otonomi daerah
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pendidikan Kewarganegaraan
Mata Kuliah Ciri Universitas
Universitas Mercu Buana - Jakarta
OTONOMI DAERAH
Dosen :
Udjiani Hatiningrum
1. Pengertian Otonomi Daerah.
Istilah Otonomi Daerah berasal dari kata Otonomi, yang dalam arti sempit berarti
Mandiri sedangkan dalam arti luas berarti Berdaya. Jadi pengertian Otonomi Daerah
adalah “Pemberian kewenangan pemerintah kepada PEMDA untuk secara mandiri atau
berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri”. Otonomi daerah
dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dari rumusan tsb di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otonomi
daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
1) Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2) Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di
atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3) Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan
kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali
sumber pembiayaan sendiri.
Terjadinya Otonomi Daerah dikarenakan adanya perubahan sistem pemerintahan dari
sistem Sentralisasi yaitu Pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah
daerah ke pemerintah pusat, ke sistem Desentralisasi yaitu Pelimpahan kewenangan dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
2. Latar Belakang Otonomi Daerah.
Keadaan geografis Indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini
1
menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Di era
reformasi ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya
penyaluran aspirasi rakyat, namun tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal
tersebut sangat diperlukan karena mulai munculnya ancaman-ancaman terhadap keutuhan
NKRI, hal tersebut ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indornesia. Di Indonesia, otonomi daerah sebenarnya mulai
bergulir sejak keluarnya UU No.1 Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5
Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan
pemerintahan yang cenderung ke arah desentralisasi. Namun pelaksanaannya mengalami
pasang surut, sampai masa reformasi bergulir. Pada masa ini keluarlah UU No.2 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Sejak itu, penerapan otonomi daerah
berjalan cepat.
Prinsip otonomi daerah adalah pemerintahan daerah diberi wewenang untuk
mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja ada beberapa bidang yang tetap ditangani
pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan keamanan, moneter/fiscal,
politik luar negeri dan dalam negeri serta sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian
Negara, pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional). Pada
kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan begitu saja pada pemerintah
daerah. Selain diatur dalam perundang-undangan, pemerintah pusat juga harus mengawasi
keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah.
Alasan perlunya Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :
1) Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini (masa orde baru) sangat sentralisasi,
daerah diabaikan.
2) Pembagian kekayaan alam tidaklah adil dan merata.
3) Kesenjangan sosial dan pembangunan.
4) Sedangkan alasan filoposofisnya adalah :
a) Mencegah penumpukan kekuatan atau tirani (aspek politis).
b) Mengembangkan kehidupan Demokrasi.
c) Dari aspek tekhnik organisasi penyelanggaraan pemrintah agar lebih efisien.
2
d) Merupakan sarana Pedidikan politik.
e) Persiapan untuk karier politik lanjutan.
f) Menjaga stabilitas politik nasional.
g) Mencapai kesetaraan politik di Indonesia.
3. Tujuan & Prinsip Otonomi Daerah.
Banyak orang yang lupa bahwa pelaksanaan yang baik Otonomi Daerah adalah pada
hakikatnya, atau pada intinya adalah pelaksanaan secara baik program nasional kita
bersama, yaitu reformasi. Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang Otonomi Daerah,
perlulah sekaligus kita sadar tentang pentingnya untuk mensenyawakannya dengan
reformasi. Kalau tidak, maka pastilah Otonomi Daerah itu akan kandas di tengah jalan, atau
akan salah arah. Jelasnya, Otonomi Daerah tidak bisa dilaksanakan oleh orang-orang
