optimasi proses produksi pewarna alami instan dari … · 2017. 2. 2. · serbuk pewarna alami...

26
OPTIMASI PROSES PRODUKSI PEWARNA ALAMI INSTAN DARI LIMBAH KAYU KAMPER (Cinnamomum camphora (L) Presl ) DITELAAH DARI WAKTU PEMANASAN DAN PENAMBAHAN MALTODEKTRIN OPTIMATION OF INSTANT NATURAL COLORANT PRODUCTION PROCESS FROM CAMPHOR (Cinnamomum camphora (L) Presl ) WASTE AS REAVEALED BY HEATING TIME AND MALTODEXTRIN ADDITION Oleh : Ariel Nico Ardila Kusumo NIM : 652010009 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Upload: others

Post on 07-Feb-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • OPTIMASI PROSES PRODUKSI PEWARNA ALAMI INSTAN DARI

    LIMBAH KAYU KAMPER (Cinnamomum camphora (L) Presl ) DITELAAH

    DARI WAKTU PEMANASAN DAN PENAMBAHAN MALTODEKTRIN

    OPTIMATION OF INSTANT NATURAL COLORANT PRODUCTION

    PROCESS FROM CAMPHOR (Cinnamomum camphora (L) Presl ) WASTE AS

    REAVEALED BY HEATING TIME AND MALTODEXTRIN ADDITION

    Oleh :

    Ariel Nico Ardila Kusumo

    NIM : 652010009

    TUGAS AKHIR

    Diajukan kepada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika guna

    memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

    PROGRAM STUDI KIMIA

    FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2015

  • 23

  • 24

  • 25

  • 26

    OPTIMASI PROSES PRODUKSI PEWARNA ALAMI INSTAN DARI

    LIMBAH KAYU KAMPER (Cinnamomum camphora (L) Presl ) DITELAAH

    DARI WAKTU PEMANASAN DAN PENAMBAHAN MALTODEKTRIN

    OPTIMATION OF INSTANT NATURAL COLORANT PRODUCTION

    PROCESS FROM CAMPHOR (Cinnamomum camphora (L) Presl ) WASTE AS

    REAVEALED BY HEATING TIME AND MALTODEXTRIN ADDITION

    Ariel Nico Ardila Kusumo*, A.Ign. Kristijanto **, Hartati Soetjipta **

    *Mahasiswa Prodi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

    **Dosen Prodi Kimia Fakultas Sains dan Matematika,

    Universitas Kristen Satya Wacana

    Jalan Diponegoro 52-60

    Salatiga

    Email : [email protected]

    ABSTRACT

    The objectives of this study are : Firstly, to produce natural dye powder from

    camphor wood waste as revealead by the length of heating time and without

    maltodextrin addition. Secondly, optimation of natural dye powder of camphor wood

    waste in terms of length of heating time, maltodextrin addition, and the interactions.

    Thirdly, to determine the depth of shade color of natural dye from camphor wood

    powder between different fixatives (lime, alum, and “tunjung” respectively).

    The results of this study showed that : 1) The yield of the natural dye powder

    from camphor wood waste is in the amount of 0.359 ± 0.029 grams without

    maltodextrin addition in 120 minutes heating time. 2) The optimum yield of natural

    dye powder from camphor wood waste as revealed by the length of heating time,

    maltodextrin addition, and their interaction is obtained in the amount of 3.732 ±

    0.063 grams in 30 minutes of heating time time 15% maltodextrin additions. 3) The

    use of lime as fixative on cotton produce darker color for all hues (red, blue, and grey

    respectively), and has a same depth of shade color for green hue using “tunjung” as

    fixative. In the contracy, use of alum as fixative on cotton produce brighter color for

    blue hue, while with “tunjung” produce more brighter red and grey hues.

    Key words : waste of camphor, instant natural colorant, maltodektrin.

    1

  • 27

    PENDAHULUAN

    Batik dan Indonesia adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena batik

    sudah menjadi ikon bahkan telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia.

    Dalam sejarah pembuatan batik, nenek moyang kita telah menggunakan pewarna

    alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. Menurut Fitrihana

    (2009) pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang

    dapat mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah : daun pohon nila

    (Indigofera sp), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana Arn), kayu tegeran

    (Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), teh ,akar mengkudu (Morinda citrifolia),

    kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun jambu

    biji (Psidium guajava), dan sebagainya. Namun dalam perkembangan, ditambah

    dengan kemajuan IPTEK maka kedudukan pewarna alami tergeser oleh kehadiran

    pewarna sintetik yang relatif lebih mudah penggunaannya, lebih bervariasi warnanya,

    serta lebih murah harganya.

