file · web viewtugas htn. makalah singkat “peradilan di nanggroe aceh darulsalam...
TRANSCRIPT
TUGAS HTN
MAKALAH SINGKAT
“PERADILAN DI NANGGROE ACEH DARULSALAM (NAD)”
OLEH:
NADINA RACHMAWATI
NIM. 114704038
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2012
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam. Alhamdulillah penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga makalah dengan judul
“SISTEM PERADILAN DI DAERAH NANGGROE ACEH DARULSALAM” dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini digunakan sebagai tugas dalam mata
kuliah Hukum Tata Negara. Keberhasilan penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Rahmanu selaku Dosen mata kuliah Hukum Tata Negara.
2. Seseorang yang sangat berarti dalam hidupku, H. Nasruddin dan Rr. Siti Sri Djaya Wisnu
Wardhani. Terima kasih atas sejuta kasihmu yang telah menjadi obat penyemangat dikala ku
rapuh.
3. Teman-teman Jurusan Ilmu Hukum angkatan 2011, terima kasih atas bantuan dan
dukungan kalian. I love u all my friends.
4. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk penyempurnaan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pembaca pada umumnya.
Surabaya, 18 April 2012
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 2
2.1 Pengertian, Wilayah, Susunan, dan Kawasan Aceh ………... 2
2.2 Kewenangan dan urusan pemerintah ……………………...... 3
2.3 Qanun dan peraturan ………………………………………... 5
2.4 Pengertian hukum islam …………………………………...... 6
2.5 Pengertian syari’at islam ……………………………………. 7
2.6 Hubungan syari’at islam dengan hukum adat …………........ 10
2.7 Keberlakuan syari’at islam di Indonesia …………………… 10
2.8 Penerapan syari’at islam di Aceh …………………………… 11
2.9 Posisi dan kedudukan pengadilan khusus
dalam lingkup kekuasaan kehakiman ……………………..... 13
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN...................................................... 17
A. Kesimpulan............................................................................... 17
iii
BAB IPENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat dengan
pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh adalah kelanjutan dari
Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur
Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga
legislatif.
Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh
sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan
karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Pengertian, Wilayah, Susunan, dan Kawasan Aceh?
1.2.2 Apa saja kewwnangan dan urusan pemerintah?
1.2.3 Mengapa Qanun dan peraturan dibentuk?
1.2.4 Apa pengertian hukum islam?
1.2.5 Apa pengertian syari’at islam?
1.2.6 Bagaimana hubungan syari’at islam dengan hukum adat?
1.2.7 Kapan keberlakuan syari’at islam di Indonesia?
1.2.8 Bagaimana penerapan syari’at islam di Aceh?
1.2.9 Bagaimanakah posisi dan kedudukan pengadilan khusus dalam lingkup
kekuasaan kehakiman?
iv
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian, Wilayah, Susunan, dan Kawasan Aceh
Aceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin
oleh seorang Gubernur. Pemerintahan Aceh adalah Pemerintahan Daerah Provinsi dalam
sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh
sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Pemerintah Aceh dapat menentukan
dan menetapkan Bendera Daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan
dan kekhususan.yang bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai
bendera kedaulatan di Aceh. Pemerintah Aceh dapat menetapkan Himne Aceh sebagai
pencerminan keistimewaan dan kekhususan
Wilayah Aceh merupakan sebuah kesatuan dengan batas-batas: (a). sebelah Utara
berbatasan dengan Selat Malaka; (b). sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera
Utara; (c). sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan (d). sebelah Barat berbatasan
dengan Samudera Indonesia.
Susunan wilayah Daerah Aceh dibagi atas Kabupaten dan Kota. Kabupaten dan Kota
adalah bagian dari Daerah Provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi
kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem
dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati atau Walikota.
Kabupaten/Kota dibagi atas kecamatan. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai
perangkat daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.
