na. eksistensi polair (unsur cianjur)
DESCRIPTION
naskah akademik fh unsurTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan.
Kawasan Asia Tenggara tengah mengalami isu-isu ancaman dan masalah
yang terkait dalam keamanan non-tradisional, salah satunya adalah masalah
mengenai pembajakan kapal atau perompakan. Wilayah perairan di Asia Tenggara
merupakan wilayah yang sering dilalui oleh kapal-kapal negara asing baik untuk
patroli keamanan negara-negara di Asia Tenggara, jalur perdagangan internasional
ataupun bentuk kegiatan lainnya yang menggunakan wilayah laut sebagai sarana
dan jalur transportasi. Sebagai jalur pelayaran dan perdagangan yang strategis,
faktor keamanan laut menjadi isu yang sangat penting sekaligus tidak dapat
terelakkan. Isu keamanan laut cenderung memiliki tingkat permasalahan yang
cukup tinggi terutama keamanan maritim di Asia Tenggara.
Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai ribuan
pulau pulau yang terbentang dari sabang sampai maruake, dimana dibeberapa
wilayah tertentu terdapat wilayah – wilayah perbatasan langsung dengan Negara
Negara tetangga antara lain : Negara Malaysia, Philipina, Papua Nugini dimana
wilayah wilayah perbatasan tersebut sangat rentan terjadinya suatu kejahatan antar
Negara (Trans National Crime) antara lain Penyelundupan manusia, narkoba,
penyelundupan senjata api, dll.
Perairan Teluk Jakarta dengan luas 3.780 Mil laut persegi dan terletak
pada titik koordinat Barat laut LS 04º 30’ 00” – BT 106º 24’ 00” , TimurLaut
LS 04º 30’ 00” – BT 107º 06’ 00” ,Barat Daya LS 01º 00’ 00” – BT 106º 24’
00” ,dan Tenggara LS 05º 56’ 00” – BT 107º 06’ 00” , di dalamnya terdapat
gugusan pulau-pulau kecil yang masuk dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu yang membentang dari Selatan ke Utara hingga Selat Bangka dan sebelah
Barat perbatasan dengan perairan Polda Banten sebelah utara perbatasan dengan
perairan dengan Bangka Belitung dan sebelah timur perbatasan dengan Polda
1
Jawa Barat, juga terdapat taman laut nasional Kepualaun Seribu, pipa Gas Bumi
bawah laut yang membentang dari pulau Sumatra ke Pulau Jawa, terdapat pula
proyek eksplorasi dan ekploitasi minyak dan gas bumi lepas pantai
CNOOC.Ses.Ltd dan Pertamina Migas, PLTGU KronjoTangerang, PLTGU
Muara Karang, PLTGU Tg. Priok, PLTGU Sungai Tawar, tempat-tempat wisata
bahari, Pelabuhan Internasional Tg. Priok dan beberapa Pelabuhan khusus serta
disamping itu perairan Teluk Jakarta sebagai jalur utama lalu lintas dan pintu
gerbang keluar masuknya Kapal-kapal baik Internasional maupun lokal ke atau
dari pelabuhanTg. Priok Jakarta.
Kondisi geografis ekonomis dan sosial demikian dan dikaitkan dengan
pesatnya arus perkembangan dunia atau globalisasi maka perairan Jakarta sangat
berpotensi terjadinya gangguan Kamtibmas, sehingga mendorong Kepolisian
perairan lebih serius dan sungguh-sungguh dalam meningkatkan keamanan dan
pengamanan serta penegakan Hukum;
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan
MPR RI No. VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format
tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan
dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani
masyarakat. Namun, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara
Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik
pegawai negerisipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui
pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi.
Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dalam
Undang-Undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
2
Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan
asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini, setiap pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk
bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.
B. Identifikasi Masalah.
Mengacu pada latar belakang penyusunan naskah akademik tentang
exsistensi Kepolisian perairan dalam Harkamtibmas di wilayah perairan Polda
Metro Jaya, terdapat beberapa permasalahan yang perlu di bahas, antara lain :
1. Bagaimana kondisi keamanan di wilayah perairan Jakarta?
2. Bagaimana Eksistensi Kepolisian Perairan Polda Metro Jaya dalam
pelaksanaan pertahanan, kemanan, ketertiban masyarakat dan penegakan
hukum di perairan?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Eksistensi Kepolisian Perairan
Polda Metro jaya dalam pelaksanaan pertahanan, kemanan, ketertiban
masyarakat dan penegakan hukum di perairan?
C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik.
Maksud dari penyusunan Naskah Akademik ini untuk memberikan
gambaran tentang peranan dan fungsi Kepolisian Perairan dalam melaksanakan
tugasnya. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1) Untuk memberikan masukan kepada penentu kebijakan tentang Eksistensi
Kepolisian Perairan yang memuat pokok-pokok pemikiran atau gagasan dan
aspirasi aktual yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah;
2) Memberi kemudahan dan atau menyusun kebijakan lebih lanjut berkaitan
dengan penyelenggaraan tugas Kepolisian Perairan.
Kegunaan naskah akademik, yaitu:
1. Tersusunnya naskah akademik tentang Eksistensi Kepolisian Perairan
yang profesional, proporsional, transparan dan akuntabel;
3
2. Terwujudnya keamanan dan ketertiban diwilayah perairan Teluk Jakarta
yang mampu memberikan kontribusi positif, sesuai dengan dinamika dan
perkembangan tuntutan dan harapan masyarakat terhadap keamanan di
wilayah perairan.
D. Metode Penelitian.
Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan naskah akademik
ini adalah terciptanya harmonisasi dan sinkronisasi vertikal dan horizontal
diantara seluruh peraturan perundang-undangan, baik secara vertikal maupun
horizontal sesuai kebutuhan dan prinsip keseimbangan, keserasian, keselarasan,
serta pemanfaatan untuk semua pihak
Penyusunan naskah akademik ini merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari keinginan pimpinan polri, karena memuat beberapa gagasan
materi yang akan diatur secara sistematik, holistik, dan futuristik, dilengkapi
referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, alasan dan prinsip hukum
yang akan digunakan, serta pemikiran tentang norma – norma yang akan
dituangkan ke dalam naskah akademik.
Keberadaan naskah akademik sangat diperlukan, karena memuat: (1) latar
belakang dan tujuan; (2) argumentasi dan urgensi yang ingin diwujudkan; (3)
landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis sepanjang hal tersebut ada; (4) sasaran
yang ingin diwujudkan; (5) pokok – pokok pikiran, dan lingkup atau objek yang
akan diatur; serta (6) jangkauan dan arah pengaturan.
Metode yang dipilih dalam penelitian naskah akademik ini adalah metode
deskriptif analisis, yang dilakukan untuk membuat deskripsi atau gambaran atau
lukisan serta hubungan antara fenomena yang diselidiki, penelitian naskah
akademik ini juga bertujuan untuk mengungkapkan secara sistematis,
metodologis, dan konsisten dengan mengadakan analisis dan konstruksi.1
Dalam penelitian naskah akademik ini dilaksanakan dengan :
1 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Cetakan VI, Raja Gerapindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 1
4
1. Metode Pendekatan
Memperhatikan kompleksitas permasalahan dan prinsip – prinsip yang
perlu diperhatikan, maka dalam penyusunan naskah akademik ini digunakan
pendekatan :
1) Empiris berkait dengan penyampaian hak, tugas, dan kewajiban serta
tanggung jawab sesuai wewenangnya, sebagaimana tataran sistem keamanan
nasional;
2) Yuridis dengan cara menggali berbagai dinamika dan realita peraturan
perundang – undangan yang terkait dengan substansi dari penyusunan naskah
ini;
3) Historis, mengingat secara de yure dan de facto negara kesatuan republik
Indonesia berdiri dan berdaulat melalui proses perjuangan bangsa, dan hal ini
dapat dilihat pada Alinea Kedua Pembukaan Undang – Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945;
4) Bahasa hukum, pendekatan ini dimaksudkan agar bahasa yang disampaikan
mudah dipahami setiap orang tanpa mengabaikan kaidah Bahasa Indonesia
diantaranya :
a) Kalimat yang disusun merupakan suatu beban kewajiban substansial;
b) Pemenuhan peran, hak dan kewajiban dilakukan berdasarkan
tatananprosedur, dan mekanisme, yang ditentukan peraturan perundang
– undangan;
c) Penerapan aspek yuridis yang mengisyaratkan diberlakukannya suatu
kewajiban dan atau wewenang beserta kewajiban hukumnya;
d) Susunan kalimat mengacu berbagai gaya bahasa peraturan perundang-
undangan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.
Melalui pendekatan tersebut di atas diharapkan naskah akademik ini
nantinya dapat dijadikan salah satu dasar dan acuan bagi pemegang kebijakan
dalam menelaah tentang pentingnya eksistensi Kepolisian Perairan di Indonesia.
5
2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian naskah akademik ini dilakukan guna memperoleh data yang
akurat melalui studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu
dengan mengumpulkan dan mempelajari bahan hukum primer, sekunder dan
tersier yang berkaitan denganeksistensi Kepolisian Perairan POLDA Metro Jaya
dalam Pelaksanaan Harkamtibmas dan Gakkum di Perairan.2
Dalam realisasinya penggalian data sebagai salah satu sumber penelitian
maka peneliti memfokuskan pada tiga sumber bahan hukum diantaranya :
a) BahanHukum Primer, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
2. TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri;
3. TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri;
4. Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982
(1982 United Nations Convention on the Law of the Sea);
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP;
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP;
i. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia;
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian;
8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia;
9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia,
10. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perikanan.
2 Dedi Mulyadi, Kebijakan Legislasi Tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif di Indonesia Dalam Perspektif Demokrasi, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahiyangan Bandung, 2011, hlm. 56; lihat pula Wila Chandra Wila Supardi, Metode Penelitian, Materi Kuliah Metode Penelitian Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolok Parahyangan, Bandung, 2009, hlm. 17
6
11. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan pustaka yang relevan dengan
objek yang diteliti, antara lain tentang referensi buku-buku, majalah, koran
dan internet yang berkaitan denganasas dan prinsip penyelenggaraan
sistem keamanan nasional;3
c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti brosur-brosur, media
cetak dan Black’s Law Dictionary.4
3. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data dalam penelitian naskah akademik ini melalui 2
(dua) cara diantaranya :
1) Penelitian Awal (Pra Survey), yaitu pengambilan data awal di
instansi/lembaga terkait, untuk memudahkan langkah pengumpulan data
selanjutnya;
2) Studi Pustaka (Library research), yakni melalui berbagai dokumen dan
bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang
dibahas dalam penelitian naskah akademik ini.
