miskonsepsi guru dan dosen profesional (analisis...
TRANSCRIPT
Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis
terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 secara Filosofis, Psikologis,
Sosiologis, dan Pedagogis)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh
Mulyani Zakiyah NIM 111400110000043
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1404 H
i
ABSTRAK
Mulyani Zakiyah (NIM: 11140110000043). Miskonsepsi Guru dan Dosen
Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 secara
Filosofis, Psikologis, Sosiologis dan Pedagogis)
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui miskonsepsi guru dan dosen profesional,
jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif dengan metode studi
kepustakaan. Salah satu sumber primer yang digunakan yaitu buku Membangun
Profesional Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen
karangan Asrorun Ni’am sholeh. dalam analisis data menggunakan deskriptif
analisis dengan fokus kajian adalah miskonsepsi guru dan dosen profesional
analisis kritis terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005.
Skripsi ini membahas tentang miskonsepsi guru dan dosen profesional analisis
filosofis yang berisi tentang ketidak jelasan konsep dasar UUGD dalam
membedakan antara penyebutan nama guru dan dosen, tugas utama guru dan
dosen serta kompetensi pedagogik tidak seharusnya ada pada dosen. Secara
psikologis bahwa sertifikasi bukan satu-satunya tolak ukur untuk mengukur
seorang pendidik adalah seorang yang profesional. Secara sosiologis semangat
belajar harus melekat dalam diri setiap guu. Secara pedagogis banyak guru yang
mengajar bukan dibidang yang diajarkan serta dalam UUGD tidak memberikan
secara jelas lembaga apa yang memiliki legalitas untuk mencetak kependidikan
dan memberikan sertifikasi kependidikan.
Kata Kunci: Miskonsepsi, Profesional
ii
ABSTRACT
Mulyani Zakiyah (NIM: 11140110000043). Miskonsepsi Miskonsepsi Guru
dan Dosen Profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005
secara Filosofis, Psikologis, Sosiologis dan Pedagogis)
The purpose of this study is to find out the misconceptions of professional
teachers and lecturers. The type of research used is qualitative research with
library study methods. One primary source used is a book Membangun
Profesional Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen
karangan Asrorun Ni’am sholeh in data analysis using descriptive analysis the
focus of the study is teacher misconception and professional critical analysis
lecturers against lau number 14 of 2005.
In this paper discussed the misconceptions of professional teachers and lecturers
on philosophical analysis which contains the unclear basic concepts of UUDG in
distinguishing between the names of teachers and lecturers, the main tasks of
teachers and lecturers as well as pedagogical competencies should not be available
to lecturers. Psychologically, certification is not the only the benchmark for
measuring an educator is a professional. Sociologically the spirit of learning must
be inherent in each teacher. Pedagogically many teachers who teach not in the
fields taught and in the UUGD do not provide clearly what institutions have the
legality to print education and provide certication education.
Keywords: Misconception, professional
iii
KATA PENGANTAR
الرحيمبسم اهلل الرحمن
Alhamdulillahirabbil-aalamiin, segala puji bagi Allah SWT. yang telah
memberikan nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. yang telah menunjukan kepada kita jalan yang lurus.
Alhamdulillah, atas karunia dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “MISKONSEPSI KOMPETENSI
PROFESIONAL BAGI GURU DAN DOSEN (ANALISIS KRITIS
TERHADAP UU NOMOR 14 TAHUN 2005 SECARA FILOSOFIS,
PSIKOLOGIS, SOSIOLOGIS DAN PEDAGOGIS)”.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak
kesulitan dan kendala yang dihadapi. Namun, atas bimbingan dan motivasi dari
berbagai pihak, alhamdulillah penulis dapat menyelesaikannya. Dan pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Prof. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Majid Khon, MA., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Marhamah Shaleh, Lc., MA., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Nur’aini Ahmad, M.Fil., dan Dr. Akhmad Sodiq, M.Ag., selaku Dosen
Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.
5. Yudhi Munadi, M. Ag., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu
meluangkan waktunya untuk membimbing dan memotivasi penulis.
6. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Bujang dan Ibu Andah, yang tak henti-
hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang, dan memberikan dukungan
moril serta materil kepada penulis.
iv
7. Kakakku Arnita, Syafrizal, Delfi, Yenti Susanti, Mulyadi Zaki dan seluruh
anggota keluarga tersayang yang selalu memberikan doa, semangat, dan kasih
sayang kepada penulis.
8. Teman-teman Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
angkatan 2014, khususnya kelas PAI B yang telah memberikan semangat dan
bantuannya selama ini, semoga tali silaturahmi kita tetap terjalin sampai
nanti.
Serta semua pihak yang berjasa, mudah-mudahan bantuan, bimbingan serta
doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridha dan kasih sayang Allah
SWT. di dunia dan di akhirat kelak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya. Aamiin.
Penulis,
Mulyani Zakiyah
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT ......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 4
C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 4
D. Perumusan Masalah .................................................................................. 5
E. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian .................................................................................... 5
BAB II KAJIAN TEORI .................................................................................... 6
A. Acuan Teori ............................................................................................... 6
1. UU dan Legalitasnya ........................................................................... 6
a. Undang-Undang/Perpu .................................................................. 8
b. Peraturan Pemerintah .................................................................... 11
c. Keputusan Presiden ....................................................................... 11
2. Miskonsepsi ........................................................................................ 12
3. Kompetensi Profesional ...................................................................... 14
a. Kompetensi .................................................................................... 14
vi
b. Macam-macam Kompetensi .......................................................... 15
1) Kompetensi Pedagogik .......................................................... 15
2) Kompetensi Kepribadian ........................................................ 16
3) Kompetensi Profesional ......................................................... 16
4) Kompetensi Sosial .................................................................. 26
c. Ciri-ciri Jabatan Profesional .......................................................... 27
d. Guru dan Dosen ............................................................................. 29
B. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................................. 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 13
A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................................... 13
B. Metode Penelitian ................................................................................... 13
C. Fokus Penelitian ...................................................................................... 13
D. prosedur Penelitian.................................................................................. 13
BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................... 13
A. Miskonsepsi kompetensi Profesional dari Sudut Pandang filosofis ...... 13
1. Hakikat Manusia .............................................................................. 13
2. Manusia dan Pikiran ........................................................................ 13
B. Miskonsepsi Kompetensi Profesional dari Sudut Pandang Psikologis ... 33
C. Miskonsepsi Kompetensi Profesional dari Sudut Pandang Sosiologis .. 35
D. Miskonsepsi Kompetensi Profesional dari Sudut Pandang Pedagogis ... 53
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 97
A. Kesimpulan ............................................................................................... 97
B. Saran .......................................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pendidikan terdapat beberapa komponen diantaranya adalah
peserta didik, pendidik, strategi dan metode belajar, tujuan, kurikulum,
media, sarana dan prasarana, lingkungan dan sebagainya, yang semuanya
saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk menjalankan sistem pendidikan
dibutuhkan salah satunya yaitu pendidik sebagai tenaga fungsional.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan telah
dilakukan sejak dulu. Upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain menata
sarana dan prasarana, melakukan perubahan kurikulum, meningkatkan
kualitas guru baik melalui peningkatan kualifikasi pendidikan guru,
memberikan berbagai diklat atau penataran, maupun peningakatan tunjangan
profesi guru dalam arti meningkatkan kesejahteraan guru. Semua ini
dilakukan guna tercapainya tujuan pendidikan nasional yang bermutu secara
merata.
Ketika mutu pendidikan di Indonesia dipertanyakan, guru dianggap
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia, karena merekalah yang berada di garda depan dalam dunia
pendidikan. Kualitas guru-guru Indonesia dianggap rendah. Hal ini
didasarkan pada realitas, bahwa banyak guru yang tidak memenuhi
kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
guru dan dosen, pada pasal 6 menyebutkan, bahwa kedudukan guru dan
dosen sebagai tenaga fungsional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggung jawab. Sebagai tenaga fungsional dan profesional seorang guru
2
harus mampu meningkatkan kompetensinya, baik kompetensi profesional,
individual, sosial maupun kompetensi pedagogik.
Sesuai juga dengan Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 39 ayat
2 Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru
sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Profesionalisme guru
dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), serta kebutuhan masyarakat termasuk
kebutuhan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan
memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing baik di forum regional, nasional
maupun internasional.
Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Guru dan Dosen
dan pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa
kompetensi guru yang dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Dalam penelitian ini hanya akan disorot salah satu jenis kompetensi
saja, yakni kompetensi profesional, dan sama sekali tidak bermaksud untuk
mengesampingkan pentingnya kompetensi lainnya.
Masalah kompetensi profesional guru merupakan salah satu dari
kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan
apa pun. Kompetensi-kompetensi lainnya adalah kompetensi kepribadian dan
kompetensi kemasyarakatan. Secara teoretis ketiga jenis kompetensi tersebut
dapat dipisah-pisahkan satu sama lain, akan tetapi secara praktis
sesungguhnya ketiga jenis kompetensi tersebut tidak mungkin dapat dipisah-
pisahkan. Di antara ketiga jenis kompetensi itu saling menjalin secara terpadu
dalam diri guru. Guru yang terampil mengajar tentu harus pula memiliki
pribadi yang baik dan mampu melakukan social adjusment dalam
masyarakat. Ketiga kompetensi tersebut terpadu dalam karakteristik tingkah
laku guru.1
1 Oemar Hamalik, (2009). Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi,
(Jakarta: PT Bumi Aksara), h. 34.
3
Guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang
yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan
diteladani.2 Jadi guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung
jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang
yang disebut guru adalah orang yang memiliki ke mampuan merancang
program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta
didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan
sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.3
Profesi guru memang sangat unik, peran sentral guru ada pada
peningkatan kualitas pendidikan sangat penting untuk dilakukan. Hampir
semua usaha reformasi dibidang pendidikan pada akhirnya tergantung kepada
guru. Tanpa guru, usaha untuk mendorong siswa dalam mencapai prestasi
yang tinggi tidaklah maksimal. Tetapi uniknya profesi guru kurang dihargai
seperti profesi-profesi yang lain. Guru merupakan suatu jabatan profesional
yang memiliki peranan dan kompetensi profesional sehingga pemegangnya
harus memenuhi kualifikasi akademik.4
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang
memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh
sembarangan orang di luar pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih
terdapat hal-hal tersebut di luar bidang kependidikan.5
UU guru dan Dosen (UUGD) yang sudah meletakkan rambu-rambu dan
ruang gerak guru, ternyata belum seberapa dihayati oleh guru sendiri. Tetapi
kita pun bisa bertanya apakah UUGD sesungguhnya telah memahami guru
Indonesia meliputi seluruh spektrum permasalahannya! Kalau UU itu tidak
mudah dipahami oleh guru, siapa yang salah? Kita tidak bisa menuntut
perumus UU yang duduk di DPR, yang umumnya adalah anggota berbagai
partai politik dengan berbagai kepentingan, untuk sepenuhnya memahami
bahasa guru dan menggunakannya untuk membuat UU untuk guru. Sama
2 Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 15.
3 Ibid.
4 Ibid.
5 Ibid.
4
tidak bisanya kita berharap guru memahami bahasa politik anggota DPR
dalam tugas sehari-hari. Memahami belum tentu menyetujui. Apakah lagi
yang bisa disetujui oleh guru, kalau memahaminya belum?6
Kompetensi keguruan memunculkan 4 buah kompetensi, dan tidak
terfokus kategorisasinya pun tumpang tindih, menyebabkan timbulnya
pertanyaan seperti kenapa kompetensi pedagogik yang diartikan sebagai
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, hakikatnya apakah
kompetensi pedagogik tidak dapat dilihat sebagai bagian dari kompetensi
prifesional yang diartikan UUGD sebagai penguasaan materi?
Berdasarkan kondisi tersebut, maka penulis tertarik mengangkat
permasalahan tersebut yang kemudian penulis tuangkan dalam karya ilmiah
yang berjudul “Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional (Analisis Kritis
terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 secara Filosofis, Psikologis,
Sosiologis, dan Pedagogis)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Memaknai relevansi kompetensi profesional
2. Guru belum memahami UUGD
3. Memahami UUGD dari berbagai kepentingan
4. Miskonsepsi guru dan dosen profesional.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut maka peneliti membatasi
masalah dalam penelitian ini pada miskonsepsi guru dan dosen profesional
(analisis kritis terhadap UU nomor 14 tahun 2005 secara filosofis, psikologis,
sosiologis dan pedagogis).
6 Winarmo Surakhmad, Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2009), h. 271.
5
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: Bagaimana miskonsepsi guru dan dosen
profesional (analisis kritis terhadap UU nomor 14 tahun 2005 secara filosofis,
psikologis, sosiologis, dan pedagogis)?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi guru dan dosen
profesional (analisis kritis terhadap UU nomor 14 tahun 2005 secara filosofis,
psikologis, sosiologis dan pedagogis)
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Bagi penulis adalah menambah pengetahuan dan pengalaman
tentang kompetensi profesional dan miskonsepsi guru dan dosen
profesional.
2. Bagi lembaga pendidikan dan lembaga pemerintahan adalah
memberikan rekomendasi untuk pengambilan kebijakan di masa
depan, sehingga mutu pendidikan lebih baik.
3. Bagi peneliti lainnya adalah sebagai gambaran sekaligus modal awal
untuk melakukan penelitian selanjutnya.
4. Bagi keilmuan adalah menambah khazanah dan mengembangkan
keilmuan tersebut.
6
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Acuan Teori
1. UU dan Legalitasnya
a. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang dasar terdiri dari pembukaan, batang tubuh
undang-undang dasar 1945 terdiri dari 16 bab dan terperinci dalam
37 pasal, terdiri 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan,
penjelasan undang-undang dasar 1945.
Di dalam penjelasan undang-undang dasar 1945 dinyatakan
bahwa undang-undang dasar suatu negara adalah hanya sebagian
dari hukumnya dasar negara itu. Undang-undang dasar ialah hukum
dasar yang tertulis, sedang disampingnya undang-undang dasar itu
juga berlaku hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
Negara meskipun tidak tertulis, yang merupakan sumber hukum lain.
Undang-undang dasar 1945 sebagai perwujudan dari tujuan
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai perwujudan dari
tujuan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus1945, maka pokok-
pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang
dasar itu sebagai berikut:
1) “Negara” begitu bunyi “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
2) Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat.
3) Pokok yang ke tiga terkandung dalam “pembukaan” ialah
negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan kerakyatan
dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistem
7
negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus
berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas
permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai
dengan sifat masyarakat Indonesia.
4) Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam
“pembukaan” ialah negara berdasrkan atas Ketuhanan
yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab. Oleh karena itu, undang-undang dasar harus
mengandung isi yang kewajiban pemerintah dan lain-lain
penyelenggaraan negara untuk memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita
moral rayat yang luhur.
Pembukaan Undang-undang dasar 1945 sebagai pernyataan
kemerdekaan yang mengandung cita-cita luhur dari proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan oleh karena itulah tidak dapat
diubah oleh siapapun juga. Termasuk MPR hasil pemilihan umum.
Dalam kedudukan yang demikian itu pembukaan undang-undang
dasar 1945 merupakan dasar dan sumber hukum dari batang
tubuhnya. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal
dari undang-undang dasar 1945 adalah ketentuan-ketentuan yang
tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan
ketetapan MPR, Undang-undang, atau keputusan presiden.1
Salah satu yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat
(3) yaitu masalah pendidikan yang berbunyi:
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa," dan ayat (5) yang berbunyi: "Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
1 Mujar Ibnu Syarif & Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2009), h. 70-72.
8
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia."2
b. Undang-Undang/Perpu
Undang-undang adalah suatu peraturan/keputusan negara
yang tertulis dibuat oleh alat perlengkapan negara yang berwenang
(bersama-sama oleh DPR dan Presiden) yang mengikat
masyarakat.3 Undang-undang dapat dibedakan menjadi dua macam
arti, yaitu:
1) Undang-undang dalam arti materiil (luas), yaitu semua
peraturan/ keputusan yang tertulis yang menurut isinya
mengikat setiap orang secara umum dan dibuat oleh
penguasa (pusat ataupun daerah) yang sah. Undang-
undang dalam arti materiil ini juga dikelompokkan ke
dalam dua golongan, yaitu:
a) Peraturan Pusat (Algemene Verordening), yakni
peraturan tertulisnya yang dibuat oleh pemerintah
pusat yang berlaku diseluruh atau sebagian wilayah
negara.
b) Peraturan Setempat (Locale Verordening), yaitu
peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa
setempat dan hanya berlaku ditempat atau daerah
itu saja
2) Undang-undang dalam arti formal (sempit), yaitu
peraturan tertulis yang dibentuk oleh alat perlengkapan
negara yang berwenang (bersama-sama oleh DPR dan
Presiden). 4
2 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun
2003 3 Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016), h. 35.
4 Ibnu, op, cit., h. 48.
9
Pertama kali yang mengadakan pembagian undang-undang
dalam arti materiil dan undang-undang dalam arti formil adalah
seorang ahli hukum bangsa Jerman bernama Paul Laband.
Merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya
dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen).
Perpu adalah peraturan pemerintah pengganti undang-
undang, yang diatur dalam pasal 22 UUD 1945 menyatakan:
1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang.
2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan
dewan perwakilan rakyat dalam persidangan yang
berikut.
3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
pemerintah harus dicabut.
Peraturan Pemerintah dalam pasal ini yang kekuatannya sama
dengan Undang-undang harus disahkan oleh dewan perwakilan
rakyat. Dalam hal ini perlu kita memperhatikan tentang instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1970 tentang tatacara
mempersiapkan Rancangan undang-undang dan rancangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.5
Dalam dunia pendidikan contoh dari Undang-Undang atau
perpu adalah UU Nomor 14 Tahun 2005 yang berisi tentang secara
keseluruhan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 ini dapat
disimpulkan bahwa UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal.
Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam beberapa
bagian:6
1) Pasal - pasal yang membahas tentang penjelasan umum
(7 pasal) yang terdiri dari:
5 Ibnu., h. 73.
6 Asrorun Ni’am Sholeh, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atau
Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakata: Elsas, 2017), h. 224.
10
a) Ketentuan Umum
b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan
c) Prinsip Profesionalitas.
2) Pasal - pasal yang membahas tentang guru (37 pasal)
yang terdiri dari:
a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi
b) Hak dan Kewajiban
c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas
d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan
Pemberhentian
e) Pembinaan dan Pengembangan
f) Penghargaan
g) Perlindungan
h) Cuti
i) Organisasi Profesi.
3) Pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal)
yang terdiri dari
a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan
Akademik
b) Hak dan Kewajiban Dosen
c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas
d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan
Pemberhentian
e) Pembinaan dan Pengembangan
f) Penghargaan
g) Perlindungan
h) Cuti.
4) Pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).
5) Bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan
Ketentuan Penutup (5 Pasal).
Dari seluruh pasal tersebut diatas pada umumnya mengacu
pada penciptaan Guru dan Dosen Profesional dengan kesejahteraan
yang lebih baik tanpa melupakan hak dan kewajibannya.
Dalam pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-undang ini juga
disebutkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh guru
mencakup empat hal, yaitu kompetensi profesional, kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
11
c. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum
untuk melaksanakan undang-undang. Dalam pasal 5 ayat 2 UUD
1945, presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya.
Dalam penjelasan pasal 5 ayat 2 tersebut, bahwa presiden ialah
kepala kekuasaan eksekutif dalam Negara. Untuk menjalankan
undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan
Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah itu bermacam-macam,
yaitu Peraturan Pemerintah Pusat dan Peraturan Pemerintah Daerah.
