nasionalisasi migas berbasis kearifan lokal (studi diskursif tentang sinkronisasi hak menguasai oleh...
TRANSCRIPT
LAPORAN HASIL PENELITIANHIBAH PENELITIAN MAHASISWA
Nasionalisasi Migas Berbasis Kearifan Lokal(Studi Diskursif Tentang Hak Menguasai Oleh Negara dan Hak
Ulayat)
Oleh:
M.Fikri Alan 125010102111010
Fifink Praiseda A 125010101111077
Moh.Fathoni 135010107121007
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang
2014
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaiakan karya ilmiah dengan
judul "Nasionalisasi Migas Berbasis Kearifan Lokal (Studi Diskursif tentang
Sinkronisasi Hak Menguasai Oleh Negara dan Hak Ulayat)" tepat waktu.
Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah SAW yang karena
dakwahnya kami dapat menikmati iman dan Islam.
Penelitian ini kami laksanakan dalam rangka mengikuti Hibah Penelitian
Mahasiswa 2014 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Tidak lupa Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak diantaranya:
1. Kedua orangtua penulis atas doa restu dan segala pengorbanan kepada
penulis;
2. Rekan-rekan Forum Kajian dan Penelitian Hukum (FKPH) yang memberikan
semangat dan masukan-masukan yang sangat berharga.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
karya ilmiah ini.
Malang, 20 November 2014
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Ulayat .............................................................................................. 7
1. Pengertian Hak Ulayat....................................................................... 7
2. Subjek dan Objek Hak Ulayat........................................................... 9
3. Kekuatan Berlaku Hak Ulayat.......................................................... 10
a. Kekuatan Hak Ulayat Berlaku ke Dalam.................................... 10
b. Kekuatan Hak Ulayat Berlaku ke Luar........................................ 11
4. Hak Menguasai Tanah oleh Negara Berasal dari Konsep
Hak Ulayat......................................................................................... 12
B. Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)........................................ 15
1. Pengertian Negara Kesejahteraan (Welfare State)............................. 15
2. Asas-asas Pokok Negara Kesejahteraan (Welfare State)................... 17
C. Nasionalisasi............................................................................................. 18
BAB III METODE PENULISAN
A. Jenis Penulisan ........................................................................................... 19
B. Metode Pendekatan .................................................................................... 19
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ................................................................ 19
D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum .......................................................... 20
ii
E. Teknik Analisis Bahan Hukum ....................................................................21
BAB IV PEMBAHASAN
A. Kondisi Minyak Bumi dan Gas Alam di Indonesia Saat Ini....................... 22
B. Nasionalisasi Migas Berbasis Kearifan Lokal yang Dapat
Diterapkan di Indonesia............................................................................... 28
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 37
B. Saran ........................................................................................................... 37
Daftar Pustaka
iii
DAFTAR BAGAN
Bagan1. Pengelolaan Usaha Migas di Indonesia.................................................. 23
Bagan 2. Nasionalisasi Migas Berbasis Kearifan Lokal....................................... 36
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Kepemilikan Perusahaan Asing atas Wilayah Migas
Indonesia............................................................................................. 25
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Cadangan Minyak Bumi Indonesia............................................... 26
Tabel 2. Tabel Cadangan Gas Bumi di Indonesia................................................. 27
vi
AbstractThe Natural Resources in Indonesia, especially The Natural Resources such as Oil and Natural Gas is the invaluable gift given by Almighty God which run in the blood to the next generation in order to exploit in great quantities for the sake of the citizen prosperity in the same manner as recorded to the UUD NR1 1945. However, helplessness of the government of the governance by foreign party upon The Natural Resources precisely not give authority to state for manage and exploit. This helplessness base on the legal regulation in Oil and Natural Gas sector precisely give over to foreign party for manage with agreement royalty share to government but in fact insufficient. This condition gives occasion to The Natural Resources of Indonesia exploited by a foreign party in continuously but the income. On the basis of the understanding that the authors are trying to find a solution to exploitation by foreign parties, The Natural Resources does not take place within a period of time much longer. So the author is interested in giving the idea of “Nasionalisasi Migas Berbasis Kearifan Lokal (Sebuah diskursif tentang Hak Menguasai oleh Negara dan Hak Ulayat)”. This idea aims to empower and combines the management of Oil and Natural Gas owned by the indigenous peoples through Ulayat rights managing natural resources with the concept of natural resource management is done by the State (the concept of Rights Controlled by the State).
Keywords: The Natural Resources, Ulayat rights, Nationalization.
AbstrakSumberdaya alam di Indonesia, terutama sumberdaya alam yang berupa Minyak Bumi dan Gas Alam merupakan anugerah yang tak tenilai harganya dari Tuhan YME yang diwariskan kepada generasi mendatang untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat sebagaimana dicantumkan dalam UUD NRI 1945. Namun ketidakberdayaan pemerintah atas penguasaan yang dilakukan oleh pihak asing atas SDA tersebut justru tidak memberi kebebasan kepada negara untuk mengelola dan memanfaatkannya. Ketidakberdayaan ini didasarkan dengan pengaturan hukum di bidang Migas justru menyerahkan penguasaan terhadap SDA kepada pihak asing untuk dikelola dengan kesepakatan pembagian royalti kepada pemerintah namun kenyataannya tidak cukup besar. Hal ini menyebabkan kekayaan alam Indonesia terus dieksploitasi oleh pihak asing namun hasil yang didapat tidak sepadan dengan eksploitasi yang dilakukan tersebut. Berangkat dari pengertian tersebut penulis berusaha untuk menemukan solusi agar eksploitasi SDA oleh pihak asing tidak berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama lagi. Sehingga penulis tertarik untuk memberikan gagasan yang berupa Nasionalisasi Migas Berbasis Kearifan Lokal (Sebuah diskursif tentang Hak Menguasai oleh Negara dan Hak Ulayat). Gagasan ini bertujuan untuk memberdayakan dan menggabungkan tata cara pengelolaan migas yang dimiliki masyarakat adat melalui hak ulayat untuk mengelola kekayaan alam dengan
vii
konsep pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh Negara (Konsep Hak Menguasai oleh Negara).
Kata kunci: Sumber Daya Alam, Hak ulayat, Nasionalisasi.
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sumberdaya alam mempunyai peranan cukup penting bagi kehidupan
manusia. Sumber Daya Alam bagi berbagai komunitas di Indonesia bukan hanya
memiliki nilai ekonomi tetapi juga makna sosial, budaya dan politik. Sumberdaya
alam berperan penting dalam pembentukan peradaban pada kehidupan manusia,
sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsepsi dan pandangan dunia
tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan dari sumberdaya alam.1
Selain itu, bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat
penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai
“bangsa”. Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara
terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity), tetapi justru
karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal
yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa
(nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah
negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-
budayanya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan
penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keberagaman sistem
sosial yang dimilikinya.2
Ketergantungan dan ketidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan
keanekaragaman hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah
masyarakat bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah
pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat3 yang populasinya
1 Hidayat, Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal, Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XV, No. 1 Februari, 2011, hal. 19
2 Abdon Nababan, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan Peluang, Makalah untuk disajikan dalam “Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah”, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, IPB. 5 Juli 2002, hal. 1
3 Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini mengacu pada Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat
1
diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas lokal
lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan
pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional.4
Secara umum tata kelola sumberdaya alam yang dilakukan oleh suatu
komunitas adat mengenal adanya beragam status penguasaan dan
pemanfaatannya. Bentuk dan status penguasaan sumberdaya alam dapat
dibedakan atas empat kelompok : (1) milik umum (open accses), (2) milik negara
(state), (3) milik pribadi atau perorangan (private) dan (4) milik bersama
(communal).5
Namun, Konsep Hak Menguasi oleh Negara6 yang terkandung dalam
peraturan-perundang-undangan berkaitan dengan sektor agraria dalam
pelaksanaannya menjadi alat kepentingan penguasa dan pengusaha untuk
mendegradasi tata kelola sumberdaya alam yang dilakukan oleh suatu komunitas
adat ini. Hak Menguasai dari Negara terhadap sumberdaya agraria dapat
menggugurkan status kepemilikan bersama secara adat, padahal keberadaan adat
dan kepemilikan secara lebih dahulu eksis daripada keberadaan negara. Konflik
agraria di Indonesia sebagian besar disebabkan interpretasi Hak Menguasai
Negara yang menegaskan kepemilikan secara adat-komunal.
Konsep Penguasaan Negara ini kemudian ditafsirkan oleh Mahkamah
Konstitusi di dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Nusantara tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.”
4 Abdon Nababan,..Loc Cit 5 Masing-masing bentuk dalam penguasaan sumberdaya alam tersebut memiliki karakteristik
tersendiri. Pada sumberdaya alam milik bersama, status kepemilikannya diambangkan, tiap orang bebas dan terbuka untuk memperoleh manfaat. Berbeda dengan sumberdaya alam milik bersama, maka sumberdaya milik pribadi merupakan sumberdaya yang secara tegas dimiliki oleh orang-perorangan dan orang lain tidak dapat menguasai dan mengaturnya. Sedangkan sumberdaya milik kelompok /komunitas, adalah sumberdaya yang dikuasai oleh suatu kelompok /komunitas, karenanya orang atau kelompok lain tidak dapat mengambil manfaat sumberdaya tersebut tanpa izin kelompok yang menguasainya. Pada sumberdaya milik negara merupakan sumberdaya yang secara tegas dikuasai dan dikontrol oleh negara.