4. Teknik Pengecekan Validasi Data
Disamping teknik diatas pengecekan keabsahan data juga dilakukan melalui
teknik pemeriksaan triangulasi, khususnya triangulasi sumber, Patton dalam
bukunya dengan judul ‘Qualitative Data Analysis; A Sourcebook of New
Methods’, sebagaimana dikutip oleh Lexi J. Moleng menyebutkan bahwa
triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik tingkat
3 Ibid, hlm. 574 Nasution, Metode Research, Bumi Aksara, Bandung, 2001, hlm. 58
7
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam metode kualitatif.5
5. Analisis Data
Pengertian analisis di sini dalam penelitian naskah akademis ini
dimaksudkan sebagai interpretasi secara logis, sistimatis dan konsisten dimana
dilakukan penelaahan data yang lebih rinci dan mendalam. Dari data yang berhasil
dikumpulkan dalam penelitian ini, baik yang berupa data primer maupun data
sekunder dianalisis menggunakan metode kualitatif, tanpa menggunakan angka
(matematik dan statistik).
Metode analisis data dalam penelitian ini meliputi 4 (empat) tahap kegiatan
yaitu :
1) Tahap pengumpulan data;
2) Tahap reduksi data;
3) Tahap pengujian data; dan
4) Tahap penarikan kesimpulan.
Tahapan di atas merupakan siklus yang interaktif, artinya analisis data ini
merupakan upaya yang terus berlanjut dan berulang terus menerus bergerak di
antara empat tahapan kegiatan tersebut selama pengumpulan data. Penarikan
kesimpulan yang dilakukan melalui pemeriksaan terhadap data/informasi yang
telah diperoleh di lapangan, menjadi gambaran keberhasilan secara berturut-turut
sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling menyusul.6
5 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, hlm. 178
6 M.B. Miles dan A.M. Huberman, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1992, hlm. 19
8
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis.
Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat dalam Penjelasan Undang-
Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan mengenai “Sistem Pemerintahan Negara”
dikatakan “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat)”.
Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan bahwa hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat, berfungsi sebagai penyalur kegiatan manusia ke arah
yang dikehendaki pembangunan.7 Sedangkan negara hukum menurut Bagir
Manan8, sudah merupakan tipe negara yang umum dimiliki oleh bangsa-bangsa di
dunia dewasa ini. Negara hukum meninggalkan tipe negara yang memerintah
berdasarkan kemauan sang pengusa. Sejak perubahan tersebut, maka negara
diperintah berdasarkan hukum yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya serta
penguasa pun tunduk kepada hukum tersebut.
Pernyataan yang lebih lugas mengenai negara hukum disampaikan oleh
F.R. Bothlingk yang mengatakan “De staat, waarin de wilsvrijheid van
gezagsdragers is beperkt door grenzen van recht” (negara, dimana kebebasan
kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan hukum). Lebih lanjut
disebutkan bahwa dalam rangka merealisasikan pembatasan pemegang kekuasaan
tersebut, maka diwujudkan dengan cara “Enerzijds in een binding van rechter en
administratie aan de wet, anderjizds in een begrenzing van de bevoegdheden van
de wetgever”.9 (di satu sisi keterkaitan Hakim dan pemerintah terhadap undang-
undang, dan di sisi lain pembatasan kewenangan oleh pembuat undang-undang).
Hamid S. Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa
negara hukum (rechtsstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan
7 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, Hlm 6.
8 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilihan Umum, dalam Bagir Manan (Ed), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 67;
9 J.J. Oostenbrink, Administratieve Sancties, Vuga Boekerij, s-Gravenhage, tt, hlm. 49
9
hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum10. Dalam negara
hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must be done
according to the law). Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus
tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah11.
Secara filosofis, penyelenggaraan pemerintahan adalah untuk mewujudkan
tujuan bernegara, salah satunya melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Keberadaan Kepolisian Perairan sebagai bagian dari Kepolisian Republik
Indonesia adalah untuk melindungi dan mempertahankan hak masyarakat di
lingkungan perairan Republik Indonesia. Upaya mencapai tujuan bernegara
tersebut dilakukan Kepolisian Perairan sebagai sumbangsihnya bagi negara yang
diimplementasikan dalam bentuk menjaga dan menegakkan hukum perairan yang
dilaksanakan bertanggung jawab.
Dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya, Kepolisian Perairan
berfungsi menegakkan hukum perairan dengan prinsip hukum dan prinsip
pemerintahan umum yang baik (algemene beginselen van behoorlijke bestuur atau
good governance). Upaya mencapai tujuan bernegara melindungi segenap tumpah
darah Indonesia di lingkungan perairan tentu diperlukan adanya pembagian tugas
dan kewenangan yang jelas (waterdicht), yang merupakan akibat dari setiap
pelaksanaan tugas dan kewenangan dalam bingkai hubungan hukum vertikal
antara kepolisian Perairan dan warga masyarakat, maupun hubungan hukum
dalam bentuk hak dan kewajiban antara kepolisian perairan dan aparatur negara
lainnya.
Masyarakat sebagai bagian dari tujuan pokok keamanan diperlukan suatu
pendekatan yang lebih komprehensif. Hal ini dilakukan agar masyarakat
terlindungi dan negara juga terjaga dalam mewujudkan hak dan kewajibannya
masing-masing menurut peraturan perundang-undangan. Kebutuhan utama
keamanan adalah pendekatan masyarakat yang bersifat instrumental mendukung
terwujudnya sistem keamanan dan penegakan hukum yang komprehensif.
10 A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Makalah pada Pidato Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum UI Jakarta, 25 April 1992, hlm. 8
11 H.W.R. Wade, Administrative Law, Third Edition (Oxford: Clarendon Press, 1971), hlm. 6
10
Pendekatan masyarakat dalam keamanan sangat melekat pada tugas pokok
dan fungsi kepolisian, sehingga keamanan akan sejalan dengan kebutuhan dan
keinginan masyarakat. Dengan demikian, setiap gangguna keamanan dapat segera
diatasi dan diselesaikan dengan menjaga hubungan masyarakat dan kepolisian
secara bersama-sama dan berkesinambungan.
Dalam keamanan wilayah kelautan, keberadaan kepolisian memiliki
seluruh fungsi positif untuk memberikan batasan yang tegas geografis nasional
dengan tetap menjaga integritas hubungan struktural antara fungsi keamanan dan
kebutuhan perlindungan terhadap masyarakat. Dalam ruang lingkupnya yang
mikro, keberadaan kepolisian dalam menjaga keamanan laut merupakan bentuk
preventif mencegah terjadinya konflik kelompok penganggu keamanan
masyarakat. Adanya kepolisian air pada hakikatnya sebagai katup penyelamat
(safety valve) yang ditugaskan negara untuk menjaga keamanan laut dari
kemungkinan kejahatan laut.
Keberadaan kepolisian Air sebagai safety valve berfungsi sebagai
instrumen yang meredakan tindak pidana kejahatan kelautan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Adanya safety valve inilah yang akan menjadi harapan
masyarakat dan negara untuk memanfaatkan hasil kelautan, sehingga masyarakat
tetap terlindungi. Adanya Kepolisian Air dengan pendekatan masyarakat juga
akan mengurangi tekanan terhadap institusi lain yang mempunyai wewenang yang
berkaitan karena telah disusun suatu mekanisme hubungan dan koordinasi antar-
wewenang.
Penegakan hukum relevan sebagai wujud bekerjanya hukum yang saling
berkaitan dan berkesetaraan dengan tujuan hukum itu sendiri. Dalam tataran
realitasnya, hukum harus dapat ditegakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
yang sama dengan secara hukum diberikan wewenang untuk menjaga keamanan.
Penegakan hukum hanya dapat berjalan sesuai dengan konsep negara hukum jika
institusi hukum diberikan wewenang menurut undang-undang sebagai pihak yang
menjaga hukum dan ketertiban.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa secara konseptsional, inti penegakan
hukum adalah keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabakan dalam
11
kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.12 Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan
hukumnbukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun
kenyataannya di Indonesia kecenderungan demikian.
Sejalan dengan pendapat di atas, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa
penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran
badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu.13
Suharto yang dikutip Abdussalam menyebutkan bahwa penegakan
hukum adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat penegak hukum
baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam menerapkan ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku guna menciptakan suasana aman, damai dan tertib
demi kepastian hukum dalam masyarakat.14
Dalam teori penegakan hukum, pelanggaran kejahatan di manapun harus
dilakukan penegakan hukum oleh institusi hukum dan ketertiban yang ditetapkan
undang-undang wewenangnya. Kepolisian Republik Indonesia merupakan
institusi yang diatur undang-undang sebagai institusi yang menegakkan hukum
dan ketertiban masyarakat di mana pelaksanaan wewenangnya adalah untuk
melindungi masyarakat. Implikasi terbaiknya dalam penegakan hukum adalah
kemampuan hukum dalam penerapannya, sehingga hukum berlaku bagi negara
dan melindungi segenap rakyat Indonesia.
Dalam teori penegakan hukum, aparatur keamanan diimplementasikan
menjaga keamanan masyarakat dalam bentuk tindakan yang dibatasi hukum,
sehingga penegakan hukum juga berada pada pedoman yang pasti dan dalam
menjalankan tugasnya dalam pelayanan publik (dans le fonctionnement du service
public), Kepolisian air mempergunakan kekuasaannya berdasarkan hukum dengan
12 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hm 3.13 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, suatu tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,
Bandung, tanpa tahun, hlm 24-29.14 R. Abdussalam, penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri, Gagas Mitra Catur Gemilang,
Jakarta, 1997, hlm 18.
12
beberapa standar operasional prosedur yang tetap. Oleh sebab itu, penegakan
hukum diletakkan fungsinya sebagai perlengkapan untuk menjamin akumulator
pembangunan atau menjamin kepentingan warganegara. Hal inilah yang
melahirkan penegakan hukum bagi masyarakat, sehingga melahirkan situasi
negara yang tertib.
