obituari: tentang george junus aditjondro - gelora45.comgelora45.com/news/georgeaditjondro.pdf ·...

20
1 Obituari: Tentang George Junus Aditjondro Anto Sangadji http://indoprogress.com/2017/01/obituari-tentang-george-junus-aditjondro/ 20 January 2017 Harian Indoprogress Men make their own history, but they do not make it as they please; they do not make it under self-selected circumstances, but under circumstances existing already, given and transmitted from the past.” [1] INTELEKTUAL-cum-aktivis, George Junus Aditjondro (GJA), wafat 10 Desember 2016 di kota Palu. Pengritik paling utama korupsi kepresidenan Orde Baru dan paska Orde Baru ini meninggal dalam usia 70 tahun. Jenazah figur, yang oleh majalah Time menyebutnya “the world’s leading authority on Suharto family wealth”[2] dimakamkan 12 Desember 2016 di Pekuburan Kristen Talise, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Catatan ini tentang kerja-kerja GJA sebagai intelektual publik di Sulawesi Tengah, sebuah provinsi pinggiran dalam peta ekonomi dan politik nasional. Minatnya paling utama di daerah ini adalah tentang kepentingan bisnis dan sengketa berbasis sumber daya alam, kekerasan bersenjata, dan hubungan antara keduanya. Dia menulis dengan sangat tajam soal kepentingan bisnis Siti Hartati Murdaya di Buol, Arifin Panigoro di Tiaka Morowali Utara dan keluarga Jusuf Kalla di Poso. Saya membatasi catatan tentang GJA di Sulawesi Tengah dalam dua kasus/tempat, yakni, tentang Lore Lindu, daerah yang sudah menarik perhatiannya sejak akhir dekade 1970-an dan tentang kekerasan Poso, salah satu episentrum kekerasan regional di nusantara hampir 20 tahun terakhir.

Upload: lylien

Post on 28-Feb-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Obituari: Tentang George Junus Aditjondro

Anto Sangadji

http://indoprogress.com/2017/01/obituari-tentang-george-junus-aditjondro/

20 January 2017

Harian Indoprogress

“Men make their own history, but they do not make it as they please; they do

not make it under self-selected circumstances, but under circumstances existing

already, given and transmitted from the past.” [1]

INTELEKTUAL-cum-aktivis, George Junus Aditjondro (GJA), wafat 10 Desember 2016

di kota Palu. Pengritik paling utama korupsi kepresidenan Orde Baru dan paska Orde

Baru ini meninggal dalam usia 70 tahun. Jenazah figur, yang oleh majalah Time

menyebutnya “the world’s leading authority on Suharto family wealth”[2] dimakamkan 12

Desember 2016 di Pekuburan Kristen Talise, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore,

Kota Palu. Catatan ini tentang kerja-kerja GJA sebagai intelektual publik di Sulawesi

Tengah, sebuah provinsi pinggiran dalam peta ekonomi dan politik nasional. Minatnya

paling utama di daerah ini adalah tentang kepentingan bisnis dan sengketa berbasis

sumber daya alam, kekerasan bersenjata, dan hubungan antara keduanya. Dia menulis

dengan sangat tajam soal kepentingan bisnis Siti Hartati Murdaya di Buol, Arifin

Panigoro di Tiaka Morowali Utara dan keluarga Jusuf Kalla di Poso. Saya membatasi

catatan tentang GJA di Sulawesi Tengah dalam dua kasus/tempat, yakni, tentang Lore

Lindu, daerah yang sudah menarik perhatiannya sejak akhir dekade 1970-an dan tentang

kekerasan Poso, salah satu episentrum kekerasan regional di nusantara hampir 20 tahun

terakhir.

2

***

Sebagai intelektual publik, GJA aktif memproduksi pengetahuan kritis yang menjelaskan

tentang kekuasaan yang opresif dan korup. Dia menulis tentang berbagai penyimpangan

kekuasaan di Indonesia, baik Orde Baru maupun paska Orde Baru. Dalam waktu yang

sama, dia juga berusaha dengan caranya, di luar zona nyaman dunia akademis,

memperjuangkan kondisi-kondisi yang memungkinkan demokrasi sejati terwujud.

Tentu saja, menjadi intelektual publik bukan sebuah ‘pilihan bebas’ GJA. Pilihannya bukan

terisolasi dari dinamika politik dan ekonomi di sekitarnya: terutama sejak pertengahan

dasawarsa 1970-an, perkembangan kapitalisme yang kian progresif telah

melipat-gandakan kekayaan bangsa. Sebaliknya, perkembangan ini juga membawa banyak

soal. Pengrusakan lingkungan hidup, perampasan tanah petani, dan eksploitasi buruh

untuk menyebut beberapa contoh. Kontradiksi ini semakin buruk karena rezim tirani

Orde Baru, produk Perang Dingin, mengorkestrasi aneka kekerasan militer:

pembantaaian PKI di pertengahan dekade 1960-an, invasi dan pendudukan Timor Leste

(1975-1999), perang dan kontra-pemberontakan di Aceh dan Papua. Terakhir, krisis

kapitalisme di akhir dasawarsa 1990-an melahirkan transisi demokrasi yang morat-marit.

Kendati sifat-sifat universal parasitisme negara kapitalis tetap sama, tetapi tidak

seperti di negeri-negeri kapitalis maju, institusi-institusi negara modern produk

reformasi tidak berfungsi untuk menopang sirkulasi kapital. Ini bukan karena proses

pelembagaan untuk mencari alternatif terhadap pasar, tetapi karena praktik-praktik

pemangsaan dan pengutilan oleh aparat negara dan politisi yang menggerogoti pasar.

Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang melalui pemerasan, penyogokan, penggelapan dan

tipu-muslihat alokasi dana-dana publik – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) – untuk keuntungan pribadi

atau kelompok berlangsung luas. Pelakunya macam-macam: birokrat perizinan, penegak

hukum, dan politisi di berbagai level. Mereka mempraktikkan nepotisme dan klientisme

dengan licik.

Menjadi intelektual publik merupakan produk dari proses historis interaksinya dengan

dinamika tersebut. Bekerja sebagai wartawan majalah berita mingguan Tempo, menjadi

aktivis organisasi non-pemerintah (ornop) di Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa

(YPMD) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan mengajar di Universitas

Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga dan di University of Newcastle, Australia,

adalah momen-momen penting dari proses kesejarahan itu. Ia bekerja di dunia-dunia

yang membuatnya leluasa melintasi batas antara intelektualisme dan aktivisme. Dunia

yang membimbingnya untuk memotret realitas dan sekaligus mengubahnya menjadi lebih

3

baik. Komitmen GJA untuk ‘menjelaskan’ dan ‘mengubah’ sebagai suatu kesatuan terlihat

dari salah satu persuasinya:

“[Saya] telah menggambarkan, secara garis besar, berbagai faham lingkungan di dunia,

serta politik pembangunan di Indonesia. Juga telah diuraikan, berbagai sikap yang

berbeda-beda dari warga masyarakat yang menjadi saksi jatuhnya korban-korban sosial

akibat politik pembangunan yang tidak pro-rakyat dan juga anti-lingkungan. Sekarang,

terpulang pada kita, sikap apa yang akan kita ambil. Mau sekadar menjadi penonton, atau

terjun ke gelanggang dengan menyatakan secara gamblang keberpihakan kita pada para

korban, yang seringkali, adalah kita sendiri.”[3]

Tentu, dia memilih keberpihakan. Seperti sikapnya mengembalikan penghargaan

Kalpataru, kategori pengabdi lingkungan, dari Presiden Soeharto yang diterima pada

1987. Alasanya, rezim Orde Baru merampas kebebasan berpendapat dan merusak

lingkungan hidup.[4] GJA adalah intelektual dan aktivis dalam satu tarikan nafas.

