osteoarthritis lumbal - unud
TRANSCRIPT
ii
OSTEOARTHRITIS LUMBAL
Oleh
dr. Ida Bagus Gede Arimbawa
Pembimbing
dr. I Ketut Suyasa, SpB, SpOT (K)
PROGRAM STUDI ILMU ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................ ii
Daftar Gambar .................................................................................................... iv
BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
2.1 Definisi dan Terminologi .......................................................... 3
2.2 Anatomi dan Biomekanika ....................................................... 4
2.3 Etiologi dan Faktor Resiko .................. ..................................... 11
2.3.1 Umur ................................................................................. 13
2.3.2 Jenis Kelamin .................................................................... 14
2.3.3 Level Spinal ...................................................................... 15
2.3.4 Orientasi Faset dan Tropisme ........................................... 15
2.3.5 Degenerasi Diskus Intervertebralis ................................... 16
2.3.6 Degradasi Kolagen Tipe II ................................................ 16
2.3.7 Kegemukan ....................................................................... 17
2.3.8 Lain-lain ............................................................................ 17
2.4 Patogenesis...................... ........................................................... 17
2.4.1 Perubahan Struktural ......................................................... 19
2.4.2 Perubahan Biokimia dan Metabolik pada Tulang Rawan. 20
2.4.3 Faktor Pertumbuhan dan Sitokin ...................................... 21
2.5 Manifestasi Klinis............................... ....................................... 23
2.6 Imaging................. ..................................................................... 26
2.7 Pemeriksaan Laboratorium............................... ......................... 30
2.8 Diagnosis.................................................................................... 30
2.9 Manajemen............................... .................................................. 32
2.9.1 Pendekatan Nonfarmakologi ............................................. 32
2.9.2 Pendekatan Farmakologi ................................................... 34
iv
2.9.3 Pendekatan Operatif dengan Terapi Fusi Spinal ............... 43
BAB 3. PENUTUP............................................................................ ..................... 52
3.1 Kesimpulan ..................................................................... .......... 52
DAFTAR PUSTAKA
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Anatomi Lumbal Spinalis ..................................................................... 5
Gambar 2. Anatomi Sendi Faset dan Diskus Intervertebralis ................................. 6
Gambar 3. Sendi Faset Lumbal ............................................................................... 7
Gambar 4. Pergerakan Lumbal Spinalis ................................................................. 8
Gambar 5. Gambaran Titik Kontak Sendi Faset ..................................................... 8
Gambar 6. Beban pada Sendi Faset Lumbal saat Berdiri Tegak ............................ 9
Gambar 7. Rotasi Lumbal Spinalis ......................................................................... 10
Gambar 8. Klasifikasi Osteoarthritis....................................................................... 12
Gambar 9. Sumber-sumber Biomarker pada OA .................................................... 19
Gambar 10. Distribusi Referred Pain Sendi Faset Lumbal .................................... 25
Gambar 11. Contoh Gambaran Sendi Faset ............................................................ 29
Gambar 12. Sistem Gradasi Radiografi pada OA Sendi Faset ............................... 30
Gambar 13. Injeksi pada Defek L5 ......................................................................... 40
Gambar 14. Sendi Faset L3/4.................................................................................. 42
Gambar 15. Radiografi Post Operatif L4-5 dan L5-S1 dengan Instrumentasi ....... 48
Gambar 16. Radiografi Post Operatif L4-5 dengan Instrumentasi ......................... 48
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Osteoarthritis (OA) merupakan proses degeneratif kronis dengan penyebab multifaktorial
yang ditandai dengan hilangnya tulang rawan sendi, hipertrofi pada tepi tulang, sklerosis
subkondral dan perubahan biokemikal dan morfologi membran sinovial dan kapsul sendi
(Mahajan, 2005). Hal ini menyebabkan nyeri sendi, pergerakan yang terbatas, deformitas
dan disabilitas, dan akhirnya menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari. OA
dikenal juga dengan arthritis degeneratif yang biasanya terjadi pada tangan, kaki, tulang
belakang, dan sendi besar penopang berat badan seperti pinggul dan lutut. OA merupakan
penyakit rematik kronis yang sering terjadi dan sebagai penyebab nyeri dan disabilitas di
berbagai negara di dunia. Kebanyakan kasus OA tidak diketahui penyebabnya dan ini
disebut dengan OA primer. OA primer kebanyakan berhubungan dengan proses penuaan,
sedangkan OA sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan lainnya (Sniekers, 2009).
Prevalensi OA telah meningkat selama 20 tahun terakhir, dan meningkatnya harapan
hidup dan obesitas yang juga merupakan faktor resiko OA telah meningkatkan
kekhawatiran akan konsekuensi OA di masyarakat. Prevalensi OA meningkat sesuai
dengan umur dan umumnya lebih sering mengenai
wanita daripada laki-laki. OA diperkirakan sebagai penyebab keempat terbanyak disabilitas
di dunia (Goode et al, 2013)
OA lebih sering dikenal dengan penyakit pada sendi sendi perifer sehingga prevalensi
dan efek disabilitas dari OA tulang belakang sering dikesampingkan. Namun, prevalensi
OA lumbal diperkirakan cukup tinggi, berkisar antara 40-85%. Proses degenerasi pada
tulang belakang sering diklasifikasikan sebagai OA (penyempitan ruang diskus dan
vii
osteofit); namun, secara anatomi sendi faset merupakan sendi synovial satu satunya pada
tulang belakang yang memiliki proses patologis yang sama dengan sendi pada umumnya
(Goode et al, 2013).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Terminologi
Osteoarthritis (OA) merupakan istilah yang pertama kali dicetuskan oleh John Spender
pada tahun 1886. Arthritis deformans yang dicetuskan oleh Heine pada tahun 1926,
digunakan sebagai sinonim OA di Eropa selama beberapa tahun. Mereka tidak memberikan
informasi tentang proses patologis yang mendasari kelainan tersebut. Perubahan tulang
rawan artikular tidak dijelaskan sampai akhirnya Bennett, Waine, dan Bauer melakukan
viii
investigasi pada tahun 1942. Johnson menemukan konsep bahwa OA merupakan proses
dekompensasi remodeling sendi sebagai respon terhadap stress biomekanikal kronis.
Pandangan itu masih tetap dipakai hingga sekarang.
Walaupun sering disebut dengan penyakit hilangnya tulang rawan artikuler dan
hipertrofi tulang, prosesnya mencangkup sendi secara keseluruhan, termasuk tulang
subkondral, tulang rawan, ligament, kapsul, sinovium, dan otot paraspinal dan jaringan
lunak periartikuler. OA sendi faset sering berhubungan dengan penyakit degenerasi diskus
(Gellhorn et al, 2013).
Salah satu definisi OA pada saat ini memperhitungkan perubahan morfologi,
biokimia, molekul dan biomekanikal dari sel dan matrik yang menyebabkan terjadinya
penipisan, fibrilasi, ulserasi dan hilangnya fungsi tulang rawan artikular, sklerosis dan
eburnasi dari tulang subkondral, pembentukan osteofit dan kista subkondral (Moskowitz,
2007).
2.2 Anatomi dan Biomekanika
Lumbal spine dibentuk oleh lima vertebra, L1-L5. Korpus vertebranya besar dan berbentuk
seperti ginjal bila dilihat dari superior, lebih lebar pada dimensi mediolateral dibandingkan
dengan dimensi anteroposterior. Seperti halnya regio yang lain pada spinal, korpus vertebra
ukurannya semakin besar menuju ke arah sacrum. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
beban dari berat badan yang ditumpunya. Pedikelnya berbentuk oval dan lebar
dibandingkan dengan regio thorakal. Oleh sebab itu, pedikel lumbal sering dipakai sebagai
titik fiksasi dari skrew. Prosesus tranversusnya tidak sebesar pada regio thorakal. Prosesus
spinosusnya besar, berbentuk kotak dan horizontal. Foramen vertebranya lebar dan
berbentuk segitiga, mirip dengan regio servikal. Hal ini menyediakan ruang yang cukup
bagi kauda equina dan akar akar saraf yang mengontrol fungsi extremitas bawah. Foramen
ix
intervertebralisnya panjang dan akar akar saraf menempati sekitar 33% dari total
diameternya (Schnuerer et al, 2011). Anatomi lumbal spine dapat dilihat pada gambar 1
dibawah.
Anatomi dan biomekanik sendi faset (zygapophyseal) lumbal sangat baik dijelaskan
dengan framework of Kirkaldy-Willis dan tiga tahap degenerasi spinal oleh Farhan yang
dideskripsikan pada tahun 1983. Tiap segmen spinal terdiri dari diskus intervertebralis di
bagian anterior dan sepasang sendi faset di
Gambar 1. Anatomi Lumbal Spinalis
bagian posterior membentuk komplek tiga sendi (Gambar 2). Diskus dan dua sendi faset
secara progresif melalui tahap disfungsi, mikro dan makro instabilitas, dan akhirnya
stabilisasi; dimana satu sendi mempengaruhi 2 sendi yang lain. Perubahan degeneratif pada
pada satu sendi mempengaruhi biomekanika dari semua komplek (Varlotta et al, 2010).
x
Gambar 2. Anatomi sendi faset dan diskus intervertebralis. Pada setiap level spinal, sepasang sendi faset
membentuk kompleks tiga sendi atau spinal motion segment
Sendi faset lumbal (zygapophyseal) berjumlah sepasang, sendi synovial yang
sebenarnya yang terdiri dari artikulasi posterolateral antara level vertebra. (Gambar 3).
Setiap sendi terdiri dari prosesus artikularis superior yang besar, menghadap ke posterior
dan medial dengan permukaannya yang cekung dari vertebra di bawahnya dan prosesus
artikularis inferior yang menghadap ke arah anterior dan lateral dari vertebra di atasnya.
