nahdlatul ulama dan problematika relasi agama-negara di

36
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di Awal Kemerdekaan RI Muhamad Hisyam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta [email protected] The Sixth Congress of Nahdlatul Ulama (NU) 1936 in Banjarmasin decided that the region of Dutch East Indies is dar ul Islam. This decision according to Abdurahman Wahid is the ideological basis for NU in terms of religion-state relations. This article explores the extent to which ideology is implemented in NU fighting after Indonesia's independence until 1955. The NU fighting in the context of religion-state relations showed a genuin form. Three of the most important theme in this period that take NU attention were theme about the homeland, the basis of the state and the of authority president. all theme that seems to NU always bases itself on religious views. Religiousity is always used to measure, assess and participation to the state Keywords: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri Dhoruri bis-Saukah. Kongres Nahdlatul Ulama (NU) yang ke XI tahun 1936 di Banjarmasin memutuskan bahwa negera Hindia Belanda adalah darul Islam. Keputusan ini menurut KH. Abdurrahman Wahid merupakan landasan ideologis gerak NU selanjutnya dalam kaitan hubungan agama-negara. Artikel ini menelusuri sejauh mana ideologi ini terimplementasi dalam gerak juang NU setelah Indonesia merdeka hingga 1955. Gerak juang NU dalam konteks hubungan agama-negara memperlihatkan watak genuisitasnya pada periode ini. Tiga momentum yang paling penting dalam periode ini adalah pendirian NU tentang tanah air, tentang dasar negara dan tentang otoritas presiden. Dalam ketiga tema itu tampaknya NU selalu mendasarkan diri pada pandangan agama. Agama senantiasa dipakai untuk mengukur dan menilai kekuasaan dan negara dan partisipasi atasnya. Kata kunci: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri Dhoruri bis-Saukah.

Upload: others

Post on 04-Nov-2021

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi

Agama-Negara di Awal Kemerdekaan RI

Muhamad Hisyam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta

[email protected]

The Sixth Congress of Nahdlatul Ulama (NU) 1936 in Banjarmasin

decided that the region of Dutch East Indies is dar ul Islam. This decision

according to Abdurahman Wahid is the ideological basis for NU in terms of

religion-state relations. This article explores the extent to which ideology is

implemented in NU fighting after Indonesia's independence until 1955. The

NU fighting in the context of religion-state relations showed a genuin form.

Three of the most important theme in this period that take NU attention were

theme about the homeland, the basis of the state and the of authority

president. all theme that seems to NU always bases itself on religious views.

Religiousity is always used to measure, assess and participation to the state

Keywords: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri

Dhoruri bis-Saukah.

Kongres Nahdlatul Ulama (NU) yang ke XI tahun 1936 di

Banjarmasin memutuskan bahwa negera Hindia Belanda adalah darul Islam.

Keputusan ini menurut KH. Abdurrahman Wahid merupakan landasan

ideologis gerak NU selanjutnya dalam kaitan hubungan agama-negara.

Artikel ini menelusuri sejauh mana ideologi ini terimplementasi dalam gerak

juang NU setelah Indonesia merdeka hingga 1955. Gerak juang NU dalam

konteks hubungan agama-negara memperlihatkan watak genuisitasnya pada

periode ini. Tiga momentum yang paling penting dalam periode ini adalah

pendirian NU tentang tanah air, tentang dasar negara dan tentang otoritas

presiden. Dalam ketiga tema itu tampaknya NU selalu mendasarkan diri pada

pandangan agama. Agama senantiasa dipakai untuk mengukur dan menilai

kekuasaan dan negara dan partisipasi atasnya.

Kata kunci: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri

Dhoruri bis-Saukah.

Page 2: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

150

Pendahuluan

Ketika kedudukan Presiden RI ke 4, Abdurrahman Wahid

diguncang lawan-lawan politiknya, baik di DPR maupun di luar

parlemen, sebagian ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan

fatwa bug±t terhadap para penentang presiden. Bug±t adalah konsep

fiqh politik, menggambarkan orang atau golongan yang menentang

kepala negara yang syah dan atas mereka wajib diperangi. Bahwa

kaum NU (Nahdliyyin) mendukung Presiden Abdurrahman Wahid

tidaklah mengherankan, karena presiden ini bukan saja pemimpin

NU, malahan termasuk dalam katergori ber-“darah biru” dalam arti

ia keturunan langsung (cucu) pendiri organisasi Islam terbesar ini,

K.H. Hasyim Asy’ari. Yang menimbulkan pertanyaan, mengapa

dalam negara Pancasila --terhadap mana NU sendiri masuk di

jajaran penyokong paling depan ketika dasar negara ini harus

dijadikan asas bagi semua organisasi masyarakat-- konsep bughot

yang datangnya dari fiqh ini dipakai untuk menghadapi para

penentangnya. Dari fatwa bug±t ini lahir pula “Pasukan Berani

Mati” untuk “memerangi” mereka yang menentang presiden.

Fatwa bug±t t ini bukan satu-satunya fenomena, di mana agama

dipakai untuk “menghukumi” politik negara. Dalam perjalanan

sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia dapat ditemukan

banyak fakta tentang ini. Sekali lagi, hal ini juga tidak

mengherankan. Secara garis besar barang kali dapat dikemukakan

bahwa campur tangan agama (Islam) dalam perkara pengaturan

negara merupakan konsekuensi logis dari prinsip-prinsip agama ini

tentang im±mah.1 Agama Islam sering dikatakan, baik oleh ulama

Islam sendiri maupun orientalis sebagai sistem yang komprehensif,

meliputi pengaturan kehidupan sosial, politik, dunia dan akhirat.

Karena itu Islam disebut d³n wa daulah, agama dan negara.

Konsep im±mah secara harfiah bermakna “kepemimpinan”,

tetapi dalam ilmu-ilmu Islam, baik fiqh, kalam maupun tasawwuf

1 Campur tangan agama dengan negara sebenarnya bukan monopoli Islam.

Semua agama sebenarnya mempunyai prinsip ajaran yang berkaitan dengan

pengaturan masyarakat keduniaan. Dalam kenyataan sejarah, hampir semua

agama-agama dunia menjadi besar karena berhutang budi pada negara.

Page 3: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

151

im±mah diartikan lebih luas, yakni pengaturan kekuasaan politik

yang dengannya otomatis menjadi bersinggungan dengan soal

pemerintahan dan negara. Dalam suatu definisi singkat tetapi

komprehensif, Imam Al-Mawardi menyebut bahwa im±mah adalah

penerus fungsi kenabian, yaitu menghidupkan agama dan mengatur

politik dunia.2 Dari ini berkembang suatu logika yang mengatakan

bahwa tujuan syari’ah Islam adalah tercapainya ketertiban agama,

dan untuk mencapai ini disyaratkan adanya ketertiban dunia. Oleh

karena itu, dapat difahami jika ada “adagium” yang menyatakan

bahwa membangun im±mah adalah sebuah keniscayaan.

Prinsip-prinsip seperti ini tampaknya telah berjalan sejak

terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara hingga

berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda yang kafir. Bahkan

dalam kekuasaan kolonial, di wilayah-wilayah yang otonom di

bawah kekuasaan kesultanan, seperti Yogyakarta dan Surakarta,

masih dapat dikatakan bahwa penegakan sistem im±mah tetap

berjalan.

Apakah di bawah kekuasaan orang kafir tidak lagi terdapat

ruang untuk menegakkan im±mah ? Mungkin benar bahwa im±mah

telah lenyap, karena yang berkuasa adalah orang kafir, tetapi di

sana terdapat pula elemen syari’ah yang pelaksanaannya

mensyaratkan adanya pengakuan negara atasnya, sehingga selama

masyarakat Islam masih ada, maka hubungan antara agama dan

negara tidak dapat dilenyapkan. Yang dimaksud dengan ini adalah

elemen syari’ah dalam soal penegakan hukum sipil. Syari’ah yang

terkait dengan kehidupan individual seperti shalat, puasa, dzikir dan

sebagainya dapat dijalankan tanpa campur tangan negara, tetapi

dalam soal hukum perkawinan dan peradilan sipil (qa«±)

diperlukan tauliyah (pendelegasian wewenang) resmi dari kepala

pemerintahan negara.3 Dalam masyarakat Muslim, qa«± adalah

2 Al-Mawardi, Al-A¥k±m as-Sul¯±niyah, Beirut, h. 4.

3 Di tahun 1919 Sarekat Islam menentang kedudukan penghulu sebagai qadi

karena diangkat oleh Belanda.Mereka membuat pengadilan agama sendiri yang

mereka sebut Raad Ulama, tetapi akhirnya batal, karena tersandung soal tauliyah,

dengan mana kedudukan seorang qadi syah adanya apa bila diberi wewenang

secara syah pula oleh pemerintah yang nyata-nyata berkuasa. Lihat Muhamad

Page 4: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

152

sebuah kewajiban yang tak dapat diabaikan. Di masa kolonial

memang timbul persoalan keabsahan tauliyah karena penguasa

negara bukan Muslim, tetapi wacana fikih sendiri memungkinkan

sahnya tauliyah oleh penguasa bukan Muslim.4 Di hampir semua

negara Muslim (mayoritas penduduknya beragama Islam) yang

menjadi koloni bangsa-bangsa Eropa, lembaga qa«± merupakan

pertahanan terakhir eksistensi Islam. Menghapuskan institusi ini

dapat mengakibatkan perlawanan fisik (perang), seperti yang

pernah terjadi di Nigeria, antara orang Islam melawan penguasa

jajahan Inggris.

Dalam sejarah Indonesia, usaha untuk menegakkan im±mah di

zaman penjajahan Belanda tidak pernah berhenti. Perang-perang

besar seperti perang Paderi, perang Aceh dan perang Dipnegoro

tidak dapat dipisahkan dari upaya mengembalikan im±mah yang

hilang karena penjajahan. Ketika perlawanan berubah pendekatan

yang dimulai pada awal abad 20, usaha-usaha inipun disampaikan

melalui saluran-saluran modern, seperti mosi kongres. Kongres

Central Sarekat Islam (CSI) pertama di Bandung tahun 1916 dan

kongres CSI kedua di Jakarta tahun 19175 telah mengeluarkan mosi

kepada pemerintah agar ummat Islam boleh mengatur urusannya

sendiri, terutama di bidang qa«±, menunjukkan bahwa perkara ini

mempunyai nilai sentral dalam upaya menegakkan im±mah di masa

Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under the Dutch

Colonial Administration 1882-1942, Seri INIS, No.37, Jakarta-Leiden, 2001, h.