Minat intelektual GJA meliputi aspek yang rumit. Tema kajiannya mencakup isu yang

sangat luas: lingkungan hidup, hak asasi manusia, korupsi, militerisme, gerakan

pembebasan nasional, industri-industri ekstraksi berskala besar, kekerasan-kekerasan

regional, perburuhan, gerakan sosial dan tentu saja pemberitaan media; lingkup geografi

studinya luas sekali: dari Papua hingga Aceh, dari Timor Leste hingga Maluku. Meskipun

kerap menulis tentang setiap daerah yang dikunjunginya, GJA lebih banyak memeras

energi intelektual untuk daerah-daerah yang dilanda kekerasan bersenjata.

Lantas, apa perspektif teori yang membimbing investigasinya terhadap kompleksitas itu?

Terus terang, agak sulit menganggapnya berkiblat pada satu orientasi teori. GJA

menggunakan Antonio Gramsci, Frantz Fanon, Michael Foucault, Ernesto Laclau &

Chantal Mouffe, Mahatma Gandhi, Paul A. Baran & Paul M. Sweezy, James Petras dll

sebagai landasan argumentasi-argumentasinya. Dia mengutip Marx dan Engels dari

tangan pertama dan dari sumber-sumber sekunder, tetapi tidak menggunakan metode

Marxisme untuk tulisan-tulisannya. Tulisannya tentang Marxisme yang sedikit serius

adalah ketika menulis paper hampir 4.000 kata saat peluncuran buku terjemahan Capital

II di Bandung sekitar 10 tahun lalu. GJA bilang buku ini sangat sulit bagi pembaca yang

tidak familiar dengan ilmu ekonomi moneter dan ekonomi internasional. Dia juga

mengatakan tentang relevansi karya Marx ini untuk kapitalisme neoliberal. Hanya saja, di

paper ini, GJA tidak melakukan tinjauan mendalam tentang Capital II.[5] Di luar itu, di

beberapa tulisan yang lain, GJA merujuk ke Marx. Di salah satu karyanya dia menukik ke

jantung Marxisme, dengan bilang:

4

“Demokrasi liberal saja, telah mengundang kritik Marx, yang mengatakan bahwa

“demokrasi berakhir di gerbang pabrik”. Sebab sebagai warga negara (citizen), seorang

buruh bebas untuk memilih partai politik yang ia anggap paling memenuhi aspirasinya.

Tapi sebagai buruh, begitu ia melewati gerbang pabrik, ia harus tunduk kepada peraturan

para kapitalis, yang melalui kakitangan mereka yang bernama ‘manager’ atau ‘direksi’,

dapat memeras tenaga mereka secara maksimal dengan imbalan yang bernama ‘upah’

secara minimal. Tawar menawar antara buruh dan pemilik modal berjalan secara alot di

dalam wilayah pabrik dalam frekuensi yang jauh lebih tinggi ketimbang tawar menawar

antara rakyat dan calon pemerintah lewat proses pemilu yang hanya empat atau lima

tahun sekali. Walaupun yang terpilih untuk memerintah adalah sebuah partai yang

mengklaim pembela kepentingan buruh, tidak ada jaminan bahwa peraturan-peraturan

perburuhan yang progresif akan dipatuhi oleh para kapitalis. Kecuali apabila kaum buruh

terorganisir dalam serikat-serikat buruh yang kuat, dan pemerintah, pada gilirannya,

tidak mereduksi aparat-aparat kekerasan resmi, militer dan polisi, sebagai pembela

kepentingan modal.”[6]

Tetapi, dalam tulisan yang sama dia juga menjadi fans dari intelektual post-marxist,

Laclau & Mouffe. GJA menghabiskan beberapa paragraf untuk mengeksplorasi ide

tentang “demokrasi radikal” dengan subjek revolusioner bukan kaum buruh. Dia menulis:

“Konsep ‘gerakan sosial baru’ sebagai subjek revolusioner masa kini, merupakan

pemberontakan mereka terhadap ajaran Marx dan para pemikir neo-Marxis, yang masih

melihat kaum buruh (proletariat) sebagai subjek revolusioner yang utama. Konsep

gerakan sosial baru, menurut Laclau dan Mouffe, merangkum berbagai gerakan atau

perjuangan (struggle ) yang tidak berbasis kelas dan bukan gerakan buruh, seperti

gerakan urban, gerakan lingkungan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan anti-institusi,

gerakan feminis, gerakan anti-rasisme, gerakan etnis, gerakan regional, dan gerakan

perdamaian.”[7]

GJA lantas tiba pada sebuah kesimpulan yang eklektik: “strategi perjuangan

demokratisasi hendaknya berusaha menyatukan barisan yang lintas kelas, dan lintas

antagonisme anti kapitalis, dalam satu bianglala gerakan kemasyarakatan yang

sosialistis.”[8]

Di atas semua itu, kalau ada teori yang paling konsisten digumuli GJA, tidak salah lagi

adalah tentang “oligarki”. Kritik terhadap kuartet Ha Ha Ha Ha (Harto, Habibie,

Harmoko, dan (Bob) Hasan) yang mengendalikan Indonesia menunjukan minatnya yang

besar tentang soal ini. Tetapi kritik jenaka yang disampaikan di Universitas Islam

Indonesia (UII) Yogyakarta pada 1994 ini yang memicu pelariannya ke Asutralia karena

5

dikejar-kejar regim Orde Baru. Di sana, dengan mengajar mata kuliah Sosiologi Korupsi

di Universitas Newcastle, dia semakin mendalami teori ini. Salah satu tulisannya paling

awal yang menyorot oligarki secara empiris muncul dalam sebuah artikel panjang

“Suharto & Sons (And Daughters, In-Laws & Cronies)” di Wahington Post (January 25,

1998). Pada tahun yang sama, dia kemudian menerbitkan buku Guru Kencing Berdiri,

Murid Kencing Berlari: Kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim Orde Baru

dari Soeharto ke Habibie, yang rekor penjualannya mencapai 21.000 eksemplar pada

pertengahan 1999.[9] Sejak itu, dia adalah salah satu intelektual paling terkemuka dalam

menyebarluaskan teori ini dalam kajian tentang hubungan antara politik dan ekonomi di

nusantara. Sejak publikasi tulisan-tulisannya itu tampak gairah intelektualnya soal ini

meledak-ledak.[10] Menganggap teori Plato tentang oligarki relevan untuk menjelaskan

kekuasaan segelintir orang kaya, baik di negeri-negeri yang tengah mengalami transisi

dari otoriter ke demokrasi maupun di negeri-negeri kapitalis maju, GJA menggunakan

konsep ini untuk investigasi empiris tentang simbiosis politik dan bisnis di Indonesia yang

dikendalikan segelintir orang.[11]

Letak kekuatan GJA adalah kajian empiris yang kaya tentang oligarki bukan saja di level

nasional, tetapi juga di tingkat lokal. Contoh, selain tentang Poso, dia juga menulis

tentang oligarki di Tanah Toraja. Di daerah itu, GJA mensinyalir terjadi tumpang tindih

hubungan antara elit bisnis, elit politik, dan elit agama. Hanya saja, dia agak terjebak

dengan penjelasan kultural. Menurutnya, tumpang tindih tersebut tertanam secara

kultural dalam kehidupan orang Toraja, yakni, kebanggan untuk menjadi orang kaya (to

sugi) dan orang besar (to kapua). Dia bilang bahwa apa yang terjadi di Toraja kurang

lebih sama dengan karakter oligarki di Amerika Latin. Di sana, para pebisnis sukes pada

umumnya berasal dari keluarga-keluarga yang juga menghasilkan para politisi dan pemuka

agama.[12]

