nyeri miofasialerepo.unud.ac.id/id/eprint/12848/1/288c68c8794509340f... · 2020. 7. 21. · nyeri,...

25
NYERI MIOFASIAL Oleh: dr. Ida Ayu Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S Putu Yonika Budiarisma Shaantiieni Govindasamy BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH 2017

Upload: others

Post on 05-Feb-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • NYERI MIOFASIAL

    Oleh:

    dr. Ida Ayu Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S

    Putu Yonika Budiarisma

    Shaantiieni Govindasamy

    BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/

    RSUP SANGLAH

    2017

  • KATA PENGANTAR

    Om Swastyastu,

    Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

    karena berkat rahmat-Nya tinjauan kepustakaan dengan judul “Nyeri Miofasial”

    ini dapat selesai pada waktunya.

    Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

    berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian tinjauan kepustakaan ini.

    Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

    1. dr. AA Bagus Ngurah Nuartha, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/Kepala

    SMF di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas

    Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan saya

    kesempatan untuk menyelesaikan karya tulis ini;

    2. Dr.dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K) selaku Kepala divisi Nyeri di Bagian

    Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

    Sanglah Denpasar yang telah memberikan pengarahan, kritik, dan saran

    dalam pembuatan tinjauan kepustakaan ini;

    3. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

    membantu dalam penyusunan tinjauan kepustakaan ini.

    Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari kata sempurna sehingga

    saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk

    kesempurnaan tinjauan kepustakaan ini. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat

    bermanfaat bagi pembaca.

    Om Shanti, Shanti, Shanti Om.

    Denpasar, Mei 2017

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN DEPAN ......................................................................................... i

    KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

    DAFTAR ISI …………………………………………………………………….iii

    BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………….4

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. DEFINISI .................................................................................................... 7

    2.2 EPIDEMIOLOGI ........................................................................................ 8

    2.3 ETIOLOGI .................................................................................................. 8

    2.4 PATOFISIOLOGI........................................................................................ 12

    2.5 MANIFESTASI KLINIS ............................................................................. 17

    2.6 DIAGNOSIS BANDING ............................................................................. 17

    2.7 DIAGNOSIS ................................................................................................. 18

    2.8 TATALAKSANA ......................................................................................... 18

    2.9 PROGNOSIS………………………………………………………...........22

    BAB 3 SIMPULAN……………………………………………………………23

    DAFTAR PUSTAKA

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    Nyeri menurut The International Association for the Study of Pain merupakan

    bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang

    berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi

    kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.

    Sindrom nyeri miofasial adalah suatu kondisi nyeri otot atau fasia, akut maupun

    kronik, menyangkut fungsi sensorik, motorik, atau otonom yang berhubungan

    dengan myofascial trigger points (MTrPs). Istilah nyeri miofasial dan nyeri

    muskuloskeletal seringkali membingungkan dan tumpang tindih satu sama lain,

    padahal nyeri muskuloskeletal adalah semua tipe nyeri yang terjadi di otot,

    sedangkan nyeri miofasial merujuk pada sindrom spesifik yang disebabkan oleh

    trigger points (TrPs) dalam otot atau fasia.1.2

    Trigger points yang dimaksud adalah suatu titik atau

    tempat yang hipersensitif atau hiperiritabel di struktur otot atau fasia yang

    menegang dan menimbulkan nyeri lokal jika ditekan, dan jika cukup hiperiritabel

    dapat menimbulkan nyeri menjalar serta fenomena otonomik. MTrPs sering

    ditemukan di sekitar daerah leher dan punggung. MTrPs dapat dibagi menjadi dua

    secara klinis, yaitu aktif atau laten.2,4,5

    MTrPs aktif akan menimbulkan rasa nyeri spontan jika diprovokasi,

    sehingga mencegah pemanjangan otot secara maksimal, melemahnya otot,

    memediasi respon kedutan lokal bila distimulasi, dan menyebabkan nyeri alih di

    area nyeri yang bersangkutan. MTrPs aktif dapat menimbulkan gangguan rentang

    gerak sendi dan kelemahan. MTrPs aktif dikaitkan dengan sindrom nyeri

    miofasial. MTrPs laten biasanya tidak bergejala, tidak menimbulkan nyeri pada

    aktivitas sehari-hari, tetapi suatu ketika dapat terjadi nyeri apabila diberi stimulasi

    eksternal, seperti dipalpasi, dan dapat teraktivasi jika otot tegang, lelah, atau

  • cedera. MTrPs laten dapat memiliki gejala klinis seperti MTrPs aktif, namun

    kualitasnya lebih ringan, sehingga dapat dikatakan fase pre klinis dari sindrom

    nyeri miofasial. MTrPs laten penting untuk diidentifikasi secara tepat untuk

    mencegahnya berubah menjadi MTrPs aktif.3,4

    Sindrom nyeri miofasial merupakan masalah kesehatan yang signifikan, dimana

    85% populasi umum pernah mengalami nyeri miofasial pada satu waktu dalam

    hidupnya dengan prevalensi per tahun sekitar 46%. Insiden antara laki-laki dan

    perempuan hampir sama, yaitu 54% terjadi pada perempuan dan 45% laki-laki.

    Salah satu studi menemukan bahwa TrPs merupakan sumber nyeri pada 30%

    pasien yang datang dengan keluhan nyeri menuju layanan primer, dan menjadi

    penyebab 85% pasien dengan keluhan nyeri mengunjungi layanan tersier.

    Sindrom nyeri miofasial juga didiagnosis pada 21% pasien yang datang ke klinik

    ortopedi dan 30% pasien yang mengunjungi dokter penyakit dalam. Studi

    sebelumnya menemukan bahwa sindrom nyeri miofasial sebagai penyebab nyeri

    yang paling umum di populasi klinik, dan bertanggung jawab atas 54,6% nyeri

    kepala dan leher kronis, 85% pada nyeri punggung.