yang masih dihinggapi oleh cara berfikir pola Orde Baru. Seperti yang sudah kita
saksikan selama puluhan tahun, cara berfikir pola Orde Baru adalah, antara lain sikap yang
tidak menghormarti demokrasi, melecehkan supremasi hukum, penyalahgunaan kekuasaan
secara sewenang-wenang, tidak mengacuhkan hak asasi manusia, membudayakan KKN,
tidak menghargai kepentingan rakyat banyak, menumpuk kekayaan dengan cara-cara haram
atau tidak bermoral, memanipulasi agama untuk tujuan-tujuan yang haram, menipu rakyat
dan menindas rakyat demi kepentingan sekelompok atau segolongan orang saja. Otonomi
Daerah adalah tujuan yang mulia bagi bangsa kita, dan, karenanya, harus kita laksanakan
dengan konsekuen. Walaupun akan mengalami berbagai kesulitan dan menghadapi berbagai
rintangan. Karena Otonomi Daerah adalah masalah baru, sedangkan bidang-bidang yang
harus ditangani dewasa ini begitu banyak dan persiapan-persiapkan juga belum sempurna,
maka jelaslah bahwa banyak sekali kesulitan yang akan muncul. Apalagi, pelaksanaan
Otonomi Daerah ini terpaksa dilakukan sambil meneruskan reformasi yang sekarang ini masih
berjalan seret. Dan seperti yang sudah kita saksikan selama ini, seretnya reformasi adalah
disebabkan oleh ulah berbagai kalangan atau golongan yang budi pekertinya masih
dihinggapi penyakit-penyakit Orde Baru. Reformasi adalah perubahan gradual melalui
rekonstruksi sistem pemerintahan dari otoritarian ke demokrasi. Karena itu, agak naif
kalau kiranya dalam jangka waktu satu dasawarsa kita menuntut reformasi telah
“berbuah lebat”. Tetapi itu tidak berarti kita tidak bisa melakukan akselerasi untuk
3
mempercepat tercapainya tujuan reformasi. Di negara-negara yang melakukan transisi politik
dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi, umumnya diperlukan waktu sekitar 10 hingga 20
tahun untuk memformat dan menstabilkan pemerintahan. Itupun tidak semua berhasil, bahkan
ada negara-negara yang kembali ke sistem otoritarian (Gready, 2003).
Ruang lingkup reformasi di Indonesia sesungguhnya sangat luas, paling tidak mencakup
bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Di bidang politik ada tiga pilar utama
reformasi, yaitu perubahan bentuk pengelolaan pemerintahan dari otoritarian ke demokrasi,
perubahan pola distribusi kekuasaan dari sentralisasi ke desentralisasi, dan perubahan cara
penanganan pers dari pers terkontrol ke pers bebas (Kalla, 2008). Riswandha Imawan
malahan mengidentikkan reformasi bidang politik dengan demokratisasi (Imawan, 2004).
Perubahan sistem pemilihan umum maupun rekonstruksi struktur lembaga partai politik,
lembaga perwakilan rakyat dan lembaga kepresidenan merupakan contoh-contohnya.
Pelaksanaan Otonomi Daerah bukanlah hanya urusan pemerintah saja, bukan pula
hanya urusan DPR atau DPRD saja. Hanya dengan partisipasi aktif dan dukungan
positif masyarakatlah maka pelaksanaannya akan berjalan mulus. Oleh karena itu,
partisipasi masyarakat perlu disambut baik, bahkan dibantu sekuat mungkin oleh pihak
manapun juga, terutama pihak pemerintah, baik di Pusat maupun di daerah-daerah (tingkat
propinsi atau kabupaten). Makin besar partisipasi rakyat, atau makin besar dukungan rakyat,
maka makin terjaminlah sukses yang bisa dicapai. Tetapi, supaya rakyat bisa leluasa
mengembangkan inisiatifnya, maka perlu pemerintah (tingkat Pusat maupun tingkat daerah)
menunjukkan goodwillnya (atau political will-nya). Namun, mengingat sikap keliru pemerintah
selama ini, yang sering menunjukkan sikap acuh tak acuh (bahkan “curiga”) terhadap inisiatif
masyarakat, maka masyarakat tidak perlu ragu-ragu, apalagi takut, untuk mengambil
beranekaragam langkah-langkah untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah.
Untuk tujuan mulia ini, masyarakat tidak perlu minta ijin, atau minta restu pihak “resmi”.
Urusan Otonomi Daerah adalah urusan yang bersangkutan dengan kepentingan rakyat
banyak. Adalah hak rakyat yang sah untuk ikut mengkontrol pelaksanaannya. Tujuan
otonomi daerah adalah mencegah pemusatan kekuasaan, terciptanya pemerintahan
yang efisien, dan partisipasi masyarakat. Sedangkan prinsip otonomi daerah yaitu
efisiensi dan efektivitas, pendidikan politik, karier politik, stabilitas politik, kesetaraan
politik, dan akuntanbilitas publik.
