nilai ekonomi total dan analisis multistakeholder hutan rakyat di kecamatan giriwoyo, kabupaten...
TRANSCRIPT
i
NILAI EKONOMI TOTAL DAN ANALISIS MULTISTAKEHOLDER
HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN GIRIWOYO,
KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH
HILMAN FIRDAUS
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai Ekonomi Total
dan Analisis Multistakeholder Hutan Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya
melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Hilman Firdaus
NIM H44090076
iv
ABSTRAK
HILMAN FIRDAUS. Nilai Ekonomi Total dan Analisis Multistakeholder Hutar
Rakyat di Kabupaten Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Dibimbing
oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI
Hutan Rakyat memiliki fungsi ekonomi dan fungsi ekologi. Fungsi
ekonomi dari hutan rakyat seperti kayu log dan kayu bakar dapat dikatakan
sebagai fungsi tangible, sedangkan fungsi ekologi hutan rakyat seperti penyerap
karbon dan penghasil mata air dapat disebut juga fungsi intangible. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kondisi aktual dari hutan rakyat,
mengestimasi nilai ekonominya, menganalisis kelembagaan pengelolaan dan
merumuskan rekomendasi pengelolaan yang lebih baik. Kondisi aktual dianalisis
dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Manfaat dari hutan rakyat
Giriwoyo diestimasi dengan menggunakan metode Nilai Ekonomi Total (NET).
Analisis kelembagaan dengan menggunakan metode Importance Performance
Analysis (IPA). Hutan rakyat Giriwoyo memiliki NET sebesar Rp.
17.622.296.440/tahun. Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat dilihat dari struktur
dan infrastruktur internal terlihat cukup baik. Berdasarkan hasil analisis IPA,
fungsi petani dalam melakukan pemupukan dan peran pemerintah dalam
melakukan koordinasi adalah yang harus diprioritaskan.
Kata kunci: Giriwoyo, hutan rakyat, IPA, NET
ABSTRACT
HILMAN FIRDAUS. Total Economics Value and Multistakeholders Analysis of
Smallholder Forest at Giriwoyo District, Wonogiri, East Java. Supervised by
EKA INTAN KUMALA PUTRI
Smallholder Forest have economic and ecological functions. The
economic function of smallholder forest, such as timber and firewood can be
called as tangible values. The ecological functions which are called intangible
values are absorbing carbons and retaining waters. The objectives of this
research are to identify the actual condition of Giriwoyo smallholder forest, to
estimate its economic value, to analyze its institutional management and to
formulate recommendations for better management. The method used to identify
the actual condition of Giriwoyo smallholder forest is descriptive analysis. The
benefits of Giriwoyo smallholder forest are calculated using Total Economic
Value (TEV) approach. Institutional management are analyzed using Importance
Performance Analysis (IPA). The result of this research shows that Total
economic value of Giriwoyo smallholder forest is about IDR 17.622.296.440 per
annum. Its management institution seemed quite good because there was clear
division of labour. Based on analysis of IPA, the function of farmers in doing a
fertilization and the role of government in coordination must be prioritized.
Keywords: Giriwoyo, IPA, Smallholder Forest, TEV
v
Keywords: Giriwoyo, IPA, private forest, TEV.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan
NILAI EKONOMI TOTAL DAN ANALISIS MULTISTAKEHOLDER
HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN GIRIWOYO,
KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH
HILMAN FIRDAUS
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
vi
vii
Judul Skripsi : Nilai Ekonomi Total dan Analisis Multistakeholder Hutan
Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri,
Jawa Tengah
Nama : Hilman Firdaus
NIM : H44090076
Disetujui oleh
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
viii
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah “Nilai Ekonomi
Total dan Analisis Multistakeholder Hutan Rakyat di Kecamatan Giriwoyo,
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.”
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
dan dukungan banyak pihak. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan kepada:
1. Kedua orang tua yaitu Iwan Kuswandi (Alm) dan Siti Hanifah, serta Johan
Apriandi, Anthi Dwi Putriani Anugrah, Tari Aprilia, dan Anindya Putriani
Anugrah yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan perhatiannya.
2. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku penguji utama dan Dr. Meti Ekayani,
S.Hut, M.Sc selaku penguji wakil departemen yang telah memberikan
berbagai masukan dan saran yang berguna bagi penulis.
4. Novindra, SP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik selama penulis
menjalani masa perkuliahan.
5. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri, Perkumpulan
Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal, Kantor Kecamatan
Giriwoyo, serta Badan Pusat Statistik Pusat yang telah membantu selama
pengumpulan data.
6. Bapak Rujimin, Masyarakat Giriwoyo, Ibu Wahyu Ida Riyani, S.Hut, dan
Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc, yang telah bersedia menjadi
narasumber untuk penelitian ini.
7. Bapak Rujimin beserta keluarga yang telah memberikan tempat tinggal
selama penulis melakukan survei lapang.
8. Teman terdekat penulis, Adila Ahmad, Fajar Cahya Nugraha, Galuh
Mutdaman, Yulis Diana, Siti Annisa Putri, Sri Kuncoro, Irfan Nugraha
atas bantuan semangat yang luar biasa.
9. Abida Hadi, Adinna Astrianti, Aulia Isnaini, Annisia Nifkiayu, Adinda
Virantika, Lusi Dara Mega, Akmi Retno, Bahroin Idris, Dear Rahmatullah
dan Petrus Romil sebagai teman berdiskusi selama penulis menyusun
skripsi ini.
10. Keluarga besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL)
FEM IPB khususnya dosen, staff dan seluruh rekan-rekan ESL terutama
angkatan 46 atas semua arahan, masukan, dan bantuannya.
11. Teman-teman sebimbingan, Ario Bismoko Sandjoyo, Agustina Rahayu,
Rahayu Eka Putri, Lailatussayidah, Nurul Silmi, Akmal Hartanto, Aisya
Nadhira, serta Febriana Adiya Rangkuti yang selalu memberikan bantuan
dan semangat.
12. Rekan-rekan dari Go~Sei, Achfan Awaludin, Ayu Novianthi, Dwi
Cahyaningtyas dan Yoga Try Utomo yang selalu memberikan semangat
x
13. Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak.
Bogor, November 2013
Hilman Firdaus
NIM H44090076
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Hutan Rakyat 7
2.2 Pengertian Nilai 7
2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan 8
2.4 Konsep Nilai Sumberdaya dan WTP Terhadap Jasa
Lingkungan 9
2.5 Nilai Ekonomi Total 10
2.6 Metode Kontingensi 13
2.7 Teori Kelembagaan 13
2.8 Analisis Multistakeholder 14
2.9 Tinjauan Studi Terdahulu 15
III. KERANGKA PEMIKIRAN 18
IV. METODE PENELITIAN 21
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 21
4.2 Penentuan Responden 21
4.3 Pengambilan Data 21
4.4 Metode Analisis Data 22
4.4.1 Analisis Tata Kelola Kelembagaan 23
4.4.2 Nilai Ekonomi Total Kawasan Hutan 23
4.4.3 Importance Performance Analysis 28
V. GAMBARAN UMUM 31
5.1 Sejarah Perkembangan Hutan Rakyat Giriwoyo 31
5.1 Keadaan Umum Kecamatan Giriwoyo 32
5.2 Keadaan Sosial Ekonomi Kecamatan Giriwoyo 34
5.3 Karakteristik Responden WTP Nilai Warisan 35
5.3.1 Usia 35
5.3.2 Jenis Kelamin 36
5.3.3 Pendidikan Formal 37
5.3.4 Jenis Pekerjaan 37
5.3.5 Tingkat Pendapatan 37
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 38
xii
6.1 Kondisi Aktual Hutan Rakyat Giriwoyo 38
6.1.1 Kepemilikan, Penebangan dan Prasarana Hutan 40
6.1.2 Kualitas SDM 41
6.1.3 Tata Kelola dan Manfaat Hutan 42
6.2 Manfaat Ekonomi Kawasan Hutan Rakyat 44
6.2.1 Manfaat Langsung Hutan Rakyat 44
6.2.2 Manfaat Guna Tidak Langsung Hutan Rakyat 48
6.2.3 Nilai Pilihan Hutan Rakyat 50
6.2.4 Nilai Warisan Hutan Rakyat 50
6.2.5 Nilai Ekonomi Total Hutan Rakyat Giriwoyo 54
VII. KELEMBAGAAN PPHR DALAM PENGELOLAAN HUTAN
RAKYAT GIRIWOYO 56
7.1 Struktur dan Infrastruktur Kelembagaan 56
7.1.1 Aturan Informal 58
7.1.2 Boundary Rule 61
7.1.3 Monitoring dan Sanksi 61
7.1.4 Penyelesaian Konflik 62
7.2 Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan HR Giriwoyo 62
7.2.1 Peran PPHR Catur Giri Manunggal 66
7.2.2 Peran DISHUTBUN 67
7.2.3 Peran Akademisi 68
7.2.4 Peran Masyarakat 69
7.2.5 Rekomendasi Pengelolaan HR Giriwoyo 69
7.2.6 Kebijakan Tingkat Makro 71
VIII. SIMPULAN DAN SARAN 73
8.1 Simpulan 73
8.1 Saran 74
DAFTAR PUSTAKA 76
xiii
DAFTAR TABEL
1 Matriks Penelitian Terdahulu. 16
2 Matriks Analisis Data 22
3 Ukuran Kuantitatif Nilai Kinerja 29
4 Ukuran Kuantitatif Nilai Kepentingan 29
5 Penggunaan Lahan Kabupaten Wonogiri Tahun 2011 33
6 Penggunaan Lahan Kecamatan Giriwoyo Tahun 2010 33
7 Populasi Giriwoyo Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2011 34
8 Populasi Giriwoyo Berdasarkan Pekerjaan Tahun 2011 34
9 Data Inventarisasi Jumlah Volume Tegakan Tahun 2007 44
10 Data Potensi Kayu Berdasarkan Kelas Umur Tahun 2007 44
11 Data Pengguna Mata Air Tahun 2007 49
12 Sebaran Nilai WTP Warisan HR Giriwoyo 52
13 Hasil Regresi Nilai WTP Warisan HR Giriwoyo 53
14 Nilai Ekonomi Total HR Giriwoyo 54
15 Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR Desa Sejati 58
16 Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR Desa Guwotirto 59
17 Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR Kelurahan Girikikis 60
18 Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR Desa Tirtosuworo 60
xiv
DAFTAR GAMBAR
1 NET dari sumberdaya hutan 11
2 Diagram alur penelitian 20
3 Diagram kartesius tingkat kepentingan dan kinerja 29
4 Presentase responden berdasarkan usia 35
5 Presentase responden berdasarkan jenis kelamin 36
6 Presentase responden berdasarkan pendidikan formal 36
7 Presentase responden berdasarkan pekerjaan 37
8 Presentase responden berdasarkan tingkat pendapatan 37
9 Tingkatan organisasi pengelola hutan rakyat 39
10 Struktur organisasi PPHR Catur Giri Manunggal 56
11 Diagram garis hasil analisis IPA 64
12 Diagram kartesius hasil analisis IPA 65
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Kecamatan Giriwoyo 83
2 Uji Statistik WTP Nilai Warisan 83
3 Kuisioner analisis WTP 86
4 Kuisioner analisis IPA 89
5 Riwayat Hidup Penulis 91
xvi
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang
garis pantai lebih dari 81.000 km, memiliki lebih dari 17.508 pulau dan luas laut
sekitar 3,1 juta km2. Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan
keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar ke-2 di dunia, yang ditandai dengan
luasan hutan Indonesia lebih dari 130 juta hektar pada tahun 20111. Kekayaan
yang berasal dari sumberdaya hutan menjadi salah satu sumber pendapatan
negara. Produksi HHK (Hasil Hutan Kayu) dan HHBK (Hasil Hutan Non Kayu)
menjadi komoditi yang memiliki nilai jual tinggi merupakan sumber devisa yang
tidak kecil bagi negara.
Hutan secara ekologi merupakan suatu kesatuan ekosistem yang berupa
hamparan lahan, berisi sumberdaya alam hayati dan didominasi oleh pepohonan
yang lebat. Secara ekonomi, sumberdaya hutan di Indonesia memiliki manfaat
yang sangat besar yang dapat dibedakan atas manfaat tangible dan manfaat
intangible. Manfaat tangible merupakan manfaat yang dirasakan dalam bentuk
fisik, seperti kayu, rotan, buah-buahan, madu, tanaman obat,dan lain-lain yang
dapat bersifat ekonomis, sedangkan manfaat intangible merupakan manfaat yang
berbentuk immaterial atau dapat dirasakan namun tidak nampak secara fisik,
seperti fungsi hidrologi, rekreasi, penghasil oksigen, penyerap carbon, penyedia
sumber air, habitat bagi berjuta flora dan fauna, sebagai penyeimbang lingkungan,
serta mencegah timbulnya pemanasan global. Potensi sumberdaya alam hayati dan
ekosistem dari hutan perlu dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat tanpa melupakan upaya konservasi sehingga
tercapai keseimbangan antara perlindungan dan pemanfaatan yang lestari.
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumberdaya hayati serta keseimbangan ekosistem
1Luas Kawasan Hutan Dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Berdasarkan Sk Menteri
Kehutanan.
(http://www.dephut.go.id/files/Luas%20Kawasan%20Hutan%20Indonesia_update_Juli_2011.pdf)
diakses tanggal 7 Oktober 2012.
2
sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan mutu kehidupan manusia.
Hutan Rakyat (HR) merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan
oleh masyarakat dalam membantu mengembangkan potensi hutan yang ada di
Indonesia. Hutan Rakyat dapat memberikan manfaat secara luas, tidak hanya bagi
pemiliknya, namun juga masyarakat dan lingkungan sekitar. Manfaat HR secara
langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara
tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa2. Hutan rakyat, menurut
UUD No 41 Tahun 1999 merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam
hutan hak. Ini berarti bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah
yang telah dibebani hak milik, yang konsekuensi logisnya adalah bahwa hutan
rakyat diusahakan tidak pada lahan negara. Potensi hutan rakyat di Indonesia
diperkirakan sebanyak 262.929.193 batang atau setara 65.732.298 m2 (rata-rata
per batang/pohon mempunyai volume 0,25 m3), yang terdiri dari jenis pohon jati,
sengon, mahoni, bambu, akasia, pinus, dan sonokeling (BPS 2003)
Hampir 50% dari total luas HR di Indonesia berada di Jawa-Madura.
Potensi sebaran HR di Pulau Jawa–Madura diperkirakan seluas 2.585.014,06 ha,
dengan taksiran volume kayu HR di Pulau Jawa-Madura sebesar kurang lebih
74.763.601,06 m3
atau 28,92 m3/ha (Mugiono 2009). Hutan rakyat di Jawa sudah
dikenal sejak dahulu dan dipraktekan secara turun temurun, serta mempunyai
karakteristik yang berbeda dari segi budidaya maupun status kepemilikannya
dibanding dengan HR di luar Jawa. Budidaya dan manajemen pengelolaan HR di
Jawa relatif lebih intensif dan lebih baik dibanding dengan di luar Jawa, hal ini
disebabkan karena opportunity cost pengembangan HR diluar jawa lebih besar
dibanding dengan tanaman perkebunan. Masyarakat luar jawa cenderung
menanam tanaman perkebunan seperti karet dan sawit.
Hutan Rakyat yang cukup berkembang di Pulau Jawa adalah HR yang
berada di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah.
Perkembangan HR Giriwoyo dapat dikatakan cukup baik, pada tahun 2007 HR
Giriwoyo mendapatkan sertifikasi dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) atas
2Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. (http://www.dephut.go.id/files/Ekonomi_HR.pdf) di akses
tanggal 7 Oktober 2012
3
sistem pengelolaannya yang berkelanjutan. Masyarakat yang tinggal di sekitar HR
Giriwoyo merasakan betul manfaat dari keberadaan HR ini, baik berupa manfaat
tangible maupun intangible, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait
perhitungan nilai ekonomi sumberdaya hutan rakyat agar dapat memberikan bukti
yang riil terhadap besarnya potensi yang terkandung dalam HR Giriwoyo saat ini.
Perhitungan nilai ekonomi (valuasi ekonomi) merupakan suatu upaya
untuk mengkuantifikasikan manfaat barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu
sumberdaya, dalam hal ini adalah sumberdaya hutan. Perhitungan Nilai Ekonomi
Total atau Total Economics Value merupakan salah satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk valuasi ekonomi. Nilai ekonomi total sumberdaya hutan dapat
dikelompokkan ke dalam nilai guna dan nilai non-guna.
Pengelolaan dan pemanfaatan HR yang optimal dapat tercapai apabila
kebijakan yang dihasilkan mengarah kepada keberlanjutan. Perlu adanya
kerjasama dan pemahaman yang baik dari seluruh stakeholder mengenai
pentingnya melestarikan HR, bukan hanya untuk menjaga nilai ekologinya saja,
tetapi menjaga nilai ekonominya juga, sehingga pengelolaan dan pemanfataan
yang berkelanjutan dapat tercipta. Hal itulah yang mendasari penulis untuk
melakukan penelitian mengenai valuasi ekonomi pada hutan rakyat di Kecamatan
Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
1.2 Perumusan Masalah
Hingga saat ini, tidak diketahui pasti jumlah potensi keragaman hayati
hutan yang dimiliki oleh Indonesia dan berapa besar manfaat yang bisa digali.
Bahkan, sebelum keragaman hayati di Indonesia teridentifikasi, telah terjadi
pemusnahan yang tak terhingga. Oleh karena itu, upaya konservasi sumberdaya
alam di Indonesia dan pemanfaatannya secara lestari harus segera ditingkatkan.
Adanya kerusakan sumberdaya hayati dapat menyebabkan dampak yang buruk
seperti menurunnya nilai ekonomi hutan dan fungsi ekosistem hutan.
Untuk menanggulangi hal tersebut, telah dilakukan upaya pemulihan dan
peningkatan kemampuan fungsi dan produktivitas hutan dan lahan. Departemen
Kehutanan telah menfasilitasi penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN) melalui berbagai kegiatan penanaman
4
tanaman penghijauan, pembuatan bangunan konservasi tanah dan air serta
kegiatan RHL lainnya yang bersifat spesifik sesuai kebutuhan dan karakteristik
lokasi. Kegiatan GERHAN dilaksanakan di dalam kawasan hutan seperti
reboisasi, mangrove, dan lain-lain dan di luar kawasan hutan seperti penghijauan,
hutan rakyat, hutan pantai/mangrove dan lain-lain.
Hutan rakyat Giriwoyo di Kabupaten Wonogiri merupakan sumberdaya
alam yang memiliki manfaat tinggi bagi masyarakat. Hutan rakyat yang ada saat
ini di Kab. Wonogiri mayoritas merupakan dampak dari GERHAN pada tahun
2003, disamping adanya kegiatan-kegiatan dari Dishutbun Kab. Wonogiri yang
mendukung pengembangan hutan rakyat, diantaranya terassering, penghijauan,
dan lainnya.
Masyarakat Giriwoyo sudah merasakan manfaat yang dihasilkan dari kayu
rakyat, yang umumnya dijadikan sebagai investasi jangka panjang, digunakan
untuk membiayai pendidikan anak, membiayai pernikahan dan hajatan-hajatan
lainnya yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Berbagai kayu yang ditanam
oleh masyarakat di Giriwoyo, antara lain Jati, Mahoni, Akasia, dan Sonokeling.
Wonogiri merupakan salah satu kabupaten penghasil kayu rakyat yang cukup
besar, dengan produksi kayu 12.000 m3/bulan atau 150.000 m3/tahun melalui
SKSHH (catatan dari Dishutbun Kab. Wonogiri 2012). Selama ini yang sudah
diperhitungkan oleh masyarakat masih terbatas pada tangible benefit. Sedangkan
HR memiliki manfaat intangible, yaitu manfaat ekonomi yang tidak dapat
dikuantifikasikan secara langsung karena tidak adanya nilai pasar untuk barang
tersebut.
Manfaat intangible bersumber dari fungsi ekologi seperti pengendali
banjir, penyerapan karbondioksida, dan penghasil oksigen. Apabila fungsi ekologi
terganggu dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Dengan
demikian, kawasan HR Giriwoyo butuh pengelolaan agar fungsi ekologi dapat
berjalan dengan baik.
Pengelolaan HR Giriwoyo belum dilakukan dengan baik karena dalam
pengelolaannya hanya melibatkan petanit itu sendiri, hal ini terjadi karena belum
ada bentuk hubungan antar kelembagaan yang baik. Kelembagaan yang baik
berarti semua stakeholder yang berhubungan dengan HR harus dilibatkan dalam
5
pengelolaannya. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap para
stakeholder agar kelembagaan dapat berjalan dengan baik dan pengelolaan HR
pun dapat lestari. Jika hal ini tidak diatasi secara konsisten maka dapat
menurunkan kualitas lingkungan hutan.
Di sisi lain, valuasi ekonomi terhadap ekosistem HR diperlukan untuk
menghitung besarnya nilai ekonomi total atas manfaat barang dan jasa ekosistem
HR dan untuk mengetahui nilai dan pandangan masyarakat mengenai keberadaan
HR Giriwoyo, melalui manfaat tangible dan intangible. Nilai ekonomi total dari
ekosistem HR merupakan nilai moneter sumberdaya alam dan lingkungan yang
mencerminkan nilai fungsi yang dimiliki sumberdaya alam dan lingkungan dari
ekosistem hutan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah kondisi aktual HR Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri?
2. Berapakah nilai ekonomi total yang terkandung di dalam HR Giriwoyo?
3. Bagaimana bentuk kelembagaan dalam pengelolaan HR Giriwoyo?
4. Bagaimana rekomendasi pengelolaan HR agar tercipta pengelolaan yang
lebih baik?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari potensi atau nilai apa
saja yang dimiliki oleh HRGiriwoyo. Nilai tersebut dicari dan diklasifikasi mana
yang termasuk pada use value, yang terdiri dari direct, indirect, dan optional
value, serta mana yang termasuk pada non-use value yang terdiri dari bequest
value, existence value, dan other non-use value. Nilai yang didapat kemudian
digunakan untuk mengestimasi Nilai Ekonomi Total (NET) dari keseluruhan HR
Giriwoyo.
Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kondisi aktual HR Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten
Wonogiri.
6
2. Menghitung Nilai Ekonomi Total yang terkandung pada HR Giriwoyo,
Kabupaten Wonogiri.
3. Menganalisis struktur dan infrastruktur kelembagaan dalam pengelolaan
HR Giriwoyo.
4. Merekomendasikan pengelolaan HR Giriwoyo yang lebih baik.
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, sebagai pengaplikasian ilmu yang sudah diperoleh pada
kehidupan nyata.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat tentang fungsi hutan rakyat, sehingga nanti masyarakat dapat
berpartisipasi dalam pemeliharaannya.
3. Penilaian yang bersifat ekonomis dan kuantitatif dapat dijadikan dasar
dalam penentuan kebijakan mengenai alokasi sumberdaya.
4. Bagi peneliti lainnya, sebagai bahan rujukan terhadap aplikasi dan metode-
metode kuantitatif dalam menilai manfaat suatu kawasan yang bersifat
tangible maupun intangible.
