paper-masalah kemiskinan pedesaan di jawa timur
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Wilayah pedesaan selalu identik dengan masalah kemiskinan. Dengan anggapan
bahwa pedesaan jarang sekali diperhatikan kesejahteraannya dibanding dengan masyarakat
perkotaan. Ini lah yang memicu pedesaan mengalami kemiskinan. Pada hakekatnya masalah
kemiskinan tidak terlepas dari masalah yang lebih besar, yaitu masalah ketimpangan antar
wilayah dan antar golongan penduduk. Masalah ketimpangan ini sangat rumit dan hanya
dapat diatasi secara bertahap berkesinambungan. Ketimpangan sosial, yang melibatkan
berbagai lapisan masyarakat merupakan masalah yang mendesak.
Setidaknya 70 persen dari penduduk dunia sangat miskin di pedesaan, dan sebagian
besar masyarakat miskin dan lapar adalah anak-anak dan orang muda. Baik dari fakta-fakta
kemungkinan perubahan dalam waktu dekat, meskipun urbanisasi luas dan demografis di
semua daerah. Asia Selatan, dengan jumlah terbesar penduduk miskin pedesaan, dan sub-
Sahara Afrika, dengan kejadian tertinggi kemiskinan di pedesaan, adalah wilayah paling
parah terkena dampak kemiskinan dan kelaparan. Tingkat kemiskinan bervariasi Namun,
tidak hanya antar daerah dan negara, tetapi juga di dalam negara. Mata pencaharian rumah
tangga miskin di pedesaan beragam antar daerah dan negara, dan dalam negara. Mata
pencaharian yang bervariasi, dari petani kecil-termasuk produksi peternakan dan perikanan
rakyat-upah tenaga kerja pertanian, wirausaha dalam perekonomian non-pertanian pedesaan
dan migrasi.
Gambar 1Diagram Jumlah Penduduk dengan Pendapatan Kurang Dari US $1/hari
Sumber: World Bank,2000
Di Indonesia, hingga saat ini desa tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada
tahun 1998 dari 49,5 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60%-nya (29,7 juta jiwa)
tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1999, prosentase angka kemiskinan mengalami
penurunan dari 49,5 juta jiwa menjadi 37,5 juta jiwa. Prosentase kemiskinan di daerah
perkotaan mengalami penurunan, tetapi prosentase kemiskinan di daerah pedesaan justru
mengalami peningkatan dari 60% tahun 1998 menjadi 67% tahun 1999 sebesar 25,1 juta
jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12,4 juta jiwa (BAPPENAS, 2004).
Lebih dari 56,86 persen penduduk di Indonesia bertempat tinggal di pedesaan, dan 14,15
persen dari penduduk tersebut adalah orang miskin (BPS, 2009). Sampai saat ini, kemampuan
masyarakat pedesaan sering diperlakukan secara terpisah dari investasi dalam menciptakan
peluang untuk pembangunan pedesaan.
Gambar `2Jumlah dan Persentase penduduk Miskin Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah), 2010
PEMBAHASAN
Definisi Kemiskinan
Pengertian dan definisi tentang kemiskinan sangat beragam sesuai evolusi ilmu
pengetahuan atau perkembangan ilmu sosial. Hall dan Midgley (2004:14), menyatakan
kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang
menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana
individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam
masyarakat. Kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas
pada) modal yang produktif atau assets (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan,
dan lainnya) sumber-sumber keuangan, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan
untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-
barang; pengetahuan, keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna (Friedmann,
1979: 101). Kemiskanan seringkali dipahami sebagai fenomena rendahnya kesejahteraan
semata, namun kemiskinan itu sendiri sebenarnya merupakan fenomena yang bersifat
kompleks dan multidimensi.
Menurut Encyclopedia Of The City 2005 kemiskinan diartikan menjadi dua yaitu (1)
Absolut poverty defines minimum requirements needed for physical survival, including food,
water, shelter and healthcare, (2) Relative poverty is defined as what is required to
participate in the ‘normal’ life of a particular society. Poverty exists when such universal
needs are not met.
Badan Koordinasi Penanggulanan Kemiskinan (BKPK) berkerjasama dengan
Lembaga Penelitian SMERU (2001) menjelaskan beberapa definisi kemiskinan :
a) Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendekatan dalam bentuk uang
ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang diterima oleh seseorang.
Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan
kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
b) Kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki aset-aset seperti tanah,
rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan lain-lain.
c) Kemiskinan non material meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk
memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga, dan kehidupan yang layak.
Dimensi Kemiskinan
Pengertian kemiskinan memiliki dimensi meliputi ekonomi, sosial-budaya dan politik.
Ellis (1984:242-245) dalam E. Suharto, misalnya, menunjukkan bahwa dimensi kemiskinan
menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat
didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam
konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan
(wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power).
Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan
kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya.
Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur
sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan
produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang
disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang
dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor
penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal.
Indikator Kemiskinan
Menurut data BPS, rumah tangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih
besar dari pada rumah tangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata rata
mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumah tangga miskin di
perdesaan adalah 4,8 orang. Indikator kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik yaitu :
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal < 8m2 per orang.
2. Lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak mempunyai fasilitas buang air besar
5. Penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar /arang /minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam satu minggu.
9. Hanya membeli satu setel pakaian baru dalam satu tahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas /poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani : dengan luas lahan < 0,5 ha,
buruh tani, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan
pendapatan di bawah Rp 600.000,00 perbulan.
13. Pendidkan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp
500.000,00 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau
barang modal lainnya.
Penyebab Kemiskinan Pedesaan
“Causes of poverty are multidimensional, poverty is the result of econom economic,
social and economic processes that interact with each other and frequently reinforce each
other in ways that exacerbate the state of deprivation in which the poor live” (World Bank,
2000).
Kemisikinan yang terjadi di pedesaan disebabkan oleh banyak faktor namun untuk
lebih memudahkan di dalam mengerti faktor-faktor tersebut maka penyebab kemiskinan di
pedesaan akan dibahas dalam tujuh aspek utama sebagai berikut:
1. Aspek Sosial dan Budaya:
Dari segi budaya seperti pada teori kemiskinan budaya (cultural poverty) yang
dikemukakan oleh Oscar Lewis menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai
akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin,
seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, pilihan yang
salah. Oleh sebab itu budaya dari suatu masyarakat atau individu juga memberikan
kontribusi bagi kemiskinan di pedesaan.
2. Aspek Pendidikan dan Sumber Daya Manusia
Akses kepada kesempatan kerja dan ekonomi formal terhalang oleh tingkat
pendidikan formal hal ini menyebabkan kualitas masyarakat di pedesaan semakin
rendah, sehingga mereka tidak mampu untuk mengembangkan usaha-usaha pertanian
yang produktif (diversifikasi produk pertanian) guna mencukupi kebutuhan dasar
yang lebih rendah karena lapangan pekerjaan yang tersedia semakin menuntut
keahlian dari setiap individu. Hal ini menyebabkan masyarakat yang bekerja sebagai
petani tidak dapat beralih pada pekerjaan lain.
Ketidaksetaraan gender menjadi salah satu penyebab kemiskinan di pedesaan.
Terutama dirasakan oleh kaum perempuan dan seringkali menjadi kelompok yang
terpinggirkan. Menurut UNDP dalam Millenium Development Goals (MDGs) sekitar
75% perempuan di dunia tidak bisa mendapatkan pinjaman bank karena mereka
memiliki pekerjaan yang tidak dibayar atau tidak aman dan tidak berhak atas
kepemilikan properti, mayoritas anak perempuan tidak bersekolah, hampir 2/3 wanita
di negara berkembang bekerja di sektor informal atau sebagai pekerja yang tidak
dibayar di rumah. Selain itu juga penduduk miskin di daerah pedesaan di dominasi
oleh anak-anak dan orang muda.
Bagi nelayan: pemahaman teknik penangkapan dan pemanfaatan hasil tangkapan
masih rendah akibat rendahnya kualitas SDM dan rendahnya tingkat pendidikan.
Nelayan tidak pernah memikirkan dampak di masa yang akan datang bahwa ikan
yang di bom atau di potasium secara alamiah akan merusak ekosistem laut yang
berakibat pada hilangnya bibit bibit ikan (Budiantoro, 2010).
3. Aspek Ekonomi
Dalam aspek ekonomi salah satu yang menyumbang penyebab terjadinya kemiskinan
ialah perkreditan pertanian di desa: dalam masa 1972-1981, kredit perbankan untuk
pertanian se-Indonesia tumbuh 28% per tahun. Namun porsi nilai kredit pertanian
menurun, beralih ke bidang-bidang dagang, industri, dan jasa. Sistem perbankan
belum sesuai kebutuhan masyarakat desa. Di desa-desa sampel baru 15% rumah
tangga yang terlibat dalam kredit formal, sedangkan 19% lainnya dari kredit informal,
(Studi Dinamika Pedesaan: Proyek Survey Agro-Ekonomi, Departemen Pertanian).
Keterbatasan akses masyarakat miskin pedesaan terhadap modal yang cukup bagi
kegiatan ekonomi di pedesaan.
Persentase pekerja di pedesaan lebih tinggi namun, jenis pekerjaan di dominasi oleh
pekerjaan domestik yang tidak dibayar seperti buruh tani atau wirausaha dengan
mengeksploitasi diri sendiri.