Morfologi tiap sendi berbentuk kirs-kira seperti huruf “C” dan “J”. Sendi faset lumbal
mengandung tulang rawan hialin, membran sinovial, kapsul fibrus, dan ruang sendi dengan
kapasitas 1 sampai 2 ml. Keberadaan meniskus (meniscoids) pada sendi faset lumbal telah
banyak ditekankan pada beberapa publikasi. Meniskus tersebut berfungsi untuk
mengkompensasi inkonruitas permukaan sendi dan mengisi ruang yang kosong (Kalichman
et al, 2007).
xi
Gambar 3. Sendi faset lumbal. IAP, inferior articular process; SAP, superior articular process; cart,
articular cartilage; men, meniscus
Mobilitas lumbal paling besar pada saat pergerakan fleksi/ekstensi (mobilitas
kumulatif pada segmen L1-L5: 57o) dan terbatas selama lateral bending (L1-L5: 26
o) dan
rotasi aksial (L1-L5: 8o) seperti pada gambar 4 dibawah ini. Pergerakan fleksi/ekstensi
lumbal spinalis yang memiliki jangkuan yang luas menyebabkan gap fisiologis pada sendi
faset pada fase akhir gerakan, dan hal ini dapat mengakibatkan tekanan yang maksimal
pada tepi bawah faset inferior selama ekstensi dan tepi atas faset superior selama fleksi
(Gambar 5). Pada posisi berdiri tegak,sendi faset antara L5 dan sacrum menerima beban ke
arah depan yang berkelanjutan oleh karena adanya lordosis lumbal (Gambar 6).
Gambar 4. Pergerakan lumbal spinalis. (A) Fleksi (side) lateral. (B) Fleksi/ekstensi. (C) Rotasi
xii
Gambar 5. Gambaran skematis menunjukkan titik kontak antara faset superior dan inferior selama
pergerakan fleksi/ekstensi. Faset superior mengalami kerusakan terutama pada bagian superior selama
fleksi, (A) faset inferior memberikan tekanan maksimal. Faset inferior mengalami kerusakan tulang
rawan pada bagian superior dan inferior selama ekstensi.
Selama fleksi beban ini meningkat dan dialami juga oleh level spinal di atas L5-S1. Pada
segmen bawah spinal, beban ini lebih besar karena berat badan yang lebih besar di atas
level ini dan juga karena sumbu panjang dari pusat massa tubuh. Oleh sebab itu,
peningkatan area kartilagenus pada sendi faset segmen lumbal bawah adalah normal
sebagai konsekuensi dari Wolf’s law (Tisher et al, 2006)(Kalichman et al, 2007).
xiii
Gambar 6. Beban pada sendi faset lumbal pada posisi berdiri tegak.
Rotasi aksial vertebra lumbal terjadi di sekitar aksis longitudinal yang melewati
sepertiga korpus vertebra bagian posterior dan diskus intervertebralis. Selama rotasi ini,
elemen-elemen posterior vertebra superior yang bergerak ke arah lateral, berlawanan
dengan arah dari rotasi tersebut. Dengan pergerakan ini, prosesus artikularis inferior dari
vertebra ini akan membentur prosesus artikularis superior vertebra di bawahnya (Gambar
7). Mekanisme hambatan rotasi aksial ini melindungi diskus intervertebralis dari torsi yang
berlebihan (Tisher et al, 2006)(Kalichman et al, 2007).
xiv
Gambar 7. Rotasi lumbal spinalis. Prosesus artikularis inferior vertebra superior (berwarna abu-abu)
membentur prosesus artikularis superior vertebra inferior pada rotasi aksial.
Diskus intervertebralis lumbal yang sehat mendistribusikan stress kompresi dan
kompresi eksentrik yang sama pada end platenya. Horst dan Brinckmann
mendemonstrasikan diskus yang mengalami degenerasi menerima stress kompresi
eksentrik yang asimetris. Apa yang memulai terjadinya degenerasi diskus masih belum
jelas, namun beberapa abnormalitas pada morfologi diskus mendahului proses degenerasi.
Sejalan dengan proses degenerasi yang terjadi pada diskus intervertebralis karena proses
penuaan dan cedera mikro yang berulang, serat anular terluar mulai mengalami
fragmentasi, memindahkan lebih banyak beban ke posterior melalui komplek tiga sendi,
menyebabkan pergerakan sendi faset yang berlebihan. Dalam kondisi normal, antara 3%
dan 25% beban segmental ditransmisikan pada sendi faset, presentase ini meningkat
sampai dengan 47% pada sendi yang mengalami degenerasi (Tisher et al, 2006).
Selain diskus intervertebralis dan struktur tulang dari sendi faset, kapsul faset juga
memiliki peran mencegah gerakan sendi yang berlebihan. Tebal kapsul normal kurang
lebih 1 mm dan melekat 2 mm dari tepi artikuler. Kapsul membantu membatasi rotasi
aksial seperti halnya pergeseran ke belakang pada saat ekstensi. Walaupun pada awalnya
perubahan degeneratif tulang rawan sendi menyebabkan gerakan sendi faset yang
xv
abnormal atau hipermobilitas sendi, namun pada akhirnnya akan menstabilkan segmen
spinal dan membatasi gerakan yang berlebihan. Tischer dan kawan kawan mendapatkan
prevalensi tinggi dari defek tulang rawan pada sendi faset lumbal cadaver dibandingkan
dengan pembentukan osteofit. Defek ini ditemukan pada tepi lateral dari faset superior
dimana kapsul dorsal melekat pada tempat terjadinya stress yang berlebihan terutama pada
proses degeneratif lanjut. Rotasi segmental yang berlebihan akan meregangkan bagian
posterior dari kapsul sendi yang kontralateral menyebabkan pembentukan spur tulang
sebagai upaya membatasi pergerakan abnormal (Varlotta et al, 2010).
2.3 Etiologi dan Faktor Resiko
OA dapat diklasifikasikan sebagai primer (idiopatik) dan sekunder (Gambar 8). OA
sekunder dapat disebabkan oleh beban abnormal pada sendi (contohnya pada trauma atau
occupational overuse) atau kelainan pada sendi (seperti hemokromatosis, arthritis
inflamasi kronis, penyakit Kristal kronis, septic arthritis) (Shojania et al, 2013).
xvi
Gambar 8. Klasifikasi Osteoarthritis
Seperti pada OA di tempat lain, faktor resiko yang potensial untuk OA sendi faset
diantaranya umur, jenis kelamin, predisposisi genetik, etnik, malalignmen anatomi
(hiperlordosis, skoliosis, dan lain-lain), komposisi tubuh (kegemukan), pekerjaan
(fleksi/ekstensi yang berulang, duduk lama, mengangkat benda berat), dan faktor nutrisi
dan gaya hidup (Kalichman et al, 2007) (Gellhorn, 2012). Osteoarthritis (OA) terjadi
dengan meningkatnya umur namun bukan sebagai hasil langsung dari proses penuaan. OA
dapat disebabkan karena peradangan berulang, stress mekanik, trauma, infeksi sendi,
kegemukan, kerusakan ligament, hormonal, kehamilan, dan kondisi lainnya (Chang et al,
2010).
2.3.1 Umur
xvii
Prevalensi OA sendi faset meningkat dengan umur. Lewin pada ulasan anatomi sendi
sinovial lumbal yang komprehensif, menyatakan bahwa sendi faset menunjukan hanya
terjadi sedikit perubahan tulang rawan sebelum umur 45 tahun. Setelah umur tersebut,
terjadi perubahan tulang rawan lebih lanjut, sklerosis subkondral, dan pembentukan
osteofit. Namun, perubahan degeneratif yang signifikan dapat ditemukan pada individu
muda sekalipun. Tischer dan kawan-kawan pada studi cadaver menemukan perubahan
tulang rawan yang signifikan pada sendi faset individu muda (< 30 tahun) yang menderita
nyeri punggung bawah. Gries dan kawan-kawan, pada studinya pada individu muda (<
40, rata-rata umur 29,1 tahun), menemukan hilangnya tulang rawan sebagian atau total,
dan digantinya tulang rawan oleh jaringan panus pada beberapa kasus (Kalichman et al,
2007). Pada regio lumbal, umur memiliki hubungan yang kuat dengan prevalensi OA
sendi faset yaitu sebesar 56,60 (Gellhorn et al, 2012).
2.3.2 Jenis Kelamin
Studi imaging yang terakhir menemukan tidak terdapat perbedaan prevalensi OA sendi
faset lumbal. Namun, ditemukan perbedaan dalam jenis kelamin kejadian OA pada
tempat lain. Fujiwara dan kawan-kawan pada studi cadaver membandingkan segmen
pergerakan spinal pada laki-laki dan wanita dengan umur, tingkat degenerasi diskus,
degenerasi tulang rawan, dan osteofit yang sama. Mereka menemukan pergerakan spinal
pada wanita menunjukan pergerakan yang lebih besar yang signifikan secara statistic
pada bending lateral, fleksi, dan ekstensi, tapi tidak dengan rotasi aksial, dibandingkan
dengan laki-laki (Kalichman et al, 2007). Wanita lebih banyak menderita OA sendi faset
dibandingkan dengan laki-laki pada pemeriksaan CT scan lumbal (adjusted OR 1,86;
95% CI 1,09-3,18) dan radiografi polos (OR 1,52; 95% CI 1,14-2,0) (Gellhorn et al,
2012).
xviii
Satu penjelasan tentang perbedaan dalam jenis kelamin bahwa tulang rawan
merupakan jaringan yang sensitif terhadap hormon seksual. Ha dan kawan-kawan pada
studi imunohistokimia sendi faset lumbal mendemonstrasikan reseptor estrogen pada
tulang rawan faset dan menemukan juga peningkatan ekspresi estrogen yang signifikan
yang berhubungan dengan tingkat keparahan arthritis sendi faset. Perbedaan level
estrogen pada laki-laki dan wanita dan penurunan yang dramatis level estrogen setelah
menopause berkontribusi pada perbedaan pola degenerasi sendi faset pada laki-laki dan
wanita (Kalichman et al, 2007).
2.3.3 Level Spinal
Beberapa studi menunjukan bahwa kerusakan sendi faset lebih berat pada segmen
pergerakan kaudal dibandingkan dengan level yang lain. Fujiwara dan kawan-kawan
menemukan median gradasi OA sendi faset pada L4-5 lebih tinggi secara bermakna
dibandingkan dengan pada L3-4 (P < 0,05), sedangkan tidak ditemukan perbedaan
bermakna antara L3-4 dan L5-S1, dan antara L4-5 dan L5-S1 (Kalichman et al,
2007)(Gellhorn et al, 2012). Beberapa publikasi menunjukan bahwa spondilolistesis
degeneratif yang biasanya berhubungan dengan OA sendi faset terjadi terutama pada L4-
5 dan setelah itu pada level spinal L5-S1. Namun, prevalensi OA sendi faset pada level
spinal yang lain masih belum jelas (Kalichman et al, 2007).