1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian, maka
penelitian ini mempunyai beberapa ruang lingkup dan batasan penelitian sebagai
berikut:
1. Dalam menduga nilai total ekonomi, use value didapat dari hasil hutan
kayu dan non kayu yang memiliki nilai pasar
2. Nilai guna langsung dari HR Giriwoyo yang diestimasi adalah potensi
kayu log, kayu bakar dan empon-empon (kunyit).
3. Nilai guna tidak langsung yang diestimasi dari HR Giriwoyo adalah nilai
penyerap karbon dan nilai mata air
4. Nilai guna pilihan yang diestimasi dari HR Giriwoyo adalah nilai manfaat
keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya.
5. Nilai keanekaragaman hayati sumberdaya hutan sekunder yang terdapat
dalam penelitian Pranoto (2009) dapat digunakan untuk mengestimasi nilai
keanekaragaman hayati dari HR Giriwoyo.
7
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat
Menurut Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan
berdasarkan statusnya dibagi ke dalam hutan negara dan hutan milik atau hutan
hak. Hutan hak berada pada tanah yang dibebani hak milik dan biasa disebut
hutan rakyat. Hutan rakyat sebagaimana yang tertulis dalam Keputusan Menteri
Kehutanan No. 49/kpts/II/1997 adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan
ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih
dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama sebanyak minimal 500 tanaman.
Suharjito (2000) mendefinisikan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki
oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karena itu hutan rakyat
disebut juga hutan milik. Departemen Kehutanan (1993) mendefinisikan bahwa
hutan rakyat adalah suatu lapangan di luar hutan negara yang didominasi oleh
pohon-pohonan, sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan
persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya.
Tujuan pembangunan hutan rakyat adalah:
1. Meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal tidak produktif
secara optimal dan lestari.
2. Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang dibutuhkan
masyarakat.
3. Membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan dan bahan
baku industri, serta kayu bakar.
4. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus
meningkatkan kesejahteraan.
5. Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik
rakyat yang berada pada kawasan perlindungan daerah hulu DAS.
2.2 Pengertian Nilai
Menurut Davis dan Johnson (1987), nilai merupakan persepsi manusia
tentang makna suatu objek (pada kasus ini sumberdaya hutan) pada tempat dan
waktu tertentu, sehingga terjadi keragaman nilai sumberdaya hutan berdasarkan
8
persepsi dan lokasi masyarakat yang berbeda-beda. Nilai sumberdaya hutan
sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat
yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang positif
terhadap nilai sumberdaya hutan, dan hal tersebut dapat ditunjukkan dengan
tingginya nilai sumberdaya hutan tersebut. Hal tersebut mungkin berbeda dengan
persepsi masyarakat yang tinggal jauh dari hutan dan tidak menerima manfaat
secara langsung.
Davis dan Johnson (1987) juga mengklasifikasi nilai berdasarkan cara
penilaian, yaitu : (a) nilai pasar, yaitu nilai yang ditetapkan melalui transaksi
pasar, (b) nilai kegunaan, yaitu nilai yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya
tersebut oleh individu tertentu, dan (c) nilai sosial, yaitu nilai yang ditetapkan
melalui peraturan, hukum, ataupun perwakilan masyarakat. Pearce (1992) dalam
Munasinghe (1993) membuat klasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai
Ekonomi Total (Total Economic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat
tersebut diperoleh.
2.3 Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menurut Fauzi (2004), sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang
dipandang memiliki nilai ekonomi. Sumberdaya itu sendiri memiliki dua aspek
yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan
dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya
dan bagaimana teknologi digunakan. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya
adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang
bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Barang dan jasa yang dihasilkan tersebut
seperti ikan, kayu, air, bahkan pencemaran sekalipun dapat dihitung nilai
ekonominya karena diasumsikan bahwa pasar itu eksis (Market Based), sehingga
transaksi barang dan jasa tersebut dapat dilakukan.
Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi, juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat
dalam bentuk lain, misalnya manfaat seperti keindahan, ketenangan dan
sebagainya. Manfaat tersebut sering kita sebut sebagai manfaat fungsi ekologis,
yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai
9
dari sumberdaya. Nilai tersebut tidak saja nilai pasar barang yang dihasilkan dari
suatu sumberdaya melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh
sumberdaya tersebut (Fauzi 2004).
2.4 Konsep Nilai Sumberdaya dan WTP Terhadap Jasa Lingkungan
Fauzi (2004) mengemukakan bahwa pengertian nilai atau value,
khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya
alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin
ilmu. Dari sisi ekologi, misalnya nilai dari hutan mangrove bisa berarti pentingnya
hutan mangrove sebagai tempat reproduksi spesies ikan tertentu atau fungsi
ekologis lainnya. Dari sudut pandang teknis, hutan mangrove merupakan wateri
bank yang dapat mencegah banjir atau kenaikan air laut. Perbedaan mengenai
persepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan pemahaman mengenai
pentingnya suatu ekosistem, oleh sebab itu diperlukan suatu persepsi yang sama
untuk penilaian ekosistem tersebut.
Umumnya metode penilaian ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui
pendekatan yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung.
Pendekatan langsung mencakup teknik memperoleh nilai secara langsung dengan
menggunakan percobaan dan survei. Teknik survei menggunakan kuisioner terdiri
dari dua tipe yaitu perolehan ranking dari nilai, berupa keinginan untuk membayar
dan kesediaan untuk menerima kompensasi. Secara umum nilai ekonomi
didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin
mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya, Secara
formal konsep ini disebut kemauan membayar seseorang terhadap barang dan jasa
yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan
pengukuran ini, nilai ekologis dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi
dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa (Pearce dan Moran 1994).
Pendekatan barang dan jasa secara ekonomi biasanya melalui pendekatan
nilai pasar yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Namun para
pemerhati lingkungan dan juga para ahli ekonomi percaya bahwa sumberdaya
alam belum dapat dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Masih
banyak masalah-masalah penelitian yang terjadi atas barang dan jasa yang
10
dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut, seperti manfaat terumbu karang,
keindahan bawah laut dan sebagainya. Jasa lingkungan adalah produk sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya yang berupa manfaat langsung (tangible) dan/atau
manfaat tidak langsung (intangible) antara lain: jasa wisata alam/rekreasi, jasa
perlindungan tata air/hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir,
keindahan, keunikan, penyerapan dan penyimpanan karbon (Pearce dan Moran
1994).
Disisi lain pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui
pengukuran willingness to accept (WTA) yaitu jumlah minimum pendapatan
seseorang untuk mau menerima penurunan terhadap sesuatu, tetapi dalam
prakteknya pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada
WTA, karena WTA bukan pengukuran berdasarkan insentif sehingga kurang tepat
untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia. Dalam pengukuran WTP
terdapat tiga kondisi yang harus dipenuhi yaitu : (1) WTP tidak memiliki batas
bawah yang negatif; (2) batas atas WTP boleh melebihi pendapatan; (3) adanya
konsistensi antara keacakan pendugaan dan keacakan perhitungan (Fauzi 2004).
2.5 Nilai Total Ekonomi
Pearce (1992) dalam Munasinghe (1993) membuat klasifikasi nilai
manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)
berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh. Secara garis besar, NET
dapat diklasifikasikan seperti pada Gambar 1.
11
Gambar 1 NET dari sumberdaya hutan (Pearce, 1992 dalam Munasinghe
1993).
Nilai ekonomi total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna
langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna. Nilai guna langsung
merupakan nilai dari manfaat yang langsung dapat diambil dari SDH. Sebagai
contoh manfaat penggunaan sumber daya hutan sebagai input untuk proses
produksi atau sebagai barang konsumsi. Berbeda dengan nilai guna tidak
langsung, yaitu nilai dari manfaat yang secara tidak langsung dirasakan
manfaatnya, dan dapat berupa hal yang mendukung nilai guna langsung, seperti
berbagai manfaat yang bersifat fungsional yaitu berbagai manfaat ekologis hutan.
Sedangkan nilai bukan guna yaitu semua manfaat yang dihasilkan bukan dari hasil
interaksi secara fisik antara hutan dan konsumen (pengguna).
Nilai pilihan, mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak
langsung yang berpotensi dihasilkan di masa yang akan datang. Hal ini meliputi
manfaat-manfaat sumber daya alam yang “disimpan atau dipertahankan” untuk
kepentingan yang akan datang (sumber daya hutan yang disisihkan untuk
12
pemanenan yang akan datang), apabila terdapat ketidakpastian akan ketersediaan
SDH tersebut, untuk pemanfaatan yang akan datang. Contoh lainnya adalah
sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan.
Nilai bukan guna meliputi manfaat yang tidak dapat diukur yang
diturunkan dari keberadaan hutan di luar nilai guna langsung dan tidak langsung.
Nilai bukan guna terdiri atas nilai keberadaan dan nilai warisan. Nilai keberadaan
adalah nilai kepedulian seseorang akan keberadaan suatu SDH berupa nilai yang
diberikan oleh masyarakat kepada kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika
dan kultural. Sementara nilai warisan adalah nilai yang diberikan masyarakat yang
hidup saat ini terhadap SDH, agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi
akan datang. Nilai-nilai ini tidak terefleksi dalam harga pasar (Bishop 1999).
Pengukuran sumberdaya (Fauzi 2004):
1. Sumberdaya hipotetikal. Adalah konsep pengukuran deposit yang belum
diketahui namun diharapkan ditemukan pada masa mendatang berdasarkan
survei yang dilakukan saat ini. Pengukuran sumberdaya ini biasanya
dilakukan dengan mengekstrapolasi laju pertumbuhan produksi dan
cadangan terbukti (proven reserve) pada periode sebelumnya.
2. Sumberdaya spekulatif. Konsep pengukuran ini digunakan untuk
mengukur deposit yang mungkin ditemukan pada daerah yang sedikit atau
belum dieksploitasi, di mana kondisi geologi memungkinkan
ditemukannya deposit.
3. Cadangan kondisional (conditional reserves). Adalah deposit yang sudah
diketahui atau ditemukan namun dengan kondisi harga outputdan
teknologi yang ada saat ini belum bisa dimanfaatkan secara ekonomis
4. Cadangan terbukti (proven resource). Adalah sumberdaya alam yang
sudah diketahui dan secara ekonomis dapat dimaanfaatkan dengan
teknologi, harga dan permintaan yang ada saat ini.
NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung + Nilai Pilihan +
Nilai Keberadaan
13
2.6 Metode Kontingensi (Contingent Valuation Method)
Metode kontingensi (CVM) adalah suatu cara untuk menilai suatu manfaat
non-use dan mengkonversinya ke dalam nilai moneter dengan metode survei.
Metode CVM digunakan untuk mengestimasi nilai ekonomi dan berbagai macam
ekosistem dan jasa pelayanan lingkungan. CVM adalah suatu metode
mengumpulkan preferensi seseorang mengekspresikan kesediaan membayar
seseorang. Pada dasarnya CVM menanyakan berapa kesediaan membayar mereka
untuk memperoleh suatu manfaat (Garod dan Willis 1999).
Wawancara dilakukan dengan menanyakan WTP dan WTA terhadap
sumberdaya alam agar tetap terpelihara. CVM hanya dapat digunakan sebagai
metode untuk mengestimasi nilai bukan guna yang tidak diperdagangkan di pasar,
dan menilai barang yang tidak memiliki barang subtitusi, komplemen, dan
pengganti yang diperdagangkan di pasar. Untuk menghasilkan informasi yang
akurat maka diperlukan beberapa hal, yaitu rancangan kuisioner yang tepat,
survey yang tepat dan teliti serta perhitungan ekonometrika yang rumit untuk
menganalisis data.
2.7 Teori Kelembagaan
Soemardjan dan Soelaeman (1974), menuliskan bahwa lembaga
mempunyai fungsi sebagai alat pengamatan kemasyarakatan (social control)
artinya kelembagaan dapat bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat yang
berperan besar terhadap sirkulasi kelembagaan tersebut. Komponen dari
kelembagaan antara lain; aturan formal, aturan informal dan mekanisme
penegakan (enforcement). Soemardjan dan Soelaiman (1974), memperinci ciri-ciri
lembaga kemasyarakatan sebagai berikut:
1. Merupakan unit yang fungsional, merupakan organisasi pola pemikiran
dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-
hasilnya.
2. Mempunyai tingkat kekekalan tertentu, yaitu telah teruji dan berupa
himpunan norma-norma pencapaian kebutuhan pokok yang sewajarnya
harus dipertahankan.
3. Mempunyai tujuan atau beberapa tujuan tertentu.
14
4. Mempunyai perangkat peralatan untuk mencapai tujuan lembaga tersebut,
misalnya: bangunan gedung, mesin-mesin, alat-alat lain.
5. Mempunyai alat pengebor semangat, misalnya: lambang-lambang, panji-
panji, slogan-slogan, semboyan-semboyan dan lain sebagainya.
6. Mempunyai tradisi atau tata-tertib sendiri.
Soemardjan dan Soelaiman (1974) secara umum menyimpulkan bahwa
lembaga sosial merupakan suatu tatanan sosial yang mempunyai tiga fungsi pokok
dalam kehidupan masyarakat, yaitu:
1. Sebagai pedoman (patokan) bagi para anggota masyarakat tentang cara
bagaimana harus bersikap dan berperilaku dalam setiap usaha memenuhi
kebutuhan hidupnya.
2. Sebagai pertahanan atau penangkal (kekuatan) dalam melestarikan
keutuhan masyarakat.
3. Sebagai pedoman bagi masyarakat dalam rangka usaha memelihara suatu
ketertiban dan sekaligus memberantas segala perilaku anggota masyarakat
yang menyimpang
2.8 Analisis Multistakeholder
Analisis Multistakeholder akan mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat
dalam pengelolaan. Menurut Colfer et al. (1999), untuk menentukan siapa yang
perlu dipertimbangkan dalam analisis multistakeholder yaitu dengan
mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap
HR, dimana stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan beberapa faktor, yaitu:
1. Kedekatan dengan hutan, merupakan jarak tinggal masyarakat yang
berhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan.
2. Hak masyarakat, hak-hak yang sudah ada pada kawasan hendaknya diakui
dan dihormati.
3. Ketergantungan, merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak
mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya sehingga
mereka sangat bergantung dengan keberadaan hutan.
15
4. Kemiskinan, mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia
sehingga masyarakat yang miskin menjadi prioritas tujuan pengelolaan.
5. Pengetahuan lokal, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakat
dalam menjaga kelestarian hutan.
6. Integrasi hutan/budaya, berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam
hutan, sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan
sangat erat dengan perasaan masyarakat tentang dirinya. Selama cara
hidup masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka
terancam oleh kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak
kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri.
7. Defisit kekuasaan, berhubungan dengan hilangnya kemampuan
masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan
mereka daritekanan luar sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-
praktik yang merusak.
2.9 Tinjauan Studi Terdahulu
Suharti (2007) menduga permintaan dan manfaat kunjungan rekreasi
dengan menggunakan metode biaya perjalanan di Kebun Wisata Pasirmukti. Nilai
surplus konsumen sebesar Rp. 7.478 dengan menggunakan jumlah kunjungan
selama satu tahun (Juli 2006 – Juni 2007). Nilai lokasi dihitung dengan
menggunakan WTP Rp. 1.667.946.410 dan nilai rata-rata WTP sebesar Rp.
18.900. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap WTP adalah biaya perjalanan,
pendapatan, jumlah rombongan, jarak tempuh, lama mengetahui Kebun Wisata
Pasirmukti, jumlah rekreasi selama satu tahun, daya tarik, tempat rekreasi
alternatif, jenis kelamin dan status hari.
Miftahurrohmah (2012) mengestimasi nilai manfaat ekonomi total dari
hutan mangrove Angke Kapuk pasca rehabilitasi adalah sebesar
Rp.21.020.913.790,80, dengan rincian sebagai berikut; nilai manfaat langsung
berupa kayu, ikan, bibit dan arang adalah sebesar Rp. 8.689.724.000,00, nilai
manfaat tidak langsung sebesar Rp. 12.285.357.670,80, dan manfaat pilihan
sebesar Rp. 45.832.122,00. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan kelembagaan
hutan mangrove yaitu terdri dari pemerintah, masyarakat, perusahaan, akademisi,
16
dan keamanan. Hubungan aktor dalam pengelolaan kelembagaan hutan mangrove
berjalan harmonis dan sinergis.
Mahesi (2008) menyatakan bahwa nilai jasa lingkungan di Kebun Raya
Cibodas (KRC) lebih besar dari nilai jual pohon atau tanaman (dalam tahun).
Yang menjadi permasalahan adalah nilai jasa lingkungan tidak langsung dirasakan
secara ekonomi. Nilai sumberdaya hayati dapat dikelompokkan berdasarkan nilai
ekologi, nilai komersial dan nilai rekreasi. Nilai ekonomi wisata dari sisi
permintaan wisata yang didekati dari biaya perjalanan adalah sebesar Rp.
109.326.386.400/tahun per tahun. Nilai ini masih rendah. Surplus konsumen
wisata dengan metode biaya perjalanan sebesar Rp.22.727 per individu,
sedangkan berdasarkan kesediaan membayar sebesar Rp.12.218 per individu.
Ringkasan gambaran penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Matriks Penelitian Terdahulu
No. Nama Peneliti Alat Analisis Hasil
1
2
3
Suharti
Miftahurrohmah
Mahesi
Travel Cost Method
Total Economic Value
dan Analisis
stakeolders
Contingent Valuation
Methoddan Travel
Cost Method
Menduga nilai ekonomi Kebun Wisata
Pasirmukti dengan menggunakan
willingness to pay (WTP) sebesar Rp.
1.667.946.410 dan nilai rata-rata WTP
sebesar Rp. 18.900.
Menduga nilai ekonomi total dari
kawasan hutan mangrove Angke Kapuk
setelah rehabilitasi sebesar Rp.
21.020.913.790,80. Aktor yang terlibat
dalam pengelolaan hutan mangrove
adalah pemerintah, masyarakat,
perusahaan, akademisi dan keamanan.
Nilai ekonomi wisata dari sisi
permintaan wisata yang didekati dari
biaya perjalanan adalah sebesar Rp.
109.326.386.400/tahun, sedangkan
berdasarkan kesediaan membayar
sebesar Rp.12.218 per individu.
Adanya surplus konsumen, baik surplus
wisata maupun diluar wisata dapat
dijadikan acuan dalam pengembangan
dan pengelolaan kawasan konservasi.
Beberapa penelitian diatas mengangkat topik valuasi atau penilaian
terhadap suatu sumberdaya agar didapat nilainya secara moneter. Penelitian ini
pada intinya membahas hal yang sama. Perbedaan penelitian yang penulis lakukan
dengan penelitian sebelumnya adalah, dalam penelitian sebelumnya, belum ada
17
yang meneliti tentang nilai ekonomi total dan analisis struktur kelembagaan
dengan obyek Hutan Rakyat. Selain itu, studi diatas lebih melihat jasa lingkungan
dari segi permintaan wisata sehingga objeknya merupakan tempat wisata.
18
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional
Perbaikan atau rehabilitasi pada suatu sumberdaya akan memberikan
perubahan terhadap kondisi sumberdaya tersebut setelah dilakukan perbaikan.
Kabupaten Wonogiri pada umumnya dan Kecamatan Giriwoyo pada khususnya
awalnya merupakan kondisi yang gersang. Gerakan Penghijaunan Nasional
(GERHAN) yang dilakukan oleh pemerintah setempat pada tahun 2003
merupakan upaya penghijauan dan penyelamatan lahan-lahan kritis. Pelaksanaan
GERHAN di Kecamatan Giriwoyo mendorong berkembangnya Hutan Rakyat
yang ada saat ini
Keberadaan HR Giriwoyo merupakan hasil dilakukannya GERHAN,
keberhasilan ini tentu meningkatkan kualitas dan tentu saja nilai ekonomi yang
terkandung dalam sumberdaya hutan tersebut. Keberadaan HR Giriwoyo saat ini
memiliki dampak yang cukup besar bagi masyarakat Giriwoyo, air yang pada
awalnya kering sekarang cukup melimpah, bahkan tetap mengalir pada saat
musim kemarau. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh nilai ekonomi total
dari HR Giriwoyo. Nilai ekonomi total dari HR Giriwoyo yang didapat dari
penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk
penentuan kebijakan. Hal ini kemudian akan berimplikasi kepada kebijakan
pemerintah untuk memperoleh HR yang bernilai ekonomi tinggi dan
berkelanjutan.
Tahap pertama dalam melakukan penelitian ini adalah mengidentifikasi
kondisi aktual HR Giriwoyo. Identifikasi dilakukan dengan cara suvey langsung
ke lapangan yang berlokasi di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah, serta menggunakan metode analisis deskriptif hasil dari wawancara
dengan key person setempat. Selanjutnya dilakukan identifikasi manfaat hutan
melalui pendekatan Total Economic Value (TEV) dengan mewawancarai
responden melalui panduan kuisioner.
Nilai guna langsung (Direct Use Value) dari HR Giriwoyo yang dirasakan
oleh masyarakat adalah hasil kayu log, kayu bakar dan empon-empon. Nilai guna
tidak langsung (Non-Direct Use Value) yang didapat dari sumberdaya hutan HR
19
Giriwoyo adalah manfaat penyerap karbon dan manfaat mata air. Nilai pilihan
dari HR giriwoyo merupakan nilai keanekaragaman hayati yang terkandung
didalamnya, didapat dengan menggunakan metode benefit transfer. Nilai warisan
(Bequest Value) diperoleh berdasarkan analisis Willingness to Pay (WTP) atau
kesediaan membayar masyarakat untuk melestarikan hutan demi kelestarian di
masa yang akan datang.
Nilai dari manfaat hutan yang diperoleh tersebut kemudian dimoneterkan
untuk menghitung nilai ekonomi total dari seluruh kawasan HR Giriwoyo.
Informasi nilai ekonomi total ini kemudian dapat digunakan oleh pemerintah
dalam pengelolaan hutan yang lestari dan penentuan kebijakan yang efektif.
Selain menghitung nilai ekonomi total dari HR Giriwoyo, penelitian ini
juga bertujuan untuk mengidentifikasi kelembagaan dan menganalisis aktor /
stakeholders yang berpengaruh terhadap pengelolaan dan pemanfaatan HR
Giriwoyo. Identifikasi ini dirasa perlu dilakukan karena besarnya manfaat atau
nilai ekonomi total yang terkandung dalam HR Giriwoyo, pasti ditentukan oleh
kualitas kelembagaan dalam pengelolaannya. Analisis kelembagaan meliputi
analisis struktur dan infrastruktur kelembagaan seperti aturan formal, informal,
boundary rule, monitoring dan sanksi.
Output dari suatu studi sebaiknya memberikan rekomendasi yang sesuai
dengan kondisi lapangan, oleh karena itu dilakukan pula analisis Importance
Performance Analysis untuk melihat kinerja dari fungsi atau peran stakeholder
yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan HR Giriwoyo.
Analisis ini dapat menggambarkan peran apa saja dari stakeholder yang perlu
dipertahankan bahkan dimaksimalkan, sehingga hal ini dapat menjadi
rekomendasi untuk pengelolaan yang lebih baik untuk kedepannya.