Keterbatasan masyarakat pedesaan akan pasar produk serta adanya keterbatasan
peluang kerja di sektor non-pertanian, keterbatasan peluang kerja di luar pertanian
sangat tinggi akibat minimnya pendidikan, ketrampilan dan modal.
Adanya sistem pemasaran hasil pertanian yang menguntungkan satu pihak. Sistem
pemasaran yang dilakukan adalah pemasaran hasil panen melalui pedagang perantara
atau tengkulak.
4. Aspek kebijakan dan Tata Kelola Pemerintahan
Apabila melihat kemiskinan dari dimensi politik maka kemiskinan dilihat dari tingkat
akses terhadap kekuasaan. Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem
politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau
dan menggunakan sumberdaya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan seringkali
terjadi kesewenang-wenangan dalam menggunakan kekuasaan yang berakibat pada
tata kelola pemerintahan yang kurang baik (bad governace) salah satunya tindak
korupsi di kalangan pemerintah. Penerapan kebijakan pembangunan pedesaan yang
tidak sesuai dengan kondisi pedesaan yang ada karena tiap pedesaan memiliki
tipologinya masing-masing oleh sebab itu berbeda-beda penanganannya.
Adanya kebijakan pembangunan yang tidak memberdayakan petani khususnya pada
subsidi pupuk dan obat yang kurang tepat sasaran. Hal ini dikarenakan petani merasa
kesulitan dalam mendapatkan pupuk dan obat yang telah disediakan.
Dalam istilah Gramsci-hegemoni (dominasi satu ras/kota/negara dalam hal pengaruh
atau kekuatan). Artinya desa dibuat sedemikian rupa menjadi ‘mahluk’ yang
menghambakan segala kehormatannya kepada ‘mahluk’ kota (Studi oleh Indonesia
Institute for Public Policy and Development Studies).
5. Aspek Prasarana dan Sarana
Keterbatasan masyarakat pedesaan akan fasilitas publik menyebabkan masyarakat di
pedesaan terus mengalami kemiskinan, antara lain:
Keterbatasan akses terhadap fasilitas pendidikan.
Akumulasi dari keterbatasan kesempatan kerja dan ekonomi formal menyebabkan
keterbatasan pada akses terhadap fasilitas kesehatan.
Kurangnya infrastruktur dasar di daerah pedesaan seperti jalan
Rendahnya kualitas sarana tempat tinggal dan sarana MCK di pedesaan seringkali
menyebabkan kondisi kesehatan masyarakat pedesaan mudah terserang penyakit dan
cenderung jenis penyakit yang menular yang pada akhirnya mempengaruhi segala
kegiatan ekonomi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
6. Aspek Kondisi Fisik Alam (SDA) dan Geografi termasuk perubahan iklim global.
Keterbatasan sumber daya alam yang dipengaruhi oleh kondisi topografi, setiap
desa, atau bahkan negara memiliki kondisi topografi yang berbeda-beda sehingga
menyebabkan lahan pertanian, perkebunan di tiap desa di berbagai negara
berbeda-beda pula tingkat kesuburannya.
Wabah hama yang merusak produk pertanian dan keterbatasan akses akan obat
pembasmi hama.
Perubahan iklim global yang terjadi belakangan ini juga menyebabkan iklim dan
cuaca yang terus berubah sehingga mempengaruhi proses kegiatan pertanian,
perikanan, perkebunan maupun peternakan di daerah pedesaan.
7. Aspek Teknologi dan Informasi
Keterbatasan modal, informasi dan teknologi penangkapan, menyebabkan nelayan
seringkali menggunakan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga
terjadi kerusakan ekosistem, tidak adanya deversifikasi usaha penangkapan, kurang
adanya hubungan kerja dalam organisasi penangkapan, ketergantungan terhadap
okupasi melaut sedangkan petani kesulitan menemukan pasar akibat terbatasnya
informasi pasar permintaan akan bahan pangan, seringkali teknologi yang digunakan
juga tidak tepat sasaran.
Kondisi kemiskinan pedesaan di Jawa Timur
Jawa Timur merupakan sebuah provinsi dengan luas sekitar 47 ribu km2. Secara
geografis provinsi ini terdiri dari dua bagian, yaitu wilayah bagian timur Pulau Jawa (90%)
dan seluruh Pulau Madura dan Pulau Bawean (10%). Ibu kota provinsi ini adalah Surabaya
yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Jawa Timur memiliki 29
kabupaten dan 9 kota. Pada 2005, jumlah penduduk Jawa Timur adalah lebih dari 35 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan penduduk pertahunnya 0,45%. Di Jawa Timur, produk domestik
regional bruto (PDRB) per kapita pada 2000 (dengan memperhitungkan gas dan minyak)
sebesar Rp1.600.000.
