new and re emerging disease
DESCRIPTION
New and Re Emerging DiseaseTRANSCRIPT
1.1 Pengertian Emerging Infectious Diseases
Emerging infectious diseases adalah penyakit dengan insidensi yang meningkat atau
yang diperkirakan akan meningkat dalam suatu periode waktu atau lokasi. Menurut WHO,
Emerging infectious diseases (EID) adalah penyakit yang pertama kali muncul dalam suatu
populasi, atau penyakit yang telah ada sebelumnya tetapi mengalami peningkatan insidensi
atau area geografis dengan cepat.
Emerging infectious diseases merupakan penyakit infeksi yang kejadiannya pada manusia
meningkat dalam dua dasawarsa/ dekade terakhir atau cenderung akan meningkat di masa
mendatang. Secara umum EID dapat dibagi dalam tiga kelompok penyakit, yaitu:
a. Penyakit menular baru (New Emerging Infectious Diseases)
b. Penyakit menular lama yang cenderung meningkat (Emerging Infectious Diseases)
c. Penyakit menular lama yang menimbulkan masalah baru (Re-Emerging Infectious
Diseases)
Emerging infectious diseases dapat terjadi karena:
a. Mikroorganisme dapat terus berubah/ mutasi atau timbul yang baru
b. Kepadatan penduduk
c. Faktor sosial ekonomi
d. Faktor lingkungan
Emerging infectious diseases sebagian besar (tidak semua) berhubungan dengan zoonosis
(penyakit yang berhubungan dengan hewan) dan mempunyai dampak internasional karena
dapat terjadi PHBEIC (Public Health Emergency Of International Concern), suatu keadaan
gangguan kesehatan (bisa penyakit, atau dampak kimia/ radiasi, dll) yang menjadi perhatian
internasional yang dapat menyebar antar negara.
Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dua permasalahan ini selalu muncul hampir
disetiap tahunnya,yaitu :
- Evolusi dari microbial agent seperti variasi genetik, rekombinasi, mutasi dan adaptasi
- Hubungan microbial agent dengan hewan perantara (zoonotic encounter)
- Perubahan iklim dan lingkungan
- Perubahan perilaku manusia seperti penggunaan pestisida, penggunaan obat antimikrobial
yang bisa menyebabkan resistensi dan penurunan penggunaan vaksin.
- Perkembangan industri dan ekonomi
- Perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu (travel diseases)
- Perang seperti ancaman penggunaan bioterorisme atau senjata biologis.
Beberapa faktor, termasuk pengembangan ekonomi dan penggunaan lahan, demografi
dan perilaku manusia, dan perjalan internasional dan perdagangan, memberikan kontribusi
pada penyakit emergence dan re-emergence.
Banyak microbial agent (virus, bakteri, jamur) yang telah terindikasi menyebabkan
wabah penyakit bagi manunsia dan juga memiliki karakteristik untuk mengubah pola
penyakit tersebut sehingga menyebabkan wabah penyakit yang baru. Seperti yang dirilis
dalam National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yang membagi menjadi 3
kelompok besar, yaitu :
Grup I : Pathogen baru yang diakui dalam 2 dekade terakhir
Grup II : Re-emerging pathogen
Grup III : Pathogen yang berpontesial sebagai bioterorisme
1.2 Epidemiologi Emerging Infectious Diseases
Penyakit-penyait infeksi terus menjadi tantangan utama di daerah Asia Tenggara.
Diperkirakan bahwa penyakit bertanggung jawab atas sekitar 40% dari 14 juta kematian
setiap tahun di region Asia Tenggara dan sekitar 28% merupakan penyakit infeksi yang
menjadi permasalahan global.
Perkembangan berbagai penyakit re-emerging diseases dan new emerging diseases
kembali mengancam derajat kesehatan masyarakat. Penyakit menular tergolong reemerging
diseases yang menjadi perhatian saat ini adalah Poliomyelitis, Tuberkulosis, Dengue Demam
Berdarah, HIV-AIDS, Demam Typhoid & Salmonellosis, Leptospirosis, Anthrax, Rabies,
Pes, Filariasis, Kolera & penyakit diare lainnya, Pneumococcal pneumonia & penyakit ISPA
lainnya, Diptheria, Lepra, Infeksi Helicobacter, Ricketsiosis, Pertussis, Gonorrhea & penyakit
infeksi menular seksual lainnya, Viral hepatitis, Campak, Varicella/Cacar Air, Chikungunya,
Herpes, Japanese encephalitis, Infectious Mononucleosis, infeksi HPV, Influenza, Malaria
dan lain-lain. Sedangkan kemunculan penyakit new emerging disease diantaranya ditandai
dengan merebaknya Avian Flu mulai bulan Juni 2005 yang lalu, hingga tanggal 18 Maret
2007 telah mendekati ribuan Kasus dan sebanyak 86 orang diantaranya Positif Avian flu serta
meninggal 65 orang. Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian kasus Avian flu pada
manusia di Indonesia kini adalah 75,6 persen. Penyakit infeksi yang baru muncul (New
Emerging Diseases) dan mengancam saat ini sebagian besar adalah penyakit bersumber
binatang, misalnya SARS, Avian flu, Hanta-virus Pulmonary Syndrome, Hanta-virus
infection with renal involvement, Japanese Encephalitis, Nipah diseases, West Nile Fever,
dan E. Coli.4
Berikut adalah penjelasan dari beberapa Emerging Infectious Diseases yang pernah
terjadi didunia:
a. Infeksi virus hanta adalah penyakit infeksi paru yang jarang tapi serius, sering fatal,
disebabkan oleh virus hanta tipe Sin Nombre, sedangkan tipe lain menyerang ginjal.
Virus hanta ditemukan pada rodent, terutama di amerika utara. Tertular bila menghisap
debu terkontaminasi liur, kencing, cairan tubuh virus yang terinfeksi. Dilaporkan
beberapa jenis tikus tertentu di beberapa pelabuhan laut menunjukkan tes serologi positif
terhadap virus hanta.
b. Infeksi virus Ebola pertama kali ditemukan di Sudan dan Aire 1976. Kejadian Luar Biasa
(KLB) berikutnya 1995, 2000-2001. Sampai Desember 2003 masih terjadi KLB di
beberapa negara Afrika. Angka kematian 50-90%. Cara terinfeksi kontak langsung
dengan darah, sekret, organ, dan cairan tubuh penderita/binatang terinfeksi. Reservoir
alami adalah primata dan kelalawar. Dilaporkan bahwa tes serologi pada kera di Jawa
Barat dan Lampung menunjukkan positif terhadap virus Ebola.
c. Avian influenza disebabkan oleh virus influenza H5N1, terjadi KLB pada tahun 1997 dan
2003. Penyakit disebabkan oleh virus influenza yang menyerang unggas, burung, ayam.
Menular dari unggas ke unggas, ke hewan lain dan ke manusia. Penularan dari manusia
ke manusia kemungkinannya kecil tetapi potensial terjadi terutama bila terjadi mutasi.