Kekuatan lain, GJA berusaha agar masyarakat luas bisa memahami dengan mudah terma

oligarki. Menyadari kosakata ini terlampau serius untuk rakyat kebanyakan, dia

menggantinya dengan metafora “gurita” yang lebih membumi dalam percakapan

sehari-hari, terutama di beberapa wilayah timur Indonesia.[13] Tak heran, bukunya

Gurita Cikeas dan Cikeas Kian Menggurita dicetak ulang berkali-kali untuk memenuhi

rasa ingin tahu khalayak ramai. Pembaca Gurita jadi luas sekali: akademisi, politisi,

birokrat, pebisnis, mahasiswa, hingga paramedis di pelosok. GJA bahkan tidak pusing,

ketika mengetahui pembajakan kedua bukunya itu terjadi berulang kali. Baginya,

penyebaran informasi di dalam buku itu ke pembaca lebih luas jauh lebih penting dari

pada soal pembajakannya. Kalau boleh meminjang Marx,[14] saya ingin bilang bahwa GJA

menghabiskan kemampuan intelektualnya untuk masyarakat luas lebih sebagai “nilai-guna”

dari pada “nilai-tukar”.

6

Tentu saja, karya-karya GJA tidak luput dari kritik. Kendati tidak menyoal teorinya,

penjelasan-penjelasan empirisnya tentang oligarki memang mengundang banyak reaksi,

termasuk dari sejumlah akademisi. Reaksi paling keras datang dari kubu yang dikritik

atau para pendukungnya. Beberapa pihak menyoal metode perolehan dan penyajian data.

Sayang, reaksi bukan melalui tulisan tandingan berbasis kritik ilmiah, tetapi sebatas

komentar-komentar spontan di media massa yang sebagian di antaranya terkesan naif.

***

LORE Lindu adalah sebuah ekosistem yang kaya di jantung pulau Sulawesi di Sulawesi

Tengah. Sejak akhir dekade 1960-an, pemerintah telah menerbitkan izin kepada

perusahaan-perusahaan pemegang konsesi HPH untuk membongkar hutan hujan tropis

secara besar-besaran di provinsi itu. Sejak pertengahan dasawarsa 1970-an. pemerintah

juga menetapkan ratusan ribu hektar wilayah hutan Lore Lindu sebagai kawasan

konservasi. Ini meliputi Suaka Margasatwa Lore Kalamanta dan Hutan Wisata/Hutan

Lindung Danau Lindu. Pemerintah Indonesia lantas menggabungkan keduanya dan

meresmikan sebagai Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) pada 1993, 10 tahun sejak

pertama kali pemerintah mendeklarasikannya sebagai Taman Nasional pada Kongres

Dunia tentang taman nasional di Bali, Oktober 1982.

Lore Lindu menjadi etalase gerakan petani di Sulawesi Tengah sekitar 20 tahun terakhir.

Terletak di dua wilayah kabupaten (Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala dan

kemudian dimekarkan menjadi Kabupaten Sigi) dengan puluhan ribu jiwa mendiami

kawasan itu, kebijakan pembangunan dan pengelolaan kawasan itu telah memicu konflik

sumber daya alam yang serius. Beberapa konflik muncul secara terbuka dan menarik

perhatian luas, di antaranya, penolakan para petani dari empat desa di sekitar Danau

Lindu terhadap rencana proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)

sejak awal dekade 1990-an; penolakan petani di desa Katu terhadap rencana pemindahan

mereka dari TNLL melalui “Central Sulawesi Integrated Area Development and

Conservation Project (CSIADP)” yang dibiayai dari pinjaman (loan) Asian Development

Bank (ADB) sejak 1997, dan pendudukan kawasan TNLL di dongi-dongi oleh ribuan petani

sejak awal dekade 2000-an.

Di Sulawesi Tengah, banyak aktivis yang terlibat dalam ketiga gerakan petani tersebut

tidak mengetahui bahwa GJA sudah lama memperhatikan Lore Lindu. GJA pertama kali

mengeksplorasi Lore Lindu di Sulawesi Tengah pada akhir dasawarsa 1970-an. Sebagai

wartawan Tempo, pada awal April 1978 dia mengunjungi kawasan konservasi itu. Dia

pertama kali menginjakkan kaki di Lembah Besoa, yang saat itu hanya bisa dijangkau

dengan berjalan kaki atau menunggang kuda. Cara lain adalah menumpang pesawat

7

mission aviation felloswship (MAF) yang melayani kepentingan gereja di daerah-daerah

pegunungan yang terisolasi itu. Sebuah sumber di desa Doda (Lembah Besoa), Kecamatan

Lore Tengah, Kabupaten Poso bilang bahwa lebih seminggu dia menemani GJA

menjelajahi hutan Lore Lindu yang kaya biodiversitas.

Dari perjalanan itu, selain menulis beberapa berita tentang salah satu cagar biosfer

dunia itu,[15] GJA menulis sebuah artikel di jurnal ilmiah Prisma. Dia menggambarkan

sisa-sisa kebudayaan megalit di lembah-lembah purba dan pengetahuan tradisional

warganya yang tinggal di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. GJA

juga menjelaskan tentang warisan arsitektur tradisional tahan gempa dari suku-suku

pribumi di situ yang sedang dalam proses pemusnahan di tengah serbuan modernitas.

Diketahui, Lore Lindu dilintasi sesar aktif Palu-Koro yang membentang dari Laut

Sulawesi dan memotong Lembah Palu dan Lembah Koro hingga Teluk Bone di Sulawesi

Selatan, sejauh 500 kilometer. GJA menjadi salah satu peneliti paling awal, kalau bukan

yang pertama, yang menggambarkan konflik antar para petani dengan otoritas kawasan

konservasi itu. Ia menyebut para petani dataran tinggi di sana kehilangan hak tradisional

untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan non-kayu, sejak pemerintah menetapkan

kawasan itu sebagai areal konservasi.[16] Sebelum generasi aktivis di Sulawesi Tengah

menyoal kebijakan pembatasan akses penduduk di kawasan konservasi itu sejak awal

dekade 1990-an, GJA sudah memelopori kritik belasan tahun sebelumnya. Dia juga

melihat potensi kebudayaan suku-suku pribumi di sana sebagai kategori yang perlu

diperhatikan, jauh sebelum gerakan masyarakat adat berkembang biak sejak

pertengahan dasawara1990-an. Dalam konteks konservasi, dari pada memusuhi warga,

GJA melihat revitalisasi kebudayaan penduduk di sana mungkin dapat memperkuat

motivasi untuk melindungi alam. Dia lantas menutup tulisannya dengan sedikit nada

kekhawatiran:

“[U]saha revitalisasi kebudayaan To Lore [i.e., To Napu, To Behoa, To Bada, To Tawaelia],

mungkin dapat diharapkan ada di lingkungan pamong praja dan gereja. Namun dengan

melihat monolitiknya struktur kekuasaan formal dan informal yang tumpang tindih, maka

potensi itu lebih mungkin terdapat di kalangan generasi muda di luar establishment. Itu

pun kalau orang-orang muda itu sendiri belum terlalu dirasuki oleh pola konsumsi kota

dan alam pemikiran kapitalistis akibat proses alienasi budaya yang sudah berjalan sejak

ekspedisi Voskuil, September 1905. [ekspedisi Voskuil adalah penaklukan Napu secara

militer yang menandai era baru pemerintahan langsung (direct rule) Belanda di Poso dan

di Sulawesi Tengah secara umum].”[17]

GJA sudah merasa cemas dengan dampak tertentu dari perkembangan historis

kapitalisme terhadap suku-suku minoritas di sana.