158-160. 4 Sayyid Othman, seorang penasehat honorer pemerintah kolonial

memandang perlu menulis edisi kedua kitab karangannya berjudul Al-Qaw±n³n

al-Syariyyah li Ahli al-Maj±lis al-¦ukmiyyah, untuk menegaskan bahwa

tautliyah penguasa yang kafir itu syah adanya. Edisi pertama terbit tahun 1881,

sebelum lembaga qadla pribumi yang disebut pengulon di jadikan bagian dari

administrasi kolonial, di mana tauliyah diberikan oleh sultan. Tahun 1882,

pengulon dijadikan bagian dari administrasi kolonial, dan timbul masalah

tauliyah oleh penguasa kafir, karena pengangkatan penghulu setelah ini

berpindah dari tangah sultan ke tangan residen. Edisi kedua Al-Qaw±n³n terbit di

tahun 1312 H. atau 1894 M, dua belas tahun setelah inkorporasi lembaga

pengulon ke dalam administrasi kolonial. 5 Lihat Verslag CSI Congres, laporan tentang kongres CSI 1916 dan 1917,

dokumen Kntoor voor Inlandsche Zaken.

Page 5: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

153

kekuasaan Belanda yang kafir. Demikian pula partisipasi

Muhammadiyah dalam “Komisi Perbaikan Raad Agama” di tahun

1922, dan keterlibatan Nahdlatul Ulama dalam sidang Kantoor voor

Inlandsche Zaken di tahun 1929 dalam upaya penataan hukum

dalam urusan sipil orang pribumi. Pemerintah Hindia Belanda

menginginkan agar tertib sipil (burgerlijke stand) orang Islam tidak

lagi ditangani oleh penghulu (Raad Agama), melainkan oleh kantor

catatan sipil, berdasarkan ordonansi perkawinan sekuler yang

mereka susun sendiri. Reaksi-reaksi yang keras dari seluruh

organisasi Islam terhadap pemindahan wewenang pengadilan

perkara waris ummat Islam dari kantor penghulu ke pengadilan

landraad di tahun 1937 juga merupakan bagian dari concern Islam

terhadap politik im±mah.

Di antara tiga organisasi besar Islam masa penjajahan,

Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum “tradisionalis”, memang

yang terakhir berdiri, tetapi tidak berarti kesadaran menegakkan

im±mah di kalangan ulama tradisional baru tumbuh sekitar tahun

1926 ketika NU didirikan. Para pendiri NU adalah orang-orang

yang belajar di Makkah pada tahun-tahun sebelumnya. Di kota suci

Makkah mereka adalah aktivis Sarekat Islam, satu-satunya cabang

organisasi ini di luar negeri. Para pendiri NU seperti Kyai Abdul

Wahab Hasbullah, Kyai Ahmad Dahlan (Surabaya), dan Kyai

Asnawi (Kudus) sekembali ke Jawa adalah pendiri dan aktivis

Islam studyclub Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan di Surabaya.

Reaksi-reaksi NU menentang rencana-rencana pemerintah kolonial

yang merugikan Islam, seperti ordonansi perkawinan tercatat,

pemindahan pengadilan perkara waris ummat Islam dari Raad

Agama ke Landraad dan penolakan NU masuk volksraad6

membuktikan bahwa ada kesadaran (cita) tentang masa depan

negeri yang merdeka, di mana im±mah dapat ditegakkan.

Tetapi bentuk im±mah seperti apa yang dicita-citakan NU,

sementara Kongres NU ke XI di Banjarmasin, tahun 1936

memutuskan bahwa tanah Hindia Belanda yang tengah berada di

bawah kekuasaan Belanda yang non Muslim harus dianggap

6 Keputusan Kongres NU ke XIII di Menes, 1938.

Page 6: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

154

sebagai d±r al-Isl±m,7 negeri yang wajib dibela jika ada serangan

dari luar terhadapnya. Keputusan seperti ini memang kelihatan

unik, tetapi bagaimana logika para Kyai NU bisa sampai pada

kesimpulan seperti itu tidaklah mengherankan, sebab referensi

“kitab kuning” mereka sangat kaya pilihan. Di zaman Pendudukan

Jepang, NU bersama organisasi Islam lainnya bergabung dalam

Masyumi, bahkan memimpinnya, sebuah organisasi yang dibentuk

oleh pemerintah pendudukan bala tentara Jepang.

Keputusan Kongres NU di Banjarmasin tahun 1936, yang

menganggap bahwa negeri jajahan Hindia Belanda bersatatus d±r

al-Isl±m, menurut Abdurrahman Wahid merupakan landasan

ideologis gerak NU selanjutnya dalam konteks hubungan antara

agama dan negara. Makalah ini akan menelusuri, sejauh mana

ideologi ini terimplementasi dalam gerak juang NU setelah

Indonesia merdeka hingga 1955. Kita batasi hingga masa tersebut

mengingat masa inilah perjuangan menegakkan im±mah

memperlihatkan watak genuisitasnya. Setelah itu, tampaknya lebih

banyak “dipermainkan” oleh kelompok lain, yang sering disebut

sebagai kelompok nasionalis.

Data dan Pembahasan

Tanah Air Dalam Persepsi NU

Sejak masa penjajahan, NU telah menganggap bahwa negeri

tempat mereka hidup adalah sebuah d±r al-Isl±m atau negeri Islam,

meskipun dalam kenyataannya berada di bawah kekuasaan politik

kolonial Belanda. Telah disinggung di atas, salah satu keputusan

muktamar NU ke XI di Banjarmasin tahun 1936 yang menyangkut

kedudukan tanah air Hindia Belanda saat itu. Ada pertanyaan yang

harus dijawab oleh muktamar, apakah negeri yang tengah dijajah

oleh Belanda yang bukan muslim ini perlu dibela apa bila terjadi

serangan dari luar terhadapnya. Terhadap pertanyaan itu muktamar

memutuskan bahwa tanah Hindia Belanda adalah sebuah d±r al-

7 Lihat pengantar Abdurrahman Wahid dalam buku Einar M. Sitompul,

Nahdlatul Ulama dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, h. 10.

Page 7: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

155

Isl±m, sebuah konsep fikih yang menyipati status suatu negeri.

Pengertian d±r al-Isl±m dalam konteks Hindia Belanda, bahwa

negeri ini mayoritas penduduknya beragama Islam, dan dahulunya

dikuasai oleh kesultanan Islam, meskipun ketika itu berada dalam

kekuasaan orang Belanda yang kafir, tetapi orang Islam tidak

mengalami kesulitan menjalankan syari’at agamanya, negeri yang

dalam keadaan damai, dan orang Islam tidak diperangi. Karena itu,

negeri ini wajib dibela dari serangan luar. Muktamar mengambil

dasar argumentasi dari kitab Bugyat al-Musytarsyid³n karangan

Syeikh Hasan Al-Hadlrami. Dalam pembahasan bab mengenai

keamanan, perdamaian dan jizyah di halaman 254 disinggung

keadaan ummat Islam di Jawa, di mana disebutkan bahwa pada

umumnya tanah Jawa adalah d±r al-Isl±m.8

Menurut konsep fikih Syafi’iyah yang menjadi anutan ummat

Islam Hindia Belanda, kedudukan negara dapat digolongkan

menjadi tiga jenis, yaitu d±r al-Isl±m, d±r a¡-¡ul¥ dan d±r al-¥arb.

D±r a¡-¡ul¥ adalah negara damai, dimana syari’at Islam dapat

dijalankan dengan damai meskipun negara tidak secara formal

mengasaskan dirinya di atas Islam, sedangkan d±r al-¥arb adalah

nagara perang, yakni negara yang anti Islam, dan mengancam cita-

cita perwujuadan syaria’at agama Islam. darul Islam dan d±r a¡-

¡ul¥ wajib dibela, sedangkan negara perang harus diperangi.

Secara etimologis, d±r berarti negeri, dan dengan demikian,

konsep d±r al-Isl±m itu bermakna negeri di mana penduduknya

sebagian besar adalah orang Islam. Jadi tidak berarti negara Islam,

negara dengan sistem pemerintahan Islam. Dengan demikian,

pembelaan terhadap d±r al-Isl±m berarti membela penduduk yang

beragama Islam di wilayah tersebut, yang berarti pula solidaritas

sesama muslim. Dalam konotasi politik, status d±r al-Isl±m adalah

negeri di mana penduduknya beragama Islam dan melaksanakan

syari’at Islam dengan bebas dan terlindungi, meskipun penguasa

dan pemerintahan yang tengah berlaku di tempat tersebut bukan

8 Lihat Abdurrahman Wahid, loc-cit, dan juga H. Mohammad Djunaidi

dalam H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di

Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1980, h. 75.

Page 8: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

156

Islam. Dalam kenyataannya negara Hindia Belanda menyediakan

kelembagaan resmi bagi ummat Islam, di mana hukum Islam diakui

pemerintah dan secara resmi dilaksanakan, meskipun terbatas pada

hukum sipil, seperti perkawinan, waris dan wakaf. Raad Agama

yang merupakan kelembagaan Islam resmi itu adalah kelanjutan

dari lembaga kepenghuluan di masa kesultanan yang tetap bekerja

melaksanakan fungsinya sebagai mahkamah Islam dan pembinaan

pendidikan ummat Islam melalui masjid, madrasah dan juga

pelaksanaan rukun Islam yang keempat, yaitu zakat.9 Karena itu

dapat dipahami, mengapa keputusan Muktamar NU di Banjarmasin

demikian.

Prinsip membela tanah air yang berpenduduk mayoritas

muslim dalam pandangan NU merupakan kewajiban. Ini tidak

berarti pembelaan pula terhadap penjajahan Belanda. Seperti halnya

ummat Islam pada umumnya NU juga melawan secara politik

kedudukan Belanda di Indonesia. K.H. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar

dan pendiri NU dikenal sebagai ulama yang sangat anti Belanda. Ia

mengeluarkan banyak fatwa politik yang ditaati oleh ummat Islam.

Salah satu fatwanya adalah mengharamkan ummat Islam

bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun, dan

mengharamkan menerima bantuan dari Belanda dalam wujud

apapun dan dengan cara bagaimanapun.10

Menjelang akhir masa

penjajahan Belanda, ketakutan pemerintah kolonial akan invasi

Jepang ke Hindia Belanda telah dirasakan oleh masyarakat luas.

