musik degung
TRANSCRIPT
PENGANTAR
Gamelan Degung
Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di
Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan
salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari,
kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama
dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang
akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh group-group kesenian di
masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan
dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung
dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat.
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas
masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan
pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal
abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam
bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di
Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat),
Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat),
Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1
perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di
hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri
terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak
diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut,
Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda
selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan
degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung
merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan
kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri)
dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang
mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan
(keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga
Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan
gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam
literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam
kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda)
dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang
digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton
Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di
Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan
peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang
(1791—1828).
Dihubungkan dengan kirata basa, kata “degung” berasal dari kata
“ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak;
bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini
dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.
Entis Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung
“Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya
dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya
Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan
Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:
“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di
lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara
yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke
kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati
Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji
sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati
Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni
Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat
menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung
Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)
Namun, untuk saat ini kesenian degung yang dulu dianggap salah
satu jenis kesenian yang bersifat resmi dan hanya di pergelarkan untuk
para bangsawan dan bukan termasuk kesenian rakyat. Tetapi, setelah
mengalami beberapa perubahan atau evolusi kesenian degung menjadi hal
yang lumrah yang biasa di pertunjukan untuk rakyat.
Asal Mula Musik Degung
Jaap Kunst dalam bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934),
mencatat bahwa awal perkembangan Degung adalah sekitar akhir abad ke-
18/awal abad ke-19. Dalam studi literaturnya, disebutkan bahwa kata
“degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J.
Oosting. Kata “de gong” (gamelan: Belanda) dalam kamus ini terkandung
pengertian: penclon-penclon yang digantung. Menurut Entjar Tjarmedi
dalam bukunya Pangajaran Degung, waditra (instrumen: Sunda) ini
berbentuk 6 buah gong kecil yang biasanya digantung pada sebuah
gantungan yang disebut dengan rancak. Menurut beliau istilah “gamelan
Degung” diambil dari nama waditra tersebut, yang kini lebih dikenal
dengan istilah jenglong (Tjarmedi, 1974: 7).
Adapun mengenai waktu kemunculannya belum ada literatur yang
akurat selain kamus H.J. Oosting di atas. Namun sebagaimana Jaap Kunst,
Enip Sukanda pun berpendapat dalam karya penelitiannya tentang
Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran, bahwa ketika kamus itu
dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih dahulu, katakanlah
sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).
Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya
mengenai Perkembangan Seni Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan
Degung adalah istilah lain dari Goong Renteng, mengingat banyak
persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu goong renteng
(Soepandi, 1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng kebanyakan
ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung
ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).
Istilah “Degung”
Istilah “degung” memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama
seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni
gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan
gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik
memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras
(tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori
R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung
terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung
triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti (4)). Karena perbedaan inilah
maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas
masyarakat Sunda.
Dihubungkan dengan kirata basa, kata “degung” berasal dari kata
“ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak;
bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini
dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.
E.Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung
“Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya
dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya
Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan
Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:
“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di
lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara
yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke
kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati
Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji
sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati
Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni
Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat
menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung
Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)
Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya
gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai
etika sosial dan estetika dijunjung tinggi. Pada saat itu musik Degung
merupakan musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-
momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten
Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan
penting yang akan diterangkan pada bagian setelah ini.
Struktur Waditra/Instrumen
Pada awal pemerintahan Dalem Haji sebagai bupati Bandung,
ensambel gamelan Degung hanya terdiri dari alat-alat instrumen: bonang,
cecempres (saron/panerus), jengglong (degung), dan goong. Namun atas
usul Abah Iyam dan putra-putranya, yaitu Abah Idi, Abah Oyo, dan Abah
Atma, para seniman musik Bandung yang sudah membentuk grup
“Pamagersari” (Abah Idi, 1918) dan “Purbasasaka” (Abah Oyo, 1919),
perangkatnya ditambah dengan: peking, kendang, dan suling. Usul ini
disampaikan setelah diadakan Cuultuurcongres Java Instituut pada tanggal
18 Juni 1921 yang di dalamnya menampilkan Goong Renteng dari desa
Lebakwangi, kecamatan Banjaran, kabupaten Bandung.