8

Pada awal dekade 1990-an, GJA kembali mengunjungi Sulawesi Tengah. Kali ini, dia ambil

bagian dalam gerakan anti-proyek PLTA Danau Lindu. Saat itu, pemerintah pusat sedang

gesit membangun proyek-proyek infrastruktur, termasuk rencana pembangunan PLTA di

Danau Lindu, sekitar 60 kilometer dari Selatan Kota Palu. Rencananya, permukaan air

danau tektonik itu akan dinaikkan sekitar 6-10 meter dengan membendung di outlet

danau. Akibatnya, empat desa di sekitar danau (Puroo, Langko, Tomado, dan Anca) dan

lahan-lahan pertanian akan tergenang. Pemerintah akan memindahkan warga desa-desa

itu ke Lalundu, sebuah lokasi transmigrasi saat itu (kini bagian dari Kecamatan Rio

Pekava, Kabupaten Donggala), terletak sekitar 150 kilometer dari Danau Lindu. Warga

menolak rencana pemindahan. Dalam desain konstruksi dan pembangunan jalan masuk,

proyek ini juga akan membongkar ribuan hektar hutan TNLL. Karenanya, para pegiat

lingkungan hidup menolak proyek ini.

Sebagai seorang yang menulis disertasi doktor di Cornell University soal bendungan di

Indonesia,[18] kedatangan GJA di Palu untuk membagi pengetahuan tentang

dampak-dampak proyek sejenis di tempat lain kepada para aktivis. Selain menjelaskan

panjang lebar tentang risetnya soal bendungan Kedungombo, dia juga membagi sejumlah

tulisan pendeknya sendiri tentang Dam dan PLTA di berbagai tempat di Indonesia.[19]

GJA juga menceritakan pengalaman tentang gerakan anti-bendungan di tempat lain.

Tulisan-tulisannya sangat berguna buat aktivis LSM, pecinta alam dan mahasiswa di Palu

yang saat itu memiliki pengetahuan perbandingan yang sangat terbatas soal efek

pembangunan bendungan raksasa. Bersama Hedar Laudjeng (alm), dia menekankan

pembelaan terhadap pengetahuan dan hak-hak suku pribumi dalam proyek-proyek

raksasa beralaskan tanah seperti ini. Ketika empat petani dari Lindu melakukan studi

perbandingan ke Kedungmbo, selain menimba pelajaran dari para petani dan aktivis di

sana, mereka juga banyak menimba pengetahuan dari GJA soal dampak pembangunan

bendungan di berbagai tempat. Ringkas cerita, GJA menyumbang pengetahuan tidak

sedikit terhadap gerakan anti-pembangunan PLTA Danau Lindu saat itu.

9

Krisis kapitalisme melanda Asia Tenggara dan Asia Timur akhir dasawarsa 1990-an.

Di Indonesia, krisis mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaan formal dan

melipat-gandakan jumlah orang miskin.

Krisis juga mendestabilisasi politik nasional dengan efek domino kekerasan rasial di

beberapa kota di Jawa. Terjadi protes mahasiswa di seantero tanah air yang menuntut

Soeharto turun tahta. Si Jenderal (Jagal) Besar lantas mengundurkan diri dari

kekuasaaan yang dipegang selama 32 tahun pada Mei 1998. Sejak itu, politik nasional kian

tidak stabil. Di beberapa wilayah di luar Jawa, seperti Kalimantan Barat, Maluku, Maluku

Utara, dan Poso muncul kekerasan berbau agama dan suku.

GJA memperhatikan dengan serius kekerasan-kekerasan regional itu. Dia menguras

energi intelektualnya dengan meneliti, menulis, dan mempresentasikan tulisan-tulisannya

di berbagai forum soal kekerasan-kekerasan itu.[20] Berbeda dari banyak tulisan, baik

popular maupun ilmiah, yang melihat kekerasan-kekerasan itu sebagai soal antar

komunitas-komunitas berbeda agama dan suku, dia melihatnya dari sudut pandang lain.

Kendati GJA sendiri tidak mendiskusikan teori yang mendasari pandangannya secara

dalam, tetapi dari berbagai tulisannya kita bisa menarik kesimpulan bahwa dia menilai

kekerasan sebagai kombinasi antara kelas, etnis dan agama. Seperti terlihat dari sebuah

klaimnya.

“Pada umumnya, karena para jurnalis tidak dilengkapi pisau analisa sosial, maka ‘agama’

para aktor yang bertikai dianggap sebagai kategori sosial satu-satunya yang paling

relevan. Padahal, konflik dan kerusuhan sosial di antara berbagai komunitas di

daerah-daerah kerusuhan seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku, bahkan

juga di kota-kota besar di Jawa, mengalami eskalasi, karena ketumpang tindihan di

antara faktor-faktor kelas, etnisitas, dan agama dari kominitas-komunitas yang

bertikai.”[21]

Dari hampir semua tulisannya soal kekerasan komunal, GJA berusaha menjelaskan siapa

yang diuntungkan akibat kekerasan yang berlarut-larut. Pertanyaan ‘siapa’ lebih

menunjuk ke aktor dalam pengertian elit (politisi, aparat keamanan, birokrat, dan

pebisnis/kontraktor) dalam konteks teori oligarki. Merekalah yang mencoba mengeruk

keuntungan baik ekonomi maupun politik. GJA menyebut ekonomi-politik sebagai

pendekatannya. Dengan pendekatan ini dan mengatakan bahwa “pihak-pihak tertentu, di

Poso, Palu, Jakarta, dan bahkan di luar [negeri] mungkin mendapat keuntungan dari

pencetusan dan pelanggengan kerusuhan-kerusuhan berdimensi ‘konflik antar

komunitas’…”.[22] Dari sudut pandang ini, GJA sejak awal berusaha mencegah dirinya

untuk menghakimi kekerasan antara komunitas berlatar belakang agama sebagai soal

10

yang tertanam di dalam komunitas-komunitas atau bahkan tertanam di dalam ajaran

agama-agama.

Tidak heran, dari tulisan-tulisannya, kata-kata kunci yang menonjol tidak jauh di sekitar

TNI, korupsi, dan bisnis. GJA berusaha mengaitkan hubungan antara

kekerasan-kekerasan berdimensi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dengan

kepentingan aparat keamanan (baik institusional maupun personal), korupsi oleh aparatur

negara, dan kegiatan atau ekspansi bisnis skala besar. Tulisan-tulisannya lebih melihat

soal-soal berdimensi ekonomi dan politik dari kekerasan semacam ini. GJA menulis:

“… yang terjadi di daerah konflik seperti di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara dan

Maluku, maupun di daerah yang menentang kedaulatan NKRI, seperti Aceh dan Papua

Barat, adalah kolusi antara modal, militer yang anti-reformasi, paramiliter, serta

birokrat dan pedagang yang berkolusi dalam ‘industri pengungsi’. Dalam kasus Sulawesi

Tengah, konglomerat yang diuntungkan oleh kerusuhan di Kabupaten Poso dan Morowali,

adalah kelompok Arta Graha di Morowali, kelompok Medco di lepas pantai Teluk Tolo dan

daratan Kabupaten Banggai, serta kelompok Bukaka yang kini sedang membangun PLTA

Sulewana di Sungai Poso” [garis bawah dari naskah asli].[23]

Khusus tentang TNI, seperti biasa GJA berusaha kritikal terhadap kepentingan

institusional dan personal di balik kekerasan-kekerasan regional. Ia kerap mendiskusikan

hubungan antara kekerasan-kekerasan itu dengan kepentingan pemekaran komando

teritoril. Pembentukan kembali Komando Daerah Militer (Kodam) XIII/Merdeka di

Manado, 20-12-2016, sebenarnya telah diperkirkan GJA belasan tahun lalu. Dia sudah

mengalkulasi tentang kekerasan Poso dan implikasinya terhadap kemungkinan pemekaran