Untuk melawan ini Belanda merekrut banyak orang pribumi

menjadi tentara pemerintah Hindia Belanda atau Koninklijk

Nederlandsch Indische Leger (KNIL), dan mengajak seluruh

lapisan masyarakat untuk bersama-sama membela dan

mempetahankan Hindia Belanda dari kemungkinan serangan

9 Tentang penghulu dan Raad Agama pada masa kolonial Belanda lihat

Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under

The Dutcht Colonial Administration 1882 - 1942, INIS, Jakarta, Leiden, 2001,

passim. 10

Lihat Muhammad Asad Syihab, Hadaratussyaikh Muhammad Hasyim

Asy’ari, alih bahasa K.H.A. Mustofa Bisri, Kurnia Kalam Semesta bekerjasama

dengan Titian Ilahi Pers, Yogyakarta, 1994, h. 30.

Page 9: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

157

Jepang. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU-nya menolak seruan itu. Ia

lalu mengeluarkan fatwa mengharamkan ummat Islam menjadi

tentara Belanda, dan bekerjasama dengan mereka dengan cara

apapun.11

Fatwa-fatwa NU itu nampaknya cukup efektif. Sangat

sedikit kalangan santri, apa lagi orang NU, yang menjadi tentara

KNIL. Ketika tentara Jepang datang di bulan Maret 1942 dengan

mudah mereka memasuki Hindia Belanda tanpa perlawanan yang

berarti. Jika ditanya mengapa demikian, jawabannya sangat mudah,

karena Belanda tidak memperoleh dukungan dari seluruh rakyat

Hindia Belanda.

Berbeda dari politik Belanda yang anti Islam, politik Jepang

terhadap Islam di Indonesia lebih apresiatif. Di zaman Jepanglah

untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, ummat Islam

memperoleh perhatian yang wajar dari penguasa jajahan. Ini bukan

sebuah ketulusan, melainkan kalkulasi politik yang matang dari

Jepang. Sejak beberapa tahun sebelum kedatangan Jepang ke

Indonesia, studi-studi tentang negeri ini telah dimulai oleh para

ilmuwan Jepang. Ummat Islam adalah mayoritas yang

terpinggirkan selama pemerintahan kolonial Belanda dijalankan.

Golongan ini haruslah diperhitungkan dan diberi perhatian agar

kebencian terhadap Belanda berkembang lebih mekar, dan simpati

kepada Jepang dapat tumbuh. Dengan cara ini politik 3A Jepang

dapat dijalankan di Indonesia dengan mulus. Tetapi kedekatan

Jepang dengan ummat Islam hanya berlangsung di permulaannya

saja. Ketika pendudukan mulai berjalan beberapa lama, kekerasan

tentara Jepang pun di mana-mana mulai dirasakan merata terhadap

semua lapis golongan masyarakat. Pemaksaan-pemaksaan yang

tidak masuk akal terjadi pada semua lapis masyarakat pula. Seikerei

atau “penyembahan” terhadap Kaisar Jepang dengan cara

“bersujud” membungkuk ke timur di mana Kaisar Jepang berada

diwajibkan bagi semua orang Indonesia. Cara-cara seperti ini tentu

sangat berlawanan dengan akidah Islam yang hanya boleh

menyembah Allah, Tuhan seru sekalian alam. Penyembahan

terhadap selain Allah adalah sebuah kedhaliman paling besar, dan

11

Ibid., h. 31.

Page 10: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

158

karenanya bukan saja dilarang oleh Islam, melainkan dosanya tak

terampuni bagi orang yang melakukannya. Bibit permusuhan mulai

ditebarkan dan penangkapan-penangkapan terhadap mereka yang

menentang pun dilakukan.

Tetapi di masa Jepang ini pula para kiyai, ulama dan NU

mendapat kesempatan untuk tampil memimpin dan terlibat dalam

urusan praktis kenegaraan. Pada masa awal pendudukan tentara

Jepang Kyai Hasyim Asy’ari, ketua dan pendiri NU ditangkap oleh

penguasa Jepang, karena pemerintah militer itu khawatir terhadap

pengaruh sangat kuat dan luas sang Kyai di tengah masyarakat

dipakai untuk suatu gerakan anti Jepang. Karena itu, seketika Kyai

Hasyim Asy’ari dilepaskan pada bulan Agustus 1942 setelah lebih

dari lima bulan mendekam di penjara karena desakan kuat ummat

dan para pemimpin Islam, segera ia ditawari berbagai jabatan tinggi

tetapi ia menolaknya. Baru pada tahun 1944 Hasyim Asy’ari

menerima jabatan Kepala Shumubu atau Kantor Urusan Agama

Islam di seluruh Jawa dan Madura, semacam departemen yang

mengurusi soal keagamaan Islam. Ummat Islam dan para ulamanya

juga diberi kesempatan untuk ilkut dalam latihan militer, yang

kelak berguna bagi pertahanan rakyat di masa revolusi. Majlis

Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang pernah didirikan di tahun 1937

dihidupkan kembali di zaman Jepang, dan kemudian diubah

menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) organisasi

federasi ummat Islam Indonesia didirikan atas prakarsa Jepang, dan

menunjuk Kyai Hasyim Asy’ari kembali menjadi ketuanya.

Ketika cita membebaskan negeri dari penjajahan telah dicapai

setelah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, bahaya kembalinya

penjajah Belanda telah menghadang di depan “pintu”. Dalam waktu

kurang dari tiga bulan setelah proklamasi, ancaman itu benar-benar

telah menjadi kenyataan. Yang dilakukan ummat Islam, tidak lain

adalah mengangkat senjata. Dalam keadaan genting seperti itu,

sebuah fatwa jihad dari NU dikeluarkan. Fatwa itu diumumkan 22

Oktober 1945, 18 hari sebelum pecah pertempuran sangat heroik

antara arek-arek Suroboyo dengan tentara Sekutu, 10 November

1945. Isi fatwa yang sering disebut sebagai Resolusi Jihad itu

adalah mengajak ummat Islam, menentang pendudukan Tentara

Page 11: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

159

Sekutu dan kembalinya Belanda. Selengkapnya, Resolusi Jihad itu

berbunyi sebagai berikut:

1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17

Agustus 1945 wajib dipertahankan.

2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang

sah, wajib dibela dan diselamatkan.

3. Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda, yang datang

kemudian dengan membonceng tugas-tugas Tentara Sekutu

(Inggris) dalam masalah tawanan perang Bangsa Jepang

tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer

untuk kembali menjajah Indonesia.

4. Ummat Islam, terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat

senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak

kembali menjajah Indonesia.

5. Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban

tiap-tiap orang Islam (far«u ‘ain) yang berada pada jarak radius

94 km (jarak di mana ummat Islam diperkenankan sembahyang

jama’ dam qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak

tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang

berada dalam jarak radius 94 km tersebut.12

Selain fatwa jihad tersebut Kyai Hasyim Asy’ari juga

mengeluarkan fatwa yang sangat penting yang ditaati oleh orang

Islam Indonesia, yakni melarang ummat Islam Indonesia

menunaikan iabadah haji dengan menggunakan kapal milik

Belanda.13

Resolusi Jihad itu tampak sederhana, tetapi bagi ummat Islam

dan NU khususnya mempunyai makna sangat mendalam. Implikasi

dari Resolusi Jihad ini adalah kerelaan berkorban jiwa, raga dan

harta untuk mempertahankan tanah air yang telah diproklamasikan

12

Sebagaimana dikutip Slamet Effendy Yusuf et-al, Dinamika Kaum Santri,

Jakarta, 1984, h. 38. 13

Lihat Zamakhsyari Dhofier,”K.H. Hasyim Asy’ari, Penggalang Islam

Tradisional” dalam Khumaidi Abdussami dan Ridwan Fkla As. (eds.), Biografi 5

Rois ‘Am Nahdlatul Ulama, LTN bekerjasama dengan Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 1995, h. 16.

Page 12: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

160

kemerdekaannya. Memang, dari konsep fikih, negara Republik

Indonesia bisa jadi belum memenuhi kriteria im±mah yang

dicitakan oleh syari’ah, tetapi mengikuti kaidah u¡µl fiqh (legal

maxim): m± l± yudraku kulluh l± yutraku kulluh, apa yang tak

mungkin diwujudkan keseluruhannya tidak boleh ditinggalkan yang

terpentingnya. Apa lagi tanah air ini sejak lama telah diyakini

sebagai d±r al-Isl±m, negeri yang harus dibela dari serangan luar

yang ingin menghancurkan eksistensinya. Itulah sebabnya dengan

ringan dan mudah, setelah Resolusi Jihad itu diumumkan, di mana-

mana dibentuk Barisan Ulama, Barisan Mujahidin, Barisan

Hizbullah dan Sabilillah.14

Komitmen K.H. Hasyim Asy’ari terhadap pembelaan tanah air

ini barang kali juga dapat dilihat dari penyebab wafatnya Kyai

ketua NU ini. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa meskipun

Kyai Hasyim Asy’ari tidak ikut bertempur di medan perang tetapi

beliau adalah penasehat perang Jendral Soedirman dan Bung Tomo.

Dua orang ini selalu berkonsultasi dengan Kyai Hasyim Asy’ari

baik langsung maupun melalui utusan yang menemuinya di

kediaman sang Kyai di kampus Pesantren Tebuireng, Jombang,

Jawa Timur. Dari rumah kediamannya Kyai Hasyim Asy’ari

memberi spirit dan memantau setiap perkembangan dan kemajuan

laskar-laskar perjuangan yang bertempur di medan perang di

beberapa tempat di Surabaya. Dalam strategi perang Kyai Hasyim,

Malang merupakan pertahanan paling strategis untuk membendung

tentara Belanda masuk ke kawasan Jawa Timur pedalaman. Suatu

hari, di bulan puasa, persisnya tanggal 7 Ramadhan tahun 1366

Hijriyah bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 Miladiyah Kyai

Hasyim menerima utusan Jendral Soedirman untuk melaporkan

kejatuhan kota Malang. Mendengar laporan itu Kyai Hasyim sangat

tercengang, dan hanya sempat mengucapkan masya-Allah, masya-

Allah, masya-Allah sambil memegangi dadanya, lalu jatuh dan

wafatlah beliau.15

Kepergian Kyai Hasyim Asy’ari untuk selama-

14

Lihat K.H. Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia Jilid II, PT.

Gunung Agung, Jakarta, MCMLXXXI, h. 37. 15

Ibid.