4
Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah :
1) menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2) secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Di samping itu, otonomi daerahjuga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3) pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas
mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat
Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara
utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang
selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tk. II, yang dalam Undang-undang ini
disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4) Sistem otonomi yang dianut adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab,
dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam,
peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan
kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
5) Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang
selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah
propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah
administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6) Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom.
Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat
dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah
kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah
propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan administrasi, tetapi menjadi perangkat
daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di
5
daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan
mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7) Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis
pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut
sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
8) Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang
DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan,
anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada
DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggungjawab kepada
Presiden.
9) Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai
pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
10) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah,
sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain
yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak
mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan
daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan
dengan undang-undang.
11) Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama
pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12) Yang dapat menjadi Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia dengan
syarat-syarat :
(a) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(b) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang
sah,
(c) Tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dinyatakan dengan
surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri,
(d) Berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA dan atau sederajat,
(e) Berumur sekurang-kurangnya 30 tahun,
6
(f) Sehat jasmani dan rohani, (g) Nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya,
(h) Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana,
(i) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri,
(j) Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya,
(k) Menyerahkan daftar kekayaan pribadi,
(l) Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah.
13) Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang
ditetapkan pemerintah.
14) Keuangan daerah bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan sah. Dalam
setiap kewenangan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah melekat
kewenangan keuangan.
15) Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi
otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang
bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif
dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota.
Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan
perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala
propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten
dan Kota.
16) Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara
membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten
sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain
DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Tehnis Daerah, Lembaga Staf
Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan
pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga
pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah
7
dan Kandep dihapus.
17) Kepala Daerah sepenuhnya bertanggungjawab kepada DPRD, dan DPRD dapat
meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggung jawaban Kepala
daerahsetelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
Prinsip otonomi daerah yaitu efisiensi dan efektivitas, pendidikan, politik, karier politik,
stabilitas politik, kesetaraan politik, dan akuntanbilitas (pertanggungjawaban) publik.
4. Perkembangan UU Otonomi Daerah di Indonesia.
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep
dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan
sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan
yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila
perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-
perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat
itu. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana
yang terdapat dalam UU berikut ini :
1) UU No. 1 tahun 1945 tentang PEMDA :
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi.
Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.
2) UU No. 22 tahun 1948 tentang Susunan PEMDA yang Demokrati :
Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi.
Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar
untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat. Dalam undang-undang
ini, pemerintah pusat memberikan hak istimewa kepada beberapa daerah di Jawa,
Bali, Minangkabau, dan Palembang untuk menghormati daerah tersebut guna
melakukan pengaturan sendiri daerahnya mengenai hak dan asal usul daerah.
3) UU No. 1 tahun 1957 tentang PEMDA yang berlaku menyeluruh dan bersifat
seragam :
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala
daerah bertanggungjawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah
8
pusat.
4) Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 :
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui
penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan
pamong praja.
5) UU No. 18 tahun 1965 Tentang PEMDA yang menganut otonomi yang seluas-
luasnya :
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan
memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi
diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.
6) UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Penyelenggaraan Pemerintah Pusat
di Daerah :
Undangpundang ini usianya paling panjang yaitu 25 tahun. Setelah terjadinya G.30.S
PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan
ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974
pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa
seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan
menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
7) UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah :
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik
sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan
mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
8) UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
9) UU No 32 Tahun 2004 tentang PEMDA :
Dalam undang-undang ini terlihat jelas pembagian urusan pemerintahan, dimana
pemerintah pusat menjalankan urusan dalam pembuatan perundangan, politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, kebijakan fiskal dan moneter, serta agama.
PEMDA mempunyai kekuasaan selain wewenang pusat, yaitu bidang ekonomi,
perdagangan, industri, pertanian, tata ruang, pendidikan, kesejahteraan, dan
menjalankan fungsi pemerintahan umum sebagai wakil pemerintah pusat.
9
10) UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah :
UU ini mengatur pembiayaan pembangunan daerah yang bersumber dari dana
perimbangan, dan pendapatan lain-lain, serta juga mengatur pembagian penerimaan
antara pemerintah pusat dan daerah yaitu penerimaan hasil hutan (pusat 20%, daerah
80%), penerimaan dana reboisasi (pusat 60%, daerah 40%), pertambangan umum
dan perikanan (pusat 20%, daerah 80%) pertambangan minyak (pusat 69%, daerah
30,5%), dan panas bumi (pusat 20%, daerah 80%).