6 Hak ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan dalam pasal ini sebenarnya didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, Air, dn Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
2
perkara pengujian Undang-Undang Minyak dan Gas, Undang-Undang
Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber Daya Alam Nomor 3/PUU-
VIII.2010. Dalam putusan tersebut Mahkamah menafsirkan “hak menguasai
negara/HMN” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian
bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan
(regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan
(beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) yang semuanya
ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.7
Sejauh ini, pemerintah telah mengimplementasikan konsep mengenai
“pengelolaan” tersebut ke dalam tataran praktis melalui pembentukan lembaga-
lembaga dan Badan Usaha Milik Negara yang ditugasi untuk mengurusi dan
mengelola elemen-elemen alam milik bumi Indonesia. Contohnya Perusahaan
Listrik Negara (PLN), Perusahaan Air Minum (PAM), Pertamina, Perusahaan Gas
Negara (PGN), BPH Migas, SKK Migas, dan lain sebagainya.
Tetapi, fakta di lapangan menunjukkan hal yang lain. Indonesia ternyata
tidak berdaulat penuh atas sumber daya energi yang dimilikinya. Pemerintah
hanya mendapatkan royalti dari kegiatan pertambangan yang dilakukan
perusahaan asing. Hal inilah yang kemudian menjadi kritik besar terhadap kinerja
pemerintah dalam bidang pertambangan karena perusahaan asing dapat
melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap hasil tambang namun royalti yang
diperoleh pemerintah, yang sepatutnya digunakan untuk melakukan peningkatan
kesejahteraan rakyat, sangat sedikit. Padahal, kerusakan sumberdaya alam yang
disebabkan eksploitasi yang berlebihan oleh perusahaan-perusahaan swasta, yang
berasal dari luar negeri tersebut, sangat mungkin menimbulkan terjadinya
deforestasi, degradasi dan kerusakan sumberdaya alam di Indonesia, sehingga,
dikhawatirkan akan terjadi tragedy of common.8 Pada kontrak karya dengan 7 Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa “Hak Menguasai Negara ini
memberi wewenang kepada negara untuk melakukan: (a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; (b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; (c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.”
8 Peter Hardin menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan situasi ketika ada sekelompok orang yang mengeksploitasi sumberdaya alam milik bersama untuk keuntungannya sendiri, dan eksploitasi tersebut mengakibatkan degradasi dari sumberdaya tersebut dan mengakibatkan
3
PT.Freeport, misalnya, pemerintah hanya memperoleh royalti sebesar 3%.
Persentase yang didapatkan pemerintah tersebut tidak seimbang dengan sumber
daya mineral yang dikeruk dan degradasi kualitas lingkungan yang disebabkan
oleh pertambangan.9
Ide mengenai nasionalisasi perusahaan-perusahaan multinasional tersebut
pun terus bermunculan. Hal ini dilatarbelakangi dari kesuksesan di negara-negara,
terutama di kawasan Amerika Latin yang sukses dengan nasionalisasi perusahaan
tambang di negaranya masing-masing. Salah satu contohnya adalah Bolivia yang
mendapatkan keuntungan sebesar 16 miliar USD setelah melakukan nasionalisasi
energi. Sebelum dilakukan nasionalisasi, Bolivia hanya menerima 2 miliar USD.
Pandangan negatif bahwa nasionalisasi akan menurunkan investasi di negara
tersebut bahkan terbantahkan. Pasca nasionalisasi, investasi sektor energi di
Bolivia bahkan meningkat tiga kali lipat, dari 1,86 miliar USD menjadi 5,24
miliar USD dalam kurun waktu 2006-2012. Pengalaman nasionalisasi yang
ternyata menguntungkan bagi negara dan mensejahterakan bagi rakyatnya juga
dilakukan oleh Argentina dan Venezuela.10
Berangkat dari keinginan untuk melakukan nasionalisasi11, dan didukung
fakta bahwa Indonesia memiliki masyarakat adat yang mampu untuk melakukan
kegiatan pengelolaan pertambangan, maka sebaiknya pengelolaan mengenai
sumberdaya alam yang ada di Indonesia diserahkan kepada setiap masyarakat adat
(hak ulayat).12 Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di
akibat yang serius bagi seluruh anggota kelompok masyarakat tersebut. Lihat Garrett Hardin, “The Tragedy of the Commons” in Science, Vol. 162, No. 3859 (December 13, 1968) dalam Hidayat, Op Cit, hal. 28
9 Victor Imanuel Williamson Nalle, Hak Menguasai Negara Atas Mineral dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 3, 2012, hal. 71
10 Partai Rakyat Pekerja, Nasionalisasi Aset Pertambangan untuk Kesejahteraan Rakyat!, dalam http://www.prp-indonesia.org/, dikases tangal 1 April 2014
11 Dalam hal ini, Penulis memprioritaskan pada sumber daya alam yang berupa Minyak dan Gas Bumi. Hal ini karena Minyak dan Gas Bumi (Migas) memiliki keunggulan daripada sumber daya alam lainnya. Yakni Sifat Cair yang dimilikinya, Kandungan kalor yang lebih tnggi, serta dapat menghasilakn berbagai macam bahan bakar yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Lihat EunhyceSkye, Keunggulan Minyak dan Gas Bumi Sebagai Sumber Energi, dalam rilgeofisika.blogspot.com, diakses tanggal 6 April 2014
12 Ketentuan mengenai hak ulayat ini diatur dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya, masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
4
Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati
alami. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih
memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal
ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem
setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan
sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus
secara turun temurun. Kearifan tradisional ini, misalnya, bisa dilihat pada
komunitas masyarakat adat yang hidup di ekosistem rawa bagian selatan Pulau
Kimaam di Kabupaten Merauke, Irian Jaya. Komunitas adat ini berhasil
mengembangkan 144 kultivar ubi, atau lebih tinggi dari yang ditemukan pada
suku Dani di Palimo, Lembah Baliem, yang hanya 74 varietas ubi.13
Selain itu, di berbagai komunitas adat di Kepulauan Maluku dan sebagian
besar di Irian Jaya bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi (tata
guna) dan pengelolaan terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas setempat,
lengkap dengan pranata (kelembagaan) adat yang menjamin sistem-sistem lokal
ini bekerja secara efektif. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja
yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini.
Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar
Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-
jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah
perladangan berotasi komunitas-komunitas adat “Orang Dayak” di Kalimantan
berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur.14
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan pengelolaan Minyak Bumi dan Gas Alam di
Indonesia?
2. Bagaimana Nasionalisasi Migas berbasis kearifan lokal yang dapat
diterapkan di Indonesia?
berlandaskan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.”
13 Abdon Nababan, Op Cit, hal. 214 Ibid
5
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan pengelolaan Minyak Bumi dan Gas
Alam Indonesia
2. Untuk mengetahui nasionalisasi migas berbasis kearifan lokal yang
dapat diterapkan di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian keilmuan
tentang hukum agraria pada umumnya, dan kajian mengenai pertambangan
pada khususnya. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan wacana lebih lanjut terhadap peneliti lain untuk
mengembangkan penelitian ini.
Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Penyusunan karya tulis ini mampu membekali dan memberi informasi
mengenai pertambangan di Indonesia.
b. Bagi Masyarakat Adat
Penelitian ini mampu membekali dan memberikan informasi
mengenai hal-hal yang harus dilakukan untuk melestarikan sumberdaya
alam.
c. Bagi Pemerintah
Penelitian ini mampu memberikan gambaran mengenai alternatif
pengelolaan kekayaan sumber daya alam Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
A. Hak Ulayat
1. Pengertian Hak Ulayat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian ulayat
adalah wilayah, hak ulayat berarti hak yang dimiliki suatu masyarakat
hukum adat untuk menguasai tanah beserta isinya di lingkungan
wilayahnya; hak pertuanan; hak purba.15 Sedangkan menurut Kamus
Umum Politik dan Hukum yang dimaksud Ulayat (Ulayah) adalah
Wilayah, daerah atau kawasan. Misalnya, tanah ulayat yaitu suatu kawasan
tanah yang ada di hutan dan telah diberi batas tetapi belum diusahakan
masyarakat. Tanah ini berkaitan dengan adat masyarakat yang telah ada
sejak turun temurun.16 Dan masih menurut kamus tersebut, Hak Ulayat
didefinisikan sebagai hak yang dimiliki suatu masyarakat hukum adat
untuk menguasai tanah beserta isinya di lingkungan wilayahnya, hak
pertuanan; hak purba.17
Pengertian Hak Ulayat juga dapat kita lihat dalam konstitusi kita yaitu
pada Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) yang berbunyi sebagai berikut :
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.Kemudian pasal di atas diperkuat lagi dengan Pasal 33 ayat (3)
UUDNRI 1945 yang berbunyi :
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Meski pasal di atas tidak menyebutkan secara spesifik tanah, namun
pada intinya kedua pasal tersebut menitik beratkan pada kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat serta menjamin hak-hak tradisionalnya yaitu berupa
hak ulayat. Ditambah lagi dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
15 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), http://kbbi.web.id/ulayat, diakses pada tanggal 5 April 2014
16 Telly Sumbu, dkk, Kamus Umum Politik & Hukum, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2010, hal. 18317 Ibid., hlm. 227
7
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan
bahwa :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.Kemudian lebih jelasnya diatur dalam Pasal 1 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat menyebutkan bahwa :
Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama
penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang
masa. Sebagaimana telah kita ketahui, wewenang dan kewajiban tersebut
ada yang termasuk bidang hukum perdata. Yaitu berhubungan dengan hak
bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum
publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan
memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemliharaannya.
Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh
seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak ada
tanah sebagai “res nullius”. Umumnya, batas wilayah Hak Ulayat
masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti.
Masyarakat hukum adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya,
yang mempunyai Hak Ulayat, bukan orang seorang. Untuk perangkaian
8
hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat hukum adat itu, UUPA
memakai nama Hak Ulayat. Sebenarnya, untuk hak itu Hukum Adat tidak
memberikan nama.
Nama yang ada menunjuk kepada tanah yang merupakan wilayah
lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Ulayat artinya wilayah.
Banyak daerah mempunyai nama untuk lingkungan wilayahnya itu.
Misalnya tanah wilayah sebagai kepunyaan (pertuanan-Ambon) sebagai
tempat yang memberi makan (panyampeto-Kalimantan), sebagai daerah
yang dibatasi (pewatasan-Kalimantan, wewengkon-Jawa, prabumian-Bali)
atau sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain (totabuan-Bolaang-
Mangondouw). Akhirnya dijumpai juga istilah-istilah torluk (Angkola),
limpo (Sulawesi Selatan), muru (Buru), payar (Bali), paer (Lombok) dan
ulayat (Minangkabau). Nama-nama tersebut diambil dari buku Ter Haar,
Beginselen en Stelsel Van het adatrecht. Dalam perpustakaan hukum adat
Hak Ulayat disebut dengan nama “beschikkingsrecht”. “Beschikkingrecht”
adalah nama yang diberikan van Vollenhoven untuk menyebut Hak
Ulayat. Sebagai sebutan, nama tidak bisa disalin dalam bahasa Indonesia.18
2. Subjek dan Objek Hak Ulayat
Di antara para ahli hukum tidak ada kesamaan pendapat tentang istilah
dan pengertian subyek hak ulayat yaitu :
Ter Haar memakai istilah “masyarakat hukum”, dan mengartikan
masyarakat hukum adalah, gerombolan-gerombolan yang bertalian satu
sama lain; terhadap alam yang tak kelihatan mata, terhadap dunia luar dan
terhadap alam kebendaan, maka mereka bertingkah laku sedemikian rupa,
sehingga untuk mendapat gambaran yang sejelas-jelasnya gerombolan tadi
dapat disebut masyarakat-masyarakat hukum (rechtgemeenchappen).
Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara memakai istilah
“masyarakat adat” yaitu : kelompok msyarakat yang mempunyai asal-usul
leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki
18 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah dan Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya) Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm. 285
9
sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, budaya, sosial dan wilayah
tersendiri.
Pengertian masyarakat hukum adat dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat yaitu :
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau pun atas dasar keturunan.”Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa, masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang hidup secara teratur, tunduk
pada hukumnya sendiri, mempunyai pemerintahan (kepala/ketua
masyarakat hukum adat dan pembantu-pembantunya, mempunyai harta
materiel dan immateriel.
Dan yang disebut objek hak ulayat adalah semua tanah seisinya yang
ada di wilayah keuasaan masyarakat hukum adat. Selain tanah seisinya
(kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah), objek hak ulayat juga
termasuk air (sungai, danau, dan laut di sekitar pantai), binatang liar yang
hidup di hutan dan pohon-pohon yang ada di hutan yang belum dipunyai
oleh perorangan.19
3. Kekuatan Berlaku Hak Ulayat
a. Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke Dalam
Dikatakan mempunyai kekuatan berlaku ke dalam terdiri atas:
a. Masyarakat hukum itu dalam arti anggota-anggotanya secara
bersama-sama dapat memungut hasil dari tanah dan dari
binatang-binatang dan tanaman-tanaman yang terdapat di situ
dengan tidak terpelihara;
b. Masyarakat hukum itu dapat membatasi kebebasan bergerak
anggota-anggotanya atas tanah untuk kepentingannya sendiri.
Hubungan hak pertuanan dengan hak perorangan bersifat
19 Muhammad Bakrie, Hak Menguasai Tanah oleh Negara (Paradigma Baru untuk Reforma Agraria), UB Press, Malang, 2011, hal. 80
10
menguncup-mengembang, bertimbal balik dengan tiada
hentinya. Artinya apabila hak perorangan menguat maka hak
pertuanan menjadi lemah. Begitu pula sebaliknya.
c. Anggota masyarakatnya dapat berburu dan mengambil hasil
hutan untuk dipakai sendiri dan memperoleh hak milik dari apa
yang diperolehnya;
d. Anggota masyarakat dapat mengambil pohon-pohon yang
tumbuh sendiri di hutan dengan menempelkan suatu tanda dan
melakukan pemujaan;
e. Anggota masyarakatnya berhak membuka tanh yaitu
menyelenggarakan hubungan sendiri terhadap sebidang tanah
dengan memberi tanda dan melakukan pemujaan (upacara adat);
f. Masyarakat hukum dapat menentukan tanah untuk kepentingan
bersama misalnya untuk makam, pengembalaan umum dan lain-
lain.20
b. Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke Luar
Mempunyai kekuatan ke luar terdiri atas :
a. Orang-orang luar hanya dapat mengambil hasil dari tanah
setelah mendapat izin untuk itu dari masyarakat setempat
dengan membayar uang pengakuan di muka dan uang pengganti
di belakang. Uang pengakuan dibayarkan pada permulaan
pemakaian tanah. Di samping itu, setelah panen membayar uang
pengganti yang besarnya sangat kecil yaitu 10%;
b. Orang luar tidak boleh mewaris, membeli, atau membeli gadai
tanah pertanian;
c. Masyarakat hukum setempat bertanggung jawab terhadap
kejahatan yang terjadi di wilayahnya yang tidak diketahui
pelakunya.21
4. Hak Menguasai Tanah oleh Negara Berasal dari Konsep Hak Ulayat
20 Muhammad Bakrie, Op.Cit hal. 8721 Muhammad Bakrie, loc.cit.
11
Konsep hak menguasai tanah oleh negara yang berlaku sekarang,
yaitu diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, berasal dari/merupakan
hasil perkembangan konsep hak ulayat masyarakat hukum adat. Oleh
karena itu, dalam membahas konsep hak menguasai tanah oleh negara,
negara tidak dapat mengabaikan konsep hak ulayat dan
perkembangannya pada masa yang akan datang.22 Dalam UUPA juga
dikenal adanya hak menguasai tanah oleh negara yang diatur dalam
Pasal 2 sebagaimana telah dijelaskan di atas. Pasal 2 ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa :
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.Apa yang dimaksud dengan “pada tingkat tertinggi” dikuasai oleh
negara, baik dalam pasal-pasal UUPA maupun dalam penjelasannya,
tidak ada penjelasan sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa, hak
menguasai tanah oleh negara adalah hak yang memberi wewenang
kepada negara untuk mengatur 3 hak seperti yang termaut dalam Pasal
2 ayat (2) UUPA (wewenang regulasi). Hak ulayat dari unsur/aspek
hukum publik juga memberi wewenang (tugas, kewajiban) kepada
masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin
penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaaan hak ulayat.
Jika kedua hak itu dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak
menguasai tanah oleh negara semacam hak ulayat yang diangkat pada
tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh wilayah Republik
Indonesia. Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik berlaku terbatas
hanya pada suatu wilayah masyarakat hukum adat tertentu (bersifat
lokal), sedang hak menguasai tanah oeh negara berlaku untuk semua
tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia (bersifat nasional).
Hal ini didukung oleh adanya beberapa persamaan antara konsep
hak ulayat dengan konsep hak menguasai tanah oleh negara, yaitu :
22 Ibid., hal 13
12
1. Baik hak ulayat maupun hak menguasai tanah oleh negara
merupakan “induk” dari hak-hak atas tanah lainnya. Di atas tanah
hak ulayat dapat muncul hak-hak perorangan hak atas tanah,
demikian pula dengan hak menguasai tanah oleh negara dapat
muncul hak-hak perorangan atas tanah.
2. Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam yang sama
dengan kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai
oleh negara atas tanah, yaitu :
a. Masyarakat hukum itu dalam arti anggota-anggotanya secara
bersama-sama dapat memungut hasil dari tanah dan binatang-
binatang serta tanaman-tanaman yang terdapat di situ dengan
tidak terpelihara;
b. Masyarakat hukum itu dapat membatasi kebebasan bergerak
anggota-anggotanya atas tanah untuk kepentingannya sendiri.