Page 13: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

161

lamanya itu telah mengejutkan ummat Islam diberbagai tempat di

Jawa. Jenazahnya diantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir

oleh jumlah pengantar yang sangat besar. Pemerintah Indonesia

secara resmi ikut dalam upacara perkabungan itu. Digambarkan

oleh penulis biografi Kyai Hasyim Asy’ari, Muhammad Asad

Syihab, sebagai “Belum pernah Indonesia menyaksikan upacara

mengantar jenazah seperti itu. Ini merupakan penghormatan dan

penghargaan terhadap pejuangan beliau dan pengakuan atas

keutamaan serta kebesaran jasa-jasa beliau.”16 Dan dengan

Keputusan Presiden No. 294/1964 K.H. Muhammad Hasyim

Asy’ari ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Tanah air, bangsa dan kemerdekaan ternyata begitu penting

untuk dibela dan diselamatkan tanpa kesulitan untuk mengajak

ummat berkorban harta benda, raga dan jiwa sekalipun. Tidak lain

karena membela tanah air, bangsa dan kemerdekaan itu sama

nilainya dengan perang di jalan agama, perang demi Allah, demi

keluhuran asma-Nya. Bagaimana perang di masa revolusi ini diberi

makna, kita simak petikan pidato tanpa teks Ketua NU, K. H.

Wahid Hasyim di sekitar tahun 50-an seperti di bawah ini:

“Kita berjuang selama beberapa tahun, terutama selama

lima tahun terakhir, di mana kita memerangi kaum penjajah

dalam perang yang telah melenyapkan banyak tokoh dan

anak-anak kita. Kita telah mengorbankan segala yang kita

miliki, yang karenanya kita mengalami banyak kesulitan,

penderitaan dan kesengsaraan. Kita melakukan itu sebagai

langkah untuk meluhurkan kalimah Islam dan kejayaan

kaum muslimin. Kemerdekaan politik kaum muslimin

merupakan syarat yang tak bisa ditawar-tawar bagi

kehidupan kaum muslimin itu sendiri dan syari’atnya.

Segala usaha mempersempit kegiatan politik kaum

muslimin pada hakekatnya merupakan usaha

menghilangkan syari’at Islam. Atas dasar ini perang yang

16

Muhammad Asad Syihab, op-cit., h. 73/74.

Page 14: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

162

kita lakukan melawan kaum penjajah merupakan perang

agama. Perang di jalan Islam dan agama Islam. Betapa pun

besarnya perbedaan dan jarak selisih antara persenjataan

yang kita miliki dan yang dimiliki kekuatan penjajah baik

dari jumlah maupun perbekalannya. Meskipun demikian

kita menang dan berhasil atas anugerah Allah. Maka sudah

seharusnya kita bersyukur kepada Allah dan senantiasa

memanjatkan puji ke hadirat Ilahi, meskipun sementara

orang-orang yang ingkar bersikap takabur dan menganggap

bahwa kemenangan yang kita peroleh ini sama sekali tidak

ada sangkut pautnya dengan pertolongan Allah.

Ketakaburan mereka yang ingkar itu tidak hanya pada

penafian mereka terhadap pertolongan Tuhan, dan

pengaruhnya yang manjur dalam keberhasilan dan

kemenangan kita atas kaum penjajah, tetapi juga pada sikap

kemunafikan mereka pada waktu agresi militer pertama dan

kedua.”17

Jadi, bagi NU yang menjadi pokok diskusi tulisan ini, maupun

bagi orang Islam Indonesia pada umumnya, perang membela tanah

air, bangsa dan kemerdekaan sama halnya dengan jih±d f³ sab³lill±h, yakni perang di jalan Allah, dan perang membela agama

Allah. Kepercayaan yang demikian kuat seperti ini merupakan

motivasi vital yang membangkitkan keberanian menghadapi maut.

Mati dalam perang kemerdekaan adalah syahid, dan syahid adalah

kematian paling terhormat. Tidak ada kematian yang lebih mulia

dari pada syahid di jalan Allah. Kematian seperti ini tiada balasan

selain surga belaka.

Masalah Ideologi dan Dasar Negara

Ketika Jepang mulai merasa terpojok oleh kekuatan-kekuatan

Sekutu dalam perang Pasifik dan melihat kekalahannya sudah di

ambang pintu, pemerintah pendudukan mulai memikirkan nasib

17

Ibid.. h. 76-77.

Page 15: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

163

negeri jajahan, seandainya mereka benar-benar harus pulang ke

negaranya. Kelihatannya Jepang tidak ingin melihat Indonesia

kembali di bawah kekuasaan Belanda. Pemerintah Pendudukan

Jepang melihat ada peluang untuk memberikan kemerdekaan

kepada Bangsa Indonesia, dan lalu sebuah panitia persiapan

kemerdekaan pun dibentuk. Demikianlah pada tanggal 9 April 1945

Badan Penyelidik Usaha-usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) atau dalam bahsa Jepangnya Dokuritu Zyunbi Tioosakai

dibentuk. Badan ini terdiri dari 68 anggota, dengan komposisi: 8

orang Jepang, 15 orang dari golongan Islam, dan selebihnya dari

golongan nasionalis ditambah golongan priyayi atau aristokrat

Jawa. Termasuk dalam kelompok 15 orang tersebut, dua orang dari

NU, yaitu K.H. Abdul Wahid Hasyim dan K. H. Masykur. Pada

ketika ini pemerintah pendudukan Jepang agaknya telah

menangkap polarisasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia,

tetapi memperhatikan komposisi tersebut golongan Islam boleh

merasa janggal, mengingat bukan saja jumlah wakil golongan Islam

yang tidak proporsional dengan jumlah muslim yang mayoritas,

melainkan mengingat selama masa pemerintahan Jepang,

pemerintah tampak memperhatikan golongan Islam dan hampir

mengucilkan, atau lebih tepatnya, tidak memberi tempat kepada

kaum nasionalis. Bisa jadi ini berkaitan dengan kemampuan

intelektual yang lebih baik di kalangan kaum nasionalis sekuler dari

pada dalam kalangan Islam. Katakanlah, di kalangan kaum

nasionalis dan aristokrat Jawa lebih banyak terdapat orang

terpelajar dari pada di kalangan kaum santri. Jepang kelihatannya

lebih percaya terhadap kemampuan kaum nasionalis dalam soal

mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Bisa dimengerti, karena

sepanjang masa penjajahan, kaum santrilah yang paling keras

menolak Belanda, termasuk berkolaborasi dengan pendidikan Barat

di Hindia Belanda. Kaum santri kelihatannya hanya bersedia

berpartisipasi dalam sistem pendidikan mereka sendiri, pesantren,

dan menolak pendidikan Belanda. Hanya sebagian kecil saja

kalangan santri bergabung di sekolah Belanda.

Keterwakilan golongan Islam dalam BPUPKI itu secara

kuantitas memang tidak memadai, tetapi hasil kerja Badan ini, yang

Page 16: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

164

antara lain berupa karya monumental Piagam Jakarta, dapat

dikatakan sebagai kemenangan ummat Islam. Ini tidak mungkin

dicapai kecuali dengan argumen yang kuat dan faktual dari

golongan Islam, dan bukan semata-mata berdasar jumlah yang

banyak. Meskipun aspirasi Islam menjadikan Islam sebagai dasar

negara, atau sekurang-kurangnya Islam sebagai agama negara tidak

dapat dicapai tetapi satu klausul dalam Piagam Jakarta yang

berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” bakal

menjadi landasan konstitusional bagi pelaksanaan syari’at Islam di

negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan.

Jepang memberikan peran yang besar terhadap kaum nasionalis

dalam BPUPKI kelihatannya tidak salah langkah, karena ternyata

mereka mampu mempesiapkan apa-apa saja yang perlu untuk

mempersiapkan Indonesia merdeka. Rancangan Undang-Undang

Dasar berhasil disusun, dan peraturan peralihanya juga berhasil

dibuat. Jika diperhatikan notulen rapat-rapat dalam BPUPKI18

kelihatan sekali bahwa anggota BPUPKI dari golongan Islam lebih

banyak mendengar dari pada mengemukakan pikiran-pikiran.

Kalangan Islam dalam Badan itu tidak mampu bekerja sebaik kaum

nasionalis. Apa yang dilakukan dengan serius dan getol oleh

anggota BPUPKI dari golongan Islam adalah menjadikan Indonesia

yang akan merdeka sebuah negara Islam, atau sekurang-kurangnya

menjadikan Islam dasar negara atau agama negara. Pemerintah

Pendudukan Jepang bukan tidak meyadari gelagat dan

kemungkinan konflik dalam BPUPKI dalam soal peranan Islam

dalam negara yang akan merdeka. Karena itu Pemerintah

Pendudukan Jepang sejak dini telah mengisyaratkan sebuah pesan

kepada BPUPKI melalui Jendral Nishimura. Pesan itu antara lain

berbunyi bahwa pemerintah Pendudukan Jepang bersikap netral

terhadap status Islam dalam negara merdeka yang tengah

dipersiapkan. Rakyat Indonesia harus dapat mewujudkan cita-

18

Lihat Syafroedin Bahar et-al (eds.), Risalah Sidang Badan Penyelidik

Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Repubik Indonesia, Jakarta,

1995.

Page 17: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

165

citanya sendiri dalam negera yang merdeka. Pemerintah Dai Nipon

hanya menjadi fsilitator untuk ini.19

Memang sulit menyimak pikiran-pikiran golongan Islam dalam

BPUPKI, lantaran notulen rapat-rapat Badan ini20

yang sampai

kepada kita tidak lengkap. Sulit ditelusuri, mengapa buku

dukumenter yang amat penting itu melewatkan pokok pikiran yang

hidup di kalangan Islam yang menjadi bahan perdebatan dalam

Badan tersebut. Percikan pemikiran wakil-wakil Islam dalam Badan

itu hanya dapat tersingkap dari pidato orang lain, ketika

menyinggung soal dasar negara dan hubungan antara agama dan

negara. Misalnya, dalam sidang putaran pertama BPUPKI tanggal

31 Mei 1945, ketika Soepomo bepidato, menyinggung soal

hubungan agama dan negara dikatakan bahwa terdapat

pertentangan pendapat antara anggota-anggota ahli agama yang

menganjurkan Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dengan

anggota lain sepereti Mohammad Hatta yang menganjurkan

Indonesia merdeka sebagai negara persatuan nasional yang

memisahkan urusan agama dan negara.21

Dari ungkapan ini,

kelihatan jelas, meskipun tidak disebut nama, bahwa kalangan

Islam dalam Badan itu menghendaki Indonesia menjadi negara

Islam. Akan tetapi seperti apa konsep negara Islam yang dimaksud

tidak dapat di simak dari buku itu. Dari pidato Soepomo itu juga

dapat diraba, bahwa yang dimaksud negara Islam ialah bahwa

negara tidak terpisahkan dari agama. Negara dan agama bersatu

padu. Alasannya, Islam itu sebuah sistem agama, sosial, politik

yang bersandar atas Qur’an sebagai pusat sumber dari segala

susunan hidup manusia Islam. Hukum Syari’ah itu adalah perintah

Tuhan untuk menjadi dasar dan untuk dipakai oleh negara. Adapun

apa bila terdapat perkembangan baru dalam kehidupan politik,

tetapi tidak dapat ditemukan dasar hukumnya dalam syari’at, maka

dapatlah ditetapkan dengan jalan ijma’ asal tidak bertentangan

19

Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, Van Houve, The

Hague-Bandung, 1958, h. 188-9. 20

Maksudnya, buku Risalah Sidang BPUPKI yang disebut dalam footnote

no. 17. 21

Ibid., h. 38.