5. Model Desentralisasi.
Bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki sejarah desentralisasi yang cukup panjang,
dalam hal ini dapat kita lihat perkembangan desentralisasi itu sendiri mulai dari
Decentralisastie Wet 1903 (Stbld 1903/329) pada zaman hindia belanda sampai dengan
sekarang sejak berlakunya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 . Namun kenyataannya sejak
zaman hindia belanda pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tetap terjadi tarik menarik
kewenangan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah masih terus saja terjadi.
Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi merupakan sesuatu yang bersifat dinamis, dan
persoalan Otonomi Daerah tidak akan pernah selesai sepanjan kebutuhan serta keinginan
dari masyarakat itu sendiri masih terus berubah.
Dengan hadirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, diharapkan dapat menjadi
batu penjuru bagi terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis. Sebab pada dasarnya
pemberian otonomi dalam rangka desentralisasi diarahkan untuk peningkatan
penyelenggaraan pemerintah engan melibatkan seluruh komponen yang ada di Daerah.
Desentralisasi adalah sebuah bentuk pemindahan tanggung jawab, wewenang dan
sumber-sumber daya (dana, personil, dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke level
pemerintahan daerah. Dasar dari inisiatif seperti ini adalah desentralisasi dapat
memindahkan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintahan yang lebih dekat
dengan masyarakat. Karena merekalah yang akan merasakan langsung pengaruh program
pelayanan yang dirancang, dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah.
Selama beberapa dekade terakhir terjadi pergerakan global menuju model-model
desentralisasi pembangunan sebagai alat untuk mempromosikan prinsip-prinsip kunci seperti
10
otonomi daerah, akuntabilitas dan transparansi pemerintahan, efisiensi dan efektifitas
ekonomi, serta kesamaan akses terhadap pelayan. pelayanan. Di Indonesia, usaha untuk
mempromosikan desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan pelayanan pedesaan baru-
baru ini memperoleh titik terang dengan dikeluarkannya dua undang-undang baru tentang
pemerintahan dan otonomi daerah, yaitu Undang-Undang No 32, tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah dan Undang-Undang No 33, tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan pemerintah daerah dan pusat. Tujuan peningkatan desentralisasi adalah untuk
mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pelayanan publik dengan
menggabungkan kebutuhan dan kondisi lokal yang, sekaligus untuk mencapai objektif
pembangunan sosial ekonomi pada tingkat daerah dan nasional. Peningkatan
perencanaan, pelaksanaan, dan anggaran pembangunan sosial dan ekonomi diharapkan
dapat menjamin bahwa sumber-sumber daya pemerintah yang terbatas dapat digunakan
dengan lebih efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Desentralisasi pemerintahan akan memberikan peluang dan mempromosikan kepedulian
masyarakat pada program-program pemerintah melalui partisipasi masyarakat daerah dalam
pengambilan keputusan kebijakan pemerintah. Sampai sejauh mana para stake holder
berperan dalam proses policy Kebijakan Pemerintah. Sebagai pemilik kedaulatan setiap
warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses
bernegara, dan pemerintah serta masyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara
langsung maupun melalui institusi intermeditasi seperti DPRD, LSM dan lain sebagainya.
Partisipasi yang diberikan dapat berbentuk buah pikiran, dana, tenaga maupun bentuk-bentuk
lainnya yang bermanfaat. Partisipasi warga negara dilakukan tidak hanya dilakukan dalam
tahapan inplementasi, tetapi secara menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan,
pelaksanaan evaluasi, serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Seiring dengan perkembangan
zaman serta berjalannya Desentralisasi pemerintahan ini masyarakat Indonesia sudah
semakin peka dan tanggap terhadap birokrasi yang sedang berlangsung pada massa ini,
keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan biasanya dilakukan melalui
Organisasi-organisasi masyarakat yang ada di Kabupaten/Kota, Provinsi serta di Pusat.
Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat
untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi
kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi,
otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah
11
daerah.
