new bab ii tinjauan pustaka 2.1 komunikasi massa 2.1.1 …eprints.umm.ac.id/40884/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
-
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Massa
2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa
Menurut Bittner seperti yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, komunikasi
massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah
besar orang (Rakhmat, 2005:188). Perkembangan media komunikasi massa
terbilang begitu cepat. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio
siaran dan televisi (media elektronik); surat kabar dan majalah (media cetak); serta
media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto,
2007:3).
Komunikasi massa juga dapat dijelaskan melalui beberapa karakteristik.
Karakteristik tersebut antara lain: komunikator dalam komunikasi massa
terlembagakan. Komunikasi massa menggunakan media massa, baik media cetak
maupun elektronik. Komunikasi massa juga melibatkan lembaga dan
komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks (Ardianto, 2007: 6).
2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa
Menurut De Vito dalam Winarni (2003: 245), ada beberapa fungsi yang
diemban komunikasi massa, yakni:
1. Fungsi menghibur
Media massa sebagian besar melakukan fungsi sebagai media yang
memberikan penghiburan bagi khalayaknya. Hal ini terlihat pada acara-
acara humor, artikel humor, irama music, tarian, dan lain-lain. Dimana
-
10
pesan-pesan yang menghibur tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga
menarik dan menghibur khalayak.
2. Fungsi meyakinkan
Media mempunyai fungsi untuk meyakinkan khalayaknya. Persuasi
ini dapat dilihat dalam bentuk:
a. Mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan, atau nilai
seseorang
b. Mengubah sikap, nilai, kepercayaan seseorang
c. Menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu
d. Menawarkan etika atau sistem nilai tertentu
3. Menginformasikan
Media memberikan informasi tentang peristiwa, baik yang bersifat
lokal, regional, nas ional, dan internasional kepada khalayaknya. Kita tahu
bahwa sebagian besar informasi, kita dapatkan dari media. Baik itu
informasi musik, politik, film, seni, ekonomi, sejarah, dan lain-lain.
4. Menganugerahkan status
Menurut Lazarsfeld dan Merton dalam Winarni (2003: 46), “Jika
anda benar - benar penting, anda akan menjadi pusat perhatian massa dan
jika anda menjadi pusat perhatian massa, berarti anda memang penting”.
Sebaliknya, “Jika anda tidak mendapatkan perhatian massa, maka anda
tidak penting”. Orang - orang yang penting setidaknya di mata masyarakat
adalah orang-orang yang sering dimuat di media.
5. Fungsi membius
-
11
Fungsi membiusnya media terjadi bila media menyajikan informasi
tentang sesuatu, penerima percaya bahwa tindakan tertentu telah diambil.
Sebagai akibatnya penerima terbius dalam keadaan tidak aktif seakan
berada dalam pengaruh narkotik.
6. Menciptakan rasa kebersatuan
Media mampu menciptakan atau membuat kita sebagai khalayak
merasa menjadi anggota suatu kelompok.
a. Privatisasi
Media mampu atau memiliki kecenderungan menciptakan lawan
dari rasa kesatuan dan hubungan yaitu membuat seseorang untuk menarik
diri dari kelompok sosial dan menguatkan diri ke dalam dunianya sendiri.
b. Parasosial
Hubungan yang dikembangkan oleh pemirsa atau khalayak dengan
tokohtokoh media atau tokoh dramatik. Biasanya dalam bentuk menulis
surat, telepon, faksimili, e-mail, kepada tokoh-tokoh seperti dokter,
pengacara, dai, dan lain-lain untuk mendapatkan nasihat.
2.1.3 Efek Pesan Komunikasi Massa
Terdapat tiga efek pesan komunikasi massa, yaitu:
1. Efek Kognitif
Membahas tentang bagaimana media massa dapat membantu
khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan
mengembangkan keterampilan kognitifnya.
2. Efek Afektif
-
12
Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar memberi
tahu khalayak tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu. Khalayak
diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu, sedih,
gembira, marah, dan sebagainya.
3. Efek Behavioral
Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri
khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.
2.2 Abdi Dalem
Menurut Sudaryanto (2008) dalam Jurnalnya yang berjudul “Hak dan
Kewajiban Abdi Dalem Dalam Pemerintahan Keraton Yogyakarta” menyebutkan
bahwa, Abdi dalem merupakan kelompok sosial yang bekerja atau mengabdi pada
seorang raja. Tugas dari para abdi dalem adalah menjaga dan merawat seluruh
kompleks keraton baik berupa bangunan maupun budaya yang ada dan berkembang
di keraton. Dalam bahasa Jawa abdi dalem adalah Abdining Budoyo, sedangkan
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Abdinya Budaya, atau seseorang yang
bertugas untuk membantu mewartakan dan menjaga eksistensi budaya itu sendiri,
khususnya Budaya Jawa di keraton. Jadi bisa dikatakan bahwa abdi dalem
merupakan orang yang bekerja untuk mengabdi kepada raja dengan rasa ikhlas dan
juga loyal ataupun setia.
Abdi dalem dibagi menjadi dua, yaitu abdi dalem punokawan dan abdi
dalem keprajan. Abdi dalem punokawan bertugas di wilayah kutogoro/kutonegoro,
sementara abdi dalem keprajan bertugas di wilayah negaragung (negari) dan
mancanegara. Baik abdi dalem punokawan maupun keprajan sama-sama
-
13
melaksanakan pekerjaan Keraton Yogyakarta. Jika abdi dalem punokawan
melaksanakan pekerjaan di dalam Keraton Yogyakarta (semacam departemen
dalam negeri) sementara abdi dalem keprajan melaksanakan pekerjaan di luar
Kraton Yogyakarta (semacam departemen yang bertugas menjembatani Keraton
dengan wilayah-wilayah di luar kraton) (Satriani, 2017: 49-50).