2.3.4 Orientasi Faset dan Tropisme
Orientasi faset diakui berhubungan dengan degenerasi sendi faset dan spondilolistesis
degeneratif. Semua studi tentang hal tersebut menemukan bahwa individu dengan sudut
sendi faset yang lebih besar secara relatif dengan penampang koronal (orientasi sendi
faset lebih sagital) menunjukan perubahan degeneratif sendi faset yang lebih besar dan
insiden spondilolistesis degeneratif yang lebih tinggi. Dai juga menemukan bahwa
tropisme sendi faset berhubungan secara bermakna dengan spondilolistesis
xix
degeneratifdan penyakit degenerasi diskus. Grogan dan kawan-kawan pada studi cadaver,
Alperovitch-Najenson pada studi CT, dan Berlemann dan kawan-kawan pada studi MRI
dan CT menemukan bahwa umur dan sudut sendi faset, tapi tidak tropisme merupakan
faktor penting pada degenerasi sendi faset (Kalichman et al, 2007).
2.3.5 Degenerasi Diskus Intervertebralis
Banyak studi menekankan pada diskus intervertebralis sebagai lokasi awal terjadinya
degenerasi spinal, seperti degenerasi sendi faset sebagai hasil dari degenerasi diskus.
Konsekuensi mekanis dari degenerasi diskus, antara lain hilangnya tinggi diskus dan
instabilitas segmental, peningkatan beban pada sendi faset dan subluksasi pada sendi dan
perubahan tulang rawan. Vernon-Roberts dan Pirie mendideksi lebih dari 100 lumbal
spinal dan menyimpulkan bahwa degenerasi diskus merupakan kejadian awal yang
menyebabkan pembentukan osteofit dan perubahan pada sendi faset. Videman dan
kawan-kawan menunjukan bahwa 20% degenerasi spinal, degenerasi faset mendahului
degenerasi diskus. Lewin juga menyimpulkan bahwa selain pergerakan segmen L5-S1,
degenerasi diskus bukan merupakan satu-satunya faktor predisposisi dari onset dan
terjadinya OA pada sendi sinovial lumbal (Kalichman et al, 2007).
2.3.6 Degradasi kolagen Tipe II
Meulenbelt dan kawan-kawan, pada studi cross-sectional, menunjukan bahwa konsentrasi
kolagen tipe II C-telopeptide (UCTX-II), marker degradasi kolagen tipe II pada tulang
rawan artikuler atau diskus intervertebralis, berhubungan erat dengan OA sendi faset pada
gambaran radiografi dan juga degradasi tulang rawan. Pada studi longitudinal sebelumnya
menunjukan hubungan antara UCTX-II dengan progresifitas OA yang cepat pada lokasi
yang berbeda, tapi tidak dapat membedakan apakah degradasi kolagen tipe II sebagai
penyebab atau konsekuensi OA (Kalichman et al, 2007).
2.3.7 Kegemukan
xx
BMI yang tinggi juga merupakan faktor resiko independen berhubungan dengan OA
sendi faset lumbal, dan besar hubungannya lebih besar dibandingkan dengan OA sendi
faset servikal. Resiko OA sendi faset pada pemeriksaan CT scan lumbal hampir tiga kali
lebih tinggi pada individu dengan berat badan berlebih (BMI 25-30 kg/m2), dan lima kali
lebih tinggi pada obesitas (BMI: 30-35 kg/m2), bila dibandingkan dengan individu
dengan berat badan normal (BMI ≤ 25 kg/m2) (Gellhorn et al, 2012).
2.3.8 Lain-lain
Keturunan Afrika Amerika memiliki resiko yang rendah menderita OA sendi faset
dibandingkan dengan Amerika kulit putih. (OR 0.42; 95% CI 0.31–0.56). Kalsifikasi
aorta abdominal berhubungan dengan OA sendi faset, tapi merokok dan faktor resiko
kardiovaskuler yang lain tidak berhubungan.
2.4 Patogenesis
Walaupun etiologi OA masih belum dipahami sepenuhnya, perubahan biokimia, struktural
dan metabolik pada tulang rawan sendi telah didokumentasikan dengan baik. Telah
diketahui bahwa sitokin, trauma mekanik dan perubahan genetik terlibat dalam patogenesis
dan faktor-faktor di atas dapat mengawali kaskade degeneratif yang menyebabkan
perubahan karakteristik tulang rawan sendi pada OA. Tulang rawan hialin yang normal
terbentuk dari kondrosit yang terbenam dalam matrik ekstraselular dimana nantinya akan
terisi oleh air, kolagen tipe 2 dan proteoglikan. Tulang rawan tetap stabil dengan adanya
degenerasi dan regenerasi aktif yang seimbang. Dalam keadaan normal, kondrosit artikular
mempertahankan keseimbangan dinamis antara sintesis dan degradasi komponen
extracellular matrix (ECM), termasuk kolagen tipe 2 dan aggrekan, yang merupakan
proteoglikan terbanyak pada tulang rawan artikular. Pada keadaan osteoarthritis (OA),
gangguan keseimbangan matrik ini menyebabkan hilangnya jaringan tulang rawan yang
xxi
progresif, ekspansi klonal kondrosit pada area-area yang mengalami deplesi, induksi stres
oksidatif pada tingkat molekular, dan akhirnya apoptosis sel (Mahajan et al, 2005).
Bila ada keadaan-keadaan sebagai pencetus, hal ini akan menyebabkan degenerasi
matriks dan tulang rawan dan replikasi kondrosit aktif dengan peningkatan biosintesis. Hal
ini mengakibatkan suatu keadaan homeostasis yang dikenal dengan OA terkompensasi,
dimana perbaikan dan degenerasi dalam keadaan seimbang. Setelah beberapa tahun, proses
perbaikan menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan proses degradasi tulang rawan yang
tidak terbendung yang menyebabkan OA progresif. Pada saat ini, OA diketahui sebagai
proses penyakit yang mengenai seluruh struktur sendi termasuk tulang rawan, membran
sinovial, tulang subkondral, ligamen dan otot-otot periartikular. Semua perubahan diatas
menimbulkan proses inflamasi, nyeri dan kerusakan struktural yang mengakibatkan
hilangnya fungsi yang normal (Lotz, 2014). Sumber-sumber biomarker pada OA dapat
dilihat pada gambar 9 di bawah ini.
Gambar 9. Sumber-sumber biomarker pada OA
2.4.1 Perubahan struktural
xxii
Perubahan utama yang terjadi yaitu berkurangnya proteoglikan, fibrilasi, penggumpalan
kolagen, migrasi atau multiplikasi kondrosit dan hilangnya tulang rawan. Awalnya
terbentuk area seperti tekstur koral yang terlokalisir pada permukaan diikuti oleh
gangguan sepanjang serat kolagen (pengelupasan tangensial, fibrilasi vertikal). Dengan
terbentuknya celah pada tulang rawan, matriks disekitarnya kehilangan material
metakromatis yang mengindikasikan hilangnya proteoglikan. Proliferasi kondrosit lokal
terjadi sebagai upaya untuk memperbaiki diri sendiri atau self-repair yang menyebabkan
iregularitas dari bentuk hyalin tulang rawan fibrus (Lotz et al, 2014).
Berikutnya terjadi pembentukan tulang baru pada tulang subkondral dan tepi sendi
(osteofit). Kista subartikular menonjol bila tulang rawan diatasnya tipis atau tidak ada.
Fragmen tulang dan tulang rawan yang terlepas akan membentuk loose bodies,
mengalami disolusi atau bergabung dengan sinovium dan mengalami proliferasi lokal.
Sinovium menjadi tebal dan mengalami hipertrofi dan kapsul berkerut dengan infiltrasi
folikel limfoid, limfosit dan makrofag. Kalsifikasi terjadi dengan adanya deposit kristal
kalsium pada tulang rawan dengan dugaan uptake sekunder pada sinovium. Selain
hilangnya tulang dan tulang rawan pada beberapa bagian sendi, efek pembentukan tulang
dan tulang rawan baru meningkatkan ukuran sendi dan remodeling (Lotz et al, 2014).
2.4.2 Perubahan Metabolik dan Biokimia pada Tulang Rawan
Peningkatan hidrasi dan pembengkakan dengan hilangnya kekuatan regangan diamati
pada OA stadium dini, sedangkan peningkatan sintesis kolagen tipe 1 dan penurunan
konsentrasi proteoglikan diamati pada OA stadium lanjut.
Pembengkakan awal dari jaringan fibrus kolagen dengan hilangnya kolagen tipe 2,
pemecahan yang spesifik dari kolagen dan hilangnya kekuatan regangan dengan
peningkatan isi dari kolagen tipe 4. Kolagen tipe 3 dan 10 juga disintesis. Peningkatan
ekstraktabilitas dan penurunan ukuran monomer karena pemecahan spesifik oleh
xxiii
aggrecanase dan metalloproteinase. Terjadi peningkatan pada sitokin proinflamasi,
aggrecanase, MMPs (matrix metalloproteinase), katepsin dan penurunan keseluruhan
inhibitor (TIMP, etc). Dari ketiga MMPs utama (1,8, dan 13) yang mendegradasi kolagen,
MMPs-13 yang paling penting karena mendegradasi kolagen tipe 2 yang ekspresinya
meningkat cukup besar pada OA. Aggrecanase termasuk dalam keluarga protease
ekstraselular yang dikenal sebagai disintegrin dan metaloprotease dengan motif
thrombospondin (ADAMTS). ADAMTS-4 dan ADAMTS-5 muncul sebagai enzim
utama pada degradasi tulang rawan pada arthritis. IL-1 beta yang disintesis oleh sel
mononuklear (termasuk sel sinovial) pada sendi yang mengalami inflamasi
dipertimbangkan oleh beberapa investigator sebagai mediator utama pada degradasi
matriks tulang rawan dan menstimulasi sintesis dan sekresi dari banyak enzim degradatif
pada tulang rawan termasuk latent collagenase, stronelysin, gelatinase dan tissue
plasminogen activator. Keseimbangan antara enzim aktif dan laten dikontrol sedikitnya
oleh 2 enzim inhibitor: TIMP dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAT-1), yang
akhirnya diatur oleh TGF-beta. Bagaimanapun juga, keseimbangan antara sintesis dan
degradasi proteoglikan penting dalam patogenesis kerusakan tulang rawan (Lotz et al,
2014).
