nebis in idem

14
Nebis in idem adalah prinsip hukum yang berlaku dalam hukum perdata maupun pidana. Dalam hukum perdata, prinsip ini mengandung pengertian bahwa sebuah perkara dengan obyek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Jadi, jika dalam sebuah perkara dengan obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk ne bis in idem. Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung ne bis in idem, hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Prinsip hukum demikian secara jelas diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata. Sedangkan, Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang tidak memenuhi syarat formil dan diputus tidak dapat diterima, perkara tersebut bukan termasuk ne bis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya. Demikian halnya dalam hukum pidana, juga melarang seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Memang prinsip ini semata-mata melindungi hak asasi manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan kepastian hukum. Dengan dasar ne bis in idem, sebuah perkara yang diperiksa di pengadilan dapat dihentikan penyidikan atau penuntutannya jika ditemukan ne bis in idem. Sebuah perkara yang ne bis in idem yang tetap diperiksa ke pengadilan, maka seorang hakim harus memutuskan tuntutan jaksa tidak dapat diterima. Secara umum, pengertian ne bis in idem menurut Hukumpedia adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah

Upload: imronsangmisteri

Post on 06-Aug-2015

890 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Nebis in Idem

Nebis in idem adalah prinsip hukum yang berlaku dalam hukum perdata maupun pidana. Dalam hukum

perdata, prinsip ini mengandung pengertian bahwa sebuah perkara dengan obyek sama, para pihak

sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Jadi,

jika dalam sebuah perkara dengan obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihak yang

bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk ne bis in idem. Sebuah gugatan yang diajukan

seseorang ke pengadilan yang mengandung ne bis in idem, hakim harus menyatakan gugatan tersebut

tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Prinsip hukum demikian secara jelas diatur dalam

Pasal 1917 KUHPerdata. Sedangkan, Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang tidak

memenuhi syarat formil dan diputus tidak dapat diterima, perkara tersebut bukan termasuk ne bis in

idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya. Demikian halnya dalam hukum pidana, juga

melarang seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan

yang menghukum atau membebaskannya. Memang prinsip ini semata-mata melindungi hak asasi

manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan

kepastian hukum. Dengan dasar ne bis in idem, sebuah perkara yang diperiksa di pengadilan dapat

dihentikan penyidikan atau penuntutannya jika ditemukan ne bis in idem. Sebuah perkara yang ne bis in

idem yang tetap diperiksa ke pengadilan, maka seorang hakim harus memutuskan tuntutan jaksa tidak

dapat diterima.

Secara umum, pengertian ne bis in idem menurut Hukumpedia adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili

lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Asas ne

bis in idem ini berlaku secara umum untuk semua ranah hukum.

 

Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat kita temui dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang

telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem ini berlaku dalam hal seseorang

telah mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling)

(lihat Pasal 75 ayat [2] KUHP).

 

Page 2: Nebis in Idem

Selain itu, dalam ranah hukum perdata, asas ne bis in idem ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”), apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak

untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat

ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya

(dikutip dari buku “Hukum Acara Perdata”, M. Yahya Harahap, S.H., hal. 42)

 

Terkait dengan pengujian undang-undang, dapat juga kita temui dalam Pasal 60 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011

yaitu Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diterapkan pula asas ne bis in idem

yaitu terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat

dimohonkan pengujian kembali.

 

Pelaksanaan asas ne bis in idem ini ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2002

tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Nebis In Idem. Dalam surat edaran tersebut Ketua

Mahkamah Agung pada waktu itu, Bagir Manan, mengimbau para ketua pengadilan untuk dapat melaksanakan asas

ne bis in idem dengan baik demi kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda.