Salah satu problema yang dihadapi Jawa Timur dewasa ini adalah makin
meningkatnya tekanan dan kondisi kemiskinan di pedesaan. Kendati pembangunan fisik tak
kalah dengan perkembangan kota metropolitan di Indonesia bahkan di dunia, tetapi berbagai
masalah lain seperti kemiskinan, kualitas layanan, kesehatan masyarakat, pendidikan dan
kualitas sumber daya manusia masih belum tertangani secara maksimal.
Di Jawa Timur, kendati penanggulang-an kemiskinan merupakan salah satu program
prioritas, tetapi selama 5 tahun di bawah era kepemimpinan Imam Utomo ternyata angka
kemiskinan justru meningkat. Dari hasil pembacaan nota pertanggungjawaban akhir masa
jabatan Gubernur di hadapan Rapat Paripurna DPRD Jatim, terungkap bahwa jumlah
penduduk miskin di Jawa Timur ternyata justru meningkat menjadi 20,34 % (7,1 juta jiwa).
Padahal, tatkala Imam Utomo mulai memimpin Jawa Timur, persentase angka kemiskinan
tercatat hanya 19,53 % atau sekitar 6,8 juta jiwa. Sementara tahun 2005 menurut data
Analisis Indikator Makro Jawa Timur, menunjukkan angka sebesar 8.390.996 jiwa.
Menurut BPS, kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu
dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Standar ini disebut garis
kemiskinan, yakni nilai pengeluaran konsumsi kebutuhan dasar makanan setara 2.100 kalori
energi per kapita per hari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan
yang paling pokok. Kekeliruan di masa lalu yang acapkali terjadi adalah kemiskinan
didefinisikan semata hanya sebagai fenomena ekonomi, dalam arti rendahnya penghasilan
atau tidak dimiliki-nya mata-pencaharian yang cukup mapan untuk tempat bergantung hidup.
Definisi seperti ini, untuk sebagian mungkin benar, tetapi diakui atau tidak kurang
mencermin-kan kondisi riil yang sebenarnya dihadapi keluarga miskin. Kemiskinan
sesungguh-nya bukan semata-mata kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup
pokok atau standar hidup layak, namun lebih dari itu esensi kemiskinan adalah menyangkut
kemungkinan atau probabilitas orang atau keluarga miskin itu untuk melangsungkan dan
mengembang-kan usaha serta taraf kehidupannya.
Fenomena kemiskinan yang terjadi di jawa timur ini dibarengi dengan beberapa
kenyataan bahwa ketersediaan sumberdaya alam menjadi semakin terbatas; semakin
rendahnya rata-rata pemilikan lahan pertanian; nilai tukar yang semakin rendah antara hasil
pertanian dengan hasil-hasil industri, dan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagai
akibat lanjutan dari keadaan ini terjadi proses pemiskinan sumberdaya manusia, jumlah
kelompok miskin menjadi semakin banyak dan bahkan cenderung terjadi pada sebagian besar
masyarakat di wilayah pedesaan.
Beberapa hal yang diperkirakan menjadi penyebab kemiskinan di wilayah pedesaan
Jawa Timur, yaitu (a) kapabilitas sumberdaya lahan yang rendah, (b) lokasi yang terisolir
dan/atau terbatasnya sarana dan prasarana fisik, (c) keterbatasan penguasaan modal dan
teknologi, (d) lemahnya kemampuan kelembagaan (formal dan non-formal) penunjang
pembangunan di tingkat pedesaan, dan (e) masih rendahnya akses sosial masyarakat terhadap
peluang-peluang "bisnis" yang ada
Lokasi
Lokasi wilayah miskin seringkali jauh dari pusat-pusat pelayanan "Kota Kecamatan".
Keterbatasan sarana dan prasarana perhubungan, area yang luas, dan kondisi bentang
lahan dengan topografi "berat" mengakibatkan transfer informasi, materi dan moneter
antara desa dengan pusat pelayanan formal menjadi sangat terbatas. Pada umumnya
transportasi antar lokasi dalam wilayah miskin masih sangat terbatas.
Keadaan Agroekologi
Rataan curah hujan tahunan di wilayah miskin berkisar antara 1500 - 2000 mm, dengan
suhu rata-rata berkisar 22oC - 26oC. Gambaran umum neraca lengas lahan dan lamanya
musim pertumbuhan selama setahun dicirikan oleh defisit lengas selama 4-5 bulan.
Tingkat kesuburan tanahnya beragam dari rendah (Tanah Litosol) hingga relatif tinggi
(Tanah Kambisol dan Mediteran). Kondisi bentang lahan di wilayah miskin dicirikan oleh
bentuk lahan bergelombang dan berbukit (rata-rata 60-80% dari total luas wilayah) , dan
sisanya merupakan lahan berombak hingga datar. Daerah datar hingga berombak dikelola
penduduk sebagai lahan pertanian tanaman pangan (sawah tadah hujan dan tegalan),
sedangkan kebun campuran umumnya berlokasi di daerah bergelombang hingga berbukit.
