naskah akademik rancangan undang-undang … · dilakukan melalui koordinasi antar lembaga/otoritas...
TRANSCRIPT
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK)
Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2015
i
KATA PENGANTAR
Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan diiringi puji syukur
ke hadirat-Nya, kegiatan penyusunan Undang-Undang tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) telah dapat diselesaikan.
Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan ini sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum bagi
implementasi sistem pengamanan dalam rangka memelihara Stabilitas
Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya yang tertuang dalam
mekanisme Jaring Pengaman Sistem Keungan (JPSK).
Pengalaman krisis yang pernah dihadapi Indonesia dan negara lain,
mendorong suatu kesadaran bahwa kewaspadaan dan kesiapan yang lebih
baik dalam menghadapi krisis sistem keuangan di masa mendatang mutlak
diperlukan. Implementasi dari kewaspadaan dan kesiapan tersebut dapat
dilakukan melalui koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam sistem
keuangan Indonesia dalam kerangka JPSK. Dalam hal ini, koordinasi
dilakukan dalam rangka memelihara dan menangani Stabilitas Sistem
Keuangan secara terpadu dan efektif. Koordinasi tersebut antara lain
meliputi pemantauan terhadap kondisi Stabilitas Sistem Keuangan
sekaligus menetapkan tindakan yang perlu dilakukan dalam menghadapi
permasalahan di dalam sistem keuangan dan kondisi Stabilitas Sistem
Keuangan tidak normal.
Keberadaan UU JPSK diharapkan dapat memberikan keyakinan bagi
pengambil keputusan dalam mengambil kebijakan dalam rangka
memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya.
Hal ini dilakukan dengan melibatkan seluruh lembaga/otoritas yang terkait
di dalam sistem keuangan. Di sisi lain, keberadaan UU JPSK ini juga
diharapkan dapat menghindarkan para pengambil keputusan dan
kebijakan yang diambil dari dispute yang dapat terjadi karena kurangnya
koordinasi dan keterbukaan informasi serta governance dalam mekanisme
koordinasi antar lembaga/otoritas.
Selanjutnya, disahkannya UU JPSK merupakan langkah nyata dalam
rangka mendukung Stabilitas Sistem Keuangan nasional yang aman, sehat,
2015
2015
ii
terpercaya, dan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
sistem keuangan Indonesia. Kondisi tersebut dapat membawa implikasi
positif dalam rangka menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem
Keuangan serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Tim Penyusun Naskah Akademik
Kementerian Keuangan
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
i
iii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 8
C. Tujuan dan Kegunaan 8
D. Metode 9
BAB II. KAJIAN TEORI DAN PRAKTIK EMPIRIS 12
A. Kajian Teoritis 12
B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan
Penyusunan Norma
19
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang
Ada, Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
24
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang
akan Diatur Dalam UU JPSK Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Keuangan Negara
29
BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
77
A. Evaluasi dan Analisis terhadap Perpu No.4 Tahun 2008 77
B. Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait 79
BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
96
A. Landasan Filosofis 96
B. Landasan Sosiologis 97
C. Landasan Yuridis 98
BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
100
A. Sasaran 100
B. Jangkauan dan Arah Pengaturan 100
C. Ruang Lingkup Materi Muatan 101
BAB VI. PENUTUP 141
A. Simpulan 141
B. Saran 144
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
145
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada akhir tahun 1990–an, Indonesia mengalami krisis
moneter yang diawali krisis di sektor perbankan. Krisis tersebut
berimbas pada perekonomian dan stabilitas nasional sehingga
Stabilitas Sistem Keuangan nasional menghadapi tantangan yang
sangat berat. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan
nasional menurun tajam, ditandai dengan terjadinya penarikan
dana secara besar-besaran oleh nasabah perbankan. Akibatnya,
sejumlah Bank mengalami kesulitan likuiditas dan permasalahan
solvabilitas yang menjurus kepada runtuhnya sistem perbankan
nasional dan pada gilirannya berdampak pada terganggunya
sistem pembayaran dan perekonomian nasional. Untuk
menyelamatkan perekonomian nasional pada saat itu, Pemerintah
harus mengeluarkan biaya program penjaminan simpanan,
program rekapitalisasi perbankan, dan Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), dengan jumlah sekitar Rp. 640 triliun.1
Dalam menangani krisis yang terjadi pada akhir tahun
1990-an tersebut, Pemerintah belum mempunyai landasan hukum
yang memadai untuk melakukan langkah-langkah penanganan
Kondisi Tidak Normal. Terlebih lagi, pada saat itu belum ada
mekanisme koordinasi yang baik antara Bank Indonesia (BI)
sebagai otoritas moneter dan pengawas perbankan dengan
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai otoritas fiskal.
Belajar dari krisis tersebut, Pemerintah secara terus-
menerus melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membangun
sistem keuangan yang lebih tangguh dan lebih siap dalam
1 Enoch et al, “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two Years of Living Dangerously 1997-1999” IMF Working Paper WP/01/02, IMF, 2001.
2
menghadapi Kondisi Tidak Normal. Upaya perbaikan tersebut
meliputi penataan kembali kelembagaan yang ada, antara lain
melalui reorganisasi Kemenkeu, amandemen Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(UU BI), dan pendirian Lembaga Penjamin Simpanan melalui
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 (UU LPS).
Sebagai negara dengan sistem perekonomian terbuka,
Indonesia terkena imbas langsung akibat dinamika kondisi
perekonomian regional atau global. Dalam kurun waktu 15 (lima
belas) tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi rangkaian
krisis keuangan yang terjadi baik di tingkat nasional, regional
maupun global. Pengalaman menghadapi krisis regional di
kawasan Asia pada tahun 1997/1998, krisis reksa dana domestik
tahun 2005, dan krisis keuangan global yang dipicu krisis US
subprime mortgage tahun 2008, yang berlanjut dengan krisis
utang di negara-negara kawasan Eropa tahun 2011 telah
memberikan pelajaran berharga. Berdasarkan fakta yang ada,
dapat dipetik suatu pelajaran bahwa krisis dapat terjadi di mana
saja dan kapan saja, sehingga dibutuhkan kesiapan untuk
menghadapi Kondisi Tidak Normal2 sekaligus dampaknya.
Dampak Kondisi Tidak Normal baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap perekonomian nasional di masa
mendatang diperkirakan akan semakin besar mengingat
perkembangan di bidang ekonomi dan keuangan yang demikian
pesat. Hal ini dapat dilihat dari besaran ekonomi, kecanggihan,
dan interkonektivitas antarnegara sebagai akibat globalisasi,
sehingga dapat memberikan efek menular yang luas dan cepat.
2 Istilah yang digunakan dalam RUU JPSK adalah “Kondisi Tidak Normal”, bukan “Keadaan Darurat” sebagaimana digunakan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, atau “Krisis” sebagaimana UU APBN 2014 karena walaupun maknanya hampir sama tetapi secara psikologis pilihan istilah “Kondisi Tidak Normal” lebih diterima pasar, dalam rangka mempercepat proses penanganan masalah stabilitas sistem keuangan.
3
Mekanisme koordinasi dalam rangka memelihara Stabilitas
Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya secara
terpadu dan efektif menjadi semakin penting setelah munculnya
krisis keuangan global pada awal tahun 2008. Menteri Keuangan
dan Gubernur Bank Sentral dari berbagai negara melakukan
pembahasan yang intensif untuk menyusun langkah-langkah
penanggulangan ancaman krisis tersebut. Indonesia mengambil
langkah-langkah inisiatif dengan penyusunan kebijakan strategis
di berbagai sektor keuangan, antara lain: relaksasi penilaian aset
berdasarkan harga pasar (marked to market valuation), suspensi
bursa efek untuk sementara, redefinisi kriteria pembiayaan
darurat dalam UU APBN, penghentian lelang SBN, peningkatan
besaran jumlah simpanan yang dijamin, relaksasi ketentuan
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), dan penerbitan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK).
Penerbitan Perpu JPSK telah memberikan landasan hukum
bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah
memelihara SSK dan menangani permasalahannya. Langkah
tersebut dilakukan melalui pengambilan keputusan untuk
menyelamatkan sistem keuangan yang terganggu karena adanya
Bank bermasalah yang dapat berdampak sistemik. Dalam situasi
yang sangat sulit sebagaimana dialami pada tahun 2008, Perpu
JPSK telah memberikan keyakinan bagi otoritas untuk mengambil
keputusan secara transparan, kredibel, akuntabel, dan taat azas.
Hal ini dapat dilakukan untuk menghindarkan sistem perbankan
nasional dari tekanan Kondisi Tidak Normal. Namun, dalam
perkembangannya Perpu JPSK ini tidak mendapat persetujuan
DPR RI untuk dijadikan Undang-Undang. Keputusan tersebut
merupakan hasil rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah
4
tanggal 14 Desember 2008 dan hasil rapat paripurna tanggal 18
Desember 2008.
Berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat
itu, maka atas penolakan tersebut perlu diterbitkan UU Penolakan
Perpu sesuai bunyi ketentuan Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4)
bahwa:
(3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang mengenai penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang menjadi Undang-Undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak
berlaku. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka
Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Sampai saat ini UU Pencabutan Perpu JPSK belum pernah
ditetapkan. Oleh karena itu, secara yuridis formal, Perpu tersebut
masih tetap berlaku.
Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) sebagai
pengganti UU No. 10 Tahun 2004 ditentukan pengaturan tentang
penolakan Perpu, yang substansinya sebagian hampir sama
dengan UU No. 10 Tahun 2004, bahwa:
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
5
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut
ditetapkan menjadi Undang-Undang.
(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak
berlaku.
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden
mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang.
(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Bertolak dari ketentuan ini, Perpu JPSK yang sudah
dinyatakan ditolak pada rapat paripurna, seharusnya perlu diikuti
dengan pengajuan RUU Pencabutan Perpu. RUU tersebut dapat
diajukan oleh DPR atau Presiden, sekaligus menuangkan
pengaturan akibat hukum yang timbul atas pelaksanaan Perpu
tersebut karena sangat mungkin pada saat Perpu diberlakukan
terjadi perubahan terhadap kondisi yang ada. Perubahan ini akan
menimbulkan persoalan jika tidak diperjelas dalam UU
Pencabutan Perpu.
6
Sekalipun ada penolakan Perpu bukan berarti peluang
pengajuan RUU JPSK menjadi tertutup. UU JPSK sangat penting
untuk dibentuk dalam rangka mengatur sistem pengamanan
untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani
permasalahannya dalam Keadaaan Tidak Normal. Pembentukan
ini sekaligus sebagai pengejawantahan UU BI dan UU LPS serta
dalam rangka mempertegas dan memperjelas kewenangan
lembaga/otoritas yang terkait dengan hal tersebut.
Sebelum UU JPSK terbentuk, Pemerintah bersama-sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (UU OJK). Hal ini merupakan tindak lanjut dari
penataan kembali kelembagaan di sektor keuangan. Dengan
ditetapkannya UU tersebut, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di Industri
Keuangan nonBank (IKNB) dan sektor pasar modal beralih dari
Kemenkeu ke OJK sejak tanggal 31 Desember 2012. Di sisi lain,
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari BI ke
OJK mulai tanggal 31 Desember 2013.
Dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, seluruh
lembaga/otoritas yang terkait, harus tetap waspada karena
tekanan terhadap sistem keuangan dapat terjadi setiap saat. Hal
ini dapat terjadi mengingat dinamika perekonomian global yang
bergerak sangat cepat dan interaksi antar pasar keuangan yang
demikian erat satu sama lain. Di samping itu, gejolak sistem
keuangan di Eropa dan Amerika masih belum teratasi sehingga
lembaga/otoritas dalam sistem keuangan harus selalu siap siaga
untuk mengantisipasi datangnya krisis dengan menyiapkan
7
berbagai bentuk kebijakan dan Protokol Manajemen Krisis (PMK)/
Crisis Management Protocol.
Belajar dari pengalaman pencegahan dan penanganan krisis
tahun 1997/1998 dan 2008, serta penanganan krisis reksa dana
pada tahun 2005, diyakini bahwa suatu JPSK diperlukan di
Indonesia. JPSK merupakan sistem yang dibentuk untuk
memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani
permasalahannya. Untuk itu, JPSK perlu dituangkan dalam
bentuk UU tersendiri. Hal ini sangat penting untuk memberikan
landasan hukum dalam mekanisme koordinasi antar
lembaga/otoritas serta pengambilan keputusan yang terpadu,
transparan, akuntabel, dan cepat agar dapat segera
menanggulangi permasalahan Bank dalam kondisi sistem
keuangan tidak normal.
UU JPSK akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi
lembaga/otoritas dalam upaya memelihara stabilitas dan
menangani Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam keadaan darurat,
UU ini memberikan tugas dan kewenangan kepada
lembaga/otoritas dalam sistem keuangan untuk melakukan
tindakan tertentu, baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-
sama. UU ini juga mengatur mengenai tindakan yang tidak diatur
atau diatur secara berbeda di dalam peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan kegiatan masing-
masing lembaga/otoritas tersebut dalam upaya mengatasi
permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan.
Penyusunan UU JPSK secara yuridis merupakan amanat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
8
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang dan
amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Masalah yang teridentifikasi dalam Naskah Akademik RUU
JPSK ini mencakup 4 (empat) hal, yaitu:
1. Apakah permasalahan yang dihadapi dalam upaya memelihara
Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahan
yang timbul karenanya ketika Kondisi Tidak Normal?
2. Apakah dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang
JPSK dapat mengatasi permasalahan yang timbul dalam
upaya memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani
permasalahan yang timbul?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang
JPSK?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan Rancangan
Undang-Undang
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, maka tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah
sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam upaya
memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani
permasalahannya.
2. Merumuskan urgensi Rancangan Undang-Undang JPSK dalam
mengatasi permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan.
9
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis RUU JPSK.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU
JPSK.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah
sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU
JPSK.
D. METODE
Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan penelitian sehingga harus menggunakan metode
penyusunan naskah akademik yang berbasis metode penelitian
hukum. Penyusunan naskah akademik RUU JPSK ini
menggunakan metode yuridis normatif. Adapun langkah-langkah
yang dilakukan adalah melalui studi kepustakaan/library research
yang menelaah (terutama) data sekunder berupa: bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer
meliputi UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan dan penanganan permasalahannya, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara;
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara;
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara;
10
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan;
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara;
8. Perpu Nomor 04 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan;
9. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang;
10. Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2009 tentang Penetapan
Perpu Nomor 03 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan;
11. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan;
12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan;
13. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun
Anggaran 2015; dan
14. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN
Tahun Anggaran 2015.
Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi hasil kajian dan
laporan yang dihasilkan baik oleh lembaga maupun akademisi
pada level nasional dan internasional.
Di luar studi pustaka, penyusunan Naskah Akademik ini
juga dilengkapi dengan metode diskusi terarah/Focus Group
Discussion (FGD), workshop, wawancara, serta dengar pendapat
dengan narasumber yang ahli di bidangnya.
11
Bahan dan hasil diskusi yang telah diperoleh selanjutnya
diolah secara sistematis kualitatif. Bahan-bahan hukum tertulis
yang telah terkumpul diklasifikasikan sesuai dengan
permasalahan yang telah diidentifikasi. Langkah selanjutnya yaitu
dilakukan content analysis terhadap dokumen bahan hukum dan
dikomparasikan dengan informasi narasumber, sehingga dapat
menjawab permasalahan yang diajukan.
12
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Saat ini perbankan dinilai sebagai entitas yang memiliki
posisi paling strategis dalam sistem keuangan dan perekonomian
Indonesia dibandingkan dengan entitas keuangan lain seperti
asuransi, dana pensiun, pasar modal, dan pembiayaan. Industri
perbankan memiliki karakteristik yang unik karena adanya sistem
pembayaran yang hanya dimiliki oleh Bank. Sistem pembayaran
tersebut mengalokasikan dana kepada para pihak sesuai dengan
hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, adanya gangguan dalam
sistem perbankan dapat menimbulkan risiko finansial karena
sifatnya yang menghubungkan antarpasar dan antarlembaga jasa
keuangan.
Dalam cakupan perekonomian yang lebih luas, perbankan
menjalankan fungsi intermediasi yang memiliki keterkaitan
dengan hampir semua kegiatan ekonomi. Oleh karena itu,
kegagalan fungsi suatu Bank akan berdampak pada kegagalan
sistem keuangan di mana Bank tersebut berada. Lebih lanjut, hal
ini dapat mendorong kegagalan sistem perekonomian apabila Bank
yang bermasalah tersebut memiliki konektivitas yang luas dengan
sistem perekonomian.
Perbankan menghadapi risiko yang cukup kompleks, baik
risiko yang bersumber dari tata kelola Bank itu sendiri, dari
sistem di mana Bank itu berada, atau dari pemangku kepentingan
yang memiliki keterkaitan dengan Bank tersebut dalam proses
bisnisnya. Risiko yang dihadapi suatu Bank yaitu credit risk,
market risk, liquidity risk, operational risk, legal and regulator risk,
13
reputation risk, strategic bussiness risk, dan compliance risk. Lebih
lanjut, dalam kondisi tertentu, perbankan tidak hanya terimbas
oleh risiko-risiko di atas saja namun justru dapat menjadi sumber
risiko bagi Bank lain, sistem keuangan, bahkan perekonomian
secara lebih luas.
Jika dilihat dari sisi total aset, industri perbankan masih
mendominasi industri jasa keuangan domestik. Berdasarkan data
OJK, aset perbankan secara total mencapai sekitar 5.615 triliun
rupiah pada tahun 2014 atau sekitar 53% dari gross domestic
product (GDP) Indonesia. Sebagai pembanding, pada periode yang
sama total aset IKNB hanya mencapai 1.530 triliun rupiah atau
kurang lebih hanya sebesar 14,5% terhadap GDP. Kemudian
berdasarkan komposisi aset dalam industri keuangan, komposisi
aset perbankan mencapai 78,6% dan 77,9% dari total aset industri
keuangan pada tahun 2014 dan 2013.
Gambar 1
14
Tidak selamanya industri perbankan dalam keadaan
normal, dalam situasi tidak normal terdapat golongan Bank yang
digolongkan sebagai Systemically Important Bank (SIB) atau biasa
disebut Bank SIB. Bank SIB adalah Bank yang karena ukuran
aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas
transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor
keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau
keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik
secara operasional maupun finansial, apabila Bank tersebut
mengalami gangguan atau gagal.
Mempertimbangkan pentingnya sektor perbankan dalam
kaitannya dengan sektor keuangan maka perlu ada upaya untuk
menciptakan sistem keuangan yang sehat dan stabil pada sektor
perbankan. Upaya tersebut perlu dibangun melalui mekanisme
koordinasi yang jelas, terarah oleh para pemegang otoritas yang
memiliki fungsi berbeda. Dalam keadaan normal masing-masing
lembaga/otoritas menjalankan fungsinya untuk menjamin
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan. Namun dalam keadaan
tidak normal atau dalam menangani Bank SIB, diperlukan
pengintegrasian masing-masing fungsi lembaga/otoritas sehingga
dapat diambil keputusan dan ditetapkan langkah-langkah yang
diperlukan agar tetap dapat terpelihara Stabilitas Sistem
Keuangan dan tertangani dengan cepat permasalahan yang timbul
terkait Stabilitas Sistem Keuangan.
Mekanisme inilah yang harus dibangun melalui sistem
JPSK. Sistem ini menggambarkan bagaimana mekanisme kerja
antarlembaga/otoritas yang memiliki kewenangannya masing-
masing yang perlu dipadukan sehingga terbangun suatu jaring
yang mampu menjaga Stabilitas Sistem Keuangan nasional dari
ancaman krisis. Stabilitas Sistem Keuangan merupakan kondisi
15
sistem keuangan yang berfungsi secara efektif serta mampu
bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan/atau luar
negeri. Schich berpendapat bahwa dengan memiliki JPSK, para
pemegang otoritas cenderung memiliki rasa percaya diri yang kuat
dalam menghadapi krisis keuangan, sehingga potensi terjadinya
krisis keuangan menjadi lebih kecil.3 Tanpa adanya JPSK,
permasalahan kecil di sektor keuangan dapat menjadi pemicu
krisis (full-blown crisis), sebagaimana yang dikatakan oleh Schich
berikut:
“Without an appropriate financial safety net, even simple rumours of problems regarding solvency or liquidity of a financial institution have the potential to become self-fulfilling and turn into a full-blown financial crisis.”
Penyelenggaraan JPSK dimaksud menjadi tanggung jawab
KSSK dengan anggota terdiri dari pimpinan Kemenkeu, BI, OJK,
dan LPS. Proses pengambilan keputusan KSSK dilakukan sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga/otoritas secara
bertanggung jawab demi kepentingan bangsa dan negara karena
terkait dengan persoalan yang sangat krusial yaitu menjamin
tetap terpeliharanya Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan
Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB.
Oleh karena itu penyelenggaraannya harus berlandaskan asas
kepentingan umum, keterpaduan, efektivitas, dan kepastian
hukum. Hal ini juga digariskan dalam arah kebijakan dan strategi
utama sektor keuangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015 -2019.
Namun demikian, sampai saat ini pengaturan terkait dengan
penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan permasalahan
Bank SIB belum diatur secara detail dalam suatu undang-undang.
3 Sebastian Schich, Financial Crisis: Deposit Insurance and Related Financial
Safety Net Aspects, Financial Market Trends, OECD, 2008.
16
Padahal dampaknya jika tidak ditangani dengan baik akan sangat
luas dan berpotensi menyebabkan terganggunya perekonomian
nasional karena cakupan sistem keuangan nasional secara luas
dapat meliputi berbagai sektor, seperti perbankan, pasar uang,
pasar modal, industri keuangan bukan Bank, dan lainnya. Namun
demikian, ruang lingkup sistem keuangan di dalam UU JPSK ini
adalah sistem perbankan. Hal ini mengingat sistem perbankan
saat ini menguasai kurang lebih 80% dari keseluruhan market
share sektor keuangan nasional.
Dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan,
UU JPSK sebagai bagian dari upaya untuk mengimplementasikan
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan dan penanganan
permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan hanya akan mengatur
penanganan permasalahan Bank sepanjang Bank tersebut
termasuk di dalam daftar Bank SIB. Sementara itu, mekanisme
penanganan permasalahan Bank yang tidak termasuk di dalam
daftar Bank SIB akan diselesaikan oleh masing-masing
lembaga/otoritas sesuai dengan kewenangan masing-masing
berdasarkan undang-undang.
Pengaturan di dalam UU JPSK tersebut diperlukan untuk
memperoleh pemahaman yang sama serta memastikan tidak
terjadi tumpang tindih (overlap) kewenangan antara satu
lembaga/otoritas dengan lembaga/otoritas lainnya. Dengan
adanya landasan hukum yang jelas, proses pengambilan
keputusan oleh lembaga/otoritas dapat dilakukan dengan cepat
dan tepat, karena fungsi-fungsi dalam JPSK dilakukan oleh
beberapa lembaga/otoritas yang saling berkaitan. Oleh karena itu
pengaturan mengenai pembagian tugas dan tanggung jawab,
koordinasi dan kerja sama, serta pertukaran informasi perlu
diatur dengan jelas dan tegas.
17
Pada dasarnya, konsep JPSK di Indonesia sudah pernah
disusun namun masih memerlukan penyempurnaan dan
penyesuaian dengan perkembangan saat ini. Konsep tersebut telah
dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang OJK dimana komponen JPSK terdiri dari: (1) OJK sebagai
otoritas pengatur dan pengawas Bank; (2) BI sebagai otoritas
moneter dan lender of the last resort (LoLR) bagi Bank; (3) LPS
sebagai otoritas yang berfungsi menjamin simpanan nasabah
Bank dan melakukan resolusi Bank gagal; dan (4) Kementerian
Keuangan sebagai otoritas fiskal dan koordinator dalam
pencegahan dan penanganan krisis.
Adapun uraian mengenai fungsi masing-masing
lembaga/otoritas tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Pengaturan dan pengawasan Bank yang efektif;
Fungsi ini merupakan jaring pengaman pertama (first line of
defense) dalam JPSK. Mengingat pentingnya fungsi tersebut,
dalam kerangka JPSK digariskan prinsip-prinsip dasar
(guiding principles) bahwa pengawasan dan pengaturan
terhadap lembaga dan pasar keuangan oleh otoritas terkait
harus senantiasa ditujukan untuk menjaga Stabilitas Sistem
Keuangan. Selain itu, pengawasan dan pengaturan tersebut
harus berpedoman pada best practices dan standar yang
berlaku.
2. Lender of the Last Resort (LoLR);
Adanya kebijakan LoLR yang baik terbukti sebagai salah satu
alat yang efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis.
Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan LoLR dalam kondisi
normal dan Kondisi Tidak Normal telah mengacu pada
international best practices. Pada prinsipnya, LoLR untuk
kondisi normal hanya diberikan kepada Bank yang mengalami
18
kesulitan likuiditas tetapi masih solven dengan agunan yang
likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam Kondisi Tidak
Normal, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan
utama dengan tetap mensyaratkan solvensi dan
mempertimbangkan agunan. Untuk mengatasi kesulitan
likuiditas yang berdampak sistemik, BI sebagai LoLR dapat
memberikan pinjaman likuiditas khusus kepada Bank umum
yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.
3. Penjaminan simpanan yang memadai; dan
LPS juga merupakan salah satu elemen penting dalam
menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Program penjaminan
Pemerintah (blanket guarantee) yang diberlakukan untuk
menangani krisis sejak tahun 1998 berhasil memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Namun
demikian, penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut
dapat mendorong moral hazard yang berpotensi menimbulkan
krisis dalam jangka panjang. Untuk itu, ditetapkan UU No. 24
Tahun 2004 tentang LPS yang mengatur secara detail
mengenai skema penjaminan simpanan. Dalam undang-
undang tersebut, LPS memiliki dua fungsi utama, yaitu: (i)
menjamin simpanan nasabah Bank; dan (ii) turut aktif
memelihara stabilitas sistem perbankan.
