modul pelatihan - komnasperempuan.go.id dan pedoman... · modul pelatihan menumbuhkan sensitivitas...
TRANSCRIPT
Modul PelatihanMenumbuhkan Sensitivitas Hak Asasi Manusia dan Gender Bagi Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum
© Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
Tim Penulis (Berdasarkan Abjad):Asmaul Khusnaeny, Danielle Samsoeri, Ema Mukarramah, Irawati Harsono, Kunthi Tridewiyanti, Ninik Rahayu, Tumbu Saraswati, Yulianti Muthmainnah
Tim Perumus (Berdasarkan Lembaga):• Ekawati Kristianingsih dan Yundini Husni (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian)• Rakhmat B. Taufani (Badan Diklat Kejaksaan)• Panji Widagdo (Pusdiklat Mahkamah Agung)• Ritamowoka Rusifien (Asosiasi Advokat Indonesia)• Achie Luhulima (Convention Watch & APPHGI)• Sjamsiah Achmad (Komisioner Komnas Perempuan Periode 2003-2006 dan 2007-2009)• Asmaul Khusnaeny, Danielle Samsoeri, Ema Mukarramah, Kunthi Tridewiyanti, Ninik
Rahayu, Tumbu Saraswati, Yulianti Muthmainnah (Komnas Perempuan)• Irawati Harsono (DERAP Warapsari, Komisioner Komnas Perempuan Periode 2003-
2006)• Taty Krisnawati (Komisioner Komnas Peremuan Periode 2003-2006)• Ani Purwanti, SH. MH (Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender
se Indonesia)
Penyunting:• Kunthi Tridewiyanti• Irawati Harsono
ISBN: 978-979-26-7562-7
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap PerempuanJl. Latuharhari No. 4B, Jakarta 10310Telp. 021-3903963Fax. [email protected]://www.komnasperempuan.or.id
Komnas Perempuan adalah pemegang hak cipta atas dokumen ini. Sebagian atau semua bagian dari modul ini dapat digandakan atau dipergunakan untuk kepentingan pendidikan publik atau advokasi kebijakan untuk memajukan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan dan upaya menghapuskan diskriminasi, khususnya perempuan. Dalam menggunakannya, mohon menyebutkan sumber dan menginformasikan kepada Komnas Perempuan.
Program Penguatan Penegak Hukum (PPH) ini diselenggarakan atas dukungan dan kerjasama Komnas Perempuan dengan UNFPA dan AuSAID. Pendapat yang diungkapkan dalam modul ini sepenuhnya tanggung jawab Tim Penyusun Modul.
ucapan terima kasih
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan(Komnas Perempuan)
Mengucapkan terimakasih atas kerjasama yang baik dengan pihak-pihak, yaitu:
• Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia
• Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia
• Lembaga Pendidikan Kepolisian Indonesia
• Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
• Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperpektif Gender se Indonesia (APPHGI)
iv
DAFTAR ISI
Daftar Isi .................................................................................................................................. iv
Sambutan Ketua Komnas Perempuan ................................................................................ vi
Pengantar ................................................................................................................................ x
Tentang Modul Pelatihan ..................................................................................................... xii
ModUL
Modul I. Orientasi Pelatihan ........................................................................................ 1
Modul II. Menumbuhkan Sensitivitas Hak Asasi Manusia dan Gender .............. 7
Modul III. Pilar Hukum di Indonesia ......................................................................... 21
Modul IV. Rencana Tindak Lanjut dan Evaluasi ...................................................... 31
BAHAN BAcAAN
ModUL II
Seks, Gender dan Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender .................................. 37
Hak Asasi Manusia dan Gender ........................................................................... 44
Kekerasan Terhadap Perempuan (KtP) sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia .............................................................................................................. 68
Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (KtP) .................................. 76
Sekilas Tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ............................................................................................................... 82
Kekerasan Psikis sebagai Salah Satu Bentuk dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga ............................................................................................................... 92
Faktor Penyebab dan Pelestari Kekerasan Terhadap Perempuan ................... 102
ModUL III
Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT - PKKTP) ......................................................... 108
ModUL IV
Rencana Tindak Lanjut ........................................................................................... 114
v
LeMBAr KerjA
Lembar Kerja – Modul II: Sesi 5 (Studi Kasus KDRT 1,2,3) ...................................... 118
Lembar Kerja – Modul II: Sesi 6 (Studi Kasus Kasus Sinta) .................................... 122
Lembar Kerja – Modul III: Sesi 1A .............................................................................. 124
Lembar Kerja – Modul III: Sesi 1B (3 kasus) .............................................................. 125
Lembar Kerja – Modul III: Sesi 1C ............................................................................... 126
Lembar Kerja – Modul IV: Sesi 2 .................................................................................. 127
Lembar Kerja Awal Pelatihan dan Modul IV Sesi 3: Pre Test dan Post Test ........ 128
Glosari ...................................................................................................................................... 132
Daftar Pustaka ........................................................................................................................ 149
Profil Lembaga
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) 152
Mahkamah Agung Republik Indonesia ...................................................................... 154
Kepolisian Negata Republik Indonesia ....................................................................... 155
Kejaksaan Republik Indonesia ...................................................................................... 158
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ............................................................. 159
Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se Indonesia ........ 161
Ucapan Terima Kasih Kepada Tim Diskusi Modul .......................................................... 163
vi
SAMBUTAN KETUA KOMNAS PEREMPUAN
Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2011 mencatat data jumlah perempuan korban kekerasan sepanjang tahun 2010 sebanyak 105.103 orang. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan jumlah korban tahun sebelumnya
(2009). Namun demikian, turunnya angka kekerasan ini tidak dapat diartikan bahwa kekerasan terhadap perempuan berkurang. Sejumlah faktor ditengarai menjadi kendala, yaitu: keterbatasan SDM (dalam hal keterampilan pendataan dan pergantian – turnover yang cepat), keterbatasan fasilitas yang menunjang pendokumentasian, keterbatasan pemahaman mengisi format pendataan, pendanaan yang mendukung pendokumentasian kasus, dan keengganan korban dicatat kasusnya (karena kekhawatiran dan ketakutan akan adanya stigma atau tanggapan negatif dari masyarakat).
Temuan-temuan tersebut belum mewakili keseluruhan keadaan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Salah satu argumennya adalah banyak perempuan yang menjadi korban dari kekerasan dan ketidakadilan itu merasa tidak ingin melaporkan kasusnya ke institusi yang berwenang dengan berbagai alasan seperti rasa malu akan aib, menghindari pandangan miring masyarakat terhadap dirinya, dan ketidaktahuan akan hukum (‘buta hukum’).
Di sisi lain, data tersebut di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa pada akhirnya perempuan korban memilih untuk mencari keadilan daripada bertahan dalam ketidakadilan. Pertanyaan substansi, kenapa perempuan menjadi lebih berani? Harus kita apresiasi bahwa ada proses yang menggeliat dimana payung hukum seperti adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, cukup membuat perempuan merasa ada hukum tempat bergantung, ada mekanisme keadilan yang lebih bisa terakses dan lebih jauh lagi, pasti ada keyakinan atau harapan bahwa aparat penegak hukum termasuk yang hadir disini mulai punya kepedulian dan keberpihakan terhadap korban yang rentan, dalam hal ini adalah perempuan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan sebagai salah satu dari lembaga negara yang independen, berdasarkan salah satu mandatnya adalah untuk membangun kemitraan yang strategis dengan institusi-institusi penegak hukum, lembaga pemerintah dan lembaga publik lainnya yang mempunyai wilayah kerja atau jurisdiksi yang sejenis untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan memastikan ketersediaan akses perempuan terhadap keadilan (khususnya perempuan korban).
Untuk menterjemahkan mandat tersebut, Komnas Perempuan dengan bekerjasama dengan masing-masing lembaga Penegak Hukum: Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, organisasi Advokat dan akademisi, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003 hingga saat ini dengan semangat dasar untuk
vii
membentuk sebuah mekanisme tentang penanganan terhadap kasus-kasus KtP, yang terejawantah salah satunya dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT – PKKTP).
KOMNAS Perempuan melakukan berbagai upaya untuk bersinergi dengan lembaga strategis lain antara lain sejak tahun 2003 dengan Derap Warapsari, LBH Apik dan Pusat Kajian Wanita dan Jender, UI yang telah melahirkan beberapa hal:
1. Kerjasama dengan Kepolisian, dalam fokus utama untuk mendorong lahirnya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), yang dilengkapi dengan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan ingin memastikan agar UPPA berada dalam Struktur Organisasi Kepolisian sebagaimana dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Lingkungan Polri serta Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana dan mendorong terintegrasinya materi Hak Asasi Manusia dan Gender.
2. Kerjasama dengan Kejaksaan Agung, dalam fokus utama untuk turut mendorong menguatnya fungsi dan peran aktif gender focal point sebagai bagian dari Pengarusutamaan Gender (PUG), dan melakukan penguatan terhadap Jaksa Penuntut Umum untuk mempunyai perspektif tentang perempuan.
3. Kerjasama dengan Mahkamah Agung, dalam fokus utama untuk membangun perspektif gender bagi para hakim, khususnya pemahaman tentang penanganan Kekerasan terhadap Perempuan baik hakim di lingkungan Peradilan Umum dan Pengadilan Agama.
Hasil dari kerja keras dengan berbagai elemen tersebut dapat dicatat sebagai langkah positif, antara lain:
1. Proses bolak-balik perkara (antara pihak Penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum), sekarang sudah terbangun koordinasi di antara para APH (khususnya pihak Penyidik dan JPU);
2. Rencana Penuntutan/Rentut dari pihak Kejaksaan, sekarang penyidik sudah bisa punya kajian singkat tentang kasus yang sedang dialami oleh pihak perempuan korban. Di samping juga sudah bisa memunculkan beberapa aturan hukum yang Pro-Perempuan;
3. Hak-hak Korban Perempuan terabaikan (seperti: tidak adanya Pendamping dan ruang khusus untuk pemeriksaan perkara), sekarang Hak-hak Perempuan Korban mulai terpenuhi;
4. Sanksi yang dijatuhkan tidak maksimal/hanya hukuman percobaan bagi pelaku, sekarang sanksi yang dijatuhkan maksimal/sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan korban.