Hubungan antara hak ulayat dengan hak perorangan atas tanah
bersifat menguncup–mengembang, bertimbal balik dengan
tiada hentinya. Artinya apabila hak perorangan menguat maka
hak ulayat menjadi lemah. Dan begitu pula sebaliknya;
c. Anggota masyarakatnya dapat beburu dan mengambil hasil
hutan untuk dipakai sendiri dan memperoleh hak milik dari apa
yang diperolehnya;
d. Anggota masyarakat dapat mengambil pohon-pohon yang
tumbuh sendiri di hutan dengan menempelkan suatu tanda dan
melakukan pemujaan;
e. Anggota masyarakatnya berhak membuka tanah yaitu
menyelenggarakan hubungan sendiri terhadap sebidang tanah
dengan memberi tanda dan melakukan pemujaan (upacara
adat);
f. Masyarakat hukum adat dapat menentukan peruntukan tanah
untuk kepentingan bersama, misalnya untuk makam,
pengembalaan daln lain-lain.
13
Kekuatan-kekuatan berlaku ke dalam hak ulayat huruf a sampai
dengan e, sama dengan kewenangan negara yang bersumber pada hak
menguasai tanah oleh negara yaitu, kewenangan untuk mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai tanah.
Kewenangan masyarakat hukum huruf f, sama dengan kewenangan
negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara yaitu,
kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan
penggunaan, persediaan dan pemeliharan.
3. Tanah-tanah yang telah dibuka dan dipunyai dengan suatu hak oleh
suatu subjek hukum, jika diterlantarkan sehingga membelukar
kembali, menyebabkan hilangnya hak-hak atas tanah tersebut dan
tananhnya kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai secara penuh
oleh masyarakat hukum adat setempat. Hal ini sama dengan hak
menguasai tanah oleh negara yaitu jika sebidang tanah hak
diterlantarkan oleh pemegang haknya23, menyebabkan hilangnya hak-
hak atas tanah dan tanahnya menjadi tanah negara (tanah yang
dikuasai secara langsung oleh negara).
Di samping itu, ada pula perbedaan antara hak ulayat pada wilayah
tertentu yaitu:
1. Berlakunya hak ulayat terbatas pada wilayah tertentu yaitu, wilayah
suatu masyarakat hukum adat, jadi bersifat lokal. Berlakunya hak
menguasai tanah oleh negara untuk seluruh wilayah Indonesia, jadi
bersifat nasional.
2. Dengan makin menguatnya hak-hak perorangan atas tanah, dapat
menyebabkan hilangnya hak ulayat. Hak menguasai tanah oleh
negara bersifat abadi artinya, selama Bangsa Indonesia masih ada,
23 Lihat pasal-pasal dalam UUPA yaitu : Pasal 27 huruf a nomor 4 hapusnya hak milik), pasal 34 huruf e (hapusnya hak guna usaha) dan pasal 40 huruf e (hapusnya hak guna bangunan)
14
selama itu hak menguasai oleh negara atas tanah tidak akan
hilang.24
B. Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)
1. Pengertian Negara Kesejahteraan ( Welfare State )
Secara konstitusional pengertian tipe negara kesejahteraan (welfare
state) ditemukan dalam Undang-Undang Dasar. Pasal 1 UUDNRI
1945 memberikan landasan bagi konsep politik hukum (peraturan
Perundang-undangan) nasional di Indonesia yang hendak
diimplementasikan. Pasal 1 UUDNRI 1945 itu dirumuskan sebagai
berikut:
(1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
republik;
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar;
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUDNRI 1945 itu, maka konsep
politik hukum (peraturan Perundang-undangan) nasional kita paling
tidak dilandasi oleh 3 (tiga) prinsip yang fundamental sebagai berikut:
(1) Prinsip negara hukum (welfare state);
(2) Prinsip negara kesatuan (unitary state) dengan bentuk pemerintah
republik; dan
(3) Prinsip demokrasi (democracy).
Prinsip negara hukum yang dianut dalam konsep politik hukum
(peraturan Perundang-undangan) nasional kita adalah prinsip welfare
state. Prinsip ini dapat ditemukan dalam Pembukaan UUDNRI 1945
alenia keempat.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
24 Muhammad Bakrie, Op. Cit. hal. 21-24
15
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu.Prinsip welfare state dalam Pembukaan UUDNRI 1945 itu
mengisyaratkan agar dalam pembentukan politik perundang-undangan
nasional berorientasi pada tujuan untuk:
(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia;
(2) Memajukan kesejahteraan umum;
(3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
(4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.25
Menurut Kamus Umum Politik dan Hukum pengertian Welfare
State adalah negara yang mempunyai sistem sosial berdasar anggapan
bahwa badan politik mempunyai tanggung jawab sosial terhadap
setiap warga negaranya.26 Menurut pendapat para ahli, teori Welfare
State (Negara kesejahteraan) tujuan negara adalah bukan sekedar
memelihara ketertiban hukum saja tetapi juga secara aktif
mengupayakan kesejahteraan warga negaranya. Teori ini
dikemukakan oleh Kranenburg dan Utrecht.27
Piet Thoenes dalam bukunya “the elite in wefare state”,
mendefinisikan: “the welfare state is a form of society charachterized
by a system of democratic, government sponsored welfare placed on a
new footing and offering a guarantee of collective social care to
citizens, concurrently with the maintenance of a capitalist system of
production.”, yang dapat diterjemahkan bahwa “negara kesejahteraan
adalah suatu bentuk masyarakat yang ditandai oleh suatu sistem
25 Delfina Gusman, “Politik Hukum Dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nasional”, http://fhuk.unand.ac.id, http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama- hukum/menuartikeldosen-category/929-politik-hukum-dan-modifikasi-hukum-dalam pembentukan-peraturan-perundang-undangan-nasional-article.html, diakses pada tanggal 6 April 2014
26 Telly Sumbu, dkk, Op.Cit hlm. 84227 Dieks20, “Pengertian Fungsi dan Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia”Wordpress.com,
http://dieks2010.wordpress.com/2010/08/27/pengertian-fungsi-dan-tujuan-negara-kesatuan republik-indonesia/, diakses pada tanggal 6 April 2014
16
kesejahteraan yang demokratis dan pemerintah mensponsori
memberikan suatu jaminan perawatan sosial secara kolektif kepada
warganegaranya, atas landasan baru yang sejalan dengan sistem
produksi kapitalis.”28
1. Asas-asas Pokok Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Mustamin Daeng Matutu mengatakan bahwa asas-asas pokok
negara kesejahteraan (Welfare State) modern, berkaitan dengan
kepentingan kolektif dan individu sesuai dengan kodrat dan
kenyataannya, yakni :
1. Bahwa setiap manusia berhak atas kesejahteraan material
minimum seperti makanan, pakaian, dan perumahan yang layak;
2. Bahwa pemanfaatan sumber-sumber daya alam secara ilmiah,
meningkatkna taraf hidup masyarakat; dan
3. Bahwa negara mempunyai hak adan kewajiban untuk bertindak
bilamana inisiatif swasta/perseorangan gagal.
Dengan demikian dapat digambarkan bahwa “tipe negara
kesejahteraan” (welfare state), seperti di bawah ini. Suatu negara
mensponsori seluas-luasnya dalam usaha-usaha masyarakat untuk
mencapai kemakmuran dan ksejahteraan. Dalam kaitan itu, dikatakan
pula bahwa tipe negara welafre state, adalah negara dan alat-alat
perlengkapannya atau aparaturnya mengabdi kepada kepentingan,
kemakmuran dan kesejahteraan amsyarakat, termasuk memberikan
jaminan sosial, seperti pelayanan kesehatan, dan jaminan
pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar.
B. Nasionalisasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud
Nasionalisasi adalah proses, cara, perbuatan menjadikan sesuatu,
terutama milik asing menjadi milik bangsa atau negara, biasanya diikuti
28 I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara dan Kajian Kenegaraan), Setara Press, Malang, 2011, hal. 65
17
dengan penggantian yang merupakan kompensasi.29 Jika dilihat
pengertiannya menurut Kamus Umum Politik dan Hukum nasionalisasi
adalah proses pengambilalihan kepemilikan sesuatu (baik sektor
ekonomi, industri, keuangan) yang semula milik asing menjadi milik
bangsa atau negara, yang biasanya diikuti dengan penggantian sebagai
kompensasi (ganti rugi), ataupun juga tanpa ganti rugi. Proses
nasionalisasi ini sering terjadi ketika suatu bangsa memperoleh
kemerdekaan dan menjadi negara merdeka.30
Nasionalisasi juga diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing Pasal 21 Tentang Nasionalisasi Dan Kompensasi yaitu :
“Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/ pencabutan hak milik secara menyeluruh atasperusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian.”
Ketentuan Pasal 22 yaitu :
“(1) Jikalau diadakan tindakan seperti tersebut pada pasal 21 maka Pemerintah wajib memberikan kompensasi/ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan azas-azas hukum internasional yang berlaku.
(2) Jikalau antara kedua belah pihak tidak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam dan cara pembayarankompensasi tersebut maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak.”
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Artinya,
penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka. Penelitian hukum normatif mencakup:31
29 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), http://kbbi.web.id/nasionalisasi, diakses pada tanggal 5 April 2014
30 Telly Sumbu, dkk, Op.Cit hal. 53131 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat”, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2006, Hal. 14
18
1. Penelitian terhadap azas-azas hukum;
2. Penelitian terhadap sistematika hukum;
3. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum;
4. Penelitian sejarah hukum;
5. Penelitian perbandingan hukum.
B. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan perundang-undangan (statute-approach), yaitu dengan
menelaah peraturan perundang-undangan32 yang berkaitan dengan
Pertambangan di Indonesia.
