modul 14 pancasila
DESCRIPTION
Untuk BelajarTRANSCRIPT
![Page 1: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/1.jpg)
A. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Reformasi dengan melakukan perubahan dalam berbagai bidang yang sering diteriakkan dengan
jargon reformasi total tidak mungkun melakukan perubahan terhadap sumbernya itu sendiri.
Mungkinkah reformasi total dewasa ini akan mengubah kehidupan bangsa Indonesia menjadi
tidak berketuhanan, tidak berkemanusiaan, tidak berpersatuan, tidak berkerakyatan serta tidak
berkeadilan, dan kiranya hal itu tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu justru sebaliknya
reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa
Indonesia Nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma Reformasi Total tersebut.
1. Gerakan Reformasi
Awal keberhasilan gerakan Reformasi tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto
pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr.
B.J. Habibie menggantikan kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukkan
Kabinet Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan
transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara
menyeluruh, terutama pengubahan 5 paket UU, Politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan
reformasi ekonomu yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu diwujudkan UU Anti
Monopoli, UU Persaingan Sehat, UU Kepailitan, UU Usaha Kecil, UU Bank Sentral, UU
Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Buruh dan lain sebagainya (Nopirirn, 1998 : 1).
Dengan demikian reformasi harus diikuti juga dengan reformasi hukum bersama aparat
penegaknya serta reformasi pada berbagai instansi pemerintahan.
Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara
yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui Pemilu
secepatnya dan diawali dengan pengubahan :
a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis. UU No.
5/1975 dan UU No. 2/1985).
b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No. 3/1985).
c. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 16/1969 jis UU No.4/1975, UU No. 2/1980, dan UU
No. 1/1985).
d. Reformasi terhadap UU Politik tersebut di atas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim
politik yang demokratis sesuai dengan kehendak Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa
kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (Mardjono, 1998 : 57).
a. Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila
Makna “Reformasi” secara etimologis berasal dari kata “reformation” dengan akar kata “reform”
yang secara semantic bermakna “make or become better by removing or putting right what is bad
or wrong” (Oxford Advanced Leaner’s Divtionary of Current English, 1980. dalam Wibisono,
1998 : 1). Secara harfiah reformasi memiliki makna: suatu gerakan untuk memformat ulang,
menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format
atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda, 1998).
1) Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut :
Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa
pemerintahan Orde banyak terjadi suatu penyimpangan misalnya asas kekeluargaan menjadi
“nepotisme”, kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pembukaan
UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.
![Page 2: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/2.jpg)
2) Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan
ideologis) tertentu, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia,
dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi pada
prinsip-prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada dasar nilai-nilai sebagaimana
yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan ideologis yang jelas maka
gerakan reformasi akan mengarah kepada anarkisme, disentegrasi bangsa dan akhirnya jatuh
pada suatu kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni
Soviet dan Yugoslavia.
3) Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka struktural
tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformas. Reformasi pada prinsipnya
gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan
struktural yang ada karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan
mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di tanga
rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi harus mengembalikan dan
melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam arti yang sebenarnya sebagaimana
terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi
manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena
itu reformasi itu sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu
reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparansi dalam setiap
kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai manifestasi bahwa
rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala aske kegiatan
negara.
4) Refomasi dilakukan kearah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang lebih baik.
Perubahan yang dilakukan dengan reformasi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan
rakyat yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan reformasi harus dilakukan ke
arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia.
5) Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang Berketuhanan
Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
b. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
Gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai landasan
cita-cita dan ideologi (Hamengkubuwono X, 1998 : 8) sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang
jelas maka suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme, brutalisme, serta
pada akhirnya menuju pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Maka reformasi dalam
perspektif Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Adapun secara rinci sebagai berikut:
1) Reformasi yang Berketuhanan yang Maha Esa, yang berarti bahwa suatu gerakan ke arah
perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan manusia
sebagai Makhluk Tuhan. Karena hakikatnya manusia adalah sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa adalah sebagai makhluk yang sempurna yang berakal budi sehingga senantiasa
bersifat dinamis, sehingga selalu melakukan suatu perubahan ke arah suatu kehidupan
kemanusiaan yang lebih baik. Maka reformasi harus berlandasan keagamaan. Oleh karena itu
![Page 3: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/3.jpg)
reformasi yang dijiwai nilai-nilai religius tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan,
merugikan orang lain serta bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
2) Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berarti bahwa reformasi harus
dilakukan dengan dasar-dasar nilai-nilai martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu
reformasi harus dilandasi oleh moral kemanusiaan yang luhur, yang menghargai nilai-nilai
kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan bahkan reformasi menargetkan ke
arah penataan kembali suatu kehidupan negara yang menhargai harkat dan martabat manusia,
yang secara kongkrit menghargai hak-hak asasi manusia. Reformasi menentang segala
praktek eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia lain, oleh golongan satu
terhadap golongan lain bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Untuk bangsa yang
majemuk seperti bangsa Indonesia maka semangat reformasi yang berdasar pada
kemanusiaan menentang praktek-praktej yang mengarah pada diskriminasi dan dominasi
sosial, bik alasan perbedaan suku, ras, asal-usul maupun agama. Reformasi yang dijiwai
nilai-nilai kemanusiaan tidak membenarkan perilaku yang biadab membakar, menganiaya,
menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan lainnya yang mengarah pada praktek
anarkisme. Sekaligus reformasi yang berkemanusiaan harus membrantas sampai tuntas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang telah sedemikian mengakar pada kehidupan kenegaraan
pemerintahan Orba (lihat Hamengkubuwono X, 1998 : 8).
3) Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan, sehingga reformasi harus
menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Reformasi harus menghindarkan diri
dari praktek-praktek yang mengarah pada disintegrasi bangsa, upaya sparatisme baik atas
dasar kedaerahan, suku maupun agama. Reformasi memiliki makna menata kembali
kehidupan bangsa dalam bernegara, sehingga reformasi justru harus mengarah pada lebih
kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa. Demikian juga reformasi harus senantiasa dijiwai
asas kebersamaan sebagai suatu bangsa Indonesia.
4) Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas kerakyatan sebab justru permasalah
dasar gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penatan kembali secara menyeluruh
dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara harus meletakkan kerakyatan sebagai
paradigmanya. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai
tujuan kekuasaan negara, dalam pengertian inilah maka reformasi harus mengembalikan pada
tatanan pemerintahan negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Maka semangat reformasi menentang segala
bentuk penyimpangan demokratis seperti kediktatoran baik bersifat langsung maupun tidak
langsung,, feodalisme maupun totaliterianisme. Asas kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya masyarakat demokratis.
Kecenderungan munculnya diktator mayoritas melalui aksi massa, harus diarahkan pada asas
kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada anarkisme. Oleh karena itu penataan
kembali mekanisme demokrasi seperti pemilihan anggota DPR, MPR, pelaksanaan Pemilu
beserta perangkat perundang-undangannya pada hakikatnya untuk mengembalikan tatanan
negara pada asas demokrasi yang bersumber pada kerakyatan sebagaimana terkandung dalam
sila keempat Pancasila.
5) Visi dasar reformasi harus jelas, yaitu demi terwujudnya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali dalam
berbagai bidang kehidupan negara harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu terwujudnya
tujuan bersama sebagai negara hukum yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Oleh karena itu hendaklah disadari bahwa gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan
![Page 4: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/4.jpg)
penataan kembali, pada hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu sendiri,
namun perubahan dan penataan demi kehidupan bersama yang berkeadilan. Perlindungan
terhadap hak asai, peradilan yang benar-benar terbebas dari kekuasaan, serta legalitas dalam
arti hukum harus benar-benar dapat terwujudkan. Sehingga rakyat benar-benar menikmati
hak serta kewajibannya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Oleh karena itu
reformasi hukum baik yang menyangkut materi hukum terutama aparat pelaksana dan
penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak untuk terciptanya suatu
keadilan dalam kehidupan rakyat.
Dalam perspektif Pancasila gerakan reformasi sebagai suatu upaya untuk menata ulang dengan
melakukan perubahan sebagai realisasi kedinamisan dan keterbukaan Pancasila dalam
kebijaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka dan
dinamis Pancasila harus mampu mengantisipasi perkembangan zaman terutama perkembangan
dinamika aspirasi rakyat. Nilai-nilai Pancasila adalah ada pada filsafat hidup bangsa Indonesia,
dan sebagai bangsa maka akan senantiasa memiliki perkembangan aspirasi sesuai dengan
tuntutan zaman. Oleh karena itu Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang “reformasi”
artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengna dinamika
aspirasi rakyat, dalam mengantisipasi perkembangan zaman, yaitu dengan jalan menata kembali
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, akan tetapi nilai-nilai
esensialnya bersifat tetap yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
2. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan hukum
sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan kembali
tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundang-
undangan. Agenda yang lebih kongkret yang diperjuangkan oleh para reformasi yang paling
mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa
setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan Orde Baru, salah satu subsistem yang
mengalami kerusakan parah selama Orde Baru adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi
maupun penegakannya dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta
keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan
masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat imperatif bagi penyelenggaraan pemerintahan.
