oleh nofianita wahperbandingan puisi dalam kumpulan kidung lingsir wengi terhadap puisi berbahasa...

Upload: nofianita-wahyuni

Post on 05-Oct-2015

76 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kajian sastra bandingan

TRANSCRIPT

PERBANDINGAN PUISI DALAM KUMPULAN KIDUNG LINGSIR WENGI TERHADAP PUISI BERBAHASA INDONESIAOleh Nofianita WahyuniAbstrak

Letak Indonesia yang menyebabkan adanya musim penghujan sedikit banyak berpengaruh terhadap hasil karya penyair. Beberapa penyair Indonesia telah mengahasilkan produk dengan objek hujan. Letak geografis yang sama pula telah mendorong penyair yang telah menicipi manis asamnya Surabaya mencipta puisi bertema Surabaya. Banyaknya puisi yang lahir dengan tema yang sama menjadi menarik untuk diteiti. Melalui kajian sastra bandingan, persaamaan tersebut dapat dikaji. Penelitian ini akan membandingkan 2 puisi berbahasa Jawa dengan 4 puisi berbahasa Indonesia. Puisi yang dibandingkan adalah Udan Riwis-riwis Kenya Manis dengan Hujan dalam Komposisi, 2, Hujan Kecil dan Surabaya dengan Surabaya I*, Surabaya II* . Keenam puisi tersebut memiliki beberapaa persamaan dan perbedaan.Kata Kunci: Letak geografis, puisi, sastraa bandinganPENDAHULUAN

Puisi adalah hasil ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama (Pradopo, 2012:7). Teori mimetik yang disampaikan oleh Abrams (1976: 8) mengatakan bahwa dalam sebuah karya sastra terdapat cerminan apa yang ada dalam realita. Berangkat dari pendapat tersebut, puisi sebagai produk karya sastra tak ubahnya cuplikan kehidupan nyata. Apa yang terjadi di sekitar penyair mampu memberikan inspirasi bagi penyair. Oleh karena itu, tak jarang beberapa karya sastra baik itu puisi, novel, cerpen, ataupun prosa memiliki kemiripan satu sama lain.Kesamaan yang terjadi antarkarya sastra dapat dikaji melalui kajian sastra bandingan. Menurut Nada, sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian mengenai sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, apa yang telah diambil oleh suatu sastra, dan apa pula yang telah disumbangkannya. Menurutnya, kajian yang hanya menyangkut satu bahasa tidak dapat disebut sastra bandingan (dalam Damono, 2005:4). Dengan kata lain, syarat kajian sastra bandingan adalah perbedaan bahasa.Objek penelitian sastra bandingan ini adalah puisi berbahasa Jawa dan Indonesia. Puisi berbahasa Jawa atau lebih dikenal sebagai geguritan merupakan objek utama kajian sedangkan pembandingnya adalah puisi berbahasa Indonesia. Diambil 2 puisi dari kumpulan geguritan karya Suharmono K yang berjudul Udan Riwis-riwis Kenya Manis dan Surabaya. Puisi bahasa Indonesia diambil dari karya Aming Aminoedhin, Sapardi Djoko Damono, dan Joko Pinurbo dengan judul Surabaya I*, Surabaya II*, Hujan dalam Komposisi, 2, dan Hujan Kecil. Udan Riwis-riwis Kenya Manis dan Surabaya diambil dari kumpulan geguritan Kidung Lingsir Wengi yang diterbitkan oleh Sarana Pustaka Jawa tahun 2013. Surabaya I* dan II* merupakan puisi terbitan Forum Sastra Bersama Surabaya tahun 2011 dengan judul kumpulan puisi Surabaya Musim Kemarau. Hujan dalam Komposisi, 2 terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 2013. Pada tahun yang sama Gramedia Pustaka Utama juga menerbitkan Baju Bulan yang di dalamnya terdapat puisi Hujan Kecil.Setelah dilakukan pembacaan terhadap puisi-puisi tersebut, terdapat beberapa kesamaan antara puisi Udan Riwis-riwis Kenya Manis dengan Hujan dalam Komposisi, 2, Hujan Kecil dan Surabaya dengan Surabaya I*, Surabaya II*. Kesamaan yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor geografis, faktor perkembangan masyarakat dan peristiwa besar seperti perang, dan faktor kesamaan otak manusia dalam merespons pengalaman yang jenisnya sama (Damono,2005:24-25). Kesamaan-kesamaan itulah yang menjadi dasar kajian ini.PEMBAHASAN

Menurut Remark, sastra bandingan merupakan kajian-kajian karya sastra di luar batas negara, mencakup hubungan karya sastra dengan karya sastra/ karya sastra dengan bidang ilmu/ karya lain seperti seni (seni rupa, seni musik, seni tari) sejarah, filsafat, politik, ekonomi, sosiologi, psikologi, agama, dan lain-lain. Jadi sastra bandingan bertujuan membandingkan karya sastra dengan bidang lain sebagai ungkapan kehidupan (Clements dalam Noor, 2006:1).