Konsensus nasional mengenai keberadaan Desentralisasi dalam Negara Kesatuan
Indonesia tersebut mengandung arti bahwa penyelenggaraan organisasi dan
administrasi negara Indonesia tidak hanya semata-mata atas dasar asas sentralisasi,
tetapi juga dengan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai perwujudannya. Dengan
demikian, setidak-tidaknya di kalangan Pembentuk UUD 1945 dan penyelenggara organisasi
negara Indonesia telah diterima pemikiran yang mendasar bahwa sentralisasi dan
desentralisasi masing-masing sebagai asas organisasi tidak ditempatkan pada kutub yang
berlawanan (dichotomy), tetapi kedua asas tersebut merupakan suatu rangkaian kesatuan
(continuum). Kedua asas ini memiliki fungsi yang berlainan, tetapi saling melengkapi bagi
keutuhan organisasi negara. Sentralisasi berfungsi menciptakan keseragaman, sedangkan
desentralisasi menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Model desentralisasi adalah pola penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintahan kepada daerah otonomi untuk mengatur dan menangani urusan
pemerintahan dalam sistem NKRI. Menurut Rondinelli , model desentralisasi ada
empat, yaitu :
1) Dekonsentralisasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah, dan atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.
2) Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial
untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi, yang tidak secara
langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
3) Devolusi adalah transfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan
manajemen kepada unit otonomi PEMDA.
4) Privatisasi adalah tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-
badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat.
6. Pembagian Urusan Pemerintahan.
Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
12
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah
daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom,
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik.
Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, urusan pemerintahan dapat
dibagi ke dalam urusan pemerintahan pusat, pemerintahan daerah tingkat I, dan
pemerintahan daerah tingkat II. Pembagian urusan pemerintahan tersebut meliputi :
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat,
seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan
sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang
diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya
mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah.
13
Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap
harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan. Namun mengingat
terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah, maka prioritas
penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan
yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan
kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Untuk itu pemberdayaan dari
Pemerintah kepada pemerintahan daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan
kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai
prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
Pemerintahan Daerah Provinsi terdiri atas Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD
Provinsi. Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kotaterdiri atas Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam menyelenggarakan pemerintahan,
pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Hukum
administrasi negara menjadi dasar pijakan utama dan legitimasi kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga format hukum sangat menentukan
nuansa dan dialektika otonomi daerah yang ditetapkan pemerintah pusat. Hukum tidak
dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintahan daerah karena melalui hukum dapat diperoleh
arah tujuan negara dalam membagi kewenangan antar-tingkatan pemerintahan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi yang meliputi :
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
14
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan PEMDA Kabupaten/Kota, meliputi 15 bidang,
yaitu :
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang pendidikan;
f. penanggulangan masalah sosial;
g. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
h. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
i. pengendalian lingkungan hidup;
j. pelayanan pertahanan;
k. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
l. pelayanan administrasi penanaman modal;
m. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
n. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
7. Otonomi Daerah dan Demokratisasi.
Otonomi daerah adalah wujud upaya demokratisasi di bidang pemerintahan dari
sentralisasi ke desentralisasi kewenangan. Ujung-ujungnya adalah rakyat diberi prakarsa
15
untuk mengembangkan daerahnya sendiri. Namun demikian, demokrasi itu tetap harus
berdasarkan pada peraturan dan hukum yang berlaku, karena pada prinsipnya demokrasi
berisi juga penghormatan terhadap hukum. Desentralisasi, demokratisasi, dan
akuntabilitas pemerintahan daerah merupakan tiga kata kunci yang penting dalam
implementasi otonomi daerah. Ketiganya memiliki hubungan yang tidak saling terpisahkan.
Akuntabilitas atau pertanggungjawaban di dalam konteks politik merupakan suatu konsep
yang melekat di dalam teori dan praktek demokrasi. Di situlah terlihat bahwa semangat
demokrasi jelas menghendaki suatu pemerintahan yang bersandikan "pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Karenanya, akuntabilitas sangat erat kaitannya dengan
kedaulatan rakyat, sebab bertanggungjawabnya penguasa kepada rakyat berarti mengakui
bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan yang sesungguhnya (Miriam Budiardjo).
Demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan
negara berada di tangan rakyat.Kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama
rakyat, pemerintah rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Keberadaan demokrasi sangat
penting karena keberhasilan pembangunan daerah sangat bergantung pada
pelaksanaan desentralisasi yang baik dan benar. Salah satu keuntungan desentralisasi
adalah pemerintah daerah dapat mengambil keputusan lebih cepat, dengan demikian prioritas
pembangunan dan kualitas pelayanan masyarakat diharapkan dapat lebih mencerminkan
kebutuhan nyata masyarakat di daerah.
16