Oleh karena kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang
misalnya politik, ekonomi, dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu
reformasi, menata kembali subsistem yang mengalami kerusan tersebut. Namun demikianlah
hendaklah dipahami bahwa dalam melakukan reformasi tidak mungkin dilakukan secara
spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang jelas, dan
dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan dasar cita-cita
reformasi.
Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum
Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber
hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut “Staatsfundamentalnorm”. Dalam
negara Indonesia “Staatsfundamentalnorm” tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka
Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah
penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila
![Page 5: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/5.jpg)
berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya
perubahan hukum. Materi-materi dalam suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat
senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan Iptek serta
perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai-nilai Pancasila) harus
senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada situasi vacum.
Oleh karena itu agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat maka hukum
harus senantiasa diperbaruhi agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat
yang dilayaninya dan dalam pembaruhan hukum yang terus-menerus tersebut Pancasila harus
tetap sebagai kerangka berpikir, sumber norma dan sumber nilai-nilainya.
Sebagai paradigma dalam pembaruhan tatanan hukum Pancasila itu dapat dipandang sebagai
“Cita-cita hukum” yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia.
Sebagai cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulative.
Dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang member arti dan
makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila maka hukum
akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi
regulatifnya Pancasila menentukan Apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil
ataukah tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi
(sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam pengertian
inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala peraturan perundang-
undangan di Indonesia (Mahfud, 1999 : 59).
Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, (1) sumber formal hukum, yaitu sumber hukum
ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya,
misalnya Undang-Undang Permen, Perda, dan (2) sumber material hukum, yaitu suatu sumber
hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum (Darmodiharjo, 1996 : 206).
Pancasila yang didalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum kodrat, nilai hukum
moral pada hakikatnya merupakan suatu sumber material hukum positif di Indonesia. Dengan
demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia yang
tersusun secara hierarkhis.
Dasar Yuridis Reformasi Hukum
Dalam upaya reformasi hukum dewasa ini telah banyak dilontarkan berbagai macam pendapat
tentang aspek apa saja yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia, bahkan telah
banyak usulan untuk perlunya amandemen atau kalau perlu perubahan secara menyeluruh
terhadap pasal-pasal UUD 1945.
Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktek
penyelenggaraan negara bersifat berwayuh arti (multi interpretable), dan memberikan porsi
kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden (executive heavy). Akibatnya memberikan
kontribusi atas terjadinya krisis politik serta mandulnya fungsi hukum dalam negara republik
Indonesia. Diakuinya berdasarkan banyaknya spirasi yang berkembang cenderung ke arah
adanya amandemen terhadap pasal-pasal UUD bukannya perubahan secara menyeluruh
(Mahfud, 1999 : 56). Namun hendaklah dipahami secara objektif bahwa bilamana terjadi suatu
amandemen atau bahkan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945, karena Pembukaan UUD
1945 yang berkedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, merupakan sumber
hukum positif, memuat Pancasila sebagai dasar Filsafat Negara serta terlekat pada kelangsungan
hidup Negara Prokalamsi 17 Agustus adalah suatu revolusi dan sama halnya dengan
![Page 6: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/6.jpg)
menghilangkan eksistensi bangsa dan negara Indonesia, atau dengan perkataan lain sama halnya
dengan pembuburan negara Indonesia.
Pancasila sebagai Paradigma Reforamsi Pelaksanaan Hukum
Reformasi pada hakikatnya untuk mengembalikan negara pada kekuasaan rakyat (Sila IV).
Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat adalah asal-mula kekuasaan negara. Maka
dalam pelaksanaan hukum harus mengembalikan negara pada supremasi hukum yang didasarkan
atas kekuasaan yang berada pada rakyat bukannya pada kekuasaan rakyat dilakukan oleh suatu
majelis Permusyawaratan Rakyat yang dilakukan melalui suatu pemilihan umum. Oleh karena
itu pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus mendasarkan pada terwujudnya atas
jaminan bahwa dalam suatu negara kekuasaan adalah di tangan rakyat.
Pelaksanaan hukum pada masa reformasi ini harus benar-benar dapat mewujudkan negara
demokratis dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan hukum harus mampu
mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan (Sila V), dalam suatu negara yaitu
keseimbangan antara hak dan wajib bagi setiap warga negara tidak memandang pangkat, jabatan,
golongan, etinisitas, maupun agama. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dimuka
hukum dan pemerintahan (UUD 1945 Pasal 27). Jaminan atas terwujudnya keadilan bagi setiap
warga negara dalam hidup bersama dalam suatu negara yang meliputi seluruh unsur keadilan
baik keadilan distributif , keadilan komutatif, serta keadilan legal. Konsekuensinya dalam
pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama pihak kejaksaan adalah sebagai ujung
tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari praktek KKN.
3. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik
Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai fondasi bangunan
negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataannya tidak dilaksanakan
berdasarkan suasana kerokhaniaan berdasarkan nilai-nilai tersebut. Dalam realisasinya baik pada
masa orde lama maupun orde baru, negara mengarah pada praktek otoritarianisme yang
mengarah pada porsi kekuasaan yang terbesar kepada Presiden.
Nilai demokrasi politik tersebut secara normatif terjabarkan dalam Pasal-pasal UUD 1945
yaitu Pasal 1 ayat (2) menyatakan :
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”
Pasal 2 ayat (2) menyatakan:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan
yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal 5 ayat (1) menyatakan :
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.”
Pasal 6 ayat (2) menyatakan :
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara
terbanyak.”
Rangkaian keempat pasal tersebut terkesan sangat unik, karena berdasarkan ketentuan Pasal
1 ayat (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi negara untuk
menjalankan kedaulatan rakyat, serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2) berkuasa memilih
![Page 7: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/7.jpg)
Presiden. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) susunan dan kedudukannya justru diatur
dengan undang-undang yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut terdapat suatu pertanyaan mendasar berkaitan
dengna mekanisme-demokrasi yaitu bagaimana NOR sebagai lemabgai tertinggi negara yang
memiliki kekuasaan tertinggi, namun ditentukan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR
yang kekuasaannya di bawah MPR. Hal ini bilamana dipahami secara harfiah akan
menimbulkan interpretasi negatif. Oleh karena itu harus dipahami berdasarkan semangat dari
UUD 1945 yang merupakan esensi pasal-pasal itu :
a. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara.
b. Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
karenanya harus tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
d. Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri maupun bersama-sama
lembaga lain, kekuatannya berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau
produk-produknya.
Prinsip-prinsip demokrasi tersebut bilamana kita kembalikan pada nilai esensial yang terkandung
dalam Pancasila maka kedaulatan tertinggi negara adalah di tangan rakyat. Rakyat adalah
merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu paradigma ini harus merupakan dasar
pijak dalam reformasi politik.
4. Reformasi atas Sistem Politik
Sistem mekanisme demokrasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Politik yang berlaku
selama Orde Baru yaitu :
a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis UU No.
5/1975 dan UU No. 2/1985).
b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No. 3/1985).
c. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 15/1969 jis UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU
No. 1/1985).
Oleh karena itu untuk melakukan reformasi atas sistem politik harus juga melalui reformasi pada
Undang-Undang yang mengatur sistem politik tersebut, dengan tetap mendasarkan pada
paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.
Susunan Keanggotaan MPR
Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD pada masa orde baru
bermuat dalam UU No. 2/1985 sebagai berikut :
a. Susunan keanggotaan MPR terdiri atas keseluruhan anggota DPRm ditambah dengan
anggota utusan daerah dan utusan golongan “sebagai kelompok yang lain” dalam jumlah
yang sama.
b. Utusan golongan diangkat oeh Presiden, sedangkan utusan daerah ditetapkan oleh DPRD
Tingkat 1 yang di dalamnya harus termasuk Gubernur/Kepala Daerah Tingkat 1.
c. Susunan keanggotaan DPR dan DPRD Tingkat 1 dan Tingkat II tidak seluruhnya dipilih oleh
rakyat melalui pemilu, melainkan sebagian dipilih dan diangkat oleh Presiden.
d. Kata “ditambah” seperti termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 secara matematis
menunjukkan perbandingan jumlah anggota MPR Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang
![Page 8: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/8.jpg)
notabene diangkat dan sekedar sebagai tambahan akan lebih besar dibandingkan jumlah
anggota MPR yang dipilih langsung oleh rakyat, bahkan ditambah lagi anggota DPR dari
fraksi ABRI yang juga tidak dipilih melalui pemilu.
Susunan keanggotaan MPR sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Politik No. 2/1985
tersebut jelas tidak demokratis dan tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila bahwa kedaulatan
adalah ditangan rakyat sebagai tertuang dalam semangat UUD 1945.
Berdasarkan kenyataan susunan keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD tersebut di atas maka
rakyat bertekad melakukan reformasi dengan mengubah sistem politik tersebut melalui Sidang
Istimewa MPR tahun 1998, yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Politik Tahun
1999. Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 yang mengatur tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD.
