naskah hai revisi akhir=pdf · pdf file4 banyak pihak yang menilai bahwa persoalan tersebut...

39
1 LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI MASYARAKAT PEDESAAN Hasyim Ali Imran (Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta, Balitbang Kementerian Kominfo, Jln. Pegangsaan Timur No. 19 B, Jakarta Pusat) (Naskah diterima 17 Pebruari 2010, disetujui terbit, 10 Juni 2010) ABSTRACT This research is motivated by the indication of low ICT literacy rural communities; which makes it difficult to be part of the information society. The research was designed to study the extent, to which ICT literacy levels in rural communities; and the factors which indicate influence ICT literacy levels in rural society. The experiment was conducted with survey method, in Tua Tunu rural communities (local government and Air Duren (Bangka regency), Bangka Belitung province. Findings indicate: (1) rural respondents generally have low levels of ICT literacy. Some of them have only a small concentration of high ICT literacy, (2) Among of few respondents, who have high levels of ICT literacy; their characteristics composed of members Xers and Millennial rural communities groups. From the analysis, it concluded that rural communities was not entirely belong to the community, that digital gap wide. However, the bulk of them tend difficult to be able to maximize the role of ICT; in the context of participation in rural communities as a community member information. There are indications that factors related characteristic age of group, type of work, level of education, involvement in a computer course; and cosmopolitanism, associated with higher levels of ICT literacy in rural communities. A kind of counseling as the best option for efforts related to ICT literacy materials is applied in the environment of rural communities to improve their ICT literacy levels. Keywords : Literacy, Information and Communication Technology (ICT), rural communities. ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi rendahnya literasi TIK masyarakat pedesaan yang menjadikannya sulit untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat informasi. Penelitian dirancang untuk mengetahui sejauh mana kadar literasi TIK masyarakat pedesaan dan faktor-faktor yang berindikasi mempengaruhi kadar literasi TIK masyarakat pedesaan. Penelitian dilaksanakan dengan metode survey responden di lingkungan masyarakat pedesaan Tua Tunu (Pemkot Pangkal Pinang dan Air Duren (Kabupaten Bangka) Provinsi Bangka Belitung. Temuan menunjukkan : (1) responden pedesaan umumnya memiliki kadar literasi TIK yang rendah. Sebagian kecil saja diantaranya yang memiliki kadar literasi TIK tinggi; (2) Di antara sebagian kecil responden yang memiliki kadar literasi TIK tinggi, karakteristik mereka terdiri dari anggota masyarakat pedesaan kelompok Xers dan Millenial. Dari hasil analisis, disimpulkan bahwa di lingkungan masyarakat pedesaan ternyata tidak seluruhnya tergolong pada masyarakat yang kesenjangan digitalnya lebar. Namun, bagian terbesar dari mereka cenderung menjadi sulit untuk bisa memaksimalkan peran TIK dalam konteks kepesertaan anggota masyarakat pedesaan sebagai masyarakat informasi. Ada indikasi bahwa faktor-faktor karakteristik menyangkut kelompok umur; jenis pekerjaan; tingkat pendidikan; keterlibatan dalam kursus komputer; dan kosmopolitanisme, berhubungan dengan kadar literasi TIK masyarakat pedesaan. Upaya-upaya sejenis

Upload: lehuong

Post on 27-Mar-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI MASYARAKAT PEDESAAN

Hasyim Ali Imran (Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPKI Jakarta,

Balitbang Kementerian Kominfo, Jln. Pegangsaan Timur No. 19 B, Jakarta Pusat) (Naskah diterima 17 Pebruari 2010, disetujui terbit, 10 Juni 2010)

ABSTRACT

This research is motivated by the indication of low ICT literacy rural communities; which makes it difficult to be part of the information society. The research was designed to study the extent, to which ICT literacy levels in rural communities; and the factors which indicate influence ICT literacy levels in rural society. The experiment was conducted with survey method, in Tua Tunu rural communities (local government and Air Duren (Bangka regency), Bangka Belitung province. Findings indicate: (1) rural respondents generally have low levels of ICT literacy. Some of them have only a small concentration of high ICT literacy, (2) Among of few respondents, who have high levels of ICT literacy; their characteristics composed of members Xers and Millennial rural communities groups. From the analysis, it concluded that rural communities was not entirely belong to the community, that digital gap wide. However, the bulk of them tend difficult to be able to maximize the role of ICT; in the context of participation in rural communities as a community member information. There are indications that factors related characteristic age of group, type of work, level of education, involvement in a computer course; and cosmopolitanism, associated with higher levels of ICT literacy in rural communities. A kind of counseling as the best option for efforts related to ICT literacy materials is applied in the environment of rural communities to improve their ICT literacy levels. Keywords : Literacy, Information and Communication Technology (ICT), rural communities.

ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya indikasi rendahnya literasi TIK masyarakat pedesaan yang menjadikannya sulit untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat informasi. Penelitian dirancang untuk mengetahui sejauh mana kadar literasi TIK masyarakat pedesaan dan faktor-faktor yang berindikasi mempengaruhi kadar literasi TIK masyarakat pedesaan. Penelitian dilaksanakan dengan metode survey responden di lingkungan masyarakat pedesaan Tua Tunu (Pemkot Pangkal Pinang dan Air Duren (Kabupaten Bangka) Provinsi Bangka Belitung. Temuan menunjukkan : (1) responden pedesaan umumnya memiliki kadar literasi TIK yang rendah. Sebagian kecil saja diantaranya yang memiliki kadar literasi TIK tinggi; (2) Di antara sebagian kecil responden yang memiliki kadar literasi TIK tinggi, karakteristik mereka terdiri dari anggota masyarakat pedesaan kelompok Xers dan Millenial. Dari hasil analisis, disimpulkan bahwa di lingkungan masyarakat pedesaan ternyata tidak seluruhnya tergolong pada masyarakat yang kesenjangan digitalnya lebar. Namun, bagian terbesar dari mereka cenderung menjadi sulit untuk bisa memaksimalkan peran TIK dalam konteks kepesertaan anggota masyarakat pedesaan sebagai masyarakat informasi. Ada indikasi bahwa faktor-faktor karakteristik menyangkut kelompok umur; jenis pekerjaan; tingkat pendidikan; keterlibatan dalam kursus komputer; dan kosmopolitanisme, berhubungan dengan kadar literasi TIK masyarakat pedesaan. Upaya-upaya sejenis

2

penyuluhan menyangkut materi literasi TIK menjadi pilihan terbaik diterapkan di lingkungan masyarakat pedesaan guna meningkatkan kadar literasi TIK mereka. Kata-kata kunci : Literasi, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), masyarakat Pedesaan PENDAHULUAN Latar Belakang

Perkembangan peradaban manusia, berdasarkan sejarahnya terlihat berkait erat dengan fase perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada era barbarian sebagai bentuk awal peradaban dengan teknologi yang sangat minim, kehidupan manusia praktis hanya tergantung pada alam. Berlanjut pada peradaban tradisional dengan iptek yang sangat sederhana, manusia mulai mengurangi ketergantungannya pada alam, antara lain menggunakan teknologi sederhana untuk keperluan pertanian (masyarakat pertanian). Perkembangan iptek yang semakin maju, kemudian memungkinkan manusia untuk hidup dalam iklim industri dengan cara memaksimalkan fungsi-fungsi teknologi guna menggantikan peran manusia (masyarakat industri).

Ketika iptek semakin memungkinkan manusia melahirkan teknologi-teknologi maju yang canggih, maka kemajuan yang lazim dikenal dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ini, memungkinkan manusia untuk hidup dalam masyarakat informasi (information society). Suatu konsep yang secara umum menjelaskan bagaimana masyarakat dalam hubungannya dengan aktifitas informasi dan komunikasi yang difasilitasi oleh kemampuan produk modern berupa internet. Dalam masyarakat yang demikian sendiri digambarkan, bahwa individu masyarakat yang melalui fasilitasi kemampuan internet dapat menciptakan, mendisdribusikan, menggunakan dan memanfaatkan informasi untuk kepentingan dalam bidang ekonomi, politik dan aktifitas kebudayaan.1

Ciri masyarakat informasi yang notabene sangat berbeda dengan ciri masyarakat dalam fase-fase sebelumnya, banyak mendapat perhatian akademisi. Sejalan dengan itu, konsep information society pun mendapat pendefinisian yang variatif menurut konseptualisasi yang juga beragam. Diantaranya ada yang mengkonseptualisirnya menjadi the post-industrial society (Daniel Bell), post-modern society , knowledge society, Telematic Society, Information Revolution, informational capitalism, transnational network capitalism, knowledge industry dan network society2. Machlup (1962) mendefinisikannya menurut konsep knowledge industry; Deutsch (1983) mengacu pada ukuran perolehan GNP dan tenaga kerja yang aktif di sektor information economy; Jean-François Lyotard (1984: 5) menurut ukuran di mana “Knowledge would be transformed into a commodity”. Sama dengan Bell, Peter Otto dan Philipp Sonntag (1985), information society diukurnya menurut the majority of employees work in information jobs. Nico Stehr (1994, 2002a, b) berdasarkan indikator di mana a majority of jobs involves working with knowledge. Barney (2004: 25sq) mengartikan masyarakat informasi melalui konsep network societies dengan mana cirinya reproduksi dan institusi

1 Diinterpretasikan dari definisi, “a society in which the creation, distribution, diffusion, use, and manipulation of

information is a significant economic, political, and cultural activity. .....”, dalam ,http://en.wikipedia.org/wiki/Information_society. 2 Manuel Castells, dalam, http://en.wikipedia.org/wiki/Information_society.

3

diseluruh (dan diantara) jaringan masyarakat tersebut adalah bentuk dasar dari organisasi dalam masyarakat dan hubungan antar konfigurasi dan asosiasi di bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan konsep serupa dengan Barney, Jan Van Dijk (2006) mendifinisikan jejaring sosial sebagai suatu bentuk formasi sosial dengan sebuah infrastruktur sosial dan jaringan media yang memungkinkan cara yang paling utama di semua level organisasi (perorangan, grup/organisasi dan masyarakat)3 Sementara Webster relatif berbeda dengan akademisi lainnya, ia mendefinisikan information society menurut lima konsep, yakni : konsep technological, economic, occupational, spatial, dan cultural (Webster, 1995). Sedang James Martin (1978) mengkonseptualisir masyarakat informasi menjadi 'The Wired Society', yakni suatu masyarakat yang terhubung melalui jaringan telekomunikasi dan massa (dalam , http://en.wikipedia.org/wiki/Network_society).

Keragaman definisi itu menurut Mäkinen (2006) bukan menjadi sesuatu yang ideal, karena menurutnya konsep masyarakat informasi itu diperlukan untuk mendefinisikan konstruksi sosial bagi segala situasi dimana informasi itu ada. Dengan demikian ini dapat diartikan bahwa pengertian masyarakat informasi idealnya harus dapat mengadopsi segala situasi dan kepentingan di mana informasi itu eksis. Terkait dengan makna pernyataan Mäkinen tersebut, World Summit on the Information Society (WSIS) mendefinisikan masyarakat informasi sebagai suatu keadaan di mana setiap orang dapat membuat, mengakses, memanfaatkan dan berbagi informasi serta pengetahuan yang memungkinkan setiap individu, komunitas dan masyarakat untuk mencapai potensi mereka dalam rangka mengembangkan pembangunan yang terus terpelihara dan mengembangkan kualitas hidup mereka, sebagaimana yang telah dideklarasikan di dalam tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam PBB, dan, menghormati secara penuh serta menguatkan deklarasi Universal Hak Asasi manusia. (dalam, http://www.itu.int/wsis/basic/faqs.asp, diambil 15 Oktober 2006) .

Dengan definisi WSIS di atas, tampak pengertiannya menjadi relatif akomodatif bagi semua pihak, ini paling tidak ditandai oleh kata-kata “dapat”, “mencapai potensi” dan “mengembangkan” dalam kaitan informasi4 dan pengetahuan pada masyarakat informasi. Meskipun definisi ini tidak mematok tegas target capaian ideal masyarakat informasi, sebagaimana digambarkan dalam banyak definisi lain, misalnya seperti masyarakat yang bekerja di bidang informasi atau pengetahuan, melainkan disesuaikan menurut potensi setiap pihak, akan tetapi melalui kata “dapat” definisi tersebut tetap saja menyiratkan bahwa ICT menjadi pre kondisi yang harus dipenuhi oleh setiap pihak yang mau membuat masyarakatnya menjadi bagian dari masyarakat informasi.

Dalam kaitan pemenuhan pre kondisi tadi, yakni ICT sebagai enabler5 yang menjadikan terkoneksinya masyarakat6, karena biaya pemenuhannya yang sangat besar,

3http://en.wikipedia.org/wiki/Information_society

4 Posisi informasi menjadi sangat penting dalam masyarakat informasi. Gambaran kepentingan tersebut paling tidak tergambar dari pernyataan official WSIS, “Access to information lies at the heart of most human activity. Skills in information-handling are required in most jobs in modern societies and access to information is seen as a route to wealth and power. It is already hard to imagine a world without ICTs: internet, mobile phones, handhelds, broadcast networks, CD-rom's, e-mail. This dynamic process promises a fundamental change in all aspects of our lives, including knowledge dissemination, social interaction, economic and business practices, political engagement, media, education, health, leisure and entertainment”.( http://www.wsis.nl/static/FAQ's%20about%20WSIS%20and%20Information%20Society.html).

5 Pendapat tentang ICT sebagai enabler dan mendesak untuk segera diatasi guna terwujudnya masyarakat informasi, banyak

dikemukan berbagai pihak, diantaranya tersirat dari pernyataan Yoshio Utsumi, secretary-general of the International Telecommunication Union (co-organizer of the WSIS), “ Information is a key to competitive advantage both for businesses and modern states. Therefore, it becomes all the more urgent to build the basic telecommunication infrastructure, to develop capable

4

banyak pihak yang menilai bahwa persoalan tersebut menjadi tanggung jawab setiap negara7. Dengan kesadaran setiap pemerintahan negara, akhirnya persoalan ICT dalam kaitan penciptaan masyarakat informasi, disepakati untuk diatasi. Kesepakatan ini berwujud dalam bentuk penyelenggaraan dua pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh WSIS sebagai perpanjangan tangan dari UNESCO. Pertemuan pertama tahun 2003 berlangsung di Jenewa Swis dan kedua tahun 2005 di Tunis.

Dalam WSIS 2003, para pemimpin dunia yang hadir saat itu mendeklarasikan tekad bersamanya untuk mengurangi kesenjangan digital ini. Tekad ini kemudian dituangkan ke dalam “deklarasi prinsip-prinsip pembangunan masyarakat informasi : tantangan dunia dalam millennium baru (dalam, http://www.itu.int/wsis/docs/geneva/official/dop.htm). Tekad ini kemudian ditinlanjuti dan disikapi lebih mendalam pada pertemuan kedua WSIS di Tunis 2005. Sikap dimaksud tertuang dalam dokumen komitmen Tunis. Terdapat 40 komitment dalam dokument tersebut, salah satunya berkaitan dengan tekad untuk mengimplementasikan apa yang telah dideklarasikan dalam pertemuan WSIS di Jenewa Swis 2003.8.

