npwp wanita kawin
DESCRIPTION
PERLAKUAN NPWP WANITA KAWINTRANSCRIPT
NPWP Wanita Kawin
Pasal 2 KUP Vs Pasal 8 UU PPh
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan suatu sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak.
NPWP juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam
pengawasan administrasi pajak. Wajib Pajak harus mencantumkan NPWP yang dimilikinya
dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan.
Mengutip bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Selanjutnya disebut UU KUP), sebagai berikut : “Setiap Wajib Pajak wajib
mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
Kewajiban pendaftaran Wajib Pajak sebenarnya merupakan penerapan prinsip self
assessment di mana Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak. Selanjutnya terkait dengan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan NPWP adalah
kewajiban untuk membayar pajak bagi mereka yang telah mempunyai penghasilan melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dalam penjelasan pasal tersebut antara lain ditegaskan bahwa kewajiban mendaftarkan
diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah
karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau menghendaki secara tertulis
berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan seorang wajib pajak di Indonesia akan
bergantung pada ketentuan siapa yang dijadikan subjek dalam pengenaan pajak
penghasilan terutang. Dengan ditentukannya subjek pada siapa pajak dikenakan, maka
akan menentukan posisi suami dan istri dalam keluarga. Posisi tersebut akan menentukan
siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan orang
pribadi dalam sebuah keluarga.
Bagi wajib pajak wanita kawin yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, maka wanita kawin tersebut harus melakukan self assessment
terlepas dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya, termasuk dalam hal kepemilikan
NPWP dan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Pelaksanaan self assessment
yang terpisah hanya sebatas pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bidang perpajakan.
Tetapi masih ada yang terkait antara suami dan istri dalam perpajakan, seperti saat
perhitungan pajak terutang.
Dengan begitu peraturan ini memberikan kebebasan bagi wajib pajak wanita kawin
untuk menentukan status perpajakannya. Penentuan status bagi wajib pajak wanita kawin
tersebut menunjukkan adanya perkembangan dalam pemberian hak dan kewajiban
perpajakan bagi wajib pajak wanita kawin. Perkembangan ini juga menunjukkan upaya
untuk mengurangi permasalahan gender. Dikuranginya permasalahan dalam
ketidaksetaraan gender, maka hal tersebut juga mengupayakan untuk menyamakan
kedudukan pria dan wanita kawin dalam perpajakan.
Penentuan status subjek pajak seseorang merupakan hal yang sangat penting, hal ini
dikarenakan status subjek pajak yang melekat pada diri seseorang akan menentukan
bagaimana hak dan kewajiban perpajakannya. Dalam menentukan status subjek pajak
seseorang, dikenal lima asas pengenaan, yaitu asas domisili, asas sumber, asas
kewarganegaraan, asas teritorial, dan asas campuran.
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Wanita Kawin
Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep keluarga diperlakukan
sebagai taxable unit dalam pajak penghasilan, yang artinya perhitungan pajak penghasilan
berdasarkan pada penghasilan yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga. Berlakunya hal
ini juga mengakibatkan perhitungan pajak penghasilan terutangnya ditentukan berdasarkan
penggabungan penghasilan anggota keluarga.
Penggunaan keluarga sebagai taxable unit ini akan mempengaruhi hak dan
kewajiban perpajakan bagi anggota keluarganya. Di Indonesia, dengan digunakannya
keluarga sebagai taxabke unit ini, maka pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan
dilakukan oleh kepala keluarga.
A. Perlakukan Pajak Wanita Kawin Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU KUP
Pasal 2 Ayat (1)
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem
self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai
subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap [b]wanita kawin yang
dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim
atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan
harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan
kewajiban perpajakan suaminya
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib
Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor
Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk
menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi
perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak
diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap
Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Contoh:
Wajib Pajak A, yang memperoleh penghasilan dari usaha sebesar Rp100.000.000,00
mempunyai seorang istri yang menjadi pegawai dengan penghasilan sebesar
Rp50.000.000,00. Apabila penghasilan istri tersebut diperoleh dari satu pemberi
kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan
sebesar Rp50.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan
pajak atas penghasilan istri tersebut bersifat final.
B. Perlakuan Pajak Wanita Kawin Berdasarkan Pasal 8 UU PPh
Sedangkan mengenai perhitungan PPh terutang atas penghasilan suami dan istri,
diatur dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya sbb :
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal
tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang
berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1
(satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan
pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.
(3) Penghasilan neto suami-istri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami istri
dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-istri dihitung
sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Penjelasan
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga
sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh
anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-
hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau
pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak
dilakukan dalam hal penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang
telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
1. penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
2. penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang istri yang menjadi
pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta
rupiah). Apabila penghasilan istri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan
telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto
sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan
penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan istri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, istri A juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah), seluruh penghasilan istri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 +
Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar
Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00).
Potongan pajak atas penghasilan istri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim,
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-
sendiri. Apabila suami istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan
secara tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
penghasilan neto suami-istri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding
dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-istri yang mengadakan perjanjian pemisahan
penghasilan secara tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut. Dari contoh pada ayat (1),
apabila istri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung
berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah). Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah
sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah)
maka untuk masing-masing suami dan istri pengenaan pajaknya dihitung sebagai
berikut:
– Suami = 100.000.000,00 : 250.000.000 x Rp27.550.000,00 = Rp
11.020.000
– Istri = 150.000.000,00 : 250.000.000 x Rp27.550.000,00 = Rp
16.530.000
Sesuai dengan apa yang tertulis dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya,
penghasilan istri yang memenuhi kriteria berikut ini :
- Penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
- Penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.