20
Gambar 2 Diagram alur penelitian
IDENTIFIKASI MANFAAT
REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN
HUTAN RAKYAT
POTENSI
Kayu
Log
Kayu
Bakar
Mata Air
Penyerap
Karbon
Keanekaragaman
hayati
Nilai Pilihan
HUTAN RAKYAT GIRIWOYO
Nilai
Warisan
Direct use
value
Inirect use
value
NILAI EKONOMI TOTAL
Analisis Multistakeholder
berdasarkan kepentingan dan
kinerja
Matriks posisi
peran stakeholder
Valuasi ekonomi potensi
HR agar didapat nilai riil
Sertifikasi LEI, perlu
dimaksimalkan melalui
Pengelolaan yang optimal
Importance Performance Analysis
21
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di kawasan HR yang berada di Giriwoyo, Kab.
Wonogiri. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena dinilai dengan
adanya kawasan HR di Giriwoyo ini sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar,
sehingga harapannya setelah dilakukan valuasi maka pemegang keputusan dapat
membuat kebijakan yang sesuai untuk tujuan pelestarian kawasan HR. Waktu
pengambilan data dilakukan selama 1 (satu) bulan, yaitu pada bulan April 2013.
4.2 Penentuan Responden
Pengambilan data dilakukan dengan cara menemui masyarakat sekitar
lokasi penelitian. Objek penelitian adalah masyarakat Wonogiri yang berdomisili
di sekitar kawasan HR Giriwoyo, sehat jasmani dan rohani dengan kriteria cukup
dewasa, yaitu yang telah berumur 17 tahun, dan mampu berkomunikasi dengan
baik. Untuk mengidentifikasi kondisi HR Giriwoyo, penulis mewawancari
responden yang merupakan key person dari Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat
(PPHR), Pemerintah Kecamatan dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
(DISHUTBUN) setempat, untuk analisis Willingness to Pay dipilih sebanyak 67
orang, sedangkan terkait Analisis Kinerja dan Kepentingan penulis mewawancarai
key person dari masing-masing stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan
HR Giriwoyo, yaitu PPHR, DISHUTBUN, Masyarakat dan Akademisi.
4.3 Pengambilan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan
sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara:
1. studi literatur untuk mendapatkan data sekunder tentang karakteristik
hutan rakyat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tujuan penelitian;
2. observasi dengan cara mengamati dan mencatat hasil pengamatan di
lapangan;
3. wawancara dengan menggunakan kuisioner untuk memperoleh data yang
meliputi data umur, jenis kelamin, pendapatan, tingkat pendidikan, jarak
22
antara rumah dengan lahan hutan, dan kesediaan responden untuk
membayar (WTP) agar jasa-jasa lingkungan di kawasan HR Giriwoyo
tetap terjaga.
4. Penilaian responden terhadap kawasan HR tentang makna ekologis,
kelestarian, dan keindahan HR Giriwoyo.
Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini seperti gambaran umum dan
kondisi wilayah hutan di Kecamatan Giriwoyo diperoleh dari lembaga setempat,
Dinas Kehutanan setempat, studi literatur, dan fasilitas internet.
4.4 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini data yang terkumpul diolah secara manual dan
menggunakan komputer dengan Software SPSS, Graph dan Microsoft Excel 2007.
Tabel 2. Matriks Analisis Data
No. Tujuan Penelitian Data yang Diperlukan Alat Analisis
Data
Sampel
1
2
3
4
Mengidentifikasi HR
Kecamatan Giriwoyo
Kab. Wonogiri
Menghitung nilai
ekonomi total yang
terkandung pada HR
Giriwoyo Kab.
Wonogiri.
Menganalisis struktur
kelembagaan dalam
pengelolaan HR
Giriwoyo.
Merekomendasikan
pengelolaan HR agar
tercipta pengelolaan
yang lebih baik.
Data sekunder: Kondisi
fisik dan pola pengelolaan
Data primer: Survei dan
wawancara pada pihak
pengelola dan masyarakat
setempat
Data sekunder: Data
vegetasi flora dan fauna,
jenis kayu, luas areal HR
dan keanekaragaman hayati
dari dinas terkait dan studi
literatur
Data Primer: Wawancara
langsung kepada responden
Data primer mengenai
aturan main yang terdapat
dalam kelembagaan
Perkumpulan Pelestari
Hutan Rakyat (PPHR)
Data primer mengenai
kinerja dan kepentingan
peran pengelolaan dari
stakeholders terhadap
pengelolaan HR yang
didapat melalui wawancara
Analisis
deskriptif
kualitatif
Total
EconomicValue,
Analisis Tata
Kelola
kelembagaan
Analisis
Importance
Performance
Analysis (IPA)
Keyperson
PPHR,
DISHUTBUN,
dan
Pemerintah
Kecamatan
Dinas atau
lembaga
terkait dan 67
orang
responden
masyarakat
Keyperson
yang
merupakan
pengurus
PPHR
4 orang
responden
yang mewakili
stakeholder
(PPHR,
DISHUTBUN,
Akademisi dan
Masyarakat)
23
4.4.1 Analisis Tata Kelola Kelembagaan
Karakteristik kelembagaan dan aturan Perkumpulan Pelestari Hutan
Rakyat (PPHR) diidentifikasi dengan menggunakan analisis deskriptif.
Karakteristik kelembagaan yang dianalisis meliputi beberapa hal yang bersifat
kualitatif, yaitu: pertama, aktor dalam kelembagaan yang terdapat dalam PPHR
Catur Giri Manunggal. Kemudian aktor tersebut diidentifikasi perannya dalam
kelembagaan PPHR. Kedua, aturan main atau infrastruktur kelembagaan yang
dibagi menjadi lima bagian yaitu: (1) aturan formal, yang dapat dibagi menjadi
aturan eksternal dan internal; (2) aturan informal; (3) aturan keluar masuknya
anggota atau boundary rules ; (4) aturan monitoring dan sanksi; dan (5) aturan
dalam penyelesaian konflik yang terjadi dalam pelaksanaan kelembagaan.
4.4.2 Nilai Total Ekonomi Kawasan Hutan
Pendugaan nilai manfaat dari seluruh kawasan hutan dapat dihitung
berdasarkan nilai ekonomi totalnya. Total Economic Value (TEV) dalam hal ini
merupakan total dari penjumlahan nilai kegunaan langsung dari hutan rakyat dan
nilai kegunaan tak langsungnya.
TEV = DUV + NDV + NP + NW.....................................(1)
dimana:
TEV = Total Economic Value
DUV = Direct Use Value
NDV = Non-Direct Use Value
NP = Nilai Pilihan
NW = Nilai Warisan
Dalam hal ini, nilai kegunaan langsung dapat dicari dari nilai ekonomis
atau nilai pasar produk hutan kayu dan non-kayu, sedangkan nilai kegunaan tak
langsung dapat dicari dengan kemampuan pohon menyerap karbon, serta sebagai
daerah resapan air yang belum tergantikan fungsinya, lalu fungsi-fungsi tersebut
dikonversi ke dalam nilai moneter yang berlaku pada nilai saat ini. Untuk
menduga nilai TEV, terlebih dahulu kita harus melakukan beberapa pekerjaan
seperti menentukan kekayaan keanekaragaman hayati di kawasan hutan Giriwoyo
dan mengelompokkan nilai guna langsung dan tidak langsung dari hutan tersebut.
24
Selanjutnya, melakukan valuasi terhadap manfaat-manfaat tersebut dengan
pendekatan TEV.
1. Nilai Guna Kayu Log
Nilai kayu log yang diestimasi adalah jenis kayu Jati, Mahoni dan Akasia,
dan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
NKLi = Ei x HKLi.......................................................................(2)
Keterangan:
NKLi = Nilai Total Kayu Log jenis-i (Rp/tahun)
Ei = Etat volume tebang lestari kayu jenis-i (m3/tahun)
HKLi = Harga kayu log per kubik jenis-i (Rp/m3)
i = Jenis kayu (Jati, Mahoni, dan Akasia)
2. Nilai Ekonomi Kayu Bakar
Nilai kayu bakar dihitung dengan cara pendekatan harga pasar. Untuk
menghitung nilai ekonomi kayu bakar dari HR Giriwoyo digunakan harga kayu
bakar yang berlaku di lokasi penelitian, lalu harga tersebut dikalikan dengan
jumlah populasi penduduk pra-sejahtera yang ada di Kecamatan Giriwoyo.
Asumsinya yang memanfaatkan kayu bakar tersebut adalah masyarakat pra-
sejahtera karena mereka tidak memiliki cukup dana untuk menggunakan kompor
gas. Nilai kayu bakar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
NKB = Jkb x Pkb x KPS.............................................................(3)
Keterangan:
NKB = Nilai Ekonomi Kayu Bakar (Rp/tahun)
Jkb = Jumlah penggunaan kayu bakar (ikat/tahun)
Pkb = harga kayu bakar yang berlaku (Rp/ikat)
KPS = jumlah keluarga pra-sejahtera
3. Nilai Ekonomi Empon-empon
Untuk mendapatkan nilai ekonomi empon-empon di lokasi penelitian,
digunakan pendekatan benefit transfer, berdasarkan Pranoto (2009), tingkat
25
produktivitas empon-empon (kunyit) di HR Desa Selopuro adalah sebesar 305
kg/ha/tahun, maka nilai kunyit dapat dihitung dengan persamaan matematis:
NE = PE x HE x LA.................................................................(4)
Dimana :
NE = Nilai Empon-empon/kunyit (Rp/tahun)
PE = Potensi Empon-empon (kg/ha/tahun)
HE = Harga Empon-empon (Rp/kg)
LA = Luas areal HR (ha)
4. Nilai Penyerap Karbon
Untuk menentukan nilai penyerap karbon di lokasi penelitian digunakan
pendekatan benefit transfer. Menurut Mugiono (2009) perkiraan kandungan
karbon dari kayu HR di Jawa-Madura adalah sebesar 40.724.689,34 ton, atau
15,75 ton/ha, maka nilai penyerap karbon dapat dihitung dengan persamaan
dibawah ini:
NPK = CO x PC x LA................................................................(5)
Keterangan:
NPK = nilai total penyerap karbon (Rp/tahun)
CO = kandungan karbon dalam kayu/ha (15,75 ton/ha)
PC = harga karbon, US$12/ton
LA = Luas area penelitian (ha)
5. Nilai Ekonomi Mata Air
Untuk mendapatkan nilai ekonomi mata air di lokasi penelitian, digunakan
pendekatan dengan persamaan matematis:
NMA = nKK x USE x Pair..........................................................(6)
Keterangan:
NMA = Nilai Ekonomi Mata Air (Rp/tahun)
nKK = jumlah kepala keluarga yang memanfaatkan mata air
USE = rata-rata penggunaan air per rumah tangga (m3/tahun)
Pair = harga air yang berlaku di PDAM Kab. Wonogiri (Rp/m3)
26
6. Nilai Keanekaragaman Hayati
Nilai keanekaragaman hayati dihitung berdasakan pendekatan benefit
transfer. Berdasarkan Ministry of State for Population and Environment (1993)
dalam Pranoto (2009), nilai manfaat keanekaragaman hayati untuk hutan sekunder
adalah sebesar US $32,5/ha/tahun, maka nilai keanekaragaman hayati dapat
dihitung dengan persamaan dibawah ini:
NFF = NKH x LA......................................................................(7)
Keterangan:
NFF = nilai total keanekaragaman hayati (Rp/tahun)
NKH = nilai keanekaragaman hayati per hektar (Rp/ha)
LA = luas areal penelitian (ha)
7. Analisis Nilai WTP Responden terhadap Nilai Warisan
Tahap-tahap dalam melakukan penelitian untuk menentukan WTP sebagai
nilai warisan HR Giriwoyo adalah sebagai berikut:
1. Membuat Pasar Hipotetik
Pasar hipotetik dibentuk atas dasar menurunya kualitas lingkungan
kawasan hutan Giriwoyo yang memiliki jasa lingkungan sebagai penyedia udara
bersih dan penghasil mata air. Selanjutnya pasar hipotetik yang ditawarkan
dibentuk dalam skenario sebagai berikut:
Skenario:
“Jika manfaat jasa lingkungan dari kawasan hutan rakyat Giriwoyo ini ingin
tetap lestari dan dapat dirasakan selama mungkin, maka perlu adanya upaya
pelestarian dari masyarakat sekitar. Suatu saat nanti kualitas lingkungan akan
menurun yang dikarenakan berbagai penyebab antara lain, pemanfaatan
lingkungan yang tidak ramah lingkungan dan keterbatasan dana untuk tetap
menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Apa Bapak/Ibu bersedia membayar
sejumlah uang untuk menjaga kualitas hutan agar tetap baik?”
27
Dengan skenario ini maka responden mengetahui gambaran tentang situasi
hipotetik mengenai rencana pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya
konservasi untuk pelestarian hutan rakyat Giriwoyo. Nilai pembayaran jasa
lingkungan yang akan diberlakukan akan ditanyakan kepada responden mengenai
WTP. Kepada setiap responden akan ditanyakan apakah mereka bersedia atau
menolak terhadap pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya pelestarian yang
akan diberlakukan. Alat survei yang digunakan adalah berupa kuisioner. WTP
didapat dengan cara bertanya langsung kepada masyarakat dengan metode Open
Ended dimana responden dapat bebas menjawab berapa saja jumlah yang ingin
mereka bayarkan. Starting point atau batas minimal besarnya WTP ditentukan
berdasarkan harga bibit pohon jati di lokasi penelitian, yaitu Rp.3.000.
2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP
Jika kuisioner telah dibuat, maka survey dilakukan dengan wawancara
langsung. Teknik yang digunakan dalam mendapatkan nilai penawaran pada
penelitian ini yaitu dengan menawarkan kepada responden sejumlah uang tertentu
dan menanyakan apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang
tersebut untuk memperoleh perbaikan kualitas lingkungan melalui pembayaran
jasa lingkungan.
3. Memperkirakan Nilai Rata-rata WTP
WTP dapat diduga dengan melakukan nilai rata-rata dari penjumlahan
keseluruhan nilai WTP dibagi dengan jumlah responden. Dugaan rataan WTP
dicari dengan rumus:
EWTP =
∑ ...........................................................(8)
dimana:
EWTP = Dugaan rataan WTP
Wi = Nilai WTP ke-i
Pfi = Frekuensi Relatif
n = Jumlah responden (67 orang)
i = Responden ke-i yang bersedia membayar jasa lingkungan
28
4. Menduga Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP
Pendugaan akan dilakukan menggunakan analisis regresi linear dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut:
WTP = f (AGE, TGN, PDI, JOB, LHN, TR, JRK, KLS)..............(9)
dimana:
WTP = Nilai WTP responden (Rp/orang)
AGE = Usia responden (Tahun)
TGN = Jumlah tanggungan responden (orang)
TR = Rata-rata pendapatan rumah tangga (Rp/bulan)
PDI = Tingkat pendidikan responden (tahun)
JOB = Pekerjaan responden (dummy)
JRK = Jarak rumah ke lokasi pemanfaatan jasa lingkungan (m)
LHN = Kepemilikan lahan hutan (dummy)
KLS = Persepsi kualitas jasa lingkungan (1=baik, 2=biasa, 3=jelek)
5. Menjumlahkan Data
Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai tengah penawaran
dikonversi terhadap total populasi yang dimaksud. Setelah menduga nilai tengah
WTP maka milai WTP kemudian dijumlah sehingga didapat nilai WTP total yang
penulis asumsikan sebagai nilai warisan dari HR Giriwoyo.
4.4.3 Importance Performance Analysis (IPA)
Metode IPA dapat digunakan untuk menentukan kebjakan apa yang perlu
dilakukan untuk pengelolaan HR Giriwoyo yang lebih baik. Responden yang
merupakan stakeholder terkait pengelolaan HR Giriwoyo, yaitu PPHR, Dinas
Kehutanan dan Kebudayaan Kab. Wonogiri, Masyarakat dan Akademisi diminta
untuk menjawab pertanyaan terkait kinerja dan kepentingannya dari peran atau
fungsi yang mereka kerjakan dalam proses pengelolaan HR Giriwoyo. Penentuan
tingkat kinerja dan kepentingan dilakukan dengan menggunakan pembobotan
dengan menggunakan skala 1-4 seperti pada Tabel 3 dan Tabel 4.
29
Tabel 3. Ukuran kuantitatif nilai kinerja
Persepsi Responden Nilai
Tidak baik 1
Cukup Baik 2
Baik 3
Sangat Baik 4
Tabel 4. Ukuran kuantitatif nilai kepentingan
Persepsi Responden Nilai
Tidak penting 1
Cukup penting 2
Penting 3
Sangat penting 4
Sumber : Journal of Theorical Applied Electronic Commerce Research (2011)
Bobot penilaian kinerja peran masing-masing stakeholder dan bobot
penilaian tingkat kepentingannya kemudian digambarkan ke dalam Diagram
Cartesius. Masing-masing indkator diposisikan dalam sebuah bagan yang
menunjukan tingkat kinerja dan kepentingan indikator tersebut. Indikator peran
atau fungsi tersebut diletakan pada sebuah bagan yang dibagi menjadi empat
kuadran. Secara jelas bangunan diagram cartesius tersebut dapat dilihat pada
Gambar 3.
Sumber : Journal of Theorical Applied Electronic Commerce Research (2011)
Gambar 3 Diagram Cartesius tingkat kepentingan dan kinerja
Keterangan:
Prioritas Utama (high importance & low importance)
Prioritas Utama, kuadran ini memuat atribut-atribut yang dianggap penting
oleh stakeholders, tetapi kinerja dari stakeholders belum sesuai sehingga belum
Prioritas Utama Pertahankan prestasi
Prioritas Rendah Berlebihan
tinggi
tinggi
NILAI KEPENTINGAN
rendah
KINERJA
rendah
30
berpengaruh terhadap peningkatan pengelolaan HR Giriwoyo. Oleh karena itu
penentu kebijakan perlu melakukan perbaikan pada atribut-atribut yang berada
pada kuadran ini.
Pertahankan Prestasi (low importance & high performance)
Pertahankan prestasi, kuadran ini menunjukan atribut-atribut yang
kinerjanya sangat baik sesuai dengan yang seharusnya sehingga berpengaruh
nyata terhadap pengelolaan HR Giriwoyo.
Prioritas Rendah (low importance & low performance)
Prioritas rendah, kuadran ini menunjukan atribut yang dirasa kurang begitu
penting untuk dilakukan.Kinerja atribut yang berada pada kuadran ini pun dirasa
rendah sehingga perlu dilakukan peningkatan kinerja.
Berlebihan (low importance & high performance)
Berlebihan, kuadran ini menunjukan atribut yang dirasa kurang penting
namun memiliki kinerja yang sangat tinggi, oleh karena itu tidak perlu untuk
meningkatkan kinerja pada atribut yang berada pada kuadran ini karena akan
menyebabkan terjadinya pemborosan sumberdaya.
31
V GAMBARAN UMUM
5.1 Sejarah Perkembangan Hutan Rakyat Giriwoyo
Pada tahun 1956, pasca masa penjajahan banyak hutan negara dalam
kondisi rusak dan gundul, hal ini melatarbelakangi masyarakat untuk melakukan
penanaman tanaman penghijauan di daerah tegalan dan pekarangan. Jenis
tanaman yang ditanam oleh masyarakat saat itu adalah jenis tanaman jati, mahoni,
akasia dan nangka. Kegiatan penanaman penghijauan saat itu dinamakan KBD
(Kebun Bibit Dusun). Pengembangan KBD dilakukan secara swadaya oleh
masyarakat dengan dikoordinir oleh Kepala Dusun masing-masing. Masyarakat
pernah mendapat bantuan bibit pohon jenis akasia dari World Food Program
(WFP) dengan insentif sarden, susu, dan minyak goreng sebagai upah melakukan
penanaman. Penghijauan terus dilakukan di Giriwoyo, terutama saat pemerintah
mengeluarkan anjuran untuk menanam tanaman di lahan yang masih kosong
guna menanggulangi banjir di Waduk Gajah Mungkur.
Perkembangan penanaman di Giriwoyo dilatarbelakangi juga oleh kondisi
yang dirasakan masyarakat saat itu, lahan kritis yang berbatu sehingga membuat
masyarakat kesulitan air, udara yang panas dan gersang ketika musim kemarau
dan banjir serta longsor ketika musim hujan membuat masyarakat berinisiatif
untuk melakukan penanaman. Pada tahun 2003 dilaksanakan kegiatan GERHAN
oleh Dinas Kehutanan seperti kegiatan reboisasi, penghijauan, hutan rakyat, hutan
pantai/mangrove dan lain-lain. Kegiatan ini memberikan manfaat yang sangat
besar bagi masyarakat Giriwoyo, melalui penyuluhan dan pemberian bibit
menjadikan HR Giriwoyo semakin berkembang. Masyarakat mulai menyadari
besarnya manfaat hasil hutan baik tangible maupun intangible sehingga merasa
bahwa pengelolaan HR harus mulai dilakukan dengan baik, maka ada inisiatif dari
petani HR untuk membentuk Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR)
sebagai Forest Management Unit (FMU) yang bertugas mengelola HR Giriwoyo.
Melihat terus berkembangnya penanaman HR Giriwoyo, petani HR
melalui PPHR dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PERSEPSI
melakukan pengajuan sertifikasi hutan berbasis PHBML (Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat Lestari). Usaha pengelolaan hutan berbasis masyarakat
32
lestari dari segi produksi, ekologi, dan sosial selayaknya mendapat pengakuan
yang bisa mendorong munculnya insentif-insentif dari berbagai pihak atas
berbagai jasa yang dikembangkan oleh PPHR. Untuk itu, PPHR Kecamatan
Giriwoyo melakukan penyusunan dokumen pengajuan permohonan sertifikasi
PHBML dengan sistem Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) kepada PT. Mutu
Agung Lestari (MAL) sebagai lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi oleh
LEI. Pada tahun 2007 HR Giriwoyo secara sah mendapatkan sertifikasi PHBML
yang menyatakan bahwa pengelolaan HR Giriwoyo sudah memenuhi syarat
pengelolaan hutan dari segi produksi, ekologi dan sosial.
5.2 Keadaan Umum Kecamatan Giriwoyo
Giriwoyo merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah yang memiliki 16 Desa/Kelurahan. Total luas wilayah
Giriwoyo sebesar 10.060,13 Ha, dengan rincian Kelurahan Giriwoyo (403,95 ha),
Desa Sejati (533,27 ha), Desa Sendang Agung (479,82 ha), Desa Sirnoboyo
(431,19 ha), Desa Platarejo (671,26 ha), Desa Tawangharjo (543,89 ha), Desa
Guwotirto (688,28 ha), Desa Titosuworo (865,59 ha), Kelurahan Girikikis (923,71
ha), Desa Ngancar (666,71 ha), Desa Bulurejo (622,15 ha), Desa Gedung Rejo
(870,61 ha), Desa Pidekso (469,94 ha), Desa Tungku Rejo (582,53 ha), Desa
Bumi Harjo (465,60 ha) dan Desa Sulu Marto (843,25 ha).
Kecamatan Giriwoyo secara georgafis berada pada ketinggian 169 meter
diatas permukaan laut dan sebagian tanahnya terdiri dari tanah pegunungan yang
berbatu kapur/gamping. Ibukota Kecamatan Giriwoyo adalah Kelurahan
Giriwoyo, dengan batas-batas; sebelah Utara Giriwoyo berbatasan dengan
Kecamatan Baturetno, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Batuwarno,
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Eromoko dan sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Giritontro.