2.4.3 Faktor Pertumbuhan dan Sitokin
TGF beta-1,2,3, fibroblas, platelet derived growth factors, insulin growth factor-1 (IGF-
1), dan bone morphogenetic protein (BMP) termasuk kedalam faktor pertumbuhan dan
sitokin yang bersifat anabolik. TGF (tissue growth factor beta-1,2 & 3) membantu dalam
proliferasi kondrosit, sintesis matriks, memodulasi efek dari IL-1 dan meningkatkan
proteinase inhibitor. Fibroblas dan platelet derived growth factors juga membantu dalam
diferensiasi dan proliferasi kondrosit dan produksi MMP. Insulin growth factor-1 (IGF-1)
xxiv
meningkatkan sintesis glicosaminoglycan (GAG) dan kolagen. BMP meningkatkan
sintesis matriks (Lotz et al, 2014).
Beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin juga berperan sebagai faktor katabolik.
Interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNFα) meningkatkan MMPs,
menghambat sintesis GAG dan berperan lebih lanjut pada kaskade degradasi. Oncostatin-
M yang berkombinasi dengan IL-1 dan TNF menyebabkan kerusakan matriks. Sitokin
yang lain seperti IL-17 dan IL-18 meningkatkan ekspresi IL-1 dan IL-6 dan
meningkatkan MMP. NO (nitric oxide) merupakan faktor katabolik utama yang
diproduksi oleh kondrosit sebagai respon terhadap sitokin proinflamasi seperti IL-1 beta
dan TNF-alpha. NO dapat menghambat kolagen dan sintesis proteoglikan, dapat
mengaktifkan MMPs dan menyebabkan cedera oksidatif dan apoptosis mengakibatkan
degradasi tulang rawan artikular. Efek prostaglandin pada metabolisme kondrosit bersifat
kompleks diantaranya peningkatan sintesis kolagen tipe 2, aktivasi MMPs, dan
meningkatkan apoptosis. Pada tulang rawan, IL-1 beta menginduksi ekspresi COX-2 dan
produksi PGE2 berkoordinasi dengan degradasi proteoglikan. Selain itu, inhibisi COX-2
mencegah degradasi proteoglikan yang diinduksi oleh IL-1 (Lotz et al, 2014).
2.5. Manifestasi Klinis
Nyeri merupakan keluhan yang utama dari OA. Hal ini disebabkan oleh stimulasi serat
nyeri kapsular, mekano-reseptor (peningkatan tekanan intra-artikular karena hipertrofi
sinovium), serat saraf periosteal dan oleh persepsi dari mikrofraktur subkondral atau entesis
dan bursa yang nyeri. (Mahajan A, 2005).
Nyeri pada sendi OA kemungkinan berasal dari beberapa faktor. Tulang rawan sendi
faset tidak memiliki serat saraf, dan nyeri yang berhubungan dengan OA sendi faset berasal
dari nosiseptor dalam sendi dan sekitarnya, termasuk nosiseptor pada tulang itu sendiri.
Sendi faset dan kapsulnya diinervasi oleh cabang medial dari rami dorsalis primer saraf
xxv
spinal, dimana ujung saraf bebas dan mekano-reseptornya telah diidentifikasi. Kapasitas
sendi faset yang dapat menghasilkan rasa nyeri telah didemonstrasikan pada individu
normal melalui injeksi larutan pada servikal dan lumbal spinal dan juga efek analgetik dari
injeksi anastetik lokal pada sendi tersebut. Faktor mekanik yang mengaktifkan serat
nosiseptor diantaranya tekanan langsung pada tulang subkondral, hipertensi intramedular,
mikrofraktur trabekular, distensi kapsul, dan inflamasi sinovium, dimana semua hal tersebut
diatas disebabkan oleh spasme dari otot erektor spinal, multifidi dan otot paraspinal yang
lain (Gellhorn et al, 2012).
Inflamasi yang berkepanjangan pada sendi faset dan sekitarnya dapat menyebabkan
sensitisasi sentral, plastisitas neuron, dan berkembangnya nyeri spinal kronis.
Bagaimanapun juga, OA sendi faset merepresentasikan hanya satu dari banyak penyebab
potensial nyeri spinal pada orang tua, dimana nyeri juga dapat disebabkan oleh degenerasi
diskus, masalah ligament dan otot-otot paraspinal, fraktur vertebra, infeksi spinal,
neoplasma, rheumatoid arthritis, spondyloarthritis dan yang lainnya (Gellhorn et al, 2012).
L3 sampai L5 merupakan region yang sering terlibat, walaupun osteofit dapat terjadi
pada setiap level. Hilangnya lordosis lumbal, nyeri saat ekstensi, dan spasme otot
paraspinal merupakan hal yang sering ditemukan. Nyeri tekan lokal pada vertebra lumbal
harus dipikirkan adanya fraktur kompresi atau keganasan daripada gejala spondilosis
(Moskowitz, 2007).
Sindroma klinis yang berhubungan dengan sendi faset biasanya berupa nyeri
punggung lokal dan kadang disertai dengan radiasi ke ekstremitas bawah. Pada gambar 10
dapat dilihat peta dari nyeri menjalar yang berasal dari sendi faset lumbal. Nyeri menjalar
dari sendi faset perlu dibedakan dengan nyeri radikular yang sebenarnya yang disebabkan
oleh kompresi atau iritasi pada akar saraf. Nyeri radikular cenderung menjalar jauh sampai
daerah ekstremitas distal dibandingkan nyeri sendi faset lumbal, dan dapat disertai dengan
xxvi
defisit neurologis seperti hilangnya fungsi sensorik dan motorik, atau hilangnya reflek-
reflek (Gellhorn et al, 2012).
Selain dapat menyebabkan nyeri spinal, OA sendi faset dapat menghasilkan efek
sekunder pada struktur disekitarnya, yaitu akar saraf spinal tranversal. Osteofit dan
hipertrofi artikular yang terjadi pada OA sendi faset dapat menyebabkan penyempitan (atau
stenosis) pada kanalis spinal sentralis, resesus lateral, dan foramina intervertebralis, yang
dapat menjepit akar saraf spinal pada lokasi tersebut. Kista synovial, yang kadang-kadang
terbentuk pada
Gambar 10. Distribusi referred pain yang berasal dari sendi faset lumbal
OA sendi faset dapat memperparah stenosis yang terjadi. Sebagai tambahan,
spondylolistesis degenerative yang terjadi akibat instabilitas komplek tiga sendi (three-joint
complex), dapat menambah stenosis yang terjadi. Pada beberapa individu, stenosis dapat
menyebabkan gejala nyeri radikular atau neurogenic claudication, yang mana berbeda
dengan pola nyeri sendi faset yang tipikal (Gellhorn et al, 2012).
Kekakuan pada saat istirahat dan awal mulainya pergerakan merupakan keluhan yang
lain dideskripsikan pasien dengan OA. OA yang simtomatis berhubungan dengan depresi,
disabilitas, dan gangguan tidur (Moskowitz, 2007).
xxvii
2.6. Imaging
Gambaran klasik dari radiografi OA sendi faset mencangkup dua proses yaitu degeneratif
dan proliferatif diantaranya penyempitan sendi faset, erosi tulang subartikuler, kista
subkondral, pembentukan osteofit, dan hipertrofi prosesus artikuler (Gellhorn et al, 2012).
Metode diagnostik yang biasa digunakan untuk mengevaluasi degenerasi pada sendi
faset adalah radiograf standar, CT, dan MRI. Radiografi standar, terutama tanpa proyeksi
obliq, memiliki nilai yang terbatas. Radiografi obliq memiliki sensitivitas 55% dan
spesifisitas 69% dalam menunjukan ada atau tidaknya penyakit pada sendi faset. Dalam
membedakan tidak adanya atau adanya penyakit sendi faset yang ringan dengan yang
penyakit sendi faset sedang atau berat, spesifisitas radiografi obliq menjadi lebih tinggi,
yaitu 94%, tapi sensitivitasnya menjadi sangat turun yaitu 23%. Pathria dan kawan kawan
melaporkan sensitivitas 55% dan spesifisitas 69% penggunaan gambaran oblique dalam hal
membedakan ada tidaknya penyakit degeneratif pada sendi faset L3-4 dan L5-S1 pada 50
pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah (Varlotta et al, 2010). Oleh karena sendi
faset berada pada posisi oblid dan memiliki konfigurasi yang cekung, dengan orientasi
pararel satu dan yang lainnya, hanya salah satu sendi saja yang terlihat walaupun dengan
radiograf obliq. Radiografi polos mempunyai keterbatasan yang signifikan dalam
mendeteksi OA sendi faset stadium awal. Sehingga, walaupun radiografi standar dapat
diakses dengan mudah, tidak mahal, dan merupakan metode yang relativ tidak berbahaya,
metode ini hanya dapat digunakan untuk screening OA sendi faset (Kalichman et al, 2007).
Bila dibandingkan dengan radiografi standar, CT scan meningkatkan gambaran sendi
faset karena kemampuannya memproyeksikan gambaran aksial dan memiliki kontras yang
tinggi dalam membedakan struktur tulang dan jaringan lunak di sekitarnya. Keadaan
abnormal yang dapat ditunjukan dengan CT scan diantaranya pembentukan osteofit,
hipertrofi dari prosesus artikularis, penipisan tulang rawan artikuler, fenomena sendi
xxviii
vakum, kista sinovial dan subkondral, dan kalsifikasi dari kapsul sendi (Kalichman et al,
2007). Pathria mendeskripsikan derajat arthropati sendi faset dengan menggunakan
gambaran CT. Gambaran radiografi sendi faset yang normal diklasifikasikan sebagai
derajat 0. Sendi faset dengan penyempitan diklasifikasikan sebagai derajat 1, faset dengan
penyempitan dan sklerosis atau hipertrofi diklasifikasikan sebagai derajat 2, dan faset
dengan penyakit degeneratif berat dengan adanya penyempitan, sklerosis dan osteofit
diklasifikasikan sebagai derajat 3 (Varlotta et al, 2010) (Verlotta et al, 2010). Karena
kemampuannya yang dapat mendemonstrasikan tulang lebih detail dan relatif tidak mahal,
CT masih merupakan metode imaging yang dipilih dalam mengevaluasi OA sendi faset
lumbal (Kalichman et al, 2007).
