panitia manasik haji tk/ra muslimat - … · web viewpengantar mata kuliah ushul fiqh stai...

40
لا ة صدق ل واا د خ أ ت ن م لا ا ه هد اف ن صلا ا عة بلار ا ر# عي% ش ل ا طة ن ح ل وا ب# ي/ ب ز ل وا ر م ت ل وا رواه م ك حا ل ا# ي ن را لطي وا1

Upload: truongthuan

Post on 03-Jul-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

االربعة االصناف هذه إالمن تأخذواالصدقة ال الحاكم رواه– والتمر والزبيب والحنطة الشعير

والطبراني

1

Atentang miqat Makani

عن دين00ار بن عمرو عن حماد حدثنا مسدد - حدثنا1 وقت ق00ال عنهما الله رضي عب00اس ابن عن طاوس ذا المدينة ألهل وس00لم عليه الله ص00لى الله رس00ول ق00000رن نجد وألهل الجحفة الش00000أم وألهل الحليفة

أتى ولمن لهن فهن يلملم اليمن وألهل المن0000000ازل والعم00رة الحج يريد ك00ان لمن أهلهن غير من عليهن

أهل ح00تى وك00ذاك أهله من فمهله دونهن ك00ان فمن)البخاري( منها يهلون مكة

Tentang ihram dari  miqat makani bagi orang yang naik  pesawat terbang.

Selama ini diperdebatkan apakah diijinkan berihram  dengan mengambil miqat

kota Jedah.

Ketika Nabi menjelaskan tentang miqat makani,  beliau telah menetapkan

tempat-tempat tertentu, misalnya Yalamlam bagi jamaah yang datang dari daerah

Yaman dan yang  searah dengannya,  termasuk Indonesia. Bagi orang yang

berpegang secara  ketat dengan ketentuan ini, akan menganggap  bahwa miqat

jamaah hajji dari Indonesia adalah di dalam  pesawat ketika  memasuki  daerah

yang  sejajar  dengan   Yalamlam, walaupun secara tehnis sulit dilakukan dengan

sempurna.

Melalui kajian sosio-historis, tujuan penetapan  Nabi terhadap  tempat-

tempat tersebut (sebagai  miqat),  adalah karena merupakan pintu gerbang

memasuki kota Makkah.  Kini kota  Jeddah adalah pintu gerbang kota Makkah

bagi  jamaah yang datang dengan menggunakan pesawat terbang. Dalam pada itu

melalui melalui kajian tematik (al-jam'u), orang  yang mengawali ihram

disunnahkan melakukan persiapan yang  baik dengan   melakukan  beberapa

perbuatan  yang   dianjurkan (disunnahkan).  Sementara  itu hal ini  tidak  akan

dapat dikerjakan  dengan sempurna di dalam pesawat  yang  sedang terbang  pada

ketinggian tertentu. Bahkan bila  dipaksakan akan  berbahaya  bagi  keselamatan

2

penumpang.  Maka  atas pertimbangan ini tidak ada salahnya menjadikan kota

Jeddah sebagai miqat makani, demi kemaslahatan para jamaah.1

Dalam konteks yang mirip, Umar telah menetapkan Dzat al-Iraq sebagi

miqat makani bagi jamaah yang datang dari arah Iraq, atas pertimbangan

kemaslahatan.2

عبيد ح00دثنا نمير بن الله عبد حدثنا مسلم بن علي حدثني فتح لما ق00ال عنهما الله رضي عمر ابن عن ن00افع عن الله

إن المؤم00نين أم00ير يا فق00الوا عمر أت00وا المص00ران ه00ذان وهو قرنا نجد ألهل حد وس00لم عليه الله صلى الله رسول

فانظروا قال علينا شق قرنا أردنا إن وإنا طريقنا عن جور)البخاري( عرق ذات لهم فحد طريقكم من حذوها

Mabit di Mina selem ke Arafah

الض00بى ج00واب بن األح00وص ح00دثنا ح00رب بن زه00ير حدثنا الحكم عن األعمش س00ليمان عن رزيق بن عم00ار ح00دثنا

ص00لى الله رس00ول ص00لى ق00ال عباس ابن عن مقسم عن عرفة ي00وم والفجر التروية ي00وم الظهر وس00لم عليه الله

داود( )ابوا بمنى

ابن عن أبي ح00دثنا يعق00وب ح00دثنا حنبل بن أحمد ح00دثنا الله رس00ول غ00دا ق00ال عمر ابن عن ن00افع ح00دثني إس00حق

ص00بيحة الص00بح صلى حين منى من وسلم عليه الله صلى اإلم00ام منزل وهي بنمرة فنزل عرفة أتى حتى عرفة يوم

راح الظهر ص00الة عند ك00ان إذا ح00تى بعرفة به ي00نزل الذي بين فجمع مهج000را وس000لم عليه الله ص000لى الله رس000ول

على فوقف راح ثم الن000000000اس خطب ثم والعصر الظهر)ابواداود( عرفة من الموقف

1Bandingkan  dengan  penjelasan  Prof.  Dr.  Quraish Shihab, Reaktualisasi dan Kritik, dalam Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: IPHI dan Paramadina, l995), h. 327

2Ibnu Katsir, Mausu’at Umar …., h. 300

3

4

JUAL BELI KOTORAN BINATANG

Pendahuluan

Jual beli merupakan peristiwa hukum yang digunakan sebagai alat untuk

memindahkan hak milik seseorang kepada pihak lain. Peristiwa ini telah

berlangsung berabad abad sebelum masa Nabi Muhammad saw. Oleh karena

manfaat jual beli dapat dirasakan dan memudahkan kehidupan, maka ketika Nabi

Muhammad saw diutus Allah untuk menyempurnakan keutamaan ahlaq, tradisi

jual beli yang sudah berlaku tersebut dilegalkan dengan beberapa perbaikan dan

penyempurnaan. Salah satu upaya perbaikan itu adalah ditetapkannya beberapa

syarat. Di antaranya ialah bahwa barang yang dijual belikan harus suci dan

bermanfaat. Dengan demikian jika barang yang dijual belikan itu merupakan

sesuatu yang najis, maka transaksi jual belinya dipandang batal/ rusak dan tidak

memenuhi persyaratan.

Dari pernyataan di atas, maka muncul persoalan, yaitu tentang jual beli

kotoran binatang ternak. Para ulama sepakat bahwa semua jenis kotoran baik yang

dikeluarkan manusia atau binatang adalah najis. Dengan menggunakan analogi dan

kesimpulan ini, maka jual beli kotoran binatang dapat dianggap tidak shah. Akan

tetapi jika diperhatikan pendapat yang berkembang dikalangan ulama’ , maka jual

beli kotorang binatang tersebut masih terdapat perselisihan pendapat. Sebagian

melarang dan sebagain lainnya memperbolehkan jika dipergunakan sebagai pupuk.

Nah bagaimana sebenarnya pendapat tersebut berkembang dan apa dasar /

alasan yang dipergunakan sebagai landasan pendapat mereka. Di bawah ini akan

dikemukakan beberapa pendapat dengan dasar pijakannya.