Rangkaian panjang perjuangan bersama untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung. Untuk itu kami, tetap memandang strategis melakukan program-program ini:
1. Pelatihan tentang ‘Penanganan terhadap Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum’ bagi para Aparat Penegak Hukum;
Sambutan Ketua Komnas Perempuan
viii
2. Menyusun Modul Pelatihan tentang ‘Penanganan terhadap Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum’ bagi para Aparat Penegak Hukum.
Kami mengakui bahwa program pelatihan untuk APH sudah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga lain dengan sudut pandang penekanan yang berbeda-beda, misalnya ada yang mencoba mendekatkan akses perempuan miskin terhadap keadilan dengan dibentuknya pengadilan keliling, pro-aktif dan jemput bola. Atau juga dengan melatih paralegal komunitas, dimana perjuangan keadilan tidak menjadi milik ahli hukum, sebuah proses negosiasi dan dekonstruksi elitisme akses keadilan. Ada juga perjuangan melalui pendokumentasian terobosan-terobosan yang dilakukan APH, khususnya hakim yang pro terhadap korban. Misalnya memperbolehkan adanya pendamping korban ke dalam peradilan dan memastikan proses penegakan hukum yang ramah pada perempuan terutama korban kekerasan.
Berbasis peta penguatan APH, kami melihat bahwa masih banyak wilayah di luar Jawa yang tingkat kekerasan masih sangat tinggi, akan tetapi organisasi perempuan masih sedikit dan penanganan kekerasan terhadap perempuan masih minim. Oleh sebab itu, dengan memperhitungkan sebaran geografis menjadi penting, maka Sub Komisi Reformasi Hukum dan kebijakan (Subkom RHK) Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah menyelenggarakan pelatihan di Pontianak yang mengundang APH dari berbagai wilayah di Kalimantan pada bulan April 2010, dan disusul dengan pelatihan lanjutan di Indonesia Timur dengan pada Bulan Mei 2010 dengan mengundang APH dari wilayah Bali, Papua, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara.
Pada kesempatan ini, kami menyelenggarakan pelatihan di Jakarta dengan peserta Indonesia dari daerah yang dipilih atas angka KtP tinggi, kesempatan peserta untuk memperoleh pelatihan masih kurang, dan APH (Polisi, Jaksa, dan Hakim) dari daerah yang sama, sehingga peserta yang mewakili wilayah Indonesia. Wilayah Bagian Timur diwakili oleh Sulawesi Tengah, Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Wilayah Indonesia Bagian Barat diwakili oleh Derah Khusus Ibukota Jakarta, Batam, Bengkulu, Riau.
Refleksi dari pelatihan sebelumnya, Komnas Perempuan mendapat masukan dan refleksi untuk perbaikan kerja-kerja ke depan. Misalnya:
1. Materi Pelatihan: bahwa kebanyakan dari para peserta pelatihan merasa puas dan cukup terbantu dengan/materi-materi/pelatihan yang disampaikan tersebut (selama pelatihan). Tapi, bahan bacaan harus dikemas lebih sistematis lagi agar dapat mempermudah para peserta untuk membacanya;
2. Proses Pelaksanaan Pelatihan: waktu pelatihan sangat terbatas, sehingga terkesan terburu-buru dalam penyampaian materi pelatihan;
Rantai berikutnya, pengembangan modul ini akan lebih mengintegrasikan kebutuhan APH dan memperkuat jalinan kerjasama secara intensif dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah dijalan selama ini. Kita berharap modul ini bisa terinstitusionalisasi dan diadopsi ke dalam kurikulum pendidikan/pelatihan dimasing-masing lembaga mitra kelak.
Kami berharap pelatihan ini juga merupakan bagian dari cita-cita kita untuk membangun kemitraan yang strategis antara Komnas Perempuan sebagai sebuah
ix
Lembaga Negara yang independen bekerjasama dengan lembaga Penegak Hukum (Kepolisian: Lembaga Pendidikan Kepolisian/Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Sespolwan/Akademi Kepolisian, Kejaksaan: Badan Diklat Kejaksaan, Mahkamah Agung Republik Indonesia: Pusdiklat MARI, Perhimpunan Advokat Indonesia dan akademisi (Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Se Indonesia).
Ke depan diharapkan akan berlanjut upaya-upaya kerjasama dari langkah-langkah sebelumnya, yaitu:
1. Advokasi Kebijakan Hukum: Adanya komitmen dari masing-masing pimpinan tertinggi di lembaga penegak hukum, yang dengan komitmen tersebut menjadi modal untuk menstimulasi lahirnya kebijakan hukum oleh lembaga penegak hukum. Misalnya SEMA dan PERMA tentang Pendamping yang sekarang telah berada di tangan Mahkamah Agung, selain itu juga advokasi Kebijakan terkait dengan Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Menerbitkan buku-buku strategis, seperti “Panduan Pemantauan Peradilan”. Tujuannya: untuk melakukan pemantauan peradilan demi mendorong terciptanya proses peradilan yang memberi jaminan perlin-dungan dan rasa keadilan kepada perempuan korban kekerasan. Di samping itu kami juga menerbitkan Buku Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan melakukan sosialisasi.
3. Menyusun konsep dan sosialisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT – PKKTP). Penyusunan dan sosialisasi konsep SPPT – PKKTP merupakan inti program Penguatan Penegak Hukum (PPH), yang merupakan konsep lintas kemitraan antar LSM, penegak hukum dan lembaga negara. Konsep SPPT – PKKTP berisikan pemikiran-pemikiran yang menjadi kerangka dasar dalam melakukan program dan promosi perubahan sistem peradilan dalam menangani kasus KtP.
4. Pemetaan Kerja dan Jejaring antar Penegak Hukum, yaitu telah terbentuk jejaring antar lembaga penegak hukum dalam kegiatan penyusunan kurikulum dan pelatihan, melalui RTL dan membangun instrumen untuk Monitoring dan Evaluasi terkait dengan pelaksanaan dari pelatihan bagi para APH ini.
Harapan kami pelatihan dan pembuatan modul ini akan menambah wahana bagi Aparat Penegak Hukum. Sekali lagi terimakasih atas kerjasama yang telah terbangun selama ini, sehingga dapat berujung kepada perubahan kebijakan yang adil bagi semua (khususnya perempuan korban) dan mengimplementasikannya.
Jakarta, November 2011
Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah
Sambutan Ketua Komnas Perempuan
x
PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya modul pelatihan “Menumbuhkan Sensitivitas Hak Asasi Manusia dan Gender Bagi Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan di
Lingkungan Peradilan umum” telah selesai.Selama ini APH (Aparat Penegak Hukum) dalam penanganan kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan (KtP) lebih mengutamakan perlindungan pelaku dibandingkan dengan korban. Padahal banyak sekali perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, tetapi tidak memperoleh perlindungan hukum. Oleh sebab itu salah satu upaya yang dilakukan oleh Komnas Perempuan melalui pendidikan dan pelatihan bagi APH di lingkungan peradilan agama mupun peradilan umum, upaya untuk “engendering curriculum” terus menerus dilakukan, sehingga perspektif HAM dan Gender terintegrasi di dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh lembaga APH dan penyedia calon APH.
Modul dan bahan bacaan -beserta Buku Kumpulan Kebijakan yang diterbitkan terpisah- yang dipersiapkan ini merupakan bahan ajar untuk pendidikan dan pelatihan bagi Aparat Penegak Hukum (APH) di Lingkungan Peradilan Umum. Para Peserta diharapkan setelah memperoleh pendidikan dan pelatihan ini akan mendapat pengetahuan tentang Hak Asasi Manusia dan Gender, sehingga terbangun sensitivitas HAM dan Gender dalam penanganan KtP.
Modul dan bahan bacaan beserta Buku Kumpulan Kebijakan ini pada awalnya disusun oleh Komnas Perempuan untuk kepentingan pelatihan bagi Aparat Penegak Hukum di Lingkungan Peradilan Umum. Akan tetapi berdasarkan kebutuhan bersama, modul ini disempurnakan dengan terlebih dahulu dilakukan FGD dengan pihak pengemban kepentingan. Dari hasil FGD itulah, kemudian terbentuk tim perumus yang terdiri dari perwakilan Komnas Perempuan dan lembaga mitra lainnya, yaitu Lembaga Pendidikan Kepolisian Republik Indonesia, Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, Pusat Pendidikan dan Latihan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Perhimpunan Advokat Indonesia, dan Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se-Indonesia.
Modul, bahan bacaan dan buku kumpulan kebijakan diharapkan dapat menjadi buku pegangan bersama terutama bagi APH, oleh sebab itu saran dan kritik membangun dari peserta dan pembaca sangat diharapkan. Kami beranggapan bahwa modul ini masih perlu diuji coba, direvisi, dan untuk kemudian ada perbaikannya pada waktu mendatang disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan APH.
Akhirnya, atas nama Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, kami mengucapkan terimakasih atas partisipasi dan kontribusi yang telah diberikan untuk penyempurnaan modul dan bahan bacaan ini, yaitu kepada
xi
Irawati Harsono, Tati Krisnawati, Yundini Husni, Ekawaty Kristianingsih, Achie Luhulima, Ritamowoka Rusifien, Sjamsiah Achmad, Rachmat B. Taufani, Panji Widagdo dan seluruh tim Subkom Reformasi Hukum & Kebijakan Komnas Perempuan: Ninik Rahayu, Tumbu Saraswati, Danielle Samsoeri, Yulianti Mutmainnah, Ema Mukarramah, dan Asmaul Khusnaeny. Tak lupa juga kepada Restri dan Novi yang telah membantu pengetikan bahan bacaan. Semoga modul dan bahan bacaan ini dapat berguna.
Jakarta, November 2011
Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan KebijakanKunthi Tridewiyanti
Pengantar
xii
160.000140.000120.000100.000
80.00060.00040.00020.000
0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
KtP
KtP pertahun Selama 10 tahun
2001: 3169 2006: 22512
2002: 5163 2007: 25522
2003: 7787 2008: 54425
2004: 14020 2009: 143586
2005: 20391 kenaikan 263%
TENTANG MODUL PELATIHAN
LATAr BELAKANG
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah lembaga independen yang mempunyai mandat penghapusan kekerasan terhadap perempuan, tidak terlepas dari landasan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Tertulis di dalam:
Menimbang, mendesakkan pelaksanaan universal hak-hak dan prinsip-prinsip persamaan, keamanan, kebebasan, integritas dan martabat manusia, pada perempuan.
