ossifying fibroma
DESCRIPTION
Tumor jinakTRANSCRIPT
OSSIFYING FIBROMA
Oleh :
Adria Permana Putra 160121140007
Pembimbing :
Dr. Mantra N., drg., Sp.BM (K)., MARS
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALISFAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARANBANDUNG
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Fibroma adalah neoplasma yang merupakan pertumbuhan fibrosa yang
disebabkan oleh inflamasi atau iritasi kronis, oleh karena itu lebih sering disebut
fibroepithelial polip atau hyperplasia fibrosa (Van der Waal dan Pinborg, 1986).
Menurut Giunta (1989), fibroma adalah suatu kumpulan massa nodular
dalam jaringan ikat fibrosa yang padat dan sebagai salah satu lesi yang umum di
rongga mulut pada mukosa bukal, lidah, bibir bawah dan gingival.
Beberapa peneliti mempertimbangkan bahwa fibroma bukan merupakan
neoplasma sejati, tetapi merupakan akhir dari tahap fibrosa pada inflamasi
hyperplasia, sehingga dapat disimpulkan fibroma merupakan suatu tumor jinak
yang berasal dari jaringan mesenkim, sering ditemukan dalam rongga mulut,
dapat dalam bentuk bertangkai maupun tidak bertangkai dan mempunyai
konsistensi lunak atau keras dengan pertumbuhan yang relative lambat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Klasifikasi Fibroma Rongga Mulut
A. Klasifikasi Secara Klinis
Fibroma yang terdapat di dalam rongga mulut secara klinis dibedakan ke
dalam 2 golongan (Bhaskar, 1981), yaitu:
1. Tumor Odontogenik
a. Fibroma Odontogenik
b. Fibroma Ameloblastik
c. Fibroodontoma Ameloblastik
d. Fibroma Sementifying
e. Fibroma Odontogenik Sel Granuler
2. Tumor non Odontogenik
a. Fibroma Iritasi
b. Fibroma Ossifying
c. Fibroma Sel Datia
d. Fibromatosis
B. Klasifikasi secara Histopatologis
WHO mengklasifikasikan tumor jinak fibroma rongga mulut sebagai
tumor odontogenik yang jinak secara histopatologis (Kramer, 1992), menjadi:
1. Fibroma Ameloblastik
2. Fibroodontoma Ameloblastik
3. Fibroma Odontogenik
4. Fibroma Ossifying
5. Fibroma Sementifying
6. Fibroma Semento-ossifying
3
2.3 CEMENTIFYING FIBROMA
Cementifying fibroma ialah tumor jinak yang jarang terjadi di rahang. Tiga
kasus melibatkan maksila dan regio spheno-ethmoidal dipresentasikan. Satu
daripadanya melalui reseksi konservatif dan yang lainnya memerlukan operasi
radikal seperti maksilectomy total karena bersifat agresif. Dalam kedua kasus,
tidak ada rekurensi yang dapat dilihat sewaktu follow-up. Dalam kasus yang
ketiga yang melibatkan sphenoethmoidal secara meluas, hanya palliative
debulking yang boleh dilakukan dengan teknik external ethmoidectomy.
2.3.1 Etiologi dan Patofisiologi
Cementifying fibroma pada rahang ialah tumor fibrosseous yang jinak
berasal dari mesodermal. Kepercayaan bahwa tumor di sementum berasal dari
periodontal ligamen menunjukkan bahwa kewujudan tumor terbatas pada kawasan
yang menampung gigi. Walaupun begitu, ada laporan kasus cementoma pada
daerah yang tidak biasa seperti ethmoid (Krausen et al, 1977) dan tibia ( Kolar et
al, 1981).
Seringkali tumor yang mengandung sementum cenderung kecil dan tidak
berbahaya, mudah untuk dieksisi dan tidak memerlukan prosedur operasi yang
aggresif. (Ogura and Schenk, 1973). Tumor yang melibatkan maksila, terdapat
beberapa pilihan prosedur operasi tergantung masing-masing kasus.
Tumor yang mengandung sementum dikelompokkan bersama sementoma
dan formasi sementum ialah karakteristik utama dalam tumor jinak. Sementum
ialah jaringan lunak gigi yang termineralisasi keras yang membungkus akar gigi
yang hidup. Cementifying fibroma ialah jaringan lunak yang khusus yang mirip
dengan tulang padat dari segi fisik, kimia dan struktur karakteristiknya, tetapi
berbeda dari sifat vaskularisasinya. Maka sementum boleh disebut sebagai
modifikasi tulang yang khusus membungkus akar gigi.
4
Sementoma terdiri dari membran periodontal yaitu jaringan fibrous yang
menyelubungi akar semua gigi. Sel blastic multipotential pada membran
periodontal boleh menghasilkan jaringan fibrous, sementum dan tulang lamela. Di
bawah kondisi patologis, sel-sel ini boleh menghasilkan tumor yang mengandung
jaringan fibrous, sementum dan tulang lamela dalam bilangan yang bervariasi.
Berdasarkan ciri klinis dan histopatologis, empat jenis tumor cementum-
producing dapat diketahui : yaitu periapical cemental dysplasia, cementifying
fibroma, cement-blastoma jinak dan gigantiform cementoma.
