optimalisasi pajak

Upload: dadi-satya

Post on 05-Apr-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    1/10

    1

    OPTIMALISASIPAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

    DALAM RANGKAMENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAEAH

    1. PENDAHULUANPelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 telahmenyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturanhubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasipemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara PemerintahPusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah. Dalam eraotonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebihbesar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.Tujuannyaantara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah

    kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau danmengontrol penggunaan dana yang bersumber dari AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selain untuk menciptakanpersaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi.Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkanlebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untukmemenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan didaerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).Tuntutan peningkatanPAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenanganpemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihanpersonil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalamjumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakantransfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukungpelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yaknisekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeridalam APBN, namun, daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkanPADnya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalampembelanjaan APBD-nya. Sumber-sumber penerimaan daerah yangpotensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridorperaturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranyaadalah pajak daerah dan retribusi daerah yang memang telah sejak lama

    menjadi unsur PAD yang utama.Dalam rangka meningkatkan kemampuankeuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi, Pemerintahmelakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya denganmenetapkan UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.Pemberiankewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, diharapkandapat lebih mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untukmengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah danretribusi daerah. Walaupun baru satu tahun diberlakukannya OtonomiDaerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UUNo.25 Tahun 1999 serta peraturan perundang-undangan pendukung

    lainnya, berbagai macam respon timbul dari daerah-daerah. Diantaranya

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    2/10

    2

    ialah bahwa pemberian keleluasaan yang diberikan kepada PemerintahDaerah untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah dan retribusidaerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 telah memperlihatkan hasilyang menggembirakan yaitu sejumlah daerah berhasil mencapai

    peningkatan PAD-nya secara signifikan.

    Namun, kreativitas Pemerintah Daerah yang berlebihan dan tak terkontroldalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah, akan menimbulkandampak yang merugikan bagimasyarakat dan dunia usaha, yang pada gilirannya menyebabkanekonomi biayatinggi. Oleh karena itu UU No.34 Tahun 2000 tetap memberikan batasankriteria pajak daerah dan retribusi yang dapat dipungut oleh PemerintahDaerah.

    2. PRINSIP DAN KRITERIA PERPAJAKAN DAERAHKebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda, diupayakan tidakberbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai),karena hal tersebut akan menimbulkan duplikasi pungutan yang padaakhirnya akan mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebutsebetulnya sudah diantisipasi dalam UU No.18 Tahun 1997 tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan UU No.34Tahun 2000, dimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) yang antara lainmenyatakan bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajakpusat. Sementara itu, apabila kita perhatikan sistem perpajakan yangdianut oleh banyak negara di dunia, maka prinsip-prinsip umumperpajakan daerah yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harusmemenuhi kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut: prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapatmudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatanmasyarakat. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatankelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiapanggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak. administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung,pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.

    secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasidan kesadaran pribadi untuk membayar pajak. Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutanyang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian.Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatubeban baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajakatau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yangberlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh(dead-weightloss).Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, makaperpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciridimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang,

    adalah sebagai berikut:

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    3/10

    3

    pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandinganantara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkospemungutannya. relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,

    kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurunsecaratajam. tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan(benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

    Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, makapemberian Kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selainmempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secaraumum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatupajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajakyang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalamrangka pembiayaan desentralisasi.

    Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajakharus tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsipajak dapatdikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu : fungsi budgeter danfungsi regulator.

    Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kasnegara yangdigunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alatmengatur untuk mencapai tujuan, misalnya : pajak minuman kerasdimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsiminuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekangpertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka menghindarikelangkaan produk tersebut di dalam negeri.1) Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocokuntuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjaditanggungjawab Pemerintah Pusat.2) Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalumobile. Pajak daerah yang sangat mobileakan mendorong pembayarpajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi kedaerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidakterlalu mobileakan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak

    yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untukalasan ini pajak komsumsi di banyak negara yang diserahkan kepadadaerah hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas(seperti propinsi di Canada). Dengan demikian, basis pajak yang mobilemerupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkatpemerintah yang lebih tinggi (Pusat/Propinsi).3) Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah,seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat.4) Pajak daerah seharusnya visible, dalam arti bahwa pajak seharusnyajelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnyapajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong

    akuntabilitas daerah.

