minggu, 5 september 2010 | media indonesia berbisnis ... · 9/5/2010 · animasi lokal. contoh...

1
Bisnis masa depan Main Studio tak mau cepat puas. Mimpi besar mereka ternyata lebih besar daripada mengerjakan proyek dari klien. “Kita ingin sekali membuat studio ini seperti Pixar. Bukan hanya mengerjakan proyek bis- nis, melainkan bisa memberi- kan sesuatu kepada masyarakat melalui cerita dan karakter animasi,” kata Andi. Visi itulah yang diwujudkan dengan kemunculan karakter superhero bernama Hebring. Karakter itu diharapkan men- jadi sebuah intellectual property yang besar macam Mickey Mouse, atau Doraemon. Kemunculan tokoh Hebring ini juga menjawab rasa keper- hatinan Andi dkk terhadap minimnya kartun lokal. Anak- anak selalu mengonsumsi kar- tun luar negeri tanpa punya to- koh lokal yang dibanggakan. Cita-cita besar itu butuh per- juangan panjang. Main Studio memulainya dengan perlahan. Butuh tiga tahun lamanya un- tuk menyelesaikan tiga cerita animasi pendek, satu komik, B ANYAK orang yang mengira bahwa ani- masi hanya berupa gambar-gambar kar- tun. Padahal, tidak juga. Ani- masi punya cakupan yang lebih luas daripada itu. “Intinya membuat sesuatu menjadi hidup. Animator mem- beri nyawa pada objek tertentu sehingga tampak hidup,” Mar- lin Sugama, salah satu pendiri Main Studio, memberi pemaha- man tentang animasi. Bahkan bagi M Fardiansyah (Fafan), Andi Martin Surjana, dan Marlin Sugama, penggagas Main Studio, animasi adalah hasrat mereka. “Bekerja dari hati dan kita bisa senang de- ngan apa yang kita kerjakan,” ujar Andi. Berdiri sejak 2007 lalu Main Studio awalnya dirintis mereka bertiga yang bekerja di sebuah perusahan game developer. Tun- tutan untuk fokus membesar- kan usaha baru pada akhirnya mengharuskan mereka keluar dari zona nyaman, keluar dari pekerjaan lama. “Bisnis game developer itu jangka pendek menguntung- kan. Tapi, tidak untuk jangka panjang. Maka kita berusaha membuat studio animasi sen- diri yang punya misi ke de- pan,” ujar Andi. Lewat animasi, mereka juga tak terpatok dengan teknik programing yang rumit seperti membuat game. Jadi, eksplorasi cerita bisa lebih bebas tanpa pusing dengan teknik yang memang kurang mereka di- kuasai. Maklum, Andi dan Fafan lebih menguasai animasi dua dimensi dan tiga dimensi. Marlin lebih cakap di bidang manajemen sebagai produser. “Dasarnya kita juga suka non- ton lm apa aja. Jadi, lebih suka sesuatu yang sifatnya story tell- ing,” tambah Andi. Merintis usaha dari bawah Lewat proyek animasi pendek, mereka berusaha menghibur orang banyak. Christine Franciska Entrepreneur | 9 MINGGU, 5 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Berbisnis sambil Hidupkan Animasi Lokal Masih Minim Dukungan ANIMATOR LOKAL: Tecnical Director Main Studio M Fardiansyah (kiri), Creative Director Main Studio Andi Martin Surjana, dan Writer Producer Marlin Sugama di kantor Main Studio, Cengkareng, Jakarta. MI/RAMDANI HEBRING membutuhkan keteguhan hati. Begitu juga dengan bisnis animasi. Awalnya Andi dkk hanya bermodal dua kom- puter dengan bujet kurang dari Rp50 juta. Tiga bulan, mereka harus bertahan tanpa menda- pat klien. Beruntung momen berdi- rinya Main Studio bertepatan digelarnya kompetisi Indonesia ICT Award (Ina- icta). Pada September 2007, animasi pendek mereka ber- tajuk Hebring 1 keluar seba- gai pemenang untuk kategori animasi. Dua tahun berselang, Hebring (episode 2) juga meme- nangi Inaicta dalam kategori yang sama. Dari berbagai kompetisi, nama Main Studio banyak mendapat sorotan. Klien pun datang menghampiri. “Di bu- lan keenam, kita dapat satu proyek yang bikin modal kita balik,” ujar Marlin. Produk-produk animasi yang dibuat bervariasi, mulai iklan, e-video interactive presentation, dan animasi untuk launching product. Biasanya dibuat