new bab ii tinjauan pustaka 2.1 penyakit ginjal kronis 2.1.1 … · 2017. 4. 1. · 3 2.1.3 stadium...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronis
2.1.1 Epidemiologi
Penyakit ginjal kronis (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi
problem kesehatan yang besar di seluruh dunia. Perubahan yang besar ini
mungkin karena berubahnya penyakit yang mendasari patogenesis dari PGK.
Beberapa dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis merupakan penyebab
utama dari PGK. Saat ini infeksi bukan merupakan penyebab yang penting dari
PGK. Dari berbagai penelitian diduga bahwa hipertensi dan diabetes merupakan
dua penyebab utama dari PGK (Zhang dan Rothenbacher, 2008). Penderita PGK
yang mendapat pengobatan terapi pengganti ginjal diperkirakan 1,8 juta orang.
Terapi pengganti ginjal mencakup dialisis dan transplantasi ginjal dan lebih dari
90% di antaranya berada di negara maju (Suhardjono, 2006).
Prevalensi PGK di berbagai negara dilaporkan berkisar 10-20%, sementara
di Indonesia sendiri prevalensi PGK didapatkan sebesar 12,5% (Prodjosudjadi
dkk., 2009). Penderita PGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada
tahun 2009 diperkirakan terdapat 116395 orang penderita GGK yang baru. Lebih
dari 380000 penderita PGK menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011).
Sedangkan di Indonesia, jumlah pasien PGK meningkat pesat dengan angka
kejadian gagal ginjal yang menjalani hemodialisis dari tahun 2002 sampai 2006
secara berturut-turut adalah 2077, 2039, 2594, 3556, dan 4344 orang (Pratama
dkk., 2014).
5
2
2.1.2 Batasan
Penyakit ginjal kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Sedangkan, gagal ginjal adalah
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel, pada suatu derajat tertentu memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Gejala klinis yang serius seringkali
tidak muncul sampai jumlah nefron fungsional ginjal berkurang hingga 70-75
persen di bawah normal (KDIGO, 2013; Thomas dkk., 2008). Kriteria PGK dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Kriteria PGK (KDIGO, 2013)
Petanda kerusakan ginjal
(satu atau lebih))
Albuminuria (AER _ 30 mg/24 jam;
ACR -30 mg/g [3 mg/mmol])
Abnormalitas pada sedimen urin
Gangguan elektrolit dan abnormalitas
yang berhubungan dengan
kerusakan tubulus
Abnormalitas pada pemeriksaan
histologi
Abnormalitas struktural pada
pemeriksaan imaging
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan LFG LFG <60 ml/min/1.73 m2 (kategori
LFG G3a–G5)
Keterangan:
Kriteria PGK : kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan
AER : Albumin exretion ratio
ACR : Albumin creatinine ratio
3
2.1.3 Stadium PGK
Penyakit ginjal kronis dibagi menjadi 6 stadium seperti Tabel 2.2 di bawah
ini. Pemeriksaan deteksi dini pada PGK-GMT dimulai pada st G3b, seperti kadar
fosfat serum, kalsium serum, dan PTH (KDIGO, 2013).
Tabel 2.2
Kategori LFG pada PGK (KDIGO, 2013)
Kategori LFG LFG (ml/min/1.73 m2) Batasan
G1
G2
G3a
G3b
G4
G5
90
60–89
45–59
30–44
15-29
<15
Normal atau Tinggi
Penurunan ringan
Penurunan ringan sampai
sedang
Penurunan sedang sampai
berat
Penurunan berat
Gagal ginjal
Indikasi dialisis jika didapatkan satu atau lebih gejala gejala atau tanda:
kegagalan ginjal (serositis, abnormalitas asam-basa atau elektrolit, gatal);
kegagalan pengaturan status volume atau tekanan darah; perburukan progresif
status nutrisi setelah diberian intervensi; gangguan kognitif. Keadaan tersebut
umumnya terjadi pada LFG 5-10 ml/menit, dan terdapat terdapat bukti penurunan
dan ireversibelitas PGK dalam 6-12 bulan (KDIOGO, 2013). Pada keadaan
tersebut diatas maka dapat dilakukan prosedu dialisis pada penderita PGK.
Sedangkan, penyakit ginjal kronis predialisis adalah pasien PGK stadium 1
sampai 5 (LFG ≥90 ml/menit - <15 ml/menit) yang belum memerlukan/belum
pernah dialisis dalam penanganannya (Ravani dkk., 2013)
2.1.4 Gangguan Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronis
PGK-GMT adalah suatu penyakit multisistem yang meliputi abnormalitas
dari metabolisme tulang, osteodistrofi ginjal, dan kalsifikasi ekstraskeletal. Istilah
4
PGK-GMT sendiri merupakan hal yang baru dalam beberapa tahun terakhir.