Menurut Satriani (2017) Abdi dalem punokawan adalah seseorang yang
mendaftarkan diri secara langsung ke Keraton Yogyakarta untuk menjadi abdi
dalem melalui jalur umum sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Keraton Yogyakarta yaitu memiliki kepandaian tertentu seperti menari,
mendalang, memainkan gamelan dan sebagainya. Abdi dalem ini memiliki tugas
pokok dan gaji sesuai dengan pangkat dan kedudukan (kalenggahan) dalam tata
rakit pemerintahan Keraton Yogyakarta. Sedangkan abdi dalem keprajan adalah
abdi dalem yang berasal dari pegawai pemerintah. Berdasarkan keterangan salah
satu abdi dalem, keberadaan abdi dalem keprajan dipandang sebagai jalan tengah
yang memungkinkan dalam menghadapi perubahan jaman. Para abdi dalem
keprajan ini kemudian diharapkan mampu menyokong administrasi Keraton karena
keahlian yang mereka miliki. Mereka dapat mengajukan gelar kepangkatan yang
berlaku dalam sistem pemerintahan kerajaan.
Selain harus tunduk dan patuh kepada raja, abdi dalem juga mempunyai
kewajiban. Kewajiban tersebut disesuaikan dengan kelompok, tugas dan pangkat
yang mempunyai dasar berbeda – berbeda. Akan tetapi secara umum kewajiban
abdi dalem menurut Sudaryanto (2008) adalah sebagai berikut:
-
14
a. Caos, maksudnya mereka datang dan melaksanakan tugas sesuai dengan
pangkatnya.
b. Presensi, presensi ini dimaksudkan untuk mengecek apakah abdi dalem
tersebut datang, hal ini merupakan pembuktian tentang ketaatan dan
kedispinan seorang abdi dalem, selain itu presensi merupakan bukti yang
salah satunya dapat membantu kelancaran kenaikan pangkat.
c. Mengikuti upacara adat, karena salah satu tugas abdi dalem adalah
melestarikan budaya keraton maka abdi dalem memiliki kewajiban untuk
ikut serta dalam kegiatan upacara yang dilakukan oleh keraton, seperti;
mauludan, panjang jimat atau pembersihan pusaka dan upacara – upacara
lain yang dilakukan oleh keraton.
d. Merawat dan menjaga keraton baik bangunan dan budaya yang ada di
keraton, sebagai contohnya membersihkan keraton, menjadi pemandu
wisata keraton, menjalankan tugas administrasi keraton dan yang lain sesuai
dengan pangkatnya.
Selain itu, dalam tugas dan kewajibannya abdi dalem juga mendapatkan
upah dari raja. Upah abdi dalem biasanya disesuaikan dengan pangkat yang
disandangnya menurut Sudaryanto (2008) gaji abdi dalem keraton Jogyakarta
antara Rp 2.000,- sampai Rp 20.000,- perbulan.
2.3 Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
-
15
istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah kumpulan
praktik sosial yang melalui makna diproduksi, disirkulasikan, dan dipertukarkan
(Thwaites et al, 2011: 1).
Koentjaraningrat berpendapat bahwa budaya atau kebudayaan berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari
“buddhi” (budi atau akal). Jadi kebudayaan itu dapat diartikan ‘hal – hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal’. (Herusatoto, 2000: 6)
Budaya materil berupa materi yang mempunyai bentuk dan wujud tertentu
sepert alat musik, rumah adat, kerajinan dan lain-lain. Sedangkan budaya non
materiil berupa ideologi yang berisikan tentang kepercayaan ataupun mitologi serta
kosmologi. Pengertian tentang kebudayaan mengenal banyak definisi yang
berubah-ubah menurut kurun waktu yang sangat panjang. Perubahan budaya
tersebut tidaklah dapat diprediksi sepenuhnya benar oleh manusia, tergantung dari
perspektif mana manusia tersebut menginterpretasikannya.
2.4 Budaya Jawa
Secara antropologi budaya, masyarakat jawa merupakan masyarakat yang
dalam hidup kesehariaannya menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa yang
dipergunakan secara turun – menurun. Sedangkan secara geografis, suku bangsa
jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Yogyakarta,
Surakarta, Kediri, Malang dan Madiun. Sedangkan di luar wilayah tersebut
dinamakan pesisir dan ujung timur. Sedangkan Surakarta dan Yogyakarta
merupakan bekas kerajaan Mataram pada sekitar abad XVI dan merupakan pusat
dari kebudayan Jawa. Keduanya adalah tempat kerajaan terkahir dari pemerintahan
raja – raja Jawa (Zaairul Haq, 2011: 3).
-
16
Dalam perkembangaannya, budaya Jawa tak terlepas dari kepribadan orang
Jawa itu sendiri yang meliputi kemauan, kepercayaan, pandangan hidup, moral dan
etika. Dalam pemikiran masyarakat Jawa, seringkali sebuah ide ataupun cita-cita
dipertentangkan dengan rasio, nalar atau akal sehat karena ilmu pengetahuan yang
sebenarnya dalam pandangan Kejawen adalah bersifat gaib dan subjektif sekaligus.
Hal tersebut dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat Jawa juga merupakan
wawasan pribadi yang tidak dapat dirumuskan secara obyektif. Dalam pada itu,
ajaran-ajaran Jawa sebenarnya penuh dengan simbolisme dan ilmu rahasia (ngelmu)
yang memacu angan-angan dan renungan manusia (Mulder, 1984 : 23-24).
Secara garis besar, dalam mengenal kebudayaan masyarakat jawa adalah
sebagai berikut:
2.4.1 Mengenal masyarakat Jawa
Menurut Magnis Suseno dalam (Zaairul Haq, 2011: 1) adalah orang
yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk
asli bagian tengah dan timur pulau Jawa. Lebih lanjut, Magnis Suseno
menuturkan bahwa berdasarkan golongan sosial, orang Jawa dibedakan
menjadi tiga, yaitu :
a. Wong cilik (orang kecil) yaitu masyarakat yang terdiri dari para
petani dan mereka yang berpedapatan rendah.
b. Kaum Priayi yang terdiri dari pegawai dan orang – orang intelektual
c. Kaum Ningrat yang gaya hidupnya tidak jauh dari kaum Priayi.