Secara kumulatif kasus avian influenza pada tahun 2007 mencapai 118 orang dan 95
diantaranya meninggal. Februari 2008 jumlah kasus 126 orang dan 103 meninggal dunia.
Angka kematian mencapai 80,5%.
d. SARS merupakan penyakit infeksi pada jaringan paru manusia, pertama kali ditemukan di
Cina pada tahun 2003 yang disebabkan oleh Corona Virus Pnemunia yang bermutasi
hingga terjadi pandemi. SARS memiliki angka penularan yang tinggi dan pada tahun
2003 WHO menetapkan SARS merupakan ancaman kesehatan global. Penularan infeksi
melalui inhalasi pernapasan dari pasien yang menderita pada saat batuk atau bersin, atau
kontaminasi tangan penderita.
e. Influenza A baru disebabkan oleh virus influeza tipe H1N1. WHO mengumumkan
pandemi global pada tahun 2009. Meskipun influenza yang ditimbulkan termasuk ringan,
tetapi penyebarannya sangat mudah dari manusia ke manusia menyebabkan tingginya
tingkat kesakitan karena virus influenza ini. Hingga sekarang karakteristik virus H1N1
masih tetap sama dengan karakteristik virus pertama yang terjadi di Meksiko, tetapi ada
kekhawatiran perubahan atau mutasi genetik dari virus influenza A baru (H1N1) menjadi
lebih berat daripada saat ini.
f. HIV/AIDS merupakan penyakit yang mengancam penduduk dunia saat ini. Ditemukan
pertama kali di Amerika 20 tahun yang lalu. Penyakit ini adalah sekumpulan gejala yang
terjadi akibat menurunnya daya tahan tubuh seseorang. Disebabkan oleh virus HIV yang
ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang
berulang kali dan bergantian, dll. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia telah bergerak dari
satu tingkat epidemi rendah yaitu prevalensi <1% tingkat epidemi terkonsentrasi dimana
pada kelompok resiko tinggi tertentu telah melebihi 5% seperti di Sorong, Merauke, Riau
untuk kelompok wanita pekerja seksual (WPS) dan Jakarta, Bali untuk kelompok
Intravena Drugs Users (IDUs). Laporan HIV/AIDS di Indonesia secara kumulatif tahun
2001 tercatat 671, HIV 1904 namun diperkirakan di Indonesia teradapat 80.000-120.000
ODHA artinya dalam 10 taun mendatang kemungkinan akan ditemukan 100.000 orang
yang sakit dan meninggal karena AIDS.
g. Tuberkulosis (TB), membunuh manusia secara global daripada agen infeksi tunggal
lainnya. Diperkirakan sepertiga populasi dunia (1,86 miliar jiwa) terinfeksi
mikobakterium tuberkulosis dan 16,2 miliar telah mengalami penyakit TB. Walaupun TB
penyakit yang dapat diobati, karena kurangnya obat di beberapa negara, dan durasi
pengobatan yang lama sehingga menimbulkan resistensi, akibatnya TB menjadi sulit
untuk diterapi.
h. Dengue Hemorragic Fever, merupakan infeksi Arbovirus yang membutuhkan perhatian
di Asia Tenggara dengan 1,3 miliar jiwa manusia berisiko. Penyakit ini ditularkan oleh
vektor nyamuk Aedes Aegepty. Peningkatan demam Dengue di area tropis dan subtropis
disebabkan oleh faktor pertumbuhan populasi penduduk yang cepat, peningkatan
urbanisasi, suplai air yang tidak adekuat dan pembuangan limbah yang tidak adekuat.
i. Malaria, merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium. Menurut WHO
hingga tahun 2005 malaria menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara. Penyakit ini
menyerang 350-500 juta orang setiap tahunnya. Resistensi plasmodium terhadap obat
malaria, resistensi vektor terhadap insektisida serta perpindahan penduduk dari dan ke
daerah endemis merupakan faktor yang memperngaruhi meningkatnya masalah malaria.
j. Pes adalah penyakit zoonotik yang disebabkan Yersinia Pestis, ditularkan melalui pinjal
tikus (gigitan atau kontak dengan jaringan binatang terinfeksi). Tingkat kematian 50-60%
bila tidak diobati. Daerah endemis adalah Asia, Afrika dan Amerika. Walaupun kasus pes
terakhir ditemukan pada tahun 1970 tetapi Yersinia Pestis masih berhasil diisolasi sampai
tahun 1972 di jawa tengah.
1.3 Klasifikasi Emerging Infectious Disease
1.4 Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Emerging Infectious Diseases
Penyakit yang berhubungan erat dengan negara berkembang, yang mana negara
berkembang merupakan tempat ideal untuk munculnya dan penularan penyakit infeksi.
Kemiskinan,populasi yang padat, deforestation, urbanisasi pemanasan global, struktur
kesehatan yang lemah dan terabaikan merupakan karakteristik negara berkembang dan
merupakan situasi ideal untuk munculnya penyakit infeksi. Sebagai hasilnya, menjadi beban
kesehatan masyarakat.
1. Faktor demografi dan pertumbuhan ekonomi serta perubahan gaya hidup.
Sekitar 77 juta jiwa bertambah setiap tahunnya di dunia, tahun 2015 diperkirakan akan
ada 23 megacities dengan populasi melebihi 10 juta dimana tujuh diantaranya akan ada
di asia tenggara. Kepadatan populasi yang tinggi meningkatkan potensi penyebaran
penyakit dari orang ker orang, kecenderungan pemanasan global yang lebih hebat,
jumlah pelancong yang besar, peningkatan kelaparan dan malnutrisi dan arus urbanisasi
yang ekstensif.
Di negara-negara Asia, 105 populasi diperkirakan berusia >65 tahun pada 2030. Proses
penuaan ditandai dengan penurunan daya tahan dan peningkatan kerentanan terhadap
emerging infectious.
Perkembangan ekonomi di suatu negara selain memacu industrialisasi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, tetapi juga dapat berakibat meningkatkan urbanisasi dan
kepadatan di daerah perkotaan. Urbanisasi dan kepadatan penduduk di daerah perkotaan
dapat menyebabkan masalah akibat keterbatasan berbagai sarana air bersih dan
perumahan. Keadaan ini berdampak pada peningkatan terjadinya penyakit menular.
Pertumbuhan ekonomi juga dapat berakibat perubahan gaya hidup seperti perilaku
seksual dan penggunaan obat narkotika dan psikotropika.
Kemiskinan menyebabkan gangguan kesehatan dan sebaliknya gangguan kesehatan
menyebabkan kemiskinan. Sekarang ini, kemiskinan merupakan tantangan diseluruh
dunia.