PGK-GMT digunakan untuk mendeskripsikan suatu kondisi yang berkembang
sebagai konsekuensi perubahan sistemik yang terkait dengan PGK. Gangguan
sistemik ini terdiri dari satu atau kombinasi dari kondisi abnormalitas nilai
laboratorium dari kalsium, fosfat, PTH atau vitamin D; abnormalitas pergantian
tulang, mineralisasi, pertumbuhan volume, linear dan kekuatan tulang; dan
kalsifikasi dari vaskular atau jaringan lainnya (Cozzolino dkk., 2014).
Abnormalitas dari metabolisme mineral mengarah pada hipertiroid
sekunder merupakan komplikasi dari penyakit ginjal dan patogenesisnya sangat
multifaktorial (Fang, dkk., 2014). PGK-GMT dapat menimbulkan kelainan pada
tulang maupun ekstra skeletal seperti jaringan lunak dan vaskuler. Beberapa studi
kohort telah menunjukkan hubungan antara PGK-GMT dengan fraktur, patologis
penyakit kardiovaskular dan kematian (morbiditas dan mortalitas). Oleh
karenanya penatalaksanaan yang tepat terhadap PGK-GMT akan sangat berperan
dalam mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta meningkatkan kualitas hidup
penderita PGK (Martin dkk., 2015).
Diagnosis PGK-GMT didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan pencitraan, dan biopsi tulang. Gejala klinis PGK-GMT
cenderung tidak spesifik, bahkan pada penyakit yang lanjut. Secara umum gejala
dapat berupa nyeri tulang, kelemahan otot, pruritus, calciphylaxis (calcemic
uremic arterilopaty) dan fraktur (Suwitra, 2009).
5
2.2 Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23)
2.2.1 Sejarah FGF-23
Fibroblast Growth Factor-23 pertama kali di identifikasi pada jaringan
embrio tikus dengan metode hibridisasi homolog (Juppner dkk, 2010; Mirza,
2010) yang memperlihatkan mutasi missense pada gen FGF-23 sebagai penyebab
autosomal dominant hypophosphatemic rickets (ADHR). Autosomal dominant
hypophosphatemic rickets merupakan penyakit phosphate wasting dengan ciri
khas perawakan pendek, nyeri tulang, fraktur dan deformitas ekstremitas bagian
bawah. Fenotip ADHR terjadi akibat mutasi gain-of-function (R176Q, R179Q dan
R179W) yang mengakibatkan resistensi proteolitik sehingga sirkulasi FGF-23
meningkat dan menyebabkan phsophate wasting.
Peningkatan FGF-23 dalam sirkulasi juga terjadi pada pasien X-linked
hipofosfatemia (XLH) ditandai dengan kelainan fenotip pada skeletal dan ginjal.
Kelainan skeletal diantaranya defek kalsifikasi kartilago dan tulang, menyebabkan
rickets, osteomalacia, dan pertumbuhan terhambat. Kelainan ginjal diantaranya
terganggunya reabsorpsi fosfat pada tubulus ginjal dan regulasi produksi
1,25(OH)2D, menyebabkan hipofosfatemia yang resisten dengan terapi fosfat dan
vitamin D. Tumor-Induce Osteomalacia (TIO) disebut juga osteomalacia
oncogenic merupakan penyakit paraneoplastik dimana terdapat ekspresi ektopik
berlebih FGF-23 dengan ciri khas hipofosfatemia akibat phosphate wasting dari
ginjal (Mirza, 2010). Beberapa sindrom pada manusia disebabkan oleh FGF-23
berlebih atau berkurang menunjukkan FGF-23 sebagai hormon regulator utama
homeostasis fosfat (Mirza, 2010).
6
2.2.2 Genetika, Struktur Protein, dan Sintesis FGF-23
Fibroblast Growth Factor-23 merupakan sebuah protein 32-kDa
dihasilkan paling banyak oleh osteosit dan osteoblas di tulang (Wahl dan Wolf,
2012; Komaba dan Fukugawa, 2010; Mirza, 2010). Fibroblast Growth Factor-23
adalah suatu polipeptida yang memiliki regio inti sama mengandung sekitar 120
residu asam amino, diantaranya residu N- dan C-terminal. Gen FGF-23 terletak
pada kromosom 12p13 dan terdiri dari 3 ekson membentang pada 10kb genomic
sequence (Mirza, 2010). Terdapat 7 subfamili FGFs pada manusia (Mirza, 2010;
Russo dan Battaglia, 2011). Subfamili FGF terdiri dari 3 protein – FGF-19, FGF-
21, dan FGF-23 - dengan fungsi biologis yang berbeda. Fibroblast Growth
Factor-23 merupakan regulator utama homeostasis fosfat dan kadar calcitriol
dalam darah; FGF-19 menghambat ekspresi enzim kolesterol 7-a-hydroxylase
(CYP7A1), berperan pada langkah awal menghambat sintesis asam empedu; FGF-
21 menstimulasi uptake glukosa insulin-independent di sel lemak dan
menurunkan kadar trigliserida (Russo dan Battaglia, 2010).