    Pada saat ini terbukanya pasar bebas di beberapa negara ASEAN terutama

    Indonesia yang bergabung dalam AC-AFTA dan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun

    2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Di antaranya, menetapkan salah satu tujuan

    jangka panjang berupa industri berwawasan lingkungan, dituntut persaingan di antara

    para pelaku bisnis dalam menjaga mutu produk dan keramahan lingkungan

    merupakan suatu hal yang pokok (Hidayat, 2013). Meskipun pemakaian pewarna

    sintetis secara nyata membuktikan kualitas pewarnaan yang baik, tetapi mempunyai

    potensi pencemaran lingkungan (Prayitno dkk., 2003). Hal ini, sangat bertentangan

    dengan semangat Indonesia dalam AC-AFTA untuk memenuhi syarat mutu produk

    ramah lingkungan dalam persaingan industri batik. Oleh karena itu perlu perubahan

    dari industri batik menggunakan pewarna sintetis dengan pewarna alami yang lebih

    ramah lingkungan.

    Selama ini pengrajin batik yang menggunakan pewarna alami dibuat dengan

    cara ekstraksi perebusan dan hasilnya dalam bentuk larutan. Bahan pewarna yang

    dihasilkan dalam bentuk larutan memiliki kekurangan diantaranya tidak tahan

    disimpan dalam waktu relatif lama. Menurut Widowati (2011), hal ini dapat

    menyebabkan timbulnya jamur dan konsentrasi larutan tidak seragam, sehingga

    konsistensi warna sulit dicapai, dan dalam pendistribusiannya tidak praktis.

    2

  • 28

    Menurut Hardjanti (2008), dalam penelitiannya tentang potensi daun katuk

    sebagai pewarna alami, dengan menggunakan dua suhu pengeringan oven (80 ºC dan

    90 ºC) paling efektif hasil serbuk 5,64% dari total volume ektrak 100 ml pada

    pengeringan 90 ºC, sedangkan penambahan maltodektrin berkisar antara 4-8 %.

    Sedangkan menurat Fitrihana (2009) proses ektraksi pewarna alam manggunakan

    pelarut air dengan perbandingan pelarut air : sampel (10:1). Menurut Prayitno dkk.,

    (2003) perolehan warna dari 400 gram serbuk kayu mahoni dengan pelarut air adalah

    9,26 gram, dengan suhu ektraksi 60 ºC dalam, waktu pemanasan 90 menit. Serbuk

    pewarna yang dihasilkan akan semakin banyak apabila suhu dinaikkan. Lebih lanjut

    Padmitasari dan Novitasari (2010) menunjukkan bahwa konsentrasi zat pengisi

    maltodektrin sebanyak 60 % b/v menghasilkan serbuk pewarna 6,23 % bobot ektrak

    daun jati. Konsentrasi pengisi maltodektrin yang dipakai 10 % v/v menghasilkan 1,2

    % serbuk pewarna dari 100 ml ektrak kulit terong Belanda (Asmara dkk., 2013).

    Untuk memenuhi kebutuhan zat warna alami perlu dicari alternatif zat warna

    yang murah dan ramah lingkungan. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan

    limbah kayu kamper yang melimpah berupa serutan yang selama ini kurang

    dimanfaatkan.

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan :

    1. Menghasilkan serbuk pewarna alami dari limbah kayu kamper ditinjau dari

    lama waktu pemanasan dan tanpa penambahan maltodektrin.

    2. Optimasi serbuk pewarna alami dari limbah kayu kamper ditinjau dari lama

    waktu pemanasan, penambahan maltodektrin, dan interaksinya.

    3. Menentukan ketuaan warna serbuk pewarna alami kayu kamper antar

    berbagai fiksatif (kapur, tawas, dan tunjung).

    3

  • 29

    METODE PENELITIAN

    Bahan dan Piranti yang digunakan

    Bahan

    Limbah serutan kayu kamper (tatal.jawa) diperoleh dari pengrajin mebel dan

    kusen pintu di daerah Karangpete Salatiga, dan kain mori yang sudah di mordan untuk

    uji ketuaan warna. Sedangkan bahan kimiawi yang digunakan adalah akuades,

    maltodekstrin, wentol, KAl(SO4)2 (tawas), FeSO4 (tunjung), Ca(OH)2 kapur dan air

    PAM.

    Piranti

    Piranti yang digunakan antara lain : neraca analitis, panci stainless steel,

    kompor, oven, pemindai (scanner) Canon MP230, spektrofotometri UV-VIS Optizen

    UV 2120 dan program SPSS.

    Metode

    Ektraksi Pewarna limbah Kayu Kamper

    100 g limbah serutan kayu kamper kering direbus dengan air sebanyak 1,5 L

    dengan waktu perebusan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit dihitung setelah air rebusan

    mendidih. Ekstrak didinginkan lalu disaring. Filtrat ditambah dengan maltodektrin

    sebanyak 0, 5, 10, 15, dan 20 % (b/v) , kemudian dimasukkan ke dalam oven lalu

    dipanaskan pada suhu ± 100 ºC sampai kering lalu dihaluskan.