Berdasarkan komitmen tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam langkah-langkah nyata dalam upaya mewujudkan masyarakat informasi dunia dengan cara menekankan pentingnya soal financial dalam upaya mempersempit gab digital devide. Langkah-langkah dimaksud tertuang dalam “TUNIS AGENDA FOR THE INFORMATION SOCIETY”. Dari 122 agenda, ada dua agenda yang menandakan besarnya loncatan sikap internasional untuk segera mewujudkan masyarakat informasi dunia. Sikap dimaksud ditandai oleh sikap bersama anggota melalui deklarasi mereka ”.....ini saatnya untuk berubah dari prinsip menjadi tindakan, mengingat pekerjaan telah terselesaikan melalui penerapan melalui the Geneva Plan Action dan identifikasi area tersebut telah mengalami kemajuan, sedang terjadi atau belum terjadi, sebagaimana tertuang dalam agenda pertama”. Indikator lain tertuang dalam agenda kedua, yakni “Kami menegaskan kembali komitmen yang di buat di Jenewa dan membangun itu semua di Tunisia dengan berfokus pada mekanisme keuangan untuk menjembatani kesenjangan digital, dalam internet pemerintah dan isu lain yang saling berhubungan, seperti yang telah terlihat dalam penerapan dan tindak lanjut dari keputusan di Jenewa dan Tunisia”. Agenda ke-12, “Kami setuju bahwa pembiayaan ICT untuk pembangunan harus ditempatkan dalam konteks bahwa peranan ICT semakin penting, bukan hanya sebagai perantara dalam komunikasi, tapi juga sebagai pendukung pembangunan, dan sebagai alat untuk mencapai

human resources and to make the best use of information technologies for every aspect of human activity”.( http://www.wsis.nl/static/FAQ's%20about%20WSIS%-20and%20Information%20Society.html).

6 Menurut European Commision dan UNESCO, koneksitas masyarakat ini sangat penting dalam masyarakat informasi karena

menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk dapat mengakses informasi yang lebih besar yang berimplikasi pada akses system informasi dan system ekonomi pasar dan modal. Namun koneksitas di antara negara-negara berkembang jauh lebih rendah dibandingkan degan negara maju sehubungan lebarnya gab digital devide di antara negara-negara menurut dua kategori dimaksud.(http://www.itu.int/wsis/basic/faqs.)

7 Dalam kaitan ICT sebagai enabler, maka ketersediaannya secara minim (digital devide) banyak dialami oleh negara-negara dunia

ketiga atau negara-negara Selatan. Ini antara lain karena negara-negara Selatan, di tengah information society telah menjadi kebijakan global yang dimotori oleh WSIS, baru masuk pada gelombang pertama Information Society policy (that focused heavily on the liberalisation of telecommunications and the development of information and communication technologies (ICTs)). Sementara negara Utara (Eropa), pada saat yang sama sekarang ini, telah masuk pada gelombang kedua Information Society policy (second phase, more concerned with the wider social aspects including issues of social cohesion and the digital divide). (bandingkan, Bill Martin, dalam “The Information Society and the Digital Divide: Some North-South comparisons”, dalam, international journal of education and development using ICT ; Vol 1(4) 2005. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in : http://ijedict.dec.uwi.edu/-viewarticle. php?id=128&layout=html.

8 TUNIS COMMITMENT ,WSIS-05/TUNIS/DOC/7-E, 18 November 2005, dalam, http://www.itu.int/wsis/docs2/tunis/off/7.html.

5

tujuan pembangunan yang disepakati secara internasional, termasuk tujuan pembangunan millenium9 Wilayah-wilayah seperti pedesaan, pulau-pulau terpencil dan sejenisnya, dinilai menjadi wilayah yang paling tinggi tingkat kesenjangan digitalnya. Meskipun demikian, problematika yang ada seperti di wilayah pedesaan, cenderung berbeda karakteristiknya antara yang dialami oleh pedesaan di negara-negara Utara dan di negara-negara Selatan. Karenanya, dalam kaitan masyarakat informasi, persepsi dan penanganan terhadap persoalan pedesaan menjadi relatif berbeda pula. Tidak seperti pada kebanyakan negara-negara Selatan yang sarat dengan persoalan ICT enabling, maka pada negara-negara Utara seperti negara Eropa, misalnya, yang menjadi problema dalam pembangunan pedesaan bukan lagi menyangkut soal ICT enabler, melainkan justru masyarakat informasi itu sendiri yang dinilai menjadi enabler10.

Dalam peretemuan WSIS di Tunis 2005, terkait problema pedesaan tadi, juga termasuk menjadi bagian persoalan yang diakomodir dalam peng-agenda-an oleh para anggota delegasi. Agenda yang diletakkan dalam urutan ke 23.b. itu berbunyi ,“ Akses komunikasi dan konektivitas pelayanan dan aplikasi ICT di area desa terpencil, pulau kecil di daerah berkembang, negara berkembang yang daerahnya terkurung daratan, dan lokasi-lokasi lain yang menunjukkan teknologi dan persaingan pasar yang unik”11 Dengan pengagendaan tersebut, berarti persoalan pedesaan menjadi krusial dalam upaya menjadikan masyarakatnya sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Karena, sebagaimana diketahui, peng-agenda-an pada tahun 2005 ini, sebenarnya merupakan penegasan sikap atau tekad untuk pembangunan desa yang sebelumnya telah dinyatakan dalam rencana aksi pada pertemuan WSIS 2003 di Geneva.12

Sebagai negara anggota, Indonesia sendiri telah berupaya mengadopsi substansi deklarasi dan plan of action yang muncul dalam dua pertemuan WSIS. Bukti untuk ini sendiri, antara lain tertuang dalam Rencana kerja pemerintah Indonesia untuk mengatasi kesenjangan digital. Rencana aksi ini mencakup banyak hal yang terbagi ke dalam empat bidang masalah, terdiri dari : Policy and Legal Framework; Human Capacity Building; Infrastructure; dan Applications.

Terkait khusus tentang bidang aplikasi, maka dalam rencana aksi tersebut diketahui bahwa pemerintah akan membantu peran sentral sektor swasta dalam menerjemahkan potensi TIK ke dalam kegiatan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang nyata guna mengurangi kesenjangan digital di antara daerah perkotaan dan pedesaan. Dalam upaya mengejawantahkan komitmen tersebut, maka pemerintah menjadualkan pihak swasta untuk melaksanakan program pembangunan telekomunikasi/kios internet dalam rangka mengimplementasikan konsep Community Telecenter. Sektor swasta juga

9Document: WSIS-05/TUNIS/DOC/6(Rev. 1)-, 18 November 2005, dalam, http://www.itu.int/wsis/docs2/tunis/off/6rev1.html. 10 “Information Society as Key Enabler for Rural Development”, merupakan deklarasi masyarakat Eropa yang dicetuskan di

Valencia dalam the European Conference pada February 2003. Deklarasi ini kemudian dinyatakan kembali dalam Konfrensi Pedesaan di Brussel pada 15 September 2003. Konfrensi ini berhasil menyimpulkanbeberapa hal, diantaranya berkaitan dengan hambatan-hambatan yang dialami pedesaan dalam proses pembangunan. Hambatan-hambatan ini terdiri dari : �Distance barriers in access to administrative and governmental structures(subsidies etc.)�Economic barriers in access to wider business and labour markets (suppliers,customers, opportunities)�Social barriers of rural inhabitants to information, education facilities, health and social services etc.�Information barriers – in current situation many rural areas and their amenities are invisi-ble" for the "outer world" (other areas, urban centres or other states - rural tourism, local products etc.)( lihat, @rural Conference, Brussels, 15/09/2003, dalam http://ec.europa.eu/information_society/activities/atwork/erural_at_work/documents/at_rural_conf_concls.pdf ;taken on April 16, 2007.

11Dokumen WSIS-05/TUNIS/DOC/6(Rev. 1)-E, 18 November 2005, dalam, http://www.itu.int/wsis/docs2/tunis/off/6rev1.html. 12 Dalam pertemuan WSIS 2003, disepakati oleh setiap anggota delegasi yang mewakili setiap negara (termasuk Indonesia), bahwa

WSIS harus mampu merealisir 10 target pada tahun 2015. Satu diantaranya yaitu , ”to connect villages with ICTs and establish community access points”, dalam Plan of Action WSIS dalam Document WSIS-03/GENEVA/DOC/5-E-12 December 2003, dalam : http://www.itu.int/wsis/docs/geneva/official/poa.html.

6

dijadualkan pemerintah untuk memperluas wilayah akses elektronik untuk menyediakan informasi dasar yang disesuaikan dengan kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi wilayah tersebut untuk mempromosikan daya saing wilayah itu. Aplikasi rencana aksi ini sendiri dijadualkan sejak tahun 2001-2005, dan oleh pemerintah dijadikan sebagai program A (prioritas).13

Mengacu pada bukti-bukti implikasi kuatnya komitmen Pemerintah Indonesia dalam rangka membawa masyarakat Indonesia untuk menjadi bagian dari masyarakat informasi dunia di atas, maka secara ideal efek aplikasi komitmen dimaksud akan dapat mengurangi lebarnya jurang digital devide masyarakat Indonesia. Suatu gambaran ideal yang tentunya di sisi lain dapat dijadikan sebagai indikasi kalau masyarakat desa semakin siap untuk menjadi warga masyarakat informasi dunia. Namun, asumsi ini tampak kurang relevan bila dikaitkan dengan data ITU (International Telecommunication Union) tentang Digital Access Index 200214. Sebagaimana diperlihatkan data tersebut, tingkat ICT Literacy penduduk Indonesia berada di urutan k-51 dalam kategori medium access dan urutan ke-116 dari total 178 negara yang masuk dalam index ITU.

Data ITU barusan kiranya didukung oleh data resmi World Internet User Statistics yang di perbarui 10 Maret 2007 mengenai jumlah pengguna internet di Indonesia. Dengan 18,000,000 pengguna dari populasi 224,481,720 jiwa, Indonesia diketahui menempati urutan ke-15 dunia dengan penetrasi internet sebesar 8 % (1,6 % dari total pengguna internet dunia).(dalam, http://www.internetworldstats.com/top20.htm, taken on Apr 30,2007). Dengan acuan deskripsi data akses digital menurut ITU dan internet users menurut World Internet User Statistics, kiranya dapat ditafsirkan bahwa kesiapan masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan Indonesia15 yang sebelumnya diasumsikan relatif membaik karena sejalan dengan kuatnya komitment pemerintah, dalam realitas, ternyata berdasarkan fenomenanya menunjukkan masih jauh dari harapan.

Pemerintah sendiri, melalui Departemen Komunikasi dan Informatika, melalui Renstra-nya tahun 2004-2009 di bidang Aplikasi telematika : antara lain telah menetapkan, agar ”Meningkatnya aksesibilitas teknologi informasi dan e-literacy dan Meningkatnya pemanfataan teknologi informasi untuk semua sektor”16, dapat diwujudkan. Membandingkan target capaian renstra tersebut dengan fenomena minimnya akses digital dan pengguna internet masyarakat Indonesia sebelumnya, dengan mana mengindikasikan fenomena irrelevansi antara das solen dan das sein, kiranya menjadi perlu untuk ditelaah lebih jauh. Informasi hasil telaah yang demikian, di samping berguna bagi pemerintah sebagai masukan untuk evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan menyangkut information society yang telah ditetapkan, terutama menyangkut soal rural bridging digital devide17, juga berguna dalam kaitannya dengan upaya mengetahui posisi literasi TIK menurut konteks yang menjadi target WSIS.

Identifikasi Masalah dan Permasalahan

13dalam, http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan002101., diambil 27 April 2007. 14http://www.itu.int/newsarchive/press_releases/2003/30.html, TAKEN ON 28 April 07.

15 Menurut data, di kota besar “teledensity” ini daya aksesnya baru sekitar 11-25 % dan di desa bahkan baru mencapai 0,2 %, dalam : Leksono, Ninok, 2007, “Tantangan Penelitian Komunikasi dan Informatika, makalah, disajikan 15 Pebruari 2007. 16

Dalam Rencana Strategis Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2004-2009. 17 Menurut Erwin A. Alampay, 2006, the concept of a 'digital divide' that focuses on the lack of access to information and

communication technologies (ICTs) among segments of society, dalam “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07., http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :

7

Fenomena kehadiran TIK di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dari beberapa literature diketahui telah banyak berperan dalam meningkatkan kualitas peradaban umat manusia, terutama dalam hubungannya dengan aktifitas kehidupan di bidang komunikasi dan informasi. Telepon, gramofon, film, video, radio dan televise, kiranya menjadi contoh wujud produk TIK yang dulu begitu besar perannya dalam keseharian kehidupan masyarakat. Namun, wujud produk TIK tersebut menjadi kuno ketika perkembangan Iptek yang pesat dan canggih berhasil mewujudkan produk TIK modern yang mampu melakukan revolusi digital melalui medium internet, sebuah teknologi yang dirintis pertama kali oleh kalangan militer Amerika Serikat pada tahun 60-an.

Dengan kemampuan teknologi ini dalam hal fasilitasi aktifitas komunikasi dan informasi, dengan mana sangat jauh berbeda dengan kemampuan yang dimiliki oleh medium konvensional yang ada sebelumnya, menjadikannya sebagai masalah menarik oleh banyak kalangan. Dari kalangan akademisi misalnya, maka dengan berangkat dari fenomena kehidupan masyarakat di Amerika Serikat dalam kaitan TIK18, Bell melalui bukunya The Coming of Post industrial Society (1973), menyebut masyarakat yang demikian dengan masyarakat pasca industri. Kemunculan masyarakat, demikian kata Bell, akan mencakup terjadinya suatu transformasi besar dalam dasar masyarakat. Masyarakat ini berbeda dengan masyarakat industri yang bertumpu pada harta benda,di mana lebih menekankan pengetahun, khususnya pengetahuan teoritis. Sebagai tambahan pada dan dalam hubungan dengan perubahan itu, masyarakat pasca industri memberi suatu penekanan baru kepada waktu luang. Orang memperoleh bentuk-bentuk pendidikan yang maju bukan saja untuk kegunaan sosial yang penting, tapi juga untuk peningkatan kesenangan dan intelektual.19

Menurut Sanderson, pasca publikasi opini Bell melalui bukunya tadi, ungkapan masyarakat pasca industri jadi sering dimunculkan dan diterima dalam sejumlah buku teks sosiologi dan karya-karya lainnya. Sejalan dengan terus berkembanganya ICT, seiring itu pula peristilahan terhadap masyarakat pasca industri yang disebut Bell tadi terus mengalami perubahan dan penambahan jumlah konsep. Diantaranya ada yang mengkonseptualisirnya menjadi post-modern society (masyarakat post modernis), knowledge society (masyarakat ilmu pengetahuan), Telematic Society(masyarakat telematika),InformationRevolution(revolusiinformasi),informational capitalism(kapitalisme informasi), transnational network capitalism (kapitalisme jaringan antarbangsa), knowledge industry (industri ilmu pengetahuan) dan network society (masyarakat berjejaring). Namun, sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada bagian awal, ini semua dimaksudkan untuk menunjukkan fenomena kemasyarakatan dalam kaitan ICT sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian konsep information society menurut WSIS.