2.4.2 Kepribadian manusia Jawa
Manusia jawa bisa dikatakan sebagai manusia yang mempunyai tipe
kepribadian unuk. Dikatakan unik karena tingkah laku mereka yang dengan sengaja
-
17
dilakukan dalam kombinasi berulang – ulang yang jarang dijumpai pada
kepribadian manusia lainnya. Misalnya, manusia Jawa melarang seseorang menaiki
sepeda motor atau kendaraan lainnya di halaman rumah seseorang. Hal tersebut
dilarang karena tidak sopan. Selain itu jika kita berbicara kepada orang yang lebih
tua harus menggunakan bahasa jawa halus atau boso.
Kepribadian manusia jawa yang unik ini didasari oleh semangat menunjung
tinggi nilai kearifan lokal Jawa yaitu ngunduh wohing pakarti. Maksudnya,
manusia Jawa memahami, menyadari, dan mempercayai bahwasannya sing nandur
becik bakal becik undhu – undhuane, sing nandur ala bakal ala undhu – undhuane
(yang menanam kebaikan pasti akan berbuah kebaikan, dan yang menanam
keburukan juga akan berbuah keburukan). Dasar ini mempunyai aura yang cukup
kuat dan memberikan energi yang hebat dalam membentuk kepribadian mereka.
Karena itu selalu kita dapati bahwa gaya kepribadian manusia Jawa mampu
memberikan pengaruh kepada lingkungan sekitarnya (Zaairul Haq, 2011: 9).
Sistem peralatan dan perlengkapan Hidup Orang Jawa cukup beragam.
Akan tetapi, belum ada salah satu buku yang membahas lebih mendalam tentang
sistem ini. Secara garis besar, yang tergolong dalam sistem peralatan dan
perlengkapan hidup orang Jawa adalah alat transformasi (andong), alat untuk
menaruh (gentong) dan pakaian adat Jawa (kebaya, blangkon, dan motif batik Jawa
seperti parang kusuma, grompol, tambal dan lain sebagainya).
Dalam bertutur kata, suku Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa
dalam bertutur kata sehari-hari. Meskipun dalam kenyataannya ada yang
menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa mengenal adanya suatu tingkatan,
-
18
yaitu bahasa ngoko, bahasa krama madya, dan bahasa krama inggil (Achmad, 2018:
117).
Dalam prakteknya, bahasa Jawa merupakan bahasa yang sangat sopan
dalam menghargai orang yang sedang diajak berbicara, khususnya ketika seseorang
yang lebih muda berbicara dengan orang yang lebih tua. Selain itu, pengaplikasian
bahasa Jawa yang krama seringkali dipraktekkan oleh bawahan (pembantu) kepada
seorang majikan. Dengan kata lain, kaum jelata ataupun rakyat biasa harus sopan
dalam penyampaian bahasanya kepada kaum priyayi atau bangsawan, yang
seringkali posisi mereka sebagai majikan. Bahasa jawa yang digunakan sehari –
hari ialah Ngoko dan Krama. Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk orang yang sudah
dikenal akrab terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat
atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko
Andap. Sebaliknya, Bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk bicara dengan yang
belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga
terhadap oaring yang lebih tinggi umur serta status sosialnya (Koentjaraningrat,
1976: 322-323).
Orang Jawa sangat terkenal dengan budaya keseniannya, terutama karena
pengaruh agama Hindu-Budha. Dalam perkembangannya, kesenian tradisi Jawa
bukan hanya berada di dalam lingkungan istana, namun juga mengalami
perkembangan di lingkungan kehidupan rakyat. Meskipun sama – sama dikenal
sebagai kesenian tradisi Jawa, terdapat beberapa perebedaan antara kesenia keraton
dengan kesenian rakyat. Kesenian keraton bukan hanya sebagai media tontonan,
namun juga sebagai media tuntutan yang sarat dengan tatanan. Sementara itu,
kesenian rakyat cenderung sebagai tontonan dan tidak memiliki tatanan sehingga
-
19
terlihat dinamis. Kesenian tradisi Jawa yang masih dilestarikan di dalam keraton
senantiasa mengandung ajaran – ajaran filosofis yang sangat berguna di dalam
membangun etika Jawa bagi masyarakat Jawa sendiri. Beberapa genre kesenian
keraton yang sekarang masih ada antara lain seni tari, seni wayang, dan seni
karawitan (Achmad, 2018: 176)
2.4.3 Pandangan hidup manusia jawa
Pandangan hidup manusia jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu
pandangan hidup dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap tuhan dan
alam semesta ciptaannya beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya.
Pandangan hidup manusia jawa tidaklah identik dengan aliran kepercayaan
terhadap tuhan yang maha esa atau Islam abangan atau Mistik Jawa dan lebih –
lebih dengan ilmu – ilmu klenik. Pandangan hidup manusia jawa bukanlah
singkretisme tetapi suatu semangat yang seringkali diberi nama Tantularisme.
Dinamakan demikian karena semangat ini bertumpu pada ajaran Empu Tantular
lewat kalimat Kakawin Sutasoma : Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangwa. Bermacam – macam sebutannya, tetapi tuhan itu satu – tidak ada
kebenaran yang mendua (Zaairul, 2011: 10-11).
Semangat Tantularisme merupakan sumber kekuatan Jawa. Karena
Tantularisme memancarkan cinta kasih sayang kepada sesama, yang juga diajarkan
oleh semua agama islam, Kristen, budha, hindu, dan lain lain, semua mengajarkan
cinta kasih kepada sesama. Berikut beberapa sistem kepercayaan Masyarakat Jawa
:
-
20
a. Sistem Religi dan Ilmu Gaib
Terdapat banyak sekali masalah dan alasan mengapa manusia melakukan
berbagai ritual untuk berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi
darinya. Salah satunya adalah lebih seringnya kekuatan tersebut di luar logika
manusia itu sendiri dan bersifat gaib. Praktek mistik sebagai sebuah bentuk
manifestasi yang berisi kepenuhan hidup dari moralitas dan pandangan hidup orang
Jawa. Misalnya, sakralisasi tempat dapat kita temukan pada kepercayaan tentang
manjurnya doa di makam-makam keramat, tentang gunung, dan tentang sendang.