    Verifikasi Ketuaan warna (Kusriniati, 2007 dalam Padmasari, 2012)

    Serbuk pewarna alami instan yang diperoleh. Kemudian diuji cobakan dengan

    kain mori. Kain difiksasi dengan menggunakan tunjung (5%) dan tawas (5%) selama

    5 menit, kemudian dikering anginkan. Kain yang telah melalui proses pewarnaan dan

    fiksasi dipindai dengan scanner untuk diperoleh data RGB dan Grayscale-nya.

    Pengujian Scanning spektrofotometer UV-Vis (Sastrohamidjojo, 2001)

    Ektrak serbuk pewarna yang telah dilarutkan (1:100 b/v), masing-masing

    fiksatif, dan campuran ekstrak tanin dengan masing-masing fiksatif pada konsentrasi

    yang sama (1:1 v/v) diukur panjang gelombang serapan optimumnya menggunakan

    spetrofotometer optizen 2021 pada panjang gelombang cahaya tampak (370-700 nm).

    4

  • 210

    Analisis data

    Data hasil ekstraksi dianalisis dengan menggunakan rancangan dasar RAK

    (Rancangan Acak Kelompok), 5 perlakuan dan 5 ulangan. Sebagai perlakuan adalah

    lama waktu ekstraksi yaitu (30, 60, 90, 120, 150 menit), sedangkan sebagai kelompok

    adalah waktu analisis.

    Data hasil serbuk dianalisis menggunakan Rancangan Perlakuan Faktorial 5×5

    dan rancangan dasar RAK (Rancangan Acak Kelompok) dengan 3 kali ulangan.

    Sebagai faktor pertama adalah lama waktu ekstraksi yang terdiri dari 5 aras yaitu 30,

    60, 90, 120, dan 150 menit. Faktor kedua adalah penambahan maltodektrin yang

    terdiri dari 5 aras konsentrasi yaitu 0, 5, 10, 15, dan 20%, sedangkan sebagai

    kelompok adalah waktu analisis.

    Data hasil ketuaan warna dianalisis dengan menggunakan rancangan dasar RAK

    (Rancangan Acak Kelompok), 3 perlakuan dan 9 ulangan. Sebagai perlakuan adalah

    fiksatif yaitu ( tawas, kapur,dan tunjung), sedangkan sebagai kelompok adalah waktu

    analisis.

    Pengujian rataan antar perlakuan dilakukan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)

    dengan tingkat kebermaknaan 5% (Steel dan Torrie, 1980)

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil Rendemen (± SE) Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper Antar

    Berbagai Lama Waktu Pemanasan Tanpa Penambahan Maltodektrin

    Rataan rendemen serbuk pewarna alami limbah kayu kamper (± SE) antar

    berbagai lama waktu pemanasan tanpa penambahan maltodektrin berkisar antara

    0,140 ± 0,026 gram sampai 0,359 ± 0,029 gram (Tabel 1).

    5

  • 211

    Tabel 1. Purata Rendemen Pewarna (± SE) Antar Berbagai Lama Waktu

    Pemanasan Tanpa Penambahan Maltodektrin

    Waktu Pemanasan (menit)

    W 30 W 60 W 150 W 90 W 120

    X ± SE 0,140 ±

    0,026

    0,227 ±

    0,033

    0,307 ±

    0,057

    0,299 ±

    0,029

    0,359 ±

    0,029

    W = 0,036 (a) (b) (c) (c) (d)

    Keterangan: * W = BNJ 5%

    * W30, W60,W90,W120,W150 = lama waktu pemanasan yaitu 30 – 150 menit.

    * Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan

    tidak berbeda secara bermakna, sebaliknya angka yang diikuti huruf yang

    berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda secara bermakna.

    Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel 2, 4, dan 5

    Dari Tabel 1 terlihat bahwa rendemen serbuk pewarna alami (±SE) meningkat

    sejalan dengan waktu pemanasan, sampai waktu pemanasan 120 menit rendemen

    0,359 ± 0,029 gram, kemudian menurun dalam waktu pemanasan 150 menit

    (Gambar1).

    Gambar 1. Diagram batang purata rendemen pewarna (± SE) antar berbagai lama

    waktu pemanasan tanpa penambahan maltodektrin.

    Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Prayitno, dkk (2003) dengan

    menggunakan serbuk kayu berbeda (mahoni) diektrak dalam waktu 30 sampai 150

    6

  • 212

    menit dan hasil tertinggi diperoleh pada waktu pemanasan 90 menit, selanjutnya akan

    menurun.

    Adanya penurunan rendemen serbuk pewarna dalam waktu pemanasan 150

    menit dikarenakan mulai dari awal proses ektraksi sampai mencapai titik optimal 120

    menit seluruh senyawa (tanin) dalam serbuk kayu kamper akan terektrak keluar dan

    bercampur dengan pelarut (air). Selanjutnya, senyawa dalam serbuk akan mengalami

    penurunan (Sukardi dkk., 2007). Lebih lanjut, menurut Houghton dan Raman (1998

    dalam Subandriyo, 2012) waktu pemanasan yang lebih lama dari batas optimal akan

    menghasilkan rendemen yang lebih rendah karena tanin yang dihasilkan akan

    mengalami oksidasi.