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    4/10

    4

    5) Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada pendudukdaerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajakdengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).6) Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang

    memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasilpenerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnyatidak terlalu berfluktuasi.7) Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudahdiadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensisecara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasijumlah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dankomputerisasi.8) Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakansecukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahankewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang

    manfaatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.

    3. KETENTUAN MENGENAI PUNGUTAN PAJAK DAERAH DANRETRIBUSI DAERAHPengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah danRetribusi Daerah dalam UU No.18 Tahun 1997 selama ini dianggapkurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutanbaru. Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangankepada daerah namun harus ditetapkan dengan PP.Sehingga pada waktu UU No. 18 Tahun 1997 berlaku belum ada satupundaerah yang mengusulkan pungutan baru karena dianggap hal tersebutsulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Perda tentang Pajak Daerahdan Retribusi Daerah harus mendapat pengesahan dari Pusat jugadianggap telah mengurangi otonomi daerah. Dengan diubahnya UU No.18Tahun 1997 menjadi UU No.34 Tahun 2000, diharapkan pajak daerah danretribusi daerah akan menjadi salah satu PAD yang penting gunamembiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentangRetribusi Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yangdipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh

    Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenispajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air(PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diAtas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor(PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah danAir Permukaan (P3ABT & AP). Jenis Pajak Propinsi bersifat limitatif yangberarti Propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telahditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuaidengan kriteria yang ditetapkan dalam UU. Adanya pembatasan jenispajak yang dapat dipungut oleh Propinsi terkait dengan kewenanganPropinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya meliputi

    kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    5/10

    5

    Kabupaten/Kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapatdilaksanakan daerah Kabupaten/Kota, serta kewenangan bidangpemerintahan tertentu. Namun demikian, dalam pelaksanaannya Propinsidapat tidak memungut jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut jika

    dipandang hasilnya kurang memadai. Berkaitan dengan besarnya tarif,berlaku definitif untuk Pajak Propinsi yang ditetapkan secara seragam diseluruh Indonesia dan diatur dalam PP No.65 Tahun 2001. Sementara itu,Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk memungut7 (tujuh) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) PajakHiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) PajakPengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii) Pajak Parkir. Jenis pajakKabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya Kabupaten/Kota diberipeluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yangditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, denganmenetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan

    memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteriadimaksud adalah :a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kotayang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah sertahanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yangbersangkutan;c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengankepentingan umum;d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objekpajak Pusat;e. Potensinya memadai;f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; danh. Menjaga kelestarian lingkungan.

    Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Kabupaten/Kotaditetapkan

    dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarifmaksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanyapemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungutoleh Kabupaten/Kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajakberganda. Dalam rangka pengawasan, Perda-perda tentang pajak danretribusi yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah harus disampaikankepada Pemerintah Pusat paling lambat 15 (lima belas) hari sejakditetapkan. Dalam hal Perda-perda dimaksud bertentangan dengankepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebihtinggi, Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri denganpertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan perda dimaksud

    dalam kurun waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya peraturan dimaksud.

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    6/10

    6

    Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 5A dan pasal 25A UUNo 34 Tahun 2000 juncto Pasal 80 ayat (2) PP No.65 Tahun 2001 danPasal 17 ayat (2) PP No.66 Tahun 2001. Namun demikian, walaupunPerda-perda tersebut sudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat,

    Pemerintah Daerah dapat mengajukan keberatan kepada MahkamahAgung (MA) segera setelah mengajukannya kepada Pemerintahberdasarkan pasal 114 ayat (4) UU No.22 Tahun 1999.