Waktu paruh FGF-23 intak di sirkulasi pada manusia normal sekitar
58 menit (Mirza, 2010; Russo dan Battaglia, 2010). Stimulator utama sintesis
FGF-23 adalah makanan mengandung fosfat dan 1,25(OH)2D3 (Juppner, 2010).
Terdapat 2 alat ukur FGF-23 manusia yang telah tersedia secara komersil. Full
length FGF-23 dapat ditentukan dengan teknik sandwich ELISA, dimana 2 jenis
antibodi monoklonal mendeteksi bagian N-terminal dan C-terminal secara
simultan. Sedangkan deteksi C-terminal dapat mendeteksi full-length dan fragmen
C-terminal FGF-23 (Mirza, 2010). Sruktur protein FGF-23 dapat dilihat pada
Gambar 2.1 dibawah ini.
7
Gambar 2.1
Struktur protein FGF-23 (Saito dan Fukumoto, 2009)
2.2.3 Mekanisme Kerja FGF-23
Regulasi FGF-23 diatur oleh fosfat, 1,25-dihydroxyvitamin D, dan PTH
(Diniz dan Frazao, 2013). Fibroblast Growth Factor-23 bekerja dengan berikatan
pada reseptor fibroblastic growth factor receptor (FGFR) dengan bantuan ko-
reseptornya Klotho (Komaba dan Fukagawa, 2010; Russo dan Battaglia, 2011).
Kompleks Klotho/FGF-R dan FGF-23 berikatan lebih kuat dibanding FGF-R atau
Klotho saja. Klotho merupakan 130-kDa transmembrane b-glucuronidase dapat
menghidrolisis steroid b-glucoronides. Ekspresi gen Klotho terdapat pada sel
tubulus ginjal, paratiroid, dan pleksus choroid. Ekpresi Klotho di ginjal paling
banyak pada tubulus distal yang juga merupakan tempat ikatan awal dan signaling
FGF-23 (Russo dan Battaglia, 2011).
Fibroblast Growth Factor-23 berperan penting dalam metabolisme
mineral, memiliki 3 fungsi yang berbeda. Pertama, full length FGF2-3 yang
merupakan hormon fosfaturia. Fibroblast Growth Factor23 menyebabkan
fosfaturia melalui penurunan ekspresi dan endositosis sodium-phosphate co-
transporters NPT2a dan NPT2c pada tubulus proksimal ginjal (Mirza, 2010;
8
Komaba dan Fukagawa, 2010), sehingga reabsorpsi fosfat berkurang dan ekskresi
fosfat urin meningkat (Juppner, 2011). Hal ini terjadi melalui aktivasi jalur
mitogen-activated protein kinase (MPAK). Kedua, FGF-23 berperan pada
fosfaturia tidak menyebabkan up-regulasi produksi 1,25 (OH)2D. Tetapi, FGF-23
mensupresi renal 1-alpha-hydroxylase (1α-OHase), menyebabkan berkurangnya
konversi 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) menjadi metabolik aktifnya
1,25(OH)2D. Kemudian FGF-23 menurunkan kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D
dengan menstimulasi 24-hydroxylase, yang bertanggung jawab pada degradasi
vitamin D. Ketiga, di paratiroid, FGF-23 menurunkan ekspresi dan sekresi PTH,
dan meningkatkan kadar m-RNA 1α-hydroxylase, kontras dengan efek negatif
FGF-23 pada 1α-Ohase di ginjal (Mirza, 2010).
2.2.4 Target Organ FGF-23
2.2.4.1 Ginjal
Ginjal merupakan organ target utama FGF-23 dan fungsi utamanya adalah
mengatur regulasi reabsorpsi fosfat dan produksi 1,25(OH)2D. Fibroblast Growth
Factor-23 menghambat reabsorpbsi sodium-dependent fosfat dan aktivitas 1α-
hydroxylase di tubulus proksimal sehingga terjadi hipofosfatemia dan produksi
1,25(OH)2D menurun. Bagian ginjal dan reseptor yang memediasi respon ginjal
terhadap FGF-23 masih belum jelas. Efek biologis FGF-23 terjadi pada tubulus
proksimal (Liu dan Quarles, 2007).