Memperhatikan, hak-hak dan prinsip tersebut telah diakui dalam perangkat-perangkat internasional, termasuk Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lain, Perlakuan Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.
Setiap tahun, Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan (CATAHU) terkait dengan Kekerasan Terhadap Perempuan (KtP) yang disusun oleh Komnas Perempuan bersama mitra kerjanya, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Agama, Advokat dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Kontribusi data dari berbagai lembaga tersebut semakin hari semakin banyak, sehingga memperlihatkan data kekerasan dari tahun ketahun semakin meningkat sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Kasus KtP 2001-2009Catahu Komnas Perempuan, 2009
xiii
Pada Catahu 2009 tercatat sebanyak 143.586 kasus KtP. Kenaikan kasus KtP itu sangat signifikan yaitu sebesar 263% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2009 yakni 54.425 kasus. Data tersebut menjelaskan angka tertinggi KtP terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebagaimana Tabel 2. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan.
Tabel 2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
Data KtP itu belum sesungguhnya mewakili situasi Indonesia secara menye-luruh apa yang terjadi di dalam masyarakat. Angka KtP tersebut bagaikan gunung es, dimana data yang tampak sedikit dan data yang belum tercatat masih lebih banyak lagi. Data KtP yang tidak tercatat dikarenakan berbagai faktornya, antara lain rasa malu korban untuk menanggung aib, pandangan miring masyarakat ketika kasus-kasus KtP itu diungkap, “kebutaan hukum” di masyarakat, dan budaya dan adat lokal yang tidak mendukung perempuan korban.
Sementara data yang tercatat itu tidak seluruhnya dapat diselesaikan melalui proses hukum dan peradilan. Dengan kata lain, angka kekerasan tersebut tidak berbanding lurus dengan penyelesaian kasus melalui proses hukum baik di peradilan negara ataupun di luar peradilan. Kalau pun diselesaikan melalui proses hukum di peradilan negara, tidak seluruhnya kasus itu dapat diselesaikan untuk memenuhi rasa keadilan baik bagi korban maupun pelaku, terutama bagi perempuan dan anak perempuan.
Hambatan dan kendala untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban sulit dilakukan, karena antara lain:
• KUHP dan KUHAP yang hanya mengakomodir kepentingan terdakwa, sementara sistem hukum yang ada tidak mengatur perlindungan korban dan saksi terutama perempuan,
• Masih adanya dualisme peraturan perundang-undangan dan terbatasnya pengetahuan tentang perundangan yang khusus atau lex spesialis dari aparat penegak hukum terkait dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang telah membuat hukum materil dan formilnya. Demikian juga adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
160.000140.000120.000100.000
80.00060.00040.00020.000
0Keluarga dan
relasi personal : kekerasan
seksual, psikis, fisik & ekonomi:
136.849
KtP - bentuk kekerasan
Komunitas: kekerasan seksual, eksploitasi seksual
anak, di tempat kerja, migran dan
trafiking: 6.683
Peran negara: kekerasan
karena kebijakan diskriminatif/
pengabaian oleh negara: 54
Tentang Modul Pelatihan
xiv
• Luasnya wilayah di Indonesia, menyebabkan APH yang bertugas di daerah seringkali terlambat memperoleh informasi atas pentingnya penanganan kasus-kasus KtP, termasuk layanan terpadu dalam penanganan kasus KtP,
• Sistem monitoring dan evaluasi terhadap penanganan kasus KtP tidak berjalan dengan baik,
• Materi hak asasi perempuan dan gender yang ada terbatas di dalam perkuliahan, pendidikan, atau pelatihan dari institusi penegak hukum saja, sehingga pemahaman aparat pun terbatas untuk mengintegrasikan perspektif HAM dan Gender di dalam tugas-tugasnya.
Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya yang sistematis baik dari substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum untuk mengatasi semua hambatan dan kendala yang dihadapi.
Salah satu upaya untuk memperbaiki struktur dan kultur para aparat penegak hukum dalam penanganan KtP ini, Komnas Perempuan telah menyelenggarakan program Penguatan Penegak Hukum (Program PPH) sejak tahun 2003. Program PPH ini diperuntukkan bagi aparat penegak hukum terutama di lingkungan peradilan umum. Program Penguatan Penegak Hukum dapat dilakukan dengan:
1. Mengintegrasikan perspektif Hak Asasi Manusia, Gender dan Peng-hapusan Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) dalam kurikulum bagi aparat penegak hukum di lingkungan peradilan umum. Pengintegrasian itu ke dalam garis-garis besar program pendidikan, bahan ajar dan bacaan, dan simulasi pengadilan (moot court),
2. Melakukan pelatihan untuk ‘Menumbuhkan Sensitivitas Hak Asasi Manusia Dan Gender Dalam Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Bagi Aparat Penegak Hukum Di Lingkungan Peradilan Umum. Pelatihan ini sebagai sarana bagi aparat penegak hukum untuk membangun bersama-sama Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (disingkat SPPT – PKKTP) dengan perspektif HAM dan Gender.
Program Penguatan Penegak Hukum ini diharapkan dapat terbangun dan terjadi penguatan konsep SPPT-PKKTP yang sangat komprehensif karena terkait juga dengan sistem pelayanan terpadu. Dalam program ini Komnas Perempuan bekerjasama dengan lembaga aparat penegak hukum yaitu Lembaga Pendidikan Kepolisian, Pusdiklat Kejaksaan, Pusdiklat Kehakiman, Advokat, dan juga lembaga lainnya menunjang, yaitu Direktorat Jenderal Hukum dan HAM - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Deputi III - Perlindungan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Akademisi dan lain sebagainya.
Pada kesempatan ini, Komnas Perempuan menyiapkan modul dan bahan pelatihan untuk menumbuhkan sensitivitas Hak Asasi Manusia dan Gender dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan peradilan umum terutama bagi aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat) diselenggarakan di Wilayah Indonesia Barat, Indonesia Wilayah Tengah dan Indonesia Wilayah Timur.
xv
TUJUAN:
1. Mensosialisasikan Buku Referensi tentang Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, dan Modul Pelatihannya;
2. Menumbuhkan sensitivitas Hak Asasi Manusia dan Gender bagi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan peradilan umum;
3. Memperkuat instrumen hak asasi perempuan sebagai landasan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan peradilan umum;
4. Mendorong dibentuknya Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penangan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (disingkat SPPT-PKKTP).
METODE PELATIHAN
Pelatihan ini menggunakan modul yang disusun dengan metode pelatihan pendidikan orang dewasa (andragogi), sehingga keterlibatan seluruh peserta pelatihan diharapkan dapat terbangun sehingga menumbuhkan sensitivitas Hak Asasi Manusia dan Gender bagi aparat penegak hukum di lingkungan peradilan umum.
Untuk menjalankan metode pendidikan orang dewasa dalam pelatihan ini, ada 4 prinsip yang perlu dipegang, yaitu:
1. Partisipatoris. Semua peserta memiliki ruang yang sama untuk mengekspresikan dan memperoleh apresiasi atas pemikirannya.
2. Empiris. Berbasis pada pengalaman dan kebutuhan perempuan. Pemahaman dan pengalaman peserta atas kasus pelanggaran hak asasi perempuan dijadikan sebagai sumber utama bagi pendalaman materi.
3. Kritis. Peserta mempunyai kesempatan dan didorong untuk memper-tanyakan kesenjangan antara kebutuhan, instrumen dan mekanisme yang tersedia, serta realita pemenuhan hak asasi manusia.
4. Integratif. Peserta mendapatkan pemahaman mengenai keterkaitan antara HAM Gender, dan konstruksi sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pemahaman hak asasi manusia dan upaya pemenuhannya.
Metode pendidikan orang dewasa lebih menekankan kepada 3 (tiga) hal, yaitu: “Mendengar” (“To Hear”), Melihat (“To See”) dan Menerapkan (“To Do”). Apabila, pelatihan biasanya hanya digunakan metode to hear and to see, maka di dalam andragogi “to do” harus diaplikasikan, seperti: curah pendapat, “rembug sejoli”, diskusi kelompok, dan bermain peran. Untuk menjaga dinamika proses pelatihan, diperlukan berbagai bentuk penyegaran (“Ice Breaking”).
ISI MODUL:
Demikian juga alur modul dibuat sedemikian rupa, sehingga peserta yang belum pernah mendapat pelatihan APH ini dapat memahami mulai dari awal sampai dapat membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL). Modul ini dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
Tentang Modul Pelatihan
xvi
• Modul I orientasi Pelatihan. Modul ini merupakan modul pembuka dari seluruh rangkaian proses pelatihan. Melalui modul ini fasilitator diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif dan nyaman sehingga tumbuh keterbukaan, rasa saling percaya antar peserta dan peserta dengan fasilitator. Perkenalan perlu dilakukan melalui berbagai permainan yang melibatkan peserta. Apabila acara perkenalan ini berhasil, maka seluruh proses pelatihan diharapkan akan berjalan dengan lancar. Modul ini terdiri dari 3 (tiga) sesi. Sesi pertama, perkenalan. Sesi kedua, membahas orientasi pelatihan, yang terdiri dari pemetaan harapan, kekhawatiran, sumbangan peserta terhadap proses yang akan dilakukan serta penyepakatan alur pelatihan, jadual acara, dan aturan main selama pelatihan. Sesi ketiga, pemetaan persoalan dan pengalaman hidup peserta. Untuk itu, modul ini penting dibahas dan diproses bersama.
• Modul II Menumbuhkan Sensitivitas Hak Asasi Manusia dan Gender. Modul ini menjelaskan pentingnya pemahaman Hak Asasi Manusia dan sensitivitas gender bagi Aparat Penegak Hukum di dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Modul ini terdiri dari 7 (tujuh) sesi. Sesi pertama, membahas definisi seks dan gender. Sesi kedua, membahas bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dapat menyebabkan kekerasan terhadap perempuan. Sesi ketiga, membahas kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sesi keempat, membahas bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sesi kelima, membahas Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sesi keenam, membahas faktor penyebab dan pelestari kekerasan terhadap perempuan. Sesi ketujuh, membahas upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sesi satu sampai dengan sesi tujuh sangat terkait satu sama lainnya.
