monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait
TRANSCRIPT
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang
dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
2017
COREMAP-CTI
Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI
FFPIK - Universitas Diponegoro
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang
dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
2017
Penyusun:
Giyanto, Frensly Demianus Hukom, Ni Wayan
Purnama Sari, Agus Budiyanto, Agus Dendy
Rochendy, Johan Picasouw, Abdullah Salatalohy,
Abdullah Salatalohy, Andy Achmad Romadhoni,
Muhammad Abdul Hakim, Nandya Egi Jannati, Nenik
Kholilah, Aditya Sukma Bahari, Abdul Majid Al Hanif,
Julian Aditya Ghaffar, Dwi Indra Bagus Nugroho
COREMAP-CTI
Pusat Penelitian Oseanografi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
dan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro
2017
ii Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah
Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan hidayah-Nya maka
buku hasil kegiatan penelitian ”Monitoring Kesehatan
Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan
Bakauheni dan Sekitarnya” dapat diselesaikan. Kegiatan
yang dilaksanakan pada bulan Desember 2017 ini
merupakan lanjutan dari program kegiatan COREMAP-CTI
yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
dibantu oleh para peneliti dari Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro.
Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah untuk
memberikan gambaran mengenai kondisi terkini terumbu
karang dan ekosistem terkait di perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan, serta melihat perubahan
yang mungkin terjadi selama kurun waktu 2015 - 2017.
Sebagai informasi, kegiatan monitoring ini merupakan
kegiatan rutin tahunan COREMAP-CTI, dan kegiatan
serupa juga pernah dilakukan di stasiun-stasiun
pengamatan yang sama di perairan Bakauheni pada
tahun 2015 dan 2016.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dan
membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini, baik
iv Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
selama penelitian di lapangan, analisis data hingga
tersusunnya buku ini. Selain itu, kami juga mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi bahan evaluasi
dan bermanfaat untuk kelestarian lingkungan serta dapat
menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dan
semua pihak yang membutuhkan.
Jakarta, Desember 2017
Tim Penyusun
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
v
RINGKASAN EKSEKUTIF
Terumbu karang di perairan Bakauheni Kabupaten
Lampung Selatan umumnya ditemukan bersama lamun
dan mangrove pada pesisir dan gugusan pulau-pulau
kecil. Sebagai pintu gerbang utama Pulau Sumatra,
perairan Kabupaten Lampung Selatan telah
dimanfaatkan sebagai pelabuhan utama
penyeberangan yang menghubungkan Pulau Jawa dan
Pulau Sumatra. Lalu lintas penyeberangan di kawasan ini
merupakan salah satu penyeberangan yang paling sibuk
di Indonesia sehingga menjadikan kawasan ini mengalami
peningkatan pembangunan yang sangat pesat. Adanya
pemanfaatan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil
berpotensi mempengaruhi keberlanjutan ekosistem
terumbu karang dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Hal inilah yang mendorong untuk menjadikan lokasi ini
sebagai salah satu lokasi pemantauan kondisi ekosistem
terumbu karang dan ekosistem terkait di wilayah barat
Indonesia.
Lokasi penelitian berada di perairan Bakauheni
Kabupaten Lampung Selatan. Karena kegiatan ini
merupakan kegiatan monitoring, maka jumlah stasiun
pengamatan pada tahun ini sama dengan jumlah stasiun
vi Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
pada pengamatan tahun sebelumnya, dan berada pada
titik koordinat yang sama. Jumlah stasiun pengamatan
untuk terumbu karang, ikan karang dan mega bentos
sebanyak 10 stasiun, lamun sebanyak 8 stasiun, dan
mangrove sebanyak 12 stasiun.
Kegiatan monitoring terumbu karang dan ekosistem
terkait di perairan Bakauheni, Kabupaten lampung
Selatan dilaksanakan pada tanggal 1-12 Desember 2017.
Personil yang terlibat dalam pelaksana kegiatan
penelitian ini berasal dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
Jakarta, dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro, serta dibantu oleh tenaga lokal
lapangan.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini cukup
beragam tergantung dari bidang yang dikaji. Untuk
bidang terumbu karang dilakukan dengan metode
Underwater Photo Transcect (UPT), sedangkan pada ikan
karang menggunakan metode Underwater Visual Cencus
(UVC) dan untuk mega bentos memakai metode Belt
Transect. Penelitian lamun memakai metode transek
kuadrat dan untuk mangrove memakai transek kuadrat
dan hemispherical photography.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
vii
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum kondisi terumbu karang di perairan
Bakauheni, Kabupaten lampung Selatan dan
sekitarnya berada dalam kondisi “sedang”, dengan
rerata tutupan karang hidup sebesar 30,07% dengan
kesalahan baku (SE) 7,50%. Hasil analisis statistik
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tutupan
karang antara tahun 2015, 2016 dan 2017.
2. Hasil sensus visual pada 10 stasiun penelitian
menemukan 36 jenis ikan karang dengan total ikan
karang sebanyak 367 individu yang terdiri dari ikan
indikator (koralivora) sebanyak 9 jenis dengan total
146 individu, ikan target kelompok herbivora sebanyak
15 jenis dengan total 169 individu, dan ikan target
kelompok karnivora sebanyak 12 jenis dengan total 52
individu. Nilai kelimpahan yang diperoleh pada tahun
2017 relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang
diperoleh tahun 2016. Meskipun demikian, pada nilai
rerata biomassa ikan target per stasiun pada tahun
2017 lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2015
maupun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa rerata ikan
yang disensus pada tahun 2017 berukuran relatif lebih
besar.
viii Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
3. Berdasarkan pengamatan terhadap delapan
megabentos yang berasosiasi dengan ekosistem
terumbu karang di 10 stasiun, Siput Drupella
mendominasi megabentos lainnya yaitu 46% (5
individu), sedangkan teripang ditemukan 9% (1
individu), kerang kima 18% (2 individu), Acanthaster
planci 18% (2 individu), dan bulu babi 9% (1 individu).
4. Tutupan lamun di pesisir Bakauheni berkisar antara
5,556-41,667% dengan tutupan rata-rata 21,836%. Nilai
tutupan ini menurun dibanding hasil pengamatan
tahun sebelumnya (2016) yaitu 32%. Jenis lamun yang
mendominasi di seluruh lokasi pengamatan adalah
jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides.
Lamun jenis tersebut ditemukan merata hampir di
seluruh lokasi pengamatan, kecuali jenis Enhalus
acoroides yang tidak ditemukan di lokasi Pulau
Kandang Balak (LMPS04).
5. Hampir seluruh stasiun ditemukan spesies mangrove
dari genus Rhizophoraceae. Nilai kerapatan
mangrove menunjukan peningkatan dari tahun 2015
hingga 2017. Dari 12 stasiun pengamatan terdapat 2
stasiun yang mengalami sedikit penurunan yaitu LPGM
07 (Desa Keramat). Hal ini disebabkan masih terdapat
penebangan mangrove oleh masyarakat dan stasiun
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
ix
ini pula yang merupakan stasiun terdekat dengan
pemukiman.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
xi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................... iii
RINGKASAN EKSEKUTIF ...............................................................v
DAFTAR ISI .................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................... xix
PENDAHULUAN ...........................................................................1
A. Latar Belakang .................................................................1
B. Tujuan dan Sasaran Penelitian .......................................3
C. Tahapan Penelitian ..........................................................3
METODOLOGI.............................................................................5
A. Lokasi Penelitian ...............................................................5
B. Waktu Penelitian ..............................................................9
C. Pelaksana Penelitian .......................................................9
D. Pengumpulan dan Analisis Data ................................ 10
1. Terumbu Karang ....................................................... 10
2. Ikan Karang ............................................................... 14
3. Mega bentos ............................................................ 16
4. Lamun ........................................................................ 18
5. Mangrove .................................................................. 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 25
A. Terumbu Karang............................................................ 25
1. Kondisi Terumbu Karang di Masing-masing
Stasiun ........................................................................ 25
2. Kondisi Terumbu Karang .......................................... 41
3. Perubahan Tutupan Karang Hidup ....................... 43
B. Ikan karang .................................................................... 45
1. Ikan koralivora atau ikan indikator ........................ 47
xii Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
2. Ikan Target ................................................................. 49
C. Mega bentos .................................................................. 56
D. Lamun .............................................................................. 64
1. Pengamatan Lamun di Masing-masing Stasiun ... 66
2. Tutupan Lamun ......................................................... 74
E. Mangrove ....................................................................... 77
1. LPGM01....................................................................... 77
2. LPGM02....................................................................... 79
3. LPGM03....................................................................... 81
4. LPGM04....................................................................... 83
5. LPGM05....................................................................... 85
6. LPGM06....................................................................... 87
7. LPGM07....................................................................... 89
8. LPGM08....................................................................... 91
9. LPGM09....................................................................... 93
10.LPGM10 ...................................................................... 95
11.LPGM11 ...................................................................... 96
12.LPGM12 ...................................................................... 98
KESIMPULAN ........................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 117
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta habitat perairan dangkal di lokasi
penelitian yang berada di perairan
Bakauheni. ..........................................................6
Gambar 2. Stasiun pengamatan untuk terumbu
karang, ikan karang dan mega bentos di
perairan Bakauheni. ..........................................7
Gambar 3. Lokasi penelitian lamun di perairan
Bakauheni. ..........................................................8
Gambar 4. Lokasi penelitian mangrove di perairan
Bakauheni ...........................................................9
Gambar 5. Ilustrasi pengambilan foto dengan
metode UPT. .................................................... 12
Gambar 6. Skema transek mega bentos dengan
metode Benthos Belt Transect yang
dimodifikasikan dari metode Belt
Transect. ........................................................... 17
Gambar 7. Skema transek kuadrat lamun. ..................... 19
Gambar 8. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC01 (Foto Andy Achmad R.).................. 26
Gambar 9. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC02 ............................................................. 28
Gambar 10. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC03 ............................................................. 30
Gambar 11. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC04 ............................................................. 31
Gambar 12. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC05 ............................................................. 33
xiv Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 13. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC06 ............................................................. 35
Gambar 14. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC07 ............................................................. 37
Gambar 15. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC08 ............................................................. 38
Gambar 16. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC09 ............................................................. 39
Gambar 17. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC10 ............................................................. 41
Gambar 18. Persentase tutupan biota dan substrat di
masing-masing stasiun pengamatan. .......... 42
Gambar 19. Persentase tutupan karang hidup di
masing-masing stasiun pengamatan ........... 43
Gambar 20. Tutupan karang hidup di masing-masing
stasiun pengamatan tahun 2015, 2016
dan 2017. .......................................................... 44
Gambar 21. Rerata tutupan karang hidup beserta
kesalahan bakunya di perairan
Bakauheni, Lampung Selatan pada
tahun 2015, 2016 dan 2017. ........................... 45
Gambar 22. Jumlah jenis dan kelimpahan ikan yang
dijumpai di perairan Bakauheni,
Lampung Selatan pada tahun 2017. ........... 47
Gambar 23. Jumlah jenis dan kelimpahan ikan
kelompok koralivora yang dijumpai di
perairan Bakauheni, Lampung Selatan
tahun 2017. ....................................................... 49
Gambar 24. Rerata kelimpahan ikan terumbu karang
yang dijumpai di perairan Bakauheni,
Lampung Selatan tahun 2015, 2016 dan
2017. .................................................................. 54
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
xv
Gambar 25. Rerata biomassa ikan terumbu karang
yang dijumpai di perairan Bakauheni,
Lampung Selatan tahun 2015, 2016 dan
2017. .................................................................. 54
Gambar 26. Biomassa ikan terumbu karang di
masing-masing stasiun pengamatan
yang dijumpai di perairan Bakauheni,
Lampung Selatan tahun 2017. ...................... 55
Gambar 27. Diagram perbandingan jumlah individu
dari masing-masing kelompok
megabentos target di perairan
Bakauheni, Lampung Selatan tahun
2017. .................................................................. 59
Gambar 28. Lokasi pengamatan di Pulau Tumpul
Lunik (LMPS01) (kiri) yang didominasi oleh
lamun jenis Enhalus acoroides (kanan). ...... 66
Gambar 29. Lokasi pengamatan Pulau Keramat
(LMPS02) (kiri) yang didominasi oleh
lamun jenis Enhalus acoroides dan
Syringodium isoetifolium (kanan).................. 67
Gambar 30. Lokasi pengamatan Pulau Rimau Balak
(LMPS03) (kiri) yang didominasi oleh
lamun jenis Enhalus acoroides (kanan). ...... 68
Gambar 31. Lokasi pengamatan Pulau Kandang
Balak sebelah utara (LMPS04) (kiri)
dengan sebaran lamun jenis tunggal
Thalassia hemprichii (kanan). ........................ 69
Gambar 32. Lokasi pengamatan Pulau Kandang
Balak sebelah selatan(LMPS05) (kiri) yang
didominasi oleh lamun jenis Enhalus
acoroides (kanan). ......................................... 70
Gambar 33. Lokasi pengamatan Pulau Sindu
(LMPS06) (kiri) yang didominasi oleh
lamun jenis Enhalus acoroides (kanan). ...... 71
xvi Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 34. Lokasi pengamatan Pesisir Pulau
Sumatera 1 (LMPS07) (kiri) dengan
didominasi oleh lamun jenis Enhalus
acoroides (kanan). .......................................... 72
Gambar 35. Lokasi pengamatan Pesisir Pulau
Sumatera 2 (LMPS08) (kiri) dengan
didominasi oleh lamun jenis Enhalus
acoroides (kanan). .......................................... 73
Gambar 36. Tutupan lamun di perairan Bakauheni,
Lampung Selatan pada tahun 2015,
2016 dan tahun 2017 ....................................... 75
Gambar 37. Ilustrasi posisi stasiun LPGM01 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 78
Gambar 38. Mangrove di Stasiun LPGM01.......................... 79
Gambar 39. Ilustrasi posisi stasiun LPGM02 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 80
Gambar 40. Mangrove di Stasiun LPGM02 ........................ 81
Gambar 41. Ilustrasi posisi stasiun LPGM03 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 82
Gambar 42. Mangrove di Stasiun LPGM03 yang
didominasi oleh mangrove anakan ............. 82
Gambar 43. Ilustrasi posisi stasiun LPGM04 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 84
Gambar 44. Mangrove di Stasiun LPGM04 yang
berdekatan dengan perkebunan sawit
(kiri). Mangrove jenis Rhizophora
mucronata mendominasi stasiun ini
(kanan) .............................................................. 84
Gambar 45. Ilustrasi posisi stasiun LPGM05 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 86
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
xvii
Gambar 46. Mangrove di Stasiun LPGM05 yang
didominasi oleh jenis Ceriops tagal (kiri),
dan tanda plat yang hampir terlepas
karena karena pertumbuhan batang
(kanan) ............................................................. 86
Gambar 47. Ilustrasi posisi stasiun LPGM06 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 88
Gambar 48. Mangrove di Stasiun LPGM06 (kiri), dan
kawasan industri yang berdekatan
dengan stasiun LPGM06 (kanan) ................. 88
Gambar 49. Ilustrasi posisi stasiun LPGM07 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 90
Gambar 50. Mangrove di Stasiun LPGM07 yang
didominasi oleh jenis Ceriops tagal ............. 90
Gambar 51. Ilustrasi posisi stasiun LPGM08 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 92
Gambar 52. Mangrove di Stasiun LPGM08 ....................... 92
Gambar 53. Ilustrasi posisi stasiun LPGM09 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 94
Gambar 54. Mangrove di Stasiun LPGM09 yang
berhadapan langsung dengan alur
pelayaran ........................................................ 94
Gambar 55. Ilustrasi posisi stasiun LPGM10 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 95
Gambar 56. Mangrove di Stasiun LPGM10 ....................... 96
Gambar 57. Ilustrasi posisi stasiun LPGM11 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 97
Gambar 58. Mangrove di Stasiun LPGM11 dengan
penanda plat dan tali transek yang
masih utuh karena tidak adanya
gangguan manusia. ....................................... 98
xviii Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 59. Ilustrasi posisi stasiun LPGM12 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017 ................... 99
Gambar 60. Mangrove di Stasiun LPGM12 yang
berdekatan dengan lokasi alih fungsi
lahan menjadi area perkebunan ................. 99
Gambar 61. Peta persentase tutupan tajuk
mangrove di Kecamatan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan. .................... 101
Gambar 62. Foto pengambilan data dan kondisi
lapangan di Kecamatan Bakauheni,
Kabupaten Lampung, Selatan. ................... 103
Gambar 63. Grafik perbandingan persen cover
mangrove di Kecamatan Bakauheni,
Lampung Selatan dari tahun 2015 – 2017 .. 107
Gambar 64. Grafik perbandingan kerapatan
mangrove di Kecamatan Bakauheni,
Lampung Selatan dari tahun 2015 – 2017 .. 107
Gambar 65. Perawatan yang dilakukan oleh tim
guna memperjelas tanda kembali untuk
penelitian mendatang ................................. 111
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Lokasi penelitian terumbu karang, ikan
karang dan mega bentos di perairan
Bakauheni. ...............................................................6
Tabel 2. Lokasi penelitian lamun di perairan
Bakauheni. ...............................................................7
Tabel 3. Lokasi penelitian mangrove di perairan
Bakauheni. ...............................................................8
Tabel 4. Kode masing-masing biota dan substrat. ........ 13
Tabel 5. Kriteria penilaian kesehatan terumbu
karang berdasarkan persentase tutupan
karang hidup. ....................................................... 14
Tabel 6. Kelompok ikan karang yang menjadi target
pengamatan........................................................ 15
Tabel 7. Spesies atau kelompok spesies mega
bentos target yang menjadiobjek
monitoring ............................................................. 18
Tabel 8. Kategori tutupan lamun. .................................... 21
Tabel 9. Kriteria status padang lamun. ............................ 21
Tabel 10. Total kelimpahan ikan karang di seluruh
stasiun pengamatan (10 stasiun) di perairan
Bakauheni (individu/3500m2), Lampung
Selatan pada tahun 2015 , 2016, 2017. ........... 46
Tabel 11. Jumlah individu ikan koralivora yang
dijumpai di masing-masing stasiun. .................. 48
Tabel 12. Jenis dan jumlah individu ikan target dari
kelompok ikan herbivora di masing-masing
stasiun pada pengamatan tahun 2017. .......... 50
xx Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Tabel 13. Jenis dan jumlah individu ikan target dari
kelompok ikan karnivora di masing-masing
stasiun pada pengamatan tahun 2017. ........... 51
Tabel 14. Biomassa ikan target di masing-masing
stasiun pada pengamatan tahun 2017. ........... 56
Tabel 15. Jumlah individu kelompok mega bentos
yang dijumpai pada setiap stasiun di
perairan Bakauheni, Lampung Selatan
tahun 2017. ............................................................ 58
Tabel 16. Keanekaragaman jenis lamun di masing-
masing stasiun Perairan Bakauheni,
Lampung Selatan tahun 2017. ........................... 65
Tabel 17. Tutupan dan dominansi jenis lamun di
perairan Bakauheni, Lampung Selatan ............ 74
Tabel 18. Jumlah Jenis, Persentase Tutupan Tajuk dan
Status Komunitas Mangrove di Kecamatan
Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan. .... 105
Tabel 19. Kerapatan dan Indeks Nilai Penting (INP)
setiap stasiun di Kecamatan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan di Tahun
2015 dan 2016. .................................................... 106
Tabel 20. Tipe substrat pantai di setiap stasiun
pemantauan kondisi kesehatan komunitas
mangrove di Kecamatan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan.......................... 110
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and
Management Program) merupakan kegiatan untuk
merehabilitasi dan mengelola terumbu karang,
sehingga terumbu karang di Indonesia dapat terjaga
kelestariannya. Terjaganya kelestarian terumbu
karang, yang merupakan rumah bagi biota laut
ekonomis penting diharapkan akan bermanfaat bagi
masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di
daerah pesisir sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan hidupnya.