Dalam perkembangannya, konsep ICT yang sebelumnya hanya dikenal akrab di kalangan negara-negara Utara yang memang telah mendahului fase-fase awal pertumbuhan dan perkembangan ICT, karena kemampuannya dalam melakukan revolusi digital, menyebabkannya jadi dipandang sebagai enabler utama dalam upaya

18 ICT is also defined as the term used to describe the tools and processes to access, retrieve, store, organize, manipulate, produce,

present and exchange information by electronic and other automated means.( Adebayo, Awareness, access and usage of information and communication technologies between female researchers and extensionists, international journal of education and development using ICT ; Vol 3(1) 2007, dalam : http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=282&layout=html.

19 Dalam , Sanderson, Stephen K. , 1991, Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, edisi kedua, terjemahan, Farid Wajidi dan S. Meno, cetakan ketiga, 2000, Jakarta, RajaGrafindo Persada, PT., hal. 606.

8

mencerdaskan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan dan mengurangi keterisolasian antar sesama masyarakat dunia20. Sebagai enabler utama, ICT karenanya menjadi problem utama bagi kebanyakan negara-negara Selatan yang umumnya masih tergolong sebagai developing country atau developed country21. Ini terutama ketika kepentingan ICT enabling tadi dikaitkan dengan konsep information society, yang oleh 178 negara dalam pertemuan WSIS di Jenewa dan Tunis memang disepakati untuk segera diwujudkan dengan cara mengkoneksiasi 50 % masyarakat dunia pada 2015 dan 100 % pada 2025.

Mengenai kepentingan ICT enabling dalam proses mewujudkan masyarakat informasi sendiri, berdasarkan literatur diketahui telah banyak mendapat pengakuan berbagai kalangan yang memandang positif terhadap TIK. Menurut McNamara22 , TIK dapat berperan sebagai hal yang menentukan dalam menopang pembangunan individu, masyarakat dan bangsa. Sementara menurut WSIS (2003)23 TIK dinilai sangat penting dalam pengembangan agenda karena TIK diantaranaya dapat digunakan dalam admisitrasi public, bisnis, pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Lebih khusus lagi, diantaranya ICT juga disebutkan dapat berperan dalam membantu pengurangan kemiskinan (Duncombe 2001)24, dan memperluas peluang pembangunan ekonomi (Prosser 1997,25 World Bank 199826). Dengan pemanfaatan TIK, menurut Ellis (2000, p.31)27, penyediaan akses informasi memberikan kesempatan kepada orang-orang “untuk menjalankan produksi, bergerak di pasar tenaga kerja, dan berpartisipasi dalam kegiatan pertukaran yang saling berbalas” dengan orang lain. Sebuah studi baru menemukan bahwa adanya suatu hubungan di antara akses melalui ponsel dan pertumbuhan ekonomi, di mana dampaknya lebih signifikan di negara berkembang dibandingkan di negara-negara maju. (Waverman, Mesch & Foss, dalam Erwin A. Alampay, 2006).

Meskipun begitu, sehubungan pengalaman masyarakat di negara-negara Utara dan Selatan di bidang fase perkembangan TIK memiliki perbedaan besar, peran TIK sebagai

20 Terkait dengan ini, sebagai enabler ICT dinilai dapat memainkan peran sangat besar dalam mempercepat proses globalisasi dan

menjadikan ekonomi dunia lebih terpadu (Odedra-Straub & Straub 1995). Information technologies play a part in development: with modernization, it can be seen as a potential means to close the gap among nations (Goldstein & O'Connor 2000); with globalization, it is viewed as an important component for nations to participate in the economic process (Odedra-Straub & Straub 1995, UNDP 2001)., dalam : ?

21 Dalam kenyataan, bukan hanya negara-negara Selatan saja yang mengalami persoalan ICT enabler dalam proses mewujudkan masyarakat infromasi, akan tetapi termasuk pula pada negara-negara Eropa yang baru merdeka pasca runtuhnya Uni Sovyet. Negara yang demikian, misalnya Lithuania, banyak masyarakatnya yang tinggal di pedesaan, jadi kesulitan dalam mengakses internet karena masih terkait dengan persoalan ICT enabler tadi. (Lihat, Egl_ Butkevicien, dalam, Social dimensions of ICT diffusion in rural communities).

22 McNamara, K.S. (2000). 'Why be Wired? The Importance of Access to Information and Communication Technologies', TechKnowLogia, March/April 2000. Knowledge Enterprise, Inc.

23 World Summit on the Information Society (WSIS) (2003). Declaration of Principles. 12 December. Document WSIS-03/GENEVA/DOC/4-E

24 Duncombe, R. A. (2001) Information, Technology, and Small, Medium and Micro Enterprise Development in Botswana. Doctor of Philosophy Thesis. Institute for Development Policy and Management, dalam : Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam, international journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

25 Prosser, T. (2000) The Law and Regulators, Clarendon Press Oxford., dalam Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam, international journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

26 World Bank (1998) World Development Report 1998/99: Knowledge for development. The International Bank for Reconstruction and Development/ The World Bank. Oxford University Press., dalam : Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam, international journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

27 Ellis F. (2000) Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries, Oxford University Press, dalam Erwin A. Alampay, “ Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam, international journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

9

enabler tadi justru kerap menjadi persoalan yang mendapat perhatian besar ketika semua negara tanpa dikotomi Utara-Selatan, dipersamakan dalam upaya mewujudkan target information society yang nota bene diyakini pula oleh semua negara yang tergabung dalam WSIS sebagai terwujud karena TIK sebagai enabler utama. Persoalan-persoalan seperti digital divide , yakni suatu ‘situasi yang ditandai oleh adanya jurang dalam mengakses atau menggunakan peralatan TIK’28, karenanya menjadi persoalan serius bagi kebanyakan negara-negara developing dan developed countries. Kesenjangan digital ini sendiri, selain diidentifikasi muncul karena adanya keterbatasan fisik ICT device yang menyebabkan tidak terjejaringnya masyarakat, juga disinyalir karena berkaitan dengan fator sumber daya manusia berupa ICT illiterate29.

Menyimak faktor literasi TIK mengindikasikan sebagai enabler lain yang menentukan dalam memaksimalkan peran TIK dalam membawa masyarakat menuju masyarakat informasi, maka mempelajari literasi TIK masyarakat pedesaan Indonesia yang disinyalir lebih lebar the gap of digital divide-nya30 dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, kiranya menjadi penting untuk dilakukan, terutama dalam kaitannya dengan upaya memahami masalah penjembatanan kesenjangan daerah desa – kota.

Berdasarkan argumentasi dalam bagian latar belakang dan identifikasi masalah sebelumnya, permasalahan penelitian ini dirumuskan menjadi : 1. Sejauh mana kadar literasi TIK masyarakat pedesaan di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung?; 2. Faktor apa yang mempengaruhi kadar literasi TIK masyarakat pedesaan ?

Penelitian ini bermaksud untuk mempelajari kadar literasi TIK (ICT) masyarakat pedesaan dan hubungannya dengan karakteristik anggota masyarakat. Dengan maksud tersebut, penelitian ini bertujuan : (1) untuk mengetahui kadar literasi ICT masyarakat pedesaan; (2) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kadar literasi ICT anggota masyarakat pedesaan. Dengan dua temuan penelitian tersebut, diharapkan dapat menjadi masukan bagi pimpinan di Depkominfo dalam merumuskan kebijakan di bidang pembangunan people ICT Litercy dalam rangka bridging the rural– urban devide. Tinjauan Literatur

Dalam bagian ini akan coba dikemukakan beberapa studi yang berkaitan dengan permasalahan pokok penelitian ini. Sesuai dengan masalah pokoknya, maka yang menjadi variabel utama yaitu variabel literasi TIK. Dengan demikian, upaya meninjau studi-studi tentang TIK yang pernah dilakukan para akademisi akan dikemukakan dalam

28 Campbell (2001, p.1), dalam, Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”,

International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

29 Terkait dengan factor human resources ini, sebagai mana dikutip Alampay, beberapa pihak berpendapat : 1) Strategies for using ICTs should therefore consider their fit in the global and local context (Volkow 1995). 2) It also implies the need for innovative public policies to make sure that technologies are not only tools for progress, but are also socially inclusive (UNDP 2001, Labelle 2005).

30 Karena seperti disebutkan APJII, warnet di Indonesia yang jumlahnya hingga 2004 hanya 4500 itu, semuanya baru tersebar di perkotaan. Sebaran di wilayah pedesaan, sesuai komitmen dalam WSIS 2003, baru akan dicapai pada 2015. Meskipun demikian, dalam menuju target tahun tersebut, upaya menjadikan masyarakat desa sebagai bagian dari masyarakat informasi melalui perangkat ICT seperti internet pada warnet-warnet tadi, komitmen yang teraktualisasi kini sudah mulai terlihat. Ini misalnya dengan kemunculan konsep Rural Next Generation Network.(lihat, Leksono, Ninok, 2007, “Tantangan Penelitian Komunikasi dan Informatika, makalah, disajikan 15 Pebruari 2007). Gambaran digital akses masyarakat pedesaan ini jauh berbeda dibandingkan dengan India. Di negara ini, menurut laporan One World South Asia, The farmers and farm-families are browsing the net and getting general, technical and marketing information from the Information kiosks in over 26000 villages across the country., Taken from One World South Asia in “:Bridging the Digital Divide: Information Kiosks in Rural India”, http://southasia.oneworld.net/article/view/133487/1/, 3 april 07.

1

rangka mengetahui posisi penelitian ini dalam konteks studi-studi tentang TIK. Selain itu, akan dikemukakan pula tentang konsep-konsep teoritik menyangkut variabel Literasi TIK . Penelitian Fenomena TIK Sebelumnya

Berdasarkan hasil tinjauan literatur diketahui bahwa terdapat sejumlah penelitian yang difokuskan pada fenomena TIK dan penggunaannya dalam konteks upaya perwujudan masyarakat informasi, sebagai agenda dunia yang dimotori UNESCO melalui WSIS. Penelitian dengan judul ”Cultural perceptions: The missing element in the implementation of ICT in developing countries“, dilakukan oleh Abdulkafi Albirini, University of Illinois at Urbana-Champaign, USA, pada tahun 2004 di Syria31

Dengan pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif, penelitian ini mencoba focus pada variable cultural perceptions (persepsi budaya) pada para guru yang ditetapkan sebagai sampel penelitian. Temuan penelitian menunjukkan pemikiran yang konservative dalam persepsi para responden untuk TIK dari dunia pendidikan dan masyarakat luas. Sebagian besar guru prihatin terhadap efek TIK yang merugikan secara moril (terutama Internet). Hal itu tidak sesuai dengan budaya dan bahasa mereka, dan hal itu berkembang dengan pesat dan mengorbankan kebutuhan masyarakat lainnya.

“Awareness, access and usage of information and communication technologies between female researchers and extensionists”, adalah judul penelitian lain menyangkut fenomena TIK dan penggunaannya. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif dan metode survey yang dilakukan di Negeria oleh Adebayo dan Adesope ini, dengan menjadikan female researchers and female extensionists sebagai sample yang menjadi obyek penelitian, difokuskan pada variable awareness, access and utilization sebagai obyek riset. Temuannya menunjukkan bahwa para peneliti perempuan dan female extensionists are aware of ICT, kedua kategori responden tersebut tahu dengan sendirinya bagaimana mengakses internet; responden tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengakses teknologi informasi (TI). Temuan juga menunjukkan, bahwa peneliti perempuan (55,7%) dan perempuan extensionists (70,4%) secara respek menggunakan TIK, dengan mana akses TIK dilakukan antara 3 hingga 5 kali dalam seminggu. Jenis-jenis TIK yang dibutuhkan oleh para peneliti perempuan dan extensionists perempuan mencakup: World Wide Web, Electronic Mail, Electronic Spreadsheet, Word Processing, CD-ROM, Use of Projector, Use of computer, Web Design, Chatroom32.

Peneliti lain yang tertarik terhadap fenomena TIK yaitu akademisi dari The University of the West Indies, Barbados. Mereka terdiri dari : Glenda Gay, Sonia Mahon, Dwayne Devonish, Philmore Alleyne and Peter G. Alleyne. Para peneliti ini mencoba mempelajari fenomena TIK dan penggunaanya pada para pelajar menurut variable attitudes to computer use; usage of computers and other ICT resources, dan reasons for Internet use. Temuan penelitiannya menunjukkan, bahwa pada umumnya pelajar sudah menyenangi atau akrab terhadap ICT. Kalangan pelajar pria lebih cenderung untuk menggabungkan TIK dalam instruksi berbasis web untuk dibandingkan dengan aktifitas

31Albirin i, Abdulkafi, 2006, “Cultural perceptions: The missing element in the implementation of ICT in developing countries“,

International journal of education and development using ICT ; Vol 2(1) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=146&layout=html

32 E.L.Adebayo, E.L danO.M.Adesope,2007, “ Awareness, access and usage of information and communicationtechnologies between female researchers and extensionists", dalam , International journal of education and development using ICT ; Vol 3(1) 2007, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewissue.php?id=11.

1

mata pelajaran lainnya. Para pelajar yang lebih tua usianya, lebih tertarik dalam penggunaan TIK hanya sebagai pendukung terhadap aktifitas belajar33

Hasil tinjauan juga menemukan riset yang sifatnya masih pada taraf awal dalam studi TIK. Riset yang mengambil lokasi di tingkat propinsi dan distrik di negara Mozambique, Afrika, ini, berjudul “A Study of the Actual and Potential Usage of Information and Communication Technology at District and Provincial Levels in Mozambique”. Dengan fokus pada sektor kesehatan, riset yang dilakukan oleh Jørn Braa et. al.pada tahun 1999 ini menggunakan metode survey dalam menelaah variable use and appropriation of ICT pada reponden. Temuannya menunjukkan bahwa komputer dan Internet cepat menyebar ke ibukota propinsi dan kabupaten di Mozambique. Persoalan utama dalam hal penggunaan TIK yaitu berkaitan dengan soal kurangnya pendidikan dan keahlian TIK serta rendahnya pengembangan infrastruktur dan dukungan jaringan. Karenanya riset ini merekomendasikan bahwa pengembangan kapasitas dan system informasi TIK di tingkat kabupaten dan provinsi di Mozambik memerlukan upaya yang saling terpadu di antara semua sektor. 34

Riset lain yang mencoba menelaah fenomena TIK yaitu dilakukan oleh Obayelu A. dan Ogunlade di Nigeria. Penelitian yang dilakukan Obayelu A. dan Ogunlade, dengan menggunakan metode survey untuk mendapatkan data primer dan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber seperti bulletin statistic dan laporan tahunan Bank Sentral Nigeria, berupaya mendeskripsikan penggunaan ICT bagi upaya pemberdayaan gender dan menopang pengurangan kemiskinan di Nigeria.