• Modul III: Pilar Hukum di Indonesia. Modul ini mengarahkan peserta mempraktekkan pengetahuan tentang analisis gender yang telah dipelajari pada modul sebelumnya dalam implementasi sistem hukum di Indonesia. Modul ini terdiri dari tiga sesi. Sesi pertama, membahas tentang ‘Pengalaman Praktik Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP), dengan analisis kasus melalui cara moot court/simulasi pengadilan, atau bermain peran. Sesi kedua, menghadirkan narasumber yang memperdalam materi tentang sistem hukum di Indonesia dan terobosan yang diperlukan untuk menciptakan situasi kondusif bagi penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Sesi ketiga, membahas ‘Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT – PKKTP)’ yang diharapkan menjadi sistem peradilan yang berfokus pada keadilan perempuan korban dan pelaku.
• Modul IV: rencana Tindak Lanjut dan evaluasi. Modul ini menjelaskan bahwa peserta perlu membuat Rencana Tindak Lanjut dan evaluasi. Modul ini membahas tiga sesi. Sesi pertama, membahas tentang Analisis SWOT dan SMART; Sesi kedua, membuat Rencana Tindak Lanjut; Sesi ketiga, evaluasi.
ALUr PELATIHAN:
Pelatihan untuk menumbuhkan sensitivitas gender dan Hak Asasi Manusia
xvii
dalam penanganan kasus-kasus KtP dapat terselenggara dalam waktu tiga hari, sehingga diperlukan kerja keras dari semua pihak, baik fasilitator, peserta maupun panitia. Oleh sebab itu perlu diketahui alur pelatihan secara seksama dan jadwal kegiatan yang telah dibangun bersama. Untuk mempermudah pelaksanaan pelatihan, maka dengan ini kami gambarkan Bagan 1. Alur Pelatihan.
Bagan 1. Alur Pelatihan
Modul I. Orientasi kegiatan – Menumbuhkan suasana kondusif
Menumbuhkan kepekaan gender
Modul II. Menumbuhkan sensitivitas hak
asasi manusia dan gender
Modul III.Pilar Hukum di Indonesia –
Menumbuhkan komitmen APH dalam
penanganan kasus KtP yang adil gender
serta korelasinya dengan instrumen
hukum nasional pro perempuan
Pengalaman praktik APH dalam penanganan kasus-kasus KtP
Analisis SWOT dan SMART
Penyusunan Rencana Tindak Lanjut
Evaluasi
Penutupan
Modul IV. Rencana Tindak
Lanjut dan Evaluasi
Pemetakan persoalan peserta berdasarkan
pengalaman hidupnya
Sistem Peradilan Pidana Terpadu - Penanganan Kasus-Kasus KtP (SPPT-PKKTP)
Sinergitas APH dan Pemangku Kebijakan dalam Upaya Penghapusan KtP –
Tentang Modul Pelatihan
Pembukaan
Penjelasan pelatihan
Perkenalan
Pemetaan harapan, kekhawatiran dan sumbangan peserta
Penyepakatan alur, jadual acara & tata tertib pelatihan
Pengertian seks dan gender
Bentuk-bentuk ketidakadilan
gender yang dapat menyebabkan
kekerasan terhadap perempuan (KtP)
KtP sebagai bentuk pelanggaran HAM
KDRT merupakan salah satu bentuk
KtP
Faktor Penyebab dan Pelestari KtP
Upaya Penghapusan KtP
Bentuk-bentuk KtP
Pre-test
Post-test
xviii
AGENDA DAN wAKTU PELATIHAN
Modul Pelatihan berisi 4 (empat) modul yang terintegrasi ini diharapkan dapat dilaksanakan secara utuh. Modul pelatihan ini diselenggarakan 3 (tiga) hari efektif, di luar waktu kedatangan dan kepulangan, serta di luar waktu ISOMA. Bila dibutuhkan pelatihan ini lebih mendalam, maka waktu pelatihan dapat dimodifikasi. wAKTU AGENDA PELATIHAN12.00-17.00
18.00-19.00
• Check In• Makan Siang• Registrasi dan pengumpulan administrasi peserta• Pengambilan Kit Peserta
• Makan Malam
Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga08.00-09.0009.00-09.15
09.15-12.00
Pre-test Pembukaan: Sambutan Penjelasan Kegiatan
Modul IOrientasi Pelatihan (180’)- Sesi 1: Perkenalan
(60’)- Sesi 2: Orientasi
pelatihan (60’)- Sesi 3: Menumbuh-
kan sensitivitas gender (60’)
Review Hari Pertama (15’) Sesi 5: KDRT Salah Satu Bentuk KtP (75’)
Diskusi Panel (100’)
Review Hari Kedua (15’)
Modul III: Pilar Hukum di IndonesiaSesi 2: Sinergitas APH dan Pemangku Kebijakan dalam Upaya Penghapusan KtP (120’)
Modul IV: Rencana Tindak Lanjut, Evaluasi dan Post Test (60’)
Penutupan (45’)12.00-13.00 ISHOMA ISHOMA ISHOMA13.00-15.00 Modul II
Menumbuhkan Sensitivitas Hak Asasi Manusia dan Gender Sesi 1: Seks dan Gender (120’)
Sesi 6: Faktor Penyebab dan Pelestari KtP (90’)
Modul III: Pilar Hukum di IndonesiaSesi 1A: Pengalaman Praktik Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Kasus-Kasus KtP (30’)
Makan SiangCheck Out Peserta Pelatihan
15.00-15.30 ISHOMA ISHOMA15.30-18.00 Modul II
Sesi 2: Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender (75’)Sesi 3: KtP Sebagai Bentuk Pelanggaran HAM (60’)
Modul III: Pilar Hukum di IndonesiaSesi 1A: Pengalaman Praktik Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Kasus-Kasus KtP (30’)
Sesi 1B: Simulasi Pengadilan (120’)
18.00-19.30 ISHOMA ISHOMA19.30-21.00 Sesi 4: Bentuk-bentuk
KtP (60’) Sesi 1B: Lanjutan Simulasi Pengadilan
Catatan: agenda dapat diubah sesuai kebutuhan
xix
KEBUTUHAN PELATIHAN
Untuk menjaga kualitas pelatihan ini, pengguna modul perlu mempertim-bangkan dengan baik perihal yang terkait dengan proses belajar, yaitu:
Peserta Peserta pelatihan sebaiknya maksimal yang berjumlah 25 orang. Dengan
komposisi 60% (15 orang) perempuan dan 40% (10 orang) laki-laki. Keragaman untuk menjaga dinamika pelatihan diperlukan, sehingga komposisi peserta mewakili berbagai institusi APH, antara lain: hakim, jaksa, polisi, dan advokat. Kualifikasi peserta yang akan mengikuti pelatihan ini sebaiknya Aparat Penegak Hukum yang diharapkan dapat mewujudkan SPPT-PKKTP.
FasilitatorPeran Fasilitator diharapkan mampu
memfasilitasi proses pelatihan dengan menggali keikutsertaan peserta dalam seluruh proses pelatihan tanpa ada penekanan atau pemaksaan. Fasilitator penting untuk memastikan proses pelatihan yang kondusif, mengingat resistensi peserta dapat muncul di awal pelatihan. Setiap awal dan akhir hari pelatihan, fasilitator berkewajiban untuk memandu kegiatan review dan membuat kesimpulan.
NarasumberNarasumber menyampaikan materi sesuai
dengan keahliannya. Dalam pelatihan ini sebaiknya tidak hanya menyampaikan materi secara teoritis, tetapi juga fakta-fakta yang ditemui APH di lapangan.
Sarana & PrasaranaPelatihan ini membutuhkan:• Tata ruang pelatihan berbentuk U Shape atau Island Shape;• Ruang untuk bermain peran;• Loudspeaker dan wireless;• Infocus;• Video, LCD, Film;• Flip Chart dan tiang penyangganya;• White Board
Tentang Modul Pelatihan
1
Modul I
Orientasi Pelatihan
PENGANTAr:
Modul ini merupakan modul pembuka dari seluruh rangkaian proses pelatihan. Melalui modul ini fasilitator diharapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif dan nyaman sehingga tumbuh keterbukaan,
rasa saling percaya antar peserta dan peserta dengan fasilitator. Perkenalan perlu dilakukan melalui berbagai permainan yang melibatkan peserta. Apabila acara perkenalan ini berhasil, maka seluruh proses pelatihan diharapkan akan berjalan dengan lancar.
Modul ini terdiri dari 3 (tiga) sesi. Sesi pertama, perkenalan. Sesi kedua, membahas orientasi pelatihan, yang terdiri dari pemetaan harapan, kekhawatiran, sumbangan peserta terhadap proses yang akan dilakukan serta penyepakatan alur pelatihan, jadual acara, dan aturan main selama pelatihan. Sesi ketiga, pemetaan persoalan dan pengalaman hidup peserta. Untuk itu, modul ini penting dibahas dan diproses bersama.
2
SeSi 1
Perkenalan
PENGANTAr
Sesi perkenalan ini menggunakan salah satu contoh metode saja. Di luar itu masih banyak metode lain yang dapat dikreasikan untuk melaksanakan sesi perkenalan. Tujuan diakhir sesi ini peserta akan:
1. Dapat saling mengenal satu sama lain, termasuk mengenal nama, asal lembaga dan peran dalam lembaga.
2. Dapat menciptakan keakraban diantara para peserta sendiri serta antara peserta dan fasilitator.
3. Dapat menciptakan suasana keakraban yang kondusif dan nyaman guna terciptanya iklim keterbukaan dan kebersamaan selama proses pelatihan.
4. Dapat mengetahui pengalaman peserta lain tentang isu perempuan yang diketahui atau dialaminya (sebagai pribadi, sebagai APH, dan sebagai masyarakat).
Metode Bermain pasangan (masing-masing pasangan tiga orang)Proses 1. Fasilitator membagikan kertas metaplan yang sudah bertuliskan
nama berbagai benda. 2. Fasilitator meminta peserta, panitia, observer dan fasilitator
sendiri untuk bergerak mencari padanan benda yang tertulis di kertas metaplan, sehingga terbentuk kelompok dengan anggota berjumlah 4 (empat) orang.