Perilaku masyarakat penggunaan obat-obatan terlarang dengan menggunakan jarum
suntik yang sama, jarum tato yang tidak steril dan praktik tindik kulit menyebarkan
penyakit yang ditularkan melalui darah seperti Hepatits C. Secara global, penggunaan
injeksi yang berlebihan dan injeksi yang tidak aman diperkirakan menyebabkan 22,5 juta
infeksi virus Hepatitis B, 2,7 juta infeksi Hepatitis C dan 98.000 infeksi HIV.
2. Kemajuan transportasi dan perjalanan internasional.
Kemajuan di bidang transportasi mengakibatkan arus perjalanan antar daerah dan antar
negara. Hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya kecepatan, kemampuan jelajah dan
kapasitas angkut pesawat terbang. Kemudian transportasi ini berdampak pada
meningkatnya interaksi antar penduduk antar daerah maupun antar negara sehingga
meningkatkan risiko penularan berbagai penyakit menular.
Perjalanan dan perdagangan internasional juga memfasilitasi perpindahan infeksi. Telah
dilaporkan SARS merupakan salah satu penyakit yang perpindahan mikroorganismenya
paling cepat. Avian influenza tersebar diseluruh dunia dalam waktu kurang dari 12 bulan.
SARS dibawa melalui perjalanan udara internasional oleh orang terinfeksi ke 31 negara
yang dilaporkan kemungkinan kasus SARS.
3. Faktor lingkungan.
Air dan higiene yang baik adalah prasyarat kesehatan individual dan masyarakat. Secara
global, diperkirakan 1 miliar penduduk tidak memiliki akses terhadap suplai air dan 2,5
miliar kurang memiliki sanitasi yang baik. Di Asia Tenggara, walaupun 86% populasi
dinyatakan mendapat akses suplai air bersih, tetapi kualitas dan keamanan air
dipertanyakan. Penyakit yang ditularkan melalui air terus menjadi masalah utama.
Fasilitas sanitasi dasar yang lemah menyebabkan lebih dari 88 juta populasi di Asia
Tenggara kurang mendapat fasilitas yang baik untuk pembuangan limbah.
Perubahan lingkungan yang terjadi secara mendadak pada lingkungan yang luas
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya emerging infections.
Utamanya yang berkaitan dengan pembabatan hutan (deforestation) maupun
penghutanan kembali (forestation). Keduanya dapat mengakibatkan perubahan ekologi.
Deforestation mengubah flora dan fauna, ekosistem diseluruh dunia telah rusak.
Perubahan ini menyebabkan meningkatnya pemaparan serangga atau binatang lainnnya
pada manusia. Jika binatang-binatang ini merupakan reservoir, vektor atau hospes
perantara dari mikroorganisme atau parasit maka akan meningkatkan penularan vector
borne diseases, zoonoses atau penyakit menular lainnya.
Manusia hidup sangat dekat dengan binatang sejak waktu yang lama. Kedekatan ini,
kontak yang terus menerus menyebabkan pertukaran mikroorganisme antara hewan dan
manusia dan memberikan kesempatan untuk terjadi perubahan genetik organisme untuk
menyesuaikan terhadap tubuh manusia dan memulai siklus baru untuk transmisi orang ke
orang, misalnya SARS sesuai dengan fenomena ini.
Infeksi zoonotik meningkat sesuai proporsi jumlah dan intensitas hewan yang kontak
dengan manusia. Sebagai tambahan, peningkatan produksi daging juga meningkatkan
infeksi zoonotik secara eksponensial. Emerging infectious dapat meningkat dari heawan
dan burung dan merupakan bibit pandemi melalui perpindahan ke negara lain melalui
migrasi atau perdagangan.
Pemanasan global selama tiga tahun terakhir, terlihat bumi akan lebih panas 1-4°C dari
abad 21. Hal ini akan mengubah distribusi vektor. Pada suhu yang lebih panas, parasit
berkembang lebih cepat. Konsekuensinya akan ada peningkatan insidensi malaria dan
dengue fever.
4. Sarana dan pelayanan kesehatan.
Memiliki infrastruktur pelayanan kesehatan masyarakat yang baik dapat mencegah
banyak infeksi. Keterbatasan atau kelemahan dalam sarana dan pelayanan kesehatan
termasuk pengamatan penyakit (surveilans) dan keterbatasan kemampuan diagnostik
laboratorium dalam mengidentifikasi kejadian penyakit memberikan kontribusi
meningkatnya masalah emerging infectious diseases. Pelayanan kesehatan yang efisien
tidak hanya cepat mendeteksi dan tanggap terhadap epidemik selama fase awal tetapi
juga sensitif untuk menentukan titik infeksi baru atau infeksi patogen yang tidak dikenal.
5. Pengolahan makanan dan bahan makanan.
Pengolahan, pengemasan dan pengiriman/distribusi makanan dan bahan makanan juga
merupakan faktor berkembangnya emerging infectious diseases. Peningkatan produksi
bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan melalui rekayasa
genetik, penggunaan bahan pengawet, penggunaan antibiotik dan pemakaian insektisida
merupakan faktor yang dapat memberikan kontribusi.
6. Mutasi dan evolusi organisme.
Organisme dapat mengalami mutasi atau evolusi. Mutasi ini akan menimbulkan strain
baru mikroba. Strain baru organisme tersebut dapat menjadi resisten terhadap
pengobatan. Mutasi juga dapat menyebabkan perubahan mikroba non-patogen menjadi
patogen.
1.5 Masalah Resistensi Terhadap Antimikroba.
Resistensi antimikroba adalah resistensi mikroorganisme pada suatu obat antimikroba
dimana sebelumnya mikroorganisme tersebut sensitif terhadap obat itu. Organisme yang
resisten meliputi bakteri, virus dan beberapa parasit adalah organisme yang mampu bertahan
terhadap obat antimikroba, seperti antibiotik, antiviral, antimalaria, sehingga pengobatan
standar menjadi tidak efektif dan infeksi menetap dan dapat meluas ke yang lain. Resisten
antimikroba adalah konsekuensi dari penggunaan atau penyalahgunaan obat antimikroba dan
berkembang ketika suatu mikroorganisme bermutasi atau mendapat gen resisten.