Hasil penelitian yang menggunakan Likert rank order scale menunjukkan bahwa pengangguran, pendapatan yang tidak merata, poligami, kegagalan bisnis, wabah penyakit, kerusakan lingkungan, adalah penyebab utama kemiskinan di Nigeria and sustainable poverty alleviation is unlikely to be achieved without the proper use of ICT. Rekomendasi peneliti berupa, menggunakan TIK untuk mendukung pengurangan kemiskinan terbukti dapat terjadi, praktis dan terjangkau jika pemerintah Nigeria berperan sebagai pelaku utama dan menggunakan TIK sejak awal dengan menargetkan pengurangan kemiskinan sebagai komitmen dalam pembangunan. Sebagai tambahan, pembangunan dan akses menuju jejaring social selain TIK biaya murah, telecenter akan meningkatkan akses yang tepat terhadp informasi yang akurat dan dapat dipercaya oleh masyarakat miskin. 35

Bila sebelumnya diperlihatkan kalau penelitian TIK itu cenderung terfokus pada fenomena ICTs enabling dan awareness phase, maka penelitian yang dilakukan Nimmi Rangaswamy di pedesaan Maharashtra, Western India, dengan meminjam model pengembangan e-govt di India yang digagas Narayan and Nerurkar36, dapat dikatakan

33Glenda Gay, et.al., 2006, “Perceptions of information and communication technology among undergraduate management students in Barbados”, dalam International journal of education and development using ICT, Vol 2(4) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=223&layout=html. 34Braa, Jørn, et. al,” A Study of the Actual and Potential Usage of Information and Communication Technology at District and Provincial Levels in Mozambiqu”, dalam International journal of education and development using ICT, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php. 35Lihat, Elijah, Obayelu A. dan Ogunlade, I., 2006, “Analysis of the uses of information and communication technology for gender empowerment and sustainable poverty alleviation in Nigeria”, dalam International Journal of Education and Development Using ICT ; Vol 2(3) 2006, dalam, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=172&layout =html. 36Narayan, Gyanendra and Nerurkar , Amrutaunshu N. , 2006 , ” Value-proposition of e-governance services: Bridging rural-urban digital divide in developing countries” dalam , international journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=189&layout=html

1

penelitiannya cenderung terfokus pada upaya memahami fenomena ICT menurut fase yang lebih meningkat, yakni Diffusion Phase.

Penelitian Rangaswamy sendiri berjudul “Social Entrepreneurship as Critical Agency: A study of Rural Internet kiosks”. Fenomena ICT ditelitinya dengan paradigma dan metode yang berbeda dengan yang dilakukan para peneliti sebelumnya.Dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan paradigma interpretif melalui metode ethnographic, ia meneliti 12 kios internet terpilih di Desa Maharashtra, Western India. Hasilnya antara menunjukkan bahwa banyak penggunaan ICT di daerah pedesaan yang menyebabkan berkurangnya akses untuk memfokuskan model bisnis dan penelitian yang mendalam mengenai perusahaan yang ikut bergabung seperti ICT’s e-choupals. Penggunaan hal itu harus diberikan respon yang istimewa sesuai dengan kebutuhan lokal untuk mencapai kesuksesan. Kebutuhan lokal ini terutama menyangkut informasi berupa dokumentasi digital perkawinan, astrological charts atau pembuatan film keluarga. Sementara informasi yang ada di situs web seperti a new cropping pattern, soal pestisida, atau peluang kerja, masyarakat desa tidak tertarik apa lagi harus membayar di kios internet. Informasi-informasi yang demikian, masyarakat desa lebih percaya pada pengetahuan-pengetahuan tradisional (leluhur) atau pada anggota masyarakat dilingkungannya. “Masyarakat terus mempercayai budaya tradisional yang selama ini dianut dan jejaring sosial untuk menggali dan mengabaikan informasi seperti ini”, kata Rangaswamy. Karena itu, Aplikasi yang didukung komunikasi secara visual, seperti digital fotografi, sangat cocok untuk memperluas konsep permintaan dari daerah lokal)37

Hasil tinjauan terhadap sejumlah literatur di atas menunjukkan bahwa studi fenomena TIK dan penggunaannya oleh masyarakat, yang secara spesifik menjadikan komunitas pedesaan sebagai obyek studi, secara relatif masih belum ada. Desa menjadi obyek studi cenderung masih pada tataran kewilayahan saja. Atau, kalaupun ada yang menjadikan komunitas menurut kewilayahan sebagai sampel, namun sampel yang dijadikan sebagai sumber data primer bukan dari kalangan umum melainkan kalangan khusus, misalnya peneliti wanita, guru, pelajar, aparatur pemerintah dan pengusaha internet, yang nota bene merupakan anggota komutitas yang dapat digolongkan sebagai kategori pertama, yaitu the existing users. Atau, minimal sebagai anggota komunitas dalam kategori kedua, yaitu perspektif users.

Tinjauan pustaka sebelumnya juga menunjukkan bahwa tidak satupun yang secara deklaratif menjadikan variabel literasi TIK sebagai variabel penelitian. Meskipun demikian, dari operasionalisasi permasalahan penelitiannya secara implisit terlihat bahwa variabel penelitian yang dijadikan obyek studi itu banyak diantaranya yang merepresentasikan ciri-ciri literasi TIK responden. Beberapa variabel dimaksud, misalnya penelitian yang dilakukan di Barbados. Representasinya tercermin dari variable attitudes, experience and reasons dalam menggunakan internet. Demikian juga di Nigeria dan Syria, tercermin dari variable awareness, access and utilization terhadap internet sebagai salah satu bentuk TIK modern.

Penelitian ini sendiri, variable yang hendak ditelaah adalah variable literasi TIK. Dengan fokus tersebut, penelitian ini mencoba mempelajari kesiapan masyarakat

37

Rangaswamy, Nimmi,“Social Entrepreneurship as Critical Agency: A study of Rural Internet kiosks”, dalam , http://topics.developmentgateway.org/ict.

1

pedesaan dalam proses perwujudan masyarakat informasi. Ini berarti, terutama dalam kaitannya dengan hasil tinjauan pustaka, maka variable literasi TIK yang diangkat dalam riset tersebut, menjadi sangat berbeda dan mungkin masih belum banyak dilakukan di dunia, khususnya di negara-negara dunia ketiga atau Negara Sedang Berkembang38 seperti Indonesia. Teori Tentang Literasi TIK 1. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)

Teknologi informasi dan Komunikasi adalah payung aturan yang di dalamnya terdapat aplikasi atau peralatan komunikasi yang meliputi : radio, televise, ponsel, computer dab jaringan perangkat keras dan lunak , system satelit dan lainnya seperti berbagai pelayanan dan aplikasi yang tergabung di dalamnya, seprti videoconference dan sambungan jarak jauh. TIK seringkali disebutkan dalam konteks tertentu, misalnya TIK dalam pendidikan, perlinduingan kesehatan, atau perpustakaan (dalam, http://searchsmb. techtarget.com/sDefinition/ 0,,sid44_gci928405,00.html).

Sementara itu, Presiden Philipina menyebutkan dalam suatu deklarasi bahwa TIK sebagai keseluruhan peralatan elektronik yang dapat diartikan untuk mengumpulkan, menyimpan, memproses dan memberikan informasi untuk pengguna akhir dalam mendukung kegiatan mereka, seperti system computer, system kantor dan pelanggan elektronik maupun infrastruktur jaringan informasi, komponen-komponen tersebut meliputi system telepon, internet, mesin faks, dan computer. (dalam, http://www.ops.gov.ph/records/proc_no802.htm).

Berdasarkan Komisi Eropa, hal yang paling utama terkait dengan teknologi TIK itu sendiri bila dibandingkan antara kekurangan dan kemampuannya adalah untuk membuat akses yang terbaik untuk komunikasi dan informasi di pupulasi yang sulit terjangkau. Banyak negara di dunia ini memiliki organisasi yang sudah mapan untuk memromosikan TIK, karena dikhawatirkan daerah yang kurang maju teknologinya dapat mengejar ketinggalan tersebut, kemajuan teknologi di negara maju akan memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi yang sudah ada antara daerah yang sudah atau belum memiliki teknologi. Secara internasional, PBB secara aktif mempromosikan TIK untuk pembangunan (ICT4D) untuk menjembatani kesenjangan digital. 39

Melalui organisasinya UNESCO, PBB kemudian mempertajam program promosi ini lewat dua pertemuan yang diadakan oleh WSIS sebagai organisasi mitra di Jenewa 2003 dan Tunis 2005. Dari dua pertemuan ini, upaya mempersempit jurang digital terutama di lingkungan negara dunia ketiga, semakin terukur. Salah satunya dilakukan dengan memahami fenomena literasi di lingkungan pengguna produk TIK.

2. Literasi TIK Dalam kaitan itu, fenomena ICT literacy jadi banyak dipelajari akademisi dan

termasuk PBB sendiri. Pihak PBB sebagaimana dikutip Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) tampak telah lebih rinci dalam menjelaskan fenomena literasi ICT dimaksud (lihat bagan di bawah ). Dengan merujuk Young (1999) ICT Literacy disebutkan sebagai a combination on intellectual capabilities, fundamental concepts, and contemporary skills that a person should posses in order to navigate and

38

Istilah yang digunakan Martin Khor untuk menunjuk negara-negara Selatan dalam membandingkan posisinya dengan negara-negara maju pada konteks globalisasi. 39

( http://searchsmb.techtarget.com/sDefinition/ 0,,sid44 _gci928405, 00.html)

1

use information and communication technology effectively. Dari bagan yang dikutip itu terungkap pula bahwa dalam upaya membangun ICT Literacy tadi harus ditempuh lewat beberapa tahapan. Tahapan dimaksud meliputi : tahap information literacy, computer literacy, digital literacy dan internet literacy.

Bagan The Stages on HR ICT Literacy : es on

HR

Sumber : Blue Print Strategi Pengembangan ICT Indonesia, Depkominfo.

Penjelasan rinci mengenai literasi TIK yang dikemukakan PBB barusan tampaknya dikemukakan secara lebih sederhana oleh kalangan akademisi. Gordon W Smith40 kiranya merupakan salah satu di antara akademisi itu. Dalam makalahnya “ICT Literacy : Assessing Readiness For E-Learning” (2006), literasi TIK didefinisikannya sebagai sebuah jembatan di antara kemampuan informasi dan teknologi. Definisi mana kemudian disajikannya dalam sebuah model sederhana, sebagaimana tampak pada bagan berikut.

40

http://conference.merlot.org/2006/MICO6/MIC06Thursday/SmithICT.ppt#1

1

Dengan membandingkan antara model Smith dan model PBB sebelumnya maka diketahui bahwa penyederhanaan yang terjadi dalam model Smith yaitu berupa penggabungan komponen komputer literasi dan komponen digital literasi menjadi komponen technical literacy dan penggabungan komponen literasi internet dan literasi informasi ke dalam komponen information literacy.

Dengan penggabungan itu maka dalam model tersebut tampak menjadi jelas bahwa ICT Literacy (technical literacy dan information literacy) menjadi prakondisi yang berperan sebagai jembatan yang harus terpenuhi bagi terterwujudnya literasi informasi dan literasi komunikasi (Literasi TIK). Dengan demikian, Gordon W Smith tampak sudah berupaya mengetengahkan bahwa ICT Literacy itu berkaitan dengan alat-alat teknik yang memungkinkan orang terfasilitasi untuk bertindak informatif dan komunikatif. Alat-alat teknik dimaksud ia kemukakan dalam indikator-indikator aplikasi komputer seperti database, word processing, atau bold dalam konsep technical literacy. Di samping itu, ia juga tidak mengabaikan faktor literasi informasi sebagai bagian penting dalam konsep literasi TIK yang dikemukakannya. Dengan kata lain ia juga tidak mengabaikan faktor kualitas pemilik literasi teknikal dalam upaya perwujudan litarasi TIK sebelumnya. Dalam modelnya sendiri Gordon W Smith diantaranya mengemukakan ’access’; ’evaluate’; dan ’use’ sebagai beberapa indikator dalam konsep literasi informasi.

Akademisi lain yang mencoba memberikan batasan tentang technical literacy sebagai bagian dari ICT Literacy yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara information and communication literacy, adalah Lankshear (dalam, Kate Williams, 2007). Dalam kaitan ini, akademisi tersebut menyebut konsep technical literacy dengan konsep technological literacies. Disebutkan, “Literasi teknologikal mungkin dapat diartikan sebagai praktek sosial dimana teks (dengan kata lain, melalui perluasan arti bahasa) adalah membangun, menyebarkan, menerima, memmodifikasi, membagiakn (dan hal lain yang terlibat didalamnya), dalam proses yang menggunakan kode dengan

Information and Communication Literacy Can I find information on the web? Can I create a persuasive presentation?

ICT Literacy: a bridge between

Technical Literacy Information Literacy

Database Word Processing

Presentation

Can I bold a word? Can I open a database?

Access Evaluate Use

Can you find information? Can you evaluate authority?

1

peralatan digital elektronik, meskipun tidak secara eksklusif, dengan menggunakan (mikro) Komputer) (Dengan demikian, meskipun Smith sebelumnya tidak mengemukakan dengan tegas keterkaitan komponen computer dalam pengertian technical literacy sebagai bagian dari konsep ICT Literacy-nya, akan tetapi dalam definisi ICT Literacy-nya Lankshear sudah dengan tegas mengangkat komponen komputer tersebut dalam konsep Technological literacies.41

Berdasarkan pengertian sebelumnya menyangkut ICT literacy, maka dengan cara mereduksinya dapatlah diambil pengertian bahwa ICT literacy itu pada dasarnya merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang menyangkut dua hal yang meliputi kemampuan teknik (technical literacy) dan kemampuan informasi (information literacy) dalam kaitan keperluannya untuk melakukan aktifitas komunikasi dan informasi melalui medium computer.

