukungan pemasaran dan juga pendanaan.
Pembuatan Inovasi dan Pengalaman
Peran Industri Kreatif dalam inovasi merupakan salah satu alasan besar mengapa
21 Ibid, p. 72.22 Ibid, p. 73.
26
pemerintah perlu untuk mendukungnya. Industri kreatif merupakan produk inovasi yang sangat
penting bagi tiap negara yang mencoba mengembangkan ekonomi kreatif di negaranya, selain
itu, industri kreatif juga dapat menstimulasi adanya inovasi di sektor-sektor lain selain industri
kreatif itu sendiri, contohnya adalah pariwisata. Permintaan konsumen saat ini menjadi lebih
terfragmentasi dan lebih susah untuk diprediksi, membuat adanya inovasi konten dan
pengalaman sangat penting untuk memberdayakan pariwisata di negaranya.23 Kondisi ini
menuntut adanya banyak sekali keahlian kreatif guna membuat inovasi-inovasi dalam
pengalaman yang memenuhi ekspektasi konsumen.
Di Milan, konsep keramaah inovatif sedang dikembangkan oleh para arsitek, seperti
Public Camping dan Bed Sharing Projects oleh Esterni dan Brand konsep TownHouse Street
oleh Alessandro Rosso dan Arsitek Simone Micheli. Lalu di Linz terdapat Pixel Hotel Project
dan Camping House di Barcelona oleh Esther Rovira. Hal yang dimiliki oleh proyek-proyek ini
adalah tujuan mereka untuk menggunakan kembali lokasi urban secara kreatif untuk pariwisata.
Tren ini dipertahankan oleh Milan dalam program Milan’s Structured Training System. Program
ini berencana untuk mengubah komposisi kota Milan dan sekitarnya agar lebih kreatif untuk
tujuan pariwisata.
Industri Kecil dan Menengah
Industri Kecil dan Menengah merupakan dasar dari industri kreatif. Mayoritas dari
mereka selalu membawa angin sejuk dalam bentuk inovasi-inovasi yang memiliki potensi tinggi.
Hanya saja, industri kecil dan industri bayi biasanya memiliki masalah dalam hal pendanaan dan
juga sumber daya, baik sumber daya alam dan sumber daya manusia. Hal ini membuat dukungan
kepada industri kecil dan menengah menjadi bagian penting dalam kebijakan industri kreatif
suatu negara. Industri kreatif biasanya memiliki model bisnis yang berbeda dari ekonomi
tradisional dan menimbulkan kesulitan dalam menarik keuangan dari institusi-institusi
tradisional. Disinilah peran Pemerintah dapat dijalankan. Pemerintah harus menjalankan
langkah-langkah yang dapat membantu dan mendukung industri kreatif. Contohnya adalah Paris
yang meluncurkan program Welcome City Labs untuk mendukung inovasi pariwisata kreatif dan
kewirausahaan. Program ini memiliki tujuan utama yaitu menyelesaikan masalah kekurangan
dana bagi industri kreatif dan membukakan jalan dengan meningkatkan harga lahan bagi pembeli 23 Ibid, 78.
27
lainnya. Amsterdam telah memiliki tradisi lama untuk menyediakan “Nursery Space” bagi
industri kreatif. Lahan ini biasanya memiliki harga sewa yang rendah, dan diduga telah
menguatkan sektor kreatif kota tersebut.
Membuat akses yang lebih mudah bagi industri kreatif kepada masalah keungan
merupakan masalah besar bagi industri kecil dan menengah.24 Selain itu, penting bagi pemerintah
untuk menghapuskan hambatan untuk mendukung produk inovatif yang menjembatani kedua
sektor ini. Dewan Industri Kreatif di Inggris telah menemukan langkah-langkah penting untuk
menghapuskan hambatan tersebut. Langkah-langkah tersebut adalah mengembangkan bentuk
pendanaan yang inovatif, intervensi pendanaan yang lebih condong ke industri kreatif, dan
meningkatkan informasi serta pemahaman diantara komunitas kreatif dan pendanaan. Selain itu,
untuk meyakinkan perusahaan kreatif memiliki akses terhadap dana, sektor publik juga dapat
memainkan peran dalam mendukung kreatifitas secara pendanaan. Santa Fe, Amerika Serikat,
memberikan 1% dari pendapatan pajak hotel kepada organisasi seni lokal. Hal ini akan
menciptakan sebuah siklus diantara hidupnya kesenian, bertambahnya pariwisata dan
bertumbuhnya dukungan bagi seni dan kreatifitas.