Beberapa studi menunjukan bahwa MRI kurang akurat dalam mengevaluasi OA sendi
faset dibandingkan dengan CT (Kalichman et al, 2007). CT scan lebih baik
mendemonstrasikan perubahan degeneratif sendi faset karena perbedaan yang tinggi antara
struktur tulang dan jaringan lunak disekitarnya dibandingkan dengan MRI. Fujiwara dan
kawan-kawan menjelaskan bahwa MRI kurang sensitif mendemonstrasikan tepi korteks
tulang, dan penipisan tulang rawan artikuler (Kalichman et al, 2007). Leone dan kawan-
kawan menemukan bahwa CT mendemonstrasikan dengan jelas tanda-tanda karakteristik
arthropati. Walaupun CT lebih akurat daripada MRI dalam hal membedakan patologi
tulang, namun tidak dapat menunjukan robekan tulang rawan pada stadium awal degenerasi
faset. Sebaliknya MRI memberikan gambaran yang lebih baik dari permukaan tulang rawan
yang mengalami robekan pada degenerasi faset stadium ringan dan berat (Varlotta et al,
2010). Pada studi MRI dari 60 sukarelawan yang asimtomatik yang berumur antara 20-50
tahun, Weishaupt dan kawan-kawan menemukan kurangnya OA yang berat dan kelangkaan
dari OA sendi faset stadium awal dan sedang. Mereka menyimpulkan abnormalitas pada
sendi faset bukan merupakan temuan yang tidak disengaja tapi berhubungan dengan nyeri
xxix
punggung bawah. Beberapa studi menemukan bahwa bila ada pemeriksaan MRI, CT tidak
diperlukan untuk mengevaluasi degenerasi sendi faset (Kalichman et al, 2007).
Skintigrafi tulang dengan SPECT, pada satu sisi dapat membantu mengidentifikasi
pasien dengan nyeri punggung bawah yang mendapatkan manfaat dari injeksi sendi faset.
Skintigrafi radionuklid tulang dapat menunjukan area tulang yang fungsinya meningkat,
dan dapat menunjukan perubahan sinovial yang disebabkan oleh inflamasi atau hiperemia.
Skintigrafi tulang dapat mendemonstrasikan perubahan degeneratif, khususnya yang
mengalami remodeling derajat tinggi. Dengan SPECT, sensitivitas CT scan dalam
menunjukan lesi tulang menjadi meningkat (Kalichman et al, 2007). Gambaran sendi faset
dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Contoh gambaran sendi faset: A. CT, B. MRI, C. radiografi oblique
Sistem gradasi radiografik biasanya digunakan pada OA sendi faset servikal dan
lumbal seperti pada gambar 12. Sistem ini menggunakan skala berdasar pada kombinasi
dari gambaran radiografi (Gellhorn et al, 2012).
Pada regio lumbal, gambaran klasik OA sendi faset sering terjadi ada level bawah.
Prevalensi OA sendi faset tertinggi pada L4-L5, diikuti oleh L5-S1. Gambaran sendi faset
yang lain diantaranya BMLs, efusi, dan edema periartikuler juga sering ditemukan pada L4-
L5 dan L5-S1. Gambaran OA sendi faset dapat tumpang tindih dengan kondisi imflamasi
xxx
yang mengenai sendi faset seperti rheumatoid arthritis, spondyloarthritis dan gout (Gellhorn
et al, 2012).
Gambar 12. Sistem gradasi radiografi yang banyak digunakan pada OA sendi faset
2.7 Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai kesatuan klinis, OA merupakan konstelasi klinis, radiologis, dan pemeriksaan
cairan sinovial. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada OA. Tes darah dan
urin biasanya menunjukan hasil yang normal, dan analisis cairan sinovial kadang
menunjukan hasil yang abnormal namun tidak spesifik. Walaupun demikian, pemeriksaan
cairan tubuh (darah, urin, cairan sinovial) dikerjakan untuk mengeksklusi bentuk lain dari
arthritis dan mengidentifikasi kelainan metabolik yang menjadi penyebab OA (Moskowitz,
2007).
2.8 Diagnosis
Diagnosis OA pada saat ini berdasarkan gejala klinis dan gambaran radiografi. Namun
keterbatasan dari radiografi (masalah teknis, presisi dan sensitivitas) menuntun
dilakukannya penelitian untuk mencari parameter lain untuk monitoring OA yang berfungsi
sebagai biomarker dalam pengembangan obat. The National Institutes of Health (NIH)
xxxi
mendefinisikan biomarker dengan karakteristik yang diukur dan dievaluasi secara obyektif
sebagai indikator proses biologi normal, proses patogenik, atau respon farmakologis dari
intervensi terapeutik (Lotz et al, 2014).
MRI dan USG berguna dalam evaluasi OA dan pengembangan obat. Namun
penggunaan MRI terbatas oleh biaya yang mahal, ketersediaan alat dan tidak adanya skor
internasional yang valid. Alternatif lain adalah pengukuran biomarker dalam darah,
kencing atau cairan sendi yang merefleksikan perubahan dinamik dan kuantitatif
remodeling sendi, dan progresifitas penyakit. Pada OA, marker biokemikal dapat sebagai
molekul efektor, hasil dari kerusakan sendi, atau keduanya seperti pada kasus fragmen
matrik ekstraseluler tulang rawan, yaitu hialuronat, yang berfungsi sebagai biomarker dan
stimulus respon imun alami penyembuhan luka kronis pada OA (Lotz et al, 2014).
Kombinasi gejala klinis dan gambaran radiografi hanya mendiagnosis OA pada
keadaan ireversibel. Oleh karena itu, marker biokimia yang baru harus dapat mendeteksi
OA stadium awal. Kandidat biomarker pada OA harus memiliki nilai validitas,
reproduksibilitas dan prediktif dan informasi bagaimana hubungannya dengan proses yang
terjadi pada sendi dan hasil klinis akhir (seperti kerusakan struktural, nyeri atau disfungsi
dan/atau penggantian sendi) (Lotz et al, 2014).
2.9 Manajemen
Setelah diagnosis OA ditegakan, program pengobatan harus segera direncanakan. Korelasi
dari tingkat keparahan nyeri, keterbatasan fungsional, dan kualitas hidup yang menurun
dengan perubahan struktural yang ditunjukan pada gambaran radiografi hanya bersifat
sederhana, oleh karena itu keputusan manajemen tidak hanya semata-mata dibuat
berdasarkan tingkat keparahan perubahan struktural pada gambaran radiografi. Manajemen
pada individu dengan gejala OA diantaranya 1) mengontrol nyeri pada tingkat yang dapat
diterima oleh pasien, 2) mengurangi keterbatasan fungsional dan disabilitas, 3)
xxxii
meningkatkan kualitas hidup, 4) mencegah pengobatan yang berlebihan yang potensial
memberikan efek samping dari obat-obatan (Moskowitz, 2007).
2.9.1 Pendekatan Nonfarmakologi
Edukasi diperlukan pada pasien OA untuk menjelaskan proses penyakitnya dan
bagaimana hal ini berefek pada pasien sendiri dan keluarganya. Adalah sangat penting
untuk menekankan bahwa banyak pilihan terapi yang baik dan dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien. Kadang diperlukan konsultasi dengan occupational therapist yang
akan lebih menekankan proses edukasi dan menilai kebutuhan akan bantuan dalam
aktivitas sehari-hari. Bantuan ini meliputi tongkat, sepatu, walkers, dan ortosis. Konseling
untuk menurunkan berat badan juga penting karena akan mengurangi gejala OA. Pasien
juga harus diedukasi mengenai biomekanik tubuh yang benar, perubahan gaya hidup,
kebiasaan hidup sehat seperti kontrol berat badan, nutrisi yang sesuai, relaksasi stress, dan
berhenti merokok (Kerr et al, 2001).
Program latihan tertentu dan yoga dapat mengurangi nyeri dan mencegah
kekambuhan pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronis. Pada studi klinis acak,
manipulasi osteopathic dapat mengurangi nyeri pada pasien dengan nyeri punggung
bawah. Akupuntur memberikan manfaat yang signifikan pada pasien dengan nyeri
punggung kronis (Cohen et al, 2007).
Manajemen konservatif lain yang sering diberikan adalah penggunaan brace atau
penyangga punggung yang terbatas dengan rekomendasi untuk tetap aktif atau kombinasi
dengan terapi nonoperatif yang lain. Berdasarkan hasil penelitian klinis acak, Calmesl dan
kawan-kawan, merekomendasikan keterbatasan penggunaan sabuk lumbal untuk
memperbaiki status fungsional, nyeri, dan penggunaan obat. Oleske dan kawan-kawan
melakukan penelitian klinis acak penggunaan penyangga punggung dan edukasi pasien
dengan nyeri punggung karena bekerja. Penulis menemukan tidak adanya efek pemulihan
xxxiii
atau hilangnya jam bekerja antara kelompok pengguna penyangga punggung dan kontrol,
tapi penyangga punggung ditemukan memberikan manfaat dalam mencegah kekambuhan
(Anderrson, 2011).
Banyak modalitas terapi fisik dan rutin dijelaskan pada literatur diantaranya
program land-based and aquatic, protokol spesifik dan latihan rutin, dan program
kelompok pengobatan atau dikenal dengan nama back school. Modalitas tambahan
meliputi terapi pereda rasa nyeri seperti ultrasound, iontophoresis, transcutaneous
electrical nerve stimulation (TENS), dan terapi panas. Program latihan biasanya meliputi
latihan aerobik, peregangan, fleksi dan ekstensi rutin, core conditioning, protokol
stabilisasi punggung. Tujuan dari semua terapi diatas adalah meningkatkan kekuatan,
fleksibilitas badan dan otot-otot panggul. Pasien kadang memiliki respon yang berbeda
pada terapi fisik, sehingga program latihan harus disesuaikan pada setiap individu
(Anderrson, 2011).
2.9.2 Pendekatan Farmakologi
Symptom Modifying Drugs. Acetaminophen kadang efektif pada OA, dengan efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan non steroid anti inflammatory drug
(NSAID) dan ini direkomendasikan sebagai terapi awal untuk OA dan dikombinasi
dengan intervensi nonfarmakologi. Salisilat dan NSAID tradisional dipertimbangkan
hanya pada pasien yang nyerinya tidak berkurang dengan parasetamol (Mahajan et al,
2005).
Obat anti inflamasi nonsteroid atau NSAID telah menjadi inti dari terapi
farmakologi pada OA selama bertahun-tahun. Namun, efek dari NSAID termasuk
grastropati semakin meningkat terutama pada orang tua dan pada pemakain jangka
panjang. Untuk mengurangi efek gastropati dari NSAID telah digunakan ibuprofen,
dklofenak SR, tenoxicam dan nambutone yang mempunyai efek minimal pada mukosa
xxxiv
gastrointestinal. Penambahan PPi atau misoprostol juga mengurangi efek gastrointestinal
ini (Moskowitz, 2007).