5

Pendapat Para Ulama’

Jual beli kotoran binatang merupakan tradisi yang berjalan dalan

kehidupan masyarakat, hususnya masyarakat agraris. Kehudupan bertani yang

telah berjalan demikian lama dikalangan mereka, menghasilkan pengalaman yang

bermacam-macam, termasuk pengalaman olah tani dengan menggunakan pupuk

kompos yang dibuat dari campuran kotoran binatang. Hasil upaya tersebut ternyata

tidak sia-sia, sebab produksi pertanian yang didapat sungguh menggembirakan;

dengan ongkos yang relatif murah, tetapi memperoleh hasil yang memuaskan.

Lebih dari itu, kotoran binatang ternak. Pada saat ini dapat menjadi bahan bakar

alternatif yang disebut dengan istilah biogas. Dari pengalaman ini, maka kotoran

binatang yang semula merupakan barang yang harus dibuang, ahirnya memiliki

nilai jual, karena ia memiliki nilai guna dan manfaat, yang cukup besar.

Dari manfaat yang didapat dari kotoran ternak tersebut, maka sebagian

ulama’ Maliki berpendapat boleh menjual kotoran binatang ternak sebagai pupuk

pada kebun. Akan tetapi Imam Malik sendiri berpendapat bahwa tidak boleh

menjual minyak goreng yang najis. Pendapat yang melarang ini didukung pula

oleh pendapat Imam al-Syafi’i.

Alasan yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan jual beli barang

najis adalah hadits Nabi dari riwayat Jabir bin Abdullah :

يث حدثنا قتيبة حدثنا عن حبيب أبي بن يزيد عن الله بن جابر عن رباح أبي بن عطاء اللهم رضي عبدالل

ه عنهمما ه رسول سمع أن عليه اللهم صلى اللم ة وهو الفتح عام يقول وسل ه إن بمك ورسوله الل

6

م والخنزير والميتة الخمر بيع حر يا فقيل واألصنامه رسول ها الميتة شحوم أرأيت الل بها يطلى فإنفن اس بها ويستصبح الجلود بها ويدهن الس فقال الن

ه رسول قال ثم حرام هو ال عليه اللهم صلى اللم وسل ه قاتل ذلك عند ه إن اليهود الل م لما الل حر

عليه ثمنه- متفق فأكلوا باعوه ثم جملوه شحومهاSusungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan patung-patung. Dikatakan, Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, sesungguhnya ia digunakan untuk mengecat kapal dan dijadikan lampu?. Maka beliau bersabda : Allah telah mengutuk orang-orang Yahudi, ketika Allah melarang mereka memakan lemak bangkai, tetapi mereka (mengemas sedemikian rupa) dan menjaualnya, lalu hasil penjualannya mereka makan.

Mereka berpendapat bahwa illat / alasan diharamkannya menjual hamar,

bagkai dan babi adalah karena barang tersebut najis. Maka atas dasar hadits di atas

mereka mengharamkan menjaul kotoran binatang, illatnya sama yaitu najis.

Sedangkan alasan mereka yang memperbolehkan menjual kotoran

binatang, memahami illat keharaman jual beli yang disebut dalam hadits di atas,

tidak sebagaimana pemahaman ulama yang mengharamkan. Tetapi mereka

berpendapat bahwa alasan diharamkannya menjual hamar, bangkai, babi dan

ashnam, adalah karena semata-mata diharamkan Allah (jadi illatnya Tahrim).

Dengan pemahaman demikian, maka hadits di atas tidak dapat diperluas kepada

sasuatu yang lain, termasuk barang yang najis. Pendapat ini kemudian di dukung

oleh riwayat yang menyatakan bahwa Ali Bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Ibnu

Umar bahwa mereka memperbolehkan menjuan minyak goreng yang najis untuk

dipakai lampu. Abu Hanifah juga mengikuti pendapat tiga orang sahabat tersebut,

7

dengan syarat supaya status najisnya dijelaskan. Alasan lain yang digunakan para

ulama untuk memperbolehkan, adalah karena alasan manfaat. Sesuatu yang

memiliki manfaat, terutama jika sangat dibutuhkan, maka boleh menjualnya.

Hamar, bangkai, babi dan Ashnam, dipandang tidak memiliki manfaat, bahkan

mungkin membahayakan.

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pandangan

terhadap jual beli kotoran binatang. Sebagian ualama melarangnya, dengan alasan

hadits Nabi saw yang menyatakan bahwa beliau melarang penjaualan hamar,

bangkai, babi dan patung. Hadits ini dipahami bahwa yang menjadi allatmnya

adalah Najis. Oleh karena itu semua barang yang najis haram dijual-belikan

Sementara pendapat yang lain memperbolehkan, dengan dasar bahwa Nabi

saw secara tegas tidak melarangnya. Hadits yang menghharamkan penjualan

hamar, bangkai, babi dan patung (berhala), tidak dapat diperlus cakupannya, sebab

illat keharamannya adalah Tahrim. Disamping itu berdasar pendapat sahabat Ibnu

Abbas, Ali Bin Abi Thalib dan Ibnu Umar yang memperbolehkan penjualan

minyak goreng Najis.

Dari dua pendapat di atas penulis cenderung pada pendapat yang

memperbolehkan, dengan alasan karena kemanfatan yang diperoleh dan

dibutuhkan masyarakat, sama seperti kemanfaatan anjing pemburu yang terlatih.

Nabi saw melarang hasil penjualan anjing secara umum, tetapi beliau

8

mengecualikan anjing pemburu yang terlatih عن الله ل رسو نهى

اال الكلب ثمن

النسائي اخرجه – الصيد كلب Sesuatu yang najis, secara

umum haram dijadikan komoditi, kecuali yang bermanfaat dan sangat diperlukan

oleh umat manusia. Apalagi memanfaatkan hal yang najis , bukan untuk dimakan

tidak di larang oleh Nabi saw.

9

PENALARAN FIQIHPengantar Mata Kuliah Ushul Fiqh

STAI Qomaruddin

Oleh : M. Nawawi

A. Pendahuluan

Dalam wacana pemikiran Islam, istilah hukum syar’i biasanya diartikan sebagai ketentuan Allah yang mengatur perbuatan (lahir) para mukallaf (subyek hukum). Secara umum ia dibedakan menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

Para ulama sepakat bahwa otoritas menentukan hukum syar’i ini merupakan hak prerogatif Allah, yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Oleh karena itu manusia tidak boleh menciptanya hanya berdasar keinginan dan pertimbangan kemanusiaan saja. Atas dasar ketentuan ini, maka tugas manusia (di bidang ini), secara tehnis terbatas pada penafsiran, yang bisa berbentuk: 1). Menerangkan wahyu Allah tersebut apabila dirasakan kurang jelas, sehingga dapat diketahui apa norma yang menjadi kandungannya (isi perintahnya); 2). Memperluas hukum yang ada dalam ketentuan wahyu, sehingga mencakup perbuatan sejenis yang belum ditentukan secara explisit dalam teks wahyu. Tugas ini, secara tehnis, dinamai ijtihad. Yaitu a). menemukan norma syar’i (cetak miring) sesuai kebutuhan masyarakat; dan b). mengubah serta mengarahkan prilaku masyarakat supaya selaras dengan ketentuan wahyu.

Berdasarkan ketentuan trsebut di atas, maka para ulama menganggap al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai panduan (dalil) yang akan menuntun mereka untuk menemukan hukum syar’i.