    Studi lainnya menunjukkan MTrPs berhubungan dengan beberapa kondisi

    nyeri, seperti migren, tension-type headache, gangguan temporomandibular, nyeri

    leher, nyeri bahu, epicondylalgia, carpal tunnel syndrome, low back pain, nyeri

    pelvis, dan sindrom whiplash.7 Sindrom nyeri miofasial terutama terjadi pada

    rentang usia 30-60 tahun,2 dan lebih banyak terjadi pada individu yang kurang

    beraktivitas.6

    Sindrom nyeri miofasial seringkali tidak terdiagnosis, padahal merupakan

    penyebab utama disabilitas kerja dan penyebab kedua

    terbanyak disabilitas di Amerika Serikat.2,4 Sindrom nyeri miofasial, khususnya

    jika sudah menjadi nyeri kronik, juga dapat menimbulkan berbagai gangguan

    psikologis, seperti depresi dan cemas. Beberapa penelitian terakhir

    mengindikasikan pasien dengan TrPs yang tinggi lebih sering mengonsumsi

    psikotropika dibandingkan populasi umum.5,6

    Kesalahan diagnosis atau kondisi yang tidak terdiagnosis pada sindrom

    nyeri miofasial dapat terjadi akibat kurangnya pengetahuan terkait karakteristik

    nyerinya, tidak adanya kriteria diagnostik yang divalidasi secara internasional,

  • dan seringkali tumpang tindih dengan gejala gangguan musculoskeletal lainnya.

    Banyaknya kesalahan diagnosis juga karena kurangnya keterampilan palpasi

    khusus pada praktisi kesehatan yang jarang diajarkan di kurikulum kedokteran.

    Beberapa praktisi merasa bahwa kondisi ini kontroversial dan sulit untuk

    didiagnosis dengan tes objektif atau pencitraan, sehingga ketika nyeri akut yang

    menjadi kronik pada seorang pasien, praktisi kesehatannya menjadi bingung dan

    mengabaikan kondisi otot sebagai penyebab dan mengobati kondisi lain, misalnya

    masalah sendi yang lebih tampak pada pencitraan.3,5,6

    Berdasarkan kondisi-kondisi di atas, maka penting untuk diketahui terkait

    etiologi, patofisiologi, penegakkan diagnosis, terapi, serta prognosis sindrom nyeri

    miofasial, karena sindrom nyeri miofasial tidak hanya terkait dengan penurunan

    fungsi akibat nyeri musculoskeletal, namun juga dapat menimbulkan penurunan

    kualitas kehidupan.4,5,6

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 DEFINISI

    Otot skeletal merupakan sistem organ manusia terbesar. Nyeri miofasial

    berasal dari kata "Myo" yang erat hubungan dengan otot sementara "fascial"

    mengacu pada jaringan yang menutupi otot. Bisa disimpulkan nyeri miofasial

    sebagai nyeri yang berasal dari otot dan jaringan yang menutupi otot itu sendiri.

    Sindrom nyeri miofasial adalah gangguan rasa sakit kronis dimana tekanan pada

    titik sensitif pada otot anda yang dapat diklasifikasikan sebagai titik pemicu yang

    menyebabkan rasa sakit pada bagian tubuh yang tampaknya tidak terkait. Titik

    pemicu sering ditandai dengan dua kriteria utama dan dua kriteria sekunder.

    Kriteria tipe utama, serat otot yang tegang atau taut band dapat dilokalisasi

    dengan melakukan palpasi. Sedangkan kriteria sekunder, ada penurunan

    kemampuan gerak otot dan ada respon kedutan lokal pada saat dilakukan insersi

    dengan needle.

    Titik picu biasanya dibedakan dengan tender poin, ada beberapa tinjauan

    yang menyebutnya sebagai bagian dari satu spektrum klinis. Perbedaan yang

    dilaporkan utama adalah titik pemicu menghasilkan rasa sakit yang berpola,

    sedangkan titik tender menimbulkan rasa sakit di tempat palpasi. Poin pemicu

    diklasifikasikan lebih lanjut sebagai aktif dan laten. Titik pemicu laten

    menimbulkan sensasi yang menyakitkan hanya dengan dilakukannya kompresi

    langsung. Titik pemicu aktif menimbulkan nyeri secara spontan dan juga dengan

    kompresi. Hal ini juga dapat disimpulkan sebagai nyeri yang dirujuk dan istilah

    deskriptif yang digunakan untuk menentukan kondisi nyeri otot muskuloskeletal

    akut atau kronis. Karakteristik dilakukan dengan temuan sensorik, motorik, dan

    otonom yang terkait dengan poin pemicu myofascial (MTrPs). Sindrom ini

    akhirnya terjadi setelah kontraksi otot berulang yang mungkin disebabkan oleh

    gerakan berulang sebelum pekerjaan atau hobi atau oleh ketegangan otot yang

    berhubungan dengan stres. Sering kali melibatkan leher dan punggung.

    Pengalaman rasa sakit adalah proses multidimensi yang mencakup komponen

  • sensorik dan persepsi sehingga dapat menyebabkan perilaku tidak menyenangkan,

    yang semuanya melibatkan aktivasi berbagai area pada sistem saraf pusat dan

    perifer. Sementara kebanyakan dari kita mengalami ketegangan otot,

    ketidaknyamanan yang terkait. Dengan sindrom nyeri myofascial hanya bertahan

    atau memperburuk situasi.1

    2.2 EPIDEMIOLOGI

    Studi prevalensi dari sindrom nteri miofasial masih terdapat banyak

    kekurangan data dikarenakan oleh kurangnya konsensus tentang kriteria yang

    digunakan untuk mendiagnosa. Belum ditemukan studi prevalensi sindrom nyeri

    miofasial dalam populasi secara keseluruhan. Sindrom nyeri miofasial dengan

    titik picu yang bersifat latent ditemukan sekitar 11 persen pada sekelompok orang