COREMAP fase 3 atau yang dikenal sebagai
COREMAP-CTI secara resmi dimulai sejak akhir tahun
2014. Meskipun secara resmi dimulai sejak akhir tahun
2014, namun banyak kegiatan-kegiatan COREMAP-
CTI yang baru dapat dilaksanakan di tahun 2015.
Meskipun perairan Bakauheni yang berada di wilayah
Kabupaten Lampung Selatan bukan merupakan
lokasi COREMAP, tetapi kegiatan monitoring terumbu
karang dan ekosistem terkait tetap dilakukan di
perairan ini sebagai pembanding untuk lokasi-lokasi
yang memang sejak awal telah ditetapkan sebagai
2 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
lokasi COREMAP. Selama COREMAP-CTI berlangsung,
kegiatan monitoring terumbu karang di perairan
Bakauheni pernah dilakukan pada tahun 2015 dan
2016.
Terumbu karang di perairan Bakauheni
Kabupaten Lampung Selatan umumnya ditemukan
bersama lamun dan mangrove pada pesisir dan
gugusan pulau-pulau kecil. Sebagai pintu gerbang
utama Pulau Sumatra, perairan Kabupaten Lampung
Selatan telah dimanfaatkan sebagai pelabuhan
utama penyeberangan yang menghubungkan Pulau
Jawa dan Pulau Sumatra. Lalu lintas penyeberangan
di kawasan ini merupakan salah satu penyeberangan
yang paling sibuk di Indonesia sehingga menjadikan
kawasan ini mengalami peningkatan pembangunan
yang sangat pesat. Adanya pemanfaatan perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil berpotensi
mempengaruhi keberlanjutan ekosistem terumbu
karang dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hal
inilah yang mendorong untuk menjadikan lokasi ini
sebagai salah satu lokasi pemantauan kondisi
ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait di
wilayah barat Indonesia.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
3
B. Tujuan dan Sasaran Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kondisi terkini kondisi terumbu karang dan
ekosistem terkait di perairan Bakauheni, serta untuk
melihat perubahan yang mungkin terjadi
dibandingkan dengan pengamatan tahun-tahun
sebelumnya (tahun 2015 dan 2016). Adapun sasaran
penelitiannya dalah untuk mengetahui:
Persentase tutupan biota dan substrat dalam
ekosistem terumbu karang,
Kepadatan ikan karang,
Kepadatan dari beberapa mega bentos yang
memiliki nilai ekonomis penting ataupun dapat
dipakai sebagai indikator kesehatan terumbu
karang,
Jenis dan kerapatan lamun (seagrass),
Jenis dan kerapatan mangrove.
Membandingkan kondisi terumbu karang dan
ekosistem terkait antara tahun 2015, 2016 dan 2017.
C. Tahapan Penelitian
Pada pemantauan kesehatan terumbu karang
yang dilakukan di Kabupaten Biak Numfor ini terdapat
beberapa tahapan kegiatan meliputi :
4 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
1. Tahap persiapan.
Termasuk kegiatan administrasi, koordinasi dengan
tim penelitian baik yang berada di Jakarta maupun
di daerah setempat, pengadaan dan mobilitas
peralatan penelitian serta perancangan penelitian
untuk memperlancar pelaksanaan survei di
lapangan. Selain itu, dalam tahapan ini juga
dilakukan persiapan penyediaan peta dasar untuk
lokasi penelitian yang akan dilakukan.
2. Tahap pengumpulan data.
Merupakan kegiatan utama yang dilakukan
langsung di lapangan yang meliputi pengambilan
data karang, ikan karang dan mega bentos.
3. Tahap analisis data.
Merupakan kegiatan yang meliputi verifikasi data
lapangan dan pengolahan data, sehingga data
lapangan bisa disajikan dengan lebih informatif.
4. Tahap pelaporan.
Merupakan kegiatan penyusunan laporan akhir.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
5
METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di perairan Bakauheni
Kabupaten Lampung Selatan (Gambar 1). Karena
kegiatan ini merupakan kegiatan monitoring, maka
jumlah stasiun pengamatan pada tahun ini sama
dengan jumlah stasiun pada pengamatan tahun
sebelumnya, dan berada pada titik koordinat yang
sama. Jumlah stasiun pengamatan untuk terumbu
karang, ikan karang dan mega bentos sebanyak 10
stasiun, lamun sebanyak 8 stasiun, dan mangrove
sebanyak 12 stasiun.
Khusus untuk pengamatan terumbu karang, ikan
karang dan mega bentos berada pada garis transek
yang sama sehingga stasiun pengamatannya
berada pada koordinat yang sama (Tabel 1; Gambar
2). Stasiun pengamatan lamun ditampilkan pada
Tabel 2 dan Gambar 3, sedangkan stasiun untuk
pengamatan mangrove ditampilkan pada Tabel 3
dan Gambar 4.
6 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 1. Peta habitat perairan dangkal di lokasi penelitian
yang berada di perairan Bakauheni.
Tabel 1. Lokasi penelitian terumbu karang, ikan karang dan
mega bentos di perairan Bakauheni.
Stasiun Lokasi Koordinat
LMPC01 Pulau Sindu bagian selatan 05,890670 LS; 105,738720 BT
LMPC02 Pulau Kandang Balak (pantai selatan) 05,896320 LS; 105,750560 BT
LMPC03 Pulau Kandang Balak (pantai barat tengah) 05,895880 LS; 105,757600 BT
LMPC04 Pulau Kandang Balak (pantai barat utara) 05,882260 LS; 105,779240 BT
LMPC05 Pulau Penjurit bagian selatan 05,886850 LS; 105,779240 BT
LMPC06 Pulau Rimau Balak bagian selatan (pantai timur) 05,864550 LS; 105,787590 BT
LMPC07 Pulau Rimau Balak bagian utara (pantai timur) 05,852770 LS; 105,791970 BT
LMPC08 Pulau Rimau Balak bagian utara (pantai barat) 05,848450 LS; 105,782620 BT
LMPC09 Pulau Rimau Balak bagian selatan (pantai barat) 05,859870 LS; 105,773090 BT
LMPC10 Pulau Tumpul Lunik 05,846830 LS; 105,775520 BT
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
7
Gambar 2. Stasiun pengamatan untuk terumbu karang, ikan
karang dan mega bentos di perairan Bakauheni.
Tabel 2. Lokasi penelitian lamun di perairan Bakauheni.
Stasiun Lokasi Koordinat
LMPS01 Pulau Tumpul Lunik 05,846620 LS; 105,774900 BT
LMPS02 Pulau Keramat 05,852560 LS; 105,767680 BT
LMPS03 Pulau Rimau Balak 05,858050 LS; 105,77418 0 BT
LMPS04 Pulau Kandang Balak sebelah utara 05,888750 LS; 105,761610 BT *)
LMPS05 Pulau Kandang Balak sebelah selatan 05,895190 LS; 105,751740 BT
LMPS06 Pulau Sindu 05,886390 LS; 105,737500 BT
LMPS07 Pesisir Pulau Sumatera (barat daya P. Keramat) 05,885700 LS; 105,735900 BT
LMPS08 Pesisir Pulau Sumatera (utara dermaga fery) 05,852150 LS; 105,765350 BT
*) Posisi koordinat bergeser sedikit dibanding tahun sebelumnya.
8 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 3. Lokasi penelitian lamun di perairan Bakauheni.
Tabel 3. Lokasi penelitian mangrove di perairan Bakauheni.
Stasiun Lokasi Koordinat
LMPM01 Pulau Keramat 05,85197o LS; 105,76739o BT
LMPM02 Pulau Tumpul Lunik 05,84489o LS; 105,77641o BT
LMPM03 Pulau Rimau Balak 05,85447o LS; 105,77744o BT
LMPM04 Pulau Rimau Balak 05,84789o LS; 105,78391o BT
LMPM05 Pulau Rimau Balak 05,84603o LS; 105,78761o BT
LMPM06 Desa Kramat 05,84565o LS; 105,77018o BT
LMPM07 Desa Muara Bakau 05,85470o LS; 105,76295o BT
LMPM08 Pulau Rimau Balak 05,86546o LS; 105,77798o BT
LMPM09 Pulau Dua Balak 05,87139o LS; 105,76980o BT
LMPM10 Pulau Sindu 05,88638o LS; 105,73784o BT
LMPM11 Pulau Kandang Balak 05,89778o LS; 105,74951o BT
LMPM12 Pulau Kandang Balak 05,88376o LS; 105,75895o BT
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
9
Gambar 4. Lokasi penelitian mangrove di perairan Bakauheni
B. Waktu Penelitian
Kegiatan Monitoring terumbu karang dan
ekosistem terkait di perairan Bakauheni, Kabupaten
lampung Selatan dilaksanakan pada tanggal 1-12
Desember 2017.
C. Pelaksana Penelitian
Personil yang terlibat dalam pelaksana kegiatan
penelitian ini berasal dari Pusat Penelitian Oseanografi
LIPI Jakarta, dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
10 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Universitas Diponegoro, serta dibantu oleh tenaga
lokal lapangan.
D. Pengumpulan dan Analisis Data
Kegiatan Monitoring terumbu karang dan
ekosistem terkait di perairan Bakauheni dan
sekitarnya melibatkan beberapa kelompok penelitian.
Teknik pengumpulan dan analisis data yang
digunakan oleh masing-masing bidang penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Terumbu Karang
Kegiatan lapangan dilakukan dengan
penyelaman menggunakan peralatan selam
SCUBA. Untuk mengetahui profil dan deskripsi umum
masing-masing stasiun penelitian dilakukan
pengamatan visual secara bebas mulai dari bagian
pinggir pantai hingga ke bagian terumbu tempat
dilakukannya transek. Sedangkan untuk
mendapatkan data kesehatan terumbu karang
dilakukan dengan metode UPT (Underwater Photo
Transect=Transek Foto Bawah Air) (Giyanto et al.,
2010; Giyanto, 2012a; Giyanto, 2012b; Giyanto,
2013; Giyanto et al., 2014) yaitu dengan melakukan
pemotretan bawah air menggunakan kamera
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
11
digital bawah air sepanjang 50 m garis transek
dimulai dari meter ke-1 dengan jarak antar
pemotretan sekitar 1 m, sehingga ada sebanyak 50
frame foto yang diperoleh pada setiap stasiun.
Garis transek ditarik sejajar pulau pada
kedalaman sekitar 5 m dimana karang umum
dijumpai. Posisi pulau berada di sebelah kiri garis
transek. Pemotretan dilakukan tegak lurus substrat
pada jarak sekitar 60cm dari dasar substrat. Untuk
keseragaman luas bidang pemotretan, digunakan
alat bantu ”frame” yang terbuat dari besi dengan
ukuran 58x44 cm. Untuk pemotretan frame ke-1
(pada garis transek meter ke-1) dan juga frame-
frame berikutnya dengan nomer frame ganjil
(Frame ke-3, ke-5, dan seterusnya sampai frame ke-
49), pemotretan dilakukan dengan bidang
pemotretan agak banyak ke arah bagian yang
dekat dengan daratan. Sedangkan untuk
pemotretan frame ke-2 (pada garis transek meter
ke-2) dan juga frame-frame berikutnya dengan
nomer frame genap, pemotretan dilakukan
dengan bidang pemotretan agak banyak ke arah
laut. Ilustrasi teknis pemotretan di lapangan dapat
dilihat di Gambar 5. Selain itu juga dilakukan
12 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
pengamatan visual untuk mendapatkan gambaran
umum masing-masing stasiun penelitian.
Gambar 5. Ilustrasi pengambilan foto dengan
metode UPT.
Analisis foto berdasarkan foto hasil
pemotretan dilakukan menggunakan komputer
dan piranti lunak (software) CPCe (Kohler & Gill,
2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk
setiap frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi
kode sesuai dengan kode masing-masing kategori
dan biota dan substrat yang berada pada titik
acak tersebut (Tabel 4).
Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-
masing kategori biota dan substrat untuk setiap frame
foto menggunakan rumus:
Persentase tutupan kategori = jumlah titik kategori tersebut
banyaknya titik acak x 100
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
13
Tabel 4. Kode masing-masing biota dan substrat.
Kode Keterangan
LC Live Coral = Karang batu hidup = karang hidup = AC+NA
- AC - Acropora = karang batu marga Acropora
- NA - Non Acropora = karang batu selain marga Acropora
DC Dead Coral = karang mati
DCA Dead Coral with Algae = karang mati yang telah ditumbuhi
alga
SC Soft Coral = karang lunak
SP Sponge = spon
FS Fleshy Seaweed = alga
OT Other Fauna = fauna lain
R Rubble = pecahan karang
S Sand = pasir
SI Silt = lumpur
RK Rock = batuan
Karang batu hidup (kadang disebut sebagai
“karang hidup/live coral” atau “karang” saja)
merupakan komponen utama terumbu karang.
Oleh karena itu, untuk sederhananya, penilaian
kesehatan terumbu karang didasarkan pada
besarnya nilai persentase tutupan karang hidup
yang mengacu pada kriteria Gomez & Yap (1988).
Kriteria tersebut disajikan pada Tabel 5. Tutupan
Karang hidup (LC) merupakan penjumlahan dari
tutupan karang hidup dari marga Acropora (AC)
dan tutupan karang hidup dari marga non
Acropora (NA).
14 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Tabel 5. Kriteria penilaian kesehatan terumbu
karang berdasarkan persentase tutupan
karang hidup.
Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Penilaian
75 – 100
50 – 74,9
25 – 49,9
0 – 24,9
sangat baik
baik
sedang
jelek
Sumber : Gomez & Yap (1988)
2. Ikan Karang
Metode yang digunakan dalam pengamatan
ikan karang adalah belt transect mengikuti cara
English et al. (1997). Pengambilan data dilakukan
dengan underwater visual census (UVC) dengan
mencatat jenis, kelimpahan dan estimasi panjang
ikan karang yang menjadi target pengamatan di
sepanjang garis transek 70 m dengan batas kanan
dan kiri masing-masing berjarak 2,5 m sehingga luas
area pengamatan yaitu (5 x 70) = 350 m2.
Identifikasi jenis ikan karang mengacu pada
Matsuda (1984), Kuiter (1992) dan Allen et al. (2009).
Ikan karang yang menjadi target pengamatan
disajikan pada Tabel 6.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
15
Tabel 6. Kelompok ikan karang yang menjadi
target pengamatan.
Kategori Famili Data yang dicatat
Corallivora Chaetodontid
ae
1. Jumlah jenis
2. Kelimpahan individu setiap
jenis
Herbivora Scaridae
Siganidae
Acanthuridae
1. Jumlah jenis
2. Kelimpahan individu setiap
jenis
3. Estimasi panjang standar,
panjang total atau panjang
menggarpu setiap individu
Carnivora Serranidae
Lutjanidae
Lethrinidae
Haemulidae
1. Jumlah jenis
2. Kelimpahan individu setiap
jenis
3. Estimasi panjang standar,
panjang total atau panjang
menggarpu setiap individu
Spesies ikan
langka,
terancam
dan
dilindungi
Semua jenis
ikan yang
terancam
termasuk
semua jenis
pari dan hiu
1. Jumlah jenis
2. Kelimpahan individu setiap
jenis
3. Estimasi panjang standar,
panjang total atau panjang
menggarpu setiap individu
Pengolahan dan analisis data yang didapat
dari pengamatan meliputi:
a. Keanekaragaman jenis
Keanekaragaman jenis adalah total dari
spesies ikan karang yang diamati selama
monitoring di suatu lokasi ekosistem terumbu
karang.