Perubahan yang telah dilakukan antara lain Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah
anggota MPR sebanyak 700 orang.
Anggota DPR hasil Pemilu sebanyak 500 orang.
Utusan Daerah sebanyak 135 orang, yaitu 5 orang dari setiap Daerah Tingkat I.
Utusan Golongan sebanyak 65 orang.
Kemudian perubahan yang mendasar berikutnya adalah pada Pasal 2 ayat (3) yaitu Utusan
daerah dipilih oleh DPR, dan sebagaimana diketahui bahwa DPR adalah merupakam hasil
Pemilu jadi bersifat demokratis. Kalau pada UU No. 2/1985 dipilih dan diangkat oleh Presiden.
Demikian pula perubahan atas penentuan Utusan Golongan diusulkan oleh golongan masing-
masing kepada DPR untuk ditetapkan. Adapun jenis dan jumlah wakil dari masing-masing
golongan ditetapkan oleh DPR Pasal 2 ayat (5).
Susunan Keanggotaan DPR
Perubahan atas isi keanggotaan DPR tertuang dalam Undang-Undang No. 4 Pasal 11 sebagai
berikut :
Pasal 4, ayat (2) menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas :
a. anggota partai politik hasil Pemilu
b. anggota ABRI yang diangkat.
Pasal 11 ayat (3) menjelaskan :
a. anggota partai politik hasil Pemilu sebanyak 462 orang.
b. anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang.
Berkaitandengan keanggotaan ABRI di DPR ini sampai saat ini masih ada sementara masyarakat
yang menolak, namun berdasarkan hasil Sidan Istimewa MPR tahun 1998, untuk keanggotaan
ABRI ini akan dikurangi secara bertahap. Berdasarkan pertimbangan dan hasil musyawarah saat
ini masih perlu partisipasi ABRI dalam sistem demokrasi demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I
Reformasi atas Undang-Undang Politik yang mengatur Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I,
tertuang dalam Undang-Undang Politik No. 4 Tahun 1999, sebagai berikut :
Pasal 18 ayat (1) bahwa pengisian anggota DPRD I dilakukan melalui Pemilu dan
pengangkatan.
Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas :
a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum.
b. anggota ABRI yang diangkat.
![Page 9: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/9.jpg)
Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya
45 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.
Demikianlah kiranya upaya untuk mengembalikan tatanan demokrasi pada dasar nilai kedaulatan
di tangan rajkyat dituangkan dalam Undang-Undang Politik Tahun 1999.
Susunan Keanggotaan DPRD II
Reformasi atas susunan keanggotaan DPRD II tertuang dalam Undang-Undang Politik No. 4
Tahun 1999, sebagai berikut :
Pasal 25 ayat (1) menyatakan: pengisian anggota DPRD II dilakukan berdasarkan hasil
Pemilihan Umum dan pengangkatan.
Pasal 25 ayat (2) menyatakan DPRD II terdiri atas
a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum
b. anggota ABRI yang diangkat.
Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD II ditetapkan sekurang-
kurangnya 20 orang sebanyak-banyaknya 45 orang termasuk 10% anggota ABRI yang
diangkat.
Demikianlah perubahan atas dasar Undang-Undang tentang Susunan Keanggotaan MPR, DPR
dan DPRD agar benar-benar mencerminkan nilai Kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila
keempat Pancasila yang merupakan paradigma demokrasi.
Reformasi Partai Politik
Adapun ketentuan yang mengatur tentang Partai Politik diatur dalam Undang-Undang No. 2
Tahun 1999, tentang Partai Politik yang lebih demokratis dan memberikan kebebasan serta
keleluasaan untuk menyalurkan aspirasinya. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tersebut
ditentukan :
Syarat-syarat pembentukkan Partai Politik termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2
Tahun 1999 sebagai berikut.
Ayat (1) Sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang
telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik.
Ayat (2) Partai Politik sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat :
a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam anggaran dasar Pantai.
b. asas atau ciri, aspirasi, dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila.
c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Republik Indonesia
yang telah mempunyai hak pilih.
d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang
negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera
negara asing gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.
Berdasarkan ketentuan UU tersebut warga negara diberi kebebasan untuk membentuk Partai
Politik untuk menyalurkan aspirasi politiknya, selain itu setiap Partai diberikan kebebasan pula
untuk menentukan asas sebagai ciri serta program masing-masing.
