modul 14 pancasila

14
A. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Reformasi dengan melakukan perubahan dalam berbagai bidang yang sering diteriakkan dengan jargon reformasi total tidak mungkun melakukan perubahan terhadap sumbernya itu sendiri. Mungkinkah reformasi total dewasa ini akan mengubah kehidupan bangsa Indonesia menjadi tidak berketuhanan, tidak berkemanusiaan, tidak berpersatuan, tidak berkerakyatan serta tidak berkeadilan, dan kiranya hal itu tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu justru sebaliknya reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa Indonesia Nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma Reformasi Total tersebut. 1. Gerakan Reformasi Awal keberhasilan gerakan Reformasi tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukkan Kabinet Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama pengubahan 5 paket UU, Politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomu yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu diwujudkan UU Anti Monopoli, UU Persaingan Sehat, UU Kepailitan, UU Usaha Kecil, UU Bank Sentral, UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Buruh dan lain sebagainya (Nopirirn, 1998 : 1). Dengan demikian reformasi harus diikuti juga dengan reformasi hukum bersama aparat penegaknya serta reformasi pada berbagai instansi pemerintahan. Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui Pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan : a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis. UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985). b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No. 3/1985). c. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 16/1969 jis UU No.4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. 1/1985). d. Reformasi terhadap UU Politik tersebut di atas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim politik yang demokratis sesuai dengan kehendak Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Mardjono, 1998 : 57). a. Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila Makna “Reformasi” secara etimologis berasal dari kata “reformation” dengan akar kata “reform” yang secara semantic bermakna “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong” (Oxford Advanced Leaner’s Divtionary of Current English, 1980. dalam Wibisono, 1998 : 1). Secara harfiah reformasi memiliki makna: suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda, 1998). 1) Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut : Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa pemerintahan Orde banyak terjadi suatu penyimpangan misalnya asas kekeluargaan menjadi “nepotisme”, kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.

Upload: zhang-d-jefri

Post on 31-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Untuk Belajar

TRANSCRIPT

Page 1: Modul 14 Pancasila

A. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Reformasi dengan melakukan perubahan dalam berbagai bidang yang sering diteriakkan dengan

jargon reformasi total tidak mungkun melakukan perubahan terhadap sumbernya itu sendiri.

Mungkinkah reformasi total dewasa ini akan mengubah kehidupan bangsa Indonesia menjadi

tidak berketuhanan, tidak berkemanusiaan, tidak berpersatuan, tidak berkerakyatan serta tidak

berkeadilan, dan kiranya hal itu tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu justru sebaliknya

reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa

Indonesia Nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma Reformasi Total tersebut.

1. Gerakan Reformasi

Awal keberhasilan gerakan Reformasi tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto

pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr.

B.J. Habibie menggantikan kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukkan

Kabinet Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan

transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara

menyeluruh, terutama pengubahan 5 paket UU, Politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan

reformasi ekonomu yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu diwujudkan UU Anti

Monopoli, UU Persaingan Sehat, UU Kepailitan, UU Usaha Kecil, UU Bank Sentral, UU

Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Buruh dan lain sebagainya (Nopirirn, 1998 : 1).

Dengan demikian reformasi harus diikuti juga dengan reformasi hukum bersama aparat

penegaknya serta reformasi pada berbagai instansi pemerintahan.

Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara

yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui Pemilu

secepatnya dan diawali dengan pengubahan :

a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis. UU No.

5/1975 dan UU No. 2/1985).

b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No. 3/1985).

c. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 16/1969 jis UU No.4/1975, UU No. 2/1980, dan UU

No. 1/1985).

d. Reformasi terhadap UU Politik tersebut di atas harus benar-benar dapat mewujudkan iklim

politik yang demokratis sesuai dengan kehendak Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa

kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat (Mardjono, 1998 : 57).

a. Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila

Makna “Reformasi” secara etimologis berasal dari kata “reformation” dengan akar kata “reform”

yang secara semantic bermakna “make or become better by removing or putting right what is bad

or wrong” (Oxford Advanced Leaner’s Divtionary of Current English, 1980. dalam Wibisono,

1998 : 1). Secara harfiah reformasi memiliki makna: suatu gerakan untuk memformat ulang,

menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format

atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Riswanda, 1998).

1) Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut :

Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa

pemerintahan Orde banyak terjadi suatu penyimpangan misalnya asas kekeluargaan menjadi

“nepotisme”, kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pembukaan

UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.

Page 2: Modul 14 Pancasila

2) Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan

ideologis) tertentu, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia,

dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi pada

prinsip-prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada dasar nilai-nilai sebagaimana

yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan ideologis yang jelas maka

gerakan reformasi akan mengarah kepada anarkisme, disentegrasi bangsa dan akhirnya jatuh

pada suatu kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni

Soviet dan Yugoslavia.

3) Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka struktural

tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformas. Reformasi pada prinsipnya

gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan

struktural yang ada karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan

mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di tanga

rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi harus mengembalikan dan

melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam arti yang sebenarnya sebagaimana

terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi

manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena

itu reformasi itu sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu

reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparansi dalam setiap

kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai manifestasi bahwa

rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala aske kegiatan

negara.

4) Refomasi dilakukan kearah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang lebih baik.

Perubahan yang dilakukan dengan reformasi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan

rakyat yang lebih baik dalam segala aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial,

budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan reformasi harus dilakukan ke

arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia.

5) Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang Berketuhanan

Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.

b. Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi

Gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif Pancasila sebagai landasan

cita-cita dan ideologi (Hamengkubuwono X, 1998 : 8) sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang

jelas maka suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme, brutalisme, serta

pada akhirnya menuju pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Maka reformasi dalam

perspektif Pancasila pada hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha

Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia. Adapun secara rinci sebagai berikut:

1) Reformasi yang Berketuhanan yang Maha Esa, yang berarti bahwa suatu gerakan ke arah

perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan manusia

sebagai Makhluk Tuhan. Karena hakikatnya manusia adalah sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa adalah sebagai makhluk yang sempurna yang berakal budi sehingga senantiasa

bersifat dinamis, sehingga selalu melakukan suatu perubahan ke arah suatu kehidupan

kemanusiaan yang lebih baik. Maka reformasi harus berlandasan keagamaan. Oleh karena itu

Page 3: Modul 14 Pancasila

reformasi yang dijiwai nilai-nilai religius tidak membenarkan pengrusakan, penganiayaan,

merugikan orang lain serta bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

2) Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berarti bahwa reformasi harus

dilakukan dengan dasar-dasar nilai-nilai martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu

reformasi harus dilandasi oleh moral kemanusiaan yang luhur, yang menghargai nilai-nilai

kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan bahkan reformasi menargetkan ke

arah penataan kembali suatu kehidupan negara yang menhargai harkat dan martabat manusia,

yang secara kongkrit menghargai hak-hak asasi manusia. Reformasi menentang segala

praktek eksploitasi, penindasan oleh manusia terhadap manusia lain, oleh golongan satu

terhadap golongan lain bahkan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Untuk bangsa yang

majemuk seperti bangsa Indonesia maka semangat reformasi yang berdasar pada

kemanusiaan menentang praktek-praktej yang mengarah pada diskriminasi dan dominasi

sosial, bik alasan perbedaan suku, ras, asal-usul maupun agama. Reformasi yang dijiwai

nilai-nilai kemanusiaan tidak membenarkan perilaku yang biadab membakar, menganiaya,

menjarah, memperkosa, dan bentuk-bentuk kebrutalan lainnya yang mengarah pada praktek

anarkisme. Sekaligus reformasi yang berkemanusiaan harus membrantas sampai tuntas

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang telah sedemikian mengakar pada kehidupan kenegaraan

pemerintahan Orba (lihat Hamengkubuwono X, 1998 : 8).

3) Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan, sehingga reformasi harus

menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia. Reformasi harus menghindarkan diri

dari praktek-praktek yang mengarah pada disintegrasi bangsa, upaya sparatisme baik atas

dasar kedaerahan, suku maupun agama. Reformasi memiliki makna menata kembali

kehidupan bangsa dalam bernegara, sehingga reformasi justru harus mengarah pada lebih

kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa. Demikian juga reformasi harus senantiasa dijiwai

asas kebersamaan sebagai suatu bangsa Indonesia.

4) Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada asas kerakyatan sebab justru permasalah

dasar gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan. Penatan kembali secara menyeluruh

dalam segala aspek pelaksanaan pemerintahan negara harus meletakkan kerakyatan sebagai

paradigmanya. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai

tujuan kekuasaan negara, dalam pengertian inilah maka reformasi harus mengembalikan pada

tatanan pemerintahan negara yang benar-benar bersifat demokratis, artinya rakyatlah sebagai

pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara. Maka semangat reformasi menentang segala

bentuk penyimpangan demokratis seperti kediktatoran baik bersifat langsung maupun tidak

langsung,, feodalisme maupun totaliterianisme. Asas kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan menghendaki terwujudnya masyarakat demokratis.

Kecenderungan munculnya diktator mayoritas melalui aksi massa, harus diarahkan pada asas

kebersamaan hidup rakyat agar tidak mengarah pada anarkisme. Oleh karena itu penataan

kembali mekanisme demokrasi seperti pemilihan anggota DPR, MPR, pelaksanaan Pemilu

beserta perangkat perundang-undangannya pada hakikatnya untuk mengembalikan tatanan

negara pada asas demokrasi yang bersumber pada kerakyatan sebagaimana terkandung dalam

sila keempat Pancasila.