Peraturan Emerintah dibuat oleh presiden untuk menjalankan
undang-undang (hanya untuk melaksanakan undang-undang), yang
diartikan melaksanakan undang-undang, bahwa peraturan
pemerintah hanya berisi ketentuan lebih lanjut dari ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang, setiap
ketentuan dalam peraturan pemerintah harus berkaitan dengan satu
atau beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut.7
Di pendidikan contoh dari Peraturan Pemerintah ialah masalah
pada pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Guru dan Dosen dan pasal 28
ayat 3 PP 19 Tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi
guru yang dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
d. Keputusan Presiden
Undang-undang dasar 1945 pasal 4 ayat 1 menyatakan:
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah
menurut undang-undang dasar”. Dalam penjelasan disebutkan bahwa
presiden ialah penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi.
7 Ibnu, op., cit., h. 74.
12
Dalam menjalankan pemerintah negara, kekuasaan dan
tanggungjawab adalah di tangan presiden.
Ketentuan penjelasan tersebut menunjukan bahwa presiden
sebagai penanggung jawab dan pimpinan penyelenggaraan
pemerintah sehari-hari. Presiden adalah pimpinan administrasi
negara. Salah satu fungsi administrasi Negara yaitu membuat
keputusan. Dalam perkembangannya keputusan administrasi negara
tidak sekedar membuat ketetapan tetapi juga membuat peraturan-
peraturan.
Keputusan presiden ada dua macam yaitu keputusan presiden
yang bersifat konkrit-individual dan keputusan presien bersifat
umum. Keputusan presiden dapat dibuat dalam rangka melaksanakan
UUD 1945, ketetapan MPR, Undang-undang dan peraturan
pemerintah. Keputusan presiden yang berupa peraturan perundangan
dapat dikendalikan secara yudisial melalui pranata hak uji
Mahkamah Agung. Sedangkan keputusan presiden yang berupa
ketetapan pengendalian yudisial melalui peradilan melalui peradilan
tata uaha Negara.8
2. Miskonsepsi
Konsep adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa latin
conceptus (kata benda masculinum) yang dibentuk dari kata conceptum
yang berasal dari kata kerja concipio berarti mengambil ke dalam dirinya,
menerima, mengisap, menampung, menyerap, atau menangkap.
Conceptum berarti mengambil, menyerap, membayangkan dalam pikiran,
mengerti, dan menangkap. Conceptus berarti cerapan, bayangan dalam
pikiran, pengertian, dan tanggapan. Jadi konsep dan idea memiliki arti
yang sama, yaitu rupa atau gamb ar atau bayangan dalam pikiran yang
8 Ibid., h. 75-76.
13
merupakan hasil tangkapan akal budi terhadap suatu entitas yang menjadi
objek pikiran.9
Menurut Nursalam konsep adalah “abstraksi dari suatu realitas agar
dapat di komunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan
keterkaitan antarvariabel.”10
J. Sudarminta mengungkapkan Konsep
secara umum dapat dirumuskan pengertiannya sebagai suatu representasi
abstrak dan umum tentang sesuatu. Sebagai sesuatu representasi abstrak
dan umum tentu saja konsep merupakan suatu hal yang bersifat mental,
representasi sesuatu itu terjadi dalam pikiran.11
Menurut Kaplan yang dikutip oleh Djuju Sudjana mengemukakan
bahwa “A concept is a contruct (konsep adalah sebuah bentuk),
pengertian lebih luas adalah “concept are mental images we use as
summary devices for bringing together observations and experie, ices
that seem to have something in common” (konsep adalah citra mental
yang kita gunakan sebagai alat untuk memadukan pengamatan dan
pegalaman yang memiliki kesamaan).12
Menurut Paul Suparno mengatakan Miskonsepsi adalah “konsep
yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang
diterima oleh pakar dalam bidang itu”.13
Menurut Saleem Hasan “miskonsepsi sebagai struktur kognitif
(pemahaman) yang berbeda dari pemahaman yang telah ada dan diterima
dilapangan, dan struktur kognitif ini dapat menggangu penerimaan ilmu
pengetahuan yang baru”.14
9 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika Asas-Asas Penalaran Sistematis (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), h. 27. 10
Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, (Jakarta:
Salemba Medika, 2008), h. 55.
11
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), h. 87. 12
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung: PT
Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 12. 13
Paul Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika, (Jakarta:
PT Grasindo, 2005), h. 4. 14
Salem Hasan, et al, “Misconceptions and the Certainty of Response Index (CRI)”,
Journal of Phys, Educ, Vol. 5, 1999, h. 294.
14
Dwi Septiana, Zulfiani mengatakan Menurut Novak miskonsepsi
disebut juga sebagai prakonsepsi, dan oleh Driver sebagai kerangka
alternatif dan disebut “children science”. Sebagai bentuk penghargaan
terhadap gagasan-gagasan yang berbeda, beberapa ilmuan menganti
istilah miskonsepsi dengan konsep alternatif.15
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi
adalah suatu gagasan dari sebuah pengertian yang tidak sesuai dengan
pengertian ilmiah atau interpretasi hubungan konsep-konsep tidak dapat
diterima.
3. Kompetensi Profesional
a. Kompetensi
Muhibbin mengemukakan bahwa “kompetensi adalah
kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat
menurut ketentuan hukum. Selanjutnya dikemukakan bahwa
kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam
melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggungjawab
dan layak. Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai
kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi
keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru yang
piawai dalam melaksanakan profesinya.”16
Partanto dan Al-Barry mengatakan bahwa “kompetensi adalah
kecakapan, kewenangan, kekuasaan, dan kemampuan”.17
Wijaya dan
Rusyan mengatakan bahwa “kompetensi adalah kemampuan yang
15
Dwi Septiana, dkk, “Identifikasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Archaebacteria dan
Eubacteria Menggunakan Two-Tier Multiple Choice”, Jakarta: EDUSAINS, Vol. 6, 2014, h. 192. 16
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 203. 17
Pius A Partanto, dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: PT Arloka,
1994), h. 353.
15
merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru atau
tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti”.18
Yasin mengatakan bahwa “kompetensi adalah serangkaian
tindakan dengan penuh rasa tanggung jawab yang harus di punyai
seseorang sebagai persyaratan untuk dapat dikatakan berhasil dalam
melaksanakan tugasnya”.19
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen ditulis: “kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dikuasai oleh guru atau dosen dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah kemampuan,
tindakan, pengetahuan, keterampilan, yang harus dimiliki oleh
seorang pendidik untuk bisa dikatakan berhasil dalam tugasnya.
b. Macam-macam Kompetensi
1) Kompetensi Pedagogik
Dalam pasal 28 ayat 3 butir a dikemukakan bahwa
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap
peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.20
Kompetensi pedagogik menurut Slamet PH yang dikutip
oleh Syaiful Sagala mengatakan kompetensi pedagogik terdiri
dari sub kompetensi:
18
Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar
Mengajar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), h. 7. 19
Ahmad Yasin Fatah, “Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Agama
Islam di Madrasah”, Jurnal el-Qudwah Volu me 1 Nomor 5,Edisi April 2011, h. 22. 20
E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 20012), h. 75.
16
a) Berkonstribusi dalam pengembangan KTSP yang
terkait dengan mata pelajaran yang diajarkan.
b) Mengembangakan silabus mata pelajaran berdasarkan
standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD)
c) Merencanakan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) berdasarkan silabus yang telah dikembangkan
d) Merancang manajemen pembelajaran dan manajemen
kelas.
e) Melaksanakan pembelajaran yang pro-perubahan (aktif,
kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif, dan
menyenangkan.
f) Menilai hasil belajar peserta didik secara otentik.
g) Membimbing peserta didik dalam berbagai aspek
misalnya pelajaran, kepribadian, bakat minat dan karir.
h) Mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru.21
2) Kompetensi Kepribadian
Dalam pasal 28 ayat 3 butir b dikemukakan bahwa
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan
bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.22
Kompetensi
kepribadian adalah kemampuan kepribadian guru yang mantap,
berakhlak mulia, berwibawa, dan menjadi teladan bagi peserta
didiknya.23
Kompetensi kepribadian meliputi sub kompetensi, yaitu:
a) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa
b) Menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia
dan sebagai teladan bagi peserta didik dan masyarakat
c) Mengevaluasi kinerja sendiri
d) Mengembangkan diri berkelanjutan.24
21
Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2013), h. 31-32. 22
Mulyasa, op, cit., h. 117. 23
Trianto & Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik menurut
UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h. 65. 24
Sukanti, Meningkatkan Kompetensi Guru melalui Pelaksanaan Tindakan Kelas, Jurnal
Pendidikan Akutansi Indonesia, Vol. VI, 2008, h, 7.
17
3) Kompetensi Profesional
Dalam pasal 28 ayat 3 butir c dikemukakan bahwa
Kompetensi profesional kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam standar Nasional pendidikan.25
Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan
materi pengajaran secara luas dan mendalam. Untuk mencapai
keberhasilan pendidikan, sistem pendidikan harus ditata dan
dirancang oleh orang-orang yang ahli di bidangnya yang ditandai
dengan kompetensi sebagai persyaratannya.26
Secara etimologi, istilah profesi berasal dari bahasa Inggris,
yaitu profession atau bahasa latin, profecus, yang artinya
mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli
dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi,
profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan
tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental,
yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen
untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual.27
Dan dapat juga diartikan bahwa profesi adalah suatu bidang
pekerjaan atau keahlian tertentu yang mensyaratkan kompetensi
intelektualitas, sikap, dan keterampilan tertentu yang diperoleh
melalui proses pendidikan secara akademis yang intensif. 28
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
25
Mulyasa, op, cit., h.135. 26
Trianto, op, cit., h. 71. 27
Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), h. 16. 28
Ibid
18
memerlukan keahlian atau kecakapan yang memenuhi mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.29
Tilaar mengatakan bahwa “seorang profesional
menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntunan profesi atau
dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan
tuntunan profesinya. Seorang profesional menjalankan
kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara
amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme.
Seorang profesional akan terus menerus meningkatkan mutu
karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan.”30
Jadi dapat disimpulkan profesional adalah kata sifat yang
berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang
yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan
sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional
adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang
dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh
pekerjaan lain.
Menurut Hamzah Kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang guru yaitu:
a) Kompetensi pribadi. Berdasarkan kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk Tuhan.
Ia wajib menguasai pengetahuan yang akan
diajarkannya kepada peserta didik secara benar dan
bertanggung jawab. Ia harus memiliki pengetahuan
penunjang tentang kondisi fisiologis, psikologis, dan
pegagogis dari peserta didik yang dihadapinya.
Beberapa kompetensi pribadi yang semestinya ada pada
seorang guru, yaitu memiliki pengetahuan yang dalam
29
Ibid., h. 17. 30
Tilaar H.A.R, Managemen Pendidikan Nasional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2002), h. 86.
19
tentang materi pelajaran yang menjadi tanggung
jawabnya. Selain itu, mempunyai pengetahuan tentang
perkembangan peserta didik serta kemampuan untuk
memperlakukan mereka secara individual.
b) Kompetensi sosial. Berdasarkan kodratnya manusia
sebagai makhluk sosial dan makhluk etis. Ia harus
dapat memperlakukan peserta didiknya secara wajar
dan bertujuan agar tercapai optimalisasi potensi pada
diri masing-masing peserta didik. Ia harus memahami
dan menerapkan prinsip belajar humanistik yang
beranggapan bahwa keberhasilan belajar ditentukan
oleh kemampuan yang ada pada diri peserta didik
tersebut. Instruktur hanya bertugas melayani mereka
sesuai kebutuhan mereka masing-masing. Kompetensi
sosial yang dimiliki seorang guru adalah menyangkut
kemampuan berkomunikasi dengan peserta didik dan
lingkungan mereka (seperti orang tua, tetangga, dan
sesama teman).
c) Kompetensi profesional mengajar. Berdasarkan peran
guru sebagai pengelola proses pembelajaran, harus
memiliki kemampuan:
(1) Merencanakan sistem pembelajaran yang terdiri
dari: merumuskan tujuan, memilih prioritas materi
yang akan diajarkan, memilih dan menggunakan
metode, memilih dan menggunakan sumber belajar
yang ada, memilih dan menggunakan media
pembelajaran.
(2) Melaksanakan sistem pembelajaran yang terdiri
dari: memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang
tepat, menyajikan urutan pembelajaran secara
tepat.
20
(3) Mengevaluasi sistem pembelajaran yang terdiri
dari: memilih dan menyusun jenis evaluasi,
melaksanakan kegiatan evaluasi sepanjang proses,
mengadministrasikan hasil evaluasi.
(4) Mengembangkan sistem pembelajaran yang terdiri
dari mengoptimalisasi potensi peserta didik,
meningkatkan wawasan kemampuan diri sendiri,
mengembangkan program pembelajaran lebih
lanjut.31
Menurut Samana, bahwa sejak tahun 1979-1980 Depdikbud
(Ditjen Dikdasmen dan Ditjen Dikti) telah merumuskan sepuluh
kompetensi guru yang mesti diusahakan atau dikerjakan oleh guru
dalam meneliti serta mengembangkan karirnya, yaitu sebagai
berikut:
a) Guru dituntut menguasai bahan ajar
b) Guru mampu mengelola program belajar mengajar
c) Guru mempu mengelola kelas
d) Guru mampu menggunakan media dan sumber
pengajaran
e) Guru menguasai landasan-landasan kependidikan
f) Guru mampu mengelola interaksi belajar mengajar
g) Guru mampu menilai prestasi belajar siswa untuk
kepentingan pengajaran
h) Guru mengenal fungsi serta program pelayanan
bimbingan dan penyuluhan
i) Guru mengenal dan mampu ikut penyelenggaraan
administrasi sekolah
j) Guru memahami prinsip-prinsip penelitian pendidikan
dan mampu menafsirkan hasil-hasil penelitian
pendidikan untuk kepentingan pengajaran.32
Dari sepuluh kompetensi guru di atas dapat dipahami bahwa
dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, guru mesti
menguasai bahan ajar yang akan disampaikan. Karena tanpa
31
Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 18-19. 32
Samana, Profesionalisme Keguruan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 61.
21
menguasai bahan ajar, akan memberikan kesalahan dalam
pemahaman siswa terhadap bahan ajar yang disampaikan guru.
Mutu penguasaan bahan ajar dari para guru sangat menentukan
keberhasilan pengajarannya. Ketika membuat bahan ajar, guru
harus mampu menjabarkan, mengorganisasikan bahan ajar secara
sistematis, relevan, selaras dengan mental siswa, sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi, serta memperhatikan kondisi
lingkungan di sekolah maupun di luar sekolah.
Kompetensi profesional seorang guru adalah seperangkat
kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat
melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil.33
Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan, artinya guru harus
memiliki pengetahuan yang luas berkenaan dengan bidang studi atau
subject matter yang akan diajarkan serta penguasaan didaktik metodik
dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoretis, mampu memilih
model, strategi, dan metode yang tepat serta mampu menerapkannya
dalam kegiatan pembelajaran. Guru pun harus memiliki pengetahuan
luas tentang kurikulum, dan landasan kependidikan.34
Suhana menyebutkan bahwa kompetensi profesional yang harus
dikuasai seorang guru/pendidik adalah sebagai berikut:
a) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan
yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
b) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran yang diampu.
c) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara
kreatif.
d) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan
dengan melakukan tindakan reflektif.
33
Uno, op, cit., h. 18. 34
Rusman, op, cit., h. 23.
22
e) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
mengembangkan diri.35
Kompetensi profesional guru sangat diperlukan guna
mengembangkan kualitas dan aktifitas tenaga kependidikan dalam
hal ini guru. Guru merupakan faktor penentu mutu pendidikan
dan keberhasilan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu tingkat
kompetensi profesional guru di suatu sekolah dapat dijadikan
barometer bagi mutu dan keberhasilan pendidikan di sekolah.
Kompetensi guru bertolak dari analisis tugas-tugas guru
sebagai pengajar, pembimbing, maupun administrator di dalam
kelas. Kompetensi guru terdiri dari: menguasai bahan pelajaran,
mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas,
menggunakan media atau sumber belajar, menguasai landasan
kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai
proses belajar, mengenal fungsi dan layanan bimbingan
penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi
sekolah, memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna
keperluan pengajaran.36
Menurut Yutmini, persyaratan kemampuan yang harus
dimiliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar
meliputi kemampuan:
a) Menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan
bahan latihan yang sesuai dengan tujuan pelajaran.
b) Mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan
perlengkapan pengajaran
c) Berkomunikasi dengan siswa
d) Mendemonstrasikan berbagai metode mengajar
e) Melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.37
35
Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT Refika Aditama, 2014), h.
97. 36
Kunandar, Guru Profesional (Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan
Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 58. 37
Yutmini Sri, Strategi Belajar Mengajar, (Surakarta: FKIP UNS, 1992), h. 13.
23
Guru sebagai tenaga fungsional harus mampu menguasai
program belajar mengajar seperti metode mengajar, strategi
pembelajaran, pendekatan, teknik, dan model pembelajaran.
Selain itu, guru harus mampu membuat alat bantu atau media
pengajaran supaya tujuan dari pembelajaran tersebut bisa tercapai.
Pengelolaan kelas ketika mengajar sangat penting. Karena
ini terkait dengan situasi sosial di kelas yang menjadi center
tempat guru menyampaikan materi pelajaran. Ketika kelas itu
kondusif, tentu materi yang disampaikan guru bisa dipahami oleh
siswa. Tetapi sebaliknya, ketika guru tidak memiliki kemampuan
untuk mengelola kelas, maka materi yang disampaikan guru pun
tidak sempurna di pahami oleh siswa.
Guru yang kreatif adalah guru yang mampu menggunakan
dan memanfaatkan media dan sumber belajar yang ada. Mengajar
dengan kreatif mampu membuat siswa lebih lama dalam
mengingat materi pelajaran yang disampaikan guru. Karena siswa
sendirilah yang langsung mengalaminya. Jadi, dengan media dan
sumber belajar yang dimanfaatkan mampu membuat proses
belajar mengajar secara terarah, efektif, dan efisien.
Selain hal di atas, guru juga harus menguasai landasan-
landasan kependidikan. Landasan kependidikan itu mesti harus
relevan dengan perkembangan siswa, ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan kondisi masyarakat sekitar. Dengan menguasai
landasan-landasan kependidikan tersebut, guru mampu
mempersiapkan siswa-siswanya dalam menghadapi halangan dan
rintangan hidupnya di masa depan.
Ketika pelaksanaan pengajaran guru harus mampu
berinteraksi dengan siswa-siswanya. Guru harus mengenal
berbagai jenis karakteristik siswa-siswa yang diajar. Dalam
mengajar guru memiliki berbagai peran, yaitu sebagai motivator
belajar, fasilitator, inspirator, evaluator, menguasai administrasi
24
kelas dan administrasi sekolah, dan mampu ikut berpartisispasi
dalam pelaksanaan bimbingan konseling. Mengenal peran-peran
yang harus dimiliki oleh seorang guru tersebut, mampu
membantu siswanya yang memiliki motivasi belajar yang rendah
dan memberikan solusi dari masalah-masalah yang dihadapi
siswanya.
Sebagai guru yang kompeten guru harus mampu menilai
prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran. Karena
kegiatan penilaian adalah bagian integral dari sistem pengajaran.
Keahlian guru dalam pengukuran dan penilaian hasil belajar siswa
mampu memberi dampak yang luas untuk menentukan
perkembangan siswa untuk masa depannya. Seperti
perkembangan mental siswa, dan memberi kontribusi yang baik
untuk masyarakat yang menggunakan tenaga dari alumni yang
diajar oleh guru tersebut.
Guru sebagai tenaga fungsional juga harus mengenal fungsi
dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan. Karena salah
satu fungsi guru itu adalah sebagai membina siswanya. Siswa-
siswa yang diajar tentu memiliki karakteristik yang berbeda-beda
dan memiliki perilaku yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu,
guru harus memiliki kemampuan membina siswa yang diajarnya
untuk menentukan masa depan mereka yang lebih baik, membina
supaya memiliki sikap tanggung jawab, memilih teman yang
membawa kepada arah yang lebih baik, dan membantu siswa
dalam menyelesaikan masalah hidup yang dihadapinya.