 

Jadi, suatu gugatan dapat dinyatakan ne bis in idem dalam hal telah ada putusan berkekuatan hukum tetap

sebelumnya yang memutus perkara yang sama, dengan pihak yang sama, pada waktu dan tempat kejadian yang

sama (tempus dan locus delicti-nya sama) dan putusan tersebut telah memberikan putusan bebas (vrijspraak), lepas

(onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) terhadap orang yang dituntut itu. Simak pula artikel

kami sebelumnya mengenai Penerapan Ne Bis In Idem.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);

Page 3: Nebis in Idem

3.      Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi ;

4.      Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan Dengan

Asas Nebis In Idem

Contoh kasus

seseorang telah melakukan pembakaran terhadap orang lain . Untuk itu dia dikenai pasal 338 dan dikenai hukuman 10 tahun. Setelah 10 tahun dia menjalani hukuman,dan dia bebas .kemudian selang beberapa waktu ternyata korban yang 10 tahun yanglalu dia bunuh dengan cara membakar ,tidak mati.dan akhirnya dia membunuh lagi orang yang sama waktu dia membunuh 10 tahun yang lalu. yangmenjadi pertanyaan saya : apakah dia dapat dihukum lagi apalagi kita mengetahui adanya asas nebis in idem yaitu seseorang tidak dapat dituntut atas kesalahan yang sama apabila telah diputuskan hakim sebagai keputusan akhir .

Apa yang ia lakukan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sebagai perkara yang nebis in idem. Pengertian asas nebis in idem adalah seseorang tidak dapat dituntut lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim (vide ps.76 (1) Kitab Undang-udang Hukum Pidana).  Perbuatan yang ia lakukan tersebut bukanlah suatu peristiwa atau perbuatan yang sama dengan perbuatan atau peristiwa yang telah mengakibatkan ia harus mendekam dalam penjara selama 10 tahun. Perisitiwa ini sama sekali peristiwa yang baru atau sama sekali berbeda, bila dilihat dari segi waktu (tempus delicti), dan tempat (locus delicti). Masalah tempus delicti ini menjadi penting dalam sebuah peristiwa pidana karena dalam ps.143 (2) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ("KUHAP") disebutkan bahwa Penuntut Umum membuat surat dakwaaan dengan menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu. Dalam ayat (3) nya disebutkan bahwa Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. Dalam uraian mengenai tindak pidana tersebut akan terlihat jelas sekali bahwa ini bukanlah sebuah perkara yang sama. Tempus delicti-nya berbeda. Tempat (locus delicti) kemungkinan juga akan berbeda. Dalam uraian tindak pidana ini juga akan diuraikan kronologis perkara yang juga sama sekali berbeda, misalnya dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan, apakah dibantu oleh orang lain atau tidak, apakah direncanakan terlebih dahulu atau tidak dan lain-lain. Jadi asas Nebis in Idem sama sekali tidak dapat dipakai untuk kasus tersebut. Terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, seperti contoh di atas, malah ia dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (residivis) dan dapat dijadikan dasar pemberat hukumannya. Berdasarkan ketentuan ps. 486 KUHP ia dapat diancam hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman yang normal. Dengan catatan bahwa perbuatan yang jenisnya sama

Page 4: Nebis in Idem

tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang dijatuhkan.

Page 5: Nebis in Idem

Ne Bis in Idem

Dalam Hukum Pidana

(Rahmat S. Sokonagoro, S.H., LL.M.)

Bag. Hukum Setda Kota Yogyakarta, Arbiter pada IFSC Arbitration Council

PENDAHULUAN

Dalam hukum pidana, asas ne bis in idem seringkali dipergunakan dalam dasar eksepsi

persidangan oleh terdakwa. Hal ini terjadi karena penyidik dan penuntut umum mengajukan lagi

terdakwa dalam perbuatan pidana yang sama dan telah diputus oleh hakim yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pada asasnya, semua terdakwa yang diduga dan didakwa sebagai pelaku suatu tindak

pidana harus dituntut di depan persidangan. Namun daripada itu, baik secara umum dan khusus,

Undang-undang telah menentukan adanya suatu pengecualian yaitu peniadaan atau penghapusan

suatu penuntutan terhadap terdakwa dalam hal-hal tertentu.

Adanya suatu penghapusan tuntutan terhadap terdakwa secara umum dilakukan karena:

1.       Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (de krahct van een rechtelijk

gewijsde) mengenai tindakan (feiten) yang sama (Pasal 76 KUHP);

2.       Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP);

3.       Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78 KUHP);

4.       Terjadinya penyelesaian diluar persidangan (Pasal 82 KUHP)[1]

Dengan demikian, salah satu penyebab penghapusan atau penidadaan penuntutan terhadap

terdakwa adalah adanya asas ne bis in idem. Selanjutnya dalam pembahasan akan ditelaah lebih

lanjut mengenai penerapan asas tersebut dalam hukum pidana.