dalam DUNIA animasi negara tetang- ga, Malaysia, ternyata sudah jauh berkembang jika diband- ingkan dengan industri animasi di Indonesia. Hal itu bukan terkait de- ngan kualitas SDM, melainkan terkait dengan peran peme- rintah Indonesia yang terkesan tanggung mengembangkan animasi lokal. Contoh nyatanya bisa dilihat pada layar televisi kita. Ipin dan Upin digemari betul walau teknik animasinya terlihat jauh di bawah kualitas animasi ala Pixar. Ipin Upin yang dibuat Les’ Copaque Studio di Malaysia itu bahkan bisa masuk Disney Channel dan diputar di TV kabel. Di Indonesia sendiri kemam- puan animator lokal tak kalah bagus. Namun, kebanyakan studio animasi dibangun den- gan modal kecil. Jarang ada yang memiliki modal besar dan bisa membuat proyek dengan dana sendiri. “Ada yang besar, tapi jadi seperti pabrik saja, yang bekerja berdasarkan pe- sanan,” ujar Andi Martin, salah satu pendiri Main Studio. Menurut Andi, industri animasi di Malaysia sangat diperhatikan pemerintah. Se- lain mereka diberi sokongan dana dalam bentuk grant dan teknologi, pemerintah juga mendatangkan pakar animasi dari Eropa. “Tahun ini pemer- intah Malaysia memberikan grant kepada lima studio ani- masi untuk menggarap animasi semacam Ipin Upin,” ujarnya. Di Indonesia, kesadaran membangun animasi lokal se- betulnya sudah ada. Pemerintah pun kerap meng- adakan kompetisi sebagai pemacu industri lokal. Misal- nya, dengan diselenggarakan- nya Indonesia ICT Awards (Inaicta) dan Kadin Mobile Application and Animation Awards. “Tapi hanya sebatas itu. Belum sampai memberi grant dan men-support alat,” tambah Andi. Ia beralasan pembuatan ani- masi memerlukan dana yang tidak sedikit. Bagi studio ani- masi kecil yang bertahan lewat bisnis, tampaknya sulit untuk membuat animasi televisi tanpa sokongan dana. Proses pembuatan animasi juga rumit. Seperti layaknya membuat film, animasi me- libatkan banyak orang dengan profesi yang berbeda. Pertama ada scriptwriter dan sutradara yang menggarap ide cerita. Cerita yang dibuat itu lalu di- buat storyboard oleh seorang storyboard artist. Setelah itu giliran ilustrator yang membuat gambar tokoh dalam cerita. Setelah karakter dibuat, seorang modeller dan texturer akan mempercantik tampilan karakter tersebut di layar komputer. Lalu ada juga animator yang membuat gambar bergerak layaknya sebuah film. Hing- ga disempurnakan komposi- tor dan editor di tahap akhir. (*/M-1) waktu sebulan dengan tarif awal Rp1 juta per detik. “Kebanyakan klien lalu da- tang dengan sendirinya karena tahu kita menang kompetisi. Enggak ada strategi marketing khusus. Kita hanya memper- lihatkan kemampuan terbaik kita,” ujar Marlin. Modal dan penghasilan yang didapat lantas terus diputar untuk mengembangkan bis- nis mereka. Berawal dari tiga orang, kini Main Studio sudah bisa mempekerjakan 12 kar- yawan. dan merchandise Hebring. Ani- masinya pun tak langsung masuk televisi atau bioskop, tetapi baru diputar dalam acara kompetisi atau festival film pendek dalam negeri. “Butuh waktu yang lama untuk membuat sebuah karak- ter lebih dikenal publik. Keba- nyakan saat orang bikin karak- ter, mereka maunya langsung terkenal atau langsung masuk bioskop. Padahal siapa mau nonton animasi lokal yang be- lum dikenal?” ujar Marlin. Masalah bujet juga jadi salah satu penghalang. Satu animasi berdurasi 3-5 menit memerlu- kan biaya yang tak sedikit. Pengeluarannya berkisar Rp35 juta untuk menggarap satu episode. Kebanyakan diguna- kan untuk membayar SDM yang profesional dan membeli alat-alat tambahan. “Jadi, harus pintar-pintar balancing juga, antara proyek bisnis dan idea- lis, supaya dua-duanya jalan,” tambah Marlin. (*/M-1) miweekend @mediaindonesia.com Bisnis game developer itu jangka pendek menguntungkan. Tapi, tidak untuk jangka panjang.”