Menurut Damono, kajian sastra bandingan lebih ditujukan pada studi sastra yang melampaui batas-batas kebudayaan dan yang menjadi hal penting adalah bahwa karya sastra yang dikaji itu masih dalam bahasa aslinya sebab kekhasan karya sastra itu terdapat pada bahasanya. Dalam kegiatan membandingkan dua karya sastra, kajian sastra bandingan mempelajari berbagai macam persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam karya sastra yang dibandingkan. Salah satunya adalah mencari persamaan dan perbedaan mengenai struktur cerita dalam karya-karya tersebut. Yang menjadi hal penting adalah bahwa karya sastra yang dikaji itu masih dalam bahasa aslinya sebab kekhasan karya sastra itu terdapat pada bahasanya (2005:5).Dari beberapa ulasan di atas, disimpulkan bahwa bahasa merupakan inti perbedaan kajian sastra bandingan. Sebuah kajian tidak dapat disebut kajian sastra bandingan jika yang dibandingkan dan pembandingnya menggunakan bahasa yang sama. Meskipun bahasa Jawa berada di bawah naungan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, tetap saja bahasa Jawa merupakan bahasa yang berlainan dengan bahasa Indonesia. Berangkat dari pendapat tersebut, karya sastra berbahasa Indonesia dan Jawa dapat dibandingkan dalam wadah kajian sastra bandingan.Unsur-unsur yang dibandingkan dalam karya sastra ini adalah unsur intrinsik dan pemikiran penyair dalam memandang suatu hal. Lebih lanjut, penelitian bandingan ini akan melihat bagaimana penyair mempresentasikan pikirannya melalui karya sastra berbentuk puisi.Perbandingan Unsur Intrinsik Udan Riwis-riwis Kenya ManisIndonesia sebagai negara beriklim tropis memiliki dua macam musim, musim penghujan dan kemarau. Sebagai penduduk Indonesia, Suharmono K, Sapardi Djoko Damono, dan Joko Pinurbo tentu merasakan dua macam musim ini. Seperti yang dikemukakan bahwa dalam sebuah karya sastra terdapat cerminan apa yang ada dalam realita. Maka dapat dikatakan bahwa karya yang diciptakan penyair dapat dianggap sebagai representasi dari dunia nyata. Tak ayal mereka pun menciptakan karya sastra yang mengangkat tema yang sama, yaitu hujan.Puisi memiliki 3 unsur pokok. Pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide, atau emosi; kedua, bentuknya; dan yang ketiga ialah kesannya. Semuanya itu terungkap dengan media bahasa (Pradopo, 2012:7). Tak dapat dipungkiri penggunaan bahasa bekaitan dengan kata. Kata merupakan nyawa sebuah bahasa. Untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenbern dalam Pradoppo, 2012:54). Meskipun terdapat beberapa unsur dalam puisi, tetapi yang paling relevan untuk dibandingkan adalah ide (tema) dan pilihan kata (diksi).

Diksi hujan sebagai representasi judul puisi jelas terdapat dalam puisi tersebut, walaupun tidak terdapat dalam tiap baris. Pada puisi Udan Riwis-riwis Kenya Manis ditemukan diksi hujan sebanyak 1 kali. Diksi tersebut muncul pada baris ke-6 dari 9 baris.udan riwis-riwis kenya manis ( Suharmono, 2013:11)

(hujan rintik-rintik gadis manis)Selain diksi hujan, juga terdapat diksi yang mengandung unsur hujan, yaitu gerimis. Gerimis merupakan hujan yang turun dengan intensitas rendahrintik-rintik.lagu grimis lagune wanita ketaman brangta (Suharmono, 2013:11)

(lagu gerimis lagu wanita yang kasmaran)Dalam puisi Hujan dalam Komposisi, 2 ditemukan 3 diksi hujan. Diksi tersebut ditemukan dalam baris ke-1, ke-7, dan ke-12 dari 13 baris.Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. (Damono, 2013:37)Ditemukan 3 kata hujan dalam puisi Hujan Kecil karya Joko Pinurbo. Kata-kata tersebut terdapat dalam baris ke-1, ke-2, dan ke-6 dari 6 baris.Hujan tumbuh di kepalaku.