3. Anggota pasangan saling memperkenalkan diri. 4. Setiap kelompok menunjuk seorang juru bicara untuk
menyampaikan perkenalan anggota kelompoknya. 5. Fasilitator mencatat pengalaman-pengalaman peserta pada kertas
flipchart. Dengan catatan tersebut, fasilitator dapat menggali dan mendiskusikan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang lain.
Waktu 60 menitAlat-alat 1. Metaplan yang berukuran sedang
2. Plano3. Spidol4. Metaplan untuk papan nama5. Flipchart
Materi - Perkenalan antar peserta- Menemukan kekuatan dalam diri sendiri- Menemukan persentuhan dengan perempuan dalam kehidupan
pesertacatatan Pada sesi perkenalan ini, fasilitator dan seluruh panitia ikut serta di
dalam proses perkenalan ini.
Modul IOrientasi Pelatihan
3
SeSi 2
Orientasi Pelatihan:Pemetaan Harapan, Kekhawatiran, dan
Sumbangan, serta Kesepakatan Atas Alur, Jadual Acara, dan Tata Tertib Pelatihan
PENGANTAr
Sesi ini membahas orientasi pelatihan dengan melakukan pemetaan harapan, kekhawatiran dan sumbangan peserta atas pelatihan ini yang berguna bagi fasilitator dan peserta. Selain itu, dengan menggunakan metode pelatihan parti-sipatif diharapkan dapat melibatkan semua peserta untuk membuat kesepakatan atas alur, jadual acara dan tata tertib pelatihan.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:1. Dapat memetakan harapan dan kekhawatiran peserta selama
proses pelatihan berlangsung.2. Dapat memberikan sumbangan agar harapan terwujud
dan kekhawatiran tidak terjadi selama proses pelatihan berlangsung.
3. Dapat membuat kesepakatan atas alur, materi, metode, jadual acara, dan tata tertib (kontrak belajar) pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan peserta selama proses pelatihan berlangsung.
Metode Curah Pendapat
4
Proses 5 menit10 menit
10 menit
10 menit
10 menit
10 menit
5 menit
1. Fasilitator menjelaskan tujuan dari sesi ini.2. Fasilitator memandu curah pendapat tentang harapan para
peserta atas pelatihan ini. Fasilitator mencatat semua harapan peserta di kertas flipchartyang nantinya akan ditempel di tempat yang mudah diakses oleh peserta dan fasilitator.
3. Fasilitator memandu curah pendapat tentang kekhawatiran para peserta atas pelatihan ini. Fasilitator mencatat semua kekhawatiran peserta di kertas flipchart yang nantinya akan ditempel di tempat yang mudah diakses oleh peserta dan fasilitator.
4. Fasilitator memandu curah pendapat tentang sumbangan peserta atas pelatihan ini.
5. Fasilitator memandu curah pendapat tentang tata tertib (kontrak belajar) para peserta atas pelatihan ini. Fasilitator mencatat semua kekhawatiran peserta di kertas flipchart yang nantinya akan ditempel di tempat yang mudah diakses oleh peserta dan fasilitator.
6. Fasilitator menjelaskan bahwa selain tiga hal di atas, peserta akan disediakan ruang untuk menyampaikan sumbangan pemikiran, saran, atau pertanyaan atau keluhan yang bisa dimasukkan di kotak yang tersedia (cool box).
7. Fasilitator menyimpulkan, menutup sesi, dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta.
Waktu 60 menit Bahan 1. Metaplan
2. Spidol warna 3. Plano4. Selotip5. Flipchart
Bahan Bacaan
1. Rancangan alur dan materi pelatihan2. Rancangan jadual pelatihan3. Rancangan kesepakatan aturan main.
Modul IOrientasi Pelatihan
5
SeSi 3
Menumbuhkan Kepekaan Gender
PENGANTAr
Sesi tiga akan membahas pengalaman hidup perempuan secara umum. Hal ini perlu untuk melihat perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki sebagai akibat dari perbedaan biologisnya dengan laki-laki selama ini. Pembedaan yang selama ini terjadi menyebabkan ketidakadilan.
Tujuan di akhir sesi ini peserta akan:1. Dapat saling berbagi persoalan dan pengalaman hidup
perempuan.2. Dapat menciptakan suasana saling percaya, sehingga
menumbuhkan rasa empati dan solidaritas peserta terhadap persoalan yang dihadapi perempuan.
3. Dapat mengetahui adanya pembedaan peran, posisi, relasi, karakter antara laki-laki dan perempuan baik di rumah, di tempat kerja, dan dalam kehidupan bermasyarakat yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan.
Metode Menyusun Sungai Kehidupan Proses 5 menit
10 menit
50 menit
10 menit
5 menit
1. Fasilitator menjelaskan tujuan sesi dan metode “sungai kehidupan” yang digunakan.
2. Fasilitator membagikan kertas flipchart dan alat tulis warna. Fasilitator meminta kepada peserta untuk menggambarkan perjalanan hidup perempuan (dirinya sendiri atau yang dia kenal) sejak kecil hingga dewasa (berkeluarga, bekerja, bermasyarakat) pada kertas flipchart tersebut, yang digambarkan sebagai alur sebuah sungai. Setelah selesai, peserta diminta untuk menempelkan gambarnya.
3. Fasilitator meminta kepada masing-masing peserta untuk mempresentasikan maksud gambar sungai kehidupan yang telah dilukisnya.
4. Fasilitator meminta tanggapan yang dikaitkan dengan ketidakadilan dalam berbagai kisah yang digambarkan peserta tersebut.
5. Fasilitator menyimpulkan, menutup sesi, dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta.
Waktu 75 menit
6
Alat-alat dan Bahan
1. Alat tulis berwarna seperti crayon atau spidol warna.2. Kertas, boleh berupa kertas manila warna ukuran 20 cm x 30 cm
atau kertas apa saja yang berukuran sedang, atau metaplan.3. Selotip.4. Plano. 5. Selotip kertas.
catatan 1. Sejak awal fasilitator harus mampu menjelaskan kepada peserta bahwa pengalaman hidup yang digambarkan tersebut merupakan bahan pembelajaran bersama. Bukan sebagai alat untuk menghakiminya.
2. Fasilitator menjelaskan kepada peserta bahwa apabila ada kemiripan dalam berbagai kisah sungai kehidupan bukan suatu ketidaksengajaan, melainkan suatu kondisi yang biasa terjadi merupakan fenomena yang dianggap biasa oleh masyarakat bahkan sudah sepatutnya dialami perempuan.
3. Fasilitator menjelaskan kepada peserta bahwa persoalan perempuan dan ketidakadilan bisa terjadi pada siapapun termasuk diri sendiri. Oleh sebab itu perlu dibangun rasa empati dan solidaritas terhadap persoalan perempuan dan ketidakadilan.
6
7
Modul II
Menumbuhkan Sensitivitas Hak Asasi Manusia dan Gender
PENGANTAr
Modul ini menjelaskan pentingnya sensitivitas Hak Asasi Manusia dan gender bagi Aparat Penegak Hukum di dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Modul ini terdiri dari 7 (tujuh) sesi.
Sesi pertama, akan membahas definisi seks dan gender. Sesi kedua bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dapat menyebabkan kekerasan terhadap perempuan. Sesi ketiga membahas kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sesi keempat bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sesi kelima membahas Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sesi keenam faktor penyebab dan pelestari kekerasan terhadap perempuan. Sesi ketujuh akan membahas upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sesi satu sampai dengan sesi tujuh sangat terkait satu sama lainnya.
8
SeSi 1
Seks dan Gender
PENGANTAr
Sesi ini menjelaskan tentang pengertian seks dan gender. Melalui pengetahuan ini diharapkan peserta mampu menemukan perbedaan relasi antara laki-laki dan perempuan yang berlaku secara universal. Tujuan diakhir sesi ini peserta akan:
1. Peserta dapat memahami pengertian seks dan gender.2. Peserta dapat memahami kerancuan pengertian seks dan
gender.3. Peserta dapat mengetahui pembedaan yang disebabkan oleh
pengertian seks dan gender. 4. Peserta dapat mengetahui dampak dari pemberlakukan
pengertian seks dan gender secara ketat bagi perempuan dan laki-laki.
Metode Metaplan dan curah pendapat Proses 5 menit
5 menit
30 menit
10 menit
35 menit
35 menit
1. Fasilitator menyediakan 3 (tiga) buah pohon yang berbeda. Pohon pertama jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pohon kedua sifat perempuan dan laki-laki. Pohon ketiga pekerjaan laki-laki dan perempuan.
2. Berikan metaplan dalam bentuk buah kepada peserta masing-masing pohon tiga buah.
3. Fasilitator meminta peserta untuk menuliskan pendapat mereka tentang jenis kelamin, peran, sifat, dan karakteristik perempuan dan laki-laki.
4. Fasilitator meminta peserta untuk menempelkan pendapat mereka berdasarkan pohon yang telah disediakan.
5. Setelah semua peserta mengumpulkan pohon dan buah berdasarkan 3 (tiga) pemetaan tadi, ajaklah peserta untuk mengecek apakah pemetaan yang telah dilakukan peserta sudah benar atau tidak.
6. Fasilitator meminta peserta untuk memisahkan buah-buah yang tidak masuk dalam kategori jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sampai didapatkan hasil jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda.
Waktu 120 menit
Modul IIMenumbuhkan Pemahaman Hak Asasi Manusia dan Sensitivitas Gender
9
Alat-alat 1. Metaplan dalam bentuk buah 2. Plano berbentuk pohon 3. Spidol besar 4. Spidol kecil5. Selotip kertas
Bahan Bacaan Bahan-bahan bacaan tentang sex dan gender catatan Penolakan atau resistensi peserta biasa terjadi karena sesi ini
mencoba menggugat kemapanan seseorang terhadap sesuatu yang ia yakini selama ini. Untuk itu, fasilitator penting memproses sesi ini dengan tidak memberikan jawaban langsung tetapi memberikan kesempatan pada peserta lainnya untuk menanggapi terlebih dahulu. Hal ini penting untuk menjaga sikap kritis dan rasa ingin tahu peserta. Bila peserta dirasa tidak mampu memberikan argumen lagi, barulah fasilitator memberikan jawaban.