4. Penanganan Kondisi Tidak Normal yang efektif.
Fungsi ini dituangkan dalam kerangka kebijakan JPSK agar
Kondisi Tidak Normal dapat ditangani secara cepat tanpa
membebani perekonomian. Dalam JPSK ditetapkan peran dan
kewenangan masing-masing lembaga/otoritas dalam
penanganan Kondisi Tidak Normal sehingga setiap
lembaga/otoritas memiliki wewenang, tanggung jawab, dan
akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian, Kondisi Tidak
19
Normal dapat ditangani secara efektif, cepat, serta tidak
menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi.
Dengan adanya penyempurnaan terhadap konsep JPSK,
diharapkan tidak hanya memperkuat upaya memelihara Stabilitas
Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya, namun juga
dapat mencegah timbulnya biaya yang lebih besar pada
perekonomian apabila terjadi Kondisi Tidak Normal dan adanya
permasalahan Bank. Diamond & Dybvig dan Nadezhda M. & John
R.Walter berpendapat bahwa JPSK memberikan kontribusi positif
terhadap perekonomian karena biaya pencegahan dan
penanganan krisis menjadi lebih rendah.4
B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT
DENGAN PENYUSUNAN NORMA
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Penyusunan UU JPSK ini berupaya untuk
memenuhi asas-asas sebagai berikut:
1. Kejelasan Tujuan
UU tentang JPSK disusun untuk melaksanakan amanat Pasal
33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam
rangka menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.
2. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat
RUU JPSK ini disusun oleh Kemenkeu. Berdasarkan Pasal 5
UUD 1945, Kementerian Keuangan Republik Indonesia
merupakan unsur lembaga eksekutif yang memiliki wewenang
untuk mengajukan RUU JPSK.
4 Douglas D Diamond and Philip H Dybvig, “Bank Runs, Deposit Insurance, and
Liquidity” dalam Journal of Political Economy Volume 91 No. 3, 1983, hlm. 401-
419.
20
3. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan
Hal-hal yang diatur dalam UU JPSK ini merupakan hal
mendasar yang diperlukan untuk mewujudkan Stabilitas
Sistem Keuangan. Hal ini dilakukan karena penyelenggaraan
JPSK memiliki implikasi yang luas dalam rangka menjaga agar
kepentingan negara tidak terganggu. Disamping itu, beberapa
poin pengaturan di dalamnya menggantikan ketentuan di
dalam UU lain yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini
ataupun menambah ketentuan yang belum diatur. Untuk itu,
diperlukan peraturan setingkat undang-undang.
4. Dapat dilaksanakan
Pengaturan dalam UU JPSK ini mengadopsi hasil kajian
internasional dan praktik-praktik sesuai dengan standar
internasional yang telah disesuaikan dengan memperhatikan
kebutuhan, urgensi, kondisi sistem keuangan saat ini, sistem
hukum, dan sistem keuangan di Indonesia. Selain itu,
pengaturan tersebut juga telah menyesuaikan dengan
kebutuhan berdasarkan pengalaman lembaga/otoritas dalam
menghadapi krisis di masa lalu. Penyesuaian tersebut
memungkinkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam
UU JPSK dapat dilaksanakan.
5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Jangkauan dan arah pengaturan dalam UU JPSK merupakan
penyempurnaan atas ketentuan peraturan perundang-
undangan yang telah ada dalam rangka mewujudkan JPSK
sebagai upaya untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan
dan menangani permasalahannya. Dengan adanya pengaturan
tersebut, koordinasi dalam rangka pemantauan dan
21
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan
Kondisi Tidak Normal, Permasalahan Bank SIB, baik dalam
kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi
Tidak Normal, akan dapat dilakukan dengan lebih baik.
6. Kejelasan Rumusan
UU JPSK telah memenuhi ketentuan persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan karena disusun
dengan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta
bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti. Dengan
demikian, pengaturan di dalam UU JPSK diharapkan tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
7. Keterbukaan
Sebagai upaya untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan
dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan,
KSSK berhak memperoleh data/informasi yang akurat,
lengkap, terkini, dan tepat waktu agar dapat mengambil
keputusan secara cepat dan tepat. Data/informasi tersebut
dapat berasal dari Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS, maupun
sumber lain yang diperlukan. Pemberian informasi tersebut
dikecualikan dari ketentuan mengenai kerahasiaan Bank dan
kerahasiaan data/informasi yang dikelola oleh
lembaga/otoritas anggota KSSK. Selain itu, dalam penanganan
permasalahan Bank, sektor swasta dapat berperan serta
menyelesaikan permasalahan Bank dengan tetap mengacu
pada peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan
RUU ini pun dilakukan dengan pelibatan stakeholders terkait
sesuai dengan prinsip keterbukaan.
Selain memperhatikan asas terkait dengan pembentukan
peraturan perundang-undangan, UU JPSK juga mendasarkan
22
pada asas-asas yang terkait dengan pengamanan sistem keuangan
yaitu.:
1. Asas Kepentingan Umum
Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Bahwa dalam pelaksanaannya, JPSK harus mengutamakan
kepentingan masyarakat luas untk mencapai kesejahteraan
umum. Pelaksanaan JPSK selanjutnya akan menjadi tugas dan
tanggung jawab bersama antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS
yang dilakukan dengan memegang prinsip gotong royong.
Lebih lanjut, perlu ditekankan bahwa JPSK merupakan
kesatuan yang utuh, saling menunjang, selaras antara
berbagai kepentingan, serta terkoordinasi dalam satu kendali
yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling
mendukung dalam rangka mencapai tujuan JPSK.
2. Asas efektivitas
Asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan
berdaya guna.
Dalam hal ini, JPSK harus dilaksanakan dengan berorientasi
pada tujuan JPSK yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam
rangka menghadapi permasalahan Kondisi Tidak Normal dan
permasalahan Bank SIB, JPSK harus mampu menyelesaikan
permasalahan tersebut secara cepat dan tepat dengan biaya
yang wajar
3. Asas kepastian hukum
Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggara negara.
Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum
tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian
23
hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang
dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek
yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8
(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila
tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut
sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat
kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai
berikut :5
1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan,
tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal
tertentu;
2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik
3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas
sistem;
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa
yang bisa dilakukan;
7. Tidak boleh sering diubah-ubah; dan
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan
sehari-hari.
Bahwa norma yang mengatur JPSK harus mencerminkan
suatu kepastian hukum. Peraturan yang terkait dengan JPSK
harus menjadi pedoman dan dasar hukum yang jelas bagi
pengambil keputusan dalam menetapkan langkah-langkah
5 “Asas Kepastian Hukum”, http://tesishukum.com/pengertian-asas-
kepastian-hukum-menurut-para-ahli/ . Diunduh pada tanggal 6 Mei 2015.
24
penanganan Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank
SIB.
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN,
KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG
DIHADAPI MASYARAKAT
1. Praktik Penyelenggaraan dan Permasalahan yang
Dihadapi
Dengan ditetapkannya UU OJK, Indonesia memiliki
empat lembaga/otoritas yang masing-masing memiliki peran
dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Perubahan yang
signifikan adalah pengalihan fungsi pengaturan dan
pengawasan Bank di bidang mikroprudensial dari BI kepada
OJK. Selain itu, LPS juga diberi wewenang yang lebih luas
untuk dapat melakukan pemeriksaan pada Bank setelah
berkoordinasi dengan OJK. Dengan bertambahnya jumlah
lembaga/otoritas yang terlibat dalam menjaga stabilitas
sistem perbankan, koordinasi, kerja sama, dan tukar-
menukar informasi perlu ditingkatkan.
Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi krisis yang
terjadi pada tahun 2008 dan krisis-krisis sebelumnya,
pengambilan keputusan yang tidak didasari atas landasan
hukum yang kuat akan menghasilkan suatu keputusan
yang menimbulkan polemik di masyarakat. Ketiadaan
landasan hukum tersebut menimbulkan permasalahan
dalam pelaksanaan mekanisme pengambilan keputusan,
antara lain koordinasi, prosedur, tanggung jawab dan
wewenang lembaga/otoritas, sekaligus tidak adanya
perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. Lebih
lanjut, permasalahan tersebut menyebabkan penurunan
25
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum
dan sistem keuangan di Indonesia. Kondisi tersebut
kemudian berdampak secara langsung terhadap Stabilitas
Sistem Keuangan dan perekonomian nasional secara umum
sehingga akan menimbulkan kondisi yang lebih buruk
apabila tidak ditangani dengan baik.
Kondisi di atas dapat dihindari apabila terdapat payung
hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur
mengenai fungsi, tugas, tanggung jawab, dan wewenang
lembaga/otoritas yang terkait dengan penanganan SSK
dalam suatu jarring pengaman yang sistematis. Pengaturan
tersebut akan memberikan landasan hukum yang kuat
sebagai dasar dalam pengambilan keputusan oleh
lembaga/otoritas terkait, terutama pada Kondisi Tidak
Normal. Kebutuhan akan adanya landasan hukum atas hal-
hal tersebut di atas akan dituangkan di dalam UU JPSK.
Upaya untuk menciptakan sistem keuangan yang sehat
dan stabil harus dilakukan dengan mekanisme koordinasi
yang jelas dalam rangka pengambilan kebijakan dan
penetapan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka
pemeliharaan dan penanganan permasalahan SSK. Untuk
itu, diperlukan suatu JPSK yang bertujuan untuk
memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem
Keuangan, yang penyelenggaraannya berlandaskan atas
asas kepentingan umum, keterpaduan, efektivitas, dan
kepastian hukum.
Dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan
dan menangani permasalahannya, diperlukan langkah-
langkah pengambilan kebijakan antarlembaga/otoritas
dalam suatu kerangka koordinasi yang efektif, transparan,
26
dan akuntabel dengan didukung oleh data dan informasi
yang dapat diandalkan. Pemberian mandat, wewenang, dan
tanggung jawab antarlembaga/otoritas harus didefinisikan
secara jelas dalam suatu UU sehingga tidak ada tumpang
tindih kewenangan.
2. Perbandingan Praktik Penyelengaraan di berbagai
Negara
Sejauh ini, mekanisme koordinasi antar
lembaga/otoritas di sektor keuangan yang diterapkan di
banyak negara memiliki keragaman sesuai dengan
pengalaman, kondisi, dan kebutuhan masing-masing
negara. Misalnya Amerika Serikat (AS), yang pernah
menghadapi krisis cukup dalam pada tahun 2008, saat ini
memiliki suatu komite koordinasi yang berfungsi untuk
menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Dodd-Frank Wall Street
Reform and Consumer Protection Act (“Dodd-Frank Act”) AS
mengamanatkan pembentukan Financial Stability Oversight
Council (FSOC) dengan Secretary of the Treasury bertindak
sebagai koordinator.
Dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan,
komite tersebut diberikan kewenangan untuk memfasilitasi
koordinasi peraturan, memfasilitasi pertukaran dan
pengumpulan informasi, menetapkan pengawasan terhadap
industri keuangan nonbank secara lebih terkonsolidasi,
merekomendasikan pengawasan yang lebih ketat dalam
kondisi tertentu, serta menetapkan langkah yang perlu
diambil terhadap lembaga keuangan yang mengancam
Stabilitas Sistem Keuangan AS.
27
Selain AS, Korea juga memiliki Macroeconomic Financial
Meeting (MEFM), sebuah forum tingkat deputi yang dibentuk
berdasarkan keputusan presiden. Di samping itu, Inggris
juga memiliki forum koordinasi yang beranggotakan HM
Treasury, Bank of England, dan subsidiarinya yaitu The
Prudential Regulation Authority (PRA). Forum ini dibentuk
berdasarkan nota kesepahaman. Forum/komite koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan juga dimiliki oleh Australia,
Kanada, dan Jepang.
Pada umumnya, forum/komite di negara-negara
tersebut dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan, atas dasar
pemikiran bahwa terdapat interkoneksi antar risiko sistem
keuangan dan risiko fiskal. Penanggung beban terakhir
(ultimate burden) dari upaya penanganan Kondisi Tidak
Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB adalah
Pemerintah selaku pengelola fiskal.
Di Indonesia, lembaga/otoritas yang memiliki
kewenangan untuk melakukan penanganan SSK adalah
Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. Kewenangan masing-masing
lembaga/otoritas tersebut sebagai berikut:
a. Kemenkeu terkait kebijakan fiskal dan penyediaan
pendanaan yang bersumber dari APBN;
b. BI terkait kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan
makroprudensial;
c. OJK terkait kebijakan mikroprudensial; dan
d. LPS terkait dengan penjaminan simpanan dan
penyelesaian Bank gagal.
Dalam UU JPSK ini, dibentuk suatu komite yang disebut
KSSK, dengan keanggotaan sebagai berikut:
28
a. Menteri Keuangan sebagai koordinator merangkap
anggota;
b. Gubernur BI sebagai anggota;
c. Ketua Dewan Komisioner OJK sebagai anggota; dan
d. Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota.
Lebih lanjut, perlu menjadi perhatian bahwa tidak
tertutup kemungkinan terdapat wewenang antarinstitusi
yang saling beririsan ketika menyelesaikan isu tertentu.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu ditunjuk lead
authority dalam forum/komite. Pada umumnya,
forum/komite di beberapa negara diketuai oleh pemerintah.
Sebagai contoh, MEFM Korea diketuai oleh perwakilan dari
pemerintah dan Financial Stability and Development Council
(FSDC) India diketuai oleh Menteri Keuangan. Penunjukan
Pemerintah c.q. Menteri Keuangan tersebut dilakukan
dengan pertimbangan bahwa terdapat interkoneksi antara
risiko sistem keuangan dan risiko fiskal. Di samping itu,
ultimate burden dari upaya penanganan Kondisi Tidak
Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB adalah
Pemerintah selaku pengelola fiskal.
Merujuk pada struktur dan mekanisme KSSK pada
negara lain sekaligus dengan mempertimbangkan
kebutuhan, kondisi, dan sistem ketatanegaraan yang
dianut, maka Menteri Keuangan ditetapkan sebagai
koordinator KSSK. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan
dalam menetapkan Menteri Keuangan sebagai koordinator
KSSK adalah:
1) Menteri Keuangan menanggung risiko dampak sistemik
dari sektor keuangan yang menyangkut kemungkinan
terjadinya risiko fiskal (risiko keuangan negara);
29
2) Menteri Keuangan sebagai pembantu kepala
negara/pemerintahan dan atas nama Pemerintah
berkewajiban untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
dan stabilitas perekonomian nasional; dan
3) Menteri Keuangan berdasarkan akuntabilitas fiskal
harus mampu mempertanggungjawabkan kepada DPR
dan masyarakat selaku pembayar pajak atas setiap
biaya fiskal yang dikeluarkan.
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM
BARU YANG AKAN DIATUR DALAM UU JPSK TERHADAP
ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA
TERHADAP ASPEK KEUANGAN NEGARA
Dalam rangka memelihara SSK dan menangani
permasalahan yang timbul karenanya maka perlu ditentukan
langkah antisipatif, proaktif, dan koordinatif yang harus dilakukan
oleh lembaga/otoritas yang terlibat, baik secara sendiri-sendiri
maupun terkoordinasi, dalam suatu unit organisasi KSSK.
Lembaga/otoritas tersebut akan memiliki keyakinan yang lebih
baik dalam pengambilan keputusan karena mekanisme bekerjanya
diatur dengan jelas di dalam UU JPSK. Sebagai contoh, di dalam
Penanganan Permasalahan Bank SIB, BI sebagai otoritas yang
berwenang akan memiliki keyakinan yang lebih tinggi dalam
memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) mengingat
ketentuan tersebut telah diatur di dalam UU JPSK dan hanya
diberikan kepada Bank SIB dimana BI juga terlibat di dalam
penyusunan daftar Bank SIB tersebut. Di samping itu, keberadaan
jaminan Pemerintah dalam penyaluran PLK menjadi satu hal yang
mendukung keyakinan BI. Pada akhirnya, langkah-langkah
30
kebijakan dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan serta
kecepatan, ketepatan, dan keyakinan pengambilan keputusan
dalam menangani Kondisi Tidak Normal dan menangani
permasalahan Bank yang dilakukan oleh lembaga/otoritas dapat
memberikan ketenangan dan keyakinan bagi masyarakat luas,
sehingga tidak menimbulkan dampak meluas dan mengganggu
perekonomian nasional.
Dalam UU JPSK perlu diatur PMK sehingga ada kejelasan
mengenai tingkat eskalasi penyelesaian Bank bermasalah, yang
terdiri dari penyelesaian permasalahan oleh Bank itu sendiri
(recovery plan yang telah disetujui oleh OJK), fungsi LoLR BI,
resolusi Bank LPS, dan mekanisme APBN. Sebelum menggunakan
dana APBN sebagai buffer terakhir, diharapkan penanganan Bank
bermasalah dapat terselesaikan pada tahapan-tahapan
sebelumnya. Namun demikian, dalam hal penggunaan dana APBN
harus dieksekusi untuk mencegah memburuknya kondisi SSK
yang dikhawatirkan akan menjalar pada stabilitas perekonomian
lebih luas, penggunaan dana tersebut diharapkan dapat
dilaksanakan secara efektif.
Efektivitas tersebut dapat terwujud dengan adanya
mekanisme koordinasi antar pemegang otoritas dan PMK yang
diatur di dalam UU JPSK dapat mendeteksi lebih dini
permasalahan dan langkah-langkah penanganannya dapat
disiapkan lebih awal. Selain itu, program penyelesaian
permasalahan Bank sebagaimana diatur di dalam UU JPSK ini
melibatkan pihak swasta melalui mekanisme private solution.
Pelibatan swasta tersebut diharapkan dapat meminimalisasi, baik
peluang eskalasi penanganan pada dana APBN maupun besaran
dana APBN yang digunakan.
31
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
saat ini, penggunaan dana APBN melalui mekanisme pemberian
pinjaman dan penyertaan modal kepada LPS tidak dapat
dilakukan. Oleh karena, itu perlu ada suatu ketentuan bahwa
dana APBN dapat digunakan untuk pemberian pinjaman dan
penambahan modal kepada LPS dengan memperoleh persetujuan
DPR terlebih dahulu.
Dengan adanya pengaturan JPSK akan terbangun
koordinasi yang terpadu dan efektif antar pemegang otoritas dalam
menangani Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan
Bank SIB baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal
maupun Kondisi Tidak Normal. Dengan demikian, mekanisme
pemeliharaan SSK dan penanganan permasalahannya akan dapat
dilakukan secara cepat dan efektif. Hal ini dapat terjadi karena
beberapa faktor, yaitu:
1) terdapat mekanisme koordinasi dan pembagian tanggung
jawab yang jelas di antara lembaga/otoritas terkait dalam
memelihara Stabilitas Sistem Keuangan, tanpa mengurangi
independensi masing-masing lembaga/otoritas;
2) adanya transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme
pengambilan keputusan dalam rangka penanganan Kondisi
Tidak Normal;
3) terdapat landasan hukum yang kuat dalam melakukan
tindakan penanganan permasalahan Bank SIB; dan
4) terdapat sumber pendanaan yang jelas untuk tindakan
penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan
permasalahan Bank SIB dengan tetap berpedoman pada
ketentuan dan kemampuan keuangan negara serta hak budget
DPR.
32
Upaya penyelenggaraan JPSK tersebut dilakukan oleh
Negara melalui pembentukan KSSK. Dengan demikian, koordinasi
yang dilakukan dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan
Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal,
dan penanganan permasalahan Bank SIB, memiliki landasan
hukum yang kuat. Hal ini akan berimplikasi positif dalam rangka
pemulihan kondisi perekonomian karena terjaganya Stabilitas
Sistem Keuangan.
Untuk menciptakan koordinasi antar lembaga/otoritas yang
efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka pemeliharaan
Stabilitas Sistem Keuangan dan penanganan masalahnya,
pembagian fungsi, tugas, dan wewenang KSSK perlu diatur secara
jelas. Sebagai contoh, MEFM Korea, yang merupakan forum
tingkat deputi untuk melakukan sharing dan review atas analisis
risiko Stabilitas Sistem Keuangan6. Forum ini terdiri dari Ministry
of Strategy and Finance, The Bank of Korea, The Financial Service
Commission, dan The Financial Supervisory Service. Di dalam
forum tersebut, setiap lembaga/otoritas mendiskusikan hasil
analisis dan identifikasi potensi risiko serta mengkaji respon
kebijakan yang dapat diambil.
Pada dasarnya, pemeliharaan SSK dalam kondisi normal
dilakukan oleh masing-masing lembaga/otoritas sesuai dengan
kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada. Namun demikian, dalam kondisi tertentu,
terdapat kebutuhan untuk mempertimbangkan terlebih dahulu
dan/atau memutuskan suatu kebijakan dalam kerangka
koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam KSSK. Beberapa
kebutuhan tersebut antara lain menetapkan status SSK, langkah-
langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah
6 “Republic of Korea: Financial Sector Assessment Program-Crisis Preparedness and Crisis Management Framework-Technical Note” IMF Country Report No. 15/5, IMF, 2015.
33
penanganan permasalahan Bank yang tidak dapat lagi ditangani
oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan
melaporkan pelaksanaan tugas kepada Presiden.
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas tersebut, KSSK
perlu diberikan kewenangan. Sebagai contoh, untuk dapat
menentukan status SSK, KSSK perlu mempunyai wewenang untuk
memperoleh hasil penilaian kondisi SSK dari masing-masing
anggota KSSK terlebih dahulu. Hasil penilaian tersebut juga perlu
dilengkapi dengan data dan informasi pendukung, serta kerangka
kerja penilaian yang digunakan oleh masing-masing anggota.
Lebih lanjut, untuk menetapkan langkah-langkah penanganan
Kondisi Tidak Normal, KSSK juga perlu mendapatkan rekomendasi
dari masing-masing anggota KSSK mengenai langkah-langkah
penanganan dimaksud. KSSK juga berwenang untuk memperoleh
daftar Bank SIB terkini yang ditetapkan oleh OJK setelah
berkoordinasi dengan BI. Pengkinian daftar Bank SIB dilakukan
oleh OJK secara berkala, misalnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam)
bulan, atau sewaktu-waktu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengkinian sewaktu-waktu tersebut hanya
dapat dilakukan pada saat kondisi SSK normal.
Dengan mempertimbangkan luasnya cakupan tugas dan
wewenang KSSK, maka ditunjuk sekretaris KSSK yang dapat
menjalankan sebagian tugas dan/atau wewenang KSSK apabila
menerima pendelegasian dari KSSK. Di samping itu, dalam rangka
mendukung kelancaran tugas KSSK, diperlukan suatu sekretariat
untuk membantu penyelenggaraan rapat hingga melakukan
monitoring terhadap tindak lanjut keputusan rapat, melakukan
kompilasi analisis umum berdasarkan indikator, dan laporan
surveillance dari masing-masing anggota KSSK, menyusun
standard operating procedure bagi sekretariat KSSK, dan tugas-
34
tugas kesekretariatan lain dalam rangka mendukung
terlaksananya koordinasi yang baik antaranggota KSSK.
Hal tersebut juga sejalan dengan praktik di Amerika Serikat,
dimana Financial Stability Oversight Council (FSOC) mempunyai
kelompok kecil dengan staf independen yang mengelola dan
menyimpan dokumen serta menyusun keterbukaan dokumen
kepada publik. Kelompok staf independen ini juga bisa
beranggotakan para ahli untuk mendukung kerja komite dan
penyusunan legal drafting (jika diperlukan) serta pelaporan kepada
Kongres. Selain itu, praktek di India melalui Financial Stability and
Development Council (setara dengan KSSK) juga memiliki sub-
committee yang merupakan sekretariat KSSK. Jabatan sekretaris
dipegang oleh Pejabat Direktur Eksekutif Bank Sentral, dengan
mendapat dukungan kesekretariatan dari Financial Stability Unit.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya, KSSK
didukung oleh kesekretariatan yang dipimpin oleh sekretaris
KSSK. Sekretaris KSSK seyogyanya dijabat oleh seorang pejabat
yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu di Kemenkeu
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Lebih lanjut, untuk tata
laksana kesekretariatan KSSK sebaiknya diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan. Juga dimungkinkan bagi KSSK
membentuk gugus tugas, kelompok kerja, atau alat kelengkapan
lain untuk membantu pelaksanaan tugas KSSK, mengundang
pihak lain sebagai narasumber, serta menyelenggarakan rapat
persiapan pelaksanaan rapat KSSK yang melibatkan pejabat
perwakilan dari masing-masing lembaga/otoritas anggota KSSK.
Mekanisme dalam menetapkan tindakan penanganan
Kondisi Tidak Normal harus dilakukan lebih awal dan sesegera
mungkin7. Selain itu, standar dan indikator yang digunakan
7Loc.cit, lihat 4.
35
untuk melakukan asesmen terhadap entitas yang diawasi juga
harus jelas. Terdapat beberapa prinsip yang perlu menjadi
perhatian dalam mekanisme penanganan permasalahan Stabilitas
Sistem Keuangan, yaitu:
a. Kecepatan pengambilan keputusan
Keputusan penanganan terhadap permasalahan harus
dilakukan sesegera mungkin. Tindakan cepat, pesan
(signalling) yang jelas, dan kepemimpinan yang didefinisikan
secara baik akan memberikan dampak positif terhadap
kepercayaan publik.
b. Transparansi dan kredibilitas keputusan
Menjaga integritas dan kepercayaan publik dalam
penanganan permasalahan SSK menjadi faktor yang sangat
penting untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap
sistem keuangan nasional. Untuk itu, diperlukan adanya
proses yang menjamin bahwa penanganan dilakukan secara
transparan dan akuntabel, serta dilakukan oleh
lembaga/otoritas yang kompeten. Dengan demikian,
diperlukan data dan informasi yang handal (reliable), staf
yang berkualitas, koordinasi institusional yang erat, dan
komunikasi publik yang baik.
c. Kepastian hukum
Keputusan yang diambil dalam rangka penanganan
permasalahan SSK oleh KSSK merupakan keputusan yang
sah dan mengikat, sehingga dapat memberikan kepastian
hukum.
d. Akuntabilitas penggunaan dana publik
Mekanisme penanganan permasalahan SSK memerlukan
dukungan pendanaan dari APBN. Hal ini harus dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
36
di bidang keuangan negara dan dengan mempertimbangkan
kecepatan pengambilan keputusan.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka KSSK secara rutin perlu
menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali
dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu atas permintaan dari
anggota KSSK.8 Mekanisme rapat seperti itu sudah dilakukan oleh
Korea melalui MEFM dimana komite tersebut juga
menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali
dalam 1 (satu) tahun9.