    di Thailand. Pada penelitian yang dilakukan di Kanada ditemukan jumlah

    prevalensi kasus nyeri musculoskeletal adalah sekitar 20 persen. Pada sebuah

    rumah sakit universitas pendidikan kesehatan ditemukan pasien yang memiliki

    keluhan nyeri sekitar 32 persen dari total sampel 172 pasien. Sebagian besar

    penelitian prevalensi untuk sindrom nyeri miofasial dilakukan pada populasi

    khusus. Sebuah studi dari 243 perempuan operator mesin jahit ditemukan

    sindroma nyeri miofasial 15,2 persen pada otot leher dan bahu.2,3

    2.3 ETIOLOGI

    1. Taut Band

    Penyebab titik pemicu adalah masalah spekulasi. Tampaknya terlihat dari

    pemeriksaan klinis bahwa titik pemicu terbentuk sebagai titik pemicu laten

    terlebih dahulu dan kemudian menjadi nyeri saat otot digerakkan. Urutan

    kejadian ini diasumsikan karena titik pemicu laten ada tanpa rasa sakit

    spontan. Selanjutnya, titik pemicu nyeri tidak terjadi kecuali di daerah

    kekerasan otot, namun daerah kekerasan otot terjadi tanpa rasa sakit lokal

    atau yang dirujuk. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa kekerasan otot atau

    pita tegang yang terjadi tanpa rasa sakit adalah kelainan pertama, dan titik

    pemicu aktif adalah tahap yang lebih aktif atau sekunder dari titik pemicu.

  • 2. Sindrom Otak Terlalu Berguna dan Sindroma Myofascial Pain Syndrome

    Pemikiran saat ini, sesuai dengan Hipotesis Terpadu yang Terintegrasi dari

    Titik Pemicu, adalah bahwa iskemia lokal dikaitkan dengan perkembangan

    akut titik pemicu dan dengan pemeliharaannya. Iskemia lokal merupakan

    kompresi kapiler yang dihasilkan dari gaya yang dihasilkan di dalam pita

    yang kencang. Pada gilirannya, pelepasan zat vasodilatasi seperti CGRP

    dan zat P menyebabkan edema non inflamasi lokal yang selanjutnya

    mengkompres kapiler dan berkontribusi pada iskemia yang sedang

    berlangsung.

    3. Persimpangan Neuromuskular: Peran Junction Neuromuskular dalam

    Formasi Trigger Point

    Trigger point pain tidak terjadi tanpa adanya taut band, seperti yang

    dinyatakan di atas. Mekanisme nyeri lokal dan rujuk dipahami dengan

    baik sebagai fenomena umum, berdasarkan pelepasan neurotransmitter

    lokal, ion hidrogen, ion kalium, dan sitokin perifer, dan aktivasi neuron

    nociceptive di tanduk dorsal secara terpusat. Penyebaran aktivasi neuronal

    nociceptive secara segmental juga merupakan fenomena yang

    digambarkan dengan baik, terlepas dari jaringan asalnya. Namun,

    perubahan awal otot yang terkait dengan titik pemicu nampaknya

    merupakan kelainan motorik, perkembangan band yang kencang.

    Mekanisme pengembangan band yang tegang tetap menjadi masalah

    spekulasi, dan belum terbukti. Peran modulasi simpatik SEA adalah

    konsep yang paling penting, karena peran penting yang dimainkan oleh

    sistem saraf simpatik dalam menjaga aktivitas listrik abnormal di titik

    pemicu. Sebuah postsynaptic disfungsi otot yang meningkatkan

    konsentrasi kalsium intraselular melalui saluran kalsium reseptor

    Ryanodine yang bocor pada membran retikulum sarkoplasma, atau melalui

    sistem messenger kedua yang dimediasi adrenergik yang melibatkan

    protein kinase C dan siklik-AMP, yang memulai interaksi aktin myosin,

    juga dapat menyebabkan kontraksi otot, Dan merupakan pertimbangan

    tambahan untuk pengembangan kontraksi yang terus-menerus. Daerah

  • endapan otot dari persimpangan neuromuskular dianggap sebagai domain

    disfungsi fisiologis yang menyebabkan perkembangan titik pemicu.

    4. Sensitisasi Sensitivitas Peripheral pada Myofascial Pain Syndrom

    Sensitisasi saraf perifer dikenal dengan baik dalam sindrom nyeri kronis

    yang belum ditangani pada MPS dimana penekanan telah ditempatkan

    lebih pada perubahan otot daripada di saraf. Meskipun demikian,

    tampaknya masuk akal bahwa sensitisasi saraf perifer adalah konsekuensi

    dari nyeri myofascial kronis seperti pada sindrom nyeri kronis lainnya.

    Beberapa manifestasi syaraf MTrP jelas terkait dengan tulang belakang,

    seperti gejala kedutan lokal. Penelitian lain menunjukkan bahwa ada

    integrasi sentral pada tingkat sumsum tulang belakang pada model titik

    pemicu hewan Peran saraf perifer pada sambungan neuromuskular dan

    hubungannya dengan fungsi selada anterior di MPS, sedikit banyak

    dipelajari. Satu studi tentang perubahan saraf pada MPS menunjukkan

    bahwa jitter neuromuskuler dengan elektromiografi elektrik tunggal yang

    dirangsang memiliki perbedaan bermakna berturut-turut yang signifikan

    pada otot sikat trapezius dan lift pada subyek dengan MPS dibandingkan

    dengan kontrol. Ketidakstabilan fungsi periferal perifer dapat dikaitkan

    dengan degenerasi dan regenerasi aksonal motor perifer motorik, atau

    degenerasi motor neuron dengan pengembangan reinnervasi agunan. Ini

    berarti bahwa MTrP memiliki disfungsi motor perifer dan / atau sentral

    yang kompleks serta kelainan sensorik dengan hipersensitisasi perifer dan

    / atau pusat.