Penggunaan Lahan dan Sistem Produksi Pertanian
Penggunaan lahan pertanian didominasi oleh lahan kering tadah hujan. Sistem pertanian
lahan kering merupakan penggunaan terluas (60-80%) yang dikelola oleh penduduk
setempat, berupa tegalan dengan tanaman palawija dan kebun campuran dengan aneka
tanaman tahunan.
Sumberdaya Hutan dan Air
Sumberdaya hutan di sekitar kawasan pemukiman pedesaan memberikan sumbangan
yang cukup "berarti" bagi masyarakat di sekitarnya. Hasil hutan yang lazim dimanfaatkan
penduduk adalah kayu bakar, hijauan pakan, dedaunan, dan umbi-umbian. Di beberapa
lokasi intervensi masyarakat terhadap kawasan hutan telah melampaui batas yang
“diperbolehkan”, sehingga diperlukan strategi khusus untuk mengarahkannya.
Air yang dapat dimanfaatkan adalah air hujan, air permukaan (mata air, sungai, danau),
dan air bawah tanah (groundwater). Surplus air hujan yang terjadi selama 3-4 bulan pada
musim penghujan belum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian. Surplus air
hujan ini sebagian besar menjadi run-off karena kapasitas infiltrasi tanah umumnya agak
rendah dan kemiringan lahan umumnya lebih dari 30%. Tindakan untuk menahan dan
menampung surplus air hujan ini di tempat jatuhnya dipandang mempunyai peluang yang
cukup baik untuk memperbaiki tata air.
Demografi dan Kependudukan
Sistem pendidikan masyarakat di wilayah miskin secara fungsional dilayani oleh berbagai
kelembagaan pendidikan formal dan nonformal. Peranan lembaga non-formal tampaknya
cukup besar dan mempunyai peluang untuk dikembangkan lebih jauh untuk dapat
menjadi komplemen dan sekaligus mendukung program-program pemberdayaan
masyarakat.
Sebagian besar masyarakat mempunyai mata pencaharian dalam sektor pertanian tanaman
pangan (70-80%), sedangkan lainnya dalam sektor-sektor perkebunan, peternakan,
industri/pengrajin, buruh-buruh, perdagangan dan jasa-jasa lainnya seperti jasa angkutan.
Angkatan kerja (terutama angkatan muda) di sebagian besar wilayah pedesaan tidak
semuanya tertampung dalam lapangan kerja di pedesaan, sebagian bekerja sebagai buruh
bangunan atau bidang jasa lain di luar wilayah kecamatan.
Persepsi, sikap, dan motivasi masyarakat pedesaan untuk mencapai taraf kehidupan yang
lebih baik pada umumnya sudah benar. Hal ini tercermin dalam etos kerja masyarakat
pedesaan "yang tidak mengenal lelah" dalam mengelola sumberdaya alam yang dikuasai
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penguasaan Modal dan Teknologi
Umumnya penguasaan masyarakat pedesaan terhadap modal dan teknologi sangat
terbatas. Mekanisme akumulasi modal hanya bertumpu kepada hasil produksi
pertaniannya yang relatif rendah, akses terhadap fasilitas modal formal sangat terbatas
atau bahkan tidak ada. Teknologi yang dikuasai berasal dari "warisan orang tua",
sedangkan kegiatan transfer teknologi melalui agensi-agensi formal masih sangat terbatas.
Peranan kelembagaan non-formal dan tokoh panutan non-formal lebih berperanan
dibandingkan dengan kelembagaan formal.
Kurangnya kegiatan-kegiatan/fasilitas lapangan kerja di luar bidang pertanian primer
tampaknya berkaitan erat dengan keterbatasan penguasaan modal dan teknologi oleh
penduduk dan kurangnya informasi pasar di luar daerah. Program-program pelatihan
ketrampilan dan kredit formal selama ini masih belum mampu secara efektif menjangkau
kelompok masyarakat miskin di pedesaan. Program kredit formal yang ada selama ini
kurang menarik di kalangan mereka, karena penyaluran kredit tersebut harus melibatkan
prosedur yang dianggap cukup rumit.
Dari masalah kemiskinan yang telah dikemukakan diatas. Tercatat bahwa saat ini, pedesaan
masih menjadi kantong kemiskinan yang belum bisa diatasi secara maksimal oleh
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim). Ini terlihat dari besarnya angka
kemiskinan yang ada di pedesaan sampai bulan Maret 2010.