    Hasil Rendemen (± SE)Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper Antar

    Berbagai Waktu Pemanasan Dengan Penambahan Maltodektrin

    Hasil rendemen ( ± SE) serbuk pewarna alami limbah kayu kamper antar

    berbagai waktu pemanasan dengan penambahan maltodektrin berkisar antara 1,766 ±

    0,556 gram sampai 2,224 ± 0,640 gram (Tabel 2).

    Tabel 2. Purata Rendemen Pewarna (± SE) Antar Berbagai Waktu Pemanasan

    Dengan Penambahan Maltodektrin

    Waktu Pemanasan (menit)

    W 150 W 120 W 60 W 30 W 90

    X ± SE 1,766 ±

    0,556

    1,808 ±

    0,619

    2,142 ±

    0,651

    2,171 ±

    0,594

    2,224 ±

    0,640

    W = 0,1096 (a) (a) (b) (b) (b)

    Tabel 2 menunjukkan bahwa rendemen serbuk pewarna alami konstan dalam

    waktu pemanasan 30 sampai 90 menit, lalu jumlah rendemen menurun dan sama

    bobotnya dalam waktu pemanasan lebih lama (120 dan 150 menit) (Gambar 2).

    7

  • 213

    Gambar 2. Diagram batang purata rendemen pewarna (± SE) antar berbagai lama

    waktu pemanasan dengan penambahan maltodektrin.

    Penurunan rendemen serbuk pewarna yang dihasilkan sejalan dengan

    peningkatan waktu pemanasan berkaitan dengan fungsi maltodektrin sebagai bahan

    penyalut. Menurut Oktaviana (2012 dalam Putra dkk., 2013) penambahan

    maltodektrin berfungsi sebagai penyalut yang dapat melapisi komponen pewarna,

    meningkatkan jumlah total padatan, memperbesar volume, mempercepat proses

    pengeringan, mencegah kerusakan bahan akibat temperatur ruangan serta

    meningkatkan daya kelarutan.

    Penurunan rendemen serbuk pewarna juga dipengaruhi oleh pelarut air yang

    sudah banyak menguap pada waktu pemanasan lebih dari 90 menit. Menurut

    Alexander (1992 dalam Yuliawaty dan Susanto, 2014) ketika gugus hidroksil yang

    terdapat dalam maltodekstrin berinteraksi dengan air pada larutan ekstrak zat pewarna

    menyebabkan kelarutan partikel zat pewarna meningkat. Semakin banyak gugus

    hidroksil bebas maka semakin tinggi tingkat kelarutannya.

    Hasil Rendemen (± SE) Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper Antar

    Berbagai % Penambahan Konsentrasi Maltodektrin

    Rataan hasil rendeman serbuk pewarna alami limbah kayu kamper (± SE) antar

    kombinasi waktu pemanasan dan antar penambahan maltodektrin berkisar antara

    0,266 ± 0,037 gram sampai 3,436 ± 0,147 gram (Tabel 3).

    8

  • 214

    Tabel 3. Purata Rendemen Serbuk Pewarna (± SE) Antar Berbagai %

    Penambahan Konsentrasi Maltodektrin

    Maltodektrin (%)

    M0 M1 M2 M4 M3

    X ± SE 0,266 ±

    0,037

    0,934 ±

    0,132

    2,165 ±

    0,272

    3,310 ±

    0,210

    3,436 ±

    0,147

    W = 0,1096 (a) (b) (c) (d) (e)

    Keterangan: * W = BNJ 5%

    * M0,M1,M2,M3,dan M4= persen bobot maltodektrin (0, 5, 10, 15, dan 20).

    Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel 4

    Dari Tabel 3 terlihat bahwa rendemen serbuk pewarna alami (± SE) meningkat

    sejalan dengan % penambahan maltodektrin 15% yaitu sebesar 3,436 ± 0,147 gram,

    kemudian menurun pada penambahan maltodektrin 20 % (Gambar 3).

    Gambar 3. Diagram batang purata rendemen pewarna (± SE) antar penambahan

    konsentrasi maltodektrin.

    Dari Gambar 3 terlihat bahwa peningkatan rendemen serbuk pewarna yang

    dihasilkan sejalan dengan peningkatan maltodektrin sampai dengan 15 %, selanjutnya

    pada dosis maltodektrin 20% menurun. Lebih lanjut menurut Masters (1979 dalam

    Badarudin, 2006), semakin tinggi total padatan dari bahan yang dikeringkan maka

    rendemen yang dihasilkan akan semakin tinggi sampai batas 15 %. Sehingga

    berdampak pada peningkatan rendemen serbuk pewarna. Kecenderungan peningkatan

    9

  • 215

    rendemen yang dihasilkan menunjukkan bahwa maltodekstrin dapat berfungsi sebagai

    penambah massa pada 15 % saja.