    5. Hipoksia dan Iskemia

    Zona pemicu atau daerah myofascial bersifat hipoksia, konsisten dengan

    konsep bahwa ada kompresi kapiler dan iskemia. Iskemia dan hipoksia

    pasti terkait. Ada daerah desaturasi oksigen yang parah pada inti yang

    diduga, dikelilingi oleh daerah peningkatan oksigenasi, seolah-olah intinya

    adalah iskemik dan dikelilingi oleh zona hiperemik. Demikian juga, studi

    suhu pada zona pemicu dilaporkan, menunjukkan adanya kenaikan suhu di

    daerah titik pemicu. Ini akan konsisten dengan daerah hyperemic

    sekitarnya zona pemicu, tetapi tidak konsisten dengan inti zona hipoksia

  • pemicu. Dengan berbagai tetapi alamat hanya jaringan titik pra-trigger,

    dan bukan inti dari titik pemicu itu sendiri.

    6. Biokimia dari Trigger Point Daerah

    Peningkatan substansi P, CGRP, bradikinin, serotonin, dan sitokin

    ditemukan di aktif titik pemicu relatif terhadap Konsentrasi lingkungan zat

    ini titik di daerah laten dan otot yang normal memicu. Sebagai probe maju

    Menuju titik pemicu, Konsentrasi sejumlah zat Peningkatan, Sampai

    kedutan terjadi dan konsentrasi zat ini jatuh Menjelang berbagai standar,

    tapi kemudian perlahan-lahan naik ke Konsentrasi tinggi awal selama 10

    sampai 15 menit. PH wilayah titik pemicu rendah pada pH 4 sampai 5

    Dibandingkan dengan pH normal 7.4. DEMIKIAN, pemicu titik aktif

    Shows lokal Peningkatan substansi P lingkungan yang Bisa Meningkatkan

    kebocoran kapiler Menyebabkan edema lokal, dan dapat mempotensiasi

    aktivasi nociceptive perifer. Bradikinin ditinggikan zat lain Itu adalah

    mempotensiasi reseptor nosiseptif. CGRP Juga meningkat, adalah reseptor

    aktif Kedua sensorik pada sambungan neuromuskuler dan pada. pH rendah

    dapat mencerminkan iskemia, dan dapat menghambat aktivitas

    acetylcholinesterase. Peningkatan kadar sitokin Berkorelasi Dengan rasa

    sakit lokal. The Konsentrasi beberapa zat ini berada pada daerah titik

    pemicu Juga aktif ditinggikan Dibandingkan dengan daerah tidak ada titik

    pemicu pada otot lokasi jauh. The Konsentrasi PALING zat ini meningkat

    pada daerah tanpa titik pemicu di sebuah situs yang jauh di mata pelajaran

    Dengan poin pemicu aktif Dibandingkan dengan subyek Dengan hadir

    atau laten poin memicu.

    4. Hipermobilitas

    Hipermobilitas atau kelemahan ligamen Tampaknya menjadi faktor risiko

    untuk pengembangan relevan MPSS. Mekanisme ini dianggap lebih

    kontraksi konstan otot yang diperlukan untuk stabilitas sendi Bahwa

    ligamen tidak dapat memberikan. Orang-orang Dengan dislokasi sendi

    berulang besar atau subluksasi tampaknya berisiko lebih tinggi terkena

    pemicu poin.1,4

  • 2.4 PATOFISIOLOGI

    Sindrom nyeri myofascial adalah sebuah kondisi nyeri otot ataupun fascia,

    akut maupun kronik, menyangkut fungsi sensorik, motorik, ataupun otonom, yang

    berhubungan dengan myofascial trigger points (MTr Ps). Gejala motorik dapat

    berupa disfungsi motorik atau kelemahan otot akibat inhibisi motorik, terbatasnya

    gerakan dan kekakuan otot. Gejala sensorik dapat berupa nyeri tekan, nyeri alih,

    hiperalgesia, ataupun alodinia. Gejala otonom dapat seperti berkeringat, aktivitas

    pilomotor, perubahan suhu kulit, lakrimasi, dan salivasi. Aktivitas sistem saraf

    simpatis akan meningkatkan aktivitas motorik dan menyebabkan nyeri.

    Myofascial trigger points adalah suatu titik/ tempat hiperiritabel berlokasi di

    struktur otot atau fascia yang menegang, jika ditekan dapat menyebabkan nyeri

    lokal atau menjalar. MTrPs sering ditemukan di sekitar daerah leher dan

    punggung.5

    Nyeri myofascial dapat bersifat lokal atau regional, seperti pada leher, bahu,

    punggung atas dan bawah, biasanya unilateral atau lebih berat di salah satu sisi.

    Nyeri otot dapat menetap dengan variasi dari ringan hingga sangat berat; biasanya

    tidak hilang dengan sendirinya. Ciri khas nyeri ini adalah terdapatnya trigger

    point.

    Terdapat 7 ciri khas sindrom nyeri myofascial disebabkan trigger points

    yaitu:

    (a) Nyeri lokal TP (trigger points)

    (b) Nyeri referred

    (c) Pemendekkan sarkomere

    (d) Respon Kedutan Lokal (LTR)

    (e) Kesulitan Metabolik

    (f) Efek theraputik yang timbul dari meregangkan otot yang berkaitan

    (g) Kelemahan dan kelelahan

  • 4.1. Nyeri Lokal TP

    Mekanisme Nyeri lokal yang disebabkan oleh TP boleh dijelaskan oleh

    sensitisasi akhir saraf grup III dan grup IV nosisepsi otot. Sensitisasi adalah salah

    satu mekanisme yang bertanggungjawab terhadap Nyeri lokal TP dan nyeri yang

    berkait dengan jaringan yang rosak dan proses inflamasi6. Sensitisasi pada saraf

    aferen seperti polymodal nociceptor akan menyebabkan saraf tersebut

    memberikan respon terhadap ambang yang lebih rendah untuk meningkatkan

    respon kepada suatu rangsangan. Oleh kerana itu, sensitisasi saraf akan

    menyebabkan pemicuan spontan saraf yang selalunya tidak memicu dengan

    spontan. Zat-zat yang selalunya mensensitisasi jaringan adalah zat potassium,

    bradykinin, prostaglandins, serotonin, substans P, histamine dan leukotriene. Satu

    studi klinis yang dikerjakan oleh Frost7. secara spesifik mengimplikasikan

    prostaglandins sebagai agen sensitisasi TP. Beliau menemukan bahwa menyuntik

    suatu agen inhibisi prostaglandin seperti diclofenac ke dalam myofascial TP

    memberikan efek yang lebih baik daripada lidocaine.