Kecamatan dibagi atas Mukim. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah
kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah
tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di
v
bawah Camat. Mukim dibagi atas kelurahan dan Gampong. Kelurahan dibentuk di wilayah
kecamatan dengan Qanun Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Lurah yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Kelurahan di Provinsi
Aceh dihapus secara bertahap menjadi Gampong atau nama lain dalam Kabupaten/Kota.
Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah Mukim
dan dipimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangga sendiri.
Kawasan khusus perkotaan Pemerintah Pusat dapat menetapkan kawasan khusus di
Aceh dan/atau Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang
bersifat khusus. Dalam pembentukannya Pemerintah Pusat wajib mengikutsertakan
Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.Pemerintah Aceh
bersama pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengusulkan kawasan khusus setelah mendapat
persetujuan DPRA/DPRK. Tata cara penetapan kawasan khusus di Aceh dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Kawasan perkotaan dapat berbentuk Kota sebagai
daerah otonom, bagian Kabupaten yang memiliki ciri perkotaan, maupun bagian dari dua atau
lebih Kabupaten/Kota yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan. Pemerintah
Kabupaten/Kota dapat membentuk badan pengelolaan pembangunan di kawasan gampong
yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan. Ketentuan kawasan perkotaan
diatur dengan Qanun.
2.2 Kewenangan dan Urusan Pemerintah
Kewenangan pemerintahan
Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yaitu urusan pemerintahan yang bersifat nasional,
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan
urusan tertentu dalam bidang agama.
Aceh memiliki kewenangan yang bersifat khusus antara lain:
1. Dalam hal rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah Pusat harus dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan DPRA.
2. Dalam hal rencana pembentukan Undang-undang oleh DPR yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan
vi
pertimbangan DPRA.Dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung
dengan Pemerintahan Aceh, seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan
khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh, yang akan dibuat oleh Pemerintah
Pusat dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh.
3. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama secara langsung dengan lembaga
atau badan di luar negeri sesuai kewenangannya, kecuali yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam naskah kerja sama tersebut harus
dicantumkan frasa “Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
4. Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni,
budaya, dan olah raga internasional.
5. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga,
badan, dan/atau komisi menurut UU 11/2006 dengan persetujuan DPRA/DPRK,
yang pembetukannya diatur dengan Qanun.
Urusan pemerintahan
Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang diatur dan diurus sendiri
oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat
menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan
Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan
yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Pembagian dan pelaksanaan urusan pemerintahan, yang terdiri atas urusan
wajib dan urusan pilihan, baik pada Pemerintahan di tingkat Aceh maupun
pemerintahan di tingkat Kabupaten/Kota, dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar
pemerintahan di Aceh. Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan
syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota diatur
dengan Qanun Aceh.
vii
Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang merupakan
pelaksanaan keistimewaan Aceh:
1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam
bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat
beragama;
2. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan
lokal sesuai dengan syari’at Islam;
4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan
5. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan
Kabupaten/Kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh, yang meliputi:
1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam
bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat
beragama;
2. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan
lokal sesuai dengan syari’at Islam; dan
4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Kabupaten/Kota.
Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan tambahan dalam hal:
1. menyelenggarakan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah
dengan tetap mengikuti standar nasional pendidikan dan
2. mengelola pelabuhan dan bandar udara umum. Dalam menjalankan kewenangan
ini Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
2.3 Qanun dan peraturan
Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh,
pemerintahan Kabupaten/Kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan. Qanun Aceh
disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRA. Qanun
viii
Kabupaten/Kota disahkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan bersama
dengan DPRK. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan
dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Qanun. Setiap tahapan penyiapan
dan pembahasan Qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik. Dalam hal
diperlukan untuk pelaksanaan Qanun, Gubernur dan Bupati/Walikota dapat
menetapkan Peraturan/Keputusan Gubernur atau peraturan/keputusan Bupati/Walikota.
Qanun, kecuali Qanun mengenai Jinayah (hukum pidana), dapat memuat
ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian,
kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dapat memuat
ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Qanun yang mengatur tentang
pelaksanaan syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah
Agung.
