oleh: aldian harikhman 0921211038 filegugatan perwakilan kelompok pada intinya adalah gugatan...
TRANSCRIPT
GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI PADANG
Artikel Penelitian
Oleh: ALDIAN HARIKHMAN
0921211038
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2012
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya,
sehingga penulis akhirnyadapat menyelesaikan artikel yang sangat sederhana ini dari
hasil penelitian yang berjudul “Gugatan Perwakilan Kelompok dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Padang”.
Sepenuhnya penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan dan banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis sangat
mengharapkan sekali kritik dan saran guna kesempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kalangan akademis
sebagai tambahan pengetahuan dan masukan bagi pihak-pihak yang terkait.
Padang, 21 Februari 2012
Penulis
ALDIAN HARIKHMAN 0921211038
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………...1
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..2
ABSTRAK …………………………………………………………………………..3
A. Latar Belakang ……………………………………………………………3
B. Perumusan Masalah ………………………………………………………6
C. Tinjauan Pustaka ………….……………………………………………...6
D. Pembahasan ……………………………………………………………….7
1. Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Padang …………………...7
2. Efektivitas dan Efesiensi Gugatan Perwakilan Kelompok dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Padang …..18
3. Kendala dalam Pelaksanaan Gugatan Perwakilan Kelompok dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Padang …..25
E. Kesimpulan dan Saran ………………………………………………….30
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
3
GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI PADANG
Oleh: Aldian Harikhman
Dibawah Bimbingan: Dr. Kurnia Warman, SH. M.Hum dan Bachtiar Abna, SH. SU
ABSTRAK
Penyelesaian pelanggaran hukum atau sengketa yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan masal terhadap orang banyak, yang memiliki fakta dasar hukum, dan tergugat yang sama dapat diajukan melalui gugatan perwakilan kelompok, dengan demikian bahwa untuk kepentingan efektivitas dan efesiensi berperkara akan tercapai. Kendatipun di Indonesia pemahaman konsep ini masih terbilang baru, dalam pelaksanaannya praktisi hukum maupun penegak hukum di Indonesia, termasuk hakim memiliki pemahaman yang tidak sama tentang aspek teknis dari penerapan prosedur ini. Sebagai contoh hal gugatan perbuatan melawan hukum dengan mekanisme gugatan perwakilan kelompok dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Padang.
Kata Kunci : Gugatan Perwakilan Kelompok, Penyelesaian Sengketa, Efektivitas, Efesiensi, Pengadilan Negeri Padang.
A. Latar Belakang.
Selain penegakan hukum di luar pengadilan, pihak yang merasa dilanggar
haknya dapat pula memilih alternatif penyelesaian sengketa, dengan mengajukan
tuntutan hak melalui pengadilan. Hak-hak masyarakat yang diatur dan dilindungi
oleh hukum harus dijamin pemenuhannya. Pihak yang dilanggar haknya harus
dilindungi oleh hukum1. Untuk jaminan pemenuhan hak tersebut diperlukan suatu
hukum acara mengatur tentang bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum
materil.
Hukum acara perdata yang berlaku, baik dalam HIR (Het Herziene
Indonesisch Reglement), maupun Rbg telah memberikan sarana bagi setiap orang
yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntut haknya melalui pengadilan,
namun akan sulit diterapkan jika jumlah korban atau yang dirugikan sedemikian
banyak padahal hak masyarakat yang dirugikan tersebut harus ditegakan dan
1 E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan &
Penerapan Di Indonesia), Universitas Admajaya, Yogyakarta, 2002, hlm 1.
4
dijamin pemenuhannya. Kalau korbannya hanya beberapa orang, maka secara
teknis masih memungkinkannya untuk mengajukan gugatan perdata dengan acara
yang biasa kita kenal melalui pengadilan negeri setempat. Secara teknis sangatlah
tidak efektif dan efesien penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan secara
serentak atau sekaligus dan masal terhadap orang banyak, yang memiliki fakta
dasar hukum, dan tergugat yang sama diajukan serta diselesaikan sendiri-sendiri
atau bersama-sama dalam satu gugatan. Dengan demikian bahwa untuk
kepentingan efesiensi dan efektifitas berperkara, tuntutan hak dapat dilakukan
dengan mengajukan gugatan perwakilan kelompok.
Gugatan perwakilan kelompok pada intinya adalah gugatan perdata
(biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang
diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak misalnya satu
atau dua orang) sebagai perwakilan kelas (class representative) mewakili
kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang
lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang tersebut diistilahkan
sebagai class members”2. Melalui mekanisme gugatan perwakilan kelompok
sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, maka masyarakat yang semula
terhalang untuk menuntut haknya karena faktor biaya, dapat menuntut haknya.
Jaminan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan juga akan memberikan
akses yang lebih besar bagi masyarakat yang ingin menuntut ganti kerugian
melalui pengadilan sebagaimana prinsip peradilan yang diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Di Indonesia aturan hukum positifnya baru mengakui gugatan perwakilan
kelompok setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang pada saat ini Undang-
undang tersebut telah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Meskipun
belum adanya aturan hukum yang mengatur hukum acara gugatan perwakilan
kelompok, namun gugatan perwakilan kelompok sudah pernah dipraktikan dalam
peradilan Indonesia. Setelah pengakuan gugatan perwakilan kelompok pada
2 Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk
Pengacara X, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005, hlm 1.
5
tahun 1997, gugatan secara perwakilan kelompok menjadi sering digunakan oleh
para pencari keadilan antara lain3.
Hal tersebut menandai bahwa mendesaknya kebutuhan masyarakat akan
gugatan perwakilan kelompok. Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan praktik
terhadap adanya suatu aturan tentang prosedur gugatan perwakilan kelompok
maka, pada tanggal 26 April 2002 ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Kendatipun Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan PERMA
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, di
Indonesia pemahaman konsep ini (gugatan perwakilan kelompok) masih terbilang
baru. Namun di sisi lain terdapat keinginan yang sangat besar dari masyarakat
untuk menggunakan prosedur ini dalam kasus-kasus publik karena PERMA
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 hanya mengatur tata cara pengajuan
gugatan perwakilan kelompok tanpa menyebutkan substansi perkara. Hal tersebut
dikuatkan oleh Susanti Adi Nugroho, maka seyogianya PERMA ini dapat
diajukan terhadap substansi perkara apapun juga, asal saja memenuhi persyaratan
gugatan perwakilan kelompok”4.
Dalam pelaksanaannya, praktisi hukum maupun penegak hukum di
Indonesia, termasuk hakim memiliki pemahaman yang tidak sama tentang aspek
teknis dari penerapan prosedur ini. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus
yang menggunakan prosedur gugatan perwakilan kelompok dimana kasus-kasus
tersebut kebanyakan kandas di pengadilan tak terkecuali pada Pengadilan Negeri
Padang. Di Pengadilan Negeri Padang, Gugatan perwakilan kelompok diajukan
oleh penggugat H. Rizal Mudasir wakil kelas No.1 dan Irwan Syofyan, SH wakil
kelas No.2, mereka diwakili oleh kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Padang yang dalam hal ini mengajukan gugatan perwakilan kelompok
kepada atau yang dikenal dengan istilah berlawan dengan Pemerintah Daerah
Kota Padang, Dewan Perwakilan Raktyat (DPRD) Kota Padang, PT. Cahaya
Sumbar Raya Padang, dan PT. Nidya Karya. Gugatan perwakilan kelompok
tersebut mewakili ± 7.000 pedagang akibat tindakan para tergugat dalam
pembangunan pusat pemberlanjaan moderen “Sentral Pasar Raya” (SPR) yang
3 Emerson Yuntho, Op. Cit, hlm 17-18. 4 Susanti Adi Nugroho, Refleksi; Praktik Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) di
Indonesia, Mahkamah Agung RI, 2002, hlm 15.