16 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
b. Densitas
Densitas (D) adalah jumlah individu seluruh
spesies ikan karang per luas area pengamatan.
Untuk setiap transeknya, nilai D adalah:
D = individu seluruh spesies ikan
350 𝑚2
c. Hubungan panjang-berat
Hubungan panjang berat adalah berat
individu ikan target (W) sama dengan indeks
spesifik spesies (a) dikalikan dengan estimasi
panjang total dipangkat indeks spesifik spesies
(b).
W = a x Lb
d. Biomassa
Biomassa (B) adalah berat (W) seluruh
individu ikan target per luas area pengamatan.
Untuk setiap transeknya, nilai D adalah:
B = W seluruh ikan target
350 𝑚2
3. Mega bentos
Pengamatan mega bentos target dilakukan
dengan metode Benthos Belt Transect yang
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
17
merupakan pengembangan dari benthos belt
transek method untuk monitoring mega bentos
(Loya, 1978). Pengamatan di lakukan dengan
menggunakan bantuan peralatan selam SCUBA
(Brower & Zar, 1997). Transek disinkronisasikan
dengan transek untuk pengamatan/monitoring
karang dan ikan karang pada sebuah transek
permanen. Metode ini dilakukan dengan cara
menarik garis sejajar garis pantai pada kedalaman
5 – 10 meter dengan panjang transek 70 meter dan
lebar pengamatan satu meter ke arah kiri dan satu
meter ke arah kanan garis transek (140 m2)
(Gambar 6).
Gambar 6. Skema transek mega bentos dengan
metode Benthos Belt Transect yang
dimodifikasikan dari metode Belt Transect.
Semua jenis mega bentos dalam transek
dicatat nama spesies atau kelompok spesiesnya,
terutama spesies dan kelompok spesies mega
18 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
bentos yang menjadi target monitoring, serta
jumlah individunya. Mega bentos target merupakan
biota yang memiliki nilai ekonomis penting dan
memiliki nilai ekologis penting yang keberadaannya
sangat berkaitan erat dengan kondisi kesehatan
karang. Mega bentos target monitoring terdiri dari
tujuh kelompok biota seperti yang disajikan pada
Tabel 7. Identifikasi terhadap spesies dan kelompok
spesies merujuk pada Abbott & Dance (1990),
Matsuura et al. (2000), Clark & Rowe (1971), Neira &
Cantera (2005) dan Colin & Arneson (1995).
Tabel 7. Spesies atau kelompok spesies mega bentos
target yang menjadiobjek monitoring
No. Megabenthos Target Nama Spesies / Kelompok Spesies Group
1. BintangLaut Berduri Acanthasterplanci Echinodermata
2. BuluBabi Echinoidea Echinodermata
3. Teripang Holothuroidea Echinodermata
4. Bintang Laut Biru Linckia laevigata Echinodermata
5. Kerang Kima Tridacna spp., Hippopus spp. Mollusca
6. Siput Drupella Drupella spp. Mollusca
7. Keong Lola Trochusspp., Tectus spp. Mollusca
8. Lobster Lobsters Crustacea
4. Lamun
Metode yang digunakan adalah transek
kuadrat yang dimodifikasi dari metode Seagrass
Watch. Pengambilan data dilakukan pada tiga
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
19
transek dengan jarak antar transek 50 m. Transek
pertama dicatat posisi koordinatnya dan ditandai
dengan patok besi yang dipasang pelampung.
Transek nomor 2 dan 3 ditentukan ke arah sebelah
kanan dengan posisi pengamat menghadap ke
laut. Jarak antar kuadrat pada masing-masing
transek adalah 10 m, dan kuadrat yang digunakan
adalah ukuran 50 x 50 cm atau 0,25 m2 (Gambar 7).
Kesehatan lamun ditentukan berdasarkan
persentase penutupan lamun pada kuadrat ukuran
0,25 m2 yang dibagi lagi menjadi 4 kotak kecil.
Penilaian penutupan lamun dalam kotak kecil
berdasarkan Saito & Atobe (1970) dalam English et
al. (1994) yang dimodifikasi. Pada masing masing
kuadrat diamati juga substrat dan biota yang
berasosiasi dengan lamun.
Gambar 7. Skema transek kuadrat lamun.
20 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Data hasil monitoring padang lamun, diolah
untuk menghasilkan nilai rata-rata penutupan
lamun (%) per stasiun, persentase penutupan per
jenis pada satu stasiun, dan penutupan lamun
perlokasi/pulau, dengan menggunakan persamaan
sesuai buku Panduan Monitoring Padang Lamun
(2014), sebagai berikut :
a. Persentase penutupan lamun dalam satu
kuadrat
b. Rata-rata penutupan lamun per stasiun
c. Penutupan lamun per jenispadasatustasiun
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
21
d. Rata-rata penutupan lamun per lokasi/pulau
Selanjutnya tutupan lamun dikategorikan
berdasarkan Tabel 8, sedangkan penentuan status
padang lamun berdasarkan kriteria yang
ditampilkan pada Tabel 9.
Tabel 8. Kategori tutupan lamun.
Persentase penutupan (%) Kategori
0-24,9 Jarang
25-49,9 Cukup padat
50-74,9 Padat
75-100 Sangat padat
Tabel 9. Kriteria status padang lamun.
Kondisi Penutupan (%)
Baik Kaya/sehat ≥ 60
Jelek Kurang kaya/kurang sehat 30-59,9
Miskin ≤ 29,9
22 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
5. Mangrove
Pada setiap stasiun pengamatan mangrove
dilakukan penggelaran plot transek seluas 10 x 10
m. Setiap stasiun dilakukan minimal tiga kali
pengulangan penggelaran plot transek baik itu
sejajar garis pantai maupun tegak lurus dengan
garis pantai.
Data yang diambil dilapangan meliputi data
keliling pohon serta jenis pohon. Pengukuran keliling
pohon menggunakan acuan Diameter Breast High
(DBH) atau ketinggian ± 1,3 m. Pengidentifikasian
mangrove di lapangan mengacu pada Kitamura et
al (1997), apabila terdapat keragu – raguan dalam
identifikasi lapangan maka akan dilakukan
identifikasi lanjutan dengan mengambil sampel
serta dokumentasi habitus yang identifikasinya
berdasarkan Tomlinson (1994) dan Giesen et al
(2002).
Pada setiap plotnya dilakukan identifikasi jenis
serta pengukuran keliling pohon. Persentase
tutupan mangrove menggunakan pendekatan
Hemispherical Photography, yaitu pengambilan
foto kearah langit dari dalam vegetasi mangrove
(Dharmawan & Pramudji, 2014). Pada pengamatan
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
23
tahun 2016 setiap plot diambil 4 (empat) foto,
namun di tahun 2017 pengambilan foto disesuaikan
dengan estimasi kerapatan tajuk di lapangan yaitu
rapat diambil 4 (empat foto), sedang diambil 5
(lima) foto dan jarang diambil 9 (sembilan) foto.
Pengambilan foto menggunakan beberapa
kamera telepon genggam (handphone) dengan
merek yang berbeda dan pixel yang berbeda.
Kamera yang digunakan merupakan kamera
depan dari setiap telepon genggam yang
digunakan. Namun, walaupun merek dan pixel
yang berbeda tidak mempengaruhi perhitungan
persen tutupan mangrove.
Foto dianalisis dengan menggunakan
perangkat lunak Image J dengan merubah foto
menjadi 8-bit, dilakukan threshold Black/White dan
dihitung jumlah pixel naungan mangrove dan
langit. Persentase tutupan mangrove merupakan
persentase dari jumlah pixel naungan mangrove
dibagi dengan total pixel kemudian dikali 100%.
Data Image J, dianalisis dengan Microsoft Excel.
Hasil analisis foto diinterpretasikan ke dalam tiga
kategori yaitu Padat (≥75%), Sedang (50%-75%) dan
Jarang (<50%), berdasarkan acuan yang telah
ditetapkan Pemerintah Indonesia melalui
24 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun
2004 tentang degradasi komunitas mangrove.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Terumbu Karang
1. Kondisi Terumbu Karang di Masing-masing Stasiun
a. Stasiun LMPC01
Stasiun LMPC01 berlokasi di selatan Pulau
Sindu yang berada dekat dengan daratan Pulau
Sumatera. Perairan pantai di lokasi ini memiliki
rataan terumbu yang pendek, sekitar 20-30
meter yang dilanjutkan dengan lereng terumbu
yang landai.
Saat pengamatan dilakukan, perairan cukup
keruh dengan jarak pandang sekitar 3 meter. Pada
kedalaman antara 1-3 meter banyak ditemukan
makro alga terutama dari marga Halimeda. Pada
kedalaman antara 4-6 meter terdapat koloni karang
yang berupa boulder – boulder yang didominasi
oleh karang Porites. Hasil perhitungan persentase
tutupan karang hidup pada lokasi ini termasuk
dalam kategori kurang yaitu 18,67%, yang menurun
dibandingkan dengan data tahun 2016 yaitu 27,20%.
Persentase tutupan Recent Dead Coral (DC) sebesar
0,13%, sedangkan persentase tutupan Dead Coral
with Algae (DCA) sebesar 29,27% yang menurun
dibandingkan dengan data tahun 2016 sebesar
26 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
25,33%. Persentase tutupan makro alga pada stasiun
ini merupakan nilai yang terbesar dibandingkan
dengan stasiun lainnya dengan nilai 19,87%. Pada
stasiun ini, persentase pecahan karang (R)
meningkat drastis dibandingkan tahun lalu dari 0 %
menjadi 13,20%. Hal ini mungkin dikarenakan
adanya akktivitas yang dapat merusak koloni
karang, seperti penggunaan jangkar.
Gambar 8. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC01 (Foto Andy Achmad R.)
b. Stasiun LMPC02
Stasiun LMPC02 berada di perairan sebelah
selatan Pulau Kandang Balak bagian barat.
Vegetasi pantai di stasiun ini ditumbuhi oleh
mangrove jenis Rhizopora, dan dibelakangnya
ditanami pohon kelapa dan kelapa sawit.
Saat pengamatan dilakukan, kondisi
perairan relatif jernih. Rataan terumbu karang di
stasiun penelitian ini relatif pendek yaitu sekitar
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
27
20-30 meter. Substrat dasar perairan berupa pasir
halus berlumpur dan pecahan karang mati.
Pertumbuhan karang dari marga Acropora
mendominasi rataan terumbu. Bagian lereng
terumbu memiliki kemiringan yang landai dan
banyak dijumpai karang lunak yang tumbuh di
antara substrat pecahan karang mati. Dominasi
karang di lokasi transek berupa karang jenis
Acropora sp. yang diikuti oleh karang jenis
Seriatopora hystrix dan Montipora sp.. Persentase
tutupan karang hidup yang tercatat di lokasi ini
adalah 36,53%. Jumlah tutupan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan tutupan tahun 2016
(33,20%) dan tahun 2015 (31,73%). Pada stasiun
ini terlihat kompetisi ruang antara karang dengan
sponge, khususnya karang jenis Seriatopora
hystrix yang diselimuti oleh sponge, dengan
tutupan yang mencapai 23,87%. Meskipun
demikian, jumlahnya masih lebih sedikit
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
mencapai 30,80%. Pada lokasi ini dan juga pada
hampir seluruh stasiun di Bakauheni terdapat
sedimentasi yang mungkin disebabkan oleh
resuspensi sedimen akibat dari lokasi transek
yang dekat dengan habitat mangrove dan
teraduk akibat aktivitas pelayaran yang
kemudian terbawa oleh arus. Selain ketiga jenis
28 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
karang tersebut, juga ditemukan koloni – koloni
Millepora. Tutupan karang mati menempati
jumlah sebesar 8,73% dan pecahan karang
sebesar 10,73%, sedangkan karang lunak yang
sebagian besar hidup diatas pecahan karang
memiliki tutupan sebesar 18,80%. Karang lunak
yang sering dijumpai adalah Sinularia dan Xenia.
Gambar 9. Kondisi tutupan karang di stasiun LMPC02
(Foto Andy Achmad R.)
c. Stasiun LMPC03
Stasiun LMPC03 berada di sebelah timur
Pulau Kandang Balak bagian selatan, dan
posisinya menghadap ke laut terbuka yang
berhadapan dengan Pulau Jawa. Pantainya
berupa batu vulkanik yang ditumbuhi vegetasi
pohon kelapa dan tumbuhan pantai yang
dilanjutkan dengan rataan terumbu yang
pendek sekitar 20-30 meter. Rataan terumbu
dilanjutkan dengan lereng terumbu yang landai
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
29
yang terdiri dari karang mati dan banyak
ditumbuhi karang lunak hingga kedalaman 6
meter.
Saat pengamatan dilakukan, kondisi
perairan relatif jernih dan tenang. Lereng
terumbu pada lokasi ini didominasi oleh karang
lunak Xenia sp.. Dasar perairan berupa lumpur
pasiran yang berwarna putih keabu-abuan.
Beberapa marga karang seperti Acropora,
Montipora dan Fungia dapat ditemukan di lokasi
ini. Kondisi terumbu karang di lokasi ini termasuk
dalam kategori sangat buruk, dengan tutupan
karang hidup yang hanya mencapai 6,53%. Nilai
ini tidak begitu berbeda dengan nilai yang
diperoleh tahun lalu yang sebesar 5,93%. Substrat
yang mendominasi di stasiun ini adalah karang
lunak (Soft Coral), yang tutupannya meningkat
dari 42,40% pada tahun 2016 menjadi 67,47%
pada tahun ini. Hal ini disebabkan karena karang
mati di lokasi ini mulai ditumbuhi oleh karang
lunak dan menyebabkan jumlah tutupan Dead
Coral with Algae (DCA) menurun dari 45,07%
pada tahun 2016 menjadi sebesar 16,27% pada
tahun ini. Stasiun LMPC03 merupakan area yang
terbuka, sehingga menjadi salah satu penyebab
mengapa rekruitmen anakan karang sulit terjadi
di lokasi ini.
30 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 10. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC03 (Foto Andy Achmad R.)
d. Stasiun LMPC04
Lokasi stasiun LMPC04 berada di sisi kiri
bagian utara Pulau Kandang Balak. Pantai
sekitar lokasi ini ditumbuhi mangrove, sedangkan
rataan terumbu relatif pendek yaitu antara 20-30
meter. Cuaca dalam kondisi cerah saat
pengamatan dilakukan, meskipun sehari
sebelumnya pengamatan di lokasi ini dibatalkan
karena kondisi arus yang tidak memungkinkan
untuk pengambilan data. Hal ini terjadi karena
lokasi penelitian berada di sekitar gosong
sehingga lokasi monitoring ini merupakan sebuah
selat yang mempunyai arus yang cukup kuat
saat terjadinya pasang surut dan dapat
menyebabkan kondisi perairan menjadi sangat
keruh karena proses adukan dari dasar perairan
yang berupa lumpur berpasir.
Pada stasiun ini, rataan terumbu dilanjutkan
dengan lereng terumbu yang landai yang
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
31
sebagian besar didominasi oleh pertumbuhan
karang lunak Xenia sp. dan beberapa karang
Acropora serta Seriatopora sp.. Terdapat
beberapa jenis karang lain yang dapat
ditemukan pada lokasi ini dengan bentuk
pertumbuhan umumnya submasif dan masif
yang telah beradaptasi dengan kondisi
lingkungan yang keruh seperti Galaxea sp. dan
Porites sp.. Pada kedalaman lebih dari 6 meter,
dasar perairan berupa substrat lumpur berpasir,
dan karang sangat jarang dijumpai lagi. Lokasi
transek berada pada kedalaman sekitar 6 meter.
Persentase tutupan karang hidup di lokasi ini
masuk dalam kategori kurang dengan tutupan
sebesar 13,87% yang meningkat jika
dibandingkan dengan data tahun 2016 yang
berada pada angka 9,67%. Dominasi tutupan
substrat di lokasi ini berupa lumpur pasiran (Silt)
sebesar 42,67% dan karang lunak 27,27%.
Gambar 11. Kondisi tutupan karang di stasiun
LMPC04 (Foto Andy Achmad R.)
32 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
e. Stasiun LMPC05
Lokasi Stasiun LMPC05 berada di sebelah
selatan Pulau Penjurit. Posisinya menghadap ke
laut terbuka. Pantai berupa pasir putih, dan
relatif datar dengan ditumbuhi vegetasi pantai di
sekitarnya. Saat pengamatan dilakukan di lokasi
ini, cuaca cerah meskipun gelombang cukup
besar dengan jarak pandang sejauh 5 meter.
Rataan terumbu relatif pendek dan memiliki tubir
dengan kemiringan lereng terumbu yang landai.