Gubernur, Bupati/Walikota dalam menegakkan Qanun dalam
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dapat membentuk
Satuan Polisi Pamong Praja. Gubernur, Bupati/Walikota dalam menegakkan Qanun
Syar’iyah dalam pelaksanaan syari’at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul
Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja.
2.4 Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam bersumber dari agama Islam yang diturunkan langsung dari
Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam Al
Quran dan As Sunnah. Kerangka dasar agama dan ajaran Islam adalah akidah, syariah,
dan akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada
tauhid, sebagai inti akidah yang kemudian melahirkan syariah, sebagai jalan berupa
ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku, baik kepada Allah SWT
maupun kepada makhluk ciptaan-Nya lainnya.
Iman dan Ihsan atau tasawuf merupakan manivestasi dari akidah. Iman yang
berarti kepercayaan Islam merupakan pokok-pokok agama Islam (Ushul ad-Din).
Menurut ahlul sunnah wal jamaah, iman Islam terdiri dari rukun iman yang berjumlah
enam, yaitu iman kepada Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab, hari akhir,
serta qadha dan qadar. Ihsan yang berarti kebaikan, merupakan etika Islam. Adapun iman,
ix
amal (saleh), akhlak atau budi perketi luhur adalah syarat-syarat dari Ihsan². Sedangkan
tasawuf bertujuan sama dengan ihsan, tetapi menganut cara-cara yang berbeda seperti
pada orang sufi yang melakukan panteisme dengan tujuan bersatu dengan Tuhan, namun
cara yang digunakan tidak sesuai lagi dengan islam dan aliran sunnah wal jamaah. Namun
demikian, tidak semua cara dalam sufi bertentangan dengan akidah tauhid Islam. Hal
tersebut diakibatkan oleh hasil pemahaman, pendalaman, penafsiran, serta perincian para
ulama tentang akidah mempunyai kecenderungan berbeda-beda yang menimbulkan
aliran-aliran atau mahzab-mahzab tertentu di kalangan umat Islam
2.5 Pengertian Syariat Islam
Syariat dalam pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti
teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan
manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya³. Norma ilahi tersebut berupa
ibadah yang mengatur tata cara dan upacara hubungan langsung dengan Tuhan, dan
muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat
Ibadah berkaitan dengan rukun Islam, yakni syahadat, sholat, zakat, puasa, dan
haji. Dalam norma tersebut, tidak boleh ada penambahan dan pengurangan sebab tata
hubungan dengan Tuhan telah pasti ditetapkan oleh Allah SWT sendiri yang dijelaskan
kemudian secara rinci oleh rasul-Nya. Dengan demikian, dalam ibadah tidak
diperbolehkan adanya pembaruan atau bid’ah, yaitu proses yang membawa perubahan
(penambahan atau pengurangan) mengenai kaidah, susunan, dan tata cara beibadah
sesuai dengan perkembangan zaman.
Muamalah, hanya pokok-pokoknya saja yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan As
sunnah, sedangkan perinciannya terbuka bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk
berijtihad untuk mengaturnya lebih lanjut dalam menentukan kaidahnya menurut ruang
dan waktu (yang dimanifestasikan berupa hukum positif). Kaidah-kaidah muamalah
terbagi atas kaidah yang mengatur hubungan perdata dan kaidah-kaidah yang mengatur
hubungan publik. Dalam hubungan perdata terdapat hukum munakahat atau hukum
perkawinan, wirasah atau hukum kewarisan, dan hukum perdata lainnya, sedangkan
dalam hubungan publik terdapat hukum jinayat atau hukum pidana, khilafah atau al-
x
ahkam as-sulthaniyah atau hukum tata Negara, syiar atau hukum internasional, serta
mukhasamat atau hukum acara.