    Penurunan rendemen pewarna pada penambahan maltodektrin 20% disebabkan

    kerusakan tanin akibat proses oksidasi dan hidrolisis. Menurut Houghton dan Raman

    (1998 dalam Subandriyo, 2012) waktu pemanasan yang lebih lama dari batas optimal

    akan menghasilkan rendemen yang lebih rendah karena tanin yang dihasilkan akan

    mengalami oksidasi.

    Interaksi Penambahan Maltodektrin dan Berbagai Waktu Pemanasan Terhadap

    Hasil Rendemen (± SE) Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper

    Rataan hasil rendemen (± SE) serbuk pewarna alami limbah kayu kamper dari

    hasil interaksi penambahan maltodektrin (0%) dengan berbagai waktu pemanasan

    berkisar antara 0,140 ± 0,026 gram sampai 3,744 ± 0,325 gram (Tabel 4).

    10

  • 216

    Tabel 4. Interaksi Penambahan Maltodektrin dan Berbagai Waktu Pemanasan

    Terhadap Purata Rendemen (± SE) Serbuk Pewarna

    W30 W60

    W90

    W120

    W150

    M0 0,140 ±

    0,026 (a)

    0,227 ±

    0,033 (a)

    0,299 ±

    0,029 (a)

    0,359 ±

    0,029 (a)

    0,307 ±

    0,057 (a)

    W =

    0,0273 (a) (b) (c) (d) (c)

    M1 1,394 ±

    0,112 (b)

    0,921 ±

    0,058 (b)

    1,035 ±

    0,022 (b)

    0,758 ±

    0,053 (b)

    0,563 ±

    0,007 (b)

    W =

    0,0273 (e) (c) (d) (b) (a)

    M2 2,881 ±

    0,049 (d)

    2,346 ±

    0,047 (c)

    2,517 ±

    0,208 (c)

    1,222 ±

    0,177 (c)

    1,857 ±

    0,101 (c)

    W =

    0,0273 (e) (c) (d) (a) (b)

    M3 3,732 ±

    0,063 (e)

    3,668 ±

    0,062 (e)

    3,645 ±

    0,105 (d)

    2,957 ±

    0,061 (d)

    3,180 ±

    0,069 (e)

    W =

    0,0273 (d) (c) (c) (a) (b)

    M4 2,706 ±

    0,061 (c)

    3,547 ±

    0,448 (d)

    3,626 ±

    0,393 (d)

    3,744 ±

    0,325 (e)

    2,926 ±

    0,377 (d)

    W =

    0,0273 (a) (c) (d) (e) (b)

    Keterangan:* W = 0,0273.

    *Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris maupun lajur yang

    sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda secara bermakna,

    sebaliknya angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris maupun

    lajur yang sama menunjukkan antar perlakuan berbeda secara bermakna.

    Dari Tabel 4, terlihat bahwa, tanpa penambahan maltodektrin (0%) dan

    penambahan maltodektrin 20% menunjukkan pola yang sama yaitu rataan rendemen

    serbuk pewarna meningkat sejalan dengan peningkatan waktu pemanasan sampai 120

    menit kemudian turun pada waktu pemanasan 150 menit. Sebaliknya pada

    penambahan maltodektrin 5%,10%, dan 15 %, rataan rendemen serbuk pewarna

    menurun sejalan dengan peningkatan waktu pemanasan (Gambar 4).

    11

  • 217

    Telaah lebih lanjut yaitu antar konsentrasi maltodektrin dalam setiap waktu

    pemanasan maka akan terlihat kenampakan sebagai berikut: Pada waktu pemanasan

    30, 60, dan 150 menit rataan rendemen serbuk pewarna meningkat sejalan dengan

    penambahan maltodektrin 15 %, kemudian pada penambahan maltodektrin 20 %.

    Dalam waktu pemanasan 90 menit rataan rendemen serbuk pewarna meningkat

    sejalan dengan penambahan maltodektrin 15% dan sama dengan pada penambahan

    maltodektrin 20 %. Sedangkan dalam waktu pemanasan 120 menit rataan rendemen

    serbuk pewarna meningkat sejalan dengan penambahan maltodektrin dan rendemen

    serbuk pewarna maksimal pada penambahan maltodektrin 20 % (Gambar 4).

    Gambar 4. Diagram batang purata rendemen pewarna (± SE) antar interaksi waktu

    pemanasan terhadap penambahan konsentrasi maltodektrin.