    4. PERANAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DALAMMENDUKUNG PEMBIAYAAN DAERAHPajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerahdan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang pentinguntuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunandaerah. Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam

    kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah,yang merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belummemberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerahsecara keseluruhan. Untuk mengantisipasi desentralisasi dan prosesotonomi daerah, tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masihbelum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaandesentralisasi. Keadaan ini diperlihatkan dalam suatu studi yang dilakukanoleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI4 bahwabanyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggaliandan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh : Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah Berdasarkan UUNo.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untukmenetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteriapengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidakboleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi,diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah danterbatas, sertasifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak inibagi sementar daerah berarti memperkecil kemampuan manuverkeuangan daerah dalammenghadapi krisis ekonomi. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerahSebagianbesar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari segi

    upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangiusaha daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkankemampuan negosiasi daerah terhadap Pusat untuk memperolehtambahan bantuan.

    Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendahHalini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancyyang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem targetdalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebihcondong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    7/10

    7

    ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapatmelampauitarget yang ditetapkan. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah Halini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagidaerah.

    Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluarandaerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10%hingga 50%. Sebagian besar daerah Propinsi hanya dapat membiayaikebutuhanpengeluarannya kurang dari 10%5. Variasi dalam penerimaanini diperparah lagidengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan padadaerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu).Demikian pula, distribusi pajak antardaerah juga sangat timpang karenabasis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi denganterendah mencapai 600).

    Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yangsangat rendah dan bervariasi juga terjadikarena adanya perbedaan yang

    sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampakpada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehinggamengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangatbervariasi. Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidaklepas dari sistem tax assignmentdi Indonesia yang masih memberikankewenangan penuh kepada Pemerintah Pusat untuk mengumpulkanpajak-pajak potensial (yang tentunya dilakukan berdasarkanpertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti : pajak penghasilan, pajakpertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan selama ini menunjukkanbahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerahdan pusat sangattimpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut olehdaerah hanyasebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan PajakDaerah) lihat Tabel-1. Ketimpangan dalam penguasaaansumbersumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwaperimbangankeuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesiadari sisi revenue assignmentmasih terlalu sentralistis.

    5. OPTIMALISASI PUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAHDALAM RANGKA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KEUANGANDAERAHCiri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi

    yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonomharus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiriyang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahandaerahnya. Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimalmungkin, sehingga PAD khususnya pajak dan retribusi daerah harusmenjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakanperimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasardalam sistem pemerintahan negara. Berkaitan dengan hal tersebut,optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkankemampuan keuangan daerah. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan

    ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan.

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    8/10

    8

    Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segeradilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atausumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melaluipemanfaatan teknologi informasi.

    Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau obyekpendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas PAD tanpaharus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yangmemerlukan studi, proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologiinformasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak diperlukankarena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama inicenderung tidak optimal. Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedurpemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistemberjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yangdisampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date. Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak,

    misalnya : baik dalam hal data wajib pajak/retribusi, penetapan jumlahpajak, jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidakoptimal. Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh PemerintahDaerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melaluioptimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah,antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : Memperluas basis penerimaanTindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapatdipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggappotensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensialdan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaikipenilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan. Memperkuat proses pemungutanUpaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaituantara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnyatarif retribusi dan peningkatan SDM. Meningkatkan pengawasanHal ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukanpemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki prosespengawasan, menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksiterhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan

    pelayanan yang diberikan oleh daerah. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutanTindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaikiprosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi pajak,meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebihbaikHal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansiterkait di daerah.Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu melaluikebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan

    yang lebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    9/10

    9

    adanya perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melaluisistem pembagian langsung atau beberapa basis pajak Pemerintah Pusatyang lebih tepat dipungut oleh daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, adagagasan yang berkembang di kalangan para pakar internasional,

    akademisi maupun praktisi di bidang desentralisasi fiskal, untukmenambahkan taxing powerkepada Pemerintah Daerah.

    Hal ini dapat dilihat dari gambaran consolidated revenues APBD danAPBN (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan Dalam Negeridalam APBN), porsi PAD hanya sebesar 5,30% dari total consolidatedrevenues, di lain pihak pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerahsekitar 30% dari consolidatedexpenditures.