Ilmu khusus yang memahami, mendalami, dan merinci syariat, baik ibadah
maupun muamalah, agar dapat dirumuskan menjadi norma hidup (kaidah konkret) yang
dapat dilaksanakan manusia muslim baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai
anggota kehidupan sosial, disebut ilmu fiqih. Ilmu fiqih terbagi atas fiqih ibadah dan
fiqih muamalah. Hasil pemahaman tentang syariat yang disebut hukum fiqih dapat
berbeda di suatu tempat dengan tempat lainnya. Itulah yang memungkinkan terjadinya
syariat Islam di Aceh yang tidak dimiliki oleh syariat yang berkembang di daerah lain
Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang aqidah, syar’iyah,
dan akhlak. Syari’at Islam tersebut meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan
syari’at Islam diatur dengan Qanun Aceh.
Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at
Islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati
pelaksanaan syari’at Islam. Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota
menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut
oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah
sesuai dengan agama yang dianutnya. Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat
izin dari Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
1. Mahkamah Syar’iyah
Peradilan syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan
nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah
Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. Mahkamah Syar’iyah
merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di
Aceh.
Mahkamah Syar’iyah terdiri atas Mahkamah Syar’iyah
Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah
Aceh sebagai pengadilan tingkat banding. Hakim Mahkamah Syar’iyah
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
xi
Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal Al-Syakhsiyah (hukum
keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at Islam. Ketentuan mengenai bidang Ahwal Al-
Syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah
(hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.
Putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah
adalah hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh. Sengketa wewenang
antara Mahkamah Syar’iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain
menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk tingkat pertama dan tingkat
terakhir.
2. Majelis Permusyawaratan Ulama
MPU dibentuk di Aceh/Kabupaten/Kota yang anggotanya terdiri atas
Ulama dan Cendekiawan Muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan, yang bersifat independen dan
kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama. MPU berkedudukan
sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah Kabupaten/Kota, serta DPRA dan
DPRK. Ketentuan struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler, dan
hal lain yang berkaitan dengan MPU diatur dengan Qanun Aceh.
MPU berfungsi menetapkan Fatwa yang dapat menjadi salah satu
pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintahan Daerah dalam bidang
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi. MPU
mempunyai tugas dan wewenang:
a) memberi Fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan
b) memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam
masalah keagamaan.
xii
2.6 Hubungan Syariat Islam dengan Hukum Adat
Syariat Islam merupakan salah satu kerangka dasar hukum Islam. Berdasarkan
sejarah, hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang lahir lebih dahulu
dari hukum Islam di Indonesia. Pada jaman penjajahan Belanda, hukum Islam menjadi
adatrecht politik yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Indonesia untuk
menempatkan hukum Islam dibawah hukum adat, salah satunya adalah ajaran yang
dibawa oleh Snouck Hurgronje mengenai teori resepsi. Dalam teori tersebut, hukum
Islam telah diterima secara teori, tapi sering dilanggar secara praktek sebab dalam
masyarakat, hukum Islam tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum adat karena dalam
hukum adat masuk unsur-unsur hukum Islam, sedangkan pada masyarakat adat sendiri
hukum Islam yang berlaku bukan lagi hukum Islam sebab sudah menjadi hukum adat.
Asumsi dasarnya adalah hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan
diaplikasikan dalam masyarakat, sementara hukum Islam hanya sistem yang bersifat
teoritis, walaupun sebagian besar masyarakat beragama. Kemudian Rasjidi menanggapi
bahwa Snouck Hurgronje telah keliru, sebab dalam hukum apapun, hukum yang telah
diterima oleh teori apabila terdapat faktor-faktor tertentu, maka mungkin untuk
terjadinya pelanggaran.
Hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat, menurut Hazairin, terbentuk oleh
keseluruhan norma kesusilaan yang sanksinya dapat dipaksakan. Norma awal yang
tumbuh adalah norma kesusilaan perorangan berupa Jaiz atau kebolehan yang dalam
setiap kebolehan tidak terdapat sanksi. Setelah terjadi penilaian oleh masyarakat, jaiz
berubah menjadi sunnah apabila dinilai baik sehingga dianjurkan untuk dilakukan, tetapi
menjadi makruh apabila dinilai buruk sehinggar dianjurkan untuk tidak dilakukan.