B. Pembagian Dalil

Dalam rangka menyempurnakan penafsiran terhadap wahyu Allah , para ulama menyusun seperangkat metode dan pola penalaran hukum yang beragam, sehingga jumlahnya cukup banyak dan memiliki nuansa yang agak berbeda satu sama lainnya. Selama ini kita kenal dalil al-Qur’an, hadits Nabi, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Maslahah mursalah, Istishab, Urf dan sebagainya, maka sesungguhnya selain al-qur’an dan al-Hadits, bisa juga disebut sebagai metode atau instrumen yang digunakan untuk membantu menemukan hukum syar’i dari pandun al-qur’an dan hadits Nabi. Oleh karena itu sebagian ulama mencoba untuk membedakan istilah dalil-dalil di atas supaya lebih proporsional. Pembagian ini dilandasi suatu pemahaman bahwa yang layak disebut dalil utama hanyalah al-Qur’an dan Hadits Nabi, sedangkan dalil lainnya merupakan pengembangan yang diperoleh dari kaidah-kaidah logilka dan kaidah kebahasaan. Oleh sebab itu tidak bisa disejajrkan dengan al-Qur’an dan Hadits Nabi.

10

Ulama ushul menyebut al-Qur,an dan Hadits Nabi sebagai dalil Munsyi’ (panduan yang mencipta), dalil nash (panduan tekstual), sedangkan dalil selebihnya disebut sebagai dalil mudzhir (panduan yang menyingkap) atau dalil ijtihadi (panduan yang bersifat ijtihadi). Pembedaan ini dilakukan juga atas pemikiran bahwa yang bersumber dari wahyu hanyalah al-Qur’an dan hadits Nabi. Sedangkan dalil yang lain hanyalah produk ijtihad yang digunakan untuk menemukan hukum dari wahyu tersebut. Pembagian semacam ini diharapkan dapat memberikan keyakinan bahwa semua hukum syar’i itu merupakan wujud dari kehendak dan keinginan Allah SWT. Misalnya tentang pengakuan terhadap dalil qiyas. Ia dijadikan dalil berdasarkan ayat-ayat al-qur’an yang menyuruh ummatnya supaya menggunakan pikiran , akal, merenung, membanding, mengambil ibarat dari berbagai gejala alam. Demikian juga tentang dalil maslahat-mursalah. Ia diambil dari ketentuan al-qur’an bahwa semua aturan Allah ditujukan guna mewujudkan kemaslahatan dan kesejahtraan umat manusia.

Dari pemahaman di atas pembagian tersebut sebenarnya cukup masuk akal, tetapi dari sudut pandang lain bisa menimbulkan pemahaman lain dan merendahkan dalil mudzhir . Melalui pembagian dalil tersebut bisa menimbulkan kesan bahwa dalil seoperti qiyas, istihsan dan semacamnya berada di luar al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu disadari atau tidak, kita semua sering menggunakan qiyas dan semacamnya jika dalam al-Qur’an dan hadits (menurut pemahaman kita) sudah tidak kita temukan hukumnya. Jadi selama di dalam ketentuan teks al-Qur’an dan hadit Nabi masih ada ketentuan hukumnya, maka kita tidak akan menggunakan dalil qiyas dan semacamnya, karena menganggap ketentuan teks (sesuai pemahaman kita) lbih utama. Wujud ekstrim dari pemahaman ini terlihat pada beberapa ulama semisal Dawud al-Dzahiri (270 H/880 M) dan Ibnu Hazm (456 H/1063 H) yang menolak menggunakan dalil mudzhir. Menurut kelompok mereka aturan Tuhan yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi (secara tekstual) telah cukup jelas dan terang. Karena itu tidak perlu diotak-atik lagi. Memperluas aturan berdasar qiyas atau istihsan merupakan perbuatan yang mengada-ada. (bid’ah dan batal). Demikian pula keengganan imam al-Syafi’i terhadap penggunaan istihsan dan menganggapnya sebagai membuat hukum syar’i berdasar kehendak sendiri, juga merupakan wujud ekstrim dari akibat pembagian dalil di atas.

Persoalannya adalah apakah benar bahwa dalil mudzhir itu lebih rendah dari dalil munsyi’. Benarkah hukum syar’i yang berdasar dalil mudzhir saja yang bersifat ijtihadi, sedangkan hukum syar’i yang berdasar dalil musyi’ (al-qur’an dan hadits secara tekstual) tidak bersifat ijtihadiyah.?.

Pertanyaan ini akan terjawab jika kita memperhatikan metode dan tehnik yang dipergunakan para ulama dalam memahami ayat-ayat al-qur’an dan hadits Nabi guna memunculkan / menemukan hukum sya’i.

Pertama-tama perlu diingat bahwa al-qur’an dan hadits Nabi bukanlan semata-mata diturunkan unruk kepentingan hukum saja, tretapi ia merupakan petunjuk kehidupan yang memiliki jangkauan dan cakupan yang luas. Karena itu , maka ayat-ayat yang akan dijadikan dalil hukum haruslah dipilih berdasar keriterian tertentu. Keriteria ini

11

menimbulkan klasifikasi; ada ayat-ayat ahkam dan ayat non hukum. Ada hadits ahkan dan hadits non hukum. Sebagian ayat-ayat hukum disepakati oleh semua ulama, tetapi tidak sedikit ayat-ayat hukum yang diperselisihkan. Kaadaan ini bisa menjadi petunjuk bahwa pemilihan ayat tersebut (setidaknya sebagaian ayat-ayat ahkam) diperoleh berdasar ijtihad.

Dalam pada itu ayat-ayat hukum biasanya kaya dengan nuansa yang memang merupakan salah satu keunggulan al-Qur’an. Memang ada ayat yang memiliki kandungan makna pasti, tetapi jumlahnya relatif sedikit. Kebanyakan ayat hukum bisa ditafsirkan , bahkan harus ditafsirkan. Misalnya al-qur’an menggunakan lafadz yang mungkin ditafsirkan secara hakiki dan juga majazi. Bagaimana cara memilih yang paling tepat dan apa saja indikatornya?. Bolehkan kedua arti itu digunakan bersama-sama dalam ruang dan waktu yang sama?. Atau digunakan secara bergantian sesuai dengan kasus-pekasus?. Dalam al-Qur’an juga digunakan kata musytarak..(ambigu). Bagaimana cara menggunakan dan memilih makna yang tepat. Dalam al-Qur’an juga terdapat-ayat-ayat yang saling berhubungan. Mana ayat yang menerangkan dan yang diterangkan.. Labih dari itu al-Qur’an diturunkan secara berangsunr-angsur. Bolehkan ayat yang turun terlebih dahulu dijadikan penjelas ayat yang turun kemudian?. Menghadapi sekian banyak persoalan ini para ulama telah mengembangkan seperangkat kaidah pamahaman (penalaran/penafsiran) yang mereka sebut dengan istilah al-Qowa’id al-lughowiyah (kaidah kebahasaan) dan al-qowa’id al-istimbathiyah (kaidah penalaran). Kaidah inilah yang digunakan para ulama dalam memahami kandungan hukum suatu ayat atau hadits Nabi.3

Apabila kita perhatikan kaidah-kaidah tersebut, maka tentu merupakan bagian dari karya ijtihadiyah. Para ulama dalam hal ini telah brjasa sangat besar dalam memberikan jalan untuk memudahkan cara memahami ayat-ayat hukum. Merekalah yang telah membuat klasifikasi, kategori dan serta ciri-ciri ayat hukum. Labih dari itu kaidah-kaidah tersebut tidaklah muncul serta-merta dalam bentuk yang sempurna, tetapi melalui sejarah perjalanan yang panjang. Ia tumbuh dan dikembangkan dari generasi ke generasi, terutama setelah al-Syafi’i meletakkan kerangka dasarnya. (204 H /819 M). Dan sebagai hasil pemikiran para ulama tentu mereka tidak memiliki kata sepakat tentang macam kategori dan penggunaannya secara mutlak. Namun merreka tela menerima pola pembakuannya, sehingga terhindar dari polemik yang berkepanjangan.