2. Pendekatan konsep (conseptual approach), yaitu dengan menelaah dan
memahami konsep-konsep33 mengenai penerapan nasionalisasi
pertambangan di Indonesia.
C. Jenis dan Sumber bahan hukum
Penelitian hukum normatif mengacu pada penggunaan data sekunder.
Sedangkan bahan hukum yang digunakan peneliti bertumpu pada bahan hukum
primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer terdiri dari beberapa peraturan
perundang-undangan, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan;
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA);
5. Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1985 tentang Nasionalisasi Perusahaan-
Perusahaan Milik Belanda;
6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara;
32 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2007, Hal. 96.
33 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2007, Hal. 391.
19
8. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara;
9. Permeneg Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakay
Hukum Adat.
Sedangkan bahan hukum sekunder yang dibutuhkan oleh peneliti sebagai
bahan hukum pendukung dalam menguatkan bahan hukum primer, berupa
dokumen, buku-buku literatur, makalah, jurnal, risalah, dan artikel-artikel dari
media cetak maupun elektronik tentang pertambangan, kearifan lokal, dan hak
ulayat. Sedangkan bahan hukum tersier yang digunakan berupa kamus hukum,
kamus besar bahasa Indonesia, dan ensiklopedi.
D. Teknik Penelusuran Bahan Hukum
Peneliti menggunakan metode penelitian dengan pendekatan statute
approach, maka teknik pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan studi
kepustakaan (library research). Studi kepustakaan yakni mencari dan
mengumpulkan peraturan perundang-undangan mengenai pertambangan, kearifan
lokal, dan hak ulayat. Kemudian membaca, memetakan dan menyusun bahan-
bahan tersebut ke dalam suatu kerangka metodis yang padu. Selain itu,
pengumpulan bahan hukum juga dilakukan dengan membaca literatur, makalah,
jurnal, artikel dan essai yang berkaitan dengan politik hukum, konsep
nasionalisasi, dan sumber daya lain untuk menemukan data, informasi, dan
pengetahuan mengenai pertambangan, kearifan lokal, dan hak ulayat di Indonesia.
E. Teknik Analisis bahan hukum
Seluruh data yang berhasil dikumpulkan, selanjutnya diinventarisasi,
diklasifikasi, dan dianalisis dengan menggunakan yuridis kualitatif, dengan
langkah-langkah kategorisasi dan intepretasi. Analisa kualitatif tersebut dilakukan
melalui penalaran berdasarkan logika untuk dapat menarik kesimpulan yang logis,
sebelum disusun dalam bentuk sebuah karya ilmiah. Analisis data yang dilakukan
secara kualitatif untuk penarikan kesimpulan-kesimpulan tersebut, tidak hanya
bertujuan mengungkapkan kebenaran saja, tetapi juga bertujuan untuk memahami
20
gejala-gejala yang timbul dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum mengenai
pertambangan, kearifan lokal, dan hak ulayat.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengaturan tentang Pengelolaan Minyak Bumi dan Gas Alam di
Indonesia
UUD NRI 1945 merupakan norma hukum tertinggi (the supreme law of the
land) dalam sistem hierarki norma hukum di Indonesia.34 Dalam tataran normatif,
34 Hal tersebut termuat dalam Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Menurut Hamdan
21
supremasi konstitusi ini berarti bahwa konstitusi memiliki derajat yang paling
tinggi dibandingkan dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain.
Sedangkan dalam tataran praktis, posisi konstitusi sebagai hukum tertinggi
bermakna bahwa segenap elemen bangsa, baik penyelenggara negara maupun
warga negara dalam menunaikan tugasnya menyelenggarakan kehidupan
berbangsa dan bernegara, haruslah mengacu dan merujuk pada konstitusi.
Sehingga idealnya setiap elemen negara tersebut dapat berkomitmen kepada
konstitusi itu sendiri meskipun ia bukan perancang konstitusi. Komitmen inilah
yang akan menghasilkan budaya berkonstitusi, sehingga timbul prinsip
konstitusionalisme, dimana norma konstitusi digunakan dan menjadi rujukan
dalam setiap masalah kebijakan negara pada semua tingkatan.35
Namun, nampaknya pengelolaan terhadap Minyak Bumi dan Gas Alam,
yang notabene termasuk ke dalam cabang produksi yang bermanfaat bagi negara
dan hajat hidup orang banyak, belum sepenuhnya sejalan dengan konsep
konstitusi di atas. Pengelolaan Minyak Bumi dan Gas Alam (selanjutnya disebut
Migas) di Indonesia terdiri dari dua kegiatan utama. Yakni Kegiatan Usaha Hulu
dan Kegiatan Usaha Hilir. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (7) Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut
UU Migas), Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau
bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi.36 Sedangkan Kegiatan
Usaha Hilir, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (10) adalah kegiatan usaha yang
berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan,
Zoelva, frasa “kedaulatan berada di tangan rakyat” menunjukkan anutan negara terhadap prinsip demokrasi, sedangkan frasa “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” menunjukkan dianutnya prinsip negara hukum dan konstitusi di Indonesia. Dengan demikian, jelas bahwa konstitusi mengamanatkan agar negara harus dijalankan menurut asas demokrasi dan kedaulatan rakyat berdasarkan ketentuan atau norma konstitusi itu sendiri. Lihat Hamdan Zoelva, Orasi Ilmiah pada Wisuda Pascasarjana, Sarjana, dan Diploma, Universitas Islam As-Syafi’iyyah, Jakarta, 26 Maret 2014, hlm. 635 Hamdan Zoelva, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif UUD 1945, dalam Liber Amicorum 70 tahun Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H, UB Press, Malang, 2014, hlm. 1236 Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan; Sedangkan Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. Lihat Pasal 8-9 UU Migas.
22
Penyimpanan, dan/atau Niaga.37 Pengelolaan Migas di Indonesia dapat
digambarkan dalam Bagan berikut:
Bagan 1.Pengelolaan Usaha Migas di Indonesia
Menurut ketentuan dalam Pasal 11 UU Migas tersebut, setiap kegiatan
Hulu, harus didasarkan pada Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana
(dahulu BP Migas, yang sekarang kedudukannya, berdasarkan Putusan MK
Nomor 36/PUU/2012 digantikan oleh Pertamina). Kontrak Kerja Sama tersebut
wajib memuat ketentuan pokok, yakni:
a. Penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c. Kewajiban pengeluaran dana;
d. Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. Penyelesaian perselisihan;
g. Kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan
dalam negeri;
h. Berakhirnya kontrak;
i. Kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j. Keselamatan dan kesehatan kerja;
k. Pengelolaan lingkungan hidup;
37 Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan; Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi; Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi; Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa. Lihat Pasal 11-14 UU Migas.
23
Mendapatkan Izin Pertambangan
Eksplorasi Eksploitasi
Pengangkutan PengelolaanPenyimpanan
Niaga
l. Pengalihan hak dan kewajiban;
m. Pelaporan yang diperlukan;
n. Rencana pengembangan lapangan;
o. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat
adat;
q. Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Sedangkan untuk Kegiatan Usaha Hilir, berdasarkan ketentuan dalam Pasal
23 Ayat (1) UU Migas, harus berdasarkan pada Izin Usaha yang didapat dari
Pemerintah. Izin Usaha yang dimaksud adalah:
a. Izin Usaha Pengolahan;
b. Izin Usaha Pengangkutan;
c. Izin Usaha Penyimpanan;
d. Izin Usaha Niaga.
Namun, dari keseluruhan proses tersebut, pertambangan Migas masih
dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran
perusahaan migas asing di Indonesia sejak seabad lalu, yang membuat dominasi
mereka dalam industri ini begitu kuat. Menurut BP Migas (Badan Pengelola
Minyak dan Gas), sekitar 85,4 persen dari 137 Wilayah Kerja pertambangan
migas nasional saat ini dimiliki oleh perusahaan migas asing. Perusahaan nasional
hanya menguasai sekitar 14,6 persen Wilayah Kerja dan delapan persen di
antaranya dikuasai Pertamina. Lima kontraktor asing terbesar di Indonesia adalah
ExxonMobil, Chevron, Shell, Total dan BP (Beyond Petroleum) dimana mereka
menguasai cadangan minyak bumi 70 persen dan cadangan gas alam 80 persen
serta memiliki kapasitas produksi 68 persen minyak bumi dan 82 persen gas
alam.38
Keberadaan perusahaan-perusahaan asing dalam produksi minyak di
Indonesia memang sangat signifikan. Di bidang minyak, Chevron bahkan
memproduksi 51 persen dari seluruh total produksi minyak di Indonesia.
38 M Kholid Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2009, hal 51
24
Sedangkan untuk gas alam, perusahaan asal Perancis, Total E&P Indonesie
memproduksi 34 persen dari total produksi gas alam Indonesia.39 Berikut adalah
gambar persebaran perusahaan-perusahaan asing yang menguasai sektor Migas di
Indonesia:
Gambar 1.