Resisten antimikroba menjadi perhatian dunia karena:
a. Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang telah resisten, respon terhadap
pengobatan standar sering gagal sehingga memperpanjang masa sakit dan memperbesar
risiko kematian.
b. Resistensi antimikroba mengurangi efektifitas pengobatan karena pasien masih dalam
masa infeksius yang lebih lama, oleh karena itu potensial untuk menularkan
mikroorganisme yang resisten pada orang lain.
c. Banyak penyakit penyakit infeksi berisiko untuk menjadi tidak terkontrol dan akan
menghambat kemajuan pencapaian target United Nation Millenium Development Goals
(UN MDGs) 2015.
d. Ketika infeksi menjadi resisten pada obat lini pertama, terapi pilihan yang harus diberikan
menjadi lebih mahal. Semakin lama masa sakit dan pengobatan, meningkatkan biaya
pelayanan kesehatan dan ancaman finansial terhadap keluarga masyarakat.
e. Pengobatan modern yang telah dicapai seperti transplantasi organ, kemoterapi dan operasi
pembedahan menjadi sangat berisiko oleh karena adanya resistensi mikroba karena tanpa
antimikroba yang efektif keberhasilan metode pengobatan tersebut menjadi menurun.
f. Peningkatan perdagangan dan perjalanan global menyebabkan mikroorganisme yang
resisten dapat menyebar antar negara dan benua.
Fakta-fakta resistensi Antimikroba:
Sekitar 440.000 kasus baru multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) timbul setiap
tahun, menyebabkan 150.000 kematian. Extensively drug-resistant tuberculosis (XDR-
TB) dilaporkan telah ada di 64 negara saat ini.
Resitensi terhadap antimalaria generasi awal seperti klorokuin dan sulfadoksin-
pirimetamin tersebar luas di sebagian besar negara-negara endemis malaria. Parasit
malaria falciparum resisten terhadap artemisin sedang timbul di Asia tenggara, Klirens
infeksi setelah dimulai terapi menjadi tertunda (mengindikasikan adanya resistensi).
Tingginya persentase infeksi nosokomial adalah disebabkan bakteri sangat resisten seperti
methicilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan vancomycin-resistant
enterococci.
Resistensi menjadi perhatian untuk pengobatan infeksi HIV, karena semakin cepatnya
akses untuk mendapatkan antiretroviral meluas akhir-akhir ini. Survei nasional sedang
berlangsung untuk mendeteksi dan mengawasi resitensi.
Ciprofloxacin merupakan antibiotik yang direkmendasikan WHO untuk manajemen diare
berdarah seperti shigella, saat ini masalah resistensi berkembang pada antibiotik lain yang
sebelumnya masih efektif. Tetapi peningkatan prevalensi terhadap ciprofloxacin secara
cepat mengurangi pilihan terapi shigellosis yang aman dan efektif, khususnya untuk anak-
anak.
Resistensi antimikroba menjadi masalah serius untuk pengobaan gonorea, meliputi
generasi cephalosporin oral, dan peningkatan prevalensinya menyebar luas. Infeksi
gonococcal yang tidak diterapi akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian, oleh
karena itu mengganggu control infeksi menular seksual.
1. MERS
MERS ( Middel East Respiratory Syndrome ) atau sindrom pernapasan Timur Tengah
adalah suatu sindrom pada pernapasan akibat virus jenis coronaviridae yang pertama kali
ditemukan di negara Timur Tengah tahun 2012.
Analisis genetis yang sudah dilakukan pada penderita MERS di negara Timur Tengah,
menunjukkan bahwa penyakit ini telah beberapa kali berpindah dari hewan ke manusia. Data
WHO bulan September 2013 juga menunjukkan setidaknya 58 pasien dari 132 penderita
MERS, meninggal dunia sepanjang tahun 2012-2013.
MERS mempunyai gejala seperti SARI (Severe Acute Respiratory Infection)
progresif, yaitu demam, batuk, sesak napas, gejala pneumonia hingga penurunan kesadaran,
hal ini yang membuat MERS menjadi salah satu penyakit yang seringkali sulit didiagnosis.
Penyebaran MERS itu sendiri melalui hewan-hewan ternak, seperti kambing, domba, unta,
dan beberapa hewan peliharaan seperti kucing dan anjing yang dapat menyebar ke manusia,
lalu dari manusia ke manusia.
Penegakkan diagnosis MERS dapat dilakukan dengan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang agar pencegahan penularan dapat segera
dilakukan dengan efektif.
A. DEFINISI
MERS adalah Penyakit sindrom pernapasan yang disebabkan oleh virus Corona yang
menyerang saluran pernapasan dan menimbulkan gejala mulai dari ringan hingga berat. 1
B. PATOFISIOLOGI
Coronavirus sebagai penyebab MERS, yang dinamakan MERS Coronavirus, menginfeksi
dari reservoir nya yaitu hewan ternak, seperti unta, domba, kambing serta dapat berkembang
biak di tubuh anjing dan kucing.Hal ini dikarenakan hewan-hewan tersebut memiliki RNA
yang dapat memfasilitasi pembentukan virion-virion baru dari virus ini. Analisis peneliti di
dunia sampai dengan saat ini menyimpulkan bahwa virus corona yang menjadi penyebab
MERS memiliki hubungan spesies dengan coronavirus penyebab SARS. Perbedaannya
adalah virus SARS berkembang biak di dalam kelelawar tanpa menimbulkan antibody di
dalam kelelawar, sedangkan MERS coronavirus mengaktifkan antibody pada hewan
reservoirnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa MERS Coronavirus memiliki jalur
transmisi dari animals to animals, man to man, dan animals to man.2
C. TANDA DAN GEJALA
Gejala :
Demam > 380C
Batuk
Sesak
Riwayat bepergian ke Negara Timur Tengah 14 hari sebelum gejala
Pemeriksaan Fisik :
Sesuai dengan gambaran pneumonia
Hasil Radiologi :
Foto thorax dapat ditemukan infiltrate, konsolidasi, sampai gambaran ARDS
D. KLASIFIKASI
a. Kasus Penyelidikan (Suspek)
Pasien dengan ISPA, yaitu demam atau riwayat demam, batuk dan pneumonia atau dengan
ARDS atau pada pasien Immunocompromised mempunyai gejala dan tanda yang tidak jelas,
disertai salah satu tanda berikut :
1. Riwayat perjalanan ke Timur Tengah atau negara terjangkit dalam waktu 14 hari sebelum
mulainya gejala. Pneumonia yang bukan disebabkan oleh infeksi lainnya.
1.a Penyakit muncul dalam satu cluster yang terjadi dalam waktu 14 hari, tanpa
memperhatikan tempat tinggal atau riwayat bepergian, kecuali ditemukan etiologi lain.
1.b Penyakit terjadi pada petugas kesehatan yang bekerja di RS/layanan kesehatan yang
merawat pasien dengan ISPA berat (SARI), terutama pasien yang memerlukan perawatan
intensif, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau riwayat bepergian, kecuali ditemukan
etiologi lain.