Berbagai upaya pencegahan terhadap pelanggaran hukum terus dilakukan
Polri. Tindakan pencegahan yang dilakukan Polri pada intinya terdiri dari empat
kegiatan yaitu:
a. Mengatur, artinya membuat proses, kegiatan dan interaksi masyarakat
menjadi tertib;
b. Menjaga, artinya mengkondisikan agar masyarakat dengan semua
miliknya selalu dalam keadaan aman dan bebas ancaman dan gangguan
pihak-pihak lain;
c. Mengawal, artinya mengamankan secara khusus obyek-obyek
pengamanan bergerak dengan cara mengikuti secara fisik;
d. Patroli, artinya melakukan perondaan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hukum bersifat
memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai, dalam hal ini Kepolisian
Air telah memenuhi capaian dan tujuan menjaga keamanan laut di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat yang terus berubah cepat,
Kepolisian Air juga mendepankan edukasi tertib laut, sehingga peranan
Kepolisian Air masih mempunyai posisi yang baik di dalam menjaga
pembangunan kelautan di Indonesia.
Penegakan hukum relevan sebagai wujud bekerjanya hukum yang saling
berkaitan dan berkesetaraan dengan tujuan hukum itu sendiri. Dalam tataran
realitasnya, hukum harus dapat ditegakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
yang sama dengan secara hukum diberikan wewenang untuk menjaga keamanan.
Penegakan hukum hanya dapat berjalan sesuai dengan konsep negara hukum jika
institusi hukum diberikan wewenang menurut undang-undang sebagai pihak yang
menjaga hukum dan ketertiban.
13
Pelanggaran kejahatan di manapun harus dilakukan penegakan hukum
oleh institusi hukum dan ketertiban yang ditetapkan undang-undang
wewenangnya. Kepolisian Republik Indonesia merupakan institusi yang diatur
undang-undang sebagai institusi yang menegakkan hukum dan ketertiban
masyarakat di mana pelaksanaan wewenangnya adalah untuk melindungi
masyarakat. Implikasi terbaiknya dalam penegakan hukum adalah kemampuan
hukum dalam penerapannya, sehingga hukum berlaku bagi negara dan melindungi
segenap rakyat Indonesia. Hukum berlaku bagi warganegara sebagai jaminan
perlindungan dan menjaga keamanan nasional. Akhirnya, penegakan hukum dapat
terwujud dengan makna untuk mewujudkan ketertiban.
Aparatur keamanan diimplementasikan menjaga keamanan masyarakat
dalam bentuk tindakan yang dibatasi hukum, sehingga penegakan hukum juga
berada pada pedoman yang pasti dan dalam menjalankan tugasnya dalam
pelayanan publik (dans le fonctionnement du service public), Kepolisian air
mempergunakan kekuasaannya berdasarkan hukum dengan beberapa standar
operasional prosedur yang tetap. Oleh sebab itu, penegakan hukum diletakkan
fungsinya sebagai perlengkapan untuk menjamin akumulator pembangunan atau
menjamin kepentingan warganegara. Hal inilah yang melahirkan penegakan
hukum bagi masyarakat, sehingga melahirkan situasi negara yang tertib.
Masyarakat sebagai bagian dari tujuan pokok keamanan diperlukan suatu
pendekatan yang lebih komprehensif. Hal ini dilakukan agar masyarakat
terlindungi dan negara juga terjaga dalam mewujudkan hak dan kewajibannya
masing-masing menurut peraturan perundang-undangan. Kebutuhan utama
keamanan adalah pendekatan masyarakat yang bersifat instrumental mendukung
terwujudnya sistem keamanan dan penegakan hukum yang komprehensif.
B. Kajian Asas/Prinsip terkait dengan Penyusunan Norma.
Pandangan A Hamid S. Attamimi tentang asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia juga bersimpul pada dua asas
penting, yang relatip sama dengan konsepsi Van Der Vlies, asas formal dan asas
14
material diantaranya yang termasuk asas formal adalah : 1) asas tujuan yang jelas;
2) asas perlunya pengaturan; 3) asas organ/lembaga yang tepat; 4) asas materi
muatan yang tepat; 5) asas dapatnya dilaksanakan; dan 6) asasnya dapatnya
dikenali. Sedangkan asas-asas material terdiri dari : 1) asas harus sesuai dengan
ciri hukum dan norma fundamental Negara; 2) asas harus sesuai dengan hukum
dasar Negara; 3) asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasarkan atas
hukum; dan 4) asas hukum sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar
sistem konstitusi.
I.C. Van Der Vlies, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang masuk kedalam asas formal dan asas materil
diantaranya :
Asas-asas formal yang dimaksud Van der Vlies meliputi : 1) asas tujuan
yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); 2) asas organ/lembaga yang tepat
(begisel van het juiste organ); 3) asas perlunya pengaturan (het noodzakeijkheids
beginsel); 4) asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); dan 5)
asas consensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas material menurut Vlies meliputi : 1) asas terminology dan
sistem matika yang benar (het beginsel van duidelijke systematiek); 2) asas dapat
dikenal (het beginsel van de kenbaarheid); 3) asas perlakuan yang sama dalam
hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel); 4) asas kepastian hukum (het
rechtszekerheidsbeginsel);5) asas perlakuan hukum sesuai keadaan individual
(het beginsel van de individuele rechtbedeling).
Hamid S. Attamimi, menyampaikan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, setidaknya ada beberapa pegangan yang harus
dikembangkan guna memahami asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik (algemene beginselen van behorlijke regelgeving) secara
benar, meliputi : Pertama, asas yang terkandung dalam Pancasila selaku asas-asas
hukum umum bagi peraturan perundang-undangan; Kedua, asas-asas Negara
berdasar atas hukum selaku asas-asas hukum umum bagi perundang-undangan;
Ketiga, asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi selaku asas-asas umum
15
bagi perundang-undangan, dan Keempat, asas-asas bagi perundang-undangan
yang dikembangkan oleh ahli.15
C. Kajian Terhadap Penyelenggaraan.
Pasal 30 Bab XII UUD 1945 menjelaskan bahwa: (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara.(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
(5)
Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia , hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.
Bahwa dalam upaya pengamanan dan penegakan hukum di wilayah
perairan laut Indonesia terdapat tiga instansi yang berwenang melakukan
penyidikan yang masing-masing didukung oleh undang-undang tersendiri, ketiga
instansi tersebut yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia, TNI Angkatan
Laut, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
menegaskan bahwa penyidik adalah:
1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-Undang.
15 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik; Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, Hlm. 115
16
Adapun undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
diatas ialah undang-undang tertentu yang memuat hukum acara tersendiri sebagai
ketentuan khusus (lex spesialis). Wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam
melakukan penyidikan tindak pidana diwilayah perairan laut secara tegas
dinyatakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur baik
mengenai wilayah perairan laut indonesia maupun mengenai tindak pidana
tertentu diwilayah perairan laut.
Diberikannya wewenang untuk melaksanakan tugas penyidikan kepada
PPNS, di satu sisi tentunya akan memudahkan dalam pengungkapan suatu tindak
pidana. Namun, di sisi lain banyaknya institusi penyidik berpotensi menimbulkan
tarik menarik kewenangan antar institusi, terlebih apabila masing-masing institusi
penyidik mengedepankan ego sektoral, yang dapat berujung pada terhambatnya
proses penegakan hukum.
Untuk mengantisipasi munculnya ketidaksinkronan dalam melaksanakan tugas
penyidikan, khususnya antara penyidik Polri dan PPNS, Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberikan solusi terkait kedudukan
kedua intsitusi tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang
menegaskan bahwa Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah
koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
(Polri).
Pada saat melaksanakan kewenangan melakukan penyidikan antara PPNS
dan penyidik Polri tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, KUHAP telah
mengatur hubungan di antara masing-masing institusi sebagai berikut:
1. Penyidik pegawai negeri sipil berkedudukan di bawah: a) Koordinasi
penyidik Polr; b) Di bawah pengawasan penyidik Polri
2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk
kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP)
17
3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik
Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari
penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang
kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal
107 ayat (2) KUHAP)
4. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan,
hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara
penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan
penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3)
KUHAP)
5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang
telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus
diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat
(3) KUHAP). Yang perlu mendapat perhatian dalam hal penghentian
penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil adalah meskipun pada saat
pelaporan tindak pidana yang sedang disidiknya, penyidik pegawai negeri
sipil cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada
penyidik Polri, tidak perlu diberitahukan kepada pununtut umum, namun
dalam hal penghentian penyidikan, disamping harus memberitahukan
penghentian tersebut kepada penyidik Polri, juga harus memberitahukan
penghentian penyidikan tersebut kepada penuntut umum.
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan, sebagaimana telah
diperbaharui dengan undang-undang No. 45 tahun 2009, memberikan wewenang
kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana perikanan baik diwilayah laut teritorial indoneisa maupun
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Berdasarkan Pasal 282 ayat (1) Undang-
Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, penyidik pegawai negeri sipil
berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang pelayaran.
Selain itu, dalam tindak pidana di bidang pencemaran lingkungan hidup dan
konservasi sumberdaya alam hayati diwilayah perairan laut, penyidik pegawai
negeri sipil juga diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, sebagaimana
18
ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konsevasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Pasal 94 ayat (1) Undang-
Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Adapun yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam hal
ini adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan bidang-
bidang tertentu yang diberi wewenang sebagai penyidik. Misalnya penyidik yang
berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang pelayaran
adalah pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran. Begitu juga dengan
penyidik pegawai negeri sipil yang berwenang menyidik tindak pidana perikanan
adalah pejabat pegawai negeri sipil pada instansi pemerintahan yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya berkaitan dengan bidang perikanan.
Tugas Pokok Polair Berdasarkan Perkap Nomor 22 Tahun 2010 Tanggal
28 September 2010 Tentang organisasi dan tata kerja tingkat Polda ialah:
1) Menyelenggarakan pemeliharaan dan perbaikan fasilitas / sarana kapal
dalam lingkungan Polda Metro Jaya.
2) Menyelenggarakan patroli, pengawalan, penegakan hukum di wilayah
perairan Polda Metro Jaya.
3) Menyelenggarakan binmas perairan/patroli di daerah hukum Polda
Metro Jaya.
4) Menyelenggarakan pemberi bantuan ( SAR ) di laut / perairan.
5) Pelaksanaan transportasi Kepolisian di perairan.
6) Pelaksanaan telekomunikasi, informasi dan dokumentasi program
kegiatan Dit Pol Air Polda Metro Jaya.
Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 21,22, 23 / 2010 tentang STOK dan Tata
Kerja dijelaskan bahwa:
1. Pasal 38 huruf h Perkap No. 21 Tahun 2010 tentang STOK dan Tata Kerja
tingkat Mabes Polri. Direktorat Kepolisian Perairan (Ditpolair), terdiri dari:
1. Subbagrenmin meliputi:
19
2. Subbagopsnal meliputi:
3. Urkeu;
4. Urtu;
5. Sub Direktorat Operasional (Subditopsnal), meliputi:
6. Sub Direktorat Penegakan Hukum (Subditgakkum), meliputi:
7. Sub Direktorat Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan (Subditfasharkan), meliputi:
8. Sub Direktorat Kerja Sama (Subditkerma), meliputi:
9. Satuan Patroli Nusantara (Satrolnus), meliputi:
2. Pasal 202 Perkap No. 22 Tahun 2010 tentang STOK dan Tata Kerja tingkat
Kewilayahan.