    Peningkatan hasil rendemen pewarna berkaitan dengan fungsi maltodektrin

    sebagai penyalut, adanya peningkatan jumlah konsentrasi maltodektrin akan

    meningkatkan pula proses pengkristalan yang selanjutnya menyebabkan terjadinya

    peningkatan hasil rendemen pewarna. Menurut Gustavo dan Barbosa-Canovas (1999

    dalam Badarudin, 2006), gugus hidroksil maltodekstrin jika dalam air akan

    membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekul air disekitarnya. Jika air

    dihilangkan maka akan terjadi pengkristalan, karena gugus hidroksil akan membentuk

    ikatan hidrogen dengan ikatan gugus hidroksil yang lain sesama monomer. Oleh

    12

  • 218

    karena itu, semakin banyak maltodekstrin yang ditambahkan semakin cepat pula

    terjadi pengkristalan dan penguapan air sehingga kadar air bahan akan semakin

    rendah.

    Adanya peningkatan rendemen yang dihasilkan menunjukkan bahwa

    maltodekstrin dapat berfungsi sebagai penambah massa. Menurut Endang dan

    Prasetyastuti (2010 dalam Yuliawaty dan Susanto, 2014) semakin banyak jumlah

    maltodekstrin yang ditambahkan maka rendemen produk akan semakin tinggi. Hal ini

    disebabkan penggunaan maltodekstrin berfungsi untuk memperbesar volume dan

    meningkatkan total padatan bahan, sehingga rendemen yang diperoleh semakin tinggi.

    Jika ditelaah hasil rendemen pewarna dari interaksi berbagai waktu pemanasan

    terhadap penambahan konsentrasi maltodektrin 15 % maka pewarna yang dihasilkan

    tinggi. Hal ini berkaitan dengan peranan waktu pemanasan yang berhubungan dengan

    kerusakan tanin akibat proses oksidasi dan hidrolisis stabilitas. Menurut Houghton

    dan Raman (1998 dalam Subandriyo, 2012) waktu pemanasan yang lebih lama dari

    batas optimal akan menghasilkan rendemen yang lebih rendah karena tanin yang

    dihasilkan akan mengalami oksidasi.

    Pengaruh Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap ketuaan Warna Kain Mori Dengan

    Serbuk Pewarna Alami Limbah Kayu Kamper

    Rataan ketuaan warna (± SE) kain mori dengan serbuk pewarna limbah kayu

    kamper antar berbagai fiksatif yang diekpresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar

    antara 0,672 ± 0,003 sampai dengan 0,891 ± 0,003 (Tabel 5).

    13

  • 219

    Tabel 5. Purata Ketuaan Warna (± SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Serbuk

    Pewarna Limbah Kayu Kamper Antar Berbagai Jenis Fiksatif

    Jenis Fiksatif (5%)

    Ka Tw Tu

    Red (R) 0,836 ± 0,002 0,844 ± 0,002 0,891 ± 0,003

    w= 0,004 (a) (b) (c)

    Green (G) 0,789 ± 0,002 0,793 ± 0,002 0,789 ± 0,002

    w= 0,004 (a) (b) (a)

    Blue (B) 0,672 ± 0,003 0,750 ± 0,003 0,719 ± 0,004

    w= 0,006 (a) (c) (b)

    Grey (Gr) 0,781 ± 0,003 0,801 ± 0,003 0,812 ± 0,004

    w= 0,006 (a) (b) (c)

    Keterangan: * W = BNJ 5%

    * Ka = Kapur ; Tw = Tawas ; Tu = Tunjung

    Dari Tabel 5 terlihat bahwa kain mori dengan fiksatif kapur mempunyai

    ketuaan warna lebih gelap untuk semua rona (red, green, blue, dan grey), dan

    memiliki ketuaan warna yang sama untuk rona green dengan fiksatif tunjung.

    Sebaliknya berbeda yaitu lebih terang dengan fiksatif tawas untuk rona blue,

    sedangkan dengan fiksatif tunjung untuk rona red dan grey lebih terang (Gambar 5).

    Gambar 5. Diagram batang purata ketuaan warna kain mori hasil pewarnaan serbuk

    limbah kayu kamper antar berbagai jenis fiksatif

    Keterangan : R =Red/merah, G = Green/hijau, B = Blue/biru, dan Gr = Grey/abu-abu.

    14 14

  • 220

    Dalam penelitian ini, telah dilakukan pengukuran panjang gelombang

    maksimum masing-masing fiksatif, serta fiksatif yang diberi ekstrak tanin dari serbuk

    pewarna untuk menentukan pengaruhnya terhadap intensitas serapan UV-cahaya

    tampak dengan spektrofotometri UV-VIS (Tabel 6).