Hujan penyegar waktu.

Hujan masa kecil. (Pinurbo, 2013:71)

Kemunculan diksi hujan dipengaruhi oleh pandangan penyair terhadap hujan. Diksi hujan dalam Hujan Kecil muncul secara merata dalam keseluruhan baris. Sedangkan puisi Udan Riwis-riwis Kenya Manis dan Hujan dalam komposisi, 2 hanya memuat beberapa diksi hujan di keseluruhan baris. Dari keseluruhan baris, persentase penggunaan diksi hujan dalam Udan Riwis-riwis Kenya Manis, Hujan dalam Komposisi, 2, dan Hujan Kecil masing-masing adalah 11,11 %, 23,08%, 50%.Perbandingan Unsur Intrinsik SurabayaDarmono mengatakan bahwa situasi geografis yang mirip cenderung menghasilkan bentuk dan tema karya sastra yang mirip pula sebab faktor geografis adalah komponen paling penting dalam pembentukan kebudayaan. Berangkat dari pendapat ini Aming Aminoedhin pun menciptakan puisi yang sama dengan Suharmono K yang bertema Surabaya. Mengingat Aminoedhin dan Suharmono berdomisili di kota yang sama yaitu Surabaya.Tema mayor adalah permasalahan dominan yang menjiwai cerita. Dalam kajian puisi ini yang menjadi tema mayor adalah Surabaya. Kemunculan kata surabaya diasumsikan sebagai representasi tema Surabaya. Dalam puisi Suharmono K berjudul Surabaya ditemukan sejumlah 6 kata Surabaya. Kata-kata tersebut muncul pada ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-6 dari 34 baris. Selain kata Surabaya yang implisit disebutkan, juga terdapat kata-kata yang secara eksplisit berhubungan dengan surabaya seperti, Tambaksari, Cak Durasim, Asem Rawa, Tugu Pahlawan, Kali Mas, Jembatan Merah, Lonthong Balap, Rujak Cingur, Semanggi, dan Driyorejo.surabaya, aku wus kesasar ing kampung bogen

surabaya, aku wedhi kali

surabaya, ing endi dununge rumah sakit simpang singbiyen

surabaya aku lan pena

surabaya kanggo sapa

surabaya kanggo apa (Suharmono, 2013:52-53)

(surabaya, aku telah tersesat di kampung bogen

surabaya, aku takut sungai

surabaya, di mana letaknya rumah sakit simpang yang dulu

surabaya aku dan kamu

surabaya untuk siapa

surabaya untuk siapa)

Jika dalam puisi Suharmono K terdapat 6 kata hujan, puisi Surabaya II* memiliki 9 kata surabaya dari 37 baris yang ada. Kata-kata tersebut terdapat pada baris ke-1, ke-13, ke-18, ke-25, ke-28, dan ke-36.apa yang harus kutulis tentang surabaya

surabaya surabaya

surabaya surabaya

surabaya surabaya

surabaya musim kemarau

surabaya musim kemarau (Aminoedhin, 2011)

Berbeda dengan puisi Aminoedhin sebelumnya, puisi Surabaya I* tidak mencantumkan kata surabaya sedikit pun kecuali judulnya saja. Meskipun begitu, puisi ini tetap mewadahi hal-hal yang berbau kota metropolitan khas Surabaya, seperti, lampu-lampu iklan, plaza-plaza, dan bus kota.lewat lampu-lampu iklan

yang gemerlap tinggi mencuat

orang-orang dimuntahkan oleh bis-kota

dan plaza-plaza bertingkat, dan (Aminoedhin, 2011)Perbedaan kuantitas kata surabaya dalam tiap puisi dipengaruhi oleh pikiran penyair yang berbeda-beda. Jika dibandingkan, persentase kemunculan kata surabaya dalam puisi Surabaya, Surabaya I*, dan Surabaya II* adalah 17,65%, 0%, dan 16,22%.

Perbandingan Pemikiran Penyair terhadap Hujan dalam Puisi Udan Riwis-riwis Kenya Manis, Hujan Kecil, dan Hujan Dalam Komposisi, 2

Penyair sebagai pengamat lingkungan dapat menyerap apa yang dilihat, dirasakan kemudian dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Hujan sebagai sebuah gejala alam tak lepas dari mata jeli penyair. Ia sangat sering dijadikan objek penyair dalam karyanya. Ia merupakan inspirasi yang sediki banyak mengilhami penyair dalam memproduksi karya sastra. Tak terkecuali penyair Indonesia seperti Suharmono, Sapardi, Joko Pinurbo, dan Aming Aminoedhin. Udan Riwis-riwis Kenya Manis, Hujan Kecil, dan Hujan Dalam Komposisi, 2 merupakan beberapa produk yang terinspirasi oleh hujan. Meskipun diangkat dari ide yang samahujan, penyair memiliki pandangan yang berbed-beda. Tiap penyair punya pandangan tersendiri dalam memaknai fenomena alam tersebut.