Kodam XIII/Merdeka – dengan wilayah meliputi provinsi-provinsi Sulawesi Utara,

Sulawesi Tengah, dan Gorontalo – dari Kodam Wirabuana. Dari kekerasan Poso, GJA juga

menilai pembentukan Batalyon Infanteri 714/Sintuvu Maroso, 24-8-2005, di Poso

sebagai salah satu keuntungan institusi TNI. Di luar itu, dia menganggap aparat

bersenjata mengeruk keuntungan-keuntungan personal yang bersifat ilegal di tengah

kekerasan yang merajalela.[24]

Tulisan-tulisan GJA tentang kekerasan Poso cukup mendalam karena berbasis

metodologi penelitian yang ketat dan kreatif. Tulisan-tulisannya menukik ke dasar

masalah berkat investigasi empiris melalui pengamatan dari dekat dan

wawancara-wawancara lapangan selama beberapa tahun. Ini ditunjang dengan kajian

literatur dan sumber-sumber sekunder yang kaya. Jaringannya yang luas dengan

tokoh-tokoh gereja di Tentena dan Palu, bekas-bekas mahasiswanya, dan aktivis-aktivis

ornop dan mahasiswa di daerah ini membuat GJA boleh dibilang tidak mengalami

11

kesulitan mengumpulkan aneka informasi. Dia membaca hampir semua surat kabar atau

mingguan, baik yang terbit teratur maupun tidak, di Sulawesi Tengah tentang kekerasan

Poso. Tak heran, di berbagai tulisannya dia merujuk ke media lokal, termasuk media yang

‘sekali terbit dan setelahnya wassalam’. Dia juga mendengar dan mencatat informasi

tentang kekerasan dari siapapun yang ditemuinya. Dia rajin mengirim sms (short message

system) kepada banyak orang untuk bertanya dan mengecek ulang setiap informasi.

Tentu saja, sebagai peneliti yang melakukan investigasi lapangan dengan kerangka teori

yang sudah ada di kepala, GJA selalu bersikap kritis terhadap informasi dan sumbernya.

Dia tidak serta-merta melahap setiap informasi yang dipungut. Menyadari bahwa

penelitian di daerah-daerah dengan konflik bernuansa SARA berpotensi bias karena

kesamaan latar belakang agama antara peneliti dan fihak yang diteliti, GJA berusaha

menjaga jarak. Sebuah penjelasan berikut menggambarkan posisinya:

“Dalam penelitian di Ambon dan Poso, berbagai jurubicara komunitas yang bertikai

cenderung menghalalkan “perjuangan” mereka dengan memberikan persepsi mereka

masing-masing, tentang siapa yang lebih dulu menyerang dan siapa yang hanya membela

diri. Lebih jauh lagi, persepsi tentang asimetri kekuasaan dan pengaruh itu diperluas ke

dunia internasional, dengan menekankan bahwa kelompok “lawan” lebih banyak mendapat

bantuan atau dukungan dunia internasional. Komunitas Nasrani dipersepsikan dekat

dengan lobby Yahudi internasional, PBB dan dunia Barat, sedangkan komunitas Muslim

dipersepsikan dekat dengan al Qaeda dan dunia Arab. Padahal, kedua persepsi itu

sama-sama keliru.”[25]

Dalam investigasi, GJA tidak hanya menggali informasi penting atau formal. Dia juga

sibuk mendengar, mencatat, dan menulis tentang cerita-cerita rakyat, legenda, gosip dan

pemeo. Dia ingin memastikan bahwa di balik informasi-informasi ‘tak berguna’ mungkin

tersedia pengetahuan penting. Atau, informasi-informasi ‘tak berguna’ bahkan

merupakan cermin ketidak-puasan atau protes. Dalam kasus kekerasan Poso, GJA rajin

mencatat pemeo-pemeo yang dia peroleh dari lapangan. Banyak di antara pemeo itu,

berhubungan dengan topik penelitiannya: kekerasan dan korupsi. Saat itu, bagi sebagian

warga Poso yang hidup di tengah kesusahan karena kekerasan, pemeo mungkin dapat

menghibur. Tetapi, pemeo juga menjadi semacam ungkapan protes warga terhadap

aparat korup. Salah satu yang paling popular saat itu adalah “sementara pengungsi makan

supermi, pejabat makan Super Kijang.”[26] Warga protes, karena milyaran dana dari

pemerintah pusat tidak sampai ke tangan pengungsi. Sementara para pengungsi harus

berjuang setengah mati untuk memperoleh jatah sembako, para pejabat berlomba-lomba

membeli Super Kijang, jenis/generasi mobil MPV (multiple purpose vehicle) yang banyak

pemakainya di Poso saat itu.

12

Suatu waktu, saat kembali dari wawancara lapangan dengan warga Poso di lokasi

pengungsian, GJA membagi cerita tentang pemeo dari seorang interlocutornya. Intinya,

si narasumber kesal dengan praktik kongkalikong antara pejabat pemerintah daerah dan

kontraktor proyek “rumah tinggal sederhana” (RTS) untuk para pengungsi. Banyak di

antara RTS itu tidak patut dihuni, karena dibangun seadanya: kalau bukan atap tidak

lengkap, RTS-RTS itu tidak berdinding atau setengah berdinding. Kepada GJA, sang

narasumber bilang bahwa sejatinya itu bukan RTS, tetapi RTSSSSS, yakni, rumah

tinggal sementara sehingga [maaf] senggama suami-isteripun susah). RTS memang salah

satu sasaran korupsi paling kasat mata saat itu. Dari penelitian-penelitiannya di

beberapa daerah, GJA menyimpulkan bahwa kekerasan berdimensi SARA memang sarat

dengan korupsi. Dia bilang:

“Pencetusan dan pemeliharaan konflik di Indonesia juga merupakan semacam “industri”

bagi aparat birokrasi sipil, sebab kerusuhan melahirkan pengungsi, dan pengungsi

mengundang bantuan kemanusiaan yang sangat rentan untuk dikorupsi. Walhasil,

kerusuhan demi kerusuhan telah melahirkan sejumlah milyarder di kalangan birokrat, di

mana segelintir kepala daerah dan kepala Dinas Kesejahteraan Sosial berhasil beternak

mobil dan rumah mewah di mana-mana, sementara para pengungsi semakin melarat.”[27]

***

Ketika GJA kembali di Sulawesi Tengah sejak awal dasawarsa 2000-an, gerakan sosial di

daerah itu sedang mengembang. Aksi-aksi protes massa yang melibatkan para aktivis dan

kaum tani sedang meluas sejak akhir dekade 1990-an. Di Buol, ratusan petani menduduki

kembali lahan mereka yang dirampas untuk perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantation

(HIP), milik konglomerat Siti Hartati Murdaya. Marwan Dahlan (alm), eks-aktivis

13

Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di Kota Palu, yang kembali ke

Tolitoli untuk membangun Yayasan Dopalak Indonesia, sangat aktif mengorganisir para

petani yang tergabung dalam Forum Tani Buol (FTB) dalam aksi pendudukan kembali itu.