(1) Ditpolair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf j merupakan unsur
pelaksana tugas pokok Polda yang berada di bawah Kapolda.
(2) Ditpolair bertugas menyelenggarakan fungsi kepolisian perairan yang
mencakup patroli, TPTKP di perairan, SAR di wilayah perairan, dan
Binmas pantai atau perairan serta pembinaan fungsi kepolisian perairan
dalam lingkungan Polda.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Ditpolair
menyelenggarakan fungsi:
a. pemeliharaan dan perbaikan fasilitas serta sarana kapal di lingkungan
Polda;
b. pelaksanaan patroli, pengawalan penegakan hukum di wilayah
perairan, dan Binmas pantai di daerah hukum Polda;
c. pemberian bantuan SAR di laut/perairan;
d. pelaksanaan transportasi kepolisian di perairan;
e. pelaksanaan telekomunikasi dan informatika di perairan; dan
f. pengumpulan dan pengolahan data serta penyajian informasi dan
dokumentasi program kegiatan Ditpolair.
3. Pasal 67 Perkap No. 23 Tahun 2010 tentang STOK dan Tata Kerja tingkat Polres adalah:
20
(1) Satpolair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf i merupakan unsur
pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolres.
(2) Satpolair bertugas melaksanakan fungsi kepolisian perairan, yang meliputi
patroli perairan, penegakan hukum di perairan, pembinaan masyarakat
pantai dan perairan lainnya, serta SAR.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Satpolair menyelenggarakan fungsi:
a. Pelaksanaan patroli, pengawalan penegakan hukum di wilayah perairan,
dan pembinaan masyarakat pantai di daerah hukum Polres;
b .Pemberian bantuan SAR di laut/perairan;
c. Pelaksanaan transportasi kepolisian di perairan;
d. Pemeliharaan dan perbaikan fasilitas serta sarana kapal di lingkungan
Polres.
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru.
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan Kepolisian Perairan di Indonesia
diarahkan pada faktor struktur hukum dan penegakan hukum. Keduanya
hakikatnya menunjukkan keberadaan Kepolisian Perairan dibutuhkan karena
mengarahkan dan menjadi pedoman bagi penegakan hukum perairan yang bersifat
konkret, yaitu menjaga ketertiban dalam kenyataannya secara praktis dan efisien.
Apabila dikaitkan antara keberadaan Kepolisian Perairan dan kedua faktor
tersebut terlihat Kepolisian Perairan dibutuhkan menuju tegaknya ketertiban dan
keteraturan, khususnya dalam perairan di Indonesia. Konsep ini diilhami sedikit
banyak dengan teori tool of social engineering, yang menempatkan hukum
sebagai alat merekayasa sosial. Sebagai alat, hukum mempunyai kekuasaan
(gezag, authority) dan kekuatan (macht, power) dalam merefleksikan hukum
dalam kenyataan-kenyataan di dalam masyarakat. Dalam lapangan hukum,
kekuasaan merupakan bagian yang paling penting dalam menerapkan hukum.
Oleh sebab itulah, untuk menjalankan keamanan dan ketertiban perairan
menjadi penting keberadaan Kepolisian Perairan untuk menjaga hukum sebagai
kaidah-kaidah yang harus ditaati.
21
Salah satu prasayarat utama dalam bekerjanya keamanan dan ketertiban
Perairan adalah hukum itu sendiri harus jelas dan pasti. Adanya sifat kejelasan
dalam hukum mengandung pengertian hukum harus sedemikian jelas, sehingga
masyarakat dan para penegak hukum dapat berpedoman padanya. Sementara itu,
sifat kepastian berarti hukum harus pasti dalam pelaksanaannya dan setiap orang
dapat menuntut agar hukum dilaksanakan kepada pihak yang melanggarnya tanpa
kecuali. Dalam konteks ini secara internal keberadaan Kepolisian Perairan adalah
bagian dari melaksanakan dan memfungsikan hukum berada pada posisi untuk
mengedepankan fungsi mengatur dan menertibkan di wilayah Perairan. Fungsi
demikian, khususnya dijalankan oleh Kepolisian Perairan sebagai bagian dari
Kepolisian Republik Indonesia.
Dengan demikian, untuk menjamin tugas pokok dan fungsi penegakan
hukum, keberadaan Kepolisian Perairan menjadi penting untuk menjaga norma-
norma hukum positif di perairan Indonesia. Oleh sebab itu, peraturan perundang-
undangan yang membatasi kewenangan Kepolisian Perairan secara internal perlu
dilakukan telaah mengenai konsekuensi dan harmonisasinya secara menyeluruh.
Ada faktor determinan yang mempengaruhi keberadaan Kepolisian
Perairan di Indonesia sebagai pertimbangan utama dalam menentukan
pengambilan keputusan atau kebijakan dalam penegakan hukum perairan, yaitu
efektivitasnya yang melindungi kepentingan masyarakat. Faktor determinan
tersebut merupakan gambaran deskriptif yang menunjukkan perlindungan
masyarakat yang mempunyai arti penting dan mempengaruhi penegakan hukum
secara keseluruhan.
Faktor determinasi perlindungan masyarakat harus menjadi titik penentu
dalam pengambilan kebijakan publik yang dilandasi atas gejala dan fakta
masyarakat tetap membutuhkan keberadaan Kepolisian Perairan. Adapun
kebijakan yang terkait dalam determinasi ini khususnya adalah kebijakan
penegakan hukum dan perlindungan masyarakat yang mempunyai implikasi luas
terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan dan pembangunan nasional.
Dalam kebijakan keamanan, adanya determinasi seringkali dianggap sebagai
kewajaran mengingat konsep keamanan menghendaki suatu penalaran yang wajar
22
mengenai terjadinya suatu peristiwa hukum yang memerlukan pengambilan
kebijakan yang tepat dengan mengutamakan perlindungan kepada masyarakat.
23
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
1. Materi Muatan Peraturan.
Tidak ada negara bila tidak ada wilayah. Ini berarti eksistensi wilayah
sangat penting bagi suatu negara sebagaimana juga halnya dengan Negara
Indonesia. Secara fisikal wilayah suatu negara dapat hanya berupa daratan saja
atau berupa daratan dan lautan (perairan). Sehingga dalam dalam
perkembangannya kemudian dikenal negara-negara kepulauan dan negara pantai.
Indonesia adalah negara kepulauan yang besar dan penting. Sebagai
negara kepulauan, maka jelas Negara Indonesia memiliki wilayah daratan dan
lautan (perairan). Wilayah perairan Indonesia berada diantara dan sekitar pulau-
pulaunya, dengan luas kurang lebih 5.193.250 km2 terletak pada posisi silang
antara dua benua, Asia dan Australia, dan antara dua samudra Hindia dan Pasifik.1
Sebelum tahun 1957 dalam menentukan luas perairan Indonesia
berpatokan pada Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (Staatblad
tahun 1939 No.442). Dalam ketentuan Territoriale Zee en Marietieme Kringen
Ordonantie (TZMKO) tahun 1939 itu memuat 4 kelompok mengenai perairan
Indonesia. Pertama, apa yang disebut dengan “de Nederlandsch Indische
territoriale zee” (Laut Teritorial Indonesia). Kedua, apa yang disebut dengan
“Het Nederlandsch-indische Zeege bied”, yaitu Perairan Teritorial Hindia
Belanda, termasuk bagian laut territorial yang terletak pada bagian sisi darat laut
pantai, daerah liar dari telu-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan
terusan. Ketiga, apa yang dinamakan “de Nederlandsch-Indische Binnen
Landsche wateren” yaitu semua perairan yang terletak pada sisi darat laut
territorial Indonesia termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau,
dan rawa-rawa Indoneasia. Keempat, apa yang dinamakan dengan “de
1 1 Boer Maure, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung, PT Alumni, 2009, hlm 25.
24
Nederlandsch-Indische Wateren “, yaitu laut territorial termasuk perairan
pedalaman Indonesia.1
Pembagian wilayah perairan Indonesia yang didasarkan pada TZMKO itu
berlangsung sampai tahun 1957 dan kemudian mengalami perubahan yang
mendasar dengan adanya Pengumaman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957
yang popular dengan “Deklarasi Djuanda”. Dengan Deklarasi Djuanda itu
berintikan apa yang disebut dengan Konsepsi Nusantara, dan kemudian
melahirkan UU No.4 prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Sejak itu, maka
pengaturan mengenai perairan Indonesia tidak lagi berpedoman pada ketentuan
hukum TZMKO yang merupakan produk hukum peninggalan Belanda.
Pengaturan perairan Indonesia setidaknya sudah dikembangkan dengan
berdasarkan pada konsepsi kepentingan nasional Indonesia. Terhadap hal ini,
Frans E.Likadja dan Daniel F Bessie mengemukakan, bahwa semua rumusan
tersebut (rumusan perairan dalam TZMKO-pen), terlebih bagian rumusan yang
pertama (de Nederlandsch Indische territoriale zee-pen) sama sekali tidak sesuai
dengan hakikat perjuangan bangsa dan cita-cita Proklamasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. 2
Dari perkembangan sejarah hukum Perairan Indonesia menunjukkan
bahwa sistem wilayah perairan Indonesia telah mengalami perkembangan dan
perubahan yang sangat mendasar yang mempengaruhi perkembangan hukum laut
internasional itu sendiri yang pada gilirannya membawa perubahan terhadap
sistem hukum laut internasional diakhir abad 20.3
Perubahan yang dimaksud adalah berkaitan dengan dikeluarkannya
Pengumuman Pemerintah pada tanggal 13 Desember 1957 mengenai Konsepsi
Nusantara, dan lebih dikenal sebagai “Deklarasi Djuanda”, yang kemudian
dituangkan ke dalam Undang-Undang No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia. Sejak “Deklarasi Djuanda” atau Pengumuman Pemerintah mengenai
Konsepsi Nusantara itu, maka ; a) lebar lebar laut teritorial Indonesia berubah
1 1 Anwar Khairul, 1995, ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Di Dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 92
2 2 Mardianus Aruf, Laksamana I TNI - AL, Penegakan Kedaulatan Dan Hukum Di Laut, Penerbit Dispadaerah-I Belawan, hlm 28
3 3 Ibid, hlm 39
25
menjadi 12 mil laut yang sebelumnya 3 mil laut; b) penetapan lebar laut teritorial
diukur dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari ujung-
ujung pulau Indonesia terluar, dan sebelumnya diukur dari garis pangkal yang
menggunakan garis air rendah (pasang surut) yang mengikuti liku-liku pantai
masing-masing pulau Indonesia; c) Semua perairan yang terletak pada sisi dalam
garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari yang tadinya berupa laut
territorial atau laut lepas menjadi perairan pedalaman, dimana kedaulatan negara
atas perairan tersebut praktis sama dengan kedaultan negara atas daratannya.