Penggunaan lahan di Kabupaten Wonogiri didominasi oleh hutan rakyat,
yaitu sebanyak 73.031 Ha (40,08%) yang terdiri dari lahan tegalan dan
pekarangan. Tegalan dan pekarangan dapat dikatakan hutan rakyat karena lahan
ini ditanami pepohonan oleh masyarakat. Pepohonan yang ditanam adalah jenis
pohon Jati, Akasia dan Mahoni. Penggunaan lahan lainnya sebagai sawah
33
sebanyak 32.342 Ha (17,75%), untuk bangunan/pekarangan sebesar 27.504 Ha
(37,97), hutan negara seluas 17.594 Ha (9,65%).
Tabel 5. Penggunaan Lahan Wonogiri Tahun 2011
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
1
2
3
4
5
6
Sawah
Tegalan
Bangunan
Hutan Negara
Hutan Rakyat
Lain-lain
32.342
69.140
27.504
17.594
3.891
31.765
17,75
37,94
15,09
9,65
2,14
17,43
Total 182.236 100
Sumber: Wonogiri Dalam Angka (2012)
Untuk yang lebih spesifik di Kecamatan Giriwoyo, gambarannya tidak
jauh berbeda dengan Wonogiri secara umum. Penggunaan lahan di Giriwoyo
didominasi oleh tegalan seluas 4575,88 Ha (45,49%) yang kurang lebih 50% nya
terpusat di empat Desa/Kelurahan, lalu disusul oleh bangunan, sawah, hutan
negara, padang rumput, dan lainnya. Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh
Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) pada tahun 2007, 50% dari luas
wilayah Hutan Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, atau seluas 2434,24 Ha berada di
Kelurahan Girikikis, Desa Guwotirto, Desa Titosuworo, dan Desa Sejati.
Tabel 6. Penggunaan Lahan Giriwoyo Tahun 2010
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
1
2
3
4
6
Sawah
Tegalan
Bangunan
Hutan Negara
Lain-lain
1466,9
4575,88
2399,7
728
889,65
14,58
45,49
23,85
7,24
8,84
Sumber: Giriwoyo Dalam Angka (2011)
Besarnya penggunaan lahan sebagai hutan rakyat (tegalan) merupakan
buah dari dilakukannya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GERHAN) yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2003. GERHAN
dilakukan untuk mengimbangi laju degradasi sumberdaya hutan yang rata-rata
setiap tahun mencapai 2,1 juta Ha, dan merehabilitasi hutan dan lahan kritis yang
saat ini mencapai lebih dari 3 juta Ha. Kecamatan Giriwoyo sendiri pada saat itu
memiliki lahan kritis seluas 6.277 Ha, itulah yang menjadi target penyelenggaraan
GERHAN di Giriwoyo. Pelaksanaan GERHAN meliputi pemberian bibit untuk
reboisasi dan pembuatan terassering pada lahan miring. Jenis pohon yang
34
diberikan saat pelaksanaan GERHAN antara lain, pinus, jati, mahoni, puspa,
sonokeling, johar, jambu mete, dan lainnya. Untuk kawasan Giriwoyo,
menyesuaikan dengan kondisi tanahnya, maka jenis pohon yang ditanam saat
GERHAN didominasi oleh jati, mahoni, akasia dan trembesi.
5.3 Keadaan Sosial Ekonomi Kecamatan Giriwoyo
Jumlah penduduk Kecamatan Giriwoyo adalah 50.451 jiwa, yang terdiri
dari 25.123 jiwa laki-laki dan 25.328 jiwa perempuan. Kondisi sosial masyarakat
Giriwoyo berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Populasi Giriwoyo berdasarkan Pendidikan Tahun 2011
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Tamat Perguruan Tinggi 490
2 Tamat SMA 6090
3 Tamat SMP 14552
4 Tamat SD 6145
5
6
7
Belum Tamat SD
Tidak Tamat SD
Tidak Sekolah
3271
4371
4327
sumber: Profil Kecamatan Giriwoyo (2012)
Keadaan ekonomi masyarakat Giriwoyo dideskripsikan berdasarkan mata
pencaharian masyarakat yang ditunjukan pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Jumlah Populasi Giriwoyo Berdasarkan Pekerjaan Tahun 2011
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1 Petani 6785
2 Buruh 5104
3 Pengusaha 1020
4 Pengusaha Kecil 161
5 Buruh Bangunan 1340
6 Buruh Industri 1003
7 Pedagang 417
8
9
10
11
12
Pengangkutan
Pegawai Negeri
ABRI/TNI
Pensiunan
Lain-lain
1593
463
16
572
13706
sumber: Profil Kecamatan Giriwoyo (2012)
Dari tabel terlihat bahwa mata pencaharian masyarakat Giriwoyo paling banyak
adalah sebagai petani dan buruh. Pertanian yang dilakukan oleh masyarakat
Giriwoyo adalah menanam padi dan palawija. Masyarakat yang bekerja sebagai
petani merupakan masyarakat yang memiliki lahan sendiri, sedangkan yang
bekerja sebagai buruh tani merupakan mereka yang bekerja di lahan orang lain.
35
7 10
20 17
11
2
0
5
10
15
20
25
21-30tahun
31-40tahun
41-50tahun
51-60tahun
61-70tahun
>70 tahun
5.4 Karakteristik Responden WTP Nilai Warisan
Jumlah responden untuk Willingness to pay (WTP) Hutan Rakyat
Giriwoyo adalah sebanyak 67 orang yang merupakan masyarakat yang tinggal
sekitar HR di 4 desa, yaitu Desa Sejati, Girikikis, Guwotirto, dan Tirtosuworo.
Responden diminta untuk menjawab kuisioner mengenai nilai warisan.
Karakteristik umum responden WTP tergambar melalui usia, jenis kelamin,
pendidikan formal, pekerjaan dan pendapatan tiap bulan.
Usia
Tingkat usia responden yang diwawancara bervariasi, dengan usia yang
paling muda yaitu 23 tahun dan yang paling tua adalah 82 tahun. Responden
paling banyak berada pada kisaran usia 41-50 tahun, yaitu sebanyak 20 orang
(30%), selanjutnya pada rentang usia 51-60 sebanyak 17 orang (25%), pada
rentang usia 61-70 sebanyak 11 orang (16%), pada rentang usia 31-40 sebanyak 9
orang (15%), pada rentang usia 21-30 sebanyak 7 orang (11%), dan untuk usia
diatas 70 tahun sebanyak 2 orang (3%). Sebaran usia responden dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Gambar 4 Persentase responden berdasarkan usia
Jenis Kelamin
Pada umumnya responden WTP untuk nilai warisan ini adalah laki-laki,
karena laki-laki berperan penting dalam keluarga sebagai pengambil keputusan.
Dari total 61 jumlah responden, perbandingan jumlah responden antara laki laki
dan perempuan adalah 41 responden (61%) laki-laki, dan 26 responden (39%)
perempuan. Sebaran jenis kelamin responden dapat dilihat pada gambar di bawah
ini.
36
Gambar 5 Persentase responden berdasarkan jenis kelamin
Pendidikan Formal
Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini diklasifikasikan menurut
lama tahun dalam menempuh pendidikan formal, dimulai dari tidak sekolah/tidak
lulus Sekolah Dasar (SD) sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Responden yang tidak lulus SD sebanyak empat orang (6%), responden yang
menempuh pendidikan hanya sampai lulus SD sebanyak 32 orang (48%),
responden yang menempuh pendidikan sampai lulus SMP sebanyak 16 orang
(24%), responden yang menempuh pendidikan sampai lulus SMA ada sebanyak
14 orang (21%), dan responden yang menempuh pendidikan sampai selesai S1
ada sebanyak 1 orang (1%). Sebaran pendidikan formal responden dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Gambar 6 Persentase responden berdasarkan pendidikan formal
Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan responden terbagi menjadi lima jenis pekerjaan, yaitu
petani, wiraswasta, pegawai swasta, buruh, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan ibu
rumah tangga. Sebagian besar responden bekerja sebagai petani, yaitu sebanyak
37 orang (55%), wirausaha empat orang (2%), pegawai swasta tiga orang (5%),
41
26
0
10
20
30
40
50
Laki-laki Perempuan
4
32
16 14
1 0
10
20
30
40
Tidak lulusSD
Lulus SD Lulus SMP Lulus SMA Lulus S1
37
ibu rumah tangga sebelas orang (16%), buruh sebelas orang (16%), dan PNS satu
orang (2%). Sebaran jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
Gambar 7 Persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan
Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan dibagi menjadi lima kisaran, yaitu antara <
Rp.500.000 - > Rp.2.000.000 per bulan. Sebaran pendapatan responden paling
banyak berada pada rentang Rp.500.000 – Rp.1.000.000 per bulan, yaitu sebanyak
34 orang (50%). Responden yang memiliki pendapatan dibawah Rp.500.000 per
bulan sebanyak 20 orang (30%), responden yang memliki pendapatan
Rp.1.000.001 – Rp.1.500.000 per bulan sebanyak tujuh orang (10%), tiga orang
responden (5%) memiliki pendapatan Rp.1.500.001 – Rp.2.000.000 per bulan,
dan tiga orang (5%) yang memiliki pendapatan diatas Rp.2.000.000 . Sebaran
tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 8 Persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan
37
4 3 11 11
1 0
10
20
30
40
20
34
7 3 3
0
5
10
15
20
25
30
35
40
<500.000 500.000 -1.000.000
1.000.001 -1.500.000
1.500.001 -2.000.000
>2.000.000
38
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Kondisi Aktual Hutan Rakyat Giriwoyo
Giriwoyo merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah yang memiliki 16 Desa/Kelurahan dengan total luas
wilayah sebesar 10.060,13 Ha. Sebelah Utara Giriwoyo berbatasan dengan
Kecamatan Baturetno, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Batuwarno,
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Eromoko dan sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Giritontro. Sebagian Kecamatan Giriwoyo
tanahnya terdiri dari tanah pegunungan yang berbatu kapur/gamping. Wilayah
Hutan Rakyat Wonogiri mencakup di empat Desa/Kelurahan, yaitu Kelurahan
Girikikis, Desa Guwotirto, Desa Titosuworo, dan Desa Sejati yang didominasi
oleh tanaman Jati, Mahoni, Akasia, dan Trembesi.
Keberadaan HR Giriwoyo didukung dengan dilakukannya GERHAN pada
tahun 2003 yang melakukan program reboisasi dan penyelamatan lahan-lahan
kritis di Giriwoyo. HR Giriwoyo terus mengalami perkembangan, terlihat pada
tahun 2006, para petani hutan rakyat berinisiatif membentuk Perkumpulan
Pelestari Hutan (PPHR) dan bersama LSM Persepsi mengajukan sertifikasi
terharadap HR Giriwoyo. Proses sertifikasi ini diajukan oleh PPHR atau disebut
juga Forest Management Unit (FMU) “Catur Giri Manunggal” bekerjasama
dengan LSM Persepsi kepada Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). Manfaat
dari sertifikasi hutan antara lain dapat mempengaruhi harga jual kayu di tingkat
Nasional maupun Internasional. Harga kayu yang sudah tersertifikasi lebih tinggi
dibandingkan kayu yang tidak tersertifikasi.
Kayu yang telah memiliki sertifikat diakui oleh dunia bahwa kayu tersebut
berasal dari hutan yang pengelolaannya sudah ramah lingkungan, artinya kayu
tersebut didapat bukan dengan penebangan liar, tetapi dengan memperhatikan
keberlanjutan dari ekosistem hutan tersebut. Namun hasil dari wawancara dengan
salah satu key person dari PPHR, harga standar kayu sertifikasi masih belum
terasa langsung oleh masyarakat yang menjual hasil kayunya dikarenakan banyak
masyarakat yang menjual kayu dengan spesifikasi volume atau umur dibawah
39
standar sertifikasi, sehingga harga yang mereka dapat tidak setinggi kayu
sertifikasi yang seharusnya.
Pengelolaan HR Giriwoyo diawasi langsung oleh PPHR. PPHR
merupakan organisasi tingkat Kecamatan yang mewadahi masyarakat pemilik
hutan rakyat untuk berinteraksi. Untuk mendukukung PPHR, terdapat organisasi
yang cakupannya lebih sempit, yaitu Gabungan Pelestari Hutan Rakyat (GPHR)
di tingkat Desa. Setiap Desa yang merupakan cakupan HR Giriwoyo memiliki
GPHR masing-masing. Selanjutnya, dibawah GPHR terdapat Kumpulan Pelestari
Hutan Rakyat (KPHR). KPHR merupakan organisasi, atau wadah berinteraksi
bagi masyarakat pemilik hutan rakyat di tingkat dusun di sebuah Desa. KPHR
merupakan organisasi dibawah PPHR dan GPHR, dimana ketiga elemen ini saling
berkoordinasi dalam melakukan berbagai kegiatan guna mendukung
pengembangan HR Giriwoyo.
Gambar 9 Tingkatan organisasi pengelola hutan rakyat
Hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu dimanfaatkan untuk dijual ke
pasar umum, dijual ke tetangga serta untuk kebutuhan sendiri. Penjualan ke pasar
umum sebagian besar dalam bentuk glondongan, bukan dalam bentuk olahan.
Cabang dan ranting dimanfaatkan untuk kandang ternak serta untuk kayu bakar.
Hutan Rakyat Giriwoyo merupakan salah satu dari sebagian kecil hutan di
Indonesia yang sudah memiliki sertifikasi berdasarkan sistem LEI (Lembaga
Ekolabeling Indonesia). Sistem LEI memandang pengelolaan HR harus
memperhitungkan tiga aspek tertentu, yaitu Aspek Produksi, Sosial dan Ekologi.
PPHR
GPHR
KPHR
40
6.1.1 Kepemilikan, Penebangan dan Prasarana Hutan
Kepemilikan lahan HR di Giriwoyo jelas dan berkekuatan hukum, hal ini
dibuktikan dengan adanya surat bukti kepemilikan berupa Surat Hak Milik (SHM)
dan Letter-C. Sebanyak kurang lebih 70% masyarakat memiliki SHM sebagai
bukti sah kepemilikan lahannya, sedangkan sisanya memiliki status Letter-C.
Letter-C merupakan surat kepemilikan lahan berdasarkan pengakuan dari
pemerintah desa setempat. Batas-batas antar lahan telah diketahui dengan jelas
dan sudah disepakati oleh masing-masing pemilik, biasanya masyarakat
menggunakan batas buatan seperti jalan pembatas dan susunan batu untuk
memisahkan lahan satu dengan lahan lainnya. Untuk menjaga agar batas antar
lahan tetap jelas, kadang dilakukan perawatan terhadap batas wilayah tersebut
oleh kedua belah pihak. Kegiatan pengelolaan hutan tetap menjadi tanggung
jawab masing-masing pemilik, oleh karena itu kualitas hutan sangat dipengaruhi
oleh keseriusan dan kemampuan pemilik lahan dalam menjaga dan mengelola
hutan tersebut. Pada umumnya kegiatan pemeliharaan hutan yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar adalah dengan melakukan penjarangan, memotong cabang atau
ranting tanaman, menegakkan tanaman yang miring untuk tanaman yang masih
kecil, dan hanya sebagian kecil dari pemilik lahan memberi pupuk pada
tanamannya.
Penebangan pohon atau pemanenan dilakukan dengan istilah tebang butuh.
Umumnya masyarakat menebang pohon ketika mereka butuh biaya untuk
pendidikan, biaya pengobatan, membuat rumah, untuk pesta, dan kebutuhan lain
yang membutuhkan dana cukup besar. Dasar pertimbangan penebangan antara
lain;
1. Besarnya pohon sesuai dengan kebutuhan uang yang diperlukan.
2. Pohon yang bernilai uang lebih dari yang dibutuhkan akan dibiarkan.
3. Posisi pohon yang dipilih adalah yang tidak menyebabkan longsor dan
paling mudah dijangkau transportasi.
4. Jenis pohon yang ditebang utamanya Jati tetapi apabila kebutuhan dapat
dicukupi dengan menebang pohon non-Jati, maka Jati tidak ditebang.
5. Pohon yang ditebang terlalu rapat.
41
Proses penebangan dilakukan dengan cara pemilik lahan sebelumnya sudah
sepakat untuk melakukan transaksi. Pihak pembeli akan datang ke lokasi
penebangan dengan membawa tenaga kerja untuk menebang dan alat/chainsaw.
Tenaga dan alat serta sarana yang digunakan dalam proses penebangan semua
ditanggung oleh pembeli. Keamanan tebang ditanggung oleh pembeli juga,
misalkan apabila saat penebangan pohon yang ditebang menimpa pohon lain
sampai rusak, maka pembeli wajib mengganti pohon yang rusak juga.
Perencanaan tebang yang terpola untuk tujuan produksi masih belum dilakukan di
HR Giriwoyo, karena selama ini penebangan hanya berdasarkan kebutuhan seperti
untuk membangun rumah, biaya sekolah, pesta atau biaya berobat.
Akses jalan desa ke hutan terlihat sudah cukup baik, sudah dilakukan
pengecoran. Akses jalan ini berguna selain untuk prasarana transportasi umum
yang menghubungkan antar dusun dan antar desa, juga berguna sebagai batas
antar lahan. Kondisi jalan yang baik memudahkan kendaraan untuk mengakses
dan mengangkut hasil hutan yang akan ditebang.
6.1.2 Kualitas SDM
Pengetahuan budidaya kayu baik praktek dan teori mulai dari pembibitan
sampai pemanenan pada umumnya sudah dipahami oleh pengelola karena telah
diwarisi secara turun temurun. Kebanyakan pengetahuan yang mereka dapat
secara turun temurun merupakan metode tradisional, misalnya untuk pemupukan
dilakukan dengan cara menimbun seresah di sekitar batang pohon atau mematikan
hama dengan cara manual. Lalu mengenai jarak tanam, para pengelola masih
berpikir bahwa kayu merupakan investasi mereka untuk jangka panjang, maka
harus ditanam sebanyak mungkin, karena itu hutan di HR Giriwoyo cenderung
padat dengan rata-rata jarak tanam 1 x 1 meter. Jarak tanam yang terlalu rapat
disebabkan pula karena tidak dilakukannya penjarangan oleh petani. Penjarangan
tidak dilakukan karena berbagai alasan; pertama, butuh biaya untuk melakukan
penjarangan, kedua, sayang ditebang karena lama untuk menumbuhkannya.
Dengan jarak tanam yang terlalu dekat akan mengakibatkan pertumbuhan kayu
tidak terlalu optimal.
42
Untuk transaksi penjualan kayu, harga yang diterima oleh pengelola masih
dirasa kurang adil dan sering dimanipulasi oleh pembeli karena pengetahuan
pengelola tentang taksiran kualitas kayu, volume, dan informasi harga kayu yang
ditebang masih minim. Posisi tawar yang sangat rendah dari pengelola karena
menjual kayu dalam keadaan terdesak karena kebutuhan turut pula menjadi alasan
mengapa harga yang didapat oleh pengelola tidak sesuai.
6.1.3 Tata Kelola dan Manfaat Hutan
Pada dasarnya aturan kelola hutan yang ada dari pembibitan, penanaman,
pemeliharaan sampai pemanenan merupakan tata kelola yang berkembang di
masyarakat secara turun temurun dan merupakan suatu kesepakatan yang tidak
tertulis, misalnya membuat terassering dari tatanan batu untuk menahan tanah
sebagai media tanam, menanam tanaman kayu di lahan kritis, melakukan
penjarangan, memberi pagar bambu pada tanaman baru untuk menghindari
gangguan hewan, mengumpulkan seresah di bawah tegakan pohon sebagai pupuk
alami, tidak menebang tanaman di sekitar lokasi mata air, dan lainnya . Dewasa
ini, untuk menguatkan tata kelola dan aturan pengelolaan HR Giriwoyo, maka
dibuatkan peraturan sah dari tingkat KPHR sampai PPHR. Peraturan yang
dirumuskan KPHR sampai PPHR yang mengatur tata kelola HR agar tetap lestari
kemudian disahkan oleh Kepala Desa setempat dan kemudian dijadikan sebuah
Perdes (peraturan desa). Beberapa aturan dari PPHR yang kemudian di-perdes-
kan antara lain kesepakatan menanam minimal lima pohon tiap menebang satu
pohon, hanya menebang kayu yang memenuhi syarat pertumbuhan (diameter > 60
cm), dan sebagainya, namun aturan-aturan ini tidak sepenuhnya dipatuhi oleh
petani karena alasan-alasan tertentu.
Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, pengelolaan HR Giriwoyo
dibawahi langsung oleh PPHR. Anggota PPHR yang diberi nama Catur Giri
Manunggal adalah semua kepala keluarga (KK) yang ada di wilayah tiga desa
(Sejati, Tirtosuworo, Guwotirto) dan satu kelurahan (Girikikis). Fungsi dari PPHR
adalah sebagai forum perkumpulan dari empat GPHR yang ada di tiga desa dan
satu kelurahan dalam pengelolaan hutan rakyat. PPHR sampai KPHR sudah
memiliki struktur organisasi yang jelas. Anggota dan pengurus sudah memiliki
43
tugas dan tanggung jawab masing-masing yang jelas. Struktur kepengurusan,
pembagian tugas, tanggung jawab, hak, dan kewajiban tersebut dirumuskan dalam
musyawarah dan kemudian dituliskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART).
Pada awalnya pembentukannya, PPHR melaksanakan beberapa kegiatan
yang rutin dilaksanakan, seperti pertemuan rutin tiap bulannya dari tingkat KPHR
sampai GPHR, arisan di tingkat KPHR, dan sebagainya. Belakangan ini PPHR
hanya melaksanakan pertemuan yang bersifat insidental. Pada tingkat PPHR
agenda pertemuan yang dibahas lebih bersifat pembahasan-pembahasan masalah
atau kemajuan dari program pengelolaan yang sedang berjalan, sedangkan
kegiatan pelaksanaan pengelolaan hutan lebih banyak dilakukan di tingkat KPHR
dan GPHR. Secara umum anggota kelompok merupakan pemilik sekaligus
pengelola lahan. Ada beberapa pengelola yang belum memiliki lahan secara sah
karena masih ikut pada orang tua. Ada juga beberapa anggota yang merupakan
warga dari desa lain diluar empat desa yang tergabung dalam PPHR, hal ini
karena orang tersebut membeli lahan hutan yang lokasinya berada di area PPHR.
Batas masing-masing lahan kepemilikan sudah ditandai dengan jelas.
Menurut wawancara yang dilakukan dengan warga pemilik lahan, sejauh ini
belum pernah terjadi konflik atau sengketa yang berhubungan dengan
kepemilikan lahan. Untuk menanggulangi terjadinya konflik, PPHR sudah
menyediakan beberapa tindakan penyelesaian jika nantinya terjadi konflik, yaitu
melalu institusi lokal dari tingkat RT, dusun, bahkan sampai tingkat desa.
Berdasarkan informasi dari masyarakat dan hasil pengamatan langsung di
lapangan, ada beberapa perubahan kondisi lingkungan akibat adanya HR ini,
antara lain:
1. munculnya mata air baru dan mata air lama tidak pernah kering bahkan
bertambah, hanya pada musim kemarau debit air berkurang
2. udara menjadi lebih sejuk
3. munculnya beberapa jenis satwa seperti kera, celeng, burung, landak,
musang, ular, trenggiling, dan tupai.