2. Seseorang yang memiliki riwayat perjalanan ke Timur Tengah atau negara terjangkit
dalam waktu 14 hari sebelum mulai sakit selain ISPA (pada pasien dengan gangguan
kekebalan tubuh kemungkinan tanda dan gejala tidak jelas)
3. Seseorang dengan penyakit pernapasan akut dengan berbagai tingkat keparahan (ringan-
berat) yang dalam waktu 14 hari sebelum mulai sakit, memiliki riwayat kontak erat dengan
kasus konfirmasi atau kasus probable infeksi MERS-CoV yang sedang sakit.
b. Kasus Probable
Yaitu pasien investigasi, dengan bukti klinis, radiologis, atau histopatologis parenkim paru
(Pneumonia atau ARDS) tetapi tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan konfirmasi secara
laboratorik disebabkan pasien atau sampel yang tidak ada atau tes yang tidak tersedia untuk
memeriksa infeksi saluran pernafasan lainnya. Disertai riwayat berikut:
1. Kontak erat dengan pasien terkonfirmasi secara laboratorik
2. Belum dapat ditentukan jenis infeksi atau etiologi lainnya, termasuk setelah dilakukannya
semua tes dengan indikasi klinis untuk CAP (Community Acquired Pneumonia)
3. Tidak terdapat pemeriksaan untuk MERS-CoV atau pada satu kali pemeriksa spesimen
yang tidak adekuat hasilnya negatif atau hasil pemeriksaan MERS-CoV tidak meyakinkan.
c. Kasus Konfirmasi
Jika seseorang menderita infeksi MERS-CoV dengan konfirmasi laboratorium.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis MERS adalah pemeriksaan laboratorium
dengan sediaan :
a. Spesimen dari saluran napas atas (hidung, nasofaring, dan/atau swab tenggorokan)
b. Spesimen saluran napas bagian bawah (sputum, cairan endotracheal tube, bilasan
bronchoalveolar)
Jenis pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis adalah :
- Kultur mikroorganisme
- Pemeriksaan virus Influenza A subtype H1, H3, dan H5, RSV, Parainfluenza, Rhinoviruses,
Adenoviruses, Metapneumoviruses, dan Coronavirus.
Untuk pemeriksaan coronavirus, perlu dilakukan dengan menggunakan Reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR)
SEVERE ACUTE RESPIRATORY SYNDROME (SARS)
I. Definisi
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi saluran nafas
yang disebabkan oleh virus corona dengan sekumpulan gejala klinis yang sangat berat (Chen
& Rumende, 2006). SARS adalah sindrom pernapasan akut berat yang merupakan penyakit
infeksi pada jaringan paru manusia yang penyebabnya adalah Coronavirus (Poutanen et
al.,2003).
Menurut literatur lain, SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) adalah
sekumpulan gejala sakit pernapasan yang mendadak dan berat atau disebut juga penyakit
infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus Corona Family Paramyxovirus (Zhang
et al.,2006). SARS (severe acute respiratory syndrome) adalah suatu jenis kegagalan paru-
paru dengan berbagai kelainan yang berbeda, yang menyebabkan terjadinya pengumpulan
cairan di paru-paru (edema paru) (Svoboda. 2006).
II. Epidemiologi
Kasus pertama kali dilaporkan terjadi di sekitar bulan November 2002, dari propinsi
Guangdong, Cina. Yaitu dilaporkan adanya penderita penderita yang mengalami radang paru
yang atipikal dan sangat gawat serta tingkat penularannya tinggi. Dilaporkan juga penyakit
ini tealh menjangkiti sekitar 305 orang dan menyebabkan 5 diantaranya tewas, dan 30 persen
dari kasus tersebut dilaporkan terjadi pada tenaga medis. SARS terbawa keluar dari
Guangdong ke Hongkong pada tanggal 21 Februari 2003 oleh seorang dokter yang telah
merawat pasien dengan gejala mirip flu di tempat kerjanya. Setelah saat itu infeksi semakin
meluas ke penjuru Cina dan Hongkong yang pada akhirnya meluas hingga ke Vietnam dan
Canada (WHO, 2003)
Pada tanggal 12 Maret 2003, Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization/WHO) mengeluarkan suatu peringatan ke seluruh dunia adanya suatu penyakit
yang disebutnya sebagai sindrom penapasan akut parah (severe acute respiratory
syndrome/SARS) (WHO, 2003). Penyakit ini digambarkan sebagai radang paru (pneumonia)
yang berkembang secara sangat cepat, progresif dan seringkali bersifat fatal, dan diduga
berawal dari suatu propinsi di Cina Utara yaitu propinsi Guangdong. Pada saat pengumuman
WHO ini dikeluarkan, kasus-kasus SARS diketahui telah menyerang beberapa negara seperti
Cina, Hongkong, Vietnam, Singapura dan Kanada (Poutanen et al.,2003).
Sampai dengan tanggal 3 Mei 2003 telah ditemukan sebanyak 6.234 kasus (probable
cases) dan 435 (6,97%) kematian di tigapuluh negara. Sulit sekali untuk menentukan dengan
pasti, berapa jumlah kasus, berapa negara yang terkena wabah SARS dan berapa angka
kematian, oleh karena gambaran penyakit ini setiap saat berubah dengan cepat (WHO, 2003).
III. Etiologi
Saat ini penyebab penyakit SARS sudah dapat diketahui, yaitu berupa infeksi virus
yang tergolong dalam genus coronavirus (CoV). CoV SARS biasanya tidak stabil bila berada
dalam lingkungan. Namun virus ini dapat bertahan berhari-hari pada suhu kamar. Virus ini
juga mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik bila masih berada di dalam feces
(Chen & Rumende, 2006).
CoV SARS tersebut merupakan tipe baru dari coronavirus telah diidentifikasi sebagai
penyebab SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). SARS coronavirus (SARS CoV)
secara resmi telah dideklarasikan oleh WHO sebagai agen causative penyebab SARS. SARS-
CoV mempunyai patogenesis yang unik sebab mereka menyebabkan infeksi pernafasan pada
bagian atas dan bawah sekaligus serta dapat menyebabkan gastroenteritis (WHO,2003)
Coronavirus sendiri berasal dari bahasa Yunani κορών yang berarti mahkota (corona).
Dilihat di bawah mikroskop elektron, mahkota terlihat seperti tancapan paku-paku yang
terbuat dari S glikoprotein. Struktur inilah yang terikat pada sel inang dan nantinya dapat
menyebabkan virus dapat masuk ke dalam sel inang (Jawetz et al.,1996).
Coronavirus adalah anggota dari famili Coronaviridae, suatu virus yang besar, dan
mempunyai selubung (envelope). Selubung virus ini dipenuhi dengan tonjolan-tonjolan yang
panjang berbentuk daun bunga (petal). Genom RNA coronavirus ini mempunyai ukuran 27-
32 kb dan merupakan genom yang terbesar di antara semua virus yang ada. Genom virus ini
beruntai tunggal (single-stranded) dan membentuk suatu nukleokapsid helikal yang fleksibel
dan panjang. Nukleokapsid ini terletak di dalam suatu selubung lipoprotein yang terbentuk
dari penggembungan membran intraseluler (Drosten et al.,2003).