Berdasar uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan apakah suatu ayat disebut ayat hukum atau tidak (sekurang-kurangnya sebagian ayat al-qur’an dan hadits Nabi), hampir selalu melalui proses ijtihad. Oleh karena itu maka produk hukum yang dihasilkan juga bersifat ijtihadiyah. Dengan demikian maka hukum yanmg berasal dari dalil munsyi’ juga berdasar ijtihad. Ala kulli hal sama dengan hukum syar’i yang dihasilkan oleh dalil mudzhir. Kalau begitu mengapa terdapat kesan bahwa dalil mudzhir lebih rendah dari dalil munsyi’. Menurut penulis hal ini dipengaruhi oleh

3 Dalam buku-buku ushul fiqih kaidah ini biasanya dimasukkan dalam pembahasan mengenai al-Qur’an dan al-Hadits. Oleh sebab itu menimbulkan kesan seakan-akan kaidah ini merupakan bagian dari al-Qur,an dan al-Hadits. Dan porsi pembahasannya cukup dominan sehingga terkesan lebih penting dari kaidah panalaran yang lain, semisal qiyas dan sebagainya.

12

pembagian dan stratifikasi dalil syar’i yang selama ini telah menjadi bagian dari pemahaman kita.

Untuk menghidari kesan yang tidak proporsional di atas perlu ada upaya untuk mensejajarkan penghargaan kepada hukum syar’i yang diperoleh berdasar kaidah kebahasaan dan hukum syar’i yang diperoleh melalui dalil mudzhir. Disamping itu perlu disusun alternatif sistematika dalil penalaran yang lebih adil. Selama ini stratifikasi dalil yang ada , tidak / kurang memberikan tempat kepada penggunaan illat tasyri’i (rasio legis) dalam menafsirkan ayat/Hadits, sehingga terkesan bahwa illat hukum itu baru dicari jika ada kepentingan menggunakan qiyas, padahal illat tasyri’i sangat penting untuk dijadikan pertimbangan menemukan kemaslahatan hukum.

Alternatif Sistematika Penalaran

Sistematika dalil yang ditawarkan di sini, pertama-tama adalah meletakkan dalil hanya untuk al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam ungkapan lain yang dikategorikan sebagai dalil syai’i hanyalah al-Qur’an dan Hadits nabi. Hal ini ditetapkan atas pertimbangan bahwa hanya al-qur’an dan hadits yang merupakan wahyu Allah dan hanya keduanyalah yang akan ditafsirkan atau dinalar oleh para mujtahid. Sedangkan dalil mudzhir dan kaidah kebahasaan dikategorikan sebagai pola/ sistem penalaran.4

Pola penalaran yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut adalah : 1). Penalaran bayani (kaidah kebahasaan), 2). Penalaran Ta’lili (illah sebagai pertimbangan). 3). Penalaran Istislahi (kemaslahatan sebagai dasar pertimbangan).

1. Penalaran Bayani

Kedalam pola penalaran bayani ini dimasukkan semua penafsiran berdasar kaidah kebahasaan. Dengan demikian maka yang disebut penalaran bayani adalah pemahaman / penafsiran terhadap al-Qur’an dan al-Hadits, untuk menemukan hukum syar’i dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan (al-qawa’id al-lughawiyah). Misalnya penentuan lafadz am, khas, majar, hakiki, kalimat perintah (amar), nahi, kata-kata musytarak dan sebagainya.

2. Penalaran Ta’lili

Yaitu semua kegiatan penafsiran terhadap al-Qur’an/ hadits, untuk menemukan hukum syar’i, dengan menggunakan pertimbangan illat hukum (rasio legis). Ke dalam penalaran ini dimasukkan semua kegiatan penafsiran hukum yang berupaya menemukan apa illat dari suatu aturan (norma).

4 Hal ini tentu tidak menutup kenyataan tentang adanya ayat-ayat yang telah cukup jelas , yang tidak perlu penafsiran.

13

Illat adalah suatu kaadaan atau sifat yang diyakini menjadi tambatan dari suatu hukum syar’i. Maksudnya karena atau untuk mencapai kaadaan dimaksud-lah , hukum itu ditetapkan oleh Allah . Suatu kaadaan atau sifat bisa digunakan sebagai illat apabila memenuhi tiga syarat, yaitu : a).harus dzahir (jelas, positif dan obyektif), b). Mempunyai relevansi (munasib), dan c). bisa diukur (mundlabith). Misalnya “perjalanan” (safar) adalah illat pengurangan jumlah rekaat shalat (qashar). “perjalanan” dianggap dzahir, positif, dan obyektif karena orang yang melakukannya dapat diamati , disaksikan pergi meninggalkan tempat kediamannya; dianggap memiliki relevansi karena terdapat hubungan logis antara “perjalanan” dengan pemberian “hak qashar”, yaitu memberi kemudahan. Dan dapat diukur , misalnya jarak sekian kilo meter, atau sekian hari.

Illat hukum dibedakan menjadi tiga. 1). Illat tasyri’i, yaitu illat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu

ketentuan hukum dapat terus berlaku, atau sudah sepantasnya berubah, karena illat yang mendasarinya telah berubah. Perubahan hukum tersebut bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, pemahaman tentang illat hukum itu sendiri telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Contohnya illat zakat pertanian. Kedua, pemahaman terhadap illat tidak berubah, tetapi tujuan penerapan hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan yang di harapkan. Contohnya adalah penbagian tanah Fai’.

2) Illat qiyasi, adalah illat yang dipergunakan untuk mengetahui apakah perluasan hukun dari suatu nash dapat diberlakukan terhadap kasus lain.

3) Illat Istihsani, yaitu illat husus yang digunakan untuk mengetahui apakah perluasan hukum dari suatu nash itu , tetap diberlakukan pada kasus lain atau dikecualikan. Contohnya terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa sisa minuman binatang buas adalah najis. Melalui pendekatan qiyas, aturan ini seharusnya dibelakukan juga bagi sisa minuman burung buas., tetapi para ulama menganggap ada illat lain yang lebih kuat, sehingga hukum tersebut tidak bisa di samakan. Moncong binatang buas terdiri dari daging, sedang moncong burung terdiri dari semacan tanduk. Menurut para ulama , sisa makanan atau darah akan melekat pada moncong binatang buas, sebaliknya tidak melekat pada moncong burung. Binatang buas tidak membersihkan moncongnya sehabis makan, sedangkan burung selalu membersihkannya. Jadi secara umun sebenarnya illat binatang buas ada pada burung buas, tetapi karena ada illat lain yang lebih kuat, maka hukumnya dikecualikan.