44
6.2 Manfaat Ekonomi Kawasan Hutan Rakyat
6.2.1 Manfaat Langsung Hutan Rakyat (Direct Use)
Manfaat langsung yang dirasakan masyarakat sekitar kawasan HR
Giriwoyo ini adalah hasil kayu log. Masyarakat pemilik lahan hutan bisa langsung
menjual kayu log kepada pembeli dengan harga yang sudah disepakati.
Penebangan kayu log pada HR Giriwoyo belum terjadwal dengan baik, banyak
masyarakat yang menjual kayu log karena tebang butuh. Potensi kayu sebagai
manfaat langsung HR Giriwoyo dibagi menjadi tiga komoditi, yaitu Kayu Jati,
Mahoni, dan Akasia. Berdasarkan data hasil inventarisasi yang dilakukan oleh
Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) bekerjasama dengan PERSEPSI,
terlihat potensi kayu HR Giriwoyo seperti pada Tabel 9.
Tabel 9. Data Inventarisasi tegakan tahun 2007
No Uraian Jumlah
1 Luas Wilayah (Ha) 3.010,86
2 Luas Hutan Efektif (Ha) 2.434,24
3 Total Potensi Kayu (m3) 85.078.21
Jati 61.021.33
Mahoni 11.941.52
Akasia 9.133.71
Trembesi 2.982,18
4 Volume Tebang Lestari (m3/th) 1.525.35
Jati 1.005.98
Mahoni 340.18
Akasia 157.12
Trembesi 22
5 Populasi Tanaman (tegakan/ha) 459
Jati 324
Mahoni 83
Akasia
Trembesi
48
4
Sumber: PPHR (2007)
Usia tegakan yang dominan di HR Giriwoyo berkisar pada rentang 1-10
tahun, komposisi persentase kelas umur dari total volume tegakan yang telah
terinvent oleh PPHR dan PERSEPSI dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Data potensi kayu berdasarkan kelas umur tahun 2007
Kelas Umur (tahun) Jati (%) Mahoni (%) Akasia (%) Trembesi (%)
1 – 10 60,77 62,48 59,98 34,54
11 – 20 28,87 25,5 28,68 27,86
21 – 30 5,99 7,98 10,79 21,73
>30 4,37 4,05 1,55 15,88
Total 100 100 100 100
Sumber: PPHR (2007)
45
1. Nilai Ekonomi Kayu Jati
Tabel 9 menggambarkan total volume tegakan untuk HR Giriwoyo. Total
volume kayu jati di kawasan HR Giriwoyo adalah sebesar 61.020,94 m3. Pohon
jati di kawasan HR Giriwoyo paling banyak berumur sekitar 1-10 tahun, dengan
asumsi rata rata umur pohon jati di HR adalah 10 tahun, berdasarkan hasil survei
dengan petani HR di sekitar lokasi penelitian, pohon jati berumur sepuluh tahun
rata-rata memiliki diameter, atau garis tengah batang sebesar 10-13 centimeter.
Harga yang berlaku di lokasi penelitian untuk pohon jati yang memiliki diameter
10-13 cm adalah sebesar Rp.900.000/m3 (PPHR 2013), dengan etat volume
tebang lestari per tahun sebesar 1005,98 m3/tahun, maka dapat dihitung bahwa
nilai ekonomi dari kayu jati adalah:
NKLjati = HKLjati x Ejati
NKLjati = Rp.900.000/m3 x 1005,98 m
3/tahun
NKLjati = Rp.905.382.000/tahun
Dimana:
NKLjati : Nilai Kayu Log jenis jati (Rp/tahun)
HKLjati : Harga kayu log jenis jati (Rp/m3)
Ejati : Etat volume tebang lestari per tahun jenis jati (m3/tahun)
2. Nilai Ekonomi Kayu Mahoni
Pada tabel 9 terlihat bahwa potensi total dari kayu mahoni di kawasan HR
Giriwoyo adalah sebesar 10.927,47 m3. Untuk kelas umur, penyebaran umur
tumbuhan akasia di kawasaan HR Giriwoyo sebagian besar berkisar antara 1-10
tahun (62,48% dari jumlah total volum mahoni di HR Giriwoyo). Dengan asumsi
rata-rata umur pohon mahoni di HR Giriwoyo adalah sepuluh tahun, diameter
batang pohon mahoni berumur sepuluh tahun berkisar pada 10-13 centimeter
dengan harga Rp.700.000/m3 (PPHR 2013). Etat volume tebang lestari pohon
mahoni berdasarkan data PPHR adalah sebesar 340,19 m3/tahun, maka dapat
dihitung bahwa nilai ekonomi dari kayu mahoni adalah:
NKLmahoni = HKLmahoni x Emahoni
NKLmahoni = Rp.700.000/m3 x 340,19 m
3/tahun
NKLmahoni = Rp.238.133.000/tahun
Dimana:
NKLmahoni = Nilai Kayu Log jenis mahoni (Rp/tahun)
HKLmahoni = Harga kayu log jenis mahoni (Rp/m3)
Emahoni = Etat volume tebang lestari per tahun jenis mahoni (m3/tahun)
46
3. Nilai Ekonomi Kayu Akasia
Potensi total volume pohon akasia di kawasan HR Giriwoyo adalah
sebesar 9133,71 m3 dan sebagian besar tumbuhan akasia berada pada kelas umur
1-10 tahun yaitu sebanyak 59,98% dari total tumbuhan akasia yang ada di
kawasan HR Giriwoyo. Riap dari tumbuhan jati, mahoni dan akasia tidak jauh
berbeda, yaitu berkisar antara 0,90 – 1,01 cm/pohon/tahun, maka diameter pohon
akasia berumur sepuluh tahun berkisar antara 9 - 10 centimeter. Harga kayu akasia
yang berlaku di lokasi penelitian untuk diameter 9-10 centimeter adalah sebesar
Rp.800.000/m3. Etat tebang lestari pohon akasia di HR Giriwoyo adalah 151,12
m3/tahun, maka dapat dihitung bahwa nilai ekonomi dari kayu akasia adalah:
NKLakasia = HKLakasia x PKLakasia
NKLakasia = Rp.800.000/m3
x 151,12 m3/tahun
NKLakasia = Rp.120.896.000/tahun
Dimana:
NKLakasia = Nilai Kayu Log jenis akasia (Rp/tahun)
HKLakasia = Harga kayu log jenis akasia (Rp/m3)
Eakasia = Etat volume tebang lestari per tahun jenis akasia (m3/tahun)
4. Nilai Ekonomi Total Kayu Log
Berdasarkan perhitungan nilai ekonomi kayu masing-masing dari kayu
jati, kayu mahoni, dan kayu akasia, maka dapat kita hitung potensi kayu total yang
terdapat pada kawasan HR Giriwoyo adalah:
NKLtotal = NKLjati + NKLmahoni + NKLakasia
NKLtotal = Rp.905.382.000 + Rp.238.133.000 + Rp.120.896.000
NKLtotal = Rp. 1.264.411.000/tahun
Nilai kayu log tersebut sudah diperhitungkan kelestariannya, karena
menggunakan data etat volume lestari, sehingga manfaat lain dari HR Giriwoyo
tetap dapat diperhitungkan.
5. Nilai Ekonomi Kayu Bakar
Pertumbuhan HR Giriwoyo memberikan maanfaat langsung yang lain
selain kayu log. Batang atau dahan/ranting dari pohon yang kering dapat dijadikan
kayu bakar yang tentu saja memiliki nilai ekonomi. Belum ada yang meneliti
potensi kayu bakar HR Giriwoyo secara langsung, namun kita dapat menghitung
potensi kayu bakar secara ekonomi dengan menggunakan pendekatan sebagai
47
berikut; harga kayu bakar yang dijual di sekitar lokasi penelitian adalah
Rp.15.000/2 ikat. Dua ikat kayu bakar rata-rata dapat digunakan memasak selama
tujuh hari (satu minggu) dalam satu keluarga, berarti kebutuhan kayu bakar dalam
satu tahun adalah 96 ikat. Asumsikan masyarakat yang menggunakan kayu bakar
adalah keluarga pra sejahtera di Kecamatan Giriwoyo. Menurut data dari buku
Wonogiri Dalam Angka (2012) total masyarakat pra sejahtera di Kecamatan
Giriwoyo adalah sebanyak 2.443 kepala keluarga , maka potensi ekonomi kayu
bakar HR Giriwoyo adalah sebesar:
NKB = Jkb x Pkb x KPS
NKB = 96 ikat/tahun x Rp.7.500/ikat x 2.443
NKB = Rp. 1.758.960.000/tahun
Dimana:
NKB = Nilai Kayu Bakar (Rp/tahun)
Jkb = Jumlah kayu bakar yang digunakan (ikat/tahun)
KPS = Jumlah keluarga pra sejahtera di Kecamatan Giriwoyo
6. Nilai Ekonomi Empon-empon
Selain menanam pohon untuk dimanfaatkan kayunya, petani HR Giriwoyo
juga menanam tanaman bawah yang ditanam secara tumpangsari. Istilah tanaman
bawah dalam bahasa lokal adalah empon-empon. Empon-empon ditanam sebagai
alternatif pendapatan bagi petani. Waktu panen yang jauh lebih cepat dibanding
panen kayu diharapkan dapat menjadi pendapatan tambahan bagi para petani
hutan rakyat. Berdasatkan survey lapangan, jenis empon-empon yang dominan
ditanam oleh petani HR di Kecamatan Giriwoyo ini adalah kunyit. Pendekatan
benefit transfer digunakan untuk menghitung nilai potensi kunyit di HR
Giriwoyo. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pranoto (2009), tingkat
produktivitas kunyit di hutan rakyat Desa Selopuro, Kecamatan Batuwarno,
Wonogiri adalah sebesar 305 kg/ha/tahun. Hasil penelitian tersebut dapat
digunakan melihat lokasi HR yang berdekatan dan karakteristik masyarakatnya
hampir sama. Harga per kilogram kunyit yang berlaku di lokasi penelitian saat
peneliti melakukan survey adalah sebesar Rp.2.500/kg, maka potensi empon-
empon HR Giriwoyo adalah:
NE = PE x HE x LA
NE = 305 kg/ha/tahun x Rp.2.500/kg x 2328 ha
NE = Rp.1.775.100.000/tahun
48
Dimana :
NE = Nilai Empon-empon/kunyit (Rp/tahun)
PE = Potensi Empon-empon (kg/ha/tahun)
HE = Harga Empon-empon (Rp/kg)
LA = Luas areal HR (ha)
6.2.2 Manfaat Tidak Langsung Hutan Rakyat (Indirect Use)
1. Nilai Penyerap Karbon
Suatu hutan memiliki fungsi penyerap karbon, hal ini disebabkan karena
tumbuhan yang berada pada hutan tersebut secara alamiah melakukan fotosintesis
untuk menghasilkan makanan bagi tumbuhan itu sendiri. Proses fotosintesis ini
secara tidak langsung berguna bagi manusia karena dapat menyerap gas karbon
yang merugikan bagi manusia. Kemampuan hutan untuk menyerap karbon
tergantung pada besarnya volume biomassa pada hutan tersebut. Untuk
menghitung nilai penyerap karbon pada HR Giriwoyo, maka digunakan metode
benefit transfer. Menurut Mugiono (2009) perkiraan kandungan karbon dari kayu
HR di Jawa-Madura adalah sebesar 40.724.689,34 ton, atau 15,75 ton/ha. Total
luas areal HR Giriwoyo adalah seluas 2328 Ha (Wonogiri dalam angka 2012), dan
harga karbon di pasar Internasional rata-rata US$12/ton (Thoha 2013) dengan
nilai kurs US$1 bernilai Rp. 9.800 (per April 2013). Dengan data-data tersebut,
maka nilai penyerap karbon HR Giriwoyo adalah sebesar:
NPK = CO x PC x LA
NPK = 15,75 ton/ha x Rp. 117.600/ton x 2328 ha
NPK = Rp. 4.311.921.600/tahun
Dimana:
NPK = Nilai Penyerap Karbon (Rp/tahun)
CO = Kandungan karbon dalam kayu (ton/ha)
PC = Harga karbon (Rp/ton)
LA = Luas areal HR (ha)
2. Nilai Ekonomi Mata Air
Hutan secara alami memiliki manfaat fungsi hidrologis, dimana hutan
melalui akar pepohonannya dapat mengatur aliran air tanah. Fungsi hidrologis
dari hutan menghasilkan beberapa mata air yang berada di beberapa daerah di
sekitar HR Giriwoyo. Keberlanjutan mata air ini sangat dipengaruhi oleh
kelestarian HR Giriwoyo, berdasarkan data yang didapat dari masing masing desa
49
Sejati, Tirtosuworo, Girikikis dan Guwotirto, total ada 32 mata air yang tersebar
di empat desa tersebut. 32 mata air tersebut kondisinya masih cukup baik bahkan
pada musim kemarau sekalipun. Menurut penduduk, memang terjadi penurunan
kualitas maupun kuantitas air pada saat musim kemarau, namun itu tidak terlalu
signifikan. Total pengguna dari 32 mata air tersebut adalah sebanyak 3.725 kepala
keluarga (KK), data penggunaan mata air di Kecamatan Giriwoyo dapat dilihat
pada Tabel 11
Tabel 11. Data jumlah penggunaan mata air tahun 2007
No Desa Dusun Nama Mata Air Pengguna
1 Guwotirto Ngladon Sumbertirto 700
Karangduwet Sumberkali timbo 74
Klumpit Sumber Klumpit 83
Sidorejo Sumber Agung 64
Baksari Pancuran 34
Sidorojo Brangkal 26
2 Girikikis Tameng Lemah Mendak 328
Tameng Kali Mbatu 60
Bamban Kali Bamban 105
Bamban Kathekan 55
3
4
Sejati
Tirtosuworo
Glonggong
Tail
Jamberwangi
Sejati
Tukluk
Tukluk
Turi
Gn. Wiyu
Tulakan
Glagahan
Darmosito
Simpar
Simpar
Ngampel
Ngampel
Klego
Klego
Klego
Klego
Tangkluk
Banyuripan
Gebang
Sumber Glongong
Sumber Tail
Sumber Pancuran
Sumber Kakap
Kali Tukluk
Ngobalan
Kali Tawang
Clerang
Waru
Kali Ringin
Sumber Darmosito
Mekarsari
Sido Mulyo
Karang Pulut
Puring
Sumberejo
Ngobalan
Klego
Winong
Kali Andhong
Banyuripan
Gebang
69
60
100
230
470
300
60
76
30
25
76
55
55
43
112
129
32
52
52
66
72
32
Total 3.725
Sumber: PPHR (2007)
Menurut PDAM (2013) rata-rata penggunaan air per kepala keluarga
adalah sebanyak 30m3/bulan, dengan mengasumsikan seluruh rumah masyarakat
Giriwoyo tergolong dalam kategori Rumah Tangga 1 (Rumah sederhana), maka
menurut daftar tarif yang dikeluarkan oleh PDAM Kabupaten Wonogiri, jumlah
50
harga yang harus dibayar per KK dengan konsumsi 30m3/bulan adalah sebesar
Rp.3.800/m3. Berdasarkan tarif itu, maka kita bisa mendapatkan nilai ekonomi
mata air HR Giriwoyo adalah sebesar:
NMA = nKK x USE x Pair
NMA = 3.725 x 360 m3/tahun x Rp.3.800/m
3
NMA = Rp.5.095.800.000/tahun
Dimana:
NMA = Nilai Ekonomi Mata Air (Rp/tahun)
nKK = jumlah rumah tangga yang memanfaatkan mata air
USE = rata-rata penggunaan air per rumah tangga (m3/tahun)
Pair = harga air yang berlaku di PDAM Kab. Wonogiri (Rp/m3)
6.2.3 Nilai Pilihan Hutan Rakyat (Option Value)
Nilai Pilihan Hutan Rakyat Kecamatan Giriwoyo diestimasi dengan
menggunakan metode benefit transfer. Metode tersebut dapat dilakukan dengan
cara menghitung besarnya nilai keanekaragaman hayati HR Giriwoyo. Menurut
Ministry of State for Population and Environment (1993) dalam Pranoto (2009),
nilai manfaat keanekaragaman hayati untuk hutan sekunder adalah sebesar US
$32,5/ha/tahun apabila keberadaan hutan tersebut penting secara ekologis dan
terpelihara. Nilai tersebut dapat digunakan karena Pranoto (2009) menggunakan
nilai tersebut untuk menghitung nilai keanekaraman hayati HR di Desa Selopuro,
Wonogiri yang memiliki karakteristik HR mirip dengan HR Giriwoyo. Nilai
tersebut merupakan nilai pada tahun 1993, dengan asumsi inflasi sebesar 5,57%,
maka nilai manfaat keanekaragaman hayati saat ini adalah sebesar US
$96,1/ha/tahun. Nilai manfaat keanekaragaman hayati HR Giriwoyo didapat
dengan mengalikan nilai diatas dengan luas areal keseluruhan HR Giriwoyo, yaitu
sebesar 2328 Ha. Dengan nilai tukar US $1 = Rp.9.800 (April 2013), maka
didapat nilai keanekaragaman hayati HR Giriwoyo adalah sebesar
Rp.2.192.463.840/tahun.
6.2.4 Nilai Warisan Hutan Rakyat (Bequest Value)
Nilai Warisan HR Giriwoyo diestimasi dengan menggunakan pendekatan
analisis Willingness To Pay (WTP), yaitu seberapa besar uang yang ingin
dibayarkan masyarakat untuk tetap menjaga dan melestarikan jasa lingkungan
HR Giriwoyo agar tetap lestari untuk anak cucu mereka. Pendekatan WTP ini
51
dilakukan dengan mewawancarai 67 responden yang tinggal di sekitar HR dimana
mereka diminta pendapatnya tentang kesediaan untuk melakukan pembayaran
guna menjaga fungsi lingkungan HR Giriwoyo agar tetap lestari. Langkah-
langkah yang dilakukan untuk mendapatkan nilai warisan HR Giriwoyo adalah
sebagai berikut
1. Membuat Pasar Hipotetik
Pasar hipotetik dibentuk atas dasar menurunya kualitas lingkungan
kawasan hutan Giriwoyo yang memiliki jasa lingkungan sebagai penyedia udara
bersih dan penyerap gas-gas polutan. Selanjutnya pasar hipotetik yang ditawarkan
dibentuk dalam skenario sebagai berikut:
Skenario:
“Jika manfaat jasa lingkungan dari kawasan hutan rakyat Giriwoyo ini ingin
tetap lestari dan dapat dirasakan selama mungkin, maka perlu adanya upaya
pelestarian dari masyarakat sekitar. Suatu saat nanti kualitas lingkungan akan
menurun yang dikarenakan berbagai penyebab antara lain, pemanfaatan
lingkungan yang tidak ramah lingkungan dan keterbatasan dana untuk tetap
menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Apa Bapak/Ibu bersedia membayar
sejumlah uang untuk menjaga kualitas hutan agar tetap baik sehingga dapat
diwariskan kepada anak cucu Ibu/Bapak?”
2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP
Berdasarkan hasil wawancara, dari 67 responden yang diwawancarai yang
merupakan petani HR dan bukan petani, terdapat 20 responden yang tidak
bersedia membayar, 14 orang dari mereka beralasan bahwa mereka tidak bersedia
membayar karena itu merupakan tanggung jawab petani HR, sedangkan enam
orang sisanya beralasan mereka tidak mempunyai pendapatan lebih untuk
membayar. Sebanyak 47 responden setuju untuk membayar karena sebagian besar
dari mereka sudah sadar akan pentingnya fungsi hutan, sehingga ingin menjaga
agar manfaat tersebut dapat dirasakan terus menerus oleh generasi mendatang.
Distribusi nilai WTP masyarakat dapat dilihat pada Tabel 12.
52
Tabel 12. Sebaran Nilai WTP Warisan HR Giriwoyo
No WTP
(Rp/bulan)
Jumlah Frekuensi
Relatif
Nilai WTP
(Rp/bulan)
1 3.000 11 0.23 33.000
2 5.000 19 0.41 95.000
3 7.500 1 0.02 7.500
4 10.000 8 0.17 80.000
5 15.000 3 0.06 45.000
6 20.000 3 0.06 60.000
7 30.000 2 0.05 60.000
Total 47 1.00 380.500
3. Memperkirakan Nilai Rata-rata WTP
WTP masyarakat untuk melestarikan HR cukup bervariasi, mulai dari
Rp.3000 sampai Rp.30.000 per bulan. Berdasarkan hasil perhitungan data WTP
masyarakat, didapat bahwa total nilai WTP yang dikeluarkan responden adalah
sebesar 380.500 per bulan dengan rata-rata WTP masyarakat adalah sebesar
Rp.8.100/bulan atau Rp.92.700/tahun. Nilai ini terbilang cukup kecil dikarenakan
sebagian besar penduduk Giriwoyo memiiki pendapatan yang relatif rendah.
4. Menjumlahkan Data
Nilai warisan didapat dengan mengalikan nilai WTP per tahun dengan
jumlah populasi Kabupaten Wonogiri, yaitu sebanyak 13.200 KK (Wonogiri
dalam angka 2012), maka Nilai Warisan dari HR Giriwoyo adalah sebesar
Rp.1.223.640.000/tahun.
5. Menduga Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP
Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTP
dan menganalisis penggunaan metode WTP untuk Nilai Warisan HR Giriwoyo,
dilakukan analisis regresi berganda. Variabel yang mempengaruhi WTP
masyarakat untuk Nilai Warisan yang ditetapkan adalah usia, jumlah tanggungan
keluarga, pendidikan, pekerjaan, kepemilikan lahan, pendapatan, jarak ke lahan
hutan, dan persepsi responden terhadap kondisi kualitas lingkungan saat ini. Hasil
dari wawancara dengan 67 responden kemudian di input kedalam software SPSS
16 dengan memberikan kode (skala likert) untuk variabel-variabel tertentu untuk
kemudian dilakukan analisis regresi linier berganda. Hasil regresi WTP Nilai
Warisan HR Giriwoyo dapat dilihat pada Tabel 13.
53
Tabel 13. Hasil Regresi Nilai WTP Warisan HR Giriwoyo
Variabel Koefisien T Sig VIF Korelasi
Constant -5879,353 -0,719 0,477 - -
Usia (AGE) 109,629 1,-59 0,297 2,862 Tidak nyata
Tanggungan (TGN) -160,313 0,249 0,805 1,147 Tidak nyata
Pendidikan (PDI) 339,913 0,979 0,335 1,932 Tidak nyata
Pegawai Negeri (PNS) 7772,400 1,143 0,261 1,843 Tidak nyata
Wirausaha (WRA) -2801,544 -0,919 0,365 1,387 Tidak nyata
Swasta (SWA) 1639,066 0,4 0,692 1,310 Tidak nyata
Ibu Rumah Tangga (IRT) 4979,461 1,807 0,080** 2,253 Nyata
Buruh (BRH) 374,472 0,154 0,879 1,443 Tidak nyata
Kepemilikan Lahan (LHN)
Pendapatan (TR)
Jarak (JRK)
Kualitas Jasling (KLS)
5307,284
3141,085
-1091,194
-1905,090
1.767
3,830
-0.68
-1,286
0,086**
0,001*
0,501
0.207
4,226
1,422
4,812
1,576
Nyata
Nyata
Tidak nyata
Tidak nyata
R square
R adjusted
Durbin-Watson
F-stat
0,001
0,588
0,443
2,061
4,044
Sumber: Data Primer (2013)
*pada taraf nyata 5%
** pada taraf nyata 10%
Berdasarkan tabel diatas, model yang dihasilkan pada penelitian ini cukup
baik. Nilai R2 sebesar 0,588 (58,8%) menunjukan bahwa 58,8% keragaman WTP
responden dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas yang terdapat didalam
model, sedangkan 41,2% diterangkan oleh variabel-variabel lain diluar model.