Teori-teori terpenting perihal asal mula dan inti sebuah religi (ilmu gaib)
telah dirumuskan oleh (Koentjaraningrat, 1984: 221) adalah sebagai berikut:
1. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
manusia mulai sadar akan adanya paham jiwa.
2. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat
diterangkan dengan akalnya.
3. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan
maksud menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu
hidup manusia.
4. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam
sekelilingnya.
5. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu karena suatu
getaran atau emosi yang ditimbulkan dari dalam jiwa manusia
sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai masyarakatnya.
-
21
6. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
manusia mendapat suatu firman dari Allah.
Berbicara mengenai dunia gaib sebenarnya tidak akan ada habisnya, karena
dunia gaib telah diyakini manusia meskipun keberadaan alam tersebut tak tampak
oleh mata, artinya alam tersebut di luar batas panca indera dan batas akal manusia.
Akan tetapi, tidak ada salahnya kita mengkaji sedikit lebih dalam tentang dunia gaib
orang Jawa. Ketika dilihat dari segi kandungannya, dunia gaib sendiri diduduki atas
makluk yang berkekuatan gaib atau supranatural. Makluk yang meduduki alam gaib
itu adalah: dewa-dewa yang baik maupun jahat, mahluk-mahluk halus lainnya
seperti ruh-ruh leluhur, ruh-ruh yang lainnya yang baik maupun yang jahat, hantu
dan sebagainya serta kekuatan sakti yang bisa berguna maupun yang bisa
menyebabkan bencana.
Bersama-sama dengan itu, orang Jawa percaya pada sesuatu kekuatan yang
melebihi segala kekuatan di mana saja, yang sering kali dikenal dengan istilah
kesakten. Dalam alam kesakten itu sendiri, diduduki oleh arwah leluhur dan
mahkluk-mahkluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, hingga Jin. Menurut
kepercayaan orang Jawa dari sekian ruh halus itu, dapat mendatangkan
keselamatan, kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman dan sebaliknya, ruh tersebut
juga dapat menimbulkan gangguan pikiran dan kesehatan hingga kematian. Untuk
itu, orang Jawa seringkali memberikan sesajen kepada mahkluk-makluk halus
tersebut.
Sesajen merupakan hasil ramuan dari tiga macam bunga (kembang telon),
kemenyan, uang recehan dan kue apem yang diletakkan dalam besek kecil atau
-
22
bungkusan daun pisang. Pembuatannya biasanya di malam selasa kliwon dan jumat
kliwon. Sesajen tersebut seringkali di letakkan di bawah tempat-tempat yang
dianggap keramat. Pemberian sesajen tersebut, dalam rangka melestarikan
kepercayaan terhadap roh halus. Selain itu, agar tidak mengganggu keselamatan
dan ketentraman orang-orang seisi rumah.
b. Ajaran Kejawen
Ajaran kejawen yang dikenal dengan ajaran tentang “sangkan paraning
dumadi”, atau yang juga dikenal dengan nama ajaran tentang “Manunggaling
Kawula Gusti” adalah suatu ajaran yang berupaya menunjukkan ulah daya hidup
yang dinamakan sukma, yang bergerak menuju dan bersatu dalam daya hidup yang
diberi nama kasampurnan (Setyodarmodjo et al, 2007 : 14).
Kejawen bukanlah sebuah agama melainkan cara berpikir masyarakat Jawa
yang didasarkan pada Javanisme. Banyak sekali pandangan pakar antropologi
budaya mengenai pengertian kejawen itu sendiri. Sebenarnya, pengertian kejawen
atau kejawaan menurut kamus bahasa Inggris yang dikemukakan oleh Echols dalam
(Mulder, 1984: 16) adalah Javanesenes, Javanism yang merupakan deskriptif bagi
unsur-unsur kebudayaan Jawa yang mendefinisikannya sebagai kategori khas yang
tergabung dalam filsafat, yaitu suatu sifat dasar berperilaku dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa. Hal tersebut sebagai suatu sistem Javanisme yang
lengkap pada dirinya, secara langsung akan berisikan kosmologi, mitologi dan
seperangkat konsepsi yang pada akhirnya bersifat mistik sebagai sebuah sistem
gagasan yang pada gilirannya akan menerangkan etika Jawa, tradisi Jawa dan gaya
Jawa.
-
23
c. Dunia Mistik Orang Jawa
Kata mistik menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah hal-hal gaib yang
tidak terjangkau akal manusia, tetapi ada dan nyata. Para antropolog dan sosiolog
mengartikan mistik sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi,
dalam rangka memenuhi hasrat manusia untuk mengalami dan merasakan
kebersatuan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, mistik merupakan keyakinan yang
hidup dalam alam pikiran kolektif masyarakat. Alam kolektif akan kekal dan abadi,
meskipun masyarakat telah berganti generasi, kecuali jika masyarakat itu telah
lenyap.
Dunia mistik memang identik dengan orang Jawa. Tidak heran, kalau
banyak film yang berbau sihir, ilmu hitam, ataupun berbagai kejadian aneh,
tayangan semacam itu langsung mendapat sambutan yang meriah dari khalayak.
Mistik seakan sudah begitu kental, menyatu dengan masyarakat kita dan sulit untuk
dipisahkan sama sekali. Berbagai keyakinan tentang adanya hantu, tempat keramat,
azimat, dan santet yang masih dekat dengan mereka.
d. Kepercayaan Orang Jawa
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Akan
tetapi, yang menganut agama selain Islam juga banyak, seperti agama Kristen,
Budha dan Hindu dan aliran kejawen. Kepercayaan kejawen adalah kepercayaan
orang Jawa warisan nenek moyang, berkembang ketika zaman kerajaan-kerajaan di
Jawa. Acuan kepercayaan tersebut adalah berdasarkan kepercayaan animisme dan
dinamisme dengan pengaruh kerajaan Hindu-Buddha yang sangat kuat. Kaum
Kejawen selalu membahas hingga mencapai suatu pemahaman tentang substansi
untuk hubungan ideal antara manusia dengan Tuhan. Diantaranya ialah sangkan
-
24
paraning dumadi, manunggaling kawula gusti, dan kasampurnaning dumadi
(Achmad, 2018: 203).