    4.2. Nyeri referred

    Sensitisasi saraf akhir grup III dan grup IV juga dapat menghasilkan impuls

    yang disalahartikan oleh otak dan diprojeksi sebagai nyeri referred dan Nyeri.

    Empat mekanisme fisiologis boleh menyebabkan terjadinya nyeri referred yaitu;

    (i) Convergence-projection

    - Apabila satu sel tunggal di saraf medulla spinalis menerima nosisepsi

    melalui saraf pada organ, otot atau kulit, otak tidak bisa menentukan

    jika impuls ini diterima dari organ somatik atau dari viscera. Menurut

    mekanisme ini, otak akan menginterpretasi sinyal ini sebagai datang

    dari kulit atau otot dan bukan dari organ visera

    (ii) convergence facilitation

    - Kebanyakkan saraf sensori mempunyai aktivitas dorman sehingga

    aktivitas ini berganda apabila berespon terhadap satu stimuli yang

    boleh merosakkan jaringan. Apabila mengikuti mekanisme ini aktivitas

    yang sebelumnya dorman akan bertambah impulsnya pada traktus

  • spinothalamikus oleh impuls berlebihan yang didapatkan dari organ

    viscera atau dari suatu TP.

    (iii) serabut perifer nosiseptor aferen primer

    - Dengan axon yang bercabang dari satu saraf sensori bisa ke bagian

    tubuh yang lain sering kali bisa dimisinterpretasi oleh otak supaya

    datang dari bagian tubuh yang lain

    (iv) aktivitas nervus simpatetik

    - Saraf simpatetik bisa menengahi nyeri referred sebagai berasal dari TP

    dengan melepaskan zat yang bisa mensensitisasi aferen akhir primer

    pada regio nyeri referred. Saraf simpatetik selai itu, juga dapat

    menimbulkan nyeri dengan mengkonstriksi aliran darah pada

    pembuluh-pembuluh darah yang suplai saraf sensori5.

    Band Tegang yang Teraba

    Band tegang yang teraba (Palpable taut band) adalah satu tanda

    karakteristik TP miofascial dan sangat berguna untuk identifikasi TP apabila

    memeriksa otot superfisial. Karateristik band tegang bisa digambarkan dengan

    lebih jelas pada mekanisme pemendekkan sarcomere dan local twitch response

    (LTR).

    4.3. Pemendekkan Sarkomere

    Untuk mekanisme pemendekkan sarcomere, palpasi pada otot berkait akan

    menunjukkan tegangan otot secara berlebihan oleh kerana tautness dari band

    teraba. Saraf motorik yang mensuplai otot yang berkait akan mempamerkan

    eksitibilitas yang berlebihan pada aktivitas sukarela dan bisa dianggap suatu

    spasme otot. Otot yang berada paralel dan berdekatan dengan otot berkait pula

    bisa mempamerkan protective splinting (spasme) yang bisa diukur sebagai

    aktivitas elektromiografi. Untuk mengkompensasi pemendekkan sarcomere pada

    suatu TP, sarcomere yang berada jauh dari TP pada persimpangan

    musculotendinous akan menjadi lebih panjang dari ukuran yang biasa. Dengan

    memperkirakan susunan serial sarcomere pada serat otot dan perubahan jelas pada

  • kekuatan sarcomere pada perubahan panjang dan fungsi normal bergantung pada

    semua sarcomere mempunyai panjang yang sama sewaktu pemanjangan ataupun

    pemendekkan, fenomena ini bisa menjelaskan kenapa dapat dirasakan nodule dan

    bukan band. Secara klinis pasien akan mengalami nyeri apabila tegangan pada

    serat otot tersebut meningkat. Seperti yang bisa dilihat pada gambar di

    bawah.

    Gambar 1 : Gambar diatas menunjukkan sarcomere yang panjangnya selaras pada

    otot yang sihat dan dibandingkan dengan distribusi yang tidak seragam pada serat

    palpable taut. Pemendekkan sarcomere pada region TP akan meningkatkan

    tekanan pada otot berkait.

    4.4. Respon Kedutan Lokal (local twitch response)

    Manakala, local twitch response (LTR) adalah satu kontraksi sementara yang

    terjadi hanya pada serat otot dalam band tegang dan berkait dengan respon

    kedutan. LTR bisa dilihat sebagai suatu kedutan sementara berdekatan dengan

    serat musculotendinous. Sehingga sekarang, observasi klinis yang bisa

    diperhatikan pada projeksi LTR ( apabila palpasi pada band tegang pada satu otot

    menimbulkan respon LTR pada otot berbeda tapi berdekatan) mengindikasi

    bahwa terjadinya mekanisme reflek spinal.

    4.5. Kesulitan Metabolik

    Regio TP adalah region yang juga terjadi kesulitan metabolik akibat

    berkurangnya ATP. Disfungsi metabolik yang terjadi mungkin juga menjadi

    penyebab generasi zat sensitisasi dan kompromi klinis suplai tenaga bisa

    memburukkan lagi kesulitan metabolic yang menyebabkan lagi disfungsi TP.