Data Badan Pusat Statistik Jatim menunjukkan bahwa 66,12% dari jumlah penduduk miskin
di Jatim pada bulan Maret 2010 yang mencapai 5,529 juta jiwa berada di daerah pedesaan,
naik sebesar 0,85% dari Maret 2009 yang mencapai 65,26%. Sementara kemiskinan di
perkotaan pada Maret 2010 hanya menyumbang sebesar 33,88%. Hal ini disebabkan karena
penurunan jumlah rakyat miskin di perkotaan jauh lebih besar dari penurunannya di
pedesaan selama satu tahun ini. Padahal jumlah kemiskinan di pedasaan selama ini lebih
besar dari perkotaan. (Kabarbisnis.com,2010).
Data BPS menunjukkan, selama periode Maret 2009 sampai Maret 2010, penduduk miskin
di daerah pedesaan berkurang hanya sekitar 218.320 jiwa, dan kemiskinan di daerah
perkotaan berkurang sebesar 274.970 jiwa.
Kemiskinan Pedesaan dari Perspektif Masyarakat Pedesaan di Kabupaten Sampang,
Jawa Timur.
Pemerintah seringkali melihat kemiskinan dari segi infrastruktur, pendapatan,
produktivitas, dan beberapa indikator pelayanan umum lainnya. Oleh sebab itu, perspektif
kemiskinan dari sudut pandang masyarakat miskin itu sendiri seringkali terabaikan, karena
perspektif pemerintah lebih mendominasi, terutama karena perannya sebagai pembuat
kebijakan yang harus dipatuhi. Akibatnya program-program pemerintah dalam mengentaskan
kemiskanan yang lebih mendominasi daripada inisiatif program dari masyarakat miskin itu
sendiri. Akumulasi akibat tersebut adalah tidak tepatnya sasaran kebijakan pengentasan
kemiskanan pada masyarakat pedesaan yang ada malah menambah beban baru bagi
masyarakat itu sendiri. Realitas persepsi sebagaimana yang di kemukakan masyarakat miskin
itu sendiri pada lokasi dan lingkungan sosiogeografi dan sosiodemografi yang berbeda akan
berimplikasi pada berbagai upaya penanggulangan kemiskinan.
Indikator kemiskinan dalam perspektif masyarakat miskin di daerah pesisir pantai
(Desa Dharma Tanjung, Kabupaten Sampang, Jawa Timur):
1. Orang miskin itu tidak mempunyai peralatan ke laut.
2. Orang miskin itu tidak memiliki modal usaha.
3. Orang miskin itu tidak dapat melanjutkan pendidikan anaknya.
4. Orang miskin itu tidak bisa merantau.
Indikator kemiskinan dalam perspektif masyarakat miskin di daerah perkotaan (Desa
Kamoning, Kabupaten Sampang, Jawa Timur):
1. Orang miskin itu tidak punya tempat berusaha.
2. Orang miiskin itu tidak memiliki keterampilan dan modal.
3. Orang miskin itu tidak memiliki kendaraan.
4. Orang miskin itu tidak berpendidikan tinggi.
5. Orang miskin itu tidak memiliki tempat tinggal dan lahan.
Indikator kemiskanan dlam perspektif masyarakat miskin berbasis pertanian (Desa
Astapah, Kabupaten Sampang, Jawa Timur):
1. Orang miskin itu tidak mempunyai lahan pertanian yang berpengairan teknis.
2. Orang miskin itu tinggal di rumah tidak layak huni.
3. Orang miskin itu tidak makan 3 kali sehari.
4. Orang miskin itu tidak mempunyai harta pustaka
5. Orang miskin itu tidak mempunyai ternak pembajak.
6. Orang miskin itu tidak mempunyai anak yang bekerja tetap.
Pada umumnya masyarakat miskin merasakan bahwa ia adalah miskin. Ia mempunyai
persepsi tentang kemiskinan secara absolute, karena mereka merasa miskin disebabkan
penghasilannya belum mencukupi kebutuhan pokoknya seperti pangan, sandang dan papan.
Sedangkan kesehatan dan pendidikan walaupun dirasakan penting tetapi belum dilihat
sebagai kebutuhan pokok, dengan demikian ia tidak menjadikan sebagai prioritas dalam
mengalokasikan pengahasilannya untuk kedua kebutuhan tersebut.
Studi Kasus Desa Alas Kokon, Madura, Jawa Timur
Tabel 1
Indikator Kesejahteraan menurut Masyarakat Petani Lahan Kering, Desa Alas Kokon, Madura, Jawa Timur
Sumber: Indopov (The World Bank), 2006
Desa ini terdiri dari 508 rumah tangga di Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Modung, di
Pulau Madura. Desa ini memiliki tingkat kemiskinan 46% menurut peta kemiskinan BPS, dan
80% menurut kriteria BKKBN. Berdasarkan standar lokal, mereka merasa berada pada
tingkat kemiskinan 67%. Rumah tangga bergantung pada pertanian musiman lahan kering
(jagung, kacang kedelai, cabai, kacang polong, dan tanaman musiman seperti mangga, pisang
dan kapuk). Alas Kokon memiliki satu sekolah dasar negeri dan satu sekolah dasar swasta.