Cementifying fibroma menunjukkan tiga tingkat sewaktu pertumbuhannya
(Thomas and Goldman, 1960; Gorlin and Goldman, 1970). Pada tingkat yang
pertama, tingkat osteolitik, tumor terdiri dari jaringan selular, tanpa bahan
terkalsifikasi di dalamnya : ini menunjukkan sementoma tidak matang. Tumor
kelihatan radiolusen. Pada tingkat yang kedua, tingkat sementoblastik, sementum
didepositkan dalam massa fibrous dan menjadi terkalsifikasi dan radiopaque. Pada
tingkat yang terakhir, tingkat matang inaktif, keseluruhan massa menjadi
terkalsifikasi dan terkapsulasi dari sisa jaringan lunak.
Cementifying fibroma berasal dari membran periodontal, jadi tidak
kelihatan dari luar mandibula dan maksila. Krausen et al., (1977) melaporkan
kasus pertama cementifying fibroma yang terjadi di sinus ethmoidal menurut
Millar (1979). Kasus yang terbaru ini ialah kasus ketiga cementifying fibroma di
sinus ethmoidalis yang dilaporkan.
Cementfying fibroma dianggap bermula dari membrane periodontal dan
formasi cementifying fibroma di sinus ethmoidalis mungkin dapat diterangkan
dengan fakta bahwa tumor terhasil dari membrane periodontal ektopik atau dari
cell rests mesenchymal primitive. (Krausen et al.,1977)
Cementfying fibroma adalah tumor jinak. Secara garis besar, tumor tetap
kecil, asimptomatik dan tidak aggresif. Kebanyakannya menjadi sementoma
matang dan inaktif. Tidak memerlukan penanganan khusus melainkan tumor
5
membesar dan menyebabkan rahang membengkak. Rekurensi setelah perawatan
jarang terjadi.
Cementifying fibroma di sinus ethmoidalis tidak menjadi matang dan
inaktif. Tumor akan terus membesar perlahan-lahan. Secara local, tumor bersifat
agresif dan menyebabkan destruksi tulang sekitar kerena tekanan. Rekurensi lebih
sering terlihat terjadi.
Kedua Krausen et al. (1977) dan Miller (1979) melaporkan cementifying
fibroma agresif dalam sinus ethmoidalis. Ini akan menyebabkan dekstruksi tulang
yang ekstensif dan cenderung akan rekurensi, memerlukan multiple prosedur
operasi yang radikal. Dalam kasus ini, ethmoidektomi eksternal dilakukan secara
inisial, diikuti dengan operasi yang kedua yang memerlukan pengangkatan parsial
dinding lateral rongga nasal.
Cementifying fibroma labyrinth ethmoidalis harus ditangani dengan
operasi radikal, dengan pengangkatan semua labyrinth ethmoidalis bersama
dengan maxillectomi parsial. Pendekatan yang terbaik untuk mengangkat tumor
ialah dengan kaedah rhinotomi lateral yang akan memudahkan access ke sinus
ethmoidalis dan bagian medial maxilla. Pembuangan dinding lateral rongga nasal
perlu untuk mengelakkan sisa tumor yang tertinggal dan rekurensi, tetapi
pembuangan mata dianggap tidak perlu walaupun tumor bersifat agresif.
6
2.4 OSSIFYING FIBROMA
Fibroma Ossifying merupakan tumor sentral tulang yang tumbuhnya
relative perlahan, bersifat jinak terjadi pada mandibula dan terdiri dari jaringan
ikat fibrosa yang di dalamnya terbentuk tulang (Dorland, 1994). Tumor ini
termasuk tumor jinak osteogenik yang lokalisasinya sering pada tulang rahang.
Lebih sering timbul pada maksila daripada mandibula.
2.4.1 Etiologi dan Patogenesis
Etiologi fibroma masih belum dapat diketahui dengan pasti, tetapi menurut
para ahli diduga etiologi fibroma berhubungan dengan iritasi local yang kronis,
reaksi reparative yang berhubungan dengan trauma, impaksi gigi, dan sisa epitel
Mallasez (Bhaskar, 1981).
Ada pendapat yang menyatakan bahwa trauma atau iritasi lokal yang
kronis merupakan faktor etiologi yang umum terjadi pada fibroma rongga mulut
sebagai akibat inflamasi sel yang kronis (Bhaskar, 1981).
Fibroma terdiri dari serat kolagen yang bercampur dengan sejumlah
fibroblast atau fibrosit dan pembuluh darah kecil. Permukaannya tertutup oleh
lapisan epitel gepeng berlapis yang seringkali memperlihatkan kerusakan dari
retepeg. Jika pada jaringan terjadi trauma atau iritasi, maka terjadi vasodilatasi,
edema dan menimbulkan suatu inflamasi sel yang kronis. Lesi tersebut
memperlihatkan tonjolan yang berwarna normal, permukaannya halus, terkadang
dasarnya bertangkai atau tidak bertangkai, dan jika tonjolan tersebut teriritasi atau
terinflamasi maka dapat menimbulkan ulserasi superfisial.
