morbus hansen lp (autosaved).docx
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN MORBUS HANSEN
OLEH :
I GUSTI AYU RAI INTARI,S.Kep
13.901.0442
PROGRAM STUDI PROFESI (NERS) SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
(STIKes) WIRA MEDIKA PPNI BALI
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300SM dan telah dikenaloleh peradaban
Tiongkok kuno,Mesir kuno,dan Indiapada 1995 organisasi kesehatandunia (WHO)
memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanenkarena kusta.Walaupun
pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakankurang perlu dan tidak etis
beberapa kelopok penderita masih dapatditemukan dibelahan dunia,seperti India,dan
Vietnam.Pengonbatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940_an
dengandiperkenalkanya dapson dan derivatnya.Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra
bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar,hal ini terjadihingga
ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980_an dan penyakit inipunmampu ditangani
kembali.
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
MORBUS HANSEN
1. Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebutMorbus Hansen (Kosasih, 2003). Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular,
penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang pertama-tama menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Tidak ada
penyakit infeksi lain selain penyakit kusta yang dapat menandingi keanekaragaman gambaran
klinik baik dari lesi kulit maupun lesi saraf sehingga penyakit kusta disebut “The Greatest
Imitator”(Halim, 2000).
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium
leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.(Depkes RI, 1998)
2. Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan tempat lain sampai tersebar ke seluruh
dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang telah terkena penyakit tersebut.
Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-
orang Cina (Kosasih,2003). Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan kemungkinan
kemungkinan adanya Reservoir diluar manusia(Linuwih, 2003). Menurut WHO Weekly
Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010, prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat
di India, dengan jumlah penderita sebanyak 87.190 jiwa pada tahun 2009. Perngkat kedua
terdapat di Brazil, dengan jumlah penderita 38.179 jiwa pada tahun 2009. Indonesia sendiri
berada di peringkat ketiga, dengan jumlah penderita sebanyak 21.026 jiwa pada tahun 2009
(WHO, 2010). Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2009 terdapat 17.260 kasus baru di
Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang
merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus
diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak
(WHO, 2010). Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal bersama
penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama besarnya,
namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta. Kebersihan yang kurang akan
memperbesar resiko transmisi dari Mycobacterium leprae. Kusta hanya dapat ditularkan oleh
penderita yang fase lepromatus leprosi.
Penularan kusta saat ini masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan
klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah
secara inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup didalam droplet beberapa hari. Masa tunas
kusta sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya 3-5 tahun. Sampai saat ini
kusta hanya pernah ditemukan menginfeksi manusia, dan pernah dilaporkan ditemukan pada
armadilo liar. Hal ini juga menjadi pemersulit pembiakkan M leprae. M leprae belum dapat
dibiakkan dengan medium buatan maupun biakan sel, hanya dapat tumbuh pada mouse footpad
dan armadilo.
Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu
menjadi tempat lesi pertama. Seperti yang dikatakan di atas penyakit kusta dapat menyerang
semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur
14 tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha
pencatatan penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada
tidaknya kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35
tahun.
Kusta juga sering mengenai masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah, dari data
penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya, sebaliknya
semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat makan akan semakin membantu
penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae yang
mengakibatkan gambaran klinis di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor
genetik yang berbeda.1
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi,
mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga
karena dikucilkan dari masyarakat disekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang
ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya anestetik disertai
paralisis dan atrofi otot.
Menurut Ress (1975) dalam Zulkifli (2002), dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan
Mycobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang
berperan dalam penularan ini adalah :1.Usia, anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.
2.Jenis kelamin, laki-laki lebih banyak dijangkiti. 3.Ras, bangsa Asia dan Afrika lebih banyak
dijangkiti. 4. Kesadaran sosial, umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan
tingkat sosial ekonomi rendah. 5. Lingkungan, fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.
3. Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligatintraseluler,
menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafasbagian atas, hati,
sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah dirimikobakterium leprae 12-21
hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kumankusta berbentuk batang dengan ukuran
panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 microbiasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu,
hidup dalam sel dan BTA.
4. Patogenesis
M. leprae sebagai mikroorganisme penyebab lepra masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang
lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan mukosa hidung. Pengaruh dari infeksi M.
Leprae bergantung pada imunitas seseorang, pengaruh kemampuan hidup M. Leprae pada suhu
tubuh yang rendah. Mikroorganisme ini bersifat obligat intraselular yang terutama pada sel
makrofag di seluruh pembuluh darah pada dermis dan sel schwann di jaringan saraf. Bila M.
Leprae masuk ke tubuh maka tubuh akan mengeluarkan makrofag untuk melakukan fagositosis
Pada tipe LL yang mengakibatkan kelumpuhan sistem imunitas selular, makrofag tidak mampu
menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi dengan bebas sehingga dapat merusak
jaringan. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, makrofag dapat
menghancurkan basil, sayangnya setelah semua basil difagositosis, makrofag akan berubah
menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel Datia
Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel schwann merupakan sel target
untuk pertumbuhan M. Leprae, disamping itu sel schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan
hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
schwann, basil dapat bermigrasi dan beraktifasi. Akibatnya aktifasi regenerasi saraf berkurang
dan terjadikerusakan saraf yang progresif(Amirudin et al, 1997).