Setelah ditambahkan sanksi yang memaksa, maka sunnah berubah kedudukan menjadi
wajib yaitu keharusan untuk dilakukan, sedangkan makruh berubah kedudukan menjadi
haram yaitu larangan yang tidak boleh dilakukan. Pada tahap inilah kemudian norma
kesusilaan telah menjadi norma hukum.
2.7 Keberlakuan Syariat Islam di Indonesia
Syariat Islam diterima di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan
pertama adalah alasan sejarah dimana Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7
(berdasarkan catatan Marcopollo) atau sekitar abad ke-11 berdasarkan prasasti yang ada
di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya Islam telah mengakar di Indonesia
sejak lama sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.
xiii
Alasan kedua adalah Alasan penduduk. Menurut sensus, 88,09% penduduk Indonesia
adalah Islam (sensus tahun 1980), sehingga jelas mayoritas penduduk Indonesia adalah
beragama Islam. Hal tersebut menyebabkan syariat Islam mudah diterima di Indonesia.
Alasan ketiga adalah alasan yuridis dimana hukum Islam yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, menjadi hukum positif yang
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Materi-materi hukum Islam
merupakan bagian dari hukum positif Indonesia sebagaimana yang dinyatakan oleh
ordonasi dan peraturan pemerintah yang mengatur peradilan agama antara lain pada
undang-undang pokok perkawinan UU No. 1 tahun 1974, UU No.41 tahun 2004 tentang
wakaf, UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, pasal-pasal dalam
KUHPerdata yang mengatur tentang kewarisan, serta peraturan-peraturan lainnya.
Alasan yang terakhir adalah alasan konstitusional. Di bawah Bab Agama, dalam
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa6. Atas dasar inilah dalam NKRI tidak boleh berlaku
sesuatu atau bertentangan dengan kaidah Islam bagi umat Islam, kaidah Nasrani bagi
umat Nasrani, kaidah Hindu bagi umat Hindu, dan kaidah Budha bagi umat Budha, serta
NKRI wajib menjalankan syariat Islam bagi umat Islam, syariat Nasrani bagi umat
Nasrani, dan seterusnya, dimana untuk menjalankan syariat tersebut diperlukan
perantaraan kekuasaan negara
2.8 Penerapan syariat Islam di Aceh
Aceh sejak dulu tidak berhubungan dengan Belanda, namun dipaksa
melaksanakan hukum pidana (wetboek van straftrecht) dan hukum perdata (burgerlijk
wetboek), sebab merupakan hukum nasional bangsa Indonesia dimana Aceh merupakan
territorial Indonesia sehingga wajib tunduk pada hukum tersebut. Namun, pancasila dan
UUD 1945 yang menjadi konstitusi Indonesia ternyata berlandaskan agama yang
tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD serta sila pertama dalam pancasila.
Selain itu dilatarbelakangi oleh sejarah bahwa hampir semua tokoh pejuang Aceh berasal
dari kalangan ulama, menjadikan masyarakat Aceh mampu menjalankan dan
mempertahankan kedudukan dan harkat serta ciri khas bangsa Indonesia yang religius
dan memegang kuat adat dalam tatanan hukum yang berlaku di wilayah mereka.
xiv
Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 18 UUD 1945,
propinsi Aceh resmi ditetapkan sebagai daerah istimewa. Kemudian ditetapkanlah UU
No. 24 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi propinsi Aceh. Propinsi Aceh
berdasarkan UU No.44 Tahun 1999 memiliki empat keistimewaan, yaitu
penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaran
pendidikan, serta peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Pada era reformasi, TAP MPR No. IV tahun 1999 tentang GBHN menegaskan
daerah istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus guna mempertahankan integrasi
bangsa dan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan seni budaya. Selanjutnya
GBHN ditindaklanjuti oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU
No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Indonesia merupakan negara hukum, maka pelaksanaan otonomi khusus seharusnya
diatur berdasarkan UU khusus bagi Aceh, sehingga pada tanggal 9 Agustus 2001
ditetapkan UU No.18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus daerah istimewa Aceh sebagai
propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kemudian diperbaharui oleh UU No.11 tahun 2006
yang mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah propinsi Nangroe
Aceh Darussalam.