5) Visi dasar reformasi harus jelas, yaitu demi terwujudnya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan penataan kembali dalam

berbagai bidang kehidupan negara harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu terwujudnya

tujuan bersama sebagai negara hukum yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Oleh karena itu hendaklah disadari bahwa gerakan reformasi yang melakukan perubahan dan

Page 4: Modul 14 Pancasila

penataan kembali, pada hakikatnya bukan hanya bertujuan demi perubahan itu sendiri,

namun perubahan dan penataan demi kehidupan bersama yang berkeadilan. Perlindungan

terhadap hak asai, peradilan yang benar-benar terbebas dari kekuasaan, serta legalitas dalam

arti hukum harus benar-benar dapat terwujudkan. Sehingga rakyat benar-benar menikmati

hak serta kewajibannya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Oleh karena itu

reformasi hukum baik yang menyangkut materi hukum terutama aparat pelaksana dan

penegak hukum adalah merupakan target reformasi yang mendesak untuk terciptanya suatu

keadilan dalam kehidupan rakyat.

Dalam perspektif Pancasila gerakan reformasi sebagai suatu upaya untuk menata ulang dengan

melakukan perubahan sebagai realisasi kedinamisan dan keterbukaan Pancasila dalam

kebijaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka dan

dinamis Pancasila harus mampu mengantisipasi perkembangan zaman terutama perkembangan

dinamika aspirasi rakyat. Nilai-nilai Pancasila adalah ada pada filsafat hidup bangsa Indonesia,

dan sebagai bangsa maka akan senantiasa memiliki perkembangan aspirasi sesuai dengan

tuntutan zaman. Oleh karena itu Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang “reformasi”

artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengna dinamika

aspirasi rakyat, dalam mengantisipasi perkembangan zaman, yaitu dengan jalan menata kembali

kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, akan tetapi nilai-nilai

esensialnya bersifat tetap yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.

2. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum

Dalam era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan hukum

sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan kembali

tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundang-

undangan. Agenda yang lebih kongkret yang diperjuangkan oleh para reformasi yang paling

mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa

setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan Orde Baru, salah satu subsistem yang

mengalami kerusakan parah selama Orde Baru adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi

maupun penegakannya dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta

keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan

masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat imperatif bagi penyelenggaraan pemerintahan.

Oleh karena kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang

misalnya politik, ekonomi, dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu

reformasi, menata kembali subsistem yang mengalami kerusan tersebut. Namun demikianlah

hendaklah dipahami bahwa dalam melakukan reformasi tidak mungkin dilakukan secara

spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang jelas, dan

dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan dasar cita-cita

reformasi.

Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum

Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber

hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut “Staatsfundamentalnorm”. Dalam

negara Indonesia “Staatsfundamentalnorm” tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka

Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah

penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila

Page 5: Modul 14 Pancasila

berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya

perubahan hukum. Materi-materi dalam suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat

senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan Iptek serta

perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai-nilai Pancasila) harus

senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada situasi vacum.

Oleh karena itu agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat maka hukum

harus senantiasa diperbaruhi agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat

yang dilayaninya dan dalam pembaruhan hukum yang terus-menerus tersebut Pancasila harus

tetap sebagai kerangka berpikir, sumber norma dan sumber nilai-nilainya.

Sebagai paradigma dalam pembaruhan tatanan hukum Pancasila itu dapat dipandang sebagai

“Cita-cita hukum” yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia.

Sebagai cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulative.

Dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang member arti dan

makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila maka hukum

akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi

regulatifnya Pancasila menentukan Apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil

ataukah tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi

(sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam pengertian

inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala peraturan perundang-

undangan di Indonesia (Mahfud, 1999 : 59).

Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, (1) sumber formal hukum, yaitu sumber hukum

ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya,

misalnya Undang-Undang Permen, Perda, dan (2) sumber material hukum, yaitu suatu sumber

hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum (Darmodiharjo, 1996 : 206).

Pancasila yang didalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum kodrat, nilai hukum

moral pada hakikatnya merupakan suatu sumber material hukum positif di Indonesia. Dengan

demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia yang

tersusun secara hierarkhis.

Dasar Yuridis Reformasi Hukum

Dalam upaya reformasi hukum dewasa ini telah banyak dilontarkan berbagai macam pendapat

tentang aspek apa saja yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia, bahkan telah

banyak usulan untuk perlunya amandemen atau kalau perlu perubahan secara menyeluruh

terhadap pasal-pasal UUD 1945.

Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktek

penyelenggaraan negara bersifat berwayuh arti (multi interpretable), dan memberikan porsi

kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden (executive heavy). Akibatnya memberikan

kontribusi atas terjadinya krisis politik serta mandulnya fungsi hukum dalam negara republik

Indonesia. Diakuinya berdasarkan banyaknya spirasi yang berkembang cenderung ke arah

adanya amandemen terhadap pasal-pasal UUD bukannya perubahan secara menyeluruh

(Mahfud, 1999 : 56). Namun hendaklah dipahami secara objektif bahwa bilamana terjadi suatu

amandemen atau bahkan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945, karena Pembukaan UUD

1945 yang berkedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, merupakan sumber

hukum positif, memuat Pancasila sebagai dasar Filsafat Negara serta terlekat pada kelangsungan

hidup Negara Prokalamsi 17 Agustus adalah suatu revolusi dan sama halnya dengan

Page 6: Modul 14 Pancasila

menghilangkan eksistensi bangsa dan negara Indonesia, atau dengan perkataan lain sama halnya

dengan pembuburan negara Indonesia.