    Tabel 6. Data Panjang Gelombang Maksimum Serapan UV-Cahaya Tampak

    Ektrak Tanin Serbuk Pewarna Dengan Penambahan Berbagai Fiksatif

    Panjang

    Gelombang Ektrak Tawas

    E+tw Kapur

    E+kp Tunjung

    E+tu

    (nm) (E) (tw) (kp) (tu)

    370 0,237 0,015 0,07 0,012 0,116 0,446 0,252

    385 0,949 0,006 0,399 0,007 0,708 1,049 1,202

    400 1,116 0,002 0,371 0,008 0,754 2,081 1,889

    600 0,341 0,004 0,081 0,014 0,194 0,082 0,118

    Tabel 6 menunjukkan fiksatif tawas dengan panambahan ekstrak tanin

    mengalami penurunan panjang gelombang maksimum (dari 400-385 nm), sementara

    fiksatif kapur mengalami penurunan panjang gelombang maksimum (dari 600-400

    nm), dan fiksatif tunjung tidak mengalami perubahan panjang gelombang maksimum.

    Menurut Cairns (2008), panjang gelombang maksimum dapat berubah ketika suatu

    senyawa mengalami ionisasi (Gambar 6).

    15

  • Gambar 6. Serapan UV-Cahaya Tampak Ekstrak Tanin Serbuk Pewarna dengan Penambahan Berbagai Fiksatif

    Keterangan : = Ekstrak ; = Tawas ; = E+Tw ; = Kapur ; : E+Ka ;

    = Tunjung ; = E+Tu

    16

  • Gambar 6 menunjukkan terjadinya pergeseran serapan dan kenaikan

    intensitas serapan (efek hiperkromik). Pada penambahan fiksatif tawas pada ekstrak

    tanin terlihat adanya pergeseran panjang gelombang maksimum menuju panjang

    gelombang yang lebih panjang (batokromik).

    Geseran ini biasanya terjadi karena kerja auksokrom yaitu gugus fungsi yang

    menempel pada kromofor (bagian molekul yang bertanggung jawab terhadap

    penyerapan cahaya) yang tidak menyerap energi cahayanya sendiri tetapi

    mempengaruhi panjang gelombang cahaya yang diserap kromofor. Contoh auksokrom

    di antaranya adalah gugus –NH2, -OH, -SH. Gugus-gugus fungsi ini mempunyai

    pasangan elektron bebas (non-bonded electron) yang dapat berinteraksi dengan

    elektron π pada kromofor dan memungkinkan terjadinya penyerapan cahaya yang

    memiliki panjang gelombang yang lebih panjang (Cairns, 2008 dalam Sumasa, 2014).

    Hasil berbeda dijumpai pada fiksatif tunjung dalam ektrak tanin yaitu terjadi

    kenaikan intensitas serapan tanpa adanya pergeseran panjang gelombang maksimum.

    Dalam hal ini dapat diduga karena tidak adanya kerja auksokrom. Kenaikan intensitas

    serapan dipengaruhi oleh intensitas serapan ekstrak tanin tinggi. Selanjutnya pada

    fiksatif kapur dalam ektrak tanin, intensitas serapan mengalami kenaikan disertai

    pergeseran panjang gelombang maksimum menuju panjang gelombang yang lebih

    pendek (efek hipsokromik). Geseran ini biasa terjadi jika senyawa dengan auksokrom

    basa terion, dan pasangan elektron bebas tidak lagi dapat berinteraksi dengan elektron

    kromofor. Kenaikan intensitas serapan menunjukkan kenaikan terhadap terhadap

    fotosensitivitas. Semakin kuat fotosensitivitas maka semakin gelap warna yang

    dihasilkan, sebaliknya semakin rendah fotosensitivitas maka semakin cerah warna

    yang dihasilkan (Kombado, 2013 dalam Sumasa, 2014).

    17

  • 223

    KESIMPULAN DAN SARAN

    1. Hasil serbuk pewarna alami limbah kayu kamper ditinjau dari lama waktu

    pemanasan dan tanpa penambahan maltodektrin adalah dalam waktu

    pemanasan 120 menit yaitu sebentar 0,359 ± 0,029 gram.

    2. Hasil optimum serbuk pewarna alami limbah kayu kamper ditinjau dari lama

    waktu pemanasan, penambahan maltodektrin, dan interaksinya diperoleh

    dalam adalah pada waktu pemanasan 30 menit dengan penambahan

    maltodektrin 15% sebesar 3,732 ± 0,063 gram.

    3. Kain mori dengan fiksatif kapur mempunyai ketuaan warna lebih gelap

    untuk semua rona (red, blue, dan grey), dan memiliki ketuaan warna yang

    sama untuk rona green dengan fiksatif tunjung. Sebaliknya berbeda pada

    fiksatif tawas yaitu lebih terang untuk rona blue, sedangkan dengan fiksatif

    tunjung untuk untuk rona red dan grey lebih terang.

    SARAN

    1. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya terkait tanin dalam limbah kayu kamper

    dan kayu lain, jumlah maltodektrin, penggunaan zat pengikat binder, dan

    stabilisasi suhu pemanasan.

    2. Produksi pewarna alami dengan alat spray dryer dan penentukan dosis serbuk

    pewarna yang tepat dalam pewarnaan kain.

