paper ph - program kia
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, Kesehatan ibu dan anak yang
selanjutnya disingkat KIA adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan
ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan
bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat. 1
Kesehatan ibu dan anak (KIA) di Tanah Air selalu saja menjadi masalah pelik yang tak
kunjung membaik keadaannya. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak
tersebut diyakini memerlukan kondisi sosial politik, hukum dan budaya yang kondusif. Untuk
itu, penggunaan instrumen hak azasi manusia dianggap perlu untuk menjamin ketersediaan
dukungan itu. Situasi kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Indonesia sama sekali belum bisa
dikatakan menggembirakan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2002/2003 angka kematian ibu di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100 ribu
kelahiran. Tingginya angka kematian ibu dan bayi sebesar 307 per 100 ribu kelahiran hidup,
menjadi salah satu indikatornya buruknya pelayanan kesehatan ibu dan anak. Kendati
berbagai upaya perbaikan serta penanganan telah dilakukan, namun disadari masih
diperlukan berbagai dukungan. 1, 12, 13
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994
masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu terbesar
(58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua sebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan
pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) yang memadai. Walaupun proporsi perempuan
usia 15-49 tahun yang melakukan ANC minimal satu kali telah mencapai lebih dari 80%,
tetapi menurut SDKI 1994, hanya 43,2% yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan.
Persalinan oleh tenaga kesehatan menurut SDKI 1997, masih tetap rendah, di mana sebesar
54% persalinan masih ditolong oleh dukun bayi.
Usia kehamilan pertama ikut berkontribusi kepada kematian ibu di Indonesia. Data Survei
Kesehatan Ibu dan Anak (SKIA) 2000 menunjukkan umur median kehamilan pertama di
Indonesia adalah 18 tahun. SDKI 1997 melaporkan 57,4% Pasangan Usia Subur (PUS)
menggunakan alat kontrasepsi dan sebanyak 9,21% PUS sebenarnya tidak ingin mempunyai
anak atau menunda kehamilannya, tetapi tidak memakai kontrasepsi (unmet need). Krisis
ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 menjadi sebab utama menurunnya daya beli
PUS terhadap alat dan pelayanan kontrasepsi. 1,12,13
Demikian pula dengan penyakit-penyakit yang diderita oleh ibu hamil seperti anemia,
hipertensi, hepatitis dan lain-lain dapat membawa resiko kematian ketika akan, sedang atau
setelah persalinan. Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak
sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam
masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan
pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan
sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali
membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan,
misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran
kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan
tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan
pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu. 1
Program kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu prioritas Kementerian Kesehatan dan
keberhasilan program KIA menjadi salah satu indikator utama dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025.7 Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia membuat pemerintah menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program
prioritas dalam pembangunan kesehatan.7 Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia
Angka Kematian Ibu saat ini telah menunjukkan terjadinya penurunan dari 307/00.00
Kelahiran Hidup, ditahun 2002 menjadi 228/100.00 Kelahiran Hidup ditahun 2007 dan
226/100.00 Kelahiran Hidup ditahun 2009. Namun program percepatan penurunan AKI
diupayakan terus untuk mencapai target Pembangunan Milenium (MDG) 102/100.000 KH
pada tahun 2015.1,6,14
Tingginya angka kematian ibu dapat menunjukkan masih rendahnya kualitas pelayanan
kesehatan. Penurunan AKI juga merupakan indikator keberhasilan derajat kesehatan suatu
wilayah. Untuk itu pemerintah berupaya bahu membahu membuat berbagai strategi untuk
akselerasi menurunkan AKI.1
Di Provinsi Jawa Tengah AKI menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah pada
tahun 2009 sebesar 114/100.000 Kelahiran Hidup, turun menjadi 104/100.000 Kelahiran
Hidup ditahun 2010, angka tersebut relatif cukup rendah dibandingkan angka Nasional
namun tidak menutup kemungkinan adanya ‘missed opportunities” terhadap kematian yang
tidak dilaporkan. Penyebab kematian ibu antara lain Infeksi (5,51%), perdarahan (19,65%)
dan Eklampsi (31,02%). Indikator yang digunakan unttuk menggambarkan keberhasilan
program pelayanan kesehatan ibu adalah akses ibu hamil terhadap kesehatan yang diukur
dengan K1 dan K4. Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2010, angka
cakupan antenatal K1 sebesar 95,91% dan K4 sebesar 89,98%, data ini menunjukkan
cakupan K4 yang belum sesuai target yang ditetapkan yaitu 95%, dan kesenjangan antara K1
dan K4 sebesar 5,93 %.21
Kebijakan program kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama
kehamilan dengan ketentuan : satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua
dan dua kali pada triwulan ketiga. Dengan pelayanan / asuhan standar minimal 7 T :
1).Timbang berat badan/Tinggi Badan, 2).Ukur tekanan darah. 3). Ukur tinggi fundus uteri,
4). Tetanus Toxoid, 5). Pemberian tablet besi, 6). Test laboratorium sederhana, 7). Temu
wicara.¹¹ Pemeriksaan ini dengan tujuan untuk memantau dan mengenali secara dini adanya
ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil. Bahwa setiap
kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi setiap saat, maka sebab itu
ibu hamil memerlukan pemantauan selama kehamilan.²
Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 kecamatan dengan 39 puskesmas yang melayani 331
desa atau kelurahan. Untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak dilayani 459 tenaga bidan,
yang bekerja di puskesmas berjumlah 108 bidan dan didesa berjumlah 345 bidan.3
Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas AKI pada tahun 2009 sebesar
147,13/100.000 Kelahiran Hidup, turun menjadi 123,9/100.00 Kelahiran Hidup ditahun 2010.