Selanjutnya, di dalam komponen technical literacy sendiri, sebagai bagian dari komponen literasi TIK terkandung komponen-komponen kemampuan menyangkut: a. komputer literasi dan b. digital literasi. Sementara di dalam komponen information literacy terkandung komponen-komponen kemampuan menyangkut a. literasi internet dan b. literasi informasi.

a. Technical literacy Computer literacy

Sebagai salah satu bagian dari komponen technical literacy, computer literacy sendiri diantaranya diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan komputer guna memuaskan kebutuhan-kebutuhan personal (Rhodes, 1986). Sementara Watt (1980) mengartikan literasi computer dengan ”Kumpulan kemampuan, pengetahuan, pemahaman, nilai-nilai, dan hubungan yang diperkenankan oleh seseorang untuk memberikan fungsi yang nyaman sebagai masyarakat yang produktif mengunakan komputer - yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Ada yang mendefinisikan bahwa pengenalan komputer : sebuah pemahaman mengenai konsep, terminologi, dan operasi yang berkaitan dengan penggunaan komputer secara umum. Pengetahuan terpenting yang dibutuhkan dalam memfungsikan sebuah komputer secara independent. Termasuk didalamnya mampu memecahkan masalah, beradaptasi dengan situasi baru, menjaga informasi secara terorganisasi, dan komunikasi yang efektif dengan orang lain yang sedang memahami komputer. Ada juga yang mendefinisikan bahwa pengenalan komputer adalah pengetahuan dan kemampuan untuk menggunakan komputer dan teknologi secara efisien. Pengenalan komputer juga dapat mengacu pada tingkat kenyamanan seseorang saat menggunakan program komputer dan aplikasi lainnya yang digabungkan dengan komputer itu. Komponen lain yang tak kalah penting dalam pengenalan komputer adalah mengetahui bagaimana cara komputer bekerja dan beroperasi”42. Menurut Kate Williams saat menanggapi definisi literasi komputer yang dikemukakan Lankshear43, indicator

41Menurut Williams, This definition can encompass involving handheld games, video games, electronic translators, electronic organizers, compact disc players, and the like. . . . Our main interest . . . is with extant communications and practices of reading, writing, viewing, manipulating, communicating, etc. digital texts, and their potential integration into critical forms of literate practice (Williams, Kate, The University of Michigan, dalam http://www.uis.unesco.org/ev.php?URL_ID=5794&URL_ DO= DO_ TOPIC&URL_SECTION=201). 42 (http://en.wikipedia.org/ wiki/ Computer_literacy, taken on Nov., 21, 2007) 43Lankshear proposes a definition of computer literacies which is also helpful here: “Technological literacies” may be defined as social practices in which texts (i.e. meaningful stretches of language) are constructed, transmitted, received, modified, shared (and otherwise engaged), within processes employing codes which are digitized electronically, primarily, though not exclusively, by means of (micro)computers.

1

untuk mengukur literasi computer itu diantaranya dapat dirujuk dari definisi Lankshear itu. Sebagaimana dikatakannya, “definisi ini dapat meliputi keterlibatan handheld games, video games, penerjemah elektronik, agenda elektronik, CD players, dan hal lainnya yang mirip ...yang menarik perhatian kita....dengan komunikasi lain yang masih ada dan dipraktekkan dalam membaca, menulis, melihat, merubah, berkomunikasi, dan lain-lain, teks digital, dan potensi keterpaduannya terintegrasi ke dalam bentuk kritikal dari kemampuan praktik (1997,p.141)44

Dengan sejumlah definisi di atas dapat diartikan bahwa literasi komputer itu pada hakikatnya merupakan kepemilikan individu akan sekumpulan keahlian, pengetahuan, pemahaman, nilai-nilai dan saling keterkaitannya yang memungkinkan individu dimaksud untuk beraktifitas informasi dan komunikasi melalui medium computer guna terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pribadi. Aktifitas informasi dan komunikasi melalui medium computer dimaksud, wujudnya antara lain dapat berupa bermain game, menggunakan electronic translators, menulis teks secara digital, dan lain sejenisnya seperti menggunakan aplikasi data base dan melakukan word processing.

b. information literacy Banyak definisi tentang melek informasi/literasi informasi yang terus

berkembang sesuai kondisi di lapangan. Diantaranya yaitu kemampuan dalam mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dalam beraneka ragam format seperti buku, koran, video, CD,-ROM atau Web. Sedangkan menurut APISI “Literasi informasi adalah seperangkat ketrampilan untuk mendapatkan jalan keluar dari suatu masalah yang ada. Ketrampilan ini mencakup ketrampilan mengidentifikasi masalah, mencari informasi, menyortir, menyusun, memanfaatkan, mengkomunikasikan dan mengevaluasi hasil jawaban dari pertanyaan atau masalah yang dihadapi tadi”45Namun, pada hakekatnya literasi informasi dapat dikatakan sebagai seperangkat ketrampilan yang diperlukan untuk mencari, menelusur, menganalisa dan memanfaatkan informasi (Bundy, 2001).46

Mencari informasi bisa ke perpustakaan, toko buku, pusat-pusat informasi, Internet dll. Menelusur adalah upaya untuk menemukan kembali informasi yang yang telah disimpan. Jika ke pepustakaan perlu alat telusur yaitu katalog, baik yang memakai kartu katalog maupun OPAC (Online Public Access Catalog). Namun kalau mencari informasi ke Internet perlu alat telusur yang sering disebut dengan search engine. Jenis-jenis search engines untuk : 1. Informasi umum - Yahoo, Google, Altavista, Infoseek dll.; 2. Artikel Ilmiah - Scholar Google – http ://scholar.google.com ; 3. Gambar - http://www.ditto.com ; 4. File PDF - http://www.adobe.com ; 5. Musik - http://www.mp3search.com ; 6. Video - http ://www.searchvideo.com, http://video.aol.com;7. Ensiklopedi- http://www.-answers.-com ; 8. dll.

Ketrampilan berikut yang juga penting adalah ketrampilan menganalisa dan memanfaatkan informasi. Ketrampilan ini memerlukan kecerdasan logis, rasional dan pertimbangan secara menyeluruh. Jadi ketrampilan ini memerlukan sentuhan intelektual, emosional dan spiritual. Untuk itu perlu banyak membaca buku,

44 Kate Williams, The University of Michigan , “Literacy and Computer Literacy: Analyzing the NRC's Being Fluent with Information Technology”. 45 rettamd.blogspot.com 46Achmad, dalam http://www.lurik.its.ac.id/latihan/LITERASI%20INFORMASI2007abc.pdf

1

berinteraksi dengan orang-orang yang positif dan orang-orang yang sukses dalam kehidupan mereka.

Dengan demikian seseorang yang telah mempunyai ketrampilan tersebut akan dapat : menyadari kebutuhan akan informasi; menentukan informasi apa yang dibutuhkan; menelusur/mengakses informasi yang dibutuhkan secara efisien; mengevaluasi informasi dan sumber-sumbernya; memasukkan informasi pilihan tersebut ke dalam pengetahuan dasar mereka ; memanfaatkan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan; mengerti masalah ekonomi, hukum, sosial dan kebudayaan karena ;memanfaatkan informasi ; mengakses dan memanfaatkan informasi sesuai etika dan hukum yang berlaku;mengklasifikasi, menyimpan, mengolah dan merancang ulang informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan; mengetahui bahwa literasi informasi adalah syarat utama untuk belajar sepanjang hayat. (Bundy, 2001)

Internet literacy Medium internet yang secara konseptual dikenal pada tahun 1970, yang nota

bene secara fisik juga dikembangkan dari software bernama ARPANET yang dikembangkan pihak militer Amerika Serikat47, dalam kenyataan juga memiliki banyak batasan. Dalam kamus Merriam-Webster Online Dictionary bahwa komputer merupakan

Jaringan komunikasi elektronik yang menghubungkan jaringan komputer dan fasilitas komputer yang terorganisasi di seluruh dunia48. Menurut Your Dictionary, secara leksikal disebutkan bahwa internet mengacu pada sebuah kumpulan jaringan yang terhubung oleh49. Definisi lainnya yaitu the global network of public computers running Internet Protocol. Dengan definisi leksikal tersebut, maka substansi internet adalah menyangkut komunikasi antarmanusia di seluruh dunia melalui jaringan komunikasi elektronik yang dimungkinkan karena adanya koneksitas jaringan komputer. Dengan kata lain, internet berarti jutaan komputer di seluruh dunia yang saling berketersambungan. Karenanya, jika sebuah computer sudah tersambung dengan internet, maka komputer tersebut sudah terkoneksi dengan komputer-komputer lainnya melalui jaringan kabel telepon, kabel dan satelit. Web, e-mail, chat, dan newsgroups merupakan beberapa hal yang dapat dilakukan pada internet50.

Melihat pengertian internet sebelumnya, kiranya memperlihatkan bahwa melalui medium internet banyak hal dapat dilakukan oleh penggunanya. Namun begitu, seperti telah disinggung-singgung sebelumnya, kemampuan menggunakan internet sebagai medium untuk berinformasi dan berkomunikasi, membutuhkan adanya kemampuan-kemampuan tertentu yang secara terminologis disebut dengan literasi ICT (TIK). Literasi mana, seperti disinggung sebelumnya, di dalamnya terkandung komponen literasi teknikal dan literasi informasi.

Literasi internet sendiri, sebagai bagian dari komponen yang terdapat dalam information literacy, diketahui menjadi salah satu bagian kemampuan yang harus dipenuhi oleh setiap pengguna internet agar efektif dan efisien. Internet literacy sendiri memiliki banyak pengertian, dan diantaranya diartikan Doyle (1996) sebagai kemampuan dalam menggunakan pengetahuan teori dan praktik dalam hubungannnya dengan internet sebagai medium komunikasi dan pengelolaan informasi. Perbedaan

47http://www.exampleessays.com/viewpaper/32010.html 48http://www.merriam-webster.com/dictionary/Internet 49http://www.yourdictionary.com/internet 50(TekMom's Tech Buzzwords, dalam : http://www.tekmom.com/buzzwords/zdinternet.html).

1

definisi pada computer literacy (e.g.Higdon, 1995, Richter, Naumann & Groeben, 1999; Tully, 1996) dan internet literacy (Doyle, 1996, Levine & Donitsa-Schmidt, 1998; Richter et al., 1999) terletak pada: 1) pengetahuan teoretis dan praktik tentang komputer (hardware, software) dan internet (komunikasi, pencarian informasi); 2) keyakinan diri mengenai komputer dan internet; 3) penggunaan yang bertanggung jawab dan refleksi kritis mengenai komputer dan internet.

Dengan gambaran mengenai perbedaan di antara definisi computer literacy dan internet literacy sebelumnya, kiranya menunjukkan bahwa di antara kedua konsep cenderung menunjukkan pengertian saling tindih. Perbedaan yang nyata sebenarnya hanya terletak pada sisi bahwa pada literasi komputer itu berhubungan dengan kemampuan mengetahui, memahami dan mempraktekkan komponen hardware dan software komputer yang dibutuhkan untuk memanfaatkan fungsi komputer (misal untuk word processing maupun untuk beraktifitas komunikasi dan informasi melalui medium internet). Sementara literasi internet yaitu kemampuan untuk melakukan aktifitas komunikasi, pencarian informasi dan sejenisnya melalui medium internet guna memenuhi kebutuhan yang dimungkinkan terjadi hanya bila seseorang telah memiliki literasi komputer.

Berdasarkan uraian sebelum-sebelumnya, kiranya dapat diambil pengertian bahwa ICT Literasi sebenarnya merupakan gabungan antara technical literacy dan information literacy, dengan mana di dalam komponen technical literacy itu terkandung komponen komputer literasi dan digital literasi dan di dalam komponen information literacy tercakup komponen literasi internet dan literasi informasi. Dengan demikian, konsep literasi ICT sebenarnya bukan merupakan konsep yang tunggal melainkan konsep yang di dalamnya terdapat beragam sub konsep. Dengan begitu, upaya mengetahui kadar literasi ICT sesungguhnya merupakan sesuatu yang komplek. Namun demikian, kompleksitas dimaksud oleh Glasgow Caledonian University di Inggris telah berupaya mereduksasi kekompleksitasan literasi ICT itu. Hasilnya mereka tuangkan ke dalam Format Acuan Dasar Keterampilan Penggunaan ICT. Rumusan Glasgow Caledonian University di Inggris itu, menyangkut keterampilan penggunaan TIK standar yang dijabarkan sebagai berikut: a. Dasar-Dasar Penggunaan Komputer/Jaringan, mencakup : -Dapat melakukan log on and off ke suatu jaringan dengan menggunakan network ID and password; -Dapat menggunakan Graphical User Interface (Windows dan Mac); -Dapat mengelola file-file dengan menggunakan folder dan drives;-Mampu melakukan operasi manajemen data/file – seperti create, save, open dan close, menutup files; dan Mampu melakukan operasi manajemen file berikut - copy, delete, rename, dan move files. b. Surat Eletronik (e-mail), meliputi kemampuan : - Dapat membuka aplikasi email antara lain menyusun dan mengirim pesan/email; -Dapat membaca, menjawab, dan mem-forward pesan yang diterima-Dapat mengirim file sebagai attachments di sebuah email. c. Word Processing I, terdiri dari : - Dapat meng-edit secara sederhana dan memformat suatu teks/naskah;-Dapat menyimpan dan mencetak dokumen word processing (MS Word, dll.).; -Dapat menjalankan instruksi pemeriksaan ejaan di suatu dokumen; -Dapat menjalankan instruksi penjumlahan kata di suatu dokumen. d. Word Processing II, mencakup kemampuan : -Merubah margin;-Mengubah spasi;-Membentuk headers atau footers;-Menggunakan footnotes atau endnotes di dalam

2

dokumen untuk menampilkan referensi atau memberikan penjelasan.;-Menyisipkan nomor halaman atau tanggal ke dalam dokumen.;-Menyisipkan, menggunakan, dan memformat tabel;-Menggunakan automatic bullets atau penomoran pada paragraf;-Menyisipkan page breaks.;-Menyisipkan simbol/persamaan matematika ke dalam dokumen.;-Menggunakan Clip Art ke dalam dokumen.;-Meletakkan dan memindahkan framed objects ke dalam dokumen; dan -Menggunakan fasilitas drawing atau paket sejenis lainnya. e. Pencarian Informasi, meliputi : -Dapat mencari buku di sebuah katalog perpustakaan on-line;-Dapat mencari jurnal di sebuah katalog perpustakaan on-line;-Dapat mencetak hasil pencarian di perpustakaan online menjadi sebuah file.;-Dapat mengakses database elektronik;-Dapat menjalankan Internet browser dan bernavigasi di world wide web (www) untuk mencari sebuah alamat situs;-Dapat mencari di World Wide Web menggunakan browser;-Dapat menyimpan hasil pencarian; dan -Dapat mengakses internet gateways tertentu. f. Dasar-Dasar Lembar Kerja (= Spreadsheet), mencakup : -Dapat meng-enter, edit dan memformat data.;-Dapat menggunakan formula untuk menghitung.;-Dapat membuat grafik berdasarkan data dalam spreadsheet;-Dapat membuat judul dan menamakan sebuah chart. g. Memadukan Berbagai Aplikasi TI : -Dapat mengerjakan/mem-switch berbagai applikasi;-Dapat menyisipkan suatu file ke dalam file yang lain.;-Dapat meng-copy text dari web dan menyisipkannya ke dalam suatu dokumen.; dan -Dapat meng-copy gambar dari Web dan menyisipkannya ke dalam suatu dokumen. Definisi Konsep dan Operasionalisasi Konsep 1. Definisi konsep

Literasi TIK merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang menyangkut dua hal yang meliputi kemampuan teknik (technical literacy) dan kemampuan informasi (information literacy) dalam kaitan keperluannya untuk melakukan aktifitas komunikasi dan informasi melalui medium komputer. Untuk keperluan penelitian ini maka konsep Literasi TIK dimaksudkan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang anggota masyarakat pedesaan menyangkut persoalan teknikal (technical literacy) dan informasi (information literacy) dalam kaitan keperluannya untuk melakukan aktifitas komunikasi dan informasi melalui medium komputer.