Peta Kepemilikan Perusahaan Asing atas Wilayah Migas Indonesia40
Sebagai salah satu sumberdaya alam yang sangat menguntungkan,
Indonesia memang diberi anugerah dengan memiliki kekayaan alam berupa
Migas yang sangat melimpah. Cadangan minyak bumi Indonesia yang telah
terbukti adalah berjumlah 4,23 MMSTB (Million Stock Tank Barrel) dan
cadangan gas Indonesia yang telah terbukti ialah 108 TSCF (Trillion Standard
Cubic Feet).41 Apabila dilihat dalam lingkup global, cadangan minyak bumi
Indonesia terbukti menyumbang sekitar 0,4 persen dari seluruh cadangan
terbukti minyak bumi dunia dan cadangan terbukti gas alam Indonesia
menyumbang 1,6 persen dari seluruh cadangan terbukti gas alam dunia. Maka
tak heran, jika Migas menjadi komoditas ekspor terpenting Indonesia sejak tahun
39 Eka Astiti Kumalasari, Peranan Perusahaan Migas Asing Terhadap Ketersediaan Energi Indonesia, Faklutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Hasanudin, Skripsi, 2013, hal. 1140 BP Migas tahun 201241 Laporan Tahunan BP Migas tahun 2010
25
1970-an. Bahkan sebelum tahun 2006, Indonesia sempat menjadi pengekspor
LNG (Liquified Natural Gas) terbesar di dunia selama hampir tiga dekade.42
Namun, sebagaimana telah dijelaskan di atas, eksploitasi besar-besaran yang
dilakukan oleh perusahaan asing yang berada di Indonesia mengakibatkan
jumlah Migas di Indonesia terus menurun. Data Kementerian ESDM
menunjukkan, sejak tahun 2004 hingga 2012, jumlah Minyak bumi di Indonesia
terus mengalami penurunan. Dari tahun 2004 yang berjumlah 8,61 Milyar Barel,
menjadi hanya 7,40 Milyar Barel pada tahun 2012. Sedangkan Gas Bumi pada
tahun 2004 yang berjumlah 188,34 Milyar Barel, menjadi hanya 150,74 Milyar
Barel pada tahun 2012. Jumlah penurunan ini dapat digambarkan melalui tabel
berikut ini:
Tahun Terbukti Potensial Total2004 4,30 4,31 8,612005 4,19 4,44 8,632006 4,37 4,56 8,932007 3,99 4,41 8,402008 3,75 4,47 8,222009 4,30 3,70 8,002010 4,23 3,53 7,762011 4,04 3,69 7,732012 3,74 3,66 7,40
Tabel 1.
Tabel Cadangan Minyak Bumi Indonesia
Tahun Terbukti Potensial Total2004 97,81 90,53 188,342005 97,26 88,54 185,802006 94,00 93,10 187,102007 106,00 59,00 165,002008 112,50 57 60 170,102009 107,34 52,29 159,632010 108,40 48,74 157,142011 104,71 48,18 152,89
42 Hanan Nugroho, (2011), A Mosaic Of Indonesian Energy Policy, Bogor: PT Penerbit IPB Press, hal.14 dalam Eka Astiti Kumalasi, Op Cit, hal. 12
26
2012 103,35 47,35 150,70Tabel
Tabel 2.
Tabel Cadangan Gas Bumi di Indonesia
Melihat kondisi yang demikian, maka seharusnya Negara selaku penguasa
atas segala sumberdaya alam yang ada di Indonesia (Hak Menguasai oleh Negara)
segera melakukan perubahan kebijakan berkaitan dengan sektor Migas. Hal ini
karena, selain Migas merupakan sumberdaya alam yang menyangkut hajat hidup
orang banyak, dimana masih sangat banyak orang yang bergantung kepadanya,
termasuk sektor industri, transportasi, dan sektor energi listrik, serta sektor-sektor
yang lain, pengelolaan Migas juga merupakan salah satu isu sentral yang masih
terus menjadi bahan diskusi oleh berbagai lapisan dalam masyarakat.
Salah satu hal yang berpengaruh terhadap “ketidakberdayaan” pemerintah
dalam pengelolaan Migas adalah dengan banyaknya kelemahan pada UU Migas.
Sebagai hasil produk postivisme hukum di Indonesia, UU Migas secara yuridis-
formal dinilai hanya terbatas pada pengaturan yang tidak memiliki kekuatan
memaksa. Dengan kata lain, supremasi negara selaku penguasa dan penyelenggara
atas pengelolaan sumberdaya alam yang seharusnya memiliki daya paksa, tidak
terlihat dalam UU tersebut.43 Hal ini terlihat dari penempatan Pertamina yang
sejajar dengan investor lainnya, terutama dalam kegiatan usaha hulu Migas, yang
pada praktiknya Pertamina masih kalah jika dibandingkan dengan perusahaan
asing lainnya.44
Selain itu, menurut Rubi Ruabiandini, setidaknya terdapat 5 (lima) hal yang
menjadi kelemahan UU Migas, yakni:45
1. UU Migas tidak mampu memenuhi kecukupan permintaan gas bumi
dalam negeri;
2. UU Migas membuat PT Pertamina menjadi sangat tidak berdaya;
43 Rine Nine Furusine, Pembenahan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Rangka Pengembangan Industri Hulu Migas, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 444 Padahal, berdasarkan Undang-Undang Pertamina Nomor 8 tahun 1971, Pertamina diberikan kewenanan yang sangat besar terhadap kegiatan pengelolaan Migas, baik di sektor hulum maupun hilir.45 Harian Republika, Revisi Undang-Undang untuk Domestik, Selasa, 28 September 2010.
27
3. Terdapat biaya (Recorivable Cost) yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan yang berpotensi merugikan negara;
4. UU Migas membuat rakyat tidak bisa mengetahui data produksi dan
pengeluaran biaya karena tidak adanya transparansi;
5. Sejak berlakunya UU Migas tidak banyak kegiatan eksplorasi dan sangat
minim investor besar baru yang bersedia masuk menanamkan modal di
bidang Migas.
B. Nasionalisasi Migas Berbasis Kearifan Lokal yang dapat Diterapkan di
Indonesia
UUD NRI 1945 telah mengatur prinsip-prinsip perekonomian nasional dan
pengelolaan sumber daya alam dalam satu bab khusus, yakni pada bab XIV, yang
secara spesifik dijabarkan ke dalam Pasal 33. Berdasarkan ketentuan pasal 33
tersebut, prinsip pembangunan perekonomian nasional dan pengelolaan sumber
daya alam haruslah memiliki empat prinsip, yakni pertama, perekonomian
sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan, kedua, cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara, ketiga, bumi dan air dan seluruh kekayaan alam di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
keempat, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas asas demokrasi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Dalam hal pembatasan masalah, maka hanya prinsip
kedua dan ketiga yang akan dibahas pada pembahasan ini.
Prinsip kedua dan ketiga sebenarnya memberikan kewenangan yang seluas-
luasnya kepada negara untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga, berdasarkan
prinsip ini dapat diartikan sebagai, pada cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang jenis produksinya
belum ada atau baru akan diusahakan, negara mempunyai hak
diutamakan/didahulukan. Yaitu negara mengusahakan sendiri dan menguasai
28
cabang produksi tersebut, serta pada saat yang bersamaan melarang perseorangan
atau swasta untuk mengusahakan cabang produksi tersebut. Sedangkan pada
cabang produksi yang telah diusahakan oleh perseorangan atau swasta dan
ternyata produksinya penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak, atas kewenangan yang diberikan konstitusi ini, maka negara dapat
mengambil alih cabang produksi tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan
hukum yang adil.46
Selain itu, ketentuan ini juga dapat ditafsirkan bahwa seluruh kekayaan alam
yang berada di darat, laut, udara, dan/atau di dalam dan di atasnya yang bernilai
ekonomis dikuasai oleh negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat dan bukan orang perseorangan.47 Namun, bukan berarti dalam
hal ini penguasaan oleh negara tersebut menghilangkan hak-hak yang dimiliki
oleh orang perseorangan atau hak masyarakat adat yang telah ada sebelumnya dan
menolak dilakukannya divestasi maupun privatisasi kepemilikan sumber-sumber
kekayaan negara.
Makna dikuasai oleh negara ini, menurut Mahkamah Konstitusi harus selalu
dikaitkan dengan tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sehingga amanat
untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” dapat terwujud. Dalam hal ini, Mahkamah
menentukan empat tolok ukur telah terpenuhinya makna “sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat” atau belum, yakni:48
a. adanya kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
b. adanya tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
c. adanya tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber
daya alam; serta
d. adanya penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam
memanfaatkan sumber daya alam.
Namun, fakta besarnya penguasaan industri asing terhadap usaha Migas,
yang menjadikan Indonesia sebagai pasar adalah jantungnya kepentingan utama
46 Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/200347 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Kompas, Jakarta, 2010, hlm. 278-28248 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010
29
imperialisme di Indonesia sehingga membuat frasa “sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat” belum tercapai. Maka jalan keluar utama untuk
membendung dan melawan arus penjajahan asing, terutama di bidang Migas
adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan
dan migas pada tahap awalnya. Program-program semacam nasionalisasi,
pengambilalihan hingga pemberlakuan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti
pendapatan perusahaan-perusahaan asing merupakan program-program yang
sangat ditakuti oleh imperialisme. Bagaimanapun juga penguasaan sumber-
sumber pendapatan yang penting bagi negara adalah landasan bagi terwujudnya
program-program mendesak rakyat. Oleh karena itu dukungan mayoritas rakyat
sangat diperlukan.