Cara kerja utama dari NSAID adalah menghambat enzim cyclo-oxygenase yang
terlibat pada produksi prostaglandin. Terdapat dua bentuk (isoform) dari cyclo-oxygenase
yang dikenal dengan Cox-1 dan Cox-2. Cox-1 diekspresikan pada semua jaringan,
memegang peranan penting pada sintesis prostaglandin di mukosa gaster, platelet dan
ginjal. Cox-2 diinduksi oleh inflamasi dan diekspresikan pada jaringan yang spesifik.
Bukti terbaru menjelaskan bahwa inhibisi pada Cox-2 bertanggung jawab pada efek anti
inflamasi dan efek analgetik dari NSAID. Dua Cox-2 spesifik yang dikenal rofecoxib dan
celecoxib. Secara farmakokinetik, kedua kelompok obat diatas diserap dengan baik pada
saluran gastrointestinal, dengan bioavailabilitas yang baik dan waktu paruh yang panjang
yang memungkinkan dosis sekali sehari. Kedua obat ini memiliki efek analgetik dan anti
inflamasi yang seimbang dibandingkan dengan NSAID yang lain dan lebih superior
dibandingkan dengan placebo (Moskowitz, 2007).
Celecoxib, etoricoxib dengan dosis 60 mg/hari dan valdecoxib 10 mg/hari sama
efektifnya dengan NSAID non selektif dalam hal mengurangi nyeri. Misoprostol sebagai
terapi tambahan pada pasien yang yang memerlukan penggunaan NSAID yang lama
dapat mencegah komplikasi ulkus gaster (Mahajan et al, 2005).
Kombinasi opiod (kodein) dan parasetamol memberikan efek analgesia yang lebih
baik dibandingkan dengan parasetamol saja. Terapi dengan tramadol memberikan hasil
yang signifikan dalam hal mengurangi nyeri, kekakuan, fungsi fisik, status general dan
tidur pada pasien dengan nyeri kronis. Kombinasi tramadol 37,5 mg/acetaminophen 325
mg juga efektif dan aman dalam terapi nyeri pada OA (Moskowitz, 2007).
Analgetik topikal (kream capsaicin 0,025% dan NSAID lokal yang lain) telah
dipertimbangkan sebagai terapi tambahan, monoterapi pada satu sendi yang simtomatis
xxxv
atau pada pasien yang tidak dapat mentoleransi terapi sistemik. Mekanisme kerja dari
capsaicin melalui stimulasi selektif pada serat aferen tidak bermyelin tipe C,
menyebabkan pengeluaran substansi P, yang merupakan neurotransmiter sensasi nyeri
perifer (Moskowitz, 2007).
Pada studi klinis yang dilakukan oleh Schnitzer dan kawan-kawan menemukan
bukti yang mendukung penggunaan antidepresan pada nyeri punggung bawah kronis, dan
pelemas otot pada nyeri punggung bawah akut. Beberapa studi juga menunjukan bahwa
kondisi psikologis pasien juga mempengaruhi hasil akhir pengobatan (Cohen et al, 2007).
Pada penelitian kontrol acak, glukosamin yang dihipotesakan dapat mengembalikan
tulang rawan dan memiliki efek anti inflamasi ternyata tidak dapat mengurangi nyeri pada
pasien dengan nyeri punggung kronis dan OA lumbal selama 6 bulan dan 1 tahun setelah
pengobatan (Wilkens et al, 2010).
Injeksi Intra-artikuler. Pada tahun 1951, hidrokortison diperkenalkan dan banyak
digunakan untuk injeksi intra-artikuler. Walaupun manfaat steroid intra-artikuler pada
pengobatan arthritis rheumatoid dan arthropati inflamasi lain tidak diragukan,
kegunaannya pada terapi OA masih konroversial (Moskowitz, 2007).
Studi eksperimental awal menunjukan kemungkinan arthropati Charcot setelah
injeksi kortikosteroid multipel, dan studi dikerjakan pada binatang kecil (tikus dan
kelinci) mengindikasikan perubahan sintesis protein dan kerusakan tulang rawan. Efek
kerusakan diatas mengurangi penggunaan steroid intra-artikuler pada OA. Namun,
investigator lain melaporkan observasi klinis setelah administrasi steroid intra-artikuler
berulang pada lutut tidak menunjukan kerusakan atau meningkatkan keparahannya. Studi
tentang efek injeksi steroid pada sendi monyet tidak memperlihatkan adanya kerusakan
sendi, menjelaskan bahwa sendi primata memiliki respon yang berbeda dibandingkan
dengan tikus dan kelinci. Terapi injeksi kortikosteroid intra-artikuler pada terapi OA
xxxvi
dapat bermanfaat bila diberikan secara tepat. Terapi steroid intra-artikuler selalu
dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pada program pengobatan konvensional OA
(Moskowitz, 2007).
Tujuan utama dari terapi intra-sinovial pada OA adalah mencapai ruang sendi,
aspirasi cairan, dan memasukan kortikosteroid yang dapat menekan inflamasi dan
memberikan efek yang efektif dalam jangka waktu lama. Kortikosteroid menghambat
sintesa prostaglandin dan mengurangi aktivitas kolagenase dan enzim yang lain. Manfaat
yang utama pada OA masih belum jelas. Saxne dan kawan-kawan, mengukur pengeluaran
proteoglikan ke dalam cairan sinovial untuk memonitor efek terapi pada metabolism
tulang rawan. Data mereka menunjukan injeksi steroid intra-artikuler mengurangi
produksi mediator seperti interleukin (IL)-1, TNF-alpha, dan enzim protease lain yang
menginduksi degradasi tulang rawan. Indikasi penggunaan steroid intra-sinovial antara
lain (Moskowitz, 2007):
1. Meredakan nyeri dan menekan proses inflamasi sinovitis.
2. Sebagai terapi tambahan pada satu atau dua sendi yang tidak berespon pada
terapi sistemik lain.
3. Memfasilitasi program terapi rehabilitasi dan fisik atau prosedur orthopaedic
yang bersifat korektif.
4. Mencegah laksitas dari kapsul dan ligament
5. Melakukan medikal sinovektomi
6. Mengobati pasien yang tidak berespon atau mentoleransi terapi oral sistemik
7. Mengobati efusi akut yang berhubungan dengan penyakit deposisi kristal.
Manfaat terapeutik jangka panjang telah dilaporkan dengan injeksi kortikosteroid,
anestesia lokal, atau larutan salin pada sendi faset. Lilius et al melakukan studi pada 109
pasien dengan nyeri punggung bawah kronis, unilateral dan nonradikuler yang tidak
xxxvii
berespon dengan pengobatan konservatif, termasuk obat-obatan dan terapi fisik selama
periode 3 sampai 36 bulan. Sebanyak 27 dari 109 pasien telah dilakukan operasi
disektomi dan masih mengeluh nyeri pasca operasi. Mereka secara random dibagi
menjadi 3 kelompok pengobatan: 1) injeksi kortison dan anestesia lokal intra-artikuler; 2)
injeksi saline intra-artikuler; 3) injeksi kortison dan anesthesia local perikapsuler. Pada
semua kelompok dilaporkan berkurangnya rasa nyeri secara signifikan sampai dengan
kurun waktu 3 bulan. Sebanyak 64% pasien merasakan rasa nyeri berkurang 1 jam setelah
injeksi, dan 36% dari pasien ini melaporkan berkurangnya rasa nyeri selama periode 3
bulan, terlepas dari pengobatan yang diberikan (Cohen et al, 2007).
Pada studi kontrol prospektif, Carette et al pada 101 pasien yang mendapat blok
intra-artikuler lidokain, lebih dari 50% melaporkan berkurangnya rasa nyeri. Pasien diatas
yang berespon terhadap perlakuan sebelumnya dibagi secara random kedalam 2
kelompok pengobatan: injeksi salin dan methylprednisolone intra-artikuler. Dalam satu
bulan setelah injeksi, sebanyak 42% kelompok yang mendapatkan injeksi intra-artikuler
(20 pasien) melaporkan berkurangnya rasa nyeri yang signifikan, sedangkan 33%
kelompok yang mendapatkan injeksi salin intra-artikuler (16 pasien) melaporkan
berkurangnya rasa nyeri yang signifikan. Dalam 6 bulan setelah injeksi, sebanyak 46%
pasien pada kelompok methylprednisolone dan 15% pasien pada kelompok salin masih
melaporkan berkurangnya rasa nyeri yang berbeda bermakna secara statistik (Macikanthi,
1999).
Pasien yang akan mendapatkan injeksi intra-artikuler berbaring tertelungkup dan
centering dikerjakan pada level spinal yang diinginkan. Pasien diputar dengan hati-hati
sehingga sisi yang akan diinjeksi tidak menyentuh tempat tidur, sampai sendi terlihat
(Gambar 13). Pilihan lain, tabung dapat dimiringkan untuk memperoleh proyeksi sendi
faset yang ekuivalen. Sendi faset merupakan struktur yang berlekuk. Faset superior
xxxviii
menghadap ke anterolateral dan faset inferior menghadap ke posteromedial. Oleh sebab
itu, sisi posterior sendi terletak lebih jauh dari garis tengah dibandingkan dengan sisi
anterior. Selama fluoroskopi postero-anterior, saat kita memutar pasien melalui arkus,
bagian pertama sendi yang dilihat adalah bagian posterior. Rotasi yang berlebihan akan
menyebabkan bagian anterior yang terlihat. Hal ini harus dihindari karena
Gambar 13. Injeksi pada defek L5. (a) Proyeksi obliq menunjukan lokasi defek. (b) Ujung jarum
ditempatkan pada lokasi defek. (c) Defek pada sendi faset disuntikan dengan kontras. Dapat dilihat
opasitas yang berkelanjutan pada sendi faset.
menyebabkan penempatan jarum pada sendi menjadi tidak mungkin. Lumbal spinalis atas
memerlukan obliksitas sedikitnya 30 derajat, sedangkan lumbal spinalis bawah
memerlukan obliksitas sampai dengan 60 derajat (Gambar 14). Setelah terlokalisir, jarum
diarahkan secara vertikal ke tengah ruang sendi faset (Gopinathan et al, 2011).