2.4.2 Insidensi
Tumor yang tidak umum ini cenderung terjadi pada decade ke tiga dan ke
empat dan pada wanita dua kali lebih sering terjadi dari pada pria. Orang yang
7
berkulit hitam lebih sering terkena daripada orang yang berkulit putih. (Shafer,
1983).
2.4.3 Gambaran Klinis
Tumbuh dengan pembengkakan yang keras tanpa disertai rasa sakit atau
keluhan yang mengakibatkan perpindahan atau migrasi gigi dan lepasnya gigi.
Pertumbuhan ini lambat tapi seringkali menyebabkan deformitas wajah (Bhaskar,
1981). Pada stadium dini tidak ditemukan pembengkakan daerah yang diserang.
Pada stadium lanjut baru memberikan tanda klinis, seperti adanya pembengkakan
pada daerah yang diserang dalam rongga mulut. Permukaan tumor biasanya halus
tapi kadang-kadang bernodul-nodul. Pada palpasi konsistensi terasa keras dan
tidak menimbulkan rasa sakit.
Lokasi pada regio premolar sampai molar rahang bawah mengakibatkan
ekspansi dan tipisnya lempeng kortikal bagian bukal dan lingual, meskipun begitu
perforasi dan ulserasi mukosa jarang terjadi.
Gambar 9. Fibroma Ossifying.
Tampak suatu benjolan yang
warnanya sama dengan mukosa
sekitar gusi pada mandibula
(www.dental.ucla.edu)
Gambar 10. Gambaran klinis fibroma
ossifying (tanda panah)
8
2.4.4 Gambaran Radiologis
Pada stadium dini terlihat gambaran radiolusen yang menyerupai
granuloma dan secara perlahan meningkat menjadi campuran radiolusen dan
radioopak. Lesi tampak berbentuk bulat atau oval dengan suatu daerah radiolusen
yang berbatas jelas dan berisi sejumlah bahan yang radioopak. Daerah radiolusen
dapat bersifat unilokular atau multilokular.
Terjadi pembesaran dari kedua lempeng korteks. Biasanya gigi yang
berdekatan berpindah tempat. Sebagian besar dari lesi berdiameter kurang dari 4
sentimeter.
Gambar 11. Gambaran radiologis fibroma ossifying pada rahang bawah, terjadi
pembesaran dari kedua lempeng kortikal.
2.4.5 Gambaran Histopatologis
Gambaran mikroskopis yang paling penting adalah adanya jaringan ikat
fibrosa yang terbentuk dari stroma kolagen yang tersusun dalam fibroblast yang
membentuk kisaran (whorls) (Regezi dan Sciubba, 1993). Pada stadium
permulaan dapat dilihat penambahan kondensasai dan hialinisasi dari substansi
interseluler. Pada stadium selanjutnya, tulang dapat ditemukan. Pembentukan
tulang sering terjadi. Jaringan tulang yang terjadi dalam fibroma ini seperti
seperti pada tulang yang normal sedikit mengalami diferensiasi dari pada
9
permulaan, yang ditandai dengan fibril yang tebal dan tidak teratur, sel-sel yang
membulat yang hanya mempunyai beberapa prosesus dan berbentuk tidak tertur,
serta stroma bersifat basofil. Terlihat kalsifikasi dari substansi osteoid. Ini
merupakan tulang yang belum dewasa (immature) dari tingkat diperensiasi
terendah pada fibroma oosifying.
Gambar 12. Fibroma ossifying.
Terlihat stroma jaringan ikat fibrosa
seluler dan jaringan tulang
(www.usc.edu)
Gambar 13. Fibroma ossifying dengan
jaringan fibrosa dan jaringan tulang.
2.4.6 Prognosa
Umumnya tumor jinak fibroma mempunyai prognosa yang baik, bila
dilakukan pengambilan jaringan tumor sampai bersih, karena tumor ini biasanya
mempunyai kapsul, sehingga dapat dipisahkan dari jaringan sekitarnya.
Prognosanya sangat menguntungkan jika pasien datang dengan tumor yang masih
berukuran kecil.
10
2.4.7 Differensial Diagnosis
Diagnosis banding untuk fibroma ossifying adalah sebagai berikut:
1. Neurofibroma
Sebagian besar neurofibroa jaringan lunak memperlihatkan tanpa gejala
klinis, tetapi yang timbul dalam jaringan lunak yang lebih dalam dapat
menimbulkan sakit dan parestesia. Tumor ini berasal dari jaringan syaraf yang
merupakan hasil dari proliferasi sel Schwan, fibroblast, kadang sel perineural
dengan campuran neurit dan axon. Secara linis sangat jarang terjadi sebagai lesi
yang tunggal.
2. Lipoma
Neoplasma jinak ini terdiri atas sel-sel lemak yang matang yang dikelilingi
oleh dinding jaringan ikat fibrosa yag tipis. Palpasi menunjukkan suatu massa
submukosa yang lunak, dapat digerakkan dan dapat ditekan. Pada pemeriksaan
intra oral tampak sebagai nodul yang menimbul, difus, berbatas jelas,
permukaannya licin, kadang dapat berpolip, bertangkai atau menggelembung.