Hujan dalam Udan Riwis-riwis Kenya Manis tidak secara gamblang dijelaskan sebagai sebuah fenomena. Ia lebih dimaknai sebagai penyebab. Dalam puisi tersebut hujan turun dengan intensitas sedang sehingga menciptakan suasaana yang sejuk dan tentram. Suasana menyenangkan yang tercipta sangat cocok digunakan untuk belajar. Pikiran dapat jernih jika disandingkan dengan suasana yang menyejukkan hati. Oleh penyair, kesempatan ini digunakan untuk membaca syair-syair karya pujangga.

udan riwis-riwis kenya manis

adheme ora sepiraatutupen jendhela kacabanjur semaken rontal-rontal karya pujangga (Suharmono, 2013:15)

(hujan rintik-rintik gadis manis

dinginnya tak seberapatutuplah jendela kacalalu simaklah syair-syair karya pujangga)

Sama halnya dengan Suharmono, Joko Pinurbo melalui Hujan Kecil juga memaknai hujan sebagai penyebab. Bedanya, hujan yang turun menyebabkan penyair mengingat masa kecilnya.Hujan masa kecil (Pinurbo, 2013:71)

Meskipun hanya secara eksplisit disebutkan, melalui cupikan tersebut dapat dilihat bahwa hujan menjelma sebagai lorong waktu yang membawa penyair ke masa lalunya. Perbedaan lain yang telihat jika dibandingkan dengan Suharmono ialah deskripsi tentang hujan. Joko Pinurbo sempat menggambarkan hujan yang ia lihat. Bagaimana intensitasnya, bentuknya dan kemudian iringannya yaitu petir yang menyambar kecil-kecil.

Memancur kecil-kecil.Mericik kecil-kecil.

Dihiasi petir kecil-kecil. (Pinurbo, 2013:71)

Hal berbeda ditunjukkan oleh Sapardi Djoko Damono. Ia sama sekali tidak memandang hujan sebagai penyebab tetapi lebih sebagai benda mati yang tidak diharapkan mampu melakukan sesuatu. Sapardi Djoko Damono melihat hujan murni sebagai sebuah fenomena alam. Karena murni memandang sebagai produk alam, ia mendeskripsikan bagaimana terjadinya hujan, bagaimana ia sampai ke bumi. Sama halnya dengan Joko Pinurbo yang juga menggambarkan bentuk hujan, bedanya Sapardi menggambarkan dengan lebih gamblang.Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin;

kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan

menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,

melenting di atas genting,tumpah dipekarangan rumah,

dan kembali ke bumi. (Damono, 2013:37)

Perbandingan Pemikiran Penyair terhadap Surabaya dalam Puisi Surabaya, Surabaya I*, dan Surabaya II*

Surabaya merupakan nama kotamadya Jawa Timur. Banyak penyair yang tumbuh ataupun menetap di kota ini, salah duanya yaitu Suharmono dan Aming Aminoedhin. Meskipun bukan kelahiran Surabaya, mereka punya kesan tersendiri tentang kota ini. Sedikit banyak mereka melihat dan ikut merasakan napas kota ini bahkan sudah mengendap menjadi sebuah ingatan. Endapan pemikiran inilah yang mendorong penyair mencipta puisi dengan tema Surabaya.