Guru sebagai jabatan administrator dan supervisor
pendidikan sekolah akan dibibit dari guru yang potensial untuk
tugas itu. Guru harus ikut berpartisipasi untuk kemajuan sekolah
dalam hal administrasi sekolah, baik administrasi dalam arti luas
maupun dalam arti sempit. Secara operasional guru dituntut cakap
dan mampu bekerja sama terorganisasi dalam pengolaan sekolah,
25
berperan secara standar dalam tugasnya, mematuhi peraturan
kepegawaiannya guna membantu kelancaran pekerjaan
ketatausahaan sekolah.
Secara ideal guru dituntut untuk melakukan penelitian untuk
kepentingan pengajarannya, untuk menilai hasil dari pengajaran
yang telah dilakukan. Tetapi sungguh disayangkan bahwa hal ini
tidak semua guru mampu melakukannya. Pada hal saat sarjananya
guru sudah mempelajari tentang metodologi penelitian dan
statistik dasar.
Berkenaan dengan pentingnya profesionalisme guru dalam
pendidikan, Sanusi mengutarakan enam asumsi yang melandasi
perlunya profesionalisasi dalam pendidikan, yaitu:
a) Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki
kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan dan dapat
dikembangkan sesuai dengan potensinya. Sementara itu
pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang
menghargai martabat manusia
b) Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara
sadar bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif
yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik
secara universal, nasional, maupun lokal, yang
merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan
pengelola pendidikan.
c) Teori-teori pendidikan merupakan jawaban kerangka
hipotesis dalam menjawab permasalahan pendidikan.
d) Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang
manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik
untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan itu
adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul
tersebut
e) Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di
mana terjadi dialog antara peserta didik dengan
pendidik yang menungkinkan peserta didik tumbuh ke
arah yang dikehendaki oleh pendidik agar selaras
dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat
f) Sering terjadinya dilema antara tujuan utama
pendidikan, yaitu menjadikan manusia sebagai manusia
yang baik (dimensi instrinsik) dengan misi
26
instrumental, yakni yang merupakan alat untuk
perubahan atau mencapai sesuatu.38
Pola tingkah laku guru yang berhubungan dengan sasaran
sikap profesional keguruan terhadap beberapa hal yaitu terhadap
peraturan perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat,
anak didik, tempat kerja, pemimpin, dan pekerjaan.39
Kompetensi profesional guru dikelompokkan ke dalam dua
bagian yaitu kompetensi substantif dan non substantif.
Kompetensi substantif diartikan sebagai kemampuan dalam
melaksanakan tugas keguruan yang dapat dilihat dari kemampuan
merencanakan program belajar mengajar, mengelola dan
melaksanakan proses belajar mengajar, dan melaksanakan
evaluasi hasil proses belajar mengajar. Kompetensi non substantif
diartikan sebagai kemampuan dalam hal landasan dan wawasan
pendidikan, serta kepribadian, profesi dan pengembangan dari
guru yang bersangkutan.
Kompetensi profesional guru dapat disimpulkan sebagai
kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesi
keguruan dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi tinggi
dengan sarana penunjang berupa bekal pengetahuan yang
dimilikinya.
4) Kompetensi Sosial
Dalam pasal 28 ayat 3 butir d dikemukakan bahwa
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
38
Sanusi, Ahmad, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga
Kependidikan, (Bandung: IKIP Bandung, 1991), h. 23. 39
Seotjipto, & Kosasi, Raflis, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 43.
27
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar 40
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru dan dosen
untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisiensi
dengan peserta didik, guru lain, orang tua, dan masyarakat
sekitar.41
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta
didik, dan masyarakat yang terlibat dalam pembelajaran.
Kompetensi sosial meliputi sub kompetensi, yaitu:
a) Berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan
peserta didik, orang tua peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan dan masyarakat
b) Berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di
sekolah dan masyarakat
c) Berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di
tingkat lokal, regional, nasional dan global
d) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
untuk berkomunikasi dan pengembangan diri.42
Menurut permendiknas No. 16 tahun 2007 kemampuan
dalam standar kompetensi ini mencakup empat kompetensi utama
yakni:
a) Bersikap inklusif dan bertindak objektif serta tidak
deskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin,
agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan
status sosial ekonomi.
b) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun
dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang
tua, dan masyarakat.
40
Mulyasa, op, cit., h. 173. 41
Trianto & Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik menurut
UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h. 67. 42
Sukanti, Meningkatkan Kompetensi Guru melalui Pelaksanaan Tindakan Kelas, Jurnal
Pendidikan Akutansi Indonesia, Vol. VI, 2008, h, 7.
28
c) Beradaptasi ditempat bertugas di seluruh wilayah
Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial
budaya.
d) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan
profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
c. Ciri-ciri Jabatan Profesional
Samana menyebutkan bahwa ciri-ciri jabatan profesional
(termasuk guru) adalah sebagai berikut:
1) Bagi para pelakunya secara nyata (de facto) dituntut
berkecakapan kerja (berkeahlian) sesuai dengan tugas-
tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya
(cenderung ke spesialisasi)
2) Kecakapan atau keahlian seorang pekerja profesional
bukan sekedar hasil pembiasaan atau latihan rutin yang
terkondisi, tetapi perlu didasari oleh wawasan keilmuan
yang mantap, jadi jabatan profesional menuntut
pendidikan pra-jabatan yang terprogram secara relevan
serta berbobot, terselenggara secara efektif-efisien, dan
tolok ukur evaluatifnya terstandar.
3) Pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas,
sehingga pilihan jabatan serta kerjanya didasari oleh
kerangka nilai tertentu (bukan ikut-ikutan), bersifat positif
terhadap jabatan dan perannya, dan bermotivasi serta
berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya.
4) Jabatan profesional perlu mendapat pengesahan dari
masyarakat dan atau negaranya, dalam hal ini pendapat
serta tolak ukur yang dikembangkan oleh organisasi
profesi sepantasnyalah dijadikan acaunnya.43
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa guru merupakan
salah satu jabatan profesional. Sebagai guru profesional tentunya
ciri-ciri di atas mesti dipenuhi supaya keprofesionalan seorang guru
tersebut dapat diakui oleh masyarakat maupun negara. Kalau ciri-ciri
yang disebutkan di atas belum ada, tentunya profesional seorang
guru tidak dapat diakui.
Danim menyebutkan bahwa, ciri-ciri guru profesional itu
adalah sebagai berikut:
43
Samana, Profesionalisme Keguruan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 27.
29
1) Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui
pendidikan
2) Memiliki pengetahuan spesialisasi
3) Menjadi anggota organisasi profesi
4) Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan
langsung oleh orang lain atau klien
5) Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau
communicable
6) Memiliki kapasitas mengorganisasikan kerja secara
mandiri atau self-organization
7) Mementingkan kepentingan orang lain (altruism)
8) Memiliki kode etik
9) Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunitas
10) Memiliki sistem upah
11) Budaya profesional
12) Melaksanakan pertemuan profesional tahunan.44
4. Guru dan Dosen
Guru menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki
arti orang yang mengajar. Dengen demikian, orang-orang yang
profesinya mengajar disebut guru.45
Kata guru merupakan padanan dan
kata teacher (bahasa Inggris), di dalam Kamus Webster, kata teacher
bermakna sebagai “the person who teach, especially in school” atau guru
adalah seorang yang mengajar, khususnya di sekolah.46
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat.47
44
Danim, Pengembangan Profesi Guru Dari Pra-Jabatan, Induksi, ke Profesional Madani,
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 106. 45
Najib Sulhan, Karakter Guru Masa Depan, (Surabaya: Jaringpena, 2011), h. 1. 46
Ali Mudlofir, Pendidik Profesional Konsep, Strategi dan Aplikasinya dalam Peningkatan
Mutu Pendidik di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h. 120. 47
Ni’am, op, cit., h. 217.
30
Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal.48
Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada
peserta didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang
melaksanakan pendidikan ditempat-tempat tertentu yang tidak harus di
lembaga-lembaga pendidikan formal, tetapi juga dimesjid, mushola,
majelis taklim, di rumah dan sebagainya.49
Istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh Hadari Nawawi yang
dikutib oleh Abuddin Nata adalah orang yang kerjanya mengajar atau
memberikan pelajaran disekolah atau kelas. Secara lebih khusus lagi ia
mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam bidang
pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam
membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.50
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini membahas tentang miskonsepsi guru dan dosen
profesional (Analisis Kritis terhadap UU Nomor 14 Tahun 2005 secara
Filosofis, Psikologis, Sosiologis dan Pedagogis) dan berdasarkan hasil kajian
pustaka yang dilakukan peneliti dapatkan hasil penelitian yang relevan yaitu
penelitian yang dilakukan oleh:Umar Said (2013) yang berjudul “Persepsi
Siswa tentang Kompetensi Profesional Guru bagi Peningkatan Prestasi
Belajar Siswa di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Leuwiling Bogor
dalam penelitiannya disimpulkan bahwa Persepsi Siswa tentang Kompetensi
Profesional Guru bagi Peningkatan Prestasi Belajar Siswa cukup tinggi, hal
ini terbukti dari tanggapan-tanggapan responden dalam hasil angket yang
menunjukkan sebanyak 10 dari 13 pertanyaan terkait kompetensi profesional,
48
Mudlofir, op, cit., h. 121. 49
Sholeh Hidayat, Pengembangan Guru Profesional, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2017), h. 2. 50
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta: Gaya Media
Pratama,2005), h. 114-115.
31
siswa menyatakan siswa menyatakan guru memiliki ciri-ciri kompetensi
profesional.
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai miskonsepsi
guru dan dosen profesional (analisis kritis terhadap UU nomor 14 tahun 2005
secara filosofis, psikologis, sosiologis dan pedagogis)
Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu terhitung
dari bulan April sampai Oktober 2018.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas, sosial,
sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun
kelompok.1 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis yang menggunakan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan
atau yang dikenal dengan library research dengan mengacu pada buku-buku,
artikel, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kompetensi
profesional.
Analisis dapat dilakukan terhadap buku-buku teks, baik yang bersifat
teoritis maupun empiris. Dalam hal ini, sumber data penelitian berasal dari
literatur-literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
Dalam hal ini bahan-bahan pustaka diperlukan sebagai sumber ide
untuk menggali pemikiran atau gagasan baru, sebagai bahan dasar untuk
melakukan deduksi dari pengetahuan yang telah ada, sehingga kerangka teori
baru dapat dikembangkan, atau sebagai dasar pemecahan masalah. Dan jenis
penelitian ini dapat dipahami sebagai penelitian teoritik dan terkait pada
1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), h. 60.
32
values, tetapi tetap diperlukan keterkaitannya dengan empiris. 2 Dengan
demikian data yang diperoleh dari hasil literer dideskripsikan apa adanya
kemudian dianalisis.
C. Fokus Penelitian
Menurut Sugiono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut
dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum”3
Dalam penelitian ini yang menjadi Fokus penelitian adalah
miskonsepsi guru dan dosen profesional.
D. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis
yang menggunakan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan. Metode
description analitis merupakan metode penelitian yang berusaha
menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.4 Pada
umumnya metode ini dilakukan dengan tujuan utama untuk menggambarkan
secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara
tepat.5 Alasan penulis menggunakan metode descriptif analitis pada
penelitian ini adalah metode descriptif analitis sangat membantu untuk
mendapatkan variasi data yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis
teliti. Selain itu metode descriptif analitis berbentuk sederhana dan lebih
mudah dipahami karena tanpa memerlukan teknik statistika.
Adapun prosedur penelitian yang digunakan oleh penulis adalah
diantaranya:
1. Pengumpulan Data
2 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitan Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h.
55. 3 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitati, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 287. 4 Margaret Bell, Metode Belajar dan Membelajarkan, (Jakarta: Universitas Terbuka bekerja
sama dengan Rajawali Press, 1991), h. 134. 5 Sukardi, H.M, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 157.
33
a. Sumber data primer, yaitu literatur-literatur karya peneliti atau
teoritis yang orisinil. Dalam hal ini, sumber yang digunakan
adalah buku-buku yang berkaitan dengan kompetensi
profesional yaitu: Membangun Profesionalitas Guru Analisis
Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen karangan
Asrorun Ni’am Sholeh, Pendidikan Nasional Strategi dan
Tragedi karangan Winarno Surakhmad.
b. Sumber data sekunder, yang menjadi pendukung adalah data-
data yang mendukung pembahasan pada penelitian ini,
diantaranya buku-buku yang relevan dengan penelitian ini
seperti buku yang berjudul Tinjauan Yuridis Hak serta
Kewajiban Pendidik menurut UU Guru dan Dosen karangan
Trianto & Titik Triwulan Tutik, Peningkatan Kompetensi Guru
melalui Pelatihan dan Sumber Belajar Teori dan Praktik
karangan Jejen Musfah dan lain-lain.
2. Teknik Pengolahan Data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis
lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan
mengklarifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung
pokok-pokok pembahasan, untuk selanjutnya penulis analisis,
simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
3. Analisis Data
Untuk teknik analisis data, dalam mengambil kesimpulan
bersumber dari data-data yang telah di dapat, baik data primer
maupun sekunder.
34
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional dari Sudut Pandang
filosofis
1. Hakikat Manusia
Manusia memiliki banyak sebutan antara lain adalah sebagai
makhluk sosial (masyarakat), sama dengan hewan, makhluk beragama,
berbudaya, berakal, individu, rakus, suka berkeluh kesah, sebagai
pemimpin (khalifah), dan makhluk yang paling sempurna. Salah satu
unsur kesempurnaan manusia itu dibandingkan dengan makhluk lain dari
semua ciptaan Allah adalah pada kepribadiannya itu.1
Menurut Muhammad Daud Ali mengatakan manusia bisa
menyamai binatang apabila tidak memanfaatkan potensi-potensi yang
diberikan Allah secara maksimal terutama potensi pemikiran (akal,),
kalbu, jiwa, raga serta pancaindra. Dalil al-Quran yang diajukannya
adalah surah al-A‟raf ayat 179 yang artinya ...mereka memiliki hati tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
memiliki mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak
dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti
hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai.2
Mengenai potret potensi yang dimiliki oleh manusia al-Quran telah
mensinyalir dengan dua kata kunci yang dapat dijadikan untuk
memahami manusia secara komprehensif. Manusia adalah al-Insan dan
al-Basyar, Kata al-Insan yang bentuk jamaknya adalah an-Nas dari segi
1 Fachruddin Saudagar & Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung
Persada GP Press, 2011), h. 35. 2 Siti Khasinah, Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat, Jurnal Ilmiah
Didaktika Februari 2003 VOL. XIII, NO.2, h. 298.
35
semantik atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari akar kata an-Nasa
yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan meminta izin. Atas dasar
kata ini mengandung petunjuk adanya kaitan substansi antara manusia
dan kemampuan penalaran, dengan penalaran yang dimiliki oleh manusia
ia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya.
Kata Insan dilihat dari asal kata l uns atau anisa yang berarti jinak,
sehingga pada dasarnya manusia itu jinak dan dapat menyesuaikan
dirinya dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mampu
bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan alamiahnya.
Adapun Basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-
laki maupun perempuan, baik secara individual ataupun kolektif. Kata
Basyar adalah bentuk jamak dari kata Basyarah yang artinya permukaan
kulit kepala, wajah dan tubuh, semua kegiatan yang didasari dan
dilakukan dasarnya adalah kegiatan yang didasari dan berkaitan dengan
kapasitas akalnya dan aktualisasi dalam kehidupannya yang konkret yaitu
perencanaan, tindakan dan akibat-akibatnya atau perolehan yang
ditimbulkan oleh perbuatan tersebut seperti kegiatan makan, minum.3
2. Manusia dan Pikiran
Berpikir adalah termasuk tin ngkat hidup kejiwaan taraf tinggi,
sebab terjadinya proses berpikir karena adanya kesadaran dalam diri
manusia. Berpikir adalah merupakan suatu kemampuan kejiwaan yang
dimiliki manusia dan merupakan kelebihan manusia dari makhluk-
makhluk lainnya. Melalui proses berpikir manusia dapat menciptakan
kemajuan peradaban dan kebudayaan yang senantiasa berkembang dan
dengan berpikir itu pula manusia mampu menghayati dan mengamalkan
ajaran agama serta mampu bertingkah laku susila.4
3 Abdul Khobir, “Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan (Tinjauan
Filsafat Pendidikan Islam)”, Forum Tarbiyah Vol. 8, No. 1, Juni 2010, h. 6. 4 Nurussakinah Daulay, Pengantar Psikologi dan Pandangan al-Quran tentang Psikologi,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 160.
36
Dengan berpikir manusia dapat menganalisa sebab dan akibat atau
menghubung-hubungkannya, lalu menemukan hukum-hukumnya,
menemukan masalah yang sedang dihadapinya.
Muhammad Noorsyam mengatakan beberapa fungsi filsafat
manusia ada 4 yaitu:
a. Contemplative (Perenungan) yaitu, memikirkan sesuatu atau
segala sesuatu tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan
objeknya.
b. Speculative (berfikir spekulasi) yaitu, berpikir semata-mata
bepikir menggunakan akal murni, tidak membutuhkan data-data
sebagaimana yang berlaku dalam ilmu pengetahuan
c. Deductive (berpikir deduktif) yaitu, berpikir deduktif bertolak
dari pemikiran yang dilahirkan logika bukan dari apa yang ada
di lapangan.
d. Reflective Thinking (berpikir reflektif) yaitu, kegiatan akal
manusia dalam usaha untuk mengtahui secara mendalam tentang
hakikat sesuatu, menggunakan daya kemampuan maksimal dari
akal manusia.5
Berpikir menurut Plato adalah berbicara dalam hati. “Berpikir
adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan kita”.6
Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial
untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek
kehidupan lainnya. Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan
berpikir yang diawali dan diproses oleh otak kiri.
Dalam perancangan penyusunan UUGD dinilai sangat penting dan
mendesak, di dasarkan berbagai latar belakang, baik secara empiris,
sosiologis, filosofis, yuridis, maupun secara politis.7
Mutu pendidikan dapat dicapai apabila para guru hidup memadai,
memiliki penghasilan yang mencukupi, manusiawi, dan bermartabat
sehingga mereka mampu memberikan perhatian secara memadai dalam
menunaikan tugasnya dalam proses pembelajaran.
5 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014), h. 8-9.
6 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 54.
7 Asrorun Ni‟am Sholeh, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atau
Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakata: Elsas, 2017), h. 17.
37
Selama ini dari aspek kesejahteraan, kondisi guru sangat
memprihatikan, penghasilan guru secara umum tidak mencukupi
kebutuhan minimum hidupnya. Banyak guru yang memaksakan diri
melakukan pekerjaan diluar mengajar, seperti menjadi pedagang, buruh,
dan bahkan ada yang menjadi tukang ojek. Secara bersamaan dalam
menyelesaikan tugasnya, profesi guru kurang mendapat perlindungan
hukum secara memadai.8
Keberadaan dan posisi guru menjadi termarginalkan ditengah-
tengah masyarakat. Guru tidak menjadi pilihan utama angkatan kerja.
Peserta didik yang berkualitas menjadi kurang tertarik untuk memilih
perguruan tinggi yang lulusannya menjadi guru. Hal inilah yang menjadi
salah satu dasar pemahaman kita bahwa mutu guru menjadi rendah
karena memang mutu masukan dari lembaga pendidikan dan keguruan
adalah rendah.
Gambaran umum mengenai kondisi guru dewasa ini, sangat
berbeda dengan kondisi guru pada zaman dahulu. Guru mempunyai
status sosial dan posisi yang sangat terhormat dan sentral, sejarah telah
mencatat bagaimana peran Wali Songo yang melakukan pendampingan
dan pendidikan masyarakat Jawa yang akhirnya mampu menciptakan
harmoni dan keteraturan sosial, para kiai di Pondok Pesantren posisinya
sangat dihormati bahkan dimuliakan tidak saja oleh para murid atau
santrinya, tetapi juga oleh masyarakat di sekitarnya.Tetapi masa kini
heroisme pahlawan tanpa tanda jasa seorang guru tidak lagi
memancarkan sinar kehormatannya.9
Pada zaman perjuangan kemerdekaan sampai masa revolusi, guru
memegang peranan sentral dalam mengelorakan semangat perjuangan.