Selanjutnya untuk melihat baik atau buruknya model, dilakukan beberapa
pengujian terhadap model, yaitu uji normalitas, uji multikolinearitas, uji
autokorelasi dan uji heteroskedastisitas.
Uji Normalitas digunakan untuk menguji apakah data yang didapat untuk
WTP Nilai Warisan HR Giriwoyo ini menyebar normal atau tidak. Uji normalitas
dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, dan didapat bahwa
nilai P-value sebesar 0,424, jika P-Value (0,424) > taraf nyata (α = 10%) artinya
data menyebar normal pada taraf nyata 10%. Uji Multikolinearitas dilihat dari
nilai VIF tiap variabel, jika nilai VIF semua variabel kurang dari sepuluh, dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas dalam model tersebut, atau
variabel penjelas dalam model tersebut tidak terlalu berkorelasi satu sama lain
(Lind et al, 2008). Uji Autokorelasi dilihat menggunakan nilai Durbin-Watson
(DW) yang dihasilkan dalam pengolahan data. Nilai DW yang didapat dari model
ini adalah sebesar 2,061, jika nilai DW suatu model berada diantara 1,55 sampai
54
2,46, artinya tidak terjadi autokorelasi dalam model tersebut (Firdaus, 2004).
Model yang dihasilkan dalam analisis regresi nilai WTP Warisan HR Giriwoyo,
yaitu :
WTPw = -5879,353 + 109,63 AGE - 160,31 TGN + 339,913 PDI + 7772,4 PNS
- 2801,544 WRA + 1639,066 SWA + 4979,461 IRT + 374,472 BRH
+ 5307,284 LHN + 3141,085 TR - 1091,194 JRK - 1905,090 KLS
Variabel penjelas yang berpengaruh nyata pada model diatas adalah
pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, kepemilikan lahan dan pendapatan keluarga.
Beberapa variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP
masyarakat ketika diuji menggunakan analisis linier berganda adalah usia, jumlah
tanggungan, pekerjaan sebagai PNS, wirausaha, swasta, buruh, karak ke lokasi
lahan hutan, dan persepsi masyarakan terhadap jasa lingkungan yang dihasilkan
oleh hutan.
6.2.5 Nilai Ekonomi Total Hutan Rakyat Giriwoyo
Nilai Ekonomi Total (NET) merupakan penjumlahan total dari semua
kuantifikasi nilai ekonomi dari setiap manfaat HR Giriwoyo. Semua hasil
kuantifikasi manfaat ekonomi dari HR Giriwoyo dapat dilihat pada Tabel 14
Tabel 14. Nilai Ekonomi Total HR Giriwoyo
No Jenis Manfaat Nilai Ekonomi
(Rp/tahun)
1 Nilai Guna Langsung
Nilai Kayu Jati 905.382.000
Nilai Kayu Mahoni 238.133.000
Nilai Kayu Akasia 120.896.000
Nilai Kayu Bakar
Nilai Empon-empon
1.758.960.000
1.775.100.000
2 Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai Penyerap Karbon 4.311.921.600
Nilai Air 5.095.800.000
3
4
Nilai Keanekaragaman Hayati
Nilai Warisan
2.192.463.840
1.223.640.000
Nilai Ekonomi Total 17.622.296.440
Tabel diatas menunjukan bahwa hutan memiliki manfaat lain selain kayu
yang apabila ditaksir secara ekonomi memiliki nilai yang sangat tinggi, bahkan
nilainya berlipat ganda dibandingkan dengan nilai jual kayu. Nilai guna langsung
yang dapat dihitung adalah sebesar Rp.4.798.471.000/tahun yang didapat dari
55
menjumlahkan antara nilai kayu log, nilai kayu bakar, dan nilai empon-empon.
Nilai guna tidak langsung sebesar dan nilai pilihan berturut turut adalah sebesar
Rp.9.407.721.600/tahun dan Rp.2.192.463.840/tahun, kemudian nilai warisan
adalah sebesar Rp.1.223.640.000/tahun. Hasil perhitungan nilai guna tidak
langsung merupakan yang terbesar dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya, hal
ini menggambarkan, betapa berharganya suatu ekosistem hutan dengan segala
manfaat yang terkandung didalamnya. Secara keseluruhan, maka Nilai Ekonomi
Total dari HR Giriwoyo adalah sebesar Rp.17.622.296.440/tahun.
Nilai Ekonomi ini setidaknya dapat memberikan gambaran riil kepada
masyarakat mengenai potensi yang terkandung dalam HR Giriwoyo. Saat ini
banyak pemuda di daerah Giriwoyo khususnya dan Wonogiri pada umumnya
pergi merantau untuk mencari pekerjaan. Selama ini pemuda merantau karena
merasa kebutuhannya tidak akan tercukupi jika hanya menetap di Desa.
Perhitungan NET HR Giriwoyo ini, terutama nilai guna langsung dapat
memberikan penjelasan besarnya nilai uang yang didapat dalam usaha penanaman
hutan (hasil kayu log, kayu bakar dan empon-empon), sehingga harapannya dapat
meningkatkan minat para pemuda di daerah Wonogiri untuk menanam hutan,
setidaknya di lahan pekarangan. Kebutuhan kayu selama ini cukup baik, sehingga
petani tidak akan kesulitan dalam menjual hasil hutannya, apabila masyarakat
sadar akan potensi ini dan mengembangkannya, ini akan berdampak pada
pertumbuhan masyarakat di daerah Wonogiri itu sendiri.
56
VII KELEMBAGAAN PPHR DALAM PENGELOLAAN HUTAN
RAKYAT GIRIWOYO
7.1 Struktur dan Infrastruktur Kelembagaan
Infrastruktur Kelembagaan adalah seluruh kelembagaan dalam bentuk
aturan main (rule of the game). Aturan main pada kelembagaan PPHR Catur Giri
Manunggal ini diatur berdasarkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah
Tangga (ART) yang mengatur fungsi, hak, dan kewajiban pengurus dan anggota
kelompok PPHR AD/ART dibuat oleh anggota sendiri dalam forum musyawarah
dan bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan HR Giriwoyo. Selain itu PPHR
Catur Giri Manunggal memiliki aturan-aturan informal, aturan informal yang
berupa hasil kesepakatan terkait dengan jadwal rapat, boundary rule, monitoring
dan sanksi, serta aturan penyelesaian dalam menyelesaikan konflik. Struktur
organisasi PPHR Catur Giri Manunggal dapat dilihat pada Gambar 10.
Sumber: PPHR (2007)
Gambar 10 Struktur organisasi PPHR Catur Giri Manunggal
Struktur organisasi PPHR Catur Giri Manunggal terdiri dari ketua yang
membawahi sekretaris, bendahara, beserta sejumlah seksi. Masing-masing jabatan
menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya Mereka menjalankan tugas dengan
ikhlas karena tidak mendapatkan imbalan apapun dari kepengurusan ini. Adapun
MUSYAWARAH PPHR
KETUA
BENDAHARA SEKRETARIS
SEKSI
BUDIDAYA
SEKSI
PENGEMBANGAN
ORGANISASI
SEKSI
USAHA
SEKSI
HUMAS
SEKSI
KEAMANAN
57
tugas dan tanggung jawab dari tiap-tiap jabatan di PPHR Catur Giri Manunggal
adalah sebagai berikut:
1. Ketua
Ketua bertugas untuk memimpin rapat-rapat yang dilakukan oleh PPHR,
mengkoodinasi kegiatan PPHR, mengambil keputusan dalam keadaan
darurat, memberi pengarahan kepada anggota pengurus yang lain, dan
bertindak atas nama PPHR dalam membangun hubungan dengan pihak
lain.
2. Sekretaris
Sekretaris bertanggung jawab terhadap urusan surat menyurat atau
kearsipan, membuat notulensi setiap pertemuan yang diselenggarakan dan
atau dihadiri PPHR, membuat data perkembangan PPHR, serta mewakili
ketua apabila berhalangan untuk hadir.
3. Bendahara
Bendahara bertanggung jawab terhadap keuangan yang ada di PPHR,
membuat anggaran biaya PPHR, serta mengarsipkan bukti-bukti keuangan
di PPHR.
4. Seksi Budidaya
Seksi budaya bertugas memberikan pengarahan kepada petani dalam
pembudidayaan hutan/lahan kosong untuk kelestarian hutan. Pengarahan
yang dilakukan secara bertahap, dimulai dari pembibitan dan penanaman,
perawatan, serta pemanenan hasil yang baik dan layak.
5. Seksi Usaha
Seksi usaha bertugas untuk mencari pasar, menyalurkan hasil hutan untuk
pemanfaatan baik ke sektor industri, pedagang, maupun untuk
pemukiman.
6. Seksi Pengembangan Organisasi
Seksi pengembangan organisasi bertanggungjawab dalam koordinasi dan
kerjasama antara PPHR, GPHR dan KPHR. Bertugas pula dalam
melakukan peningkatan sumberdaya manusia dalam kepengurusan PPHR,
GPHR, dan KPHR.
58
7. Seksi Humas
Seksi humas bertugas untuk memberikan informasi baik dari dalam
maupun keluar PPHR, mengatur hubungan antar organisasi pelestari hutan
rakyat, serta menyusun aturan mengenai tata cara apabila ada kunjungan
ke PPHR.
8. Seksi Keamanan
Seksi keamanan bertanggung jawab atas keamanan dalam hubungan antar
anggota PPHR sampai KPHR dan bertanggung jawab terhadap keutuhan
hutan.
7.1.1 Aturan Informal
Aturan informal adalah aturan yang tidak diatur langsung dalam AD/ART.
Aturan informal pada umumnya ditentukan berdasarkan kesepakatan para anggota
suatu kelembagaan saja. Aturan informal biasanya berisi kegiatan-kegiatan yang
bertujuan untuk meningkatkan intensitas komunikasi sehingga dapat mempererat
kekeluargaan antar anggota dan pengurus PPHR. Aturan informal pada PPHR
Catur Giri Manunggal diantaranya jadwal kumpul, jadwal pengajian, dan arisan.
Kumpul atau rapat dilakukan ditingkat KPHR agar lebih efektif. Berikut adalah
jadwal kumpul/rapat dari tiap-tiap GPHR;
1. GPHR Desa Sejati
Untuk meningkatkan intensitas komunikasi antar anggota, GPHR Desa
Sejati memiliki agenda pertemuan rutin, jadwal pertemuan GPHR Desa Sejati
dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR di Desa Sejati
No KPHR Waktu Tempat Jam Keaktifan
1 Sejati Malam minggu kliwon Rumah kadus 20.00 Tidak aktif
2 Juru Tengah Malam jumat kliwon Rumah kadus 20.00
3 Tangkluk Malam minggu legi Rumah kadus 20.00
4 Karangasem Tanggal 14 malam Rumah kadus 20.00
5 Saratan Insidental Rumah kadus Tidak aktif
6 Tukluk Malam minggu pahing Rumah kadus 20.00
7 Turi Malam selasa pon Rumah kadus 20.00
8 Gunung Wiyu Malam tanggal 3 Rumah kadus 20.00
9 Tulakan Sesuai pertemuan RT Masing-masing RT Tidak aktif
10 Glagahan Malam tanggal 19 Rumah kadus 20.00 Tidak aktif
Sumber: Data PPHR (2007)
59
Data diatas merupakan jadwal pertemuan KPHR di Desa Sejati. Pertemuan
umumnya dilakukan di rumah kadus (RW) pertemuan ini menjadi ajang
silaturahmi antar anggota, selain itu sebagai wadah untuk bertukar informasi.
Pertemuan tersebut pada awalnya terjadwal seperti yang dituliskan dan aktif
ketika proses sertifikasi, dari sepuluh ada empat dusun yang tidak aktif
dikarenakan ketua KPHR dari dusun tersebut biasanya memiliki kepentingan lain.
Belakangan ini setelah proses sertifikasi selesai, pertemuan tidak dilakukan rutin
seperti di jadwal, melainkan hanya bersifat insidental.
2. GPHR Desa Guwotirto
Untuk meningkatkan intensitas komunikasi antar anggota, GPHR Desa
Guwotirto memiliki agenda pertemuan rutin, jadwal pertemuan GPHR Desa
Guwotirto dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR di Desa Guwotirto
No KPHR Waktu Tempat Jam Keaktifan
1 Klumpit Malam minggu legi Rumah kadus 17.00
2 Lemahbang Setiap tanggal 11 Rumah kadus 17.00
3 Karangduwet Setiap tanggal 27 Rumah kadus
4 Gawang Malam minggu legi Rumah kadus 20.00
5 Grenjeng Selasa kliwon Rumah kadus 12.00
6 Sidorejo Malam rabu legi Rumah kadus 20.00
7 Baksari Malam rabu legi Rumah Bu Sukini 19.30 Tidak aktif
8 Ngladon Malam minggu pon Rumah kadus 20.00 Tidak aktif
9 Tambakrejo Malam minggu legi Rumah kadus 19.00 Tidak aktif
10 Ketro Setiap tanggal 20 Rumah kadus 12.00
Sumber: Data PPHR (2007)
Sama dengan GPHR Desa Sejati, jadwal diatas merupakan jadwal rutin
untuk melakukan pertemuan ketika proses sertifikasi. Terdapat sepuluh dusun di
Desa Guwotirto dan hanya tiga desa yang tidak aktif, disebabkan beberapa hal
seperti, ketua KPHR yang berhalangan, atau anggota KPHR yang tingkat
keaktifannya rendah. Belakangan ini, masing-masing KPHR di Desa Guwotirto
tidak lagi melakukan pertemuan sesuai jadwal diatas, melainkan insidental.
3. GPHR Kelurahan Girikikis
Untuk meningkatkan intensitas komunikasi antar anggota, GPHR Desa
Girikikis memiliki agenda pertemuan rutin, jadwal pertemuan GPHR Desa
Girikikis dapat dilihat pada Tabel 17.
60
Tabel 17. Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR di Kelurahan Girikikis
No KPHR Waktu Tempat Jam Keaktifan
1 Bamban Setiap tanggal 10 Sumarjo 20.00
2 Glonggong Malam minggu legi Gedung PKK 19.00
3 Gude Malam senin legi Samen 19.00
4 Jambewangi Kamis wage Rumah anggota 12.,00
5 Keji Malam jumat legi Rumah kadus 20.00
6 Kerok Malam minggu pon Rumah kadus 20.00
7 Ngrombo Sabtu pahing Gubug Kerja 12.00
8 Pulebener Malam minggu pon Rumah Kadus 20.00
9 Sembung Malam rabu legi Rumah Kadus 20.00
10
11
Tail
Tameng
Malam minggu pon
Malam minggu kliwon
Rumah Kadus
Rumah Kadus
20.00
20.00
Sumber: Data PPHR (2007)
Kelurahan Girikikis memiliki 11 dusun. Dari data diatas terlihat bahwa
seluruh KPHR di Kelurahan Girikikis aktif melakukan pertemuan pada saat proses
sertifikasi. Hal ini disebabkan karena masyarakat memiliki tingkat keaktifan yang
cukup tinggi dalam pengembangan dan pengelolaan HR Giriwoyo. Namun setelah
proses sertifikasi, pertemuan lebih bersifat insidental dan tidak terjadwal.
4. GPHR Desa Tirtosuworo
Untuk meningkatkan intensitas komunikasi antar anggota, GPHR Desa
Tirtosuworo memiliki agenda pertemuan rutin, jadwal pertemuan GPHR Desa
Tirtosuworo dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Jadwal Pertemuan Tingkat KPHR di Kelurahan Girikikis
No KPHR Waktu Tempat Jam Keaktifan
1 Talunombo Sabtu pon Bapak Kasiman 19.00
2 Manggung Rabu pahing Bapak Putut Nur 19.00 Tidak aktif
3 Darmosito Malam minggu legi Bapak Sumin 20.00 Tidak aktif
4 Simpar Senin legi Ibu Nanik 11.,00
5 Tlogobandung Sabtu legi Bapak Kariman 12.00
6 Ngampel Minggu wage Bapak Warsodo 12.00 Tidak aktif
7 Nongkosuwit Malam minggu legi Bapak Pamen 20.00 Tidak aktif
8 Klego Setiap tanggal 1 Bapak Cipto 20.00
9 Ngemplak Malam minggu wage Bapak Teguh Tidak aktif
10
11
Tangkluk
Gebang
Malam minggu pahing
Setiap tanggal 25
Bapak Suparjo
Bapak Karwanto
13.00
Sumber: Data PPHR (2007)
Sama seperti Kelurahan Girikikis, Desa Tirtosuworo memiliki 11 dusun
atau 11 KPHR. Tingkat keaktifan KPHR di Desa Tirtosuworo cenderung paling
rendah dibanding desa lainnya. Jadwal diatas merupakan jadwal pertemuan rutin
61
ketika dilakukannya proses sertifikasi. Belakangan ini pertemuan KPHR tidak
dilaksanakan rutin sesuai jadwal diatas, melainkan bersifat insidental.
Kesimpulannya, jadwal-jadwal yang disepakati sebelumnya dan terjadwal sudah
tidak dilaksanakan sesuai jadwal lagi. Pertemuan sudah tidak dilakukan rutin
karena tidak ada hal yang perlu dimusyawarahkan rutin, sehingga pertemuan
belakangan ini lebih bersifat insidental, ketika ada instruksi dari PPHR, atau
ketika ada hal penting yang harus dibahas.
7.1.2 Boundary Rule
Boundary Rule adalah sejumlah aturan yang secara spesifik mengatur
bagaimana seseorang dapat keluar atau masuk sebagai anggota atau pengurus dari
PPHR Catur Giri Manunggal. Aturan keanggotaan diatur dalam Anggaran Dasar
PPHR Catur Giri Manunggal. Syarat untuk menjadi anggota PPHR adalah:
1. semua warga yang berdomisili di Desa Sejati, Girikikis, Guwotirto, atau
Tirtosuworo
2. mempunyai kemauan untuk memajukan pertanan dan melestarikan hutan
rakyat
3. menaati aturan yang dibuat bersama dalam AD dan ART.
Pada AD/ART dituliskan pula seseorang dapat berakhir keanggotaannya apabila
pindah tempat, karena meninggal dunia, dan atas permintaan sendiri.
Pengurus dan seksi-seksi dipilih oleh anggota dalam rapat anggota
(musyawarah besar/mubes) dengan susunan kepengurusan: Ketua, Sekretaris,
Bendahara, dan seksi-seksi sesuai kebutuhan (Seksi Budidaya, Seksi
Pengembangan Organisasi, Seksi Usaha, Seksi Keamanan, dan Seksi Humas).
7.1.3 Monitoring dan Sanksi
Monitoring atau proses mengawasi pada PPHR ini diserahkan pada
masing-masing Desa. Empat Desa yang tergabung dalam PPHR melalui GPHR
melakukan monitoring diantaranya monitoring penjualan kayu. Misalnya petani
akan menjual kayunya, maka dari GPHR akan mencatat penjualan tersebut dan
akan dilaporkan langsung ke PPHR. Sama halnya untuk monitoring terhadap
62
aturan-aturan yang berlaku, lebih diserahkan pada GPHR yang ruang lingkupnya
lebih kecil, sehingga memudahkan dalam hal pengawasan, pendataan, dll.
Sejauh ini penerapan sanksi dalam PPHR dirasa masih belum perlu
dilakukan. Dalam AD/ART tidak ada aturan yang jelas mengenai pemberian
sanksi. Berdasarkan hasil wawancara, selama ini jarang ada anggota yang
diberikan sanksi tertentu, jika ada terjadi konflik atau sebagainya, sejauh ini selalu
dapat diselesaikan dengan kekeluargaan sehingga tidak ada yang dikenakan
sanksi.
7.1.4 Penyelesaian Konflik
Tidak ada aturan yang jelas mengenai penyelesaian konflik dalam
AD/ART. Penyelesaian konflik dalam lingkup PPHR Catur Giri Manunggal,
masih mengedepankan kekeluargaan. Selama ini pernah terjadi sengketa atau
perselisihan mengenai batas lahan satu dengan yang lain, tahap aal penyelesaian
adalah ditingkat dusun (KPHR). Masalah dimusyawarahkan dan dicari jalan
keluarnya di lingkup dusun, jika ditingkat dusun belum dapat selesai maka
dialihkan ke tingkat desa (GPHR).
Menurut hasil wawancara, sejauh ini permasalahan atau sengketa yang
terjadi selalu dapat diselesaikan paling tidak ditingkat desa, karena ditingkat desa
ada yang mereka sebut hakim atau orang yang diakui berhak menentukan batas-
batas wilayah antar lahan. Hakim yang merupakan Sekretaris Desa yang dipercaya
membuat keputusan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku, sehingga apabila
sudah diputuskan seadil-adilnya oleh hakim, masyarakat bisa menerimanya
dengan ikhlas.
7.2 Rekomendasi Pengelolaan HR Giriwoyo
Stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan HR Giriwoyo adalah
para pihak atau aktor yang berkaitan langsung dalam pengelolaan dan
pemanfaatan HR Giriwoyo. Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan
pemanfataan HR Giriwoyo terdiri dari PPHR, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Wonogiri, masyarakat umum, serta akademisi. Stakeholders atau aktor
pada pengelolaan dan pemanfaatan di HR Giriwoyo cenderung sedikit, karena
63
sumberdaya yang berada pada HR Giriwoyo memiliki sifat Non-rivalry dan
excludable, sehingga tidak banyak konflik yang terjadi dalam pemanfaatannya.
Untuk dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang sesuai, maka
penuliis melakukan wawancara terhadap responden yang merupakan key person
dari masing-masing stakeholder yang terkait dengan pengelolaan hutan, kemudian
dijabarkan fungsi atau peran dari masing-masing stakeholder yang berkaitan
dengan kelestarian HR. Wawancara dilakukan untuk menilai kinerja dan
kepentingan dari fungsi atau peran masing-masng stakeholder. Pengaruh dan
kepentingan peran stakeholder kemudian diproyeksikan ke dalam diagram
kartesius agar terlihat penyebaran kinerja dan kepentingannya. Peran dari masing-
masing stakeholder yang dinilai dalam analisis dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Peran masing-masing stakeholder
No Stakeholder Peran Kode
1
2
3
4
PPHR
Dishutbun
Akademisi
Masyarakat
Melakukan prunning
Melakukan kerjasama dengan pihak luar
Melakukan pemupukan rutin
Melakukan pertemuan rutin anggota
Menetapkan peraturan formal pengelolaan
Koordinasi kegiatan dengan pihak terkait
Memberikan penyuluhan
Monitoring pelaksanaan kegiatan
Melakukan kajian terkait HR
Memberikan rekomendasi hasil studi
Keterlibatan dalam perencanaan kebijakan
Melakukan punlikasi hasil studi
Pemanfaatan sumber mata air
Pemanfaatan kayu bakar
Mendukung pelestarian HR
Pemanfaatan kayu log
A.1
A.2
A.3
A.4
B.1
B.2
B.3
B.4
C.1
C.2
C.3
C.4
D.1
D.2
D.3
D.4
Setelah dijabarkan peran dari masing-masing stakeholder yang terlibat
dalam pengelolaan HR Giriwoyo, kemudian dilakukan wawancara terhadap
stakeholder terkait perannya yang terdapat pada tabel 19. Hasil wawancara
tersebut kemudian dilakukan kuantifikasi dengan menggunakan pembobotan
dengan skala 1-4 berdasarkan kinerja dan kepentingan dari masing-masing fungsi
stakeholder. Hasil dari pembobotan tersebut dapat dilihat pada Tabel 20.