Page 18: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

166

dengan Qur’an dan Hadits. Ada juga pendapat yang lebih liberal,

seperti Ali Abdurrazik, bahwa agama itu boleh dipisahkan dari

hukum yang berhubungan dengan negara. Di dalam negara Islam

juga tidak perlu terdapat ketakutan dari orang-orang yang beragama

lain bakal tidak bebas menjalankan agamanya, karena kebebasan

menjalankan agama apa pun dijamin, dan kepentingan agama lain

pun diperhatikan. Tidak ada paksaan di dalam agama.22

Kalangan nasionalis menentang gagasan menjadikan Islam

sebagai dasar negara, atau menjadikan Indonesia yang bakal

merdeka negara Islam. Orang Islam tidak perlu khawatir, dengan

tidak menjadikan Indonesia negara Islam, negara bakal menjadi

tidak beragama (a-religieus). Dalam negara nasional agama

dijunjung tinggi dan negara mempunyai kewajiban untuk membela

agama yang dianut oleh rakyatnya, apa lagi yang penganutnya

mayoritas. Kita kutip petikan pidato Soepomo di bawah ini sebagai

alasannya.

“Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa

negara itu akan bersifat “a-religeus”. Itu bukan. Negara

nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti

kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita

moral rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu dan

hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral

yang luhur, yang dianjurkan oleh agama Islam.”23

Yang dikehendaki oleh kaum nasionalis adalah tidak

menjadikan Indonesia Negara Islam dan tidak pula menjadikan

Islam sebagai dasar negara, karena hal ini akan menimbulkan

perpecahan. Ada cara di mana persatuan dapat ditegakkan tetapi

Islam tetap menjadi ruh dan jasad dalam kehidupan negara. Inilah

jalan keluar yang ditawarkan Soekarno, permusyawaratan

perwakilan. Dalam pidato 1 Juni di rapat BPUPKI yang dikenal

kemudian sebagai “hari lahir Pancasila” Soekarno mengatakan:

22

Ibid., h. 38-39. 23

Ibid., h. 40

Page 19: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

167

“Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya

Negara Indonesia iyalah permusyawaratan, perwakilan.

Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk

memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam --

maaf beribu-ribu maaf, ke-Islaman saya jauh belum

sempurna-- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya

punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan

dapati tidak lain tidak bukan, hati Islam. Dan hati Islam

Bung Karno ini ingin membela Islam dalam mufakat, dalam

permusyawaratan. Dengan cara mufakat kita perbaiki segala

hal, dan juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan

pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan

Perwakilan Rakyat.....

Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja

sehebat-hebatnya agar supaya sebagian terbesar dari pada

kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan

diduduki oleh utusan-utusan Islam. .... Ibaratnya Badan

Perwakilan Rakyat itu 100 orang anggotanya, marilah kita

bekerja, bekerja sekeras-kerasnya agar supaya 60, 70, 80, 90

utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam,

pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya, hukum-hukum

yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat itu hukum Islam

pula.”24

Kemampuan berargumentasi kaum nasionalis yang boleh

dikata “brilian” menyebabkan gagasan menjadikan Negara

Indonesia merdeka sebuah negara persatuan nasional dapat diterima

oleh wakil-wakil golongan Islam dalam BPUPKI itu. Di sekitar

akhir Mei 1945, sebelum pidato Soekarno, tokoh-tokoh NU dalam

BPUPKI, K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Masykur, serta tokoh

Islam lainnya Abdul Kahar Muzakkir memang telah bertemu dan

berdiskusi perihal ideologi yang sangat penting itu dengan dua

tokoh nasionalis lain, Mohammad Yamin dan Soekarno. Mereka

24

Ibid., h. 77.

Page 20: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

168

berlima berdiskusi di rumah Mohammad Yamin. Peristiwa ini

dituturkan oleh K.H. Masykur dalam wawancara sejarah lisan oleh

Arsip Nasional pada 1 Oktober 1988.

“Kita ini ingin dasar Islam tapi kalau dasar Islam negara ini pecah.

Bagaimana kira-kira bisa umat Islam bela tanah air, tapi tidak

peca?” tanya Kyai Masykur.

“Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa,

tanah Indonesia ?” kata Soekarno.

Yamin mengatakan: “Zaman dulu orang Jawa punya kebiasaan.

Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar,

semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan , minta keselamatan,

minta apa, begitu.”

Lalu Soekarno berkata: “Nah ini mencari Tuhan namanya. Jadi

orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu di

mana, dan siapa Tuhan itu. ...... Kalau begitu negara kita dari dulu

sudah ketuhanan. bagaimana Islam? Ketuhanan ! Kalau bangsa

Indonesia ketuhanan. Mupakat? Bangsa ketuhanan..... tulis, tulis!

Ketuhanan. Lalu bagaimana Bangsa Indonesia?”

Kata Kyai Masykur: Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu

rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau waktu makan diajak

makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa

Jawa dulu sampai kalau sama menemani.”

Kata Soekarno: “Kalau begitu, bangsa Indonesia itu dulu bangsa

yang berperi-kemanusiaan. Satu sama lain suka menolong, kerja

sama, peri-kemanusiaan.”

Wahid Hasyim: “Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil, jangan

sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah

dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong

tangannya. Siti Fatimah putri Rosululloh. Jadi harus adil. Biar

anaknya, kalau salah ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam, ya

benar. Ini memang.”

Soekarno mengatakan: “ Siapa dulu...?”

Kahar Muzakkir menyahut: “Ada orang budayanya tidak mau

disentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa

Page 21: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

169

dilemparkan. Umpamanya orang bawahan pengemis, kasih uang

dilemparkan saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam,

harus diserahkan yang baik. Jadi peri-kemanusiaan yang adil dan

beradab. Adabnya ini tadi.”

Soekarno menyambung: “Orang Jawa itu dulu suka memberi sama

tetangganya. Kalau rumah ini tidak punya cabe, minta sama rumah

sini, kalau tidak punya garam, minta garam pada tetangga. ..... Ini

namanya tolong menolong, gotong royong. ...... Kalau ada apa-apa

kumpul orang desa itu. Satu sama lain bertanya, bagaimana baiknya

ini, begini baiknya begitu. Ini namanya musyawarah. Jadi bangsa

kita dari dulu suka bermusyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya

mupakatan, kalau mau menamakan anaknya, dinamakan siapa,

mupakatan. Yang diambil suaranya orang tua. Musyawarah

perwakilan. Orang Jawa itu, dulu kalau minta apa-apa dikasih.

Sampean minta apa, biar di sini habis, diberikan solidaritas

sosialnya. Bagaimana Islam?”

Kyai Masykur: “Islam memang zakat. Kita memberi sama fakir

miskin.”

Menurut Kyai Masykur, setelah menemukan lima pokok ini,

mau ditambah, tetapi karena umat Islam mempunyai rukun lima,

yang ada ini tidak perlu ditambah. Bisa dikembangkan, tetapi asal

hitungannya lima. Oleh Soekarno, kata Masykur, ini dijadikan

Pancasila. Lalu Soekarno mengatakan: “Mau saya usulkan

Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau. Awas ! Masykur jangan

ketawa imitasi.” Menurut kesaksian Kyai Masykur, diskusi berlima

ini berjalan seru, berlangsung dari jam tujuh petang hingga jam

empat pagi.25

Diskusi informal ini agaknya merupakan titik terang ke arah

kompromi antara golongan nasionalis dan golongan Islam. Tidak

ada rekaman lengkap perhelatan yang terjadi dalam Panitia Kecil

25

Dikutip dengan berbagai modifikasi dari rekaman wawancara Arsip

Nasional dengan K.H. Masykur pada tanggal 1 Oktober 1988, sebagaimana

dikutip oleh Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, h. 32-35.

Page 22: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

170

yang terdiri dari sembilan orang26

dan berhasil merumuskan Piagam

Jakarta, tetapi dalam laporan ketua Panitia Kecil, Soekarno

mengakui bahwa pada permulaan terdapat kesulitan

mempertemukan faham antara kaum nasionalis dengan Islam,

terutama yang menyangkut soal agama dan negara.27

Rumusan

Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh Panitia Kecil pada tanggal

22 Juni 1945 merupakan kompromi yang dapat dicapai antara

semua golongan dalam BPUPKI. Mengakhiri pidato pelaporan hasil

kerja Panitia Kecil Soekarno mengatakan sebagai berikut:

“Sekianlah tuan-tuan yang terhormat, Paduka Tuan Kaityoo

yang termulia, rancangan preambule yang diusulkan oleh

Panitia Kecil penyelidik usul-usul. Di dalam preambule ini

ternyatalah , seperti saya katakan tempo hari, segenap

pikiran yang mengisi dada sebagian besar dari pada anggota

Dokuritu Zyunbi Tyoosakai. Masuk di dalamnya ketuhanan,

dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk

menjalankan syariat Islam masuk di dalamnya; kebulatan

nasionalisme Indonesia, persatuan Bangsa Indonesia masuk

di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka di dalam

susunan peri-kemanusiaan dunia masuk di dalamnya;

perwakilan permukatan kedaulatan rakyat masuk di

dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheid masuk

di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik

usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa

menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada

di kalangan anggota-anggota Dokuritu Syunbi

Tyoosokai.”28

26

Nama-nama anggota Panitia Kecil itu adalah: Mohammad Hatta,

Mohammad Yamin, Soebardjo, Maramis, Soekarno, Abdoel Kahar Muzakkir,

Wahid Hasjim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Hadji Agoes Salim. 27

Saafroedin Bahar (eds.) op-cit. h. 94. 28

Ibid. h. 95/96.