Dari Marwan, GJA memperoleh banyak informasi lapangan tentang PT HIP. GJA

mengaitkan kepentingan Hendropriyono di perusahaan ini dan kekerasan di Poso.[28] Di

Dongi-dongi, ribuan petani, didukung para aktivis yang tergabung dalam jaringan WALHI,

menduduki ribuan hektar kawasan TNLL di sisi jalan raya yang menghubungkan Dataran

Palolo (saat ini Kabupaten Sigi) dengan Lembah Napu (Kabupaten Poso). Di tengah-tengah

peningkatan aksi-aksi massa tersebut, para aktivis (mahasiswa dan ornop) bersama-sama

dengan petani, nelayan, buruh membentuk wadah bersama Persatuan Rakyat Miskin

Sulawesi Tengah (PRM-ST). GJA sendiri dengan antusias mengikuti perkembangan ini

dan menulis:

“Dialektika antara gerakan kampus dan gerakan kampung itu mendorong proses

radikalisasi berbagai komponen gerakan pro-demokrasi di Sulawesi Tengah, yang di bulan

September 2000 menghimpun diri dalam Forum Rakyat Miskin Sulawesi Tengah

(FRM-ST) dan sejak Januari 2005 menjelma menjadi Perkumpulan Rakyat Miskin

Sulawesi Tengah (PRM-ST).”[29]

Dia beberapa kali ikut terlibat dalam diskusi-diskusi formal dan aksi-aksi massa PRM-ST.

GJA tercatat sekali memberikan orasi di hadapan massa aksi di depan markas Komando

Resort Militer (Korem) 132/Tadulako di Palu. Seperti juga di dalam tulisan-tulisannya,

dalam orasi ia mengeritik TNI yang ditudingnya mengeruk keuntungan dari kekerasan

Poso.

Perjumpaan GJA dengan para aktivis di Palu bisa saja dijelaskan sebagai pertemuan

antara ‘seorang yang menulis untuk menjelaskan realitas’ dan sekumpulan orang yang

‘berusaha untuk mengubah realitas agar menjadi lebih baik.’ Karya-karyanya membantu

para aktivis untuk memahami kekerasan Poso dari kacamata berbeda. Tesisnya tentang

hubungan antara kekerasan dan korupsi menjadi ‘basis teori’ banyak aktivis di daerah itu.

Tetapi yang penting adalah GJA ikut bergabung secara aktif dengan Poso Center (PC),

koalisi ornop yang fokus pada investigasi, kampanye dan mobilisasi massa dalam anti

korupsi dan kekerasan. Menggunakan tesis GJA, PC mengembangkan riset dan investigasi

korupsi di Poso. Berbagi tugas terutama dengan Mahfud Masuara dan Danel Lasimpo,

GJA memanfaatkan informasi dan dokumen awal dari whistleblowers untuk investigasi.

Dia aktif mengumpulkan data otentik tentang kepemilikan rumah dan mobil

pejabat-pejabat di Poso di berbagai kota (Palu, Makassar, Jogjakarta, dan Jakarta). Dia

juga bahkan menginap beberapa malam di sebuah hotel di Jakarta hanya untuk

memastikan bahwa para pejabat itu sering menginap dan membooking kamar hotel itu

14

untuk fihak lain. Sementara Mahfud dan Danel dibantu banyak aktivis di Poso dan

Tentena berjibaku mengejar kesaksian warga dan mengumpulkan bukti-bukti lapangan

penyelewengan proyek. Setumpuk dokumen resmi, aneka bukti transaksi (rekening koran,

struk pembayaran kamar hotel, nota pembelian/pengambilan barang, kuitansi

pembayaran fiktif), foto-foto (fisik proyek, rumah, mobil, dll) dan testimoni-testimoni

saksi berhasil dikumpulkan.

Hasil-hasil riset dan investigasi lantas dikampanyekan secara terbuka. Di Kota Poso,

Iskandar Lamuka, Direktur Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS), dan Darwis

Waru, Kordinator Pusat Rekonsiliasi Konflik Poso (PRKP), tanpa lelah menjadi ujung

tombak kampanye publik. Mereka terutama secara aktif menjelaskan kepada khalayak

ramai, termasuk melalui media masa arus utama dan melalui aksi-aksi protes massa. Di

Palu, hal yang sama dilakukan melalui PC. Kordinatornya, Yusuf Lakaseng, dengan

artikulasi sangat baik mengirim pesan yang mudah diserap publik. GJA sendiri aktif

menulis berbagai tulisan bersandar riset dan investigasi dan menyebar-luaskan melalui

berbagai forum.

Kampanye saja tidak cukup. Kampanye memang membantu pihak lain untuk mengerti

duduk masalah. Tetapi, kampanye semata menempatkan rakyat kebanyakan dalam posisi

pasif. Diperlukan kombinasi antara kampanye dan pengorganisiran agar warga menjadi

aktif. Hanya, problem di Poso sangat rumit. Kekerasan berulang melestarikan “common

sense” warga bahwa akar masalah adalah soal agama dan suku. Mereka melihat langsung

gereja dan mesjid dibakar. Mereka merasakan. Kehadiran berbagai laskar bersenjata

memperdalam proses ideologisasi ‘perang suci’. Sebaliknya, mereka sulit memahami atau

mengerti konteks dan kompleksitas kekerasan yang tidak kasat mata. Kaum intelektual,

yang memahami konteks itu, mungkin tidak merasakan “common sense” tadi. Intinya, ada

jurang antara yang ‘merasakan’ dan yang ‘memahami’. Intelektual sejati, atau “intelektual

organic” meminjam Gramsci (yang kerap dirujuk GJA), harus aktif membangun jembatan

penghubung, mempertemukan ‘merasakan’ dan ‘memahami’.

Proses mempertemukan tersebut harus bertolak dari soal-soal objektif di masyarakat.

Kekerasan berlarut telah memorak-morandakan ekonomi modern dan formal yang juga

marginal di perkotaan. Pelayanan jasa keuangan, transportasi, dan perdagangan skala

menengah dan kecil nyaris lumpuh. Kegiatan produktif yang didominasi sektor pertanian

tradisional di perdesaan terpuruk. Di tengah keadaan ekonomi yang memburuk, para

pemuda – pekerja sektor informal, petani-petani kecil, dan penganggur – tidak memiliki

banyak pilihan. Banyak mengambil bagian dalam kekerasan dengan motif-motif berbeda:

‘perang suci’, ekonomi, atau kombinasi keduanya. Lazim di daerah konflik dengan

kekerasan, dengan ekonomi formal relatif runtuh, denyut ekonomi bergantung pada

15

proyek-proyek APBN/APBD, termasuk turunannya ‘industri keamanan’ dan ‘industri

pengungsi’. Tetapi, peluang penyelewengan bukan saja menonjol tetapi juga sulit

diberantas karena ketidak-stabilan pemerintahan. Penyelewengan dana proyek dan teror

kekerasan merupakan dua soal berbeda, tetapi mudah menyatu di daerah konflik dengan

kekerasan. Keadaan ini diperburuk dengan kenyataan bahwa di daerah-daerah tanpa

stabilitas seperti ini, aparat penegak hukum dan pelaku kejahatan kalau bukan saling

memanfaatkan, memang bekerja sama. Itu yang terjadi di Poso: tumpang tindih antara

korupsi proyek dana kemanusiaan Poso (juga proyek-proyek APBD/APBN lain) dan

kekerasan. Para pelaku korupsi adalah jejaring yang menyertakan segelintir politisi,

birokrat, aparat keamanan, dan kontraktor. Mereka membiarkan kekerasan.

Poso Center mencoba untuk meruntuhkan dinding pemisah tersebut. Cara yang ditempuh

saat itu adalah pengorganisiran untuk penyadaran para pemuda. Ini dilakukan untuk

mengubah kesadaran mereka tentang kekerasan sebagai soal antar agama dan

implikasinya terhadap kehidupan hari-hari. Mereka perlu disadarkan bahwa dari

kekerasan yang berlarut di Poso ada pihak di luar mereka yang mengeruk keuntungan,

terutama bersumber dari ‘industri’ pengungsi dan ‘industri’ pengerahan pasukan.

Penyadaran memang sebatas untuk memajukan kesadaran tentang penyebab

keterpurukan ekonomi. Tetapi, penyadaran semacam ini setidaknya mencegah mereka

untuk terus-menerus dikuasai kesadaran dangkal tentang perang agama. Pekerjaan yang

tidak mudah bagi Iskandar, Darwis, Adriany Badrah, Danel, Soraya Sultan, Mahfud, dll

di lapangan untuk menyadarkan para kombatan dan eks-kombatan. Bahwa kekerasan yang

tak berkesudahan hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan atau bahkan

semakin memiskinkan mayoritas yang terlibat dalam kekerasan jalanan.

Hasil terukur yang bisa dilihat adalah pembentukan forum solidaritas masyarakat Poso

(FSMP) yang mewadahi para pemuda. Di tengah-tengah berbagai teror dan intimidasi,

FSMP melakukan aksi-aksi massa di Kota Poso dengan menyoroti korupsi dana

kemanusiaan. Aksi juga berulang sampai di Kota Palu. Melalui aksi-aksi, para pemuda

secara langsung mengenali siapa mereka dan siapa sesungguhnya lawan-lawan mereka.

Mereka menjadi sadar, lawan-lawan dalam ‘perang suci’ adalah kawan, sesama korban.

Sebaliknya, kawan dalam ‘perang suci’ menjadi musuh. Ketika jejaring koruptor

terganggu dengan aksi-aksi massa dan memobilisasi perlawanan melalui teror, mereka

menjadi semakin percaya bahwa korupsi adalah soal utama di Poso. Apalagi, pejabat

Bupati Poso yang sangat berkuasa saat itu ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 dan

digelandang ke Markas Brimob di Kelapa Dua, Jakarta.

Investigasi, kampanye, dan pengorganisiran pemuda untuk gerakan anti-korupsi dan

kekerasan di daerah konflik bukan pekerjaan mudah. Teror dan intimidasi datang

16

bertubi-tubi. Dua kantor ornop di Poso, yakni PRKP dan LPMS, mengalami serangan bom

akhir April 2005. Kendati tak ada korban jiwa, serangan itu cukup mencemaskan para

aktivis di tengah-tengah eskalasi teror (pemboman, penembakan misterius, dan

pembunuhan), baik di Kabupaten Poso, maupun di kota Palu. Beberapa tahun kemudian,

para pelaku mengakui bahwa pemboman itu karena kedua ornop menjadi markas gerakan

anti-korupsi dana kemanusiaan Poso. GJA sendiri berulang kali menerima sms ancaman.

Beberapa kali dia mengeluh dan tampak panik karena merasa ada yang selalu

mengintainya. Belum lagi, hampir saban hari, di Palu, Poso Center menerima tamu dua

anggota intel Kopassus yang ‘memantau’ kekerasan Poso. Mereka menanyakan tentang

aktivitas-aktivitas Poso Center dan GJA. Tidak jelas, apakah mereka menggali informasi

tentang Poso Center atau Poso Center hanya jembatan untuk GJA.

Kita melihat teori dipraktikkan. Teori tentang korupsi dan kekerasan dipraktikkan dalam

gerakan bersama di Poso. GJA yang mengambil bagian dalam gerakan ini, menulis

kesaksiannya:

” … dari sudut kebudayaan, partisipasi para pengungsi dan mantan kombatan dalam

aksi-aksi massa secara bahu membahu, walaupun berbeda agama dan suku, dan

bekerjasama dengan aktivis-aktivis berbasis kota dan kampus, dapat dilihat sebagai

suatu inovasi budaya. Sebelumnya, masyarakat Poso sangat bersifat semi-feodal, di

mana hanya para kabose (bangsawan) dapat menjadi jurubicara mereka. Baik kabose lama,

maupun para ‘kabose baru’, yakni para pemuka agama – pendeta dan ulama – serta para

pemimpin formal yang diangkat oleh pemerintah.”[30]

***

GJA adalah figur yang unik dalam petabumi intelektualisme dan aktivisme dalam

menghadapi rezim otoriter Orde Baru dan rezim reformasi pasca-Orde Baru. Ketika

banyak intelektual lebih memilih berumah di atas angin dan banyak aktivis berlagak

anti-teori, GJA sepanjang kariernya mengombinasikan dua dunia yang semestinya tidak

bertolak belakang itu. Dia aktif mengerahkan kemampuan fisik dan mentalnya untuk

memproduksi pengetahuan. Dalam waktu yang sama, karya-karyanya menjadi senjata

untuk gerakan-gerakan sosial di mana dia ikut mengambil bagian secara aktif.

Puluhan tahun, bersikap kritis terhadap penyalah-gunaan kekuasaan di berbagai jenjang,

termasuk di Poso, menunjukkan nafas panjang konsistensinya. Problem Indonesia tentu

saja jauh lebih kompleks dari kacamata teori oligarki, tetapi penggunaannya, terutama

sejak reformasi 1998, memperlihatkan keteguhan teoritik GJA untuk mempersoalkan

praktik penyimpangan kekuasaan. Konsistensi ini bukan karena pilihan subjektifnya

17

semata, tetapi beririsan dengan kenyataan objektif di luar sana. Otoritarianisme Orde

Baru memang sudah ambruk, tetapi demokrasi sejati masih jauh. Praktik-praktik

pemangsaan dalam pengelolaan kekuasaan bukan melemah, tetapi semakin menggila,

dengan pelaku kejahatan saja yang berbeda. GJA benar, ketika sekitar 15 tahun lalu,

memilih judul sebuah tulisannya: “Suharto has gone, but the regime has not changed”.

Rest in Power.***

Penulis adalah kandidat doktor di York University, Kanada, dan editor IndoPROGRESS

Catatan: Saripati tulisan ini telah dipresentasikan di panel tentang “In Memoriam

George Junus Aditjondro: Works and Lives”, 21 Desember 2016, dalam International

Conference tentang Navigating Global Flows of Capital, Policy and Values:

Conceptualizing Trajectories Toward Alternative Modernities in Indonesia, kerja sama

antara Universitas Tadulako, Celebes Institute dan Yayasan Tanah Merdeka, 19-22

Desember di Palu. Sejak Agustus 2016, saya sudah memperoleh izin dari beberapa orang

yang namanya saya sebut dalam tulisan ini.

———

[1] Karl Marx. 1962[1852]. “The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.” In Karl Marx

and Frederick Engels. Selected Works (Volume 1). Moscow: Foreign Languages

Publishing House, p, 247.

[2] David Lirbhold. 1999. “Man with a Mission: Find Suharto’s Loot”. Time, May 24.

[3] George Junus Aditjondro. 2005. “Lingkungan Hidup dan Politik Pembangunan di

Indonesia.” Makalah untuk Seminar Lingkungan Hidup, Senat Mahasiswa Universitas

Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, 15 Juni, h, 12.

[4] Surat George Junus Adijtondro untuk Presiden Soeharto. Newcsatle, 24 Juli 1997.

[5] Lihat George Junus Aditjondro. 2006. “Mengenang Perempuan dan Anak-anak yang

telah dipersembahkan di Altar Kapitalisme: Relevansi Das Kapital bagi gerakan-gerakan

kemasyarakatan (social movements ) di Indonesia.” Catatan untuk Peluncuran Buku II

Kapital karya Karl Marx, Senin, 18 Sept. di GSG Unika Parahyangan, Bandung.

[6] George Junus Aditjondro. 2006. “Demokrasi Radikal, Fundamentalisme Agama dan

Fundamentalisme Pasar.” Makalah untuk Seminar dan Lokakarya Agama dan Negara

bertema “Lampu Merah Nasionalisme: Kebangkitan Fundamentalisme dan

18

Neo-Liberalisme” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Darma, Selasa, 29 Agustus, h,

4.