Pada tahun 1961 oleh R.A. Darya atau R.A. Mandalakusuma (kepala
RRI Bandung), ketika menggunakan musik Degung untuk mendukung
gending karesmen berjudul “Mundinglayadikusumah” garapan Wahyu
Wibisana, waditra Degung ditambah lagi dengan gambang dan rebab. Lalu
pada tahun 1962, ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke
dalam ensambel Degung. Nano S. dalam karya-karya Degung Baru bahkan
memasukkan waditra kacapi. Namun penambahan beberapa waditra ini
tidak bertahan lama, hanya bersifat situasional dan kondisional pada
garapan tertentu, kecuali waditra peking, kendang, dan suling yang masih
bertahan sampai sekarang.
Dilihat dari bentuknya, waditra bonang, jenglong, dan goong
berbentuk penclon, yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi
idiofon (alat pukul) dengan sub klasifikasi gong chime. Sedangkan waditra
cecempres dan peking berbentuk wilahan (bilah), yang secara organologis
termasuk ke dalam klasifikasi idiofon dengan sub klasifikasi metalofon.
Sementara waditra suling termasuk aerofon, dan kendang termasuk
membranofon. Klasifikasi ini berdasarkan terjemahan Rizaldi Siagian dari
teori Sachs/Hornbostel (1914:6).
Banyaknya penclon pada waditra bonang biasanya antara 14 sampai
dengan 16 buah, dimulai dengan nada 1 (da) tertinggi sampai nada 1 (da)
terendah sebanyak 3 gembyang (oktaf). Penclon-penclon ini disusun di atas
rancak (penyangga), dengan menempatkan penclon terkecil (nada tertinggi)
di ujung sebelah kanan pemain, berurutan hingga penclon terbesar (nada
terendah) di ujung sebelah kiri pemain. Hal ini disesuaikan dengan urutan
nada pada laras (tangga nada) Degung. Bonang bertugas sebagai pembawa
melodi pokok yang merupakan induk dari semua waditra lainnya. Pangkat
(intro) lagu Degung dimulai dari waditra ini.
Penclon pada waditra jenglong berjumlah 6 buah yang terdiri dari
nada 5 (la) hingga 5 (la) di bawahnya (1 gembyang), dengan ambitus
(wilayah nada) yang lebih rendah dari bonang. Penclon-penclon ini
digantung dengan tali pada rancak yang berbentuk tiang gantungan (lihat
gambar 4 di belakang-kanan). Jenglong bertugas sebagai balunganing
gending (bass; penyangga lagu) yakni sebagai penegas melodi bonang.
Gong yang terdiri dari 2 buah penclon, yakni kempul (gong kecil) dan
goong (gong besar) digantung dengan tali secara berhadapan pada rancak
(lihat gambar 8 di belakang-kiri). Kempul berada di sebelah kiri pemain,
sementara goong di sebelah kanan pemain. Ambitus nada gong sangat
rendah, bertugas sebagai pengatur wiletan (birama) atau sebagai tanda
akhir periode melodi dan penutup kalimat lagu. Goong disebut juga sebagai
pamuas lagu.
Jumlah wilahan pada cecempres adalah 14 buah, disusun di atas
rancak yang dimulai dari nada 2 (mi) tertinggi di ujung sebelah kanan
pemain hingga nada 5 (la) terendah di ujung sebelah kiri pemain.
Cecempres bertugas sebagai rithm (patokan nada) yang menegaskan
melodi bonang, yang dipukul dengan pola yang konstan.
Adapun jumlah wilahan pada peking adalah sama dengan cecempres,
namun nada-nada peking memiliki ambitus (wilayah nada) yang lebih tinggi
dari cecempres (biasanya antara sakempyung: kira-kira 1 kwint hingga
sagembyang: kira-kira 1 oktav). Tugas peking agak berbeda dari cecempres,
yakni sebagai pengiring melodi. Apabila jenglong dan cecempres dipukul
tandak (konstan menurut ketukan), maka peking terkesan lebih ber-
improvisasi. Peking sering juga disebut sebagai pameulit/pamanis lagu.
Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, peking merupakan waditra
tambahan.
Seperti halnya peking, waditra kendang dan suling juga merupakan
tambahan. Pada awalnya kendang tidak dimainkan seperti pada lagu-lagu
berlaras pelog/salendro, tetapi hanya sebagai penjaga ketukan saja seperti
pada orkestra Barat. Namun, permainan kendang pada lagu-lagu Degung
sekarang lebih variatif, sehingga menurut penulis hal ini menyebabkan
penonjolan melodi bonang jadi ‘tersaingi’. Begitupun dalam permainan
suling. Walaupun dengan timbre (warna suara) yang berbeda, namun
kedudukannya sama seperti vokal sehingga pendengar jadi kurang
menikmati melodi bonang. Namun pada lagu-lagu Degung Baru kehadiran
peking, kendang, dan suling ini menjadi hal biasa, apalagi bagi apresiator
yang belum pernah mendengar lagu-lagu Degung.
Bahan dasar pembuatan bonang, cecempres, peking, jenglong, dan
goong yang paling baik kualitas suaranya adalah dari logam perunggu
(campuran timah dan tembaga dengan perbandingan 1 : 3). Ada yang
menggunakan bahan dasar logam kuningan dan besi. Namun kedua logam
tersebut kualitas suaranya lebih rendah daripada logam perunggu. Kualitas
logam ini pun berpengaruh kepada daya tahan terhadap cuaca.
Laras/Tangga Nada
Laras (berasal dari bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama
dengan tangga nada pada musik Barat, yakni: deretan nada-nada, baik
turun maupun naik, yang disusun dalam satu gembyang (oktav) dengan
swarantara (interval) tertentu. Satu gembyang adalah jarak antara satu
nada ke nada yang sama di atasnya (misalnya dari 1 ke 1’ tinggi). Seperti
kita ketahui bahwa pada teori musik Barat, satu gembyang berjarak 1200
sen.
Sementara swarantara adalah jarak antara nada satu ke nada
berikutnya (misalnya 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya). Perbedaan laras
Sunda dengan tangga nada musik Barat adalah, apabila pada tangga nada
musik Barat penomoran nada diatur naik dari nada rendah ke nada tinggi
(berjumlah 7 nada pokok), maka pada laras Sunda penomoran diatur
menurun dari nada tinggi ke nada rendah (berjumlah 5 nada pokok).
Dalam karawitan Sunda dikenal empat laras pokok, yaitu: laras pelog,
laras salendro (yang keduanya dikenal juga di Jawa dan Bali), laras
madenda/sorog, dan laras Degung (yang kedua terakhir ini hanya dikenal di
daerah Sunda). Keempat laras ini masing-masing memiliki perbedaan pada
swarantaranya. Raden Machjar Angga Koemoemadinata dalam buku Ilmu
Seni Raras (1969) telah membagi perbedaan swarantara pada laras-laras
tersebut, namun uraian mengenai hal itu akan memerlukan pembahasan
yang terlalu panjang. Dalam tulisan ini, yang diperlukan adalah perbedaan
swarantara pada laras Degung.
Pola Tabuhan
Karakteristik yang paling menonjol – dan jarang ditemukan pada
ensambel gamelan lain – dari musik Degung adalah pola tabuhan
bonangnya yang menggunakan teknik gumekan. Pola tabuhan bonang inilah
yang mewakili ekspresi melodi utama musik instrumental Degung seperti
permainan piano pada musik klasik Barat. Ketrampilan kedua tangan
pemain bonang memegang peranan yang penting sebagai ‘komando’ pada
orkestra ini.
Pada gamelan pelog/salendro pola tabuhan bonang dan rincik
menggunakan teknik dikemprang atau dicaruk. Namun teknik dicaruk lebih
sering digunakan pada pola tabuhan saron I dan saron II. Jadi, perlu
digarisbawahi bahwa apabila kita menemukan pola tabuhan bonang yang
dikemprang ataupun peking dan saron yang dicaruk pada lagu Degung,
sesungguhnya hal itu adalah pengaruh dari jenis kesenian lain yang
menggunakan gamelan pelog/salendro, seperti: kiliningan, ketuk tiluan, dan
jaipongan.