10
SeSi 2
Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender yang Dapat Menyebabkan Kekerasan terhadap
Perempuan (KtP)
PENGANTAr
Sesi ini menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan gender dan dampak ketidakadilan bagi perempuan dan laki-laki. Ketidakadilan gender itu dapat menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Tujuan diakhir sesi peserta:1. Dapat mengetahui bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan gender. 2. Dapat mengetahui dampak ketidakadilan gender bagi perempuan
dan laki-laki.3. Dapat mengetahui bahwa ketidakadilan gender dapat
menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Metode Pemutaran film ‘The Imposible Dream’ dan diskusi kelompok. Proses 3 menit 20 menit
15 menit
5 menit
10 menit
10 menit
2 menit
1. Fasilitator menjelaskan tujuan dari sesi ini. 2. Fasilitator mengajak peserta untuk menyaksikan film “The Imposible
Dream”. 3. Fasilitator membagi peserta ke dalam kelompok dan menugaskan
masing-masing kelompok untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan perempuan dan ketidakadilan gender yang tergambar dalam film tersebut.
4. Fasilitator meminta kepada salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil identifikasinya.
5. Fasilitator meminta kepada kelompok lain untuk memberikan tanggapan dan mengkritisi paparan dari kelompok pemapar.
6. Fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan dan mendalami berbagai bentuk ketidakadilan gender yang muncul dalam paparan dan tanggapan serta menuliskannya di flipchart.
7. Fasilitator menyimpulkan, menutup sesi, dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta.
Waktu 75 menitAlat-alat dan Bahan
1. LCD2. Laptop3. Film4. Metaplan5. Spidol
Bahan Ajar Film ‘The Imposible Dream’catatan Saat membahas sesi ini, fasilitator mulai mengarahkan persoalan yang
dialami perempuan pada aspek kekerasan, sebagai lini akhir dari bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang diterima perempuan.
Modul IIMenumbuhkan Pemahaman Hak Asasi Manusia dan Sensitivitas Gender
11
SeSi 3
Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia
PENGANTAr
Sesi ini membahas kekerasan terhadap perempuan (KtP) sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Peserta akan diperkenalkan tentang instrumen internasional maupun nasional yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW), Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 1993, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:1. Dapat mengetahui instrumen internasional dan nasional tentang
Hak Asasi Manusia (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW), Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 1993, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
2. Dapat mengetahui bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang diatur oleh hukum internasional maupun nasional.
Metode Ceramah singkat dan curah pendapatProses25 menit
30 menit
5 menit
1. Fasilitator menjelaskan tujuan dari sesi ini. Fasilitator memberikan ceramah singkat tentang HAM, DUHAM, CEDAW, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 1993 dan UUHAM.
2. Fasilitator memberikan kesempatan untuk curah pendapat kepada peserta dengan mengajukan beberapa pertanyaan kunci.
3. Fasilitator menyimpulkan hasil curah pendapat dan menuliskannya di flipchart, serta mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta.
Waktu 60 menitAlat-alat dan Bahan
1. Plano2. Spidol3. Selotip kertas
12
Bahan Bacaan
1) Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 19452) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 3) Hak Asasi Manusia - Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), 4) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita (CEDAW), 5) Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun
1993, 6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (UUHAM).catatan Apabila diperlukan, ceramah singkat dapat digelar oleh seorang
narasumber.
Beberapa pertanyaan kunci yang perlu disampaikan fasilitator untuk menggugah terjadinya curah pendapat yang dinamis, misalnya:
- Apakah tragedi Mei 98 merupakan tragedi pelanggaran HAM?
- Peraturan apa saja yang merupakan turunan dari berbagai instrumen internasional yang telah dibahas sebelumnya?
- Peraturan apa saja yang menjadi landasan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM?
Modul IIMenumbuhkan Pemahaman Hak Asasi Manusia dan Sensitivitas Gender
13
SeSi 4
Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
PENGANTAr
Peserta perlu mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan memahami KtP sebagai pelanggaran HAM.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:1. Dapat menjelaskan bentuk-bentuk, pelaku, korban, pola relasi
pelaku dan korban, serta tempat kejadian KtP. 2. Dapat mengkaitkan bentuk-bentuk KtP sebagai pelanggaran
HAM. Metode Diskusi KelompokProses5 menit
20 menit
30 menit
5 menit
1. Fasilitator menjelaskan kepada peserta tujuan dari sesi ini dan membagi menjadi beberapa kelompok, yang beranggotakan maksimal 5 (lima) orang peserta.
2. Fasilitator membagikan gambar tubuh perempuan dan laki-laki di setiap kelompok dan meminta kepada peserta untuk mendiskusikan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: - Bagian tubuh perempuan/laki-laki mana yang sering
dijadikan sasaran dari kekerasan?- Jenis kekerasan yang sering dialami perempuan/laki-laki?- Perempuan/laki-laki mana yang biasa menjadi korban
kekerasan?- Perempuan/laki-laki mana yang sering menjadi pelaku
kekerasan?- Apa relasi pelaku dan korban?- Dimana kekerasan biasanya terjadi?- Apa yang menjadi penyebab dan pemicu terjadinya
kekerasan?Fasilitator meminta kepada kelompok untuk menuliskan hasil diskusi di atas flipchart.
3. Fasilitator meminta salah satu kelompok untuk mem-presentasikannya dan seluruh peserta diberi kesempatan untuk menanggapinya atau mengkritisi.
4. Fasilitator menyimpulkan, menutup sesi dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta atas partisipasinya.
14
Waktu 60 menitAlat-alat 1. Dua (2) Plano yang masing-masing bergambar tubuh laki-laki
dan perempuan 2. Spidol3. Lem/Selotip
Bahan Bacaan
Buku referensi yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk, pelaku, korban, pola relasi pelaku dan korban, serta tempat kejadian KtP.
Modul IIMenumbuhkan Pemahaman Hak Asasi Manusia dan Sensitivitas Gender
15
SeSi 5
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Merupakan Salah Satu Bentuk Kekerasan
terhadap Perempuan
PENGANTAr
Sesi ini mempertajam penjelasan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai salah satu bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (KtP). Penjelasan ini penting karena masih banyak orang memahami bahwa KDRT adalah wilayah privat seseorang yang tidak bisa dimasuki atau dibawa ke ranah hukum.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:Dapat menjelaskan pengertian KDRT, bentuk-bentuk KDRT, ruang lingkup terjadinya KDRT, faktor penyebab terjadinya KDRT dalam kehidupan sehari-hari.
Metode Studi Kasus dan Diskusi KelompokProses5 menit
30 menit
45 menit
10 menit
1. Fasilitator menjelaskan kepada peserta tujuan dari sesi ini dan membagi menjadi enam kelompok.
2. Fasilitator membagi kasus A untuk kelompok 1 (satu) dan 4 (empat). Kasus B untuk kelompok 2 (dua) dan 5 (lima), serta kasus C untuk kelompok 3 (tiga) dan 6 (enam). Dan meminta kepada anggota kelompok untuk mendiskusikan dan menjawab pertanyaan sebagai berikut:a. siapakah pelaku dan korban?b. Apa sajakah bentuk-bentuk kekerasan yang dialami korban. c. pasal berapakah yang dilanggar oleh pelaku atau tersangka?d. Membuat BAP, tuntutan, dan putusan. Masing-masing kelompok menuliskan jawaban dan hasil diskusinya di atas flipchart.
3. Fasilitator meminta kelompok 1 (satu) untuk mempresentasikan dan kelompok 4 (empat) mengkritisi dan memberikan tanggapan. Setelah diskusi antara kelompok 1 (satu) dan 4 (empat) tuntas, kelompok lain dipersilahkan memberikan tanggapannya. Demikian juga untuk kelompok 2 (dua) dan 5 (lima) dan seterusnya.
4. Fasilitator menyimpulkan, menutup sesi dan mengucapkan terima kasih.
Waktu 90 menit
16
Alat-alat 1. Fotokopi 3 (tiga) buah kasus tentang KDRT untuk seluruh peserta pelatihan. Semua peserta diharapkan harus membaca semua kasus tersebut.
2. Plano3. Spidol4. Selotip
Bahan Bacaan
1. Kasus KDRT (perkosaan pembantu, pemukulan terhadap istri, penelantaran ekonomi, memaksakan perkawinan anak, kekerasan psikis terhadap istri). Kasus-kasus KDRT ini nantinya akan menjadi bahan BAP dan role play (Modul 3 sesi 1B)
2. Bahan-bahan bacaan tentang KDRT.
Modul IIMenumbuhkan Pemahaman Hak Asasi Manusia dan Sensitivitas Gender
17
SeSi 6
Faktor Penyebab dan Pelestari Kekerasan terhadap Perempuan
PENGANTAr
Sesi ini memberikan pengetahuan secara komprehensif tentang faktor penyebab dan pelestari KtP/KDRT dengan cara visualisasi yang mudah dipahami yakni metode permainan jaring laba-laba.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:♦ Dapat mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dan pelestari
kekerasan terhadap perempuan.Metode Permainan Jaring Laba-labaProses3 menit2 menit
5 menit30 menit
15 menit
15 menit
15 menit
5 menit
1. Fasilitator menjelaskan tujuan dari sesi ini.2. Fasilitator membagikan kasus kepada seluruh peserta
(misalnya kasus “Ada Apa dengan Sinta?”) kepada peserta dan mempersilahkan peserta membaca selama lima menit.
3. Fasilitator membagikan peran kepada seluruh peserta.4. Fasilitator mempersilahkan pemeran korban (Sinta) untuk
duduk di kursi yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Satu per satu pemeran yang lain (pelaku, pelaku lain, rekan pelaku, bapak dan ibu, mertua, hakim, jaksa, polisi, atasan dan rekan sekerja, dan lain sebagainya sesuai kasusnya) dipersilahkan maju sambil membelitkan tali rapia ke berbagai bagian tubuh korban dan menarik tali tersebut menjauh dari korban.
5. Fasilitator meminta semua pemeran selain korban untuk menarik tali yang dipegangnya sehingga korban terikat erat tak berdaya. Hal ini memperlihatkan betapa rentan dan beratnya beban yang dihadapi oleh korban.
6. Fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan cara menyelesaikan kasus yang dihadapi oleh korban (Sinta). Dalam diskusi itu fasilitator mengarahkan bahwa semua pihak telah berperan memperberat penderitaan korban dan semua pihak seharusnya mulai memikirkan kepentingan korban dan bukan memikirikan kepentingan institusi/dirinya sendiri.
7. Fasilitator mengajak peserta untuk berempati terhadap penderitaan korban dengan perlahan-lahan mengendurkan tarikan talinya dan menolong Sinta agar terbebaskan dari lilitan penderitaan yang menjeratnya.
8. Fasilitator menyimpulkan, menutup sesi dan mengucapkan terima kasih.
Waktu 90 menit
18
Alat-alat 1. Tali rapia (rol besar)2. Metaplan3. Spidol4. Selotip5. Plano6. Papan nama Pemeran
Bahan Bacaan 1. Faktor-faktor penyebab dan pelestari kekerasan terhadap perempuan’2. Studi kasus KDRT (”Ada Apa dengan Sinta?”).
Modul IIMenumbuhkan Pemahaman Hak Asasi Manusia dan Sensitivitas Gender
19
SeSi 7
Upaya Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
PENGANTAr
Sesi ini memberikan gambaran kepada peserta tentang pentingnya upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang selama ini dilaksanakan oleh aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan advokat) dan/atau pendamping.
Tujuan di akhir sesi ini peserta:1. Dapat memahami upaya penghapusan kekerasan terhadap
perempuan melalui jalur peradilan 2. Dapat mengetahui hambatan dan kendala yang dihadapi oleh
korban dalam penyelesaian melalui jalur peradilan. 3. Dapat mengetahui bahwa suara korban sangat dibutuhkan
dalam upaya pengungkapan kebenaran. Metode Panel Diskusi APH (Hakim, Jaksa, Polisi, Advokat) dan/atau
Pendamping)Proses5 menit
60/75 menit
30 menit
5 menit
1. Fasilitator sebagai moderator memberikan pengantar dan tujuan dari sesi ini. Setelah itu, fasilitator memperkenalkan narasumber pada peserta.
2. Fasilitator mempersilakan narasumber menyampaikan paparan kepada peserta. Masing-masing dengan alokasi waktu 15 menit.
3. Fasilitator mengajak peserta untuk berdialog dengan narasumber.
4. Fasilitator menyusun kesimpulan, menutup sesi dan mengucapkan terima kasih.
Waktu 100/115 menitAlat-alat 1. LCD
2. Laptopcatatan Narasumber yang perlu diundang dalam sesi ini adalah para APH
yang ruang lingkup kerja bertanggung jawab dalam kasus-kasus KtP.
21
Modul III
Pilar Hukum di Indonesia
PENGANTAr
Modul ini mengarahkan peserta mempraktekkan pengetahuan tentang analisis gender yang telah dipelajari pada modul sebelumnya dalam implementasi sistem hukum di Indonesia. Modul ini terdiri dari tiga
sesi. Sesi pertama, membahas tentang ‘Pengalaman Praktik Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP)’, dengan analisis kasus melalui cara moot court/simulasi peradilan, atau bermain peran. Sesi kedua, menghadirkan narasumber yang memperdalam materi tentang sistem hukum di Indonesia dan terobosan yang diperlukan untuk menciptakan situasi kondusif bagi penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Sesi ketiga, membahas ‘Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT – PKKTP) yang diharapkan menjadi sistem peradilan yang berfokus pada keadilan perempuan korban dan pelaku.
22
SeSi 1A
Pengalaman Praktik Aparat Penegak Hukum (APH) dalam Penanganan Kasus-kasus Kekerasan terhadap
Perempuan (KtP)
PENGANTAr
Sesi ini menggali pengalaman peserta sebagai APH dalam penanganan kasus-kasus KtP. Sebagai sesi pengalaman praktis, diharapkan peserta juga bisa menyampaikan tantangan, hambatan, dan terobosan hukum apa yang pernah dilakukan peserta dalam penanganan kasus KtP.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:1. Dapat mengetahui pengalaman peserta lainnya dalam
menangani kasus-kasus KtP. 2. Dapat mengetahui tantangan, hambatan, dan terobosan
hukum apa yang pernah dilakukan peserta dalam penanganan kasus KtP.
Metode Curah pendapatProses2 menit
25 menit
3 menit
1. Fasilitator menjelaskan tujuan dari sesi ini, dan meminta kepada peserta untuk menyampaikan pengalamannya dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
2. Fasilitator memandu curah pendapat untuk mengetahui poin-poin penting proses penanganan KtP dalam proses peradilan dengan perspektif substansi, struktur, dan kultur hukum. Fasilitator mencatat poin-poin penting itu dalam kertas flipchart.
3. Fasilitator menyimpulkan hasil curah pendapat dan menyiapkan pelaksanaan moot court, serta mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta.
Waktu 30 menit Alat-alat 1. Plano
2. Spidol3. Kertas HVS
Bahan bacaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dakwaan, tuntutan, dan putusan kasus-kasus KtP dari kasus yang telah dibahas pada Modul 2 Sesi 5
Modul IIPilar Hukum di Indonesia
23
SeSi 1B
Simulasi Pengadilan (Moot Court)
PENGANTAr
Sesi ini akan menggambarkan simulasi pengadilan (moot court) tentang pe-nanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Peserta diminta bermain peran dalam simulasi pengadilan (moot court) tentang penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang telah dibahas pada Modul 2 Sesi 5.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:1. Dapat mengetahui penyelenggaraan simulasi pengadilan (moot
court) penanganan kasus KtP 2. Dapat mengetahui peran dan fungsi APH lainnya3. Dapat mengetahui efektifitas mekanisme koordinasi dalam
penanganan kasus KtP4. Dapat menumbuhkan sensitivitas gender bagi APH dalam
penanganan kasus-kasus KtPMetode Simulasi pengadilan (Moot court)Proses5 menit
10 menit60 menit
40 menit
5 menit
1. Fasilitator memberikan pengantar dan penjelasan mengenai tujuan dari sesi ini, serta membagi peserta menjadi 3 (tiga) kelompok. Fasilitator menyerahkan satu kasus kepada masing-masing kelompok, dan meminta masing-masing kelompok menyiapkan simulasi pengadilan atas kasus tersebut.
2. Persiapan kelompok3. Fasilitator mempersilahkan kelompok satu menggelar simulasi
pengadilan (moot court) atas kasus pertama selama 10 menit dan menugaskan kelompok dua sebagai penanggap. Apabila diskusi antara kelompok satu dan dua telah selesai, kelompok tiga dipersilahkan untuk memberi komentarnya. Selanjutnya prosedur serupa dilaksanakan pula bagi kasus kedua dan ketiga.
4. Fasilitator memandu peserta untuk melakukan curah pendapat mengenai simulasi pengadilan (moot court) yang telah dilaksanakan dengan fokus. Pertama, tantangan, hambatan, dan terobosan hukum; dan Kedua, menumbuhkan empati kepada perempuan korban KtP. Fasilitator mencatat hasil curah pendapat di flipchart.
5. Fasilitator menyimpulkan hasil dan menutup sesi ini serta mengucapkan terima kasih atas partisipasi peserta.
Waktu 2 jam (120 menit)
24
Alat-alat 1. LCD 2. Laptop3. Plano4. Metaplan untuk papan nama 5. Spidol6. Kardus untuk barang bukti7. Tali rafia 8. Alat-alat peraga untuk barang bukti 9. Meja kursi10. Kertas HVS11. Loud Speaker/ Wireless (3-4 Buah)12. Palu 13. Baju Toga untuk hakim
catatan • Untuk menumbuhkan sensitivitas HAM dan Gender bagi APH dalam melaksanakan simulasi pengadilan, diharapkan para pemeran tidak memerankan peran profesionalnya atau masing-masing peserta bisa saling berganti peran.
• Perempuan korban dapat juga diperankan oleh peserta laki-laki.
Modul IIPilar Hukum di Indonesia
25
SeSi 1C
Bermain Peran Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP)
PENGANTAr
Sesi ini berguna untuk dilaksanakan apabila seluruh peserta adalah anggota polisi terutama para petugas lapangan. Mereka harus menyadari bahwa korban bukanlah seseorang yang membebani polisi, tetapi korban akan dapat membantu polisi menuntaskan tugasnya dalam penyidikan sebuah kasus kekerasan terhadap perempuan. Sikap yang menyalahkan korban, menakut-nakuti, sok berkuasa, militeristik dan sikap arogan lainnya harus dijauhi oleh mereka. Untuk itu sikap, tingkah laku, bahasa tubuh, suara, air muka yang empatik harus sering dilatihkan kepada polisi.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:1. Dapat tuntas melaksanakan metode pelatihan partisipatif yang
penting yaitu “to do” selain “to hear” dan “to see” yang sebelumnya telah dilaksanakan.
2. Dapat mempraktekkan hukum acara, aturan perundang-undangan serta prosedur penanganan kasus KtP yang berlaku.
3. Dapat memahami penderitaan perempuan korban kekerasan secara lebih nyata.
4. Dapat berefleksi diri, introspeksi dan menghayati alasan mengapa ada keharusan untuk berempati kepada korban.
5. Dapat mengetahui dan merasakan berbagai hambatan dalam menangani kasus KtP.
Metode Bermain peran dan Diskusi.
26
Proses5 menit
10 menit
35 menit
120 menit
10 menit
1. Fasilitator memberikan pengantar dan penjelasan mengenai tujuan dari sesi ini.
2. Fasilitator membagi peserta dalam tiga kelompok dan memberikan kasus yang harus dimain-perankan.
3. Fasilitator meminta masing-masing kelompok memisahkan diri dan mulai melakukan pembagian tugas dan peran, serta melaksanakan pelatihan sekedarnya.
4. Fasilitator mempersilahkan kelompok 1 (satu) mempersiapkan setting tempat dan memperagakan permainan peran kelompoknya. Fasilitator meminta kelompok 2 (dua) untuk memberikan kritik, saran, tanggapan atas permainan kelompok 1 (satu). Kemudian kelompok 1 (satu) dipersilahkan menanggapinya kembali. Setelah diskusi antara kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) tuntas, kelompok 3 (tiga) dipersilahkan untuk ikut menanggapi. Demikian seterusnya berlaku juga untuk permainan peran kelompok 2 (dua) dan 3 (tiga).