2.2.4.2 Kelenjar Paratiroid
Merupakan salah satu target organ FGF-23. Klotho dan FGFR terdapat
pada kelenjar paratiroid. Pada tikus percobaan peningkatan kadar FGF-23, terjadi
9
peningkatan kadar PTH serum. Terdapat hubungan erat peningkatan kadar FGF-
23 dan hiperparatiroid sekunder pada PGK (Liu dan Quarles, 2007).
2.2.4.3 Organ lainnya
Target organ lainnya adalah pleksus choroid di otak. Fungsi FGF-23 pada
daerah ini belum sepenuhnya diketahui. Fibroblast Growth Factor-23 diproduksi
di nukleus ventrolateral talamus, dan pleksus choroid mengekspresikan Klotho
dan FGFR begitu juga transporter fosfat sodium-dependent (Liu dan Quarles,
2007).
Efek FGF-23 pada pituitari masih belum jelas. Kelenjar pituitari menjadi
target organ FGF-23 dibuktikan dengan upregulasi respon dini ekspresi gen akibat
pemberian FGF-23 pada tikus (Liu dan Quarles, 2007).
2.2.5 Hal-Hal yang Mempengaruhi Kadar FGF-23
2.2.5.1 Diet dan Fosfat Serum
Individu sehat dapat mempertahankan kadar fosfat serum dalam nilai
normal, karena kadar FGF-23 naik dan turun paralel dengan jumlah diet fosfat
yang dikonsumsi. Peningkatan kadar FGF-23 sebagai respon diet tinggi fosfat
menyebabkan FEPi urin meningkat, dan menurunkan kadar 1,25 dihydroxyvitamin
D, sehingga absropsi fosfat di usus berkurang. Jika diet rendah fosfat, kadar FGF-
23 turun, absorpsi fosfat di ginjal dan usus meningkat sehingga kadar 1,25
dihydroxyvitamin D meningkat. Penelitian terbaru dalam The Health
Professionals Follow-up Study menyatakan terdapat korelasi langsung antara diet
fosfat dan kadar FGF-23 pada populasi (Wolf, 2012).
Kadar fosfat yang tinggi meningkatkan aktivitas FGF-23 in vitro. Studi in
vivo menunjukkan peningkatan FGF-23 secara konsisten akibat menumpuknya
10
fosfat. Pada manusia kadar FGF-23 dipengaruhi oleh diet dan respon kadar fosfat
serum yang tinggi pada pasien hipoparatiroid kronis. Pada pasien PGK, beberapa
studi menunjukkan bahwa diet fosfat berpengaruh terhadap perubahan FGF-23
serum (Wolf, 2012).
Pada PGK stadium 3-5 dianjurkan diet rendah fosfat 8000-1000 mg/hari
(Suwitra, 2009). Untuk mengurangi fosfat akibat diet atau memanipulasi
bioavailibilitasnya, obat pengikat fosfat dapat digunakan untuk mengurangi
absorpsinya di pencernaan. Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian obat
pengikat fosfat, lanthanum, sevelamer, aluminium-magnesium, dan kalsium
karbonat, menurunkan kadar FGF-23 pada volunter sehat, pada pasien End Stage
Renal Disease (ESRD) dengan hiperfosfatemia, dan pasien PGK dengan fosfat
serum normal atau meningkat (Wolf, 2012).
2.2.5.2 Vitamin D
Pada jalur feedback negative klasik, 1,25 dihydroxyvitamin D
menstimulasi sekresi FGF-23, dan FGF-23 menurunkan kadar 1,25
dihydroxyvitamin D. Regulasi transkripsi FGF-23 diatur oleh elemen vitamin D
pada promoter FGF-23, sehingga aktivitas vitamin D penting dalam produksi
FGF-23 (Wolf, 2012).
Kultur osteoblas secara langsung dengan 1,25(OH)2D dan pemberian
calcitriol in vivo keduanya menstimulasi produksi FGF-23 di tulang dan
osteoblas, tidak dipengaruhi oleh fosfat serum dan PTH. Hal ini dipengaruhi
dimediasi oleh vitamin D responsive element (VDRE) pada FGF-23 promoter.
Pada manusia, terapi calcitriol intravena meningkatkan kadar serum FGF23
(Mirza, 2010).
11
2.2.5.3 Paratiroid
Fibroblast Growth Factor23 dan PTH memiliki jalur feedback negative
yang sama. Fibroblast Growth Factor23 menghambat sekresi PTH melalui jalur
FGFR-Klotho-independent, dan PTH menstimulasi FGF-23 secara langsung
maupun tidak langsung melalui peningkatan 1,25 dihydroxyvitamin D melalui
PTH (Wolf, 2012).