Guru dan ustadz ditempatkan sebagai tokoh panutan dan pemimpin
masyarakat. Panglima besar jenderal Sudirman adalah suatu contoh nyata
betapa sosok seorang guru mampu menggelorakan sebuah perjuangan
8 Ibid., h. 6.
9 Ibid., h. 8.
38
massal yang spektakuler. Begitu juga KH. Hasyim Asy‟ari, seorang
tokoh pendidik dengan resulasi jihadnya mampu memberikan inspirasi
dalam menggerakkan perlawanan.10
Guru adalah profesi tertua di dunia. Di Indonesia guru telah
meninggalkan tapak sejarah yang jelas. Sepanjang sejarah guru
dipandang sebagai yang “dipercaya” dan “diteladani” (digugu dan ditiru).
Pada bagian terbesar sejarah Indonesia, guru merupakan profesi yang
dimuliakan dan dihormati masyarakat dan penguasa. Hanya saja dalam
30 tahun terakhir, terjadi kemerosotan dan degradasi persepsi terhadap
profesi guru. Karena kualitas dan kesejahteraannya diabaikan oleh
pemerintah, harkat dan martabatnya jatuh terpuruk. Untuk menjadi
bangsa yang besar dan berkualitas, Indonesia harus mengangkat kembali
harkat dan martabat guru.
Tugas formal seorang guru tidak sebatas berdiri dihadapan peserta
didik selama berjam-jam hanya untuk mentransfer pengetahuan pada peserta
didik. Lebih dari itu, guru juga menyandang predikat sebagai sosok yang
layak digugu dan ditiru oleh peserta didik dalam segala aspek kehidupan, hal
inilah yang menuntut agar guru bersikap sabar, jujur, dan penuh pengabdian.
Sebab dalam konteks pendidikan, sosok pendidik mengandung makna model
atau sentral identifkasi diri, yakni pusat panutan dan teladan bahkan
konsultan bagi peserta didiknya. Semua orang yakin bahwa pendidik
memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan peserta didik. Guru
sangat berperan dan mempunyai peran yang cukup besar terhadap
kematangan intelektual, spiritual, dan emosional peserta didik.11
Dalam UU guru dan Dosen, pasal 1 disebutkan bahwa profesional
adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
10
Ibid., h. 8 11
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 138.
39
Aspek kualitas yang perlu diperhatikan, fakta di masyarakat
menunjukkan bahwa kualitas dan penghargaan terhadap guru masih
sangat tidak memadai. Guru sebagai pengembang manusia Indonesia
yang berkualitas seharusnya ditempatkan sebagai tenaga profesional dan
terhormat. Budaya bangsa Indonesia sangat menghargai status guru yang
dipandang sebagai pengembang dan penyebar nilai luhur serta kebijakan
yang dapat dijadikan suri teladan. Namun belakangan budaya tersebut
mengalami erosi dan terjadi degradasi persepsi seiring dengan proses
marginalisasi profesi guru karena persoalan ekonomi, sosial, dan
politik.12
Secara aturan normatif perundang-undangan yang secara spesifik
memberikan jaminan terhadap profesi guru dan dosen, terkait dengan
aspek profesionalitas, kualitas, kesejahteraan, dan juga perlindungan
hukum.13
Tidak konsisten untuk mengakui pentingnya pendidikan untuk
memajukan bangsa, tetapi mengeluhkan biaya yang terlalu banyak.
Untuk kepentingan eksistensi bangsa. Karena pendidikan disepakati
sebagai strategi yang paling tepat untuk mempertahankan eksistensi
bangsa yang maju dan kuat. Itulah yang harus dijadikan tumpuan dan
disadarkan oleh UUGD. Dengan kesadaran itu, apakah kita masih mau
mengabaikan, mengompromikan, atau menomor duakan peran guru, dan
masih maukah kita terus menunda-nunda serta tawar menawar mengenai
perbaikan kodisi guru. Reflekasi kesadaran ini tidak eksplisit tercantum
dalam UUGD.
Mutlaklah bahwa guru harus sejahtera untuk bisa bertindak
profesional. Kalau kita menyadari peran guru sebagai titik sangat kritis
dalam pertemuan antar generasi, maka pemerintah dan seluruh
masyarakat tidak perlu menunggu lebih lama sampai guru jatuh miskin
baru kemudian bertindak membuatnya sejahtera. Hanya guru yang hidup
12
Ni‟am, op, cit., h. 18. 13
Ibid.
40
dengan rasa sejahtera yang dapat berbicara tentang bangsa yang
sejahtera, dan hidup dengan anak didiknya dengan kesejahteraan. Karena
itu kesejahteraan bagian dari hak profesional guru dan kesejahteraan guru
adalah hal yang sangat layak untuk diperjuangkan.
Ketika di dalam masyarakat terdengar berita bahwa rancangan
undang-undang guru yang telah lama diperjuangkan oleh PGRI bersama
depdiknas tiba-tiba berubah menjadi RUU Guru dan Dosen. Sebagian
reaksi melihat bahwa UUGD menggambarkan keterbatasan pemahaman
pemrakarsa, karena istilah dosen masuk ke Indonesia melalui bahasa
Belanda yaitu docent yang kerjanya doceert, doceeren, sama dengan guru
yang kerjanya adalah mengajar).14
Dosen itu secara umum dan hakiki tidak berbeda dari guru, dosen
hanyalah nama lain dari guru. Tetapi penjelasan dari perumus UU
menunjuk pada UU sisdiknas, karena UU tersebut telah menyinggung
masalah ini, maka dengan demikian UUGD secara logis dianggap hanya
melanjutkan.
Di Jepang, semua guru dari TK ke Universitas, disebut dan
dipanggil shinsei, tanpa sedikit pun mengurangi harga dan penghormatan
masyarakat, istilah profesor yang juga dari bahasa asing, dan dalam
konteks Indonesia disebut guru besar dan bukan dosen besar.
Oleh karena itu ada suara yang kurang mengapresiasikan gagasan
UUGD. Reaksi timbul bukan karena UUGD menggabungkan guru dan
dosen di dalam sebuah undang-undang, tetapi karena rasional
penggabungan itu dinilai kurang rapi. Apakah di masa depan pemisahan
itu akan menjadi lebih ketat sehingga tidak memungkinkan guru bertugas
di tingkat universitas, dan dosen tidak dibenarkan turun bertugas
disekolah dasar atau menengah, ini dapat melahirkan konsekuensi
negatif.
14
Winarmo Surakhmad, Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2009), h. 288.
41
Yang dirasakan ialah bahwa UUGD tampil seperti dua undang-
undang, sebuah undang-undang guru dan sebuah undang-undang dosen,
yang dipaksakan menjadi satu. Yang seharusnya yakni guru dan dosen
menjadi satu dalam semangat keguruannya, bukankah dosen itu juga
guru. Ketidak jelasan konsep dasar UUGD dalam membedakan antara
tugas utama guru dengan tugas utama dosen.
UUGD menjelaskan pada BAB 1 pasal 1 bahwa habitat guru
ditentukan pada tingkat pendidikan menengah kebawah, sedangkan
dosen ditempatkan pada tingkat pendidikan di atas pendidikan menengah.
Sebagai prinsip, tidak pernah boleh ada batas sedemikian ketat sehingga
guru yang menginjakkan kaki di perguruan tinggi, dan sebaliknya dosen
yang memasuki wilayah pendidikan dasar dan menengah, dapat
dipandang melanggar batas teritorial profesional. Dan karenanya
melanggar kewenangan profesi.
Tugas utama guru dirinci menjadi tujuh buah, dari mendidik
sampai mengevaluasi, dan tugas utama dosen ada tiga buah, yakni
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni. Itu beda tugasnya. Di situlah tersimpul
masalah yang lebih sulit dipahami. Tugas guru yang dipilah-pilah dapat
memberi kesan bahwa konsep mendidik memang tidak terkait dengan
mengajar, yang berbeda lagi dengan membimbing, yang lain pula dari
mengarahkan, melatih, menilai, fan mengevaluasi, padahal seluruhnya
adalah satu kesatuan.
Lalu bagaimana dengan tugas guru bila dipandang dari posisi
dosen, apakah guru tidak dibenarkan mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarkan pengetahuan, teknologi, dan dosen?
Bagaimana UUGD mengaitkan pandangan ini dengan konsep
“pendidikan sepanjang hayat” kalau tugas dosen itu hanya diberikan
khusus diperguruan tinggi. Ini merupakan kemampuan yang harus mulai
dikembangkan sejak lahir dan sepanjang hayat.
42
UUGD memberikan rumus peningkatan kualifikasi akademik guru
di Indonesia sebagai guu yang paling rendah harus berpendidikan sarjana
S-1 dan bidang keilmuan tertentu. Artinya dengan tingkat pendidikan
akademik itu, guru dinilai memiliki kualitas pengetahuan yang relevan
untuk tugasnya. Diasumsikan untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan
dan menjamin kualitas pembelajaran, pendidikan pada tingkat itu dinilai
memadai.
Mengembirakan mengetahui bahwa pada suatu saat, mungkin satu
dekade dari sekarang, tidak ada lagi guru di Indonesia yang
berpendidikan akademik di bawah tingkat S-1, tapi apakah ketentuan ini
di dalam jangka panjang? Bahwa kuantitas dan jenis pengetahuan yang
diperoleh calon guru cukup banyak, masih tetap harus dipertanyakan
relevansinya dari kenyataan.
Karena sudah menjadi UU, kompetensi keguruan (UUGD) menjadi
given. Untuk memperoleh pendidikan khusus agar memiliki kompetensi
menjadi guru, UUGD menetapkan seperangkat kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional. Tetapi memunculkan 4
buah kompetensi itu, kecuali tidak terfokus, kategorisasinya pun tumpang
tindih.
a. Kompetensi pedagogik yang diartikan sebagai kemampuan
mengelola pembelajaran peserta didik, tidak salah penamaan.
Pedagogik terkait dengan falsafah teori atau ilmu mendidik,
tidak dengan pengelolaan pembelajaran.
b. Hakikat yang membedakan antara kompetensi pedagogik
dengan profesional, apakah kompetensi pedagogik tidak dapat
dilihat sebagai bagian dari kompetensi profesional yang
diartikan UUGD sebagai penguasaan materi?
c. Ada perbedaan prinsip antara kompetensi kepribadian dengan
kompetensi sosial, mungkinkah seseorang berkompetensi
kepribadian tanpa berkompetensi sosial, atau sebaliknya?
43
Kategori kompetensi itu tampaknya berasumsi bahwa dengan
menguasai empat jenis kompetensi tersebut setiap orang dengan latar
belakang kualifikasi akademik cukup berilmu untuk menjadi guru.
Berbeda dengan titik tolak UUGD, rumusan operasional yang
dikemukakan di sini adalah profesionalisasi kompetensi yang terkait
dengan komponen kualitas. Karena itu, usaha yang diperlukan untuk
pemberdayaan guru dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran
bukan sekedar mengembangkan sejumlah kompetensi, tetapi menjadi
kompetensi itu sebagai kompetensi keguruan, artinya kompetensi harus
terkait dengan kemampuan bersikap dan berperilaku dengan
pertimbangan teknis dan etis. Hasilnya adalah kompetensi profesional
guru, yang jelas berbeda maknanya dari konsep UUGD yang dirumuskan
sebagai penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Dengan
rumusan kualitas pembelajaran yang mengidentifikasi komponen utama,
maka impiannya ialah bahwa kompetensi yang perlu dikembangkan
haruslah dengan sadar terkait dengan komponen utama itu.15
Dalam hal ini juga ada Istilah andragogi sebenarnya merupakan
salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dipopulerkan oleh
Malcolm Knowles pada tahun 1986.16
Knowles sebagaimana dikutip
Hizyam Zaini, dkk. menyatkaan bahwa andragogi adalah the art and
science of helping adult learning, yaitu ilmu yang berkaitan dengan cara-
cara membantu orang dewasa dalam belajar. Andragogi dalam hal ini
dilawankan dengan pedagogi yang berarti the art and science of teaching
children, yaitu sebuah seni dan ilmu yang berkaitan dengan cara
mengajar anak.17
Andragogi berasal dari dua kata yaitu pendidikan yang diartikan
sebagai sebuah usaha sadar dan andragogi yang diartikan sebagai
15
Ibid., h. 369. 16
Hisyam Zaini, at al. Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: CTSD
IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2002), h. 6. 17
Mathias Finger dan Jose Manuel Asun, Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa (terj.)
Nining Fatikasari, (Yogyakarta: Pustaka Kendi, 2004), h. 86.
44
dewasa.18
Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan
membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah
pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa
jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Banyak
praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang
dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara
yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip- prinsip dan asumsi yang berlaku
bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan
pelatihan bagi orang dewasa. Dengan demikian maka kalau ditarik
pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah
dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun
karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu
mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting
dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang
bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan
kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (learner centered training/
teaching).
B. Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional dari Sudut Pandang
Psikologis
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru
dan dosen, dan peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional.
Seorang guru atau pendidik profesional harus memiliki kualifikasi akademik
minimum sarjana (S-1) atau diploma (D-IV), dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran, kompetensi guru sebagai agen pembelajaran dibuktikan dengan
sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui
18
UU. RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I, pasal I.
45
pendidikan tinggi, dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah lulus
ujian sertifikasi.
Setelah beberapa tahun diluncurkan, sudah layak kiranya jika dilakukan
kajian terhadap pelaksanaan UU Guru dan Dosen. Tersurat jelas dalam UU
tersebut bahwa pemerintah menjamin pemarataan kesempatan pendidikan
bagi Guru dan dosen dalam kondisi apapun, terutama pada jenjang
pendidikan guru yang masih belum sarjana. hal ini mengandung arti bahwa
pemerintah harus menjamin terlaksananya kualifikasi pendidikan bagi seluruh
Guru dan Dosen ke jenjang yang lebih tinggi.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Bab VI pasal 28
nomor 1 dan 2 dikatakan bahwa:
1. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi
sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan ruhani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 adalah
tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang
pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan atau sertifikat keahlian
yang relevan sesuia ketentuan perundang-undangan yang berlaku.19
Ada perbedaan antara kualifikasi dan kompetensi. Kualifikasi merujuk
kepada syarat formal yang harus diselesaikan melalui aktivitas akademik
tertentu, dan itu dibuktikan dengan adanya ijazah atau sertifikat yang dimiliki
setelah yang bersangkutan menyelesaikan studi pada jenjang pendidikan
tertentu. Undang-undang nomor 14 tahun 2005 mempersyaratkan bahwa guru
pada semua jenjang pendidikan haruslah memiliki kualifikasi akademik
minimal S1 atau DIV. Kualifikasi bersifat statis, artinya pengakuan terhadap
kemampuan akademik seseorang yang dibuktikan dengan memberikan ijazah
atau sertifikat tidak berubah sejauh yang bersangkutan menyandang gelar
19
Jamil Suprihatiningrum, Guru Profesional Pedoman Kinerja, Kualifikasi, dan
Kompetensi Guru, (Jakarta: ar-Ruzz Media, 2016), h. 93.
46
akademik yang sesuai. Orang yang menyandang S1 dianggap sebagai sarjana
dan layak untuk memasuki bidang pekerjaan tertentu. 20
Sebaliknya kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang,
akibat dari pendidikan maupun pelatihan, atau pengalaman belajar informasi
tertentu yang didapat, sehingga menyebabkan seseorang dapat melaksanakan
tugas tertentu dengan hasil yang memuaskan. Orang yang memiliki
kualifikasi akademik tertentu, meskipun secara formal dapat diasumsikan
memliki kompetensi yang memadai namun tidak selamanya demikian.
Seorang guru yang berijazah S1 kependidikan tertentu belum tentu
memperlihatkan kompetensi sesuai dengan kualifikasi akademik yang
dimilikinya seperti bisa mengajar dengan terampil menggunakan metode dan
srategi pembelajaran yang tepat atau ampu menyampaikan pembelajaran
secara menarik. Ia bisa saja berijazah S1 tetapi buru dalam kemampuan
mengajar di kelas, tidak ramah kepada siswa atau kurang menguasai materi
pembelajaran. Pada kasus ini guru memiliki kualifikasi akademik yang layak,
tetapi kompetensinya tidak layak. Sebaliknya, bisa saja terjadi bahwa ada
orang yang tidak berkualifikasi akademik S1 kependidikan tetapi terampil
dalam mengajar mampu menyampaikan pelajaran secara menarik dan mudah
dipahami oleh para siswa. Dalam kasus ini yang bersangkutan sebagai guru
tidak memiliki kualifikasi akademik yang layak, tetapi memiliki kompetensi
yang layak.21
Rendahnya kualifikasi pendidikan guru disebabkan oleh beragam faktor
diantaranya adalah pertama Rendahnya kesejahteraan guru, gaji guru hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehai-hari, sehingga tidak ada alokasi dana
untuk melanjutkan pendidikan. Sejumlah guru di kabupaten Sukabumi dan
kabupaten lebak, provinsi banten misalnya “tidak dapat melanjutkan ke
jenjang S-1 di sebabkan dana yang mereka miliki sangat terbatas sehingga
20
Marselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru Konsep Dasar, Problematika, dan
Implementasinya, (Jakarta: PT Indeks: 2001), h. 17. 21
Ibid.
47
dana yang tersedia lebih baik digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak
mereka. Kedua Rendahnya kualitas, kualifikasi, dan kompetensi guru.22
Menurut Bafadal yang dikutip oleh Jejen Musfah mengatakan
Peningkatan kemampuan profesional guru dapat dikelompokkan menjadi dua
macam pembinaan. Pertama, pembinaan kemampuan pegawai melalui
supervisi pendidikan, program sertifikasi, dan tugas belajar. Kedua,
pembinaan komitmen pegawai melalui pembinaan kesejahteraannya.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah, melalui UU No. 14 Tahun 2005
pasal 7 mengamanatkan bahwa, pemberdayaan profesi guru diselengarakan
melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan,
tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik
profesi. Di sampig itu, menurut pasal 20 dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan guru berkewajiban untuk meningkatkan dan
mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.23
Undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal
11 ayat 2 menyatakan, bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh
perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan
yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian
sertifikasi guru diselenggarakan oleh LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan
oleh Menteri Pendidikan Nasional (depdiknas, 2005).24
Berbagai keraguan memang bisa saja muncul dari kebijakan
pelaksanaan sertifikasi. Apakah proses sertifikasi ini satu-satunya solusi bagi
peningkatan kualitas pendidik. Jika diamati lebih mendalam mengenai
keadaan tenaga pendidik di Indonesia maka akan ditemukan berbagai
permasalahan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan.
22
Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan Sumber Belajar
Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 5. 23
Ibid., h. 115. 24
Suprihatiningrum, op, cit., h.212.
48
Sertifikasi (certification) mengandung makna, jika hasil penelitian di
atas persyaratan pendaftarannya yang diajukan calon penyandang profesi
dipandang memenuhi persyaratan, kepadanya diberikan pengakuan oleh
negara atas kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Bentuk
pengakuan tersebut adalah pemberian sertifikat kepada penyandang profesi
tersebut, yang didalamnya memuat penjelasan tentang kemampuan dan
keterampilan yang dimilikinya oleh pemegangnya.25
Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru
dan dosen pasal 1 ayat 11, menyatakan bahwa sertifikasi adalah proses
pemberian sertifikat untuk guru dan dosen yang telah memenuhi standar
profesional guru (depdiknas, 2005). Guru maupun dosen yang memenuhi
persyaratan diberikan sertifikat pendidik yang merupakan bukti formal
sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga
profesional.26
Jalal mengatakan untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik
sudah memenuhi standar profesional, pendidik yang bersangkutan harus
mengikuti uji sertifikasi. Ada dua macam pelaksanaan uji sertifikasi yaitu:
1. sebagai bagian dari pendidikan profesi, bagi mereka calon pendidik
2. Berdiri sendiri untuk mereka yang saat diundangkannya Undang-
Undang Guru dan Dosen (UUGD) sudah berstatus pendidik.
Dalam mengikuti sertifikasi harus memenuhi kriteria penilaian sesuai
dengan peraturan Menteri pendidikan Nasional (permendiknas) nomor 18
tahun 2007 yaitu:
1. Kualifikasi akademik, bentuk fisik yang terkait dengan komponen
ini dapat berupa ijazah dan sertifikat diploma.
2. Pendidikan dan pelatihan, pengalaman dalam mengikuti pendidikan
dan pelatihan dalam kerangka pengembangan atau peningkatan
kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada
tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional maupun
internasional. Bentuk fisiknya yaitu berupa sertifikat, piagam dan
surat keterangan dari lembaga diklat.
3. Pengalaman mengajar guru
25
Ibid., h. 215. 26
Ibid.
49
4. Perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran
5. Prestasi akademik
6. Karya pengembangan profesi
7. Keikutsertaan dalam forum ilmiah
8. Penghargaan guru.27
Beberapa faktor penyebab, di antaranya penumpukan guru pada bidang
studi tertentu, serta daya tarik daerah urban yang lebih tinggi dibandingkan
daerah terpencil. Dengan demikian, permasalahan utama adalah mengenai
distribusi guru. Sebaliknya, dari segi kualitas, berdasarkan hasil kajian
Balitbang Depdiknas harus diakui bahwa hanya sekitar 30% saja dari guru SD
yang dapat mengajar dengan baik. Masalah yang hampir sama juga
ditemukan di tingkat satuan pendidikan menengah. Faktor minimnya tingkat
kesejahteraan dinilai sebagai penyebab rendahnya kualitas guru. Dalam
kasus-kasus yang terjadi, pekerjaan sampingan yang mereka lakukan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga telah menyita waktu dan tenaga serta
menggeser orientasi mereka sebagai pendidik ke arah pemenuhan kebutuhan
materi.28
Belum semua guru bisa mengikuti program sertifikasi, misalnya guru-
guru yang membawahi pelajaran agama, pendidikan jasmani dan kesehatan,
bimbingan dan penyuluhan, serta guru bahasa daerah dan senibudaya.
Adapun guru-guru yang belum bergelar sarjana tetapi sudah mengajar
puluhan tahun akan diberikan kemudahan. Problem di lapangan mengenai
status gelar kesarjanaan ini adalah masih banyaknya guru-guru yang belum
memperoleh gelar kesarjanaan.29
Kesejahteraan merupakan unsur penting dalam meningkatkan martabat
guru. Sejak dulu, isu perjuangan nasib guru tidak lain adalah bagaimana
meningkatkan kesejahteraan guru bukti fisik profesionalitas guru dan
kesejahteraannya adalah dengan cara sertifikasi.30
27
Ibid., h. 219. 28
Wukir, Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen dalam Rangka Meningkatkan Mutu Guru, Lex Jurnalica Vol.5 No. 3, Agustus 2008, h.
188.
29 Suprihatiningrum, op, cit., h. 189.
30 Ibid., h. 191.
50
Permasalahan lain yang mengundang kontroversi dalam UU Guru dan
Dosen adalah diwajibkannya guru mengikuti sertifikasi dan uji kompetensi.
Hal ini tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang menjelaskan
tentang Sertifikat Profesi Pendidik. Banyak pihak mengkhawatirkan program
sertifikasi ini (yang diselenggarakan oleh LPTK) nantinya akan menimbulkan
masalah baru di dunia pendidikan, terutama yang mengarah pada terciptanya
lembaga yang menjadi sarang kolusi dan korupsi baru. Yang pada akhirnya
akan memperburuk kondisi pendidikan bangsa.
Di samping kualifikasi akademik yang tidak sesuai, guru juga sangat
jarang diikutkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuannya. Menengok
berbagai permasalahan tersebut, maka apakah sesuai jika solusi utama yang
ditawarkan adalah sertifikasi? Karena kenyataannya, sertifikasi hanya
dianggap sebagai sebuah proses yang harus dilalui untuk mengejar tunjangan
yang dijanjikan, bukan sebagai upaya meningkatkan kualifikasi dan
kompetensi guru.
Setelah dan diundangkannya UU Guru dan Dosen ada dua hal utama
yang menjadi konsen para pemerhati pendidikan, yaitu masalah sertifikasi
dan tunjangan. Hal ini didasari pada ketentuan pasal 16 ayat 1 UU Guru dan
Dosen yang menegaskan bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi
sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 15 ayat 1 kepada guru yang
telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara
pendidikan dan satuan pendidikan yang diselenggrakan oleh masyarakat.
Ada yang memaknai tunjangan profesi diberikan agar guru memperoleh
penghasilan yang memadai sekaligus membedakan guru yang kompeten dan
guru yang tidak kompeten. Tunjangan itu diharapkan dapat memacu guru
untuk berprestasi sekaligus menjadi daya tarik bagi lulusan SLTA maupun S1
untuk menjadi guru.
Namun mengingat tingginya syarat untuk mendapatkannya maka
banyak pihak khawatir tunjangan profesi guru hanya iming-iming karena
hanya dapat diperoleh sebagian kecil diantara guru yang sudah sekian lama
mengabdi.
51
Jika dilihat secara cermat, sertifikasi guru sebenarnya berawal dari
amanat UU No 20/2003 tentang sisdiknas. Pasal 39 ayat 2 menyatakan bahwa
pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil belajar, serta melakukan
pembimbingan dan pelatihan.
Pasal 42 ayat 1 menyatakan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi
akademik dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan Nasional.
Sementara itu PP No 19 tahun 2005 tentang standar Nasional
pendidikan pasal 28 ayat 1 mnyebutkan bahwa pendidik harus memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Pasal 29
menyebutkan bahwa kualifikasi akademik guru adalah berpendidikan
minimum S1.
Uraian tersebut sangat mirip dengan uraian pada pasal-pasal UU No. 14
Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Pasal 10 ayat 1 menyebutkan
kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional,
dan sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Uraian pasal-pasal dalam UU No. 20 tahun 2003, PP 19/ 2005 dan UU
No. 14 Tahun 2005 dapat ditarik logika sebagai berikut: guru adalah tenaga
profesional sehingga harus memiliki kualifikasi akademik minimal S1 dan
memiliki kompetensi sebagai agen pemebelajaran yang diperoleh melalui
pendidikan profesi.
Pasal 15 UU No 20/2003 menyebutkan bahwa pendidikan profesi
merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan
peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian khusus. Jadi menurut
kedua UU tersebut, seharusnya guru berpendidikan S1 plus pendidikan
lanjutan pasca S1 berupa pendidikan profesi guna memperoleh kompetensi
sebagai agen pembelajaran.
Lantas dimana letak program sertifikasi? Pasal 8 ayat 1 UU no. 14/2005
menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
52
sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Pasal 11 ayat 1 menyebutkan bahwa sertifikat
pendidik diberikan pada guru yang telah memenuhi persyaratan. Jadi,
sertifikat pendidik merupakan bukti tertulis yang diberikan pada guru yang
telah berpendidikan S1 dan telah menguasai kompetensi sebagai agen
pembelajaran.
Jika sertifikat tersebut dikaitkan dengan program pendidikan profesi
sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 10 ayat 1 UU 14/2005 maka dapat
dinalar bahwa pendidikan profesi di akhiri dengan suatu uji sertifikasi untuk
menguji apakah peserta program telah menguasai kompetensi sebagai agen
pembelajaran.
Sertifikat pendidik diberikan jika mereka dapat membuktikan telah
menguasai ke empat kompetensi sebagai agen pembelajaran. Jika pendidikan
profesi pendidik dianalogkan dengan kursus mengemudi maka uji sertifikasi
dapat diibaratkan dengan ujian untuk memperoleh SIM.
Pemahaman tersebut memberikan pengertian bahwa program sertifikasi
di dalam pasal 11 UU No 14 Tahun 2005 terdiri atas program pendidikan
profesi, yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 dan uji sertifikasi. Pengertian
inilah yang perlu dituangkan dalam PP sebagaimana dituntut oleh pasal 10
ayat 2 dan pasal 11 ayat 4.
Penerapan sertifikasi bagi guru baru tidak akan banyak memunculkan
problem. Kalaupun ada mungkin yang muncul adalah tambahan pendidikan
calon guru yang tentu menimbulkan tambahan biaya. Namun tambahan waktu
belajar itu akan terkompensasi oleh tambahan penghasilan guru melalui
tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
Problem yang tidak mudah dipecahkan akan muncul pada implementasi
UU No 14 Tahun 2005 terhadap guru yang sudah mengajar. Kajian Tim
sertifikasi guru Ditjen Dikti menemukan paling tidak tiga problem yang
53
potensial terjadi, yaitu jenjang pendidikan terakhir guru, pendidikan profesi
sebagai tempat perolehan kompetensi dan uji sertifikasi.31
Tentu tidak adil jika guru yang telah lama menagajar diperlakukan sama
dengan guru baru saat mengikuti peningkatan kualifikasi pendidikan. Jika
bekerja dipahami juga sebagai proses belajar, pengalaman kerja harus
diperhitungkan dalam penambahan kompetensi seseorang.32
Sistem sertifikasi guru adalah yang baik, sedikitnya dari sudut
kepentingan birokrasi. Tetapi sistem ini tidak akan berhasil apabila diterapkan
semata-mata sebagai pendekatan birokrasi untuk memonitor kondisi dan
kinerja guru. Alih-alih memecahkan masalah, tidak tertutup kemungkinan
sertifikasi hanya melahirkan masalah baru.33
Sertifikat tidak dapat ditampilkan sebagai strategi tunggal yang
mengklaim dapat meningkatkan mutu profesionalitas guru. Sejalan dengan
ungkapan Payong yang diungkapkan Nurtanto dimana kualifikasi bersifat
statis, artinya pengakuan terhadap kemampuan akademik seseorang yang
dibuktikan dengan pemberian ijazah atau sertifikat tidak berubah sejauh
bersangkutan menyandang gelar akademik yang sesuai.34
Banyaknya perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan profesional
seorang guru, tidak semuanya memiliki kemampuan layaknya profesional
melainkan sebatas ijazah. Dahin menyatakan yang dikutip oleh nurtanto
bahwa, orang yang profesional memiliki sikap-sikap yang berbeda dengan
orang yang tidak profesional meskipun dalam pekerjaan yang sama atau
katakanlah berada pada satu ruang kerja. Hal inilah yang akan membedakan
guru profesional hanya dengan ijazah atau guru profesional dengan
kecakapan atau kemahiran sebagai guru. Guru yang profesional senantiasa
31
Asrorun Ni‟am Sholeh, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atau
Lahirnya UU Guru dan Dosen, (Jakata: Elsas, 2017), h. 130-133. 32
Ibid., h. 134. 33
Winarmo Surakhmad, Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi, (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2009), h. 245 34
Nurtanto, op, cit., h. 554
54
berupaya untuk meningkatkan kualitas guru dan senantiasa untuk mengupdate
kompetensi yang dimiliki.35
Pemerintah di harapkan segera dapat memenuhi amanat Undang undang
Nomor 14 Tahun 2005 khususnya implikasi dari sertifikasi guru yang
diharapkan akan tercermin dalam jenjang karier setiap guru dengan
mempermudah akses untuk meningkatkan kemampuan akademis.36
Dalam pandangan mayoritas fraksi di DPR, ketentuan mengenai
sertifikasi cukup dilakukan melalui kualifikasi akademik (ijazah) dan
sertifikat kompetensi. Hal ini di samping konsisten dengan UU Sisdiknas,
juga sebagai penyederhanaan prosedur administrasi serta upaya meringankan
beban guru yang sudah berat. Namun pemerintah dengan Departemen
Pendidikan Nasional masih tetap menghendaki adanya sertifikasi profesi bagi
guru dan dosen yang sudah memperoleh ijazah dan sertifikat kompetensi.37
Dorongan DPR-RI untukmemberikan prioritas kesejahteraan pada guru
dan dosen didasarkan pada asumsi bahwa guru dan dosen harus sejahtera dulu
baru kemudian mutunya akan baik. Sementara pemerintah berasumsi bahwa
mutu harus didahulukan baru setelah itu memperoleh kesejahteraan.38
Berdasarkan amanat Undang undang Guru dan dosen (UUGD) dan
peraturan pemerintah tentang setandar nasional pendidikan bahwa guru
adalah sebuah perkerjaan profesional, maka usaha untuk menjadikan guru
sebagai suatu pekerjaan profesional semakin intensif dilakukan. Langkah
awal yang telah di buat adalah melakukan sertifikasi kepaada guru guru dan
jabatan sebagai suatu bentuk pengakuan terhadap suatu profesionalisme
mereka.39
Sertifikasi belum banyak membawa dampak bagi peningkatan
profesionalisme guru. Dampak dari sertifikasi lebih kepada peningkatan
kesejahteraan guru daripada peningkatan profesionalisme. Sertifikasi juga
35
Ibid. 36
Wukir, op, cit., h. 192. 37
Ni‟am, op, cit., h. 92. 38
Ibid., h. 93. 39
Marselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru Konsep Dasar, Problematika, dan
Implementasinya, (Jakarta: PT Indeks: 2001), h. 87.
55
belum memperlihatkan peningkatan penghargaan terhadap status guru sebagai
sebuah pekerjaan yang didambakan. Sebagai guru yang telah disertifikasi
masih menjalani pekerjaan-pekerjaan lain yang ditawarkan dapat
mengganggu tugas pokok sebagai guru. Sertifikasi guru juga belum
membawa dampak bagi peningkatan disiplin guru dalam menjalankan tugas
profesionalnya. Masih banyak guru yang lalai melakukan tugasnya meskipun
telah mendapatkan tunjangan profesi.
Berdasarkan UUGD, dengan memiliki sertifikat, seseorang di angap
telah layak dan berhak diangkat sebagai guru apakah sertifikat itu sekadar
syarat formal bahwa seseorang telah berhak diangkat dan dipercayai menjadi
guru, atau sekaligus sebagai jaminan bahwa pemegang sertifikat itu adalah
guru yang terbukti telah mampu dan memang kompeten untuk mengajar?
Dalam kondisi ideal mungkin kedua sisi ini (kewenangan dan kemampuan)
tidak perlu dipisahkan, artinya sertifikasi merujuk kepada kedua-duanya.40
Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa kondisi tidak seideal itu.
Ketika seseorang berhasil memperoleh sertifikat, ia telah memiliki
kemampuan formal untuk mengajar, tetapi masih diperlukan waktu yang
panjang dan mengalaman yang banyak untuk menumbuhkan, memperkaya,
mengembangkan, dan memantapkan kemampuan formal itu menjadi
kemampuan kemampuan aktual atau kemampuan riil, sebagai kemampuan
yang membuat guru yang benar-benar kompeten. Artinya, kompetensi
mengajar adalah kompetensi yang senantiasa berkembang, bahkan perlu terus
menerus dikembangkan dalam arti itu, maka kompetensi profesional guru
adalah kompetensi yang dinamis dan kreatif. Konsep belajar sepanjang hayat
berlaku bagi semua juga bagi mereka yang ideal menjadi guru.41
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada sesuatu objek
tertentu (orang, barang, atau organisasi tertentu) yang menandakan bahwa
objek tersebut layak menurut kriteria, atau standar tertentu. Sertifikasi
40
Surakhmad, op, cit., h. 369. 41
Ibid.
56
menrupakan buah bentuk jaminan mutu (quality assurance) kepada pengguna
objek tersebut, sehingga para pengguna tidak merasa dirugikan.42
Sebagaimana Tujuan sertifikasi guru adalah:
1. Sertifikasi dilakukan untuk menentukan kelayakan guru dalam
melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dalam rangka
mennetukan tujuan pendidikan Nasional melalui sertifikasi maka
akan dilakukan seleksi terhadap guru manakah yang berkelayakan
untuk mengajar dan mendidik, dan manakah yang tidak. Sertifikasi
dalam konteks ini sebagai suatu mekanisme seleksi terhadap guru-
guru yang unggul yang diharapkan dapat menunaikan tugas sebagai
guru profesional untuk mewujudkan pendidikan Nasional.
2. Serifikasi juga dilakukan untuk meningkatkan mutu proses dan
hasil pendidikan.
3. Sertifikasi untuk meningkatkan martabat guru. Melalui sertifikasi
guru maka wibawa dan martabat sebagai seorang profesional dapat
di jaga bahkan ditingkatkan. Selama ini, guru dipandang sebagai
pekerjaan masal yang dapat dimasuki oleh siapa saja dari berbagai
latar belakang. Karena itu ada kecenderungan publik melihat guru
secara berat setelah dan profesi yang disandangnya dianggap
sebagai sebuah pekerjaan yang lumrah. Sertifikasi justru untuk
menjamin dan memastikan bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan
yang berwibawa dan guru melalui pengalaman pendidikan dan
pelatihan yang relatif lama dapat memberikan layanan yang lebih
baik di bandingkan dengan pekerja pekerja pengajaran yang amatir.
4. Sertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme guru. Guru yang
telah menyelesaikan proses pendidikan pada jenjang pendidikan ke
guruan sudah memiliki sertifikat sebagai guru atau pengajar. Ijazah
dan akta mengajar yang dimiliki sudah memperlihatkan bahwa
yang bersangkutan sudah layak sebagai guru. Tetapi apakah
pemegang ijazah dan akta guru sudah benar-benar kompeten dan
42
Payong, op, cit., h. 68.
57
profesional? Untuk memastikannya perlu dilakukan uji kompetensi
sebagai seorang profesional sehingga dilakukan sertifikasi.
Bahakan sertifikat tidak berlaku seumur hidup, sehingga sertifkasi
dan resertifkasi dapat menjadi salah satu mekanisme untuk
memastikan bahwa guru menyandang sertifikast masih tetap
profesional dan memiliki kompetensiyang dapat diandalkan.
Sertifikasi dapat menjadi sebuah bentuk pengendalian mutu
terhadap output yang dilakukan sebelum output digunakan dalam
masyarakat. 43
C. Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional dari Sudut Pandang
Sosiologis
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, persoalan tentang mutu
pendidikan di Indonesia telah lama terjadi sorotan dari berbagai persfektif dan
cara pandang. Salah satu sorotan terhadap rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia, sebagiannya dikaitkan dengan profesionalisme guru. Dugaan ini
memang beralasan karena studi-studi yang pernah dilakukan memperlihatkan
bahwa guru merupakan salah satu faktor dominan yang mempengaruhi
belajar siswa-siswa. Lebih dari itu studi yang dilakukan oleh John Hattie dari
universtas Auckland memperlihatkan bahwa prestasi belajar siswa ditentukan
oleh sekitar 49% dari faktor karakteristik siswa sendiri, dan 30% berasal dari
faktor dari guru. Karena alasan inilah maka pemerintah selalu berupaya keras
memperbaiki mutu pendidikan.
Abad ke 21 yang ditandai dengan globalisasi teknologi dan informasi,
telah membawa dampak yang luar biasa bagi peran guru dalam proses
pendidikan dan pembelajaran. Peran lama guru sebagai satu-satunya sumber
informasi dan sumber belajar, serta tidak dapat dipertahankan lagi. Guru
harus menemukan peran-peran baru yang lebih kontekstual dan relevan.
Peran baru guru ini harus ditemukan karena bagaimana pun, guru masih
43
Ibid., h. 76-77.
58
menjadi salah satu ajeng pembaharu dan penentu sejarah kehidupan umat
manusia. Tugas penting guru dalam konteks ini adalah menyiapkan generasi
muda untuk menghadapi abad baru yang penuh dengan kegonjangan dan
ketidak pastian. UNESCO mencatat, para guru merupakan instrumen penting
bagi pengembangan sikap yang positif atau negatif dari generasi muda
terhadap belajar. Di pihak lain guru juga memainkan peran penting untuk
mempromosikan saling pemahaman dan toleransi di antara umat manusia,
yang akhir-akhir ini menghadapi tantangan yang serius diberbagai belahan
dunia. Karena itu, memperbaiki kualitas pendidikan tidak terlepas dari
memperbaiki rekrutmen, pelatihan/ persiapan, status sosial dan kondisi kerja
dari para guru.44
Kehidupan profesional ditunjukkan dengan suatu kehidupan yakni
memiliki suatu kapasitas pengembangan profesional yang otonom melalui
belajar mandiri yang sistematis, kajian terhadap karya dari para guru lain dan
melalui kajian dan pengujian secara terus menerus terhadap ide-ide baru
dengan prosedur penelitian kelas. Dalam konteks ini maka belajar mandiri,
bertindak otonom, refleksi terhadap praktek-praktek yang dilakukan dan
senantiasa mengikuti perkembangan kontemporer menjadi ciri khas dari
pekerjaan profesionalisme guru.45
Menjadi profesional berarti guru harus memiliki pelatihan dan
pengetahuan dan keterampilan spesialis dan kualifikasi akademik yang
memadai dan juga ketaatan terhadap standar-standar tertentu. Selain itu guru
harus memiliki kemampuan untuk menggunakan otonomi dalam pembuatan
keputusan khususnya yang terkait dengan pelayanannya kepada para siswa di
kelas.
Pengetahuan dan keterampilan guru semestinya berkembang setiap saat
sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat harus direspons para
guru dengan cara belajar melalui beragam sumber belajar. Menjadi guru
44
Ibid., h. 2. 45
Ibid., h. 15.
59
pembelajar membutuhkan motivasi tinggi dan ketersediaan fasilitas dan
program belajar dari lingkungan di mana guru bekerja dan tinggal.46
Pemberdayaan kompetensi guru juga dimaksudkan untuk memperbaiki
kinerja sekolah melalui kinerja guru agar dapat mencapai tujuan secara
optimal, efektif, efisien. Menurut Mulyasa untuk memberdayakan sekolah
harus pula ditempuh upaya-upaya memberdayakan peserta didik dan
masyarakat setempat, disamping mengubah paradigma pendidikan yang
dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah. 47
Peran pemberdayaan guru dapat berwujud pelatihan yang terkait dengan
pengembangan kompetensi guru. Aspek penting dari peran kepemimpinan
(kepala sekolah) dalam pendidikan yaitu memberdayakan para guru dan
memberi mereka wewenang yang luas untuk meningkatkan pembelajaran
para pelajar.48
Sekolah juga harus terus aktif untuk meningkatkan motivasi dari para
gurunya dalam memberikan pengajaran yang terbaik bagi siswa-siswanya.
Sekolah berkewajiban meningkatkan kompetensi guru-gurunya dalam
memahami materi yang diajarkan yang dan metodologi penyampaiannya.
Untuk itu, sekolah harus secara berkala menyelenggarakan atau mengirim
guru-gurunya untuk mengkuti seminar, lokakarya, pelatihan, magang,
maupun studi banding kesekolah-sekolah yang telah mampu melaksanakan
sistem pengajaran yang efektif.49
Kadang guru memiliki keterbatasan waktu, ekonomi, dan kemampuan
untuk meningkatkan kompetensinya sesuai harapan. Dengan demikian,
lembaga pendidikan tempat guru bekerja harus menjembatani keterbatasan
guru tersebut dengan menyediakan pelatihan dan sarana dan prasarana yang
memadai sehingga guru dapat belajar dan berlatih di sela-sela tugas
46
Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan Sumber Belajar
Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.59. 47
E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007), h. 24. 48
Musfah, op, cit., h. 69. 49
Ahmad Rizali, Satria Dharma, Indra Djati Sidi, dari Guru Konvensional menuju Guru
Profesional, (Jakata: PT Grasindo, 2009), h. 18.
60
mengajarnya. Menurut Uno yang dikutip oleh Jejen mengatakan kompetensi
individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungannya yang dalam teknologi
pembejaran lingkungan diposisikan sebagai sumber belajar.50
Guru membutuhkan pelatihan profesional untuk menambah wawasan
dan meningkatkan keterampilan mereka. Pelatihan itu akan lebih bermanfaat
bagi guru jika guru memiliki semangat belajar seumur hidup. Semangat
belajar harus melekat dalam diri setiap guru sehingga ia kaya ilmu dan
terampil.
Guru dapat mengembangkan kompetensinya melalui belajar dari
berbagai program pelatihan dari sekolah maupun luar sekolah dan dari sarana
maupun prasarana (perpustakaan, laboratorium, internet) sekolah, serta
program dan fasilitas pendidikan lainnya yang disediakan sekolah.51
Pelatihan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap efektifitas
sebuah sekolah. Pelatihan memberikan kesempatan kepada guru untuk
mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru yang mengubah
perilakunya, yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajat siswa.
Salah satu bentuk pengembangan kompetensi guru ialah melalui
pelatihan. Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performance
pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung
jawabnya.52
Liberman menjelaskan profesionalisme adalah satu format kebebasan
yang tidak dirundingkan, namun harus diraih. Para guru sendiri seharusnya
tidak hanya dimungkinkan dapat meraihnya mereka harus diyakinkan bahwa
tugas dalam pekerjaan mereka dapat terpenuhi hanya dalam standar
profesional, kondisi dan norma.
Menurut Syfarth yang dikutip oleh Jejen Musfah mengatakan bahwa
pengembangan profesional diartikan sebagai setiap aktivitas atau proses yang
dilaksanakan untuk memelihara atau meningkatkan keterampilan, sikap,
50
Musfah, op, cit., h. 60. 51
Ibid., h. 11. 52
Suprihatiningrum, op, cit., h. 24.
61
pemahaman, atau perbuatan profesional dan mendorong individu dalam
tugasnya saat ini maupun di masa mendatang Peningkatan.53
Para guru terlibat dalam perencanaan pelatihan dan mungkin
memaparkan makalah di depan guru lainnya. Ini berarti tugas guru bertambah
selain tugas mengajar dan persiapan mengajar. Masalahnya, mampukah guru
menerima peran baru ini. Pelatihan profesional yang berorientasi pada hasil
yang menempatkan tnggung jawab pengembangan profesional pada guru,
bukan pada pemerintah daerah.
Pembinaan mutu guru atau upaya untuk meningkatkan kualitas guru
menjadi tanggung jawab pihak guru serta lembaga yang mempekerjakan guru
tersebut. Kegiatan pembinaan mutu guru tersebut mencakup perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasinya.54
Dalam era globalisasi banyak tantangan yang dihadapi guru. Tuntutan
profesionalisme, mengharuskan guru bekerja secara profesional sesuai
dengan bidang keahlian dan akademiknya. Ada persyaratan kualifikasi
akademik yang dipenuhi serta adanya tuntutan untuk terus meng-update
pengetahuan dan keterampilan melalui berbagai pelatihan dan pendidikan
lanjutan. Seiring dengan perkembangan teknologi, guru juga dituntut untuk
menguasai ilmu teknologi (IT). Bahkan, beberapa sekolah yang telah
menerapkan konsep IT wajib membawakan materi pelajaran dengan media
berbasis IT. Dunia pendidikan senantiasa selalu berkembang. Oleh karena itu,
guru juga dituntut untuk mengikuti perkembangan dunia pendidikan, dengan
terus melakukan teaching by research dan mempublikasikan hasil
penelitiannya.55
Dalam perannya sebagai seorang pengajar dan pendidik, guru harus
selalu meningkatkan wawasan keilmuan yang dimilikinya. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengikuti Diklat khususnya kepemimpinan guru baik di
dalam kelas maupun di luar kelas. Sikula mengartikan pelatihan sebagai:
“proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur
53
Musfah, op, cit., h. 25. 54
Ibid., h. 76. 55
Suprihatiningrum, op, cit., h. 319.
62
yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari
pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”.
Sedangkan Jucius menjelaskan istilah latihan untuk menunjukkan setiap
proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan kemampuan pegawai
guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.56
Menurut Nitisemito, “Pelatihan adalah suatu kegiatan dari perusahaan
yang bermaksud untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap,
tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dari para karyawan yang sesuai
dengan keinginan perusahaan yang bersangkutan.” Sejalan dengan pendapat
di atas Simamora mengungkapkan: “pelatihan adalah proses sistematik
pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah guna meningkatkan
tujuan-tujuan organisasional”. Jadi Pelatihan dapat disimpulkan sebagai
proses bersistem yang di dalamnya ada suatu kegiatan, yang di maksudkan
untuk pengembangan serta perbaikan kinerja para pesertanya guna
meningkatkan tujuan-tujuan organisasional.57
Pelatihan adalah proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan
cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. Proses yang dimaksud
agar peserta mencapai kemampuan tertentu dalam mencapai tujuan
organisasi. Maka dari itu, proses tersebut terikat dengan tujuan organisasi.
Pelatihan dapat dipandang secara sempit dan luas. Para peserta pelatihan akan
mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk
tujuan tertentu. Proses dalam pelatihan haruslah terencana, terintegrasi, dan
cermat untuk menghasilkan pemahaman dan keterampilan yang diperlukan
untuk meningkatkan kinerja organisasi.58
Untuk mencapai tujuan pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa, peran-peran dari pihak sekolah melalui Guru dan Kepala Sekolah
56
Dedeh Sofia Hasanah Pengaruh Pendidikan Latihan (Diklat) Kepemimpinan Guru Dan
Iklim Kerja Terhadap Kinerja Guru Sekolah Dasar Se Kecamatan Babakancikao Kabupaten
Purwakarta Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 11, No. 2, Oktober 2010, h. 86. 57
Ibid., h. 89. 58
Slameto, Bambang S. Sulasmono, Krisma Widi Wardani, Peningkatan Kinerja Guru
Melalui Pelatihan Beserta Faktor Penentunya, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Vol 27, No.2,
Desember 2017, h. 39.
63
menjadi sangat penting. Upaya peningkatan kinerja guru dapat dilakukan
melalui pendidikan dan pelatihan.59
Guru dilatih tentang pekerjaan baru dengan supervisi langsung seorang
„pelatih‟ yang berpengalaman (instruktur atau guru lain) Meliputi semua
upaya bagi guru untuk mempelajari suatu pekerjaan sambil mengerjakannya
di tempat kerja yang sesungguhnya.Menurut Komaruddin Sastradipoera yang
dikutip oleh Sri Rahmawati pelatihan adalah salah satu jenis proses
pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar
sistem pengembangan SDM yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat
dengan metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori.60
Menurut Umar Program pelatihan (training) merupakan program
memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja
tertentu untuk kebutuhan sekarang sedangkan pengembangan bertujuan untuk
menyiapkan pegawainya siap memangku jabatan tertentu di masa yang akan
datang. Program latihan dan pengembangan bertujuan antara lain untuk
menutupi anggap antara kecakapan karyawan dengan permintaan jabatan,
selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja untuk
karyawan dalam mencapai sasaran kerja.61
Pelatihan diberikan kepada guru untuk mempermudah guru dalam
melakukan pembelajaran terkait dengan tugas pekerjaannya. Dengan kata
lain, program pelatihan yang efektif ialah program pelatihan yang menyentuh
tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Suherman dan Saondi mengatakan guna meningkatkan profesionalisme
guru, perlu dilakukan pelatihan dan penataran yang intens pada guru.
Pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan yang disesuaikan dengan
59
Ibid., h. 38. 60
Sri Rahmawati, Syahir Natsir dan Mauled Moelyono, Pengaruh Pelatihan, Pengalaman
Mengajar Dan Kompensasi Terhadap Profesionalisme Guru Di Smk Negeri 3 Palu, e-Jurnal
Katalogis, Volume 3 Nomor 12, Desember 2015, h. 68. 61
Husein Umar, Metode Riset Ilmu Administrasi, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2004),
h. 12.
64
kebutuhan guru, yaitu pelatihan yang mengacu pada tuntutan kompetensi
guru.62
Menurut Barnawi dan Arifin Pelatihan digunakan untuk menangani
rendahnya kemampuan guru. Program pelatihan harus diberikan berdasarkan
kebutuhan. Artinya, jenis pelatihan yang diprogramkan harus sesuai dengan
jenis kemampuan apa saja yang masih rendah. Pelatihan akan berlangsung
optimal jika dirancang sesuai dengan kebutuhan, metode dan waktu yang
tepat. Pelatihan sangat cocok bagi guru yang memiliki potensi tinggi tetapi
masih lemah dalam pengetahuan dan keterampilannya.63
Pelatihan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap efektivitas
sebuah sekolah. Pelatihan memberikan kesempatan kepada guru untuk
mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru yang mengubah
perilakunya, yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi belajar siswa.
Pelatihan sering tidak memenuhi hasil sebagaimana diharapkan oleh
penyelenggaranya. Karena itu, penyelenggara pelatihan profesional harus
merencanakan dengan matang setiap pelatihan, mulai dari pemilihan materi,
waktu, tempat, metode hingga kualitas instruktur. Pelatihan itu juga harus
sesuai dengan kebutuhan guru dan waktu yang tepat ditengah kesibukan guru
mengajar.
Menurut Sherman, Bohlander, dan Chruden yang dikutip oleh Jejen
Musfah mengatakan bahwa Pelatihan adalah proses yang dimanfaatkan
organisasi untuk mengubah perilaku bekerja, yang berkonstribusi pada
keseluruhan misi orang, dan pengembangan personal dan profesional individu
yang terlibat.64
Menurut Mulyasa fungsi pembinaan dan pengembangan pegawai
merupakan fungsi pengelolaan personel yang mutlak perlu, untuk
memperbaiki, menjaga, dan meningkatkan kinerja pegawai. Kegiatan ini
62
Aris Suherman & Ondi Saondi, Etika Profesi Keguruan, (Jakarta: PT Refika Aditama,
2010), h. 79. 63
Barnawi & Mohammad Arifin, Meningkatkan Kinerja Pengawas Sekolah: Upaya
Upgrade Kapasitas Kerja Pengawas Sekolah, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2014), h. 80. 64
Musfah, op, cit., h. 62.
65
dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in the service training.
Kegiatan pembinaan dan pengembangan ini tidak hanya menyangkut aspek
kemampuan, tetapi juga menyangkut karier pegawai. Seorang guru misalnya,
dapat diangkat sebagai koordinator mata pelajaran, wakil kepala sekolah, atau
kepala sekolah.65
Fungsi pelatihan profesional atau kompetensi dapat kita pahami dari
bahwa pelatihan profesional diartikan sebagai beberapa aktivitas atau proses
yang diselenggarakan untuk meningkatkan keterampilan, sikap, pemahaman,
atau perbuatan dalam tugas saat ini atau masa depan. 66
Menurut Armstrong yang dikutip oleh Jejen mengatakan pelatihan
bermanfaat untuk menbantu guru mengembangkan keterampilan dan tingkat
kemampuan guru.67
Pendekatan lebih efektif menurut riset adalah
menghindari pelatihan ringkas yang hanya berkaitan dengan kecakapan teknis
menuju kesatu pendekatan lebih intensif yang berhubungan dengan
pengetahuan guru, pengalaman, kepercayaan sebagai tambahan terhadap
mengajarkan teknik. 68
Terkadang efektifitas sebuah pelatihan diragukan. Biaya dan tenaga
telah dicurahkan, namun hasilnya tidak sebesar yang diharapkan para
pelaksana pelatihan. Pelatihan lebih bersifat praktis, sedangkan pendidikan
lebih bersifat teoretis.69
Pendidik dan pelatihan, yaitu pengalaman dalam mengikuti pendidikan
dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan peningkatan kompetensi
dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik tingkat kecamatan,
kabupaten, provinsi, nasional maupun internasional. Bukti fisik komponen ini
dapat berupa sertifikat, piagam, atau surat keterangan dari lembaga diklat.
Kegiatan pelatihan bagi guru pada dasarnya merupakan suatu bagian
yang integral dari manajemen dari bidang ketenagaan di sekolah dan
65
Mulyasa, op, cit., h. 43. 66
Musfah, op, cit., h. 61. 67
Ibid., h. 62. 68
Ibid., h. 68. 69
Ibid., h. 75.
66
merupakan upaya untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru
sehingga pada gilirannya diharapkan para guru dapat memperoleh
keunggulan kompetitif dan dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya.70
D. Miskonsepsi Guru dan Dosen Profesional dari Sudut Pandang
Pedagogis
Di Amerika Latin misalnya, ada suatu transisi pada tahun 1960-an dan
1970-an yang nampak dalam istilah yang digunakan untuk guru yakni dari
profesionales de la ensenanza (profesional pengajaran), menjadi trabajadres
de la ensenanza (pekerja pengajar). Juga, sebagaimana dikemukakan oleh
Shimahara (1995) yang dikutip Villegas-Reimers, serikat pekerja guru di
jepang mendefinisikan guru sebagai pekerja atau proletarian. Bahkan,
pemerintah Jepang menganggap guru sebagai abdi negara (servants of state)
dan bukan sebagai profesional. Perbedaan ini tidak hanya menggambarkan ke
tidak sepakatan semantik, tidak juga memiliki sejumlah implikasi bagi cara
publik untuk melihat guru dan status profesionalnya.71
Dalam konteks guru di Indonesia, setidak-tidaknya ada 3 kriteria yang
sampai saat ini tidak belum terpenuhi seluruhnya yaitu:72
1. Suatu pekerjaan profesional adalah pekerjaan yang hanya
dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang terpilih, atau tersaring
melalui proses pendidikan dan seleksi yang panjang dan ketat.
Ternyata kenyataannya, bahwa guru di Indonesia sejak era Orde
baru sampai sekarang merupakan sebuah pekerjaan masal yang
dimasuki oleh siapa saja dari berbagai latar belakang keahlian dan
kualifikasi. Misalnya ada tamatan SMA, sarjana pertanian, sarjana
perekonomian, bahkan pensiunan pegawai kantor biasa menjadi
guru. Atau dengan kata lain, meskipun ada sekolah-sekolah
keguruan yang tersedia (FKIP, IKIP, dan STKIP), namun peluang
70
Suprihatiningrum, op, cit., h. 220 71
Payong, op, cit., h. 11. 72
Ibid., h. 12.
67
untuk menjadi guru terbuka juga bagi lulusan non-keguruan.
Karena itu tidak ada kualitifikasi eksklusif bagi mereka yang
menjadi guru dilihat dari latar belakang pendidikan dan pelatihan
spesifik yang diterimanya. Ini tentu saja berbeda dengan dokter
atau psikolog yang memang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang
menyandang kualifikasi eksklusif sarjana kedokteran atau sarjana
psikolog.
2. Suatu pekerjaan profesional adalah sebuah pekerjaan yang bebas
dari supervisi atau pengawasan coba bandingkan dengan profesi
dokter. Dalam melaksanakan tugas profesionalnya, seorang dokter
tidak dapat diawasi atau supervisi secara reguler oleh atasan atau
pihak manapun kecuali kalau dokter itu melakukan malpraktik atau
pelanggaran kode etik. Selama dokter itu bekerja dengan koridor
profesional maka yang bersangkutan bebas dari supervisi atau
pengawasan. Ini berbeda dengan guru, karena kenyataannya ada
pengawas sekolah atau pengawas mata pelajaran bahkan kepala
sekolah yang secara reguler melakukan supervisi terhadap guru
dalam menjalankan tugasnya disekolah. Guru harus bekerja
berdasarkan koridor birokrasi yang ada, melalui dari persiapan
mengajar pelaksaan di dalam kelas dan evaluasi yang dilakukan
setelah pembelajaran.
3. Para pekerja profesional harus memiliki organisasi yang kokoh
mandiri dan bebas dari kooptasi kepentingan apapun. Organisasi
profesi itu harus berani membela kepentingan anggotanya dan
berani menindak anggotanya yang melakukan pelanggran terhadap
kode etik. Kenyataan di Indonesia tidaklah demikian. Ada
organisasi profesi guru yang sudah berdiri sejak era kemerdekaan
yang sampai menjelang reformasi belum memperlihatkan wajahnya
sebagai organisasi profesional yang kokoh, mandiri dan melindungi
anggota-anggotanya atau berani menindak angota-anggota yang
berani melakukan pelanggaran kode etik profesi guru. Peran dari
68
organisasi profesi guru ini baru sebatas menyuarakan kepentingan
guru seperti memperjuangan peningkatan kesejahteraan guru dan
sebgainya. Tetapi peran yang lebih fungsional seperti melakukan
pengawasan terhadap anggota-anggotanya dalam menjalankan
tugas profesional atau membela anggota-anggotanya yang
mendapatkan perlakuan yang tidak adil, diskriminatif, pelecehan,
atau yang menjadi korban politik atau kebijakan terrentu belum
kelihatan dalam sejarah, belum ada guru yang dipecat dari
keanggotaan dari organisasi ini, bahkan dari tugas profesionalnya
sebagai guru oleh organisasi profesi ini, karena melakukan
pelanggaran kode etik.
Berbeda dengan lembaga penghasil tenaga kependidikan, dimana UU
Guru dan Dosen tidak memberikan secara jelas lembaga apa yang memiliki
legalitas untuk mencetak tenaga kependidikan. Lembaga yang memiliki
legalitas memberikam sertifikasi kependidikan baik kepada guru maupun
dosen ditentukan secara jelas dalam UU guru dan dosen. Ketentuan pasal 11
ayat 2 maupun pasal 47 ayat 2, menentukan bahwa sertifikasi pendidik
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan
tenaga kependidikan yang terakreditasi. Berdasarkan ketentuan tersebut
jelaslah bahwa lembaga apa yang memliki hak ekslusif untuk memberikan
sertifikasi dan menyelenggarakan pendidikan profesi, yaitu lembaga
kependidikan yang pada masa lalu disebut dengan lembaga pendidikan teknik
Keguruan (LPTK).73
Pemberian kewenangan untuk melaksanakan pendidikan profesi kepada
lembaga kependidikan (LPTK) tersebut cukuplah logis. Hal ini mengingat
bahwa lembaga tersebut telah diyakini memiliki kompetensi dalam
menyelengarakan pendidikan keguruan. Ini tentunya berbeda dengan lembaga
atau keguruan tinggi non-keguruan semisal ITB, UI, ITS, UGM dan
sebagainya, yang sama sekali belum memliki pengalaman dalam mencetak
73
Trianto & Titik Triwulan Tutik, Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik menurut
UU Guru dan Dosen, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), h. 79.
69
tenaga kependidikan walaupun secara keilmuannya memliki wawasan yang
lebih unggul.
Di Indonesia dewasa ini dikenal tiga kelompok lembaga kependidikan
(LPTK) yang memiliki kewenangan untuk mencetak tenaga kependidikan
khususnya guru yaitu: institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP), Fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP), dan sekolah tinggi keguruan dan ilmu
pendidikan (STKIP). Mereka menyiapkan calon guru pada jenjang taman
kanak-kanak (PGTK), jenjang sekolah Dasar melalui pendidikan guru sekolah
dasar (PGSD) yang berupa program diploma dua (D-2).
Penyimpanan tenaga kependidikan (guru) pada LPTK selama ini
umumnya menggunakan model kependidikan simultan (concurrent model)
yaitu menteri bidang studi diberikan bersama-sama dengan materi
kependidikan, kecuali untuk program akta bagi calon guru dari luar LPTK
menggunakan model kependidikan berurutan (consecutive model),
kependidikan ditempuh setelah menguasai bidang studi. Permasalahan apakah
LPTK ini diberikan wewenang juga untuk memberikan sertifikasi kepada
guru dan dosen? Namun dengan logika jawabannya dapat ditebak. Bukankah
era 1970 an tenaga pengajar perguruan tinggi juga dibekali dengan sertifikasi
mengajar akta V oleh lembaga kependidika (LPTK), walaupun istilah
sertifikasi menurut UU guru dan dosen dapat berbeda dengan akta
mengajar.74
Sementara itu berperilaku sebagai profesional berarti menunjukkan
tingkat dedikasi dan komitmen bekerja dengan jam kerja yang lama dan
terbuka terhadap persoalan-persoalan siswa, ramah dalam pelayanan terhadap
siswa dan menunjukkan keteladanan yang harus dicontohi oleh para siswa.
Selain itu guru harus memiliki hubungan yang hangat dengan rekan sejawat,
orang tua siswa dan atasan.
Dalam persaingan perdagangan global, semua potensi dari luar bebas
berusaha di Indonesia. Dosen tidak ada pilihan, ia harus tunduk pada
ketentuan persaingan pasar bebas itu. Begitu juga para guru. Jelas Indonesia
74
Ibid., h. 80.
70
segera akan menjadi pasar perdagangan pendidikan yang menguntungkan
negara maju, dan operasi pasar akan segera dimulai dari pendidikan tinggi
(pendidikan guru karena LPTK nya masih belum dapat diperhitungkan,
mungkin tidak begitu diminati dan hasilnya mungkin tidak akan begitu laris
terjual dinegara-negara lain). Sesudah pendidikan tinggi, pasar mungkin akan
segera merambah kebawah. Akan terjadi intensifikasi liberalisasi pendidikan.
Dan inilah yang didukung oleh pemerintah. Sejumlah kebijakan dan rencsns
staregis pengembangan pendidikan Nasional tanpaknya disiapkan untuk
bergerak ke arah liberalisasi pendidikan.75
UUGD menegaskan bahwa jalan pasti menuju kesejahteraan adalah
sertifikat, harus ada sertifikat, tetapi yang wujudnya juga belum diketahui
dengan jelas (dalam perkembangan kemudian ternyata belum ada persetujuan
Menkeu sehingga bisa saja sewaktu waktu dihentikan, termasuk pula
perelisasian yang tersendat-sendat tidak sesuai yang dijanjikan, april 2009).
Kita hanya mengetahui, secara teknis, wewenang untuk memberikan sertifikat
akan dilaksanakan oleh LPTK yang terakreditasi. LPTK yang bagaimana
yang mampu mengembangkan kompetensi bersetifikat itu? Pada saat ini,
wujud LPTK itupun belum jelas.76
LPTK jelmaan IKIP dimasa lalu sudah jelas bergerak kearah yang
menjauhi jati dirinya sebagai lembaga penghasil guru yang akuntebel. Selama
satu dasawarsa sebagai unuversitas, tidak ada nilai tambah sebagai alasan
yang dapat membenarkan bahwa lembaga konversi IKIP pada saat ini tanpa
diragukan memang merupakan lembaga yang paling kompeten menghasilkan
sertifikat yang dimaksudkan dalam UUGD.
Memang berdasar sejarah, universitas bekan IKIP sejak semula telah
bertugas khusus sebagai lembaga penghasil guru dan pengawal ilmu
pendidikan, walau ppencapaian tugas itu saja pun masih bisa dipertanyakan.
Sebagai koinsidensi historis, karena sejumlah universitas itu sebelumnya
adalah IKIP, pikiran kita mudah kembali tertuju pada lembaga-lembaga itu.
75
Surakhmad, op, cit., h. 322. 76
Ibid., h. 327.
71
Tetapi hak historis itu saja tidak cukup kuat untuk membenarkan mereka
tampil sebagai LPTK ala UUGD. Tidak otomatis harus demikian. Sejak
masih dalam status IKIP pun, hasil lembaga itu sudah dipersoalkan.
Bagaimana mungkin IKIP mendidik guru tingkat dasar dan menengah, ketika
para dosen dari calon guru itu adalah lulusan IKIP atau universitas yang tidak
pernah mengalami dan memahami problematik pembelajaran tingkat dasar
dan menengah, kecuali secara akademik?77
Tidak diragukan bahwa masih ada idealisme yang terpelihara
dikalangan para pengelola lembaga tersebut. Tidak diragukan bahwa masih
ada benih yang dapat dikembangkan menjadi potensi sustainabel.
UUGD memang telah memberikan banyak janji yang mengiurkan.
Banyak bentuk kesejahteraan yang dijanjikan untuk kondisi daerah khusus
dan untuk situasi tertentu guru yang mengabdi disitu dapat berharap imbalan
seperti kenaikan pangkat rutin otomatis, naik pangkat istimewa, dan
perlindungan profesi baik dari segi hukum maupun yang terkit dengan
keselamatan diri. Harga guru tidak cukup ditetapkan setiap tahun sebagai
guru teladan yang dipilih dari mereka yang paling patuh, sabar, dan penurut
se-provinsi, yang kemudian diberi peluang ke Jakarta bertemu muka dengan
sejumlah pejabat tinggi. Jangan sampai UUGD masih terjebak
mengutamakan output ketika sistem pendidikan Nasional umumnya, sistem
LPTK khususnya, harus semakin memperhatikan proses.78
Kita tidak menghendaki LPTK berpretensi yang muncul sebagai
pembawa solusi, kalau dalam kenyataannya hanya mampu melahirkan lebih
banyak masalah, seperti yang terjadi dimasa lalu, masyarakat masih agak
terbata-bata melihat LPTK ketika merauh kepercayaan bahwa suatu yang
benar-benar relevan segera akan terjadi. Ini satu bentuk pemaafan terdapa
masa lalu yang telah mengecewakan banyak pihak. Hanya apabila LPTK
dapat mengubah dirinya, ia berhak secara moral untuk mengubah dunia
sekelilingnya. Itupun belum merupakan jaminan. Untuk mengubah dunia
77
Ibid., h. 328. 78
Ibid., h. 331.
72
sekelilingnya, LPTK harus diubah secara mendasar dari posisinya sebagai
kekuatan bertahan, beralih menjadi kekuatan berubah dan mengubah.79
Menjadi profesional berarti guru harus memiliki pelatihan dan
pengetahuan serta keterampilan spesialis dan kualifikasi akademik yang
memadai yang memadai dan juga ketaatan terhadap standar-standar tetentu.
Selain itu guru harus memiliki kemampuan untuk menggunakan otonomi
dalam pembuatan keputusan khususnya yang terkait dengan pelayanannya
kepada para siswa di kelas.
Sementara berperilaku dengan profesional berarti menunjukkan
dedikasi dan komitmen, bekerja dengan jam kerja yang lama dan terbuka
terhadap persoalan-persoalan siswa, ramah dalam pelayanan terhadap siswa
dan menunjukkan keteladanan yang harus dicontohi oleh para siswa. Selain
itu guru harus memiliki hubungan yang hangat dengan rekan sejawat, orang
tua siswa, dan atasan.
Upaya untuk meningkatkan ketersediaan dan mutu guru mengalami
perjalanan yang panjang sejak sebelum era kemerdekaan dan kemudian
mengalami pasang surut sampai era reformasi. Namun demikian, tuntutan
tentang mutu dan daya saing yang baik pada tingkat nasional dan global telah
memaksa pemerintah dan lembaga-lembaga penyiapan tenaga guru (LPTK)
untuk memperhatikan kualitas dari pada calon guru baik dalam perekrutan
awal maupun dalam pembinaan profesional berkelanjutan.
Untuk menghasilkan guru sebagaimana yang diimpikan dan diidealkan
di masa depan serta mengingat besarnya peran LPTK bagi masa depan
pendidikan di Indonesia, diperlukan formulasi setidaknya gagasan bangunan
ideal sistem pendidikan pada LPTK. Beberapa tawaran konseptual untuk
memperbaiki program penyiapan guru dan tentu saja ini yang semestinya
dilakukan LPTK, diantaranya adalah program yang dilakukan harus
berdasarkan pada konsep yang jelas tentang pendidikan dan pengajaran,
program yang dilakukan memiliki kualitas tematik yang jelas, materi
kurikulum yang memadai dan harus didukung komponen fasilitas
79
Ibid., h. 352.
73
laboratorium, kegiatan pembelajaran berbasis teori, praktek, dan lapangan;
keterhubungan secara langsung antara penelitian dan basis pengembangan
pengetahuan, harus dilakukan evaluasi program secara rutin.80
Tawaran Djohar tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
pendidikan pada LPTK yakni kualitas kelembagaannya, kualitas
penyelenggaraannya, kualitas SDM dan fasilitasnya, kualitas peserta
didiknya, dan kualitas pemberdayaan peserta didiknya.81
Dengan mendasarkan pada tawaran-tawaran tersebut di atas dapat
dirumuskan LPTK masa depan sebagai berikut:
1. Aspek Kelembagaan, Bentuk kelembagaan LPTK harus fungsional,
artinya harus sesuai dengan jenis tenaga guru yang disiapkan. Di
samping harus ada lembaga pengelola (fakultas dan prodi) dan
layanan administrasi, idealnya harus ada beberapa unit
kelembagaan yang menopang sistem pendidikan yakni unit bidang
studi/keilmuan bidang tertentu, unit ilmu pendidikan dan keguruan,
unit psikologi dan layanan konseling, unit laboratorium (untuk
FTIK). Dengan prodi yang ada perlu dipertimbangkan selain
laboratorium micro teaching juga perlu ada laboratorium IPA,
laboratorium bahasa, laboratorium seni dan prakarya, laboratorium
pendidikan agama, laboratorium manajemen, dan sekolah
laboratorium), dan unit pengembangan soft skill. Kelembagaan
tersebut harus didukung sumber daya manusia dan fasilitas yang
memadai serta interelasi multidisipliner yang saling terintegrasi.
2. Aspek Penyelenggaraan, Penyelenggaraan LPTK harus didukung
oleh sistem tata kelola dan layanan yang prima, dengan didukung
sumber daya manusia (baik dosen maupun tenaga kependidikan)
yang dapat menjadi figur contoh atau model anutan baik keilmuan,
skill, maupun sikap dan tata lakunya. Mahasiswa kelak jika
80
Fauzi, Menggagas LPTK Masa Depan: Ikhtiar Mengatasi Problem Pendidikan di
Indonesia dari Hulu, PERSPEKTIF Ilmu Pendidikan - Vol. 30 No. 1 April 2016, h. 63. 81
Djohar, (2003). Pendidikan Strategik: Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan,
(Yogyakarta: LESFI. H, 2003), h. 31.
74
menjadi guru atau tenaga kependidikan akan merefleksikan dan
mempraktikkan model layanan dan figur “pelayan” yang
dijumpainya saat mereka kuliah. Ini akan menjadi hidden
curriculum yang berpengaruh pada kualitas lulusan LPTK. Di
samping itu penyelenggaraan LPTK harus memungkinkan
terjadinya tradisi saling berjumpa antardisiplin ilmu (kependidikan
dan non kependidikan) setidaknya antar program studi, tidak dalam
tradisi keterisolasian, sehingga memungkinkan interaksi tanpa
sekat. Dengan penyelenggaraan seperti ini memungkinkan
mahasiswa LPTK akan mendapat masukan dari berbagai tradisi
keilmuan, ada fleksibiltas pendidikan, mobilitas mahasiswa antar
prodi dapat terjadi dengan efisien.82
Problem yang dihadapi guru berhubungan dengan problem yang
dihadapi LPTK sebagai penghasil guru. Muncul berbagai kritikan dan bahkan
gugatan terhadap LPTK yang dinilai gagal menghasilkan guru yang dapat
mendidik dengan baik.83
Kritikan bernada masukan seringkali datang dari pihak sekolah tempat
mahasiswa praktek pengalaman lapangan (PPL) terkait masih rendahnya
kualitas mengajar mahasiswa, kurang kreatif, kurang tanggap, dan kurang
percaya diri. Hal ini mencerminkan ada hal yang harus dibenahi dalam sistem
pendidikan di LPTK. Secara garis besar problem LPTK dapat dipetakan
sebagai berikut:
1. Permasalahan dalam perekrutan Sistem perekrutan yang baik akan
sangat menentukan luaran yang berkualitas. Idealnya calon
mahasiswa LPTK harus diseleksi tidak hanya kemampuan
akademisnya tetapi juga kemampuan non akademisnya. Sistem
seleksi yang terjadi selama ini kurang mampu mendeteksi calon
mahasiswa yang benar-benar memiliki motivasi dan kepribadian
sebagai calon pendidik.
82
Fauzi, op, cit., h. 63. 83
Azhar. “Kondisi LPTK Sebagai Pencetak Guru Yang Profesional”, Jurnal Tabularasa
PPS Unimed, Vol.6. No.1, Juni 2009, h. 23.
75
2. Permasalahan dalam proses pendidikan Proses pendidikan
(pembelajaran) yang diselenggarakan LPTK merupakan factor
penting bagi pengembangan kompetensi calon guru. Proses
pendidikan cenderung masih sangat didominasi teori, sehingga
minim praktik, lapangan, apalagi magang. Di samping itu
penguatan empat kompetensi guru belum dilakukan secara terpadu,
cenderung dominan kompetensi pedagogik dan “profesional”,
masih relatif lemah pada kompetensi kepribadian dan sosial.
Masalah lainnya adalah terkait pengembangan kurikulum,
penciptaan suasana akademik, penetapan standar kelulusan dan
prosedur evaluasi yang objektif dan transparan, juga dukungan
sistem penjaminan mutu yang handal untuk menjamin mutu
program pendidikan.
3. Permasalahan infrastruktur, Sekalipun infrastruktur di LPTK
semakin lengkap, tidak semua LPTK telah menunjukkan standar
fasilitas yang memadai. Berbagai sarana dan prasarana baik
perangkat keras dan perangkat lunak harus cukup tersedia. Secara
umum LPTK belum memiliki labschool dan asrama yang memadai
sebagai tempat belajar dan meningkatkan kompetensi mahasiswa.
4. Permasalahan sumber daya manusia Perguruan tinggi tak
terkecuali LPTK umumnya masih menekankan kuantitas
(jumlah) mahasiswa, belum menekankan kualitas dosen. Sekalipun
jumlah dosen yang studi lanjut (S2, S3) semakin besar, rasio dosen
“bermutu” dengan jumlah mahasiswa masih belum memadai.
Tuntutan untuk menghasilkan guru yang profesional mengharuskan
LPTK penyelenggara memiliki visi yang jelas yang dilandasi
prinsip good university governance dan memiliki kapasitas yang
menjamin profesionalisme lulusannya.84
84
Fauzi, op, cit., h. 63.
76
Menurut Nurulpaik yang dikutip oleh Umi Chotimah mengatakan
bahwa selama ini dikenal ada dua model penyelenggaraan pendidikan guru
yaitu concurrent model dan consecutive model.
1. Concurrent Model (Model Seiring)
Concurrent model yaitu suatu model penyelenggaran
pendidikan guru yang menyiapkan calon guru yang dilakukan
dalam satu nafas, satu fase, antara penguasaan bidang studinya
(subject matter) dengan kompetensi pedagogi (ilmu pendidikan)
model inilah yang dipakai selama lebih 50 tahun dalam
penyelenggaraan pendidikan guru di Indonesia FKIP, IKIP, PGA,
sebagai bentuk LPTK yang pernah di Indonesia menggunakan
model ini.
Model ini mengasumsikan bahwa seorang calon guru sejak
awal sudah mulai memasuki iklim, menjiwai, menyadari akan
dunia profesinya. Seorang guru tidak hanya dituntut menguasai
bidang studi yang akan diajarkannya, melainkan juga kompetensi
pedagogik, sosial, akademik, dan kepribadian sebagai pendidik
kompetensi tersebut bukan suatu yang terpisah melainkan jadi
ramuan komposisi yang khas yang dijiwainya. Kalau guru
diasumsikan sebagai petugas profesional, harus disiapkan secara
profesional secara sengaja untuk menjadi guru, juga di lembaga
yang sengaja dibuat dan dipersiapkan untuk mendidik calon guru.
Kritik terhadap model ini penguasaan bidang ilmu dianggap lemah
karena perolehan kemampuan bidang ilmu yang diajarkannya
dianggap kurang dari sarjana bidang ilmu murni. Ini dianggap
kelemahan dan dinisbahkan sebagai salah satu faktor yang
menyebabkan rendahnya kompetensi guru yang selama ini
dipersiapkan di LPTK.