Atas ketentuan UU tersebut maka bermunculanlah Partai Politik di era reformasi ini yang
mencapai 114 Partai Politik. Namun dalam kenyataannya yang memenuhi syarat untuk
mengikuti pemilihan umum hanya 48 Partai Politik. Partai-partai politik itulah yang ikut dalam
pemilu tahun 1999, yang berdasarkan hasil Sidang Istimewa MPR dipercepat yaitu tanggal 7 Juni
1999. Selain itu tidak kalah pentinya pelaksanaan Pemilu juga dilakukan perubahan dan diatur
![Page 10: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/10.jpg)
dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan umum. Pemilihan Umum
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang tersebut adalah bersifat, jujur, adil, langsung,
umum, bebas, dan rahasia. Terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang benar-benar
demokrasi maka penyelenggara pemilu tersebut berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 3
Tahun 1999, Bab III Pasal 8, dijelaskan bahwa penyelenggara Pemilihan Umum dilakukan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur Partai-partai
Politik peserta pemilihan umum dan unsur Pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Berdasarkan ketentuan pada UU tersebut secara sistemik pelaksanaan Pemilu tahun 1999 bersifat
demokratis, bahkan ditambah lagi dengan adanya kebebasan untuk membentuk pemantai Pemilu
baik daari dalam maupun luar negeri.
5. Reformasi atas Kehidupan Politik
Reformasi kehidupan politik agar benar-benar demokratis dilakukan dengan jalan revitalisasi
ideologi Pancasila, yaitu dengan mengembalikan Pancasila pada kedudukan serta fungsi yang
sebenarnya sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri negara yang tertuang dalam UUD 1945.
Nilai-nilai Pancasila harus benar-benar dijadikan sebagai sumber nilai serta sumber norma dalam
segala penentuan kebijaksanaan negara serta reformasi peraturan perundang-undangan negara.
Reformasi kehidupan politik juga dilakukan dengan meletakkan cita-cita kehidupan kenegaraan
dan kebangsaan dalam suatu kesatuan waktu yaitu nilai masa lalu, masa kini, dan kehidupan
masa yang akan datang. Atas dasar inilah maka pertimbangan realistic sebagai unsur yang sangat
penting yaitu dinamika kehidupan masyarakat, aspirasi serta tuntutan masyarakat yang
senantiasa berkembang untuk menjamin tumbuh berkembangnya demikrasi di negara Indonesia,
karena faktor penting demokrasi dalam suatu negara adalah partisipasi dari seluruh warganya.
Dengan sendirinya kesemuanya itu harus diletakkan dalam kerangka nilai-nilai yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri sebagai filsafat hidupnya yaitu nilai-nilai Pancasila.
6. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi
rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasikla yang mengutamakan kesejahteraan keseluruhan
bangsa adalah sebagai berikut : (1) Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu
dilakukan dengan program “social safety net” yang popular dengan program Jaringan Pengaman
Sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakayt terhadap pemerintahan, maka
pemerintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknuim
pemerintah masa orde baru yang melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan
kepastian usaha. (2) Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan
menciptakan kondisi kepastian usaha, yang dengan diwujudkan perlindungan hukum serta
Undang-Undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan penyehatan dalam sektor
perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan merupakan jantung perekonomian. (3)
transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem
untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural transformation). Transformasi
struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari
ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari
ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi ekspor (Nopirin,
1999 : 4). Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan yang ikut dalam proses ekonomi
melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus segera diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang
mendasarkan nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan
![Page 11: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/11.jpg)
kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi
kesenjangan ekonomi.
B. Aktualisasi Pancasila Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia mengandung konsekuensi setiap aspek dalam
penyelenggaraan negara dan semua sikap dan tingkah laku bangsa Indonesia dalam
bermasyarakat berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Sebagaimana telah dibahas di muka bahwa nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat
Pancasila adalah bersifat universal, tetap dan tak berubah. Nilai-nilai tersebut perlu dijabarkan
dalam setiap aspek dalam penyelengaraan negara dan dalam wujud norma-norma baik norma
hukum, kenegaraan, maupun norma-nomr moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh
setiap warga negara Indonesia.
Jadi dalam masalah ini kita sampai pada masalah aktualisasi nilai-nilai Pancasila baik dalam
kaitannya dengan aspek pelaksanaan kenegaraan maupun sikap moral semua warga negara
Indonesia. Oleh karena itu permasalahan pokok dalam aktualisasi Pancasila adalah bagaimana
wujud realisasi itu, yaitu bagaimana nilai-nilai Pancasila yang universal itu dijabarkan dalam
bentuk norma-norma yang jelas dalam kaitannya dengan tingkah laku semua warga negara dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta dalam kaitannya dengan segala aspek
penyelenggaraan negara.