6
mana pembangunan tersebut dianggap memberikan kerugian materil oleh dan
kepada pedagang sebesar Rp. 22.300.000 perharinya dan juga merasakan
kerugian inmateril berupa kesedihan, kecemasan, ketakutan, ketidaaknyamanan
yang tidak biasa dinominalkan dengan rupiah dan kerugian-kerugian lain yang
akan timbul akibat pembangunan tersebut.
Langkah pengajuan gugatan tersebut dianggap memiliki keunggulan
ketimbang dengan konsep unjuk rasa yang beresiko tinggi akan perbuatan anarkis
dan tidak selamanya menyelesaikan konflik menuju perbaikan terhadap pejabat
pengambil kebijakan maupun aparat penegak hukum. Namun upaya gugatan
perwakilan kelompok tersebut kembali kandas karena hakim dalam amar
putusannya menyatakan gugatan para penggugat dengan mekanisme gugatan
perwakilan kelompok tidak sah. Hal inilah yang mendorong penulis untuk
mengadakan penelitian dalam rangka penyusunan sebuah tesis dengan judul
“Gugatan Perwakilan Kelompok Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Di
Pengadilan Negeri Padang”. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode
yuridis sosiologis (socio legal research), yaitu merupakan penelitian empiris
yang berusaha memaparkan segala fakta dan gejala, sehubungan dengan gugatan
perwakilan kelompok sebagai dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan
Negeri Padang. Disamping itu penelitian ini bersifat deskriptif guna memaparkan
semua gejala dan fakta sehubungan dengan permasalahan dan penerapan hukum
di lapangan yang dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang menjadi kajian
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah proses gugatan perwakilan kelompok dalam penyelesaian
sengketa perdata di Pengadian Negeri Padang?
2. Bagaimanakah efektivitas dan efesiensi gugatan perwakilan kelompok dalam
penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Padang?
3. Apasajakah kendala dalam pelaksanaan gugatan perwakilan kelompok dalam
penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Padang?
C. Tinjauan Pustaka.
Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan,
dalam mana satu atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kesamaan fakta atau
7
dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud (PERMA
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, dalam Pasal
1 sub a).
Adapun persyaratan mengajukan gugatan perwakilan kelompok yaitu: 5
1. Adanya sejumlah anggota yang besar (Numerosity).
2. Adanya kesamaan(Commonality).
3. Tuntutan yang sejenis (Typicality).
4. Wakil kelompok yang jujur (Adequacy of Representatition).
Pada prinsipnya gugatan perwakilan kelompok merupakan suatu cara untuk
memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang
dilanggar melalui jalur keperdataan. Seperti di negara-negara lainnya yang telah
mempunyai prosedur gugatan perwakilan kelompok pada umumnya memiliki
tujuan dan manfaat yang sama, yaitu:
1. Agar supaya proses berperkara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien.
2. Mencegah pengulangan proses perkara yang sama, dan mencegah putusan-
putusan yang berbeda satu dengan yang lainnya ataupun putusan-putusan
yang tidak konsisten.
3. Memberikan akses kepada keadilan, dan mengurangi hambatan-hambatan
yang terjadi bagi penggugat individual yang pada umumnya berposisi lebih
lemah.
4. Merubah sikap pelaku pelanggaran/tergugat dengan diterapkannya prosedur
gugatan perwakilan kelompok berarti memberikan akses yang lebih luas bagi
para pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan biaya yang lebih
efisien, dan kemudian akan berpeluang untuk menumbuhkan sikap jera bagi
mereka yang berpotensi untuk merugikan kepentingan masyarakat yang luas.
D. Pembahasan.
1. Proses Gugatan Perwakilan Kelompok dalam Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan Negeri Padang.
Di Pengadilan Negeri Padang, gugatan dengan menggunakan
prosedur ini masih terbilang baru, hal tersebut dapat dilihat pada register
perkara. Tercatat dalam perkara Nomor: 43/PDT.G/2005/PN.PDG. Adapun
5 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit, hlm 69
8
proses gugatan perwakilan kelompok tersebut dilakukan melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
a. Perencanaan Gugatan Perwakilan Kelompok.
Sebelum dimasukannya gugatan perwakilan kelompok terlebih
dahulu perlu suatu tahap perencanaan, dengan demikian suatu
perencanaan gugatan tersebut perlu diketahui fakta-fakta yang kemudian
menjadi alasan/dasar untuk mengajukan suatu gugatan dengan
mekanisme gugatan perwakilan kelompok sehingga akan membantu
dalam penyusunan gugatan perwakilan kelompok. LBH Padang dengan
memperhatikan fakta-fakta, melalui tim advokatnya merencanakan dan
mendiskusikan dengan pedagang pasar raya tersebut untuk menggugat
pihak-pihak yang terkait dengan pembangunan Pusat Perbelanjaan
Modern SPR. Dari hasil diskusi tersebut sampai pada suatu kesepakatan
untuk memberikan akses keadilan kepada para pedagang yang umumnya
pada posisi lemah dan sangat tidak praktis diajukan secara sendiri-
sendiri maka, penggugat cukup diwakilkan oleh H. Irzal Mudasir
bersama Irwan Syofyan, S.H. (selaku Ketua dan sekretaris Kesatuan
Pedagang Pasar (KPP) dengan menggunakan mekanisme gugatan
perwakilan kelompok6. perlu di perhatikan sesuai dengan ketentuan
Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok bahwa untuk mewakili kepentingan hukum
anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh
surat kuasa khusus dari anggota kelompok.
b. Penyusunan Gugatan Perwakilan Kelompok.
Pada tahap ini dalam penyusunan gugatan perwakilan kelompok,
selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan
yang diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku seperti
mencantumkan identitas dari pada para pihak, dalil-dalil konkrit tentang
adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari
pada tuntutan (fundamentum petendi) dan tuntutan, surat gugatan
perwakilan kelompok harus memuat hal-hal sebagai berikut (Pasal 3
6 Wawancara dengan Bapak Kautsar, Kuasa Hukum dari Penggugat dalam Perkara Perdata
Nomor: 43/Pdt.G/2005/PN.PDG, Tanggal 10 Oktober 2011.
9
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok):
1) Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok.
Dalam hal gugatan ini untuk menjadi wakil kelompok tidak
diisyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota
kelompok. Gugatan perbuatan melawan hukum dengan mekanisme
gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri Padang selaku
wakil kelompok adalah:
a) H. Irzal Mudasir, Ketua Kesatuan Pedagang Pasar (KPP)
Padang, 52 Tahun, Laki-laki, Wiraswasta, alamat Komplek
PGRI No. 2 A RT 002 RW 001 Nanggalo Padang (Wakil Kelas
No. 1).
b) Irwan Syofyan, S.H., Sekretaris Kesatuan Pedagang Pasar
(KPP) Padang, 42 Tahun, Laki-laki, Wiraswasta, alamat Jl. M.
Yamin S.H. No. 108 Kampung Jao Padang (Wakil Kelas No.
2).
2) Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa
menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.
Perihal gugatan perbuatan melawan hukum dengan mekanisme
gugatan perwakilan kelompok yang diajukan oleh advokat yang
tergabung di LBH padang selaku kuasa hukum, defenisi kelompok
yang dimaksud adalah seluruh pedagang yang tergabung dalam KPP
Padang yang terdiri dari beberapa Organisai Sejenis (OSP) di lokasi
komplek pertokoan Blok A s/d F, Duta Merlin, Fase VII dan Koppas
Plaza.
3) Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam
kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
Dalam kasus gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri
Padang, didalam gugatannya disebutkan para penggugat selain
bertindak atas nama sendiri juga bertindak mewakili kepentingan
seluruh kelompok pedagang pasar raya yang mengalami kerugian
akibat pembangunan tersebut khususnya anggota KPP. Wakil
kelompok merupakan bagian dari pedagang yang mengalami
10
kerugian akibat pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern “Sentral
Pasar Raya”.
4) Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota
kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang
dikemukakan secara jelas dan terinci.
Dari hasil wawancara penulis, dalam hal ini Penggugat harus
menjelaskan aspek kesamaan fakta atau peristiwa, kesamaan dasar
hukum dan kesamaan tuntutan yang digunakan sebagai dasar
gugatan sebagaimana ketentuan Pasal 2 Butir b PERMA Nomor 1
Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok7.
5) Jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda
maka dikelompokan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok.
6) Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara
jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara
pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota
kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel
yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
c. Pendaftaran Gugatan Perwakilan Kelompok.
Pada tahap ini penggugat melalui kuasa hukumnya dari LBH
Padang pada tanggal 2 Mei 2005 mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Negeri Padang perihal gugatan melawan hukum dengan
mekanisme gugatan perwakilan kelompok. Adapun gugatan tersebut
harus didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Padang melalui
panitera muda perdata dengan melampirkan gugatan sebanyak jumlah
tergugat, dan 3 orang majelis serta 1 file arsip tertinggal di Pengadilan
Negeri Padang8. Paintera muda perdata terlebih dahulu membaca
gugatan tersebut, kemudian memerintahkan bagian administrasi untuk
mendaftarkan gugatan yang bersangkutan dengan disertai biaya panjar
perkara yang kemudian dibuatkan SKUM atau sejenis kwitansi.
Besarnya biaya panjar perkara adalah Rp.259.000 untuk biaya pokok
gugatan kemudian ditambahkan lagi sebanyak jumlah tergugat yang
7Wawancara dengan Bapak Vino Oktavia, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang, Tanggal 3 Oktober 2011.
8 Wawancara dengan Bapak Abdul Muis, JSP/Staf Perdata Pengadilan Negeri Klas IA Padang, Tanggal 26 September 2011.
11
dihitung berdasarkan radius jarak antara Pengadilan Negeri Padang
dengan kediaman para pihak. Hal ini didasarkan pada Surat Keputusan
Ketua Pengadilan Negeri Padang Nomor: W3.DB.HT.04.10-455.2002
tanggal 2 April 2002 yang kemudian diganti dengan SK Nomor:
W3.01/5315/KU.01/IX/2007 tanggal 18 september 2007.
d. Penetapan Majelis Hakim.
Setelah perkara didaftarkan di bagian panitera muda perdata
maka selanjutnya dalam waktu 3 hari kerja, gugatan tersebut diserahkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri Padang dan ketua pengadilan kemudian
menunjuk majelis yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut9.
Setelah Ketua Pengadilan Negeri Padang menerima gugatan tanggal 2
Mei 2005, perihal gugatan melawan hukum dengan mekanisme gugatan
perwakilan kelompok perkara Nomor: 43/PDT.G/2005/PN.PDG, maka
tanggal 9 Mei 2005 menetapkan penunjukan majelis hakim yang terdiri
dari H. Bustami Nursyirwan, SH., Suparno,SH., Busra,SH., dan seorang
panitera pengganti yaitu Agusman. hakim yang bersangkutan dengan
Surat Ketetapan tertanggal 10 Mei 2005 menentukan hari sidang dan
memanggil para pihak agar menghadap pada sidang pengadilan oleh juru
sita pada tanggal 18 Mei 2005.
e. Pemeriksaan dalam Sidang Pengadilan Negeri Padang.
Pada proses ini hakim dalam memeriksa dan
mempertimbangkan gugatan perwakilan kelompok dapat ditempuh
dengan tahap sebagai berikut:
1) Tahap Awal Proses Pemeriksaan atau Pengakuan Gugatan
Perwakilan Kelompok (Sertifikasi).
Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan tersebut majelis
hakim kemudian memeriksa dan mempertimbangkan kriteria
gugatan perwakilan kelompok. Adapun kriteria gugatan perwakilan
kelompok tersebut dapat diajukan apabila (Pasal 2 PERMA Nomor
1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok):
9 Wawancara dengan Bapak Indra, Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Klas IA
Padang, Tanggal 26 September 2011.
12
a) Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga
tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan.
b) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar
hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat
kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan
anggota kelompoknya.
c) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk
melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.
d) Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk
melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban
membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Setelah hakim memeriksa dan mempertimbangkan kriteria
gugatan perwakilan kelompok tersebut, pada tanggal 2 Juni 2005
majelis hakim memutuskan terhadap perkara tersebut yang amar
putusannya sebagai berikut:
a) Menyatakan gugatan para penggugat dengan mekanisme
gugatan perwakilan kelompok tidak sah.
b) Memerintahkan pemeriksaan gugatan tersebut dihentikan.
c) Menghukum para penggugat untuk membayar biaya
pemeriksaan perkara sebesar Rp. 129.000 (seratus dua puluh
sembilan ribu rupiah).
Dengan putusan tersebut maka upaya penyelesaian sengketa perdata
dengan mekanisme gugatan perwakilan kelompok tersebut terhenti
sampai pada tahap ini.
Bunyi amar putusan yang menyatakan gugatan para
penggugat dengan mekanisme gugatan perwakilan kelompok tidak
sah tersebut lazim dituangkan dalam suatu putusan, sebagaimana
diketahui bahwa putusan yang dijatuhkan pengadilan dalam
mengadili perkara bisa menolak, mengabulkan, dapat juga tidak
dapat diterima (Net OnvankelijkVerklaat/N.O), Namun berkaitan hal
gugatan perwakilan kelompok dalam tahap awal proses pemeriksaan
atau pengakuan gugatan perwakilan kelompok (sertifikasi) ini,
13
sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (3) dan (4) PERMA Nomor 1
Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, apabila
hakim telah selesai melakukan pemeriksaan kriteria gugatan yang
diajukan, jika hakim berpendapat gugatan perwakilan kelompok
yang diajukan sah memenuhi syarat yang digariskan Pasal (3) maka
pengadilan menerbitkan penetapan, dan jika hakim berpendapat
gugatan perwakilan kelompok yang diajukan tidak sah, maka
pengadilan dengan suatu putusan hakim.
Mengenai hal pemberitahuan, menurut Pasal 1 huruf e
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok yang melakukan pemberitahuan kepada anggota
kelompok adalah panitera berdasarkan perintah hakim. Cara
pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui
media cetak dan atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti
kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara
langsung kepada anggota yang bersangkutan sepanjang dapat
diindentifikasi berdasarkan persetujuan hakim10. Pasal 7 Ayat (2)
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok disebutkan, pemberitahuan wajib kepada anggota
kelompok pada tahap-tahap:
a) Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara
gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah (pada tahap ini
harus juga memuat mekanisme pernyataan keluar).
b) Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian
ketika gugatan dikabulkan.
Namun apabila dalam proses pemeriksaan, pihak tergugat
mengajukan perdamaian maka pihak penggugat untuk dapat
menerima atau menolak tawaran perdamaian tersebut juga harus
melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompoknya.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (4) PERMA Nomor 1 Tahun 2002
tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, Pemberitahuan yang
dilakukan harus memuat:
10 Wawancara dengan Bapak Fahmiron, Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Padang, Tanggal
27 September 2011.
14
a) Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat
sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat.
b) Penjelasan singkat tentang kasus.
c) Penjelasan tentang pendefinisian kelompok.
d) Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota
kelompok.
e) Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang
termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari
keanggotaan kelompok.
f) Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam,
pemberitahuan penyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan.
g) Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan
penyataan keluar.
h) Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan
tempat yang tersedia bagi penyedian informasai tambahan.
i) Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok
sebagaimana yang diatur dalam lampiran PERMA Nomor 1
Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
j) Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
Menurut Fahmiron apabila gugatan perwakilan kelompok
tidak menyangkut tuntutan uang dan hanya mengajukan permintaan
deklaratif atau injuction, pemberitahuan terhadap anggota kelompok
tidak perlu dilakukan. Namun apabila tuntutan menyangkut ganti
rugi dalam bentuk uang, pemberitahuan kepada masyarakat atau
masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap (opt in
atau opt out) harus disampaikan11. PERMA Nomor 1 Tahun 2002
tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok sendiri hanya
mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar (opt
out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan sebagai
bagian lembaga gugatan perwakilan kelompok (opt in) tidak diatur.