Keppres No.11 tahun 2003 tentang mahkamah syari’ah dan mahkamah syari’ah
propinsi lahir guna melaksanakan hukum Islam yang menentukan wewenang dari
mahkamah syari’ah yang selanjutnya ditetapkan beberapa peraturan daerah (qanun).
Pelaksanaan syariah oleh mahkamah syariah diatur dalam Qonun No.10 Tahun 2002
tentang peradilan syariat Islam dan Qonun No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan
syariat Islam di bidang akidah, ibadah, dan syiar Islam yang salah satu ketentuannya
adalah kewajiban berbusana Islami bagi pemeluk muslim di seluruh wilayah Nangroe
Aceh Darussalam. Namun belum ada ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum
acara Qonun tersebut. Kedua Qonun tersebut diistilahkan dalam bahasa fiqh sebagai
Qonun formil, sedangkan Qonun materil belum disahkan. Hal ini menunjukkan
kekosongan hukum yang membuat tersangka dapat lepas dari jeratan hukum, sehingga
dalam Qonun No.10 Tahun 2002 kekosongan ini diatasi dengan tetap memberlakukan
KUHP sebagai dasar hukum. Hal ini menunjukkan bahwa mahkamah syariah hanya
menerapkan setengan syari’at Islam di Aceh.
xv
Pelaksanaan syariat Islam yang tidak ditetapkan sepenuhnya disebabkan oleh
perbedaan pendapat para ahli. Contohnya adalah Qonun jinayat yang tidak konsisten
dimana landasan argumentasinya tidak jelas rujukannya, asal dalam mengambil rujukan
dari Hukum Pidana islam dan KUHAP. Selain itu yang membuat fatal adalah Qonun ini
dikeluarkan di Aceh yang merupakan wilayah Negara republik Indonesia sehingga
bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Qonun juga ingin diberlakukan pada orang
diluar agama Islam, padahal hal tersebut melanggar hak asasi manusia dalam
menjalankan agama sesuai kepercayaannya masing-masing, maka Qonun ini melanggar
ayat lakum dinukum wa liya din yang artinya bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Penerapan hukum pidana Islam pada mahkamah syariah mempengaruhi tatanan
pola hukum secara keseluruhan di Indonesia, karena penerapan syari’at Islam tanpa
dilengkapi ketentuan hukum yang sejajar dan lebih tinggi, hanya menjadi celah para
penegak hukum untuk melakukan penyimpangan dalam praktiknya. Aceh merupakan
daerah yang mendapat legitimasi untuk menerapkan syariat Islam, sehingga membuat
hukuman pidana Islam ditetapkan bukan sekedar simbolis saja, seperti hudud, qishah,
dan ta’zir terhadap pelaku maksiat dan kriminalitas. Namun yang menjadi tantangan
selanjutnya bagi masyarakat Aceh dalam mempertahankan syariat Islam adalah
berlakunya hukum barat di Indonesia, serta kurangnya minat para ulama dan ahli hukum
di Indonesia dalam mengkaji secara mendalam dan terarah mengenai syariat Islam dan
keberlakuannya di dalam tatanan hukum nasional Indonesia pada umumnya serta di
dalam hukum Aceh pada khususnya.