Lokasi transek berjarak sekitar 20 meter dari bibir
pantai. Komposisi tutupan substrat di lokasi ini
yang tertinggi antara lain DCA sebesar 21,87%,
pasir (S) sebesar 20,93% dan pecahan karang (R)
sebesar 19,13%. Sedangkan tutupan karang
keras hidup sebesar 13,20%, yang jumlahnya
meningkat dari data tahun sebelumnya yang
sebesar 10,33%. Beberapa karang lunak seperti
Lobophytum, Sinularia, dan Sarcophyton terlihat
di stasiun ini dengan total tutupan karang lunak
sebesar 10,20%. Jumlah tutupan karang lunak ini
menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar
18,40%. Bentuk pertumbuhan karang di lokasi ini
banyak dijumpai karang masif Porites yang
berukuran besar dan Acropora dengan bentuk
pertumbuhan tabulate dengan ukuran sedang
antara 0,5-1 meter. Peningkatan cukup signifikan
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
33
terjadi pada tutupan fleshy seaweed atau makro
alga dimana pada tahun sebelumnya (2016)
hanya sebesar 0,87% menjadi 13,33% pada tahun
ini. Keanekaragaman hayati pada lokasi ini
tampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan
lokasi di stasiun lain. Karang hidup, karang lunak,
sponge, makro alga dan biota lainnya dapat
dijumpai.
Gambar 12. Kondisi tutupan karang di stasiun LMPC05
(Foto Andy Achmad R.)
f. Stasiun LMPC06
Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi
terumbu karang pada stasiun LMPC06, yang
berada di sebelah tenggara Pulau Rimau Balak
termasuk dalam kategori baik (tutupan karang
hidup sebesar 73,32%). Kondisi pantai pada
stasiun ini landai dan memiliki vegetasi lamun
dan mangrove, serta menjadi tempat
pendaratan perahu nelayan yang tinggal di
34 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
pulau ini. Pada bagian lereng terumbu relatif
landai dan terdapat terumbu karang yang
membentuk sabuk pada kedalaman 1 hingga 10
meter. Pada pengamatan tahun 2017 ini, terjadi
peningkatan persentase tutupan karang hidup
yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya
(2016) yang hanya sebesar 52,53%. Hal
sebaliknya terjadi pada tutupan DCA yang
mengalami penurunan dari 29,13% menjadi
17,95% dan tutupan sponge (yang merupakan
pesaing/kompetitor bagi koloni karang keras
dalam menempati ruang) dari tahun
sebelumnya yang sebesar 10,93% menjadi 3,00%.
Hal ini menunjukkan adanya proses pemulihan
karang keras yang cukup baik pada stasiun ini.
Bentuk pertumbuhan karang keras
didominasi oleh karang bercabang Acropora
spp., Seriatopora spp. dan bentuk pertumbuhan
lembaran (foliose) seperti Montipora spp..
Dominasi bentuk pertumbuhan karang
bercabang kemungkinan dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan perairan di lokasi ini yang
tenang dan arus yang baik sehingga karang
branching dapat tumbuh dengan maksimal.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
35
Gambar 13. Kondisi tutupan karang di stasiun LMPC06
(Foto Andy Achmad R.)
g. Stasiun LMPC07
Stasiun LMPC07 terletak sebelah timur laut
Pulau Rimau Balak dan posisinya berdekatan
dengan stasiun LMPC06. Stasiun LMPC07 ini
memiliki pantai yang relatif pendek dengan
vegetasi berupa tanaman kebun seperti pohon
kelapa dan pisang. Adanya aktivitas rutin
manusia di daerah pantai terlihat dengan
adanya beberapa tempat tinggal.
Rataan terumbu berkisar antara 50 - 75
meter dengan lereng terumbu yang memiliki
kemiringan 60°. Terumbu karang ditemukan dari
kedalaman 1 meter hingga kedalaman 10 – 11
meter dengan dominasi hampir sama dengan di
stasiun LMPC06 yaitu karang dengan bentuk
pertumbuhan bercabang dari jenis Seriatopora
spp. dan Acropora spp. dengan variasi bentuk
foliose dari jenis Montipora spp. saat
36 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
pengamatan dilakukan, jarak pandang di
bawah air sekitar 5 meter dengan arus dan
ombak yang sedang. Tutupan karang hidup di
stasiun ini mengalami peningkatan yang paling
besar dari 29,47% pada tahun 2016 menjadi
52,87% pada tahun 2017. Peningkatan yang
drastic terjadi pula pada tutupan sponge yang
semula 0% di tahun 2016 menjadi 27,27% di tahun
2017. Sebaliknya, penurunan drastis terjadi pada
tutupan Dead Coral with Algae (DCA) yang
pada tahun 2016 berada di 65,53% menjadi
16,33% pada tahun 2017. Hal ini disebabkan oleh
tertutupnya DCA oleh sponge dan juga Karang
hidup. Keanekaragaman jenis karang di stasiun
ini terbilang cukup beragam, selain ditumbuhi
oleh jenis yang dominan seperti Seriatopora spp.,
Acropora spp. dan Montipora spp. juga
ditumbuhi oleh karang jenis lain seperti Porites
spp dan Fungia spp. meskipun jumlahnya sedikit.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
37
Gambar 14. Kondisi tutupan karang di stasiun LMPC07
(Foto Andy Achmad R.)
h. Stasiun LMPC08
Stasiun LMPC08 berlokasi di sebelah barat
Pulau Rimau Balak bagian utara dengan
vegetasi pantai berupa mangrove. Bagian
daratan stasiun ini di belakangnya berbukit dan
dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.
Rataan terumbu pada stasiun ini cukup lebar
dengan kondisi perairan yang keruh. Pada saat
pendataan dilakukan, jarak pandang di perairan
ini hanya berkisar sekitar 3 meter dengan arus
dan gelombang yang relatif tenang. Lereng
terumbu relatif landai yang didominasi oleh
karang keras tipe bercabang serta karang keras
tipe lembaran / foliose dan masif dalam jumlah
kecil. Tutupan karang hidup jenis Seriatopora spp.
sangat mendominasi dari jumlah total tutupan
karang hidup yang mencapai 52,87%. Jumlah
tutupan karang hidup ini berkurang sebesar 5,2%
dari tutupan tahun sebelumnya sebesar 58,07%,
38 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
namun masih dalam kategori yang sama yaitu
baik. Keanekaragaman jenis karang di lokasi ini
tergolong rendah dengan dominasi yang cukup
tinggi dari marga Seriatopora. Pada lokasi ini
terjadi peningkatan tutupan Dead Coral Algae
dari tahun 2016 yang sebesar 10,73% menjadi
26,80%. Salah satu hal yang menyebabkan
tingginya DCA adalah keruhnya perairan
tersebut yang dikarenakan vegetasi mangrove
yang berada di sepanjang pesisir.
Gambar 15. Kondisi tutupan karang di stasiun LMPC08
(Foto Andy Achmad R.)
i. Stasiun LMPC09
Stasiun LMPC09 berada di sisi barat Pulau
Rimau Balak bagian selatan. Pantai di stasiun ini
ditumbuhi oleh segerombol kecil-kecil mangrove
dari marga Rizhopora. Rataan terumbu tidak
terlalu lebar dengan panjang sekitar 50 meter
yang di tumbuhi oleh lamun dan algae serta
karang dari marga Montipora. Saat
pengamatan, perairan di lokasi ini cukup keruh
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
39
hanya berkisar 3 meter dengan kemiringan
lereng terumbu sekitar 30°. Terumbu karang
banyak dijumpai antara kedalaman 1-7 meter
yang didominasi oleh karang keras tipe
bercabang, lembaran, dan masif. Meskipun
dalam jumlah yang sedikit, karang keras
encrusting dan mushroom juga terdapat pada
stasiun ini. Tidak ada perubahan yang cukup
signifikan pada stasiun ini. Tutupan karang keras
hidup di lokasi ini sebesar 32,40%, dan mengalami
peningkatan dari data tahun sebelumnya (2016)
yang memiliki tutupan karang keras hidup
sebesar 30,60%. Persentase tutupan DCA
mengalami penurunan dimana tahun 2016
berada di angka 63,87% menjadi 59,60% di tahun
2017. Pemutihan (bleaching) karang dijumpai
pada stasiun ini meskipun dalam jumlah yang
sangat kecil.
Gambar 16. Kondisi tutupan karang di stasiun LMPC09
(Foto Andy Achmad R.)
40 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
j. Stasiun LMPC10
Stasiun LMPC10 berada di Pulau Tumpel
Lunik yang memiliki garis pantai berupa
ekosistem mangrove dari marga Rizhopora.
Rataan terumbu ditumbuhi oleh lamun dan
makro alga dengan substrat berupa pecahan
karang yang semakin rapat menuju tubir
didominasi oleh DCA. Kondisi perairan pada saat
pendataan sangat keruh dengan jarak pandang
hanya 2 meter dengan arus dan gelombang
yang relatif kecil. Tutupan karang keras hidup di
lokasi ini sangat buruk pada nilai 0,47%, dan
mengalami penurunan dari tahun sebelumnya
yaitu 2,60%. Karang dari marga Seriatopora dan
Porites dijumpai di stasiun ini tetapi dalam jumlah
yang sangat sedikit. Sedimentasi yang tinggi
menyebabkan banyak karang yang tertutup
sedimen dan kemudian mati. Hal ini dapat
terlihat dari banyaknya tutupan DCA (92,87%)
yang mendominasi tutupan substrat. Lokasi
stasiun ini dekat dengan pemukiman dan
merupakan area pembukaan lahan, serta lalu
lintas kapal Fery yang menghubungkan antara
Merak-Bakauheni. Adanya adukan air yang
cukup keras dapat dirasakan saat melakukan
kegiatan pengamatan di stasiun ini.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
41
Gambar 17. Kondisi tutupan karang di stasiun LMPC10
(Foto Andy Achmad R.)
2. Kondisi Terumbu Karang
Persentase tutupan biota dan substrat di
masing-masing stasiun pengamatan ditampilkan
pada Gambar 18, sedangkan persentase tutupan
Karang hidup (yang merupakan penjumlahan dari
kategori Acropora dan Non-Acropora) ditampilkan
pada Gambar 19.
Secara umum kondisi terumbu karang di
perairan Bakauheni, Lampung Selatan berada
dalam kondisi “sedang”, dengan rerata tutupan
karang hidup sebesar 30,07% dengan kesalahan
baku (SE) 7,50% (Gambar 19). Stasiun LMPC06
merupakan stasiun pengamatan dengan tutupan
karang hidup yang tertinggi dengan tutupan
mencapai 73,32%, sedangkan stasiun LMPC10
merupakan stasiun pengamatan dengan tutupan
karang hidup yang terendah (0,47%). Stasiun
LMPC06 merupakan stasiun yang terbuka yang
42 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
berada di sisi barat bagian selatan Pulau Rimau
balak, sedangkan stasiun LMPC10 merupakan stasiu
yang terlindung yang berada di antara Pulau
Sumatera dan Pulau Rimau Balak.
Gambar 18. Persentase tutupan biota dan substrat di
masing-masing stasiun pengamatan.
0
20
40
60
80
100
LMP
C0
1
LMP
C0
2
LMP
C0
3
LMP
C0
4
LMP
C0
5
LMP
C0
6
LMP
C0
7
LMP
C0
8
LMP
C0
9
LMP
C1
0
Tutu
pan
ku
mu
lati
f (%
)
RK
SI
S
R
OT
FS
SP
SC
DCA
DC
HC
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
43
Gambar 19. Persentase tutupan karang hidup di masing-
masing stasiun pengamatan
.
3. Perubahan Tutupan Karang Hidup
Data tutupan karang hidup yang diperoleh
pada pengamatan tahun 2015, 2016 dan 2017 di
masing-masing stasiun pengamatan yang berada
di perairan Bakauheni, Lampung Selatan
ditampilkan pada Gambar 20. Tampak tutupan
karang hidupnya di beberapa stasiun mengalami
peningkatan, sedangkan di beberapa stasiun
lainnya mengalami penurunan. Pada stasiun
LMPC01 dan LMPC08 terlihat bahwa tutupan
karang hidup cenderung menurun dari tahun 2015
ke tahun 2016 dan kembali menurun di tahun 2017.
Rerata tutupan karang hidup pada tahun 2015
0
25
50
75
100
LMP
C0
1
LMP
C0
2
LMP
C0
3
LMP
C0
4
LMP
C0
5
LMP
C0
6
LMP
C0
7
LMP
C0
8
LMP
C0
9
LMP
C1
0
Rer
ataTu
tup
an
ka
ran
g h
idu
p (
%)
44 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
sebesar 36,50%, tahun 2016 sebesar 23,07% dan
tahun 2017 sebesar 30,07% (Gambar 21). Meskipun
demikian, hasil analisis varian satu arah (one-way
ANOVA) yang dilakukan memperlihatkan bahwa
tidak ada perbedaan yang signifikan (nilai P=0,49)
tutupan karang hidup (data ditransformasikan ke
bentuk arcsin akar pangkat dua) antara ketiga
tahun pengamatan (tahun 2015, 2016 dan 2017).
Gambar 20. Tutupan karang hidup di masing-
masing stasiun pengamatan tahun
2015, 2016 dan 2017.
0
25
50
75
100
LMP
C0
1
LMP
C0
2
LMP
C0
3
LMP
C0
4
LMP
C0
5
LMP
C0
6
LMP
C0
7
LMP
C0
8
LMP
C0
9
LMP
C1
0
Rer
ata
Tutu
pan
kar
ang
hid
up
(%
)
2015 2016 2017
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
45
Gambar 21. Rerata tutupan karang hidup beserta
kesalahan bakunya di perairan
Bakauheni, Lampung Selatan pada
tahun 2015, 2016 dan 2017.
B. Ikan karang
Berdasarkan hasil pengamatan ikan karang di 10
stasiun di perairan Bakauheni, Lampung Selatan,
sedikitnya ditemukan 36 jenis ikan karang dengan
total ikan karang sebanyak 367 individu yang terdiri
dari ikan indikator (koralivora) sebanyak 9 jenis
dengan total 146 individu, ikan target kelompok
herbivora sebanyak 15 jenis dengan total 169 individu,
dan ikan target kelompok karnivora sebanyak 12 jenis
dengan total 52 individu. Dari Tabel 10 terlihat
terjadinya fluktuasi kelimpahan individu dari masing-
masing kategori ikan pada pengamatan tahun 2015
hingga 2017.
0
10
20
30
40
50
2015 2016 2017
Tutu
pan
kar
ang
hid
up
(%
)
46 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Tabel 10. Total kelimpahan ikan karang di seluruh
stasiun pengamatan (10 stasiun) di perairan
Bakauheni (individu/3500m2), Lampung
Selatan pada tahun 2015 , 2016, 2017.
Kelompok Tahun
2015 2016 2017
Ikan Koralivora 252 103 146
Ikan Herbivora 154 228 169
Ikan Karnivora 168 47 52
Total Kelimpahan Individu 531 378 367
Di antara 10 stasiun yang diamati, terlihat bahwa
stasiun LMPC06 yang terletak pada sisi tenggara Pulau
Rimau Balak, memiliki tingkat kelimpahan dan
keanekaragaman jenis ikan tertinggi jika
dibandingkan dengan lokasi lainnya. Sebaran total
kelimpahan individu ikan karang pada masing-masing
lokasi dapat dilihat pada Gambar 22.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
47
Gambar 22. Jumlah jenis dan kelimpahan ikan
yang dijumpai di perairan Bakauheni,
Lampung Selatan pada tahun 2017.
1. Ikan koralivora atau ikan indikator
Semua jenis ikan dari suku (famili)
Chaetodontidae pada penelitian ini
dikelompokkan kedalam kelompok ikan koralivora.
Ikan kelompok ini juga disebut sebagai ikan
indikator karena berperan penting sebagai
indikator lingkungan terumbu karang. Hasil sensus
visual pada 10 stasiun penelitian terdiri dari 9 jenis
yang termasuk kedalam marga Chelmon,
Chaetodon, dan Heniochus. Jenis Chaetodon
octofasciatus merupakan jenis yang paling umum
dijumpai dengan persentase kehadiran sebesar
90% (dijumpai di 9 dari 10 stasiun pengamatan).
10 811
713 13
103
94
3732
47
34
5457
39
23
36
8
0
20
40
60
80Jumlah jenis Kelimpahan (individu/transek)
48 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Hasil pengamatan secara keseluruhan, rerata
kelimpahan ikan kelompok koralivora pada
perairan Bakauheni, Lampung Selatan ini adalah 15
individu/350m2 (Tabel 11, Gambar 23). Jumlah ini
lebih kecil jika dibandingkan hasil pengamatan
pada tahun 2015 yang mencapai 25
individu/350m2, namun lebih tinggi dari hasil
pengamatan pada tahun 2016 yang hanya 10
individu/350 m2.
Tabel 11. Jumlah individu ikan koralivora yang dijumpai di
masing-masing stasiun.
No. Jenis
LMP
C0
1
LMP
C0
2
LMP
C0
3
LMP
C0
4
LMP
C0
5
LMP
C0
6
LMP
C0
7
LMP
C0
8
LMP
C0
9
LMP
C1
0 Total
% kehadiran (berdasarkan
stasiun)
1. Chaetodon collare 2 2 1 4 9 40
2. Chaetodon octofasciatus 2 11 16 4 6 10 20 12 2 83 90
3. Chaetodon kleini 2 2 2 3 4 13 50
4. Chaetodon lunula 2 2 10
5. Chaetodon trifasciatus 2 4 2 4 2 6 6 26 70
6. Chaetodon vagabundus 2 2 10
7. Chelmon rostratus 4 4 10
8. Heniochus monoceros 2 3 5 20
9. Heniochus varius 2 2 10
Kepadatan (individu/350m2) 10 15 6 24 8 15 20 20 26 2 Rerata=15 ind./350m2
Kepadatan (individu/ha) 286 429 171 686 229 429 571 571 743 57 Rerata=417 ind./ha
Jumlah jenis 5 2 3 4 3 3 4 1 5 1 Total=9 jenis
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
49
Gambar 23. Jumlah jenis dan kelimpahan ikan kelompok
koralivora yang dijumpai di perairan
Bakauheni, Lampung Selatan tahun 2017.