Sementara sebelum Dekrarasi Djuanda perairan yang terletak pada sisi dalam dari
garis pangkal disebut perairan pendalaman. 4
Konsepsi Nusantara yang dituangkan dalam UU No.4 Prp Tahun 1960,
tentu saja tidak diterima negara-negara lain, pemerintah Indonesia setelah
mencetuskan Nusantara itu berupaya mensosialisasikan Konsepsi Nusantara guna
mendapatkan pengakuan internasional. Puncak dari upaya pemerintah itu atas
Konsepsi Nusantara itu adalah dalam Konperensi PBB III tentang Hukun Laut
yang berakhir tahun 1982. Dimana dalam koperensi PBB III tersebut melahirkan
konvensi Hukum Laut Baru yang diberi nama United Nations Convention on Law
of The Sea atau yang disebut pula dengan nama lain Konvensi Hukum Laut 1982.
Berkaitan dengan Konvensi Hukum laut 1982 itu Atje Misbach
Muhjiddin mengemukakan, bahwa lahirnya Konvensi Hukum Laut 1982 dimana
Konsepsi Nusantara yang berasal dari Pengemuman Pemerintah RI tanggal 13
Desember 1957 itu telah diakui dan diterima sebagai bagian integral dari konvensi
tersebut dan dimuat dalam Bab IV yang berjudul Negara Kepulauan (Archipelagic
States). Dan perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan
(Archipelagic baseline) disebut perairan kepulauan (Archipelagic waters) yang di
dalamnya masih dimungkinkan penarikan garis penutup ditempat-tempat tertentu
untuk menentukan “perairan pedalaman”. 5
Perubahan mendasar terhadap perairan Indonesia yang diawali dengan
pengumanan Pemerintah mengenai Konsepsi Nusantara dan kemudian diterima
44 Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, hlm 495 5 Ibid, hlm 83
26
sebagai bahagian integral dari Konvensi Hukum Laut 1982, maka dengan
sendirinya berdampak pula bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
di Indonesia.
Dengan demikian upaya untuk memahami apa yang maksud dengan
wilayah perairan Indonesia menjadi sangat penting bagi dunia perikanan
Indonesia. Dikatakan demikian tentu saja tidak terlepas dari beberapa
pertimbangan yang mendorong pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan
pernyataan mengenai wilayah Perairan Indonesia;
1) Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia, sebagai suatu negara Kepulauan
yang terdiri dari beribu-ribu pulau, mempunyai sifat dan corak terendiri yang
memerlukan pengaturan tersendiri.
2) Bahwa bagi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia semua
kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu
kesatuan yang bulat.
3) Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah
kolonial, sebagai termaktub dalam Territoriale Zee en Marietieme Kringen
Ordonantie 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan,
keselamatan, dam keamanan negara Republik Indonesia;
4) Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk
mengambil tindakan yang dipandang perlu untuk melindungi keutuhan dan
keselamatan negaranya.
Atas dasar itu pula, apakah yang dimaksud dengan Perairan Indonesia ?
Pengertian yang umum terhadap perairan itu sendiri biasanya dipahami dalam
artian laut yang termasuk kawasan suatu negara.6 Pengertian perairan yang
demikian tidak memuaskan kita ketika mecoba untuk memahami apa yang
dimaksud dengan perairan Indonesia. Berdasarkan pengertian tadi, maka perairan
Indonesia hanya berati laut yang termasuk kawasan negara Indonesia. Ketidak-
puasan dengan pengertian perairan yang umum itu sangat dirasakan apabila kita
membicangkan masalah pengelolaan dan pemanfaatan potensi perikanan atau
sumber daya ikan.
6 6 Lihat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
27
Pembentukan peraturan perundang undangan terkait memuat kondisi
hukum yang ada kaitannya dengan perairan dengan peraturan perundang
undangan lain. Harus ada sinkronisasi dan harmonisasi secara vertikal dan
horizontal, serta status dari peraturan perundang undangan yang dicabut atau
dinyatakan tidak berlaku serta peraturan perundang undangan yang masih tetap
berlaku tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang baru.
Undang Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 Mencermati dua rumusan
mengenai apa yang dimaksud dengan Perairan Indonesia baik dalam UU No.4 Prp
tahun 1960 maupun dalam UU No. 6 Tahun 1996, maka yang termasuk perairan
Indonsia yaitu; 1) Laut teritorial Indonensia; 2) Perairan Kepulauan dan; 3)
perairan pedalaman. Jika demikian halnya, maka adalah penting bagi kita
memahami lebih jauh mengenai wilayah perairan Indonesia itu.
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 pada butir 5 tentang Rancangan
Kerja pemerintah Tahun 2014 bahwa “intensifikasi dan ekstensifikasi patroli
keamanan laut dan mendorong segera terbentuknya badan Keamanan Laut
(Bakamla) yang didukung sistem peringatan dini (Early Warning Sistem)
keamanan laut, efektifitas koordinasi, komando dan pengendalian”.
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang RKP pembentukan
BAKAMLA bukan harus merevisi UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia akan tetapi merupakan amanat dari UU No 17 Tahun 2008 tentang
pelayaran. Pada penjelasan UU No 17 Tahun 2008 menjelaskan selain hal tersebut
di atas yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam undang-undang ini adalah
pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai yang bentuk (Sea and
Coast Guard) yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada Presiden dan secara
teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.
Penjaga laut dan pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan
di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang
penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Penjagaan laut dan pantai
tersebut merupakan pemberdayaan Badan Koordinasi Keamanan Laut dan
perkuatan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.
28
Diharapkan dengan pengaturan ini penegakan aturan di bidang
keselamatan dan keamanan pelayaran dapat dilaksanakan secara terpadu dan
terkoordinasi dengan baik sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan
penegakan hukum di laut yang dapat mengurangi citra Indonesia dalam pergaulan
antar bangsa. Pada Pasal 346 UU No. 17 Tahun 2008 tentang PELAYARAN,
menjelaskan bahwa apabila Sea and Coast Guard terbentuk maka
BAKORKAMLA di bubarkan. Pembentukan BAKAMLA berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 39 Tahun 2014 adalah kurang baik, untuk ini mohon diterapkan
yang sebenarnya ( BAKAMLA adalah amanat dari UU No. 17 Tahun 2008
tentang pelayaran ).
Tidak perlu lagi merubah UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (khususnya pada pasal 24 dan 25). Menanggapi bila tetap dibahas. Pasal
25 ayat (3) RUU tentang Perubahan UU No. 6 Tahun 1996 menjelaskan pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang undangan yang terkait
dengan penegakan hukum di perairan Indonesia mengikuti ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini. Perlu di ketahui bahwa Polri sebagai alat Negara
penegak hukum di atur dalam Pasal 30 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara
Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan tentang Hierarki Peraturan
Perundang-undangan, sehingga dapat di fahami bahwa keberadaan POLRI sebagai
penegak hukum tidak dapat di abaikan. (tetap eksis). Apabila draft RUU ini tetap
di laksanakan pihak POLRI dapat mengajukan ke Makamah Kontitusi.
2. Kajian Keterkaitan dengan Hukum Positif yang Tarkait.
Beberapa ketentuan hukum positif yang memiliki keterkaitan dengan
pembentukan perubahan rancangan undang-undang tentang Perairan di Negara
Republik Indonesia, yaitu sebagai berikut :
a. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982.
Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the
Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) untuk meratifikasi
29
Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Menurut UNCLOS,
Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona
maritim dengan batas-batas maksimum ditetapkan sebagai berikut:
(1) Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut;
(2) Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24 mil-laut;
(3) Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan
(4) Landas Kontinen : antara 200 – 350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-
laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.
Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk
memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di samping itu, sebagai suatu
negara kepulauan Indonesia juga berhak untuk menetapkan:
(1) Perairan Kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya,
(2) Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya.
Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis-garis pangkal atau
garis-garis dasar yang akan menjadi acuan dalam penarikan garis batas.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia; Pada tanggal 8 Agustus 1996, Pemerintah menetapkan Undang-
Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang lebih
mempertegas batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yurisdiksi
Indonesia di laut, juga memberikan dasar dalam penetapan garis batas
(boundary) dengan negara negara tetangga yang berbatasan, baik dengan
negara-negara yang pantainya berhadapan maupun yang berdampingan
dengan Indonesia.
Pada dasarnya Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan dasar tentang
hak dan kewajiban negara di laut yang disesuaikan dengan status hukum dari
berbagai zona maritim, sebagaimana diatur dalarn UNCLOS. Batas terluar
laut teritorial Indonesia tetap menganut batas maksimum 12 mil laut, dan
garis pangkal yang dipakai sebagai titik tolak pengukurannya tidak berbeda
dengan pengaturan dalam Undang-Undang No. 4/Prp. tahun 1960 yang
disesuaikan dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam UNCLOS.
30
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas
UNCLOS 1982. Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut)
untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982.
Menurut UNCLOS, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar
dari berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum ditetapkan sebagai
berikut:
(1) Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut;
(2) Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24 mil-laut;
(3) Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan
(4) Landas Kontinen : antara 200 – 350 mil-laut atau sampai dengan 100
mil-laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.
Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk
memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di samping itu, sebagai suatu
negara kepulauan Indonesia juga berhak untuk menetapkan:
(1) Perairan Kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal
kepulauannya,
(2) Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya.
Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis-garis pangkal atau
garis-garis dasar yang akan menjadi acuan dalam penarikan garis batas.
d. Peraturan Pemerintah, No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna,
diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan
bahwa Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal
31
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Undang-undang No. 6 tahun 1996 tersebut
kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1998 tentang
Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di
sekitar Kepulauan Natuna, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan
Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, dengan melampirkan daftar
koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Daftar
koordinat ini tidak dimasukkan sebagai ketentuan dalam batang tubuh
Peraturan Pemerintah ini dengan tujuan agar perubahan atau pembaharuan
(updating) data dapat dilakukan dengan tidak perlu mengubah ketentuan dalam
batang tubuh Peraturan Pemerintah ini. Lampiran-lampiran tersebut merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Selain itu terdapat pula beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum
Indonesia meratifikasi UNCLOS pada tahun 1985 yang belum diubah yaitu:
Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia Undang-
Undang ini dibuat berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa tentang Landas
Kontinen tahun 1958 yang menganut penetapan batas terluar landas kontinen
berbeda dengan UNCLOS. Dengan demikian perlu diadakan perubahan
terhadap Undang-Undang ini dengan menyesuaikan sebagaimana mestinya
ketentuan tentang batas terluar landas kontinen.
e. Undang-Undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Menurut Undang-Undang ini di Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia
mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan
konservasi. Batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ditetapkan sejauh
200 mil-laut.
Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun
memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan
batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang
tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara lain. Badan
32
Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah
melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU
tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-
Undang.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOOGIS DAN YURIDIS
A. Landasan Filosifis.
33
Secara filosofis, penyelenggaraan pemerintahan adalah untuk mewujudkan
tujuan bernegara, salah satunya melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Keberadaan Kepolisian Perairan sebagai bagian dari Kepolisian Republik
Indonesia adalah untuk melindungi dan mempertahankan hak masyarakat di
lingkungan perairan Republik Indonesia. Upaya mencapai tujuan bernegara
tersebut dilakukan Kepolisian Perairan sebagai sumbangsihnya bagi negara yang
diimplementasikan dalam bentuk menjaga dan menegakkan hukum perairan yang
dilaksanakan bertanggung jawab.
Dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya, Kepolisian Perairan
berfungsi menegakkan hukum perairan dengan prinsip hukum dan prinsip
pemerintahan umum yang baik (algemene beginselen van behoorlijke bestuur atau
good governance). Upaya mencapai tujuan bernegara melindungi segenap tumpah
darah Indonesia di lingkungan perairan tentu diperlukan adanya pembagian tugas
dan kewenangan yang jelas (waterdicht), yang merupakan akibat dari setiap
pelaksanaan tugas dan kewenangan dalam bingkai hubungan hukum vertikal
antara kepolisian Perairan dan warga masyarakat, maupun hubungan hukum
dalam bentuk hak dan kewajiban antara kepolisian perairan dan aparatur negara
lainnya.7
Bahwa dalam penyelenggaraan sistem keamanan di wilayah Hukum
Perairan Polda Metro Jaya menempatkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945
sebagai landasan filosofis yang secara tegas di dalam Pembukaan UUD RI Tahun
1945 alenia ke empat menyatakan bahwa “negara melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum. Menurut Soedjono
Dirdjosisworo yang mengutip Theory of Legislation Jeremy Bentham
menekankan bahwa hukum harus bermanfaat.1212Bagir Manan menyatakan agar
dalam pembentukan undang-undang dapat menghasilkan suatu undang-undang
7 7 Victor Situmorang, 1987, Sketsa Asas Hukum Laut, Penerbit PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm 84
12 12 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajagrapindo Persada, Jakarta 2009, hlm. 13.
34
yang tangguh dan berkualitas, undang-undang tersebut harus berlandaskan pada
pertama landasan yuridis (juridische gelding); kedua landasan sosiologis
(sociologische gelding); ketiga landasan filosofis (philosophical gelding).1313
Dalam menghadirkan hukum yang berkualitas tersebut perlu dipahami
politik hukum nasional yang mempengaruhi sistem hukum nasional seperti yang
diisyaratkan Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya ‘Law and
Society in Transition : Toward Responsive Law’, politik hukum nasional
bertujuan menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan,
demokratis, otonom, dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan
ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas,
ortodoks, dan reduksionistik.1414
Pembentukan peraturan perundang-undangan, haruslah mengacu pada
landasan pembentukan peraturan perundang-undangan atau ilmu perundang-
undangan (gesetzgebungslehre), yang diantaranya landasan yuridis. Setiap produk
hukum, haruslah mempunyai dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding).
Dasar yuridis ini sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
khususnya praturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur produk
hukum, maka prinsip-prinsip pembentukan, pemberlakuan dan penegakannya
harus mengandung nilai-nilai hukum pada umumnya. Berbeda dengan niali-nilai
sosial lainya, sifat kodratinya dari nilai hukum adalah mengikat secara umum dan
ada pertanggungjawaban konkrit yang berupa sanksi duniawi ketika nilai hukum
tersebut dilanggar.
Oleh karena itu Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
produk hukum, harus dapat mengikat secara umum dan memiliki efektivitas
dalam hal pengenaan sanksi. Dalam pembentukan Peraturan perundang-undangan
1313Ibid, hlm 19.14 14Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang
Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoritis & Praktis Disertai Manual; Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Hlm. 23; Krems, mengatakan gesetzgebungslehre mempunyai tiga sub bagian disiplin, yakni proses perundang-undangan gesetzgebungsverfahren (slehre); metode perundang-undangan gesetzgebungsmethode (nlehre); dan teknik perundang-undangan gesetzgebungstechnik (lehre).
35
sesuai pendapat Bagir Manan harus memperhatikan beberapa persyaratan
yuridis. Persyaratan seperti inilah yang dapat dipergunakan sebagai landasan
yuridis, yang dimaksud disini adalah :
a. Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang, artinya suatu peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh pejabat atau badan yang mempunyai
kewenangan untuk itu. Dengan konsekuensi apabila tidak diindahkan
persyaratan ini, maka konsekuensinya undang-undang tersebut batal demi
hukum (van rechtswegenietig).
b. Adanya kesesuaian bentuk/jenis peraturan perundang-undangan dengan materi
muatan yang akan di atur,artinya ketidaksesuaian bentuk/jenis dapat menjadi
alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud.
c. Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan adalah
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus melalui prosedur dan
tata cara yang telah ditentukan.
d. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannnya adalah sesuai dengan pandangan stufenbau theory,
peraturan perundang-undangan mengandung norma-norma hukum yang
sifatnya hirarkhis. Artinya suatu peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya merupakan grundnorm (norma dasar) bagi peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.1515
Selanjutnya A.Mukhtie Fadjar menyatakan bahwa negara hukum ialah
negara yang susunannya di atur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang,
sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan pada
hukum.16Rakyat tidak boleh bertindak secara sendiri-sendiri menurut
kemampuannya yang bertentangan dengan hukum. Negara hukum itu ialah negara
yang diperintah bukan oleh orang-orang tetapi oleh undang-undang (the states not
governed by men, but by law).
Sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Pancasila, penyelenggaraan
pemerintahan negara didasarkan dan di atur menurut ketentuan-ketentuan
15 15 Soedjono Dirdjosisworo, Op Cit, Hlm. 14-15
16
36
konstitusi, maupun ketentuan hukum lainnya, yaitu undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan daerah, maupun ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang
ditentukan secara demokratis dan konstitusional. Hal ini mengandung makna
bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara dilakukan melalui berbagai
kebijakan pemerintahan negara senantiasa didasarkan dan dicernakan melalui
ketetapan-ketetapan hukum yang dikelola secara demokratis.
Menurut Sri Soemantri bahwa Demokrasi mempunyai dua macam
pengertian yaitu formal dan material. Realisasi pelaksanaan Demokrasi dalam arti
formal, yaitu terlihat dalam UUD 1945 yang menganut faham indirect democracy,
yaitu suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dilaksanakan
oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan
rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD); dan demokrasi dalam arti
pandangan hidup atau demokrasi sebagai falsafah bangsa (democracy in
philosophy).17Dalam sistem demokrasi semua perubahan tatanan sosial dalam
kontek demokrasi, harus didasari oleh landasan normatif maka melalui Law
making process sebagai salah satu tugas parlemen.1616
Penyelenggaraan negara yang demokratis dilaksanakan dengan
mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
kewajiban, dalam mengurus dan menjalankan pemerintahan.Secara teoritis sistem
pemerintahan ini dikenal dengan sistem desentralisasi, yang mengandung dua
unsur pokok yaitu terbentuknya daerah otonom dan otonomi daerah.1717
B. Aspek Sosiologis.
Dengan perkembangan arus globalisasi yang ditandai oleh semakin
berperannya ilmu pengetahuan dan teknologi, secara tidak disadari hal ini dapat
berpengaruh terhadap tatanan dan nilai maupun perilaku masyarakat dalam
17
16 16HAW. Widjaya, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.131.
17 17HAW. Widjaya, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.131.
37
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seiring dengan perubahan
kondisi di atas, potensi kerawanan kamtibmas melalui IT cendrung meningkat
yang dapat menimbulkan ancaman atau gangguan terhadap kepentingan
masyarakat antara lain kejahatan transnasional, disintegrasi bangsa, terorisme,
penyelundupan narkoba, illegal fishing, tracfiking, kejahatan didunia maya, hal ini
sudah barang tentu dapat mengganggu stabilitas keamanan Perairan wilayah
hukum Polda Metro Jaya. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang dapat
menjaga/melindungi dan mengatasi berbagai bentuk ancaman dan atau gangguan
terhadap kepentingan masyarakat secara efektif dan efisien.
Indonesia sebagai negara Kepulauan berbatasan secara darat maupun
maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia,
Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste.
Sungguh sangatlah kompleks untuk merumuskan suatu perjanjian wilayah dengan
kesepuluh negara tetangga ini karena tentunya masing-masing negara memiliki
kepentingan yang sangat besar atas wilayah dan terutama sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya.
Kalau kita flashback kebelakang ketika zaman pendudukan Belanda,
wilayah perairan Indonesia didasarkan pada ketentuan Territoriale Zee en
Maritieme Ordonantie tahun 1939 yang menetapkan bahwa laut teritorial
Indonesia adalah sejauh 3 mil laut (sepanjang jarak lontaran canon ball) dihitung
dari garis laut ketika air laut sedang surut. Hal ini sangat merugikan bangsa kita
karena padatnya arus kapal asing yang hilir mudik di perairan indonesia (pada saat
itu) yang secara bebas melakukan eksploitasi dan eksplorasi sumber daya laut
Indonesia.Kemudian pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia
dengan diplomasi maritimnya menetapkan suatu konsep wilayah perairan laut
yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Pokok – pokok dari deklarasi tersebut
adalah laut serta perairan antar pulau menjadi pemersatu dan penghubung
antarpulau, dan batas-batas wilayah laut diukur sejauh 12 mil dari garis dasar
pantai pulau terluar.