5. Klasifikasi
Ridley dan Jopling (1962) memperkenalkan istilah spektrum Determinate pada penyakit
kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
1) TT (Tuberkuloid Type)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa
makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi
atau Central Healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahka dapat
menyeruai gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba dan
kelemahan otot (Halimet al, 2000).
2) BT (Borderlines Tuberculoid)
Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama yang tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak sebrat
tipe tuberkuloid, biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal (Halimet al, 2000).
3) BB (Mid Borderline)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit kusta, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya dapat berkilat, batas lesi kurang jelas dan
cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa
ditemukan lesi Punched Out, yaitu hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah dengan
batas jelas(Halimet al, 2000).
4) BL (Borderline Lepramatous)
Lesi dmulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih kecil
dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya
hampir simetris. Tanpa kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL dengan penebalan saraf
yang dapat teraba di tempat predileksi(Halimet al, 2000).
5) LL (Lepramatosa type)
Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilat,
berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga,
sedangkan pada bagian badan pada bagian belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan
ekstensor tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang disebut Glove
and Socking Anesthesi.Bila penyakit ini berlanjut, maka makula dan papul baru muncul,
sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan atrofi otot
tangan dan kaki(Halimet al, 2000).
6) LI (Lepromatosa Indefinite)
Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun diterima secara luas oleh para ahli
kusta. Lesi kulit biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di
sekitarnya normal. Lokasi berada di bagian ekstensor ekstremitas, bokong, atau muka. Kadang
dapat ditemukan makula hipoestesi atau sedikit penebalan saraf. Tipe ini merupakan tanda
pertama pada 20-80% kasus penderita kusta. Pada sebagian besar, tipe ini akan sembuh spontan
(Halimet al, 2000).
Menurut WHO, klasifikasi kusta dibagi menjadi
1.Pausibasilar (PB)
Termasuk kusta tipe TT dan BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut
klasifikasi Madrid dengan BTA negatif (Amirudin et al,1997).
2.Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe BB, BL, dan LL menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut
Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif(Amirudin et al, 1997)
6. Gejala Klinis
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit
tersebut.
1) Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
2) .Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan
banyak
3) Adanya pelebaran saraf terutama pada saraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta
peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat
4) Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
5) Alis rambut rontok
6) Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina(muka singa)
7) Gejala-gejala umum pada kusta, reaksi :1.Panas dari derajat yang rendah sampai dengan
menggigil.2.Anoreksia.3.Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.4.Cephalgia.5.Kadang-
kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.6.Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia,
Nepritis dan hepatospleenomegali.7.Neuritis
7. Pemeriksaan Fisik
1. Anamnesis
Anamnase pada pasien kusta sering menjadi tidak informatif, namun hal ini tetap kita
lakukan. Tanyakan pada pasien mengenai adanya kebas, rasa seperti tersayat atau
terbakar, perubahan lesi pada kulit, kesulitan untuk menggenggam atau berjalan, masalah
pada mata, kontak keluarga dengan kusta, riwayat pengobatan dengan dapson (Bryceson
et al, 1990).
2. Inspeksi
Jika diperlukan, minta pasien untuk berdiri dan membuka pakaiannya. Perhatikan lesi
kulit yang ada pada tubuh pasien di bawah cahaya yang cukup (Bryceson et al 1990).
3. Tes fungsi saraf
a. Rasa raba : Dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk
memeriksa perasaan dengan menynggung kulit.
b. Rasa nyeri: Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung
jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan penderita harus
mengakatan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
c. Rasa suhu: Dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air
panas (40C) yang lainnya air dingin (20 C) ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai
dengan sebelumnya melakukan kontrol pada kulit yang sehat. Jika pada daerah kulit yang
dicurigai penderita salah menyebutkan suhu pada tabung yang ditempelkan, maka dapat
disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.
d. Tes motoris: Voluntary Muscle Test(Amirudin et al, 1997).
4. Pemeriksaan Bakteriologis
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh lewat irisan dan
kerokan kecil pada kulit yang kemudiaan diberi pewarnaan Ziehl Nielsen untuk melihat M.
Leprae.Pemeriksaan ini beberapa tahun terakhir ini tidak diwajibkan dalam program Nasional.
Namun demikian menurut penelitian, pemeriksaan skin smear banyak berguna untuk
mempercepat penegakan diagnosis, karena sekitar &-10% penderita yang datang dengan lesi
Pba, merupakan kasus MB yang dini.Pada kasus yang meragukan harus dilakukan pemeriksaan
apusan kulit (skin smear). Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas terlatih. Karena cara
pewarnaan yang sama dengan pemeriksaan TBC maka pemeriksaan dapat dilakukan di
puskesmas(PRM) yang memiliki tenaga serta fasilitas untuk pemeriksaan BTA (Amirudin et
al,997).