Pada mekanisme pemberitahuan ini membuka kesempatan bagi
anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari gugatan
11 Wawancara dengan Bapak Fahmiron, Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Padang, Tanggal
27 September 2011.
15
perwakilan kelompok, apabila tidak menghendaki menjadi bagian
dari gugatan.
Menurut salah seorang advokat yang merupakan kuasa
hukum dari penggugat dalam perkara perdata Nomor:
43/PDT.G/2005/PN.PDG pihak yang menyatakan diri keluar dari
keanggotaan lembaga gugatan perwakilan kelompok, maka secara
hukum tidak terikat dengan putusan atas gugatan tersebut. Sedang
pihak lain yang tidak menyatakan keluar (tidak opt out) akan terikat
dalam putusan gugatan perwakilan kelompok tersebut, baik gugatan
dikabulkan maupun gugatan tidak dikabulkan. Dalam hal gugatan
perwakilan kelompok ditolak, pihak lain yang tidak menyatakan
keluar (tidak opt out) ini tidak dapat lagi mengajukan gugatan untuk
kasus yang sama. Sebaliknya jika gugatan perwakilan kelompok
dikabulkan ia berhak menerima ganti kerugian yang ditetapkan.12
2) Tahap Pemeriksaan Substansi Gugatan Perkara.
Proses pemeriksaan dan pembuktiaan dalam gugatan
perwakilan kelompok adalah sama seperti dalam perkara perdata
pada umumnya13 yaitu :
a) Mediasi.
b) Pembacaan surat gugatan oleh penggugat.
c) Jawaban dari tergugat.
d) Replik atau tangkisan penggugat atas jawaban yang telah
disampaikan oleh tergugat.
e) Duplik atau jawaban tergugat atas tanggapan penggugat dalam
replik.
f) Pembuktian.
g) Putusan.
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok tidak memberikan penjelasan bagaimana
bentuk putusan yang berkaitan dengan gugatan perwakilan
kelompok, namun kita dapat mengacu pada Pasal 10 PERMA
12 Wawancara dengan Ibu Neni Vesna Madjid, Kuasa Hukum dari Penggugat dalam Perkara Perdata Nomor: 43/Pdt.G/2005/PN.PDG, Tanggal 10 Oktober 2011.
13 Wawancara dengan Bapak Fahmiron, Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Padang, Tanggal 27 September 2011.
16
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, yaitu ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur
dalam Hukum Acara Perdata tetap berlaku, disamping
ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini.
h) Banding.
Upaya hukum banding adalah suatu upaya hukum yang
diajukan oleh para pihak yang tidak puas dengan putusan yang
dikeluarkan oleh hakim atas perkara yang diperiksa. Terhadap
putusan dalam perkara perdata Nomor:
43/PDT.G/2005/PN.PDG penggugat pada pengadilan tingkat
pertama melakukan upaya banding. Adapun pernyataan banding
tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung
mulai sehari sesudah tanggal putusan hakim (199 Rbg) atau
diberitahukannya putusan kepada pihak yang bersangkutan
tepatnya pada tanggal 17 Juni 2005. Selantutnya tanggal 12
Agustus 2005 pembanding mengajukan memori banding yang
kemudian ditanggapi oleh pihak lawan (terbanding) tanggal 15
September 2005. Pengiriman memori banding dan kontra
memori banding ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi
Sumatera Barat dikirimkan lewat Pengadilan Negeri Padang
yang dulu memutuskan perkara yang bersangkutan. Dari upaya
banding tersebut maka Pengadilan Tinggi Sumatera Barat
melalui putusan Nomor: 113/PDT/2005/PT.PDG tanggal 13
Desember 2005 memutuskan:
• Menerima permohonan banding yang dimohonkan oleh
kuasa para Penggugat/Pembanding tersebut.
• Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang tanggal 6
Juni 2005 Nomor: 43/PGT.G/2005/PN.PDG.
• Menghukum para penggugat/pembanding membayar biaya
perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat
banding sebesar Rp. 175.000.
17
Selanjutnya pada tanggal 25 Januari 2006 putusan tersebut
diberitahukan kepada pembanding dan tanggal 30 Januari 2006
kepada terbanding.
i) Kasasi.
Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang
dari Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali purusan-
putusan terdahulu dan ini merupakan peradilan terakhir. Dalam
mengajukan kasasi pemohon wajib menyerahkan memori kasasi
dalam tenggang waktu 14 hari setelah menyatakan kasasi
tepatnya tanggal 13 Februari 2006 dan dalam tenggang waktu
30 hari panitera pengadilan menyampaikan pada pihak lawan
(Pasal 49 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung) walaupun telah menyatakan kasasi,
pemohon kasasi wajib menyampaikan risalah atau memori
kasasi. Alasan mengajukan kasasi berdasarkan Pasal 30
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung adalah:
• Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
• Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
• Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Upaya hukum yang dilakukan penggugat terkait perbuatan
melawan hukum dengan mekanisme gugatan perwakilan
kelompok pada peradilan tingkat pertama tersebut tidak hanya
terhenti sampai pada tingkat banding, pada tanggal 6 Februari
2006 Penggugat memohon kasasi. Adapun dari upaya hukum
kasasi tersebut pada tanggal 27 September 2006 dalam putusan
Nomor: 1183 K/PDT/2006 diputuskan sebagai berikut:
• Menolak permohonan kasasi dari pada pemohon kasasi: 1.
H. Rizal Mudasir dan 2. Irwan syofyan. SH tersebut.
18
• Menghukum para pemohon kasasi/para penggugat untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar
Rp.500.000.
2. Efektifitas dan Efesiensi Gugatan Perwakilan Kelompok dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan Negeri Padang.
Efektivitas berasal dari kata efektif yang dalam kamus bahasa
Indonesia didefenisikan sebagai ada efeknya, manjur atau mujarab, dapat
membawa hasil ataupun berhasil guna14. Memperhatikan defenisi tersebut,
baru dapat dikatakan efektif atau efektivitas, apabila adanya suatu keadaan
yang berpengaruh, memberikan efek, atau keberhasilan usaha atau tindakan.
Sebagaimana diketahui bahwa agar hukum dan peraturan benar-benar
berfungsi secara efektif, senantiasa dikembalikan pada penegakan hukumnya.
Fokus perhatian proses penegakan hukum (enforcement of law) pada warga
masyarakat adalah sedikit banyak adapun menyangkut masalah derajat
kepatuhan. Secara umum proses penegakan hukum (enforcement of law)
dikatakan efektif menurut Soerjono Soekanto adalah15:
a. Faktor hukum itu sendiri.
b. Faktor penegak hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat.
e. Faktor kebudayaan.
Pendapat lain yang dilontarkan oleh Wignjosoebroto menegaskan bahwa
efektif bekerjanya hukum perlu adanya16:
a. Struktur organisasi pelaksanan/penegak kaedah yang efektif menjamin
terlaksananya sanksi manakala ada yang melanggar; dengan bekerjanya
organisasi yang efektif itu, kaedah-kaedah hukum dapat dijamin
mempunyai kekuatan pengendali warga masyarakat.
b. Adanya kesadaran dan kerelaan para warga masyarakat yang tengah
dikaedahi atau diatur.
14 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 2008, hlm 374. 15 Soerjono Soekanto, Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm 8. 16 Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Rajawali Pers,
Jakarta, 1995, Hlm. 15.