Rapat KSSK dihadiri oleh seluruh anggota KSSK dan
dipimpin oleh koordinator KSSK. Dalam Kondisi Tidak Normal
diperlukan adanya pengambilan keputusan secara terpadu dan
cepat serta tepat, berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
Mengingat keputusan yang diambil di dalam KSSK merupakan
keputusan yang strategis dan berdampak luas pada perekonomian
nasional, maka keputusan rapat harus memperoleh keyakinan
dari semua lembaga/otoritas untuk menghindari perselisihan atas
keputusan yang diambil di kemudian hari. Hal ini sekaligus
mencerminkan suatu kebulatan pendapat dan tekad dari masing-
masing anggota KSSK untuk melakukan upaya terbaik dalam
penanganan permasalahan SSK.
Dalam hal tidak mencapai kata mufakat, usulan keputusan
yang diajukan anggota KSSK dinyatakan ditolak dan pendapat
akhir masing-masing anggota KSSK di dalam rapat tersebut harus
didokumentasikan. Usulan yang ditolak dapat diajukan kembali
dalam rapat KSSK berikutnya maksimal 1 (satu) kali.
8 Pasal 45 ayat (1) huruf b UU OJK ditentukan dalam kondisi normal FSSK
melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. 9 Korea Financial Stability Report, The Bank of Korea, 2014.
37
Mengingat pentingnya proses pengambilan keputusan dan
dampak atas hasil keputusan yang sangat luas, maka proses
pengambilan keputusan harus dihadiri oleh seluruh anggota
KSSK. Apabila terdapat kondisi dimana anggota KSSK
berhalangan hadir secara fisik, maka rapat KSSK dapat
diselenggarakan menggunakan media komunikasi elektronik
dimana peserta rapat KSSK harus saling melihat dan/atau
mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat, serta
didokumentasikan secara utuh. Dalam kondisi ini, anggota KSSK
yang berhalangan hadir secara fisik menunjuk pejabat yang akan
mewakilinya untuk menandatangani keputusan rapat KSSK.
Dalam hal anggota KSSK berhalangan sementara, anggota KSSK
yang bersangkutan diwakili oleh pejabat yang ditunjuk sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keputusan rapat KSSK mencakup penetapan Kondisi Tidak
Normal, langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal,
dan/atau langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB.
Hasil keputusan rapat tersebut harus dilaporkan oleh koordinator
KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh
empat) jam secara tertulis atau melalui sarana elektronik.
Pelaporan tersebut harus ditatausahakan dengan baik dan
lengkap sebagai kelengkapan apabila dibutuhkan di masa
mendatang, terutama apabila timbul permasalahan hukum atas
keputusan yang diambil.
Jangka waktu pelaporan kepada Presiden harus dilakukan
paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam mengingat dari
hasil keputusan rapat KSSK dimungkinkan adanya penggunaan
dana APBN untuk menangani Kondisi Tidak Normal dan/atau
penanganan permasalahan Bank SIB. Selain itu, sangat penting
bagi Presiden untuk mengetahui kondisi sistem keuangan karena
38
ketidakstabilan sistem keuangan berpotensi mengganggu stabilitas
nasional.
Tekanan terhadap sistem keuangan dapat terjadi setiap saat
mengingat dinamika perekonomian global yang bergerak sangat
cepat dan interaksi antar pasar keuangan yang demikian erat satu
sama lain. Oleh karena itu, setiap anggota KSSK harus
mewaspadai dan mengantisipasi risiko tersebut. Dalam hal ini,
masing-masing lembaga/otoritas telah menyusun PMK sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan penanganan Kondisi Tidak
Normal. PMK tersebut paling kurang memuat tentang mekanisme
pemantauan Stabilitas Sistem Keuangan yang terdiri dari
indikator-indikator penyusun, mekanisme pengambilan
keputusan, serta mekanisme koordinasi dan komunikasi. Protokol
tersebut disusun berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenang
masing-masing lembaga/otoritas.
Di dalam kerangka koordinasi KSSK, apabila PMK anggota
KSSK menunjukkan Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang
Tidak Normal, maka anggota yang bersangkutan dapat
mengusulkan kepada KSSK untuk menyelenggarakan rapat guna
membahas permasalahan tersebut. Dalam rapat KSSK dimaksud,
KSSK mendapatkan data dan informasi dari masing-masing
anggota KSSK sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung
jawabnya.
Sebagai otoritas makroprudensial, BI menyampaikan
penilaian kondisi moneter, makroprudensial, dan sistem
pembayaran serta pengaruhnya terhadap Stabilitas Sistem
Keuangan dan rekomendasi langkah-langkah penanganan
permasalahan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem
pembayaran yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan.
OJK, selaku otoritas mikroprudensial menyampaikan penilaian
39
kondisi lembaga keuangan dan pasar keuangan dan pengaruhnya
terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, OJK juga
menyampaikan data Bank SIB dalam status Bank dalam
pengawasan khusus, dan langkah-langkah penanganan
permasalahan Bank SIB.
Dari sisi fiskal, Kemenkeu menyampaikan penilaian kondisi
kesinambungan fiskal dan pasar SBN yang mempengaruhi
Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkah-
langkah penanganan kondisi fiskal dan pasar SBN agar tetap
berkesinambungan. LPS menyampaikan penilaian kondisi
kecukupan dana penjaminan simpanan yang mempengaruhi
Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkah-
langkah penanganan untuk memenuhi kecukupan dana
penjaminan simpanan.
Setelah memperoleh data, informasi, kerangka penilaian
kondisi Stabilitas Sistem Keuangan, dan pertimbangan dari
seluruh anggota KSSK, maka KSSK menetapkan status Stabilitas
Sistem Keuangan. Apabila Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan
dalam kondisi normal, penanganan permasalahan Stabilitas
Sistem Keuangan dikembalikan kepada masing-masing anggota
KSSK sesuai bidang tugas dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang ada.
Apabila KSSK menetapkan SSK dalam Kondisi Tidak
Normal, maka penetapan ini perlu disertai dengan penetapan
langkah-langkah penanganan permasalahan di bidang moneter,
makroprudensial, dan sistem pembayaran, penanganan Bank SIB
dalam status Bank dalam pengawasan khusus, dan penanganan
kondisi lembaga keuangan dan/atau pasar keuangan, kondisi
kesinambungan fiskal dan pasar SBN, serta kecukupan dana
penjaminan simpanan. Langkah-langkah penanganan tersebut
40
dilaporkan oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu
1x24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Flowchart (Gambar 1) di bawah ini memberikan gambaran
mekanisme bekerjanya proses pengambilan keputusan dalam
sistem jaring pengaman ketika Kondisi Tidak Normal.
Gambar 1
Berdasarkan flowchart di atas terlehat bahwa tindakan
mengatasi permasalahan Bank SIB dilakukan secara cermat dan
hati-hati (prudent). OJK sebagai otoritas pengawas perbankan,
dalam melaksanakan tugasnya harus mampu melakukan
identifikasi Bank yang dikategorikan sebagai Bank SIB yang
41
dilakukan dengan berkoordinasi dengan BI. Bank SIB, sesuai
karakteristiknya, dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau
keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan. Kegagalan
tersebut dapat terjadi, baik secara operasional maupun finansial.
Dengan mempertimbangkan potensi risiko tersebut, maka Bank
tersebut diwajibkan untuk membuat rencana pemulihan sebagai
tindakan siaga apabila Bank tersebut mengalami permasalahan
keuangan di masa mendatang.
Penyusunan rencana dimaksud merupakan upaya untuk
mencegah eskalasi permasalahan individu Bank SIB tersebut pada
sistem perbankan dan sistem keuangan secara lebih luas.
Penyusunan rencana pemulihan oleh Bank SIB tersebut
merupakan bentuk komitmen awal Bank SIB untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya,
rencana pemulihan tersebut harus mendapatkan persetujuan OJK
sebagai otoritas pengawas perbankan.
Apabila Bank SIB yang bersangkutan belum mempunyai
rencana pemulihan, maka Bank tersebut harus menerapkan
langkah-langkah penyehatan yang telah ditetapkan OJK
berdasarkan penilaian yang dilakukan OJK terhadap kondisi Bank
tersebut. Memperhatikan bahwa UU OJK memberikan
kewenangan kepada OJK untuk menetapkan peraturan
pelaksanaan dari undang-undang di bidang jasa keuangan,
pengaturan lebih lanjut mengenai rencana pemulihan
permasalahan keuangan Bank SIB diatur dalam Peraturan OJK.
Salah satu permasalahan keuangan perbankan adalah
kesulitan likuiditas, yang perlu diatur dengan jelas mekanisme
penanganan kesulitan tersebut sebagaimana flowchart (Gambar 2)
di bawah ini:
42
Gambar 2
Pada praktiknya, apabila Bank mengalami kekurangan
likuiditas, Bank dapat mencari sumber dana lain dari Pasar Uang
Antar Bank (PUAB). Namun demikian, terdapat kemungkinan
bahwa kondisi likuiditas di pasar uang sedang ketat atau Bank
dilanda penarikan dana besar-besaran (Bank run) sehingga tidak
mampu memperoleh dana untuk mengatasi kesulitan
likuiditasnya. Dalam kondisi demikian, Bank sentral sebagai LoLR
dapat memberikan pinjaman kepada Bank untuk mengatasi
kesulitan keuangan tersebut. Pinjaman tersebut diberikan setelah
penanganan mandiri yang dilakukan Bank dimaksud, dengan
dibantu oleh OJK sesuai kewenangannya, belum dapat
menyelesaikan permasalahan likuiditas.
BI, sesuai ketentuan dalam UU No. 23 tahun 1999 yang
telah diubah beberapa kali (terakhir dengan UU No. 6 tahun
2009), mempunyai dua fasilitas pembiayaan untuk mengatasi
43
kesulitan likuiditas perbankan, yaitu Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek (FPJP) dan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD). Kedua
fasilitas tersebut menegaskan peran Bank Indonesia sebagai
Lender of The Last Resort (LoLR) dan untuk menjaga Stabilitas
Sistem Keuangan.
FPJP dapat diakses oleh semua Bank yang mengalami
permasalahan likuiditas tetapi masih solven. Dalam hal ini, FPJP
diberikan oleh BI berdasarkan informasi dan rekomendasi dari
OJK, sebagai otoritas pengawas perbankan, atas kondisi Bank
yang mengajukan FPJP tersebut. Ketentuan mengenai FPJP saat
ini diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
14/16/PBI/2012. Pengaturan lebih lengkap di dalam PBI tersebut
memberikan keleluasaan pada BI untuk dapat melakukan
penyesuaian terhadap kondisi yang terjadi secara lebih cepat.
Selain pinjaman likuiditas jangka pendek, fasilitas
pembiayaan lain yang dikenal di Indonesia untuk mengatasi
kesulitas likuiditas Bank adalah FPD. Berdasarkan
karakteristiknya, FPD memiliki kesamaan dengan Emergency
Liquidity Assistance (ELA), dimana ELA merupakan fungsi dari
Bank sentral dan merupakan instrumen LoLR.10 FPD merupakan
pinjaman likuiditas dari BI kepada Bank SIB yang mengalami
kesulitan likuiditas, namun masih memenuhi tingkat solvabilitas
sementara pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek
diperkirakan tidak dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas
dimaksud.
Konsep fasilitas LoLR sendiri pertama kali dikemukakan
oleh Henry Thornton pada awal abad ke-19 dengan
menghubungkan prinsip-prinsip dasar praktek Bank sentral yang
10M Manna, “Emergency Liquidity Assistance at Work: Both Words and Deeds
Matter” Studi e Note di Economia Anno XIV No. 2-2009, 2009, hlm. 155-186.
44
baik dengan pemberian pinjaman darurat11. Kemudian Walter
Bagehot yang dikenal sebagai peletak teori LoLR modern
menyebutkan bahwa FPD digunakan untuk mengatasi risiko
sistemik.12 Selain itu, Bagehot mengemukakan tiga prinsip
pemberian LoLR yakni:
a. pemberian pinjaman harus didukung dengan agunan
yang memadai dan diberikan hanya untuk Bank yang
solven;
b. pemberian pinjaman dengan suku bunga penalti; dan
c. pengumuman kesediaan untuk meminjamkan tanpa
batas dari Bank sentral dimana hal ini penting untuk
meyakinkan kredibilitas Bank sentral.
Pengalaman historis menunjukkan bahwa fungsi LoLR yang
efektif dapat mencegah panik pada berbagai kejadian.13 Sejalan
dengan itu, Mishkin berargumen bahwa Bank sentral dapat
mendorong pemulihan krisis keuangan dengan memberikan
pinjaman dalam rangka menjalankan perannya sebagai LoLR.14
Selain itu, terdapat banyak contoh sukses praktik LoLR di negara-
negara maju.
Berdasarkan standar praktik terbaik di dunia internasional,
pendekatan LoLR dapat dilakukan melalui dua metode utama
yaitu metode yang menganut ambiguitas konstruktif dan metode
yang menganut transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan
pengalaman Indonesia dalam melakukan penanganan
permasalahan Bank, faktor utama yang menjadi perhatian baik
11H Thornton, An Enquiry into the Nature and Effects of the Paper Credit of Great
Britain, Augustus M. Kelley, Fairfiled, 1802. 12W Bagehot, Lombard Street: A Description of the Money Market, H.S. King,
London, 1873. 13M Bordo, "The Lender of Last Resort: Alternative Views and Historical Experience", Economics Review 76 (1), 1990, hlm. 18–29. 14Frederic S Mishkin, “The International Lender of Last Resort: What Are The Issues?”
NBER Working Paper, IMF, 2000.
45
dari sisi penanganan permasalahan Bank itu sendiri, maupun dari
sisi hukum dan politik adalah transparansi dan akuntabilitas
tindakan penanganan permasalahan Bank tersebut oleh
lembaga/otoritas yang berwenang. Dengan mempertimbangkan
hal tersebut, konsep penanganan permasalahan Bank, dalam hal
ini pemberian FPD, harus mencerminkan suatu proses
penanganan yang transparan dan akuntabel. Dong He berargumen
bahwa meskipun terdapat alasan yang tepat untuk menjaga
ambiguitas atas kriteria (constructive ambiguity) dalam pemberian
bantuan likuiditas, namun dengan prosedur yang tepat, kejelasan
akuntabilitas dan kewenangan serta aturan keterbukaan akan
meningkatkan stabilitas keuangan, mengurangi moral hazard, dan
melindungi LoLR dari pengaruh politik yang tinggi.15 Dengan
pemikiran serupa, Nakaso mengemukakan bahwa pendekatan
LoLR di Jepang telah beralih dari ambiguitas konstruktif
(constructive ambiguity) ke arah kebijakan transparansi dan
akuntabilitas.16
Dalam UU BI, BI dapat memberikan FPD kepada Bank yang
berdampak sistemik dengan pembiayaan dari APBN. Dalam UU
JPSK, fasilitas pembiayaan darurat ini diubah menjadi PLK yang
diberikan oleh BI dengan jaminan dari Pemerintah. Fasilitas
tersebut hanya akan diberikan kepada Bank SIB yang telah
ditetapkan di awal oleh OJK setelah berkoordinasi dengan BI dan
disampaikan secara berkala dalam rapat KSSK. Daftar Bank SIB
ditetapkan di awal tanpa menunggu terjadinya Kondisi Tidak
Normal (predetermined). Hal tersebut akan memberikan keyakinan
kepada KSSK dalam memutuskan pemberian PLK dan kepada BI
15Dong He, “Emergency Liquidity Support Facilities” IMF Working Paper No.WP/00/79,
IMF, 2000. 16H Nakaso, “The Financial Crisis in Japan During the 1990s: How the Bank of Japan Responded and the Lessons Learnt” BIS Papers No. 6, BIS, 2001.
46
sebagai otoritas yang memberikan dana PLK mengingat BI terlibat
di dalam proses penyusunan daftar Bank SIB dalam konteks
koordinasi dengan OJK.
Pada saat ini, ketentuan dan tata cara pengambilan
keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank, pemberian FPD,
dan sumber pendanaan yang berasal dari APBN diatur dalam Nota
Kesepakatan antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal
17 Maret 2005. Selanjutnya, mekanisme pemberian FPD tersebut
telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang FPD dan
PBI Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Berdasarkan
ketentuan di dalam peraturan tersebut, pada prinsipnya BI
bertanggung jawab untuk menganalisis risiko sistemik yang dapat
mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan sementara keputusan
atas pemberian FPD diambil bersama antara BI dan Kemenkeu.
Pemberian FPD dimaksud dilakukan dengan ketentuan yang jelas
dan transparan, persyaratan yang selektif – hanya untuk Bank
yang masih solven dan adanya agunan – serta berdasarkan
keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI. Namun
demikian, mekanisme tersebut kurang sesuai lagi saat ini,
mengingat fungsi pengawasan perbankan telah dilimpahkan dari
BI ke OJK.
Pada dasarnya, PLK bisa diberikan dalam kondisi normal
dan Kondisi Tidak Normal. Dalam kondisi normal, PLK harus
didasarkan pada suatu aturan yang jelas sehingga dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya krisis (self-fulfilling crises),
dan memberikan insentif tumbuhnya disiplin pasar. Hal itu juga
dapat mengurangi campur tangan politik dan mencegah bias yang
mengarah pada pelonggaran aturan (forbearance). Fasilitas LoLR
pada kondisi normal hanya dapat diberikan kepada Bank yang
47
solven dengan agunan yang memadai dan memenuhi syarat.
Dalam Kondisi Tidak Normal, PLK harus menjadi bagian yang
terintegrasi dari suatu strategi manajemen penanganan
permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang komprehensif dan
dirumuskan secara baik.
Walaupun kerangka yang digunakan antara satu negara
dengan negara lain berbeda, terdapat suatu konsensus umum
mengenai pertimbangan utama dalam pemberian FPD pada
kondisi normal dan Kondisi Tidak Normal. Dong He membahas
tentang aspek pemberian FPD kepada satu institusi yang tidak
sehat dan teknis pertimbangan pemberian FPD pada kondisi
normal maupun tidak normal.17 Pertimbangan utama dalam
pemberian FPD antara lain sebagai berikut:
1. Adanya prosedur, kewenangan, dan akuntabilitas yang jelas.
2. Kerja sama yang erat dan pertukaran informasi antara Bank
sentral, otoritas pengawas perbankan (jika terpisah dari Bank
sentral), otoritas penjamin simpanan (jika ada) dan
kementerian keuangan.
3. Keputusan pemberian pinjaman kepada lembaga yang
berkategori SIB dan berisiko insolvensi dengan/atau tanpa
agunan yang memadai harus diambil secara bersama-sama
antara otoritas moneter, pengawas perbankan, dan fiskal.
4. Pinjaman kepada Bank di luar kategori SIB, jika ada, hanya
diberikan kepada Bank yang benar-benar solven dengan
penyertaan agunan yang memadai dan memenuhi syarat.
5. Pemberian pinjaman secara cepat.
6. Pinjaman dalam bentuk mata uang domestik.
7. Pinjaman dengan suku bunga di atas suku bunga rata-rata
pasar.
17Loc.cit, lihat 14.
48
8. Menjaga stabilitas moneter yang efektif.
9. Bank-bank peminjam harus diperiksa dan diawasi secara ketat
dan dibatasi aktivitasnya.
10. Pinjaman hanya untuk jangka pendek, sebaiknya tidak
melebihi tiga hingga enam bulan.
11. Prosedur penyelesaian permasalahan (exit strategy)
ditetapkan dengan jelas.
Kebijakan PLK yang transparan akan berfungsi sebagai
salah satu alat manajemen krisis yang efektif dan dapat
mengurangi moral hazard serta mendorong disiplin pasar yang
pada akhirnya akan mendorong terciptanya SSK. Proses
pemberian PLK harus diawali dengan permintaan untuk
memperoleh PLK dari Bank SIB yang kesulitan likuiditas namun
masih solven kepada BI. Berdasarkan pengajuan tersebut, BI
kemudian meminta persetujuan KSSK. Persetujuan KSSK tersebut
diperlukan karena dampak pemberian PLK akan melibatkan
masing-masing institusi anggota KSSK. Selain itu, KSSK juga
mempunyai tugas untuk menetapkan langkah-langkah
penanganan permasalahan Bank dimana pemberian PLK
termasuk didalamnya. Persetujuan KSSK akan diberikan apabila
berdasarkan informasi dan rekomendasi dari OJK sebagai otoritas
pengawas perbankan, Bank SIB yang mengajukan PLK tersebut
masih memenuhi ketentuan mengenai solvabilitas, permodalan,
dan tingkat kesehatan Bank, serta kemampuan untuk
mengembalikan PLK. Untuk memberikan kepastian pengembalian
dana PLK kepada BI sehingga tidak akan mengurangi modal BI,
Pemerintah memberikan jaminan atas pemberian PLK tersebut.
Sebagai konsekuensinya, apabila Bank SIB tidak mampu melunasi
PLK sesuai perjanjian, maka Pemerintah akan melunasi
kekurangannya.
49
Pengaturan lebih lanjut tentang persyaratan dan tata cara
pemberian PLK serta pemberian jaminan Pemerintah akan
diputuskan oleh KSSK untuk diatur dengan peraturan perundang-
undangan sesuai dengan kewenangan Pemerintah, BI, dan OJK.
Hal ini diatur selain untuk mengurangi moral hazard, juga untuk
memberikan keleluasaan kepada masing-masing institusi sesuai
dengan kebutuhan KSSK serta dapat disesuaikan dengan kondisi
yang terjadi.
Pada proses mendapatkan PLK tersebut, Bank SIB harus
menyusun rencana pembayaran agar dapat melunasi PLK pada
saat jatuh tempo. Bank SIB penerima PLK diharapkan untuk
segera melunasi dana pembiayaan tersebut karena biaya bunga
PLK yang lebih tinggi dari suku bunga pasar akan semakin
membebani Bank SIB apabila tidak segera dilunasi. Di samping
itu, Bank SIB yang belum melunasi PLK tersebut dilarang untuk
melakukan aktivitas-aktivitas keuangan yang dapat menambah
beban keuangan. Transaksi tersebut meliputi transaksi dengan
pihak terafiliasi, pembagian dividen, dan pemberian manfaat-
manfaat keuangan yang akan mengurangi kemampuan
permodalan Bank. Sebagaimana diketahui, permasalahan pada
Bank SIB akan mempengaruhi SSK. Oleh karena itu, pelarangan
terhadap aktivitas yang dapat mengurangi modal Bank SIB
diharapkan dapat mempercepat proses pemulihan Bank SIB yang
bermasalah sehingga SSK dapat tetap terjaga.
Penegakan terhadap pelarangan aktivitas-aktivitas
keuangan tersebut di atas dan penerapan rencana pembayaran
dilakukan oleh OJK sebagai otoritas pengawas perbankan. Dalam
pelaksanaannya, OJK dapat menempatkan pengawas pada Bank
SIB penerima PLK sehingga pengawasan dapat dilakukan secara
lebih intensif. Disamping itu, penempatan pengawas dapat
50
mencegah Bank untuk melakukan aktivitas keuangan yang
dilarang. Pengawasan tersebut dilakukan oleh OJK dengan
berkoordinasi dengan BI.
Permasalahan yang dihadapi oleh Bank tidak hanya
mengenai likuditas tetapi juga mengenai solvabilitas. Apabila OJK
mengidentifikasi suatu Bank SIB mengalami permasalahan
solvabilitas, maka OJK harus melakukan penanganan
permasalahan tersebut berdasarkan kewenangannya, termasuk
melaksanakan rencana penyehatan (recovery plan) yang harus
dimiliki oleh Bank SIB. Bersamaan dengan itu, OJK perlu
memberitahukan kepada LPS mengenai hal tersebut dalam rangka
memberikan ruang gerak kepada LPS untuk menyiapkan langkah-
langkah penanganannya.
Untuk mengakomodasi ketentuan yang mengatur
keterlibatan LPS di dalam penanganan permasalahan solvabilitas
Bank, konsep pengaturan di dalam UU JPSK akan memperluas
tugas dan wewenang LPS dalam rangka penanganan
permasalahan solvabilitas Bank SIB. Sebagaimana diketahui,
berdasarkan UU LPS, otoritas hanya dapat mulai melakukan
langkah-langkah penanganan Bank setelah Bank tersebut
dinyatakan sebagai Bank gagal. Oleh karena itu, pengaturan
dalam UU JPSK ini akan memperluas tugas dan wewenang LPS
dalam rangka penanganan Bank SIB sebelum Bank tersebut
dinyatakan sebagai Bank gagal.
Apabila kondisi Bank SIB yang mengalami permasalahan
solvabilitas semakin memburuk sehingga menyebabkan Bank SIB
tersebut ditetapkan sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus
(BDPK), OJK mempunyai opsi untuk menunjuk pihak tertentu
sebagai pengelola statuter. Selain itu, OJK juga dapat melibatkan
LPS untuk melakukan pengalihan sebagian atau seluruh aset
51
dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank atau pihak lain, atau
yang dikenal sebagai transaksi purchase and assumption (P&A).