Page 23: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

171

“Klausul Islami” dalam Piagam Jakarta rupanya menjadi bahan

perdebatan seru dalam sidang-sidang BPUPKI selanjutnya. Dalam

Panitia Undang Undang Dasar yang terdiri dari 19 orang anggota,

Latuharhary mengusulkan agar “kalusul Islami” dihapuskan saja,

karena dapat menimbulkan masalah bagi agama lain dan adat

Indonesia. Agus Salim menolak usul itu, karena persoalan agama

dan adat merupakan masalah lama, dan sudah selesai. Agama lain

juga tidak perlu khawatir, karena soal keamanan agama lain bukan

tergantung kepada negara, melainkan toleransi umat Islam sendiri.29

Kekhawatiran Wongsonegoro dan Husein Djajadiningrat bahwa

Piagam Jakarta akan menimbulkan fanatisme agama, oleh Wahid

Hasyim dijawab, bahwa penangkal utama bagi pemaksaan agama

adalah “permusyawaratan”.30

Perdebatan soal “klausul Islami” bertambah semakin seru

ketika Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan perlunya membuang

kata “bagi pemeluknya” agar sistem hukum di Indonesia tidak

dualisme. Dengan menghapus kata tersebut, maka hukum di

Indonesia hanya ada satu, yaitu hukum syari’ah. Sidang-sidang

BPUPKI paling seru adalah pada tanggal 15 dan 16 Juli, ketika

golongan Islam mengancam, kalau “klausul Islami” dihapuskan

maka tidak akan menyetujui Piagam Jakarta. Soekarno yang merasa

sangat prihatin dengan ketegangan ini mengimbau kepada kaum

nasionalis, agar menerima Piagam Jakarta seutuhnya, demi menjaga

persatuan dan lekas tercapainya negara nasional Indonesia yang

merdeka. Maka pada tanggal 16 Juli sidang BPUPKI menyetujui

Piagam Jakarta menjadi preambule Undang-Undang dasar

Indonesia, beserta dengan rancangan batang tubuhnya.31

Lain yang terjadi dalam BPUPKI, lain pula dalam Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI dibentuk tanggal 7

Agustus 1945, terdari dari 15 anggota, Soekarno dan Hatta masing-

masing menjadi ketua dan wakil ketua. Dalam Panitia ini, golongan

29

Mohammad Yamin (ed.), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar

1945, Jilid I ,h. 259. 30

Ibid. 31

Lihat Andree Felliard, op-cit., h. 36-39.

Page 24: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

172

Islam hanya diwakili oleh dua orang, yakni Wahid Hasyim dan Ki

Bagus Hadikusumo. Sidang pertama PPKI diselenggarakan pada 18

Agustus, sehari setelah proklamasi. Sebelum sidang, Hatta yang

telah menerima “ancaman” dari para pemimpin Indonesia Timur

yang beragama Kristen dan Katholik melalui seorang opsir Jepang,

melihat bahayanya jika “klausul Islami” dalam Piagam Jakarta

dipertahankan. “Ancaman” itu berisi, kalau tujuh kata “Islami”

dalam Piagam Jakarta (.....dengan kewajiban menjalankan syari’at

Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dihapuskan, maka rakyat

Indonesia Timur lebih baik tidak bergabung dalam Republik

Indonesia Merdeka. Hatta lalu melakukan lobi dengan para

pemimpin Islam, menyampaikan pertimbangan akan gawatnya

situasi ini. Kali ini, para pemimpin Islam menyadari bahaya itu, dan

sebelum sidang dimulai mereka telah setuju untuk menghilangkan 7

kata itu, lalu diganti dengan kata yang lebih sederhana, sehingga

menjadilah “berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pertimbangannya, situasi politik dan keamanan tidak mendukung

untuk bersitegang dalam soal ideologi. Persatuan perlu dijaga agar

kemerdekaan Indonesia dapat dipertahankan oleh seluruh rakyat

dan komponen bangsa. Golongan Islam dan nasionalis adalah yang

paling berkepentingan dengan persatuan bangsa ini. Ini sangat

penting, mengingat ancaman kembalinya penjajah Belanda telah

menghadang mereka. Lagi pula, dalam perubahan itu tersimpan

makna tauhid, justru doktrin yang paling inti dalam agama Islam.

Keberhasilan lobi Hatta menyebabkan sidang PPKI berjalan lancar.

Perubahan bukan saja pada preambule, tetapi juga pada batang

tubuh, yaitu pasal 6, yang mensyaratkan “persiden Indonesia

haruslah orang Indonesia sejati yang beragama Islam”, menjadi

“orang Indonesia asli” saja, dan pasal 29 juga dihilangkan kata

“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya” diganti dengan “Yang Maha Esa”.32

Rapat PPKI berlangsung mulus dalam membahas perubahan

fundamental mengenai isu sangat penting yang dulu diperjuangkan

dengan gigih oleh wakil-wakil golongan Islam dalam BPUPKI.

32

Lihat Andree Felliard, op-cit., h.. 40-41.

Page 25: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

173

Komentar golongan Islam bervariasi terhadap peristiwa ini. Dari

kacamata NU, hal ini mudah dipahami. Bukankah sudah disinggung

di muka bahwa dalam muktamar tahun 1936, ketika Indonesia

masih di bawah cengkeraman kekuasaan Belanda yang kafir pun,

NU menganggap bahwa Indonesia ini adalah d±r al-Isl±m?

Kepala Negara: Problem Otoritas

Di tahun 1954, sebuah Konperensi Alim Ulama di Cipanas,

Jawa Barat, memberikan “gelar”33

Waliy al-Amri ¬arµr³ bi asy-

Syaukah kepada Presiden RI, Soekarno. “Gelar” ini mengundang

kontroversi di kalangan ummat Islam sendiri, ditafsir secara politik,

meskipun sebenarnya “gelar” itu diberikan dalam hubungan dengan

pelaksanaan teknis hukum fiqh tentang kewenangan menunjuk dan

mengangkat wali hakim dalam akad pernikahan bagi perempuan

yang tidak memiliki wali nasab (genealogis).

Kontroversi kedudukan kepala negara sebenarnya telah

berlangsung sejak 1952, ketika dikeluarkan Peraturan Menteri

Agama no. 4, tahun 1952 yang mengatur wali hakim untuk daerah

luar Jawa dan Madura. Agar diskusi tentang kontroversi “gelar”

Waliy al-Amri ¬arµr³ bi asy-Syaukah dapat lebih rinci, sebagian isi

Peraturan Menteri Agama no. 4, tahun 1952 itu dikutip di bawah

ini:

a. Mencabut kekuasaan penunjukan wali hakim yang telah

diberikan oleh Menteri Agama kepada Kepala Kantor Agama

Propinsi;

b. Membatalkan tauliyah-tauliyah wali hakim yang telah diberikan

oleh instansi-instansi pemerintah dan Swapraja, serta tauliyah-

tauliyah wali hakim lainnya yang bertentangan dengan

peraturan ini.

c. (Pasal 1) (1) Apabila seseorang perempuan tidak mempunyai

wali nasab, yang berhak, atau bila wali yang aqrab mafqud,

33

Meskipun di sejumlah sumber disebut “gelar”, tetapi dilihat dari konteks

permasalahan lebih tepat disebut “fungsi”. Lihat H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah

Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1980.

Page 26: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

174

sedang menjalankan hukuman dan tidak dapat dijumpai, atau

jauh (sejarak masafat qasar) dan sebagainya, maka nikahnya

dapat dilangsungkan oleh wali hakim. (2) Apabila wali nasab

itu ‘adhal (menolak, tidak mau menikahkan) maka nikah

perempuan itu dilangsungkan oleh wali hakim, setelah diadakan

pemeriksaan seperlunya kepada yang bersangkutan.

d. (Pasal 2) Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten diberi kuasa

untuk, atas nama Menteri Agama, menunjuk qadli-qadli nikah

(pembantu pegawai pencatat nikah) yang cakap serta ahli untuk

menjadi wali hakim dalam wilayahnya masing-masing guna

menjalankan nikah wali hakim sebagai tersebut dalam pasal 1

ayat 1 peraturan ini.

Keputusan ini diambil setelah mendengar pendapat dan fatwa dari

Konperensi Alim Ulama di Tugu, Jawa Barat, yang

diselenggarakan pada tanggal 12-13 Mei 1952.34

Peraturan Menteri Agama no. 4 tahun 1952 tersebut

dipertanyakan oleh Perti (Partai Islam Persatuan Tarbiyah

Islamiyah) kepada pemerintah di DPR. Persoalannya, apakah

tauliyah wali hakim oleh Kepala kantor Urusan Agama kepada

kadi-kadi nikah secara fikih dapat dianggap sah, mengingat yang

mengangkat Kepala Kantor Urusan Agama adalah Menteri Agama

yang diangkat oleh Presiden RI. Dengan demikian masalah pokok

yang dipertanyakan adalah perihal keabsahan kedudukan Kepala

Negara ditinjau menurut hukum fikih. Soekarno sebagai Presiden

RI diangkat tidak menurut standar dan prosedur Syari’at

sebagaimana menjadi ketentuan hukum Islam, sehingga

keabsahannya diragukan.35

Partai Islam Perti yang berbasis di Sumatera Barat, agaknya

terpengaruh oleh tradisi Minangkabau, di mana tauliyah untuk wali

34

Lihat Penjelasan Biro Peradilan Agama atas Keputusan Konperensi Alim

Ulama dengan Menteri Agama di Cipanas, tanggal 2-7 Maret 1954, dalam

lampiran buku H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam

di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1980, h.. 71/72. 35

Lihat ibid. h. 73-74. Uraian berikut ini sepenuhnya diambil dari sumber

yang sama.

Page 27: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

175

hakim secara tradisional diberikan oleh musyawarah para

pemimpin masyarakat Islam, sebagai konsekuensi dari ketentuan

Syari’at yang menyatakan apabila dalam masyarakat Islam tidak

terdapat imam, sultan atau kepala negara yang syah, maka tauliyah

wali hakim dan juga kadi pada umumnya diberikan oleh ahl al-¥alli

wa al-‘aqd, yakni musyawarah para pemuka masyarakat muslim

yang ada. Peraturan Menteri Agama no. 4 1952, dalam pandangan

partai tersebut, karenanya, dianggap ganjil, dan perlu ditinjau

kembali. Menteri Agama yang diangkat oleh Presiden RI,

Soekarno, waktu itu, tidak mempunyai kewenangan memberikan

tauliyah kepada wali hakim dan hakim lainnya, karena Presiden RI

tidak diangkat sesuai dengan prosedur Syara’.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Menteri Agama (K.H.

Fakih Usman) lalu menggelar Konperensi Alim-Ulama di Bogor,

pada 4 - 5 Mei 1953. Beberapa kesimpulan Konperensi tersebut

dikutib sebagai berikut:

1. Setuju dan menguatkan Keputusan Konperensi Kementerian

Agama dengan para Alim-Ulama di Tugupada tanggal 12 - 13

Mei 1952, yaitu mengakui hak dari Menteri Agama untuk

mengangkat serta menunjuk wali hakim bagi perkawinan-

perkawinan mempelai isteri yang tidak mempunyai wali, atau

walinya gaib, ‘adhal dan sebagainya.