2. Definisi Operasional Secara operasional literasi TIK anggota masyarakat pedesaan dijabarkan

dengan mengacu pada definisi Glasgow Caledonian University sebelumnya, yakni sebagai suatu kadar kemampuan mereka dalam hal melakukan aktifitas informatif dan komunikatif melalui medium komputer yang terkait dengan persoalan-persoalan : 1)Dasar-Dasar Penggunaan Komputer/Jaringan; 2)Surat Eletronik (e-mail); 3)Word Processing I; 4)Word Processing II; 5)Pencarian Informasi; 6) Dasar-Dasar Lembar Kerja (= Spreadsheet); dan 7) pemaduan berbagai aplikasi TI; 8. Pengetahuan tentang search engine. Secara rinci, batasan operasional ini dijabarkan kembali di dalam tabel operasionalisasi variabel berikut ini:

2

Tabel Operasionalisasi Variabel Literasi ICT

Skala Likert

(1 – 4)

Variabel

Mayor :

Variabel Minor /indikator

T S R

Level Peng-

ukuran

Literasi ICT 1. Dasar-Dasar Penggunaan Komputer/Jaringan : a. Dapat melakukan log on and off ke suatu

jaringan dengan menggunakan network ID and password.

b. Dapat menggunakan Graphical User Interface (Windows dan Mac).

c. Dapat mengelola file-file dengan menggunakan folder dan drives.

d. Mampu melakukan operasi manajemen data/file – seperti create, save, open dan close, menutup files

e. Mampu melakukan operasi manajemen file berikut - copy, delete, rename, dan move files.

2. Surat Eletronik (e-mail); a. Dapat membuka aplikasi email antara lain menyusun dan mengirim pesan/email.

b. Dapat membaca, menjawab, dan mem-forward pesan yang diterima. c. Dapat mengirim file sebagai attachments di sebuah email. 3. Word Processing I; a. Dapat meng-edit secara sederhana dan memformat suatu teks/naskah. b. Dapat menyimpan dan mencetak dokumen word processing (MS Word, dll.). c. Dapat menjalankan instruksi pemeriksaan ejaan di suatu dokumen. d. Dapat menjalankan instruksi penjumlahan kata

di suatu dokumen. 4. Word Processing II; a. Merubah margin. b. Merubah spasi c. Membentuk headers atau footers d. Menggunakan footnotes atau endnotes di dalam dokumen untuk menampilkan referensi atau memberikan penjelasan. e. Menyisipkan nomor halaman atau tanggal ke dalam dokumen. f. Menyisipkan, menggunakan, dan memformat tabel. g. Menggunakan automatic bullets atau penomoran pada paragraf. h. Menyisipkan page breaks. i. Menyisipkan simbol/persamaan matematika ke dalam dokumen. j. Menggunakan Clip Art ke dalam dokumen. k. Meletakkan dan memindahkan framed objects ke dalam dokumen. l. Menggunakan fasilitas drawing atau paket sejenis lainnya. 5. Pencarian Informasi; a. Dapat mencari buku di sebuah katalog perpustakaan on-line. b. Dapat mencari jurnal di sebuah katalog perpustakaan on-line. c. Dapat mencetak hasil pencarian di perpustakaan online menjadi sebuah file. d. Dapat mengakses database elektronik. e. Dapat menjalankan Internet browser dan bernavigasi di world wide web (www) untuk mencari sebuah alamat situs.

20 12 16 48 32

5 3 4 12 8

Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal

2

f. Dapat mencari di World Wide Web menggunakan browser. g. Dapat menyimpan hasil pencarian. h. Dapat mengakses internet gateways tertentu. 6. Dasar-Dasar Lembar Kerja (= Spreadsheet) a. Dapat meng-enter, edit dan memformat data b. Dapat menggunakan formula untuk menghitung c. Dapat membuat grafik berdasarkan data dalam spreadsheet. d. Dapat membuat judul dan menamakan sebuah chart 7. pemaduan berbagai aplikasi TI a. Dapat mengerjakan/mem-switch berbagai applikasi b. Dapat menyisipkan suatu file ke dalam file yang lain c. Dapat meng-copy text dari web dan menyisipkannya ke dalam suatu dokumen d. Dapat meng-copy gambar dari Web dan menyisipkannya ke dalam suatu dokumen. 8. Pengetahuan tentang search engine

16 16 28

4 4

Ordinal Ordinal Ordinal

Total skor 125,32-188,00

62,67 -125,32

0-62,66

Methode Penelitian

Penelitian dilaksanakan berdasarkan paradigma positivistik dengan pendekatan kuantitatif melalui metode survey. Obyek penelitiannya adalah anggota masyarakat pedesaan yang terpilih sebagai responden di lokasi sampel penelitian.

Penelitian dilakukan di dua lokasi pedesaan di Kepulauan Bangka Belitung. Kabupaten yang dijadikan sampel dilakukan secara purposive, yaitu : Provinsi Kepulauan Babel : Pemkot Pangkal Pinang dan Pemkab Bangka (Induk). Desa yang akan dijadikan area sampel di setiap wilayah pemerintahan sebelumnya akan ditentukan secara acak sederhana berdasarkan sejumlah desa yang ada menurut data pemerintah lokal yang aktual. Kedua desa terpilih yaitu Desa Tua Tunu di Pemkot Pangkal Pinang dan Desa Air Duren di Pemkab Bangka.

Populasi penelitian ini adalah anggota masyarakat di desa sampel yang distratifikasi menurut usia dalam kategori yang dirumuskan MDGs (Millennium Development Goals), yaitu : kategori Veterans (Pre-1946); Baby Boomers (1946-1964); The Xers (1965-1981); dan Millenials (1982-beyond). Jumlah sampel di setiap lokasi penelitian masing-masing sebanyak 50 responden. Dengan demikian, total responden penelitian ini sebanyak 100. Penentuan sampel responden dilakukan dengan teknik simple random sampling stratifikasi proporsional dengan mengacu pada unit-unit elementer dalam sampling frame yang dibuat berdasarkan data penduduk (menurut usia dalam kategori MDG’s) di area sampel penelitian.

Data primer penelitian dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan berpedoman pada instrument penelitian yang dibangun melalui proses perbandingan dengan instrument sejenis yang sudah ada sebelumnya. Instrument Penelitian yang digunakan adalah instrument yang telah direvisi berdasarkan masukan dari hasil pretest. Pretest dilakukan terhadap item-item yang bersifat multidimensional. Hasil yang dirujuk untuk pengaplikasian instrument adalah nilai reliabelitas statistik pada Cronbach’s Alpha yang berkisar 0, 80-1,00.

2

Data yang terkumpul diolah dengan bantuan komputer melalui dukungan program SPSS 12,0 for Windows. Pengolahan data diorientasikan pada out put data distribusi frekuensi dan central of tendency. Data dianalisis dengan menggunakan bantuan out put data statistik deskriptif dengan fokus pada data central of tendency dari data tabel distribusi frekuensi dan data tabel silang antara variabel literasi TIK dengan beberapa variabel karakteristik responden. Dari data yang terkumpul tersebut diharapkan akan dapat menjawab pertanyaan penelitian yang telah disrumuskan sebelumnya dalam penelitian ini, yaitu menyangkut kadar literasi TIK masyarakat pedesaan dan faktor yang berindikasi mempengaruhi kadar literasi TIK masyarakat pedesaan itu sendiri. PEMBAHASAN Hasil Penelitian A. Karakteristik Responden 1. Identitas Responden

Tabel 1 Responden Menurut Jenis Kelamin

n : 100

Jenis Kelamin Frequency Percent Laki-laki 68 68.0 Perempuan 32 32.0

Total 100 100.0

Data table 1 memperlihatkan bahwa responden penelitian ini sebagian besarnya terdiri dari responden berjenis kelamin laki-laki. Proporsinya mencapai 68 %. Sementara responden perempuan proporsinya sebanyak sepertiga dari total responden, yakni 32 %. Dengan demikian responden penelitian ini didominasi kalangan responden laki-laki.

Berkaitan dengan kategori usia responden, temuan menunjukkan bahwa mereka tersebar pada semua kategori MDGs. Data selengkapnya disajikan dalam tabel 2 berikut.

Tabel 2 Responden Menurut Usia dalam Kategori MDGs

n : 100

Kategori Usia Freque

ncy Percent Veteran (lahir <1946 14 14.0 Baby Boomers (lahir 1946 - 1964

32 32.0

Xers (lahir 1965 - 1982) 34 34.0 Millenial (lahir > 1982 20 20.0

Total 100 100.0

2

Dari data tabel 2 diketahui bahwa tidak terlihat adanya kedominanan responden pada salah satu kategori usia. Namun demikian, dari empat kategori usia maka tampak bahwa responden terbanyak adalah responden yang masuk dalam kategori Xers (lahir 1965 - 1982), di mana dengan proporsi 34 % berada di atas proporsi resoponden dalam kategori usia lainnya, yakni Baby Boomers (lahir 1946 – 1964) sebanyak 32 %, Millenial (lahir > 1982) 20 % dan Veteran (lahir <1946) dengan proporsi 14 %. Selanjutnya berkaitan dengan pendidikan, hasilnya disajikan dalam tabel 3 berikut.

Tabel 3 Responden Menurut Pendidikan Terakhir

n : 100 Pendidikan Terakhir Frequency Percent

SD

21 21,0 SLTP 39 39.0 SLTA 34 34.0 Diploma 5 5.0 Sarjana 1 1.0 Pasca Sarjana 0 0 Total 100 100.0

Mengacu pada data table 3 di atas diketahui bahwa responden penelitian ini umumnya berasal dari kalangan berpendidikan dasar dan menengah. Mereka yang berpendidikan SLTP proporsinya lebih banyak daripada responden berpendidikan lainnya yang jumlahnya mencapai 39 %. Sementara responden berpendidian SLTA jumlahnya lebih sedikit daripada yang berpendidikan SLTP, yakni 34 %. Demikian juga responden berpendidikan SD, juga lebih sedikit yakni 21 %. Sementara responden yang berpendidikan tinggi, jumlahnya relatif kecil yakni enam persen. Dari proporsi ini, maka yang berjenjang diploma 5 % dan sarjana hanya 1 %.

Tabel 4 Responden Menurut Jenis Pekerjaan

n : 100

Pekerjaan f % Petani 9 9.0 Buruh 7 7.0 Pedagang 17 17.0 Wira Usaha 8 8.0 PNS 6 6.0 Pegawai Swasta 18 18.0 Pelajar/Mahasiswa 14 14.0 Ibu Rumah Tangga 21 21.0 Total 100 100.0

Berkaitan dengan jenis pekerjaan responden, sebagaimana diperlihatkan data tabel 4 sebelumnya, responden bekerja pada delapan jenis pekerjaan. Dari jumlah ini, mereka terbanyak (21%) berstatus sebagai ibu rumah tangga, atau tidak bekerja.

2

Kemudian disusul oleh mereka yang bekerja sebagai pegawai swasta (18%) dan yang masih berstatus pelajar/mahasiswa yang nota bene juga belum memiliki pekerjaan dengan proporsi 14 %. Sementara responden lainnya yang bekerja pada empat jenis pekerjaan, yaitu PNS, buruh, wira usaha dan petani proporsinya berkisar 6-9 persen.

Kemudian, menyinggung aktifitas responden dalam bepergian ke ibu kota propinsi, dalam hal ini Pangkal Pinang, temuan menunjukkan adanya keragaman di kalangan responden (lihat tabel 5).

Tabel 5 Responden Menurut frekuensinya

Bepergian ke Ibukota Provinsi dalam Seminggu n : 100

Rata-rata bepergian dalam seminggu f % 0 kali 1 1.0 1 kali 19 19.0 2 kali 6 6.0 3 kali 11 11.0 4 kali 4 4.0 5 kali 4 4.0 6 kali 16 16.0 7 kali 39 39.0

Total 100 100.0

Dalam keragaman dimaksud, maka mereka yang bepergian rata-rata frekuensinya 7 kali dalam seminggu merupakan yang terbanyak di kalangan responden, di mana proporsinya sebanyak 39 %. Lalu mereka yang rata-rata 1 kali bepergian ke ibu kota provinsi dalam seminggu proporsinya 19 %. Disusul oleh responden yang rata-rata kunjungannya 6 kali dalam seminggu dengan proporsi 16 % dan yang rata-ratanya 3 kali dalam seminggu sebanyak 11 %. Sementara mereka yang kunjungannya 4-5 kali dalam seminggu proporsinya berjumlah sama yakni 4 % dan yang tidak melakukan aktifitas bepergian hanya dilakukan oleh seorang responden. Dengan pola distribusi data yang demikian kiranya dapat diartikan bahwa secara umum responden penelitian ini, meskipun mereka sebagai bagian dari komunitas pedesaan namun mereka umumnya adalah terdiri dari orang-orang yang tidak terisolir dari fenomena kehidupan perkotaan sehubungan mereka kerap bepergian ke ibu kota provinsi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa responden penelitian ini berindikasi sebagai anggota masyarakat yang juga memiliki pengetahuan akan berbagai perkembangan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam kaitannya dengan berbagai perkembangan ICT.

2. Responden terkait dengan produk ICT Dalam kaitan ini, temuan penelitian menunjukkan bahwa bagian terbesar

responden (74%) mengakui tidak pernah mengikuti aktifitas kursus komputer. Sebaliknya mereka yang mengakui pernah mengikuti kursus, proporsinya hanya seperempat (26 %) dari total responden. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa responden riset ini sebagian besarnya terdiri dari orang-orang yang tidak pernah

2

mengikuti aktifitas kursus komputer. Data lengkapnya disajikan dalam tabel 6 berikut.

Tabel 6 Responden Menurut Partisipasinya

dalam aktifitas kursus komputer n : 100

Frequency Percent Valid Pernah 26 26.0 Tidak

Pernah 74 74.0

Total 100 100.0

Selanjutnya, temuan penelitian ini juga menjumpai relatif minimnya (25 %) kalangan responden yang mengaku pernah menggunakan internet untuk keperluan akses informasi. Sebagian besar mereka (75.0 %) justru mengaku tidak pernah menggunakan internet untuk keperluan mengakses informasi. (Lihat tabel 7). Kemudian, dari kalangan responden yang mengaku pernah menggunakan internet untuk keperluan akses informasi tadi, dari sebanyak 25 responden maka 13 % diantaranya rata-rata menggunakan internet dalam sehari pada satu minggu terakhir sebanyak 2 kali. Kemudian disusul oleh responden yang rata-ratanya 1 kali dan 5 kali yang proporsinya masing-masing 5 %. Sementara responden yang mengaku rata-ratanya sebanyak 5 kali hanya 2 %. (lihat tabel 8). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa frekuensi akses internet di kalangan responden penelitian ini cenderung relatif rendah.