19
Mengenai faktor hukum itu sendiri, dalam uaraian ini hukum
diartikan dengan Undang-undang. Mengenai berlakunya suatu Undang-
undang terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar peraturan tersebut
mempunyai dampak positif. Artinya, supaya peraturan tersebut mencapai
tujuannya, sehingga efektif. Purbacaraka & Soerjono Soekanto mengatakan
asas-asas tersebut yaitu17:
a. Undang-undang tidak berlaku surut.
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang
yang bersifat umum apabila pembuatnya sama.
d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang
yang berlaku terdahulu.
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
f. Undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui
pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).
Sebagaimana bagi dunia peradilan, kehadiran gugatan perwakilan
kelompok sebagai cara penyelesaian sengketa di pengadilan adalah penting
dalam penegakkan hukum. Berkembangnya praktek gugatan perwakilan
kelompok di Indonesia akan mengurangi jumlah perkara di pengadilan, yang
pada giliranya sudah barang tentu akan mengurangi beban perkara yang
masuk ke pengadilan dan pada akhirnya akan berimbas pula pada efektifnya
kerja majelis hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan dan memutuskan
perkara, karena dengan sedikit perkara majelis hakim akan lebih konsentrasi
dalam menghadapi perkara dipengadilan.
Di Pengadilan Negeri Padang, pada tahun 2005, dimana pada tahun
tersebut untuk pertama kali hadir gugatan perwakilan kelompok sejak
dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, tercatat dalam buku register perkara perdata sejumlah
123 perkara. Dengan hadirnya gugatan perwakilan kelompok dalam
penyelesaian sengketa keperdataaan di Pengadilan Negeri Padang, dimana
17 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm 12-13.
20
gugatan tersebut mewakili ± 7000 pedagang pasar raya tentu saja akan
mengurangi beban perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri Padang secara
umum. Dapat dibayangkan apabila gugatan tersebut diajukan serta
diselesaikan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan
(komulasi). Berapa banyak berkas perkara yang akan masuk ke pengadilan?
Berapa besar biaya yang akan dikeluarkan oleh setiap orang untuk setiap
perkara? Berapa lama kasus tersebut akan selesai disidangkan mengingat
korban yang menderita kerugian yang sangat banyak?.
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok menjadi pedoman bagi penegak hukum, baik hakim maupun
advokat dalam mengahadapi masalah penyelesaian sengketa melalui
mekanisme acara khusus mengenai gugatan perwakilan kelompok. Mengenai
penegak hukum khususnya hakim mempunyai kedudukan dan peran.
Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tadi merupakan peran atau rule. Mengenai gugatan dengan
mekanisme perwakilan kelompok, hakim wajib berpedoman pada hukum
acara perdata Indonesia dan ketentuan yg berlaku mengenai acara guagatan
perwakilan kelompok.
Pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib memeriksa
dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok, memberikan
nasehat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan perwakilan
kelompok, memerintahkan penggugat mengajukan usulan model
pemberitahuan setelah memutuskan prosedur gugatan perwakilan kelompok
dinyatakan sah, dan apa bila hakim menyatakan prosedur gugatan perwakilan
kelompok tidak sah maka pemeriksaan dihentikan dengan suatu putusan
hakim sebagai mana proses gugatan perwakilan kelompok (Pasal 5 PERMA
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok).
Berkaitan dengan perolehan pembelaan dari seorang advokat, hakim
memiliki kewenangan dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk
melakukan penggantian advokat, jika advokat melakukan tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan
anggota kelompoknya, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 2 huruf d
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
21
Kelompok, karena pembelaan dari seorang advokat adalah hak asasi
manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang
(justice for all).
Soerjono Soekanto mengatakan penegak hukum meupakan golongan
panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan
tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat, maka golongan panutan tersebut
harus dapat menggairahkan partisipasi masyarakat luas. Mengenai gugatan
perwakilan kelompok dalam penyelesaian sengketa perdata, sudah barang
tentu seharusnya hakim maupun advokat mampu menggairahkan partispasi
masyarakat luas khususnya masyarakat di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Padang untuk memanfaatkan gugatan perwakilan kelompok tersebut. Lanjut
Soerjono Soekanto juga mengatakan halangan-halangan yang mungkin
dijumpai apada penerapan peran dari penegak hukum, mungkin berasal dari
dirinya sendiri atau dari lingkungan18.
Secara teoretis dengan adanya gugatan perwakilan kelompok akan
memunculkan suatu keadaan yang berpengaruh, memberikan efek mencegah
pengulangan proses perkara yang sama, dan mencegah putusan-putusan yang
berbeda satu dengan yang lainnya ataupun putusan-putusan yang tidak
konsisten19. Sebagaimana manfaat dari gugatan perwakilan kelompok
tersebut. Akan tetapi menurut wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri
Padang perubahan perilaku pejabat publik atau badan dan orang yang
memegang posisi strategis dalam masyarakat perubahannya hanya sebatas
wacana belum mengarah pada tatanan sikap tindak, hanya sebatas omongan
saja tapi tindakan dalam tindakan konkritnya belum ada perubahan yang
signifikan20.
Melihat dalam prakteknya gugatan perwakilan kelompok tersebut
belum efektif memberikan efek jera karena sampai pada saat ini Pemerintah
Kota Padang selaku yang pernah di gugat oleh sekelompok warga
masyarakat melalui gugatan perwakilan kelomopok masih terjadi
18 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm 34. 19 Wawancara dengan Bapak H. Asmuddin, Ketua Pengadilan Negeri Padang, Tanggal 3
Oktober 2011. 20 Wawancara dengan Bapak H. Asmuddin, Ketua Pengadilan Negeri Padang, Tanggal 3
Oktober 2011.
22
beberapakali konflik yg menjurus akan dibawana konflik tersebut ke meja
hijau atau pengadilan. Gugatan perwakilan kelompok belum dapat membawa
hasil ataupun berhasil guna dimanfaatkan oleh masyarakat pencari keadilan
yang berada di wilayah Pengadilan Negeri Padang, karena jika diperhatikan
dari kurun waktu dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok sampai pada saat ini gugatan
perwakilan kelompok tersebut baru hanya sekali dimanfaatkan guna
memberikan akses kepada keadilan oleh sekelompok masyarakat.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kalau warga masyarakat sudah
mengetahui hak-hak dan kewajiban mereka, maka mereka juga akan
mengetahui aktivitas-aktivitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk
melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka
sesuai dengan aturan yang ada. Masyarakat Kota Padang khususnya
pedagang di areal pasar raya dari penelitian lapangan telah memiliki
kesadaran hukum yg cukup bagus, mereka mengetahui hak dan kewajiban
mereka sehingga mengetahui aktivitas penggunaan upaya upaya hukum
dengan menghidupkan gugatan perwakilan kelompok untuk melindungi dan
mencari keadilan atas tindakan pembangunan SPR, dengan mengajukan
gugatan ke pengadilan secara bersama-sama melalui gugatan perwakilan
kelompok. Namun, pada permasalahan lain, yang dimungkinkan
penyelesaian sengketanya melalui gugatan perwakilan kelompok, masyarakat
cenderung tidak memanfaatkan upaya penyelesaian sengketa tersebut dengan
mekanisme gugatan perwakilan kelompok. Kecendrungan tersebut
dikarenakan masyarakat tidak percaya atau yakin terhadap penegakan hukum
setelah sengketa pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern SPR tidak
berhasil. Faktor penegak hukum sangat berperan dalam meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat.
Mengenai hal efesien, dalam kamus bahasa Indonesia, efisien
diartikan tepat atau sesuai untuk mengerjakan atau menghasilkan sesuatu
dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga. Sedangkan efisiensi adalah
ketepatan cara, usaha, kerja dan lain-lain menjalankan sesuatu dengan tidak
membuang-buang waktu, tenaga, biaya21. Di dalam Pasal 2 Ayat (4) Undang-
21 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op. Cit, hlm 374.