2. Ikan Target
Ikan target merupakan kelompok ikan
terumbu karang yang menjadi target tangkapan
nelayan. Ikan target yang dicatat pada
pengamatan ini hanya berdasarkan 7 suku saja
seperti yang dijelaskan pada bagian metodologi,
dan terdiri dari kelompok ikan herbivora (3 suku)
dan ikan karnivora (4 suku). Berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan di 10 stasiun, total
terdapat 27 jenis ikan target yang terdiri dari 15 jenis
herbivora (Tabel 12) dan 12 jenis karnivora (Tabel
13).
Pemantauan terhadap kelompok ikan
herbivora, yang terdiri dari 3 suku (Acanthuridae,
Scaridae, dan Siganidae) di perairan Bakauheni,
14
79
25
10
15
0
10
20
30
40
2015 2016 2017
Total jumlah jenis Kelimpahan (individu/350m2)
50 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Lampung Selatan tercatat 5 jenis suku
Acanthuridae (7 jenis pada tahun 2016), 7 jenis suku
Scaridae (11 jenis pada tahun 2016), dan 3 jenis
suku Siganidae (6 jenis pada tahun 2016), dengan
total jenis ikan kelompok herbivora pada perairan
Bakauheni mencapai 15 jenis (tahun 2016
ditemukan 24 jenis). Jumlah jenis ikan ini lebih sedikit
apabila dibandingkan pengamatan tahun 2016
maupun tahun pengamatan 2015.
Tabel 12. Jenis dan jumlah individu ikan target dari
kelompok ikan herbivora di masing-masing
stasiun pada pengamatan tahun 2017.
No. Suku dan Jenis
LMP
C01
LMP
C0
2
LMP
C0
3
LMP
C0
4
LMP
C0
5
LMP
C0
6
LMP
C0
7
LMP
C0
8
LMP
C0
9
LMP
C10
Total
I. ACANTHURIDAE
1. Acanthurus auranticavus 8 4 2
14
2. Acanthurus lineatus
3
4
7
3. Acanthurus mata
10
10
4. Acanthurus pyroferus
20
4
24
5. Ctenochaetus striatus 10
4
4
4
2
24
II. SCARIDAE
6. Chlorurus bleekeri
2
4 3
9
7. Chlorurus sordidus 2 2 4 3 15 4 7
2 3 42
8. Scarus forsteni
4
4
9. Scarus gobhan
2 4
6
10. Scarus niger
2
2
11. Scarus rivulatus
8
8
12. Scarus rubroviolaeceus
5
5
III. SIGANIDAE
13. Siganus pueleus
4
4
14. Siganus doliatus
2
2
15. Siganus virgatus 4 4
8
Kepadatan (individu/350m2) 24 12 36 3 36 33 14 0 8 3 Rerata=17 ind./350m2 Kepadatan (individu/ha) 686 343 1029 86 1029 943 400 0 229 86 Rerata=483 ind./ha Jumlah Jenis 4 4 6 1 6 7 3 0 3 1 Total=15 jenis
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
51
Tabel 13. Jenis dan jumlah individu ikan target dari
kelompok ikan karnivora di masing-masing
stasiun pada pengamatan tahun 2017.
Suku Scaridae merupakan jenis ikan yang
paling umum ditemukan. Ikan suku Scaridae ini
selalu dijumpai pada saat pengamatan, kecuali
pada stasiun LMPC08. Hasil yang diperoleh pada
tahun ini berbeda dengan hasil yang diperoleh
pada tahun 2016 dimana ikan dari suku Siganidae
merupakan ikan yang paling umum dijumpai. Pada
tahun 2017 ini, suku Siganidae sangat jarang
No. Suku dan Jenis
LAM
PC01
LAM
PC02
LAM
PC03
LAM
PC04
LAM
PC05
LAM
PC06
LAM
PC07
LAM
PC08
LAM
PC09
LAM
PC10
Total
I. SERRANIDAE
1. Aethaloperca rogaa
1
1
2. Cephalopholis argus
2
2 5
2 11
3. Cephalopholis boenack
3
1 4
4. Cephalopholis cyanostigma
1
1
5. Cephalopholis mincroprion
1
1
2
2
6
6. Epinephelus bontoides
1
1
7. Plectropomus maculatus
2
1
II. LUTJANIDAE
8. Lutjanus biguttatus
4 3
7
9. Lutjanus decussatus 3
6
9
10. Macolor macularis
2 2
4
III. LETHRINIDAE
11. Lethrinus harak
2
2
Iv. HAEMULIDAE
12. Plectorhinchus vitatus
4
4
Kepadatan (individu/350m2) 3 5 5 7 10 9 5 3 2 3 Rerata=5 ind./350m2 Kepadatan (individu/ha) 86 143 143 200 286 257 143 86 57 86 Rerata=149 ind./ha Jumlah Jenis 1 2 2 2 4 3 3 2 1 2 Total=15 jenis
52 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
ditemukan, hanya ditemui di 4 dari 10 stasiun
pengamatan.
Berdasarkan kelimpahannya, ikan dari suku
Acanthuridae memiliki kelimpahan yang tertinggi
diantara 3 suku ikan kelompok herbivora yang
diamati. Ikan dari suku Acanthuridae ini dijumpai
sebanyak 79 individu dari seluruh stasiun
pengamatan yang dilakukan di perairan Bakauheni
(10 stasiun), meskipun kehadirannya tidak terlihat
pada stasiun LMPC04, LMPC 08 dan LMPC 10.
Sedangkan ikan dari suku Scaridae yang dijumpai
di 9 dari 10 stasiun pengamatan hanya memiliki
kelimpahan individu sebesar 76 individu di seluruh
stasiun pengamatan.
Hasil pemantauan ikan karnivora di perairan
Bakauheni, Lampung Selatan menunjukkan bahwa
ikan dari suku Serranidae merupakan suku yang
ditemukan hampir di semua stasiun pengamatan
dengan persentase kehadiran 90% (artinya dijumpai
di 9 dari 10 stasiun pengamatan). Selanjutnya diikuti
oleh ikan dari suku Lutjanidae sebesar 60%,
sedangkan ikan dari suku Haemulidae dan
Lethrinidae yang masing-masing hanya di temukan
pada satu stasiun pengamatan saja, yaitu di stasiun
LMPC05.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
53
Total kelimpahan ikan karnivora tertinggi,
ditemukan di stasiun LMPCO5 yang berada di Pulau
Panjurit bagian selatan. Pada stasiun ini dijumpai
sebanyak 4 jenis ikan dari suku karnivora yang
merupakan ikan kelompok target dengan total 10
individu dijumpai pada stasiun tersebut.
Rerata kelimpahan ikan karang
(individu/transek), baik dari kelompok herbivora,
karnivora maupun ikan target secara keseluruhan
(herbivora dan karnivora), terlihat bahwa nilai
kelimpahan yang diperoleh pada tahun 2017 relatif
lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh
tahun 2016 (Gambar 24). Meskipun demikian, pada
Gambar 25 terlihat bahwa nilai rerata biomassa
ikan target per stasiun pada tahun 2017 lebih tinggi
dibandingkan pada tahun 2015 maupun 2016. Hal
ini menunjukkan bahwa rerata ikan yang disensus
pada tahun 2017 berukuran relatif lebih besar.
Gambar 25 juga menunjukkan bahwa nilai rerata
biomassa kelompok ikan karnivora (844,6 gr/350m2)
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok ikan
herbivora (2379,8 gr/350m2). Lokasi LMPC05
merupakan lokasi yang memiliki biomassa ikan
target (7957 gr/350 m2) tertinggi diantara sepuluh
lokasi lainnya, sedangkan Lokasi LMPC08
merupakan lokasi yang terendah nilai biomassa
ikan targetnya (317 gr/350 m2) (Gambar 26).
54 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 24. Rerata kelimpahan ikan terumbu karang
yang dijumpai di perairan Bakauheni,
Lampung Selatan tahun 2015, 2016 dan
2017.
Gambar 25. Rerata biomassa ikan terumbu karang yang
dijumpai di perairan Bakauheni, Lampung
Selatan tahun 2015, 2016 dan 2017.
15,412,5
27,9
22,9
4,7
27,6
16,9
5,2
22,1
0
10
20
30
40
Herbivora Karnivora Target(Herbivora+Karnivora)
Rer
ata
kelim
pah
an (
ind
ivid
u/3
50
m 2
)
2015 2016 2017
1396
,747
273,
553
2379
,8
764,
852
81,3
47 844,
6
2161
,60
354,
90
3224
,40
0
1000
2000
3000
4000
5000
2015 2016 2017
Rer
ata
Bio
mas
sa (g
ram
/35
0m
2)
Herbivora Karnivora Target (Herbivora+Karnivora)
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
55
Gambar 26. Biomassa ikan terumbu karang di masing-
masing stasiun pengamatan yang dijumpai
di perairan Bakauheni, Lampung Selatan
tahun 2017.
Pada kelompok ikan herbivora terlihat bahwa
ikan suku Acanthuridae memiliki nilai rerata
biomassa tertinggi yakni sebesar 1236,4 gr/350 m2,
sedangkan rerata biomassa untuk ikan dari suku
Scaridae sebesar 981,8 gr/350 m2 dan suku
Siganidae sebesar 161,6 gr/350m2. Pada kelompok
ikan karnivora terlihat bahwa ikan suku Seranidae
mempunyai nilai biomassa tertinggi yakni 538,4
kg/350 m2 dibandingkan dengan suku Lutjanidae
186,0 gr/350 m2, suku Haemulidae 104,6 kg/350 m2
dan suku Lethrinidae 15,6 kg/350 m2 (Tabel 14).
0
2000
4000
6000
8000
10000B
iom
assa
(gr
/350
m2)
Karnivora Herbivora
56 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Tabel 14. Biomassa ikan target di masing-
masing stasiun pada pengamatan
tahun 2017.
C. Mega bentos
Terdapat delapan mega bentos yang diamati di
dalam penelitian ini. Dari ke delapan mega bentos
yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang
ini dapat dibedakan kedalam kelompok yang
memiliki nilai ekonomis dan kelompok yang berperan
dalam fungsi ekologis. Yang termasuk kedalam
kelompok ekonomis penting adalah kima, teripang,
lobster dan lola (keong trokha). Selanjutnya terdapat
kelompok biota yang berperan dalam fungsi ekologis
yaitu dapat mempengaruhi kesehatan ekosistem
terumbu karang yaitu bintang laut berduri, bulu babi
dan siput Drupella. Selain itu bintang laut biru (Linckia
Kategori Suku Biomassa
(gr/350m2)
Karnivora Acanthuridae 1236.40
Scaridae 981.80
Siganidae 161.60
Herbivora Serranidae 538.40
Lutjanidae 186.00
Haemulidae 104.60
Lethrinidae 15.60
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
57
laevigata) yang berasosiasi dengan ekosistem
terumbu karang juga diamati.
Menurut Jumanto (2013), beberapa
Echinodermata termasuk sumberdaya hayati yang
mempunyai nilai ekonomis seperti teripang, kima,
lobster dan bulu babi. Mereka digemari oleh
masyarakat sebagai sumber makanan serta obat-
obatan. Eksploitasi berlebih terhadap megabentos
tersebut dapat mengancam kelestariannya.
Mega bentos seperti Acanthaster planci dan
Drupella merupakan kelompok mega bentos yang
merugikan karena mereka memakan polyp karang.
Keberadaan A. planci merupakan salah satu masalah
serius dalam upaya penyelamatan terumbu karang.
Menurut Moran (1990), setiap individu A. planci dapat
memakan karang seluas 5-6 m2/tahun sehingga A.
planci dalam jumlah populasi yang besar dapat
meyebabkan kematian karang secara luas. Namun
ada juga kelompok mega bentos yang berperan
bagus dalam menjaga keseimbangan ekosistem
terumbu karang seperti bulubabi. Menurut Nystrom et
al., (2000) bulu babi adalah salah satu spesies penting
bagie kosistem terumbu karang dimana dia bertugas
mengontrol mikro alga yang ada di ekosistem
tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan di sepuluh stasiun
yang berada di perairan Bakauheni, Lampung
58 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Selatan pada tahun 2017 ini, hanya lima kelompok
mega bentos yang menjadi target monitoring berhasil
ditemukan. Total terdapat 11individu megabentos
target dengan pola kehadiran seperti yang disajikan
pada Tabel 15.
Dari Tabel 15 terlihat bahwa tidak banyak mega
bentos yang dapat ditemukan pada seluruh lokasi.
Hanya teripang, kima, Acanthaster planci, Siput
Drupella, dan bulu babi yang dapat ditemukan dan
itupun hanya pada beberapa lokasi saja. Lobster, lola,
dan Linckia laevigata tidak ditemukan sama sekali
pada kesepuluh stasiun pengamatan. Pada lokasi
LMPC01, LMPC03, LMPC04, LMPC06, LMPC08, dan
LMPC10 tidak ditemukan mega bentos sama sekali.
Tabel 15. Jumlah individu kelompok mega bentos yang
dijumpai pada setiap stasiun di perairan
Bakauheni, Lampung Selatan tahun 2017.
No. Mega bentos
LAM
PC
01
LAM
PC
02
LAM
PC
03
LAM
PC
04
LAM
PC
05
LAM
PC
06
LAM
PC
07
LAM
PC
08
LAM
PC
09
LAM
PC
10
1. Acanthaster planci - 2 - - - - - - - -
2. Bulu babi - - - - - - 1 - - -
3. Linckia laevigata - - - - - - - - - -
4. Siput Drupella spp. - - - - 5 - - - - -
5. Kerang kima - - - - 1 - - - 1 -
6. Teripang - - - - 1 - - - - -
7. Lobsters - - - - - - - - - -
8. Keong trokha - - - - - - - - - -
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
59
Secara keseluruhan memang tidak banyak
mega bentos yang dapat ditemukan pada seluruh
stasiun pengamatan. Jika dilihat dari jumlah individu
tiap kelompok spesies mega bentos yang didapatkan
di seluruh stasiun pengamatan, terlihat bahwa Siput
Drupella mendominasi karena nilainya terlihat paling
tinggi dibanding megabenthos lainnya yaitu 46% (5
individu), sedangkan teripang ditemukan 9% (1
individu), kerang kima 18% (2 individu), Acanthaster
planci 18% (2 individu), dan bulu babi 9% (1 individu)
(Gambar 27).
Gambar 27. Diagram perbandingan jumlah individu
dari masing-masing kelompok
megabentos target di perairan
Bakauheni, Lampung Selatan tahun 2017.
Keberadaan setiap kelompok megabentos tidak
lepas dari kondisi kesehatan terumbu karang maupun
Teripang
Kerang Kima
Lobster
Lola
Acanthaster planci
Siput Drupella spp.
Bulu Babi
Linckia laevigata
60 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
keanekaragaman jenis karang sebagai habitat dari
berbagai jenis fauna mega bentos pada masing-
masing stasiun tersebut. Persentase kategori bentik
sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan
komposisi mega bentos pada suatu perairan.
Beberapa kelompok mega bentos sering kali terlihat
melimpah di perairan yang didominasi oleh substrat
yang berupa karang mati yang ditumbuhi oleh algae.
Beberapa kelompok lainnya lebih memilih habitat
yang banyak ditumbuhi oleh karang hidup. Begitu
juga dengan rugositas dari dasar suatu perairan juga
memiliki peran terhadap keberadaan dan komposisi
mega bentos. Beberapa kelompok mega bentos lebih
menyukai habitat dengan rugositas dasarperairan
yang kasar dimana terdapat banyak karang boulder.
Beberapa spesies yang lain justru lebih memilih
rugositas dasar perairan yang rata.
Jika dibandingkan dengan hasil monitoring
pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2015 dan 2016,
terdapat beberapa perbedaan kemunculan pada
biota indikator. Pada tahun 2017, ditemukan 5
kelompok mega bentos yaitu teripang, kima,
Acanthaster planci, siput Drupella, dan bulu babi
dengan jumlah total 11 individu (Tabel 14). Pada
tahun 2016 ditemukan 3 jenis kelompok mega bentos
yaitu kima, bulu babi, dan Linckia laevigata dengan
jumlah total 17 individu. Sedangkan pada tahun 2015
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
61
ditemukan 7 jenis kelompok mega bentos yaitu
teripang, kima, lobster, lola, Acanthaster planci, siput
Drupella, bulu babi, dan Linckia laevigata. Biota yang
merugikan bagi ekosistem terumbu karang seperti
Acanthaster planci dan siput Drupella kembali
ditemukan pada tahun 2017, setelah mengalami
penurunan pada tahun 2016. Hal ini dapat menjadi
faktor yang mngindikasikan jika kondisi ekosistem
terumbu karang terancam dengan munculnya biota
tersebut. Sedangkan untuk biota menguntungkan
yang memiliki nilai ekonomis dan sebagai indikator
kesehatan terumbu karang seperti teripang, bulu babi
dan kima masih dapat dijumpai pada tahun 2017
meski jumlah total individunyamengalami penurunan.
Bulu babi, terutama jenis Diadema setosum,
memakan alga yang tumbuh pada karang yang
telah mati. Bulu babi secara umum merupakan grazer
(algae feeder). Kehadiran bulu babi pada dasarnya
berperan dalam membersihkan alga di ekosistem
terumbu karang, sehingga memungkinkan karang
untuk tumbuh setelah substrat dibersihkan. Pada lokasi
yang terumbu karang yang telah mengalami
kerusakan tetapi tidak terdapat bulu babi umumnya
banyak ditumbuhi oleh algae. Berbeda kondisinya jika
di lokasi tersebut banyak terdapat bulu babi,
pertumbuhan alga akan dikontrol sehingga
62 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
kesempatan karang untuk melakukan pemulihan
(recruitment) lebih tinggi.