2.9 Posisi dan kedudukan pengadilan khusus dalam lingkup kekuasaan kehakiman
Pengaturan Pengadilan Khusus dalam Perundang-Undangan. Dalam setiap
Undang-undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman telah diatur mengenai
pengadilan khusus, hanya saja dalam setiap UU tersebut terdapat derajad penegasan yang
berbeda-beda. Dalam UU No 19 Tahun 1964 pengaturan mengenai pengadilan khusus tidak
terlalu jelas. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964 disebutkan:
(1) Undang-undang ini membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan
Peradilan Tata-Usaha Negara. Peradilan Umum antara lain meliputi Pengadilan
Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus terdiri dari
Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan
xvi
Tata Usaha Negara adalah yang disebut “peradilan administratif” dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain
meliputi juga yang disebut “peradilan kepegawaian” dalam Pasal 21 Undang-
undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian.
Berbeda dengan UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 yang menggantikan
UU tersebut kemudian mengatur sedikit lebih jelas mengenai pengadilan khusus, walaupun
tetap pengaturannya masih dalam bagian penjelasan UU, bukan dalam batang tubuh. Dalam
penjelasan Pasal 10 ayat (1) disebutkan:
(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-
masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-
badan Peradilant ingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus,
karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu,
sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai
baik perkara perdata, maupun perkara pidana.
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa pengaturan mengenai pengadilan khusus sudah
relatif lebih tegas dari peraturan sebelumnya. Ketentuan ini membuka pintu untuk
dibentuknya pengadilan-pengadilan khusus di semua lingkungan peradilan, tidak terbatas
hanya pada Peradilan Umum semata. Pengaturan mengenai peraturan perundang-undangan
apa yang dibutuhkan untuk membentuk pengadilan khusus tersebut juga sudah cukup jelas,
yaitu UU. Jika dibandingkan kedua UU tersebut juga terlihat bahwa dalam hal lingkungan
peradilan sendiri terjadi perubahan-perubahan. Jika sebelumnya lingkungan peradilan dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus yang terdiri dari Peradilan
Agama dan Peradilan Militer, dan Peradilan TUN, UU No. 14 Tahun 1970 membaginya
hanya menjadi dua, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Khusus yang mana Peradilan
Agama, TUN dan Militer digolongkan sebagai Peradilan Khusus.
Melihat ketentuan Undang-undang tersebut, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa
istilah pengadilan khusus ternyata belum dikenal. Istilah pengadilan khusus dinyatakan secara
tegas baru pada UU No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970. Selain
itu dalam UU No. 4 Tahun 2004 ini posisi pengadilan khusus tidak lagi ditempatkan dalam
bagian penjelasan UU akan tetapi telah dimasukkan dalam bagian batang tubuh.
xvii
Pasal 15
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.
Penjelasan:
Pasal 15
(1) Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain,
adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia,
pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di
lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata
usaha negara.
Jika melihat dari perbandingan ketiga UU Kekuasaan Kehakiman di atas, tampaknya
penegasan pengaturan pengadilan khusus dalam bagian batang tubuh dilakukan karena pada
saat merumuskan UU No. 4 Tahun 2004, pengadilan khusus yang sudah didirikan memang
sudah cukup banyak. Hal ini berbeda kondisinya ketika kedua UU sebelum dirumuskan, di
mana sebelumnya pengadilan khusus yang ada atau pernah ada hanya satu, yaitu pengadilan
ekonomi.
Ketidakjelasan mengenai apakah dalam lingkungan peradilan selain peradilan umum
dapat dibentuk juga pengadilan khusus atau tidak seperti yang terjadi pada masa sebelumnya,
kemudian dijawab dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 9A UU No. 9 Tahun
2004 ini akhirnya secara tegas dinyatakan bahwa dalam lingkungan peradilan TUN (juga)
dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan. Perubahan ini tampaknya terjadi
karena dua hal, yaitu: pertama, untuk dapat membuat pengadilan pajak, dimana menurut UU,
pada awalnya didirikan sebagai badan peradilan tersendiri, kemudian menjadi bagian dari
Badan Peradilan TUN. Kedua, karena adanya perubahan cara pandang pembuat UU terhadap
tiga badan/lingkungan peradilan selain peradilan umum yang dulu dianggap sebagai peradilan
khusus menjadi tidak lagi dianggap sebagai peradilan khusus.