 PEMBAHASAN

Page 6: Nebis in Idem

Dalam KUHP, setiap perkara pidana hanya dapat disidangkan, diadili dan diputus satu kali

saja atau dengan kata lain, suatu perkara pidana yang telah diputuskan oleh hakim tidak dapat

diperiksa dan disidangkan kembali untuk yang kedua kalinya. Ketentuan tersebut secara tegas

dinyatakan dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP, BAB VIII tentang Gugurnya Hak Menuntut

Hukuman Dan Gugurnya Hukuman. Pasal tersebut menyatakan bahwa (1) Kecuali dalam

keputusan hakim masih boleh diubah lagi, maka orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran

perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim Negara Indonesia, dengan keputusan yang

tidak boleh diubah lagi (in kracht van gewijsde). Dalam ayat (2) menyatakan: jika putusan itu

berasal dari hakim lain, maka penuntutan tidak boleh dijalankan terhadap orang itu oleh sebab

perbuatan itu juga dalam hal:

a.       Pembebasan atau pelepasan dari penuntutan hukum;

b.      Putusan hukuman dan hukumannya habis dijalankannya, atau mendapat ampun atau

hukuman tersebut gugur (karena daluwarsa penuntutan);

Ketentuan hukum diatas dalam hukum pidana disebut dengan asas Ne bis in Idem, yang

artinya orang tidak boleh dituntut sekali lagi karena perbuatan (peristiwa) yang baginya telah

diputuskan oleh hakim.[2] Berlakunya asas hukum ne bis in idem tersebut dikarenakan, terhadap

seseorang itu terkait suatu perbuatan pidana tertentu telah diambil putusan oleh hakim dengan

vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diubah lagi, baik itu putusan yang

bersifat penjatuhan hukuman (veroordering), putusan bebas (vrijspraak), dan putusan lepas dari

segala tuntutan hukum (ontslaag van rechtsvervolging).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, dalam pasal 18 (5) menyatakan bahwa “Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua

kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”. Pasal ini mengatur tentang Hak Memperoleh

Keadilan.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa asas ne bis in idem adalah asas yang mengatur

tentang bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan atau peristiwa yang

baginya telah diputuskan oleh hakim. Asas ini merupakan salah satu bentuk penegakan hukum

bagi terdakwa dalam menciptakan kepastian hukum. Pentingnya perlindungan terdakwa dari

Page 7: Nebis in Idem

kepastian hukum dikaitkan terhadap asas ne bis in idem mendapat perhatian yang serius, yakni

bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan tidak hanya di tujukan pada terdakwa

dalam proses persidangan, apalagi terdakwa dituntut untuk yang kedua kalinya dalam peristiwa

yang sama, sehingga perlu juga perlindungan terhadap terdakwa akibat penyalahgunaan

kekuasaan di pengadilan.

 Tujuan Ne Bis In Idem

Setiap putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim terhadap diri terdakwa baik putusan yang

meruupakan pemidanaan ataupun putusan yang lainnya adalah sebagai bentuk

pertanggungjawaban yang diberikan oleh undang-undang terhadap terdakwa yang telah terbukti

secara sah dan berdasarkan bukti yang kuat telah melakukan atau tidak melakukan suatu tindak

pidana. Setiap terdakwa yang telah terbukti melakukan satu tindak pidana hanyalah dapat

dipertanggungjawabkan terhadap peristiwa atau tindak pidana yang telah dilakukannya, dan

tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang tidak pernah dilakukannya, dan juga

hanya berhak menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas peristiwa dan tindak pidana

yang dilakukannya.