Drupella spp. merupakan kelompok siput yang
memiliki kebiasaan memakan polip karang, terutama
pada karang bercabang (terutama dari kelompok
Acropora dan Pocillopora) maupun karang masif
(kelompok Porites) (Arbi, 2009). Namun demikian,
terlihat siput ini juga memakan polip karang pada
jenis karang dengan tipe pertumbuhan karang
submasif maupun karang berbentuk lembaran daun.
Pada kondisi yang tertekan, Acanthaster planci
atau dikenal sebagai bintang laut bermahkota duri
akan mempercepat proses pematangan gonad dan
segera melakukan pemijahan dengan mengeluarkan
telur dalam jumlah besar (Setyastuti, 2010). Di samping
itu, bintang laut bermahkota duri tersebut dapat
meregenerasi diri menjadi individu baru yang utuh dari
potongan tubuh karena tercabik. Spesies ini juga
diketahui memiliki umur larva planktonik yang relatif
lama yang memungkinkan untuk menyebar luas ke
seluruh dunia mengikuti pola arus. Dengan kata lain,
walaupun pada suatu lokasi tidak ditemukan bintang
laut bermahkota duri ini, bukan berarti bebas dari
ancaman pemangsaan. Bisa jadi, pada lain waktu
arus membawa larva Acanthaster planci ke tempat
tersebut, karena perairan laut di seluruh dunia
terkoneksi satu sama lain, dan akhirnya pemakan
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
63
polip karang ini akan tumbuh dan berkembang biak
setelah menemukan habitat yang cocok. Di sisi lain,
tidak adanya predator alaminya juga menjadi faktor
yang layak dikhawatirkan. Siput Charonia tritonis atau
triton dan Casis cornuta atau siput kepala kambing
merupakan predator alami dari Acanthaster planci.
Bahkan pada suatu kesempatan, terlihat seorang
nelayan sedang membawa Casis cornuta sebagai
tangkapan sampingan selain ikan sebagai tangkapan
utamanya.
Kerang kima berdasarkan keberadaannya pada
substrat terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok meliang, kelompok melekat dan kelompok
bebas yang tidak meliang maupun melekat pada
substrat. Kelompok kerang kima yang meliang
maupun kelompok melekat umumnya ditemukan
pada substrat bertipe keras. Substrat tersebut antara
lain karang hidup, batu, karang mati, karang mati
yang ditumbuhi alga. Sedangkan kelompok bebas
yang tidak meliang maupun melekat umumnya
ditemukan pada substrat pasir. Kerang kima yang
ditemukan selama pengamatan umumnya meliang
atau melekat pada substrat berupa karang mati yang
telah ditumbuhi algae (dead coral with algae / DCA).
64 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
D. Lamun
Ekosistem padang lamun merupakan salah satu
ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai
produktivitas primer yang relatif tinggi dan
mempunyai peranan yang penting untuk menjaga
kelestarian dan keanekaragaman orgnisme laut. Adi
(2000) ; Chute et al. (2001) dan Helfman et al. (2009)
menjelaskan bahwa padang lamun mempunyai
fungsi ekologis yang sangat penting sebagai daerah
pemijahan, asuhan dan mencari makan bagi
berbagai jenis orgnisme laut. Padang lamun
mempunyai peranan penting dalam menjaga
keseimbangan ekosistem di perairan laut. Salah satu
fungsi fisik padang lamun adalah sebagai pendaur
ulang zat hara di perairan. Aktivitas mikro organisme
pengurai mengembalikan bahan anorganik ke
perairan melalui proses dekomposisi dari bahan
organik atau jaringan mati yang berupa detritus
serasah lamun. Keberadaan bahan anorganik
sebagai nutrien atau zat hara ini sangat dibutuhkan
oleh lamun untuk proses produksi selanjutnya
(Tomascick et al., 1997 dan Riniatsih et al., (2000).
Hasil pengamatan tentang ekosistem padang
lamun di perairan Bakauheni, Lampung Selatan
memperlihatkan bahwa di lokasi pengamatan
terdapat tujuh jenis lamun yang ditemukan menyebar
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
65
di delapan lokasi pengamatan, yaitu: Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea
rotundata, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium,
Halodule pinifolia,dan Halodule uninervis.
Lamun jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus
acoroides merupakan lamun yang mendominasi
hampir di setiap lokasi pengamatan. Lamun jenis
tersebut merupakan lamun yang umum ditemukan
hampir di setiap pesisir, karena merupakan jenis lamun
yang kuat dan dapat hidup di berbagai jenis substrat
dasar. Namun demikian lamun jenis Thalassia
hemprichii dan Enhalus acoroides lebih menyukai
habitat dengan substrat pasir lumpuran. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa jenis lamun yang
ditemukan menyebar hampir merata di setiap lokasi
(Tabel 16).
Tabel 16. Keanekaragaman jenis lamun di masing-
masing stasiun Perairan Bakauheni, Lampung
Selatan tahun 2017.
Jenis Lamun
LMPS01
LMPS02
LMPS03
LMPS04
LMPS05
LMPS06
LMPS07
LMPS08
I. SUKU CYMODOCEAEAE
1. Halodule uninervis
2. Halodule pinifolia
3. Cymodocea rutondata
4. Syringodium isoetifolium
-
-
+
-
-
-
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
+
-
-
-
-
+
-
-
-
II.SUKU HYDROCHARITACHEAE
1. Enhalus acoroides
2. Thalassia hemprichii
3. Halophila ovalis
+
+
-
+
+
+
+
+
-
-
+
-
+
+
-
+
+
-
+
+
-
+
+
-
Jumlah Jenis 3 5 2 1 2 5 2 3
66 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
1. Pengamatan Lamun di Masing-masing Stasiun
a. Pulau Tumpul Lunik (LMPS01)
Hasil pengamatan ekosistem padang
lamun di Pulau Tumpul Lunik (LMPS01 ditemukan
tiga jenis lamun, yaitu jenis Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii, dan jenis Cymodocea
rotundata (Gambar 28). Hasil pengamatan
menunjukkan rerata tutupan lamunnya berkisar
antara 25-75% dengan rerata total tutupan
sebesar 13,75% (Tabel 16) yang didominasi oleh
lamun jenis Enhalus acoroides, dengan substrat
dasar berupa pasir dan pecahan karang.
Dengan demikian tutupan lamun di lokasi Pulau
Tumpul Lunik termasuk dalam kategori jarang (0-
25%) dengan lamun berada dalam kondisi miskin
(< 29,9%).
Gambar 28. Lokasi pengamatan di Pulau Tumpul Lunik
(LMPS01) (kiri) yang didominasi oleh lamun
jenis Enhalus acoroides (kanan).
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
67
b. Pulau Keramat (LMPS02)
Hasil pengamatan di stasiun LMPS02 yang
berlokasi di Pulau Keramat (LMPS02)
menunjukkan adanya sebaran lima jenis lamun,
yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, dan
Syringodium isoetifolium (Gambar 29). Rerata
tutupan lamun berkisar antara 25-75% dengan
rerata total tutupan sebesar 35,93% (Tabel 16)
yang didominasi oleh Syringodium isoetifolium
yang tumbuh pada substrat lumpur berpasir.
Dengan demikian tutupan lamun di lokasi Pulau
Keramat termasuk dalam kategori sedang (25-
50%) dengan lamun berada dalam kondisi
kurang kaya atau kurang sehat (30-59,9%).
Gambar 29. Lokasi pengamatan Pulau Keramat
(LMPS02) (kiri) yang didominasi oleh lamun
jenis Enhalus acoroides dan Syringodium
isoetifolium (kanan).
68 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
c. Pulau Rimau Balak (LMPS03)
Hasil pengamatan ekosistem padang
lamun di Pulau Rimau Balak (LMPS03)
menunjukkan bahwa di lokasi tersebut ditemukan
dua jenis lamun, yaitu jenis Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii. (Gambar 30). Hasil
pengamatan menunjukkan rerata tutupan
lamunnya berkisar antara 25-75% dengan rerata
total tutupan sebesar 20,83% (Tabel 16) yang
didominasi oleh lamun jenis Enhalus acoroides,
dengan substrat dasar berupa pasir dan
pecahan karang. Dengan demikian tutupan
lamun di lokasi Pulau Rimau Balak ini termasuk
dalam kategori jarang (0-29,9%) dengan lamun
yang berada dalam kondisi miskin (<29,9%).
Gambar 30. Lokasi pengamatan Pulau Rimau Balak
(LMPS03) (kiri) yang didominasi oleh lamun
jenis Enhalus acoroides (kanan).
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
69
d. Pulau Kandang Balak (LMPS04)
Hasil pengamatan di Pulau Kandang Balak
sebelah utara (LMPS04) hanya menemukan satu
jenis lamun, yaitu jenis Thalassia hemprichii
(Gambar 31). Hasil pengamatan menunjukkan
rerata tutupan lamunnya berkisar antara 12,25-
25% dengan rerata total tutupan sebesar 5,56%
(Tabel 16) dengan lamun jenis tunggal Thalassia
hemprichii yang tumbuh pada substrat dasar
berupa pasir dan pecahan karang. Kondisi
tutupan lamun di lokasi Pulau Kandang Balak
sebelah utara tersebut termasuk dalam kategori
jarang (0-29,9%) dengan lamunyang berada
dalam kondisi miskin (<29,9%).
Gambar 31. Lokasi pengamatan Pulau Kandang Balak
sebelah utara (LMPS04) (kiri) dengan sebaran
lamun jenis tunggal Thalassia hemprichii
(kanan).
70 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
e. Pulau Kandang Balak (LMPS05)
Hasil pengamatan ekosistem padang
lamun di Pulau Kandang Balak sebelah selatan
(LMPS05) menunjukkan bahwa di lokasi tersebut
ditemukan dua jenis lamun, yaitu jenis Enhalus
acoroides dan Thalassia hemprichi (Gambar 32).
Hasil pengamatan menunjukkan rerata tutupan
lamunnya berkisar antara 25-85% dengan rerata
total tutupan sebesar 22,92% (Tabel 16) yang
didominasi oleh lamun jenis Enhalus
acoroides.dengan substrat dasar berupa pasir
dan pecahan karang. Dengan demikian tutupan
lamun di lokasi Pulau Kandang Balak sebelah
selatantermasuk dalam kategori jarang (0-25%)
dengan lamun yang berada dalam kondisi miskin
(<29,9%).
Gambar 32. Lokasi pengamatan Pulau Kandang Balak
sebelah selatan(LMPS05) (kiri) yang
didominasi oleh lamun jenis Enhalus
acoroides (kanan).
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
71
f. Pulau Sindu (LMPS06)
Hasil pengamatan di lokasi Pulau Sindu
(LMPS06) menunjukkan adanya sebaran lima
jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii, Cymodocea serrulata, dan
Syringodium isoetifolium, dan Halodule pinifolia
(Gambar 33). Rerata tutupan lamun berkisar
antara 25-75% dengan rerata total tutupan
sebesar 16,66% (Tabel 16) yang didominasi oleh
Thalassia hemprichii yang tumbuh pada substrat
lumpur berpasir. Dengan demikian tutupan
lamun di lokasi Pulau Sindu termasuk dalam
kategori jarang (0-25%) dengan lamun yang
berada dalam kondisi miskin (< 29,9%).
Gambar 33. Lokasi pengamatan Pulau Sindu (LMPS06)
(kiri) yang didominasi oleh lamun jenis
Enhalus acoroides (kanan).
72 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
g. Pesisir Pulau Sumatera 1 (LMPS07)
Lokasi ini berada di barat daya Pulau
Keramat. Hasil pengamatan di lokasi pesisir Pulau
Sumatera 1 (LMPS07) menunjukkan adanya
sebaran dua jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii (Gambar 34). Rerata
tutupan lamun berkisar antara 25-75% dengan
rerata total tutupan sebesar 17,36% (Tabel 16)
yang didominasi oleh Enhalus acoroides yang
tumbuh pada substrat pecahan karang. Dengan
demikian tutupan lamun di lokasi Pesisir Pulau
Sumatera 1 termasuk dalam kategori jarang (0-
25%) dengan lamun yang berada dalam kondisi
miskin (< 29,9%).
Gambar 34. Lokasi pengamatan Pesisir Pulau Sumatera 1
(LMPS07) (kiri) dengan didominasi oleh lamun
jenis Enhalus acoroides (kanan).
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
73
h. Pesisir Pulau Sumatera 2 (LMPS08)
Lokasi ini tepatnya berada di sebelah utara
dermaga feri. Hasil pengamatan di lokasi Pesisir
Pulau Sumatera 2 (LMPS08) menunjukkan adanya
sebaran tiga jenis lamun, yaitu Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii, Halodule uninervis (Gambar
35). Rerata tutupan lamun berkisar antara 25-
75% dengan rerata total tutupan sebesar 41,67%
(Tabel 16) yang didominasi oleh Halodule
uninervis yang tumbuh pada substrat lumpur
berpasir. Dengan demikian tutupan lamun di
lokasi Pesisir Pulau Sumatera 2 termasuk dalam
kategori cukup padat (26-50%) dengan lamun
yang berada dalam kondisi kurang kaya atau
kurang sehat (30-50%).
Gambar 35. Lokasi pengamatan Pesisir Pulau Sumatera 2
(LMPS08) (kiri) dengan didominasi oleh lamun
jenis Enhalus acoroides (kanan).
74 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
2. Tutupan Lamun
Tutupan lamun beserta dominansi jenis lamun
di setiap lokasi disajikan pada Tabel 17. Adapun
perubahan tutupan lamun pada tahun 2015, 2016
dan tahun 2017 disajikan pada Gambar 36.
Tabel 17. Tutupan dan dominansi jenis lamun di perairan
Bakauheni, Lampung Selatan
No. Lokasi/Pulau Stasiun
Rerata
Tutupan
Lamun (%)
Dominansi Jenis (%)
Ea Th Cr Hp Hu Ho Si
1. P. Tumpul Lunik LMPS01 13,75 9,58 1,67 2,50 0,00 0,00 0.00 0.00
2. P. Kramat LMPS02 35,94 3,13 8,85 8,85 0,00 0,00 2.08 13.02
3. P. Rimau Balak LMPS03 20,83 17,71 3,13 0,00 0,00 0,00 0.00 0.00
4. P. Kandang
Balak
LMPS04 5,56 0,00 5,56 0,00 0,00 0,00 0.00 0.00
5. P. Kandang
Balak
LMPS05 22,92 18,75 4,17 0,00 0,00 0,00 0.00 0.00
6. P. Sindu LMPS06 16,67 0,52 9,38 0,52 1,04 0,00 0.00 2.08
7. Pesisir Pulau
Sumatera 1
(Barat Daya P.
Keramat)
LMPS07 17,36 15,97 1,39 0,00 0,00 0,00 0.00 0.00
8. Pesisir Pulau
Sumatera 2
(Utara Dermaga
Fery)
LMPS08 41,67 8,33 8,33 0,00 0,00 25,00 0.00 0.00
Rata - Rata 21,84 9,25 5,31 1,48 0,13 3,13 0,26 1,89
STDEV 11,02
Keterangan:
Ea : Enhalus acoroides Hu : Halodule uninervis
Th : Thalassia hemprichii Ho : Halophilla ovalis
Cr : Cymodocea rotundata Si : Syringodium isoetifolium
Hp : Halodule pinifolia
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
75
Gambar 36. Tutupan lamun di perairan Bakauheni,
Lampung Selatan pada tahun 2015, 2016
dan tahun 2017
Secara keseluruhan, tutupan lamun di pesisir
Bakauheni pada tahun 2017 berkisar antara 5,56-
41,67% dengan tutupan rata-rata 21,84%. Nilai
tutupan ini menurun dibanding hasil pengamatan
tahun sebelumnya (2016) yaitu 32%. Jenis lamun
yang mendominasi di seluruh lokasi pengamatan
adalah jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus
acoroides. Lamun jenis tersebut ditemukan merata
hampir di seluruh lokasi pengamatan, kecuali jenis
Enhalus acoroides yang tidak ditemukan di lokasi
Pulau Kandang Balak (LMPS04). Kondisi rerata total
tutupan sebesar 21,84% dapat dikatakan bahwa
kondisinya miskin, sedangkan kategori tutupannya
0
10
20
30
40
50
60
LMP
S01
LMP
S02
LMP
S03
LMP
S04
LMP
S05
LMP
S06
LMP
S07
LMP
S08
Rer
ata
Tutu
pan
(%)
2015 2016 2017
76 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
termasuk dalam kategori jarang (0-25%). Kondisi
lamun di semua lokasi memperlihatkan kondisi yang
kurang baik dan menurun dibandingkan tahun lalu
karena adanya laju sedimentasi yang relatif tinggi
yang mengakibatkan perairan bersubstrat dasar
lumpur dan sangat keruh. Hal ini diduga karena
pada saat pengamatan dilakukan cuaca buruk
dengan arus dan gelombang yang kuat sehingga
menyebabkan teraduknya sedimen. Hal tersebut
juga mempengaruhi proses pengambilan data
beserta hasil foto yang diambil di setiap stasiun.