Ada beberapa metode yang pernah digunakan di dunia untuk melakukan
nasionalisasi semacam ini. 49 Pertama, adalah dengan jalan merenegoisasi kontrak
kerja sama (Kontrak Karya dan Kontrak KPS). Langkah ini pernah ditempuh oleh
Bolivia. Disebutkan bahwa seluruh perusahaan energi asing memiliki waktu 180
hari untuk menyetujui kontrak baru dengan perusahaan milik pemerintah
Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB) semacam Pertaminanya
Bolivia. Selama masa transisi, YPFB akan memeperoleh pemasukan 82% dan
produsen (MNC-MNC) hanya 18%. Artinya, hanya perusahaan yang mau
menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di Bolivia. Langkah ini
dilakukan dengan mengajak seluruh rakyat. Perubahan dalam kontrak meliputi
aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih
teknologi, dan peningkatan pajak/royalti.
Kedua, adalah penghentian sepihak kontrak yang sudah ada dan kemudian
memberikan kompensasi. Jika kepentingan nasional mendesak dan merugikan,
Negara berhak melakukan secara sepihak pemutusan kontrak lalu memberikan
kompensasi seperlunya untuk masa kontrak yang belum dipenuhi. Seperti yang
pernah dilakukan oleh Perdana Menteri Iran Mossadegh yang menasionalisasi
perusahaan minyak Anglo-Iranian pada masanya berkuasa. Memang betul bahwa
tindakan penghentian kontrak karya di tengah jalan memungkinkan dibawanya
49 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 31
30
negara ke arbitrase internasional. Meskipun demikian, hak ini dibatasi hanya
untuk menentukan batas kompensasi yang wajar diakibatkan oleh “nasionalisasi”
atau pengambilalihan total dari hak kepemilikan perusahaan modal asing”. Pasal
ini dengan demikian hanya relevan pada kasus-kasus dimana terjadi
pengambilalihan investasi seluruhnya dan secara langsung oleh negara, misalnya
ketika pemerintahan mengambil alih operasi perusahaan modal asing dan
menjadikannya milik negara. Kalaupun harus menghadapi semacam pengadilan
internasional akibat pemutusan sepihak atau pelanggaran terhadap kontrak oleh
negara, pemerintahan dengan dukungan rakyat harus berani menanggungnya.
Mirip seperti yang diungkapkan oleh Menteri Urusan Minyak Venezuela Ramirez
soal kesiapannya menghadapi konfrontasi dengan maskapai-maskapai asing yang
mereka sita ladang minyaknya.
Ketiga, adalah dengan menasionalisasi secara langsung tanpa adanya
renegoisasi kontrak ataupun kompensasi. Situasi-situasi yang revolusioner dari
massa rakyat sangat menunjang untuk pelaksanaan metode ini. Upaya yang mirip
juga pernah terjadi di Indoensia pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno saat
suhu perpolitikan tanah air sedang panas di penghujung tahun 50-an. Himbauan
langsung dari Sukarno untuk menasionalisasi seluruh aset Belanda yang ada di
Indonesia disambut dengan meluasnya aksi-aksi rakyat buruh-tani yang
teroganisir di bawah PKI di banyak daerah. Tetapi sangat disayangkan aksi-aksi
rakyat tersebut begitu mudahnya dikooptasi oleh kelompok militer reaksioner.
Seluruh perusahaan yang telah berhasil dinasionalisasi kekuatan buruh-tani
diserahkan serta-merta kepada militer.
Setelah disajikannya contoh metode nasionalisasi di atas, menurut pendapat
penulis, Indonesia tidak menutup kemungkinan juga untuk mampu menjalankan
nasionalisasi. Yaitu nasionalisasi dengan berbasis kearifan lokal, yang artinya
dengan mengembalikan kegiatan produksi pertambangan kepada masyarakat adat,
yang sampai saat ini masih banyak dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia
dimana hak-haknya dijunjung tinggi dan diakui, sesuai dengan Pasal 18 B ayat (2)
UUD NRI 1945.
31
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pun, melalui
Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam mengamanatkan perlu adanya pembaharuan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang mendasarkan pada prinsip-prinsip
kesatuan bangsa, supremasi hukum, demokrasi, keadilan, menghargai hak-hak
hukum adat, keseimbangan hak dan kewajiban antar negara, pemerintah dengan
rakyat. Amanat tersebut secara mendasar dapat diartikan sebagai peninjauan
kembali seluruh kebijakan sumber daya alam yang selama ini terjadi baik dari segi
politik hukum, perturan perundang-undangan, maupun implementasinya agar
dapat disesuaikan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUDNRI
1945.50
Selama ini penguasaan dan pengelelolaan terhadap sumber daya alam yang
ada di Indonesia dikuasai sepenuhnya oleh negara. Penguasaan tersebut menurut
Mahkamah Konstitusi bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam
pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan,
melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, melakukan pengawasan, yang
semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.51
Namun, saat ini pelaksanaan hak menguasai oleh negara tersebut dianggap
masih terdapat kekurangan. Kekurangan itu adalah pemberian kewenangan yang
dinilai terlalu dominan dalam hal pengelolaan kegiatan pertambangan migas
terhadap perusahaan atau pihak asing. Padahal hukum positif Indonesia juga
mengenal adanya hak ulayat yang berarti bahwa kewenangan yang dimiliki oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam dalam
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sehingga
50 Minahayu Erwiningsih, Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara atas Tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum Edisi Khusus, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2009, Hal. 119
51 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU/VIII/2010
32
pelaksanaan hak menguasai oleh negara tersebut menjadi bertentangan dengan
hak ulayat.
Sebenarnya, berangkat dari itikad baik dan kesadaran penuh untuk
menghormati hak- hak masyarakat hukum adat terhadap tanah yang merupakan
lebensraum52-nya ini pun tidak juga selalu mudah untuk menelusurinya, untuk
kemudian secara positif menyatakan, hak ulayat itu benar masih ada. Salah satu
hasil amandemen UUDNRI 1945 adalah Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat
(3) yang terkait dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Lebih
lanjut Pasal 28 I ayat (3) : Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Dengan demikian ketentuan tersebut memerintahkan untuk mengatur hak
ulayat dalam bentuk undang-undang. Namun sampai saat ini, undang-undang
yang khusus mengatur lebih lanjut kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan
hak-hak tradisionalnya belum dibuat. Hal ini menyebakan pengaturan tanah hak
ulayat dalam hukum positif Indonesia yang diberikan oleh negara demi
tercapainya kepastian hukum penguasaan tanah hak ulayat oleh masyarakat
hukum adat menjadi tidak jelas. Pengaturan itu dimaksudkan sebagai komitmen
dan upaya dari negara untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang
selama ini terpinggirkan.53
Sebagai hasil produk postivisme hukum di Indonesia, Undang-Undang
Migas dinilai bertentangan dengan hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat.
Di dalamnya sudah disebutkan bahwa dalam pasal 10 UU No. 22 tahun 2001
mengenai kegiatan produksi hilir dan hulu yang diserahkan kepada badan usaha
tetap atau bentuk usaha tetap serta negara, menurut penulis selama berkaitan
dengan kegiatan produksi sebaiknya dilakukan dengan cara-cara masyarakat adat.
52 Lebensraum adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Jerman yang artinya tempat ruang hidup. Istilah yang kemudian digunakan oleh Adolf Hilter dalam mepraktekkan perluasan wilayah dengan melakukan ekspansi, aneksasi, ataupun perang untuk kepentingan lebensraum negaranya. Tujuan utamanya agar mereka mendapat wilayah tambahan sumber makanan bagi rakyatnya dan juga untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara tersebut. Lihat Kamus Umum Politik & Hukum, Op Cit, hal. 436
53 Rosmidah, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hambatan Implementasinya, Inovatif (Jurnal Ilmu Hukum), Volume 2, Nomor 4, 2010, hal. 93 dalam http://online-journal.unja.ac.id diakses pada tanggal 8 April 2014
33
Dengan demikian, seluruh rakyat Indonesia dapat menghormati hak-hak
tradisionalnya yaitu yang kemudian disebut hak ulayat.
Hal ini bukan menjadi hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan.
Masyarakat adat sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan
mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-
ekologis alam untuk kebutuhan seluruh makhluk. Dengan pranata sosial yang
bersahabat dengan alam, masyarakat adat memiliki kemampuan yang memadai
untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kondisi akibat pertambangan.