Apabila OJK tidak berhasil menangani permasalahan Bank
SIB tersebut sesuai kewenangannya, maka OJK akan meneruskan
penanganan Bank SIB tersebut kepada KSSK melalui usulan
penyelenggaraan rapat KSSK untuk membahas permasalahan
tersebut. Dalam rapat KSSK, akan diputuskan langkah-langkah
penanganan Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas
yang antara lain dilakukan dengan menyerahkan Bank SIB
tersebut kepada LPS. Penyerahan Bank SIB oleh KSKK akan
memberikan kepastian hukum bagi LPS dalam melakukan
penanganan Bank SIB bermasalah. Hal ini melengkapi pengaturan
dalam Pasal 21 UU No. 24 Tahun 2004. Selain penyerahan Bank
SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas kepada LPS, KSSK
juga menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh
anggota KSSK yang lain sesuai kewenangan masing-masing.
LPS sebagai otoritas resolusi, perlu mengembangkan alat
resolusi untuk menangani permasalahan Bank SIB dengan efisien,
dapat diandalkan, dan credible.18 Strategi resolusi yang baik harus
dapat meminimalisir penggunaan dana LPS dan kerugian pihak
lain (stakeholder), namun tetap dapat mempertahankan
kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan, khususnya
perbankan. Di dalam UU No. 24 Tahun 2004, LPS memiliki metode
resolusi berupa penyertaan modal sementara (PMS) atau open
bank assistance. PMS dapat memperbaiki permasalahan
solvabilitas Bank dan mempertahankan kepercayaan nasabah
terhadap sistem keuangan19. Namun demikian, belajar dari
18“General Guidance for Resolutionof Bank Failures” by the International Association of
Deposit Insurers (IADI – 2005). Bank for International Settlements, Switzerland, 2005. 19 Robert Solow, On the Lender of Last Resort in C. P. Kindleberger and J. P. Laffargue
(eds.), Financial Crisis: Theory, History, and Policy, Cambridge University Press, Cambridge, 1982
52
berbagai pengalaman Bank bermasalah di negara-negara lain,
metode PMS dirasakan kurang efektif dalam menangani Bank
bermasalah karena tidak menyelesaikan akar permasalahan yang
sebenarnya20. Selain itu, konsekuensi penggunaan metode ini
dapat menimbulkan permasalahan moral hazard karena dapat
memotivasi pelaku perbankan lain untuk melakukan kegiatan
yang lebih berisiko,21 menggerus dana LPS lebih cepat dalam
periode yang singkat22, dan mengurangi market discipline karena
melindungi depositor dan kreditor yang tidak masuk dalam skema
perlindungan LPS23. Untuk itu, perlu adanya metode resolusi lain
yang lebih efektif serta dapat disesuaikan dengan kondisi sistem
keuangan dan kondisi Bank secara lebih khusus.
Saat ini, otoritas resolusi di berbagai negara di dunia
memiliki pilihan metode-metode resolusi, seperti Federal Deposit
Insurance Corporation (Amerika Serikat), Deposit Insurance
Corporation of Japan (Jepang), dan Korea Deposit Insurance
Corporation (Korea). Secara umum, metode resolusi yang dimiliki
oleh otoritas resolusi di negara tersebut mencakup pengalihan
sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank bermasalah
kepada Bank lain (P&A), pengalihan aset dan/atau kewajiban
Bank bermasalah kepada entitas perantara (bridge bank), serta
penyertaan modal sementara (open bank assistance). Ketersediaan
pilihan metode resolusi yang lebih banyak ini juga telah sesuai
dengan Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial
Institutions yang dikeluarkan oleh FSB.
20J Bolzico, Y Mascaro and P Granata, “Practical Guidelines for Effective Bank Resolution” World Bank Policy Research Working Paper no. 4389, World Bank, 2007. 21Ibid. 22Robert Solow, Op.Cit., 52 23“Chapter 5 - Open Bank Assistance Transactions” FDIC Resolutions Handbook, FDIC.
53
Pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Gagal kepada Bank atau pihak lain
Transaksi pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau
kewajiban Bank kepada Bank atau pihak lain, atau yang dikenal
dengan metode P&A, merupakan metode resolusi Bank yang paling
umum. Berdasarkan survei International Association of Deposit
Insurers (IADI) tahun 2012 terhadap 91 otoritas resolusi di seluruh
dunia, sebanyak 53 otoritas resolusi telah memiliki kewenangan
untuk melakukan transaksi P&A. Dalam suatu transaksi P&A,
Bank atau pihak lain membeli (purchase) sebagian atau seluruh
aset Bank bermasalah dan mengasumsikan (assume) sebagian
atau seluruh kewajiban Bank bermasalah, termasuk simpanan
yang dijamin.
Transaksi P&A pada umumnya menawarkan biaya yang
lebih rendah dan lebih efisien dalam penyelesaian Bank
bermasalah dibandingkan dengan proses likuidasi. Penerapan
metode ini tidak merugikan nasabah karena pelayanan terhadap
nasabah Bank bermasalah tersebut tidak terganggu24. Dengan
membeli aset dan/atau kewajiban dari Bank SIB yang mengalami
permasalahan solvabilitas, Bank dapat meningkatkan pangsa
pasar dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan
merger atau akuisisi. Sementara itu, aset dan/atau kewajiban
yang tidak dapat dialihkan kepada Bank sehat akan tetap berada
dalam Bank SIB tersebut di bawah penanganan LPS. Dengan
demikian, Bank SIB tersebut telah berkurang dampak sistemiknya
sehingga penanganannya diperkirakan akan lebih mudah.
Namun, keberhasilan transaksi P&A juga bergantung pada
ada atau tidaknya Bank atau pihak lain yang mau membeli aset
dan/atau kewajiban Bank SIB yang mengalami permasalahan23.
24Claire L McGuire, Simple Tools to Assist in the Resolution of Troubled Banks, World
Bank, Washington, DC, 2012.
54
Salah satu kemungkinan terburuk adalah LPS tidak dapat
menemukan Bank sehat yang bersedia membeli aset dan/atau
kewajiban Bank SIB dimaksud. Untuk itu, perlu diatur ketentuan
tentang batas waktu maksimal untuk melakukan transaksi P&A
dan tindak lanjut dalam hal transaksi P&A tidak dapat dilakukan,
termasuk perlu tidaknya penambahan modal untuk menarik
minat calon pembeli.
Pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Gagal kepada entitas perantara
Apabila struktur Bank SIB yang mengalami permasalahan
solvabilitas terlalu kompleks dan/atau terdapat beberapa Bank
SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas pada waktu
bersamaan, implementasi transaksi P&A akan membutuhkan
waktu yang lebih lama. Salah satu solusinya adalah LPS dapat
melakukan pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau
kewajiban Bank SIB tersebut kepada sebuah entitas perantara.
Metode ini dikenal dengan istilah bridge bank, yang merupakan
salah satu variasi dari transaksi P&A.25 Pada tahun 2012,
pendekatan ini sudah diterapkan oleh 39 negara, antara lain
Australia, Brasil, Kanada, Jerman, Jepang, Meksiko, Swiss,
Inggris, dan Amerika Serikat. Bahkan di Inggris, otoritas resolusi
juga memiliki perluasan wewenang hingga pengalihan saham
Bank bermasalah26.
Bridge bank adalah bentuk kepemilikan sementara Bank SIB
yang mengalami permasalahan solvabilitas oleh LPS untuk
dilakukan restrukturisasi dan selanjutnya dijual kepada Bank
25J Bolzico, Y Mascaro and P Granata, Loc.cit. 26Resolution Policies and Frameworks – Progress so Far”, Basel Committee on Banking
Supervision, 2011.
55
atau pihak lain yang sehat.27 Melalui metode bridge bank, LPS
membentuk Bank Perantara untuk menjembatani pengalihan aset
dan/atau kewajiban Bank SIB tersebut kepada Bank lain yang
sehat.
Bank Perantara digunakan sebagai sarana resolusi dengan
menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau
kewajiban Bank SIB yang ditangani LPS. Bank Perantara tersebut
menjalankan kegiatan usaha perbankan sebagaimana pada
umumnya dan selanjutnya akan dialihkan kepada pihak lain.
Metode bridge bank dapat digunakan untuk menyelamatkan
Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas yang dinilai
masih mempunyai nilai jual dan peluang untuk disehatkan.
Melalui pembentukan Bank Perantara yang berbadan hukum
perseroan terbatas, LPS dapat bergerak lebih cepat untuk
mempertahankan nilai Bank SIB yang mengalami permasalahan
solvabilitas sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian.
Dalam rangka penanganan Bank SIB yang mengalami
permasalahan dibutuhkan penanganan yang cepat dan tepat.
Dalam pendirian bridge bank oleh LPS, tidak berlaku ketentuan
yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang
atau lebih sebagaimana diatur dalam UU PT. Dalam rangka
menangani Bank SIB yang bermasalah secara cepat dan menjaga
pelayanan kepada nasabah dari Bank yang diselamatkan agar
tidak terganggu, dibutuhkan penyesuaian perizinan Bank gagal.
Dalam hal ini, perizinan Bank Perantara yang diberikan oleh OJK
dapat disesuaikan menjadi 2 (dua) tahap sesuai dengan
kebutuhan operasional Bank Perantara.
27 Glenn Hoggarth, Jack Reidhill, and Peter J. N Sinclair, “On the Resolution of Banking Crises: Theory and Evidence” Bank of England Working Paper No. 229, Bank of England, 2004.
56
Untuk tahap pertama, OJK perlu memberikan persetujuan
prinsip kepada Bank Perantara untuk dapat melakukan persiapan
pendirian Bank. Sebelum mendapatkan persetujuan prinsip
tersebut, Bank Perantara harus memiliki anggaran dasar yang
paling tidak memuat kegiatan usaha sebagai Bank, modal disetor
yang memenuhi UU PT, struktur organisasi, manajemen risiko,
pedoman terkait tata kelola perusahaan yang baik, dan laporan
keuangan bulanan.
Tahap kedua adalah memberikan izin usaha Bank setelah
persiapan pendirian Bank selesai dilakukan oleh Bank Perantara.
Pada tahapan ini, Bank Perantara harus memenuhi kewajiban
penyediaan modal minimum untuk Bank umum, telah memiliki
susunan direksi dan dewan komisaris, serta rencana bisnis terkait
mekanisme pengalihan baik terkait sumber daya manusia
maupun infrastruktur Bank Perantara. Dalam penetapan direksi
dan dewan komisaris, uji kemampuan dan kepatutan dilakukan
oleh OJK berdasarkan ketentuan uji kemampuan dan kepatutan
bagi Bank dalam penanganan LPS.
Di dalam proses ini tidak diberikan pembatasan waktu.
Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Bank Perantara akan
hidup sampai batas waktu yang tidak ditentukan melainkan
dengan semangat optimis diharapkan dapat sesegara mungkin
dibeli oleh calon pembeli. Pada praktik di beberapa negara, jangka
waktu pengalihan aset dan/atau kewajiban tersebut dapat lebih
atau kurang dari dua tahun. Sebagai contoh, di Kanada masa
pendirian bridge bank maksimum selama dua tahun dengan opsi
perpanjangan waktu satu tahun sebanyak tiga kali. Sedangkan di
Meksiko, bridge bank dapat beroperasi selama enam bulan dengan
masa perpanjangan enam bulan lagi sebanyak satu kali. Menurut
The European Comission operasional bridge bank sebaiknya
57
dibatasi selama satu tahun dengan opsi perpanjangan satu
tahun28. Apabila hanya sebagian aset dan/atau kewajiban pada
Bank Perantara yang berhasil dijual kepada Bank lain yang sehat,
maka penanganan sisa aset dan/atau kewajiban yang tidak laku
akan menjadi wewenang LPS.
Karakteristik bridge bank memungkinkan pihak otoritas
untuk bekerja mempersiapkan pengalihan aset dan/atau
kewajiban. sementara kegiatan operasional layanan perbankan
masih dapat berjalan. Karakteristik seperti ini memberikan
keuntungan tersendiri bagi LPS untuk mempertahankan nilai jual
Bank SIB yang mengalami permasalahan solvabilitas tersebut. Di
sisi lain, metode ini membutuhkan usaha yang lebih dari pihak
LPS untuk memastikan proses metode ini berjalan lancar. Bridge
bank juga mungkin membutuhkan dukungan likuiditas dari pihak
otoritas terkait. Selain itu, potensi kerugian juga masih bisa terjadi
antara lain jika terdapat kesalahan perhitungan nilai jual yang
ternyata lebih kecil dari biaya operasional bridge bank dan tidak
adanya calon pembeli yang berminat dengan bridge bank
tersebut.29
Dalam melakukan transaksi pengalihan aset dan/atau
kewajiban Bank bermasalah kepada Bank atau pihak lain,
terdapat kemungkinan adanya selisih antara aset dan/atau
kewajiban tersebut. Apabila hal ini terjadi, LPS harus memiliki
kewenangan untuk melakukan pembayaran kepada pihak lain
untuk menutup selisih nilai tersebut sehingga pihak lain tersebut
bersedia menerima pengalihan aset dan/atau kewajiban tersebut.
Selain itu, LPS juga berwenang untuk mengalihkan sebagian atau
seluruh aset dan/atau kewajiban Bank tanpa persetujuan
kreditur, debitur, dan RUPS Bank. Apabila setelah jangka waktu 28Loc.cit, lihat 24. 29Loc.cit, lihat 22.
58
yang ditentukan LPS tidak berhasil menjual Bank Perantara
secara keseluruhan, LPS akan melakukan metode P&A terhadap
Bank Perantara tersebut.
Keberhasilan metode bridge bank tidak hanya tergantung
pada kerangka hukum dan kerangka kerja yang kuat, namun juga
tergantung pada ketersediaan dana untuk mendukung operasional
Bank Perantara sebagai Bank. Karena Bank Perantara tersebut
dapat menerima simpanan dan memberikan pinjaman, Bank
Perantara ini tetap tunduk kepada perundang-undangan tentang
perbankan namun diberikan pengaturan tertentu mengenai
persyaratan dan tata cara pendirian, permodalan, perizinan dan
pengangkatan anggota direksi dan komisaris yang diangkat untuk
pertama kalinya.
Dalam proses pembentukan Bank Perantara tersebut,
terdapat kemungkinan bahwa LPS akan menghadapi kesulitan
dalam mencari partner kepemilikan saham atas Bank Perantara
tersebut. Sementara itu, proses pembentukannya harus dilakukan
dalam waktu sesingkat mungkin untuk menghindari kemungkinan
adanya potensi bank run.
Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa persyaratan
pendirian perseroan adalah oleh dua orang atau lebih. Sehingga,
melalui UU JPSK perlu diberikan pengecualian bagi LPS terkait
persyaratan pendirian perseroan agar proses pendirian Bank
Perantara tersebut dapat dilakukan dengan segera. Di samping
itu, BI juga dapat menetapkan pengaturan tertentu bagi Bank
Perantara terkait dengan kebijakan moneter, makroprudensial,
dan sistem pembayaran. Pengaturan tertentu bagi Bank Perantara
tersebut diberikan karena adanya keterbatasan waktu yang
dimiliki oleh LPS dalam melakukan penanganan Bank.
59
Apabila dalam penanganan permasalahan Bank SIB, LPS
mengalami kesulitan likuiditas dan/atau modal LPS kurang dari
modal awal yang LPS yang ditetapkan Pemerintah, maka LPS
dapat menjual SBN yang dimilikinya dan/atau memperoleh
pinjaman dari pihak lain. Dalam rangka penanganan
permasalahan Bank SIB, maka dengan persetujuan KSSK, LPS
dapat menjual SBN yang dimiliki kepada BI berdasarkan harga
pasar.
Di dalam konsep pengaturan UU JPSK, Pemerintah dapat
memberikan jaminan atas pinjaman yang diperoleh oleh LPS.
Lebih lanjut, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada
LPS. Ketentuan tersebut disusun untuk memberikan keyakinan
kepada LPS dalam melakukan langkah-langkah penanganan
permasalahan Bank sekaligus untuk menjaga kepercayaan publik
terhadap LPS. Namun demikian, berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, terdapat tumpang tindih
ketentuan mengenai pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada
LPS. Di satu sisi pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS telah
diatur dalam Pasal 85 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS
menyatakan “Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (1), Pemerintah
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup
kekurangan tersebut” dan Ayat (2) yang menyatakan “Dalam hal
LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh
pinjaman dari Pemerintah”. Selain itu, Pasal 30 Ayat (1) UU No. 27
Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015 berbunyi
“Pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas.”
Di sisi lain, dalam UU yang mengatur mengenai keuangan
negara dan perbendaharaan negara, pemberian pinjaman dari
60
Pemerintah hanya dapat diberikan kepada pihak-pihak tertentu
yang telah ditetapkan di dalam kedua UU tersebut. Pasal 22 Ayat
(2) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara berbunyi
“Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah
kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya”. Selain itu, Pasal 33
Ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
berbunyi “Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau
hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang
tercantum/ditetapkan dalam UU tentang APBN.”.
Pada dasarnya, ketentuan dalam UU tentang APBN
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dapat menjadi landasan
hukum bagi Pemerintah untuk memberikan pinjaman kepada LPS.
Namun, hal tersebut hanya berlaku pada tahun anggaran berjalan
sesuai dengan masa berlaku UU tersebut, yaitu 1 (satu) periode
anggaran atau 1 (satu) tahun. Oleh karena itu, risiko tidak
dituangkannya ketentuan tersebut pada UU tentang APBN di masa
mendatang sangat terbuka.
Ketiadaan pengaturan tersebut dapat menimbulkan
ketidakjelasan landasan hukum untuk pemberian pinjaman oleh
Pemerintah kepada LPS sehingga dapat menimbulkan keragu-
raguan, baik pada lembaga/otoritas maupun KSSK, dalam
mengambil keputusan. Lebih lanjut, kondisi tersebut dapat
menimbulkan permasalahan hukum di masa yang akan datang
apabila dilakukan pemberian Pinjaman oleh Pemerintah kepada
LPS tanpa landasan hukum yang jelas. Oleh karena itu, di dalam
UU JPSK perlu diatur ketentuan bahwa pemberian pinjaman oleh
Pemerintah kepada LPS dikecualikan dari ketentuan dalam UU
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun
61
2004 tentang Perbendaharaan Negara mengenai pihak yang dapat
diberikan pinjaman oleh Pemerintah.
Untuk menjalankan fungsi tata kelola yang baik, LPS
berkewajiban untuk melaporkan segala perkembangan aktivitas
penanganan permasalahan kepada KSSK, yang dimulai dari
aktivitas penyerahan penanganan permasalahan Bank SIB oleh
KSSK kepada LPS hingga selesainya proses penanganan
permasalahan tersebut. Fungsi pelaporan tersebut dimaksudkan
agar aktivitas penanganan permasalahan selalu dapat terkoordinir
dengan baik dan tidak menimbulkan benturan-benturan
kepentingan dengan anggota KSSK.
Restrukturisasi perbankan dalam Kondisi Tidak Normal
Dalam Kondisi Tidak Normal, terdapat kemungkinan
terjadinya kegagalan sejumlah Bank dalam waktu yang bersamaan
yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Penanganan
bank-bank bermasalah tersebut memerlukan pendekatan khusus
yang mungkin berbeda dengan penanganan permasalahan Bank
dalam kondisi normal. Pasal 37A UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan mengatur upaya penyehatan industri perbankan.
Dalam upaya melaksanakan penyehatan industri perbankan,
apabila BI menilai bahwa permasalahan yang terjadi di industri
perbankan membahayakan perekonomian nasional, dapat
dibentuk suatu badan khusus. Atas permintaan BI, Pemerintah
setelah berkonsultasi dengan DPR, dapat membentuk badan
khusus yang bersifat sementara.
Pemerintah pernah membentuk badan khusus dalam
rangka melakukan upaya penyehatan perbankan setelah krisis
tahun 1998 yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
BPPN yang dibentuk berdasarkan Kepres No. 27 Tahun 1998
62
tentang Pembentukan BPPN, mempunyai tugas pokok untuk
melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan
termasuk restrukturisasi Bank yang dinyatakan tidak sehat oleh
BI. Karena kinerjanya yang dinilai kurang memuaskan, lembaga
ini dibubarkan pada tanggal 27 Februari 2004 berdasarkan Kepres
No. 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran
BPPN.
BPPN yang dibentuk Pemerintah pada tahun 1998 pada
dasarnya merupakan salah satu bentuk badan khusus
independen atau Asset Management Company (AMC). Badan
khusus independen ini merupakan entitas yang berfungsi untuk
memfasilitasi penyehatan Bank dan mengelola atau menghapus
aset bermasalah sehingga asetnya menarik bagi calon investor
baru. Penanganan perbankan setelah krisis melalui pembentukan
badan khusus independen telah banyak diimplementasikan di
berbagai negara seperti Amerika Serikat, Thailand, Swedia,
Tiongkok, dan Korea Selatan, meskipun diadopsi dengan strategi
yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak
dicapai dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan terkait
penanganan permasalahan Bank SIB dalam Kondisi Tidak Normal
oleh badan khusus yang independen, antara lain:
1. Badan khusus independen umumnya rentan terhadap tekanan
politik dari pihak tertentu. Menurut Klingebiel (2000), untuk
negara berkembang, bentuk badan khusus memberikan
lingkup intervensi politik yang cukup besar sehingga rentan
untuk mengalami kegagalan. Dari hasil penelitian yang
dilakukannya terkait berbagai badan khusus di beberapa
negara, perbandingannya hanya sepertiga yang bisa dikatakan
berhasil dalam penanganannya untuk menyehatkan Bank.
63
2. Jika aset yang dialihkan kepada badan khusus independen
tidak dikelola secara aktif, keberadaan badan khusus dapat
memicu terjadinya penurunan disiplin kredit dalam sistem
keuangan.
Belajar dari pengalaman pembentukan BPPN dan badan-
badan khusus independen di negara-negara lain, terdapat suatu
pendekatan untuk membentuk suatu badan khusus yang tidak
independen. Dalam UU tentang JPSK ini dibentuk suatu badan
khusus yaitu Badan Restrukturisasi Perbankan (BRP) sebagai
suatu badan hukum. Selanjutnya, dalam kondisi tertentu, KSSK
dapat sewaktu-waktu mengaktifkan serta menetapkan lama masa
tugas atas badan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
kondisi tertentu adalah Kondisi Tidak Normal dimana KSSK
menilai terdapat permasalahan perbankan yang membahayakan
perekonomian nasional. Atas pengaktifan dan penyelenggaraan
BRP tersebut, KSSK harus melaporkannya kepada Presiden.
Penyelenggaraan dan penetapan kepengurusan atas badan
khusus ini dilakukan oleh KSSK sebagai trustee. Hal ini berbeda
dengan BPPN sebelumnya, dimana diharapkan pengelolaan badan
khusus oleh LPS dapat meminimalisasi tekanan politik dan
memberikan jaminan adanya good governance dalam pengelolaan
aset dan/atau kewajiban Bank SIB yang dialihkan. Anggaran BRP
bersumber dari APBN, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank-
bank yang ditangani, dan sumber lain sesuai dengan peraturan
perundangan.
Agar dapat menjalankan tugas restrukturisasi perbankan,
BRP ini diberi kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan
kewenangan LPS. Kewenangan badan restrukturisasi ini antara
lain sebagai berikut:
64
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang
pemegang saham termasuk hak dan wewenang rapat umum
pemegang saham Bank atau organ lain yang setara;
b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang
direksi dan dewan komisaris Bank atau organ lain yang setara;
c. menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan
atas kekayaan milik atau yang menjadi hak Bank, termasuk
kekayaan Bank yang berada pada pihak manapun, baik di
dalam maupun di luar negeri;
d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau
mengubah kontrak yang mengikat Bank dengan pihak ketiga,
yang menurut pertimbangan Badan Restrukturisasi Perbankan
merugikan Bank;
e. menjual, melelang, atau mengalihkan kekayaan Bank di dalam
negeri maupun di luar negeri, baik secara langsung maupun
melalui penawaran umum;
f. menjual, melelang atau mengalihkan tagihan Bank dan/atau
menyerahkan pengelolaanya kepada pihak lain, tanpa
memerlukan persetujuan nasabah debitur;
g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan/atau manajemen
Bank kepada pihak lain;
h. melakukan penyertaan modal sementara pada Bank secara
langsung atau melalui konversi tagihan Badan Restrukturisasi
Perbankan terhadap Bank menjadi saham Bank;
i. melakukan penagihan piutang Bank yang sudah pasti dengan
penerbitan surat paksa;
j. melakukan pengosongan atas tanah dan/atau bangunan milik
atau yang menjadi hak Bank yang dikuasai oleh pihak lain,
baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak
hukum yang berwenang;
65
k. melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh
segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai Bank
dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan, dan
pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau
mengetahui kegiatan yang merugikan Bank dalam
penganganan Bank khusus tersebut;
l. menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami Bank
dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan dan
membebankan kerugian tersebut kepada modal Bank yang
bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena
kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan anggota dewan
komisaris atau organ yang setara, dan/atau pemegang saham,
maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang
bersangkutan;
m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh
pemegang saham Bank dalam penanganan Badan
Restrukturisasi Perbankan;
n. meminta data, informasi, dan dokumen dari Bank dalam
penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan dan dari pihak
lain;
o. membekukan aset milik pengurus Bank, pemegang saham
Bank, dan/atau pihak terafiliasinya yang terindikasi
melakukan tindakan yang merugikan Bank, baik yang berada
di dalam negeri maupun di luar negeri; dan
p. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang
pelaksanaan wewenang Badan Restrukturisasi Perbankan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf o.