23
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di sebutkan
bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok hanya menyederhanakan gugatan, dimana gugatan yang begitu
banyak dari sekelompok masyarakat menggabungkan diri bersama-sama
dengan korban atau penderita kerugian yang lain dalam satu gugatan saja,
yaitu gugatan perwakilan kelompok. Menurut penjelasan Pasal 2 Ayat (4)
Undang-undang Nomo 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
pengertian cepat diartikan berkaitan dengan proses beracara yang dapat
dilaksanakan secepat mungkin. Namun PERMA tersebut menjadi dilematis
ketika apabila gugatan perwakilan kelompok dalam penyelesaian sengketa
bagi masyarakat yang diajukan sah, maka dilakukan pemberitahuan oleh
panitera kepada anggota kelompok. Pemberitahuan tersebut akan
memerlukan waktu yang tidak cepat mengingat banyaknya anggota
kelompok sehingga akan menambah waktu proses beracara ayang
dilaksanakan.
Bedasarkan SEMA Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian
Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, dimana jangka waktu
untuk menyelasaikan perkara perdata maupun pidana paling lama 6 bulan
terhitung sejak saat perkara tersebut didaftarkan di kepaniteraan pengadilan
negeri yang bersangkutan dalam hal ini Pengadilan Negeri Padang. Dapat
dibayangkan jika gugatan masyarakat tersebut diajukan masing ataupun
secara komulatif maka akan banyak perkara yg masuk ke Pengadilan Negeri
Padang. Sebagaimana diketahui jumlah perkara perdata yang masuk dalam
tahun 2005 saja mencapai 123 perkara, dari jumlah perkara per tahun 2005
tersebut hanya terdapat 1 perkara gugatan perwakilan kelompok. Maka apa
bila perkara dengan gugatan perwakilan kelompok tersebut diajukan secara
individu maupun komulasi, mengingat jumlah pedagang pasar raya yang
dirugikan sejumlah ± 7.000 orang, sehingga akan terjadi peningkatan perkara
bahkan mungkin menumpuk untuk di selesaikan, sehingga sangat tidak
24
efektif dan efesien22. Oleh karena itu yang perlu diperhitungkan juga adalah
biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelesaian perkara-perkara tersebut.
Biaya ringan secara umum diartikan sebagai biaya yang terjangkau
oleh para pihak yang berpekara. Menurut pasal 121 ayat (4) HIR atau 193
Rbg yang menjadi komponen biaya beracara adalah:
a. Biaya kantor panitera dan materai yang diperlukan selama proses
pemeriksaan.
b. Biaya melakukan panggilan saksi,ahli, juru bahasa dan biaya sumpah.
c. Biaya pemeriksaan setempat.
d. Biaya juru sita melakukan pemanggilan dan pemberitahuan.
Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Padang
tentang Panjar Biaya Nomor : W3.U1/4940/HPDT/VII/2011 diterangkan
bahwa biaya perkara terdiri atas :
a. Biaya Kepaniteraan. Biaya kepaniteraan merupakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan berupa biaya pendaftaran, redaksi dan materai.
b. Biaya Proses. Biaya proses merupakan biaya penyelenggaraan perkara
terdiri dari biaya panggilan dan pemberitahuan.
c. Biaya Pemberkasan. Biaya pemberkasan merupakan biaya penyelesaian
perkara yang dananya tidak terdukung dan atau tidak ada dalam DIPA,
yang terdiri dari biaya fotocopy surat surat yang berhubungan dengan
perkara, pemberkasan dan penjilitan, perlengkapan kerja kepaniteraan
yang habis terpakai serta kelancaran administrasi perkara.
Dengan demikian gugatan perwakilan kelompok yang diajukan
sekelompok masyarakat pedagang pasar raya di Pengadilan Negeri padang,
penggugat cukup mengeluarkan biaya sebesar ketentuan yang talah ada untuk
panjar perkara secara bersama jika dibandingkan membayar sendiri-sendiri
yg dirasa cukup ringan karena ditanggung bersama, seandainya gugatan
dikabulkan, hasil dari putusan langsung dapat dinikmati oleh sejumlah besar
orang yang diwakili tersebut. Orang-orang yang diwakili tidak perlu hadir
dipersidangan semua dan tidak perlu memberikan persetujuan sebelumnya.
selain itu tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani
22 Wawancara dengan Bapak Indra, Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Klas IA
Padang, Tanggal 26 September 2011.
25
gugatan para pihak yang merasa dirugikan. Biaya advokat melalui
mekanisme gugatan perwakilan kelompok akan jauh lebih murah daripada
gugatan yang diajukan oleh masing-masing individu, yang kadang-kadang
tidak sesuai dengan ganti kerugian yang diterima (judicial economy).
Melihat penerapan asas beracara cepat, sederhana dan biaya ringan
yang diterapkan di Pengadilan Negeri Padang terhadap gugatan perwakilan
kelompok dalam tatanan normatif telah ada suatu spirit kepada masyarakat
sehingga mempercayai penggunaan jalur litigasi untuk menyelasaikan
sengketa agar supaya proses berperkara lebih ekonomis dan biaya lebih
efisien, sehingga dirasa tepat penggunaan gugatan perwakilan kelompok
terhadap korban yang banyak dengan tidak membuang-buang waktu dan
tenaga.
3. Kendala dalam Pelaksanaan Gugatan Perwakilan Kelompok dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Padang.
Adapun kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan gugatan
perwakilan kelompok dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri
Padang antara lain adalah:
1. Kurangnya Sosialisasi.
Meskipun PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok telah diterbitkan, gugatan perwakilan kelompok
di Indonesia pada hakikatnya masih baru sehingga pemahaman
masyarakat, advokat maupun hakim di pengadilan masih belum
memahami aspek tehnis penerapan prosedurnya23. Oleh karena itu,
kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung menjadi
kendala dalam upaya penyelesaian sengketa dengan mekanisme gugatan
perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri Padang secara khusunya.
Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi PERMA gugatan
perwakilan kelompok di 5 (lima) daerah dalam rangka
menyebarluaskan pemberlakuan PERMA gugatan perwakilan kelompok
dan mengamati tanggapan peserta atas substansi PERMA gugatan
perwakilan kelompok. Sosialisasi ini dilakukan dalam bentuk workshop
yang dihadiri oleh sekitar 50 hakim baik dari pengadilan negeri maupun
23 Wawancara dengan Ibu Neni Vesna Madjid, Kuasa Hukum dari Penggugat dalam Perkara
Perdata Nomor: 43/Pdt.G/2005/PN.PDG, Tanggal 10 Oktober 2011
26
pengadilan tinggi dan 5 daerah tersebut terdiri dari Semarang (20 Juni
2002), Jakarta (24 Juni 2002), Medan (1 Juli 2002), Surabaya (4 Juli
2002), Pekanbaru (2 Agustus 2002)24. Workshop dalam rangka sosialisai
PERMA gugatan perwakilan kelompok di kelima kota tersebut masih
dirasa kurang mengingat wilayah Indonesia yang cukup luas.
2. Kurangnya Kesadaran Masyarakat Menggunakan Gugatan
Perwakilan Kelompok dalam Penyelesaian Sengketa.