Ada 3 kelompok serologis coronavirus yang telah dikenali dan untuk setiap serogrup,
virus diidentifikasi sesuai dengan pejamu alamiahnya, dengan cara urutan (sekuens)
nukleotidanya dan hubungannya masing-masing secara serologis. Seperti halnya dengan
kebanyakan virus-virus RNA, coronavirus memiliki frekuensi mutasi yang sangat besar.
Dengan melihat panjangnya genom dan frekuensi kesalahan polymerase RNA dari virus-
virus lain, genom RNA coronavirus agaknya memiliki kumpulan titik mutasi pada setiap
replikasi RNA-nya (Drosten et al.,2003).
Analisis urutan (sekuens) nukleotida dari berbagai isolate coronavirus menunjukkan
suatu variabilitas sekuens yang dapat mempengaruhi replikasi virus dan patogenesisnya. Ada
anggapan bahwa penyakit SARS yang disebabkan oleh coronavirus dan menyerang manusia
merupakan keadaan di mana coronavirus yang infektif terhadap beberapa hewan mengalami
mutasi dan berevolusi untuk kemudian menjadi patogen terhadap beberapa kelompok hewan
lainnya dan juga pada manusia (Poutanen et al.,2003).
IV. Transmisi
Cara penularan CoV SARS yang utama adalah melalui kontak langsung membran
mukosa (mata, hidung, mulut) dengan droplet pasien yang terinfeksi. Selain itu, berbagai
prosedur aerosolisasi di rumah sakit (nebulisasi, intubasi, suction, dan ventilasi) dapat
meningkatkan resiko penularan SARS oleh karena kontaminasi alat yang digunakan, baik
droplet maupun materi infeksius lain seperti partikel feses dan urin (Chen & Rumende,
2006).
Pada penelitiannya, Ignatius et al (2004) menemukan bahwa penyebaran virus SARS
ternyata bisa diperantarai oleh udara (airborne transmission), hal inilah yang menyebabkan
community outbreak pada SARS di Hongkong dan Toronto (USA).
V. Patogenesis dan Patofisiologi
SARS secara klinis lebih melibatkan saluran nafas bagian bawah dibandingkan
dengan saluran nafas dibagian atas. Pada saluran nafas baian bawah, sel-sel asinus adalah
sasaran yang lebih banyak terkena dibandingkan trakea maupun bronkus. Menurut Chen dan
Rumende (2006), patogenesis SARS terdiri dari 2 macam fase :
1. Fase Pertama
Terjadi selama 10 hari pertama penyakit, pada fase ini melibatkan proses akut
yang mengakibatkan diffuse alveolar damage (DAD) yang eksudatif. Fase ini
dicirikan dengan adanya infiltrasi dari sel-sel inflamasi serta edema dan
pembentukan membran hialin.
Membran hialin ini terbentuk dari endapan protein plasma serta debris nucleus
dan sitoplasma sel-sel epitel paru (pneumosit) yang rusak. Dengan adanya
nekrosis sel-sel epitel paru maka barrier antara sirkulasi darah dan jalan udara
menjadi hilang sehingga cairan yang berasal dari pembuluh darah dapat masuk ke
dalam ruang alveolus (efusi). Namun masih belum dapat dibuktikan apakah
kerusakan sel-sel paru tersebut diakibatkan karena efek toksik dari virus tersebut
secara langsung atau kerusakan tersebut terjadi karena perantara sistem imun.
Pada saat fase eksudatif ini dapat diamati dan diidentifikasi RNA dan antigen
virus yang terdapat pada makrofag alveolar.
2. Fase kedua
Fase ini dimulai tepat setelah fase pertama selesai (setelah 10 hari). Fase ini
ditandai dengan perubahan pada DAD eksudatif menjadi DAD yang terorganisir.
Pada periode ini didapati metaplasia sel epitel skuamosa bronchial, bertambahnya
ragam sel dan fibrosis pada dinding lumen alveolus. Pada fase ini juga tampak
dominasi pneumosit tipe 2 dengan perbesaran nucleus dan nucleoli yang
eosinofilik. Selanjutnya juga ditemukan adanya sel raksasa dengan banyak
nucleus (multinucleated giant cell) dalam rongga alveoli. Sel raksasa tersebut
diduga merupakan akibat langsung dari VoC SARS, namun sumber lain
mengatakan bahwa hal tersebut bukan karena COV SARS namun disebabkan
karena proses inflamasi yang berat pada tahap DAD eksudatif.
VI. Manifestasi Klinis
a. Gejala prodormal
Masa inkubasi penyakit SARS antara 1-14 hari dengan rata-rata 4 hari. Gejala
prodormal yang timbul dimulai dengan adanya gejala-gejala sistemik yang non
spesifik, seperti :
- Demam > 380C
- Myalgia
- Menggigil
- Rasa kaku ditubuh
- Batuk non produktif
- Nyeri kepala dan pusing
- Malaise
Gejala-gejala tersebut merupaka gejala tipikal yang sering timbul pada penderita
SARS, namun tidak semua gejala tersebut timbul pada setipe pasien pada beberapa
kasus demam muncul dan menghilang dengan sendirinya pada hari ke 4 hingga ke 7,
tapi sama sekali tidak menunjukkan adanya perbaikan pada pasien, dan terkadang
demma muncul kembali pada minggu ke 2 (Chen & Rumende, 2006).
b. Manifestasi Umum
Meskipun SARS merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan namun
beberapa kasus ditemukan penderita dengan gejala multiorgan.
Manifestasi Pernafasan
Penyakit paru adalah gejala klinis utama dari penderita SARS, gejala-gejala
utama yang timbul antara lain :
- Batuk kering
- Sesak nafas
Pada tahap awal infeksi, gejala tersebut seperti pada infeksi saluran nafas pada
umumnya, namun gejala tersebut mengalami perburukan pada awal minggu
kedua. Dimana gejala sesak makin lama akan semakin berat dan mulai membatasi
aktifitas fisik pasien. Sebanyak 20-25% pasien mengalami progresi buruk kearah
acute respiratory distress syndrome (ARDS) akibat kerusakan pada pneumosit
tipe 2 yang memproduksi surfaktan.
Gejala lain yang mungkin timbul adalah pneumotoraks dan
penumomedistinum, yang diakibatkan karena udara yang terjebak dalam hingga
dada, hal ini dilaporkan sebanyak 12% terjadi secara spontan dan 20% timbul
setelah pengunaan ventilator di ICU (Chen & Rumende, 2006).
Penyebab kematian tersering pada SARS adalah dikarenakan oleh ARDS
berat, kegagalan multiorgan, infeksi sekunder, septikemia, serta komplikasi
tromboembolik.