3. Penalaran Istislahi

Yaitu segala kegiatan pengambilan keputusan hukum yang didasari atas pertimbangan kemaslahatan karena tidak ditemukan atau tidak ada nash yang tegas yang dapat digunakan secara spesifik untuk menetapkan hukumnya. Dalam kegiatan ini ayat-ayat/hadits Nabi yang mengandung kemaslahatan digabungkan satu sama lain, kemudian dijadikan sebagai patokan umum untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum. Misalnya aturan kegiatan lalu lintas dan sebagainya.

14

Penutup

Satu catatan yang penting untuk diketahi adalah posisi dan hubungan ketiga pola penalaran di atas, tidaklah setingkat. Hal ini terjadi karena al-qur’an dan hadits di turunkan kepada kita dalam bahasa Arab. Maka oleh karena itu penguasaan kaidah kebahasaan (sampai pada batas-batas tertentu) merupakan syarat mutlak bagi orang yang akan menafsirkannya. Atas dasar kenyataan ini, maka penalaran bayani merupakan pola penalaran yang paling dasar. Mengapa demikian, sebab penalaran ta’lili-pun memerlukan kaidah kebahasaan juga, di samping penguasaan wawasan tentang kaadaan sosial bangsa Arab pada zaman Nabi, dan untuk lebih sempurnanya penguasaan ilmu modern, seperti sosiologi, antropologi dan ekonomi, juga perlu dikuasai. Sungguhpun demikian harus tetap diingat bahwa penerapan penalaran ta’lili ini tidak bisa diterapkan untuk semua masalah hukum, sebab tidak semua ketentuan hukum bisa diketahui illatnya. Adapun penalaran istislahi mempersyaratkan pennguasaan kedua penalaran sebelumnya, sebab penalaran yang terhir ini baru akan digunakan jika sekiranya dua penalaran tersebut tidak mungkin digunakan .

Di samping catatan di atas perlu diketahui pula bahwa ke tiga penalaran ini tidak memberi ruang bagi “dalil ijma”(dalam tanda kutip) Namun perlu diingat pula bahwa ijma’ itu merupakan hasil konsensus, yang munculnya baru terjadi setelah proses penalaran dilakukan. Oleh karena itu tidak ada halangan (jika mungkin) untuk dilakukan ijma’ (konsensus) atas hasil penalaran yang dilakukan sebelumnya. Ahmad Hasan (guru besar ilmu hukum di Pakistan) menyatakan bahwa ijma itu posisinya berada setelah qiyas, tetapi berhubung ia memperoleh dukungan orang banyak , maka kemudian naik lebih tinggi dibanding qiyas yang dilakukan oleh orang-perorang.

Sampurnan, 19 Desember 2004

15

كن فإن األنثيين حظ مثل للذكر أوالدكم في الله يوصيكم فلها واحدة كانت وإن ترك ما ثلثا فلهن اثنتين فوق نساء له كان إن ترك مما السدس منهما واحد لكل وألبويه النصف

له كان فإن الثلث فألمه أبواه وورثه ولد له يكن لم فإن ولد ءاباؤكم دين أو بها يوصي وصية بعد من السدس فألمه إخوة

إن الله من فريضة نفعا لكم أقرب أيهم تدرون ال وأبناؤكم( النساء11حكيما) عليما كان الله

فاجلدوهم شهداء بأربعة يأتوا لم ثم المحصنات يرمون والذينالفاسقون) هم وأولئك أبدا شهادة لهم تقبلوا وال جلدة ثمانين

( النور4 وخاالتكم وعماتكم وأخواتكم وبناتكم أمهاتكم عليكم حرمت وأخواتكم أرضعنكم الالتي وأمهاتكم األخت وبنات األخ وبنات

حجوركم في الالتي وربائبكم نسائكم وأمهات الرضاعة من فال بهن دخلتم تكونوا لم فإن بهن دخلتم الالتي نسائكم من

تجمعوا وأن أصالبكم من الذين أبنائكم وحالئل عليكم جناحرحيما) غفورا كان الله إن سلف قد ما إال األختين بين

(النساء23 كثيرة أضعافا له فيضاعفه حسنا قرضا الله يقرض الذي ذا من

(البقرة245ترجعون) وإليه ويبسط يقبض والله الله وجه ابتغاء إال تنفقون وما فألنفسكم خير من تنفقوا وما(البقرة272تظلمون) ال وأنتم إليكم يوف خير من تنفقوا وما

من نكاال كسبا بما جزاء أيديهما فاقطعوا والسارقة والسارق وأصلح ظلمه بعد من تاب (فمن38حكيم) عزيز والله الله

(ألمائدة39رحيم) غفور الله إن عليه يتوب الله فإن

TAHSIS

16

228 البقرة – قروء ثالثة بأنفسهن يتربصن - والمطلقات من طلقتموهن ثم المؤمنات نكحتم إذا ءامنوا الذين ياأيها-

– تعتدونها عدة من عليهن لكم فما تمسوهن أن قبل49 االحزاب

مطمئن وقلبه أكره من إال إيمانه بعد من بالله كفر من- من غضب فعليهم صدرا بالكفر شرح من ولكن باإليمان

( النحل106عظيم) عذاب ولهم الله ولد- النساء لهن يكن لم إن أزواجكم ترك ما نصف ولكم-

12 Jama’munakar

فيها له يس00بح اسمه فيها ويذكر ترفع أن الله أذن بيوت في- ذكر عن بيع وال تج00ارة تلهيهم ال (رج00ال36واآلص00ال) بالغدو

فيه تتقلب يوما يخ00افون الزك00اة وإيت00اء الص00الة وإق00ام الله( النور37واألبصار) القلوب

Mutlaq-Muqayyad

فع00دة س00فر على أو مريضا منكم ك00ان فمن معدودات أياما- فمن مسكين طعام فدية يطيقونه الذين وعلى أخر أيام من

كنتم إن لكم خ00ير تص00وموا وأن له خ00ير فهو خ00يرا تط00وع(184تعلمون)

فتحرير ق00الوا لما يع00ودون ثم نسائهم من يظاهرون والذين- تعملون بما والله به توعظون ذلكم يتماسا أن قبل من رقبة

أن قبل من متت00ابعين ش00هرين فص00يام يجد لم (فمن3خبير) لتؤمن00وا ذلك مسكينا ستين فإطعام يستطع لم فمن يتماسا

(4أليم) عذاب وللكافرين الله حدود وتلك ورسوله بالله وج00وهكم فاغس0لوا الص00الة إلى قمتم إذا ءامنوا الذين ياأيها-

إلى وأرجلكم برءوس00كم وامس00حوا المرافق إلى وأي00ديكم على أو مرضى كنتم وإن ف00اطهروا جنبا كنتم وإن الكع00بين

فلم النس00اء المس00تم أو الغائط من منكم أحد ج00اء أو س00فر

17

وأيديكم بوجوهكم فامسحوا طيبا صعيدا فتيمموا ماء تجدواحرج من عليكم ليجعل الله يريد ما منه

Musytarak, Hakikat dan majaz

إنه س00لف قد ما إال النس00اء من ءاب00اؤكم نكح ما تنكح00وا وال-(النساء22سبيال) وساء ومقتا فاحشة كان

228 البقرة – قروء ثالثة بأنفسهن يتربصن - والمطلقات- أو س000فر على أو مرضى كنتم وإن ف000اطهروا جنبا كنتم وإن-

م00اء تجدوا فلم النساء المستم أو الغائط من منكم أحد جاء6 طيبا- المائدة صعيدا فتيمموا