Seiring dengan itu, pandangan alam pikiran partisipatif orang Jawa
seringkali percaya pada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan dimana saja
yang pernah diketahuinya maupun dikenalnya sebagai kesakten. Dalam ilmu
kesakten seringkali melibatkan campur tangan arwah leluhur dan mahluk-mahkluk
halus, misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit, serta Jin yang lainnya yang
menempati alam gaib sekitar tempat tinggal mereka. Bersamaan dengan itu,
menurut kepercayaan masyarakat Jawa masing-masing mahkluk halus tersebut
mampu mendatangkan berbagai kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, ataupun
keselamatan. Sebaliknya, roh halus tersebut juga dapat menimbulkan
gangguanpikiran, kesehatan, bahkan kematian. Untuk menghindari tiga hal diatas
yaitu gangguan pikiran, kesehatan dan kematian, maka yang seringkali dilakukan
oleh orang Jawa bahkan hal tersebut merupakan keharusan adalah melakukan
ruwatan (selamatan) dan seringkali dalam proses ritual tersebut terlihat seperangkat
sesaji (Koentjaraningrat, 1984: 347).
3 Moral dan etika masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang sangat setia dan
menjunjung tinggi noerma, etika, estetika, adat istiadat dan budaya yang diwariskan
secara turun menurun. Persoalan penting bagi masyarakat Jawa dalam kehidupan
adalah moral dan etika. Pendidikan moral dan etika menjadi pendidikan yang wajib
diajarkan kepada anak – anak/ keturunan mereka dengan maksud agar keturunan
mereka kelak menjadi manusia yang sadar dan waspada terhadap kehidupan dan
-
25
perkembangan zaman, dan pada akhirnya menjadi seorang yang jalma sulaksana
atau wicaksana (Zaairul, 2011: 13).
Menurut Magnis Suseno dalam (Achmad, 2018: 16) mengatakan bahwa
etika Jawa merupakan pandangan hidup yang berlandaskan moral, hati nurani, dan
olah rasa. Etika Jawa lebih menekankan dimensi keselarasan antar manusia. Dalam
masyarakat Jawa terdapat banyak sekali etika, misalnya mengenai etika berbicara,
berjalan di depan orang tua, bertamu dan sebagainya. Dalam interaksi sehari – hari
di masyarakat Jawa, orang lebih muda akan selalu membungkukkan badannya
ketika sedang berjalan di depan orang yang lebih tua. Etika ini bila dilihat sepintas
akan terlihat sangat sepele, namun sebenarnya etika ini menggambarkan sikap
tunduk atau hormat antara orang muda terhadap orang yang lebih tua.
Manusia pada umumnya mempunyai kesadaran moral. Mereka di beri
kelebihan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Persoalan
moral dalam masyarakat Jawa pun tidak bisa dianggap enteng. Masyarakat Jawa
sering kali menyebut ajaran moral dengan istilah pepali, inggah – ungguh, budi
pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutut, wejangan, wulungan, wursita,
wedharan, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil
hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empat papan, kalau dapat menempatkan
diri dalam hal unggah – ungguhing basa, kasar alusi rasa dan jugar genturing tapa.
Dalam Filsafat Jawa sangat menekankan pada kesempurnaan hidup dan
keselarasan hidup serta kerukunan hidup. Upaya tersebut semata-mata untuk
memenuhi tujuan yang sama yaitu mempererat suatu hubungan. Bambang
Kusbandrijo dalam (Setyodarmodjo et al, 2007 : 13-14) berpendapat, bahwa
manusia berpikir dan merenungi dirinya dalam rangka menemukan integritas
-
26
dirinya dalam kaitannya dengan Tuhan. Jadi, sebagian besar orang Jawa seperti itu,
mereka sangat meyakini sesuatu yang dominan dan melekat dalam dirinya adalah
sebuah intuisi. Dengan demikian, berfilsafat dalam artian luas di dalam kebudayaan
Jawa adalah menuju kesempurnaan “ngudi kasampurnaan”. Hal tersebut akan
bermuara pada satu titik akhir, yaitu pengakuan atas Tuhan yang seringkali disebut
“sangkan paraning dumadi”. Dalam pada itu, seringkali manusia itu mencurahkan
seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mencapai tujuan.
Menurut filsafat Jawa, manusia itu selalu berada dalam hubungan dengan
lingkungannya yaitu Tuhan serta alam semesta, dan menyadari kesatuannya. Untuk
itu, filsafat Jawa memandang manusia sebagai “manusia dalam hubungannya”,
ketika mengusahakan kesatuan cipta, rasa dan karsa. Berkat cipta-rasa-karsa
tersebut manusia dapat menentukan pola hidupnya.
Selain itu, Orang Jawa terkenal sebagai budaya yang sopan dan halus. Akan
tetapi, mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak terus
terang pada manusia yang lain. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga harmoni atau
keselarasan agar tidak terjadi konflik. Konflik dalam kehidupan orang Jawa berarti
mala petaka tersendiri bagi dirinya, karena untuk mewujudkan masyarakat Jawa
yang sopan seperti di atas, maka konsep tepo sliro harus tetap terjaga dalam satu
kesatuan eksistensi manusia (Zaairul Haq, 2011: 20).
2.4 Keluarga Jawa dan Relasi Gender Pasangan Suami Istri
Menurut Stoller dalam (Nugroho, 2008:2) pertama kali memperkenalkan
istilah gender untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada sosial
budaya dengan pendefinisian yang didasarkan dari ciri fisik biologis. Gender lebih
banyak berbicara tentang behavioral differences (perbedaan perilaku) antara laki-
-
27
laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial yaitu perbedaan yang bukan
ketentuan dari Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan
kultural. Dengan demikian gender dapat berubah dari tempat ke tempat, dari waktu
ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas. Sedangkan jenis kelamin biologis akan tetap
tidak berubah.