Sedangkan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang baru yakni UU No 48
tahun 2009 pada pasal 1 angka 8 terdapat pengertian Pengadilan khusus. Pengadilan khusus
xviii
adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara tertentu, yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan
dibawah Mahkamah Agung yang diattur dalam Undang-Undang. Pengaturan pengadilan
khusus dalam batang tubuh Undang-Undang No 48 Tahun 2009 semakin memperjelas,
mempertegas posisi, kedudukan dan legitemasi pengadilan khusus yang tidak disebutkan
secara rinci dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebelumnya.
Melihat lebih jauh lagi kedalam, maka ditemukan dalam lingkungan pengadilan
hingga saat ini, terdapat 8 (delapan) pengadilan Khusus. Yang mana 6 (enam) pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, 1 (satu) pengadilan dalam lingkungan peradilan TUN,
dan 1(satu) pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Agama. Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009 dalam pasal 1 angka 8 menyatakan pengadilan Khusus hanya
boleh dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan, yaitu pengadilan umum (sekarang
terdapat: pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan HAM, pengadilan hubungan
industrial, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan perikanan), pengadilan agama
(mahkamah syariah), pengadilan militer, dan pengadilan tata Usaha Negara (Pengadilan
pajak). Mengenai kriteria pun tidak dicantumkan didalamnya.
Pada lingkungan peradilan umum dibentuk : pengadilan anak dengan UU nomor 3
tahun 1997 tentang pengadilan anak, Pengadilan niaga dengan nomor 37 Tahun 2003 tentang
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, Pengadilan HAM dengan UU no. 26
tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
dengan UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pembarantasan Tindak pidana Korupsi,
pengadilan Hubungan Industrial dengan UU no.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan
Industrial, dan pengadilan perikanan berdasarkan UU nomor 31 tahun 2004 tentang
Perikanan.
Pada lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dibentuk pengadilan Pajak berdasarkan
Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan Peradilan (khusus)
Syariah Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam berada di lingkungan peradilan agama.
Dengan dinamika dalam masyarakat seperti dikemukakan dalam latar belakang dapat memicu
bertambahnya pengadilan khusus dalam setiap lingkungan peradilan.
xix
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syariat Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari kerangka
dasar agama dan ajaran Islam yang mengatur hubungan publik maupun perdata dalam bentuk
norma Ilahi. Hukum Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan
bangsa Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama dalam
bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting, yaitu Samudera Pasai
di Aceh yang merupakan tempat singgah agama Islam pertama di Indonesia, mampu
membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam tersebut kemudian diterima
oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat
mereka. Perpaduan hukum tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga
menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan.
Berdasarkan alasan sejarah, penduduk, yuridis, dan konstitusional, Syariat Islam
mampu diterima dan diterapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Penerapan syariat Islam di Aceh yang tidak terlepas dari faktor diterimanya syariat Islam
dalam tatanan hukum adat Aceh, juga disebabkan oleh faktor pejuang Aceh yang mayoritas
adalah ulama. Namun meskipun secara konstitusional syariat Islam sah menjadi hukum
positif Aceh, pada prakteknya hukum positif tersebut tidak seluruhnya berasal dari syariat
Islam.
Belum adanya ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum acara Qonun,
menciptakan terjadinya kekosongan hukum, membuat Aceh memberlakukan Qonun No.10
Tahun 2002 yang berisi tetap memberlakukan. KUHP sebagai dasar hukum. Untuk
memberlakukan syariat Islam di Aceh secara total dan menyeluruh adalah dengan membuat
hukum acara Qanun oleh pemerintah Aceh agar Mahkamah Syariah dapat total menjalankan
tugasnya dengan tidak hanya menerapkan setengah syari’at Islam di Aceh. Selain itu
diperlukan keterlibatan aktif di dalam masyarakat dalam penerapan syariat Islam agar dapat
menegakkan syariat Islam sepenuhnya yang tidak melanggar hukum dan norma lainnya yang
berlaku di Indonesia.
xx