Deklarasi Djuanda tersebut pada akhirnya mendapat legitimasi dunia secara
luas pada tahun 1982 dengan diadopsinya Konvensi Hukum Laut Internasional di
38
Jamaika (United Convention on the Law of the Sea 1982 – UNCLOS). Secara
terang UNCLOS menetapkan keberadaan wilayah perairan yang meliputi perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, batas landas kontinen dan zona
ekonomi eksklusif diakui dan diberlakukan bagi seluruh negara pantai dan negara
kepulauan.
Hal ini pun diperkuat dengan lahirnya 2 Undang- Undang yaitu Undang
Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”)
dan Undang Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (“UU Wilayah
Negara”). UU Wilayah Negara Pasal 1 ayat (1) mengatakan “wilayah negara…
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah dibawahnya, serta ruang
udara diatasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya”, sementara UU Perairan Indonesia Pasal 2 ayat (2) mengatakan
“Segala perairan di sekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau atau bagian
pulau pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia… merupakan
bagian integral dari wilayah daratan sehingga…berada di bawah kedaulatan
Negara Republik Indonesia”. Nyatalah sudah betapa pentingnya arti kelautan bagi
Indonesia sebagai negara kepulauan.
C. Aspek Yuridis.
Peningkatan efektivitas penegakan hukum di perairan Indonesia
berhubung dengan kegiatan perekonomian, pelestarian lingkungan perairan dan
kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan perairan Indonesia yang bertujuan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Undang-
Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Maka Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hokum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan,
terutama perubahan Pasal 24 A yang berbunyi “Dalam rangka melaksanakan
komando dan mengintegrasikan penegakan hokum di perairan Indonesia, Presiden
menetapkan kebijakan nasional operasi keamanan dan keselamatan perairan
Indonesia”. Perwujudan dari Peraturan Pemerintah 13 Desember 1957 tentang
39
konsep kewilayahan Indonesia, laut lepas yang tadinya terdapat diantara pulau-
pulau Indonesia berobah menjadi perairan Indonesia yang berada bawah
kedaulatan Indonesia.
Melalui UU No. 4/Per./1960 dan PP No. 8 Tahun 1962 Indonesia tetap
menjamin kepentingan pelayaran internasional dengan memberikan kelonggaran
hak lalu lintas damai bagi kapal asing di perairan nusantara (kepulauan)
Indonesia. Perkembangan kemudian, yaitu diterimanya rejim hukum Negara
Kepulauan serta diterimanya rejim hukum zona ekonomi eksklusif dalam
Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982), dengan perkembangan ini asas Negara
Kepulauan Indonesia mendapat pengakuan secara internasional melalui UU No. 6
Tahun 1996 Indonesia telah mengimplementasikan pengaturan Negara kepulauan,
undang-undang ini sekaligus mencabut UU No. 4/Perp./1960. Demikian juga
perkembangan yang lain, yaitu Indonesia mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Di zona ekonomi eksklusif yang
dihitung 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial yang berada di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial. Kondisi perairan Indonesia tersebut
tergambar melalui perairan Indonesia yang merupakan daerah hukum. Merupakan
hak dan kewajiban bangsa Indonesia umumnya dan aparat penegak hukum
khususnya yang terkordinasi dalam gugusan KAMLA untuk melakukan tindakan
terhadap perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh kapal asing
dalam melakukan pelayaran di daerah hukum LANTAMAL I melalui pelabuhan
Indonesia, untuk menjamin keamanan dan ketertiban bangsa Indonesia.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG PERAIRAN
A. Jangkauan, Arah Pengaturan Dan Ruang Lingkup.
Masyarakat sebagai bagian dari tujuan pokok keamanan diperlukan suatu
pendekatan yang lebih komprehensif. Hal ini dilakukan agar masyarakat
terlindungi dan negara juga terjaga dalam mewujudkan hak dan kewajibannya
40
masing-masing menurut peraturan perundang-undangan. Kebutuhan utama
keamanan adalah pendekatan masyarakat yang bersifat instrumental mendukung
terwujudnya sistem keamanan dan penegakan hukum yang komprehensif.
Pendekatan masyarakat dalam keamanan sangat melekat pada tugas pokok
dan fungsi kepolisian, sehingga keamanan akan sejalan dengan kebutuhan dan
keinginan masyarakat. Dengan demikian, setiap gangguna keamanan dapat segera
diatasi dan diselesaikan dengan menjaga hubungan masyarakat dan kepolisian
secara bersama-sama dan berkesinambungan. Dalam keamanan wilayah kelautan,
keberadaan kepolisian memiliki seluruh fungsi positif untuk memberikan batasan
yang tegas geografis nasional dengan tetap menjaga integritas hubungan struktural
antara fungsi keamanan dan kebutuhan perlindungan terhadap masyarakat. Dalam
ruang lingkupnya yang mikro, keberadaan kepolisian dalam menjaga keamanan
laut merupakan bentuk preventif mencegah terjadinya konflik kelompok
penganggu keamanan masyarakat. Adanya kepolisian air pada hakikatnya sebagai
katup penyelamat (safety valve) yang ditugaskan negara untuk menjaga keamanan
laut dari kemungkinan kejahatan laut.
Keberadaan kepolisian Air sebagai safety valve berfungsi sebagai
instrumen yang meredakan tindak pidana kejahatan kelautan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Adanya safety valve inilah yang akan menjadi harapan
masyarakat dan negara untuk memanfaatkan hasil kelautan, sehingga masyarakat
tetap terlindungi. Adanya Kepolisian Air dengan pendekatan masyarakat juga
akan mengurangi tekanan terhadap institusi lain yang mempunyai wewenang yang
berkaitan karena telah disusun suatu mekanisme hubungan dan koordinasi antar-
wewenang.
Wewenang Kepolisian RI dalam Melakukan Penyidikan Terhadap
Tindak Pidana Tertentu Diwilayah Perairan Laut Indonesia. Bahwa fungsi
kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. hal ini
sebagaimana di tegaskan dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
41
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa tugas pokok Kepolisian RI
adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2. Menegakkan hokum
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Selain itu, dalam Pasal 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dikatakan bahwa “kepolisian
Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainya”.
Pasal 72 undang-undang No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan
menyatakan bahwa Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan,
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini. Adapun yang dimaksud dengan hukum acara yang berlaku
adalah sebagaimana yang terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), sedangkan menurut KUHAP yang berwenang melakukan
penyidikan salah satunya adalah Pejabat Kepolisian Republik Indonesia.
Sedangkan Pasal 73 ayat (1) undang-undang perikanan juga menyatakan bahwa
Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI Angkatan Laut, dan Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia. Selain itu Pasal 282 ayat (1) undang-undang No. 17 tahun
2008 Tentang Pelayaran juga memberikan kewenangan kepada pejabat polisi
Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
di bidang pelayaran.
Selain berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang
perikanan dan pelayaran, Kepolisian juga berwenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana diwilayah perairan laut indonesia yang berkaitan dengan
pencemaran lingkungan dan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 94 undang-undang
No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan Lingkungan Hidup bahwa Kepolisian
berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup.
42
Kewenangan serupa juga diberikan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1990
Tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dimana Pasal 39
menyatakan bahwa pejabat kepolisian Republik Indonesia berwenang melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.
Wewenang TNI Angkatan Laut dalam Melakukan Penyidikan
Terhadap Tindak Pidana Tertentu di wilayah Perairan Laut Indonesia.
Secara universal TNI Angkatan Laut memiliki tiga peran yaitu peran militer,
peran polisionil, dan peran diplomasi. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka
menegakkan hukum di laut, melindungi sumberdaya dan kekayaan laut nasional,
serta memelihara keamanan dan ketertiban di laut. Secara yuridis formal ketiga
peran ini telah diimplementasikan dalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang tugas TNI Angkatan Laut. Pasal 9 Undang-undang No. 34
Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bahwa salah satu Tugas TNI Angkatan Laut
adalah menegakkan hukum dan menajga keamanan di wilayah laut yurisdiksi
nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang
telah diratifikasi.
Adapun yang dimaksud dengan tugas menegakkan hukum dan menjaga
keamanan adalah segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penegakan
hukum dilaut sesuai dengan kewenangan TNI Angkatan Laut (constabulary
function) yang berlaku secara universal dan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku untuk mengatasi ancaman, tindakan kekerasan, ancaman
navigasi, serta pelanggaran hukum diwilayah laut yurisdiksi nasional. Adapun
penegakan hukum yang dilaksanakan oleh TNI Angkatan laut adalah terbatas
dalam lingkup pengejaran, penangkapan, penyelidikan, dan penyidikan perkara
yang selanjutnya diserahkan kepada kejaksaan untuk dilakukan penuntutan.
Pasal 9 huruf b undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi
dasar wewenaang TNI Angkatan laut dalam melaksanakan penegakan hukum
diwilayah perairan laut. Selain itu dasar wewenang TNI Angkatan Laut dalam
melakukan pemberantasan tindak pidana diwilayah perairan laut juga dinyatakan
secara tegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainya yang mengatur
43
tentang wilayah perairan laut indonesia maupun yang mengatur secara khusus
mengenai tindak pidana tertentu diwilayah perairan laut.
Menurut Pasal 73 Undang-Undang No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan,
sebagaimana telah diperbaharui dengan undang-undang No. 45 tahun 2009,
bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI Angkatan Laut, dan Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia. Selain itu Pasal 73 ayat (2) Undang-undang No. 45
Tahun 2009 memberikan kewenang Eksklusif kepada TNI untuk melakukan
penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonensia. Wewenang yang serupa juga
diberikan oleh undang-undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran, dimana
meskipun Pasal 282 ayat (1) memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian
Negara Republik Indones dan pejabat pegawai negeri sipil untuk melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang pelayaran, namun Pasal 340 Undang-
undang perikanan memberikan kewenangan yang eksklusif kepada TNI Angkatan
Laut untuk melakukan penyidikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Selain berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang
perikanan dan pelayaran, TNI Angkatan Laut Juga Berwenang melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana diwilayah perairan laut yang berkaitan dengan
pencemaran lingkungan dan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, dimana Pasal 39 ayat (2) undang-undang No. 5 Tahun 1990
Tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, menyatakan
bahwa Kewenangan penyidik kepolisian dan pejabat pegawai negeri sipil dalam
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, tidak mengurangi kewenangan penyidik
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Undang-undang Perikanan. Sedangkan
menurut pasal 14 undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia memberikan kewenangan penuh kepada Perwira TNI
Angkatan laut untuk melakukan penyidikan penyidikan di wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
44
Kewenangan TNI Angkatan laut dalam Melakukan penegakan Hukum
diwilayah Perairan Laut juga diperkuat oleh peraturan perundang-undangan
lainya yang mengatur masalah perairan indoneisa seperti undang-undang No. 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, maupun konvensi-konvensi internasional
seperti United Nations Convention on the law of the sea 1982. Pasal 24 undang-
undang tentang Perairan Indonesia menegaskan bahwa penegakan kedaulatan dan
hukum di wilayah perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah
di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi
atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum
internasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan, sebagaimana telah
diperbaharui dengan undang-undang No. 45 tahun 2009, memberikan wewenang
kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana perikanan baik di wilayah laut teritorial indoneisa maupun
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Berdasarkan Pasal 282 ayat (1) undang-
undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran, penyidik pegawai negeri sipil
berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang pelayaran.