Mengenai tempat yang biasa digunakan responden untuk menggunakan internet guna mengakses informasi tadi, maka temuan menunjukkan ada empat tempat, yaitu di rumah, di kantor, di warnet dan di sekolah. Dari keempat tempat dimaksud, maka kantor (10%) dan sekolah (11%) menjadi tempat yang paling banyak diakui responden untuk menggunakan internet. Sedang warnet dan rumah sendiri, merupakan tempat yang sangat sedikit diakui responden. (lihat tabel 9). Fenomena ini sendiri tampaknya menjadi wajar jika dikaitkan dengan temuan data penelitian menyangkut kepemilikan media /alat TIK secara pribadi. Mengacu pada data tabel 10, kepemilikan komputer secara pribadi memang relatif sangat sedikit, di mana hanya 5 % responden yang memilikinya. Begitupun dengan e-mail address, juga relatif sedikit responden yang memilikinya yaitu 14 %. Kepemilikan produk TIK yang banyak muncul di kalangan responden yaitu menyangkut medium seluler, yakni mencapai 69 %. Meskipun demikian, sejalan dengan minimnya penggunaan internet tadi, dapat diasumsikan bahwa handphone yang mereka miliki itu tampaknya hanya sebagai medium standard yang belum bisa terkoneksi dengan internet.

2

Tabel 7 Responden Menurut

penggunaan internet untuk akses informasi n : 100

Frequency Percent Valid Pernah 25 25.0 Tidak

pernah 75 75.0

Total 100 100.0

Tabel 8

Responden Menurut Rata-rata menggunakan internet dalam sehari pada satu minggu terakhir

n : 100

Frequency Percent Valid 1 kali 5 5.0 2 kali 13 13.0

3 kali 5 5.0

5 kali 2 2.0 Total 25 25.0 Missing System 75 75.0 Total 100 100.0

Tabel 9

Responden Menurut Tempat biasa menggunakan internet untuk mengakses informasi

n : 100

Frequency Percent Valid Di rumah 1 1.0 Di kantor 10 10.0 Di

Warnet/sejenis 3 3.0

di Sekolah 11 11.0 Total 25 25.0 Missing System 75 75.0 Total 100 100.0

Tabel 10

Responden Menurut kepemilikan Media/alat TIK secara pribadi n : 100

Komputer E-mail Handphone Count 0 0 0 Media/alat TIK

yang dimiliki secara pribadi

% .0% .0% .0%

2

Count 0 0 0 Media/alat TIK yang dimiliki secara pribadi

% .0% .0% .0%

Count 5 0 0 Media/alat TIK yang dimiliki secara pribadi

% 100.0% .0% .0%

Count 0 0 0 Media/alat TIK yang dimiliki secara pribadi

% .0% .0% .0%

Count 0 14 0 Media/alat TIK yang dimiliki secara pribadi

% .0% 100.0% .0%

Count 0 0 0 Media/alat TIK yang dimiliki secara pribadi

% .0% .0% .0%

Count 0 0 69 Media/alat TIK yang dimiliki secara pribadi

% .0% .0% 100.0%

3. Kondisi TIK Desa

Berkaitan dengan kondisi TIK di pedesaan sampel, penelitian ini mencoba memotretnya dari beberapa faktor. Faktor-faktor itu terdiri dari : menyangkut pengetahuan responden mengenai keberadaan pedesaannya terkait medium faximile di wilayah pedesaan; media komputer diwilayah pedesaan; media warnet/CAP diwilayah pedesaan; media e-mail diwilayah pedesaan; media website diwilayah pedesaan; tentang bandwidth di wilayah pedesaan; penyediaan tenaga listrik di wilayah pedesaan; dan kondisi penyediaan tenaga listrik di wilayah pedesaan.

Sejalan dengan itu, berkaitan dengan medium faximile di wilayah pedesaan, maka temuan memperlihatkan sebagian besar (69%) responden mengakui tidak ada di desa mereka. Kemudian 29% menyatakan tidak tahu akan keberadaan faximile itu, sementara hanya dua responden yang menyatakan bahwa faximile itu ada di desa mereka.

Selanjutnya berkaitan dengan warnet/CAP, sebagian besar (70%) responden menyatakan tidak ada di wilayah pedesaan mereka. Sementara sisanya sebanyak 30% menyatakan tidak tahu tentang keberadaan warnet/CAP di wilayah pedesaan mereka. (lihat table 11). Dengan gambaran data ini kiranya mengindikasikan bahwa masyarakat desa sampel memang sudah terkondisi jauh dari medium internet yang pada gilirannya menyebabkan mereka jadi sulit atau tidak mungkin dapat menggunakan internet untuk keperluan akses informasi. Indikasi yang demikian memang dikuatkan dengan temuan data menyangkut tempat biasa menggunakan internet untuk mengakses informasi sebelumnya (lihat tabel 9), di mana responden yang memanfaatkan warnet itu memang relatif minim yaitu hanya 3%.

Tabel 11 Tentang Keberadaan Media Warnet/CAP Diwilayah Pedesaan

n : 100

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent Tidak ada 70 70.0 70.0 70.0

Tidak tahu

30 30.0 30.0 100.0

Valid

Total 100 100.0 100.0

2

Selanjutnya berkaitan dengan warnet/CAP, sebagian besar (70%) responden

menyatakan tidak ada di wilayah pedesaan mereka. Sementara sisanya sebanyak 30% menyatakan tidak tahu tentang keberadaan warnet/CAP di wilayah pedesaan mereka. (lihat tabel 11). Dengan gambaran data ini kiranya mengindikasikan bahwa masyarakat desa sampel memang sudah terkondisi jauh dari medium internet yang pada gilirannya menyebabkan mereka jadi sulit atau tidak mungkin dapat menggunakan internet untuk keperluan akses informasi. Indikasi yang demikian memang dikuatkan dengan temuan data menyangkut tempat biasa menggunakan internet untuk mengakses informasi sebelumnya (lihat tabel 9), di mana responden yang memanfaatkan warnet itu memang relatif minim yaitu hanya 3%.

Menyinggung persoalan pengetahuan responden akan ragam fasilitas untuk berkomunikasi melalui internet yang ada di desanya, misalnya seperti e-mail, website, serta fasilitas penunjang lainnya seperti besaran bandwidth dan kondisi kelistrikan yang ada di desa, temuan menunjukkan bahwa, misalnya menyangkut e-mail, maka bagian terbesar responden (64%) menyatakan e-mail itu tidak ada di desa mereka. Sementara kurang lebih sepertiganya (35%) menyatakan tidak tahu akan keberadaan e-mail itu, dan hanya 1% saja responden yang menyatakan bahwa e-mail itu ada di desanya. (lihat table 12). Terkait dengan keberadaan website, fenomenanya sama persis dengan pengetahuan responden akan keberadaan e-mail di pedesaan, di mana bagian terbesarnya (54%) menyatakan tidak ada website itu di desa mereka dan sepertiganya (35%) menyatakan tidak tahu keberadaan website itu. (lihat tabel 13). Sementara mengenai keberadaan bandwidth, temuan memperlihatkan tidak satupun responden mengetahui keberadaannya, berapa besaran bandwidth yang tersedia di wilayah pedesaan mereka. Sedang menyangkut kondisi kelistrikan di desa yang menurut 100 % responden mendapat suplai dari PLN, yakni fasilitas yang memungkinkan bagi penggunaan produk-produk elektronik termasuk komputer yang terkoneksi dengan internet, maka 43 % responden menyatakan kondisinya baik, 39 % menyatakan cukup baik, 17% kurang baik, dan hanya 1 % menyatakan sangat baik.(lihat tabel 14). Dengan demikian, terkait dengan kondisi listrik tersebut, maka dapat dikatakan bahwa di pedesaan responden itu, terkait penggunaan internet dalam hubungannya dengan listrik, cenderung tidak menjadi persoalan bagi responden dan masyarakat pedesaan pada umumnya. .

Tabel 12 Responden Menurut Pengetahuannya

Tentang keberadaan media E-mail diwilayah pedesaan ini

n : 100

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent Ada 1 1.0 1.0 1.0

Tidak ada 64 64.0 64.0 65.0 Tidak tahu

35 35.0 35.0 100.0

Valid

Total 100 100.0 100.0

3

Tabel 13 Responden Menurut Pengetahuannya

Tentang keberadaan media website diwilayah pedesaan

n : 100

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent Ada 1 1.0 1.0 1.0

Tidak ada 64 64.0 64.0 65.0

Tidak tahu

35 35.0 35.0 100.0

Valid

Total 100 100.0 100.0

Tabel 14

Responden Menurut Pengetahuannya Tentang keberadaan kondisi Ketersediaan tenaga listrik di wilayah pedesaan

n : 100

Frequency Percent Valid Percent Cumulative

Percent Sangat baik

1 1.0 1.0 1.0

Baik 43 43.0 43.0 44.0 Cukup baik

39 39.0 39.0 83.0

Kurang baik

17 17.0 17.0 100.0

Valid

Total 100 100.0 100.0

B. Literasi TIK Masyarakat

Tabel 15 Responden Menurut Tingkat Literasi TIK

n : 100

Tingkat Literasi TIK Frequency Percent Tinggi 25 25.0 Sedang 7 7.0 Rendah 68 68.0

Total 100 100.0

Mengacu pada data tabel 15 di atas menunjukkan bahwa dengan penurunan

level pengukuran kadar literasi TIK responden dari rasio ke ordinal, maka skor kadar literasi TIK responden terindikasi menjadi tiga kelompok kadar literasi, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Dari tiga kelompok dimaksud maka temuan menunjukkan kadar literasi TIK responden itu sebagian besarnya (68%) tergolong rendah. Sementara responden yang tergolong tinggi kadar literasi TIK-nya jumlahnya relatif memadai yaitu mencapai seperempat (25%) bagian dari total responden. Sedang yang tergolong sedang kadar literasi TIK-nya relatif kecil yaitu 7%. Jadi, dengan distribusi data dimaksud maka dapat dikatakan bahwa kecenderungan yang muncul di kalangan responden adalah bahwa mereka pada

3

umumnya memiliki kadar literasi TIK yang rendah. Hal ini tentunya menjadi indikasi tambahan yang tentunya menjadi penguat bagi persoalan Literasi TIK masyarakat pedesaan Indonesia yang disinyalir the gap of digital divide-nya memang lebih lebar.

Mengingat faktor literasi TIK mengindikasikan sebagai enabler lain yang menentukan dalam memaksimalkan peran TIK dalam membawa masyarakat pedesaan menuju masyarakat informasi, maka dengan gambaran temuan tadi kiranya dapat menyiratkan kalau bagian terbesar responden tadi menjadi sulit untuk bisa memaksimalkan peran TIK dalam konteks kepesertaan anggota masyarakat pedesaan sebagai masyarakat informasi. Hal ini tentunya berbeda bagi sebagian kecil responden (25%) yang memiliki kadar literasi TIK yang tinggi tadi. Dengan kadar literasi TIK yang mereka miliki tesebut, ini berarti dengan sendirinya mereka menjadi termungkinkan dapat memaksimalkan peran TIK. Di sisi lain, fenomena ini juga menandakan bahwa di lingkungan masyarakat pedesaan ternyata tidak seluruhnya tergolong pada masyarakat yang kesenjangan digitalnya lebar. Temuan yang demikian tentunya menjadi pertanyaan yang menarik, yakni anggota masyarakat pedesaan dengan karakteristik bagaimanakah yang kadar literasi TIK-nya itu tinggi? Untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan jawabannya, riset ini mencoba menelusurinya dari penyilangan data kadar litarsi TIK tadi dengan sejumlah data karakteristik responden. Hasilnya sbb.:

Tabel 16 Responden Menurut Tingkat Literasi TIK

Terkait Usia dala Kategori MDGs n : 100

Scor Total Literasi TIK Total

Tinggi Sedang Rendah Kategori MDGs

Veteran (lahir <1946

0 0 14 14

Baby Boomers (lahir 1946 - 1964

0 0 32 32

Xers (lahir 1965 - 1982)

12 0 22 34

Millenial (lahir > 1982

13 7 0 20

Total 25 7 68 100

Dengan data table 16 di atas menunjukkan bahwa mereka yang tergolong

rendah kadar literasi TIK-nya yaitu semua responden sebanyak 32 yang usianya tergolong Baby Boomers (lahir 1946 – 1964), sebagian besar responden Xers (lahir 1965 – 1982) yang sebanyak 22 responden dan semua responden Veteran (lahir <1946) sebanyak 14 reponden. Mereka yang sedang kadar literasi ICT-nya adalah sebagian dari mereka yang usia tergolong kelompok Millenial (lahir > 1982. Sementara mereka yang tinggi kadar literasi ICT-nya adalah sebagian dari responden yang berasal dari kelompok Xers (12) dan sebagian responden (13) dari kelompok Millenial. Dengan gambaran data tersebut maka diketahui bahwa bagian kecil dari masyarakat pedesaan yang memiliki kadar literasi TIK tinggi tadi ternyata

3

responden yang dari segi usia berasal dari sebagian kelompok Xers dan sebagian dari kelompok Millenial. Kelompok usia yang demikian dalam kategori MDG’s memang diasumsikan sebagai kelompok usia yang dekat dengan target pencapaian masyarakat informasi, yang diasumsikan literasi TIK-nya lebih baik dibandingkan dengan dua kelompok usia lainnya, yaitu Baby Boomers (lahir 1946 – 1964), dan terlebih lagi kelompok usia Veteran (lahir <1946) yang secara natural relative jauh dari suasana perkembangan TIK dibanding dengan kelompok usia Xers (lahir 1965 – 1982) dan terlebih lagi kelompok usia Millenial.

Kemudian, jika ditelusuri lebih jauh mengenai responden Xers dan Millenial yang kadar literasi TIK-nya tiggi tadi dari segi jenis pekerjaan mereka, maka diketahui bahwa mereka yang tergolong kelompok responden Xers itu bagian terbesarnya adalah bekerja sebagai pegawai swasta (8) dan yang berkerja sebagai PNS (4). Sementara dari responden Millenial, mereka yang kadar literasi TIK-nya tinggi tadi, dari segi pekerjaan mereka sebagian besar adalah yang pekerjannya sebagai mahasiswa/pelajar (11), PNS (1) dan sebagian dari responden yang bekerja sebagai pegawai swasta (1) (lihat table 17).

Tabel 17

Responden Menurut Tingkat Literasi TIK Terkait Usia dalam Kategori MDGs Dalam Hubungan Jenis Pekerjaan

n : 100

Kategori MDGs Scor Total Literasi TIK Total

Tinggi Sedang Rendah Veteran (lahir <1946 Pekerjaan Petani 3 3 Pedagang 6 6 Wira Usaha 4 4 Ibu Rumah Tangga 1 1 Total 14 14 Baby Boomers (lahir 1946 - 1964

Pekerjaan Petani 2 2

Buruh 4 4 Pedagang 9 9 Wira Usaha 2 2 Pegawai Swasta 5 5 Ibu Rumah Tangga 10 10 Total 32 32 Xers (lahir 1965 - 1982) Pekerjaan Petani 0 4 4 Buruh 0 3 3 Pedagang 0 2 2 PNS 4 1 5 Pegawai Swasta 8 3 11 Ibu Rumah Tangga 0 9 9 Total 12 22 34 Millenial (lahir > 1982 Pekerjaan Wira Usaha 0 2 2 PNS 1 0 1 Pegawai Swasta 1 1 2 Pelajar/Mahasiswa 11 3 14 Ibu Rumah Tangga 0 1 1 Total 13 7 20

Selanjutnya, kadar literasi TIK dalam hubungannya dengan tingkat

pendidikan responden. Temuan datanya disajikan dalam table berikut.