Selain itu pemanfaatan padang lamun
sebagai tempat lalu lintas jalur pelayaran (perahu
nelayan dan perahu pengangkut hasil ladang milik
petani jagung dan pisang) dikhawatirkan dapat
mengakibatkan penurunan nilai tutupan lamun di
perairan pesisir Bakauheni, Lampung Selatan. Untuk
itu diharapkan perlu adanya pengelolaan untuk
tata ruang yang lebih intensif dan terpadu untuk
terjaganya kelestarian ekosistem lamun di pesisir
Lampung Selatan.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
77
E. Mangrove
Perbandingan kondisi umum dari setiap stasiun
berdasarkan pengamatan tahun 2016 dengan 2017
yaitu:
1. LPGM01
Stasiun ini berada di Pulau Tumpul Lunik yang
berada berdekatan dengan keramba jaring apung
milik masyarakat lokal. Hal ini juga yang menjadi
salah satu faktor amannya stasiun dari gangguan
manusia yang dibuktikan dengan masih utuhnya
plat, tali serta cat semprot yang masih terlihat jelas
walaupun stasiun dekat dengan pemukiman.
Pengamatan di tahun 2017 masih mengikuti pola
gelaran dari tahun 2016 dengan total 6 (enam)
penggelaran plot di 2 (dua) kondisi yang berbeda
(Gambar 37). LPGM01A berada di sempadan
pantai sementara LPGM01B lebih naik kearah
daratan Pulau Tumpul Lunik.
Kondisi mangrove di stasiun ini (Gambar 38)
masih cukup baik dan tidak ada perbedaan begitu
mencolok dengan tahun sebelumnya. Mangrove
di sempadan pantai mampu tumbuh dan
berkembang yang dibuktikan dengan lepasnya
plat karena membesarnya batang ataupun tali
yang masuk kedalam batang karena batang yang
membesar. Hal ini dibuktikan dengan data
78 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
kerapatan disempadan pantai. Namun untuk yang
didarat terjadi penebangan di dalam plot sehingga
data kerapatan terlihat menurun walaupun tidak
signifikan.
Gambar 37. Ilustrasi posisi stasiun LPGM01 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
79
Gambar 38. Mangrove di Stasiun LPGM01
2. LPGM02
Stasiun terletak di Pulau Tepol yang berada di
selat antara mainland Pulau Sumatera dengan
Pulau Rimau Balak (Gambar 39). Mangrove yang
berada di Pulau Tepol (Gambar 40) merupakan
wilayah yang terus-menerus terancam erosi, yang
terlihat sejak pengamatan tahun 2016. Daratan di
pulau Tepol yang tidak terlindungi vegetasi
mangrove semakin terkikis. Hal ini terlihat jelas pada
sisi selatan pulau. Meskipun demikian, di dalam plot
penelitian yang berada di Pulau Tepol terjadi
regenerasi yang cukup baik. Sebagai contoh,
walaupun Pemphis acidula tertebang namun
anakannya menunjukkan perkembangan yang
baik walaupun belum dapat diukur karena belum
masuk kategori pohon. Begitu pula Bruguiera
gymnorrhiza masih dijumpai di stasiun ini. Xylocarpus
granatum terdapat di dalam plot penelitian yang
80 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
merupakan spesies yang tidak ditemukan didalam
plot penelitian di pulau lain.
Gambar 39. Ilustrasi posisi stasiun LPGM02 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
81
Gambar 40. Mangrove di Stasiun LPGM02
3. LPGM03
Stasiun ini berada di Pulau Rimau Balak bagian
barat (Gambar 41). Stasiun ini dekat dengan
pemukiman masyarakat yang ada di pulau.
Mangrove yang ada di stasiun ini merupkan
mangrove yang tingginya berkisar antara 3 – 6 m
dan memiliki lingkar batang yang kecil (Gambar
42). Hal inilah yang menjadi faktor meningkatnya
kerapatan distasiun ini karena tegakan yang di
tahun 2016 belum masuk kategori pohon tetapi di
tahun ini sudah masuk kategori pohon. Kerapatan
dan tutupan tajuk dari hasil pengamatan di tahun
2017 lebih tinggi dibandingkan tahun 2016. Hal ini
diharapkan mampu terus berlanjut agar mangrove
di stasiun ini tetap bisa tumbuh dan berkembang.
82 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 41. Ilustrasi posisi stasiun LPGM03 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Gambar 42. Mangrove di Stasiun LPGM03 yang
didominasi oleh mangrove anakan
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
83
4. LPGM04
Stasiun yang berada di sisi barat Pulau Rimau
Balak ini (Gambar 43) merupakan stasiun yang
dekat dengan perkebunan sawit dan plot transek
nya berada tepat di sebelah perkebunan sawit
Gambar 44). Kondisi mangrove yang berada dalam
plot berada di wilayah intertidal, relatif lebih aman
dibandingkan tumbuhan mangrove asosiasi yang
dijumpai tertebang karena adanya perkebunan ini.
Kondisi mangrove di stasiun ini terus tumbuh
dan berkembang, serta semakin banyak tegakan
yang masuk kategori pohon di pengamatan tahun
2017 sehingga meningkatkan nilai kerapatan.
Rhizophora mucronata merupakan spesies yang
mendominasi di LPGM04. Namun dari pengamatan
di lapangan, pertumbuhan semai diduga lebih sulit
karena kompetisi yang ketat. Minimnya substrat
untuk semai dapat tumbuh dan berkembang, serta
tebalnya kanopi karena mangrove semakin
membesar menyebabkan masuknya sinar matahari
menjadi minim. Hal ini diduga menjadi salah satu
faktor yang menghambat dalam proses tumbuh
kembang semai.
84 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 43. Ilustrasi posisi stasiun LPGM04 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Gambar 44. Mangrove di Stasiun LPGM04 yang
berdekatan dengan perkebunan sawit (kiri).
Mangrove jenis Rhizophora mucronata
mendominasi stasiun ini (kanan)
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
85
5. LPGM05
Stasiun yang berada di sisi utara Pulau Rimau
Balak (Gambar 45) merupakan salah satu stasiun
yang sangat baik bagi tumbuh kembang ekosistem
mangrove. Di stasiun ini, mangrove jenis Ceriops
tagal (Gambar 46) mampu tumbuh dan
berkembang serta melakukan penjarangan secara
alami. Di tahun 2016, pengamat lebih sulit untuk
masuk karena rapatnya vegetasi Ceriops tagal
dalam plot, namun di tahun 2017 Ceriops tagal
lebih mudah ditembus dan meningkatnya tegakan
yang masuk kategori pohon walaupun mayoritas
keliling batang antara 13 – 17 cm saja.
Gangguan manusia tampaknya jarang terjadi
di stasiun ini. Hal ini dibuktikan dengan tanda yang
masih utuh serta plat yang hampir terlepas karena
membesarnya batang dari tegakannya (Gambar
46). Pada stasiun ini dijumpai tegakan besar dari
spesies Rhizophora lamarckii yang masih utuh dan
tidak adanya tanda – tanda penebangan.
86 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 45. Ilustrasi posisi stasiun LPGM05 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Gambar 46. Mangrove di Stasiun LPGM05 yang
didominasi oleh jenis Ceriops tagal (kiri),
dan tanda plat yang hampir terlepas
karena karena pertumbuhan batang
(kanan)
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
87
6. LPGM06
Stasiun ini merupakan stasiun yang rentan
terhadap alih fungsi lahan dari ekosistem mangrove
menjadi kawasan industri. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, tidak jauh dari lokasi plot
(Gambar 47) terdapat perusahaan (Gambar 48)
yang berdiri sejak tahun 2016. Kegiatan
pengembangan perusahaan dengan reklamasi
masih dilakukan.
Seperti halnya di stasiun lainnya, kerapatan
mangrove naik dikarenakan terdapat tegakan
yang masuk kedalam kategori pohon karena
tumbuh dan berkembangnya tegakan tersebut.
Distasiun ini minim dari gangguan penebangan
oleh masyarakat walaupun stasiun ini berada di
daratan Pulau Sumatera, tepatnya Desa Kramat.
88 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 47. Ilustrasi posisi stasiun LPGM06 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Gambar 48. Mangrove di Stasiun LPGM06 (kiri), dan
kawasan industri yang berdekatan dengan
stasiun LPGM06 (kanan)
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
89
7. LPGM07
Ilkustrasi posisi stasiun LPGM07 ini ditampilkan
pada Gambar 49, sedangkan kondisi mangrove di
stasiun LPGM07 yang banyak didominasi oleh jenis
Ceriops tagal ditampilkan pada Gambar 50. Stasiun
yang berada di wilayah Desa Muara Bakau ini
merupakan stasiun yang rentan terhadap kegiatan
penebangan, sehingga nilai kerapatan turun di
tahun 2017. Umumnya, jenis mangrove yang
ditebang adalah Ceriops tagal. Meskipun demikian,
nilai tutupan mangrove tidak turun, karena pohon –
pohon besar tetap utuh dan tidak mengalami
penebangan. Bila regenerasi mangrove di stasiun
ini dapat berjalan baik dan tidak ada gangguan
maka kemungkinan vegetasi mangrove dapat
kembali dalam kondisi baik dengan ukuran pohon
yang besar.
90 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 49. Ilustrasi posisi stasiun LPGM07 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Gambar 50. Mangrove di Stasiun LPGM07 yang
didominasi oleh jenis Ceriops tagal
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
91
8. LPGM08
Stasiun LPGM08 berada di sisi selatan Pulau
Rimau Balak (Gambar 51). Pada saat pengamatan,
kondisi sedang pasang sehingga pengamat
lapangan harus berjalan di atas akar karena bila
berjalan di tanah maka akan tenggelam. Hal ini
bisa menjadi catatan untuk pengamatan di tahun
mendatang.
Kondisi ekosistem di stasiun ini baik (Gambar
52). Perbedaannya dengan stasiun lainnya adalah
banyaknya sampah yang dijumpai di wilayah ini.
Hal ini mungkin karena letaknya yang berada dekat
dengan pemukiman dan jalur pelayaran. Sampah –
sampah dari kegiatan masyarakat terbawa arus
hingga terkumpul di stasiun ini.
Dari pengamatan lapangan ditahun 2017,
terlihat regenerasi mangrove yang ada di stasiun ini
tidak begitu baik. Walaupun kerapatan naik namun
dikarenakan terdapat tegakan yang sudah masuk
dalam kategori pohon. Pada kategori semai ,
pertumbuhannya tidak begitu baik.
92 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 51. Ilustrasi posisi stasiun LPGM08 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Gambar 52. Mangrove di Stasiun LPGM08
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
93
9. LPGM09
Stasiun ini berada di Pulau Dua (Gambar 53)
yang lokasinya berada di dekat alur pelayaran
Bakauheni – Merak. Walaupun berada di dekat alur
pelayaran, vegetasi mangrove di stasiun ini relatif
aman dari hempasan gelombang karena
gelombang sudah pecah di area terumbu karang
sebelum sampai ke vegetasi mangrove (Gambar
54).
Pada stasiun ini terdapat mangrove yang mati
serta terjadi pelapukan. Sonneratia alba
merupakan salah satu spesies yang di tahun
sebelumnya ada di plot namun di tahun ini tegakan
sudah mati dan lapuk. Selain itu juga terdapat
beberapa tegakan Rhizophora mucronata yang
sudah lapuk dan kemungkinan kecil dapat
bertahan hidup.
94 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 53. Ilustrasi posisi stasiun LPGM09 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Gambar 54. Mangrove di Stasiun LPGM09 yang
berhadapan langsung dengan alur
pelayaran
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
95
10. LPGM10
Stasiun yang ada di Pulau Sindu (Gambar 55)
merupakan salah satu stasiun yang minim akan
gangguan manusia. Stasiun LPGM10 (gambar 56)
yang ditemukan Scyphiphora hydrophylacea
didalam plotnya serta mampu hidup dengan baik
sampai pengamatan di tahun 2017 yang ditahun
2016 terlihat daunnya gugur dan mengering.
Spesies lainnya juga mampu tumbuh dan
berkembang dengan baik.
Gambar 55. Ilustrasi posisi stasiun LPGM10 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
96 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 56. Mangrove di Stasiun LPGM10
11. LPGM11
Stasiun yang berada di sisi selatan Pulau
Kandang Balak (Gambar 57) merupakan stasiun
yang memiliki tegakan – tegakan dengan keliling
yang besar dibandingkan stasiun yang lain. Spesies
Rhizophora lamarckii merupakan spesies yang
mendominasi di stasiun ini. Hal ini yang
membuktikan bahwa mangrove yang semakin
besar maka akan semakin sedikit tegakan yang
ada di dalam plot. Walaupun kerapatan paling
rendah diantara stasiun lainnya bukan berarti
stasiun ini buruk, namun stasiun inilah yang dinilai
peneliti merupakan stasiun yang tergolong baik dan
alami dalam pertumbuhannya.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
97
Tidak adanya gangguan dari manusia serta
masih utuhnya setiap tanda yang ada menjadi hal
penting untuk tetap menjaga kealamian dari
vegetasi yang ada di plot serta vegetasi yang ada
disekitar plot agar mangrove yang ada di Pulau
Kandang Balak tetap terjaga.
Gambar 57. Ilustrasi posisi stasiun LPGM11 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
98 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Gambar 58. Mangrove di Stasiun LPGM11 dengan
penanda plat dan tali transek yang masih utuh
karena tidak adanya gangguan manusia.
12. LPGM12
Stasiun yang ada di utara Pulau Kandang
Balak menjadi stasiun yang menurut pengamat
lapangan merupakan stasiun dengan kompetisi
yang cukup tinggi. Sonneratia alba masih menjadi
spesies yang mati dan lapuk dalam plot. Hanya
tersisa beberapa tegakan yang mampu hidup
didalam plot sementara genus Rhizophoraceae
lainnnya yang lebih mendominasi. Walaupun dekat
dengan perkebunan warga tetapi wilayah ini masih
relatif aman dari gangguan. Tanda – tanda plot
serta transek permanen masih utuh dan dalam
kondisi yang baik.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
99
Gambar 59. Ilustrasi posisi stasiun LPGM12 dan pola
gelaran plot transek tahun 2017
Gambar 60. Mangrove di Stasiun LPGM12 yang
berdekatan dengan lokasi alih fungsi lahan
menjadi area perkebunan
100 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Hasil interpretasi analisis pixel foto hemispherical
photography yang dilakukan menunjukkan bahwa
seluruh kategori kerapatan persen tutupan ditemukan
di Kecamatan Bakauheni. Stasiun yang memiliki
tutupan tajuk paling tinggi berada di Desa Muara
Bakau yaitu stasiun LPGM07 (92,44 ± 1,38%).
Sementara itu, stasiun yang memiliki tutupan tajuk
terendah berada di Pulau Tepol yaitu di stasiun
LPGM02 (36,63 ± 24,01%). Kerapatan tutupan tajuk
tertinggi masih di stasiun LPGM07, namun untuk
kerapatan tajuk terendah yang sebelumnya di LPGM
08, di tahun 2017 di stasiun LPGM02. Kerapatan
tutupan tajuk yang paling dominan di Kecamatan
Bakauheni pada tahun 2016 adalah Sedang (50%-
75%) yang ditemukan di 8 (delapan) stasiun
sedangkan di tahun 2017 persebaran kategori lebih
merata dan tidak ada yang lebih dominan yaitu rapat
5 (lima) stasiun, sedang 5 (lima) stasiun dan jarang 2
stasiun. Perbandingan persentase tutupan tajuk antar
stasiun di Kecamatan Bakauheni dapat dilihat di
Gambar 61.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
101
Gambar 61. Peta persentase tutupan tajuk mangrove di
Kecamatan Bakauheni, Kabupaten
Lampung Selatan.
Untuk perbedaan persen tutupan antara tahun
2016 dan 2017 tidak terlalu signifikan. Seperti di stasiun
LPGM02, status dari Sedang menjadi Jarang ataupun
seperti di stasiun LPGM11 dari status Sedang menjadi
Padat. Hal ini bisa dikarenakan perbedaan sudut
pengambilan gambar yang berbeda namun hal ini
tidak menjadi perbedaan yg mencolok seperti tidak
adanya status yang berubah seperti status Jarang
menjadi Padat ataupun sebaliknya. Selain itu, selisih
nilai perbedaan naik turunnya kategori juga tidak
terlalu besar. Untuk kategori dari sedang menjadi
102 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
padat bisa dikarenakan pertumbuhan mangrove itu
sendiri, sementara untuk kategori yang turun dapat
dikarenakan pengurangan tutupan karena
penjarangan alami oleh mangrove itu sendiri
sehingga tegakan lain ada yang mati ataupun
karena penebangan oleh manusia.
Hampir seluruh stasiun ditemukan spesies dari
genus Rhizophoraceae. Stasiun dengan jenis paling
banyak yang ditemukan di dalam transek berada di
Pulau Kramat (LPGM 01) dan stasiun dengan jenis
paling sedikit didalam transek berada di Pulau Rimau
Balak (LPGM04). Jumlah jenis di setiap stasiun di
jabarkan di Tabel 18. Terdapat nilai yang naik dan
turun tentang julah jenis yang ditemukan. Contohnya
di stasiun LPGM02 dan LPGM11 spesies yang
ditemukan bertambah, hal ini sebenarnya bukan
spesies baru yang ditemukan tetapi spesies tersebut
sudah ada dari tahun sebelumnya tetapi pada tahun
lalu lingkar batang belum bisa masuk kategori untuk
pengukuran.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
103
Pengambilan foto tutupan
mangrove
Pengukuran keliling batang dari
setiap tegakan mangrove dalam
plot
Sisa batang yang ditebang oleh
masyarakat
Kondisi salah satu plot pengambilan
data
Gambar 62. Foto pengambilan data dan kondisi
lapangan di Kecamatan Bakauheni,
Kabupaten Lampung, Selatan.