3. Granuloma sel datia
Terdapat rasa sakit dengan beberapa ukuran dan dapat menutupi beberpa
gigi. Histlogis terdapat banyak foci sel datia multinklear dan partikel hemosiderin
dalam jalinan jaringan ikat. Di bawah epitel biasnya hiperplastik dengan ulserasi
pad dasarnya.
4. Abses
Suatu kumpulan pus yang terlokalisir dalam jaringan, organ atau ruang
berbatas jelas. Pada suatu abses yang kronis akan dijumpai fibroblast dan sedikit
kapiler baru. Secara klinis pasien mengeluh giginya nyeri hebat, terasa
memanjang, goyah dan merasa lesu, sulit tidur, demam, dapat juga disertai
trismus.
11
5. Eksostosis
Adalah pertumbuhan tulang yang berlebihan dan terlokalisir yang
umumnya mengalami peningkatan kepadatan tulang dan tertutup oleh mukosa
yang tipis, secara klinis berupa tonjolan pada rahang yang tidak terasa sakit
kecuali jika timbul ulkus. Tumbuhnya lambat dn mukosa yang menutupinya
berwarna pucat. Palpasi keras, batas jelas dan halus. Pemeriksaan histopatologis
terdiri dari tulang kompak yang keras disertai peningkatan kepadatan tulang
susunannya terdiri dari tulang kortikal dewasa dengan sedikit osteosit dan tonjolan
tulang tersebut ditutupi oleh mukosa yang tipis dan biasanya sering terjadi
inflamasi.
6. Tumor kelenjar liur
Adalah tumor yang berasal dari kelenjar liur di dalam rongga mulut.
Pemeriksaan fisik teraba suatu massa yang keras dan terfiksasi atau adanya
kelumpuhan saraf yang merupakan tanda yang perlu dicurigai sebagai suatu
keganasan. Histologis kelenjar liur terdiri atas asinus-asinus yang bersifat
mukosa, serosa atau kombinasi dari keduanya.
7. Kista retensi
Adalah kista yang disebabkan oleh retensi sekresi kelenjar ludah yang
terdiri dari mukokel dan ranula. Gejala klinis mukokel biasanya pasien mengeluh
pembengkakan tanpa nyeri, umumnya terdapat di bibir bawah menyebabkan
perubahan bentuk permukaan mukosa, berfluktuasi dan pada palpasi terasa berisi
cairan. Pada ranula biasanya terdapat pada dasar mulut, pembengkakan tidak
terasa sakit, konsistensi lunak, pada palpasi menunjukkan adanya fluktuasi.
2.4.8 Prosedur Terapi
Perawatannya mencakup eksisi dan dilakukan pemeriksaan mikroskopis
untuk meyakinkan diagnosis. Rekurensi tidak umum terjadi. Menurut Candiff,
12
dari kasus yang terjadi rekurensinya sekitar 16% dan dari 50 kasus yang
dilaporkan Eversule dan Rovin, rata-rata rekurensinya 20% (Shafer, 1983; Regezi
dan Sciubba, 1993).
2.5 Cementoossifying Fibroma
Cementoosifying fibromas di maksila, dari hasil CT menunjukkan tumor
besar dan bulat di linggir alveolar di maksila, memenuhi dan menekan sinus
maksila dan terjadi perluasan sehingga mengenai hard palate ipsilateral. Tumor
sentral berjajar dari tisu lunak yang rapat dengan foci menyebar dengan density
tinggi sehinggan kalsifikasi yang keras.
Cementoosifying fibroma adalah tumor yang jarang di temui dan berasal
dari periodontal ligament. Cementoosifying fibroma selalunya kecil dan secara
tidak sengaja di diagnosa dengan rutin dental radiograf. Lesi yang besar, pasien
akan mengeluh abnormalitas semasa mengigit atau merasakan ada suatu masa
yang besar (gambar 14).
Gambar 14. A) Adanya pembesaran dari massa Cementoosifying
fibroma pada palatum durum sebelah kanan dan alveolar ridge pada
maksila. B) pada gambar sinar x menunjukkan adanya divergence
antara premolar 1 dan 2 akibat density dari massa Cementoosifying
fibroma.
13
Cementoosifying fibroma berbeda dari lesi fibroosseous jinak yang
terdapat di maksila dan mandibula. Lesi ini berkemungkinan berasal dari
periodontal ligament dan terdiri dari sementum, tulang dan fibrotik tisu.
Sementum adalah connective tissue yang termineralisasi yang menyelaputi akar
gigi. Nama hybrid Cementoosifying fibroma digunakan oleh kerana spektrum lesi
fibroosseous yang berasal dari periodontal ligament, berjajar dari hanya edapan
sementum sehingga hanya endapan dari tulang (Waldron CA, Giansati, 1973).