Teknik gumekan bonang inilah yang menjadi ciri khas lagu-lagu Degung
sekaligus yang membedakannya dengan teknik kemprangan atau carukan
pada lagu-lagu kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan. Degung adalah
orkestra yang berbentuk instrumental dengan bonang sebagai ‘induk’nya,
sementara kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan musik pengiring untuk
sekar atau tarian.
Repertoar Degung
Repertoar gamelan Degung dibagi menjadi dua jenis: pertama,
repertoar Degung klasik yang masih mempertahankan teknik gumekan
bonang sebagai ekspresi melodi; kedua, repertoar Degung non klasik – oleh
Soepandi disebut dengan Degung Baru – yang sudah dipengaruhi oleh pola
tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau dicaruk).
Kalimat lagu pada Degung klasik (intrumentalia) umumnya panjang-
panjang, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu ageung’. Sementara
pola lagu-lagu Degung Baru merupakan pirigan untuk mengiringi sekar,
karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu alit’. Namun dalam
perkembangannya, beberapa lagu ageung pun sekarang sudah ada yang
diisi rampak sekar (vokal grup).
Struktur garapan pada repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi,
dan madakeun. Struktur ini sama dengan istilah overture, interlude, dan
coda pada musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang
dimainkan oleh waditra bonang. Eusi adalah melodi pokok yang merupakan
isi lagu itu sendiri. Madakeun adalah kalimat penutup lagu. Kalimat
pangkat dan madakeun lebih pendek daripada eusi.
Melodi pangkat dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la)
dengan pukulan goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la)
rendah. Di dalam eusi lagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la)
sebagai akhir kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya dijadikan
akhir melodi pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2
(mi) dan nada 5 (la) merupakan nada yang penting dan menjadi ciri khas
lain pada repertoar Degung.
Perkembangan
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan
(instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912—1920)
melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana
kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati
Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut
dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung
yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-
lagunya.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas
koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung
(jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-
penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan
musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan
degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai
musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng
tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut.
Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending
karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926
degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul
Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film
Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai
musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris
Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat
perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan
penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun
1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan
lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan
nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan
secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari
masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih
dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung
lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita
bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda
dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup
Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E.
Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung
dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog.
Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori
degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch
Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya
Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata
(menantu Oyo).
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke
dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya
Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung
dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk
mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu
Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga
digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi
Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan
E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra
tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari
gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb.
Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang
nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak
bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu,
surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R.
Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi
gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan
Wahyu Wibisana.
Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung,
misalnya Nano S. dengan group Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi
Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan
degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer
sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah
penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan
unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung
dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu
degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di
antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980),
Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang
dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu
Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda
oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi
degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden;
ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan
berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria
maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan
mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah
Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh
dan sebagainya.
Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos
(Sancang), Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang
Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut,
Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu
degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu
rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat
Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang
Kuring, dsb.
kajian permasalahan
Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya
gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai
etika sosial dan estetika dijunjung tinggi. Pada saat itu musik Degung
merupakan musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-
momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten
Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan
penting.
Setelah dilakukannya pengamatan pada permasalahan degung ini
saya dapat menyimpulkan bahwa ternyata kesenian degung itu berasal dari
kalangan menak atau para bangsawan yang memang bukan untuk rakyat
melainkan untuk penyatuan kekutan di pendopo. Namun, seiring dengan
perkembangan jaman dan dengan adanya perubahan pada fungsi degung.
Maka degung sampai saat ini masih tetap ada (bertahan). Sekalipun perlu
disadari bahwa saat ini anak muda atau regenerasi tidak terlalu menyukai
degung, namun kita perlu menjaga dan melestarikannya.