    Gambaran porsi PAD terhadap total consolidated revenues yanghanya 5,30% tersebut menunjukkan betapa sentralistisnya sisipenerimaan antara Kabupaten/Kota dan Provinsi di satu pihak dan

    Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN di lain pihak. Sebagaiperbandingan yang sama, masing-masing untuk developing countries,transition countriesdan OECD countriesrata-rata sebesar 9,27%, 16,59%dan 19,13%. Keadaan ini kurang mendukung akuntabilitas daripenggunaan anggaran daerah, dimana keterbatasan dana transfer dariPusat untuk membiayai kebutuhan Daerah idealnya dapat ditutup olehDaerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya.Untuk itu perlu dicarikan upaya untuk meningkatkan taxing powerDaerahantara lain melalui pengalihan sepenuhnya beberapa pajak Pusat kepadaDaerah (artinya daerah sepenuhnya menetapkan basis pajak, tarifmaupun administrasi pemungutannya), pengalihan sebagian PenerimaanNegara Bukan Pajak (PNBP) kepada Daerah dan lain-lain kebijakansharing taxdan piggy backingsystem.

    Kabupaten/Kota perlu diberikan tambahan pendapatan denganmemberikan kewenangan penuh memungut pajak sampai denganbesaran tertentu. PBB dan BPHTB dapat dialihkan menjadi pajak Daerahdan Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan wewenang untuk menetapkandasar pengenaan pajak (tax-base) dan tarif sampai dengan batas tertentuatas kedua jenis pajak tersebut, meskipun untuk sementara waktuadministrasinya akan tetap dilakukan oleh Pemerintah Pusat. PajakPenghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25/Pasal 29 Orang Pribadi yang

    sekarang dibagihasilkan kepada Daerah dapat dialihkan dalam bentukOpsen atau piggy back, dimana Daerah seyogyanya diberikankewenangan mengenakan opsensampai dengan batas tertentu dibawahwewenang penuh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kebijakan ini sekaligusdiharapkan dapat menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumber-sumber PAD yang berdampak distortif terhadap perekonomian.

    suatu proses yang big-bang. Hal ini dapat dilihat dari pergeseranexpenditureassignmentyang dilaksanakan oleh daerah pada tahun 1990-an sebesar 16,59% dati Total Consolidated Expenditure (APBD+APBN)meningkat menjadi 27,78% pada tahun 2001 Berdasarkan uraian tersebutdi atas, penyelenggaraan otonomi daerah akan dapat dilaksanakan

    dengan baik apabila didukung dengan sumber-sumber pembiayaan yang

  • 8/2/2019 OPTIMALISASI PAJAK

    10/10

    10

    memadai. Potensi ekonomi daerah sangat menentukan dalam upayauntuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraanrumah tangganya. Namun demikian, otonomi daerah dalam kerangkaNegara Kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya semata diukur dari

    jumlah PAD yang dapat dicapai tetapi lebih dari itu yaitu sejauh manapajak daerah dan retribusi daerah dapat berperan mengaturperekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh kembang, yang padagilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

    DAFTAR BACAAN

    1. Brennan,Geoffrey dan Buchanan,James(1981), Tax Limits and TheLogicof Constitutional Restriction, dalam Democratic Choice and Taxation A Theoritical and Empirical Analysis, Hettich,Walter andWiner,Stanley,L. Cambridge University Press, hal.20-22.2. LPEM Universitas Indonesia bekerjasama dengan Clean UrbanProject,RTI (1999), Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi TerhadapKeuangan Daerah di Indonesia, Jakarta.3. OECD (1999): Taxing Powers Of State and Local Government,OECD Publication Service, France.4. Republik Indonesia, Undang-undang No.22 Tahun 1999 TentangPemerintah Daerah.5. Republik Indonesia, Undang-undang No.25 Tahun 1999 TentangPerimbangan Keuangan Antara Pusar dan Daerah.6. ,Beberapa Peraturan pelaksanaan dari UU No.22Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999.7. Republik Indonesia, Undang-undang No.34 Tahun 2000 TentangPajak Daerah dan Retribusi Daerah.8. Republik Indonesia, Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran2001,.9. Ter-Minassian,Teresa (1997), Fiscal Federalism in Theory and

    Practice, International Monetary Fund, Washington.