Jenis-Jenis Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi objektif dan aktualisasi
subjektif.
1. Aktualisasi Pancasila yang Objektif
Aktualisasi Pancasila yang objektif adalah pelaksanaan Pancasila dalam bentuk realisasi dalam
setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun
semua bidang kenegaraan lainnya. Aktualisasi objektif ini terutama berkaitan dengan realisasi
dalam bentuk perundang-undangan negara Indonesia sebagai berikut :
a. Tafsir Undang-Undang Dasar 1945, harus dilihat dari sudut dasar filsafat negara Pancasila
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.
b. Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Undang-Undang harus mengingat dasar-
dasar pokok pikiran yang terkandung dalam dasar filsafat negara Indonesia.
c. Tanpa mengurangi sifat-sifat Undang-Undang yang tidak dapat diganggu gugat, interpretasi
pelaksanaannya harus mengingat unsur-unsur yang terkandung dalam dasar filsafat negara.
d. Interpretasi pelaksanaan Undang-Undang harus lengkap dan menyeluruh meliputi seluruh
perundang-undangan di bawah Undang-Undang dan keputusan-keputusan administratif dari
semua tingkat penguasa negara, mulai dari pemerintah pusat sampat dengan alat-alat
perlengkapannya, begitu juga meliputi usaha kenegaraan dan kemasyarakatan dari rakyat.
e. Dengan demikian seluruh hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia didasarkan atas dan
diliputi oleh dasar filsafat negara, asas politik dan tujuan negara yang berdasarkan pada asas
kerokhanian Pancasila. Bahkan yang terlebih penting lagi adalah dalam realisasi pelaksanaan
kongkritnya yaitu dalam setiap penentuan kebijaksanaan di bidang kenegaraan antara lain :
1) Garis-garis Besar Haluan Negara
2) Hukum dan perundang-undangan dan peradilan
3) Pemerintahan
![Page 12: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/12.jpg)
4) Politik dalam negeri dan luar negeri
5) Keselamatan, keamanan, dan pertahanan.
6) Kesejahteraan
7) Kebudayaan
8) Pendidikan, dan lain sebagainya (Notonagoro, 1971 : 43,44).
2. Aktualisasi Pancasila yang Subjektif
Aktualisasi Pancasila yang subjektif adalah pelaksanaan pancasila dalam setiap pribadi,
perseorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap
orang Indonesia. Aktualisasi Pancasila yang subjektif ini justru lebih penting dari aktualisasi
yang objektif, karena aktualisasi yang subjektif ini merupakan persyaratan keberhasilan
aktualisasi yang objektif (Notonagoro, 1971 : 44).
C. Analisis Masalah dalam Aktualisasi Pancasila Analisis dilakukan agar dapat memberikan suatu penilaian yang kritis dan objektif serta pada
akhirnya untuk dapat memberikan suatu solusi yang positif. Masalah-masalah yang timbul dalam
kehidupan sehari-hari dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain kurang dihayatinya nilai-
nilai Pancasila, perbedaan pendapat di antara anggota masyarakat, penyelewengan atau mungkin
kesengajaan sebagai upaya untuk menimbulkan kerawanan dalam kehidupan masyarakat.
Masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat itu amat kompleks dan terbatas, oleh
karena itu analisis dilakukan untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas tentang aktualisasi
Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan yang pada akhirnya mampu memberikan arah bagi
aktualisasi Pancasila secara konsisten. Analisis dilakukan secara bertahap dengan mendasarkan
pada suatu paradigma atau sumber nilai yang terkandung pada Pancasila.
1. Sumber Nilai dalam Analisis
Dalam proses analisis masalah ketatanegaraan dan kemasyarakatan sebagai sumber nilai adalah
niali-nilai Pancasila. Maka dalam pengertian ini Pancasila adalah sebagai “Das Sollen” yaitu
sebgai nilai yang seharusnya direalisasikan, adapun masalah, peristiwa atau kasus dalam
kehidupan masyarakat adalah sebagai suatu “Das Sein”, yaitu suatu yang ada dalam kenyataan
hidup masyarakat. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila adalah merupakan sumber nilai, sebagai
patokan dalam pemecahan analisis masalah.
2. Asas Analisis
Dalam melakukan analisis haruslah dengan menggunakan asas-asas serta kriteria yang jelas.