Contoh pengelolaan pertambangan oleh masyarakat adat dapat dilihat di Merindu,
Desa Konut, Kabupaten Murung Raya. Pertambangan emas yang dikelola oleh
perusahaan asing membuat masyarakat lokal kehilangan kewenangan mengelola
sumber daya alam karena mengacu pada peraturan formal negara. Masyarakat
lokal yang menggantungkan hidupnya pada usaha pertambangan emas kehilangan
mata pencaharian karena tidak memiliki surat izin pengelolaan. Padahal menurut
sejarah, sebelum eksistensi negara menjadi lembaga yang superior, masyarakat
lokal sudah lebih dahulu menambang emas dengan menggunakan kearifan lokal
yang ada.54
Sehingga, setelah ditempuhnya nasionalisasi terhadap perusahaan asing,
dengan menggunakan metode apapun, maka segala kegiatan produksi yang
sebelumnya oleh pemerintah (Hak Menguasai oleh Negara) kewenangannya
diberikan kepada perusahaan asing, diharapkan untuk kegiatan produksi
selanjutnya dijalankan oleh pemerintah dengan masyarakat adat dengan
menggunakan hak ulayat yang dimilikinya itu.
Pelaksanaan nasionalisasi ini sebenanrnya bukanlah hal yang baru.
Masyarakat adat sudah berulang kali menyuarakan agar hak-hak yang dimiliki
oleh masyarakat adat itu tetap dilindungi dan kearifan lokal yang dimilikinya tetap
dilestarikan oleh negara. Bahkan dalam Kongres Pertama Masyarakat Adat
Nusantara (KMAN) pada tahun 1999 seluruh peserta menyatakan : Kami tidak
54 Anyualatha Haridison, Perjuangan Masyarakat Lokal dan Usaha Memberdayakan Diri (Studi Kasus Pertambangan Emas Rakyat di Merindu, Desa Konut, Kabupaten Murung Raya) , Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Volume XXII, Nomor 1, Program Pascasarjana UKSW, Salatiga, 2013, hal. 42
34
mengakui negara kalau negara tidak mengakui kami. Dalam kongres tersebut
juga dinyatakan bahwa salah satu di antara cita-cita masyarakat adat nusantara
adalah tegaknya otonomi asli masyarakat adat untuk memelihara, mengelola, dan
memanfaatkan tanah, wilayah adat, dan beserta seluruh sumber daya alamnya.
Melalui putusannya Nomor 36/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi
menilai ada tiga tingkatan penguasaan sumber daya alam oleh negara.
Penguasaan tingkat pertama adalah penguasaan dalam bentuk pengelolaan oleh
negara secara langsung atau melalui badan usaha milik negara yang dibentuk oleh
negara. Menurut MK, bentuk penguasaan peringkat pertama inilah yang harus
dilakukan oleh negara sepanjang negara telah memiliki kemampuan modal,
manajemen, dan teknologi untuk melakukan pengelolaan atas dumber daya alam
tersebut. Penguasaan tingkat pertama ini menurut MK akan membawa efek
keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Penguasaan
tingkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, sedangkan
penguasaan tingkat ketiga adalah negara melakukan fungsi pengaturan dan
pengawasan terhadap sumber daya alam tersebut. Namun, penguasaan negara
pada tingkat kedua dan ketiga ini hanya dapat dimungkinkan apabila negara
belum memiliki kemampuan modal, manajemen, maupun teknologi untuk
melakukan pengelolaan sumber daya alam secara langsung. Jika negara telah
memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya alam secara langsung, namun
“hanya” melakukan penguasaan tingkat kedua dan ketiga, maka penguasaan
tersebut adalah inkonstitusional.
Berdasarkan pengertian ini, maka dengan kemampuan teknologi yang
dimiliki oleh masyarakat adat, didukung dengan kemampuan manajemen dan
modal oleh negara, maka penguasaan Migas yang dilakukan oleh negara dengan
“hanya” melakukan penguasaan tingkat kedua dan ketiga, sedangkan
pengelolaannya dilakukan dan diserahkan kepada pihak asing adalah
inkonstitusional. Apalagi didukung dengan fakta bahwa pengelolaan tersebut
tidak memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,
maka seharusnya harus segera dilakukan nasionalisasi terhadap perusahaan Migas
35
asing tersebut. Berikut ini adalah bagan nasionalisasi perusahaan Migas berbasis
kearifan lokal yang dapat diterapkan di Indonesia :
Bagan 2.
Nasionalisasi Migas Berbasis Kearifan Lokal
36
NEGARA MELAKUKAN NASIONALISASI
Cara Pertama
Cara Kedua
Cara KetigaPENGELOLAAN DILAKUKAN OLEH NEGARA MELALUI
BADAN USAHA MILIK NEGARA
PENGELOLAAN DILAKUKAN DENGAN BUDAYA DAN TEKNOLOGI MASYARAKAT
ADAT
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pertambangan minyak bumi dan gas alam baik itu kegiatan hulu maupun hilir
seluruhnya dikuasai oleh negara. Maksud dikuasai dalam hal ini adalah negara
merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan
pengelolaan, melakukan pengawasan, yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
2. Pertambangan Migas yang masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, membuat
Indonesia harus segera melakukan Nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan
tersebut. Langkah Nasionalisasi yang dapat ditempuh dapat mengikuti cara yang
pernah dilakukan oleh Negara-negara lain. Namun, setelah melakukan Nasionalisasi,
sebaiknya pengelolaan Migas tersebut dilakukan bersama-sama oleh Negara (dengan
dasar Hak Menguasai oleh Negara) dengan Masyarakat Adat (dengan dasar
pelaksanaan hak ulayat).
B. Saran
1. Pengelolaan Migas seharusnya tidak diberikan oleh negara terhadap perusahaan-
perusahaan asing. Hal ini karena secara tidak langsung pemerintah memberikan
eksploitasi secara berlebihan terhadap sumber daya alam Indonesia.
2. Sebaiknya pemerintah segera melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan
asing pengelola Migas. Setelah dilakukan nasionalisasi maka pengelolaan Migas di
Indonesia dapat diberikan kembali kepada masyarakat adat Indonesia.
37
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adrian Sutedi. 2011, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika : Jakarta
Bagir Manan. 2012. Membedah UUD 1945, UB Press : Malang
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah dan Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya) Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan :
Jakarta
Hamdan Zoelva. 2014. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif UUD 1945, dalam Liber
Amicorum 70 tahun Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H, UB Press : Malang
Hanan Nugroho. 2011. A Mosaic Of Indonesian Energy Policy, PT Penerbit IPB Press : Bogor
I Dewa Gede Atmadja, 2011. Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara dan Kajian Kenegaraan),
Setara Press : Malang
Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi Ekonomi, Kompas : Jakarta
Johnny Ibrahim. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia : Malang
Muhammad Bakrie. 2011. Hak Menguasai Tanah oleh Negara (Paradigma Baru untuk Reforma
Agraria), UB Press : Malang
M. Kholid Syeirazi. 2009. Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas Indonesia,
Pustaka LP3ES Indonesia : Jakarta
Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum, Kencana : Jakarta
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. “Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat”, PT. Raja Grafindo : Jakarta
Telly Sumbu, dkk. 2010. Kamus Umum Politik & Hukum, Jala Permata Aksara : Jakarta
JURNAL
Anyualatha Haridison, Perjuangan Masyarakat Lokal dan Usaha Memberdayakan Diri (Studi
Kasus Pertambangan Emas Rakyat di Merindu, Desa Konut, Kabupaten Murung Raya),
Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Volume XXII, Nomor 1, Program Pascasarjana
UKSW, Salatiga, 2013
Hidayat, Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal, Jurnal Sejarah CITRA
LEKHA, Vol. XV, No. 1 Februari, 2011
Minahayu Erwiningsih, Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara atas Tanah Menurut
UUD 1945, Jurnal Hukum Edisi Khusus, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 2009 Victor Imanuel Williamson Nalle, Hak Menguasai Negara Atas Mineral
dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba, Jurnal Konstitusi, Volume 9,
Nomor 3, 2012
MAKALAH
Abdon Nababan, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan
Peluang, Makalah untuk disajikan dalam “Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah”, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, IPB. 5 Juli 2002
Eka Astiti Kumalasari, Peranan Perusahaan Migas Asing Terhadap Ketersediaan Energi
Indonesia, Faklutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Hubungan Internasional,
Universitas Hasanudin, Skripsi, 2013
INTERNET
Partai Rakyat Pekerja, Nasionalisasi Aset Pertambangan untuk Kesejahteraan Rakyat!, http://www.prp-indonesia.org/, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014
EunhyceSkye, Keunggulan Minyak dan Gas Bumi Sebagai Sumber Energi,rilgeofisika.blogspot.com, diakses pada tanggal 6 Oktober 2014
http://kbbi.web.id/ulayat, diakses pada tanggal 5 Oktober 2014
Delfina Gusman, Politik Hukum Dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nasional, http://fhuk.unand.ac.id, http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/929 politik-hukum-dan-modifikasi-hukum-dalam pembentukan-peraturan-perundang- undangan-nasional-article.html, diakses pada tanggal 6 Oktober 2014 Dieks20, “Pengertian Fungsi dan Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia” Wordpress.com, http://dieks2010.wordpress.com/2010/08/27/pengertian-fungsi-dan-tujuan negara-kesatuan republik-indonesia/, diakses pada tanggal 6 Oktober 2014
Rosmidah, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hambatan Implementasinya [Online], Inovatif (Jurnal Ilmu Hukum) , Volume 2, Nomor 4, 2010, hal. 93 dalam http://online-journal.unja.ac.id diakses pada tanggal 8 November 2014
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
PUTUSAN HAKIM
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU/VIII/2010