Predileksinya lebih cenderung ke perpemuan dari pada laki-laki. Persentase
kemunculannya adalah, 62% sampai dengan 89% di mandibula dan 77% di region
premolar. Kebanyakkan pasien di diagnosa sebagai Cementoosifying fibroma rata-
rata berumur 20 dan 40 tahun (Kaugars GE, 1991 dan Hoffman S, Jacoway JR,
Krolls SO, 1987). Sekiranya tumor ini terdapat pada anak-anak, ia di sebut
juvenile aggressive cementoossifying fibroma, ditemukan pada usia muda dan
lebih ganas secara klinis dan lebih vascular pada pemeriksaan patologi.
Cementoosifying fibroma adalah asimtomatik sehingga ia menyebabkan ekspansi.
Walau bagaimanapun, ia tidak dapat di diagnosa sehingga tumor melalui proses
kalsifikasi. Penemuan terbesar yang di jumpai selama menjalankan diagnosa
adalah tumor maksila yang besar, kemungkinan disebabkan oleh ruang sinus
maksila yang besar yang memungkinkan tumor untuk berekpansi.
Cementoosifying fibroma di mandibula merupakan tumor selalu di jumpai
berbanding Cementoosifying fibroma di maksila sinus; 25 persentase kasus di
laporkan di literatur(Bertrand B, 1994). Cementoosifying fibroma merupakan
tumor yang berbatas tegas dan jelas, satu massa radiolusen dengan foci radiopak
yang menyebar. Jenis radiopak tergantung banyaknya sementum dan tulang yang
terdeposit (Gambar 9B). Tumor mengekalkan bentuk bulatnya, dan mengekspansi
tulang kortikal di sekelilingnya tanpa perforasi kortikal, dan menyebabkan gigi
menyimpang. Tumor yang besar akan melibatkan nasal septum, orbital floor,
infraorbital foramen. Tumor yang meluas harus dilakukan surgical therapy. Pada
saat ditemukan maxillary Cementoosifying fibroma ia berukuran besar,
14
menunjukkan kebolehan tumr untuk berekspansi dengan bebas didalam sinus
maksilaris.
Cementoosifying fibroma yang di foto menggunakan MR merupakan
isointense ke muscular pada T1 dan homogeneous difus bersinyal rendah pada T2.
Pada Sinyal rendah tersebut menunjukkan rendahnya kandungan free-water pada
tumor kalsifikasi dan fibrous.
Pemeriksaan patologis pada Cementoosifying fibroma menunjukkan
proliferasi yang bentuk kalsifikasinya irreguler di dalam hypercellular fibrous
connective tissue stroma (gambar 9A). Kalsfikasi sangat bervariasi dan
menunjukkan pelbagai stase endapan tulang dan sementum. Scara histologis
osteoid dan sementum adalah sangat sukar untuk dibedakan. Dalam beberapa
kasus tertentu, kebanyakkan fregmen yang terkalsifikasi adalah immature
cementum, dengan pewarnaan basofilik pada hematoxylin dan eosin-stained
sections. Tumor ini dinamakan central cementifying fibromas. Dalam kasus lain,
fragmen yang terkalsifikasi adalad osteoid, dengan pewarnaan eosinofilik pada
hematoxylin dan eosin-stained sections. Tumor ini disebut sebagai central
ossifying fibromas. Walau bagaimanapun, central ossifying fibromas boleh
menjadi basofilik, menyebabkan kesultan untuk dibedakan dari Cementoosifying
fibroma. Kebanyakkan ahli patologi mengatakan cementifying fibroma dan
ossifying fibroma berasal dari progenitor yang sama tetapi menghasilkan jumlah
tulang dan sementum yang berbeda didalam salah satu lesi. Istilah
cementoosifying fibroma telah digunakan untuk menunjukkan adanya kedua-dua
jenis tisu ini di dalam lesi kerana kesulitan untuk membedakan immature bone
dari immature cementum dan kerana adanya kedua-dua substansi ini di dalam
kebanyakkan lesi. Oleh demikian, istilah cementoosifying fibroma adalah istilah
histologi yang paling tepat, tetapi ia boleh saling bertukaran dengan ossifying
fibroma atau cementifying fibroma. Tidak ada perbedaan klinis dan radiografis
yang nyata antara cementofying fibroma atau ossifying fibroma, maka hibrid
cementoosifying fibroma juga digunakan untuk istilah radiologist.
15
A. B.
Gambar 15. A) pada hasil histologis menunjukan adanya bentuk yang irreguler
dari fragment ostoid dan sementum dengan hiperseluller jaringan fibrous. B) Pada
hasil CT Scan menunjukan adanya mineralisasi dari cementoossifying fibroma .
Cementossifying fibromas pada maksila cenderung untuk memperlihatkan
ketidakmatangan yang dapat dilihat pada lesi mandibular. Terdapat kaitan antara
jumlah kalsifikasi yang dilihat pada spesimen operasi dan yang dilihat dari CT.
Perbedaan patologis antara cementoosifying fibroma dan dan fibrous dysplasia
sedikit dan diagnosa harus dibuat dengan bantuan foto radiografik.