Pembangunan Jaringan dan Kelompok.
Membangun jaringan dapat membantu menghubungkan aktor didalam dan diantara kedua
sektor ini, sedangkan pembangunan berkelompok berfungsi sebagai titik penting di dalam
jaringan ini. Keduanya memegang peran penting dalam mengatur hubungan antara aktor
pariwisata dan aktor kreatif. Jaringan yang membawa industri kreatif ini dapat bersifat formal
maupun informal, dan pembangunan berkelompok dapat muncul dalam bentuk bottom-up atau
dikembangkan dalam bentuk top-down. Pembangunan Jaringan merupakan salah satu hal yang
paling penting dalam beberapa masalah pariwisata di dunia kreatif. Para pengusaha kreatif di
Santa Fe diorganisir oleh Creative Tourism Network milik UNESCO yang menyuruh mereka
untuk mengembangkan pengalaman kreatif bagi pengunjung dan penduduk setempat. Panggung
untuk mendistribusikan konten kreatif juga sedang dikembangkan di Santa Fe, Paris, dan
Selandia Baru. Hanya saja, sebelum Panggung ini dapat dibuat, terkadang pemerintah diperlukan
untuk memetakan organisasi kreatif dan jaringan mana yang dapat bergabung. Sektor publik juga
memiliki peran penting dalam memfasilitasi panggung tersebut yang nantinya akan memacu 24 Ibid, 82.
28
pertukaran jaringan dan pengetahuan vital bagi para pelaku industri kreatif.
Branding dan Promosi Tempat.
Budaya tidak lagi hanya sebagai bahan vital bagi identitas nasional dan branding, namun
juga telah menjadi tanda pembeda lokal dan alat proyeksi internasional. Begitu pula dengan
industri kreatif, mereka memainkan peran penting dalam branding sebuah tempat dan program
marketing pariwisata karena konten simbolik yang sangat tinggi. Pengembangan produk dan
pengalaman pariwisata kreatif juga membutuhkan branding yang efektif melalui cerita-cerita
yang mendukung mereka. Branding yang menarik biasanya berkaitan dengan lokasi yang akan
dibranding tersebut. Selain mudah diingat, tipe branding seperti ini memberikan gambaran
bahwa ada yang berbeda dengan lokasi itu dari 5 hingga 10 tahun yang lalu. Contohnya adalah
Creative Austria, Creative Scotland, Creative Paris, dan sebagainya. Branding seperti ini
biasanya berasosiasi dengan inovasi dan sektor industri kreatif yang tumbuh dengan cepat seperti
media, desain dan fashion yang menarik sebagai tempat yang dituju. Salah satu ilmuwan
bernama Haddock mengatakan bahwa kreatifitas digunakan sebagai cara bukan hanya untuk
menarik turis, namun juga untuk membuat negara, kawasan, dan kota menjadi tempat yang
menarik untuk menetap, bekerja, dan berinvestasi. Pariwisata kreatif akan menjadi dukungan
penting bagi suatu kota brand-pillars yang cenderung kreatif. Empat dari tujuh brand-pillar di
Santa Fe berkaitan erat dengan industri kreatif. Mereka adalah sejarah dan budaya, gastronomi,
seni visual, dan seni pertunjukan. Dengan menerapkan brand-pillars ini, Santa Fe berhasil
meningkatkan program Creative Tourism dan pekerjaan sektor kreatif yang lainnya.
Semua langkah-langkah ini sebenarnya telah disebutkan dan dijelaskan di dalam buku
Greg Richards dan Julie Wilson, namun mereka tertulis secara implisit dan OECD
menuliskannya secara eksplisit agar lebih mudah dipahami. Kelima langkah ini juga sesuai
dengan aspek-aspek penting dalam kreatifitas yang ditulis Richards pada bab terakhir mereka.
Dimana kreatifitas dan ruang dipenuhi oleh pendekatan pemerintah dan pembangunan jaringan,
kreatifitas dan pengalaman turis dipenuhi oleh inovasi dan pengembangan pengalaman, dan
kreatifitas dan kebijakan dipenuhi oleh pendekatan pemerintah dan industri kecil.
29