Tanggapan terhadap kesenian degung
Didalam hal ini memang kita perlu menegaskan bahwa kesenian
degung sampai saat ini berubah fugsi yang tadinya hanya untuk kalangan
bangsawan dan di pergelarkan di pendopo saja, sekarang sudah bisa di
pergelarkan dikalangan masyarakat. Dan fungsi yang lainnya sebagai
sarana hiburan yang tergolong pada degung kreasi. Tetapi, ada juga yang
merubah fungsi degung menjadi kesenian atau suatu jenis atau gendre
music yang bisa dipakai untuk upacara adat, kolaborasi dll yang di
pergelarkan di acara syukuran.
Maka dari itu fungsi degung pada jaman dulu dan jaman sekarang
sangat jauh berbeda dan tidak bisa di cekal atau tidak diperbolehkan.
Karena dengan cara seperti, ini kesenian degung masih bertahan dan lebih
dikenal di kalangan masyarakat. Sehingga, masyarakat dapat menikmati
kesenian yang pada awalnya tidak bisa di nikmati oleh mereka dan tidak
bisa di pakai untuk kebutuhan yang bersifat luar, yang tidak ad kaitannya
dengan silsilah degung itu sendiri. Contoh: adanya group degung yang
berfungsi untuk hiburan dengan menggunakan gamelan degung seperti
group “Sambasunda” yang beralamat di jl. Pangampaan Ciateul Bandung.
Yang dipimpin oleh bapak Ismet Ruchimat. Bahkan group ini bisa
melanglang buana samapai kemanca negara dengan karya music yang
menggunakan gamelan degung.
Maka, jelas sekali bahwa perubahan fungsi degung disini memang
sangat jauh dengan fungsi degung pada zaman dulu. Degung yang digarap
oleh bapak ismet ruchimat adalah salah satu degung kreasi yang di inovasi
agar degung bisa lebih menarik dan disukai oleh semua kalangan
masyarakat. Seperti dalam album sambasunda “rahwana cry’s”.
Kritik dan saran
Kritik dan saran untuk masalah ini yakni setiap kesenian pasti ada
perubahan sekalipun tidak secara utuh. Namun, sebagai pemerhati juga
pelaku seni saya berharap karya-karya baru yang ada dari perkembangan
atau inovasi degung dapat dipertahankan. Karena, peminat makin kesini
makin menurun maka dengan adaya sesuatu yang berbeda mudah-mudahan
peminatpun makin bertambah,dan kesenian degung tidak terbilang musnah.
Kesimpulan
Memang benar bahwa suatu kesenian atau budaya akan berubah
ketika orang atau masyarakat itu sendiri yang merubahnya. Karena sangat
jelas sekali dilihat dari permasalahan yang ada dalam kajian degung ini
sangat cenderung pada perubahan yang terjadi dari kebiasaan pada jaman
dulu pada kebiasaan sekarang. Jadi, pada intinya suatu kesenian atau
kebudayaan akan tetap bertahan ketika masyarakat itu sendiri
mempertahankan dan menjaga kesenian tersebut, agar tidak terjadi
perubahan baik dari segi fungsi, struktur dan lain-lain.
Maka jelas sekali sekalipun degung sekarang sudah berubah fungsi
tetapi degung sampai saat ini masih bertahan dan dapat di lestarikan oleh
masyarakat khususnya jawabarat. Secara keseluruhan dilihat dari semua
segi ternyata degung tergolong pada fungsionalisme. Kerena, sekalipun
degung sudah berubah fungsi dan bentuk sajian nya, tetapi degung masih
memiliki nilai yang sama dimata masyarakat.
Daftar pustaka
Wikipedia.Com, Sejarah Kesenian Degung.
Sundanet.Com, Pengertian Degung.
Soepandi, Atik
1970 Teori Dasar Karawitan. PT. Pelita Massa, Bandung.
Resensi Karya Musik Etnik(Degung)
Diajukan untuk memenuhi syarat UTS mata kuliah Kreativitas Karawitan ISemester V
Disusun Oleh :Desta Mulyanti
08 222 78
SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA ( STSI )BANDUNG
2010