Ada sebuah puskesmas pembantu dan polindes yang berjarak tujuh kilometer. Air bersih
yang tersedia di dalam sumur terbatas secara kuantitas dan sanitasi rendah.
Layanan Pendidikan
Penduduk Alas Kokon di Madura lebih menyukai Madrasah daripada SD Negeri. Alasan
orang tua untuk pilihan ini adalah:
Madrasah tidak mengharuskan seragam yang mahal.
Guru-guru lebih disiplin dan menetap di Madrasah. Guru SDN sering kali absen/tidak
disiplin.
SDN hanya mengajarkan anak-anak untuk membaca, menulis dan berhitung. Di
Madrasah mereka juga belajar agama dan membaca Al Qur’an.
Kurangnya sekolah menengah berarti anak-anak perempuan harus menikah.
Kehidupan anak perempuan berubah drastis jika sekolah menengah tidak dapat dijangkau,
baik karena jarak yang jauh maupun karena biaya. Dalam keadaan demikian, anak perempuan
akan segera menikah setelah lulus sekolah dasar dan hamil pada saat mereka baru saja
memasuki masa puber. Pada 15 September 2005, di desa Alas Kokon di Madura, para
peneliti bertemu dengan Nurhayati yang berusia 14 tahun. Dia baru saja melahirkan anak
pertamanya, setelah tiga hari tiga malam mengalami kesulitan persalinan. Awalnya dia
dibantu oleh dukun beranak setempat, namun kemudian bidan di desa harus dipanggil untuk
menolong. Untung kali ini nyawanya tertolong.
Karena tidak ada sekolah menengah di desa ini, setiap anak perempuan langsung
menikah setelah lulus sekolah dasar. Kehamilan di usia muda tidak dapat dihindari, ini berarti
kemungkinan angka kematian akan semakin tinggi. Bagaimana Nurhayati dan anak-anak
perempuan muda lainnya bisa diberdayakan untuk mendapatkan kontrol atas badan dan hidup
mereka?.
Hanya sekolah dasar negeri yang diamati, Sekolah di pedesaan dinilai dalam kondisi
buruk, sehingga mutu layanan secara signifikan lebih rendah daripada sekolah di perkotaan.
Walaupun semua sekolah dasar dirancang untuk Kelas 1 sampai dengan 6, sekolah di
pedesaan hanya memiliki dua atau tiga ruang kelas, sehingga beberapa kelas harus
dikelompokkan bersama. Tidak satupun sekolah dasar pedesaan yang memiliki air bersih.
Separuh sekolah tidak memiliki fasilitas sanitasi. Fasilitas sanitasi di sekolah lain tidak dapat
digunakan. Tidak satu sekolahpun memiliki sambungan listrik atau perpustakaan. Tiga
sekolah memiliki atap yang rusak.
Tingkat kehadiran dalam satu hari pengamatan di empat sekolah pedesaan berkisar
antara 28 hingga 92 persen. Ruang kelas berdebu dan kotor, dengan lantai rusak, namun ada
cukup banyak kursi, ventilasi, dan cahaya matahari. Papan tulis merupakan satu-satunya
perangkat mengajar di ruang kelas. Tidak ada hasil karya murid yang dipajang di dinding.
Sering kali, murid ditinggalkan sendirian di ruang kelas tanpa guru. Tingkat disiplin rendah.
Guru tidak tinggal di desa melainkan datang dan pergi dari daerah perkotaan, dan sering
terlambat atau tidak hadir. Alasan mereka ialah kurangnya air bersih dan layanan sanitasi.
Pada murid di kelas yang diamati hanya kurang dari seperempat yang memiliki buku
pelajaran dan alat tulis; pengajar menunjukkan kemampuan mengajukan pertanyaan yang
terbatas dan tidak melakukan interaksi dengan murid-murid, selain itu, tidak ada murid yang
bertanya di kelas manapun. Para guru menunjukkan tidak ada bias jender dalam menghadapi
murid-murid, dan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa
daerah.
Layanan Kesehatan
Masyarakat miskin yang menggunakan jasa dukun beranak untuk layanan pra-persalinan
menyadari bahwa dukun beranak tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai untuk
mendeteksi atau menangani kehamilan yang berisiko tinggi; juga tidak memberikan vitamin
tambahan atau imunisasi TT. Meskipun demikian, mereka memilih untuk menggunakan jasa
dukun beranak dengan alasan berikut:
Dukun beranak selalu ada di tempat, sementara bidan jarang ada di Polindes atau Pustu
setempat.