KUHP sebagai hukum positif yang berlaku di negara Indonesia, menyatakan secara tegas

dalam Pasal 76, terhadap diri terdakwa hanya diperbolehkan diperiksa dalam persidangan, sekali

saja terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan secara tegas KUHP melarang terdakwa untuk

diperiksa dan disidangkan kembali yang kedua kalinya dengan peristiwa dan tindak pidana yang

sama. Penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pidana adalah mempunyai suatu tujuan

tertentu. Tujuannya antara lain:

1.       Jangan sampai pemerintah berulang-ulang membicarakan tentang peristiwa pidana

yang sama, sehingga dalam suatu peristiwa pidana ada beberapa putusan-putusan yang

kemungkinan akan mengurangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya;

2.       Sekali orang sebagai terdakwa harus diberi ketenangan hati, janganlah orang dibiarkan

terus menerus dengan perasaan terancam oleh bahaya penuntutan kembali dalam

peristiwa yang sekali telah diputus.[3]

Page 8: Nebis in Idem

Dengan demikian jelas bahwa tujuan penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pidana

adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap diri terdakwa agar tidak dapat dituntut

dan disidangkan kembali dalam peristiwa dan perkara pidana yang sama dan yang sebelumnya

telah pernah diputus dan juga menghindari agar pemerintah tidak secara berulang-ulang

memeriksa perkara yang telah pernah diperiksa sebelumnya yang pada akhirnya menimbulkan

beberapa putusan berbeda-beda.

Syarat-syarat Ne bis In Idem

Suatu perkara pidana yang dituntut dan disidangkan kembali baru dapat dinyatakan sebagai

perkara yang ne bis in idem apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut M. Yahya

Harahap dalam bukunya menyatakan unsur ne bis in idem baru dapat dianggap melekat pada

suatu perkara mesti memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 76 KUHP yakni:

1.       Perkaranya telah diputus dan diadili dengan putusan positif, yakni tindak pidana yang

didakwakan kepada terdakwa telah diperiksa materi perkaranya di sidang pengadilan,

kemudian atas hasil pemeriksaan hakim telah dijatuhkan putusan;

2.       Putusan yang dijatuhkan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Jadi agar dalam suatu perkara melekat unsur ne bis in idem merti terdapat kedua (2) syarat

tersebut.[4]

Dalam perkara pidana putusan pengadilan atau putusan hakim yang bersifat positif

terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan didakwakan dapat berupa:

1.       Pemidanaan (sentencing);

2.       Putusan pembebasan (vrisjpraak);

3.       Putusan Lepas dari segala tuntutan (ontslaag van rechts vervolging)

Meskipun salah satu syarat agar suatu putusan perkara pidana dapat dinyatakan telah ne bis

in idem adalah putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, akan tetapi tidak

semua jenis putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan kemudian terhadap

terdakwa dan perkara pidana yang sama tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali atau

dinyatakan sebagai perkara pidana yang telah ne bis in idem.

Page 9: Nebis in Idem

Oleh karena itu sekiranya putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana itu bukan

berdasarkan putusan yang positif atas peristiwa pidana yang didakwakan kepada terdakwa, akan

tetapi berada diluar peristiwa pidananya yakni berupa putusan yang dijatuhkan dari segi formal

atau putusan yang dijatuhkan bersifat negatif. Putusan tersebut adalah:

1.       Putusan yang menyatakan Surat Dakwaan Batal demi Hukum;

2.       Putusan yang menyatakan Surat Dakwaan tidak dapat diterima;

3.       Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili.

 

KESIMPULAN

 

Jadi suatu perkara tidak dapat diajukan kembali untuk yang kedua kalinya atau dapat dikatakan

sebagai ne bis in idem jika perkara sebelumnya sudah pernah diperiksa, diadili dan telah diputus

di Pengadilan yang sama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde),

dan yang tetap bertalian dengan tindak pidana yang sama, terhadap orang yang sama dalam hal

ini pelapor, pengadu, saksi dan terhadap terdakwa yang sama pula. Begitu pula terhadap waktu

(tempus delicti), dan tempat kejadian (locus delicti) yang sama pula, atau peristiwa pidana

maupun delik-delik yang disangkakan tetap bertalian dengan tindak pidana yang terdahulu.

 

DAFTAR PUSTAKA:

 

1. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2003;

2. R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1980.

 

_____________________________

Page 10: Nebis in Idem

______________________

 

[1] S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1996, Hlm. 418;

[2] R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1980, Hlm. 90;

[3] R. Soesilo, Ibid.;

[4] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, Hlm. 450;