2. Walaupun umpama syarat-syarat “sulthan” dalam pengertian

syara’ belum terdapat sepenuhnya ada pada Bapak Kepala

Negara kita (Republik Indonesia) dengan jalan Bai’ah, akan

tetapi nyata sudah, bahwa presiden Republik Indonesia adalah

©µ syaukah, dan oleh sebab itu, beliau berhak penuh dalam soal

wali hakim ini mentauliahkan kepada yang ditunjukkanya

berdasarkan peraturan yang sah, dan dalam hal ini ialah Menteri

Agama. Selanjutnya Menteri Agama dapat menunjuk mereka

yang mustahiq menjalankan perkawinan wali hakim.

3. Urusan wali adalah termasuk salah satu rukun dalam

pernikahan. Penunjukan wali hakim bagi mempelai isteri yang

tidak mempunyai wali, harus dilakukan oleh ©µ syaukah, dari

Page 28: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

176

sebab itu, sudah pada tempatnya, urusan ini dicampuri oleh

Menteri Agama.

4. Mengakui sahnya peraturan Menteri Agama no. 1 dan no. 4

tahun 1952 tentang pengangkatan wali hakim.36

Akan tetapi Partai Perti masih belum dapat menerima

keputusan Konperensi Alim-Ulama dengan Kementerian Agama

tersebut lantaran pihaknya tidak diundang untuk ikut membicarakan

masalah yang mereka pertanyakan tersebut. Ini dikemukakan dalam

sidang Parlemen, yang dijawab akan mengajak serta Partai tersebut

dalam konoperensi yang akan diselenggarakan kemudian. Janji

tersebut ditepati pemerintah, dan pada tanggal 3 - 6 Maret 1954 di

Cipanas, dan Konperensi pendahuluan diadakan di Jakarta, pada 2

Maret sebelumnya.37

Konferensi Alim-Ulama di Cipanas ini membicarakan, antara

lain isu yang paling penting, yakni soal kedudukan kepala negara.

Tentang ini kesimpulannya sebagai berikut:

1. Presiden sebagai Kepala Negara, serta alat-alat negara sebagai

dimaksud dalam U.U.D.38

pasal 44, yakni: Kabinet, Parlemen,

dan sebagainya adalah Waliy al-Amri ¬arµr³ bi asy-Syaukah.

2. Waliyyul Amri Dhlorury wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal

yang tidak menyalahi Syari’at Islam.

3. Tauliyah Wali Hakim dari Presiden kepada Menteri Agama,

dan seterusnya kepada siapa yang ditunjuk olehnya, termasuk

pula tauliyah Wali Hakim yang menurut kebiasaan yang hidup

di tempat-tempat yang ditunjuk oleh ahl al-¥illi wa al-‘aqd

adalah sah. Untuk menjalankan akad-akad nikah Wali Hakim

36

Ibid., h. 72/73. 37

Konferensi Alim-Ulama di Cipanas ini dihadiri oleh 21 ulama dari 13

propinsi. Sebagian besar ulama peserta konperensi adalah dari kalangan NU.

Karena itu dapat dipahami, jika persoalan Waliyyul Amri Dhorury Bis-Syaukah

ini didiskusikan kembali selalu dikaitkan dengan NU, meskipun secara formal

konperensi Cipanas tahun 1954 diselenggarakan oleh Kementerian Agama

bersama Alim-Ulama pada umumnya. 38

Yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik

Indonesia.

Page 29: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

177

sesuai yang dimaksud oleh Undang-undang Pencatatan Nikah,

Talak dan Ruju’, harus ada surat peresmiannya lebih dahulu

dari pemerintah.

4. Berhubung dengan ayat 1, 2, dan 3 tersebut di atas, maka

nyatalah bahwa Peraturan Menteri Agama no. 4, tahun 1952

tentang Wali Hakim untuk luar Jawa - Madura adalah sah.39

Keputusan-keputusan konperensi alim-ulama dalam tiga

kesempatan disebut di atas patut kita renungkan sehubungan

dengan pertanyaan-pertanyaan: mengapa Kepala Negara RI

diperdebatkan keabsahannya? Mengapa harus disebut Waliy al-

Amri? mengapa disebut ¬arµr³? mengapa bi asy-Syaukah?

Jawaban sederhana atas pertanyaan-pertanyaan tersebut,

pertama perlu diingat bahwa dalam konsepsi fikih Syafi’iyah,

sebagaimana lazimnya dianut ummat Islam Indonesia, mewujudkan

konsep imamah dalam kenyataan politik merupakan sebuah

keniscayaan. Kitab-kitab fikih sederhana sekalipun pada umumnya

menyinggung soal wajibnya ummat Islam mewujudkan imamah

dalam setiap masyarakat Muslim. Hal ini berkaitan dengan

pelaksanaan teknis qa«± atau peradilan, di mana dinyatakan bahwa

pelaksanaannya merupakan kewajiban kolektif (fardlu kifayah)

dalam setiap masyarakat muslim. Menurut ketentuan fikih, seorang

hakim atau q±«³ sah adanya apabila diberi tauliyah atau

pendelegasian wewenang secara sah oleh imam atau kepala negara.

Syarat ini adalah ketentuan yang tak dapat ditawar. Hakim tanpa

tauliyah imam, karenanya, menjadi ilegal kedudukannya, tidak sah

dan tidak wajib dipatuhi keputusannya. Tauliyah ini begitu asasinya

dalam ketentuan fikih, sehingga ditolerir, dalam keadaan darurat

tertentu, tauliyah dari kepala negara yang bukan muslim

sekalipun.40

Dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa

fungsi q±«³ dijalankan oleh penghulu. Karena itu dalam setiap

pengangkatan penghulu baru tauliyah raja dibacakan, dengan mana

pendelegasian wewenang yang sebagiannya menyangkut kekuasaan

kehakiman dinyatakan oleh raja kepada penghulu melalui serat

39

H. Zaini Ahmad Noeh, op-cit, h. 66 - 67. 40

Lihat misalnya kitab fikih sederhana Fathu al-Mu’in, h. 136-138.

Page 30: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

178

kekancingan.41

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Islam, dalam hal ini, telah

mengikuti ketentuan syari’at Islam.

Pengaruh kitab fikih dalam pikiran dan kelakuan ummat Islam

Indonesia tidak diragukan lagi, mengingat bahwa sebagian besar

kitab agama Islam yang beredar di negeri ini, sejak dulu hingga

sekarang adalah kitab fikih. Karena itu tidak perlu diherankan lagi,

bagi muslim Indonesia, jika setiap perilaku atau perbuatan manusia

diukur menurut konsepsi fikih tersebut. Semua kelakuan manusia

dapat dikategorikan ke dalam salah satu kategori al-a¥k±m al-

khamsah (hukum yang lima, yaitu: wajib, haram, sunnah, makruh

dan mubah). Bagi muslim Indonesia pertanyaan apa hukumnya

terhadap atau tentang sesuatu adalah biasa, dan hampir menjadi

karakter cara beragama di negeri ini. Ini dapat dipahami sebagai

pengaruh dari kitab fikih yang ada di Indonesia.

Dalam kajian akademik, genre fikih dapat dibagi menjadi dua,

yaitu fiqh taqr³r³ dan fiqh qa«±. Yang pertama merupakan

komposisi teoretis yang dilahirkan dari telaah atas teks sumber

pokok Islam atau sumber hukum, sementara genre kedua tersusun

selain berdasarkan sumber teks seperti itu juga diperkaya dengan

pengalaman praktis atau konteks sosial ummat Islam. Fiqh qa«±.

sebenarnya dapat lebih “membumi” dari pada fiqh taqr³r³, tetapi di

Indonesia, kitab fikih yang beredar selain hanya madzhab Syafi’i

juga hanya fiqh taqr³r³.42 Akibatnya dapat dipastikan bahwa

konsep-konsep fikih normatif lebih menguasai jalan pikiran muslim

Indonesia, dari pada fikih kontekstual.

Dalam kitab-kitab fikih siyasah (politik), sebutan untuk kepala

negara setelah wafatnya Rasulullah, yang paling lazim adalah:

khalifah, amirul mukminin atau amir saja, imam, sultan, dan malik.

Untuk menjadi kepala negara yang sah, menurut fikih, disamping

41

Lihat Muhamad Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese

Pangulu Under The Dutch Colonial Administration 1882-1942, INIS, Leiden-

Jakarta, 2001, h. .... 42

Lihat M. Ali Haidar, Nadlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Gramedia,

Jakarta, 1998, h. 267.

Page 31: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

179

harus memenuhi syarat-syarat pribadi tertentu, pengangkatannya

juga harus mengikuti prosedur yang lazim menurut negara Islam

tradisional, misalnya bai‘at, istikhl±f, syµr± dan sebagainya.

Presiden Soekarno, tidak memenuhi syarat, baik pribadi sebagai

amirul mukminin, maupun cara pengangkatannya, sehingga ia tidak

dapat disahkan sebagai amirul mukminin atau sultan, maupun

imam. Akan tetapi de facto, Presiden Soekarno adalah Kepala

Negara yang mempunyai kekuasaan. Karena itu, ia pantas disebut

waliy al-amri, suatu gelar yang tidak lazim dipakai sebagai gelar

bagi kepala negara Islam, tetapi secara lugaw³ dapat diterima,

karena ia memang pimpinan kekuasaan pemerintahan. Adapun

«arµr³, yang berarti dalam keadaan darurat, dipakai sebagai

“menutupi” keadaan darurat, di mana tidak ada sultan yang

sebenarnya, sementara dalam teks Hadits disebutkan: “Sultan

adalah wali bagi mereka (pengantin perempuan) yang tidak

mempunyai wali”. Kepala Negara Republik Indonesia, Presiden,

tidak jelas, apakah seorang sultan atau khalifah. Dalam keadaan

demikian naka digunakan istilah dlorury yang berarti dalam

keadaan darurat atau untuk sementara waktu, karena untuk

membangun imamah sendiri yang sesuai dengan ketentuan fikih

pada masa itu dirasakan tidak mungkin. Kata bi asy-syaukah yang

berarti dengan kekuasaan, karena kekuasaan yang dimaksud bukan

semata-mata kekuasaan presiden, melainkan seperti yang dimaksud

oleh pasal 44 UUD Sementara tahun 1950, yakni selain presiden,

ada kabinet, parlemen, dan lembaga tinggi negara lainnya.43

Menurut Zaini Ahmad Noeh, pengangkatan kepala negara menurut

UUD 1950 tidak mempunyai ikatan hukum seperti disyaratkan oleh

hukum Islam (fikih) seperti halnya sultan, khalifah, imam dan

lainnya. Ini berbeda dari UUD 1945, di mana kedudukan dan

kekuasaan kepala negara cukup jelas, sehingga dapat dipandang

memenuhi syarat hukum fikih. Karena itu dalam masa itu, di mana

UUD yang berlaku adalah UUD 1950, yang dimaksud dengan

43

Ibid. h. 76-77.