Terkait dengan upaya penyelesaian permasalahan Bank, Key
Attributes (2014) memberikan pedoman bahwa alternatif
66
penyelesaian permasalahan Bank seharusnya tidak bergantung
kepada public ownership ataupun bail-out funds.30 Sejalan dengan
hal tersebut, menurut Beck, penyelesaian permasalahan Bank
melalui mekanisme pasar dinilai lebih tepat dibandingkan dengan
penyelesaian melalui dana publik31. Dengan demikian, alternatif
penyelesaian permasalahan Bank harus mengedepankan
penyelesaian melalui mekanisme pasar. Lebih lanjut, jika
diperlukan, lembaga/otoritas dapat menyediakan insentif sebagai
alternatif penyelesaian melalui mekanisme pasar tersebut. Hal ini
sejalan dengan hasil asesmen atas kondisi Indonesia dalam Peer
Review of Indonesia 2014 bahwa solusi penyelesaian
permasalahan seharusnya tidak mengandalkan dana publik dan
tidak pula memberikan pernyataan atau harapan bahwa dana
tersebut tersedia32. Hal ini dilakukan untuk menghindari motif
moral hazard bagi para pelaku industri perbankan.
Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dapat memberikan insentif
dan/atau fasilitas berupa fiskal maupun non fiskal kepada Bank
SIB yang dapat menyelesaikan permasalahannya melalui
mekanisme pasar. Insentif tersebut dapat diberikan antara lain
dalam bentuk kemudahan dalam pemberian izin menjadi Bank
devisa, kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan GWM
Rupiah, perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelampauan
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang timbul apabila
Bank melakukan merger atau konsolidasi, kemudahan dalam
pemberian izin pembukaan kantor cabang Bank, penggantian
30Loc.cit, lihat 4. 31T Beck, The Incentive Compatible Design of Deposit Insurance and Bank Failure Resolution-Concepts and Country Studies, 2003. 32“Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions, Key Attributes-Financial Stability Board 2014: Peer Review of Indonesia”, Financial
Stability Board, 2014.
67
sebagian biaya konsultan pelaksanaan due diligence, atau insentif
perpajakan.
Sebagai contoh, Bank of Japan pernah memberikan insentif
berupa penghapusan non performing loan (NPL) perbankan. Oleh
karena itu, jika dipandang perlu dan dengan mempertimbangkan
kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang ada, maka
lembaga/otoritas dapat memberikan insentif tersebut. Sifat dan
jenis insentif akan ditentukan kemudian berdasarkan kebutuhan
dan kondisi Stabilitas Sistem Keuangan secara situasional.
Sumber pendanaan untuk penanganan Bank dapat berasal
dari kekayaan BI, kekayaan LPS, dan APBN. Dalam hal Bank SIB
mengalami kesulitan likuiditas namun masih memenuhi
ketentuan tingkat solvabilitas, Bank SIB dapat mengajukan
permohonan untuk mendapatkan fasilitas pinjaman likuiditas
jangka pendek dari BI. Apabila fasilitas tersebut belum dapat
menyelesaikan permasalahan likuiditas, Bank tersebut dapat
mengajukan permohonan kepada BI untuk memperoleh PLK.
Sumber pendanaan atas kedua fasilitas tersebut berasal dari
kekayaan BI.
Dalam proses penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau
penanganan permasalahan Bank SIB, BI bertindak sebagai
penyedia dana PLK mengingat BI memiliki sumber pendanaan
yang dapat segera dieksekusi selaku otoritas moneter yang juga
ikut berperan dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan. PLK
dimaksud hanya diberikan kepada Bank SIB yang mengalami
permasalahan. Hal ini dilakukan karena permasalahan pada Bank
tersebut dapat mengakibatkan gangguan atau kegagalan pada
sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa
keuangan, baik secara operasional maupun finansial.
68
Peran serta Pemerintah dalam proses pemberian PLK adalah
memberikan jaminan kepada BI atas pemberian PLK dimaksud.
Jaminan tersebut direalisasikan apabila Bank SIB tidak mampu
melunasi PLK. Jaminan Pemerintah tersebut dilakukan melalui
pembayaran kekurangan oleh Pemerintah kepada BI. Dalam hal
ini, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan bertindak
sebagai penjamin atas pemberian PLK dimaksud mengingat fungsi
Pemerintah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan di bidang
keuangan yang memiliki kepentingan sekaligus peran serta dalam
memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.
Lebih lanjut, persyaratan dan tata cara mengenai pemberian
PLK, jaminan Pemerintah atas PLK, serta pengawasan terhadap
Bank SIB penerima PLK diputuskan oleh KSSK untuk ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangan
Pemerintah, BI, dan OJK. Hal ini diatur dengan
mempertimbangkan fungsi KSSK, yaitu untuk memelihara dan
menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, sehingga
KSSK adalah wadah yang tepat untuk menetapkan hal tersebut.
Di samping itu, KSSK yang beranggotakan pimpinan lintas
lembaga/otoritas di sektor keuangan, diharapkan dapat memiliki
pandangan dan pertimbangan yang lebih komprehensif dalam
penanganan permasalahan Bank SIB.
Penanganan permasalahan Bank SIB oleh LPS
menggunakan pendanaan yang berasal dari kekayaan LPS.
Apabila dalam proses penanganan tersebut LPS mengalami
kesulitan likuiditas dan/atau modal LPS menjadi kurang dari
ketentuan mengenai modal awal yang ditetapkan Pemerintah, LPS
dapat menerima pinjaman dari Pemerintah.
Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS tersebut
dimungkinkan mengingat ketentuan Pasal 85 Ayat (1) UU No. 24
69
Tahun 2004 tentang LPS menyatakan bahwa “Dalam hal modal
LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
81 Ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menutup kekurangan tersebut” dan Ayat (2) menyatakan
bahwa “Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat
memperoleh pinjaman dari Pemerintah”. Selain itu, UU No. 27
Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015 juga
menyebutkan dalam Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi “Pemberian
pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal
LPS mengalami kesulitan likuiditas.”
Namun demikian, ketentuan dalam UU tentang APBN
tersebut hanya dapat menjadi landasan hukum bagi Pemerintah
untuk memberikan pinjaman kepada LPS pada tahun anggaran
berjalan. Hal ini sesuai dengan masa berlaku UU tersebut yaitu 1
(satu) periode anggaran atau 1 (satu) tahun. Oleh karena itu,
terdapat potensi risiko bahwa ketentuan tersebut tidak
dituangkan pada UU tentang APBN di periode anggaran
berikutnya.
Berdasarkan ketentuan dalam UU yang mengatur mengenai
keuangan negara dan perbendaharaan negara, pemberian
pinjaman oleh Pemerintah hanya dapat diberikan kepada pihak-
pihak tertentu. Pasal 24 Ayat (7) berbunyi “Dalam keadaan
tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah
Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan
penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat
persetujuan DPR” dan Pasal 22 Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara berbunyi “Pemerintah Pusat dapat
memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah
atau sebaliknya”. Selain itu, Pasal 33 Ayat (1) UU No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara berbunyi “Pemerintah Pusat
70
dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah
Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah
sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-undang
tentang APBN.”
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada serta dengan mempertimbangkan kebutuhan akan
pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS, di dalam UU
JPSK perlu diatur ketentuan yang dapat menjadi landasan hukum
bagi pemberian pinjaman dimaksud. Ketentuan tersebut perlu
mengatur bahwa pemberian pinjaman oleh Pemerintah, dengan
menggunakan dana APBN, kepada LPS dikecualikan dari
ketentuan mengenai pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh
Pemerintah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
Penggunaan dana APBN dalam rangka penanganan Bank
SIB dalam Kondisi Tidak Normal seperti yang telah dijelaskan di
atas, dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan
DPR berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemerintah
dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya
dan/atau melebihi pagu yang telah ditetapkan dalam APBN
dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari
DPR. Hal tersebut mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara Pasal 27 Ayat (4) yang berbunyi “Dalam keadaan
darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam
Laporan Realisasi Anggaran.”
Dengan demikian, pengaturan hal ini dalam UU tentang
JPSK sejalan dengan salah satu dari tiga fungsi DPR, yaitu fungsi
71
anggaran sesuai dengan amanat Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.”
Persetujuan tertulis DPR diberikan kepada Pemerintah
paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah
permohonan persetujuan tertulis disampaikan oleh Pemerintah
mengingat pengambilan keputusan perlu dilakukan dengan cepat.
Ketika suatu Bank mengalami kegagalan sistem perbankan dan
tidak dapat mengikuti sistem pembayaran, maka hal tersebut
dapat mempengaruhi sistem pembayaran Bank lainnya. Eskalasi
permasalahan Bank SIB, terlebih dalam Kondisi Tidak Normal,
dapat terjadi dengan sangat cepat dan dapat menimbulkan efek
domino terhadap sektor riil karena krisis perbankan akan
menghambat proses intermediasi keuangan. Selain itu,
permasalahan perbankan akan menyebabkan formulasi kebijakan
moneter menjadi kurang efektif.
Persetujuan tertulis DPR tersebut dituangkan dalam
kesimpulan Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dalam waktu 1x24
(satu kali dua puluh empat) jam setelah usulan disampaikan oleh
Pemerintah kepada DPR. Persetujuan tertulis tersebut juga
termasuk persetujuan DPR mengenai tambahan nilai bersih SBN
yang akan diterbitkan dalam rangka penjaminan PLK atas Bank
SIB kepada BI dan juga pemberian pinjaman kepada LPS
dan/atau LPS mengalami kesulitan likuiditas.
Penerbitan SBN oleh Pemerintah kepada BI harus mendapat
persetujuan dari DPR. Penerbitan SBN ini boleh melebihi pagu
yang ditetapkan dalam APBN tahun anggaran berjalan dan harus
dilaporkan dalam APBN Perubahan dan Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP). Hal ini sesuai dengan UU No. 24 Tahun
2002 tentang Surat Utang Negara Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi
72
“Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dan Ayat (4) yang berbunyi
“Dalam hal-hal tertentu, Menteri dapat menerbitkan Surat Utang
Negara melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setelah
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan
Rakyat dan dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan.”
Dalam penanganan permasalahan Bank sebagai bagian dari
upaya untuk memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas
Sistem Keuangan, Pemerintah dapat menerbitkan SBN. Penerbitan
SBN untuk penanganan permasalahan Bank tersebut perlu
dikecualikan dari tujuan penerbitan SUN dan tujuan penerbitan
SBSN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 24
Tahun 2002 tentang SUN yang berbunyi “Surat Utang Negara
diterbitkan untuk tujuan sebagai berikut: a. membiayai defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. menutup
kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara
arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara
dalam satu tahun anggaran; c. mengelola portofolio utang negara”
dan dalam ketentuan pada Pasal 4 UU No. 19 Tahun 2008 tentang
SBSN yang berbunyi “SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk
membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk
membiayai pembangunan proyek”.
Dalam rangka penjaminan PLK oleh Pemerintah kepada BI
yang dibayarkan melalui SBN, BI dapat membeli SBN melalui
pasar perdana. SBN yang dibeli oleh BI merupakan SBN yang
dapat diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan kewenangan BI
untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yaitu
melakukan pengendalian moneter, yang salah satunya
73
dilaksanakan dengan melakukan operasi pasar terbuka di pasar
uang, baik rupiah maupun valuta asing, seperti yang tercantum
dalam UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang.
Pembelian SBN dalam rangka penanganan permasalahan
Bank SIB oleh BI dikecualikan dari ketentuan Pasal 55 Ayat (4) UU
No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI yang
berbunyi “Bank Indonesia dilarang membeli surat-surat utang
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diri sendiri,
kecuali surat utang negara berjangka pendek yang diperlukan oleh
Bank Indonesia untuk operasi pengendalian moneter”.
Pembelian SBN oleh BI dilakukan berdasarkan keputusan
KSSK dengan mempertimbangkan paling kurang kesinambungan
APBN, tingkat kesehatan neraca BI, efektivitas kebijakan moneter,
dan kondisi pasar SBN. Pembelian SBN tersebut didasarkan atas
keputusan KSSK dengan pertimbangan bahwa KSSK berfungsi
untuk memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem
Keuangan sehingga KSSK merupakan wadah yang tepat untuk
memutuskan hal tersebut. Selain itu, KSSK diharapkan dapat
memiliki pandangan dan pertimbangan yang lebih komprehensif
dalam penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan
permasalahan Bank SIB mengingat KSSK beranggotakan
pimpinan lintas lembaga/otoritas di sektor keuangan.
Apabila Bank SIB tidak dapat melunasi PLK pada saat jatuh
tempo maka Pemerintah membayarkan jaminan PLK kepada BI.
Pemerintah memperoleh hak tagih atas kekurangan pelunasan
74
PLK tersebut kepada Bank SIB setelah membayarkan jaminan
kepada BI. Apabila Bank SIB tidak dapat membayar kekurangan
pelunasan kepada Pemerintah, maka selisih antara dana yang
dikeluarkan oleh Pemerintah untuk membayarkan jaminan PLK
dengan pengembalian dana yang diterima oleh Pemerintah
merupakan biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah dalam
rangka memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas
Sistem Keuangan. Selisih kurang tersebut tidak dapat digolongkan
sebagai kerugian negara sebagaimana dalam ketentuan UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam UU
tersebut, kerugian negara didefinisikan sebagai kekurangan uang,
surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
lalai.
Apabila terdapat selisih antara dana yang dikeluarkan oleh
LPS dengan hasil penjualan Bank SIB setelah ditangani oleh LPS,
maka selisih kurang tersebut diakui sebagai biaya yang
dikeluarkan dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 24 Tahun
2004 tentang LPS yang menyatakan bahwa salah satu fungsi LPS
adalah turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan
sesuai dengan kewenangannya.
Dalam melaksanakan fungsinya memelihara SSK dan
menangani permasalahannya, setiap lembaga/otoritas dalam
sistem keuangan dituntut memiliki akuntabilitas yang baik
dengan mekanisme pelaporan yang jelas dan transparan.
Pelaporan yang terbuka untuk publik telah dijalankan oleh
beberapa negara dengan manajemen sistem keuangan yang maju,
seperti Inggris dan Amerika Serikat.
75
Di Amerika Serikat, FSOC memberikan kesempatan kepada
publik untuk dapat mengakses kesepakatan-kesepakatan tertentu
dalam rapat-rapat yang diadakan komite tersebut, dan juga
melaporkan notulen rapat kepada publik. Lebih lanjut, agenda
rapat dan alasan rapat diadakan tertutup ataupun terbuka telah
diumumkan kepada publik melalui website FSOC sekurang-
kurangnya tujuh hari sebelum rapat diadakan33. Praktik
akuntabilitas sejenis juga dilakukan oleh Financial Policy
Committee Meeting (FMCM) yang melakukan publikasi notulen
rapat dan hasil-hasil keputusan rapat melalui website Bank of
England34.
Di Indonesia, prinsip keterbukaan informasi kepada publik
diatur oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Pada prinsipnya, hak setiap warga negara untuk
mengetahui rencana, proses, serta alasan pengambilan keputusan
kebijakan publik dijamin oleh UU. Hal tersebut dimaksudkan
untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan dan
efektif. Namun demikian, dalam kondisi tertentu, badan publik
juga diberikan diskresi untuk merahasiakan informasi kepada
publik. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip keterbukaan
informasi, KSSK harus memberikan informasi kepada publik
mengenai keputusan KSSK dalam rangka pelaksanaan tugas dan
wewenangnya. KSSK juga diberikan diskresi untuk dapat
menetapkan jenis dan tata cara pemberian akses informasi kepada
publik.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, KSSK
harus melaporkan secara berkala kepada Presiden terkait dengan
kondisi Stabilitas Sistem Keuangan minimal 1 (satu) kali dalam 6
(enam) bulan. Dalam setiap penanganan Kondisi Tidak Normal, 33Website Financial Stability Oversight Council (FSOC) 34Website Bank of England
76
apabila KSSK memutuskan untuk mengaktifkan BRP, maka KSSK
melaporkan pelaksanaan tugas dan wewenang badan tersebut
kepada Presiden.
77
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT
A. Evaluasi dan Analisis terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008
Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi krisis yang
terjadi pada tahun 2008 dan krisis-krisis sebelumnya,
pengambilan keputusan yang tidak didasari atas landasan hukum
yang kuat akan menghasilkan suatu keputusan yang
menimbulkan polemik di masyarakat. Ketiadaan landasan hukum
tersebut menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan
mekanisme pengambilan keputusan, antara lain koordinasi,
prosedur, tanggung jawab dan wewenang lembaga/otoritas,
sekaligus tidak adanya perlindungan hukum bagi pengambil
kebijakan. Lebih lanjut, permasalahan tersebut menyebabkan
penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem
hukum dan sistem keuangan di Indonesia. Kondisi tersebut
kemudian berdampak secara langsung terhadap Stabilitas Sistem
Keuangan dan perekonomian nasional secara umum sehingga
akan menimbulkan kondisi yang lebih buruk apabila tidak
ditangani dengan baik.
Secara yuridis formal, saat ini masih berlaku Perpu No. 4
Tahun 2008 tentang JPSK. Pembentukan Perpu ini dilakukan
dalam rangka menghadapi ancaman krisis keuangan global yang
dapat membahayakan Stabilitas Sistem Keuangan dan
perekonomian nasional. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu
landasan hukum yang kuat dan cepat, dengan mekanisme
koordinasi antar lembaga/otoritas yang terkait dalam pembinaan
sistem keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan
keputusan dalam tindakan pencegahan dan penanganan krisis
dapat dilakukan secara terpadu dan efektif. Pada saat itu tidak
78
memungkinkan dibentuk UU secara normal karena situasi yang
sangat mendesak untuk mengatasi krisis. Tujuan Perpu JPSK ini
untuk menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.
Dalam Perpu ini diatur mengenai ruang lingkup JPSK yang
meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Pencegahan krisis
dilakukan melalui penanganan kesulitan likuiditas dan
penanganan masalah solvabilitas dari Bank dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik, yaitu
antara lain dengan memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat
(FPD) bagi Bank atau bantuan likuiditas bagi LKBB yang
mengalami kesulitan likuiditas. Selain itu, pencegahan krisis
dapat pula dilakukan dengan menambah modal berupa
penyertaan modal sementara (PMS) terhadap Bank dan LKBB yang
mengalami masalah solvabilitas. Penanganan Krisis pada dasarnya
dilakukan dengan cara yang sama seperti pencegahan Krisis,
namun penanganan Krisis dilakukan pada saat kondisi sistem
keuangan dalam keadaan Krisis yang membahayakan Stabilitas
Sistem Keuangan dan perekonomian nasional.
Dalam rangka pelaksanaan JPSK, berdasarkan Perpu ini
dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang
beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.
KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan
dan penanganan Krisis dalam sistem keuangan. Sumber
pendanaan untuk pencegahan dan penanganan krisis berasal dari
dana APBN yang diberikan Pemerintah melalui penerbitan Surat
Berharga Negara (SBN) atau secara tunai. Untuk memberikan
fleksibilitas agar Krisis dapat dicegah atau ditangani segera,
penerbitan SBN dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan
SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat
Utang Negara dan Undang-Undang tentang Surat Berharga
79
Syariah Negara (SBSN). Dalam situasi ini, yang bertindak sebagai
pembeli SBN di pasar primer adalah Bank Indonesia. Dalam
rangka akuntabilitas, Menteri Keuangan melaporkan penerbitan
SBN tersebut kepada DPR. Penggunaan dana APBN untuk
pencegahan dan penanganan krisis harus mendapat persetujuan
dari DPR.
Perpu ini seharusnya tidak dapat berlaku lama karena
penggunaan hak prerogatif Presiden di bidang legislasi ini harus
dilakukan pengujian untuk dinilai tingkat kemendesakannya oleh
DPR pada masa sidang berikutnya. DPR diberi kewenangan untuk
menerima atau menolak Perpu. Dalam Rapat Paripurna tanggal 29
September 2009, Perpu ini tidak mendapatkan persetujuan DPR.
Oleh karena itu Presiden perlu mengajukan RUU JPSK baru yang
muatannya disesuaikan dengan perkembangan pengaturan
pemegang otoritas keuangan yang sudah berubah.
B. Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Pengaturan dalam RUU JPSK memuat beberapa ketentuan
baru dalam rangka menyesuaikan langkah-langkah dalam
memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem
Keuangan, terutama dalam hal penetapan Bank SIB dan
penanganan permasalahan Bank. Terkait penetapan Bank SIB,
ketentuan di dalam UU ini akan mengatur mengenai penetapan
secara periodik Bank SIB tanpa menunggu kondisi Tidak Normal
(predetermined). Selain itu, UU JPSK juga mengadopsi mekanisme
penanganan permasalahan Bank SIB, baik dengan mewajibkan
Bank SIB untuk menyusun rencana pemulihan (recovery plan)
resolusi Bank maupun pembiayaan (funding), berdasarkan best
practice di beberapa negara di dunia.
80
Dalam kaitannya dengan undang-undang yang berlaku saat
ini, UU JPSK disusun untuk mengatur hal-hal khusus (sebagai lex
spesialis) dan untuk melengkapi hal-hal yang belum diatur dalam
undang-undang yang sudah ada. Selain itu, UU JPSK juga
disusun dengan mempertimbangkan peraturan perundang-
undangan yang sudah ada untuk menjaga konsistensi dan
harmonisasi peraturan perundang-undangan. Berikut analisa
beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
norma yang akan diatur dalam JPSK:
1. Terkait dengan Kecukupan Dana Penjaminan Simpanan
UU LPS mengatur penjaminan simpanan nasabah bank
yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat
terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko
yang membebani APBN atau risiko yang menimbulkan moral
hazard. Penjaminan simpanan nasabah bank dilaksanakan
oleh LPS. Penjaminan simpanan nasabah bank yang
dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup
sebanyak-banyaknya nasabah. LPS merupakan suatu lembaga
independen, transparan, dan akuntabel yang memiliki fungsi
(Pasal 4):
1. menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan
2. turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan
sesuai dengan kewenangannya.
Dalam menjalankan fungsinya, LPS bertugas salah satunya
melaksanakan penjaminan simpanan (Pasal 5). Penjaminan
simpanan nasabah bank adalah penjaminan yang
dilaksanakan oleh LPS atas simpanan nasabah bank (Pasal 1
angka 8). Mengenai sistem penjaminan simpanan nasabah
bank yang terdiri dari aspek kepesertaan, simpanan yang
dijamin, premi, pembayaran klaim penjaminan, diatur mulai
81
dari Pasal 8-20 UU LPS. Penjaminan simpanan nasabah bank
yang dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup
sebanyak-banyaknya nasabah.
Penjaminan simpanan nasabah bank diberikan terhadap
simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu (Pasal 10). Nilai Simpanan yang
dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 11 ayat (1)).
Nilai yang dijamin diharapkan dapat melindungi seluruh
simpanan yang dimiliki oleh nasabah kecil yang merupakan
sebagian besar nasabah bank di Indonesia.
Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia
diwajibkan untuk menjadi peserta dan membayar premi
penjaminan. Dalam hal bank tidak dapat melanjutkan
usahanya dan harus dicabut izin usahanya, LPS akan
membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai
jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin akan
diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Likuidasi ini
merupakan tindak lanjut dalam penyelesaian bank yang
mengalami kesulitan keuangan. Penghitungan premi dilakukan
sendiri oleh bank (Pasal 14 ayat (1)). LPS dapat melakukan
verifikasi atas perhitungan premi tersebut. Bank dapat
dikelompokkan dalam beberapa kelompok dengan masing-
masing kelompok memiliki skala risiko kegagalan yang relatif
sama. Pembedaan tingkat premi dilakukan berdasarkan skala
risiko kegagalan untuk setiap kelompok tersebut. Misalnya
tingkat premi untuk kelompok bank dengan skala risiko
kegagalan terendah adalah 0,1%, maka tingkat premi untuk
82
kelompok bank dengan skala risiko kegagalan tertinggi tidak
dapat ditetapkan melebihi 0,6%.
Jika LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas
atau modal dan cadangan penjaminan tidak cukup untuk
membiayai penanganan Bank Gagal, LPS dimungkinkan untuk
mendapat bantuan dana termasuk tambahan modal sesuai
dengan keputusan Komite Koordinasi.
2. Terkait Dengan Fungsi, Tugas, Dan Wewenang Komite
Koordinasi
Menurut Pasal 1 angka 9, Komite Koordinasi adalah komite
yang beranggotakan Menteri Keuangan, Lembaga Pengawas
Perbankan (LPP), Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin
Simpanan yang memutuskan kebijakan penyelesaian dan
penanganan suatu Bank Gagal yang ditengarai berdampak
sistemik.
Ruang lingkup kerja LPS adalah pada penanganan Bank
Gagal baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak
berdampak sistemik. Sebelum dinyatakan Bank Gagal, LPS
menerima pemberitahuan dari LPP mengenai bank bermasalah
yang sedang dalam upaya penyehatan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.
LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal baik yang
berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik
setelah LPP atau Komite Koordinasi menyerahkan
penyelesaiannya kepada LPS.
Apabila kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan
tersebut semakin memburuk, antara lain ditandai dengan
menurunnya tingkat solvabilitas bank, tindakan penyelesaian
dan penanganan lain harus segera dilakukan. Dalam keadaan
ini, penyelesaian dan penanganan Bank Gagal diserahkan
83
kepada LPS yang akan bekerja setelah terlebih dahulu
dipertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha
bank terhadap perekonomian nasional. Dalam hal pencabutan
izin usaha bank diperkirakan memiliki dampak terhadap
perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan
LPS yang didasarkan pada Keputusan Komite Koordinasi.
Akan tetapi sejak UU OJK diundangkan, maka fungsi, tugas,
dan wewenang Komite Koordinasi dilaksanakan oleh Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) (Pasal 69 ayat
(3) UU OJK). Dengan adanya JPSK, fungsi, tugas, dan
wewenang Komite Koordinasi dilaksanakan oleh KSSK.