Seiring perkembangan zaman, Surabaya telah berubah menjadi kota metropolitan. Sebanyak 79,66% dari 374,8 km2 lahan kota telah beralih fungsi menjadi lahan komersil seperti plaza, apartemen, perumahan, supermarket, dan lain sebagainya. Melihat perubahan inilah penyair yang pernah mencicipi Surabaya terilhami untuk menciptakan puisi. Meskipun bertolok dari insprasi yang sama, penyair menyajikan isi yang berbeda. Perbedaan ini dapat diliihat dari perubahan-perubahan yang menjadi sorotan masing-masing penyair.Suharmono misalnya, ia berusaha memfokuskan cerita pada perubahan tempat yang menjadi ciri khas Surabaya. Ia menceritakan bahwa gedung-gedung tinggi mulai menenggelamkan monumen kebanggaan masyarakat Surabaya. Masa kejayaan Kali Mas sebagai pusat perdagangan sudah berakhir. Jembatan merah yang dulu digunakan orang berjualan makanan asli Surabaya, lontong balap, rujak cingur, semanggi sudah tak terlihat lagi. Rumah sakit di simpang lima yang dulu digunakan untuk menimpan jenazah korban perjuangan pun telah roboh digantikan gedung-gedung baru yan menjulang. Secara spesifik ia mendeskripsikan nama bangunan, tempat yang telah tergerus zaman.kang banjur nyangga gedhong-gedhongnggayuh langit sundhul ngawiyattugu pahlawan mung katon pucukekasaput gebyare jamanprahu-prahu ing kali mas wus padha kandhas (Suharmono, 2013:52)(kemudian menyangga gedung-gedung

meraih langit menyentuh yang tidak berbatastugu pahlawan hanya tinggal pucuknya

tersapu gebyar zaman

perah-perahu di kali mas sudah kandas semua)Aming Aminoedhin juga menyoroti hal yang sama dengan Suharmono yaitu perubahan Surabaya. Perbedaannya terletak dari masalah yang disoroti. Aming dalam puisi Surabaya I* lebih menyoroti perubahan pasar tradisional. Pasar tradisional kini terancam eksistensinya oleh pusat perbelanjaan modern. Banyak penduduk Surabaya yang mulai meninggalkan pasar dan beralih ke plaza. Plaza dianggap lebih mewakili sifat kekinian. Selain itu juga, kenyamanan yang tidak bisa didapatkan di pasar dapat didapatkan di plaza modern. Selain menyoroti perubahan pasar, Aming juga mengekspos perubahan gaya hidup masyarakat. Dulu, masyarakat Surabaya sangat rajin pergi ke rumah peribadatan. Tetapi setelah bermunculan plaza modern, masyarakat mulai meninggalkan rumah peribadatan dan beralih mengunjungi plaza. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat religiusitas masyarakat Surabaya.plaza-plaza bertingkat

kian semakin padat pengunjung

rumah-rumah ibadat

semakin kehilangan juntrung

oleh penghujung (Aminoedhin, 2011)Dalam puisi Surabaya II*, Aming juga menyoroti perubahan kota. Ia lebih memfokuskan sorotana pada keadaan kota yangg berubah, seperti jalannya, cuacanya. Suarabaya kini menjelma menjadi kota yang panas dan gerah. Panas dan gerah yang tercipta tak lain sedikit banyak dipengaruhi paru-paru kota yang semakin menipis. Semakin melenggangnya jalan protokol menyebabkan bertambahnya kendaraan bermotor. Hal ini juga menyumbang peningkatan suhu di Surabaya. Selain itu, Surabaya era modern telah dipenuhi lampu-lampu iklan. Seperti puisi sebelumnya, ia juga menyoroti masalah gaya hidup masyarakat Surabaya. Sekarang ini sangat susah membedakan antara wanitaa dan pelacur, lelaki dan hidung belang. Jika dahulu wanita memiliki batasan tertentu, sekarang batasan itu telah terlampaui. Makna pelacur dan wanita sesungguhnya telah kabur.pada sudut-sudut kota

semakin pula sulit membedakan

antara waria dan kupu-kupu malam

antara tante girang dan lelaki

hidung belang (Aminoedhin, 2011)SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpullkan bahwa terdapat kesamaan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam Udan Riwis-riwis Kenya Manis, Surabaya, Surabaya I*, Surabaya II*, Hujan dalam Komposisi, 2, dan Hujan Kecil. Kesamaan unsur intrinsik terletak pada kesamaan tema dan pilihan kata. Objek kajian yag dijadikan tema secara keseluruhan hampir sama. Perbedaan yang mencolok terletak pada pengembangan tema dan cara pandang masing-masing penyair dalam mengebangkan tema tersebut. Secara keseluruhan, faktor geografislah (karena penyair tinggal di negara yang sama) yang paling menonjol mnyebabkan adanya kesamaan pengangkatan tema.DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1976. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. London: Oxford University Press.Aminoedhin, Aming. 2011. Surabaya Musim Kemarau. Surabaya: Forum Sastra Bersama Surabaya.Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

___________________. 2013. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suharmono. 2013. Kidung Lingsir Wengi. Lamongan: Sarana Pustaka Jawa.

Noor, Redyanto. 2006. Sastra Dunia (Sastra Bandingan). Diktat Kuliah Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.Pinurbo, Joko. 2013. Baju Bulan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.