Untuk mengurangnya spesies yang ada didalam
plot terdapat dua kasus yang berbeda. Di stasiun
LPGM06 pengurangan spesies dikarenakan masih
adanya kegiatan penebangan serta perbaikan data
dalam identifikasi. Sedangkan di LPGM09 yang jumlah
104 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
spesiesnya berkurang, hal ini dikarenakan terjadi
kompetisi antar tegakan dalam bertahan hidup,
sehingga mangrove yang tidak mampu bertahan
akan mati. Salah satu spesies yang mati yaitu
Sonneratia alba walaupun sudah memiliki batang
yang besar namun tidak mampu bertahan. Mangrove
yang ada di Kecamatan Bakauheni merupakan
mangrove yang tumbuh secara alami tanpa bantuan
manusia, hal ini diperkuat dari keterangan masyarakat
setempat bahwa belum ada kegiatan penanaman
yang dilakukan di Kecamatan Bakauheni, sehingga
dapat disimpulkan bahwa mangrove yang ada di
Kecamatan Bakauheni masih alami.
Berdasarkan Tabel 19 terlihat perbedaan
kerapatan antara pengamatan tahun 2015 dengan
tahun 2016. Kembali, hal ini harus dilakukan
pertemuan antara kedua tim di masing – masing
tahun guna menyelaraskan data. Di tahun 2016
terlihat di semua stasiun kerapatannya lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil pengamatan di tahun
2015. Spesies yang memiliki Indeks Nilai Penting tiap
stasiun juga ada perbedaan antara tahun 2015 dan
2016 namun ada juga kesamaan seperti di stasiun
LPGM05 dan LPGM07 yang INP tertinggi dan terendah
dengan spesies yang sama.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan 105
Tabel 18. Jumlah Jenis, Persentase Tutupan Tajuk dan Status Komunitas Mangrove di Kecamatan
Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan.
Stasiun Lokasi
Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017
Jumlah
Jenis
% Cover Status Jumlah
Jenis
% Cover Status Jumlah
Jenis
% Cover Status
LPGM 01 P. Kramat 5 56,42± 27,22 Sedang 7 66,57 ± 15,82 Sedang 7 61,87 ± 18,69 Sedang
LPGM 02 P. Tumpul Lunik 3 43,35± 27,09 Jarang 5 51,83 ± 29,29 Sedang 6 36,63 ± 24,01 Jarang
LPGM 03 P. Rimau Balak 4 56,99± 27,99 Sedang 3 57,31 ± 24,91 Sedang 3 57,41 ± 26,81 Sedang
LPGM 04 P. Rimau Balak 4 70,27± 20,28 Sedang 2 67,72 ± 18,59 Sedang 2 78,55 ± 9,59 Padat
LPGM 05 P. Rimau Balak 4 40,50± 35,86 Jarang 4 68,03 ± 24,79 Sedang 4 59,06 ± 27,58 Sedang
LPGM 06 Desa Kramat 4 83,43± 12,18 Padat 5 81,67 ± 12,37 Padat 4 78,34 ± 7,18 Padat
LPGM 07 Desa Muara Bakau 3 90,83± 5,80 Padat 3 86,93 ± 3,18 Padat 3 92,44 ± 1,38 Padat
LPGM 08 P. Rimau Balak 6 50,48± 31,00 Sedang 5 41,92 ± 27,79 Jarang 5 47,46 ± 29,22 Jarang
LPGM 09 P. Dua Balak 6 60,93± 18,62 Sedang 6 54,81 ± 18,08 Sedang 4 55,59 ± 17,54 Sedang
LPGM 10 P. Sindu 7 69,48± 18,40 Sedang 4 73,31 ± 8,31 Sedang 4 77,83 ± 8,77 Padat
LPGM 11 P. Kandang 4 73,16± 16,64 Sedang 5 74,32 ± 11,90 Sedang 6 81,26 ± 10,10 Padat
LPGM 12 P. Kandang 6 75,70± 17,44 Padat 5 66,39 ± 23,85 Sedang 5 70,53 ± 21,73 Sedang
106 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Tabel 19. Kerapatan dan Indeks Nilai Penting (INP) setiap stasiun di Kecamatan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan di Tahun 2015 dan 2016.
Stasiun Lokasi
Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017
Kerapatan
(Ind/Ha)
INP Kerapatan
(Ind/Ha)
INP Kerapatan
(Ind/Ha)
INP
Min Max Min Max Min Max
LPGM 01 P. Kramat 700 ± 337 PA: 34.84% RL: 99.22% 2167±709 LR: 12,98% RM: 188,84% 3433±961 LR: 11.95% RL: 177.73%
1633±493 LR: 14,05% RL: 177,81% 1533±569 LR: 15.78% RL: 186.42%
LPGM 02 P. Tumpul Lunik 1667 ± 351 BG: 43.48% RS: 194.52% 1700±779 RA: 11,02% RM: 191,43% 2250±975 XG: 10.64% RL: 156.50%
LPGM 03 P. Rimau Balak 1467 ± 289 RS: 42.62% BG: 137.38% 2967±757 RA: 49,65% RM: 156,59% 3433±1050 RA: 25.15% RM: 179.84%
LPGM 04 P. Rimau Balak 2500 ± 985 RM:17.99% RS: 188.71% 2467±1012 RA: 123,26% RM: 176,74% 3400±854 RA: 96.13% RM: 203.87%
LPGM 05 P. Rimau Balak 2033 ± 208 EA: 25.14% RA: 157.33% 1900±1100 EA: 21,80% RA: 154,09% 2567±1021 RM: 17.93% RA: 156.29%
LPGM 06 Desa Kramat 1300 ± 100 BG: 17.81% RA: 181.37% 1850±238 BG: 9,62% RL: 102,29% 2750±733 BG: 9.43% RL: 128.91%
LPGM 07 Desa Muara Bakau 2467 ± 950 XG: 50.68% RA: 159.80% 2300±529 XG: 31,87% RA: 176,29% 2133±737 XG: 16.03% RA: 185.15%
LPGM 08 P. Rimau Balak 1933 ± 929 EA: 12.72% RL: 104.78% 1533±751 EA: 12,55% RA: 123,64% 2233±751 EA: 12.45% RA: 85.11%
LPGM 09 P. Dua Balak 3333 ± 503 RS: 9.22% RA: 129.07% 3233±1007 BG: 11,10% RM: 145,16% 3700±1300 RA: 31.53% RM: 156.20%
LPGM 10 P. Sindu 2333 ± 321 XG: 12.74% RS: 121.74% 2367±153 PA: 31,26% RM: 182,04% 3067±666 BG: 25.46% RM: 191.92%
LPGM 11 P. Kandang 900 ± 400 CT: 18.86% RL: 188.84% 1267±451 RL: 15,11% RM: 137,07% 1567±551 CT: 14.50% RL: 168.00%
LPGM 12 P. Kandang 2233 ± 503 LL: 10.48% RA: 88.90% 2300± 1054 CT: 23,09% RA: 106,14% 3067±208 RM: 15.22% RA: 122.35%
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
107
Gambar 63. Grafik perbandingan persen cover
mangrove di Kecamatan Bakauheni,
Lampung Selatan dari tahun 2015 – 2017
Gambar 64. Grafik perbandingan kerapatan mangrove di
Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan
dari tahun 2015 – 2017
0
1000
2000
3000
4000
LP
GM
01A
LP
GM
01B
LP
GM
02
LP
GM
03
LP
GM
04
LP
GM
05
LP
GM
06
LP
GM
07
LP
GM
08
LP
GM
09
LP
GM
10
LP
GM
11
LP
GM
12
Kerapatan
2015 2016 2017
108 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Grafik perbandingan kerapatan mangrove
diatas menunjukan peningkatan nilai kerapatan dari
tahun 2015 hingga 2017. Dari 12 stasiun pengamatan
terdapat 2 stasiun yang mengalami sedikit penurunan
yaitu LPGM07 (Desa Keramat). Hal ini disebabkan
masih terdapat penebangan mangrove oleh
masyarakat dan stasiun ini pula yang merupakan
stasiun terdekat dengan pemukiman (gambar xf).
Pada penelitian kali ini kerapatan mangrove tertinggi
terdapat pada LPGM09 dengan nilai kerapatan
sebesar 3700 ind/ha sedangkan kerapatan terendah
terdapat pada stasiun LPGM01B yaitu 1533 ind/ha.
Rhizophora lamarckii merupakan spesies yang
mendominasi di Kecamatan Bakauheni, Lampung
Selatan yang ditemukan di 5 (lima) stasiun dengan
memiliki Indeks Nilai Penting tertinggi. Hasil
pengamatan menunukkan bahwa mangrove yang
ada di Kecamatan Bakauheni mampu tumbuh dan
berkembang secara optimal. Hal ini dibuktikan
dengan plat yang lepas dari batang yang
dikarenakan batang semakin membesar.
Pengambilan data kali ini dilakukan pada saat musim
berbunga dan berbuah (Gambar 65), berbeda
halnya pada tahun 2016 belum ada bunga pada
saat pengambilan data. Pengidentifikasian yang
dilakukan pada saat musim berbunga dan berbuah
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
109
memudahkan pengamat dalam mengidentifiasi
spesies mangrove.
Gambar 65. Penebangan dilokasi LPGM 07 (kiri); Spesies
mangrove Ceriops tagal pada musim
bunga dan buah (kanan).
Hasil pengamatan tipe substrat yang ada
dilokasi penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak
ada perubahan subtrat antara pengamatan tahun
2016 dengan tahun 2017. Tipe subtrat disetiap stasiun
juga mempengaruhi jenis mangrove yang mampu
hidup di stasiun tersebut. Seperti di Desa Muara Bakau
(LPGM07 tipe substrat yang ada di stasiun tersebut
merupakan tipe lumpuran. Sementara itu, jenis
mangrove yang mendominasi distasiun tersebut
adalah Rhizophora apiculata yang disusul dengan
Ceriops tagal, karena kedua jenis ini memang sangat
baik apabila hidup disubstrat lumpuran.Sementara
untuk stasiun lain dengan tipe substrat yang berbeda
seperti pasir lumpuran, spesies yang mampu tumbuh
juga berbeda seperti Pemphis acidula ataupun
110 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Xylocarpus granatum. Tipe setiap substrat yang ada di
Kecamatan Bakauheni di jelaskan di Tabel 20.
Tabel 20. Tipe substrat pantai di setiap stasiun
pemantauan kondisi kesehatan komunitas
mangrove di Kecamatan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan.
No Lokasi Stasiun Tipe Substrat
1 Pulau Kramat LPGM 01 Pasir Lumpuran
2 Pulau Tumpul Lunik LPGM 02 Pasir
3 Pulau Rimau Balak LPGM 03 Lumpuran
4 Pulau Rimau Balak LPGM 04 Lumpuran
5 Pulau Rimau Balak LPGM 05 Lumpuran
6 Desa Kramat LPGM 06 Lumpuran
7 Desa Muara Bakau LPGM 07 Lumpuran
8 Pulau Rimau Balak LPGM 08 Lumpuran
9 Pulau Dua Balak LPGM 09 Lumpuran
10 Pulau Sindu LPGM 10 Pasir Lumpuran
11 Pulau Kandang LPGM 11 Pasir Lumpuran
12 Pulau Kandang LPGM 12 Lumpuran
Kendala – kendala di lapangan sudah mampu
diatasi oleh tim, karena di pengamatan tahun
sebelumnya tim telah membuat sketsa transek. Pada
tahun 2017 tim hanya melakukan perawatan tanda
berupa pemasangan plat yang lepas, pemberian cat
ulang serta penggelatan transek permanen yang
baru (Gambar 65). Diharapkan dengan dilakukan
perawatan ini, tanda masih jelas sampai ada
pengamatan ditahun selanjutnya.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
111
Penebalan tanda plot menggunakan
cat semprot
Perawatan plat yang digunakan
sebagai tanda untuk plot
Kondisi plot awal sebelum ada
perbaikan dan penyemprotan ulang
Kondisi plat setelah dilakukan
pengecatan ulang, penggelaran tali
serta perabaikan plat
Gambar 65. Perawatan yang dilakukan oleh tim guna
memperjelas tanda kembali untuk
penelitian mendatang
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
113
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum kondisi terumbu karang di perairan
Bakauheni, Kabupaten lampung Selatan dan
sekitarnya berada dalam kondisi “sedang”, dengan
rerata tutupan karang hidup sebesar 30,07% dengan
kesalahan baku (SE) 7,50%. Hasil analisis statistik
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tutupan
karang antara tahun 2015, 2016 dan 2017.
2. Hasil sensus visual pada 10 stasiun penelitian
menemukan 36 jenis ikan karang dengan total ikan
karang sebanyak 367 individu yang terdiri dari ikan
indikator (koralivora) sebanyak 9 jenis dengan total
146 individu, ikan target kelompok herbivora sebanyak
15 jenis dengan total 169 individu, dan ikan target
kelompok karnivora sebanyak 12 jenis dengan total 52
individu. Nilai kelimpahan yang diperoleh pada tahun
2017 relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang
diperoleh tahun 2016. Meskipun demikian, pada nilai
rerata biomassa ikan target per stasiun pada tahun
2017 lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2015
maupun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa rerata ikan
114 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
yang disensus pada tahun 2017 berukuran relatif lebih
besar.
3. Berdasarkan pengamatan terhadap delapan
megabentos yang berasosiasi dengan ekosistem
terumbu karang di 10 stasiun, Siput Drupella
mendominasi megabentos lainnya yaitu 46% (5
individu), sedangkan teripang ditemukan 9% (1
individu), kerang kima 18% (2 individu), Acanthaster
planci 18% (2 individu), dan bulu babi 9% (1 individu).
4. Tutupan lamun di pesisir Bakauheni berkisar antara
5,556-41,667% dengan tutupan rata-rata 21,836%. Nilai
tutupan ini menurun dibanding hasil pengamatan
tahun sebelumnya (2016) yaitu 32%. Jenis lamun yang
mendominasi di seluruh lokasi pengamatan adalah
jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides.
Lamun jenis tersebut ditemukan merata hampir di
seluruh lokasi pengamatan, kecuali jenis Enhalus
acoroides yang tidak ditemukan di lokasi Pulau
Kandang Balak (LMPS04).
5. Hampir seluruh stasiun ditemukan spesies mangrove
dari genus Rhizophoraceae. Nilai kerapatan
mangrove menunjukan peningkatan dari tahun 2015
hingga 2017. Dari 12 stasiun pengamatan terdapat 2
stasiun yang mengalami sedikit penurunan yaitu LPGM
07 (Desa Keramat). Hal ini disebabkan masih terdapat
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
115
penebangan mangrove oleh masyarakat dan stasiun
ini pula yang merupakan stasiun terdekat dengan
pemukiman.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
117
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G.R., Steene, R., Humann, P. & Deloach, N. 2009.
Reef Fish Identification, Tropical Pacific. New World
Publications, Inc. El Cajon CA. 480 pp.
Dharmawan, I.W.E. dan Pramudji. 2014. Panduan
Monitoring Kesehatan Ekosistem Mangrove.
COREMAP-CTI, P2O LIPI. Jakarta. 35pp
Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L. Scholten. 2006.
Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO
and Wetlands International. Bangkok.
Giyanto; B.H. Iskandar; D. Soedharma and Suharsono.
2010. Effisiensi dan akurasi pada proses analisis
foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu
karang. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia
36 (1): 111-130.
Giyanto. 2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak
antar pemotretan pada penggunaan metode
transek foto bawah air. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia 38 (1): 1-18.
Giyanto. 2012b. Penilaian kondisi terumbu karang dengan
metode transek foto bawah air. Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia 38 (3):377-389.
118 Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
Giyanto, 2013. Metode transek foto bawah air untuk
penilaian kondisi terumbu karang. Oseana XXXVIII
(1): 47-61.
Giyanto; A.E.W. Manuputty; M. Abrar; R.M. Siringoringo; S.R.
Suharti; K. Wibowo; I.N. Edrus; U.Y. Arbi; H.A.W.
Cappenberg; H.F. Sihaloho; Y. Tuti and D.
Zulfianita, 2014. Panduan Monitoring Kesehatan
Terumbu Karang: Terumbu Karang, Ikan Karang,
Mega bentos dan Penulisan Laporan. CRITC
COREMAP-CTI LIPI, Jakarta, 77p
Gomez, E.D. and H.T. Yap. 1984. Monitoring Reef
Condition. In: R.A. Kenchington, R.A. & B.E.T.
Hudson (Eds). Coral Reef Management
Handbook. Unesco Publisher, Jakarta, 171p.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201
tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan Mangrove.
Kohler, K.E and M. Gill. 2006. Coral Point Count with Excel
extensions (CPCe): a visual basic program for the
determination of coral and substrate coverage
using random point count methodology. Comput
Geosci 32(9):1259-1269.
Giyanto, et. al., 2017
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Perairan Bakauheni,
Kabupaten Lampung Selatan
119
Kuiter, R.H. and H. Debelius. 1994. Souteast Asia Tropical
Fish Guide. IKAN-Unterwasseerarchiv, Frankfurt.
321 pp.
Noor, Y.R., M. Khazali & I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor:
PHKA/Wi-IP.
Rahmawati, S; A. Irawan; I.H. Supriyadi; M.H. Azkab.2014.
Panduan Monitoring Padang Lamun.COREMAP-
CTI .Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Monitoring Kesehatan Terumbu Karang
dan Ekosistem Terkait
di Perairan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan
2017
COREMAP-CTI
Pusat Penelitian Oseanografi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia