nahdlatul ulama dan problematika relasi agama-negara di
TRANSCRIPT
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi
Agama-Negara di Awal Kemerdekaan RI
Muhamad Hisyam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta
The Sixth Congress of Nahdlatul Ulama (NU) 1936 in Banjarmasin
decided that the region of Dutch East Indies is dar ul Islam. This decision
according to Abdurahman Wahid is the ideological basis for NU in terms of
religion-state relations. This article explores the extent to which ideology is
implemented in NU fighting after Indonesia's independence until 1955. The
NU fighting in the context of religion-state relations showed a genuin form.
Three of the most important theme in this period that take NU attention were
theme about the homeland, the basis of the state and the of authority
president. all theme that seems to NU always bases itself on religious views.
Religiousity is always used to measure, assess and participation to the state
Keywords: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri
Dhoruri bis-Saukah.
Kongres Nahdlatul Ulama (NU) yang ke XI tahun 1936 di
Banjarmasin memutuskan bahwa negera Hindia Belanda adalah darul Islam.
Keputusan ini menurut KH. Abdurrahman Wahid merupakan landasan
ideologis gerak NU selanjutnya dalam kaitan hubungan agama-negara.
Artikel ini menelusuri sejauh mana ideologi ini terimplementasi dalam gerak
juang NU setelah Indonesia merdeka hingga 1955. Gerak juang NU dalam
konteks hubungan agama-negara memperlihatkan watak genuisitasnya pada
periode ini. Tiga momentum yang paling penting dalam periode ini adalah
pendirian NU tentang tanah air, tentang dasar negara dan tentang otoritas
presiden. Dalam ketiga tema itu tampaknya NU selalu mendasarkan diri pada
pandangan agama. Agama senantiasa dipakai untuk mengukur dan menilai
kekuasaan dan negara dan partisipasi atasnya.
Kata kunci: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri
Dhoruri bis-Saukah.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
150
Pendahuluan
Ketika kedudukan Presiden RI ke 4, Abdurrahman Wahid
diguncang lawan-lawan politiknya, baik di DPR maupun di luar
parlemen, sebagian ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan
fatwa bug±t terhadap para penentang presiden. Bug±t adalah konsep
fiqh politik, menggambarkan orang atau golongan yang menentang
kepala negara yang syah dan atas mereka wajib diperangi. Bahwa
kaum NU (Nahdliyyin) mendukung Presiden Abdurrahman Wahid
tidaklah mengherankan, karena presiden ini bukan saja pemimpin
NU, malahan termasuk dalam katergori ber-“darah biru” dalam arti
ia keturunan langsung (cucu) pendiri organisasi Islam terbesar ini,
K.H. Hasyim Asy’ari. Yang menimbulkan pertanyaan, mengapa
dalam negara Pancasila --terhadap mana NU sendiri masuk di
jajaran penyokong paling depan ketika dasar negara ini harus
dijadikan asas bagi semua organisasi masyarakat-- konsep bughot
yang datangnya dari fiqh ini dipakai untuk menghadapi para
penentangnya. Dari fatwa bug±t ini lahir pula “Pasukan Berani
Mati” untuk “memerangi” mereka yang menentang presiden.
Fatwa bug±t t ini bukan satu-satunya fenomena, di mana agama
dipakai untuk “menghukumi” politik negara. Dalam perjalanan
sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia dapat ditemukan
banyak fakta tentang ini. Sekali lagi, hal ini juga tidak
mengherankan. Secara garis besar barang kali dapat dikemukakan
bahwa campur tangan agama (Islam) dalam perkara pengaturan
negara merupakan konsekuensi logis dari prinsip-prinsip agama ini
tentang im±mah.1 Agama Islam sering dikatakan, baik oleh ulama
Islam sendiri maupun orientalis sebagai sistem yang komprehensif,
meliputi pengaturan kehidupan sosial, politik, dunia dan akhirat.
Karena itu Islam disebut d³n wa daulah, agama dan negara.
Konsep im±mah secara harfiah bermakna “kepemimpinan”,
tetapi dalam ilmu-ilmu Islam, baik fiqh, kalam maupun tasawwuf
1 Campur tangan agama dengan negara sebenarnya bukan monopoli Islam.
Semua agama sebenarnya mempunyai prinsip ajaran yang berkaitan dengan
pengaturan masyarakat keduniaan. Dalam kenyataan sejarah, hampir semua
agama-agama dunia menjadi besar karena berhutang budi pada negara.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
151
im±mah diartikan lebih luas, yakni pengaturan kekuasaan politik
yang dengannya otomatis menjadi bersinggungan dengan soal
pemerintahan dan negara. Dalam suatu definisi singkat tetapi
komprehensif, Imam Al-Mawardi menyebut bahwa im±mah adalah
penerus fungsi kenabian, yaitu menghidupkan agama dan mengatur
politik dunia.2 Dari ini berkembang suatu logika yang mengatakan
bahwa tujuan syari’ah Islam adalah tercapainya ketertiban agama,
dan untuk mencapai ini disyaratkan adanya ketertiban dunia. Oleh
karena itu, dapat difahami jika ada “adagium” yang menyatakan
bahwa membangun im±mah adalah sebuah keniscayaan.
Prinsip-prinsip seperti ini tampaknya telah berjalan sejak
terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara hingga
berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda yang kafir. Bahkan
dalam kekuasaan kolonial, di wilayah-wilayah yang otonom di
bawah kekuasaan kesultanan, seperti Yogyakarta dan Surakarta,
masih dapat dikatakan bahwa penegakan sistem im±mah tetap
berjalan.
Apakah di bawah kekuasaan orang kafir tidak lagi terdapat
ruang untuk menegakkan im±mah ? Mungkin benar bahwa im±mah
telah lenyap, karena yang berkuasa adalah orang kafir, tetapi di
sana terdapat pula elemen syari’ah yang pelaksanaannya
mensyaratkan adanya pengakuan negara atasnya, sehingga selama
masyarakat Islam masih ada, maka hubungan antara agama dan
negara tidak dapat dilenyapkan. Yang dimaksud dengan ini adalah
elemen syari’ah dalam soal penegakan hukum sipil. Syari’ah yang
terkait dengan kehidupan individual seperti shalat, puasa, dzikir dan
sebagainya dapat dijalankan tanpa campur tangan negara, tetapi
dalam soal hukum perkawinan dan peradilan sipil (qa«±)
diperlukan tauliyah (pendelegasian wewenang) resmi dari kepala
pemerintahan negara.3 Dalam masyarakat Muslim, qa«± adalah
2 Al-Mawardi, Al-A¥k±m as-Sul¯±niyah, Beirut, h. 4.
3 Di tahun 1919 Sarekat Islam menentang kedudukan penghulu sebagai qadi
karena diangkat oleh Belanda.Mereka membuat pengadilan agama sendiri yang
mereka sebut Raad Ulama, tetapi akhirnya batal, karena tersandung soal tauliyah,
dengan mana kedudukan seorang qadi syah adanya apa bila diberi wewenang
secara syah pula oleh pemerintah yang nyata-nyata berkuasa. Lihat Muhamad
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
152
sebuah kewajiban yang tak dapat diabaikan. Di masa kolonial
memang timbul persoalan keabsahan tauliyah karena penguasa
negara bukan Muslim, tetapi wacana fikih sendiri memungkinkan
sahnya tauliyah oleh penguasa bukan Muslim.4 Di hampir semua
negara Muslim (mayoritas penduduknya beragama Islam) yang
menjadi koloni bangsa-bangsa Eropa, lembaga qa«± merupakan
pertahanan terakhir eksistensi Islam. Menghapuskan institusi ini
dapat mengakibatkan perlawanan fisik (perang), seperti yang
pernah terjadi di Nigeria, antara orang Islam melawan penguasa
jajahan Inggris.
Dalam sejarah Indonesia, usaha untuk menegakkan im±mah di
zaman penjajahan Belanda tidak pernah berhenti. Perang-perang
besar seperti perang Paderi, perang Aceh dan perang Dipnegoro
tidak dapat dipisahkan dari upaya mengembalikan im±mah yang
hilang karena penjajahan. Ketika perlawanan berubah pendekatan
yang dimulai pada awal abad 20, usaha-usaha inipun disampaikan
melalui saluran-saluran modern, seperti mosi kongres. Kongres
Central Sarekat Islam (CSI) pertama di Bandung tahun 1916 dan
kongres CSI kedua di Jakarta tahun 19175 telah mengeluarkan mosi
kepada pemerintah agar ummat Islam boleh mengatur urusannya
sendiri, terutama di bidang qa«±, menunjukkan bahwa perkara ini
mempunyai nilai sentral dalam upaya menegakkan im±mah di masa
Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under the Dutch
Colonial Administration 1882-1942, Seri INIS, No.37, Jakarta-Leiden, 2001, h.
158-160. 4 Sayyid Othman, seorang penasehat honorer pemerintah kolonial
memandang perlu menulis edisi kedua kitab karangannya berjudul Al-Qaw±n³n
al-Syariyyah li Ahli al-Maj±lis al-¦ukmiyyah, untuk menegaskan bahwa
tautliyah penguasa yang kafir itu syah adanya. Edisi pertama terbit tahun 1881,
sebelum lembaga qadla pribumi yang disebut pengulon di jadikan bagian dari
administrasi kolonial, di mana tauliyah diberikan oleh sultan. Tahun 1882,
pengulon dijadikan bagian dari administrasi kolonial, dan timbul masalah
tauliyah oleh penguasa kafir, karena pengangkatan penghulu setelah ini
berpindah dari tangah sultan ke tangan residen. Edisi kedua Al-Qaw±n³n terbit di
tahun 1312 H. atau 1894 M, dua belas tahun setelah inkorporasi lembaga
pengulon ke dalam administrasi kolonial. 5 Lihat Verslag CSI Congres, laporan tentang kongres CSI 1916 dan 1917,
dokumen Kntoor voor Inlandsche Zaken.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
153
kekuasaan Belanda yang kafir. Demikian pula partisipasi
Muhammadiyah dalam “Komisi Perbaikan Raad Agama” di tahun
1922, dan keterlibatan Nahdlatul Ulama dalam sidang Kantoor voor
Inlandsche Zaken di tahun 1929 dalam upaya penataan hukum
dalam urusan sipil orang pribumi. Pemerintah Hindia Belanda
menginginkan agar tertib sipil (burgerlijke stand) orang Islam tidak
lagi ditangani oleh penghulu (Raad Agama), melainkan oleh kantor
catatan sipil, berdasarkan ordonansi perkawinan sekuler yang
mereka susun sendiri. Reaksi-reaksi yang keras dari seluruh
organisasi Islam terhadap pemindahan wewenang pengadilan
perkara waris ummat Islam dari kantor penghulu ke pengadilan
landraad di tahun 1937 juga merupakan bagian dari concern Islam
terhadap politik im±mah.
Di antara tiga organisasi besar Islam masa penjajahan,
Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum “tradisionalis”, memang
yang terakhir berdiri, tetapi tidak berarti kesadaran menegakkan
im±mah di kalangan ulama tradisional baru tumbuh sekitar tahun
1926 ketika NU didirikan. Para pendiri NU adalah orang-orang
yang belajar di Makkah pada tahun-tahun sebelumnya. Di kota suci
Makkah mereka adalah aktivis Sarekat Islam, satu-satunya cabang
organisasi ini di luar negeri. Para pendiri NU seperti Kyai Abdul
Wahab Hasbullah, Kyai Ahmad Dahlan (Surabaya), dan Kyai
Asnawi (Kudus) sekembali ke Jawa adalah pendiri dan aktivis
Islam studyclub Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan di Surabaya.
Reaksi-reaksi NU menentang rencana-rencana pemerintah kolonial
yang merugikan Islam, seperti ordonansi perkawinan tercatat,
pemindahan pengadilan perkara waris ummat Islam dari Raad
Agama ke Landraad dan penolakan NU masuk volksraad6
membuktikan bahwa ada kesadaran (cita) tentang masa depan
negeri yang merdeka, di mana im±mah dapat ditegakkan.
Tetapi bentuk im±mah seperti apa yang dicita-citakan NU,
sementara Kongres NU ke XI di Banjarmasin, tahun 1936
memutuskan bahwa tanah Hindia Belanda yang tengah berada di
bawah kekuasaan Belanda yang non Muslim harus dianggap
6 Keputusan Kongres NU ke XIII di Menes, 1938.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
154
sebagai d±r al-Isl±m,7 negeri yang wajib dibela jika ada serangan
dari luar terhadapnya. Keputusan seperti ini memang kelihatan
unik, tetapi bagaimana logika para Kyai NU bisa sampai pada
kesimpulan seperti itu tidaklah mengherankan, sebab referensi
“kitab kuning” mereka sangat kaya pilihan. Di zaman Pendudukan
Jepang, NU bersama organisasi Islam lainnya bergabung dalam
Masyumi, bahkan memimpinnya, sebuah organisasi yang dibentuk
oleh pemerintah pendudukan bala tentara Jepang.
Keputusan Kongres NU di Banjarmasin tahun 1936, yang
menganggap bahwa negeri jajahan Hindia Belanda bersatatus d±r
al-Isl±m, menurut Abdurrahman Wahid merupakan landasan
ideologis gerak NU selanjutnya dalam konteks hubungan antara
agama dan negara. Makalah ini akan menelusuri, sejauh mana
ideologi ini terimplementasi dalam gerak juang NU setelah
Indonesia merdeka hingga 1955. Kita batasi hingga masa tersebut
mengingat masa inilah perjuangan menegakkan im±mah
memperlihatkan watak genuisitasnya. Setelah itu, tampaknya lebih
banyak “dipermainkan” oleh kelompok lain, yang sering disebut
sebagai kelompok nasionalis.
Data dan Pembahasan
Tanah Air Dalam Persepsi NU
Sejak masa penjajahan, NU telah menganggap bahwa negeri
tempat mereka hidup adalah sebuah d±r al-Isl±m atau negeri Islam,
meskipun dalam kenyataannya berada di bawah kekuasaan politik
kolonial Belanda. Telah disinggung di atas, salah satu keputusan
muktamar NU ke XI di Banjarmasin tahun 1936 yang menyangkut
kedudukan tanah air Hindia Belanda saat itu. Ada pertanyaan yang
harus dijawab oleh muktamar, apakah negeri yang tengah dijajah
oleh Belanda yang bukan muslim ini perlu dibela apa bila terjadi
serangan dari luar terhadapnya. Terhadap pertanyaan itu muktamar
memutuskan bahwa tanah Hindia Belanda adalah sebuah d±r al-
7 Lihat pengantar Abdurrahman Wahid dalam buku Einar M. Sitompul,
Nahdlatul Ulama dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, h. 10.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
155
Isl±m, sebuah konsep fikih yang menyipati status suatu negeri.
Pengertian d±r al-Isl±m dalam konteks Hindia Belanda, bahwa
negeri ini mayoritas penduduknya beragama Islam, dan dahulunya
dikuasai oleh kesultanan Islam, meskipun ketika itu berada dalam
kekuasaan orang Belanda yang kafir, tetapi orang Islam tidak
mengalami kesulitan menjalankan syari’at agamanya, negeri yang
dalam keadaan damai, dan orang Islam tidak diperangi. Karena itu,
negeri ini wajib dibela dari serangan luar. Muktamar mengambil
dasar argumentasi dari kitab Bugyat al-Musytarsyid³n karangan
Syeikh Hasan Al-Hadlrami. Dalam pembahasan bab mengenai
keamanan, perdamaian dan jizyah di halaman 254 disinggung
keadaan ummat Islam di Jawa, di mana disebutkan bahwa pada
umumnya tanah Jawa adalah d±r al-Isl±m.8
Menurut konsep fikih Syafi’iyah yang menjadi anutan ummat
Islam Hindia Belanda, kedudukan negara dapat digolongkan
menjadi tiga jenis, yaitu d±r al-Isl±m, d±r a¡-¡ul¥ dan d±r al-¥arb.
D±r a¡-¡ul¥ adalah negara damai, dimana syari’at Islam dapat
dijalankan dengan damai meskipun negara tidak secara formal
mengasaskan dirinya di atas Islam, sedangkan d±r al-¥arb adalah
nagara perang, yakni negara yang anti Islam, dan mengancam cita-
cita perwujuadan syaria’at agama Islam. darul Islam dan d±r a¡-
¡ul¥ wajib dibela, sedangkan negara perang harus diperangi.
Secara etimologis, d±r berarti negeri, dan dengan demikian,
konsep d±r al-Isl±m itu bermakna negeri di mana penduduknya
sebagian besar adalah orang Islam. Jadi tidak berarti negara Islam,
negara dengan sistem pemerintahan Islam. Dengan demikian,
pembelaan terhadap d±r al-Isl±m berarti membela penduduk yang
beragama Islam di wilayah tersebut, yang berarti pula solidaritas
sesama muslim. Dalam konotasi politik, status d±r al-Isl±m adalah
negeri di mana penduduknya beragama Islam dan melaksanakan
syari’at Islam dengan bebas dan terlindungi, meskipun penguasa
dan pemerintahan yang tengah berlaku di tempat tersebut bukan
8 Lihat Abdurrahman Wahid, loc-cit, dan juga H. Mohammad Djunaidi
dalam H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di
Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1980, h. 75.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
156
Islam. Dalam kenyataannya negara Hindia Belanda menyediakan
kelembagaan resmi bagi ummat Islam, di mana hukum Islam diakui
pemerintah dan secara resmi dilaksanakan, meskipun terbatas pada
hukum sipil, seperti perkawinan, waris dan wakaf. Raad Agama
yang merupakan kelembagaan Islam resmi itu adalah kelanjutan
dari lembaga kepenghuluan di masa kesultanan yang tetap bekerja
melaksanakan fungsinya sebagai mahkamah Islam dan pembinaan
pendidikan ummat Islam melalui masjid, madrasah dan juga
pelaksanaan rukun Islam yang keempat, yaitu zakat.9 Karena itu
dapat dipahami, mengapa keputusan Muktamar NU di Banjarmasin
demikian.
Prinsip membela tanah air yang berpenduduk mayoritas
muslim dalam pandangan NU merupakan kewajiban. Ini tidak
berarti pembelaan pula terhadap penjajahan Belanda. Seperti halnya
ummat Islam pada umumnya NU juga melawan secara politik
kedudukan Belanda di Indonesia. K.H. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar
dan pendiri NU dikenal sebagai ulama yang sangat anti Belanda. Ia
mengeluarkan banyak fatwa politik yang ditaati oleh ummat Islam.
Salah satu fatwanya adalah mengharamkan ummat Islam
bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun, dan
mengharamkan menerima bantuan dari Belanda dalam wujud
apapun dan dengan cara bagaimanapun.10
Menjelang akhir masa
penjajahan Belanda, ketakutan pemerintah kolonial akan invasi
Jepang ke Hindia Belanda telah dirasakan oleh masyarakat luas.
Untuk melawan ini Belanda merekrut banyak orang pribumi
menjadi tentara pemerintah Hindia Belanda atau Koninklijk
Nederlandsch Indische Leger (KNIL), dan mengajak seluruh
lapisan masyarakat untuk bersama-sama membela dan
mempetahankan Hindia Belanda dari kemungkinan serangan
9 Tentang penghulu dan Raad Agama pada masa kolonial Belanda lihat
Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under
The Dutcht Colonial Administration 1882 - 1942, INIS, Jakarta, Leiden, 2001,
passim. 10
Lihat Muhammad Asad Syihab, Hadaratussyaikh Muhammad Hasyim
Asy’ari, alih bahasa K.H.A. Mustofa Bisri, Kurnia Kalam Semesta bekerjasama
dengan Titian Ilahi Pers, Yogyakarta, 1994, h. 30.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
157
Jepang. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU-nya menolak seruan itu. Ia
lalu mengeluarkan fatwa mengharamkan ummat Islam menjadi
tentara Belanda, dan bekerjasama dengan mereka dengan cara
apapun.11
Fatwa-fatwa NU itu nampaknya cukup efektif. Sangat
sedikit kalangan santri, apa lagi orang NU, yang menjadi tentara
KNIL. Ketika tentara Jepang datang di bulan Maret 1942 dengan
mudah mereka memasuki Hindia Belanda tanpa perlawanan yang
berarti. Jika ditanya mengapa demikian, jawabannya sangat mudah,
karena Belanda tidak memperoleh dukungan dari seluruh rakyat
Hindia Belanda.
Berbeda dari politik Belanda yang anti Islam, politik Jepang
terhadap Islam di Indonesia lebih apresiatif. Di zaman Jepanglah
untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, ummat Islam
memperoleh perhatian yang wajar dari penguasa jajahan. Ini bukan
sebuah ketulusan, melainkan kalkulasi politik yang matang dari
Jepang. Sejak beberapa tahun sebelum kedatangan Jepang ke
Indonesia, studi-studi tentang negeri ini telah dimulai oleh para
ilmuwan Jepang. Ummat Islam adalah mayoritas yang
terpinggirkan selama pemerintahan kolonial Belanda dijalankan.
Golongan ini haruslah diperhitungkan dan diberi perhatian agar
kebencian terhadap Belanda berkembang lebih mekar, dan simpati
kepada Jepang dapat tumbuh. Dengan cara ini politik 3A Jepang
dapat dijalankan di Indonesia dengan mulus. Tetapi kedekatan
Jepang dengan ummat Islam hanya berlangsung di permulaannya
saja. Ketika pendudukan mulai berjalan beberapa lama, kekerasan
tentara Jepang pun di mana-mana mulai dirasakan merata terhadap
semua lapis golongan masyarakat. Pemaksaan-pemaksaan yang
tidak masuk akal terjadi pada semua lapis masyarakat pula. Seikerei
atau “penyembahan” terhadap Kaisar Jepang dengan cara
“bersujud” membungkuk ke timur di mana Kaisar Jepang berada
diwajibkan bagi semua orang Indonesia. Cara-cara seperti ini tentu
sangat berlawanan dengan akidah Islam yang hanya boleh
menyembah Allah, Tuhan seru sekalian alam. Penyembahan
terhadap selain Allah adalah sebuah kedhaliman paling besar, dan
11
Ibid., h. 31.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
158
karenanya bukan saja dilarang oleh Islam, melainkan dosanya tak
terampuni bagi orang yang melakukannya. Bibit permusuhan mulai
ditebarkan dan penangkapan-penangkapan terhadap mereka yang
menentang pun dilakukan.
Tetapi di masa Jepang ini pula para kiyai, ulama dan NU
mendapat kesempatan untuk tampil memimpin dan terlibat dalam
urusan praktis kenegaraan. Pada masa awal pendudukan tentara
Jepang Kyai Hasyim Asy’ari, ketua dan pendiri NU ditangkap oleh
penguasa Jepang, karena pemerintah militer itu khawatir terhadap
pengaruh sangat kuat dan luas sang Kyai di tengah masyarakat
dipakai untuk suatu gerakan anti Jepang. Karena itu, seketika Kyai
Hasyim Asy’ari dilepaskan pada bulan Agustus 1942 setelah lebih
dari lima bulan mendekam di penjara karena desakan kuat ummat
dan para pemimpin Islam, segera ia ditawari berbagai jabatan tinggi
tetapi ia menolaknya. Baru pada tahun 1944 Hasyim Asy’ari
menerima jabatan Kepala Shumubu atau Kantor Urusan Agama
Islam di seluruh Jawa dan Madura, semacam departemen yang
mengurusi soal keagamaan Islam. Ummat Islam dan para ulamanya
juga diberi kesempatan untuk ilkut dalam latihan militer, yang
kelak berguna bagi pertahanan rakyat di masa revolusi. Majlis
Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang pernah didirikan di tahun 1937
dihidupkan kembali di zaman Jepang, dan kemudian diubah
menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) organisasi
federasi ummat Islam Indonesia didirikan atas prakarsa Jepang, dan
menunjuk Kyai Hasyim Asy’ari kembali menjadi ketuanya.
Ketika cita membebaskan negeri dari penjajahan telah dicapai
setelah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, bahaya kembalinya
penjajah Belanda telah menghadang di depan “pintu”. Dalam waktu
kurang dari tiga bulan setelah proklamasi, ancaman itu benar-benar
telah menjadi kenyataan. Yang dilakukan ummat Islam, tidak lain
adalah mengangkat senjata. Dalam keadaan genting seperti itu,
sebuah fatwa jihad dari NU dikeluarkan. Fatwa itu diumumkan 22
Oktober 1945, 18 hari sebelum pecah pertempuran sangat heroik
antara arek-arek Suroboyo dengan tentara Sekutu, 10 November
1945. Isi fatwa yang sering disebut sebagai Resolusi Jihad itu
adalah mengajak ummat Islam, menentang pendudukan Tentara
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
159
Sekutu dan kembalinya Belanda. Selengkapnya, Resolusi Jihad itu
berbunyi sebagai berikut:
1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945 wajib dipertahankan.
2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang
sah, wajib dibela dan diselamatkan.
3. Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda, yang datang
kemudian dengan membonceng tugas-tugas Tentara Sekutu
(Inggris) dalam masalah tawanan perang Bangsa Jepang
tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer
untuk kembali menjajah Indonesia.
4. Ummat Islam, terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat
senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak
kembali menjajah Indonesia.
5. Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban
tiap-tiap orang Islam (far«u ‘ain) yang berada pada jarak radius
94 km (jarak di mana ummat Islam diperkenankan sembahyang
jama’ dam qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak
tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang
berada dalam jarak radius 94 km tersebut.12
Selain fatwa jihad tersebut Kyai Hasyim Asy’ari juga
mengeluarkan fatwa yang sangat penting yang ditaati oleh orang
Islam Indonesia, yakni melarang ummat Islam Indonesia
menunaikan iabadah haji dengan menggunakan kapal milik
Belanda.13
Resolusi Jihad itu tampak sederhana, tetapi bagi ummat Islam
dan NU khususnya mempunyai makna sangat mendalam. Implikasi
dari Resolusi Jihad ini adalah kerelaan berkorban jiwa, raga dan
harta untuk mempertahankan tanah air yang telah diproklamasikan
12
Sebagaimana dikutip Slamet Effendy Yusuf et-al, Dinamika Kaum Santri,
Jakarta, 1984, h. 38. 13
Lihat Zamakhsyari Dhofier,”K.H. Hasyim Asy’ari, Penggalang Islam
Tradisional” dalam Khumaidi Abdussami dan Ridwan Fkla As. (eds.), Biografi 5
Rois ‘Am Nahdlatul Ulama, LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 1995, h. 16.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
160
kemerdekaannya. Memang, dari konsep fikih, negara Republik
Indonesia bisa jadi belum memenuhi kriteria im±mah yang
dicitakan oleh syari’ah, tetapi mengikuti kaidah u¡µl fiqh (legal
maxim): m± l± yudraku kulluh l± yutraku kulluh, apa yang tak
mungkin diwujudkan keseluruhannya tidak boleh ditinggalkan yang
terpentingnya. Apa lagi tanah air ini sejak lama telah diyakini
sebagai d±r al-Isl±m, negeri yang harus dibela dari serangan luar
yang ingin menghancurkan eksistensinya. Itulah sebabnya dengan
ringan dan mudah, setelah Resolusi Jihad itu diumumkan, di mana-
mana dibentuk Barisan Ulama, Barisan Mujahidin, Barisan
Hizbullah dan Sabilillah.14
Komitmen K.H. Hasyim Asy’ari terhadap pembelaan tanah air
ini barang kali juga dapat dilihat dari penyebab wafatnya Kyai
ketua NU ini. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa meskipun
Kyai Hasyim Asy’ari tidak ikut bertempur di medan perang tetapi
beliau adalah penasehat perang Jendral Soedirman dan Bung Tomo.
Dua orang ini selalu berkonsultasi dengan Kyai Hasyim Asy’ari
baik langsung maupun melalui utusan yang menemuinya di
kediaman sang Kyai di kampus Pesantren Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur. Dari rumah kediamannya Kyai Hasyim Asy’ari
memberi spirit dan memantau setiap perkembangan dan kemajuan
laskar-laskar perjuangan yang bertempur di medan perang di
beberapa tempat di Surabaya. Dalam strategi perang Kyai Hasyim,
Malang merupakan pertahanan paling strategis untuk membendung
tentara Belanda masuk ke kawasan Jawa Timur pedalaman. Suatu
hari, di bulan puasa, persisnya tanggal 7 Ramadhan tahun 1366
Hijriyah bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 Miladiyah Kyai
Hasyim menerima utusan Jendral Soedirman untuk melaporkan
kejatuhan kota Malang. Mendengar laporan itu Kyai Hasyim sangat
tercengang, dan hanya sempat mengucapkan masya-Allah, masya-
Allah, masya-Allah sambil memegangi dadanya, lalu jatuh dan
wafatlah beliau.15
Kepergian Kyai Hasyim Asy’ari untuk selama-
14
Lihat K.H. Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia Jilid II, PT.
Gunung Agung, Jakarta, MCMLXXXI, h. 37. 15
Ibid.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
161
lamanya itu telah mengejutkan ummat Islam diberbagai tempat di
Jawa. Jenazahnya diantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir
oleh jumlah pengantar yang sangat besar. Pemerintah Indonesia
secara resmi ikut dalam upacara perkabungan itu. Digambarkan
oleh penulis biografi Kyai Hasyim Asy’ari, Muhammad Asad
Syihab, sebagai “Belum pernah Indonesia menyaksikan upacara
mengantar jenazah seperti itu. Ini merupakan penghormatan dan
penghargaan terhadap pejuangan beliau dan pengakuan atas
keutamaan serta kebesaran jasa-jasa beliau.”16 Dan dengan
Keputusan Presiden No. 294/1964 K.H. Muhammad Hasyim
Asy’ari ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Tanah air, bangsa dan kemerdekaan ternyata begitu penting
untuk dibela dan diselamatkan tanpa kesulitan untuk mengajak
ummat berkorban harta benda, raga dan jiwa sekalipun. Tidak lain
karena membela tanah air, bangsa dan kemerdekaan itu sama
nilainya dengan perang di jalan agama, perang demi Allah, demi
keluhuran asma-Nya. Bagaimana perang di masa revolusi ini diberi
makna, kita simak petikan pidato tanpa teks Ketua NU, K. H.
Wahid Hasyim di sekitar tahun 50-an seperti di bawah ini:
“Kita berjuang selama beberapa tahun, terutama selama
lima tahun terakhir, di mana kita memerangi kaum penjajah
dalam perang yang telah melenyapkan banyak tokoh dan
anak-anak kita. Kita telah mengorbankan segala yang kita
miliki, yang karenanya kita mengalami banyak kesulitan,
penderitaan dan kesengsaraan. Kita melakukan itu sebagai
langkah untuk meluhurkan kalimah Islam dan kejayaan
kaum muslimin. Kemerdekaan politik kaum muslimin
merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar bagi
kehidupan kaum muslimin itu sendiri dan syari’atnya.
Segala usaha mempersempit kegiatan politik kaum
muslimin pada hakekatnya merupakan usaha
menghilangkan syari’at Islam. Atas dasar ini perang yang
16
Muhammad Asad Syihab, op-cit., h. 73/74.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
162
kita lakukan melawan kaum penjajah merupakan perang
agama. Perang di jalan Islam dan agama Islam. Betapa pun
besarnya perbedaan dan jarak selisih antara persenjataan
yang kita miliki dan yang dimiliki kekuatan penjajah baik
dari jumlah maupun perbekalannya. Meskipun demikian
kita menang dan berhasil atas anugerah Allah. Maka sudah
seharusnya kita bersyukur kepada Allah dan senantiasa
memanjatkan puji ke hadirat Ilahi, meskipun sementara
orang-orang yang ingkar bersikap takabur dan menganggap
bahwa kemenangan yang kita peroleh ini sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan pertolongan Allah.
Ketakaburan mereka yang ingkar itu tidak hanya pada
penafian mereka terhadap pertolongan Tuhan, dan
pengaruhnya yang manjur dalam keberhasilan dan
kemenangan kita atas kaum penjajah, tetapi juga pada sikap
kemunafikan mereka pada waktu agresi militer pertama dan
kedua.”17
Jadi, bagi NU yang menjadi pokok diskusi tulisan ini, maupun
bagi orang Islam Indonesia pada umumnya, perang membela tanah
air, bangsa dan kemerdekaan sama halnya dengan jih±d f³ sab³lill±h, yakni perang di jalan Allah, dan perang membela agama
Allah. Kepercayaan yang demikian kuat seperti ini merupakan
motivasi vital yang membangkitkan keberanian menghadapi maut.
Mati dalam perang kemerdekaan adalah syahid, dan syahid adalah
kematian paling terhormat. Tidak ada kematian yang lebih mulia
dari pada syahid di jalan Allah. Kematian seperti ini tiada balasan
selain surga belaka.
Masalah Ideologi dan Dasar Negara
Ketika Jepang mulai merasa terpojok oleh kekuatan-kekuatan
Sekutu dalam perang Pasifik dan melihat kekalahannya sudah di
ambang pintu, pemerintah pendudukan mulai memikirkan nasib
17
Ibid.. h. 76-77.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
163
negeri jajahan, seandainya mereka benar-benar harus pulang ke
negaranya. Kelihatannya Jepang tidak ingin melihat Indonesia
kembali di bawah kekuasaan Belanda. Pemerintah Pendudukan
Jepang melihat ada peluang untuk memberikan kemerdekaan
kepada Bangsa Indonesia, dan lalu sebuah panitia persiapan
kemerdekaan pun dibentuk. Demikianlah pada tanggal 9 April 1945
Badan Penyelidik Usaha-usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) atau dalam bahsa Jepangnya Dokuritu Zyunbi Tioosakai
dibentuk. Badan ini terdiri dari 68 anggota, dengan komposisi: 8
orang Jepang, 15 orang dari golongan Islam, dan selebihnya dari
golongan nasionalis ditambah golongan priyayi atau aristokrat
Jawa. Termasuk dalam kelompok 15 orang tersebut, dua orang dari
NU, yaitu K.H. Abdul Wahid Hasyim dan K. H. Masykur. Pada
ketika ini pemerintah pendudukan Jepang agaknya telah
menangkap polarisasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia,
tetapi memperhatikan komposisi tersebut golongan Islam boleh
merasa janggal, mengingat bukan saja jumlah wakil golongan Islam
yang tidak proporsional dengan jumlah muslim yang mayoritas,
melainkan mengingat selama masa pemerintahan Jepang,
pemerintah tampak memperhatikan golongan Islam dan hampir
mengucilkan, atau lebih tepatnya, tidak memberi tempat kepada
kaum nasionalis. Bisa jadi ini berkaitan dengan kemampuan
intelektual yang lebih baik di kalangan kaum nasionalis sekuler dari
pada dalam kalangan Islam. Katakanlah, di kalangan kaum
nasionalis dan aristokrat Jawa lebih banyak terdapat orang
terpelajar dari pada di kalangan kaum santri. Jepang kelihatannya
lebih percaya terhadap kemampuan kaum nasionalis dalam soal
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Bisa dimengerti, karena
sepanjang masa penjajahan, kaum santrilah yang paling keras
menolak Belanda, termasuk berkolaborasi dengan pendidikan Barat
di Hindia Belanda. Kaum santri kelihatannya hanya bersedia
berpartisipasi dalam sistem pendidikan mereka sendiri, pesantren,
dan menolak pendidikan Belanda. Hanya sebagian kecil saja
kalangan santri bergabung di sekolah Belanda.
Keterwakilan golongan Islam dalam BPUPKI itu secara
kuantitas memang tidak memadai, tetapi hasil kerja Badan ini, yang
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
164
antara lain berupa karya monumental Piagam Jakarta, dapat
dikatakan sebagai kemenangan ummat Islam. Ini tidak mungkin
dicapai kecuali dengan argumen yang kuat dan faktual dari
golongan Islam, dan bukan semata-mata berdasar jumlah yang
banyak. Meskipun aspirasi Islam menjadikan Islam sebagai dasar
negara, atau sekurang-kurangnya Islam sebagai agama negara tidak
dapat dicapai tetapi satu klausul dalam Piagam Jakarta yang
berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” bakal
menjadi landasan konstitusional bagi pelaksanaan syari’at Islam di
negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan.
Jepang memberikan peran yang besar terhadap kaum nasionalis
dalam BPUPKI kelihatannya tidak salah langkah, karena ternyata
mereka mampu mempesiapkan apa-apa saja yang perlu untuk
mempersiapkan Indonesia merdeka. Rancangan Undang-Undang
Dasar berhasil disusun, dan peraturan peralihanya juga berhasil
dibuat. Jika diperhatikan notulen rapat-rapat dalam BPUPKI18
kelihatan sekali bahwa anggota BPUPKI dari golongan Islam lebih
banyak mendengar dari pada mengemukakan pikiran-pikiran.
Kalangan Islam dalam Badan itu tidak mampu bekerja sebaik kaum
nasionalis. Apa yang dilakukan dengan serius dan getol oleh
anggota BPUPKI dari golongan Islam adalah menjadikan Indonesia
yang akan merdeka sebuah negara Islam, atau sekurang-kurangnya
menjadikan Islam dasar negara atau agama negara. Pemerintah
Pendudukan Jepang bukan tidak meyadari gelagat dan
kemungkinan konflik dalam BPUPKI dalam soal peranan Islam
dalam negara yang akan merdeka. Karena itu Pemerintah
Pendudukan Jepang sejak dini telah mengisyaratkan sebuah pesan
kepada BPUPKI melalui Jendral Nishimura. Pesan itu antara lain
berbunyi bahwa pemerintah Pendudukan Jepang bersikap netral
terhadap status Islam dalam negara merdeka yang tengah
dipersiapkan. Rakyat Indonesia harus dapat mewujudkan cita-
18
Lihat Syafroedin Bahar et-al (eds.), Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Repubik Indonesia, Jakarta,
1995.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
165
citanya sendiri dalam negera yang merdeka. Pemerintah Dai Nipon
hanya menjadi fsilitator untuk ini.19
Memang sulit menyimak pikiran-pikiran golongan Islam dalam
BPUPKI, lantaran notulen rapat-rapat Badan ini20
yang sampai
kepada kita tidak lengkap. Sulit ditelusuri, mengapa buku
dukumenter yang amat penting itu melewatkan pokok pikiran yang
hidup di kalangan Islam yang menjadi bahan perdebatan dalam
Badan tersebut. Percikan pemikiran wakil-wakil Islam dalam Badan
itu hanya dapat tersingkap dari pidato orang lain, ketika
menyinggung soal dasar negara dan hubungan antara agama dan
negara. Misalnya, dalam sidang putaran pertama BPUPKI tanggal
31 Mei 1945, ketika Soepomo bepidato, menyinggung soal
hubungan agama dan negara dikatakan bahwa terdapat
pertentangan pendapat antara anggota-anggota ahli agama yang
menganjurkan Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dengan
anggota lain sepereti Mohammad Hatta yang menganjurkan
Indonesia merdeka sebagai negara persatuan nasional yang
memisahkan urusan agama dan negara.21
Dari ungkapan ini,
kelihatan jelas, meskipun tidak disebut nama, bahwa kalangan
Islam dalam Badan itu menghendaki Indonesia menjadi negara
Islam. Akan tetapi seperti apa konsep negara Islam yang dimaksud
tidak dapat di simak dari buku itu. Dari pidato Soepomo itu juga
dapat diraba, bahwa yang dimaksud negara Islam ialah bahwa
negara tidak terpisahkan dari agama. Negara dan agama bersatu
padu. Alasannya, Islam itu sebuah sistem agama, sosial, politik
yang bersandar atas Qur’an sebagai pusat sumber dari segala
susunan hidup manusia Islam. Hukum Syari’ah itu adalah perintah
Tuhan untuk menjadi dasar dan untuk dipakai oleh negara. Adapun
apa bila terdapat perkembangan baru dalam kehidupan politik,
tetapi tidak dapat ditemukan dasar hukumnya dalam syari’at, maka
dapatlah ditetapkan dengan jalan ijma’ asal tidak bertentangan
19
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, Van Houve, The
Hague-Bandung, 1958, h. 188-9. 20
Maksudnya, buku Risalah Sidang BPUPKI yang disebut dalam footnote
no. 17. 21
Ibid., h. 38.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
166
dengan Qur’an dan Hadits. Ada juga pendapat yang lebih liberal,
seperti Ali Abdurrazik, bahwa agama itu boleh dipisahkan dari
hukum yang berhubungan dengan negara. Di dalam negara Islam
juga tidak perlu terdapat ketakutan dari orang-orang yang beragama
lain bakal tidak bebas menjalankan agamanya, karena kebebasan
menjalankan agama apa pun dijamin, dan kepentingan agama lain
pun diperhatikan. Tidak ada paksaan di dalam agama.22
Kalangan nasionalis menentang gagasan menjadikan Islam
sebagai dasar negara, atau menjadikan Indonesia yang bakal
merdeka negara Islam. Orang Islam tidak perlu khawatir, dengan
tidak menjadikan Indonesia negara Islam, negara bakal menjadi
tidak beragama (a-religieus). Dalam negara nasional agama
dijunjung tinggi dan negara mempunyai kewajiban untuk membela
agama yang dianut oleh rakyatnya, apa lagi yang penganutnya
mayoritas. Kita kutip petikan pidato Soepomo di bawah ini sebagai
alasannya.
“Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa
negara itu akan bersifat “a-religeus”. Itu bukan. Negara
nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu dan
hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral
yang luhur, yang dianjurkan oleh agama Islam.”23
Yang dikehendaki oleh kaum nasionalis adalah tidak
menjadikan Indonesia Negara Islam dan tidak pula menjadikan
Islam sebagai dasar negara, karena hal ini akan menimbulkan
perpecahan. Ada cara di mana persatuan dapat ditegakkan tetapi
Islam tetap menjadi ruh dan jasad dalam kehidupan negara. Inilah
jalan keluar yang ditawarkan Soekarno, permusyawaratan
perwakilan. Dalam pidato 1 Juni di rapat BPUPKI yang dikenal
kemudian sebagai “hari lahir Pancasila” Soekarno mengatakan:
22
Ibid., h. 38-39. 23
Ibid., h. 40
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
167
“Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya
Negara Indonesia iyalah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk
memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam --
maaf beribu-ribu maaf, ke-Islaman saya jauh belum
sempurna-- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya
punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan
dapati tidak lain tidak bukan, hati Islam. Dan hati Islam
Bung Karno ini ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat kita perbaiki segala
hal, dan juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan
pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan
Perwakilan Rakyat.....
Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja
sehebat-hebatnya agar supaya sebagian terbesar dari pada
kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan
diduduki oleh utusan-utusan Islam. .... Ibaratnya Badan
Perwakilan Rakyat itu 100 orang anggotanya, marilah kita
bekerja, bekerja sekeras-kerasnya agar supaya 60, 70, 80, 90
utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam,
pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya, hukum-hukum
yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat itu hukum Islam
pula.”24
Kemampuan berargumentasi kaum nasionalis yang boleh
dikata “brilian” menyebabkan gagasan menjadikan Negara
Indonesia merdeka sebuah negara persatuan nasional dapat diterima
oleh wakil-wakil golongan Islam dalam BPUPKI itu. Di sekitar
akhir Mei 1945, sebelum pidato Soekarno, tokoh-tokoh NU dalam
BPUPKI, K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Masykur, serta tokoh
Islam lainnya Abdul Kahar Muzakkir memang telah bertemu dan
berdiskusi perihal ideologi yang sangat penting itu dengan dua
tokoh nasionalis lain, Mohammad Yamin dan Soekarno. Mereka
24
Ibid., h. 77.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
168
berlima berdiskusi di rumah Mohammad Yamin. Peristiwa ini
dituturkan oleh K.H. Masykur dalam wawancara sejarah lisan oleh
Arsip Nasional pada 1 Oktober 1988.
“Kita ini ingin dasar Islam tapi kalau dasar Islam negara ini pecah.
Bagaimana kira-kira bisa umat Islam bela tanah air, tapi tidak
peca?” tanya Kyai Masykur.
“Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa,
tanah Indonesia ?” kata Soekarno.
Yamin mengatakan: “Zaman dulu orang Jawa punya kebiasaan.
Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar,
semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan , minta keselamatan,
minta apa, begitu.”
Lalu Soekarno berkata: “Nah ini mencari Tuhan namanya. Jadi
orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu di
mana, dan siapa Tuhan itu. ...... Kalau begitu negara kita dari dulu
sudah ketuhanan. bagaimana Islam? Ketuhanan ! Kalau bangsa
Indonesia ketuhanan. Mupakat? Bangsa ketuhanan..... tulis, tulis!
Ketuhanan. Lalu bagaimana Bangsa Indonesia?”
Kata Kyai Masykur: Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu
rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau waktu makan diajak
makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa
Jawa dulu sampai kalau sama menemani.”
Kata Soekarno: “Kalau begitu, bangsa Indonesia itu dulu bangsa
yang berperi-kemanusiaan. Satu sama lain suka menolong, kerja
sama, peri-kemanusiaan.”
Wahid Hasyim: “Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil, jangan
sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah
dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong
tangannya. Siti Fatimah putri Rosululloh. Jadi harus adil. Biar
anaknya, kalau salah ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam, ya
benar. Ini memang.”
Soekarno mengatakan: “ Siapa dulu...?”
Kahar Muzakkir menyahut: “Ada orang budayanya tidak mau
disentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
169
dilemparkan. Umpamanya orang bawahan pengemis, kasih uang
dilemparkan saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam,
harus diserahkan yang baik. Jadi peri-kemanusiaan yang adil dan
beradab. Adabnya ini tadi.”
Soekarno menyambung: “Orang Jawa itu dulu suka memberi sama
tetangganya. Kalau rumah ini tidak punya cabe, minta sama rumah
sini, kalau tidak punya garam, minta garam pada tetangga. ..... Ini
namanya tolong menolong, gotong royong. ...... Kalau ada apa-apa
kumpul orang desa itu. Satu sama lain bertanya, bagaimana baiknya
ini, begini baiknya begitu. Ini namanya musyawarah. Jadi bangsa
kita dari dulu suka bermusyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya
mupakatan, kalau mau menamakan anaknya, dinamakan siapa,
mupakatan. Yang diambil suaranya orang tua. Musyawarah
perwakilan. Orang Jawa itu, dulu kalau minta apa-apa dikasih.
Sampean minta apa, biar di sini habis, diberikan solidaritas
sosialnya. Bagaimana Islam?”
Kyai Masykur: “Islam memang zakat. Kita memberi sama fakir
miskin.”
Menurut Kyai Masykur, setelah menemukan lima pokok ini,
mau ditambah, tetapi karena umat Islam mempunyai rukun lima,
yang ada ini tidak perlu ditambah. Bisa dikembangkan, tetapi asal
hitungannya lima. Oleh Soekarno, kata Masykur, ini dijadikan
Pancasila. Lalu Soekarno mengatakan: “Mau saya usulkan
Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau. Awas ! Masykur jangan
ketawa imitasi.” Menurut kesaksian Kyai Masykur, diskusi berlima
ini berjalan seru, berlangsung dari jam tujuh petang hingga jam
empat pagi.25
Diskusi informal ini agaknya merupakan titik terang ke arah
kompromi antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Tidak
ada rekaman lengkap perhelatan yang terjadi dalam Panitia Kecil
25
Dikutip dengan berbagai modifikasi dari rekaman wawancara Arsip
Nasional dengan K.H. Masykur pada tanggal 1 Oktober 1988, sebagaimana
dikutip oleh Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, h. 32-35.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
170
yang terdiri dari sembilan orang26
dan berhasil merumuskan Piagam
Jakarta, tetapi dalam laporan ketua Panitia Kecil, Soekarno
mengakui bahwa pada permulaan terdapat kesulitan
mempertemukan faham antara kaum nasionalis dengan Islam,
terutama yang menyangkut soal agama dan negara.27
Rumusan
Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh Panitia Kecil pada tanggal
22 Juni 1945 merupakan kompromi yang dapat dicapai antara
semua golongan dalam BPUPKI. Mengakhiri pidato pelaporan hasil
kerja Panitia Kecil Soekarno mengatakan sebagai berikut:
“Sekianlah tuan-tuan yang terhormat, Paduka Tuan Kaityoo
yang termulia, rancangan preambule yang diusulkan oleh
Panitia Kecil penyelidik usul-usul. Di dalam preambule ini
ternyatalah , seperti saya katakan tempo hari, segenap
pikiran yang mengisi dada sebagian besar dari pada anggota
Dokuritu Zyunbi Tyoosakai. Masuk di dalamnya ketuhanan,
dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk
menjalankan syariat Islam masuk di dalamnya; kebulatan
nasionalisme Indonesia, persatuan Bangsa Indonesia masuk
di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka di dalam
susunan peri-kemanusiaan dunia masuk di dalamnya;
perwakilan permukatan kedaulatan rakyat masuk di
dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheid masuk
di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik
usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa
menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada
di kalangan anggota-anggota Dokuritu Syunbi
Tyoosokai.”28
26
Nama-nama anggota Panitia Kecil itu adalah: Mohammad Hatta,
Mohammad Yamin, Soebardjo, Maramis, Soekarno, Abdoel Kahar Muzakkir,
Wahid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Hadji Agoes Salim. 27
Saafroedin Bahar (eds.) op-cit. h. 94. 28
Ibid. h. 95/96.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
171
“Klausul Islami” dalam Piagam Jakarta rupanya menjadi bahan
perdebatan seru dalam sidang-sidang BPUPKI selanjutnya. Dalam
Panitia Undang Undang Dasar yang terdiri dari 19 orang anggota,
Latuharhary mengusulkan agar “kalusul Islami” dihapuskan saja,
karena dapat menimbulkan masalah bagi agama lain dan adat
Indonesia. Agus Salim menolak usul itu, karena persoalan agama
dan adat merupakan masalah lama, dan sudah selesai. Agama lain
juga tidak perlu khawatir, karena soal keamanan agama lain bukan
tergantung kepada negara, melainkan toleransi umat Islam sendiri.29
Kekhawatiran Wongsonegoro dan Husein Djajadiningrat bahwa
Piagam Jakarta akan menimbulkan fanatisme agama, oleh Wahid
Hasyim dijawab, bahwa penangkal utama bagi pemaksaan agama
adalah “permusyawaratan”.30
Perdebatan soal “klausul Islami” bertambah semakin seru
ketika Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan perlunya membuang
kata “bagi pemeluknya” agar sistem hukum di Indonesia tidak
dualisme. Dengan menghapus kata tersebut, maka hukum di
Indonesia hanya ada satu, yaitu hukum syari’ah. Sidang-sidang
BPUPKI paling seru adalah pada tanggal 15 dan 16 Juli, ketika
golongan Islam mengancam, kalau “klausul Islami” dihapuskan
maka tidak akan menyetujui Piagam Jakarta. Soekarno yang merasa
sangat prihatin dengan ketegangan ini mengimbau kepada kaum
nasionalis, agar menerima Piagam Jakarta seutuhnya, demi menjaga
persatuan dan lekas tercapainya negara nasional Indonesia yang
merdeka. Maka pada tanggal 16 Juli sidang BPUPKI menyetujui
Piagam Jakarta menjadi preambule Undang-Undang dasar
Indonesia, beserta dengan rancangan batang tubuhnya.31
Lain yang terjadi dalam BPUPKI, lain pula dalam Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI dibentuk tanggal 7
Agustus 1945, terdari dari 15 anggota, Soekarno dan Hatta masing-
masing menjadi ketua dan wakil ketua. Dalam Panitia ini, golongan
29
Mohammad Yamin (ed.), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945, Jilid I ,h. 259. 30
Ibid. 31
Lihat Andree Felliard, op-cit., h. 36-39.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
172
Islam hanya diwakili oleh dua orang, yakni Wahid Hasyim dan Ki
Bagus Hadikusumo. Sidang pertama PPKI diselenggarakan pada 18
Agustus, sehari setelah proklamasi. Sebelum sidang, Hatta yang
telah menerima “ancaman” dari para pemimpin Indonesia Timur
yang beragama Kristen dan Katholik melalui seorang opsir Jepang,
melihat bahayanya jika “klausul Islami” dalam Piagam Jakarta
dipertahankan. “Ancaman” itu berisi, kalau tujuh kata “Islami”
dalam Piagam Jakarta (.....dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dihapuskan, maka rakyat
Indonesia Timur lebih baik tidak bergabung dalam Republik
Indonesia Merdeka. Hatta lalu melakukan lobi dengan para
pemimpin Islam, menyampaikan pertimbangan akan gawatnya
situasi ini. Kali ini, para pemimpin Islam menyadari bahaya itu, dan
sebelum sidang dimulai mereka telah setuju untuk menghilangkan 7
kata itu, lalu diganti dengan kata yang lebih sederhana, sehingga
menjadilah “berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pertimbangannya, situasi politik dan keamanan tidak mendukung
untuk bersitegang dalam soal ideologi. Persatuan perlu dijaga agar
kemerdekaan Indonesia dapat dipertahankan oleh seluruh rakyat
dan komponen bangsa. Golongan Islam dan nasionalis adalah yang
paling berkepentingan dengan persatuan bangsa ini. Ini sangat
penting, mengingat ancaman kembalinya penjajah Belanda telah
menghadang mereka. Lagi pula, dalam perubahan itu tersimpan
makna tauhid, justru doktrin yang paling inti dalam agama Islam.
Keberhasilan lobi Hatta menyebabkan sidang PPKI berjalan lancar.
Perubahan bukan saja pada preambule, tetapi juga pada batang
tubuh, yaitu pasal 6, yang mensyaratkan “persiden Indonesia
haruslah orang Indonesia sejati yang beragama Islam”, menjadi
“orang Indonesia asli” saja, dan pasal 29 juga dihilangkan kata
“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” diganti dengan “Yang Maha Esa”.32
Rapat PPKI berlangsung mulus dalam membahas perubahan
fundamental mengenai isu sangat penting yang dulu diperjuangkan
dengan gigih oleh wakil-wakil golongan Islam dalam BPUPKI.
32
Lihat Andree Felliard, op-cit., h.. 40-41.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
173
Komentar golongan Islam bervariasi terhadap peristiwa ini. Dari
kacamata NU, hal ini mudah dipahami. Bukankah sudah disinggung
di muka bahwa dalam muktamar tahun 1936, ketika Indonesia
masih di bawah cengkeraman kekuasaan Belanda yang kafir pun,
NU menganggap bahwa Indonesia ini adalah d±r al-Isl±m?
Kepala Negara: Problem Otoritas
Di tahun 1954, sebuah Konperensi Alim Ulama di Cipanas,
Jawa Barat, memberikan “gelar”33
Waliy al-Amri ¬arµr³ bi asy-
Syaukah kepada Presiden RI, Soekarno. “Gelar” ini mengundang
kontroversi di kalangan ummat Islam sendiri, ditafsir secara politik,
meskipun sebenarnya “gelar” itu diberikan dalam hubungan dengan
pelaksanaan teknis hukum fiqh tentang kewenangan menunjuk dan
mengangkat wali hakim dalam akad pernikahan bagi perempuan
yang tidak memiliki wali nasab (genealogis).
Kontroversi kedudukan kepala negara sebenarnya telah
berlangsung sejak 1952, ketika dikeluarkan Peraturan Menteri
Agama no. 4, tahun 1952 yang mengatur wali hakim untuk daerah
luar Jawa dan Madura. Agar diskusi tentang kontroversi “gelar”
Waliy al-Amri ¬arµr³ bi asy-Syaukah dapat lebih rinci, sebagian isi
Peraturan Menteri Agama no. 4, tahun 1952 itu dikutip di bawah
ini:
a. Mencabut kekuasaan penunjukan wali hakim yang telah
diberikan oleh Menteri Agama kepada Kepala Kantor Agama
Propinsi;
b. Membatalkan tauliyah-tauliyah wali hakim yang telah diberikan
oleh instansi-instansi pemerintah dan Swapraja, serta tauliyah-
tauliyah wali hakim lainnya yang bertentangan dengan
peraturan ini.
c. (Pasal 1) (1) Apabila seseorang perempuan tidak mempunyai
wali nasab, yang berhak, atau bila wali yang aqrab mafqud,
33
Meskipun di sejumlah sumber disebut “gelar”, tetapi dilihat dari konteks
permasalahan lebih tepat disebut “fungsi”. Lihat H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah
Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1980.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
174
sedang menjalankan hukuman dan tidak dapat dijumpai, atau
jauh (sejarak masafat qasar) dan sebagainya, maka nikahnya
dapat dilangsungkan oleh wali hakim. (2) Apabila wali nasab
itu ‘adhal (menolak, tidak mau menikahkan) maka nikah
perempuan itu dilangsungkan oleh wali hakim, setelah diadakan
pemeriksaan seperlunya kepada yang bersangkutan.
d. (Pasal 2) Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten diberi kuasa
untuk, atas nama Menteri Agama, menunjuk qadli-qadli nikah
(pembantu pegawai pencatat nikah) yang cakap serta ahli untuk
menjadi wali hakim dalam wilayahnya masing-masing guna
menjalankan nikah wali hakim sebagai tersebut dalam pasal 1
ayat 1 peraturan ini.
Keputusan ini diambil setelah mendengar pendapat dan fatwa dari
Konperensi Alim Ulama di Tugu, Jawa Barat, yang
diselenggarakan pada tanggal 12-13 Mei 1952.34
Peraturan Menteri Agama no. 4 tahun 1952 tersebut
dipertanyakan oleh Perti (Partai Islam Persatuan Tarbiyah
Islamiyah) kepada pemerintah di DPR. Persoalannya, apakah
tauliyah wali hakim oleh Kepala kantor Urusan Agama kepada
kadi-kadi nikah secara fikih dapat dianggap sah, mengingat yang
mengangkat Kepala Kantor Urusan Agama adalah Menteri Agama
yang diangkat oleh Presiden RI. Dengan demikian masalah pokok
yang dipertanyakan adalah perihal keabsahan kedudukan Kepala
Negara ditinjau menurut hukum fikih. Soekarno sebagai Presiden
RI diangkat tidak menurut standar dan prosedur Syari’at
sebagaimana menjadi ketentuan hukum Islam, sehingga
keabsahannya diragukan.35
Partai Islam Perti yang berbasis di Sumatera Barat, agaknya
terpengaruh oleh tradisi Minangkabau, di mana tauliyah untuk wali
34
Lihat Penjelasan Biro Peradilan Agama atas Keputusan Konperensi Alim
Ulama dengan Menteri Agama di Cipanas, tanggal 2-7 Maret 1954, dalam
lampiran buku H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam
di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1980, h.. 71/72. 35
Lihat ibid. h. 73-74. Uraian berikut ini sepenuhnya diambil dari sumber
yang sama.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
175
hakim secara tradisional diberikan oleh musyawarah para
pemimpin masyarakat Islam, sebagai konsekuensi dari ketentuan
Syari’at yang menyatakan apabila dalam masyarakat Islam tidak
terdapat imam, sultan atau kepala negara yang syah, maka tauliyah
wali hakim dan juga kadi pada umumnya diberikan oleh ahl al-¥alli
wa al-‘aqd, yakni musyawarah para pemuka masyarakat muslim
yang ada. Peraturan Menteri Agama no. 4 1952, dalam pandangan
partai tersebut, karenanya, dianggap ganjil, dan perlu ditinjau
kembali. Menteri Agama yang diangkat oleh Presiden RI,
Soekarno, waktu itu, tidak mempunyai kewenangan memberikan
tauliyah kepada wali hakim dan hakim lainnya, karena Presiden RI
tidak diangkat sesuai dengan prosedur Syara’.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Menteri Agama (K.H.
Fakih Usman) lalu menggelar Konperensi Alim-Ulama di Bogor,
pada 4 - 5 Mei 1953. Beberapa kesimpulan Konperensi tersebut
dikutib sebagai berikut:
1. Setuju dan menguatkan Keputusan Konperensi Kementerian
Agama dengan para Alim-Ulama di Tugupada tanggal 12 - 13
Mei 1952, yaitu mengakui hak dari Menteri Agama untuk
mengangkat serta menunjuk wali hakim bagi perkawinan-
perkawinan mempelai isteri yang tidak mempunyai wali, atau
walinya gaib, ‘adhal dan sebagainya.