Kadar FGF-23 meningkat pada hewan percobaan dengan hiperparatiroid
primer, dan menurun setelah paratiroidektomi. Tetapi, efek PTH terhadap FGF-23
pada manusia masih belum jelas dan hasil yang kontradiksi telah dilaporkan. Pada
manusia sehat, infus intravena 24 jam PTH menyebabkan peningkatan FGF-23,
efek ini dapat menyebabkan peningkatan 1,25(OH)2D bersamaan (Mirza, 2010).
2.2.5.4 Faktor Genetik
Faktor genetik dapat secara langsung maupun tidak langsung pada
stimulasi berlebih FGF-23 serum seperti pada ADHR dan XLH (Mirza, 2010).
Regulasi oleh phosphate regulating gene with homologies to endopeptidases on
the X chromosome (PHEX) serta dentin matrix protein 1 (DMP1). Bila terjadi
mutasi atau inaktivasi dari PHEX, maka akan meningkatkan ekpresi gen FGF-23
pada sel osteoblas dan osteosit tulang (Liu dkk., 2007; Yuan dkk., 2008). Mutasi
maupun inaktivasi dari DMP1 juga menyebabkan peningkatan ekpresi FGF-23
pada osteoblas dan osteosit tulang (Feng dkk., 2006; Liu dkk., 2007). Ekpresi
FGF-23 pada tulang juga dipengaruhi oleh reseptor FGF-23 (FGFR). Mutasi pada
FGFR-1 seperti pada penyakit osteoglophonic dysplasia (OGD) akan
menyebabkan peningkatan kadar FGF-23 serum serta hipofosfatemia (White dkk.,
2005).
12
2.2.5.5 Kalsium
Kadar kalsium yang tinggi dapat menstimulasi sekresi FGF-23. Ketika,
anak tikus diberi diet tinggi kalsium sehingga serum kalsium meningkat, kadar
FGF23 juga naik. Pemberian cinacalcet (obat calcimimetics) pada hewan
percobaan dan manusia terjadi penurunan FGF-23 pada pasien PGK.
Mekanismenya multifaktorial dan bervariasi sesuai dengan stadiumnya. Pada
PGK predialisis, cinacalcet menurunkan FGF-23 dan PTH dan terjadi penigkatan
fosfat serum, sedangkan pada End Stage Renal Disease (ESRD) cinacalcet
menurunkan FGF-23 dan PTH serta fosfat serum. Mekanisme yang mungkin
terjadi cinacalcet menurunkan FGF-23 adalah melalui penurunan PTH, hal ini
terjadi pada seluruh stadium PGK (Wolf, 2012).
2.3 Fraksi Ekskresi Fosfat Urin (FEPi) urin
Pada kondisi normal, pengukuran ekskresi fosfat urin 24 jam menunjukkan
absorpsi gastrointestinal fosfat (Robinson-Cohen dkk., 2014). Ekskresi fosfat urin
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya integritas fungsi glomerulus dan
tubulus, diet fosfat, kadar serum FGF-23 dan PTH, kadar Klotho di ginjal, dan ko-
reseptor FGF-23 (Craver, Dusso, Martinez-Alonso dkk., 2013).
Fraksi ekskresi fosfat urin adalah persentase fosfat yang di filtrasi ginjal
dan di ekskresikan melalui urin, merupakan suatu indikator ekskresi fosfat di
ginjal (Bagnis dkk., 2009; Dominguez dkk., 2013). Nilai normal FEPi urin adalah
15-20% (Bagnis dkk., 2009). Fraksi ekskresi fosfat urin dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut; FEPi = (fosfat urin x kreatinin serum)/(fosfat serum x
kreatinin urin) x 100% (Kestenbaum dan Drueke, 2010).
13
Perubahan metabolisme fosfat merupakan konsekuensi dari PGK. Seiring
dengan penurunan LFG terdapat kompensasi peningkatan fraksi ekskresi fosfat
urin untuk mempertahankan kadar serum fosfat tetap normal. Diet fosfat, PTH,
dan phsophatonins (FGF23, FGF-7, dll) meregulasi ekskresi fosfat ginjal dengan
mengatur ekspresi sodium-phosphate transportes (NaPi-IIa, NaPi-IIc, dan type III
PiT-2) di membran apikal sel tubulus proksimal. Mekanisme kompensasi ini
terjadi hingga stadium PGK semakin lanjut (Caravaca dkk., 2013).
Fraksi ekskresi fosfat urin menstandarisasi ekskresi fosfat terhadap
perbedaan konsentrasi urin dan kadar fosfat serum pada waktu yang sama,
merupakan pengukuran awal mengetahui handling fosfat oleh ginjal (Gutierrez,
2005).