Kurangnya kesadaran masyarakat mengakibatkan terhambatnya
akes pada keadilan yang seharusnya oleh masyarakat dimiliki hak untuk
menuntut hak mereka terhadap perbuatan subjek hukum yang merugikan
kepentingan masyarakat luas. Akibat kurangnya kesadaran masyarakat
tersebut memunculkan suatu sikap cendrung tidak menggunakan gugatan
perwakilan kelompok. Dalam penerapannya, masyarakat yang berada di
wilayah hukum Pengadilan Negeri Padang cendrung hanya mengeluh
tanpa adanya suatu aksi memanfaatkan gugatan perwakilan kelompok
dalam penyelesaian sengketa. Ada kemungkinan bahwa masyarakat
benar-benar tidak mengetahui adanya upaya penyelesaian sengketa bagi
masyarakat dengan mekanisme gugatan perwakilan kelompok, ataupun
masyarakat mengetahui tapi enggan memanfaatkan upaya tersebut
karena dari apa yang telah dilakukan pada tahun 2005 melalui gugatan
perkara perdata Nomor: 43/PDT.G/2005/PN.PDG gagal sehingga
menimbulkan sikap pesimis terhadap upaya penyelesaian sengketa
perdata melalui gugatan perwakilan kelompok.
3. Ketidakcermatan Penggugat dalam Menyusun Gugatan Tanpa
Melakukan Pendefenisian Kelompok Secara Rinci dan Spesifik.
Mengenai surat gugatan, pada umumnya tidak menjelaskan
karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur gugatan
perwakilan kelompok, tidak mendeskripsikan secara jelas defenisi kelas,
posita yang tidak rinci dan jelas kesamaan tentang fakta dan hukum serta
kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dengan anggotanya25.
Khususnya mengenai defenisi kelompok dan wakil kelompok gugatan
24 Website ICEL; http://www.icel.or.id, Studi dan Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Class Action, Terakhir dikunjungi pada tanggal 5 Februari 2012 jam 21:13.
25 Wawancara dengan Bapak Fahmiron, Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Padang, Tanggal 27 September 2011
27
perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri Padang pada perkara
Nomor: 43/Pdt.G/2005/PN.PDG, hanya mendefenisikan 1 (satu)
kelompok saja sedangkan wakil kelas atau wakil kelompok terdiri dari 2
(dua) orang yang tentunya dalam hal ini bertindak mewakili kelompok
masing-masing. Sebagai mana diketahui defenisi kelompok yang
dimaksud adalah seluruh pedagang yang tergabung dalam KPP Padang
yang terdiri dari beberapa Organisai Sejenis (OSP) di lokasi komplek
pertokoan Blok A s/d F, Duta Merlin, Fase VII dan Koppas Plaza. Hal
tersebut menunjukan ketidakcermatan penggugat dalam menyusun
gugatan tanpa melakukan pendefenisian kelompok secara rinci dan
spesifik.
Dari perkara perdata tersebut syarat formil untuk suatu gugatan
perwakilan kelompok sudah terpenuhi karena sudah memenuhi sesuai
dengan syarat yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Tetapi
secara syarat materilnya tidak terpenuhi menurut PERMA Nomor 1
Tahun 2002 pada Pasal 3 Ayat f, memuat tentang syarat-syarat gugatan
perwakilan kelompok antara lain harus memuat tuntutan atau petitum
tentang ganti rugi secara jelas dan rinci, memuat usulan mekanisme atau
pendistribusian ganti kerugian kepada seluruh anggota kelompok
termasuk usul tentang pembentukan tim atau panel yang membantu
memperlancar pendistribusian ganti rugi.
Hal ini dikuatkan dalam pertimbangan hakim, hal tuntutan ganti
rugi secara jelas dan rinci tidak terpenuhi karena dalam gugatannya
dinyatakan para penggugat mengalami kerugian materil total sebesar Rp
22.300.000,- (dua puluh dua juta tiga ratus ribu rupiah) perhari, belum
lagi kerugian lain yang bersifat inmateril berupa kesedihan dan lain-lain,
sehingga menurut Hakim ini belum jelas dan rinci. Selain itu dinyatakan
pula bahwa pembangunannya masih sedang berlangsung atau belum
selesai dan ini menunjukkan bahwa kerugiannya belum pasti. Jadi syarat
ini tidak terpenuhi, sehingga gugatan ini dinyatakan tidak sah sebagai
gugatan perwakilan kelompok.
28
4. Mempersamakan Gugatan Perwakilan Kelompok dengan Gugatan
Legal Standing.
Dalam masyarakat terjadi kerancuan antara gugatan perwakilan
kelompok dan legal standing. Masyarakat pada umumnya masih
menyamakan antara dua lembaga itu, padahal masing-masing lembaga
itu memiliki tujuan yang bisa sangat berbeda. hal tersebut ditandainya
dengan lebih sering dilakukan gugatan legal standing dari pada gugatan
perwakilan kelompok. Dimana gugatan legal standing lebih berdaya
menggunakan akses yang diberikan oleh Undang-undang untuk
menggugat dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya, sehingga
melahirkan sikap warga masyarakat yang sangat menggantungkan pada
LSM.
Gugatan legal standing adalah gugatan yang diberikan atau
dipunyai oleh organisasi/badan hukum, dengan kata lain
organisasi/badan hukum mempunyai hak untuk melakukan gugatan di
pengadilan, untuk mewakili kepentingan orang banyak atau umum,
organisasi/badan hukum tersebut tidak perlu merupakan bagian dari
kelompok yang diwakilinya atau tidak harus tinggal dalam suatu daerah
dengan masyarakat yang diwakilinya, namun cukup apabila dalam
anggaran dasarnya mencantumkan perlindungan kepentingan masyarakat
hukum yang diwakilinya. Tidak setiap organisasi/badan hukum dapat
mengatasnamakan masyarakat luas maupun kepentingan lingkungan
hidup dapat mengajukan gugatan, melainkan harus memenuhi
persyaratan tertentu.
Sedangkan orang yang tampil sebagai penggugat pada gugatan
perwakilan kelompok disebut wakil kelas (class representative),
sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut sebagai
anggota kelas (class members). Jadi dalam gugatan perwakilan
kelompok ada 2 (dua) komponen yaitu wakil kelas dan anggota kelas,
yang mana kedua komponen ini merupakan pihak-pihak yang
mengalami kerugian/sama-sama menjadi korban.
Dalam konsep hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
sebagai penggugat bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian nyata,
seperti halnya dalam perkara perlindungan lingkungan hidup sebagai
29
penggugat mewakili kepentingan perlindungan lingkungan hidup yang
perlu diperjuangkan karena posisi lingkungan hidup sebagai ekosistem
sangat penting, lingkungan hidup tentu tidak dapat memperjuangkan
kepentingan sendiri, sehingga perlu ada pihak yang
memperjuangkannya.
Karena ada perbedaan konsep tersebut, maka umumnya tuntutan
yang dimohon dalam hak gugat LSM berbeda dengan gugatan
perwakilan kelompok, dalam gugatan perwakilan kelompok tuntutan
yang diminta umumnya berupa ganti kerugian berupa uang, meskipun
dimungkinkan untuk tuntutan-tuntutan lain, sedangkan hak gugat LSM
tidak dapat berupa tuntutan ganti rugi (kecuali ganti rugi yang bersifat
riil). Tuntutan ganti rugi moneter tidak diperkenankan untuk diajukan,
kecuali ganti kerugian sepanjang atau sebatas biaya atau pengeluaran ril,
yaitu biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan dikeluarkan oleh
penggugat, bukan ganti kerugian yang mengatasnamakan orang banyak,
sehingga dalam perkara gugatan legal standing, petitum gugatan hanya
dapat dimintakan penghentian kegiatan, permintaan maaf, pembayaran
uang paksa (dwangsom) 26.
Mengenai kewenangan memeriksa gugatan legal standing antara
Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),
yakni jika yang dipermasalahkan tentang sengketa kepemilikan hak,
maka yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri, sedangkan
jika yang dipermasalahkan mengenai kepuusan pejabat tata usaha
negara, maka yang berwenang mengadili adalah PTUN.
5. Hakim Tidak Menjalankan Fungsi dan Wewenang Secara
Menyeluruh dalam Hal Memberikan Nasehat Terhadap Kekeliruan
yang Dilakukan Oleh Penggugat dalam Surat Gugatannya.