Pilihan lain dengan menggunakan teknik yang dideskripsikan oleh Sarazin dan
kawan-kawan. Mereka melakukan prosedur pada pasien berbaring tertelungkup, dan
jarum diarahkan jauh menuju sisi bawah prosesus apophyseal inferior, yang mana
merupakan lokasi dari resesus inferior dari sendi faset. Resesus inferior merupakan target
yang dipilih karena lokasinya di posterior yang tidak memiliki hubungan langsung
dengan elemen saraf, memiliki daya tampung besar dan dapat dimasuki dengan mudah.
Pendekatan ini lebih berguna bila ada obstruksi oleh osteofit. Pada postur kifotik, ruang
xxxix
ini melebar, oleh karena itu bantal dapat diletakan dibawah perut pasien untuk
menghasilkan postur kifotik. Bila spinal mengalami osteoporosis dan prosesus apophyseal
inferior tidak dapat dilihat dengan mudah, titik target berlokasi pada proyeksi medial dari
pedikel vertebra (Gopinathan et al, 2011).
Bila sisi akses sudah dipilih, kulit diberi tanda pada posisi tersebut dan anestesia
lokal diinfiltrasi ke dalam kulit dan otot superfisial. Jarum spinal kemudian dimasukan
secara vertikal melalui titik tersebut sampai mencapai tulang. Bila jarum sudah memasuki
sendi sensasi “giving way” akan dirasakan. Beberapa manipulasi minor mungkin
diperlukan untuk mencapai ruang sendi. Lokasi ujung jarum intra-artikuler dikonfirmasi
dengan merotasikan pasien dan mengamati ujung jarum bergerak bersamaan dengan sendi
faset. Pilihan lain yaitu dengan melakukan arthrogram pada sendi faset. Bila ujung jarum
dalam posisi intra-artikuler, bahan kontras akan keluar melalui ujung jarum selama
injeksi, meluas sampai bagian superior sendi faset atau menembus satu resesus yang
berlokasi terpisah dengan kapsul sendi. Biasanya tidak lebih dari 0,2 ml kontras yang
diinjeksikan, karena dapat mengurangi jumlah obat yang dicampur yang akan disuntikan
kemudian. Kapsul sendi halus dan oval pada proyeksi frontal dan berbentuk S pada
proyeksi obliq. Bila bahan kontras terakumulasi seperti sebuah gumpalan, kemungkinan
jarum terletak pada posisi yang tidak benar; jangan lanjutkan
xl
Gambar 14. Sendi faset L3/L4 seperti yang ditunjukan oleh anak panah. Dapat dilihat juga jarum pada
sendi faset L4/L5 yang ipsilateral.
Penyuntikan karena akan menyamarkan lapangan pandang. Pada lumbal spinal,
arthrogram kadang menampilkan gambar yang bervariasi, dengan bahan kontras masuk
ke dalam sendi faset yang kontralateral dan kadang ke dalam sendi faset yang diatasnya.
Bila terdapat spondilosis, defek pada bagian inter-artikuler menjadi tidak jelas. Blok yang
positif berguna untuk mendiagnosis defek yang berhubungan dengan nyeri, khususnya
bila operasi fusi spinal dipertimbangkan. Bila posisi dari ujung jarum telah dikonfirmasi,
sebanyak 1 sampai 1,5 ml kombinasi steroid dan anestesia lokal disuntikan dalam jumlah
yang sama. Aspirasi selalu dilakukan sebelum injeksi untuk memastikan lokasi jarum
tidak intravaskuler. Volume sendi biasanya tidak melebihi 1,5 sampai 2 ml. Penyuntikan
biasanya dihentikan bila sudah terdapat tahanan. Volume injeksi dalam jumlah besar
dapat menyebabkan pecahnya kapsul sendi dan ekstravasasi bahan yang disuntikan ke
dalam ruang epidural (Gopinathan et al, 2011).
Injeksi peri-artikuler merupakan alternatif yang dapat diterima bila kesulitan dalam
memposisikan prosedur injeksi intra-artikuler. Selama injeksi peri-artikuler, jarum
dirotasikan 360 derajat pada lokasi yang diinginkan dan 1,0-1,5 ml campuran steroid dan
xli
anestesia lokal diinjeksikan. Hasil yang didapat hampir sama namun beberapa literatur
yang dipublikasikan tidak setuju apakah injeksi intra-artikuler lebih dipilih daripada
injeksi peri-artikuler (Gopinathan et al, 2011).
2.9.3 Pendekatan Operatif dengan Terapi Fusi Spinal.
Sebelum memutuskan terapi operatif, harus dipertimbangkan resiko dan manfaat dari tiap
prosedur yang akan dikerjakan. Walaupun belum ada indikasi dan kontraindikasi absolut
dari prosedur operasi, konsep umum tertentu merupakan hal yang penting. Untuk masing-
masing individu, kita harus mengembangkan pengukuran kuantitatif dari parameter fungsi
untuk menentukan program terapi yang tepat. Bukan hanya untuk menentukan program
terapi yang tepat, hal ini juga penting dalam mengevaluasi hasil dari prosedur operatif
yang berbeda (Moskowitz, 2007).
Nyeri pada saat istirahat, merupakan masalah utama dari pasien dan biasanya
membutuhkan kontrol dengan obat-obatan narkotika. Intervensi pembedahan harus
dipikirkan pada keadaan diatas. Ketidaknyamanan saat beraktivitas juga penting dan akan
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Kemampuan pasien untuk bekerja sama pada
rencana terapi juga penting dalam pilihan prosedur operasi. Pengetahuan pasien akan
penyakit dan kemungkinan hasil dari prosedur operasi juga harus dipahami. Yang sangat
sering terjadi, kita tidak menanyakan bagaimana harapan masing-masing pasien. Kondisi
umum pasien juga harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi faktor resiko operasi
(Moskowitz, 2007).
Chou dan kawan-kawan mempublikasikan tinjauan komprehensif tentang terapi
operatif pada nyeri punggung bawah nonradikuler sebagai bagian dari rekomendasi dari
The American Pain Society’s Practice. Penulis menemukan bukti yang cukup bahwa
operasi fusi tidak lebih baik dibandingkan dengan rehabilitasi intensif dengan pendekatan
kognitif. Setelah menjalani operasi fusi, kurang dari 50% pasien memperlihatkan hasil
xlii
akhir yang kurang baik. Manfaat fusi dengan instrumentasi dibandingkan dengan tanpa
instrumentasi masih belum jelas. Rekomendasi dari The American Pain Society Practice
yang dipublikasikan tahun 2009, menekankan klinisi menawarkan rehabilitasi intensif
sebagai pilihan terapi dengan hasil akhir yang sama dengan terapi operatif pada nyeri
punggung bawah nonradikuler (Anderrson, 2011).
Kebanyakan pasien dengan nyeri nonradikuler yang menjalani operasi tidak
mendapatkan hasil yang optimal, yang didefinisikan oleh The American Pain Society
Practice sebagai (1) nyeri minimal atau tidak nyeri, (2) penghentian atau hanya kadang-
kadang memakai analgetik, (3) kembalinya fungsi pada level yang tinggi. Perkumpulan
tersebut juga menjelaskan tidak ada bukti mengenai terapi arthroplasti diskus pada pasien
dengan nyeri punggung bawah nonradikuler. Panduan terapi yang lain juga menekankan
kehati-hatian pada terapi fusi spinal pada pasien DDD, tapi mungkin bermanfaat pada
beberapa pasien dengan gejala yang berat dimana kemungkinan memperoleh hasil yang
baik dengan terapi operatif, terutama bila terapi konservatif gagal (Anderrson, 2011).
Keberhasilan terapi operatif pada sindroma nyeri tulang belakang bergantung pada
1) diagnosis yang spesifik dan 2) seleksi pasien. Pada pasien dengan nyeri diskogenik dan
satu atau dua level dengan patologi yang berat, bila pasien gagal dengan semua terapi
nonoperatif selama 6 sampai 12 bulan dan tidak ada masalah psikosomatik atau berat
badan, fusi lumbal merupakan pilihan yang ideal. Populasi pasien ini dengan hanya nyeri
tulang belakang mekanikal biasanya tidak mengalami stenosis spinal atau bukti lain
penjempitan saraf. Ini berarti posterior approach yang merupakan prosedur tipikal pada
dekompresi tidak diperlukan. Fusi interbodi anterior kadang merupakan prosedur pilihan
pada pasien diatas karena tidak melakukan stripping pada otot paraspinal posterior dan
mengeliminasi sumber nyeri yang dicurigai dengan arthrodesis pada diskus itu sendiri.
Beberapa teknik fusi interbodi telah dilakukan selama bertahun-tahun seperti donor tulang
xliii
dari krista iliaka, silinder metal atau poligonal, atau composite cages. Donor tulang
biasanya ditambahkan pada sisi anterior dengan konstruksi ini. Bone morphogenic
proteins (BMPs) telah digunakan selama beberapa tahun terakhir untuk membantu
pembentukan tulang dan mengurangi kebutuhan akan autograft harvest. Hal ini telah
menunjukan keberhasilan fusi interbodi anterior pada lumbal spinalis bila digunakan
dengan structural cages atau allograft cortical rings (Moskowitz, 2007).
Alternatif yang lain dalam hal fusi yaitu arthroplasti diskus lumbalis atau
nukleoplasti. Teknik arthroplasti meliputi pengambilan diskus dari sisi anterior dan
menggantinya dengan protesis metal atau polietilen. Protesis ini menempati ruang diskus
secara fit dengan kontak pada vertebra end plate diatas dan dibawahnya. Permukaannya
memungkinkan pergerakan pada level tersebut. Berlawanan dengan arthroplasti diskus
total, nukleoplasti didesain untuk menggantikan atau meningkatkan fungsi shock
absorber pada nukleus pulposus. Penelitian pada hidrogel dan compressible synthetic
yang dapat dimasukan ke dalam diskus telah dikerjakan tapi belum menunjukan hasil
yang efektif. Tujuan dari teknologi ini adalah untuk menghindari kekakuan absolut dari
segmen pergerakan, yang mana hal ini dapat mencegah perubahan degeneratif setelah
dilakukan fusi pada pasien (Moskowitz, 2007).
Tujuan prosedur fusi adalah untuk menghilangkan pergerakan pada segmen spinal
mengalami OA. Arthrodesis dapat dikerjakan melalui fusi posterolateral, teknik interbodi
setelah diskus intervertebralis dihilangkan, atau kombinasi (Anderrson, 2011).