Menurut Widyatama (2006 :155) bahwa di tengah masyarakat, kaum laki-
laki dianggap sebagai pelindung, sementara perempuan sebagai pihak yang yang
menerima perlindungan. Berkaitan dengan pelindung maka laki-laki diumpamakan
sebagai sosok yang kuat secara fisik. Hal tersebut terbalik dengan perempuan yang
dikaitkan dengan sosok yang lemah. Ini membuktikan bahwa gender mengandung
konotasi secara sosial dan kultural bahkan psikologis yang membedakan peran yang
dijalankan antara perempuan dan laki-laki.
Kedudukan dan peran yang berbeda secara sosial memunculkan tuntutan
yang lebih besar terutama dari perempuan (Widayatama, 2006 : 31). Misalnya,
melahirkan dan menyusui adalah peran feminin, namun membesarkan anak adalah
peran dari gender yang dilakukan oleh keduanya. Kemudian bekerja dikaitkan
dengan peran laki-laki, mengurus rumah tangga adalah peran perempuan. Bekerja
dan mengurus rumah tangga adalah peran gender yang bisa saja diubah dan dituntut
oleh perempuan. Bekerja untuk mencari uang bisa dilakukan oleh siapa saja,
termasuk perempuan. Begitu pula dengan mengurus rumah tangga, seperti
memasak, mencuci, juga bisa dilakukan oleh laki-laki.
Sementara itu, bagi masyarakat Jawa, perempuan yang sejati dipandang
sebagai perempuan yang lembut, dan mampu berperan dengan baik dalam urusan
dapur, rumah tangga, dan mampu merawat anak-anak serta berperilaku baik di
-
28
tempat tidur. Dalam istilah perkawinan “konco wingking” yang artinya teman di
dapur serta masih adanya prinsip di sebagian masyarakat tradisional jawa bahwa
swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka juga ikut) menggambarkan
posisi lemah kaum perempuan Jawa Widyastuti dalam (Handayani dan Novianto
2005 : 51)
Selain itu dalam posisi kehormatan dalam mata pencaharian, sebisa
mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif
perempuan tidak boleh melebihi suami (Handayani dan Novianto, 2005 : 208).
Dalam konteks ini, istri harus selalu menghargai dan menghormati suami dan
memenuhi segala kebutuhan dalam bentuk apapun termasuk kebutuhan birahi.
Berkaitan dengan hal tersebut, perempuan Jawa sebenarnya memiliki sumbangsih
yang sangat besar baik bagi suami, anak maupun keluarga. Posisi istri bisa
dikatakan sebagai manajer kontrol yang membuatnya lebih kuat dari pada laki-laki.
2.5 Konsep Kekuasaan Jawa
Pengertian kekuasaan dalam paham Jawa menekankan upaya untuk
menyatukan hal – hal yang bertolak belakang, penggambaran klasiknya adalah
kombinasi laki – laki dan perempuan. Dalam kaitannya konsep kuasa dan sejarah,
kultur Jawa tidak menempatkan diri pada satu posisi ekstrim. Jika dalam perspektif
barat sejarah dilihat sebagai gerak linier melintas waktu maka dalam tradisi Jawa
cenderung memahaminya sebagai serangkaian daur yang berulang.
Menurut konsep Jawa, kekuasaan pada hakikatnya bersifat homogen,
bersifat satu dan sama saja sepanjang waktu. Konsep kekuasaan Jawa tidak
membutuhkan legitimasi formal. Legitimiasi kekuasaan justru didapatkan dari apa
yang sering orang sebut sebagai wahyu. Untuk menjadi legitimasi, raja menjadi
-
29
objek kehormatan keagamaan dimana ia memiliki prioritas untuk mendapatkan
supranatural. Raja dipandang sebagai sesuatu yang dalam pengertian tertentu
bersifat kedewaan sehingga sebagai figur religius ia berhak memerintahkan
penyembahan dan pelayanan dari penduduk kerajaannya. Dalam pencitraan
semacam ini, raja berada di pusat sekaligus puncak kehidupan sosial. Sebagai figur
yang mengandung kesaktian, orang harus memberkan hormat dan tunduk
kepadanya (Handayani dan Novianto, 2004: 104).
2.6 Video klip
Video klip merupakan gabungan dari musik dan lagu sebagai unsur audio
(dapat didengar) serta gerakan atau gambar sebagai unsur visual (dapat dilihat).
Penggabungan ini berfungsi untuk lebih menjelaskan suatu makna. Video klip juga
bisa dijadikan sebagai media promosi para pelaku musik. Banyak produser dari
berbagai macam industri musik yang memasarkan band melalui video klip kepada
masyarakat di media televisi, internet dan kepingian CD di toko – toko musik.
Selain itu, video klip juga merupakan ruang ekspresi dari budaya yang ada
sekarang. Fiturnya yang pendek dapat langsung menarik perhatian penikmat musik
itu sendiri. Apalagi jika band favortinya yang tampil, mereka akan merasa terhibur
karena adanya gambar dan alur cerita dalam video klip tersebut.
Dalam video klip terbagi dari beberapa tipe yang berbeda. Banyak teknik
dan gaya bercerita serta visualisasi yang dapat digunakan untuk membuat video
klip. Seperti sinkronisasi ritem musik dan visual. Para pemerhati dan pakar video
klip membagi video klip ke dalam beberapa tipe, diantaranya cinematic video,
performance clips, photography video dan conceptual clips. Cinematic video yaitu
video klip yang menitikberatkan pada narasi dan jalan cerita yang jelas. Sedangkan
-
30
Photographic video yang kebalikan dari cinematic video tidak menitikberatkan
pada jalan cerita atau narasi. Bahkan cenderung untuk mengabaikan cara tutur film
pada umumnya. Sedangkan conceptual clip merupakan video yang memiliki plot
dan jalan cerita dengan beberapa sub bagian. Mulai dari naratif music video yang
gaya visualisasinya sesuai dengan apa yang ingin diceritakan oleh lirik musiknya
hingga non-naratif musik video yang mengabaikan jalan cerita dengan
mementingkan penggabungan antara musik dan visual untuk membangkitkan
emosi kepada audiens.