Selain itu, dalam tindak pidana di bidang pencemaran lingkungan hidup dan
konservasi sumberdaya alam hayati diwilayah perairan laut, penyidik pegawai
negeri sipil juga diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (1) undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konsevasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Pasal 94 ayat (1) undang-
undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Tupoksi Kepolisian Perairan
a. Tugas Pokok Polri Berdasarkan UU RI No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisan
Negara Republik Indonesia :
1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
2) Menegakkan hukum.
3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada.
45
b. Tugas Pokok Polair Berdasarkan Perkap Nomor 22 Tahun 2010 Tanggal 28
September 2010 Tentang organisasi dan tata kerja tingkat Polda
7) Menyelenggarakan pemeliharaan dan perbaikan fasilitas / sarana kapal
dalam lingkungan Polda Metro Jaya.
8) Menyelenggarakan patroli, pengawalan, penegakan hukum di wilayah
perairan Polda Metro Jaya.
9) Menyelenggarakan binmas perairan/patroli di daerah hukum Polda Metro
Jaya.
10) Menyelenggarakan pemberi bantuan ( SAR ) di laut / perairan.
11) Pelaksanaan transportasi Kepolisian di perairan.
12) Pelaksanaan telekomunikasi, informasi dan dokumentasi program
kegiatan Dit Pol Air Polda Metro Jaya.
Visi Direktorat Kepolisian Perairan adalah terwujudnya pelayanan
Kamtibmas prima, tegaknya hukum dan keamanan yang mantap, nyata dan
bertanggung jawab serta terjalinnya kerja sama yang harmonis, sinergi, proaktif
dengan segenap komponen masyarakat di wilayah perairan ditpolair Polda Metro
Jaya.
Misi Direktorat Kepolisian Perairan adalah :
1) Memperkuat dan meningkatkan kemampuan fungsi penyelidikan dan
penyidikan guna menjaring informasi untuk pencegahan gangguan keamanan
dan pengungkapan kasus-kasus secara sistematis dan tuntas.
2) Mengembangkan pelayanan publik di setiap lini berbasis pelayanan prima
yang proporsional, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi ham dan responsif
dalam rangka mengurangi tingkat keresahan masyarakat di wilayah perairan
Polda Metro Jaya.
3) Menggelar polisi sebanyak-banyaknya di tengah masyarakat terutama polisi
berseragam dalam rangka meningkatkan pelayanan dan perlindungan kepada
masyarakat perairan melalui unit-unit kapal patroli yang ada.
4) Mengembangkan falsafah dan strategi perpolisian masyarakat (polmas) secara
bertahap dan berlanjut guna membangun hubungan polisi dengan masyarakat
46
yang lebih dekat dan interaktif dalam upaya mewujudkan masyarakat patuh
hukum.
5) Memberdayakan seluruh kekuatan dan kemampuan organisasi pengemban
fungsi penyelidikan dan penyidikan baik sarana maupun prasarananya dalam
upaya mewujudkan polisi perairan sebagai penegak hukum terdepan di
wilayah periran.
6) Meningkatkan kinerja satker ditpolair Polda Metro Jaya secara profesional,
transparan dan akuntabel guna mendukung pelaksanaan tugas kepolisian
dalam memelihara Kamtibmas di wilayah perairan Polda Metro Jaya.
Arah kebijakan pengaturan ini adalah kajian yang merupakan kegiatan
analisis terkait dengan hukum positif yang dimaksud dalam rangka
mengharmoniskan subtansi peraturan perundang-undangan yang disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat bangsa Indonesia, khususnya mengenai Peraturan
perundang-undangan tentang Perairaan.
B. Materi Yang Di Atur Peraturan Perundang-Undangan
Bagian ini membahas tentang ketentuan dan pengertian yang bersifat
umum dan subtansi peraturan daerah ini.
1. Ketentuan Umum.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepolisian Perairan Indonesia mempunyai
beberapa landasan dan teori yang menjadi acuan atau pedoman andalan
menjalankan fungsi dan peranannya. Bagian ini membahas tentang kenetuan
dan pengertian yang bersifat umum dan subtansi peraturan daerah ini
2. Materi Pengaturan.
Materi pengaturan dengan sistematika sebagai berikut :
Ketentuan Pasal 24 ayat (3) diubah, diantaranya Pasal 24 dan Pasal 25
disisipkan 4 (empat) Pasal yakni Pasal 24 A, Pasal 24 B, Pasal 24 C dan
Pasal 24 D.
Dan ketentuan Pasal 25 ayat (2) diubah dan ditambah 1 ayat yakni ayat (2),
diantaranya Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 25
A.
47
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Didalam naskah akademik yang ada maka ada beberapa kesimpulan yang
berhubungan dengan materi di atas yaitu sebagai berikut :
48
1. Kondisi keamanan di wilayah perairan Jakarta pada saat ini kawasan Asia
Tenggara tengah mengalami isu-isu ancaman dan masalah yang terkait dalam
keamanan non-tradisional, salah satunya adalah masalah mengenai
pembajakan kapal atau perompakan. Wilayah perairan di Asia Tenggara
merupakan wilayah yang sering dilalui oleh kapal-kapal negara asing baik
untuk patroli keamanan negara-negara di Asia Tenggara, jalur perdagangan
internasional ataupun bentuk kegiatan lainnya yang menggunakan wilayah
laut sebagai sarana dan jalur transportasi. Dimana dibeberapa wilayah tertentu
terdapat wilayah – wilayah perbatasan langsung dengan Negara Negara
tetangga antara lain sangat rentan terjadinya suatu kejahatan antar Negara
(Trans National Crime) antara lain Penyeludupan manusisa, narkoba,
penyeledupan senjata api, dll.
2. Eksistensi kepolisian perairan Polda Metro jaya telah berhasil dalam hal
penegakkan hukum yaitu kegiatan dalam rangka melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap segala bentuk kejahatan / tindak pidana yang terjadi
diwilayah perairan Polda Metro Jaya terhadap kejahatan salah satunya
kegiatan Harkamtibmas.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi tersebut adalah Dari Internal
adanya pandangan mengenai faktor yang mempengaruhi kebutuhan
Kepolisian Perairan di Indonesia diarahkan pada faktor struktur hukum dan
penegakan hukum. Keberadaan Kepolisian Perairan adalah bagian dari
melaksanakan dan memfungsikan hukum berada pada posisi untuk
mengedepankan fungsi mengatur dan menertibkan di wilayah Perairan.
Fungsi demikian, khususnya dijalankan oleh Kepolisian Perairan sebagai
bagian dari Kepolisian Republik Indonesia. Faktor eksternal Faktor
determinasi perlindungan masyarakat harus menjadi titik penentu dalam
pengambilan kebijakan publik yang dilandasi atas gejala dan fakta
masyarakat tetap membutuhkan keberadaan Kepolisian Perairan. Adapun
kebijakan yang terkait dalam determinasi ini khususnya adalah kebijakan
penegakan hukum dan perlindungan masyarakat yang mempunyai implikasi
luas terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan dan pembangunan
49
nasional. Dalam kebijakan keamanan, konsep keamanan menghendaki suatu
penalaran yang wajar mengenai terjadinya suatu peristiwa hukum yang
memerlukan pengambilan kebijakan yang tepat dengan mengutamakan
perlindungan kepada masyarakat.
B. Saran.
4. Pemerintah tetap mempertahankan keberadaan Kepolisian Perairan sebagai
bagian dari Kepolisian Republik Indonesia yang menjaga keamanan dan
perlindungan masyarakat.
5. Materi muatan dalam rancangan peraturan yang menghambat dan mengurangi
kewenangan Kepolisian Perairan sebaiknya mempertimbangkan hal-hal yang
sudah dilakukan dan akan dilakukan.
6. Rancangan peraturan yang menyangkut keamanan perairan mendasarkan
pada suatu sistem keamanan nasional yang terintegrasi dan harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Anwar Khairul, ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Di Dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta. 1995
50
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Makalah pada Pidato Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum UI Jakarta, 25 April 1992.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilihan Umum, dalam Bagir Manan (Ed), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996.
Dedi Mulyadi, Kebijakan Legislasi Tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif di Indonesia Dalam Perspektif Demokrasi, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahiyangan Bandung, 2011.
HAW. Widjaya, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoritis & Praktis Disertai Manual; Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010
H.W.R. Wade, Administrative Law, Third Edition (Oxford: Clarendon Press,
1971.
J.J. Oostenbrink, Administratieve Sancties, Vuga Boekerij, s-Gravenhage, tt.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001.
M.B. Miles dan A.M. Huberman, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1992.
Mardianus Aruf, Laksamana I TNI - AL, Penegakan Kedaulatan Dan Hukum Di Laut, Penerbit Dispadaerah-I Belawan.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1978. ----------------------, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Binacipta, Bandung, 1979.
----------------------------, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976.
Nasution, Metode Research, Bumi Aksara, Bandung, 2001.
R. Abdussalam, penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri, Gagas Mitra Catur Gemilang, Jakarta, 1997.
51
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajagrapindo Persada, Jakarta 2009.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Cetakan VI, Raja Gerapindo Persada, Jakarta, 2001.
…………………., Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali, Jakarta, 1986.
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, suatu tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, tanpa tahun.
Victor Situmorang, Sketsa Azas Hukum Laut, Penerbit PT. Bina Aksara, Jakarta, 1978
Wahyono, J, Kusumoprodjo, Beberapa Pikiran Tentang Kekuatan Dan
Dan Pertahanan Di Laut, Jakarta, DEPHANKAM, 1980 W. Koers, Albert, Konvensi Perseritakan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut,
Gajah Mada University, Press, Yogyakarta, 1994 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik;
Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982).
B. Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri;
TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri;
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 (1982
United Nations Convention on the Law of the Sea);
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
52
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
53
54