5. Pemeriksaan Histopatologik
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinik, secara teliti
dan pemeriksaan bakterioskopik. Pada sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis masih
meragukan, pemeriksaan histopatologik dapat dilakukan. Pemeriksaan ini digunakan untuk
menegakkan diagnosa penyakit kusta, Khususnya pada anak-anak, bilaman pemeriksaan saraf
sensoris tidak mudah dilakukan pada lesi dini, contohnya pada tipe indeterminate, juga untuk
menentukan klasifikasi yang tepat (Amirudin et al, 1997)
.
8. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukanlesi ditempat
lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perluditambah dengan lesi
kulit yang baru timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan.
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien.
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidungapabila sedian apus
kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebihdulu negatif dari
pada sediaan kulit ditempat lain.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta.
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangkakuman resisten terhadap
obat.
d) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehlneelsen atau
kinyoun gabett.
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zigzag, huruf z,
dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yangmungkin ditemukan adalah bentuk
utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),granula (granulates), globus dan clumps.
9. Konsep Terapi
Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kustadan mencegah
timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasienkusta terutama tipe yang
menular kepada orang lain untuk menurunkan insidenpenyakit.Program Multi Drug Therapy
(MDT) dengan kombinasi rifampisin,klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini
bertujuan untuk mengatasiresistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan
pasien,menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995sebagai
berikut:
1. Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugasDDS tablet
100 mg/hari diminumdi rumah.Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah
selesaiminum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.Menurut
WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilahCompletion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2. Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:Rifampisin 600mg/bln diminum didepan
petugas.Klofazimin 300mg/bln diminumdidepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50
mg /hari diminum dirumah.DDS 100 mg/hari diminum dirumah,Pengobatan 24 dosis
diselesaikandalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan
RFTmeskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.Menurut WHO
(1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikandalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
3. Dosis untuk anak
Klofazimin:Umur,dibawah10tahun:Bulanan100mg/blnHarian 50mg/2kali/minggu,Umur 11-
14 tahun, Bulanan 100mg/bln,Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-
15mg/Kg BB.
4. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kustatipe PB
dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,ofloksasim 400mg dan
minosiklin 100mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan
digunakan sebanyak 24dosis dalam 24 jam.
5. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yangseharusnya maka
dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DObila tidak minum obat 12 dosis
dari yang seharusnya.
10. Komplikasi.
Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah kerusakan uratsaraf
tepi,kecacatan,terjadinya kerontokan alis mata,menebalnya cupingtelinga,kadang-kadang terjadi
hidung pelanaakibat dari kerusakan tulang rawanhidung,pada bentuk yang parah bisa terjadi
wajah singa(faces leonina).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa
pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan
tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta
adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal
atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum
penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan,
malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta
( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota
keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu
karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
f. Pola Aktivitas Sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun
kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi
motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus
hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
2) Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
2) Sistem persarafan:
a) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat
kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada
kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
b) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya
mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi
pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c) Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-
pecah.
4) Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi
otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika
terdapat bercak.
2. Diagnosa
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh
3. Intervensi
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur
sembuh. Kriteria :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1) Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
R/ Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi
daerah yang terdapat lesi.
2) Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.
R/ Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3) Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada
jaringan sekitar.
R/ Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4) Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.
R/ Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi.
5) Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.
R/ Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan.
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur
hilang. Kriteria : Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan
nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang.
Intervensi :
1) Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri.
R/ Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2) Observasi tanda-tanda vital.
R/ Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien.
3) Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi.
R/ Dapat mengurangi rasa nyeri.
4) Atur posisi senyaman mungkin.
R/ Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri.
5) Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.
R/ Menghilangkan rasa nyeri.
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas
dapat dilakukan. Kriteria :
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi :
1) Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.
R/ Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas.
2) Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit.
R/ Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas.
3) Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif
R/ Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi
otot/sendi.
4) Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat.
R/ Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas.
5) Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/orang yang terdekat pada latihan.
R/ Menampilkan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan
terapi lebih konstan.
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri
meningkat.
Kriteria :
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi :
1) Kaji makna perubahan pada pasien.
R/ Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam
perbaikan optimal.
2) Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku
menarik diri.
R/ Penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan.
3) Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang
salah.
R/ Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan
rencana untuk masa depan berdasarkan realitas.
4) Berikan penguatan positif.
R/ Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif.
5) Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.
R/ Meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien.
.
B. Derajat cacat kusta
WHO ( 19995 ) dalam djuanda, A, 1997 membagi cacat kusta menjadi 3 tingkat ke cacatan,
yaitu:
1. Cacat pada tangan dan kaki
• tingkat 0 : tidak ada anestesi, dan kelainan anatomis
• tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
• tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
2. Cacat pada mata
• tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata ( termasuk visus )
• tingkat 1 : ada kelianan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang
• tingkat 2 : ada lagoptalmus dan visus sangat terganggu ( visus 6/60, dapat menghitung jari pada
jarak 6m )