Pancasila sebagai Paradigma Reforamsi Pelaksanaan Hukum

Reformasi pada hakikatnya untuk mengembalikan negara pada kekuasaan rakyat (Sila IV).

Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat adalah asal-mula kekuasaan negara. Maka

dalam pelaksanaan hukum harus mengembalikan negara pada supremasi hukum yang didasarkan

atas kekuasaan yang berada pada rakyat bukannya pada kekuasaan rakyat dilakukan oleh suatu

majelis Permusyawaratan Rakyat yang dilakukan melalui suatu pemilihan umum. Oleh karena

itu pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus mendasarkan pada terwujudnya atas

jaminan bahwa dalam suatu negara kekuasaan adalah di tangan rakyat.

Pelaksanaan hukum pada masa reformasi ini harus benar-benar dapat mewujudkan negara

demokratis dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan hukum harus mampu

mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan (Sila V), dalam suatu negara yaitu

keseimbangan antara hak dan wajib bagi setiap warga negara tidak memandang pangkat, jabatan,

golongan, etinisitas, maupun agama. Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dimuka

hukum dan pemerintahan (UUD 1945 Pasal 27). Jaminan atas terwujudnya keadilan bagi setiap

warga negara dalam hidup bersama dalam suatu negara yang meliputi seluruh unsur keadilan

baik keadilan distributif , keadilan komutatif, serta keadilan legal. Konsekuensinya dalam

pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama pihak kejaksaan adalah sebagai ujung

tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari praktek KKN.

3. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik

Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai fondasi bangunan

negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataannya tidak dilaksanakan

berdasarkan suasana kerokhaniaan berdasarkan nilai-nilai tersebut. Dalam realisasinya baik pada

masa orde lama maupun orde baru, negara mengarah pada praktek otoritarianisme yang

mengarah pada porsi kekuasaan yang terbesar kepada Presiden.

Nilai demokrasi politik tersebut secara normatif terjabarkan dalam Pasal-pasal UUD 1945

yaitu Pasal 1 ayat (2) menyatakan :

“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat”

Pasal 2 ayat (2) menyatakan:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan

yang ditetapkan dengan undang-undang.”

Pasal 5 ayat (1) menyatakan :

“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat.”

Pasal 6 ayat (2) menyatakan :

“Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara

terbanyak.”

Rangkaian keempat pasal tersebut terkesan sangat unik, karena berdasarkan ketentuan Pasal

1 ayat (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi negara untuk

menjalankan kedaulatan rakyat, serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2) berkuasa memilih

Page 7: Modul 14 Pancasila

Presiden. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) susunan dan kedudukannya justru diatur

dengan undang-undang yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut terdapat suatu pertanyaan mendasar berkaitan

dengna mekanisme-demokrasi yaitu bagaimana NOR sebagai lemabgai tertinggi negara yang

memiliki kekuasaan tertinggi, namun ditentukan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR

yang kekuasaannya di bawah MPR. Hal ini bilamana dipahami secara harfiah akan

menimbulkan interpretasi negatif. Oleh karena itu harus dipahami berdasarkan semangat dari

UUD 1945 yang merupakan esensi pasal-pasal itu :

a. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara.

b. Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan

karenanya harus tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

d. Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri maupun bersama-sama

lembaga lain, kekuatannya berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau

produk-produknya.

Prinsip-prinsip demokrasi tersebut bilamana kita kembalikan pada nilai esensial yang terkandung

dalam Pancasila maka kedaulatan tertinggi negara adalah di tangan rakyat. Rakyat adalah

merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu paradigma ini harus merupakan dasar

pijak dalam reformasi politik.

4. Reformasi atas Sistem Politik

Sistem mekanisme demokrasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Politik yang berlaku

selama Orde Baru yaitu :

a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No. 16/1969 jis UU No.

5/1975 dan UU No. 2/1985).

b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No. 3/1985).

c. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 15/1969 jis UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU

No. 1/1985).

Oleh karena itu untuk melakukan reformasi atas sistem politik harus juga melalui reformasi pada

Undang-Undang yang mengatur sistem politik tersebut, dengan tetap mendasarkan pada

paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

Susunan Keanggotaan MPR

Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD pada masa orde baru

bermuat dalam UU No. 2/1985 sebagai berikut :

a. Susunan keanggotaan MPR terdiri atas keseluruhan anggota DPRm ditambah dengan

anggota utusan daerah dan utusan golongan “sebagai kelompok yang lain” dalam jumlah

yang sama.

b. Utusan golongan diangkat oeh Presiden, sedangkan utusan daerah ditetapkan oleh DPRD

Tingkat 1 yang di dalamnya harus termasuk Gubernur/Kepala Daerah Tingkat 1.

c. Susunan keanggotaan DPR dan DPRD Tingkat 1 dan Tingkat II tidak seluruhnya dipilih oleh

rakyat melalui pemilu, melainkan sebagian dipilih dan diangkat oleh Presiden.

d. Kata “ditambah” seperti termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 secara matematis

menunjukkan perbandingan jumlah anggota MPR Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang

Page 8: Modul 14 Pancasila

notabene diangkat dan sekedar sebagai tambahan akan lebih besar dibandingkan jumlah

anggota MPR yang dipilih langsung oleh rakyat, bahkan ditambah lagi anggota DPR dari

fraksi ABRI yang juga tidak dipilih melalui pemilu.

Susunan keanggotaan MPR sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Politik No. 2/1985

tersebut jelas tidak demokratis dan tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila bahwa kedaulatan

adalah ditangan rakyat sebagai tertuang dalam semangat UUD 1945.

Berdasarkan kenyataan susunan keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD tersebut di atas maka

rakyat bertekad melakukan reformasi dengan mengubah sistem politik tersebut melalui Sidang

Istimewa MPR tahun 1998, yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Politik Tahun

1999. Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 yang mengatur tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, dan DPRD.

Perubahan yang telah dilakukan antara lain Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah

anggota MPR sebanyak 700 orang.

Anggota DPR hasil Pemilu sebanyak 500 orang.

Utusan Daerah sebanyak 135 orang, yaitu 5 orang dari setiap Daerah Tingkat I.

Utusan Golongan sebanyak 65 orang.

Kemudian perubahan yang mendasar berikutnya adalah pada Pasal 2 ayat (3) yaitu Utusan

daerah dipilih oleh DPR, dan sebagaimana diketahui bahwa DPR adalah merupakam hasil

Pemilu jadi bersifat demokratis. Kalau pada UU No. 2/1985 dipilih dan diangkat oleh Presiden.

Demikian pula perubahan atas penentuan Utusan Golongan diusulkan oleh golongan masing-

masing kepada DPR untuk ditetapkan. Adapun jenis dan jumlah wakil dari masing-masing

golongan ditetapkan oleh DPR Pasal 2 ayat (5).

Susunan Keanggotaan DPR

Perubahan atas isi keanggotaan DPR tertuang dalam Undang-Undang No. 4 Pasal 11 sebagai

berikut :

Pasal 4, ayat (2) menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas :

a. anggota partai politik hasil Pemilu

b. anggota ABRI yang diangkat.

Pasal 11 ayat (3) menjelaskan :

a. anggota partai politik hasil Pemilu sebanyak 462 orang.

b. anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang.

Berkaitandengan keanggotaan ABRI di DPR ini sampai saat ini masih ada sementara masyarakat

yang menolak, namun berdasarkan hasil Sidan Istimewa MPR tahun 1998, untuk keanggotaan

ABRI ini akan dikurangi secara bertahap. Berdasarkan pertimbangan dan hasil musyawarah saat

ini masih perlu partisipasi ABRI dalam sistem demokrasi demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I

Reformasi atas Undang-Undang Politik yang mengatur Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I,

tertuang dalam Undang-Undang Politik No. 4 Tahun 1999, sebagai berikut :

Pasal 18 ayat (1) bahwa pengisian anggota DPRD I dilakukan melalui Pemilu dan

pengangkatan.

Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas :

a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum.

b. anggota ABRI yang diangkat.

Page 9: Modul 14 Pancasila

Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya

45 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.

Demikianlah kiranya upaya untuk mengembalikan tatanan demokrasi pada dasar nilai kedaulatan

di tangan rajkyat dituangkan dalam Undang-Undang Politik Tahun 1999.

Susunan Keanggotaan DPRD II

Reformasi atas susunan keanggotaan DPRD II tertuang dalam Undang-Undang Politik No. 4

Tahun 1999, sebagai berikut :

Pasal 25 ayat (1) menyatakan: pengisian anggota DPRD II dilakukan berdasarkan hasil

Pemilihan Umum dan pengangkatan.

Pasal 25 ayat (2) menyatakan DPRD II terdiri atas

a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum

b. anggota ABRI yang diangkat.

Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD II ditetapkan sekurang-

kurangnya 20 orang sebanyak-banyaknya 45 orang termasuk 10% anggota ABRI yang

diangkat.

Demikianlah perubahan atas dasar Undang-Undang tentang Susunan Keanggotaan MPR, DPR

dan DPRD agar benar-benar mencerminkan nilai Kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila

keempat Pancasila yang merupakan paradigma demokrasi.

Reformasi Partai Politik

Adapun ketentuan yang mengatur tentang Partai Politik diatur dalam Undang-Undang No. 2

Tahun 1999, tentang Partai Politik yang lebih demokratis dan memberikan kebebasan serta

keleluasaan untuk menyalurkan aspirasinya. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tersebut

ditentukan :

Syarat-syarat pembentukkan Partai Politik termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2

Tahun 1999 sebagai berikut.

Ayat (1) Sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang

telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik.

Ayat (2) Partai Politik sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat :

a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia

dalam anggaran dasar Pantai.

b. asas atau ciri, aspirasi, dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila.

c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Republik Indonesia

yang telah mempunyai hak pilih.

d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang

negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera

negara asing gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.

Berdasarkan ketentuan UU tersebut warga negara diberi kebebasan untuk membentuk Partai

Politik untuk menyalurkan aspirasi politiknya, selain itu setiap Partai diberikan kebebasan pula

untuk menentukan asas sebagai ciri serta program masing-masing.

Atas ketentuan UU tersebut maka bermunculanlah Partai Politik di era reformasi ini yang

mencapai 114 Partai Politik. Namun dalam kenyataannya yang memenuhi syarat untuk

mengikuti pemilihan umum hanya 48 Partai Politik. Partai-partai politik itulah yang ikut dalam

pemilu tahun 1999, yang berdasarkan hasil Sidang Istimewa MPR dipercepat yaitu tanggal 7 Juni

1999. Selain itu tidak kalah pentinya pelaksanaan Pemilu juga dilakukan perubahan dan diatur

Page 10: Modul 14 Pancasila

dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan umum. Pemilihan Umum

sebagaimana termuat dalam Undang-Undang tersebut adalah bersifat, jujur, adil, langsung,

umum, bebas, dan rahasia. Terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang benar-benar

demokrasi maka penyelenggara pemilu tersebut berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 3

Tahun 1999, Bab III Pasal 8, dijelaskan bahwa penyelenggara Pemilihan Umum dilakukan oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur Partai-partai

Politik peserta pemilihan umum dan unsur Pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden.

Berdasarkan ketentuan pada UU tersebut secara sistemik pelaksanaan Pemilu tahun 1999 bersifat

demokratis, bahkan ditambah lagi dengan adanya kebebasan untuk membentuk pemantai Pemilu

baik daari dalam maupun luar negeri.

5. Reformasi atas Kehidupan Politik

Reformasi kehidupan politik agar benar-benar demokratis dilakukan dengan jalan revitalisasi

ideologi Pancasila, yaitu dengan mengembalikan Pancasila pada kedudukan serta fungsi yang

sebenarnya sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri negara yang tertuang dalam UUD 1945.

Nilai-nilai Pancasila harus benar-benar dijadikan sebagai sumber nilai serta sumber norma dalam

segala penentuan kebijaksanaan negara serta reformasi peraturan perundang-undangan negara.

Reformasi kehidupan politik juga dilakukan dengan meletakkan cita-cita kehidupan kenegaraan

dan kebangsaan dalam suatu kesatuan waktu yaitu nilai masa lalu, masa kini, dan kehidupan

masa yang akan datang. Atas dasar inilah maka pertimbangan realistic sebagai unsur yang sangat

penting yaitu dinamika kehidupan masyarakat, aspirasi serta tuntutan masyarakat yang

senantiasa berkembang untuk menjamin tumbuh berkembangnya demikrasi di negara Indonesia,

karena faktor penting demokrasi dalam suatu negara adalah partisipasi dari seluruh warganya.

Dengan sendirinya kesemuanya itu harus diletakkan dalam kerangka nilai-nilai yang dimiliki

oleh masyarakat itu sendiri sebagai filsafat hidupnya yaitu nilai-nilai Pancasila.

6. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi

Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi

rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasikla yang mengutamakan kesejahteraan keseluruhan

bangsa adalah sebagai berikut : (1) Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu

dilakukan dengan program “social safety net” yang popular dengan program Jaringan Pengaman

Sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakayt terhadap pemerintahan, maka

pemerintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknuim

pemerintah masa orde baru yang melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan

kepastian usaha. (2) Program rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan

menciptakan kondisi kepastian usaha, yang dengan diwujudkan perlindungan hukum serta

Undang-Undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan penyehatan dalam sektor

perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan merupakan jantung perekonomian. (3)

transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem

untuk mendorong percepatan perubahan struktural (structural transformation). Transformasi

struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari

ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari

ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi ekspor (Nopirin,

1999 : 4). Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan yang ikut dalam proses ekonomi

melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus segera diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang

mendasarkan nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan

Page 11: Modul 14 Pancasila

kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi

kesenjangan ekonomi.

B. Aktualisasi Pancasila Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia mengandung konsekuensi setiap aspek dalam

penyelenggaraan negara dan semua sikap dan tingkah laku bangsa Indonesia dalam

bermasyarakat berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Sebagaimana telah dibahas di muka bahwa nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat

Pancasila adalah bersifat universal, tetap dan tak berubah. Nilai-nilai tersebut perlu dijabarkan

dalam setiap aspek dalam penyelengaraan negara dan dalam wujud norma-norma baik norma

hukum, kenegaraan, maupun norma-nomr moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh

setiap warga negara Indonesia.

Jadi dalam masalah ini kita sampai pada masalah aktualisasi nilai-nilai Pancasila baik dalam

kaitannya dengan aspek pelaksanaan kenegaraan maupun sikap moral semua warga negara

Indonesia. Oleh karena itu permasalahan pokok dalam aktualisasi Pancasila adalah bagaimana

wujud realisasi itu, yaitu bagaimana nilai-nilai Pancasila yang universal itu dijabarkan dalam

bentuk norma-norma yang jelas dalam kaitannya dengan tingkah laku semua warga negara dalam

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta dalam kaitannya dengan segala aspek

penyelenggaraan negara.

Jenis-Jenis Aktualisasi Pancasila

Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi objektif dan aktualisasi

subjektif.

1. Aktualisasi Pancasila yang Objektif

Aktualisasi Pancasila yang objektif adalah pelaksanaan Pancasila dalam bentuk realisasi dalam

setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun

semua bidang kenegaraan lainnya. Aktualisasi objektif ini terutama berkaitan dengan realisasi

dalam bentuk perundang-undangan negara Indonesia sebagai berikut :

a. Tafsir Undang-Undang Dasar 1945, harus dilihat dari sudut dasar filsafat negara Pancasila

sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.

b. Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Undang-Undang harus mengingat dasar-

dasar pokok pikiran yang terkandung dalam dasar filsafat negara Indonesia.

c. Tanpa mengurangi sifat-sifat Undang-Undang yang tidak dapat diganggu gugat, interpretasi

pelaksanaannya harus mengingat unsur-unsur yang terkandung dalam dasar filsafat negara.

d. Interpretasi pelaksanaan Undang-Undang harus lengkap dan menyeluruh meliputi seluruh

perundang-undangan di bawah Undang-Undang dan keputusan-keputusan administratif dari

semua tingkat penguasa negara, mulai dari pemerintah pusat sampat dengan alat-alat

perlengkapannya, begitu juga meliputi usaha kenegaraan dan kemasyarakatan dari rakyat.

e. Dengan demikian seluruh hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia didasarkan atas dan

diliputi oleh dasar filsafat negara, asas politik dan tujuan negara yang berdasarkan pada asas

kerokhanian Pancasila. Bahkan yang terlebih penting lagi adalah dalam realisasi pelaksanaan

kongkritnya yaitu dalam setiap penentuan kebijaksanaan di bidang kenegaraan antara lain :

1) Garis-garis Besar Haluan Negara

2) Hukum dan perundang-undangan dan peradilan

3) Pemerintahan

Page 12: Modul 14 Pancasila

4) Politik dalam negeri dan luar negeri

5) Keselamatan, keamanan, dan pertahanan.

6) Kesejahteraan

7) Kebudayaan

8) Pendidikan, dan lain sebagainya (Notonagoro, 1971 : 43,44).

2. Aktualisasi Pancasila yang Subjektif

Aktualisasi Pancasila yang subjektif adalah pelaksanaan pancasila dalam setiap pribadi,

perseorangan, setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap

orang Indonesia. Aktualisasi Pancasila yang subjektif ini justru lebih penting dari aktualisasi

yang objektif, karena aktualisasi yang subjektif ini merupakan persyaratan keberhasilan

aktualisasi yang objektif (Notonagoro, 1971 : 44).

C. Analisis Masalah dalam Aktualisasi Pancasila Analisis dilakukan agar dapat memberikan suatu penilaian yang kritis dan objektif serta pada

akhirnya untuk dapat memberikan suatu solusi yang positif. Masalah-masalah yang timbul dalam

kehidupan sehari-hari dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain kurang dihayatinya nilai-

nilai Pancasila, perbedaan pendapat di antara anggota masyarakat, penyelewengan atau mungkin

kesengajaan sebagai upaya untuk menimbulkan kerawanan dalam kehidupan masyarakat.

Masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat itu amat kompleks dan terbatas, oleh

karena itu analisis dilakukan untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas tentang aktualisasi

Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan yang pada akhirnya mampu memberikan arah bagi

aktualisasi Pancasila secara konsisten. Analisis dilakukan secara bertahap dengan mendasarkan

pada suatu paradigma atau sumber nilai yang terkandung pada Pancasila.

1. Sumber Nilai dalam Analisis

Dalam proses analisis masalah ketatanegaraan dan kemasyarakatan sebagai sumber nilai adalah

niali-nilai Pancasila. Maka dalam pengertian ini Pancasila adalah sebagai “Das Sollen” yaitu

sebgai nilai yang seharusnya direalisasikan, adapun masalah, peristiwa atau kasus dalam

kehidupan masyarakat adalah sebagai suatu “Das Sein”, yaitu suatu yang ada dalam kenyataan

hidup masyarakat. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila adalah merupakan sumber nilai, sebagai

patokan dalam pemecahan analisis masalah.

2. Asas Analisis

Dalam melakukan analisis haruslah dengan menggunakan asas-asas serta kriteria yang jelas.

Perlu diketahui bahwa proses analisis ini berkaitan dengan masalah-masalah yang timbul dalam

kehidupan bermasyarakat , kebangsaan dan kenegaraan dengan segala aspeknya. Oleh karena itu

analisis dilakukan tidak hanya berdasarkan pada asas ilmiah rasional saja namun juga berkaitan

dengan nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber pada Pancasila sebagaimana dijelaskan di

muka.

a. Asas Rasional Ilmiah

Masalah haruslah diambil (dikumpulkan) dari peristiwa-peristiwa yang timbul dalam kehidupan

kemasyarakatan dan kenegaraan. Masalah atau kasus dapat dihimpun dari surat kabar, majalah

atau media massa lainnya, kemudian diklasifikasikan, dirinci sesuai dengan karakteristiknya

masing-masing serta ciri-cirinya masing-masing. Misalnya masalah-masalah sosial, ternyata

Page 13: Modul 14 Pancasila

dikembangkan menjadi masalah politik, kemudian diteliti hubungan sebab akibatnya, saling

hubungan di antara faktor-faktor penyebab yang ada atau saling mempengaruhi misalnya

masalah Sara mengakibatkan masalah politik, masalah politik menyebabkan masalah ekonomi

dan lain sebagainya, akhirnya disimpulkan berdasar hukum-hukum logika.

b. Asas Normatif

Selain asas ilmiah dan dasar nilai-nilai Pancasila juga norma-norma yang harus ditaati dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yaitu norma-norma peraturan perundang-

undangan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Maka setiap

permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara harus dianalisis dan

dipecahkan berdasarkan norma-norma peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setelah dilakukan analisis tahap berikutnya yang sangat penting adalah berupaya untuk mencari

alternatif pemecahan. Alternatif pemecahan ini tidak hanya dilakukan secara matematis dan

kuantitatif saja, melainkan tetap harus berdasarkan pada pemikiran bijaksana, yaitu pemecahan

berdasarkan akal, rasa, dan kehendak manusia.

3. Analisis Masalah-masalah Ketatanegaraan

Masalah-masalah ketatanegaraan dalam masalah ini adalah masalah-masalah yang berkaitan

dengan pelaksanaan, kehidupan, dan ketentuan yang berkaitandengan segala aspek

penyelenggaraan negara. Masalah-masalah tersebut antara lain:

(a) Masalah Undang-Undang yang berkaitan dengan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan

DPRD sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Politik Tahun 1999.

(b) Masalah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

(c) Masalah nepotisme dalam keanggotaan MPR dan DPR

(d) Masalah reformasi politik.

(e) Masalah reformasi hukum, dan masalah-masalah kenegaraan lainnya

Masalah-masalah tersebut hanya merupakan sebagian kecil yang ada dalam ketatanegaraan kita,

dan perlu diupayakan pemecahannya.

4. Analisis Masalah-masalah dalam Pelaksanaan Pembangunan

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional sudah dapat dipastikan akan timbul berbagai macam

masalah yang memerlukan pemecahan yang adil dan bijaksana. Masalah itu timbul terutama

dalam kaitannya dengna pelaksanaan pembangunan yang menyangkut kepentingan negara dan

kepentingan warga negara, antara aparat pelaksana pembangunan dengan rakyat, masalah-

masalah tersebut antara lain sebagai berikut :

(a) Masalah penggusuran tanah untuk kepentingan pembangunan bersama, misalnya pelebaran

jalan, pengembangan potensi ekonomi dan lain sebagainya.

(b) Masalah pelaksanaan HAM.

(c) Masalah kenaikan harga BBM dan tarif Listrik.

(d) Masalah pendidikan dan lain sebagainya.

5. Analisis Masalah-masalah Kemasyarakatan

Masalah-masalah kemasyarakatan yang timbul dalam kehidupan bersama sangatlah luas dan

komplek. Kompleksitas masalah tersebut berkembang sesuai dengan tingkat-tingkat peradaban

manusia semakin modern suatu masyarakat maka permasalahan yang timbul juga akan semakin

Page 14: Modul 14 Pancasila

banyak dan bukan tidak terbatas dan meliputi berbagai bidang kehidupan antara lain : sosial,

budaya, keagamaan, ekonomi, dan lain sebagainya, masalah-masalah tersebut antara lain sebagai

berikut :

(a) Masalah lapangan kerja dan pengangguran.

(b) Masalah sikap mental yang kurang disiplin.

(c) Masalah narkotika dan kenakalan remaja.

(d) Masalah kejahatan termasuk kejahatan intelektual.

(e) Masalah krisis kepatuhan hukum.

dan masalah-masalah lainnya yang berkembang dalam masyarakat yang memerlukan suatu

pemecahan secara bijaksana.