Penyebab kematian ibu di tahun 2010 yaitu Emboli Air Ketuban (2,8%), Partus Lama
(2,85%), Infeksi (5,7%), Perdarahan (22,85%), Eklampsi (22,85%), sedangkan (42,8%)
adalah penyakit penyerta yaitu Jantung, TBC, Meningitis, Perdarahan otak, Demam berdarah
dan Liver. Ibu yang meninggal cenderung yang melakukan pemeriksaan antenatal lebih dari 4
kali kunjungan sebesar (90%). Dari data pencapaian program tahun 2010 yaitu K1 (100 %),
K4 (98,42 %), Deteksi Risti Nakes ( 20,24 %), Deteksi Risti Masyarakat (12,49%) dan
Persalinan nakes (90,17%). Data tersebut menunjukkan cakupan program pelayanan ibu
sudah mencapai target yang ditetapkan oleh Depkes RI dan Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, namun AKI di Kabupaten Banyumas cenderung masih
tinggi. Sejalan dengan tingginya akses pelayanan tersebut, maka kualitas asuhan antenatal
juga harus dimantapkan. Ibu hamil perlu mendapatkan perlindungan secara menyeluruh, baik
mengenai kehamilan dan komplikasi kehamilan. Pelayanan yang berkualitas dan sesuai
standar, perlu didukung kemampuan manajerial bidan dalam memberikan pelayanan
kebidanan.¹²
Dalam upaya penurunan AKI pemerintah memerlukan dukungan dari berbagai pihak
terutama bidan sebagai pelaksana dan pengelola pelayanan kebidanan dimasyarakat. Dalam
pelaksanaanya bidan dapat melakukan peran dan fungsinya dengan menggunakan dan
mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya melalui pemahaman tentang manajemen.
Bidan perlu meningkatkan kemampuan manajerial dalam pelayanan kebidanan.¹²
WHO mengembangkan konsep melalui empat pilar safe motherhood yaitu keluarga
berencana, asuhan antenatal, persalinan bersih dan aman serta pelayanan obstetri dasar.
Tujuan upaya ini adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu hamil, bersalin
dan nifas, disamping menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi baru lahir. Untuk
mencapai tujuan tersebut Depkes RI (1999) melakukan upaya safe motherhood yaitu
berupaya menyelamatkan wanita agar setiap wanita yang hamil dan bersalin dapat dilalui
dengan sehat dan aman serta menghasilkan bayi yang sehat dan aman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3.3 Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
1. Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan
professional (dokter spesialis obgyn, dokter umum, bidan dan perawat) seperti
pengukuran berat badan dan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus uteri,
imunisasi tetanus toxoid (TT) serta pemberian tablet besi kepada ibu hamil selama
masa kehamilannya sesuai pedoman pelayanan antenatal yang ada dengan titik berat
pada kegiatan promotif dan preventif. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat dari
cakupan palayanan K1 dan K4 (Dinkes Provsu, 2011).
Kunjungan baru ibu hamil (K1) adalah kunjungan ibu hamil yang pertama
kali pada masa kehamilan. Sedangkan cakupan K4 ibu hamil adalah kontak ibu hamil
dengan tenaga kesehatan yang keempat (atau lebih), untuk mendapatkan pelayanan
antenatal sesuai standar yang ditetapkan, dengan syarat: minimal satu kali kontak
pada triwulan I, satu kali kontak pada triwulan II, dan dua kali kontak pada triwulan
III (Depkes, 2009).
2. Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dengan Kompetensi
Kebidanan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pertolongan persalinan
oleh petugas kesehatan, tidak termasuk pertolongan pendampingan. Pertolongan
persalinan dilakukan oleh dokter ahli, dokter, bidan atau petugas kesehatan lainnya
yang telah memperoleh pelatihan tehnis untuk melakukan pertolongan kepada ibu
bersalin. Dilakukan sesuai dengan pedoman dan prosedur teknis yang telah ditetapkan
(Dinkes Provsu, 2011).
Periode persalinan merupakan salah satu periode yang berkontribusi besar
terhadap Angka Kematian Ibu di Indonesia. Kematian saat bersalin dan 1 minggu
pertama diperkirakan 60% dari seluruh kematian ibu. Sedangkan dalam target
MDG’s, salah satu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesehatan ibu
adalah menurunkan angka kematian ibu menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2015 dari 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992 (SKRT) serta
meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan
persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi
kebidanan (Depkes, 2011).
3. Cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas (KF3)
Masa nifas atau pueperium adalah masa setelah plasenta lahir dan berakhir
ketika alat “kandungan” seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama ± 6
minggu. Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar
pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca persalinan oleh tenaga kesehatan. Untuk
deteksi dini komplikasi pada ibu nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap
ibu nifas dengan melakukan kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali dengan
distribusi waktu: 1) kunjungan nifas pertama (KF1) pada 6 jam setelah persalinan
sampai 3 hari; 2) kunjungan nifas ke-2 (KF2) dilakukan dalam waktu hari ke-4
sampai dengan hari ke-28 setelah persalinan; dan 3) kunjungan nifas ke-3 (KF3)
dilakukan dalam waktu hari ke-29 sampai dengan hari ke-42 setelah persalinan
(Erliana, 2009).
Pelayanan kesehatan ibu nifas yang diberikan meliputi: 1) pemeriksaan
tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu; 2) pemeriksaan tinggi fundus uteri; 3)
pemeriksaan lokhia dan pengeluaran per vaginam lainnya; 4) pemeriksaan payudara
dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan; 5) pemberian kapsul Vitamin A 200.000 IU
sebanyak dua kali; 6) pelayanan KB pasca persalinan (Dinkes Provsu, 2011).
4. Rujukan Kasus Risti dan Penanganan Komplikasi
Dalam memberikan pelayanan khususnya oleh tenaga bidan di desa dan
puskesmas, beberapa ibu hamil yang memiliki resiko tinggi (risti) dan memerlukan
pelayanan kesehatan karena terbatasnya kemampuan dalam memberikan pelayanan,
maka kasus tersebut perlu dilakukan upaya rujukan ke unit pelayanan kesehatan yang
memadai.
Risti atau komplikasi kebidanan adalah keadaan penyimpangan dari normal,
yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.
Risti/komplikasi kebidanan meliputi; Hb < 8 g %, tekanan darah tinggi (sistole > 140
mmHg, diastole > 90 mmHg), oedema nyata, eklamsia, perdarahan pervaginam,
ketuban pecah dini, letak lintang pada usia kehamilan >32 minggu, letak sungsang
pada primigravida, infeksi berat/sepsis, persalinan prematur (Dinkes Provsu, 2011).
Kejadian komplikasi kebidanan dan risiko tinggi diperkirakan terdapat pada
sekitar 15-20% ibu hamil. Komplikasi dana kehamilan dan persalinan tidk selalu
dapat diduga atau diramalkan sebelumnya, sehingga ibu hamil harus berada sedekat
mungkin pada sarana pelayanan yang mampu memberikan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Agar puskesmas mampu melaksanakan
PONED maka harus didukung pula oleh tenaga medis terampil yang telah dilatih dan
adanya sarana medis maupun non medis yang memadai.
Komplikasi obstetri ini merupakan penyebab langsung kematian ibu, yaitu
perdarahan, infeksi, eklamsia, partus macet (persalinan kasip), abortus dan rupture
uteri (robekan rahim). Sedangkan komplikasi neonatal adalah neonatal dengan
penyakit dan kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan, dan kematian
yaitu seperti BBLR (berat badan lahir rendah <2500 gr.
Neonatal risti/komplikasi meliputi asfiksia, tetanus neonatorum, sepsis,
trauma lahir, BBLR (berat badan lahir <2.500 gr), sindroma gangguan pernafasan dan
kelainan neonatal. Neonatal risti/komplikasi yang tertangani adalah neonatal
risti/komplikasi yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan terlatih, dokter dan
bidan di polindes, puskesmas, rumah bersalin dan rumah sakit (Depkes, 2011).
5. Kunjungan Neonatal (KN1 dan KN3)
Kunjungan neonatal adalah kontak neonatal dengan tenaga kesehatan minimal
2 (dua) kali untuk mendapatkan pelayanan dan pemeriksaan kesehatan neonatal, baik
didalam maupun diluar gedung puskesmas (termasuk bidan desa, polindes dan
kunjungan rumah) dengan ketentuan (Depkes, 2009) :
a. Kunjungan pertama kali pada hari pertama sampai pada hari ke tujuh (sejak 6 jam
setelah lahir 7 hari)
b. Kunjungan kedua kali pada hari ke delapan sampai dengan hari keduapuluh
delapan (8-28 hari)
Petugas kesehatan dalam melaksanakan pelayanan neonatus disamping
melakukan pemeriksaan kesehatan bayi, juga dilakukan konseling perawatan bayi
kepada ibunya. Pelayanan tersebut meliputi pelayanan kesehatan neonatal dasar
(tindakan resusitasi, pencegahan hipotermia, pemberian ASI dini dan eksklusif,
pencegahan infeksi berupa perawatan mata, tali pusat, kulit dan pemberian
imunisasi), pemberian vitamin K, manajemen terpadu balita muda (MTBM) dan
penyuluhan perawatan neonatus di rumah menggunakan buku KIA (Dinkes Provsu,
2011).