2. Consecutive Model (Pendekatan Berlapis)
77
Asumsi yang dipakai dalam model ini menghendaki penyiapan
guru dilakukan dalam napas atau rangkaian yang berbeda. Artinya
calon guru sebelumnya tidak dididik dalam setting LPTK. Mereka
adalah para sarjana bidang ilmu kemudian setelah itu menempuh
pendidikan lanjutan di LPTK untuk memperoleh akta kependidikan
yang selama ini diposisikan sebagai lisensi profesi guru. Model ini
menghendaki sarjana dulu di bidangnya kemudian mengikuti
pendidikan akta kependidikan sebagai sertifikasi profesi
kependidikan. Keunggulan model ini dianggap memiliki penguasaan
bidang studi lebih baik unggul, tetapi lemah dari aspek kompetensi
ilmu pendidikan (pedagogis), sosial, dan kepribadian sebagai calon
guru dalam pola ini penyiapan bidang ilmu dengan kompetensi
pedagogi, sosial, dan kepribadian adalah hal yang berbeda bukan
desain pendidikan profesional yang terpadu.
Sejak diberlakukan UU Guru dan Dosen, nampaknya
penyelenggaraan pendidikan guru saat ini cenderung dilakukan
dengan menggunakan concecutive model, ini dapat dilihat pada
bunyi “setiap orang yang telah memperoleh sertifikasi pendidik
memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada
satuan pendidikan tertentu”. Salah satu dampaknya adalah
meningkatnya minat dan apresiasi masyarakat terhadap profesi guru.
Di samping itu UU tersebut juga menggariskan bahwa profesi guru
minimal berpendidikan S-1 atau D-4 baik kependidikan maupun
non-kependidikan. Hal ini mengisyarakatkan bahwa profesi guru
merupakan profesi yang bersifat terbuka bukan hanya bagi lulusan
dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) melainkan
pula dari non-LPTK.
Lalu apa urgensi eksistensi LPTK kalau profesi guru itupun
secara yuridis dan akademik berhak dimasuki oleh mereka yang
tidak dipersiapkan di LPTK. Mereka yang berlata pendidikan dari
78
non-LPTK untuk menjadi guru cukup mengikuti pendidikan
sertifikasi profesi guru.
Masing-masing model mempunyai kelemahan dan keunggulan, di
samping itu tergantung kepada penafsiran apakah sebaiknya profesi guru
merupakan profesi yang tertutup atau terbuka, artinya:
1. Jika profesi guru adalah “profesi tertutup” maka concurrent
modelyang dijadikan acuannya dengan memberikan penguatan
lebih dalam pada penguasaan bidang ilmu. artinya perguruan tinggi
yang berperan sebagai LPTL harus semakin diperkuat dan didorong
untuk lebih bagus lagi. Pemerintah pun wajib memberikan
perhatian yang tinggi terhadap penyelenggaraan pendidikan guru di
LPTK. Sejalan dengan semakin bergengsinya profesi guru maka
LPTK akan semakin menjadi perhatian publik dan minat menjadi
guru akan semakin kompetitif.
2. Jika profesi guru adalah “profesi terbuka” maka berarti concecutive
model yang dijadikan acuan akibatnya akan menjadi
kecenderungan tereduksinya keberadaan LPTK hanya sebagai
lembaga sertifikasi profesi guru semakin mendekati kenyataan,
sebab untuk menjadi guru tidak perlu studi di LPTK. Berlatar
belakang perguruan tinggi apapun bila akan jadi guru cukup
mengikuti pendidikan sertifikasi profesi guru yang di
selenggarakan oleh pemerintahan di LPTK.
Disinilah keharusan refungsi kelembagaan LPTK yang diperlukan
adalah keputusan yang jelas dan tegas dari pemerintah dalam menetapkan
model mana yang akan dipilih dalam penyelenggaraan pendidikan guru.
Guru adalah profesi di mana seseorang menanamkan nilai-nilai
kebijakan ke dalam jiwa manusia, membentuk karakter dan kepribadian
manusia, dipundaknya memikul beban berat menciptakan sebuah generasi
yang bertanggungjawab.
79
Dalam melaksanakan pembelajaran tentunya seorang guru harus
memiliki keterampilan-keterampilan yang harus dimilikinya untuk
mendapatkan hasil yang maksimal terhadap murid yang diajar.
Mismatch artinya adalah pertandingan yang tidak seimbang/tidak
sebanding/ tidak sepadan. Guru mismatch adalah guru yang mengajar bukan
dibidangnya atau tidak sesuai antara latar belakang pendidikan dengan mata
pelajaran yang diajarkan dan diampu.
Gilakjani mengemukakan bahwa “a mismatch between teaching and
learning styles causes learning failure, frustration and demotivation”.
Ketidaksesuaian antara mengajar dan gaya belajar menyebabkan belajar
kegagalan, frustrasi dan motivasi.85
Sekarang ini masyarakat menginginkan semua pelayanan yang
diberikannya adalah yang terbaik. Misalnya, setiap orang tua menginginkan
anaknya bersekolah di sekolah yang gurunya profesional, setiap orang
menginginkan menyimpan uang di bank yang pelayanannya profesional, dan
sebagainya. Tuntutan-tuntutan masyarakat inilah yang membuat setiap profesi
untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik. Jika setiap anggota profesi
dapat melakukan pekerjaannya dengan profesional, maka dengan sendirinya
dia akan membangun profesinya.86
85
Gilakjani, A.P. A Match or Mismatch Between Learning Styles of the Learners and
Teaching Styles of the Teachers. International Journal Modern Education and Computer Science,
11, 51-60. doi: 10.5815/ijmecs.2012.11.05. h. 2. 86
Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), h. 32.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Miskonsepsi kompetensi profesional dari sudut pandang filosofis dari
Ketidak jelasan konsep dasar UUGD dalam membedakan antara penyebutan nama
guru dan dosen serta tugas utama guru dengan tugas utama dosen.
Miskonsepsi kompetensi profesional dari sudut pandang psikologis
dalam UU Guru dan Dosen adalah diwajibkannya guru mengikuti sertifikasi dan
uji kompetensi. Hal ini tercantum pada pasal 8 UU Guru dan Dosen yang
menjelaskan tentang Sertifikat Profesi Pendidik. Banyak pihak mengkhawatirkan
program sertifikasi ini. Sertifikasi hanya dianggap sebagai sebuah proses yang
harus dilalui untuk mengejar tunjangan yang dijanjikan, bukan sebagai upaya
meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru.
Miskonsepsi Kompetensi Profesional dari Sudut Pandang Sosiologis
guru membutuhkan pelatihan profesional untuk menambah wawasan dan
meningkatkan keterampilan mereka. Pelatihan itu akan lebih bermanfaat bagi guru
jika guru memiliki semangat belajar seumur hidup. Semangat belajar harus
melekat dalam diri setiap guru sehingga ia kaya ilmu dan terampil.
Miskonsepsi kompetensi profesional dari sudut pandang pedagogis,
dimana UU Guru dan Dosen tidak memberikan secara jelas lembaga apa yang
memiliki legalitas untuk mencetak tenaga kependidikan. Lembaga yang memiliki
legalitas memberikam sertifikasi kependidikan baik kepada guru maupun dosen
ditentukan secara jelas dalam UU guru dan dosen.
B. Saran
Merujuk dari hasil penelitian ini, penulis mengajukan saran yaitu:
80
1. Diharapkan kepada guru untuk meningkatkan kompetensi
keprofesionalannya sebagai seorang pendidik.
2. Diharapkan kepada dosen untuk meningkatkan kompetensi
keprofesionalannya sebagai seorang pendidik.
81
DAFTAR PUSTAKA
A, Pius Partanto. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: PT
Arloka, 1994.
Ahmad, Sanusi. Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga
Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung, 1991.
Azhar. “Kondisi LPTK Sebagai Pencetak Guru Yang Profesional”. Jurnal
Tabularasa PPs Unimed, Vol.6. No.1, Juni 2009.
B, Hamzah Uno. Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Bambang, Slameto, S. Sulasmono, Krisma Widi Wardani. Peningkatan Kinerja
Guru Melalui Pelatihan Beserta Faktor Penentunya, Jurnal Pendidikan
Ilmu Sosial. Vol 27, No.2, Desember 2017.
Bell, Margaret. Metode Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: Universitas Terbuka
bekerja sama dengan Rajawali Press, 1991.
Danim, Pengembangan Profesi Guru Dari Pra-Jabatan, Induksi, ke Profesional
Madani. Jakarta: Kencana, 2011.
Daulay, Nurussakinah. Pengantar Psikologi dan Pandangan al-Quran tentang
Psikologi. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Djohar. Pendidikan strategik: Alternatif untuk pendidikan masa depan.
Yogyakarta: LESFI, 2003.
Fauzi. Menggagas LPTK Masa Depan: Ikhtiar Mengatasi Problem Pendidikan di
Indonesia dari Hulu, PERSPEKTIF Ilmu Pendidikan. Vol. 30 No. 1 April
2016.
H, Sukardi M. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.
Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
H, Tilaar A.R. Managemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002.
Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2009.
Hasan, Salem. et al, “Misconceptions and the Certainty of Response Index
(CRI)”, Journal of Phys, Educ. Vol. 5, 1999.
82
Hendrik, Jan Rapar. Pengantar Logika Asas-Asas Penalaran Sistematis.
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Hidayat, Sholeh. Pengembangan Guru Profesional. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017.
Ibnu, Mujar Syarif & Kamarusdiana. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
2016.
Khasinah, Siti. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat. Jurnal
Ilmiah Didaktika Februari 2003 VOL. XIII, NO.2.
Khobir, Abdul. “Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan
(Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam)”. Forum Tarbiyah Vol. 8, No. 1,
Juni 2010.
Kosasi, Seotjipto & Raflis. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Kunandar, Guru Profesional (Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007.
Mohammad, Barnawi & Arifin, Meningkatkan Kinerja Pengawas Sekolah: Upaya
Upgrade Kapasitas Kerja Pengawas Sekolah. Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2014
Mudlofir, Ali. Pendidik Profesional Konsep, Strategi dan Aplikasinya dalam
Peningkatan Mutu Pendidik di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2012.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitan Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin,
1996.
Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 20012.
Musfah, Jejen. Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan Sumber
Belajar Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011.
83
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005.
Ni’am, Asrorun Sholeh. Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis
atau Lahirnya UU Guru dan Dosen. Jakata: Elsas, 2017.
Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika, 2008.
Nurtanto, Muhammad. Mengembangkan Kompetensi Profesionalisme Guru
Dalam Menyiapkan Pembelajaran Yang Bermutu.
Putra, Haidar Daulay. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014.
R, Marselus Payong. Sertifikasi Profesi Guru Konsep Dasar, Problematika, dan
Implementasinya. Jakarta: PT Indeks: 2001.
Rahmawati, Sri Syahir Natsir dan Mauled Moelyono. Pengaruh Pelatihan,
Pengalaman Mengajar Dan Kompensasi Terhadap Profesionalisme Guru
Di Smk Negeri 3 Palu, e-Jurnal Katalogis. Volume 3 Nomor 12,
Desember 2015.
Rizali, Ahmad Satria Dharma. Indra Djati Sidi, dari Guru Konvensional menuju
Guru Profesional. Jakata: PT Grasindo, 2009.
Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Sagala, Syaiful. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan.
Bandung: Alfabeta, 2013.
Samana, Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Samsul, Ramayulis dan Nizar. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem
Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Saudagar, Fachruddin & Ali Idrus. Pengembangan Profesionalitas Guru. Jakarta:
Gaung Persada GP Press, 2011.
Septiana, Dwi dkk, “Identifikasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Archaebacteria
dan Eubacteria Menggunakan Two-Tier Multiple Choice”, Jakarta:
EDUSAINS, Vol. 6, 2014.
84
Sofia, Dedeh Hasanah. Pengaruh Pendidikan Latihan (Diklat) Kepemimpinan
Guru Dan Iklim Kerja Terhadap Kinerja Guru Sekolah Dasar Se
Kecamatan Babakancikao Kabupaten Purwakarta Jurnal Penelitian
Pendidikan Vol. 11, No. 2, Oktober 2010.
Sri, Yutmini. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: FKIP UNS, 1992.
Sudarminta, J. Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitati, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Alfabeta, 2011.
Suhana, Cucu. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Refika Aditama,
2014.
Suherman, Aris & Ondi Saondi, Etika Profesi Keguruan. Jakarta: PT Refika
Aditama, 2010.
Sukanti, Meningkatkan Kompetensi Guru melalui Pelaksanaan Tindakan Kelas,
Jurnal Pendidikan Akutansi Indonesia. Vol. VI, 2008.
Sulhan, Najib. Karakter Guru Masa Depan. Surabaya: Jaringpena, 2011.
Suparno, Paul. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika.
Jakarta: PT Grasindo, 2005.
Suprihatiningrum, Jamil. Guru Profesional Pedoman Kinerja, Kualifikasi, dan
Kompetensi Guru. Jakarta: ar-Ruzz Media, 2016.
Surakhmad, Winarmo. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2009
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000.
Syaodih, Nana Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan.
Bandung: PT Imperial Bhakti Utama, 2007.
Trianto & Titik Triwulan Tutik. Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik
menurut UU Guru dan Dosen. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
85
Umar, Husein. Metode Riset Ilmu Administrasi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003.
Wijaya, Cece dan Tabrani Rusyan. Kemampuan Dasar Guru dalam Proses
Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.
Wukir, Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen dalam Rangka Meningkatkan Mutu Guru. Lex Jurnalica
Vol.5 No. 3, Agustus 2008.
Yasin, Ahmad Fatah. “Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan
Agama Islam di Madrasah”. Jurnal el-Qudwah Volu me 1 Nomor 5.
Edisi April 2011.
DAFTAR PUSTAKA
A, Pius Partanto. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: PT
Arloka, 1994.
Ahmad, Sanusi. Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga
Kependidikan. Bandung: IKIP Bandung, 1991.
Azhar. “Kondisi LPTK Sebagai Pencetak Guru Yang Profesional”. Jurnal
Tabularasa PPs Unimed, Vol.6. No.1, Juni 2009
B, Hamzah Uno. Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Bambang, Slameto, S. Sulasmono, Krisma Widi Wardani. Peningkatan Kinerja
Guru Melalui Pelatihan Beserta Faktor Penentunya, Jurnal Pendidikan
Ilmu Sosial. Vol 27, No.2, Desember 2017.
Bell, Margaret. Metode Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: Universitas Terbuka
bekerja sama dengan Rajawali Press, 1991.
Danim, Pengembangan Profesi Guru Dari Pra-Jabatan, Induksi, ke Profesional
Madani. Jakarta: Kencana, 2011.
Daulay, Nurussakinah. Pengantar Psikologi dan Pandangan al-Quran tentang
Psikologi. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Djohar. Pendidikan strategik: Alternatif untuk pendidikan masa depan.
Yogyakarta: LESFI, 2003.
Fauzi. Menggagas LPTK Masa Depan: Ikhtiar Mengatasi Problem Pendidikan di
Indonesia dari Hulu, Perspektif ilmu Pendidikan. Vol. 30 No. 1 April
2016.
H, Sukardi M. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.
Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
H, Tilaar A.R. Managemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002.
Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2009.
Hasan, Salem. et al, “Misconceptions and the Certainty of Response Index
(CRI)”, Journal of Phys, Educ. Vol. 5, 1999.
Hendrik, Jan Rapar. Pengantar Logika Asas-Asas Penalaran Sistematis.
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Hidayat, Sholeh. Pengembangan Guru Profesional. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2017.
Ibnu, Mujar Syarif & Kamarusdiana. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
2016.
Khasinah, Siti. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat. Jurnal
Ilmiah Didaktika Februari 2003 VOL. XIII, NO.2.
Khobir, Abdul. “Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Proses Pendidikan
(Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam)”. Forum Tarbiyah Vol. 8, No. 1,
Juni 2010.
Kosasi, Seotjipto & Raflis. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Kunandar, Guru Profesional (Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007.
Mohammad, Barnawi & Arifin, Meningkatkan Kinerja Pengawas Sekolah: Upaya
Upgrade Kapasitas Kerja Pengawas Sekolah. Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2014.
Mudlofir, Ali. Pendidik Profesional Konsep, Strategi dan Aplikasinya dalam
Peningkatan Mutu Pendidik di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2012.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitan Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin,
1996.
Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 20012.
Musfah, Jejen. Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan Sumber
Belajar Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru). Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005.
Ni’am, Asrorun Sholeh. Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis
atau Lahirnya UU Guru dan Dosen. Jakata: Elsas, 2017.
Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika, 2008.
Nurtanto, Muhammad. Mengembangkan Kompetensi Profesionalisme Guru
Dalam Menyiapkan Pembelajaran Yang Bermutu.
Putra, Haidar Daulay. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014.
R, Marselus Payong. Sertifikasi Profesi Guru Konsep Dasar, Problematika, dan
Implementasinya. Jakarta: PT Indeks: 2001.
Rahmawati, Sri Syahir Natsir dan Mauled Moelyono. Pengaruh Pelatihan,
Pengalaman Mengajar Dan Kompensasi Terhadap Profesionalisme Guru
Di Smk Negeri 3 Palu, e-Jurnal Katalogis. Volume 3 Nomor 12,
Desember 2015.
Rizali, Ahmad Satria Dharma. Indra Djati Sidi, dari Guru Konvensional menuju
Guru Profesional. Jakata: PT Grasindo, 2009.
Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Sagala, Syaiful. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan.
Bandung: Alfabeta, 2013.
Samana, Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Samsul, Ramayulis dan Nizar. Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem
Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Saudagar, Fachruddin & Ali Idrus. Pengembangan Profesionalitas Guru. Jakarta:
Gaung Persada GP Press, 2011.
Septiana, Dwi dkk, “Identifikasi Miskonsepsi Siswa pada Konsep Archaebacteria
dan Eubacteria Menggunakan Two-Tier Multiple Choice”, Jakarta:
EDUSAINS, Vol. 6, 2014.
Sofia, Dedeh Hasanah. Pengaruh Pendidikan Latihan (Diklat) Kepemimpinan
Guru Dan Iklim Kerja Terhadap Kinerja Guru Sekolah Dasar Se
Kecamatan Babakancikao Kabupaten Purwakarta Jurnal Penelitian
Pendidikan Vol. 11, No. 2, Oktober 2010.
Sri, Yutmini. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: FKIP UNS, 1992.
Sudarminta, J. Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitati, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Alfabeta, 2011.
Suhana, Cucu. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Refika Aditama,
2014.
Suherman, Aris & Ondi Saondi, Etika Profesi Keguruan. Jakarta: PT Refika
Aditama, 2010.
Sukanti, Meningkatkan Kompetensi Guru melalui Pelaksanaan Tindakan Kelas,
Jurnal Pendidikan Akutansi Indonesia. Vol. VI, 2008.
Sulhan, Najib. Karakter Guru Masa Depan. Surabaya: Jaringpena, 2011.
Suparno, Paul. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika.
Jakarta: PT Grasindo, 2005.
Suprihatiningrum, Jamil. Guru Profesional Pedoman Kinerja, Kualifikasi, dan
Kompetensi Guru. Jakarta: ar-Ruzz Media, 2016.
Surakhmad, Winarmo. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2009.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000.
Syaodih, Nana Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan.
Bandung: PT Imperial Bhakti Utama, 2007.
Trianto & Titik Triwulan Tutik. Tinjauan Yuridis Hak serta Kewajiban Pendidik
menurut UU Guru dan Dosen. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Umar, Husein. Metode Riset Ilmu Administrasi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
Tahun 2003.
Wijaya, Cece dan Tabrani Rusyan. Kemampuan Dasar Guru dalam Proses
Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.
Wukir, Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen dalam Rangka Meningkatkan Mutu Guru. Lex Jurnalica
Vol.5 No. 3, Agustus 2008.
Yasin, Ahmad Fatah. “Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan
Agama Islam di Madrasah”. Jurnal el-Qudwah Volu me 1 Nomor 5.
Edisi April 2011.