Diagnosis banding meliputi lesi lain yang menunjukkan radiopak yang
diseliputi massa radiolusen : chondrosarcoma atau osteosarcoma, fibrous
dysplasia, kista odontogenik, carcinoma squamous cell, kista odontogenik
terkalsifikasi (kista Gorlin), dan tumor epithelial odontogenik terkalsifikasi
(Pindborg tumors). Batas jelas central cementoosifying fibroma membedakan ia
dari sarcoma aggressive dan carcinomas. Fibrous dysplasia mempunyai cirri
“ground glass” yang tidak ditemukan pada cementoosifying fibroma. Perbedaan
radiologis cementoosifying fibroma berbanding kista Gorlin dan tumor Pindborg
susah untuk dibedakan dan diagnosa terakhir dbuat berdasarkan ciri histologis.
Tumor Pindborg sering dikaitkan dengan gigi yang terimpaksi.
16
BAB III
LAPORAN KASUS
KASUS 1
Seorang perempuan ras kulit hitam usia 44 tahun mengeluhkan
pembengkakkan tanpa rasa nyeri pada daerah vestibulum gigi kaninus kiri rahang
bawah. Waktu saat pertama dirasakannya pembengkakkan tidak diketahui dengan
pasti (Gambar 1).
Gambar 1. Pembengkakan wajah pada sisi rahang bawah kiri menyebabkan
sedikit asimetri wajah
Mukosa di daerah tersebut berwarna sama dengan jaringan sekitarnya dan
hasil aspirasi negatif. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukannya
limfadenopati. Analisa radiografi panoramik menunjukkan lesi dengan gambaran
campuran radioopak dan radiolusen, batas yang jelas dari insisif lateral hingga ke
daerah molar kedua dengan diameter sekitar 10 cm (Gambar 2).
17
Gambar 2. Radiograf panoramik menunjukkan massa radiopak homogen yang
berbatas jelas di distal gigi 16 dan koronal dari 17 dengan batas radiolusen
Terdapat resorpsi radikular pada gigi 41. Kemudian dilakukan biopsy
insisi dan pada pemeriksaan histologis ditegakkan diagnosa central ossifying
fibroma.
Pasien kemudian dilakukan tata laksana enukleasi dan kuretase dalam
anastesi local serta pencabutan gigi geligi yang terlibat (Gambar 3). Massa yang
diangkat kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi dan hasilnya sama
dengan hasil biopsy insisi (Gambar 4).
Gambar 3. Penatalaksanaan enukleasi dengan kuretase.
18
Gambar 4. (A) Gambaran histologis menunjukkan stroma fibroblastik dengan
sedikit kalsifikasi. (B) Gambaran histopatologis central ossifying fibroma
menunjukkan spherul material sementoid pada jaringan yang sangat fibrous.
Pasien kemudian kontrol setelah satu tahun dan tidak ditemukan adanya
tanda-tanda rekurensi (Gambar 5).
Gambar 5. Radiograf panoramik tidak menunjukkan tanda-tanda rekurensi.
DISKUSI
Central ossifyingfibroma lebih sering terjadi pada wanita umur decade
kedua hingga keempat. Laporan tentang lokasi timbulnya lesi ini berbeda-beda
dari beberapa kasus, tetapi pada penelitian ditemukan lebih sering terjadi di
rahang bawah, terutama di daerah molar.
19
A B
Kebanyakan kasus-kasus ini seringkali tanpa gejala dengan tanda klinis
pertama pembengkakkan pada rahang bawah pada lapisan kortikal dan asimetri
wajah.
Bila lesi ini muncul pada anak-anak usia 5-15 tahun disebut sebagai
juvenile ossifying fibroma dan berbeda dengan kasus yang dilaporkan ini dimana
pasien telah berumur 44 tahun. Lesi ini dapat didiagnosa banding dengan
dysplasia sementoosseous, kista odontogenik, granuloma periapikal, kista trauma,
ameloblastoma unilokular, dan central giant cell granuloma.
Secara histologis, kasus ini berisi osikel-osikel yang bersatu dan
membentuk trabekula tulang yang biasanya dikelilingi oleh osteoblast dan
terkadang dikelilingi osteoklas. Kalsifikasi yang menyerupai sementum juga
biasanya terlihat dan kedua tipe kalsifikasi ini biasanya dapat terjadi pada satu
lesi.
Enukleasi dengan kuretase telah banyak dilaporkan sebagai metode
penanganan lesi ini. Pada beberapa laporan kasus, lebih banyak dilakukan
penanganan dengan kuretase konservatif daripada blok reseksi. Pada kasus inipun
dilakukan enukleasi konservatif hingga ke batas tulang sehat. Namun pada kasus
tertentu timbul rekurensi setelah 15 hari post operasi. Kemudian dilakukan
hemimandibulectomy dan rekonstruksi menggunakan plat.
Secara umum manajemen lesi central ossifying fibroma masih belum pasti.
Untuk menghindari atau meminimalisasi rekurensi, tindakan reseksi parsial
diperlukan untuk beberapa lesi yang besar. Meskipun lesi pada kasus ini besar,
tetapi dipilih tindakan untuk enukleasi dan kuretase oleh karena pada kasus ini lesi
dapat terdefinisi degan baik dan dapat dipisahkan dari tulang sehat saat tindakan.