Upload: hoangquynh

Post on 14-Jun-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MINGGU, 5 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Berbisnis ... · 9/5/2010 · animasi lokal. Contoh nyatanya bisa dilihat pada layar televisi kita. Ipin dan Upin digemari betul walau teknik

Bisnis masa depanMain Studio tak mau cepat

puas. Mimpi besar mereka ternyata lebih besar daripada mengerjakan proyek dari klien. “Kita ingin sekali membuat studio ini seperti Pixar. Bukan hanya mengerjakan proyek bis-nis, melainkan bisa memberi-kan sesuatu kepada masyarakat melalui cerita dan karakter animasi,” kata Andi.

Visi itulah yang diwujudkan dengan kemunculan karakter superhero bernama Hebring. Karakter itu diharapkan men-jadi sebuah intellectual pro perty yang besar macam Mickey Mouse, atau Doraemon.

Kemunculan tokoh Hebring ini juga menjawab rasa keper-hatinan Andi dkk terhadap mi nimnya kartun lokal. Anak-anak selalu mengonsumsi kar-tun luar negeri tanpa punya to-koh lokal yang dibanggakan.

Cita-cita besar itu butuh per-juangan panjang. Main Studio memulainya dengan perlahan. Butuh tiga tahun lamanya un-tuk menyelesaikan tiga cerita animasi pendek, satu komik,

BANYAK orang yang mengira bahwa ani-masi hanya berupa gambar-gambar kar-

tun. Padahal, tidak juga. Ani-masi punya cakupan yang lebih luas daripada itu.

“Intinya membuat sesuatu menjadi hidup. Animator mem-beri nyawa pada objek tertentu sehingga tampak hidup,” Mar-lin Sugama, salah satu pendiri Main Studio, memberi pemaha-man tentang animasi.

Bahkan bagi M Fardiansyah (Fafan), Andi Martin Surjana, dan Marlin Sugama, penggagas Main Studio, animasi adalah hasrat mereka. “Bekerja dari hati dan kita bisa senang de-ngan apa yang kita kerjakan,” ujar Andi.

Berdiri sejak 2007 lalu Main Studio awalnya dirintis mereka bertiga yang bekerja di sebuah perusahan game developer. Tun-tutan untuk fokus membesar-kan usaha baru pada akhirnya mengharuskan mereka keluar dari zona nyaman, keluar dari pekerjaan lama.

“Bisnis game developer itu jangka pendek menguntung-kan. Tapi, tidak untuk jangka panjang. Maka kita berusaha membuat studio animasi sen-diri yang punya misi ke de-pan,” ujar Andi.

Lewat animasi, mereka juga tak terpatok dengan teknik programing yang rumit seperti membuat game. Jadi, eksplorasi cerita bisa lebih bebas tanpa pusing dengan teknik yang memang kurang mereka di-kuasai.

Maklum, Andi dan Fafan lebih menguasai animasi dua dimensi dan tiga dimensi. Marlin lebih cakap di bidang manajemen sebagai produser. “Dasarnya kita juga suka non-ton fi lm apa aja. Jadi, lebih suka sesuatu yang sifatnya story tell-ing,” tambah Andi.

Merintis usaha dari bawah

Lewat proyek animasi pendek, mereka berusaha menghibur orang banyak.

Christine Franciska

Entrepreneur | 9MINGGU, 5 SEPTEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Berbisnis sambil Hidupkan Animasi Lokal

Masih Minim Dukungan

ANIMATOR LOKAL: Tecnical Director Main Studio M Fardiansyah (kiri), Creative Director Main Studio Andi Martin Surjana, dan Writer Producer Marlin Sugama di kantor Main Studio, Cengkareng, Jakarta.

MI/RAMDANI

HEBRING

membutuhkan keteguhan hati. Begitu juga dengan

bisnis animasi. Awalnya Andi dkk hanya bermodal dua kom-puter dengan bujet kurang dari Rp50 juta. Tiga bulan, mereka harus bertahan tanpa menda-pat klien.

Beruntung momen berdi-rinya Main Studio bertepatan digelarnya kompetisi

Indonesia ICT Award (Ina-icta). Pada September 2007, animasi pendek mereka ber-tajuk Hebring 1 keluar seba-gai pemenang untuk kategori animasi. Dua tahun berselang, Hebring (episode 2) juga meme-nangi Inaicta dalam kategori yang sama.

Dari berbagai kompetisi, nama Main Studio banyak mendapat sorotan. Klien pun datang menghampiri. “Di bu-lan keenam, kita dapat satu proyek yang bikin modal kita balik,” ujar Marlin.