Selanjutnya, Ketentuan mengenai protokol koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46
berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang
mengenai jaring pengaman sistem keuangan.
3. Terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK)
UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
salah satunya mengatur tentang protokol koordinasi. Menurut
Pasal 44 UU OJK, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan,
dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan
anggota terdiri atas:
a. Menteri Keuangan selaku anggota merangkap
koordinator;
b. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;
c. Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan
d. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan
selaku anggota.
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menurut
Pasal 1 angka 25, adalah forum koordinasi yang dibentuk
84
untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang anggotanya
terdiri atas Menteri Keuangan selaku koordinator merangkap
anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua
Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku
anggota, dan Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota.
Dalam kondisi normal, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem
Keuangan (Pasal 45 ayat (1)):
a. wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas
sistem keuangan;
b. melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga)
bulan;
c. membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk
melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan
dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan;
dan
d. melakukan pertukaran informasi.
Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan
penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank
Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua
Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang
mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis
pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera
dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah
pencegahan atau penanganan krisis (Pasal 45 ayat (2). Menteri
Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan
Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga
Penjamin Simpanan berwenang mengambil dan melaksanakan
keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya
dalam rangka pengambilan keputusan Forum Koordinasi
85
Stabilitas Sistem Keuangan, dalam kondisi tidak normal (Pasal
45 ayat (3). Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan
dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem
keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing (Pasal 45
ayat (4). Keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem
Keuangan yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan
suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik
mengikat Lembaga Penjamin Simpanan (Pasal 45 ayat (5).
Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 46).
Selanjutnya, Ketentuan mengenai protokol koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46
berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang
mengenai jaring pengaman sistem keuangan
FKSSK diganti menjadi Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) melalui aturan JPSK. Perubahan Forum Koordinasi
menjadi Komite dikarenakan istilah “forum” dinilai kurang
memadai karena dapat diartikan hanya sebagai wadah untuk
berkoordinasi tanpa memiliki kewenangan untuk memutuskan
dan menetapkan suatu produk hukum. “komite” dinilai lebih
tepat karena merupakan lembaga yang lebih formal dan dapat
menetapkan suatu produk hukum.
4. Konsepsi “Keadaan Darurat”
UU Keuangan Negara tidak mengenal “kondisi tidak normal”
melainkan “keadaan darurat”. Istilah “keadaan darurat” dapat
terlihat di UU Keuangan Negara maupun UU APBN 2015.
Menurut Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, dalam keadaan darurat Pemerintah dapat
86
melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya,
yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN
dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Menurut UU No. 27 Tahun 2014 tentang APBN tahun
Anggaran 2015 Pasal 30, menyatakan bahwa keadaan darurat
apabila terjadi hal hal sebagai berikut:
a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan
deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya yang
menyebabkan turunnya pendapatan negara, dan/atau
meningkat nya belanja negara secara signifikan
b. kondisi sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan
perannya secara efektif dalam perekonomian nasional;
dan/atau
c. kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil SBN secara
signifikan.
Pemilihan untuk tidak menggunaan terminologi “keadaan
darurat” dalam pengaturan JPSK adalah agar tidak terjadi
respon pasar yang unpredictable. Ditakutkan kalau
menggunakan terminologi “keadaan darurat” justru akan
memperburuk keadaan. Pemilihan istilah “tidak normal” lebih
general, yang di dalamnya ada keadaan “krisis” maupun
“darurat”.
5. Terkait dengan Langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah
dengan persetujuan DPR jika terjadi keadaan darurat
Menurut Pasal 30 ayat (1) angka 6 UU APBN Tahun
Anggaran 2015, Pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dapat melakukan langkah-langkah antara
lain melakukan pemberian pinjaman kepada Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal LPS mengalami kesulitan
likuiditas. Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat
87
melakukan penarikan pinjaman siaga yang berasal dari
kreditur bilateral dan multilateral sebagai alternatif sumber
pembiayaan dalam hal kondisi pasar tidak mendukung
penerbitan SBN (Pasal 30 ayat (2) UU APBN Tahun Anggaran
2015).
Pasal 24 ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara: mengatur bahwa Pemerintah hanya
dapat memberikan penyertaan modal kepada perusahaan
swasta yang memenuhi kondisi tertentu dalam rangka
penyelamatan perekonomian nasional. Kemudian dalam Pasal
33 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, mengatur bahwa Pemerintah Pusat
dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah
Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah
sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-
undang tentang APBN. Dalam hal LPS mengalami
permasalahan likuiditas atau modal LPS kurang dari modal
awal yang ditetapkan Pemerintah, Pemerintah perlu
melakukan pemberian pinjaman atau penyertaan modal
kepada LPS. Namun demikian, ketentuan di dalam kedua
Undang-Undang tersebut tidak memungkinkan adanya
mekanisme tersebut. Oleh karena itu, dalam UU JPSK perlu
diatur suatu ketentuan yang mengecualikan pemberian
pinjaman atau penyertaan modal Pemerintah kepada LPS dari
ketentuan mengenai pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh
Pemerintah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17 Tahun
2003 dan UU No. 1 Tahun 2004.
Dalam UU yang menjadi dasar penetapan APBN setiap
tahunnya terdapat ketentuan yang mengatur bahwa dalam
keadaan darurat, Pemerintah dapat memberikan pinjaman
88
kepada LPS apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas.
Namun demikian, UU tentang APBN hanya berlaku pada tahun
anggaran berjalan sesuai dengan masa berlaku UU tersebut,
yaitu 1 (satu) periode anggaran atau 1 (satu) tahun. Dalam hal
ini terdapat kemungkinan bahwa ketentuan tersebut tidak
dituangkan kembali di dalam UU APBN tahun anggaran
berikutnya. Selain itu, Pemerintah juga memiliki kewajiban
untuk memberikan jaminan kepada Bank Indonesia yang
dapat terealisasi dalam bentuk penerbitan SBN. Penerbitan
SBN tersebut akan dianggarkan dalam UU APBN. Oleh karena
itu, UU JPSK akan mengakomodir ketentuan-ketentuan
tersebut.
Langkah-langkah lain yang dilakukan Pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal kondisi
sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya
secara efektif dalam perekonomian nasional maka langkah-
langkah untuk mengatasi keadaan kondisi keuangan tersebut
dilaksanakan berdasarkan hasil koordinasi antara Menteri
Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua
Dewan Komisioner LPS dalam Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan (FKSSK), sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai OJK (Pasal 30 ayat (4) UU UU APBN
Tahun Anggaran 2015).
6. Persero yang Sahamnya Dimiliki Negara
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (PT), menyatakan bahwa persyaratan
pendirian perseroan adalah oleh dua orang atau lebih.
Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua)
89
orang atau lebih tidak berlaku bagi Persero yang seluruh
sahamnya dimiliki oleh negara (Pasal 7 ayat (7) UU PT))
Dalam hal dilakukan pendirian Bank baru sebagai Bank
perantara oleh LPS yang akan menerima pengalihan sebagian
atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB, LPS akan
menghadapi kesulitan dalam mencari partner kepemilikan
sahamnya. Di samping itu, proses pembentukannya harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari potensi bank
run. Dengan demikian, ketentuan kepemilikan tunggal Bank
baru dimaksud perlu dibuka kemungkinannya melalui
pengaturan dalam UU JPSK.
Dalam rangka menangani Bank SIB yang bermasalah secara
cepat dan menjaga pelayanan kepada nasabah dari Bank yang
diselamatkan agar tidak terganggu, dibutuhkan
penyederhanaan perizinan Bank, sehingga tidak mengikuti
ketentuan atau dikecualikan sebagaimana diatur dalam UU PT.
7. Terkait dengan Pembentukan Badan Khusus dalam Rangka
Penyehatan Perbankan
Dalam pasal 37A UU Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan diatur mengenai ketentuan
pembentukan badan khusus yang memiliki wewenang untuk
melakukan upaya penyehatan terhadap perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional. Badan khusus
tersebut melakukan program penyehatan terhadap bank-bank
yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada
badan dimaksud. Badan khusus tersebut mempunyai
wewenang antara lain:
90
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan
wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang
Rapat Umum Pemegang Saham ;
b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan
wewenang Direksi dan Komisaris bank;
c. menguasai, mengelola dan melakukan tindakan
kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak
bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak
manapun, baik di dalam maupun di luar negeri;
d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau
mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak
ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus
merugikan bank ;
e. menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi,
Komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri
ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun
melalui penawaran umum;
f. menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau
menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa
memerlukan persetujuan Nasabah Debitur;
g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau manajemen
bank kepada pihak lain;
h. melakukan penyertaan modal sementara pada bank,
secara langsung atau melalui pengonversian tagihan
badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;
i. melakukan penagihan piutang bank yang sudah past i
dengan penerbitan Surat Paksa;
j. melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan
milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh
91
pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat
negara penegak hukum yang berwenang;
k. melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk
memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan
mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak
manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau
mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam
program penyehatan tersebut;
l. menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank
dalam program penyehatan dan membebankan kerugian
tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan
bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau
kelalaian Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham,
maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang
bersangkutan;
m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor
oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan;
n. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk
menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.
Apabila KSSK dibentuk oleh UU JPSK, maka KSSK yang
akan menilai terdapat permasalahan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional. KSSK pula yang akan
memutuskan untuk mengaktifkan Badan Restrukturisasi
Perbankan (BRP). Untuk itu, UU JPSK akan mengakomodir
ketentuan mengenai hal tersebut.
8. Terkait Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)
Menurut UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 11
menyatakan bahwa Dalam hal suatu Bank mengalami
92
kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi
mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan,
Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan
darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.
Namun demikian, pendanaan oleh Pemerintah kurang sesuai
dengan konsep LoLR dimana BI seharusnya menjadi penyedia
dana dalam waktu singkat. Di samping itu, pendanaan oleh
Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sehingga membuka
peluang munculnya moral hazard dan bank run. Oleh karena
itu perlu diatur ketentuan mengenai pendanaan oleh BI
dengan jaminan Pemerintah untuk Bank yang mengalami
kesulitan likuiditas namun masih memenuhi ketentuan
solvabilitas.
9. Terkait dengan Penerbitan SUN/SBN
Terkait dengan penerbitan Surat Utang Negara sebagaimana
diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2002 tentang
Surat Utang Negara, bahwa SUN ditujukan yaitu, membiayai
defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup
kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara
arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas
Negara dalam satu tahun anggaran, dan mengelola portofolio
utang Negara. Kewenangan menerbitkan Surat Utang Negara
menurut Undang-Undang tersebut, ada pada Pemerintah, yang
dilaksanakan oleh Menteri. Pemerintah dalam hal ini Menteri
apabila akan menerbitkan Surat Utang Negara terlebih dahulu
berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Dengan adanya
masukan dari Bank Indonesia didalam pengambilan keputusan
oleh Pemerintah, agar dalam penerbitannya surat utang Negara
dapat dilakukan tepat waktu, dan dilakukan dengan
persyaratan yang dapat diterima oleh pasar, serta
93
menguntungkan pemerintah. Penggunaan dan pengelolaan
surat utang Negara yang baik, dapat mengurangi kerugian
Negara yang ditimbulkan oleh berbagai resiko keuangan.
Sesuai dengan tujuan penerbitan surat utang Negara
menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara, diketahui bahwa didalam Undang-Undang Surat
Utang Negara, tidak mengenal kondisi tidak normal. Sehingga
kewenangan mengenai penerbitan Surat Utang Negara ada
pada pemerintah, dalam hal ini Menteri, dan penerbitannya
pun telah ditentukan secara eksplisit di dalam Undang-
undang. Sedangkan, dalam mengenai penanganan kondisi
tidak normal, dan / atau penanganan bank SIB, tidak diatur
oleh UU SUN, yang mengakibatkan dimungkinkannya
penerbitan SBN/ surat utang Negara selain yang diterbitkan
oleh menteri dalam hal ini keadaan yang mempengaruhi status
stabilitas system keuangan.
Untuk mengakomodasi hal ini, dalam UU JPSK diatur
mengenai pengecualian atas penerbitan SBN untuk
penanganan permasalahan Bank dari tujuan penerbitan SUN
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 24 Tahun
2002.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Ketentuan di dalam
Pasal 4 UU ini membatasi penerbitan SBSN hanya untuk
membiayai APBN termasuk membiayai pembangunan proyek,
sehingga tidak memungkinkan bagi Pemerintah untuk
menerbitkan SBN sebagai upaya penanganan permasalahan
Bank. Oleh karena itu, UU JPSK mengatur ketentuan
mengenai pengecualian atas penerbitan SBN untuk
penanganan permasalahan Bank dari tujuan penerbitan SBSN
94
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 19 Tahun
2008.
Substansi yang akan diatur dalam UU JPSK memiliki
keterkaitan dengan beberapa undang-undang sistem keuangan
dan keuangan negara. Oleh karena itu untuk menyamakan
persepsi dan menghindari penafsiran yang berbeda, maka
dalam UU JPSK digunakan terminologi yang sama dengan
undang-undang sebagaimana tersebut di atas, dengan tetap
memperhatikan ketentuan yang diatur dalam beberapa
undang-undang tersebut.
UU JPSK memuat beberapa pengaturan, baik yang belum
diatur maupun yang sudah diatur, namun perlu disesuaikan.
Oleh karena itu, terdapat beberapa ketentuan dalam UU JPSK
yang akan menggantikan (over rule) dan/atau menambahkan
beberapa ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang
yang ada saat ini. Hal tersebut diperlukan mengingat langkah-
langkah pengambilan keputusan yang cepat dan tepat dalam
Kondisi Tidak Normal belum diakomodasi dalam peraturan
perundang-undangan yang ada saat ini.
10. Terkait Pertukaran Data dan Informasi
Prinsip keterbukaan informasi kepada publik diatur oleh UU
No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pada prinsipnya, hak setiap warga negara untuk mengetahui
rencana, proses, serta alasan pengambilan keputusan
kebijakan publik dijamin oleh UU. Hal tersebut dimaksudkan
untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan
dan efektif. Namun demikian, dalam keadaan tidak normal
dan/atau bank SIB, pertukaran data dan informasi antar
anggota KSSK tidak boleh ada yang dirahasiakan mengingat
tugas KSSK adalah memelihara SSK dan menangani
95
permasalahannya. Di sisi lain, badan publik diberikan diskresi
untuk merahasiakan informasi kepada publik. Namun,
berdasarkan prinsip keterbukaan informasi publik, KSSK
harus memberikan informasi kepada publik mengenai
keputusan KSSK dalam rangka pelaksanaan tugas dan
wewenangnya. KSSK juga diberikan diskresi untuk dapat
menetapkan jenis dan tata cara pemberian akses informasi
kepada publik.
96
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD
1945, diperlukan pembangunan ekonomi nasional yang
berkelanjutan. Salah satu wujud nyatanya adalah dengan
menciptakan perekonomian yang stabil dan tangguh. Hal ini dapat
terwujud salah satunya melalui Stabilitas Sistem Keuangan.
Namun demikian, perkembangan saat ini membawa sistem
keuangan Indonesia pada kondisi yang semakin rentan terhadap
risiko yang bersumber baik dari global maupun domestik. Lebih
lanjut, sumber risiko domestik dapat berasal dari sektor keuangan
sendiri maupun sektor lain yang memiliki keterkaitan.
Untuk mengantisipasi ancaman risiko global terhadap
sistem perekonomian nasional diperlukan adanya kepastian
hukum, perlindungan terhadap masyarakat, peraturan yang
sesuai dengan international best practice, lembaga/otoritas yang
berfungsi dengan baik serta mempunyai kewenangan yang
memadai untuk menjaga kestabilan sistem keuangan.
JPSK diselenggarakan untuk memelihara SSK dan
menangani permasalahan yang timbul dalam rangka menjalankan
amanat yang lebih luas sesuai dengan ketentuan Pasal 33 Ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yaitu menjaga
keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan
mempertimbangkan amanat tersebut maka KSSK sebagai unit
organisasi diberi kewenangan khusus untuk dapat segera
mengambil keputusan strategis dalam menangani sistem
keauangan dan mengatasi permasalahan Bank SIB dalam
97
Keadaan Tidak Normal. Ketentuan tersebut dapat memberikan
perlindungan hukum sekaligus keyakinan kepada
lembaga/otoritas mengingat peran masing-masing
lembaga/otoritas dilaksanakan sebagai bagian dari pelaksanaan
tugas pemerintahan yang sangat penting dan berdampak luas.
Dengan adanya UU JPSK, diharapkan terwujud mekanisme
pengamanan sistem keuangan nasional untuk memelihara SSK
dan menangani permasalahannya. Pada akhirnya, pembangunan
ekonomi Indonesia yang stabil, berkesinambungan, dan efektif
dapat terwujud.
B. Landasan Sosiologis
Stabilitas Sistem Keuangan merupakan faktor yang sangat
penting dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
sektor keuangan. Dalam Kondisi Tidak Normal akan timbul
kepanikan di tengah masyarakat. Dalam kondisi tersebut Bank
mengalami masalah kesulitan likuiditas, sehingga kepercayaan
publik terhadap Bank akan berkurang, bahkan akan memicu
penarikan dana besar-besaran (bank run) oleh masyarakat.
Apabila tidak ada langkah penanganan yang diambil oleh
Pemerintah ataupun terdapat kesalahan penanganan dalam upaya
untuk menyelamatkan Bank tersebut, maka kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan nasional akan semakin menurun.
Pada akhirnya, hal ini akan mengganggu perekonomian nasional.
Oleh karena itu penanganan sistem keuangan dalam
menghadapi Kondisi Tidak Normal menjadi tanggung jawab
Pemerintah, lembaga/otoritas di sektor keuangan, pelaku
ekonomi, dan masyarakat pengguna sistem keuangan. Tanggung
jawab bersama tersebut dapat meringankan tugas Pemerintah
dalam menjaga stabilitas ekonomi, sehingga dapat mewujudkan
98
perekonomian nasional yang tumbuh secara berkelanjutan. Untuk
tidak menimbulkan dispute atas keputusan yang diambil oleh
lembaga/otoritas yang menangani penyelesaian Bank SIB,
dilakukan mekanisme pengambilan keputusan yang jelas dan
akurat.
C. Landasan Yuridis
Perlunya pembentukan UU JPSK dalam rangka
melaksanakan perintah Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang tentang
Bank Indonesia yang menyatakan bahwa “Ketentuan dan tata cara
pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang
berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan
sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri” dan Pasal
69 ayat (4) Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan yang
menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai protokol koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46
berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai
jaring pengaman sistem keuangan”.
UU JPSK akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi
lembaga/otoritas dalam upaya menjaga dan menciptakan
stabilisasi sistem keuangan. Seiring dengan kebutuhan dan
perkembangan, materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak
saja mengatur hal-hal seperti yang diperintahkan oleh Undang-
Undang tentang Bank Indonesia dan Undang-Undang tentang
Otoritas Jasa Keuangan, tetapi mencakup pula Asas dan Tujuan,
Penyelenggaraan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Komite
Stabilitas Sistem Keuangan, Penanganan Permasalahan Stabilitas
Sistem Keuangan, Penanganan Permasalahan Bank, Insentif
Dan/Atau Fasilitas Dalam Rangka Penanganan Bank SIB,
99
Pendanaan, Pertukaran Data Dan Informasi, serta Akuntabilitas
dan Pelaporan.
Dengan demikian, UU JPSK dimaksudkan untuk mengisi
kekurangan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang
ada saat ini, dengan menetapkan ketentuan mengenai:
1. Peningkatan koordinasi antara lembaga/otoritas yang terkait
dengan pengelolaan Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia;
2. Peningkatan kualitas regulasi tentang penanganan sistem
keuangan dalam Kondisi Tidak Normal;
3. Penyusunan dasar hukum yang lebih kuat kepada regulator
dalam membuat kebijakan penanganan Kondisi Tidak
Normal; dan
4. Peningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem
keuangan, khususnya sektor perbankan.
100
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A. Sasaran
Hal atau keadaan yang ingin dicapai dengan membentuk
Undang-Undang JPSK adalah:
1. Tersusunnya pengaturan yang menyelenggarakan sistem
pengamanan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan
dan menangani permasalahannya yang disusun dalam Jaring
Pengaman Sistem Keuangan.
2. Terciptanya kepastian hukum bagi lembaga/otoritas dalam
melakukan koordinasi dan menetapkan suatu kebijakan dalam
rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal, dan penanganan
permasalahan terhadap Bank SIB.
B. Jangkauan dan Arah Pengaturan
1. Mengatur pemeliharaan stabilitas sistem keuangan dan
penanganan permasalahan yang penyelenggaraannya
berlandaskan kepada asas kepentingan umum, keterpaduan,
efektivitas, dan kepastian hukum.
2. Mengingat pentingnya sektor perbankan dalam kaitannya
dengan sektor keuangan maka upaya menciptakan sistem
keuangan yang sehat dan stabil saat ini difokuskan pada sektor
perbankan. Upaya tersebut harus dilakukan dengan
mekanisme koordinasi yang jelas dalam rangka pengambilan
kebijakan dan penetapan langkah-langkah yang diperlukan
untuk pemeliharaan dan penanganan permasalahan Stabilitas
Sistem Keuangan.
2015
2015
Tim
101
3. Mengatur mekanisme koordinasi dalam rangka menciptakan
dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan yang dilakukan
secara terpadu dan efektif.
4. Jaring Pengaman Sistem Keuangan negara difokuskan pada
tiga hal, yaitu (i) koordinasi dalam rangka pemantauan dan
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, (ii) penanganan
Kondisi Tidak Normal, serta (iii) penanganan permasalahan
Bank SIB, baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan
normal maupun Kondisi Tidak Normal.
5. Jaring Pengaman Sistem Keuangan negara pada dasarnya
hanya memuat pengaturan mengenai penanganan
permasalahan Bank SIB yang tidak dapat ditangani oleh
otoritas secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya. Sedangkan untuk Bank yang tidak termasuk
dalam Bank SIB, penanganan permasalahan Bank tersebut
dilaksanakan oleh otoritas sesuai dengan kewenangan yang
diatur dalam undang-undang terkait. Meskipun demikian,
dalam Kondisi Tidak Normal dan terdapat permasalahan
perbankan yang masif dan membahayakan perekonomian
nasional, KSSK dapat mengaktifkan Badan Restrukturisasi
Perbankan untuk penyehatan Bank SIB maupun yang bukan
Bank SIB.
C. Ruang Lingkup Materi Muatan
1. Ketentuan Umum
Ketentuan Umum yang berisi pengertian istilah atau frasa
yang meliputi:
a. Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah sistem
pengamanan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan
dan menangani permasalahannya.
102
b. Sistem Keuangan adalah sistem yang terdiri dari lembaga
keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan,
termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam
memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan
pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas
perekonomian nasional.
c. Stabilitas Sistem Keuangan adalah kondisi Sistem
Keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu
bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri
dan/atau luar negeri.
d. Kondisi Tidak Normal adalah kondisi Sistem Keuangan
yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif
dan efisien, yang ditunjukkan dengan memburuknya
berbagai indikator ekonomi dan keuangan.
e. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang
Perbankan Syariah.
f. Systemically Important Bank, yang selanjutnya disebut
Bank SIB, adalah Bank yang karena ukuran aset, modal,
dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi
atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor
keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian
atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa
keuangan, baik secara operasional maupun finansial,
apabila Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
g. Pinjaman Likuiditas Khusus, yang selanjutnya disingkat
PLK, adalah pinjaman likuiditas atau pembiayaan likuiditas
berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada
Bank SIB yang masih memenuhi ketentuan solvabilitas
namun mengalami kesulitan likuiditas dan pemberian
103
pinjaman atau pembiayaan likuiditas jangka pendek
diperkirakan tidak dapat menyelesaikan permasalahan
likuiditas dimaksud.
h. Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disingkat SBN,
adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan surat
berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara.
i. Bank Perantara adalah bank yang didirikan oleh LPS untuk
digunakan sebagai saran resolusi dengan menerima
pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban
bank yang ditangani LPS dan selanjutnya menjalankan
kegiatan usaha perbankan, dan dalam jangka waktu
tertentu akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
j. Badan Restrukturisasi Perbankan adalah badan hukum
publik yang dibentuk untuk menangani permasalahan
perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
k. Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Bank Indonesia.
l. Otoritas Jasa Keuangan adalah otoritas jasa keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
m. Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga penjamin
simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
n. Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan.
o. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.
104
2. Ruang Lingkup Materi
a) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
Penyelenggaraan JPSK
Di dalam RUU JPSK perlu dituangkan secara jelas
menganai tujuan diterapkannya JPSK yaitu untuk
memelihara stabilitas sistem keuangan dan menangani
permasalahannya. Selanjutnya, di dalam
penyelenggaraannya JPSK harus berlandaskan pada asas-
asas yang dapat menjamin bahwa JPSK dilaksanakan
dengan mengutamakan kepentingan masyarakat luas yang
diselenggarakan secara bersama-sama oleh Pemerintah, BI,
OJK, dan LPS. Di dalam penyelenggaraan JPSK oleh
lembaga/otoritas tersebut perlu diperhatikan prinsip-prinsip
keselarasan dan koordinasi antara satu lembaga/otoritas
satu dengan yang lain secara efektif. Selanjutnya, adanya
kepastian hukum dalam penyelenggaraan JPSK perlu
diwujudkan untuk menjadi dasar dalam pengambilan
kebijakan yang dilakukan oleh lembaga/otoritas terkait.
Penyelenggaraan Jaring Pengaman Sistem Keuangan
meliputi:
a. koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan
Stabilitas Sistem Keuangan;
b. penanganan Kondisi Tidak Normal; dan
c. penanganan permasalahan Bank SIB, baik dalam
kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun
Kondisi Tidak Normal.