64
Tabel 20. Bobot peran masing-masing stakeholder
No Stakeholder Kode Bobot kinerja Bobot kepentingan
1
2
3
4
PPHR
Dishutbun
Akademisi
Masyarakat
A.1
A.2
A.3
A.4
B.1
B.2
B.3
B.4
C.1
C.2
C.3
C.4
D.1
D.2
D.3
D.4
2
4
2
2
4
2
2
1
3
3
3
4
2
3
3
3
3
4
4
2
4
4
3
2
4
4
4
4
2
3
3
3
Tabel 20 merupakan hasil dari wawancara setelah dilakukan pembobotan
oleh penulis. Penulis melakukan wawancara terkait peran atau fungsi dari masing-
masing stakeholder, jawaban dari responden kemudian dikuantifikasi dengan
menggunakan pembobotan seperti pada tabel 3 dan 4. Hasil pembobotan tersebut
kemudian digambarkan kedalam bentuk diagram garis untuk melihat sebaran
bobot kinerja dan kepentingan peran dari semua stakeholder yang terlibat. Hasil
pembobotan kinerja dan kepentingan dalam bentuk diagram garis dapat dilihat
pada Gambar 11.
Gambar 11 Diagram garis tingkat kinerja dan kepentingan peran
Stakeholders
Diagram garis menggambarkan bahwa bobot kinerja rata-rata berada
dibawah bobot kepentingan, hal ini menunjukan bahwa kesadaran dari masing-
masing stakeholder akan peran atau fungsinya sudah tinggi, namun dalam
2
4
2 2
4
2 2 1
3 3 3 4
2 3 3 3 3
4 4
2
4 4 3
2
4 4 4 4
2 3 3 3
A.1 A.2 A.3 A.4 B.1 B.2 B.3 B.4 C.1 C.2 C.3 C.4 D.1 D.2 D.3 D.4
Bobot Kinerja dan Kepentingan
Kinerja Kepentingan
65
pengerjaannya belum maksimal. Kebijakan peningkatan kinerja sangat dibutuhkan
untuk memaksimalkan pengelolaan HR. Peningkatan kinerja masing-masing
stakeholder melalui kebijakan ini dirasa dapat dilakukan, karena melihat tingkat
kesadaran stakeholder akan pentingnya peran mereka masing-masing yang sudah
tinggi.
Hasil pembobotan kinerja dan kepentingan ini kemudian dipetakan
kedalam diagram kartesius untuk mengklasifikasikannya kedalam empat kuadran
agar dapat dilihat komponen mana yang harus diprioritaskan dalam perumusan
kebijakan oleh pemegang keputusan. Pemetaan bobot tingkat kinerja dan
kepentingan peran stakeholders dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Diagram kartesius tingkat kinerja dan kepentingan peran
stakeholders
Keterangan:
A.1 : Melakukan Prunning B.1 : Menetapkan peraturan
A.2 : Melakukan kerjasama B.2 : Melakukan koordinasi kegiatan
A.3 : Melakukan pemupukan terhadap tanaman B.3 : Melakukan penyuluhan
A.4 : Pertemuan rutin B.4 : Monitoring
C.1 : Melakukan kajian terkait HR D.1 : Pemanfaatan sumber air
C.2 : Rekomendasi hasil studi D.2 : Pemanfaatan kayu bakar
C.3 : Keterlibatan dalam perencanaan kebijakan D.3 : Mendukung pelestarian
C.4 : Publikasi hasil untuk kegiatan pembelajaran D.4 : Pemanfaatan kayu log
PRIORITAS UTAMA
(kuadran 1)
PRIORITAS RENDAH
(kuadran 3)
PERTAHANKAN PRESTASI
(kuadran 2)
BERLEBIHAN
(kuadran 4)
66
Hasil pengukuran unsur-unsur peran atau fungsi masing-masing
stakeholder ini berdasarkan tingkat kepentingan dan kinerjanya yang
memungkinkan pihak penentu kebijakan untuk dapat memfokuskan usaha-usaha
perbaikan untuk hal-hal atau atribut yang dianggap penting saja dan
mempertahankan kinerja yang selama ini sudah cukup baik. Diagram diatas
menunjukan poin-poin mana saja yang harus dibenahi dan mana saja yang harus
dipertahankan. Poin yang bobot kinerjanya tidak cukup tinggi tentu harus
ditingkatkan agar pengelolaan HR yang lebih baik dapat tercapai, begitu pula poin
yang bobot kepentingannya rendah, harus ditingkatkan kesadaran akan pentingnya
kinerja dari masing-masing stakeholder untuk pengelolaan HR Giriwoyo yang
lebih baik.
7.2.1 Peran PPHR Catur Giri Manunggal
Peran PPHR Catur Giri Manunggal dalam diagram diatas dibagi menjadi
A.1, A.2, dan A.3. A.1 merupakan peran PPHR dalam melakukan prunning atau
pengelolaan terhadap tanaman hutan, A.2 menggambarkan peran PPHR dalam
melakukan kerjasama dalam upaya peningkatan kualitas HR, A.3 menggambarkan
peran PPHR dalam upaya pemupukan tanaman, dan A.4 menggambarkan peran
PPHR dalam melakukan pertemuan rutin. Masing-masing fungsi dari PPHR
dilihat kinerja dan kepentingannya terhadap kelestarian HR Giriwoyo kemudian
tingkat kinerja dan kepentingan tersebut dikuantifikasikan dengan menggunakan
bobot.
Berdasarkan hasil wawancara, peran PPHR dalam melakukan prunning
dan pertemuan antar anggota dinilai tidak begitu mempengaruhi kelestarian HR
Giriwoyo, dan menurut petani kegiatan prunning kurang penting untuk dilakukan,
hasil ini tergambar dalam diagram yang menunjukan bahwa A.1 dan A.4 berada
pada kuadran 3 yang berarti fungsi ini berada dalam kategori prioritas rendah.
Peran PPHR dalam melakukan kerjasama dalam upaya peningkatan kualitas HR
sangat berpengaruh terhadap kelestarian. PPHR sejauh ini telah bekerjasama
dengan beberapa pihak untuk upaya peningkatan kualitas HR, buktinya adalah
sertifikasi yang mereka dapatkan, selain itu petani masih memiliki kesadaran yang
sangat tinggi dalam menanam kembali, hal ini didukung dari peraturan setempat
65
67
yang mengharuskan petani untuk menanam lima pohon jika menebang satu
pohon, hasil ini tergambar dalam diagram yang menunjukan bahwa A.2 berada
pada kuadran 2 yang berarti fungsi ini sudah dijalankan oleh PPHR dengan cukup
baik sehingga harus terus dipertahankan bahkan lebih ditingkatkan. Melakukan
pemupukan yang sesuai terhadap tanaman selama ini tidak dilakukan oleh petani,
petani melakukan pemupukan dengan cara tradisional yang diwariskan secara
turun-temurun, namun petani menganggap fungsi pemupukan ini penting untuk
kedepannya sehingga terlihat dari diagram bahwa A.3 berada pada kuadran 1 atau
pada kategori prioritas utama. Fungsi PPHR dalam mengadakan pertemuan rutin
dinilai kurang bagus. Dalam tahap awal perencanaan sertifikasi, PPHR
mempunyai jadwal rutin pertemuan tiap minggu atau bulan, namun sekarang
pertemuan sudah jarang dilakukan dan dirasa kurang penting dilakukan, oleh
karena itu fungsi ini cukup perlu untuk ditingkatkan, terlihat dari posisi A.4
terletak di kuadran 3 atau kategori prioritas rendah.
7.2.2 Peran Pemerintah (DISHUTBUN)
Peran DISHUTBUN dalam analisis ini dibagi menjadi empat fungsi, yaitu
menetapkan peraturan formal dalam pengelolaan HR (B.1), melakukan koordinasi
kegiatan dengan pihak terkait (B.2), memberikan penyuluhan kepada petani (B.3),
dan monitoring pelaksanaan kebijakan (B.4). Peran DISHUTBUN dalam
menetapkan peraturan formal dirasa sangat berpengaruh dan sangat penting
terhadap perkembangan HR Giriwoyo, dapat dilihat bahwa B.1 berada pada
kuadran 2, yang artinya fungsi ini dirasa sudah cukup baik dijalankan sehingga
perlu untuk dipertahankan.
Peran dinas dalam melakukan koordinasi dengan PPHR dinilai kurang
maksimal, namun fungsi ini dirasa penting oleh dinas. Selama ini memang sudah
terbangun koordinasi antara dinas dengan PPHR, namun masih kurang maksimal
dirasakan pengaruhnya, maka dari itu fungsi ini berada pada kuadran 1 yang
berarti sangat perlu untuk ditingkatkan. B.4 berada pada kuadran 3, hal ini
menunjukan bahwa kegiatan monitoring lapangan juga dirasa kurang penting
dilakukan karena sejauh ini tidak memberikan pengaruh terhadap kemajuan HR
Giriwoyo, oleh karena itu fungsi monitoring perlu ditingkatkan. Selama ini
68
kegiatan monitoring lebih diserahkan kepada pemerintah desa masing-masing
agar lebih efektif. Pemberian penyuluhan kepada petani merupakan kegiatan yang
sangat berpengaruh dan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini terlihat dari
pelaksanaan GERHAN yang dilakukan oleh DISHUTBUN dapat memberikan
perubahan yang sangat besar terhadap kemajuan HR Giriwoyo, namun
belakangan ini penyuluhan jarang dilakukan oleh dinas, oleh karena itu B.3
berada pada kuadran 3.
7.2.3 Peran Akademisi
Peran akademisi dalam pengembangan kawasan HR dibagi menjadi empat
peran, yaitu melakukan kajian terkait HR (C.1), memberikan rekomendasi hasil
studi (C.2), keterlibatan dalam perencanaan kebijakan bersama pemerintah
setempat (C.3), dan publikasi hasil studi untuk kegiatan pembelajaran (C.4).
Melakukan studi atau kajian terkait HR dirasa sangat penting dan berpengaruh
untuk kemajuan HR, karena dengan melakukan studi terhadap HR, akademisi
dapat melihat kondisi aktual, permasalahan, dan dapat memberikan rekomendasi
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Begitu pula dengan rekomendasi
hasil studi, hal ini dirasa sangat penting untuk dilakukan, namun belum terlalu
berpengaruh terhadap kemajuan HR karena rekomendasi yang diberikan biasanya
tidak selalu diimplementasikan karena mempertimbangkan kesesuaiannya dengan
kondisi di lapangan.
Dalam merencanakan kebijakan terhadap pengelolaan HR, selama ini
pemerintah melibatkan Akademisi sebagai narasumber, keterlibatan Akademisi
dalam proses ini dinilai sangat penting dan cukup berpengaruh dalam
pengembangan HR, karena dalam proses ini Akademisi dapat memberikan saran-
saran dan masukan kepada pembuat kebijakan sesuai dengan studi yang pernah
dilakukan sebelumnya. Peran Akademisi dalam mempublikasikan hasil studinya
selama ini dinilai sangat baik, hasil studi berupa jurnal dan makalah dapat menjadi
bahan pembelajaran bagi mahasiswa, dan fungsi ini dianggap penting sehingga
harus dipertahankan. Kesimpulannya peran dari akademisi sejauh ini dilihat cukup
baik dan perlu dipertahankan, seperti yang terlihat pada gambar 12, semua atribut
dari akademisi berada pada kuadran 2 atau kategori pertahankan prestasi.
69
7.2.4 Peran Masyarakat
Masyarakat merupakan salah satu stakeholder yang secara langsung
berkaitang dengan pengelolaan HR Giriwoyo, walaupun masyarakat tidak
memiliki lahan hutan, namun masyarakat umum dapat merasakan manfaat dari
keberadaan HR Giriwoyo. Peran masyarakat dibagi menjadi tiga peran, yaitu
pemanfaatan sumber mata air (D.1), memanfaatkan hasil hutan non-kayu (D.2),
dan mendukung pelestarian HR (D.3), dan pemanfaatan kayu log (D.4)
Peran masyarakat dalam pemanfaatan sumber air tidak terlalu berpengaruh
dan mereka tidak menganggap perlu untuk menjaga sumber mata air. Dalam
memanfaatkan hasil kayu bakar, masyarakat merasa manfaat yang dihasilkan HR
cukup besar, manfaat kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak dapat
dengan mudah ditemukan. Masyarakat juga merasa hal ini penting untuk
dipertahankan bahkan ditingkatkan. Kontribusi masyarakat umum dalam
mendukung pelestarian HR sejauh ini dirasa cukup berpengaruh, karena
masyarakat turut membantu dalam proses perbaikan sarana dan prasarana HR,
seperti dalam perbaikan jalan, dan pembuatan tanggul. Dari hasil yang
ditampilkan pada Gambar 12, masyarakat merupakan stakeholder yang harus
diperhatikan oleh pembuat kebijakan. Secara umum masyarakat memang
merasakan manfaat dari keberadaan HR Giriwoyo, namun kesadaran masyarakat
dalam melakukan pelestarian terhadap HR dan segala komponen pendukungnya
harus ditingkatkan, terlihat dari fungsi masyarakat rata-rata memiliki bobot
kepentingan yang rendah sehinggan kesadaran masyarakan perlu ditingkatkan.
7.2.5 Rekomendasi Pengelolaan HR Giriwoyo
Dasar dalam memberikan rekomendasi kebijakan merujuk dari penyebaran
peran stakeholders berdasarkan tingkat kinerja dan kepentingannya terhadap
kemajuan HR Giriwoyo. Peran dari stakeholders yang berada pada kategori-
kategori selain pertahankan prestasi pada diagram kartesius hasil analisis IPA
tentu harus ditingkatkan. Pada kuadran 1 atau disebut juga kategori prioritas
utama, atribut yang termasuk dalam kategori ini adalah yang harus menjadi fokus
utama. Pada kuadran 1 terdapat atribut peran dari PPHR dalam melakukan
70
pemupukan tanaman (A.3) dan peran dari DISHUTBUN dalam melakukan
koordinasi kegiatan (B.2).
Pada kuadran 2 terdapat atribut A.2, B.1, C.1, C.2, C.3, dan C.4, hal ini
menunjukan atribut-atribut ini sudah dirasa cukup baik dan perlu dipertahankan.
Akademisi sejauh ini dinilai cukup baik dalam melaksanakan fungsinya,
melakukan studi, memberikan rekomendasi kebijakan, melakukan kajian-kajian
dan perencanaan kebijakan seharusnya dapat meningkatkan pengelolaan HR.
Pemerintah dan Akademisi harus terus bekerjasama dalam meningkatkan kualitas
pengelolaan HR, karena dengan kegiatan studi dapat memberikan informasi yang
sangat berguna bagi perencanaan kebijakan pengelolaan HR. Peran PPHR dalam
melakukan kerjasama dengan pihak lain dinilai cukup baik, dari pemaparan ketua
PPHR, HR Giriwoyo selama ini sering dikunjungi oleh berbagai instansi atau
lembaga dalam maupun luar negeri, hal ini jelas akan meningkatkan kerjasama di
masa yang akan datang. Peran dinas dalam membuat peraturan dan kebijakan
dilaksanakan dengan cukup baik, dinas membuat peraturan mengenai syarat
tebang minimal, dokumentasi penjualan kayu, dan lainnya yang bertujuan untuk
kelestarian. Fungsi-fungsi tersebut yang perlu dipertahankan oleh masing-masing
stakeholder terkait
Pada kategori prioritas rendah atau kuadran 3, terdapat atribut A.1, A.4,
B.3, B.4, D.1. Melakukan prunning sejauh ini dianggap oleh petani kurang
berpengaruh, maka dari itu harus ditingkatkan penyuluhan terkait mengenai teknis
pelaksanaan yang baik dan kelebihan prunning, sejauh ini mungkin petani belum
mengerti teknis dan manfaat dari dilakukannya prunning sehingga petani tidak
begitu mempedulikan pelaksanaan prunning terhadap tanaman yang mereka
tanam. Melakukan pertemuan rutin antar anggota juga perlu dimaksimalkan,
sejauh ini petani melakukan pertemuan jika ada agenda penting saja. Pemerintah
mungkin dapat melakukan penyuluhan rutin agar intensitas interaksi antar petani
dapat meningkat, kegiatan ini jelas akan memberikan informasi lebih banyak
kepada petani sehingga dapat berpengaruh pada peningkatan kualitas HR
Giriwoyo.
Peran pemerintah dalam penyuluhan dan monitoring pun dirasa kurang
maksimal, sebaiknya pemerintah dapat bekerja sama dengan pemerintah setempat
71
atau PPHR untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dengan memberikan sanksi
kepada petani yang melanggar aturan-aturan formal. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, penyuluhan harus terus ditingkatkan karna akan berdampak baik
pada kemajuan pengelolaan HR. Monitoring dari pemerintah juga harus
dimaksimalkan, selama ini monitoring hanya dilakukan oleh pemerintah setempat,
namun koordinasi antara pemerintah setempat pun berjalan kurang maksimal.
Pemerintah sebaiknya turun langsung untuk monitoring kondisi lapang untuk
mengetahui kondisi dan permasalahan di lapangan sehingga dapat direspon
dengan cepat.
Kuadran 4 diisi oleh atribut-atribut yang merupakan fungsi dari
masyarakat. Pada dasarnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan HR
Giriwoyo juga harus dilibatkan dalam pengembangan HR Giriwoyo, karena
secara tidak langsung sebenarnya masyarakat pun merasakan manfaat dari
keberadaan HR Giriwoyo. Sumber mata air merupakan manfaat yang muncul
karena keberadaan HR yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.
Pemerintah sebaiknya dapat membuat saluran air yang menghubungkan mata air
dengan pemukiman agar memudahkan masyarakat untuk mendapatkan air bersih.
Kegiatan ini tentu akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, karena dapat
menghemat biaya yang dikeluarkan untuk jasa PDAM, dengan ini mungkin
kesadaran masyarakat dalam menjaga sumber mata air yang dihasilkan HR
Giriwoyo akan tumbuh sedikit demi sedikit.
7.2.6 Kebijakan Tingkat Makro
Manfaat yang dihasilkan oleh HR Giriwoyo sangatlah besar, baik manfaat
tangible maupun intangible. Menurut pembahasan sebelumnya, setelah
diidentifikasi dan dilakukan valuasi terhadap manfaat HR tersebut, didapat nilai
ekonomi total HR sebesar Rp.17.622.296.440/tahun. Nilai ekonomi HR
berbanding lurus dengan kelestariannya. Kelestarian HR Giriwoyo sekarang ini
masih terjaga, hal ini disebabkan karena bentuk kelembagaan pengelolaan yang
terstruktur dari tingkat PPHR sampai KPHR. Kuat dan baiknya kelembagaan
pengelolaan suatu sumberdaya jelas sangat berpengaruh terhadap kelestarian
sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, kinerja instansi atau lembaga yang
72
berhubungan langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan HR Giriwoyo ini
harus terus ditingkatkan, dan harus saling berkoordinasi satu sama lain sehingga
nilai ekonomi yang terkandung dalam HR Giriwoyo dapat terus terjaga.
Dalam teori ekonomi, biasanya pembangunan memiliki nilai yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan konservasi lingkungan dengan alasan
pembangunan dilakukan untuk mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan. Hal
ini dikarenakan konservasi lingkungan tidak pernah diberikan suatu nilai real,
sehingga para pemegang kebijakan memiliki pandangan untuk mengutamakan
pembangunan yang jelas-jelas memiliki nilai real.
Perhitungan Nilai Ekonomi Total atau teknik valuasi pada penelitian ini
dilakukan untuk memberikan nilai real terhadap suatu sumberdaya, sehingga
dapat dilihat bahwa suatu sumberdaya memiliki potensi yang luar biasa besar.
Pembangunan sebetulnya sangat berpengaruh terhadap keberlajutan suatu
sumberdaya karena sumberdaya dan lingkungan memiliki fungsi pendukung
kehidupan, yang tanpa itu kehidupan manusia tidak dimungkinkan.
Nilai ekonomi suatu sumberdaya sangat dipengaruh oleh kegiatan
konservasinya, semakin baik pengelolaan dan perlindungannya, maka semakin
besar nilai ekonomi suatu sumberdaya tersebut. Kerusakan lingkungan yang
selama ini terjadi akibat proses pembangunan sebenarnya menurunkan Produk
Domestik Bruto (PDB), yang merupakan indikator pembangunan suatu negara.
Namun penurunan PDB akibat kerusakan sumberdaya tersebut selama ini tidak
dihitung dalam pembangunan terutama di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah
perlu melakukan perubahan sehingga dapat menunjukan bahwa konservasi
maupun degradasi dapat menyebabkan keuntungan atau kerugian bagi PDB.
Selain itu, Nilai Ekonomi Total HR Giriwoyo dapat dijadikan gambaran
atau acuan bagi pemerintah untuk penentuan kebijakan di daerah lainnya. Dari
NET terlihat secara rinci nilai ekonomi dari masing-masing fungsi suatu
sumberdaya, hal ini dapat memberikan gambaran bahwa, fungsi mana dari suatu
sumberdaya tersebut yang paling potensial untuk dikembangkan, sehingga dengan
mengetahui nilai ekonomi total dari suatu sumberdaya, akan sangat membantu
memaksimalkan potensi dari sumberdaya tersebut tanpa melakukannya secara
berlebihan.
73
VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
1. Kondisi aktual HR Giriwoyo pada saat ini masih cukup terjaga, hal ini
didukung oleh adat istiadat secara turun temurun yang mengajarkan bahwa
jika menebang satu pohon maka harus menanam lima pohon. Ajaran ini
terus ditetepkan oleh masyarakat sampai pada akhirnya sekarang jarak
antar tegakan cenderung rapat. Jenis pohon yang ditanam oleh masyarakat
di lahan adalah jenis pohon Jati, Mahoni, sedikit akasia dan trembesi.
2. Nilai ekonomi total (NET) Hutan Rakyat Kecamatan Giriwoyo adalah
sebesar Rp.17.622.296.440/tahun. Nilai ekonomi total diperoleh dari
manfaat-manfaat yang terkandung dalam HR Giriwoyo. Nilai guna
langsung yang terdiri dari nilai kayu log, nilai kayu bakar dan nilai empon-
empon menyumbang 29,26% dari NET atau sebesar Rp.4.798.471.000.
Nilai guna tidak langsung yang terdiri dari nilai penyerap karbon dan nilai
penghasil mata air menyumbang sebesar 57,74% dari NET yaitu sebesar
Rp.9.407.721.600. Nilai pilihan yang merupakan nilai keanekaragaman
hayati menyumbang sebesar 13,37% dari NET atau sebesar
Rp.2.192.463.840 dan nilai warisan sebesar Rp.1.223.640.000/tahun.