2. Walaupun umpama syarat-syarat “sulthan” dalam pengertian
syara’ belum terdapat sepenuhnya ada pada Bapak Kepala
Negara kita (Republik Indonesia) dengan jalan Bai’ah, akan
tetapi nyata sudah, bahwa presiden Republik Indonesia adalah
©µ syaukah, dan oleh sebab itu, beliau berhak penuh dalam soal
wali hakim ini mentauliahkan kepada yang ditunjukkanya
berdasarkan peraturan yang sah, dan dalam hal ini ialah Menteri
Agama. Selanjutnya Menteri Agama dapat menunjuk mereka
yang mustahiq menjalankan perkawinan wali hakim.
3. Urusan wali adalah termasuk salah satu rukun dalam
pernikahan. Penunjukan wali hakim bagi mempelai isteri yang
tidak mempunyai wali, harus dilakukan oleh ©µ syaukah, dari
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
176
sebab itu, sudah pada tempatnya, urusan ini dicampuri oleh
Menteri Agama.
4. Mengakui sahnya peraturan Menteri Agama no. 1 dan no. 4
tahun 1952 tentang pengangkatan wali hakim.36
Akan tetapi Partai Perti masih belum dapat menerima
keputusan Konperensi Alim-Ulama dengan Kementerian Agama
tersebut lantaran pihaknya tidak diundang untuk ikut membicarakan
masalah yang mereka pertanyakan tersebut. Ini dikemukakan dalam
sidang Parlemen, yang dijawab akan mengajak serta Partai tersebut
dalam konoperensi yang akan diselenggarakan kemudian. Janji
tersebut ditepati pemerintah, dan pada tanggal 3 - 6 Maret 1954 di
Cipanas, dan Konperensi pendahuluan diadakan di Jakarta, pada 2
Maret sebelumnya.37
Konferensi Alim-Ulama di Cipanas ini membicarakan, antara
lain isu yang paling penting, yakni soal kedudukan kepala negara.
Tentang ini kesimpulannya sebagai berikut:
1. Presiden sebagai Kepala Negara, serta alat-alat negara sebagai
dimaksud dalam U.U.D.38
pasal 44, yakni: Kabinet, Parlemen,
dan sebagainya adalah Waliy al-Amri ¬arµr³ bi asy-Syaukah.
2. Waliyyul Amri Dhlorury wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal
yang tidak menyalahi Syari’at Islam.
3. Tauliyah Wali Hakim dari Presiden kepada Menteri Agama,
dan seterusnya kepada siapa yang ditunjuk olehnya, termasuk
pula tauliyah Wali Hakim yang menurut kebiasaan yang hidup
di tempat-tempat yang ditunjuk oleh ahl al-¥illi wa al-‘aqd
adalah sah. Untuk menjalankan akad-akad nikah Wali Hakim
36
Ibid., h. 72/73. 37
Konferensi Alim-Ulama di Cipanas ini dihadiri oleh 21 ulama dari 13
propinsi. Sebagian besar ulama peserta konperensi adalah dari kalangan NU.
Karena itu dapat dipahami, jika persoalan Waliyyul Amri Dhorury Bis-Syaukah
ini didiskusikan kembali selalu dikaitkan dengan NU, meskipun secara formal
konperensi Cipanas tahun 1954 diselenggarakan oleh Kementerian Agama
bersama Alim-Ulama pada umumnya. 38
Yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
177
sesuai yang dimaksud oleh Undang-undang Pencatatan Nikah,
Talak dan Ruju’, harus ada surat peresmiannya lebih dahulu
dari pemerintah.
4. Berhubung dengan ayat 1, 2, dan 3 tersebut di atas, maka
nyatalah bahwa Peraturan Menteri Agama no. 4, tahun 1952
tentang Wali Hakim untuk luar Jawa - Madura adalah sah.39
Keputusan-keputusan konperensi alim-ulama dalam tiga
kesempatan disebut di atas patut kita renungkan sehubungan
dengan pertanyaan-pertanyaan: mengapa Kepala Negara RI
diperdebatkan keabsahannya? Mengapa harus disebut Waliy al-
Amri? mengapa disebut ¬arµr³? mengapa bi asy-Syaukah?
Jawaban sederhana atas pertanyaan-pertanyaan tersebut,
pertama perlu diingat bahwa dalam konsepsi fikih Syafi’iyah,
sebagaimana lazimnya dianut ummat Islam Indonesia, mewujudkan
konsep imamah dalam kenyataan politik merupakan sebuah
keniscayaan. Kitab-kitab fikih sederhana sekalipun pada umumnya
menyinggung soal wajibnya ummat Islam mewujudkan imamah
dalam setiap masyarakat Muslim. Hal ini berkaitan dengan
pelaksanaan teknis qa«± atau peradilan, di mana dinyatakan bahwa
pelaksanaannya merupakan kewajiban kolektif (fardlu kifayah)
dalam setiap masyarakat muslim. Menurut ketentuan fikih, seorang
hakim atau q±«³ sah adanya apabila diberi tauliyah atau
pendelegasian wewenang secara sah oleh imam atau kepala negara.
Syarat ini adalah ketentuan yang tak dapat ditawar. Hakim tanpa
tauliyah imam, karenanya, menjadi ilegal kedudukannya, tidak sah
dan tidak wajib dipatuhi keputusannya. Tauliyah ini begitu asasinya
dalam ketentuan fikih, sehingga ditolerir, dalam keadaan darurat
tertentu, tauliyah dari kepala negara yang bukan muslim
sekalipun.40
Dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
fungsi q±«³ dijalankan oleh penghulu. Karena itu dalam setiap
pengangkatan penghulu baru tauliyah raja dibacakan, dengan mana
pendelegasian wewenang yang sebagiannya menyangkut kekuasaan
kehakiman dinyatakan oleh raja kepada penghulu melalui serat
39
H. Zaini Ahmad Noeh, op-cit, h. 66 - 67. 40
Lihat misalnya kitab fikih sederhana Fathu al-Mu’in, h. 136-138.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
178
kekancingan.41
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Islam, dalam hal ini, telah
mengikuti ketentuan syari’at Islam.
Pengaruh kitab fikih dalam pikiran dan kelakuan ummat Islam
Indonesia tidak diragukan lagi, mengingat bahwa sebagian besar
kitab agama Islam yang beredar di negeri ini, sejak dulu hingga
sekarang adalah kitab fikih. Karena itu tidak perlu diherankan lagi,
bagi muslim Indonesia, jika setiap perilaku atau perbuatan manusia
diukur menurut konsepsi fikih tersebut. Semua kelakuan manusia
dapat dikategorikan ke dalam salah satu kategori al-a¥k±m al-
khamsah (hukum yang lima, yaitu: wajib, haram, sunnah, makruh
dan mubah). Bagi muslim Indonesia pertanyaan apa hukumnya
terhadap atau tentang sesuatu adalah biasa, dan hampir menjadi
karakter cara beragama di negeri ini. Ini dapat dipahami sebagai
pengaruh dari kitab fikih yang ada di Indonesia.
Dalam kajian akademik, genre fikih dapat dibagi menjadi dua,
yaitu fiqh taqr³r³ dan fiqh qa«±. Yang pertama merupakan
komposisi teoretis yang dilahirkan dari telaah atas teks sumber
pokok Islam atau sumber hukum, sementara genre kedua tersusun
selain berdasarkan sumber teks seperti itu juga diperkaya dengan
pengalaman praktis atau konteks sosial ummat Islam. Fiqh qa«±.
sebenarnya dapat lebih “membumi” dari pada fiqh taqr³r³, tetapi di
Indonesia, kitab fikih yang beredar selain hanya madzhab Syafi’i
juga hanya fiqh taqr³r³.42 Akibatnya dapat dipastikan bahwa
konsep-konsep fikih normatif lebih menguasai jalan pikiran muslim
Indonesia, dari pada fikih kontekstual.
Dalam kitab-kitab fikih siyasah (politik), sebutan untuk kepala
negara setelah wafatnya Rasulullah, yang paling lazim adalah:
khalifah, amirul mukminin atau amir saja, imam, sultan, dan malik.
Untuk menjadi kepala negara yang sah, menurut fikih, disamping
41
Lihat Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese
Pangulu Under The Dutch Colonial Administration 1882-1942, INIS, Leiden-
Jakarta, 2001, h. .... 42
Lihat M. Ali Haidar, Nadlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Gramedia,
Jakarta, 1998, h. 267.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
179
harus memenuhi syarat-syarat pribadi tertentu, pengangkatannya
juga harus mengikuti prosedur yang lazim menurut negara Islam
tradisional, misalnya bai‘at, istikhl±f, syµr± dan sebagainya.