5. Fasilitator menyimpulkan hasil diskusi, menutup sesi dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta.
Waktu 180 menitAlat-alat 1. Tiga buah kasus untuk masing-masing peserta (KDRT, PTPPO,
Perkosaan Anak)2. Ruang untuk bermain peran.3. Meja dan kursi dan alat-alat lainnya untuk perlengkapan permainan
peran.4. Loudspeaker/ wireless.
Modul IIPilar Hukum di Indonesia
27
SeSi 2
Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
(SPPT – PKKTP)
PENGANTAr
Sesi ini mengajak peserta untuk mendalami pembentukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang sensitif gender dalam penanganan kasus-kasus KtP yang bertujuan untuk menghapus KtP.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:Dapat memahami sejarah kemunculan, ruang lingkup kerja, dan prinsip-prinsip dalam SPPT – PKKTP
Metode Ceramah dan tanya jawabProses5 menit
20 menit
50 menit
15 menit
1. Fasilitator memberikan pengantar dan tujuan dari sesi ini. Setelah itu, fasilitator memperkenalkan narasumber pada peserta.
2. Narasumber memberikan pengantar atau poin-poin presentasi materi.
3. Fasilitator membuka termin tanya jawab antara narasumber dan peserta.
4. Fasilitator bersama peserta menyusun kesimpulan bersama.Waktu 90 menitAlat-alat 1. LCD
2. LaptopBahan Bacaan
1. Struktur, substansi, dan budaya hukum 2. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus
Kekerasan Terhadap Perempuan
28
SeSi 3
Sinergitas APH dengan Pemangku Kebijakan dalam Upaya Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan
PENGANTAr
Sesi ini mengajak peserta untuk mengetahui pentingnya sinergitas APH dengan pemangku kebijakan lainnya dalam upaya penghapusan KtP.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:1. Dapat memahami situasi dan kondisi pelayanan korban yang
ada.2. Dapat mengetahui bahwa korban mempunyai hak atas
pelayanan yang adil.3. Dapat mengetahui pentingnya koordinasi antar pihak untuk
melayani korban melalui Sistem Pelayanan Terpadu.Metode Panel DiskusiProses5 menit
40 menit
Sekitar 60 menit
12 menit
3 menit
1. Fasilitator memandu review tentang apa yang sudah dilaksanakan pada kegiatan hari sebelumnya, memberikan pengantar dan penjelasan mengenai tujuan dari sesi ini.
2. Fasilitator sebagai moderator memberikan pengantar dan tujuan dari sesi ini. Setelah itu, fasilitator memperkenalkan narasumber pada peserta.
3. Fasilitator mempersilakan narasumber menyampaikan paparan kepada peserta. Masing-masing dengan alokasi waktu 15 menit.
4. Fasilitator mengajak peserta untuk berdialog dengan narasumber.
5. Fasilitator menyimpulkan hasil dan menutup sesi ini serta mengucapkan terima kasih atas partisipasi peserta.
Waktu Sekitar 120 menitAlat-alat 1. LCD
2. Laptop3. Plano4. Flipchart
Modul IIPilar Hukum di Indonesia
29
catatan Narasumber yang perlu diundang tergantung kepada kondisi KtPA (Kekerasan terhadap perempuan dan anak) setempat, antara lain pihak pemerintah seperti, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan kementerian terkait lainnya serta pemangku kepentingan lain yang melaksanakan pelayanan terhadap korban seperti, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdaaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Women Crisis Center, Organisasi Perempuan, Organisasi Keagamaan, dan lain sebagainya.
31
Modul IV
rencana Tindak Lanjut dan Evaluasi
PENGANTAr
Modul ini menjelaskan bahwa peserta perlu membuat Rencana Tindak Lanjut dan evaluasi. Modul ini terbagi atas tiga sesi. Sesi pertama, membahas tentang Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,
Threat) dan SMART (Specific,Measurable,Achievable,Realistic,Timebond); Sesi kedua, penyusunan Rencana Tindak Lanjut; Sesi ketiga, evaluasi.
32
SeSi 1
Analisis SWOT dan SMART
PENGANTAr
Sesi ini mengajak peserta perlu membuat RTL untuk mengintegrasikan ke dalam pelaksanaan tugas-tugasnya untuk penanganan kasus-kasus KtP dengan menggunakan analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, Threat) dan SMART (Specific,Measurable,Achievable,Realistic,Timebond).
Tujuan diakhir sesi ini peserta akan:Peserta dapat menganalisis kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang lembaga masing-masing dengan menggunakan Analisis SWOT dan SMART.
Metode Diskusi KelompokProses5 menit menit
25 menit
25 menit5 menit
1. Fasilitator memberikan penjelasan tentang tujuan sesi serta metodenya.
2. Fasilitator membagi peserta menjadi beberapa kelompok sesuai asal lembaganya masing-masing. Mintalah setiap peserta untuk berdiskusi dalam kelompoknya masing-masing berdasarkan regional daerah atau provinsi tentang:♦Menganalisis kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang
dengan menggunakan Analisis SWOT ♦ Perumusan kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang
dengan menggunakan Analisis SWOT. Jelaskan bahwa setelah menganalisis dan merumuskan hal-hal di atas dengan menggunakan SMART, mereka akan mempresentasikan hasilnya secara singkat.
3. Presentasi setiap kelompok.4. Fasilitator bersama peserta menyusun kesimpulan, menutup
sesi dan mengucapkan terima kasih. Waktu 60 menitAlat-alat 1. Plano
2. Selotip3. Spidol
Bahan Bacaan 1. Bahan-bahan bacaan tentang Analisis SWOT dan SMART2. Form RTL
Modul IVRencana Tindak Lanjut dan Evaluasi
33
SeSi 2
Rencana Tindak Lanjut
PENGANTAr
Sesi ini digunakan untuk menyusun kesepakatan bersama melalui Rencana Tindak Lanjut (RTL) untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang dilakukan oleh individu dan institusi/lembaga atau regional. RTL ini penting juga untuk merawat jaringan dengan membangun komunikasi dan koordinasi antar peserta, dan peserta dengan penyelenggara.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:1. Dapat menyusun kesepakatan bersama tentang rencana
tindak lanjut upaya penghapusan KtP yang dilakukan oleh individu dan institusi/lembaga atau regional.
2. Dapat membangun komunikasi dan koordinasi dengan antar peserta, dan peserta dengan penyelenggara untuk saling menguatkan dalam upaya penghapusan KtP.
Metode Diskusi kelompok Proses5 menit20 menit
20 menit10 menit
5 menit
1. Fasilitator menjelaskan tujuan sesi ini serta metodenya. 2. Fasilitator membagi peserta menjadi beberapa kelompok
sesuai asal lembaganya masing-masing. Peserta diminta untuk mendiskusikan tentang:
♦ Perumusan rencana tindak lanjut individu ♦ Perumusan rencana tindak lanjut institusi/lembaga Jelaskan bahwa setelah selesai menuliskan rencana tindak
lanjut individu dan institusi/lembaga, mereka akan mempresentasikan hasilnya secara singkat.
3. Presentasi dari setiap kelompok.4. Fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan RTL yang
dibuat oleh masing-masing kelompok. 5. Fasilitator bersama peserta menyusun kesimpulan, menutup
sesi dan mengucapkan terima kasih.
Waktu 60 menitAlat-alat 1. Plano
2. Selotip3. Spidol
Bahan Bacaan Bahan-bahan bacaan tentang ’Rencana Tindak Lanjut’
34
catatan 1. Penggunaan analisis SWOT dan SMART agar terwujudnya RTL.
2. Terkait dengan usulan RTL yang menginginkan perubahan kebijakan, perlu dilakukan advokasi selanjutnya akan dilakukan oleh Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga mitra.
Modul IVRencana Tindak Lanjut dan Evaluasi
35
SeSi 3
Evaluasi
PENGANTAr
Sebelum evaluasi akhir pelatihan, peserta diminta mengisi form post-test. Evaluasi dapat dilakukan secara tertulis dan atau evaluasi dengan menggunakan teknik permainan.
Tujuan diakhir sesi ini peserta:1. Dapat menuliskan evaluasi; usulan dan kritik terhadap seluruh
proses pelatihan. 2. Dapat menggambarkan ekspresi penilaian peserta tentang
penyelenggaraan pelatihan. Metode Mengisi form evaluasi dan/atau role playProses (evaluasi Tertulis) 2 menit
25 menit
3 menit
1. Fasilitator memberikan penjelasan tentang tujuan sesi dan metodenya.
2. Fasilitator membagikan form evaluasi kepada masing-masing peserta dan peserta diminta untuk mengisinya. Form evaluasi ini penting diisi sebagai rekomendasi terhadap kegiatan selanjutnya.
3. Peserta mengumpulkan form evaluasi.
Proses (evaluasi dengan Role Play)
1. Fasilitator menjelaskan tentang tujuan sesi ini dan metode pelaksanaannya.
2. Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan evaluasi melalui permainan dengan cara:a. Fasilitator menempelkan kertas jawaban dalam tiga
kategori (a) setuju, (b) tidak setuju, (c) abstain di lantai. b. Fasilitator membacakan daftar pertanyaan satu per satu
dan meminta peserta memilih jawaban dengan berlari menuju jawaban yang dipilihnya. Begitu seterusnya sampai selesai.
c. Fasilitator menggali alasan-alasan atas pilihan peserta terhadap jawaban untuk setiap pertanyaan dan meminta panitia mencatat dalam kertas flipchart.
3. Fasilitator menyimpulkan hasil evaluasi melalui hasil permainan dan dialog yang terjadi dan merumuskan hasil-hasil pentingnya.
Waktu 30 menit dan atau 30 menit
36
Alat-alat 1. Untuk evaluasi tertulis alatnya berupa form dan pulpen.2. Untuk evaluasi dengan role play perlu rafia, flipchart, plano,
dan metaplan bertuliskan (a) setuju, (b) tidak setuju, (c) dan abstain.
Bahan Form evaluasi catatan Fasilitator dapat melakukan improvisasi untuk metode evaluasi
sesuai dengan waktu pelatihan.