وإنا فيها أقبلنا ال00تي والع00ير فيها كنا ال00تي القرية واس00أل-( يوسف82لصادقون)

صلوا ءامنوا الذين ياأيها النبي على يصلون ومالئكته الله إن-(االحزاب56تسليما) وسلموا عليه

ح00تى س00كارى وأنتم الص00الة تقرب00وا ال ءامن00وا ال00ذين ياأيها- تغتس00لوا ح00تى س00بيل ع00ابري إال جنبا وال تقول00ون ما تعلموا

الغائط من منكم أحد ج00اء أو سفر على أو مرضى كنتم وإن طيبا ص00عيدا ف00تيمموا م00اء تج00دوا فلم النس00اء المس00تم أو

غف00ورا) عف00وا ك00ان الله إن وأي00ديكم بوج00وهكم فامس00حوا(النساء43

األرض في ومن الس00موات في من له يسجد الله أن تر ألم- وكثير والدواب والشجر والجبال والنجوم والقمر والشمس

18 الحج- العذاب عليه حق وكثير الناس منWadlih dan Mubham

(dhahir dan khafi, Nash dan Musykil, Mufassar dan Mujmal, Muhkam dan Mutasyabih)

- Dhahir adalah makna yang dapat dipahami secara langsung dari teks yang tertulis, tanpa memerlukan keterangan lain, tetapi makna tersebut bukan makna yang dikehendaki oleh konteks (siyaq) kalimat. Artinya jika diperhatikan secara teliti , maka masih ada arti lain yang diperoleh, yang sebetulnya menjadi tujuan utama teks tersebut.

- Sedangkan kata khafi adalah suatu lafadz yang sebenarnya bisa dipahami dengan mudah, tetapi karena ada sebab-sebab luar, maka terdapat kesulitan dalam mengedentifikasi dan mengaplikasikannya terhadap beberapa cakupannya.

18

لكم ط00اب ما ف00انكحوا اليت00امى في تقس00طوا أال خفتم وإن- فواح00دة تع00دلوا أال خفتم فإن ورباع وثالث مثنى النساء من(النساء3تعولوا) أال أدنى ذلك أيمانكم ملكت ما أو

منهم ءانس00تم ف00إن النك00اح بلغ00وا إذا ح00تى اليت00امى وابتل00وا-6 النساءأموالهم- إليهم فادفعوا رشدا

ول00ذي وللرس00ول فلله الق00رى أهل من رس00وله على الله أف00اء ما- بين دولة يك00ون ال كي الس00بيل وابن والمس0اكين واليت00امى الق00ربى ف00انتهوا عنه نه00اكم وما فخ00ذوه الرس00ول ءات00اكم وما منكم األغنياء(الحشر7العقاب) شديد الله إن الله واتقوا

23 النساء وعماتكم…… وأخواتكم وبناتكم أمهاتكم عليكم حرمت- الله كت00اب أيم00انكم ملكت ما إال النس00اء من والمحص00نات-

24 – ذلكم وراء ما لكم وأحل عليكم- نك00اال كس00با بما ج00زاء أي0ديهما فاقطعوا والسارقة والسارق

(المائ00دة38حكيم) عزيز والله الله من (ada istilah al-Nasysyal /pencopet, Nubbasy /membonkar kubur)

/ الحديث المقتول من لقاتلا اليرث- ول00د- له ك00ان إن ترك مما السدس منهما واحد لكل وألبويه-

11 النساء- Nash adalah lafadz yang menunjuk pada suatu makna yang dikehendaki, baik oleh

lafadz itu sendiri ataupun oleh konteks kalimat.- Menurut pendapat lain Nash adalah makna yang lebih utama dari makna tersurat.

Yang dengan mudah dipahami setelah mendengar suatu teks- Sedang kata Musykil adalah lafadz yang sughot/ungkapannya tidak menunjuk kepada

makna yang dikehendaki, karena itu diperlukan qarinah untuk memperjelas maknanya.

- Perbedaan khafi dan Musykil. Kesulitan pada lafadz khafi bukan terletak pada redaksinya/ungkapannya, sedangkan kesulitan pada lafadz musykil terletak pada redaksi lafadz itu sendiri.

12 دين- النساء أو بها يوصين وصية بعد من- في ي00أكلون إنما ظلما اليت00امى أم00وال أكلوني00 ال00ذين إن-

(النساء10سعيرا) وسيصلون نارا بطونهم

19

228 البقرة – قروء ثالثة بأنفسهن يتربصن والمطلقات-داود( ابو / رواه حيضتان وعدتها ثنتان األمة ) طالق- عليه الله ص00لى الله رسول قال قال الخدري سعيد أبي عن-

حب وال تمر من أوس00000اق خمسة دون فيما ليس وس00000لممسلم صدقة- رواه

الله ص00لى الن00بي س00مع أنه ي00ذكر الله عبد بن جابر سمع أنه- وفيما العش0ور والغيم األنه0ار س0قت فيما ق0ال وس0لم عليه

مسلم - رواه العشر نصف بالسانية سقي- Mufassar adalah lafadz yang digunakan oleh syari’ (Allah dan atau Rasul) sebagai

istilah syar’i, karena itu maknanya (penjelasannya) diterangkan sendiri oleh Syari’.- Lafadz Shalat, puasa, hajji, zakat dan sebagainya dianggap sebagai lafadz yang telah

diambil alih menjadi istilah syar’i. Karena itu maka syari’-lah yang akan menjelaskan maksudnya. Misalnya perintah shalat dalah surat al-Baqarah 43, al-Nisa’ 77 dan 103, al-Muzammil 20, dijelaskan oleh hadits Nabi : “ Shalatlah kamu sekalian seperti melihat aku shalat”. Jadi seorang tidak boleh membuat cara shalat sendiri yang berbeda dengan cara yang ditetapkan Rasul. Namun begitu sekiranya nash yang manjadi penjelas itu lebih dari satu, maka mungkin saja para ulama akan memilih salah satu sesuai ijtihadnya.

ال00راكعين) مع واركع00وا الزك00اة وءات00وا الص00الة وأقيم00وا-(البقرة43

- Sedangkan lafadz mujmal adalah lafadz yang tidak diketahui maksudnya kecuali setelah mendapatkan penjelasan dari pemilik (sumber)lafadz. Dalam konteks nash sayar’i mujmal adalah lafadz yang tidak diketahui maksudnya kecuali setelah mendapat penjelasan dari Allah dan RasulNya.

- Dapat dikatakan bahwa antara mujmal dengan lafadz mufassar sebagaimana layaknya dua sisi mata uang. Maksudnya suatu lafadz dikatakan mujmal jika belum diketahui maknanya(belum dijelaskan). Sebaliknya jika telah diketahui nash yang menjelaskannya maka ia disebut lafadz mufassar. Misalnya perintah zakat dalam ayat 77 al-Nisa’: dijelaskan pada ayat 267 al-baqarah:

النساء – الزكاة وءاتوا الصالة وأقيموا- ومما كس00بتم ما طيب000ات من أنفق00وا ءامن00وا ال00ذين ياأيها-

األرض- البقرة من لكم أخرجنا- Muhkam adalah lafadz yang telah cukup jelas, sehingga tidak mungkin lagi di

takwilkan, di tahsis atau diartikan lain.- Perbedaannya dengan mufassar adalah pada bentuk penjelasannya, kalau pada

mufassar masik ada kemungkinan memilih arti dari beberapa nash yang tersedia.