2.3.1 Fosfat Serum dan Urin
Fosfat berperan penting dalam membentuk struktur dan metabolisme sel.
Fosfat ditemukan dalam bentuk mineral dan organik. Dalam sel, fosfat mengatur
regulasi aktivitas enzim dan berperan sebagai komponen asam nukleat dan
membran fosfolipid. Di luar sel, fosfat terdapat dalam gigi dan tulang sebagai
hydroxyapatite; kurang dari 1% bersirkulasi dalam serum. Fosfat bersirkulasi
dalam bentuk HPO42-
dan H2PO4-, dengan rasio 4:1 pada pH normal 7,4. Kadar
fosfat serum normal 2,8-4,5 mg/dl (0,9-1,5 mmol/l) (Kestenbaum dan Drueke,
2010). Pengaturan homeostasis fosfat terjadi di tubulus proksimal. Kadar fosfat
serum merupakan indikator tubulus handling (Bagga dkk., 2005). Distribusi fosfat
dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini.
14
Gambar 2.2
Distribusi fosfat (Kestenbaum dan Drueke, 2010)
Absorpsi dan reabsorpsi fosfat terutama di intestinal dan ginjal. Konsumsi
harian fosfat sekitar 800 mg-1500 mg, dan 65% dari fosfat tersebut diabsorbsi di
duodenum dan jejunum dan bervariasi sesuai dengan konsumsi fosfat melalui
proses para-selular dan intraselular (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Intra selular
proses di mediasi melalui sodium-phosphate co-transport yang terdapat pada vili
usus halus. Jalur para-selular merupakan gradient-dependent, transport pasif.
Terdapat 3 Sodium-Phosphate co-transport yang telah ditemukan: NaPi-I, NaPi-II
(a, b, dan c) dan NaPi-III. NaPi-IIb terletak di usus halus sedangkan NaPi-IIa dan
NaPi-IIc ditemukan di ginjal, sekitar 85% absorpsi fosfat melalui proses intra-
selular (Raina dkk., 2012). Di ginjal, PTH dan FGF-23 merupakan hormon
fosfaturik utama yang merangsang ekskresi fosfat urin (Kestenbaum dan Drueke,
2010). Keseimbangan regulasi fosfat terganggu pada penderita PGK. Penurunan
fungsi ginjal memperburuk fraksi ekskresi fosfat dan kapasitas maksimum
reabsorbsi tubulus fosfat (Biagio dkk., 2012). Homeostasis fosfat dapat dilihat
pada Gambar 2.3 dibawah ini.
15
Gambar 2.3
Homeostasis fosfat (Mirza, 2010)
Calcitriol, menstimulasi ko-transporter NPT2b, merupakan hormon utama
yang mengatur absorpsi fosfat di usus. Kation, seperti kalsium, magnesium, dan
aluminium, berikatan dengan fosfat di saluran cerna dan menghambat
absorpsinya. Pada hewan dan manusia, diet tinggi fosfat menyebabkan ekskresi
cepat fosfat di urin, tanpa peningkatan kadar fosfat serum (Kestenbaum dan
Drueke, 2010).
Ginjal merupakan organ utama yang mengatur homeostasis fosfat
ekstraselular. Fosfat di filtrasi di glomerulus dan di reabsorpsi di tubulus
proksimal. Dalam keadaan normal, jumlah fosfat yang difiltrasi sama dengan
jumlah fosfat yang diabsorpsi (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Homeostasis
fosfat dipertahankan oleh dua mekanisme: penurunan kadar 1,25(OH)2VitD, yang
menurunkan absorpsi fosfat di gastrointestinal; peningkatan kadar FGF-23 serum,
yang meningkatkan ekskresi fosfat ginjal (Evenepoel dkk., 2010).
16
Gambar 2.4
Regulasi fosfat serum. Panah hitam menunjukkan jalur aktivasi, panah merah
menunjukkan jalur inhibisi (Heine, dkk., 2012)
Fibroblast Growth Factor-23 menginduksi fosfaturia dan absorpsi fosfat
digastrointestinal berkurang sehingga kadar fosfat serum tetap normal. Sedangkan
PTH menginduksi calcitriol untuk mengaktivasi absoprsi fofat di gastrointestinal
dan osteoklas. Mekanisme ini terlihat pada Gambar 2.4.