Dukun beranak tinggal dekat dengan rumah mereka, sementara Puskesmas berada jauh
dan membutuhkan biaya transportasi.
Dukun beranak mengenakan biaya Rp.1.000 sampai Rp.5.000 per kunjungan, kadang-
kadang hanya dibayar dengan beras atau kelapa; biaya bidan tiga sampai lima kalinya.
Dukun beranak tahu bagaimana mengubah posisi janin ”jika kepalanya tidak berada di
posisi yang benar”.
Berpengalaman, telah banyak membantu persalinan bayi sehat sebelumnya.
Terpercaya dan terkenal.
Layanan Air Bersih dan Sanitasi
Rumah-rumah tangga di Alas Kokon menghabiskan 150 hingga 200 jam sebulan
mengangkut air untuk mencuci, mandi, dan ternak. Warga perempuan di desa itu mengatakan
mereka butuh “dua sampai tiga kali perjalanan ke sungai untuk membawa air dari sungai
sejauh 1,5 kilometer,” sambil mengambil air, mereka juga mencuci dan mandi, ketiga
kegiatan ini “menghabiskan lebih dari tiga jam sehari.”
Kuota 20 liter/hari/rumah tangga, hanya untuk masak dan minum, waktu yang
dikeluarkan 8-10 jam/orang/rumah/bulan.
Tidak ada bayaran.
Mengambil air sungai untuk keperluan lain, menghabiskan 210jam/rumah/bulan
Menggunakan lubang jamban sederhana di/dekat rumah.
Penduduk perempuan (61%) dan laki-laki (74%) mengatakan bahwa mereka buang air besar
di alam terbuka, disungai, pantai, kolam, sawah dan semak-semak. Jamban lubang terbuka
rumah tangga yang tidak aman digunakan oleh 25 hingga 35% lainnya. Terdapat sekadar
galian lubang di halaman.
Gambar 3Jamban terbuka di halaman belakang rumah bisa dijangkau oleh hewan peliharaan,
sehingga memungkinkan penyebaran penyakit.Sumber: Indopov (The World Bank), 2006
Daftar Pustaka
........Agenda 21 Jawa Timur. Diakases 13 Mei 2011.
<http://www.images.soemarno .multiply.multiplycontent.com/... /Bab3-PENGENTASAN
%20MISKIN.doc?...>
......2010. 66,12% penduduk miskin Jatim ada di desa. Diakses 15 Mei 2011.< http:// www.kabarbisnis.com/ nasional/2812958-6612penduduk_miskin Jatim_ada di desa .html>
Brighten Institute, 2008, Kemiskinan di Pedesaan dan Perlunya Pendekatan yang Tepat (URL:http://www.brighten.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67:kemiskinan-di-pedesaan-dan-perlunya-pendekatan-yang-tepat&catid=50:sikap-kami&Itemid=44). Diakses tanggal 28 Maret 2011-04-08
Mukherjee,Nilanjana,2006,Suara Masyarakat Miskin: Mengefektifkan pelayanan bagi
Masyarakat Miskin di Indonesia, Indopov-The World Bank, Jakarta.
Rural Poverty Report 2011 New Realities, New Challenges: New Opportunities For Tomorrow’s Generation, International Fund For Agricultural Development (IFAD), (URL: http://www.ifad.org) . Diakses tanggal 28 Maret 2011
Rural Poverty Portal : Rural Poverty in Indonesia (URL:http://www.ruralpovertyportal.org/web/guest/country/home/tags/indonesia). Diakses tanggal 6 April 2011.
World Bank, 2011, World Development Report 2000/2001 :Attacking Poverty. (URL:http://data.worldbank.org/). Diakses tanggal 4 April 2011
World Bank, 2011, World Development Report 2008 :Agriculture For Development. (URL:http://data.worldbank.org/). Diakses tanggal 4 April 2011
World Bank, 2011, Permasalahan Sektor Pedesaan dan Pertanian di Indonesia (URL:http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAINBAHASAEXTN/0,,contentMDK:22565240~pagePK:141137~piPK:141127~theSitePK:447244,00.html). Diakses tanggal 4 April 2011
KTW 328-Analisis Kebijakan Publik
Masalah Kemiskinan Pedesaan di Jawa Timur
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kuliah Analisis Kebijakan Publik
Oleh :
Sekar Pandanwangi (24-2008-003)Bunga Hanifitriane Sabrina (24-2008-007)Witanti Nur Utami (24-2008-008)Annisa Ayu.A (24-2008-012)Mailia Dwi Astuti (24-2008-013)Astriana M Asbanu (24-2008-018)Mikaela Tien Muyaan (24-2008-019)Nova Mandasari (24-2008-020)Mariana Iftisan (24-2008-021)Jerry Alfajri Amrifa (24-2008-026)
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
JURUSAN TEKNIK PLANOLOGI
BANDUNG
2011