20

Sebaliknya pada muhkam sudah tidah ada pilihan lagi. Kalaupun nash yang menjelaskan lebih dari satu , maka kesimpulannya tetap sama.

- Kebanyakanj ayat-ayat yang muhkam ini menyangkut pokok-pokok agama, seperti keresaan Allah , kedatangan Rasul , tetang hari qiyamat dan sebagainya.

- Contoh dalam masalah hukum ini misalnya ayat 53 al-Ahzab: dan ayat 4 al-Nur:

من أزواجه تنكحوا أن وال الله رسول تؤذوا أن لكم كان وما-53 أبدا- االحزاب بعده

ش000هداء بأربعة ي000أتوا لم ثم المحص000نات يرم000ون وال000ذين-النور – أبدا شهادة لهم تقبلوا وال جلدة ثمانين فاجلدوهم

- Sedang lafadz mutasabih adalah lafadz yang yang tidak jelas dan tidak diketahui maknanya. Sebagian tidak memiliki makna denotasi (hubungan semantik dengan yang dimaknai) seperti lafadz pada awal surat. Dan sebagain lagi memiliki makna denotasi, tetapi tidak cocok untuk digunakan. Misalnya ;

أيديهم فوق الله يد-- Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam ayat hukum tidak ditemukan lafadz

mutasyabihat.- Catatan bahwa lafadz yang tidak boleh ditafsir lagi hanyalah lafadz mufassar dan

muhkam. Dengan kata lain kedua lafadz inilah yang dapat dikategorikan sebagai lafadz yang qath’i dilalahnya. Namun demikian masih ada perbedaan. Pada lafadz mufassar masih mungkin terjadi perbedaan karena adanya perbedaan nash yang menjelaskan atau karena berbeda dalam memahami nash yang menafsirkan. Sedangkan pada lafadz muhkam sudah tidak mungkin lagi adanya perbedaan, sebaba perbedaan itu sangat tpis kemungkinannya.

Pembagian Lafadz Berdasar cara pengambilan Kandungan Hukum

Pada bagian pertama pembahasan penalaran Bayani ini, yang dibahas adalah lafadz dari segi cakupan maknanya. Pada bagian kedua yang dibahas adalah pembagian lafadz dari segi hakikat-majaz (termasuh sharih dan kinayah). Sedangakan pada bagian ketiga , yang dibahas adalah tentang tingkatan kejelasan dan ketidak-jalasan suatu kata. Adapun pada bagian ke empat (terahir) ini adalah pembahasan tentang cara mengambil makna atau kesimpulan hukum dari suatu kelompok kata. Jadi pembahasan yang keempat ini lebih terkait dengan makna kalimat (frasa), bukan makna lafadz sebagaimana pembahasan sebelumnya.

Terdapat beberapa cara ( kategori) yang digunakan para ulama dalam menyimpulkan makna kalimat yang ada dalam teks al-Qur’an / al-Hadits sebagai berikut:1. Dilalat al-Ibarat (ibarat al-Nash)2. al- Dilalat al-Isyarat (Isyarat Nash)3. Dilalat al-Nash (Mafhum Muwafaqat/ dilalat al-dilalah)4. Dilalat al-Iqtidla’ (iqtidla’ al-Nash)

21

1. Dilalatul Ibarat; adalah makna yang bisa diperoleh (sebagai pemahaman pertama, dan tidak perlu perenungan mendalam) setelah membaca atau mendengar suatu kalimat, dan ada keyakinan bahwa makna itulah yang dikehendaki oleh Allah atau Rasul. Dengan ungkapan lain dilalatul ibarat adalah makna tersurat dari suatu teks. Baik makna utama atau makna turunannya.Contoh dalam surat al-Baqarah 233;

بالمعروف- البقرة وكسوتهن رزقهن له المولود وعلىSecara tersurat dapat disimpulakn bahwa ayah (suami) berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada perempuan yang melahirkan anak tersebut. Makna turunannya adalah nafkah istri yang belum diceraikan juga menjadi tanggungan suami. Demikian pula nasanb anak dinisbatkan kepada sang ayah menjadi makna turunan.

2. Dilalat al-Isyarat; adalah makna tersirat dari sutu kalimat. Artinya makna tersebut tidak disebut secara tersurat, tetapi makna itu merupakan arti yang tidak bisa dipisahkan dari kalimat tersebut.Contohnya , dengan mengambil ayat 233 al-Baqarah di atas, maka makna “ayah sebagai wali dari anak yang dilahirkan” disebut dilalat al-isyarat, sebab makna ini tidak termaktub dalam teks, tapi merupakan konsekuensi logis dari makna tersurat. Demikian pula makna “bahwa nafkah anak menjadi kuajiban sang ayah” juga merupakan isyarat nash.Contoh lainnya, misalnya al-Baqarah 236;

تفرض00وا أو تمس00وهن لم ما النس00اء طلقتم إن عليكم جن00اح الفريضة لهن

Dilalat ibarat ayat ini bahwa boleh menceraikan istri sebelum dicapuri atau sebelum ada kepastian mahar. Sedang dilalat isyaratnya adalah “boleh/shah melangsungkan perkawinan/akad nikah walaupun tidak menyebutkan jumlah mahar”. Sebab tidak mungkin menjatuhkan talak sebelum akad nikah yang sah.

3. Dilalat al-Nash:adalah makna perluasan dari makna tersurat karna ada kesamaan illat (rasio legis). Dalam istilah lain disebut mafhum muwafaqat, atau qiyas jali (qiyas fi makna al-nash). Sebagian ulama menyatakan bahwa yang disebut dilalat al-nash adalah makna yang lebih utama. Sedang jika merupakan makna yang setara dengan nas disebut qiyas.Contohnya.

بطونهم في يأكلون إنما ظلما اليتامى أموال أكلوني الذين إن (النساء10سعيرا) وسيصلون نارا

Contoh lainnya adalah hadits Nabi yang menceritakan tentang seorang laki-laki yang melapor kepada Nabi bahwa ia telah secara sengaja mencapuri istrinya di bulan Ramadlan. Kemudian Nabi memerintahkan supaya membayar kafarat.Persoalan yang muncul di sini adalah 1). Apakah istri yang ikut serta termasuk membayar kafarat, 2). Apakah semua orang yang sengaja berbuka puasa (tampa uzur dan tanpa ruhshah) wajib membayar kafarat?.Dalam hal ini Ulama Hanafi dengan menggunakan dilalat al-Nash berpendapat bahwa istri yang turut serta (bukan terpaksa) diwajibkan membayar kafarat. Demikian pula

22

orang yang sengaja berbuka. Tami ulama Syafi’i tidak mewajibkan, sebab menganggap bahwa istri tidak sebanding dengan suami, demikian pula orang yang berbuka secara sengaja.Perbedaan dilalat isyarat dengan dilalat al-nash. Yang pertama merupakan makna yang mesti ada, dan tidak bisa tidak, pasti dapat disimpulkan dari teks (nash). Sedang yang kedua merupakan makna utama yang diperoleh setelah melakukan perluasan makna tersurat.

4. Dilalat al-Iqtidla’; adalah makna kalimat yang dipahami dengan cara memberikan sisipan kata, supaya teks (nash) tersebut dapat dipahami lebih baik (tepat).