2.3.2 Kreatinin Serum dan Urin
Kreatinin merupakan 113-d produk akhir metabolisme otot salah satu
indikator penting fungsi ginjal karena mudah diukur. Kreatinin berasal dari
metabolisme fosfokreatinin di otot, diet, dan suplemen dan beredar dalam
sirkulasi dalam jumlah tetap. Kreatinin tidak berikatan dengan protein dan filtrasi
di glomerulus. Klirens kreatinin dinilai melalui ekskresinya di urin dalam 24 jam
dan di serum (Allen, 2012, Stevens, 2010). Jika filtrasi di ginjal terganggu, maka
kadar kreatinin serum meningkat.
17
Kadar kreatinin darah dan urin dapat digunakan untuk menghitung klirens
kreatinin yang berhubungan dengan LFG. Setiap hari, 1-2% kreatin otot diubah
menjadi kreatinin. Pria memiliki kadar kreatinin lebih tinggi dibanding wanita.
Pengukuran kadar serum kreatinin merupakan tes sederhana dan indikator fungsi
ginjal yang paling sering digunakan (Taylor, 1989). Peningkatan kadar kreatinin
darah terlihat bila terjadi kerusakan nefron yang nyata. Tes ini tidak cocok
mendeteksi PGK stadium dini. Kadar kreatinin urin tidak memiliki nilai standar
dan biasanya digunakan dengan tes lain (Allen, 2012).
2.4 Hubungan Antara FGF-23 dan FEPi urin pada PGK Predialisis
Terdapat 2 cara untuk meningkatkan ekskresi fosfat urin; yang pertama
dengan meningkatkan volume ultrafiltrasi plasma dengan meningkatkan LFG
(hiperfiltrasi) dan yang kedua dengan meningkatkan FEPi urin. Tidak seperti pada
individu normal, pasien PGK tidak dapat menggunakan cara pertama, tetapi
mereka dapat meningkatkan FEPi urin untuk mempertahankan keseimbangan
fosfat. Peningkatan FEPi urin terutama melalui peningkatan FGF-23 pada PGK
stadium dini. Hormon paratiroid memiliki efek fosfaturia, tetapi PTH tidak
memberikan efek peningkatan FEPi urin pada PGK stadium dini. Hal ini
berdasarkan; pertama penelitian epidemiologis menunjukkan peningkatan FGF-23
dan FEPi urin mendahului peningkatan PTH selama progresivisitas PGK. Kedua,
penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan PTH pada PGK merupakan efek
sekunder penurunan calcitriol akibat peningkatan FGF-23 (Kuro-o, 2013).
Fibroblast growth factor-23 merupakan hormon yang meningkatkan
ekskresi fosfat per nefron dengan meningkatkan FEPi urin. Hal ini menunjukkan
bahwa FGF-23 bertanggung jawab mempertahankan homeostasis fosfat pada
18
PGK stadium dini, kadar FGF-23 darah berkorelasi dengan FEPi urin, dan dapat
dijadikan sebagai marker pengganti terhadap ekskresi fosfat per nefron (Kuro-o,
2013). Hubungan anatara FGF-23, fosfat serum, PTH pada PGK dapat dilihat
pada Gambar 2.5 dan 2.6. Pada kedua gambar tersebut dapat dilihat penurunan
massa ginjal yang terjadi pada PGK mengakibatkan berkurangnya Klotho
kemudian terjadi fosfaturia sehingga kadar fosfat serum tetap normal. Seiring
dengan progresivisitas PGK keadaan tersebut tidak dapat dikompensasi oleh
ginjal karena semakin berkurangnya Klotho, penurunan kadar vitamin D,
peningkatan PTH, penurunan kadar kalsium serum akibatnya akibatnya kadar
fosfat serum meningkat.
Gambar 2.5
Peran fosfat load, Klotho, dan FGF-23 pada hiperparatiroid sekunder PGK
(Adragao dan Frazao, 2012)
19
Gambar 2.6
Interaksi FGF-23 dan PTH pada PGK (Heine GH, Seiler S, Fliser D, 2012)
Beberapa studi potong lintang mendapatkan hasil kadar FGF-23
meningkat pada PGK dibanding individu sehat (Wolf, 2012). Pasien PGK
predialisis sebagian besar memiliki kadar serum fosfat normal umunya berada
pada stadium 3 dan 4 (Isakova, 2009). Gangguan metabolisme mineral terutama
fosfat sudah terjadi di awal perjalanan PGK (Tonelli, 2005), walaupun
hiperfosfatemia jarang didapatkan pada stadium dini PGK (Wahl P dan Wolf M,
2012). Kadar FGF-23 yang terus meningkat konsisten berhubungan dengan
peningkatan kadar fosfat serum, peningkatan fraksi ekskresi fosfat, estimasi LFG
menurun, dan penurunan 1,25 dihydroxyvitamin D, independen dari LFG (Wolf,
2012).