105
b) Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)
Pembentukan KSSK
Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini
dan mengacu pada standar praktik yang telah diterapkan di
berbagai negara, diperlukan adanya langkah-langkah
pengambilan kebijakan antar lembaga/otoritas dalam
kerangka koordinasi yang efektif, transparan, serta
akuntabel. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan
suatu mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas dalam
suatu komite yang ditetapkan dengan undang-undang.
Mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas
tersebut dapat diwujudkan melalui pembentukan Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan
Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner
OJK, Ketua Dewan Komisioner LPS. Dalam hal ini Menteri
Keuangan akan bertindak sebagai koordinator merangkap
anggota. Setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan
bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyelenggarakan
Jaring Pengaman Sistem Keuangan dalam rangka
melaksanakan kepentingan negara di bidang perekonomian.
Tugas dan Kewenangan KSSK
Komite Stabilitas Sistem Keuangan mengemban tugas
untuk:
a. melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan; dan
b. melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem
Keuangan yang diakibatkan oleh Kondisi Tidak Normal
dan permasalahan Bank SIB.
106
Dalam rangka menyelenggarakan JPSK untuk
memelihara stabilitas sistem keuangan dan menangani
permasalahannya, KSSK perlu memiliki beberapa
kewenangan. Sebagai contoh, untuk dapat menentukan
status Stabilitas Sistem Keuangan, KSSK perlu mempunyai
wewenang untuk memperoleh hasil penilaian kondisi SSK
dari masing-masing anggota KSSK terlebih dahulu. Hasil
penilaian tersebut juga perlu dilengkapi dengan data dan
informasi pendukung, serta kerangka kerja penilaian yang
digunakan oleh masing-masing anggota. Lebih lanjut, untuk
menetapkan langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak
Normal, KSSK juga perlu memperoleh rekomendasi dari
masing-masing anggota KSSK mengenai langkah-langkah
penanganan dimaksud. KSSK juga berwenang untuk
memperoleh daftar Bank SIB terkini dari OJK, baik secara
berkala atau atau sewaktu-waktu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Secara rinci, KSSK berwenang untuk:
a. menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan;
b. menetapkan langkah penanganan Kondisi Tidak Normal;
c. menetapkan langkah penanganan permasalahan Bank
SIB yang tidak dapat lagi ditangani oleh Otoritas Jasa
Keuangan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya;
d. memberi persetujuan pemberian PLK dari Bank
Indonesia kepada Bank SIB;
e. menyerahkan penanganan permasalahan solvabilitas
Bank SIB kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
f. menetapkan keputusan mengenai pembelian SBN yang
dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan oleh Bank
Indonesia untuk penanganan Bank SIB;
107
g. menetapkan keputusan mengenai pembelian SBN di
pasar perdana oleh Bank Indonesia untuk penanganan
Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan
permasalahan Bank SIB;
h. menetapkan keputusan mengenai tata kelola KSSK dan
sekretariat KSSK.
i. meminta hasil penilaian kondisi Stabilitas Sistem
Keuangan dari masing-masing anggota KSSK, beserta
data dan informasi pendukungnya;
j. meminta informasi mengenai kerangka kerja penilaian
kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang digunakan oleh
masing-masing anggota KSSK;
k. meminta daftar Bank SIB terkini dari Otorias Jasa
Keuangan secara berkala atau sewaktu-waktu;
l. meminta rekomendasi dari masing-masing anggota KSSK
mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh
Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan;
m. meminta informasi dari Lembaga Penjamin Simpanan
mengenai perkembangan penanganan Bank SIB;
n. meminta laporan dari Lembaga Penjamin Simpanan
mengenai pengelolaan Badan Restrukturisasi Perbankan;
Kesekretariatan dan Alat Kelengkapan KSSK
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KSSK
dibantu oleh sekretariat KSSK yang dipimpin oleh sekretaris
KSSK. Sekretariat KSSK berada di lingkungan Kementerian
Keuangan. Sekretaris KSSK merupakan pejabat di
lingkungan Kementerian Keuangan yang ditugaskan oleh
Menteri Keuangan. Anggaran sekretariat KSSK bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sekretariat
108
KSSK dapat menyelenggarakan rapat yang dihadiri oleh
pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas
Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk
mempersiapkan pelaksanaan rapat KSSK. Organisasi dan
tata kerja Sekretariat KSSK ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
Apabila diperlukan, KSSK dapat membentuk gugus
tugas atau kelompok kerja untuk membantu pelaksanaan
tugas KSSK. Gugus tugas atau kelompok kerja, dibentuk
untuk melaksanakan tugas khusus, misalnya membangun
kerangka atau pedoman analisis dan melakukan kajian
hukum. KSSK dapat meminta informasi, pendapat,
dan/atau masukan dari pihak lain yang diperlukan dalam
pelaksanaan tugasnya. Pihak lain yang dapat diminta
informasi, pendapat, dan/atau masukan, misalnya menteri
yang membidangi hukum, aparat penegak hukum, dan ahli
dalam bidang ekonomi atau perbankan.
Tata Cara Pengambilan Keputusan
Dalam rangka mewujudkan tujuan JPSK, yaitu untuk
memelihara stabilitas sistem keuangan dan menangani
permasalahannya, maka perlu diatur suatu ketentuan
mengenai tata cara pengambilan keputusan yang diadakan
oleh KSSK. Pengambilan keputusan KSSK dilakukan dalam
rapat KSSK. Rapat KSSK dihadiri oleh seluruh anggota
KSSK dan dipimpin oleh koordinator KSSK. Dalam hal
anggota KSSK berhalangan hadir secara fisik pada waktu
dan tempat rapat yang telah ditentukan, rapat KSSK dapat
diselenggarakan melalui sarana komunikasi elektronik yang
memungkinkan anggota KSSK saling melihat dan/atau
mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam
109
rapat. Pelaksanaan rapat KSSK harus didokumentasikan
baik secara tertulis dan/atau secara elektronik. secara utuh
mulai dari awal sampai dengan berakhirnya rapat.
Pendokumentasian dilakukan secara tertulis dan/atau
secara elektronik. Dalam hal anggota KSSK berhalangan
sementara atau tetap, anggota KSSK yang bersangkutan
diwakili oleh pejabat pengganti sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan
“pejabat pengganti adalah termasuk pejabat sementara, atau
istilah lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Namun, jika koordinator KSSK
berhalangan sementara atau tetap, koordinator KSSK
diwakili oleh pejabat pengganti sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Rapat KSSK dinyatakan
sah dan dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh
seluruh anggota KSSK atau diwakili oleh pejabat pengganti.
Kehadiran anggota KSSK sebagaimana dimaksud berupa
kehadiran secara fisik maupun kehadiran melalui sarana
komunikasi elektronik.
Pengambilan keputusan dalam rapat KSSK dilakukan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Dalam hal tidak
tercapai mufakat, usulan keputusan yang diajukan oleh
anggota KSSK dinyatakan ditolak dan pendapat akhir
masing-masing anggota KSSK didokumentasikan. Usulan
keputusan yang diajukan oleh anggota KSSK dapat diajukan
kembali oleh anggota KSSK yang bersangkutan paling
banyak 1 (satu) kali. Keputusan rapat KSSK mengenai
penetapan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah
penanganan Kondisi Tidak Normal, dan/atau langkah-
langkah penanganan permasalahan Bank SIB dilaporkan
110
oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24
(satu kali dua puluh empat) jam sejak penetapan Kondisi
Tidak Normal. Penyampaian laporan dilakukan secara
tertulis atau melalui sarana elektronik. Penyampaian
laporan harus ditatausahakan dengan baik dan lengkap.
Yang dimaksud dengan “baik dan lengkap” adalah
penatausahaan dokumentasi yang dilakukan memenuhi tata
cara dan kaidah yang berlaku. Setiap keputusan
ditandatangani oleh seluruh anggota KSSK. Dalam hal rapat
diselenggarakan melalui sarana komunikasi elektronik,
anggota KSSK yang berhalangan hadir secara fisik
menunjuk pejabat yang mewakilinya untuk menandatangani
keputusan rapat KSSK.
c) Pemantauan dan Pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan
Anggota KSSK melakukan pemantauan dan
pemeliharaan stabilitas sistem keuangan sesuai dengan
tugas dan wewenang masing-masing anggota KSSK.
Pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan
merupakan bagian dari protokol manajemen krisis masing-
masing anggota KSSK.
Dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan
stabilitas sistem keuangan, KSSK menyelenggarakan rapat
KSSK secara berkala paling sedikit 4 (empat) kali dalam 1
(satu) tahun atau sewaktu-waktu atas permintaan anggota
KSSK. Anggota KSSK menyampaikan hasil pemantauan dan
pemeliharaan baik secara berkala maupun sewaktu-waktu
dalam rapat KSSK.
111
d) Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem
Keuangan
Anggota KSSK dapat meminta penyelenggaraan rapat
KSSK kepada Koordinator KSSK apabila protokol
manajemen krisis yang dimilikinya mengindikasikan adanya
Kondisi Tidak Normal pada bidang yang menjadi tanggung
jawabnya yang dapat mempengaruhi Stabilitas Sistem
Keuangan. Permintaan penyelenggaraan rapat KSSK disertai
dengan hasil penilaian protokol manajemen krisis anggota
KSSK yang bersangkutan yang mengindikasikan adanya
Kondisi Tidak Normal pada bidang yang menjadi tanggung
jawabnya yang dapat mempengaruhi Stabilitas Sistem
Keuangan. Dalam rapat KSSK, anggota KSSK memberikan
informasi sebagai berikiut:
1. Bank Indonesia menyampaikan:
a. penilaian kondisi moneter, makroprudensial, dan
sistem pembayaran yang mempengaruhi Stabilitas
Sistem Keuangan; dan
b. rekomendasi langkah-langkah penanganan
permasalahan di bidang moneter, makroprudensial,
dan sistem pembayaran yang mempengaruhi
Stabilitas Sistem Keuangan.
2. Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan:
a. penilaian kondisi lembaga jasa keuangan dan pasar
modal yang mempengaruhi stabilitas sistem
keuangan;
b. data Bank SIB dalam status bank dalam pengawasan
khusus; dan
c. rekomendasi langkah-langkah penanganan kondisi
lembaga jasa keuangan dan pasar modal yang
112
mempengaruhi stabilitas sistem keuangan serta
penanganan Bank SIB dalam status Bank dalam
pengawasan khusus.
Yang dimaksud dengan “bank dalam pengawasan
khusus” adalah status pengawasan terhadap bank yang
dinilai oleh Otoritas Jasa Keuangan mengalami kesulitan
yang membahayakan kelangsungan usahanya.
3. Lembaga Penjamin Simpanan menyampaikan:
a. penilaian kondisi kecukupan dana penjaminan
simpanan yang mempengaruhi Stabilitas Sistem
Keuangan; dan
b. rekomendasi langkah-langkah penanganan untuk
memenuhi kecukupan dana penjaminan simpanan.
4. Menteri Keuangan menyampaikan:
a. penilaian kondisi kesinambungan fiskal dan pasar
SBN yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan;
dan
b. rekomendasi langkah-langkah penanganan kondisi
kesinambungan fiskal dan pasar SBN yang
mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan.
Rapat KSSK menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan
dalam kondisi normal atau tidak normal. Penetapan status
Stabilitas Sistem Keuangan didasarkan pada data,
informasi, kerangka penilaian kondisi Stabilitas Sistem
Keuangan, dan pertimbangan dari seluruh anggota KSSK,
termasuk pertimbangan profesional masing-masing anggota
KSSK. Yang dimaksud dengan “pertimbangan profesional
(professional judgement)” adalah suatu proses pragmatik
melalui faktor-faktor berupa pengalaman, pembenaran
113
terhadap tindakan, merespon terhadap motivasi dari luar,
dan belajar dari kesalahan.
Dalam hal KSSK menetapkan status Stabilitas Sistem
Keuangan dalam Kondisi Tidak Normal, dengan
mempertimbangkan rekomendasi dari masing-masing
anggota KSSK, KSSK menetapkan langkah-langkah dalam
rangka:
a. penanganan permasalahan di bidang moneter,
makroprudensial, dan sistem pembayaran yang
mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan;
b. penanganan Bank SIB dalam status Bank dalam
pengawasan khusus dan penanganan kondisi lembaga
jasa keuangan dan/atau pasar modal yang
mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan;
c. Penanganan kondisi lembaga jasa keuangan dan/atau
pasar modal dalam Kondisi Tidak Normal tidak diatur
secara spesifik dalam Undang-Undang ini sehingga
penanganannya dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. penanganan kondisi kesinambungan fiskal dan pasar
SBN yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan;
dan/atau
e. penanganan bank dan pemenuhan kecukupan dana
penjaminan simpanan.
Penanganan permasalahan kecukupan dana
penjaminan simpanan dilakukan berdasarkan Undang-
Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan. Langkah-
langkah penanganan dilaporkan oleh koordinator KSSK
kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh
empat) jam. Selain langkah-langkah penanganan di atas,
114
KSSK dapat mengusulkan kepada Presiden untuk
menetapkan kenaikan besaran nilai simpanan nasabah
penyimpan pada bank yang dijamin oleh Lembaga Penjamin
Simpanan.
e) Penanganan Permasalahan Bank
1. Penanganan Permasalahan Bank SIB
(a) Tindakan Mengatasi Permasalahan oleh Bank
Penetapan Bank SIB dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank
Indonesia pada kondisi Stabilitas Sistem Keuangan
normal. Pengkinian Bank SIB dilakukan secara
berkala atau sewaktu-waktu pada kondisi Stabilitas
Sistem Keuangan normal. Penetapan Bank SIB
berdasarkan pengkinian sewaktu-waktu dilakukan
setelah memperoleh persetujuan Komite Stabilitas
Sistem Keuangan. Bank SIB harus menerapkan
rencana pemulihan yang telah disusunnya dan yang
telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk
mengatasi masalah keuangan. Rencana pemulihan
(recovery plan) merupakan rencana langkah-langkah
yang akan dilakukan oleh Bank dan/atau pemegang
saham Bank untuk mengatasi masalah keuangan.
Rencana penyehatan disusun sejak Bank ditetapkan
sebagai Bank SIB dan disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan.
Selama rencana pemulihan belum disetujui oleh
Otoritas Jasa Keuangan, Bank SIB harus
menerapkan langkah penyehatan yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan lebih lanjut
115
mengenai rencana pemulihan diatur dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(b) Tindakan Mengatasi Kesulitan Likuiditas Bank
Bank SIB yang mengalami kesulitan likuiditas
dapat mengajukan permohonan kepada Bank
Indonesia untuk mendapatkan pinjaman likuiditas
jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka
pendek berdasarkan prinsip syariah. Berdasarkan
Undang-Undang mengenai Bank Indonesia, Bank
yang mengalami kesulitan likuiditas dapat
mengajukan pinjaman likuiditas jangka pendek
kepada Bank Indonesia sebagai lender of the last
resort sepanjang Bank yang bersangkutan
memenuhi ketentuan solvabilitas dan memiliki
agunan yang cukup. Pinjaman likuiditas jangka
pendek yang disediakan untuk Bank SIB adalah
dalam rangka pelaksanaan peran Bank Indonesia
untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.
Pinjaman likuiditas jangka pendek untuk Bank
Syariah adalah berupa pembiayaan likuiditas jangka
pendek berdasarkan prinsip syariah. Bank
Indonesia berdasarkan informasi dan rekomendasi
dari Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan
pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan
likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip
syariah. Pemberian pinjaman likuiditas jangka
pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek
berdasarkan prinsip syariah dilakukan sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Bank
Indonesia dan peraturan pelaksanaannya.
116
Dalam hal Bank SIB mengalami kesulitan
likuiditas namun masih memenuhi ketentuan
solvabilitas dan pemberian pinjaman likuiditas
jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka
pendek berdasarkan prinsip syariah diperkirakan
tidak dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas
Bank SIB, Bank SIB dimaksud dapat mengajukan
permohonan untuk mendapatkan PLK kepada Bank
Indonesia. PLK untuk Bank Syariah adalah berupa
Pembiayaan Likuiditas Khusus berdasarkan prinsip
syariah. Bank Indonesia setelah berkoordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta
penyelenggaraan rapat KSSK untuk memutuskan
pemberian PLK dalam hal terdapat Bank SIB yang
mengajukan permohonan PLK. Dalam rapat KSSK,
Bank Indonesia setelah berkoordinasi dengan
Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan usulan
antara lain besarnya jumlah PLK yang diberikan,
jangka waktu, dan suku bunga PLK.
Bank Indonesia meminta penyelenggaraan
rapat KSSK apabila berdasarkan penilaian Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, Bank SIB
yang mengajukan PLK telah memenuhi syarat dan
ketentuan pemberian PLK. Dalam rapat KSSK, Bank
Indonesia menyampaikan usulan antara lain
besarnya jumlah PLK yang diberikan, jangka waktu,
dan suku bunga PLK. Bank Indonesia memberikan
PLK kepada Bank SIB berdasarkan Keputusan
KSSK. Persetujuan KSSK diberikan apabila
berdasarkan informasi dan rekomendasi dari
117
Otoritas Jasa Keuangan, Bank SIB masih
memenuhi ketentuan mengenai solvabilitas dan
tingkat kesehatan Bank serta perkiraan
kemampuan untuk mengembalikan PLK.
Pemerintah memberikan jaminan pelunasan atas
PLK yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada
Bank SIB. Dalam hal Bank SIB tidak dapat
melunasi PLK pada saat jatuh tempo sesuai
perjanjian, Pemerintah merealisasikan jaminan
pelunasan dengan membayar secara tunai dan/atau
dengan menerbitkan SBN yang dapat
diperdagangkan untuk Bank Indonesia. Ketentuan
mengenai pemberian PLK termasuk tata cara,
persyaratan, dan jaminan pemerintah atas
pelunasan PLK serta pengawasan terhadap Bank
SIB penerima PLK diputuskan oleh KSSK.
Pelaksanaan keputusan KSSK diatur dalam
peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangan pemerintah, Bank Indonesia, dan
Otoritas Jasa Keuangan.
Bank SIB penerima PLK dilarang melakukan
transaksi dengan pihak terkait, termasuk
membagikan dividen dan memberikan manfaat
finansial lainnya, sebelum melunasi seluruh
kewajiban PLK. Yang dimaksud “pihak terkait”
adalah sesuai dengan ketentuan batas maksimum
pemberian kredit.
Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan
Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
Bank SIB penerima PLK dalam rangka memastikan
118
penggunaan PLK dan pelaksanaan rencana
pembayaran kembali PLK sesuai dengan perjanjian.
Dalam rangka pengawasan, Otoritas Jasa
Keuangan dapat menempatkan pengawas pada
Bank SIB penerima PLK.
(c) Tindakan Mengatasi Permasalahan Solvabilitas
Bank
Dalam hal terdapat Bank SIB yang mengalami
permasalahan solvabilitas, Otoritas Jasa Keuangan
melakukan penanganan permasalahan solvabilitas
berdasarkan kewenangannya, termasuk
pelaksanaan rencana penyehatan Bank SIB
dimaksud. Yang dimaksud dengan “permasalahan
solvabilitas” adalah kesulitan permodalan yang
dialami Bank SIB sehingga tidak memenuhi
kewajiban penyediaan modal minimum yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Termasuk
dalam penanganan solvabilitas antara lain adalah
konversi kewajiban Bank SIB menjadi modal (bail-in)
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan
kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk
melakukan persiapan penanganan Bank SIB. Dalam
hal Bank SIB ditetapkan sebagai Bank dalam
pengawasan khusus, Otoritas Jasa Keuangan dapat:
1. menunjuk pengelola statuter sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Otoritas Jasa Keuangan; atau
119
2. meminta Lembaga Penjamin Simpanan
melakukan langkah persiapan penanganan Bank
SIB berupa pengalihan sebagian atau seluruh
aset dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank
atau pihak lain.
Langkah persiapan penanganan Bank SIB
dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada
saat Bank dalam pengawasan khusus agar pada
saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima
penyerahan Bank SIB dari KSSK, Lembaga
Penjamin Simpanan telah siap
mengimplementasikan pengalihan sebagian atau
seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB.
Langkah persiapan Lembaga Penjamin Simpanan
antara lain berupa melakukan penilaian aset
dan/atau kewajiban Bank SIB, menawarkan kepada
Bank atau pihak lain yang bersedia menerima
pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau
kewajiban Bank SIB, dan/atau melaksanakan uji
tuntas (due dilligence).
Dalam hal penanganan tidak dapat mengatasi
masalah solvabilitas Bank SIB, Otoritas Jasa
Keuangan meminta penyelenggaraan rapat KSSK
disertai dengan rekomendasi langkah-langkah
penanganan permasalahan Bank SIB dimaksud.
Permasalahan solvabilitas tidak dapat diatasi
apabila kondisi semakin memburuk atau batas
waktu Bank dalam pengawasan khusus telah
berakhir. Rapat KSSK diselenggarakan untuk
menetapkan langkah-langkah penanganan
120
permasalahan solvabilitas Bank SIB dimaksud.
Langkah-langkah penanganan Bank SIB paling
sedikit:
1. memutuskan penyerahan Bank SIB kepada
Lembaga Penjamin Simpanan untuk dilakukan
penanganan berdasarkan Undang-Undang ini
dan Undang-Undang mengenai Lembaga
Penjamin Simpanan. Bank SIB yang diserahkan
kepada Lembaga Penjamin Simpanan merupakan
Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan
membahayakan kelangsungan usahanya serta
dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
kewenangan yang dimilikinya, sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Lembaga Penjamin
Simpanan.
2. Selain hal tersebut di atas juga menetapkan
langkah-langkah yang harus dilakukan oleh
anggota KSSK sesuai dengan kewenangan
masing-masing dalam rangka mendukung
pelaksanaan penanganan Bank SIB oleh LPS.
Penanganan Bank SIB dilakukan oleh Lembaga
Penjamin Simpanan dengan cara:
a. mengalihkan sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank
atau pihak lain;
b. Penanganan bank seperti ini dikenal sebagai
transaksi purchase and assumption. Yang
dimaksud dengan “pihak lain” adalah
perorangan atau badan hukum selain Bank.
121
c. mengalihkan sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban Bank SIB kepada Bank
baru yang dibentuk khusus sebagai Bank
Perantara; dan/atau;
d. Penanganan bank seperti ini dikenal sebagai
transaksi purchase and assumption melalui
bridge bank.
e. melakukan penanganan sesuai dengan
Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin
Simpanan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan
Bank SIB, jenis dan kriteria aset dan kewajiban
Bank SIB yang dapat dialihkan kepada Bank
Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak
penerima lain diatur dengan Peraturan Lembaga
Penjamin Simpanan. Peraturan Lembaga
Penjamin Simpanan antara lain mengatur
prosedur pelaksanaan pengalihan aset dan/atau
kewajiban Bank kepada Bank Perantara, Bank
penerima, dan/atau pihak penerima lain, dan
prosedur pengoperasian Bank Perantara
Lembaga Penjamin Simpanan mendirikan Bank
Perantara untuk menerima pengalihan sebagian
atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB
dan menjalankan aktivitas usaha Bank. Dalam
rangka pendirian Bank Perantara oleh Lembaga
Penjamin Simpanan, tidak berlaku ketentuan
yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan
oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang
122
Perseroan Terbatas. Otoritas Jasa Keuangan
memberikan izin Bank Perantara dalam 2 (dua)
tahap:
a. persetujuan prinsip untuk melakukan
persiapan pendirian bank.
b. izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha
bank setelah persiapan pendirian bank selesai
dilakukan.
Persetujuan prinsip diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. anggaran dasar yang antara lain memuat
kegiatan usaha sebagai bank;
b. modal disetor sebagaimana diatur dalam
undang-undang tentang Perseroan Terbatas;
dan
c. Struktur organisasi dan sumber daya
manusia, pedoman manajemen risiko, good
corporate governance, prosedur kerja, rencana
bisnis, proyeksi neraca dan laba rugi, laporan
arus kas bulanan. Untuk pemenuhan
persyaratan ini dapat menggunakan surat
pernyataan dari Lembaga Penjamin Simpanan
bahwa persyaratan dimaksud akan dipenuhi
dengan menggunakan data dan/atau
dokumen Bank SIB.
Izin usaha diberikan setelah memenuhi
persyaratan:
a. kewajiban penyediaan modal minimum bank
umum;
b. susunan direksi dan dewan komisaris; dan
123
c. rencana tindak meliputi cara dan jadwal
pengalihan, pemenuhan dan pengelolaan
sumber daya manusia serta migrasi
infrastruktur Bank Perantara.
Uji kemampuan dan Kepatutan bagi Bank
Perantara dilakukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan terhadap calon dewan komisaris dan
direksi berdasarkan ketentuan Uji Kemampuan
dan Kepatutan bagi bank dalam penanganan
Lembaga Penjamin Simpanan. Susunan direksi
dan komisaris dapat menjalankan tugas dan
wewenang sebelum uji kemampuan dan
kepatutan (fit & proper test) dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Bank Perantara dalam menjalankan kegiatan
usaha wajib:
a. menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan laporan berkala dan dokumen lain
yang diwajibkan bagi Bank Umum; dan
b. memenuhi persyaratan terkait prinsip kehati-
hatian dan indikator tingkat kesehatan Bank
Umum.
Persyaratan prinsip kehati-hatian dan indikator
tingkat kesehatan bank yang diberlakukan
kepada Bank Perantara mengikuti ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai bank dalam
penanganan/penyelamatan Lembaga Penjamin
Simpanan.
Dalam rangka melaksanakan pengalihan
sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban
124
Bank SIB kepada Bank penerima dan/atau
pihak penerima lain atau kepada Bank
Perantara, Lembaga Penjamin Simpanan
memiliki kewenangan:
a. mengalihkan kewajiban Bank SIB berupa
simpanan nasabah penyimpan dan
kewajiban lain kepada bank penerima
dan/atau pihak penerima lain yang diikuti
dengan pengalihan sebagian atau seluruh
aset Bank SIB dimaksud tanpa persetujuan
kreditur, debitur, dan “pihak lainnya”.