Masing-masing teknik punya kelebihannya masing-masing, dan setiap
sutradara memliki kecenderungan dan ciri khasnya masing-masing. Kecenderungan
untuk memilih teknik dan gaya visualisasi ini bisa disebabkan karena faktor dari
musik atau band itu sendiri Setiap band atau musik telah memiliki ruh nya
tersendiri, misalnya genre musiknya ataupun konsep yang diusung oleh band
tersebut. Hal ini kemudian menjadi pertimbangan tersendiri dalam memvisualkan
karya music tersebut kedalam bentuk video.
Seperti zaman sekarang, video klip tak hanya dijadikan sebagai ajang
promosi semata, melainkan juga digunakan sebagai sarana untuk memperkuat
pesan yang ingin disampaikan oleh musisi. Seperti dalam video klipnya Rise
Againts yang berjudul Hero Of war, disana menampilkan tentara amerika yang
depresi akibat krisis perang di timur tengah. Musuh mereka juga menjadi teman
mereka sendiri ketika bertugas. Menjadikan tingkat dilema dan depresi yang sangat
mendalam. Apalagi banyak kasus tentara amerika yang depresi sesuai pulang dari
timur tengah. Dalam hal ini video klip telah menjadi media berekspresi anatara
-
31
pelaku musik dan sineas untuk menyampaikan pesan yang dituliskan lewat lagu,
dan ditampilkan secara visual.
2.7 Musik dan Visual
Semua genre musik yang akan digunakan dalam pembuatan video klip
nantinya akan tetap sama memperhitungkan satu hal dasar yang mampu
menghubungkan antara musik dan visual. Hubungan antara musik dan visual seperti
suatu fenomena di alam bawah sadar, dimana untuk menjabarkannnya harus melalu
respon secara emosional yang di dapat dari suatu musik tersebut.
Dalam mencoba memvisualisasikan musik harus ada respon yang berbeda
pada tiap bagian musik. Misalnya saja pada suatu bagian dari musiknya terdengar
seperti bunyi tong yang sedang di jatuhkan, sedangkan pada bagian lain terdengar
seperti bunyi angin dengan jalanan yang sepi. Perubahan – perubahan yang ada di
tiap bagian harus di pertimbangakan dengan baik agar dapat menciptakan hubungan
antara musik dan visualnya. Banyak video klip yang berusaha untuk dapat
menampilkan hubungan musik dengan visual. Untuk menjadi video yang benar –
benar berhasil maka harus bisa menggabungkan dan mencocokkan musik dan
visual tersebut dengan baik pula, dan itu bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.
Hubungan antara musik dan visual dapat tercipta karena adanya konsep.
Misalkan suatu musik yang terdengar seperti alunan nada syahdu, maka visualnya
akan berupa sesuatu yang syahdu juga.
2.8 Video Klip Sebagai Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak
dan elektronik). Sebab, di awal perkembanganya saja, komunikasi massa berasal
dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa)
-
32
(Nurudin, 2007: 4). Jadi Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan
oleh komunikator melalui media massa pada komunikan dengan jumlah yang
begitu besar.
Pesan bisa berupa lisan ataupun tulisan melalui beberapa saluran seperti
cetak dan elektronik. Melalui ragam bentuk pesan dan saluran komunikan dapat
leluasa menentukan melalui media apa pesan tersebut akan dipilih, demikian
dengan musisi sebagai komunikator yang menyampaikan pesan dalam bentuk lagu
melalui media vinyl atau piringan hitam, kaset, maupun Compact Disc (CD) yang
kemudian diperkuat dengan video klip yang menerjemahkanya ke dalam bahasa
visual. Video klip juga merupakan bentuk dari komunikasi massa, dimana di
dalamnya terdapat komunikasi satu arah dari media internet/ televisi kepada
khalayak. Proses pembuatan dari video klip juga melibatkan orang banyak. Setelah
video klip tersebut sudah jadi, maka akan di distribusikan kepada khalayak dalam
hal ini adalah komunikan. Video klip sendiri juga bisa dijadikan sebagai media
untuk penyampaian pesan.
2.9 Video Klip Sebagai Semiotika Komunikasi Visual
Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah
sebuah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan
sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda misalnya dari sistem semiotika seni. Di
dalam sistem semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’, yaitu
fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengirim pesan
(sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan aturan atau kode-kode
tertentu. Fungsi komunikasi mengharuskan ada relasi (satu atau dua arah) antara
pengirim dan penerima pesan, yang dimediasi oleh media tertentu.
-
33
Meskipun fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk
komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikansi, yaitu fungsi dalam
menyampaikan sebuah konsep, isi, atau makna. Ini berbeda dengan bidang lain,
seperti seni rupa (khususnya seni rupa modern) yang tidak mempunyai fungsi
khusus komunikasi seperti itu, akan tetapi ia memiliki fungsi signifikansi. Fungsi
signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang bersifat kongkret dimuati
dengan konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umum disebut petanda
(signified). Dapat dikatakan disini, bahwa meskipun semua muatan komunikasi dari
bentuk-bentuk komunikasi visual ditiadakan, ia sebenernya masih mempunyai
muatan signifikasi, yaitu muatan makna.
Efektivitas pesan menjadi yang utama dari desain komunikasi visual.
Berbagai desain bentuk komunikasi visual: iklan, fotografi, poster, film, karikatur,
acara televise, video klip adalah diantara bentuk-bentuk komunikasi visual, yang
melaluinya pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer,
produser, copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa).
Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih luas,
yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media, pesan,
kode (bahkan juga noise). Semiotika Komunikasi menekankan aspek produksi
tanda (sign production) di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media
ketimbang sistem tanda (sign system). Di dalam semiotika komunikasi, tanda
ditempatkan pada rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting
dalam menyampaikan pesan (Tinarbuko, 2008: 23).
-
34
2.10 Makna
Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan
istilah yang membingungkan (Sobur, 2006: 255). Orang-orang sering
menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah
benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan bahwa pesan itu tidak sama
dengan makna pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa
memiliki satu makna. Secara semiotika, pesan adalah penanda dan maknanya
adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber
ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa
ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya
dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan
pemahaman
2.11 Semiotika
Semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda” atau seme
yang berarti “penafsiran”. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya
berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal
mana objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek
itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda
(Sobur, 2006: 63).