Selain itu, pada kontrol satu tahun pasien pun tidak menunjukkan tanda-tanda
rekurensi.
Pada kasus ini pemilihan tindakan enukleasi dan kuretase dirasakan
sebagai pilihan manajemen yang aman, dan memuaskan. Meskipun tingkat
rekurensi lesi ini terbilang rendah, pasien tetap harus dikontrol secara hati-hati
karena lesi ini bersifat agresif dan kadang dapat timbul kembali setelah
dilakukannya tindakan bedah.
20
KASUS 2
Anak perempuan usia 9 tahun datang dengan keluhan pembengkakkan
pada rahang kanan bawah sejak tiga bulan lalu. Pasien juga mengeluhkan rasa
nyeri pada daerah tersebut. Pasien memiliki riwayat leukemia limfositik akut yang
telah mengalami remisi selama 3 tahun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
pembengkakkan hiperemi dengan ukuran 6 x 8 cm yang menyebabkan asimetri
wajah pada daerah submandibular kanan bagian corpus dan ramus. Pada palpasi
dirasakan massa yang keras dan permukaan yang halus dan dasar yang terfiksasi
ke tulang mandibular (Gambar 6).
Gambar 6. Pembengkakan wajah pada sisi rahang bawah kanan menyebabkan
asimetri wajah yang jelas.
Pembukaan mulut pasien baik dan tidak ditemukan gigi geligi yang rusak
pada daerah lesi. Kebersihan mulut pasien juga dalam keadaan baik. Mukosa pada
daerah pasien juga dalam batas normal (Gambar 7).
21
Gambar 7. Pembengkakkan pada rahang bawah kanan belakang yang
disebabkan oleh lesi.
Gambaran radiografi panoramik menunjukkan gambaran lesi irregular,
unilokuler, berbatas jelas, dan ekspansif pada corpus dan ramus tulang mandibula
bagian kanan. Tidak ditemukan resorpsi gigi ataupun migrasi gigi (Gambar 8).
Gambar 8. Gambaran CT scan potongan axial menunjukkan gambaran massa
yang melibatkan area submandibular dan menyebabkan ekspansi serta destruksi
ramus dan corpus mandibula sebelah kanan.
Hasil pemeriksaan CT scan menunjukkan gambaran massa solid yang
membesar ke daerah submandibular dan merusak struktur ramus dan corpus
22
mandibular kanan. Destruksi ini dapat terlihat pada gambaran MRI kepala pasien.
kolom udara, tulang hyoid, dan laring terdorong kearah kiri (Gambar 9).
Gambar 9. Gambaran MRI menunjukkan tumor yang menyebabkan destruksi
ramus dan corpus tulang mandibula dan retensi tumor serta terlihat gambaran
migrasi kolom faringeal kearah kiri.
Pasien kemudian dilakukan tindakan biopsy insisi dan didapat hasil analisa
juvenile ossifying fibroma. Diagnosa ditegakkan berdasarkan ditemukannya
trabekula osteoid fibrillar dan fragmen-fragmen tulang (Gambar 10).
Gambar 10. Gambaran histologis menunjukkan trabekula dari sel-sel osteoid
fibrillar
23
Oleh karena besarnya lesi, terjadinya destruksi tulang mandibular, serta
dekatnya dengan sendi YMJ, maka pasien dilakukan tindakan
hemimandibulektomi dengan pendekatan transmandibular (Gambar 11).
Gambar 11. (A) Pembukaan akses dan eksplorasi tumor menggunakan
pendekatan transmandibular. (B) Pengangkatan lesi dan struktur mandibula
dengan metoda hemimandibulektomi
Pada kontrol dua tahun tidak ditemukannya tanda rekurensi dengan
pemeriksaan CT scan tiga dimensi dan MRI. Fungsi oral pasien juga masih dapat
dipertahankan (Gambar 12).
Gambar 12. Pasien tidak menunjukkan bukti klinis atau radiologis akan rekurensi
setelah 24 bulan pasca reseksi. Relasi rahang menunjukkan oklusi yang baik pada
bagian kiri.
24
A B
DISKUSI
Kebanyakan tumor jinak fibrous pada rahang biasanya tanpa gejala dan
berjalan lambat. Namun gambaran klinis yang menunjukkan sifat agresif dengan
petumbuhan yang destruktif dapat terlihat pada pasien yang lebih muda dibawah
usia 15 tahun.
Juvenile ossifying fibroma (JOF) merupakan lesi fibrosa yang terjadi di
daerah wajah. Lesi ini juga sering disebut sebagai aggressive ossifying fibroma
oleh karena sifatnya yang agresif dan tingginya tingkat rekurensi dari lesi ini. JOF
juga memiliki gambaran histopatologi yang berbeda dengan lesi fibrous lainnya,
sehingga diklasifikasikan tersendiri diantara lesi-lesi fibrous.
JOF merupakan salah satu lesi fibrous yang jarang terjadi dan
dikarakterisasi dengan onset pada awal kehidupan dan terjadi pada anak-anak usia
di bawah 15 tahun, lokasi tumor, gambaran radiografis, dan kecenderungannya
untuk mengalami rekurensi.