Simpanan nasabah penyimpan yang
dialihkan adalah jumlah seluruh simpanan
nasabah penyimpan yang tercatat pada
pembukuan Bank SIB saat penyerahan Bank
SIB oleh KSSK kepada LPS. Yang dimaksud
dengan persetujuan dari “pihak lainnya”
antara lain persetujuan dari rapat umum
pemegang saham Bank SIB.
b. melakukan pembayaran kepada Bank
Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak
penerima lain untuk menutup selisih apabila
nilai aset Bank SIB yang dialihkan lebih kecil
dibandingkan dengan nilai kewajiban Bank
SIB yang dialihkan.
Pembayaran selisih antara nilai aset Bank
SIB dengan nilai kewajiban Bank SIB yang
dialihkan kepada Bank Perantara merupakan
penyertaan modal Lembaga Penjamin
Simpanan kepada Bank Perantara tersebut.
125
Penyertaan modal Lembaga Penjamin
Simpanan pada Bank Perantara bukan
merupakan penempatan investasi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Lembaga Penjamin Simpanan.
Pembayaran selisih antara nilai aset Bank
SIB dengan nilai kewajiban Bank SIB yang
dialihkan kepada Bank penerima, dan/atau
pihak penerima lain merupakan beban dalam
rangka menjaga stabilitas sistem perbankan.
c. melakukan wewenang lainnya sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Lembaga
Penjamin Simpanan.
Bank Indonesia dapat menetapkan pengaturan
tertentu yang berlaku bagi Bank Perantara terkait
dengan kebijakan moneter, makroprudensial, dan
sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan
harus segera menjual Bank Perantara atau
mengalihkan seluruh aset dan kewajiban Bank
Perantara kepada Bank atau pihak lain. Bank
Perantara harus segera dijual setelah
mempertimbangkan antara lain ukuran,
kompleksitas permasalahan, dan kondisi
perekonomian. Pelaksanaan penjualan Bank
Perantara atau pengalihan seluruh aset dan
kewajiban Bank Perantara pada Bank atau pihak
lain dilakukan secara terbuka dan transparan. Bank
Perantara yang telah dijual kepada Bank atau pihak
lain, status Bank tersebut menjadi Bank
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
126
Perbankan dan tidak lagi disebut sebagai Bank
Perantara. Dalam hal kondisi keuangan dan
permodalan Bank Perantara menurun dan tidak
sesuai profil risiko berdasarkan penilaian Otoritas
Jasa Keuangan, maka Lembaga Penjamin Simpanan
wajib menambah modal paling rendah sesuai profil
risikonya. Pengalihan sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajiban Bank SIB oleh Lembaga
Penjamin Simpanan kepada Bank Perantara, Bank
penerima, dan/atau pihak penerima lainnya, terjadi
demi hukum sejak akta pengalihan ditandatangani.
Pengalihan demi hukum berlaku pula terhadap
pengalihan perizinan yang dimiliki Bank SIB kepada
Bank Perantara. Perizinan yang dialihkan dan
operasional akibat peralihan perizinan disesuaikan
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Setelah dilakukan pengalihan sebagian atau seluruh
aset dan/atau kewajiban kepada Bank Perantara,
Bank penerima dan/atau pihak penerima lain,
Lembaga Penjamin Simpanan meminta Otoritas
Jasa Keuangan untuk mencabut izin usaha Bank
yang telah dialihkan sebagian atau seluruh aset
dan/atau kewajibannya. Lembaga Penjamin
Simpanan melakukan proses likuidasi terhadap
bank yang telah dicabut izin usahanya oleh Otoritas
Jasa Keuangan sesuai dengan Undang-Undang
tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Seluruh
tindakan Lembaga Penjamin Simpanan dalam
rangka menjalankan penanganan Bank SIB
berdasarkan undang-undang ini sah demi hukum.
127
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Bank
SIB, jenis dan kriteria aset dan kewajiban Bank SIB
yang dapat dialihkan kepada Bank Perantara, Bank
penerima, dan/atau pihak penerima lain diatur
dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan
antara lain diatur prosedur pelaksanaan pengalihan
aset dan/atau kewajiban Bank kepada Bank
Perantara, Bank penerima, dan/atau pihak
penerima lain, dan prosedur pengoperasian Bank
Perantara.
Dalam rangka penanganan Bank SIB, Lembaga
Penjamin Simpanan dapat: menjual SBN yang
dimilikinya; dan/atau memperoleh pinjaman dari
pihak lain. Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan
harus menjual SBN yang dimilikinya untuk
melakukan penanganan Bank SIB, berdasarkan
keputusan KSSK, Bank Indonesia dapat membeli
SBN dimaksud. Pemerintah dapat memberikan
jaminan atas pinjaman Lembaga Penjamin
Simpanan Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan
mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan
Bank SIB setelah dilakukan upaya, Pemerintah
dapat memberikan pinjaman kepada Lembaga
Penjamin Simpanan.
Lembaga Penjamin Simpanan menyampaikan
informasi mengenai perkembangan penanganan
Bank SIB kepada KSSK.
128
2. Restrukturisasi Perbankan Dalam Kondisi Tidak Normal
Untuk mengatasi kondisi tidak normal, dibentuk Badan
Restrukturisasi Perbankan (BRP). BRP bertugas
menangani kesulitan perbankan yang membahayakan
perekonomian nasional dalam Kondisi Tidak Normal.
BRP bertanggung jawab kepada KSSK. Organ BRP terdiri
dari Dewan Pengawas dan Dewan Eksekutif BRP. Organ
BRP beserta tugas dan wewenangnya ditetapkan oleh
KSSK. Dewan Eksekutif BRP berwenang mewakili BRP
di dalam maupun di luar pengadilan. Dewan Eksekutif
BRP berwenang menetapkan Peraturan BRP. Struktur
organisasi dibawah Dewan Pengawas dan Dewan
Eksekutif BRP tata kerja, sistem kepegawaian, dan
penggajian diatur oleh Dewan Eksekutif.
BRP mulai menjalankan tugasnya berdasarkan
penetapan KSSK yang didasarkan pada pertimbangan:.
a. Kondisi Tidak Normal; dan
b. terdapat permasalahan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional.
KSSK menetapkan pengaktifan dan penonaktifan tugas
BRP untuk meduian dilaporkan kepada Presiden.
Anggaran BRP bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, hasil pengelolaan aset dan
kewajiban Bank-bank yang ditangani, dan sumber lain
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan. KSSK menetapkan masa tugas BRP.
Dalam menjalankan tugasnya, BRP berwenang untuk:
a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan
wewenang pemegang saham termasuk hak dan
129
wewenang rapat umum pemegang saham Bank atau
organ lain yang setara;
b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan
wewenang direksi dan dewan komisaris Bank atau
organ lain yang setara;
c. menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan
kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi
hak Bank, termasuk kekayaan Bank yang berada
pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar
negeri;
d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau
mengubah kontrak yang mengikat Bank dengan
pihak ketiga, yang menurut pertimbangan Badan
Restrukturisasi Perbankan merugikan Bank;
e. menjual, melelang, atau mengalihkan kekayaan Bank
di dalam negeri maupun di luar negeri, baik secara
langsung maupun melalui penawaran umum;
f. menjual, melelang atau mengalihkan tagihan Bank
dan/atau menyerahkan pengelolaanya kepada pihak
lain, tanpa memerlukan persetujuan nasabah
debitur;
g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan/atau
manajemen Bank kepada pihak lain;
h. melakukan penyertaan modal sementara pada Bank
secara langsung atau melalui konversi tagihan Badan
Restrukturisasi Perbankan terhadap Bank menjadi
saham Bank;
i. menagih piutang Bank yang sudah pasti dengan
penerbitan surat paksa;
130
j. mengosongkan atas tanah dan/atau bangunan milik
atau yang menjadi hak Bank yang dikuasai oleh
pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat
negara penegak hukum yang berwenang;
k. meneliti dan memeriksa untuk memperoleh segala
keterangan yang diperlukan dari dan mengenai Bank
dalam penanganan Badan Restrukturisasi
Perbankan, dan pihak manapun yang terlibat atau
patut diduga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang
merugikan Bank dalam penanganan Badan
Restrukturisasi Perbankan tersebut;
l. menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami
Bank dalam penanganan Badan Restrukturisasi
Perbankan dan membebankan kerugian tersebut
kepada modal Bank yang bersangkutan, dan
bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan
atau kelalaian anggota direksi dan anggota dewan
komisaris atau organ yang setara, dan/atau
pemegang saham, maka kerugian tersebut akan
dibebankan kepada yang bersangkutan;
m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib
disetor oleh pemegang saham Bank dalam
penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan;
n. meminta data, informasi, dan dokumen dari Bank
dalam penanganan Badan Restrukturisasi Perbankan
dan dari pihak lain;
o. membekukan aset milik pengurus bank, pemegang
saham bank, dan/atau pihak terafiliasinya yang
terindikasi melakukan tindakan yang merugikan
131
Bank, baik yang berada di dalam negeri maupun di
luar negeri;
p. melakukan tugas lain yang ditetapkan oleh KSSK.
Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas, kewenangan,
anggaran, dan penyelenggaraan BRP diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
f) Insentif dan/atau Fasilitas dalam Rangka
Penanganan Bank SIB
Dalam rangka penanganan Bank SIB, Pemerintah, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga
Penjamin Simpanan dapat memberikan insentif
dan/atau fasilitas berupa fiskal dan non fiskal kepada
orang atau badan hukum yang berperan dalam rangka
tindakan penyelesaian permasalahan Bank SIB. Yang
dimaksud insentif fiskal antara lain adalah insentif
perpajakan. Yang dimaksud dengan fasilitas non fiskal
antara lain adalah pengecualian dari ketentuan
mengenai pembatasan kepemilikan Bank. Insentif
dan/atau fasilitas ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan, dan Peraturan Lembaga
Penjamin Simpanan.
g) Pendanaan
Sumber pendanaan dalam rangka penanganan Kondisi
Tidak Normal dan/atau penanganan permasalahan
Bank SIB meliputi:
a. kekayaan Bank Indonesia yang digunakan untuk
pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau
132
pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan
prinsip syariah dan PLK kepada Bank SIB;
b. kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan yang
digunakan untuk penanganan permasalahan Bank
SIB;
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang
digunakan untuk:
1. pembayaran jaminan Pemerintah kepada Bank
Indonesia untuk pemberian PLK;
2. pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin
Simpanan untuk mengatasi permasalahan
likuiditas Lembaga Penjamin Simpanan;
3. penambahan modal kepada Lembaga Penjamin
Simpanan dalam hal modal Lembaga Penjamin
Simpanan kurang dari modal awal Lembaga
Penjamin Simpanan yang ditetapkan oleh
Pemerintah; dan/atau
4. pendanaan penanganan permasalahan Bank.
Penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara untuk 4 (empat) keperluan tersebut di atas yang
belum dialokasikan secara khusus dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan
dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam
hal dana untuk pembiayaan yang berasal dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara belum tersedia anggarannya
atau melebihi pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, Pemerintah dapat melakukan pengeluaran dana
tersebut dengan terlebih dahulu mendapatkan
133
persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam
hal pengeluaran dana akan dipenuhi melalui penerbitan
SBN, persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat
mencakup pula tambahan nilai bersih maksimal SBN
yang akan diterbitkan. Persetujuan tertulis Dewan
Perwakilan Rakyat dilakukan dengan keputusan yang
tertuang dalam kesimpulan Rapat Kerja Badan
Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah,
yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari 1x24 (satu
kali dua puluh empat) jam setelah usulan disampaikan
Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam
hal persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat tidak
diberikan kepada Pemerintah dalam waktu 1x24 (satu
kali dua puluh empat) jam, Pemerintah dapat
melakukan pengeluaran dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Jika pengeluaran belum tersedia
anggarannya dan/atau melebihi pagu yang telah
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan tahun berjalan dan/atau
dilaporkan dalam laporan keuangan Pemerintah pusat.
Pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada Lembaga
Penjamin Simpanan untuk mengatasi permasalahan
likuiditasnya dikecualikan dari ketentuan mengenai
pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh Pemerintah
dalam undang-undang yang mengatur mengenai
perbendaharaan dan undang-undang yang mengatur
mengenai keuangan negara. Ketentuan dan tata cara
pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin
Simpanan untuk mengatasi permasalahan likuiditasnya
134
diatur dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam hal pengeluaran dana akan dipenuhi melalui
penerbitan SBN, persetujuan tertulis Dewan Perwakilan
Rakyat mencakup pula tambahan nilai bersih maksimal
SBN yang akan diterbitkan. Penerbitan SBN
dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan surat
utang negara sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Surat Utang Negara dan tujuan
penerbitan Surat Berharga Syariah Negara sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga
Syariah Negara. Pemerintah dapat melakukan
penerbitan SBN melebihi pagu yang ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang
bersangkutan untuk penanganan Kondisi Tidak Normal
dan/atau penanganan permasalahan Bank SIB.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan
SBN untuk penanganan Kondisi Tidak Normal dan/atau
penanganan Bank SIB diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Bank Indonesia dapat membeli SBN pada pasar perdana
namun terbatas pada SBN yang dapat diperdagangkan.
Pembelian SBN oleh Bank Indonesia dilakukan
berdasarkan keputusan KSSK dengan
mempertimbangkan paling sedikit kesinambungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tingkat
kesehatan neraca Bank Indonesia, efektivitas kebijakan
moneter, dan kondisi pasar SBN.
135
Dalam hal terdapat selisih kurang antara:
a. dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin
Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank
SIB dengan hasil penjualan Bank SIB dimaksud;
b. dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk
memenuhi penjaminan PLK dengan dana yang
diperoleh dari pembayaran kembali PLK oleh Bank
SIB; dan/atau
c. dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk
melakukan penanganan Kondisi Tidak Normal
dan/atau penanganan permasalahan Bank SIB
dengan pengembalian atas dana yang dikeluarkan
dimaksud,
Dana yang diperoleh dari pembayaran kembali PLK oleh
Bank SIB merupakan pembayaran kembali oleh Bank
SIB setelah Bank Indonesia menyerahkan hak tagih atas
PLK kepada Pemerintah setelah PLK jatuh tempo. Dana
yang diterima oleh Pemerintah berasal dari pembayaran
PLK oleh Bank SIB dan/atau hasil eksekusi agunan PLK
setelah Bank Indonesia menyerahkan hak tagih atas
PLK tersebut kepada Pemerintah
Selisih kurang tersebut merupakan biaya penanganan
Kondisi Tidak Normal dan/atau permasalahan Bank SIB
dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan.
h) Pertukaran Data dan Informasi
Anggota KSSK melakukan pertukaran data dan
informasi yang diperlukan dalam rangka pemeliharaan
SSK dan penanganan permasalahannya. Pertukaran
data dan informasi dilakukan melalui sekretariat KSSK.
136
Pertukaran data dan informasi tersebut dikecualikan
dari ketentuan kerahasiaan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-
undangan yang dimaksud mencakup undang-undang
mengenai perbankan, pasar modal, perpajakan, dan
surat berharga negara.
i) Akuntabilitas dan Pelaporan
Terkait dengan akuntabilitas, KSSK memublikasikan
dan memberikan akses informasi kepada publik
mengenai keputusan KSSK. Menteri Keuangan
memublikasikan pemberian pinjaman kepada Lembaga
Penjamin Simpanan, Bank Indonesia memublikasikan
pemberian PLK kepada Bank yang mengalami kesulitan
likuiditas, Otoritas Jasa Keuangan memublikasikan
langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB,
Lembaga Penjamin Simpanan memublikasikan
pelaksanaan penanganan Bank SIB.
KSSK memublikasikan pelaksanaan tugas dan
wewenang yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini.
Mengenai jenis dan tata cara akses informasi oleh
publik, ditetapkan oleh KSSK.
Terkait dengan pelaporan, Koordinator KSSK
melaporkan kepada Presiden mengenai:
a. kondisi Stabilitas Sistem Keuangan paling sedikit 1
(satu) kali dalam 6 (enam) bulan;
b. penanganan Kondisi Tidak Normal;
c. penanganan permasalahan Bank SIB; dan/atau
137
d. pelaksanaan tugas dan wewenang Badan
Restrukturisasi Perbankan dalam rangka
penanganan permasalahan Bank.
j) Ketentuan Lain-lain
Anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota sekretariat
KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,
dan Lembaga Penjamin Simpanan yang melaksanakan
tugas berdasarkan Undang-Undang ini mendapatkan
bantuan hukum dari lembaga yang diwakili atau
menugaskannya dalam menghadapi tuntutan hukum
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
wewenang KSSK. Dalam hal berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, anggota KSSK, sekretaris KSSK, anggota
sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan yang
melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini
diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak
lain, sepanjang yang bersangkutan melaksanakan tugas
dan wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, ganti rugi dimaksud dibayarkan
oleh lembaga yang diwakili atau menugaskannya. Yang
dimaksud dengan tuntutan hukum mencakup tuntutan
hukum pidana dan perdata.
Keputusan yang ditetapkan oleh KSSK dan/atau
pelaksanaan dari keputusan tersebut oleh masing-
138
masing lembaga anggota KSSK berdasarkan Undang-
Undang ini adalah sah dan mengikat setiap pihak.
k) Ketentuan Penutup
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Pasal 37A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
b. Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 55 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
dan
c. Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 69 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
139
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sejak Undang-Undang ini diundangkan, fungsi, tugas,
dan wewenang Komite Koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4420) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4963), dilaksanakan
oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka
melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253) sampai dengan
berlakunya Undang-Undang ini tetap sah dan mengikat.
Sebelum sekretariat KSSK ditetapkan, tugas dan
wewenang sekretariat KSSK termasuk pengelolaan
140
dokumen dilaksanakan oleh sekretariat Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
141
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan dalam
bab-bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan yaitu:
1. Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (ius constitutum) tidak dapat digunakan untuk
menjamin terselenggaranya Stabilitas Sistem Keuangan
karena hanya disusun untuk penanganan kondisi normal,
sehingga ketentuan tersebut tidak memadai untuk
penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan
permasalahan Bank SIB untuk memelihara SSK. Selain itu,
Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK yang selama ini
digunakan untuk mengatasi SSK, ditolak oleh DPR sehingga
tidak ada ketentuan yang secara materiil mengatur mengenai
pemeliharaan SSK dan menangani permasalahannya yang
bersifat antisipatif, proaktif, dan koordinatif yang harus
dilakukan oleh lembaga/otoritas yang terkait, baik secara
sendiri-sendiri maupun terkoordinasi dalam KSSK.
2. Keberadaan UU JPSK akan memberikan landasan hukum
yang kuat bagi lembaga/otoritas dalam melakukan koordinasi
dalam suatu kerangka sistem sehingga dapat memelihara SSK
dan menangani permasalahannya.
3. Landasan filosofis: bahwa dalam rangka mewujudkan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD NRI tahun 1945 diperlukan pembangunan
ekonomi nasional yang berkelanjutan, yang diwujudkan
dengan menciptakan perekonomian yang stabil dan tangguh
melalui Stabilitas Sistem Keuangan.
142
Dalam Kondisi Tidak Normal, terdapat kemungkinan
terjadinya kegagalan sejumlah Bank dalam waktu yang
bersamaan yang dapat membahayakan perekonomian
nasional. Penanganan bank-bank bermasalah tersebut
memerlukan pendekatan khusus dalam suatu jaring
pengaman sistem keuangan yang berbeda dengan
penanganan permasalahan Bank dalam kondisi normal.
Landasan sosiologis: bahwa dalam rangka mewujudkan
stabilitas sistem keuangan yang kokoh untuk menghadapi
ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang
dapat mengakibatkan kondisi sistem keuangan yang tidak
normal, diperlukan jaring pengaman sistem keuangan.
Dengan stabilnya sistem keuangan kita dan tertanganinya
permasalahan yang timbul dalam Kondisi Tidak Normal
akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor
keuangan, karena jaring pengaman sistem keuangan
memberikan landasan yang kuat bagi lembaga/otoritas
untuk mengambil keputusan strategis demi kepentingan
perekonomian nasional yang lebih luas.
Landasan yuridis UU JPSK dibentuk dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang BI Menjadi Undang-Undang, serta Pasal
69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
OJK.
143
4. Sasaran yang ingin diwujudkan adalah Stabilitas Sistem
Keuangan yang kokoh dalam menghadapi ancaman Kondisi
Tidak Normal. UU JPSK ini akan memberikan landasan
hukum dalam mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas
terkait serta pengambilan keputusan yang terpadu,
transparan, akuntabel, dan cepat untuk menanggulangi
Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank SIB sehingga
tetap dapat terpelihara SSK dan penanganan
permasalahannya SSK.
Lingkup materi yang diatur meliputi: (i) koordinasi dalam
rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem
Keuangan, (ii) penanganan Kondisi Tidak Normal, serta (iii)
penanganan permasalahan Bank SIB, baik dalam kondisi
Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak
Normal. Dengan demikian, Undang-Undang ini pada dasarnya
hanya memuat pengaturan mengenai penanganan
permasalahan Bank SIB yang tidak dapat ditangani oleh
otoritas secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangan
yang dimilikinya. Sedangkan untuk Bank yang tidak
termasuk dalam Bank SIB, penanganan permasalahan Bank
tersebut dilaksanakan oleh otoritas sesuai dengan
kewenangan yang diatur dalam undang-undang masing-
masing. Dalam Kondisi Tidak Normal dan terdapat
permasalahan perbankan yang masif dan membahayakan
perekonomian nasional, KSSK dapat mengaktifkan Badan
Restrukturisasi Perbankan untuk mengatasi permasalahan
Bank.
144
B. Saran
Berdasarkan simpulan tersebut, dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Terdapat beberapa substansi yang perlu diatur lebih lanjut
dalam peraturan lembaga/otoritas terkait.
2. Mengingat pentingnya JPSK, pembahasan mengenai RUU
tentang JPSK diusulkan untuk dilakukan dalam masa sidang
DPR tahun 2015.
3. Untuk mendukung keberhasilan penerapan UU tentang JPSK
perlu dilakukan sosialisasi, komunikasi, dan edukasi kepada
masyarakat luas khususnya kepada pelaku industri di sektor
keuangan.
145
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku/Makalah
Bagehot, W. (1873). Lombard Street: A Description of the Money
Market. London: H.S. King.
Beck, T. (2003). “The Incentive Compatible Design of Deposit
Insurance and Bank Failure Resolution-Concepts and Country
Studies”.
Bolzico, J, Mascaro, Y and Granata, P (2007). “Practical Guidelines
for Effective Bank Resolution” World Bank Policy Research
Working Paper no. 4389.
Bordo, M. (1990). "The Lender of Last Resort: Alternative Views and
Historical Experience" Economics Review 76 (1): 18–29.
Basel Committee on Banking Supervision. (2011). “Resolution
Policies and Frameworks – Progress so Far”.
Diamond, Douglas D and Dybvig, Philip H. (1983). “Bank Runs,
Deposit Insurance, and Liquidity” Journal of Political Economy
Volume 91 No. 3.
Enoch et al. (2001). “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two
Years of Living Dangerously 1997-1999” IMF Working Paper
WP/01/02.
Federal Deposit Insurance Corporation. “FDIC Resolutions
Handbook Chapter 5 - Open Bank Assistance Transactions”.
Financial Stability Board. (2014). “Key Attributes of Effective
Resolution Regimes for Financial Institutions”.
Financial Stability Board. (2014). “Key Attributes of Effective
Resolution Regimes for Financial Institutions, Key Attributes-
Financial Stability Board 2014: Peer Review of Indonesia”.
146
Freixas et al. (1999). “Systemic Risk, Interbank Relations, and
Liquidity Provision by the Central Bank" Journal of Money,
Credit and Banking. Ohio: Ohio State University Press.
He, Dong. (2000). “Emergency Liquidity Support Facilities” IMF
Working Paper No.WP/00/79.
Hoggarth, Glenn and Reidhill, Jack and Sinclair, Peter J. N. (2004).
“The Resolution of Banking Crises: Theory and Evidence” Bank
of England Working Paper No. 229.
International Association of Deposit Insurers. (2005). “General
Guidance for Resolution of Bank Failures”.
International Monetary Fund. (2015). “Republic of Korea: Crisis
Preparedness And Crisis Management Framework, Technical
Note” Country Report No. 15/5.
International Monetary Fund. (2010). “Indonesia: Financial System
Stability Assessment” Country Report No. 14/126.
Kaufman, George. (1991). Lender of Last Resort: A Contemporary
Perspective. Journal of Financial Services Research Volume 5.
Manna, M. (2009) “Emergency Liquidity Assistance at Work: Both
Words and Deeds Matter” Studi e Note di Economia Anno XIV
No. 2-2009.
McGuire, Claire L. (2012). “Simple Tools to Assist in the Resolution
of Troubled Banks”. Washington DC: World Bank.
Mishkin, Frederic S. (2000). “The International Lender of Last
Resort: What Are The Issues?” NBER Working Paper.
Nakaso, H. (2001). “The Financial Crisis in Japan During the 1990s:
How the Bank of Japan Responded and the Lessons Learnt”
BIS Papers No. 6.
Schich, Sebastian. (2008), Financial Crisis: Deposit Insurance and
Related Financial Safety Net Aspects, Financial Market Trends.
OECD.
147
Solow, Robert. (1982). “On the Lender of Last Resort in C. P.
Kindleberger and J. P. Laffargue (eds.), Financial Crisis: Theory,
History, and Policy”. Cambridge: Cambridge University Press.
The Bank of Korea. (2014). Korea Financial Stability Report.
Thornton, H. (1802). An Enquiry into the Nature and Effects of the
Paper Credit of Great Britain. Fairfield: Augustus M. Kelley.
B. Peraturan Perundang-undangan
Perpu Nomor 04 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan;
Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu
Nomor 03 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang
Negara;
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara;
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;