3

Tabel 18 Responden Menurut Tingkat Literasi TIK

Terkait Tingkat Pendidikan Terakhir n : 100

Scor Total Literasi TIK

Tinggi

Sedang Rendah

Total SD 0 1 20 21

SLTP 0 2 37 39

SLTA 19 4 11 34 Diploma 5 0 0 5

Pendidikan Terakhir

Sarjana 1 0 0 1

Total 25 7 68 100

Data table 18 menunjukkan bahwa dari segi pendidikan, mereka yang

literasi TIK-nya rendah tadi umumnya adalah berasal dari responden yang berpendidikan SLTP (37), lalu berasal dari hampir semua responden berpendidikan SD (20 dari 21), dan sebagian (11) dari responden berpendidikan SLTA (11). Sementara mereka yang kadar literasi TIK-nya sedang, temuan menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan responden yang sebagian dari yang berpendidikan SLTA (4), dari sebagian kecil responden berpendidikan SLTP (2) dan juga dari sebagian kecil responden berpendidikan SD (1). Sedang responden yang kadar literasi TIK-nya tinggi tadi, maka dari segi pendidikan menunjukkan bahwa mereka adalah bagian terbesar dari responden yang berpendidikan SLTA (19). Selain itu, juga berasal dari semua responden yang berpendidikan diploma (5) dan sarjana (1).

Dengan gambaran data dimaksud maka diketahui bahwa bagian kecil dari responden masyarakat pedesaan yang memiliki kadar literasi TIK tinggi tadi, ternyata adalah kalangan responden yang dari segi pendidikan berasal dari bagian terbesar responden yang berpendidikan SLTA dan dari semua responden yang berpendidikan diploma dan sarjana. Kemudian jika fenomena ini didalami lebih lanjut dari sudut pekerjaan responden, maka diketahui bahwa mereka ini memang bekerja di lingkungan-lingkungan yang dekat dengan titik akses produk TIK seperti komputer dan sejenisnya. Hal ini setidaknya tergambar dari data tempat responden bekerja seperti tampak dalam tabel 19 berikut. Dari tabel itu diketahui bahwa dari 19 responden SLTA yang memiliki literasi tinggi, 4 diantaranya bekerja sebagai PNS, 4 lagi sebagai pegawai swasta, dan sebagian besarnya (11) berstatus atau bekerja sebagai pelajar/mahasiswa. Ketiga jenis pekerjaan ini tentunya secara lokalitas umumnya kerap melengkapi organisasinya dengan perangkat-perangkat komputer.

3

Tabel 19 Responden Menurut Tingkat Literasi TIK

Terkait Tingkat Pendidikan Terakhir Dalam hubungan dengan Jenis Pekerjaan n : 100

Pekerjaan Scor Total Literasi TIK Total

Tinggi Sedang Rendah Petani Pendidikan

Terakhir SD

4 4

SLTP 3 3

SLTA 2 2

Total 9 9 Buruh Pendidikan

Terakhir SLTP

7 7

Total 7 7

Pedagang Pendidikan Terakhir

SD 6 6

SLTP 11 11

Total 17 17 Wira Usaha Pendidikan

Terakhir SD

0 4 4

SLTP 0 2 2 SLTA 2 0 2

Total 2 6 8

PNS Pendidikan Terakhir

SLTA 4 1 5

Diploma 1 0 1 Total 5 1 6 Pegawai Swasta Pendidikan

Terakhir SLTP

0 0 1 1

SLTA 4 1 7 12

Diploma 4 0 0 4

Sarjana 1 0 0 1

Total 9 1 8 18

Pelajar/Mahasiswa Pendidikan Terakhir

SD 0 1 1

SLTP 0 2 2 SLTA 11 0 11

Total 11 3 14 Ibu Rumah Tangga Pendidikan

Terakhir SD

0 6 6

SLTP 0 13 13

SLTA 1 1 2

Total 1 20 21

Kemudian, data penelitian ini juga menunjukkan bahwa para responden

yang memiliki kadar literasi TIK tinggi tadi, juga mengindikasikan adanya keterkaitan dengan masalah partisipasi dalam kursus komputer. Indikasi dimaksud setidaknya tergambar dalam data table 20, di mana responden yang berkadar literasi TIK tinggi itu umumnya (84,0%) memang berasal dari para responden yang pernah mengikuti kursus komputer. Sementara responden yang berkadar literasi TIK rendah itu umumnya (97%) memang terdiri dari mereka yang tidak pernah mengikuti kursus komputer. Begitu juga dengan faktor kosmopolitanisme,

3

tampaknya juga mengindikasikan keterkaitannnya dengan soal kadar literasi TIK responden. Hal ini setidaknya terindikasi dari faktor keseringan responden pedesaan bersentuhan dengan dunia luar mereka, yakni ibu kota propinsi. Terkait dengan ini, sebagaimana ditunjukkan data tabel 21, mereka yang tinggi kadar literasi TIK-nya adalah para responden kelompok Xers yang mengunjungi Ibukota Provinsi rata-rata 6-7 kali dalam seminggu. Sama halnya dengan responden kelompok Millenial yang tinggi kadar literasi TIK-nya, melakukan kunjungan ke ibukota provinsi itu juga rata-rata 6-7 kali dalam seminggu.

Tabel 20 Responden menurut Partisipasi dalam Kurus Komputer

n : 100

Scor Total Literasi TIK

Tinggi

Sedang

Rendah

Total Count 21 3 2 26 % within Scor Total Literasi TIK

84.0% 42.9% 2.9% 26.0%

Pernah

% of Total 21.0% 3.0% 2.0% 26.0% Count 4 4 66 74 % within Scor Total Literasi TIK

16.0% 57.1% 97.1% 74.0%

Partisipasi dalam kursus komputer

Tidak Pernah

% of Total 4.0% 4.0% 66.0% 74.0% Count 25 7 68 100 % within Scor Total Literasi TIK

100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Total

% of Total 25.0% 7.0% 68.0% 100.0%

Tabel 21

Responden menurut Kadar Literasi TIK Dalam Hubungan Kekerapan Mengunjungi Ibukota Provinsi terkait kategori Usia

n : 100

Kategori MDGs Scor Total Literasi TIK

Tinggi Sedang Rendah Total Kunjungan ke

Ibukota Provinsi 0 kali

1 1

1 kali 2 2

3 kali 5 5

4 kali 2 2

Veteran (lahir <1946

5 kali 3 3

3

7 kali 1 1

Total 14 14

Baby Boomers (lahir 1946 - 1964

Kunjungan ke Ibukota Provinsi

1 kali 11 11

2 kali 2 2

3 kali 2 2

4 kali 2 2

6 kali 6 6

7 kali 9 9

Total 32 32

Xers (lahir 1965 - 1982)

Kunjungan ke Ibukota Provinsi

1 kali

0 6 6

2 kali 0 3 3

3 kali 0 3 3

5 kali 0 1 1

6 kali 3 3 6

7 kali 9 6 15

Total 12 22 34

Millenial (lahir > 1982

Kunjungan ke Ibukota Provinsi

2 kali 1 0 1

3 kali 0 1 1

6 kali 2 2 4

7 kali 10 4 14

Total 13 7 20

PENUTUP

Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal penelitian ini, fokus permasalahan yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalah menyangkut kadar literasi TIK (ICT) masyarakat pedesaan di Kepulauan Bangka Belitung beserta faktor yang mempengaruhinya. Terkait dengan ini maka dalam bagian ini dapat dikemukakan temuan-temuan sbb.:

(1) Menyangkut kadar literasi TIK, maka kecenderungan yang muncul di kalangan responden pedesaan adalah bahwa mereka pada umumnya memiliki kadar

3

literasi TIK yang rendah. Sebagian kecil saja diantaranya yang memiliki kadar literasi TIK tinggi.;

(2) Di antara sebagian kecil responden yang memiliki kadar literasi TIK tinggi, dari segi karakteristik mereka terdiri dari anggota masyarakat pedesaan yang dari segi usia berasal dari sebagian kelompok Xers dan sebagian dari kelompok Millenial. Kelompok responden Xers itu bagian terbesarnya bekerja sebagai pegawai swasta dan yang berkerja sebagai PNS. Sementara responden Millenial tadi, sebagian besarnya bekerja sebagai mahasiswa/pelajar. Sementara dari segi pendidikan, mereka ini juga diketahui bagian terbesarnya merupakan responden yang berpendidikan SLTA. Selain itu, juga berasal dari semua responden berpendidikan diploma dan sarjana. Dari sudut pekerjaan juga diketahui mereka ini memang bekerja di lingkungan-lingkungan yang dekat dengan titik-titik akses produk ICT seperti komputer dan sejenisnya. Di samping itu, responden yang memiliki kadar literasi ICT tinggi ini juga dikatahui terdiri dari responden yang pernah mengikuti kursus komputer, dan mereka pun juga kerap mengunjungi ibukota provinsi setiap minggunya.

Dari hasil analisis terhadap temuan-temuan dimaksud, dapat disimpulkan beberapa hal sbb.:

(1) Mengingat faktor literasi TIK mengindikasikan sebagai enabler lain yang menentukan dalam memaksimalkan peran TIK dalam membawa masyarakat pedesaan menuju masyarakat informasi, maka dengan gambaran temuan tadi kiranya dapat menyiratkan kalau bagian terbesar responden tadi menjadi sulit untuk bisa memaksimalkan peran TIK dalam konteks kepesertaan anggota masyarakat pedesaan sebagai masyarakat informasi. Hal ini tentunya berbeda bagi sebagian kecil responden yang memiliki kadar literasi TIK yang tinggi tadi. Dengan kadar literasi TIK yang mereka miliki tesebut, ini berarti dengan sendirinya mereka menjadi termungkinkan dapat memaksimalkan peran TIK. Di sisi lain, fenomena ini juga menandakan bahwa di lingkungan masyarakat pedesaan ternyata tidak seluruhnya tergolong pada masyarakat yang kesenjangan digitalnya lebar.

(2) Ada indikasi bahwa faktor-faktor karakteristik menyangkut kelompok umur; jenis pekerjaan; tingkat pendidikan; keterlibatan dalam kursus komputer; dan kosmopolitanisme berhubungan dengan kadar literasi ICT responden.

Daftar Pustakaan

Adebayo. 2007. Awareness, access and usage of information and communication technologies between female researchers and extensionists, dalam International Journal Of Education And Development Using ICT ; Vol 3(1), dalam : http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=282&layout=html.

Albirin i, Abdulkafi, 2006, Cultural perceptions: The missing element in the implementation of ICT in developing countries, International journal of education and development using ICT ; Vol 2(1). http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=146&layout=html

Bill Martin, dalam “The Information Society and the Digital Divide: Some North-South comparisons”, dalam, international journal of education and development using ICT ; Vol 1(4) 2005. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in : http://ijedict.dec.uwi.edu/-viewarticle. php?id=128&layout=html.

3

Braa, Jørn, et. al,” A Study of the Actual and Potential Usage of Information and Communication Technology at District and Provincial Levels in Mozambiqu”, dalam International journal of education and development using ICT, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php.

Campbell (2001, p.1), dalam, Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

Duncombe, R. A. (2001) Information, Technology, and Small, Medium and Micro Enterprise Development in Botswana. Doctor of Philosophy Thesis. Institute for Development Policy and Management, dalam : Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam, international journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

Egl_ Butkevicien, dalam, Social dimensions of ICT diffusion in rural communities). E.L.Adebayo, E.L danO.M.Adesope,2007, “ Awareness, access and usage of information

and communicationtechnologies between female researchers and extensionists", dalam , International journal of education and development using ICT ; Vol 3(1) 2007, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewissue.php?id=11.

Elijah, Obayelu A. dan Ogunlade, I., 2006, “Analysis of the uses of information and communication technology for gender empowerment and sustainable poverty alleviation in Nigeria”, dalam International Journal of Education and Development Using ICT; Vol 2(3) 2006, dalam, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=172&layout =html.

Ellis F. (2000) Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries, Oxford University Press, dalam Erwin A. Alampay, “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam, International Journal Of Education And Development Using ICT ; Vol 2(3) 2006, http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

Erwin A. Alampay, 2006, the concept of a 'digital divide' that focuses on the lack of access to information and communication technologies (ICTs) among segments of society, dalam “Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07., http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :

Glenda Gay, et.al., 2006. Perceptions of information and communication technology among undergraduate management students in Barbados., dalam International Journal Of Education And Development Using ICT, Vol 2(4), http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=223&layout=html.

McNamara, K.S. (2000). 'Why be Wired? The Importance of Access to Information and Communication Technologies', TechKnowLogia, March/April 2000. Knowledge Enterprise, Inc.

Obayelu A. , Elijah dan Ogunlade, I. ,“ Analysis of the uses of information and communication technology for gender empowerment and sustainable poverty alleviation in Nigeria”, dalam International journal of education and

3

development using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; in : http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=172&layout=html.

Prosser, T. (2000) The Law and Regulators, Clarendon Press Oxford., dalam Erwin A. Alampay. 2006 . Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society.dalam, International Journal Of Education And Development Using ICT ; Vol 2(3) http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle. php?id

=196&layout=html Rangaswamy, Nimmi,“Social Entrepreneurship as Critical Agency: A study of Rural

Internet kiosks”, dalam , http://topics.developmentgateway.org/ict. Sanderson, Stephen K. 1991, Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas

Sosial, edisi kedua, terjemahan, Farid Wajidi dan S. Meno, cetakan ketiga, 2000, Jakarta: RajaGrafindo Persada, PT., hal. 606.

World Summit on the Information Society (WSIS) (2003). Declaration of Principles. 12 December. Document WSIS-03/GENEVA/DOC/4-E

World Bank (1998) World Development Report 1998/99: Knowledge for development. The International Bank for Reconstruction and Development/ The World Bank. Oxford University Press., dalam : Erwin A. Alampay. 2006. Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society”, dalam, International Journal Of Education And Development Using ICT ; Vol 2(3), http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

Waverman, Mesch & Foss as cited in The Economist 2005b, dalam Erwin A. Alampay. 2006. Beyond access to ICTs: Measuring capabilities in the information society, International journal of education and development using ICT ; Vol 2(3), http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=196&layout=html :.

Williams,Kate,The University of Michigan, http://www.uis.unesco.org/ev.php?URL_ID= 5794&URL_DO= DO_ TOPIC&URL_SECTION=201).

Narayan, Gyanendra and Nerurkar , Amrutaunshu N. , 2006 , ”Value-proposition of e-governance services: Bridging rural-urban digital divide in developing countries” dalam , International Journal Of Education And Development Using ICT ; Vol 2(3) 2006. taken on March, 31, 07 by hasyim ali imran; http://ijedict.dec.uwi.edu/viewarticle.php?id=189&layout=html