Manifestasi Pencernaan
Gejala yang timbul pada sistem pencernaan diduga disebabkan karena
transmisi penularan VoC SARS melalui oral. Gejala utamanya adalah
diare. Pada kasus ini didapati sebanyak 20% pasien SARS mengalami
diare pada kedatangan pertama dan 70% dari jumlah tersebut tetap
mengalami gejala ini selama masa perjalanan penyakitnya.
Diare yang ditimbulkan biasanya cair dengan volume yang banyak
tanpa disertai darah maupun lendir. Pada kasus berat biasanya dijumpai
ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi karena penurunan cairan
tubuh akibat diare (Chen & Rumende, 2006).
Pada beberapa kasus yang tidak disertai pneumonia, gejala diare ini
adalah satu-satunya gejala yang tampak, namun pada beberapa kasus lain
dengan pneumonia, diare mulai tampak pada mingu kedua sakit
bersamaan dengan timbulnya demam dan perburukan pada paru.
Manifestasi Lain
Sebanyak 25% pasien SARS mengalami peningkatan SGPT pada
kedatangan pertama. Belum bisa dipastikan penyebab peningkatan
enzim ini namun diduga peningkatan enzim ini disebabkan karena
respon tubuh terhadapa infeksi CoV SARS pada tubuh manusia bukan
karena infeksi spesisfik CoV pada hepar.
Dari seri kasus di Hongkong, sekitar 50% pasien mengalami hipotensi
selama masa perawatan di rumah sakit. Hipotensi ini menyebabkan
rasa pusing pada pasien SARS.
Dari seri kasus di Hongkong didapati sekitar 40% pasien mengalami
takikardi. Namun manifestasi kardiovaskuler pada SARS ini pada
umumnya tidak memerlukan terapi spesifik.
Beberapa kasus dilaporkan gejala epilepsi dan disorientasi pada
pasien SARS namun defisit neurologi fokal tidak pernah ditemukan.
Meskipun demikian tetap harus diwaspadai terhadap kemungkinan
manfestasi SARS pada sistem saraf mengingat adanya laporan kasus
yang menunujukkan adanya status epileptikus pada pasien dengan
disertai penemuan CoV SARS pada CSS dengan kadar yang cukup
signifikan. Menurut Chen dan Rumende (2006), CoV SARS ini juga
dapat mengakibatkan demyelinisasi pada saraf otak.
VII. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik, didapati :
auskultasi didapati ronki basal di paru
Hipotensi (sistolik <100 mmhg)
Petekie dan ekimosis, namun jarang
Takikardi
Bibir serta kuku penderita tampak kebiruan (sianosis, karena kekurangan
oksigen)
Pemeriksaan darah, didapati :
Limfopenia <1000/mm3
Neutrofilia
Trombositopenia )didapati pada 50% kasus SARS
Pemeriksaan Penunjang Lain
No Pemeriksaan Hasil yang ditemukan Klinis
1. Foto Thoraks Infiltrat di paru pneumonia
2. CT-Scan Thoraks Konsolidasi ruang udara
yang fokal maupunmulti
fokal
Bronchiolitis
Obliterans
organizing
pneumonia
(BOOP)
3. Enzim SGPT Meningkat Belum
diketahui
Pemeriksaan Spesifik
No Pemeriksaan Spesimen Waktu Pemeriksaan Keterangan
1. RT-PCR Dahak, feces,
darah perifer
Minggu kedua sakit Sensivitas tinggi
bia dilakukan pada
mingu kedua
2. Deteksi
Antigen
Virus
serum 6-10 hari sakit Sensivitas buruk
bila dilakukan
diawal penyakit
3. Kultur Virus Dahak, darah,
feces, pada
media VeroE6
atau FRhK-4
Awal penyakit Sensivitas semakin
menurun seiring
dengan perjalanan
penyakit
4. Deteksi
Antibody
CoV SARS
(dengan
Darah vena Awal minggu kedua GOLD
STANDART
teknik ELISA
atau IFA)
5. Test DNA
sequencing
darah 8 jam setelah infeksi Sensivitas tinggi
VIII. Diagnosis
Menurut WHO (2003), kategori yang harus dipenuhi untuk kasus suspek
SARS adalah :
1. Demam tinggi dengan suhu >380C
2. Satu atau lebih keluhan pernafasan, termasuk batuk, sesak, dan kesulitan
bernafas disertai dengan satu atau lebih keluhan berikut :
- Kontak dekat dengan orang yang terdiagnosa suspek atau probable SARS
dalam 10 hari terakhir
- Riwayat perjalanan ke tempat/Negara yang terjangkit wabah SARS dalam
10 hari terakhir
- Bertempat tinggal/pernah bertempat tingal ditempat/negara yang terjangkit
wabah SARS.
Sedangkan definisi kasus probable SARS adalah kasus suspek ditambah
dengan gambaran foto thoraks yang menunjukkan tanda-tanda pneumonia atau
respiratory distress syndrome, atau seseoran yang meninggal karena penyakit
saluran pernafasan yang tidak jelas penyebabnya, dan pada pemeriksaan otopsi
ditemukan tanda patologis berupa respiratory distress syndrome yang juga tidak
jelas penyebabnya.
IX. Penatalaksanaan
Yang berperan dalam pentalaksanaan pada penderita SARS adalah status penderita.
Pada kasus pasien suspect dan probable cases tindakan yang dilakukan adalah (WHO,
2003) :
a) Isolasi penderita di Rumah Sakit.
b) Pengambilan sampel (sputum, darah, serum, urin) dan foto toraks untuk
menyingkirkan pneumonia yang atipikal.
c) Pemeriksaan hitung lekosit, trombosit, kreatinin fosfokinase, tes fungsi hati,
ureum dan elektrolit, C reaktif protein dan serum pasangan (paired sera).
d) Saat dirawat berikan antibiotika untuk pengobatan pneumonia akibat
lingkungan (community-aquired pneumonia) termasuk penumonia atipikal.
e) Pada SARS berbagai jenis antibiotika sudah digunakan namun sampai saat ini
hasilnya tidak memuaskan, dapat diberikan ribavirin dengan atau tanpa
steroid.
f) Perhatian khusus harus diberikan pada tindakan yang dapat menyebabkan
terjadinya aerolization seperti nebuliser dengan bronkodilator, bronkoskopi,
gastroskopi yang dapat mengganggu sistem pernapasan.
Pada dasarnya, penanganan penderita SARS yang dianggap paling penting adalah terapi
suportif, yaitu mengupayakan agar penderita tidak mengalami dehidrasi dan infeksi sekunder.
Sedangkan penggunaan antibiotik spektrum luas sendiri merupakan sebuah tindakan pencegahan
(profilaksis) untuk mencegah infeksi sekunder (Ksiazek, 2003).