Produk-produk animasi yang dibuat bervariasi, mulai iklan, e-video interactive presentation, dan animasi untuk launching product. Biasanya dibuat dalam

DUNIA animasi negara tetang-ga, Malaysia, ternyata sudah jauh berkembang jika diband-ingkan dengan industri animasi di Indonesia.

Hal itu bukan terkait de-ngan kualitas SDM, melainkan terkait dengan peran peme-rintah Indonesia yang terkesan tanggung mengembangkan animasi lokal. Contoh nyatanya bisa dilihat pada layar televisi kita. Ipin dan Upin digemari betul walau teknik animasinya terlihat jauh di bawah kualitas animasi ala Pixar. Ipin Upin yang dibuat Les’ Copaque Stu dio di Malaysia itu bahkan bi sa masuk Disney Channel dan diputar di TV kabel.

Di Indonesia sendiri kemam-puan animator lokal tak kalah bagus. Namun, kebanyakan studio animasi dibangun den-gan modal kecil. Jarang ada yang memiliki modal besar dan bisa membuat proyek dengan dana sendiri. “Ada yang besar, tapi jadi seperti pabrik saja, yang bekerja berdasarkan pe-sanan,” ujar Andi Martin, salah satu pendiri Main Studio.

Menurut Andi, industri animasi di Malaysia sangat diperhatikan pemerintah. Se-lain mereka diberi sokongan dana dalam bentuk grant dan teknologi, pemerintah juga mendatangkan pakar animasi dari Eropa. “Tahun ini pemer-intah Malaysia memberikan grant kepada lima studio ani-masi untuk menggarap animasi semacam Ipin Upin,” ujarnya.

Di Indonesia, kesadaran membangun animasi lokal se-be tulnya sudah ada.

Pemerintah pun kerap meng-adakan kompetisi sebagai pemacu industri lokal. Misal-nya, dengan diselenggarakan-nya Indonesia ICT Awards (Inaicta) dan Kadin Mobile Application and Animation Awards. “Tapi hanya sebatas itu. Belum sampai memberi grant dan men-support alat,” tambah Andi.

Ia beralasan pembuatan ani-masi memerlukan dana yang tidak sedikit. Bagi studio ani-masi kecil yang bertahan lewat bisnis, tampaknya sulit untuk membuat animasi televisi tanpa sokongan dana.

Proses pembuatan animasi juga rumit. Seperti layaknya membuat film, animasi me-libatkan banyak orang dengan profesi yang berbeda. Pertama ada scriptwriter dan sutradara yang menggarap ide cerita. Cerita yang dibuat itu lalu di-buat storyboard oleh seorang storyboard artist.

Setelah itu giliran ilustrator yang membuat gambar tokoh dalam cerita. Setelah karakter dibuat, seorang modeller dan texturer akan mempercantik tampilan karakter tersebut di layar komputer.

Lalu ada juga animator yang membuat gambar bergerak layaknya sebuah film. Hing-ga disempurnakan komposi-tor dan editor di tahap akhir. (*/M-1)

waktu sebulan dengan tarif awal Rp1 juta per detik.

“Kebanyakan klien lalu da-tang dengan sendirinya karena tahu kita menang kompetisi. Enggak ada strategi marketing khusus. Kita hanya memper-lihatkan kemampuan terbaik

kita,” ujar Marlin.Modal dan penghasilan yang

didapat lantas terus diputar untuk mengembangkan bis-nis mereka. Berawal dari tiga orang, kini Main Studio sudah bisa mempekerjakan 12 kar-yawan.

dan merchandise Hebring. Ani-masinya pun tak langsung masuk televisi atau bioskop, tetapi baru diputar dalam acara kompetisi atau festival film pendek dalam negeri.

“Butuh waktu yang lama untuk membuat sebuah karak-ter lebih dikenal publik. Keba-nyakan saat orang bikin karak-ter, mereka maunya langsung terkenal atau langsung masuk bioskop. Padahal siapa mau non ton animasi lokal yang be-lum dikenal?” ujar Marlin.

Masalah bujet juga jadi salah satu penghalang. Satu animasi berdurasi 3-5 menit memerlu-kan biaya yang tak sedikit. Pe ngeluarannya berkisar Rp35 juta untuk menggarap satu episode. Kebanyakan diguna-kan untuk membayar SDM yang profesional dan membeli alat-alat tambahan. “Jadi, harus pintar-pintar balancing juga, antara proyek bisnis dan idea-lis, supaya dua-duanya jalan,” tambah Marlin. (*/M-1)

[email protected]

Bisnis game developer itu jangka pendek menguntungkan. Tapi, tidak untuk jangka panjang.”