    18

  • 224

    DAFTAR PUSTAKA

    Asmara, Yoga, Aji Bayu. K, Septian Adi G.P, Fajar Aini, Isti Pudjihastuti, 2013.

    Rekayasa Proses Pembuatan Serbuk Pewarna Batik Biodegredable Berbahan

    Antosianin Limbah Kulit Terong Belanda (Chypomandra betacea) Dengan

    Kombinasi Ekstraksi Gelombang Ultrasonik Dan Aquasolvent. Prosiding

    SNST ke-4 Tahun 2013. Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim

    Semarang. Jurusan DIII Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas

    Diponegoro. Semarang.

    Anonim.2007. Pencemaran Pewarna di Pekalongan. Suara Merdeka : 26/4/ 2007 :

    Jawa Tengah

    Badarudin, T.,2006. Penggunaan Maltodektrin Pada Yoghurt Bubuk Ditinjau Dari Uji

    Kadar Air Keasaman, pH, Rendemen, Reabsorbsi Uap Air, Kemampuan

    Keterbatasan, dan Sifat Kedispersian, Jurusan Teknologi Hasil Ternak

    Hardjanti, S, 2008. Potensi Daun Katuk Sebagai Sumber Zat Pewarna Alami Dan

    Stabilitas Selama Pengeringan Bubuk Dengan Menggunakan Binder

    Maltodektrin, Universitas Mercu Buana,Yogyakarta.

    Hidayat, A.2013. Banyak Industri Tak Ramah Lingkungan. Tempo: 26/11/2013 :

    Jakarta.

    Kusriniati, D., 2007. Pemanfaatan Daun Sengon (Albizia falcataria) Sebagai Pewarna

    Kain Sutera Menggunakan Mordan Tawas Dengan Konsentrasi Yang Berbeda

    Pada Busana Camisol. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

    Prayitno, H, Endro Kismolo, dan Nurimaniwati, 2003. Proses Ekstraksi Bahan

    Pewarna Alam Dari Limbah Kayu Mahoni. Puslitballg Teknologi Maju,

    BATAN, Yogyakarta

    Padmasari, A. K., 2012. Limbah Teh Hijau Sebagai Pewarna Alami Batik Tulis

    (Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah

    dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB). Skripsi. Program Studi Kimia,

    Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

    Padmitasari,K.A.I, Dewi Novitasari, 2010. Pembuatan Serbuk Zat Warna Alami

    Tekstil Dari Daun Jati Dengan Metode Spray Dryer, Program Studi D3 Teknik

    Kimia, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret,

    Surakarta.

    19

  • 225

    Fitrihana,S.T, 2009. Teknik Ekplorasi Zat Pewarna Alam Dari Tanaman Di Sekitar

    Kita Untuk Pencelupan Bahan Tekstil, Jurusan PKK FT UNY

    Widowati, T.B, 2011. Pemanfaatan Cabang dan Pucuk Cabang (Dalbergia latifolia,

    Manilkara kauki dan Tectona grandis) Sebagai Pewarna Alami Batik,

    Program Studi Ilmu Kehutanan Program Pasca Sarjana, Fakultas Kehutanan

    Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta

    Putra Stefanus Dicky Reza, L.M. Ekawati, Purwijantiningsih, dan F. Sinung Pranata,

    2013. Kualitas Minuman Serbuk Instan Kulit Buah Manggis (Garcinia

    mangostana Linn.) Dengan Variasi Maltodektrin Dan Suhu Pemanasan,

    Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

    Sastrohamidjojo, H., 2001. Spektroskopi. Edisi 2. Liberty. Jakarta

    Subandriyo, 2012. Pengaruh Suhu Dan Waktu Pemanasan Terhadap Karakteristik

    Tanin Dari Limbah Padat Kulit Kayu Pinus (Pinus sp) Yang Dipemanasan

    Dengan Pelarut Air, Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri,

    Semarang.

    Sukardi, A. R. Mulyarto, dan W. Safera, 2007. Optimasi Waktu Ektraksi Terhadap

    Kandungan Tanin Pada Bubuk Ektrak Daun Jambu Biji (Psidii Folium) Serta

    Produksinya, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi

    Pertanian, Universitas Brawijaya.

    Sumasa,T.T., 2014. Limbah Kulit Biji Coklat (Theobroma cacao Linn.) sebagai

    Pewarna Alami Kain Mori dan Sutra (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap

    Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra

    Digital RGB). Skripsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana

    Steel, R.G.D. dan J.H. Torie, 1980. Prinsip Dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan

    Biometrik. Gramedia. Jakarta.

    Yuliawaty, S.T dan W.H. Susanto, 2014. Pengaruh Lama Pengeringan Dan

    Konsentrasi Maltodektrin Terhadap Karakteristik Fisik Kimia Dan

    Organoleptik Minuman Instan Daun Mengkudu (Morinda citrifolia L), Jurusan

    Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang

    20