Perlu diketahui bahwa proses analisis ini berkaitan dengan masalah-masalah yang timbul dalam
kehidupan bermasyarakat , kebangsaan dan kenegaraan dengan segala aspeknya. Oleh karena itu
analisis dilakukan tidak hanya berdasarkan pada asas ilmiah rasional saja namun juga berkaitan
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber pada Pancasila sebagaimana dijelaskan di
muka.
a. Asas Rasional Ilmiah
Masalah haruslah diambil (dikumpulkan) dari peristiwa-peristiwa yang timbul dalam kehidupan
kemasyarakatan dan kenegaraan. Masalah atau kasus dapat dihimpun dari surat kabar, majalah
atau media massa lainnya, kemudian diklasifikasikan, dirinci sesuai dengan karakteristiknya
masing-masing serta ciri-cirinya masing-masing. Misalnya masalah-masalah sosial, ternyata
![Page 13: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/13.jpg)
dikembangkan menjadi masalah politik, kemudian diteliti hubungan sebab akibatnya, saling
hubungan di antara faktor-faktor penyebab yang ada atau saling mempengaruhi misalnya
masalah Sara mengakibatkan masalah politik, masalah politik menyebabkan masalah ekonomi
dan lain sebagainya, akhirnya disimpulkan berdasar hukum-hukum logika.
b. Asas Normatif
Selain asas ilmiah dan dasar nilai-nilai Pancasila juga norma-norma yang harus ditaati dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yaitu norma-norma peraturan perundang-
undangan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Maka setiap
permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara harus dianalisis dan
dipecahkan berdasarkan norma-norma peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setelah dilakukan analisis tahap berikutnya yang sangat penting adalah berupaya untuk mencari
alternatif pemecahan. Alternatif pemecahan ini tidak hanya dilakukan secara matematis dan
kuantitatif saja, melainkan tetap harus berdasarkan pada pemikiran bijaksana, yaitu pemecahan
berdasarkan akal, rasa, dan kehendak manusia.
3. Analisis Masalah-masalah Ketatanegaraan
Masalah-masalah ketatanegaraan dalam masalah ini adalah masalah-masalah yang berkaitan
dengan pelaksanaan, kehidupan, dan ketentuan yang berkaitandengan segala aspek
penyelenggaraan negara. Masalah-masalah tersebut antara lain:
(a) Masalah Undang-Undang yang berkaitan dengan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Politik Tahun 1999.
(b) Masalah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
(c) Masalah nepotisme dalam keanggotaan MPR dan DPR
(d) Masalah reformasi politik.
(e) Masalah reformasi hukum, dan masalah-masalah kenegaraan lainnya
Masalah-masalah tersebut hanya merupakan sebagian kecil yang ada dalam ketatanegaraan kita,
dan perlu diupayakan pemecahannya.
4. Analisis Masalah-masalah dalam Pelaksanaan Pembangunan
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional sudah dapat dipastikan akan timbul berbagai macam
masalah yang memerlukan pemecahan yang adil dan bijaksana. Masalah itu timbul terutama
dalam kaitannya dengna pelaksanaan pembangunan yang menyangkut kepentingan negara dan
kepentingan warga negara, antara aparat pelaksana pembangunan dengan rakyat, masalah-
masalah tersebut antara lain sebagai berikut :
(a) Masalah penggusuran tanah untuk kepentingan pembangunan bersama, misalnya pelebaran
jalan, pengembangan potensi ekonomi dan lain sebagainya.
(b) Masalah pelaksanaan HAM.
(c) Masalah kenaikan harga BBM dan tarif Listrik.
(d) Masalah pendidikan dan lain sebagainya.
5. Analisis Masalah-masalah Kemasyarakatan
Masalah-masalah kemasyarakatan yang timbul dalam kehidupan bersama sangatlah luas dan
komplek. Kompleksitas masalah tersebut berkembang sesuai dengan tingkat-tingkat peradaban
manusia semakin modern suatu masyarakat maka permasalahan yang timbul juga akan semakin
![Page 14: Modul 14 Pancasila](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022082417/55cf9981550346d0339db702/html5/thumbnails/14.jpg)
banyak dan bukan tidak terbatas dan meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain : sosial,
budaya, keagamaan, ekonomi, dan lain sebagainya, masalah-masalah tersebut antara lain sebagai
berikut :
(a) Masalah lapangan kerja dan pengangguran.
(b) Masalah sikap mental yang kurang disiplin.
(c) Masalah narkotika dan kenakalan remaja.
(d) Masalah kejahatan termasuk kejahatan intelektual.
(e) Masalah krisis kepatuhan hukum.
dan masalah-masalah lainnya yang berkembang dalam masyarakat yang memerlukan suatu
pemecahan secara bijaksana.