    Terdapat beberapa bukti eksperimental yang mengatakan region TP mengalami

  • distress metabolik oleh kerana kombinasi peningkatan permintaan tenaga dan

    penurunan suplai oksigen dan tenaga mungkin disebabkan oleh restriksi sirkulasi

    lokal dan kombinasi ini bisa berterusan dalam satu siklus jika tidak dikoreksi,

    seperti yang digambarkan pada gambar dibawah.

    Gambar 2: Proses ini akan bermula dengan pelepasan calcium yang terionisasi

    dari reticulum sarkoplasmik yang pecah. Lalu aktivitas kontraktilitas yang kuat

    meningkatkan permintaan metabolik lokal. Pemendekkan sarkomere secara kuat

    dan cepat akan pula menyebabkan terjejasnya sirkulasi lokal dan menimbulkan

    keadaan anemi hipoksia yang menjejaskan suplai tenaga adenosine triphosphate

    (ATP) kepada sarkoplasmik reticulum. Pompa kalsium yang rusak pada

    sarkoplasmik reticulum ini akan menyebabkan kalsium yang terionisasi bebas

    untuk menimbulkan aktivitas kontraktilitas.

    4.6 Efek therapeutik yang timbul akibat regangan otot

    Meregangkan sarcomere yang berkenan adalah sangat sukar tetapi segera

    akan menimbulkan efek therapeutik kerana permanfaatan ATP akan berhenti dan

    tegangan kontraktilitas akan dilepaskan dan keseimbangan metabolisme akan

    kembali secara biasa. Jika distres metabolic sebelumnya melepaskan zat

    sensitisasi seperti prostaglandins yang menimbulkan iritasi TP, menyeimbangkan

    metabolisme akan menyingkirkan sumber sensitisasi dan menghapuskan Nyeri

    lokal dan fenomena nyeri referred.

  • Kebaikan meratakan panjang setiap sarcomere pada otot menjelaskan manfaat

    atlet-atlet melakukan aktivitas regangan otot sebelum dan setelah aktivitas fizik.

    4.7. Kelemahan dan Kelelahan

    Kelemahan dan kelelahan yang dapat diperhatikan pada pasien TP mungkin

    terjadi kerana berkurangnya sirkulasi dan hipoksia pada otot-otot yang berkenan.8

    2.5 MANIFESTASI KLINIS

    Pasien dengan nyeri miofasial biasanya datang dengan keluhan nyeri yang

    meluas dan tidak dapat dilokalisir pada otot dan persendian. Selain itu terdapat

    keluhan sensoris seperti mati rasa. Manifestasi klinis lain yang dikeluhkan oleh

    pasien yaitu:9

    1. Secara khas trigger point dapat meningkatkan terjadinya nyeri ketika

    terstimulasi.

    2. Durasi dari terjadinya reffered pain bervariasi, dalam hitungan detik,

    jam ataupun hari.

    3. Dipersepsikan sebagai nyeri yang dirasakan dalam, sakit dan

    membakar walaupun kadang-kadang dirasakan sebagai nyeri

    superfisial.

    4. Nyeri dapat dirasakan menyebar ke arah kaudal maupun kranial.

    5. Intensitas dan luas area nyeri yang dirasakan berkaitan erat dengan

    tingkat aktivitas (iritabilitas) dari trigger point.

    2.6 DIAGNOSIS BANDING

    1. Fibromialgia

    Nyeri miofasial didefinisikan sebagai keluhan sensorik, motorik dan

    otonom, yang disebabkan oleh adanya titik pemicu atau Trigger Point

    (TrP). Sedangkan pada fibromialgia dapat ditegakkan dengan

    anamnesis berdasarkan rasa sakit umum dan rasa sakit pada minimal

    11 dari 18 titik nyeri yang dapat ditentukan lokasinya secara tepat.

    Pasien dengan fibromialgia bisa disertai dengan keluhan-keluhan

    lainnya yang sangat tidak spesifik. Membedakan nyeri miofasial

  • dengan gangguan otot lainnya hanya dapat dilakukan dengan

    melakukan palpasi pada trigger point.10

    2.7 DIAGNOSIS

    Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis.

    Anamnesis dilakukan berdasarkan “Sacred Seven and Basic Four”. Selain itu

    dilakukan juga pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis untuk nyeri miofasial

    menurut IASP 2009 ada tiga kriteria minimum (1-3) dan enam sembilan kriteria

    lainnya (4-9):9

    1. Dirasakan taut band saat dilakukan palpasi pada otot skeletal

    2. Terdapat titik hipersensitif pada taut band

    3. Dihasilkannya sensasi reffered pain pada titik yang distimulasi

    4. Terdapat respon kedutan lokal dan terasa gertakan pada palpasi taut

    band

    5. Terdapat “jump sign”

    6. Pasien merasakan adanya peningkatan nyeri

    7. Terdapat pola pada referred pain

    8. Kelemahan otot atau kontriksi otot

    9. Nyeri saat melakukan peregangan kontraksi pada otot yang mengalami

    nyeri

    2.8 TATALAKSANA

    Terdapat dua tatalaksana yang tertentu untuk menangani nyeri miofascial yang

    bisa dibagi kepada

    (a) Farmakologis

    (b) Non-farmakologis

    Tatalaksana farmkologis dapat dibagi lagi ke 4 jenis obatan yang sering

    digunakan yaitu obat analgesia, obat penenang otot, obat antikonvulsan dan obat

    antidepresi.