3. Kelembagaan di HR sudah terstruktur dengan baik berkat adanya KPHR
sampai PPHR. Pembagian kerja, tanggung jawab, hak dan kewajiban
masing-masing anggota sudah tercantum pada AD/ART organisasi
tersebut, Kegiatan rutin dari KPHR sampai PPHR belakangan ini sudah
jarang dilakukan, dan hanya dilakukan apabila ada hal mendesak yang
perlu dibahas.
4. Dalam melakukan fungsinya, beberapa stakeholder terlihat belum berada
pada kinerjanya yang maksimal. Berdasarkan hasil analisis IPA, terdapat
beberapa atribut yang menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan, yaitu
fungsi dari PPHR dalam melakukan pemupukan tanaman (A.3) dan peran
dari DISHUTBUN dalam melakukan koordinasi kegiatan (B.2). Peran
PPHR dalam melakukan prunning dan melaksanakan pertemuan rutin,
serta peran DISHUTBUN dalam melakukan penyuluhan kepada petani
74
dan monitoring juga perlu ditingkatkan, namun prioritasnya tidak terlalu
tinggi. Kebijakan yang dihasilkan oleh pemegang keputusan sebaiknya
mengacu pada poin atau kinerja masing-masing stakeholder yang dirasa
penting dan memiliki kinerja yang belum maksimal.
8.2 Saran
1. Kebutuhan hidup terus meningkat, biaya hidup terus meningkat pula.
Apabila kondisi hutan tetap seperti ini dan biaya hidup terus meningkat,
maka pilihan masyarakat adalah menebang hutan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya masyarakat masih menganut sistem
tebang butuh. Jika tidak ada kebijakan untuk menanggulangi pada hal
tersebut, maka penebangan secara besar-besaran tinggal menunggu
waktunya. Perlu adanya kebijakan dari instansi terkait, pemerintah pada
khususnya untuk mencegah terjadinya hal tersebut, misalnya dengan
memberikan pinjaman kredit dengan pohon sebagai jaminannya dan
membayarnya ketika pohon sudah dalam kondisi siap tebang yang
optimal. Pemerintah memberikan pinjaman dana bagi masyarakat dan
menerima pohon sebagai jaminan atas pinjamannya. Banyaknya pohon
harus sesuai dengan jumlah uang yang dipinjam untuk memenuhi
kebutuhan, sehingga dengan seperti ini, masyarakat tetap bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya, dan pohon pun tetap tumbuh.
2. Perlu adanya bantuan bibit unggul dan penyuluhan tentang tata cara
penanaman dan perawatan yang baik. Selama ini masyarakat menanam
dan merawat dengan cara tradisional hasil didikan turun temurun, perlu
dilakukan pelatihan kepada masyarakat cara menanam dan merawat agar
hasil kayu dapat optimal.
3. Perlu penjelasan mengenai jenis jenis kayu yang berkualitas baik beserta
harganya, sehingga saat menjual produk kayunya masyarakat paham harga
yang pantas dan tidak dibohongi oleh pembeli. Jika kayu yang dihasilkan
masyarakat memiliki kualitas yang baik, maka posisi tawar masyarakat
akan lebih baik ketika transaksi jual beli.
75
4. Pertemuan harus kembali rutin dan dijadwalkan, agar interaksi antar
anggota kembali terjalin sehingga kelembagaan semakin kuat.
5. Pemerintah perlu berkoordinasi dengan PPHR Giriwoyo agar semua
masalah dan perkembangan yang ada di HR Giriwoyo dapat dengan cepat
direspon oleh pemerintah, sehingga pemerintah dapat menentukan
kebijakan yang baik untuk kelestarian HR Giriwoyo.
6. Berdasarkan hasil yang diperoleh, untuk meningkatkan pengelolaan HR
Giriwoyo agar kualitasnya semakin baik, pihak penentu kebijakan
sebaiknya memprioritaskan poin atau atribut yang berada pada kuadran 1
dan 3 dalam diagram kartesius analisis IPA. Atribut yang harus
ditingkatkan adalah peran petani dalam melakukan pemupukan dan
prunning terhadap tanamannya, peran petani dalam melaksanakan
pertemuan rutin, peran masyarakat dalam pengelolaan sumber air, peran
pemerintah dalam memberikan penyuluhan serta peran pemerintah dalam
melakukan kegiatan monitoring.
76
DAFTAR PUSTAKA
Adirianto, B. 2012. Potensi Nilai Ekonomi Total Hutan Pendidikan Gunung Walat
Sukabumi Jawa Barat. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
(Anonim). 2012. Catatan SKSHH Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Wonogiri.
(Anonim). 2011. Giriwoyo Dalam Angka Tahun 2011. Wonogiri: Badan Pusat
Statistik Kabupaten Wonogiri.
(Anonim). Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (http://www.Pusat
Konservasi Keanekaragaman Hayati-tnghs.or.id/) diakses tanggal 5
Desember 2012).
(Anonim). 2012. Potensi Hutan Rakyat di Indonesia (http://www.bps.go.id)
diakses tanggal 5 Desember 2012).
(Anonim). 2012. Profil Kecamatan Giriwoyo. Wonogiri: Pemerintah Kecamatan
Giriwoyo.
(Anonim). 2012. Wonogiri Dalam Angka Tahun 2012. Wonogiri: Badan Pusat
Statistik Kabupaten Wonogiri.
(Anonim). 2007. Dokumen Pengajuan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari
(PHBML) Sistem LEI. Wonogiri: Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat
(PPHR) dan PERSEPSI.
(Anonim). 2013. Website PDAM Kabupaten Wonogiri Giri Tirta Sari
(www.pdamwonogiri.com) diakses tanggal 26 April 2013
Bishop, J T. 1999. Valuing Forest: A Review of Methods and Applications in
Developing Countries. London. International Institute for Environmental
and Development.
Bryson J M. 2004. What To Do When Stakeholders Matter: Stakeholders
Identification and Analysis Techniques. Public Management Review 6
(1): 21-53
Colfer, C J P and Prabhu, R. 1999. Who Count Most? Assesing Human Well-
Being in Sustainable Forest Management Volume 8, The Criteria &
Indicators Toolbox Series. Bogor: Center for International Forestry
Research.
77
Darusman, D dan Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat.
PROSIDING Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan (hal. 4-13).
Davis L S, Johnson K N. 1987. Forest Management. Third Edition. New York:
McGrawHill Book Company.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2003. Kumpulan laporan studi lapang praktik-
praktik social forestry. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik
Indonesia.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta: Bumi
Aksara.
Garod, G and Willis, K G. 1999. Economics Valuation of the Environment
Methods and Case Studies. Edward Elgar Publishing Limited.
Hindra, B. 2006. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat. PROSIDING Seminar
Hasil Litbang Hasil Hutan (hal. 14-23)
Hanley, N dan Spash, C L. 1993. Cost-Benefit Analysis and Environmental.
Edward Elgar Publishing. England.
Harahab, N. 2011. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Dalam
Perencanaan Wilayan Pesisir. Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 7A (59-
67) .
Lind, A D, Marchal W G, and Wathen S A. 2008. Teknik-Teknik Statistika dalam
Bisnis dan Ekonomi Menggunakan Kelompok Data Global. Jakarta:
Salemba Empat.
Mahesi, V. 2008. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Kebun Raya Cibodas.
[Skripsi]. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya .Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Meng, S W, Hideki N and Philip G. 2011. The Use of Importance-Performance
Analysis (IPA) in Evaluating Japan’s E-Government Services. Journal of
Theoretical and Applied Electronic Commerce Research VOL 6 (17-30).
Universidad de Talca. Chile.
Merryna, 2009. Analisis Willingness To Pay Masyarakat Terhadap Pembayaran
Jasa Lingkungan Mata Air Cirahab (Desa Curug Goong, Kecamatan
78
Padarincang, Kabupaten Serang, Banten). [Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor
Miftahurrohmah, 2012. Analisis Manfaat Ekonomi dan Kelembagaan Hutan
Mangrove Pasca Rehabilitasi (Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan
Penjaringan, Jakarta Utara). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Mugiono, I. 2009. Workshop Penyiapan Prakondisi Hutan Rakyat Menuju
Implementasi Sistem Legalitas Kayu dan Rencana Proyek Karbon di
Pulau Jawa-Madura.
Munasinghe, M. 1993. Enviromental Economics and Sustainable Development.
Washington D.C: World Bank.
Pearce D, Davis M, 1994. The Economic Value of Biodiversity, IUCN the World
Conservation Union. Earthscan Publication Ltd. London.
Pranoto, S A. 2009. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Hutan dan Implikasinya
Terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan (Studi Kasus: Hutan Rakyat
Desa Selopuro, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah). [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor.
Rumfaker, M. 2010. Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan di `Kawasan
Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat.[Tesis]. Sekolah Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Soemardjan, S dan Soelaeman S. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Suhana, 2008 Analisis Ekonomi Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. [Tesis]. Institut Pertanian
Bogor.
Suharjito, D. 2004. Pengelolaan Hutan Negara Pola Kolaboratif Perusahaan HPH
(TI) dan Masyarakat Lokal: Prospek dan Kendala. Jurnal Kehutanan
Masyarakat vol 2. Bogor: Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat.
Suharti, F. 2007. Analisis Permintaan dan Surplus Konsumen Kebun Wisata
Pasirmukti dengan Metode Biaya Perjalanan. [Skripsi]. Jurusan Ilmu-
ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
79
Thoha, A S. 2013. Peluang Hutan Komunitas dalam Perdagangan Karbon
(www.latin.or.id/index.php/berita-redd/44-peluang-hutan-komunitas-dan-
perdagangan-karbon.html) diakses tanggal 24 Oktober 2013
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
80
81
LAMPIRAN
82
83
Lampiran 1. Peta Kecamatan Giriwoyo
Lampiran 2. Uji Asumsi Statistik WTP Nilai Warisan
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .767a .588 .443 4953.19362 2.023
a. Predictors: (Constant), KLS, IRT, TGN, SWA, WRA, TR, BRH, LHN, PDI, PNS, AGE, JRK
b. Dependent Variable: WTP
84
UJI ASUMSI – NORMALITAS
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 47
Normal Parametersa Mean .0000000
Std. Deviation 4.25839406E3
Most Extreme Differences Absolute .128
Positive .128
Negative -.078
Kolmogorov-Smirnov Z .878
Asymp. Sig. (2-tailed) .424
a. Test distribution is Normal.
Untuk menguji normalitas digunakan Uji Kolmogorov – Smirnov
P-Value (Asymp. Sig) 0,424 > 0.1, artinya data menyebar normal pada taraf nyata 10%
UJI ASUMSI – MULTIKOLINEARITAS
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) -5879.353 8182.042 -.719 .477
AGE 109.629 103.533 .197 1.059 .297 .349 2.862
TGN -160.313 644.463 .029 .249 .805 .872 1.147
PDI 339.913 347.312 .150 .979 .335 .518 1.932
PNS 7772.400 6797.779 .171 1.143 .261 .542 1.843
WRA -2801.544 3049.310 -.119 -.919 .365 .721 1.387
SWA 1639.066 4096.763 .050 .400 .692 .763 1.310
IRT 4979.461 2755.842 .299 1.807 .080 .444 2.253
BRH 374.472 2437.482 .020 .154 .879 .693 1.443
LHN 5307.284 3004.183 .400 1.767 .086 .237 4.226
TR 3141.085 820.154 .503 3.830 .001 .703 1.422
JRK -1091.194 1603.584 -.164 -.680 .501 .208 4.812
KLS -1905.090 1481.643 -.178 -1.286 .207 .634 1.576
a. Dependent Variable: WTP
85
UJI ASUMSI – AUTOKORELASI
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .675a .456 .264 2350.77184 2.061
a. Predictors: (Constant), KLS, IRT, TGN, SWA, WRA, TR, BRH, LHN, PDI, PNS, AGE, JRK
b. Dependent Variable: RES2
Uji Autokorelasi dilakukan dengan dengan uji statistik Durbin – Watson. Nilai Durbin-
Watson pada model WTP Nilai warisan adalah 2,061, jika nilai DW 1,55 < DW <
2,46, artinya tidak terjadi autokorelasi dalam model.
UJI ASUMSI – HETEROSKEDASTISITAS
Dari grafik scatterplots, terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak baik di atas
maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
heteros dalam model regresi
86
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Analisis WTP
Analisis WTP sebagai nilai warisan HR Giriwoyo
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA
DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Jalan Kamper Level Wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor 16680
Telepon (0251) 421 762, (0251) 621 834, Fax (0251) 421 762
KUESIONER PENELITIAN
Nomor Responden :
Tanggal Wawancara :
Nama :
No. HP/Telp. :
Alamat :
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Nilai Ekonomi Total dan
Analisis Multistakeholder Hutan Rakyat Di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten
Wonogiri.”oleh Hilman Firdaus, mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Mohon
partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan teliti dan lengkap
sehingga dapat memberikan data yang objektif. Informasi ini dijamin kerahasiaannya,
tidak untuk dipublikasikan, dan tidak untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan
kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/i saya ucapkan terimakasih.
Petunjuk : Isi dan pilihlah salah satu jawaban dengan memberikan tanda [x] pada bagian
yang sudah tersedia
A. Karakteristik Responden
1. Jenis Kelamin :[a]. Laki-laki [b]. Perempuan
2. Usia : ....... Tahun
3. Status :[a]. Menikah [b]. Belum Menikah
Jika sudah menikah berapa jumlah (orang) anggota keluarga
yang ditanggung? ..........Orang
4. Pendidikan Formal Terakhir :
[a]. Tidak Sekolah
[b]. SD Kelas [1] [2] [3] [4] [5] [6]
[c]. SMP/Sederajat Kelas [1] [2] [3]
[d]. SMA/Sederajat Kelas [1] [2] [3]
[e]. Perguruan Tinggi [Diploma] [Sarjana] [Magister]
5. Pekerjaan :
[a]. Petani (Pemilik/Penggarap) [b]. PNS [c]. Wiraswasta
[d]. Pegawai Swasta [e]. Supir/ojek [f]. Ibu Rumah Tangga
[g]. Lainnya : .......
6. Status Kependudukan : [a]. Penduduk Asli [b]. Penduduk Pendatang : alasan .......
7. Pendapatan per bulan (dalam rupiah) :
[a]. <500.000 Tepatnya : Rp........
87
[b]. 500.001 – 1.000.000 Tepatnya : Rp........
[c]. 1.000.001 – 1.500.000 Tepatnya : Rp........
[d]. 1.500.001 – 2.000.000 Tepatnya : Rp........
[e]. >2.000.000 Tepatnya : Rp........
8. Apakah ada pendapatan lain selain pekerjaan yang Saudara/i sebutkan diatas?
[a]. Ya, bekerja sebagai...............................
[b]. Tidak
9. Berapakah pendapatan per bulan yang Saudara/i dapatkan dari pekerjaan sambilan
tersebut? Rp....................
10. Apakah ada anggota keluarga lainnya yang bekerja?
[a]. Ya [b]. Tidak
Jika Ya, berapa total pendapatan mereka perbulannya? Rp.....................
11. Total pendapatan perbulan 1 rumah tangga : Rp.........................
B. Kondisi Tempat Tinggal
1. Kira-kira berapa jarak (dalam meter) anata rumah Saudara/i dengan Hutan Rakyat?
[a]. <50 Tepatnya ..............................
[b]. 51 – 150 Tepatnya ..............................
[c]. 151 – 250 Tepatnya ..............................
[d]. 251 – 350 Tepatnya ..............................
[e]. 351 – 450 Tepatnya ..............................
[k]. >450 Tepatnya ..............................
2. Apakah Anda suka dengan tempat tinggal anda sekarang?
[a]. Suka [b]. Tidak uka
Alasan : (jawaban boleh lebih dari satu, beri nomor)
[ ] faktor kondisi tempat tinggal
[ ] faktor tetangga
[ ] faktor lingkungan sekitar
[ ] faktor harga tanah
[ ] faktor dekat dengan tempat kerja
[ ] faktor keturunan/tanah warisan
[ ] lainnya: .......
3. Bagaimana kondisi jasa lingkungan (mata air dan kesejukan udara) dari Hutan
Rakyat yang anda rasakan sekarang?
[a]. Jelek
[b]. Biasa
[c]. Baik
4. Harapan Anda sebagai penduduk yang tinggal dekat Hutan Rakyat?
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
88
C. Kesediaan Masyarakat untuk Melakukan Pembayaran Jasa Lingkungan dari
Hutan Rakyat Giriwoyo
SKENARIO
1. Apakah Saudara/i setuju jika dilakukan suatu upaya perbaikan kualitas hutan agar
jasa lingkungan dapat terjaga?
[a]. Setuju [b]. Tidak
2. Berapa besar uang (dalam rupiah/bulan) yang ingin Saudara/i berikan kepada
lembaga yang Saudara/i percayai sebesar jasa lingkungan yang Saudara/i gunakan?
Rp..................../bulan
3. Berikan alasan mengapa Saudara/i memberikan imbalan tersebut?
........................................................................................................................................
[a]. Diri sendiri
[b]. Anggota keluarga
[c]. Orang lain
[d]. Pengelola Hutan Rakyat
[e]. Lainnya: .......
4. Ada beberapa alasan mengapa beberapa orang tidak berkenan untuk membayar
sedikitpun dalam upaya perlindungan Hutan Rakyat Giriwoyo untuk mencegah
terjadinya kekurangan atau penurunan kualitas dan kuantitas mutu jasa lingkungan di
masa yang akan datang. Dapatkah Saudara/i menjelaskan mengapa saudara tidak
berkenan untuk memberikan imbalan?
[a]. Saya tidak punya uang lebih / saya tidak mampu membayar
[b]. Perubahan kualitas / kuantitas terlalu kecil untuk dianggap penting
[c]. Saya pikir masalah degradasi ini buka prioritas
[d]. Saya perlu lebih banyak informasi / waktu untuk menjawab pertanyaan ini
[e]. Lainya.......
“Jika manfaat jasa lingkungan dari kawasan hutan rakyat Giriwoyo ini ingin
tetap lestari dan dapat dirasakan selama mungkin, maka perlu adanya upaya
pelestarian dari masyarakat sekitar. Suatu saat nanti kualitas lingkungan akan
menurun yang dikarenakan berbagai penyebab antara lain, pemanfaatan
lingkungan yang tidak ramah lingkungan dan keterbatasan dana untuk tetap
menjaga kualitas lingkungan tetap baik. Apa Bapak/Ibu bersedia membayar
sejumlah uang untuk menjaga kualitas hutan agar tetap baik sehingga dapat
diwariskan kepada anak cucu Ibu/Bapak?”
89
Lampiran 4. Kuesioner Penelitian IPA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA
DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Jalan Kamper Level Wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor 16680
Telepon (0251) 421 762, (0251) 621 834, Fax (0251) 421 762
KUESIONER PENELITIAN
Tanggal Wawancara :
Nama :
No. HP/Telp. :
Alamat :
Mewakili unsur : PPHR / DISHUTBUN / Akademisi / Masyarakat (lingkari)
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Nilai Ekonomi Total dan
Analisis Multistakeholder Hutan Rakyat Di Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten
Wonogiri.”oleh Hilman Firdaus, mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Informasi ini
dijamin kerahasiaannya, tidak untuk dipublikasikan, dan tidak untuk kepentingan politis.
Atas perhatian dan kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/i saya ucapkan terimakasih.
1. Karakteristik Responden
1. Jenis Kelamin :[a]. Laki-laki [b]. Perempuan
2. Usia : ....... Tahun
3. Pendidikan Formal Terakhir :
[a]. Tidak Sekolah
[b]. SD Kelas [1] [2] [3] [4] [5] [6]
[c]. SMP/Sederajat Kelas [1] [2] [3]
[d]. SMA/Sederajat Kelas [1] [2] [3]
[e]. Perguruan Tinggi [Diploma] [Sarjana] [Magister]
4. Pekerjaan :
[a]. Petani [b]. PNS [c]. Wiraswasta
[d]. Pegawai Swasta [e]. Ibu Rumah Tangga [f]. Lainnya:......
2. Pertanyaan Umum
1. Menurut bapak/ibu, bagaimana kondisi Hutan Rakyat (HR) di Indonesia secara
umum?
........................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
1. Menurut bapak/ibu, bagaimana perkembangan HR di Kecamatan Giriwoyo sejauh
ini?
........................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
90
2. Apakah HR Giriwoyo memiliki kelebihan dibandingkan dengan HR di lokasi
lain?jika Ya, apa kelebihan tersebut?
........................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
3. Menurut bapak/ibu, apa saja yang menjadi rintangan yang menghambat kemajuan
pengelolaan dan pemanfaatan HR di Giriwoyo?
........................................................................................................................................
......................................................................................................................................
4. HR Giriwoyo merupakan hutan yang memiliki sertifikat ramah lingkungan
berdasarkan sistem LEI, menurut bapak/ibu sejauh mana sertifikasi ini dapat
mempengaruhi produksi?
........................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
3. Peran Stakeholders
No Stakeholder Peran Kode
1
2
3
4
PPHR
Dishutbun
Akademisi
Masyarakat
Melakukan prunning
Melakukan kerjasama dengan pihak luar
Melakukan pemupukan rutin
Melakukan pertemuan rutin anggota
Menetapkan peraturan formal pengelolaan
Koordinasi kegiatan dengan pihak terkait
Memberikan penyuluhan
Monitoring pelaksanaan kegiatan
Melakukan kajian terkait HR
Memberikan rekomendasi hasil studi
Keterlibatan dalam perencanaan kebijakan
Melakukan punlikasi hasil studi
Pemanfaatan sumber mata air
Pemanfaatan kayu bakar
Mendukung pelestarian HR
Pemanfaatan kayu log
A.1
A.2
A.3
A.4
B.1
B.2
B.3
B.4
C.1
C.2
C.3
C.4
D.1
D.2
D.3
D.4
No Stakeholder Kode Bobot kinerja Bobot kepentingan
1
2
3
4
PPHR
Dishutbun
Akademisi
Masyarakat
A.1
A.2
A.3
A.4
B.1
B.2
B.3
B.4
C.1
C.2
C.3
C.4
D.1
D.2
D.3
D.4
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
4. Saran
1. Bagaimana saran bapak/ibu mengenai perencanaan sampai pelaksanaan kebijakan
agar tercapai pengelolaan dan pemanfaatan HR yang lestari?.......................................
91
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 Juni 1991 dari ayah Iwan
Kuswandi dan ibu Siti Hanifah. Penulis adalah putra ketiga dari lima bersaudara.
Penulis memulai jenjang pendidikan di TK Mexindo kemudian meneruskan ke
SDN Bangka 4, SMP Negeri 3 dan SMA Negeri 5 Kota Bogor sampai lulus. Pada
tahun 2009 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikannya ke
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Surat Masuk IPB (USMI)
dan diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis memperoleh beasiswa Peningkatan
Prestasi Akademik (PPA). Penulis juga pernah aktif dalam keorganisasian kampus
seperti Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture Xpression sebagai anggota,
HIMPRO REESA sebagai anggota divisi Internal Development pada tahun
2010/2011 dan sebagai ketua umum pada tahun 2011/2012. Pada tahun 2012 juga
penulis pernah melaksanakan Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Penelitian
(PKM-P) didanai oleh Dikti dengan judul “Intangible Value yang Tidak Pernah
Diperhitungkan oleh Masyarakat Giriwoyo, Wonogiri”.