-
35
Semiotika menurut Berger memiliki 2 tokoh, yakni Ferdinand de Saussure
dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika
secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di
Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce
filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkanya semiologi. Semiologi
menurut Saussure seperti dikutip (Hidayat, 1998: 26), didasarkan pada anggapan
bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama
berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya system pembedaandan konvensi
yang mementingkan makna itu. Dimana ada tanda disana ada sistem (Tinarbuko,
2008: 11-12).
Dalam tanda terungkap citra bunyi atau konsep sebagai dua komponen yang
tak terpisahkan. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat bebas (arbiter), baik
secara kebetulan maupun ditetapkan. Arbiter dalam pengertian penanda tidak
memiliki hubungan alamiah dengan petanda. Menurut Saussure prinsip kearbiteran
bahasa atau tanda tidak dapat diberlakukan secara mutlak atau sepenuhnya.
Terdapat tanda-tanda yang benar-benar arbiter, tetapi juga ada yang relatif.
Kearbiteran bahasa sifatnya bergradasi. (Budiman, 1999, dalam Sobur , 2006: 54).
Proses pemberian makna (signifikasi) tanda terdiri dari dua elemen tanda.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari dua elemen tanda (signifier, dan signified).
Signifier adalah elemen fisik dari tanda, kata, image atau suara. Sedangkan
signified adalah meunjukkan konsep mutlak yang mendekat pada tanda fisik yang
ada. Sementara proses signifikasi menunjukkan antara tanda dengan realitas
aksternal yang disebut referent.
-
36
Signifier dan Signified adalah produksi kultural hubungan antara kedua
(arbiter) memasukkan dan hanya berdasar konvensi, kesepakatan, atau peraturan
dari kultur pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signified dan signifier tidak
bisa dijelaskan dengan nalar apapun, baik pilih bunyi-bunyian atau pilihan yang
mengaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau konsep yang dimaksud.
Karena hubungan yang terjadi antara signified dan signifier harus dipelajari yang
berasal ada struktur yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan.
Semiotika sebagai sebuah disiplin “ilmu tentang tanda” (the science of sign)
pastinya memiliki prinsip, sistem, aturan dan prosedur-prosedur yang khusus. Akan
tetapi, ilmu semiotika tidak dapat disamakan oleh ilmu-ilmu alam yang pasti, yang
menuntut ukuran-ukuran matematis untuk menghasilkan sebuah pengetahuan
objektif sebagai sebuah kebenaran tunggal. Semiotika bukanlah ilmu yang memiliki
kebenaran tunggal dan pasti macam itu, melainkan sebuah ilmu yang dibangun oleh
pengetahuan yang lebih luas dan terbuka untuk aneka interprestasi.
Semiotika adalah sebuah ilmu yang lebih dinamis dan terbuka bagi berbagai
bentuk pembacaan dan interprestasi yang tidak dapat menentukan pernyataan
tersebut benar atau tidak. Logika semiotika adalah logika dimana interpretasi
bukanlah logika matematika yang hanya menjawab seperti itu, melainkan logika
yang diukur derajat kelogisanya yaitu interpretasi yang satu lebih masuk akal dari
yang lainya.
2.12 Semiotika Roland Barthes
Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di
Cherbourgh dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah
barat daya Perancis. Semiotika dalam pandangan Barthes pada dasarnya hendak
-
37
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda
(Sobur, 2006: 63).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland
Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara
konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diaharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan Order of Significations.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peranan pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes
menjelaskan apa yang disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh
Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mitologinya secara tegas ia
bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2006: 68-
69).
Roland Barthes mengembangkan 2 sistem pertandaan bertingkat, yang
disebutnya sistem denotasi dan konotasi. Barthes menggunakan istilah Order of
Significations. First Order of Signification adalah denotasi. Sedangkan konotasi
adalah Second Order of Significations. Tatanan yang pertama mencakup penanda
-
38
dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi.
Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain
yang melekat pada tanda (yang kemudian dianggap sebagai penanda). Pemaknaan
baru inilah yang kemudian menjadi konotasi (Piliang, 2012: 12).
Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari
rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda dan konsep
abstrak yang ada di baliknya. Pada sistem konotasi atau system penandaan tingkat
kedua-rantai penanda atau petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan
seterusnya berkaitan dengan penanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi
(Piliang, 2012: 13).
Denotasi merujuk pada apa yang diyakini akal sehat/orang banyak
(common-sense), makna yang teramati dari sebuah tanda. Makna denotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau
antara tanda dan rujukanya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit,
langsung dan pasti. Konotasi dibentuk oleh tanda-tanda (kesatuan antara penanda
dan petanda) dari system denotasi. Petanda konotasi bersifat umum, global, dan
tersebar, disebut juga sebagai fragmen dari ideologi (Sobur, 2006: 13).
Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaanya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran
denotatif (Sobur, 2006 : 69).
Pada dasarnya, ada perubahan antara denotasi dan konotasi dalam
pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes.
-
39
Dalam penegertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah,
makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan
referensi atau acuan. Proses signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi
merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan
ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai
reaksi yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini.
Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah
konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap
berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harifah”
merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1992: 22).
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam satu periode tertentu. Di
dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun
sebagai suatu yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah
ada sebellumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan
tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa
petanda (Sobur, 2006: 72).
Mitos adalah sebuah cerita dimana suatu kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Mitos primitive adalah mengenai
hidup dan mati, manusia dan Tuhan, baik dan buruk. Sementara mitos terkini adalah
soal maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang kesuksesan, tentang
politisi Inggris, tentang ilmu pengetahuan. Mitos bagi Barthes, sebuah budaya cara
berfikir tentang sesuatu, cara mengonseptualisasi atau memahami hal tersebut.
-
40
Barthes melihat mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep yang berelasi.
Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun
ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara
termotivasi. Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang
membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas
hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan
ada, dan itulah sebabnya Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi
budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan, dengan demikian
ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke
dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut
pandang dan lain sebagainya (Sobur, 2006 : 71).