20
Gambar 2.7
Spektrum kadar FGF-23 pada PGK (Walf dan Wolf, 2012)
Peningkatan FGF-23 merupakan refleksi peningkatan produksinya oleh
osteosit karena fungsi ginjal terganggu, mendahului peningkatan fosfat serum dan
penurunan 1,25(OH)2D (Juppner dkk., 2010; Komaba dan Fukagawa, 2012). Hal
ini menunjukkan bahwa pada pasien PGK, FGF-23 meningkat untuk
mempertahankan fosfat serum tetap normal, terjadi penurunan produksi
1,25(OH)2D oleh ginjal dan kemudian hiperparatiorid sekunder (Komaba dan
Fukagawa, 2012). Walaupun pengukuran FGF-23 merupakan biomarker sensitif
terhadap pengaturan fosfat ginjal pada PGK stadium dini, belum diketahui
bagaimana osteosit mengetahui abnormalitas pada tubulus ginjal dan apakah
terdapat faktor spesifik dari ginjal yang memicu pelepasan FGF-23 dari tulang
sebagai respon peningkatan fosfat serum sementara atau sebagai respon terhadap
proses penyakit di ginjal (Juppner dkk., 2010). Berdasarkan hasil penelitian pada
pasien PGK predialisis dengan kadar serum fosfat normal, sebagian besar telah
terjadi peningkatan kadar serum FGF-23 (Isakova, 2009). Spektrum kadar serum
FGF-23 pada PGK dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Salah satu penelitian potong lintang dimana 74 penderita PGK (usia rata-
rata 64 tahun, dengan kadar kreatinin rata-rata 51±19 mL/min, 64% laki-laki, 12%
21
kulit hitam, 29% menderita diabetes melitus, dan 30% mengkonsumsi suplemen
kalsium) dengan hasil FGF-23 berkorelasi positif dengan serum fosfat (r=0,24,
p<0,03) dan klirens kreatinin (r=2,4, p<0,001) tapi tidak berkorelasi dengan diet
fosfat atau ekskresi fosfat urin 24 jam (p>0.05) (Houston, Smith, dan Isakova,
2013).
Penelitian kohort prospektif Multi-center Chronic Renal Insufficiency
Kohort pada 3.879 sampel meneliti FGF-23 sebagai biomarker perubahan
metabolisme fosfat pada stadium awal PGK. Kriteria inklusi pasien dewasa usia
21-74 tahun dengan PGK ringan-sedang, dengan LFG 20-70 ml/menit/1,73 m2.
Pada penelitian ini diperoleh kadar FGF-23 serum signifikan meningkat dan
ekskresi fosfat urin 24 jam menurun seiring dengan menurunnya LFG.
Pengukuran terhadap ekskresi fosfat urin 24 jam, FEPi urin, fosfat serum,
kalsium, PTH dengan hasil terdapat korelasi positif FGF-23 dengan PTH (r=0,37;
p<0,0001) dan fosfat serum (r=0,35; p<0,0001). Kadar FGF-23 berkorelasi positif
dengan FEPi (r=0,25; p<0,0001). Pada penelitian ini dapat dijelaskan peningkatan
FGF-23 kemungkinan berasal dari injuri pada ginjal, hal ini dapat menjadi
stimulus sekresi FGF-23 pada PGK stadium dini (Isakova, Wahl, Vargas dkk.,
2011).
Penelitian potong lintang lainnya mengukur kadar FGF-23 serum dan
FEPi urin pada 872 pasien dengan rerata LFG 71 ± 22 ml/menit/1,73m2. Hasil
penelitian mendapatkan median kadar FGF-23 adalah 42,3 RU/mL dan median
FEPi urin 15,7%. Laju Filtrasi Glomerulus berkorelasi negatif dengan kadar FGF-
23 serum (r= -0,35; p<0,05) dan FEPi urin (r= -0,40; p<0,05), sedangkan FGF-23
22
serum berkorelasi positif dengan FEPi urin (r=2,1; p<0,05) (Dominguez dkk.,
2013).
Penelitian oleh Sakan dkk., mendapatkan korelasi positif antara FGF-23
dan FEPi pada PGK stadium 1 (r=0,611, p<0,0001), PGK stadium 2 (r=0,711,
p<0,0001), dan PGK stadium 3 (r=0,613, p<0,0001) tetapi tidak berkorelasi pada
PGK stadium 4-5 (r=0,319, p<0,0504). Penelitian ini menghasilkan peningkatan
FGF-23 pada stadium dini PGK kemungkinan berasal dari terganggunya fraksi
ekskresi fosfat urin karena nefron rusak, bukan karena resistensi terhadap
defisiensi Klotho (Sakan dkk., 2014).