    1. Obat analgesia

  • Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah obat yang paling umum

    digunakan untuk MPS karena tersedia dan memiliki profil efek samping

    yang relatif ringan. Penggunaannya sangat menarik karena sifat analgesik

    dan anti-inflamasinya. Meskipun penggunaannya meluas, tidak ada uji

    coba terkontrol acak (RCT) yang secara khusus mengevaluasi NSAID oral

    dalam pengobatan MPS. Oleh karena itu, ada kekurangan bukti kuat untuk

    peran antiinflamasi pada MPS1. Beberapa penelitian ada yang

    menunjukkan bukti kuat untuk mendukung NSAID dalam mengobati

    gangguan MSK akut, terutama nyeri punggung bawah (LBP)

    Manakal, penghambat siklooksigenase-2 (COX-2) memiliki efek analog

    terhadap NSAID tradisional dengan profil efek samping yang relatif lebih

    dapat ditolerir. Serupa dengan NSAID, hanya ada beberapa RCT

    pendukung dan bukti keberhasilannya di MPS. Penelitian telah

    menunjukkan bahwa COX-2-selective inhibitor adalah agen yang efektif

    dan dapat ditolerir dengan baik untuk LBP akut1.

    Tropisetron adalah antagonis reseptor 5-HT3 dan agonis reseptor alfa-7-

    nikotin baru-baru ini digunakan sebagai analgesik untuk fibromyalgia dan

    nyeri myofascial dengan ketersediaan komersial terbatas. Efeknya mulai

    cepat dan bertahan lebih lama dibanding anestesi lokal. Meskipun ini

    mungkin tampak sebagai pengobatan yang menjanjikan bagi MPS.

    Lidocaine patch adalah persiapan anestesi lokal transdermal yang

    mengubah kemampuan saraf untuk melakukan impuls nyeri. Lidokain

    topikal telah menunjukkan harapan sebagai terapi untuk MPS dan sangat

    menarik karena ini bukanlah obat sistemik oral.

    2. Obat Pelemas otot

    Tizanidine adalah agonis alfa-2-adrenergik terpusat, yang mengurangi

    kejang otot. Sebuah studi label dosis terbuka titrasi tizanidin untuk MPS

    mendukung penurunan intensitas nyeri dan kecacatan yang signifikan dari

    awal (P

  • menyarankan bahwa tizanidin harus dipertimbangkan sebagai agen lini

    pertama untuk pengobatan MPS1.

    Thiocolchicoside (TCC) adalah antagonis GABAA yang kompetitif dan

    agonis glycine yang juga berfungsi sebagai anti-inflamasi dan analgesik,

    serta relaksan otot. A RCT dalam setting nyeri myofascial serviks

    menunjukkan peningkatan keparahan nyeri secara statistik yang signifikan

    (P

  • kemanjurannya pada sindrom nyeri kronis menunjukkan adanya

    peningkatan peran pada MPS saat perawatan konvensional gagal6.

    Manakala, untuk penanganan non-farmakologis terdapat pula teknis ‘dry

    needling’, injeksi trigger point (MTrPs) dan terapi manual seperti yang dihuraikan

    di bawah.

    1. Dry Needling

    Suntikan ke MTrPs adalah pengobatan yang umum dan efektif, mungkin

    karena gangguan mekanis oleh jarum dan penghentian aktivitas

    disfungsional motor penutup yang terjadi. Suntikan MTrP dapat

    menggunakan jarum kering, anestesi pendek atau panjang, atau steroid.

    Kering jarum secara tradisional digunakan sebagai salah satu cara tercepat

    dan paling efektif untuk menonaktifkan MTrPs dan membantu

    meringankan rasa sakit yang menyertainya. Jarum ditempatkan pada MTrP

    dengan teknik in-and-out di berbagai arah, untuk menonaktifkan MTrP.

    2. Injeksi Trigger Points

    Trigger point suntikan mirip dengan dry needling; Namun, mereka

    menyuntikkan berbagai solusi, biasanya obat bius lokal. Studi

    menunjukkan kemanjuran yang serupa pada jarum kering namun dengan

    sedikit ketidaknyamanan1. Sebuah artikel terbaru tentang terapi jarum

    untuk MTrPs menemukan bahwa, berdasarkan bukti medis terkini, "sifat

    zat yang disuntikkan tidak membedakan hasilnya dan bahwa jarum basah

    tidak secara terapi lebih unggul dari jarum kering".

    3. Terapi Manual

    Terapi manual adalah pengobatan yang umum digunakan untuk MPS

    karena telah dianggap sebagai salah satu teknik paling efektif untuk

    inaktivasi MTrPs. Ada berbagai sumber dalam literatur, yang secara

    khusus menggambarkan modalitas yang efektif, termasuk pijat bertekanan

    dalam, terapi peregangan dengan semprotan (di mana sebuah band yang

    kencang diregangkan segera setelah semprotan dingin), panas yang

    dangkal, dan pelepasan myofascial. Meskipun ada banyak teknik yang

  • telah dijelaskan dalam merawat MPS dengan hasil yang efektif, belum ada

    studi terkontrol yang membuktikan efektivitas jangka panjang yang

    signifikan5.

    2.9 PROGNOSIS

    Prognosis nyeri miofasial sangat tergantung pada durasi penyakit dan

    faktor pemicu yang dapat dikendalikan. Diagnosis dini dan penanganan segera

    akan menghasilkan luaran yang baik. Nyeri yang memiliki etiologi jelas biasanya

    memiliki prognosis baik.8 Trigger point yang aktif dapat dihilangkan dengan

    penanganan adekuat sehingga pasien dapat merasakan ruang gerak penuh tanpa

    nyeri. Pasien dengan nyeri alih yang stabil dan tidak disertai dengan penyebaran

    ke otot sekitarnya biasanya merespon lebih baik (bisa sembuh dengan mengoreksi

    faktor pemicu dan penanganan adekuat) ketimbang nyeri yang berlangsung

    progresif memburuk. Apabila penanganan yang diberikan tidak adekuat dan nyeri

    menetap lama, sensitisasi sentral segmental dapat terjadi yang akhirnya berujung

    pada nyeri kronis. Pada kasus tersebut, apabila sensitisasi sentral menyebar maka