Disamping itu hakim juga tidak menjalankan fungsi dan
wewenangnya secara menyeluruh dalam hal memberikan nasehat
terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh penggugat dalam
surat gugatannya. Karena dalam pertimbangan majelis hakim yang
memeriksa dan memutus perkara dengan mekanisme gugatan perwakilan
26 Susanti Adi Nugroho, Class Action Dan Perbandingannya Dengan Negara Lain, Kencana,
Jakarta, 2010, hlm 372.
30
kelompok telah menyatakan bahwa persyaratan gugatan perwakilan
kelompok yang diajukan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 dan 3
PERMA Nomor 1 Tahun 2003 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok.
Sedangkan dalam putusannya hakim menyatakan gugatan
perwakilan kelompok dengan mekanisme gugatan perwakilan kelompok
tidak sah, seharusnya sesuai PERMA Nomor 1 Tahun 2003 tentang
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, jika majelis hakim berpendapat
persyaratan gugatan perwakilan kelompok telah memenuhi sarat
sebagaimana yang yang ditentukan dalam Pasal 2 dan 3, maka majelis
hakim sesuai dengan Pasal 5 Ayat (3) dan Pasal 9 dituangkan dalam
suatu penetapan, akan tetapi majelis hakim berpendapat gugatan
perwakilan kelompok tidak sesuai dengan Pasal 2 dan 3. Seharusnya
apabila hakim berpendapat gugatan perwakilan kelompok tidak sesuai
dengan Pasal 2 dan 3, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (2)
dimana hakim dapat memberikan nasehat kepada para pihak mengenai
persyaratan gugatan perwakilan kelompok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.
E. Kesimpulan dan Saran.
Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu dalam penulisan tesis ini,
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran-saran guna merangkumkan
kembali pembahasan yang dikemukakan dalam batasan-batasan ruang lingkup
judul tesis ini.
1. Kesimpulan.
a. Proses gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri Padang
dilakukan melalui tahap-tahap, antara lain: Perencanaan gugatan
perwakilan kelompok, penyusunan gugatan perwakilan kelompok,
pendaftaran gugatan perwakilan kelompok, penetapan majelis hakim,
pemeriksaan dalam sidang Pengadilan Negeri Padang. Dimana proses
gugatan perwakilan kelompok tersebut telah berjalan baik sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 91 Ayat (1)
UUPPLH dan Pasal 2 Huruf a,b, dan c PERMA Nomor 1 Tahun 2002
tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
31
b. Secara teori gugatan perwakilan kelompok efektif dan efesien
dimanfaatkan dalam penyelesaian sengketa yang merugikan secara
serentak dan sekaligus terhadap orang banyak yang memiliki fakta yang
sama dan tergugat yang sama. Namun kenyataan dilapangan efektifitas
dan efesiensi gugatan perwakilan kelompok dalam penyelesaian
sengketa perdata di Pengadilan Negeri Padang belum sebagaimana yang
diharapkan.
c. Kendala-kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan gugatan
perwakilan kelompok dalam penyelesaian sengketa perdata di
Pengadilan Negeri Padang antara lain kurangnya sosialisasi oleh
lembaga penegak hukum sehingga menimbulkan persepsi berbeda antara
hakim maupun advokat yang berdampak kepada ketidak-cermatan
penggugat dalam menyusun gugatan tanpa melakukan pendefenisian
kelompok secara rinci dan spesifik, hakim tidak menjalankan fungsi dan
wewenang secara menyeluruh dalam hal memberikan nasehat terhadap
kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh penggugat dalam surat
gugatannya dan mempersamakan gugatan perwakilan kelompok dengan
gugatan legal standing. Selain itu kurangnya kesadaran masyarakat turut
menjadi kendala terhadap penyelesaian sengketa dengan mekanisme
gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri Padang.
2. Saran.
a. Agar tidak menimbulkan kerancuan, Mahkamah Agung seyogiayanya
mengeluarkan penjelasan atas hal-hal yang belum/tidak diatur dalam
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, sebelum acara gugatan perwakilan kelompok diundangkan
dalam hukum acara perdata Indonesia. Acara gugatan perwakilan
kelompok ini seharusnya segera ditindak lanjuti oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dalam pembuatan Rencana Undang-undang (RUU)
Hukum Acara Perdata yang akan datang.
b. Dalam masalah efektifitas dan efesiensinya gugatan perwakilan
kelompok dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Padang,
diusahakan tidak hanya terpaku pada empat faktor pendukung sistem
penegakan hukum saja, dizaman modern ini efektif efesien tersebut
senantiasa dikaitkan pula dengan masalah pelayanan secara keseluruhan
32
baik dari tataran administrasi umum hingga administrasi yuridisnya
sehinga mampu memberikan suatu keadaan yang berdayaguna oleh
masyarakat dalam menggunakan lembaga perwakilan kelompok.
c. Pihak-pihak yang menagajukan gugatan perwakilan kelompok harus
membuat perhitungan sematang-matang, atau tidak asal mengajukan
gugatan perwakilan kelompok karena tanpa perhitungan yang matang
dikhawatirkan gugatan tidak dapat diterima oleh hakim. Selain itu perlu
pendidikan dan pelatihan dalam rangka sosialisai secara intensif kepada
praktisi hukum seperti hakim dan advokat guna menyatukan persepsi
hukum mengenai gugatan perwakilan kelompok ini sehinga hakim
maupun advokat dalan menjalankan fungsi masing-masingnya sehingga
tidak terjadi kekeliruan begitu juga terhadap LSM dan masyarakat
maupun aparat penegak hukum lainnya.
33
DAFTAR PUSTAKA
Buku.
E.Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan & Penerapan Di Indonesia), Universitas Admajaya, Yogyakarta, 2002.
Soerjono Soekanto, Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1995.
Susanti Adi Nugroho, Refleksi; Praktik Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) di Indonesia, Mahkamah Agung RI, 2002.
-----------------------------, Class Action Dan Perbandingannya Dengan Negara Lain, Kencana, Jakarta, 2010, hlm 372.
Jurnal, Makalah, Kamus.
Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara X, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 2008.
Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1997 Nomor 58. Yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2009 Nomor 5059.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2004 Nomor 4359.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 2009 Nomor 5076.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri
34
Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Padang Nomor: W3.DB.HT.04.10-455.2002 tanggal 2 April 2002 yang kemudian diganti dengan SK Nomor: W3.01/5315/KU.01/IX/2007 tanggal 18 september 2007.
Putusan Pengadilan Negeri Padang tanggal 2 Juni 2005 Nomor: 43/PDT.G/2005/PN.PDG.
Putusan Pengadilan Tinggi Padang tanggal 13 Desember 2005 Nomor: 113/PDT.G/2005/PT.PDG.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 September 2006 Nomor: 1183 K/PDT/2006.
Internet/Website.
Website ICEL; http://www.icel.or.id, Studi dan Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Class Action, Terakhir dikunjungi pada tanggal 5 Februari 2012 jam 21:13.
35
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Juli 1986 di Pariaman, Sumatera Barat
sebagai anak pertama dari 3 (tiga) bersaudara dari seorang Ibu yang bernama Haryita
Amir dan Bapak Rikharman, BAc. Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada SD
Negeri 020 Pekanbaru tahun 1998, dan menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama pada SLTP Negeri 4 Pekanbaru tahun 2001, selanjutnya menamatkan
Sekolah Menengah Atas pada SMA Negeri 4 Pekanbaru tahun 2004. Penulis
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada tahun 2008 di Universitas Andalas Padang.
Pada tahun ajaran 2009/2010 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi
Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Padang. Pada tahun 2010 penulis mengikuti
Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan
Advokat Indonesia (PERADI). Selanjutnya pada Ujian Profesi Advokat (UPA) 2011
Koodinator Daerah Padang penulis dinyatakan lulus. Pada tahun 2011 penulis sempat
bekerja pada suatu perusahaan swasta nasional di Padang, Sumatera Barat.