JOF tidak memiliki predileksi jenis kelamin dan dapat terjadi pada pria
dan wanita secara merata. Meskipun begitu, laporan kasus menunjukkan lesi ini
lebih sering terjadi pada laki-laki dan pada wanita lebih banyak terjadi di
mandibular.
Beberapa kasus menunjukkan trauma pada wajah sebagai etiologi dari
timbulnya lesi ini. Namun pada kasus yang disajikan tidak terdapat anamnesa
tentang trauma pada wajah pasien, namun terdapat riwayat drainase abses pada
daerah lesi.
JOF dapat dikarakterisasi dengan gambaran yang ekspansif, terdapat batas
yang sklerotik, bersifat agresif dan destruktif secara lokal pada gambaran CT scan.
Lesi ini berupa massa jarigan lunak yang mengalami kalsifikasi internal.
Tidak terdapat consensus yang jelas untuk penatalaksaan JOF. Reseksi
radikal, eksisi lokal, dan enukleasi dengan kuretase merupakan pilihan tatalaksana
JOF. Tindakan yang akan dilakukan dapat dipilih berdasarkan kasusnya, dan
memiliki kepentingannya masing-masing. Reseksi radikal memiliki keuntungan
untuk menghindari rekurensi, eksisi lokal memberikan pengangkatan massa yang
25
baik dan dapat dilakukan berulang bila terjadi rekurensi, enukleasi dan kuretase
merupakan tindakan yang paling konservatif dan memberikan kepuasan paling
baik terhadap pasien.
Meskipun JOF merupakan kasus yang jarang ditemui, tetapi oleh karena
sifatnya yang agresif dan destruktif perlu dilakukan diagnosa dini, tatalaksana
yang sesuai dan kontrol pasien dalam jangka waktu panjang.
26
BAB IV
KESIMPULAN
Perawatan yang direkomendasikan untuk cementoosifying fibroma ialah
eksisi. Keseluruhan tumor harus diangkat termasuk dasar orbital dan dinding sinus
maksilaris. Cementoosifying fibroma mudah diangkat, tetapi maksila
cementoosifying fibroma lebih sulit jika dibandingkan dengan mandibular. Ini
mungkin kerana perbedaan karakteristik tulang mandibula dan maksila dan ruang
yang tersedia untuk ekspansi dalam sinus maksilaris. Rekurensi dilaporkan pada
28% kasus dengan mandibular cementoosifying fibroma. Kadar rekurensi
cementoosifying fibroma pada maksila tidak diketahui, tapi kemungkinan untuk
berlaku lebih tinggi karena lebih susah untuk diangkat secara operasi dan
cenderung lebih besar pada waktu ditemukan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Cawson, R.A. 2002. Cawson’s Essentials Of Oral Pathology And Oral Medicine.
7th ed. Edinburg. Churchill livingstone. P 164.
MacSween. 1992. Textbook of Pathology. 13th ed. London. Edward Arnold. p.
970.
Neville. 2002. Oral And Maxillofacial Pathology. 2nd ed. W.B. Saunders. P. 553-
557.
Sapp, J.Philip. 1997. Contemporary Oral and Maxillofacial Pathology. St.Louis.
Mosby. p. 93-96.
Sciuba & Regezi. 1999. Oral Pathology. 3rd ed. Philadelphia. W.B. Saunders. p.
360-363.
Bhaskar, S.N. 1981. Synopsis of Oral Pathology. 6th ed. St. Louis : The C.V.
Mosby Company
Dorland. 1994. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran
EGC
Regezi, J.A.; Sciubba, J. 1993. Oral pathology. 2nd ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company
Shafer, W.G. 1983. a textbook of Oral Pathology. 4 th ed. Tokyo: W.B.
Saunders Company
Waldron CA, Giansanti JS. Benign fibro-osseous lesions of the jaws: a clinical-
radiologic-histologic review of sixty-five cases. Oral Surg 1973;35:340–
350
28
Kaugars GE. Benign fibro-osseus lesions. In: Miles DA, Van Dis M, Kaugars GE,
Lovas JGL, eds. Oral and Maxillofacial Radiology: Radiologic/Pathologic
Correlations. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991:127–128
Hoffman S, Jacoway JR, Krolls SO. Intraosseous and Parosteal Tumors of the
Jaws: Atlas of Tumor Pathology. Fascicle 24. Washington DC: Armed
Forces Institute of Pathology, 1987:146–150, 203–210
Bertrand B, Ely P, Cornelius JP, Gosseye S, Clotuche J, Gilliard C. Juvenile
aggressive cemento-ossifying fibroma: case report and review of the
literature. Laryngoscope 1994;103:1385–1390
GORLIN, R. J. and GOLDMAN, H. M. (1970). Thomas's Oral Pathology. The
C.V. Mosby Company, St. Louis. p. 503.
KRAUSEN, A. S. et al. (1977). Archives of Otolaryngology, 103, 371.
MILLER, I. S. (1979). Archives of Otolaryngology, 105, 744.
THOMAS, K. H. and GOLDMAN, H. M. (1960). Oral Pathology. The C.V.
Mosby Company, St. Louis, p. 1203.
29