Contuhnya surat al-Maidah ayat 3

الله لغير أهل وما الخنزير ولحم والدم الميتة عليكم حرمتبه

Demikian pula ayat 96 al-Maidah

وح00رم وللس00يارة لكم متاعا وطعامه البحر ص00يد لكم أحلحرما دمتم ما البر صيد عليكم

Untuk contoh yang kedua pertanyaanya apakah yang dihalalkan atau yang diharamkan itu melakukan perburuannya atau memakan hasil buruannya.

5. Mafhum Mukhalafah; adalah kesimpulan hukum yang merupakan kebalikan (lawan/paradok) dari hukum yang disebut dalam nash.Mafhun ini memerlukan syarat tertentu. Seperti tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat dan sebagainya. Contoh:

الخيط من األبيض الخيط لكم يت000بين ح000تى واش000ربوا وكل000وا187 البقرة – الفجر من األسود

فمن يتماسا أن قبل من متتابعين شهرين فصيام يجد لم فمن4 مسكينا-المجادلة ستين فإطعام يستطع لم31 إمالق- االسراء خشية أوالدكم تقتلوا وال

Contoh terahir tidak bisa diambil melalui mafhum mukhalafah sebab bertentangan dengan al-isra’ 33

بالحق إال الله حرم التي النفس تقتلوا وال

23

أخ00برني قال وهب بن الله عبد حدثنا مريم أبي بن سعيد حدثنا أبيه عن الله عبد بن س000الم عن الزه000ري عن يزيد بن ي000ونس

فيما ق000ال وس000لم عليه الله ص000لى الن000بي عن عنه الله رضي بالنضح س00قي وما العشر عثريا كان أو والعيون السماء سقت يوقت لم ألنه األول تفسير هذا الله عبد أبو العشر. قال نصف

العشر الس00ماء س00قت وفيما عمر ابن ح00ديث يع00ني األول في على يقضي والمفسر مقبولة والزي000ادة ووقت ه000ذا في وبين

البخاري – الثبت أهل رواه إذا المبهم النص00اب اش00تراط ع00دم في ظ00اهر بعمومه عمر ابن فح00ديث

, مؤونة وبغ00ير بمؤونة يس00قى ما كل في الزك00اة إيج00اب وفي وهو ألجله س00يق ال00ذي ب00المعنى مختص الجمه00ور عند ولكنه

ح00ديث بخالف العشر نصف أو العشر فيه يجب ما بين التمييز به فأخذ وقدره منه المخرج جنس لبيان مساق فإنه سعيد أبي

إن بعد فيه الق00ول بسط س00يأتي كما بال00دليلين عمال الجمه00ور وقع البخ00اري كالم بأن اإلسماعيلي جزم . وقد تعالى الله شاء

في التفرقة على الب00اب ح00ديث ودل س00عيد أبي ح00ديث عقب ما وجد , ف00إن نضح بغ00ير أو بنضح يس00قى الذي المخرج القدر

إذا العشر أرب0000اع ثالثة فيه يجب أنه فظ0000اهره بهما يس0000قى فيه نعلم ال قدامة ابن , ق00ال العلم أهل ق00ول وهو ذلك تساوى

نص لألك00ثر تبعا األقل حكم ك00ان أك00ثر أحدهما كان , وإن خالفا ق00000ولي وأحد حنيفة وأبي الث00000وري ق00000ول , وهو أحمد عليه

أمكن إن يقال أن , ويحتمل بالقسط يؤخذ , والثاني الشافعي ص00احب القاسم ابن , وعن بحسابه أخذ منهما واحد كل فصل ابن قاله أقل ك000ان ولو وانتهى ال000زرع به تم بما الع000برة مالك

. أعلم والله عنه زيد أبي بن محمد أبي حكاية عن ال0000000000تين ن00افع : رواه الح00ديث هذا تخريج عقب النسائي ( : قال ) تنبيه

ن00افع وق00ول نافع من أجل وسالم , قال عمر عن عمر ابن عن ي00وقت لم ألنه األول تفسير ) هذا بعده . وقوله بالصواب أولى هذا في : ) وبين قوله , و للنصاب حدا يذكر لم ( أي األول في

( أي مقبولة : ) والزي00ادة . قوله س00عيد أبي حديث في ( يعني

24

: . قوله والحجة الثبات الموحدة بتحريك , والثبت الحافظ من على يقضي الخ000000اص ( : أي المبهم على يقضي ) والمفسر

" , و ودونه النص00اب يش00مل " ع00ام س00قت " فيما ألن الع00ام النص00اب بق00در " خ00اص ص00دقة أوسق خمسة دون فيما ليس

وفق البي00ان ك00ان إذا ما ذلك محل ب00أن الحنفية بعض وأج00اب من ش00يء انتفى إذا , أما عنه ناقصا وال عليه زائ00دا ال الم00بين

فإنه هذا سعيد أبي كحديث به التمسك فيمكن مثال العام أفراد يقبل ال عما , وس00كت التوس00يق يقبل فيما النص00اب على دل

الس00ماء س00قت فيما قوله بعم00وم التمسك فيمكن التوس00يق , وأج00اب بال00دليلين عمال فيه التوس00يق يمكن ال مما أي العشر

" رواه الخض00راوات في زك00اة " ال مرفوعا روي بما الجمه00ور وق000ال مرفوعا ومع000اذ وطلحة علي طريق من ال000دارقطني

عن طلحة بن موسى مرسل إال ش000يء فيه يصح ال الترم000ذي هي إنما الزك00اة أن على دال وهو وس00لم عليه الله صلى النبي ق00ول . وه00ذا االختي00ار ح00ال في لالقتي00ات يدخر مما يكال فيما

ال ك00ان ولو ذلك جميع من يخرج أحمد . وعن والشافعي مالك اإلجماع المنذر ابن وحكى يوسف وأبي محمد قول وهو يقتات أخ00رجت مما أوسق خمسة دون فيما تجب ال الزك00اة أن على

بزراعته يقصد ما جميع في تجب ق00ال حنيفة أبا أن , إال األرض ال00ذي والش00جر والحش00يش والقصب الحطب إال األرض نم00اء ي000دخل ما كل أن داود عن عي000اض . وحكى انتهى ثمر له ليس ففي الكيل فيه ي00دخل ال , وما النص00اب فيه ي00راعى الكيل فيه

الح000ديثين بين الجمع من ن000وع , وهو الزك000اة وكث000يره قليله الم00ذاهب أق00وى الع00ربي ابن . وق00ال أعلم والله الم00ذكورين

ب00العموم التمسك , وهو حنيفة أبي ق00ول للمس00اكين وأحوطها تقل ما لتفص00يل ج00اء إنما الحديث أن الجويني زعم : وقد قال الح00ديث يك00ون أن مانع : ال العربي ابن , قال مؤونته تكثر مما

أعلم والله الوجهين يقتضي ؟ تق00ريب أو تحديد هو هل النصاب هذا في ( : اختلف ) تكميل ك00ان إن , إال للشافعية الوجهين أصح , وهو أحمد جزم وباألول

25

, العيد دقيق ابن قاله يضر فال ينض00بط ال مما ج00دا يسيرا نقصا على , واتفق00وا تق00ريب أنه مس00لم ش00رح في الن00ووي وص00حح وقص وال بحس00ابه أوسق الخمسة على زاد فيما الزكاة وجوب

. فيها

26