Teknik interbodi meliputi anterior lumbar interbody fusion (ALIF), melalui teknik
abdominal approach atau retroperitoneal approach; Transforaminal lumbar interbody
fusion (TLIF), melalui sendi faset dan neuroforamen; Posterior lumbar interbody fusion
(PLIF), melalui dekompresi kanalis sentralis; fusi melalui sisi samping (extreme lateral
interbody fusion [XLIF]), melalui teknik tranpsoas approach; dan menggunakan teknik
xliv
presacral approach (percutaneous axial lumbar interbody fusion [AxiaLIF]). Semua
teknik fusi dapat dikerjakan dengan menggunakan instrumentasi (Anderrson, 2011).
Pendekatan fusi spinal anterior dan posterior dengan instrumentasi dapat dilihat pada
gambar 15 dan 16 dibawah.
Terdapat bermacam-macam plat anterior yang dapat digunakan pada prosedur
ALIF, pada teknik posterior biasanya menggunakan skrew pedikel dan konstruksi rod.
Terdapat juga bermacam-macam material dan cages yang tersedia untuk diletakan
diantara korpus vertebra pada fusi interbodi. Terdapat tiga penelitian kontrol acak kualitas
tinggi dalam 10 tahun terakhir yang mengevaluasi teknik fusi spinal dibandingkan dengan
terapi nonoperatif pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronis dan DDD. Fritzell
dan kawan-kawan mempublikasikan penelitian kontrol acak
Gambar 15. Radiografi antero-posterior (A), dan lateral (B) post operatif pasien dengan nyeri diskus
L4-L5 dan L5-S1 dengan retroperitoneal anterior approach dengan instrumentasi
xlv
Gambar 16. Radiografi proyeksi antero-posterior (C), dan lateral (D) post operatif pasien dengan nyeri
diskogenik L4-L5 dengan fusi posterior transforaminal dengan instrumentasi transpedikuler.
multisenter yang membandingkan teknik fusi segmen lumbal bawah dengan terapi
nonoperatif pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronis berat. Penelitian ini
melibatkan 222 pasien operatif dan 72 nonoperatif umur 25 sampai 65 tahun dengan nyeri
punggung bawah kronis selama 2 tahun dan bukti radiologis degenerasi diskus pada L4-5,
L5-S1 atau keduanya. Kelompok nonoperatif menerima terapi fisik, edukasi, dan
modalitas kontrol nyeri dengan TENS, akupuntur, dan injeksi. Selama evaluasi 2 tahun
ditemukan hasil yang lebih baik pada kelompok fusi secara signifikan, dengan nyeri
punggung berkurang 33% dibandingkan dengan 7% pada kelompok nonoperatif.
Perbaikan nyeri terjadi signifikan selama 6 bulan pertama setelah operasi dan menurun
setelahnya. Disabilitas berdasarkan Oswestry Disability Index (ODI) berkurang 25%
dibandingkan dengan 6% pada pasien nonoperatif, dan 63% pasien yang menjalani
operasi menilai diri mereka sendiri merasa lebih baik dibandingkan dengan 29% pasien
nonoperatif. Tingkat rata-rata kembali bekerja sebesar 36% pada kelompok operatif dan
13% pada kelompok nonoperatif. Komplikasi awal terjadi pada kelompok operatif yaitu
sebesar 17%. Fritzell dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa terapi operatif pada nyeri
punggung bawah kronis berat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
terapi nonoperatif pada pasien yang diseleksi dengan baik (Anderrson, 2011).
Brox dan kawan-kawan mempublikasikan penelitian acak lain yang
membandingkan fusi lumbal dengan instrumentasi dengan intervensi kognitif dan latihan
pada 64 pasien dengan nyeri punggung bawah kronis dan DDD. Komponen penting pada
penelitian ini adalah penambahan terapi kognitif pada program rehabilitasi intensif. Rata-
rata perubahan ODI pada kelompok fusi adalah dari 41 preoperatif ke 26 pada evaluasi
tahun pertama dan pada kelompok rehabilitasi dari 42 ke 30. Investigator melaporkan
tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal nyeri punggung, penggunaan analgetik,
xlvi
distress emosional, kepuasaan hidup antara dua kelompok tersebut. Tingkat kembali
bekerja pada tahun pertama 22% pada kelompok operatif dan 33% pada kelompok
rehabilitatif. Angka keberhasilan total pada kelompok operatif adalah 70% dan
nonoperatif 76%. Brox dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa hasil yang hampir sama
didapat antara kedua kelompok (Anderrson, 2011).
Penelitian lain juga dilakukan untuk membandingkan efektivitas terapi fusi spinal
dengan terapi rehabilitasi dengan pendekatan kognitif. Peserta berjumlah 349 pasien
dengan umur antara 18-55 tahun yang menderita nyeri punggung bawah kronis. Sebanyak
178 pasien mendapatkan terapi fusi spinal dan 173 pasien melakukan program
rehabilitasi. Dilakukan evaluasi pada 284 pasien selama 24 bulan. Didapatkan nilai ODI
pada kelompok operatif berkurang dari 46.5 menjadi 34.0 dan kelompok rehabilitatif dari
44,8 menjadi 36,1. Kedua kelompok melaporkan berkurangnya disabilitas selama
evaluasi 2 tahun kemungkinan tidak berhubungan dengan intervensi yang didapatkan.
Disimpulkan bahwa tidak ditemukan bukti terapi fusi spinal memberikan manfaat
dibandingkan dengan program rehabilitasi intensif (Fairbank et al, 2005)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Osteoarthritis (OA) spinal melibatkan sendi faset, atau yang disebut juga dengan sendi
zygapophyseal. Sendi diarthrodial yang jumlahnya sepasang pada sisi posterior dari
kolumna vertebralis merupakan satu-satunya sendi sinovial yang sebenarnya antara level
spinal yang berdekatan. Bersama dengan diskus intervertebralis membentuk “spinal motion
segmen” atau kompleks tiga sendi. OA sendi faset merupakan penyakit hilangnya tulang
rawan artikuler dan hipertrofi tulang yang prosesnya melibatkan keseluruhan sendi,
xlvii
termasuk tulang subkondral, tulang rawan, ligament, kapsul, sinovium, dan otot paraspinal
dan jaringan lunak periartikuler. OA sendi faset merupakan penyebab yang sering dari nyeri
punggung bawah. Gambaran radiografi dari OA sendi faset meliputi tanda-tanda
degeneratif dan proliferatif, diantaranya penyempitan ruang sendi, erosi tulang subkondral,
kista subkondral, formasi osteofit, dan hipertrofi prosesus artikularis. Metode diagnostik
yang biasa digunakan untuk mengevaluasi degenerasi pada sendi faset adalah radiografi
standar, CT, dan MRI. Manajemen OA sendi faset terdiri dari intervensi nonfarmakologi,
terapi farmakologi dan operatif dengan tujuan sebagai berikut: 1) mengontrol nyeri pada
tingkat yang dapat diterima oleh pasien, 2) mengurangi keterbatasan fungsional dan
disabilitas, 3) meningkatkan kualitas hidup, 4) mencegah pengobatan yang berlebihan yang
potensial memberikan efek samping dari obat-obatan.
DAFTAR PUSTAKA
Andersson, G. B.J et al. 2011. Lumbar Disc Diseases. In: Herkowitz, H. N., Garvin, S.R.,
Eismont, F.J., Bell, G.R., Balderston, R.A., editors. The Spine. 6th. Ed. Philadelphia:
Elseviers Saunders. p. 846-876
Chang H.J et al. 2010.Osteoarthritis of the lumbar spine. JAMA, Vol 304, No.1
Cohen, S. P and Raja, S. N. 2007. Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment of Lumbar
Zygapophysial (Facet) Joint Pain. Anesthesiology; 106: 591-614
Gellhorn A.C et al. 2013. Osteoarthritis of the spine: the facet joints. Nat. Rev. Rheumatol. 9,
216-224
Goode A et al. Low Back Pain and Lumbar Spine Osteoarthritis: How Are They Related.
Curr Rheumatol Rep (2013) 15: 305
Gopinathan A and Peh WCG. Image-guided Facet Joint Injection. Biomed Imaging Interv J
2011; 7(1): e4
Fairbank, J et al. 2005. Randomised controlled trial to compare surgical stabilization of
lumbar spine with intensive rehabilitation programme for patient with chronic low back
pain: the MRC spine stabilization trial. BMJ. Published 23 May 2005. P. 2-7
Kalichman L and Hunter D. Lumbar Facet Joint Osteoarthritis: A Review. Semin Arthritis
Rheum 2007. 37: 69-80
xlviii
Lotz M. 2014.Value of biomarkers in osteoarthritis: current status and perspectives. Postgrad
Med J;90:171-178
Mahajan, A. 2005. Osteoarthritis. JAPI. Vol 53. p. 634-641
Manchikanti L. Facet Joint Pain and the Role of Neural Blockade in Its Management.
Current Review of Pain 1999, 3: 348-358
Moskowitz, R. W. 2007. Osteoarthritis Diagnosis and Medical/Surgical Management.
Fourth Edition. Lippincott Williams and Wilkins
Schnuerer A et al. 2001. Anatomy of The Spine dan Related Structures. Medtronic Sofamor
Danek. p.45
Shojania, K et al. 2013. Arthritis. In: Orthopaedic Knowledge Update 8.Vaccaro, A. R.
America: American Academic of Orthopaedic Surgeons. p. 229-244
Sniekers, Y.H. 2009. Estrogen effects on cartilage and bone changes in models for
osteoarthritis. Roterdam: The Netherlands. p. 10
Tisher, T et al. Detailed pathological changes of human lumbar facet joints L1–L5 in elderly
individuals. Eur Spine J (2006) 15: 308–315
Varlotta, G.P et al, 2010. The Lumbar Facet Joint: A Review of Current Knowledge: Part 1:
Anatomy, Biomechanics and Grading. NYU School of medicine. New York, USA. P. 1-11
Varlotta, G.P et al, 2010. The Lumbar Facet Joint: A Review of Current Knowledge: Part II:
Diagnosis and Management. NYU School of medicine. New York, USA. P. 1-11
Wilkens P et al. Effect of Glucosamine on Pain-Related Disability in Patients With Chronic
Low Back Pain and Degenerative Lumbar Osteoarthritis: A Randomized Controlled Trial.
JAMA. (2010); 304 (1 ): 45-52