Sedangkan menurut pedoman penanggulangan dan pentalaksanaan SARS Departemen
Kesehatan RI (2004) mengemukakan :
1) Penatalaksanaan Kasus Suspek SARS
a. Observasi 2 x 24 jam, perhatikan
- Keadaan umum
- Kesadaran
- Tanda Vital (Tekanan Darah, nadi, frekuensi nafas, suhu)
b. Terapi Suportif
c. Antibiotik: amoksilin atau amoksilin + anti B laktamase oral ditambah makrolid
generasi baru oral (roksitromisin, klaritromisin, azitromisin)
2) Probable SARS
a. Ringan/Sedang
1) Terapi suportif
2) Antibiotik
- Golngan beta laktam + anti beta laktamase (IV) ditambah makrolid
generasi baru secara oral
Atau
- Sefalosporin generasi kedua atau ketiga (IV)
Atau
- Flourokuinon respirasi (IV) : moxifloksasin, levofloksasin, gatifloksasin.
b. Berat
1) Terapi Suportif
2) Antibiotik
Tidak ada faktor resiko infeksi psudomonas :
- Sefalosporin generasi ke-3 (iv) non psudomonas ditambah
makrolid generasi baru.
Atau
- Flourokuinon respirasi
Ada faktor resiko infeksi pseudomonas
- Sefalosporin anti pseudomonas (seftazidim, sefoperazon,
sefipim)/karbapenem (iv) ditambah flourokuinolon anti
pseudomonas (siprofloksasin)/ aminoglikosida ditambah
makrolid generasi baru.
3) Kortikosteroid. Hidrokortison (iv) 4 mg/KgBB tiap 8 jam.
4) Ribavirin 1,2 gr oral tiap 8 jam atau 8mg/KgBB IV tiap 8 jam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/MENKES/SK/IV/2007
tentang Upaya Kesehatan Pelabuhan dalam Rangka Karantina Kesehatan.
2. François Elvinge. How to deal with emerging diseases. 1996. Available from:
http://courses.iddl.vt.edu/AEID_I/pdf/web/EID_notes_L1.html). [Accesed 24 Januari
2012].
3. WHO emerging disease. Available from:
http://www.who.int/topics/emerging_diseases/en/) [Accesed 24 Januari 2012].
4. kantor kesehatan pelabuhan kelas 2 medan. sejarah karantina kesehatan. Available from:
http://sejarahkkp.blogspot.com/ [Accesed 24 Januari 2012].
5. International Health Regulation. 2005. Available afrom:
http://www.scribd.com/doc/3584170/IHR-2005-Terjemahan-Dalam-Bahasa-Indonesia.
[Accesed 24 Januari 2012].
6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI. 2008. Panduan Petugas Kesehatan International Health Regulations (IHR)
2005. Available from: http://www.pdfwindows.com/pdf/buku-saku-ihr-untitled/ [Accesed
24 Januari 2012].
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Kepmenkes No.
612/MENKES/SK/V/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan Pada
Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia. Jakarta.
8. Rima, ana dan Reviono. Peranan Ilmu Kedokteran Wisata dalam Pencegahan Penyebaran
Avian Influenza. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret / SMF Paru RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.
9. Abednego, Hadi M. 1998. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit-Penyakit
Emerging Disease dan Re-emerging Disease. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal PPM & PLP.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Profil Pengendalian Penyakit &
Penyehatan Lingkungan Tahun 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat
Jenderal PPM & PLP.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Virus Influenza A Baru (H1N1). Jakarta.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Kepmenkes Nomor
116/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan. Jakarta.
13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Simposium Nasional Emergency-
Topik Emerging Infectious Disease. Jakarta. Available from:
http://www.pppl.depkes.go.id/index.php [Accesed 26 Januari 2012]
14. World Health Organization, 2011. Emerging Diseases. Available from:
http://www.who.int/ [Accesed 26 januari 2012]
15. World Health Organization, 2005. Combinating Emerging Infectious Disease in the
South-East Region. New Delhi.
16. Chen K, Rumende CM. 2006. SARS : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUII : Jakarta.
17. Departemen Kesehatan RI. 2004. Penatalaksanaan dan Penanggulangan SARS. Tersedia
di URL : http://www.dokter.web.id/Pedoman Penanggulangan Kasus SARS DEPKES
20RI.pdf
18. Drosten C, Gunther S, Preiser W, van der Werf S, Brodt H-R, Becker S, et al.
Identification of a novel coronavirus in patients with severe acute respiratory syndrome.
N Engl J Med 2003; 348. Available from URL: http://www.nejm.org.Accessed April 30,
2003.
19. Ignatius T.S, Yu M.B, Yuguo Li, Tze Wai Wong, Wilson Tam, M.Phil., Andy T. Chan,
Joseph H.W. Lee, Ph.D, Dennis Y.C. Leung, Ph.D, and Tommy Ho. 2004. Evidence of
Airborne Transmission of the Severe Acute Respiratory Syndrome Virus. N Engl J
Med ;350:1731-9
20. Jawetz, Melnich, Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. EGC : Jakarta.
21. Ksiazek TG, Erdman D, Goldsmith C, Zaki SR, Peret T, Emergy S, et al. 2003. A novel
coronavirus associated with severe acute respiratory syndrome. N Engl J Med; 348.
Tersedia di URL: http://www.nejm.org. Diakses pada 30 Maret 2011.
22. Poutanen SM, Low DE, Henry B, Finkelkstein S, Rose D, Green K, et al. 2003.
Identification of severe acute respiratory syndrome in Canada. N Engl J Med 348.
Terdapat pada URL: http:// www.nejm.org. Diakses 01 April 2011.
23. Svoboda T, Henry B, Shulman L, Kennedy E, Rea E, Wil Ng, Wallington T, Yaffe B,
Gournis E, Vicencio E, Basrur S, Richard H. Glazier. 2006. Public Health Measures to
Control the Spread of the Severe Acute Respiratory Syndrome during the Outbreak in
Toronto. N Engl J Med 350;23.
24. World Health Organization. Severe acute respiratory syndrome (SARS). Wkly Epidemiol
Rec 2003; 78: 81-3.
25. World Health Organization. 2003. WHO issues global alert about cases of atypical
pneumonia: cases of severity respiratory ilness may spread to hospital staff. Geneva:
World Health Organization; Terdapat pada URL: http://www.who.int/
mediacentre/release/2003/pr22/en/print.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2011.
26. World Health Organization. 2003. Management of severe acute respiratory syndrome
(SARS). Geneva: World Health Organization. Tersedia di URL:
http://www.who.int/csr/sars/ management/en/print.html. Diakses 1 April 2011.
27. Zhang L, Zhang F, Yu W, He T, Yu J,Christopher EY, Ba Lei, Li Wenhui, Farzan
Michael, Chen Zhiwei, Yuen Kwok-Yung, Ho David. 2006. Antibody Responses Against
SARS Coronavirus Are Correlated With Disease Outcome of Infected Individuals.
Journal of Medical Virology 78:1–8