Page 32: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

180

waliyyul amri adalah Presiden, Menteri-menteri, Dewan Perwakilan

Rakyat, Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan.44

Istilah yang dipakai dalam keputusan Konperensi Alim-Ulama

tahun 1953 di Bogor ©µ syaukah (lihat keputusan poin 2 dan 3),

berarti yang memiliki kekuasaan, dikoreksi dalam Koneperensi

Alim-Ulama di Cipanas tahun 1954 menjadi bi asy-syaukah

(dengan kekuasaan) dengan alasan, istilah yang disebut pertama

dipakai apa bila kepala negara adalah orang kafir. Karena Presiden

Soekarno seorang muslim, maka, menurut Sulaiman Arrasuli ,

maka istilah bi asy-syaukah dipandang lebih tepat.45

Meskipun secara formal konperensi alim-ulama di Cipanas

tersebut di atas diselenggarakan oleh Kementerian Agama bersama

alim-ulama pada umumnya, tetapi sebagian besar yang hadir adalah

dari kalangan NU. Bisa difahamai, karena Menteri Agama kala itu

adalah K.H. Masjkur, dari NU, dan kelihatannya mengundang

kiyai-Kyai dari kalngan mereka sendiri. Perti yang dianggap

sealiran dengan NU tidak pula diundang dalam dua konperensi

pertama. Kalangan Islam reformis, terutama Persatuan Islam

(Persis), tidak mengakui hasil konferensi, karena tidak diikuti oleh

semua komponen ulama dari semua aliran atau kelompok. Pesris

mengecam bahwa para ulama yang ikut dalam konperensi alim-

ulama itu tidak dapat mengambil simpul hukum (istimbat),

sehingga gelar ataupun fungsi bagi presiden waliy al-amri «arµr³ bi asy-syaukah tidak dapat diterima secara hukum. Mereka

menuntut diadakan konperensi alim-ulama kembali dengan

mengundang semua komponen ulama, tetapi kali ini untuk

mencabut keputusan konperensi alim-ulama Cipanas.46

Dari uraian di atas jelaslah bahwa gelar atau fungsi presiden

sebagai waliy al-amri «arµr³ bi asy-syaukah adalah dalam kapasitas

44

H. Zaini Ahmad Noeh, “Waliyyul Amri Dhorury Bis-Syaukah” dalam

Panji Masyarakat, no. 456, 1985. 45

Lihat Kementrian Agama, Laporan Tahunan 1954, Bagian Penerbitan,

Jakarta, 1955. 46

Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti pers, Jakarta,

1987, h. 343.

Page 33: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

181

dan hubungannya dengan praktek kehukuman, khasnya yang

bertalian dengan fungsi wali hakim bagi syahnya (rukun) akad

nikah mempelai perempuan yang tidak memiliki wali nasab

(genealogi). Demikian, kesimpulan yang juga diberikan dalam

penjelasan Kementerian Agama, yang dalam hal ini diberikan oleh

H. Moch. Djunaidi, Kepala biro Peradilan Agama waktu itu. 47

Meskipun demikian, sulit untuk membantah bahwa gelar itu akan

berimplikasi politik, apa lagi mengingat bahwa dalam keputusan

Konperensi Alim-Ulama di Cipanas itu terdapat butir dua yang

menyatakan: “Waliy al-amri «arµr³ wajib ditaati oleh rakyat dalam

hal yang tidak menyalahi syari’at Islam.” Di belakang hari terbukti,

bahwa “gelar” waliy al-amri «arµr³ bi asy-syaukah menimbulkan

kontroversi politik. Oleh para pendukung Soekarno, gelar itu

dipakai untuk melegitimasi secara agama kepemimpinannya.

Ketika “gelar” ini diberikan, tak dapat diingkari bahwa kekuasaan

Soekarno tengah digoncang oleh gerakan Darul Islam di bawah

“komando” S.M. Kartosuwiryo.

Penutup

Organisasi keagamaan Islam kaum santri “tradisional” yang

dikenal berciri dekat dengan kultur lokal dan fleksibel ini

tampaknya tidak mungkin membiarkan lewat begitu saja, tanpa ikut

campur tangan secara serius dalam masa-masa paling krusial

dihadapi bangsa pada sekitar kemerdekaan Republik Indonesia. Ini

adalah masa ketika mereka menghadapi bukan saja tanah air dan

bangsa, melainkan negara. Partisipasi adu gagasan dalam soal

pengaturan sosial-politik ketika negara telah berada di hadapan

mereka tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan ajaran agama

yang mendasari dan memberi warna serta corak pemikiran dan cita

ideal tata masyarakat yang harus diperjuangkannya. Fikih yang

digali dari “kitab kuning” atau buku-buku keagamaan klasik

merupakan wacana yang kadang-kadang terasa kaku, tetapi dengan

cara mendialogkannya pada konteks zaman dan kekinian yang

47

Lihat kembali H. Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif Sejarah

Lembagaan Islam di Indonesia, h. 77.

Page 34: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

182

dihadapi dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran yang segar dan

sikap fleksibel sehingga kompromi-kompromi dengan golongan

lain dapat dihasilkan.

Sikap seperti yang diperlihatkan pada Muktamar ke 11 di

Banjarmasin tahun 1936 agaknya telah mempercepat pencapaian

kompromi penerimaan Pancasila menjadi dasar negara, meskipun

hal ini dicapai melalui perdebatan seru dan alot dalam BPUPKI dan

PPKI. Penerimaan itu pun didasarkan atas pertimbangan agama,

yakni karena Pancasila tidak bertentangan dengan agama, apa lagi

bahwa sila “Keuhanan Yang Maha Esa” bukan saja pernyataan

akidah yang benar, melainkan memungkinkan syari’at dilaksanakan

dengan tertib dan nyata dan negara ikut bertanggung jawab dalam

pelaksanaan ini. Ketika perang mempertahankan kemerdekaan

menghadang, fatwa agama dikeluarkan untuk memberi landasan

dan pengesahan transendental atasnya. Dengan begitu semangat

mereka dapat dibangkitkan dan tindakan perang dapat dibenarkan.

Menemukan landasan agama dalam setiap tindakan agaknya

telah menjadi ciri NU dalam menghadapi permasalahan yang

menyangkut masyarakat, baik dalam soal hukum maupun

kekuasaan. Agama senantiasa dipakai untuk mengukur dan menilai

kekuasaan dan negara dan partisipasi atasnya. Ini terjadi, karena

watak agama Islam yang menjadi anutan kaum nahdliyin tidak

dapat dipisahkan dari kekuasaan. Meminjam kata-kata Kyai Wahab

Hasbullah, agama dan politik adalah sebuah kesatuan yang tak

dapat dipisahkan. Hubungan antara keduanya ibarat gula dengan

manisnya. Karena itu tidak mengherankan jika sejarah NU selalu

bersinggungan dengan politik, baik pada awal masa gerakannya

sebagai organisasi sosial keagamaan, ketika menjadi partai politik,

maupun setelah kembali lagi ke khittah 1926. Meskipun begitu,

dalam perjalanan gerakan NU, acap terjadi, kepentingan politik

dimenangkan dari pada pertimbangan agama. Contoh paling aktual

dari ini adalah ketika Abdurrahan Wahid menjadi Presiden RI.

Orang NU membela “mati-matian” tokoh tersebut untuk tetap

duduk di kursi kepala negara, meskipun secara fikih kedudukannya

itu tidak syah. Menurut fikih, seorang kepala negara haruslah

seorang yang sehat jasmani dan rohani.

Page 35: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam

183

Daftar Pustaka

Abdussami, Khumaidi dan Ridwan Fkla As. (eds.). 1995. Biografi 5

Rois ‘Am Nahdlatul Ulama. Yogyakarta: LTN bekerjasama

dengan Pustaka Pelajar.

Al-Malabary.tt. Fat¥ al-Mu‘³n, Bandung: Alma’arif.

Al-Mawardi. tt. Al-A¥k±m al Sul¯±niyah. Beirut.

Bahar, Bahar et-al (eds.). 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik

Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta:

Sekretariat Negara Repubik Indonesia.

Benda, Harry J. 1958. The Crescent and the Rising Sun, Van

Houve, The Hague-Bandung.

Feillard, Andree. 1996. NU vis-a-vis Negara, Jakarta: Gramedia.

Haidar, M. Ali. 1998. Nadlatul Ulama dan Islam di Indonesia.

Jakarta: Gramedia.

Hisyam, Muhamad. 2001. Caught Between Three Fires, The

Javanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration

1882-1942, Seri INIS, No.37, Jakarta-Leiden,

Kementrian Agama. 1955. Laporan Tahunan 1954. Bagian

Penerbitan, Jakarta.

Noeh, H. Zaini Ahmad. 1980. Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga

Islam di Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif.

Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta:

Grafiti pers.

Sayyid Othman. 1312 H. atau 1894 M. Al-Qaw±n³n al-Syariyyah li

ahl al-Maj±lis al-¦ukmiyyah, Batavia.

Syihab, Muhammad Asad Syihab. 1994. Hadratussyaikh

Muhammad Hasyim Asy’ari, alih bahasa K.H.A. Mustofa Bisri.

Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta bekerjasama dengan Titian

Ilahi Pers.

Sitompul, Einar M. 1989. Nahdlatul Ulama dan Pancasila. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Wahid, Abdurrahman. 1989. Pengantar dalam buku Einar M.

Sitompul, Nahdlatul Ulama dan Pancasila. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Page 36: Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184

184

Verslag CSI Congres, laporan tentang kongres CSI 1916 dan 1917,

dokumen Het Kantoor voor Inlandsche Zaken.

Yamin, Mohammad (ed.). 1959. Naskah Persiapan Undang-

Undang Dasar 1945, Jilid I. Jakarta: Yayasan Prapanca.

Yusuf, Slamet Effendy et-al. 1984. Dinamika Kaum Santri. Jakarta.

Zuhri, H. Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia Jilid II,

PT. Gunung Agung, Jakarta, MCMLXXXI.