Presiden Soekarno, tidak memenuhi syarat, baik pribadi sebagai
amirul mukminin, maupun cara pengangkatannya, sehingga ia tidak
dapat disahkan sebagai amirul mukminin atau sultan, maupun
imam. Akan tetapi de facto, Presiden Soekarno adalah Kepala
Negara yang mempunyai kekuasaan. Karena itu, ia pantas disebut
waliy al-amri, suatu gelar yang tidak lazim dipakai sebagai gelar
bagi kepala negara Islam, tetapi secara lugaw³ dapat diterima,
karena ia memang pimpinan kekuasaan pemerintahan. Adapun
«arµr³, yang berarti dalam keadaan darurat, dipakai sebagai
“menutupi” keadaan darurat, di mana tidak ada sultan yang
sebenarnya, sementara dalam teks Hadits disebutkan: “Sultan
adalah wali bagi mereka (pengantin perempuan) yang tidak
mempunyai wali”. Kepala Negara Republik Indonesia, Presiden,
tidak jelas, apakah seorang sultan atau khalifah. Dalam keadaan
demikian naka digunakan istilah dlorury yang berarti dalam
keadaan darurat atau untuk sementara waktu, karena untuk
membangun imamah sendiri yang sesuai dengan ketentuan fikih
pada masa itu dirasakan tidak mungkin. Kata bi asy-syaukah yang
berarti dengan kekuasaan, karena kekuasaan yang dimaksud bukan
semata-mata kekuasaan presiden, melainkan seperti yang dimaksud
oleh pasal 44 UUD Sementara tahun 1950, yakni selain presiden,
ada kabinet, parlemen, dan lembaga tinggi negara lainnya.43
Menurut Zaini Ahmad Noeh, pengangkatan kepala negara menurut
UUD 1950 tidak mempunyai ikatan hukum seperti disyaratkan oleh
hukum Islam (fikih) seperti halnya sultan, khalifah, imam dan
lainnya. Ini berbeda dari UUD 1945, di mana kedudukan dan
kekuasaan kepala negara cukup jelas, sehingga dapat dipandang
memenuhi syarat hukum fikih. Karena itu dalam masa itu, di mana
UUD yang berlaku adalah UUD 1950, yang dimaksud dengan
43
Ibid. h. 76-77.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
180
waliyyul amri adalah Presiden, Menteri-menteri, Dewan Perwakilan
Rakyat, Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan.44
Istilah yang dipakai dalam keputusan Konperensi Alim-Ulama
tahun 1953 di Bogor ©µ syaukah (lihat keputusan poin 2 dan 3),
berarti yang memiliki kekuasaan, dikoreksi dalam Koneperensi
Alim-Ulama di Cipanas tahun 1954 menjadi bi asy-syaukah
(dengan kekuasaan) dengan alasan, istilah yang disebut pertama
dipakai apa bila kepala negara adalah orang kafir. Karena Presiden
Soekarno seorang muslim, maka, menurut Sulaiman Arrasuli ,
maka istilah bi asy-syaukah dipandang lebih tepat.45
Meskipun secara formal konperensi alim-ulama di Cipanas
tersebut di atas diselenggarakan oleh Kementerian Agama bersama
alim-ulama pada umumnya, tetapi sebagian besar yang hadir adalah
dari kalangan NU. Bisa difahamai, karena Menteri Agama kala itu
adalah K.H. Masjkur, dari NU, dan kelihatannya mengundang
kiyai-Kyai dari kalngan mereka sendiri. Perti yang dianggap
sealiran dengan NU tidak pula diundang dalam dua konperensi
pertama. Kalangan Islam reformis, terutama Persatuan Islam
(Persis), tidak mengakui hasil konferensi, karena tidak diikuti oleh
semua komponen ulama dari semua aliran atau kelompok. Pesris
mengecam bahwa para ulama yang ikut dalam konperensi alim-
ulama itu tidak dapat mengambil simpul hukum (istimbat),
sehingga gelar ataupun fungsi bagi presiden waliy al-amri «arµr³ bi asy-syaukah tidak dapat diterima secara hukum. Mereka
menuntut diadakan konperensi alim-ulama kembali dengan
mengundang semua komponen ulama, tetapi kali ini untuk
mencabut keputusan konperensi alim-ulama Cipanas.46
Dari uraian di atas jelaslah bahwa gelar atau fungsi presiden
sebagai waliy al-amri «arµr³ bi asy-syaukah adalah dalam kapasitas
44
H. Zaini Ahmad Noeh, “Waliyyul Amri Dhorury Bis-Syaukah” dalam
Panji Masyarakat, no. 456, 1985. 45
Lihat Kementrian Agama, Laporan Tahunan 1954, Bagian Penerbitan,
Jakarta, 1955. 46
Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti pers, Jakarta,
1987, h. 343.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
181
dan hubungannya dengan praktek kehukuman, khasnya yang
bertalian dengan fungsi wali hakim bagi syahnya (rukun) akad
nikah mempelai perempuan yang tidak memiliki wali nasab
(genealogi). Demikian, kesimpulan yang juga diberikan dalam
penjelasan Kementerian Agama, yang dalam hal ini diberikan oleh
H. Moch. Djunaidi, Kepala biro Peradilan Agama waktu itu. 47
Meskipun demikian, sulit untuk membantah bahwa gelar itu akan
berimplikasi politik, apa lagi mengingat bahwa dalam keputusan
Konperensi Alim-Ulama di Cipanas itu terdapat butir dua yang
menyatakan: “Waliy al-amri «arµr³ wajib ditaati oleh rakyat dalam
hal yang tidak menyalahi syari’at Islam.” Di belakang hari terbukti,
bahwa “gelar” waliy al-amri «arµr³ bi asy-syaukah menimbulkan
kontroversi politik. Oleh para pendukung Soekarno, gelar itu
dipakai untuk melegitimasi secara agama kepemimpinannya.
Ketika “gelar” ini diberikan, tak dapat diingkari bahwa kekuasaan
Soekarno tengah digoncang oleh gerakan Darul Islam di bawah
“komando” S.M. Kartosuwiryo.
Penutup
Organisasi keagamaan Islam kaum santri “tradisional” yang
dikenal berciri dekat dengan kultur lokal dan fleksibel ini
tampaknya tidak mungkin membiarkan lewat begitu saja, tanpa ikut
campur tangan secara serius dalam masa-masa paling krusial
dihadapi bangsa pada sekitar kemerdekaan Republik Indonesia. Ini
adalah masa ketika mereka menghadapi bukan saja tanah air dan
bangsa, melainkan negara. Partisipasi adu gagasan dalam soal
pengaturan sosial-politik ketika negara telah berada di hadapan
mereka tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan ajaran agama
yang mendasari dan memberi warna serta corak pemikiran dan cita
ideal tata masyarakat yang harus diperjuangkannya. Fikih yang
digali dari “kitab kuning” atau buku-buku keagamaan klasik
merupakan wacana yang kadang-kadang terasa kaku, tetapi dengan
cara mendialogkannya pada konteks zaman dan kekinian yang
47
Lihat kembali H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah
Lembagaan Islam di Indonesia, h. 77.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
182
dihadapi dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran yang segar dan
sikap fleksibel sehingga kompromi-kompromi dengan golongan
lain dapat dihasilkan.
Sikap seperti yang diperlihatkan pada Muktamar ke 11 di
Banjarmasin tahun 1936 agaknya telah mempercepat pencapaian
kompromi penerimaan Pancasila menjadi dasar negara, meskipun
hal ini dicapai melalui perdebatan seru dan alot dalam BPUPKI dan
PPKI. Penerimaan itu pun didasarkan atas pertimbangan agama,
yakni karena Pancasila tidak bertentangan dengan agama, apa lagi
bahwa sila “Keuhanan Yang Maha Esa” bukan saja pernyataan
akidah yang benar, melainkan memungkinkan syari’at dilaksanakan
dengan tertib dan nyata dan negara ikut bertanggung jawab dalam
pelaksanaan ini. Ketika perang mempertahankan kemerdekaan
menghadang, fatwa agama dikeluarkan untuk memberi landasan
dan pengesahan transendental atasnya. Dengan begitu semangat
mereka dapat dibangkitkan dan tindakan perang dapat dibenarkan.
Menemukan landasan agama dalam setiap tindakan agaknya
telah menjadi ciri NU dalam menghadapi permasalahan yang
menyangkut masyarakat, baik dalam soal hukum maupun
kekuasaan. Agama senantiasa dipakai untuk mengukur dan menilai
kekuasaan dan negara dan partisipasi atasnya. Ini terjadi, karena
watak agama Islam yang menjadi anutan kaum nahdliyin tidak
dapat dipisahkan dari kekuasaan. Meminjam kata-kata Kyai Wahab
Hasbullah, agama dan politik adalah sebuah kesatuan yang tak
dapat dipisahkan. Hubungan antara keduanya ibarat gula dengan
manisnya. Karena itu tidak mengherankan jika sejarah NU selalu
bersinggungan dengan politik, baik pada awal masa gerakannya
sebagai organisasi sosial keagamaan, ketika menjadi partai politik,
maupun setelah kembali lagi ke khittah 1926. Meskipun begitu,
dalam perjalanan gerakan NU, acap terjadi, kepentingan politik
dimenangkan dari pada pertimbangan agama. Contoh paling aktual
dari ini adalah ketika Abdurrahan Wahid menjadi Presiden RI.
Orang NU membela “mati-matian” tokoh tersebut untuk tetap
duduk di kursi kepala negara, meskipun secara fikih kedudukannya
itu tidak syah. Menurut fikih, seorang kepala negara haruslah
seorang yang sehat jasmani dan rohani.
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam
183
Daftar Pustaka
Abdussami, Khumaidi dan Ridwan Fkla As. (eds.). 1995. Biografi 5
Rois ‘Am Nahdlatul Ulama. Yogyakarta: LTN bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar.
Al-Malabary.tt. Fat¥ al-Mu‘³n, Bandung: Alma’arif.
Al-Mawardi. tt. Al-A¥k±m al Sul¯±niyah. Beirut.
Bahar, Bahar et-al (eds.). 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta:
Sekretariat Negara Repubik Indonesia.
Benda, Harry J. 1958. The Crescent and the Rising Sun, Van
Houve, The Hague-Bandung.
Feillard, Andree. 1996. NU vis-a-vis Negara, Jakarta: Gramedia.
Haidar, M. Ali. 1998. Nadlatul Ulama dan Islam di Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Hisyam, Muhamad. 2001. Caught Between Three Fires, The
Javanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration
1882-1942, Seri INIS, No.37, Jakarta-Leiden,
Kementrian Agama. 1955. Laporan Tahunan 1954. Bagian
Penerbitan, Jakarta.
Noeh, H. Zaini Ahmad. 1980. Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga
Islam di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta:
Grafiti pers.
Sayyid Othman. 1312 H. atau 1894 M. Al-Qaw±n³n al-Syariyyah li
ahl al-Maj±lis al-¦ukmiyyah, Batavia.
Syihab, Muhammad Asad Syihab. 1994. Hadratussyaikh
Muhammad Hasyim Asy’ari, alih bahasa K.H.A. Mustofa Bisri.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta bekerjasama dengan Titian
Ilahi Pers.
Sitompul, Einar M. 1989. Nahdlatul Ulama dan Pancasila. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Wahid, Abdurrahman. 1989. Pengantar dalam buku Einar M.
Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184
184
Verslag CSI Congres, laporan tentang kongres CSI 1916 dan 1917,
dokumen Het Kantoor voor Inlandsche Zaken.
Yamin, Mohammad (ed.). 1959. Naskah Persiapan Undang-
Undang Dasar 1945, Jilid I. Jakarta: Yayasan Prapanca.
Yusuf, Slamet Effendy et-al. 1984. Dinamika Kaum Santri. Jakarta.
Zuhri, H. Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia Jilid II,
PT. Gunung Agung, Jakarta, MCMLXXXI.