[7] Ibid, h, 8; lihat juga George Junus Aditjondro. 2008. “Ernesto “Che” Guevara,

Ernesto Laclau dan Kebangkitan Gerakan Kiri di Amerika Latin.” Sociae Polites

VIII(26):1-23, h, 17.

[8] Ibid, h, 9-10.

[9] Lirbhold, “Man with a Mission: Find Suharto’s Loot”.

[10] Lihat George Junus Aditjondro. 2002. “Suharto has gone, but the regime has not

changed: presidential corruption in the Orde Baru.” Dalam Richard Holloway (ed.).

Stealing from the People: 16 studies on corruption in Indonesia Book 1: corruption from

top to bottom. Jakarta; Aksara Foundation, pp, 1-66; George Junus Adijtondro. 2002.

Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi

Pers dan Pembangunan; George Junus Adijtondro. 2002. Kembari Siam Penguasa Politik

dan Ekonomi di Indonesia: Investigasi korupsi sistemik bagi aktivis dan wartawan.

Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan; George Junus Aditjondro. 2006.

Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, tangksi, dan partai

penguasa. Jogyakarta: LKIS; George Junus Adijtondro. 2010. Membongkar Gurita

Cikeas di Balik Skandal Bank Century. Jogyakarta: Galangpress; George Junus

Aditjondro. 2011. Cikeas Kian Menggurita. Jogjakarta: Galangpress.

[11] Adijtondro, Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia, h,

xii-xiii.

[12] George Junus Aditjondro. 2009. “Are people Judged by Their Blood, or by Their

Wealth? Contradiction in Toraja’s New Oligarchy.” Paper for International Conference

on ‘Toraja: Toraja Culture as Symbol of Indonesian Multiculturalism and Genius Loci’ in

Rantepao, Tana Toraja, 27-29 July 2009.

[13] Aditjondro, Cikeas Kian Menggurita, h, 7-9.

[14] Lihat Karl Marx. Capital Volume I. New York, London: Penguin Books.

[15] Lihat “Zaman Batu di Besoa,” Tempo, 29 April 1978; Lihat juga “ALam Masih Murni,

Tapi Anoa Hampir Pergi,” Tempo, 3 April 1978.

[16] Lihat G.Y. Aditjondro. 1979. “Angin Pantai di Lembah Pegunungan: Adakah yang

bakal terbang?” Prisma, Februari, h, 3-17.

19

[17] Ibid, h, 17. Ekspedisi Voskuil adalah sebuah ekspedisi militer yang dilakukan

September 1905. Pasukan tentara Belanda pimpinan H.J.Voskuil dikirim ke wilayah itu

menyusul penolakan dua kepala suku yang diundang menghadiri pertemuan yang dilakukan

oleh W.G. Engelenberg, Asisten Residen Sulawesi Tengah. Akibatnya, 60 To Napu

meninggal dalam pertempuran. Lihat Alber Schrauwers. 2000. Colonial ‘Reformation’ in

the Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892-1995. Toronto: University of

Torontor Press, p, 47.

[18] Lihat George Aditjondro. 1993. The Media as Development “Textbook”: A case

study on information distortion in the debate about the social impact of an Indonesian

dam. A Ph.D Dissertation at Cornell University.

[19] Di antaranya George Junus Aditjondro. 1980. “Setelah Larona Dibendung”. Bina

Desa, April, 77-79; George Junus Aditjondro. 1983. “Mengkaji Dampak PLTA Sentani,”

Tanah Air, November, pp, 11-13; George Junus Aditjondro. 1990. “Para Pendekar

Kedungombo, Di Mana Kau Berada,” Gita Kampus, Februari; George Junus Aditjondro.

1990. “Hikayat Pembangunan Bendungan,” Suara Merdeka, 10-11 Oktober; George Junus

Aditjondro. 1990. Citra Bendungan Lewat Puisi: Dari Taufiq Ismail Sampai Sejumlah

Penyair Kalsel,” Banjar Masin Pos, 8 November.

[20] Beberapa di antara tulisan-tulisannya adalah George Junus Aditjondro. 2001. “Guns,

Pamphlets and Handie-Talkies: How the military exploited local ethno-religious tension

in Maluku to preserve their political and economic privileges.” In Ingrid Wessel &

Georgia Wimhöfer (eds). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera Verlag Markus Voss, h,

100-28; George Junus Aditjondro. 2002. “Pemekaran KODAM di Sulawesi.” Makalah

penelitian yang tidak diterbitkan untuk National Democratic Institute, Jakarta.

[21] George Junus Aditjondro. 2004. “Dampak Pemberitaan Media atas Konflik Regional

di Indonesia: Telaah atas liputan media terhadap konflik di Aceh, Ambon dan Poso,”

Makalah tidak dipublikasi, h,2.

[22] George Junus Aditjondro. 2003. “Renungan Buat Papa Nanda, Anak Domba Paskah

dari Tentena.” Prolog dalam Rinaldy Damanik. Tragedi Kemanusiaan Poso: Menanggapi

surya pagi melelaui kegelapan malam. Jakarta: PBHI, Yakoma PGI, CD Betesda, h, xxi.

[23] George Junus Aditjondro. 2005. “Meniliti di antara Desingan Peluru, Asap, Air Mata

dan Reruntuhan: Penelitian Sosial di Daerah Konflik dan Pasca-Bencana.” Makalah untuk

Workshop Renstra Komunikasi bertema “Voice of the Voiceless”: Strategi Komunikasi di

Wilayah Konflik/Bencana, yang diselenggarakan oleh YAKKUM Emergency Unit (YEU) di

Yogyakarta, 9 s/d 14 Agustus, h, 7.

20

[24] Aditjondro, “Pemekaran KODAM di Sulawesi”; George Junus Aditjondro. 2004.

“Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya.” Dalam Stanley

(Peny.) Keamanan, Demokrasi, dan Pemilu 2004. Jakarta: Propatria, h, 134-46.

[25] George Junus Aditjondro. 2005. “Meneliti di antara Desingan Peluru, Asap, Air

Mata dan Reruntuhan.” Makalah untuk Workshop Renstra Komunikasi bertema “Voice of

the Voiceless”: Strategi Komunikasi di Wilayah Konflik/Bencana, yang diselenggarakan

oleh YAKKUM Emergency Unit (YEU) di Yogyakarta, 9 s/d 14 Agustus 2005, h, 5.

[26] Aditjondro, “Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya,”

h, 147.

[27] George Junus Aditjondro. 2004. “Tiga Belas Tesis tentang Kerusuhan dan Konflik

Sosial Pasca-Soeharto di Indonesia.” Dalam Dicky Mailoa, dkk (peny.) Gereja-gereja

Menggumuli Konflik dan Kekerasan dalam Era Transisi Menuju Demokrasi di Indonesia.

Jakarta: Crisis Center PGI, h, 46-58.

[28] Lihat Aditjondro, “Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan

Keluarnya,” h, 144-5.

[29] George Junus Aditjondro. 2005. “Dari Konflik Vertikal ke Konflik Horizontal, Dari

Aksi Restoratif ke Aksi Transformatif: Keragaman konflik agrarian dan aksi petani di

Indonesia.” Makalah untuk Konferensi Petani yang diselenggarakan oleh Yayasan Tanah

Merdeka di Palu, 21 September, h, 10.

[30] George Junus Aditjondro. 2005. “Kontribusi Psikologi Radikal Frantz Fanon dalam

Pendampingan Korban Konflik Sosial di Poso.” Makalah untuk Kuliah Tamu di Universitas

Surabaya (UBAYA), 21-22 Juni, h, 9.