    akan terjadi nyeri kronis yang menyebar luas dan fibromyalgia.8,9

    Meskipun trigger point aktif tampaknya sudah dinonaktifkan, beberapa

    trigger point aktif dapat berubah menjadi trigger point laten. Trigger point laten

    dapat menjadi aktif kembali ketika otot bekerja berlebihan atau terekspos faktor

    pemicu lagi. Disabilitas dan keterbatasan ruang gerak yang ditimbulkan oleh

    trigger point laten bisa menetap hingga bertahun-tahun. Masih tidak jelas

    mengapa ada trigger point yang bisa sembuh total dan mengapa ada yang justru

    berubah menjadi laten. Beberapa orang tampaknya lebih rentan mengalami

    pembentukan trigger point dan lebih sulit untuk mencegah reaktivasi trigger point

    laten dalam dirinya. Pada orang-orang tersebut, trigger point bisa berakumulasi

    sepanjang hidupnya sehingga penting untuk terus menerus menghindari faktor

    pemicu dan mencegah kerja otot berlebih. Pada semua kasus, faktor pemicu nyeri

    harus sebisa mungkin dihilangkan, pasien harus diposisikan seoptimal mungkin,

    serta dilakukan program latihan yang optimal di rumah.10

  • BAB 3

    SIMPULAN

    Sindrom nyeri miofasial adalah suatu kondisi nyeri otot atau fasia, akut maupun

    kronik, menyangkut fungsi sensorik, motorik, atau otonom yang berhubungan

    dengan myofascial trigger points (MTrPs). Sindrom nyeri miofasial merupakan

    masalah kesehatan yang signifikan, dimana 85% populasi umum pernah

    mengalami nyeri miofasial pada satu waktu dalam hidupnya dengan prevalensi

    per tahun sekitar 46% dan insiden antara laki-laki dan perempuan hampir sama.

    Nyeri miofasial dapat bersifat lokal atau secara regio, seperti pada leher,

    bahu, punggung atas dan bawah, biasanya unilateral atau lebih berat di salah satu

    sisi. Nyeri otot dapat menetap dengan variasi dari ringan hingga sangat berat, dan

    biasanya tidak hilang dengan sendirinya. Terdapat 7 ciri khas sindrom nyeri

    miofasial disebabkan trigger points yaitu nyeri lokal trigger points, nyeri alih,

    pemendekkan sarcomere, respon kedutan lokal (LTR), masalah metabolik, efek

    theraputik yang timbul dari meregangkan otot yang berkaitan, kelemahan dan

    kelelahan.

    Diagnosis nyeri myofasial dapat ditegakan melalui anamnesis dan

    pemeriksaan fisik. Anamnesis dilakukan berdasarkan “Sacred Seven and Basic

    Four”. Pada anamnesis biasanya pasien mengeluhkan nyeri tekan, nyeri gerak

    pada otot, nyeri pada leher dan bahu sering menjalar ke atas dan menyebabkan

    sakit kepala sedangkan pada pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi, palpasi untuk

    menentukan trigger point dapat dilakukan dengan tiga teknik manuver dasar yaitu

    tekanan jari langsung, palpasi rata, dan palpasi menjepit. Saat palpasi ditemukan

    taut band yaitu berbentuk seperti tali yang membengkak pada badan otot yang

    membuat pemendekan serabut otot terus menerus, sehingga terjadi peningkatan

    ketegangan serabut otot.

    Penegakkan diagnosis nyeri miofasial dapat menggunakan kriteria dari

    Simons dkk atau IASP. Fibromyalgia adalah diagnosis banding terdekat dan

    terpenting nyeri miofasial karena keduanya muncul sebagai nyeri otot dan sering

    muncul bersama-sama. Penanganan nyeri miofasial dapat dibedakan menjadi

  • nonoperatif dan operatif. Penanganan nonoperatif diawali dengan tindakan awal,

    kemudian dilakukan terapi untuk meredakan nyeri, menghilangkan trigger point,

    dan mengembalikan fungsi normal otot. Manajemen operatif adalah pilihan

    terakhir bagi pasien. Prognosis nyeri miofasial akan lebih baik bila durasi

    penyakit singkat, faktor pemicu berhasil dikendalikan, deteksi dini, dan segera

    mendapat terapi yang adekuat.

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Simons DG, Travell JG, Simons L. Travell Simons’ myofascialpain and

    dysfunction: the trigger point manual. 2 ed. Vol. 1,Upper half of the body.

    1999, Baltimore: Williams & Wilkins.

    2. Fernendes de las penas ,c, Cuadrodo M L Ardent Neils L.Simsns D G

    Pareja J A (2007).Myofacial trigger points and sensitization an update pain

    model for tension type eadache . Cephalgia 27(5) ,383-393

    3. Gerwin R D (2001) Classifications, Epidemiology and naturals history of

    myofascial pain syndrome . current pain and headache eports 5(5), 412-

    420

    4. Bron C. Dommerholt JD (2012) Etiology of myofacial trigger points

    Current Pain and headache reports 16(5),439-444

    5. Simons, David MD : Myofascial Pain Syndrome due to trigger points,

    November 1987

    6. Frost A: Diclofenac versus lidocaine as injection therapy in myo-fascial

    pain. Scand J Rheumatol 15:153-156, I986

    7. Perl ER: Unraveling the story of pain. In: Advances in Pain Research and

    Therapy, Vol. 9, edited by H.L. Fields, et al. Raven Press, New York, I985

    (pp. 1-29).

    8. Desai, M., Saini,Vickramjeet., Saini, Shawnjeet.,: Myofasical Pain

    Syndrome

    9. IASP. 2009. Global Year Against Musculoskeletal Pain: Myofascial Pain

    10. Chochowska, Molgarzata. 2015. Differential Diagnosis between

    fibromyalgia syndrome and myofascial pain syndrome. Journal of Pre-

    Clinical and Clinical Reasearch.