mh tipe mb - rft
DESCRIPTION
blahTRANSCRIPT
SMF/Laboratorium Ilmu Kulit dan Kelamin Tutorial Klinik
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER –
RELEASE FROM TREATMENT
Oleh :
Ayu Ambarsari
Noerwanty Yustitiana Ridwan
Hendry Purwanto
Sari Hestiyarini
Pembimbing :
dr. Agnes Kartini, Sp. KK
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD. Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun
yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan
istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini
sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 18741,2.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai
kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009
telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu
dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun
1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan,
kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun
telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan
sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga
gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya
stigma terhadap penyakit kusta3 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah
dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab,
pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun
dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan
testis dan sendi-sendi.1
2.2. Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai
dengan target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi
pada daerah tropis dan subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara,
Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia, India, Indonesia, Nepal, Nogeria,
Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak dimulai adanya MDT
pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar
di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa
Barat, Sulawesi Selaran, dan Irian Jaya.2,3
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan
perbandingan 2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun,
jarang terjadi pada bayi.1
2.3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat
obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram
positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman
ini memunyai afinitas terhadap makrofag dn sel Schwann, replikasi yang lambat di
sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan
iskemia, fibrosis, dan kematian akson. Mycobacterium leprae dapat bereproduksi
maksimal pada suhu 27°C – 30°C, tidak dapat dikultur secara in vitro,
menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik pada jaringan yang
lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, bilik mata depan,
2
saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila,
inguinal, kepala, garis tengah punggung.1-3
Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik,
memiliki kerentanan lepra dalam darah, kemiskinan (malnutrisi), dan kontak
dengan affected armadillos.1
2.4. Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT :tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : tuberkuloid indefinite
BT :borderline tuberculoid
BB :mid borderline bentuk yang labil
BL :borderline lepromatous
Li : lepromatosa indefinite
LL :lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil.
Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar,
yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline
atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah
tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT
maupun LL.2
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks
biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB
kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping.2
Table 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 ) 1
PB MB
3
1. Lesi kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus)
- 1-5 lesi- Hipopigmentasi/ eritema- Distribusi tidak simetris- Hilangnya sensasi jelas
- > 5 lesi- Distribusi lebih
simetris- Hilangnya sensasi
kurang jelas2. Kerusakan saraf
(menyebabkan hilangnya sensasi/ kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf
2.5. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. leprae dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering
adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan
melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit tergantung pada faktor
imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu yang rendah, waktu
regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraseluer yang terutama terdapat
pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwann di jaringan saraf. Bila M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh
akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan system imunitas seluler dengan
demikian makrofag idak mampumenghancurkan kuman, sehingga kumandapat
bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT, kemampuan fungsi imunitas seluler tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kumat
difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak
aktif, dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini
tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.
Sel Scwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di
samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas dalam sel
4
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivitas. Akibatnya aktivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.4
2.6. Diagnosis
Dianosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda cardinal (tanda
utama), yaitu :4
1. Bercak kulit yang mati rasa.
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total tau sebagian saja terhadap rasa
raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi.
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa disertai gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu :
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa.
b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis.
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, edema, pertumbuhan rambut
terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam.
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, paling sedikit harus ditemukan satu
tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah
3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Gambaran klinis penderita kusta berbeda antartipe, namun dalam
pemberian terapi, tipe kusta disederhanakan menjadi tipe pausibasiler (PB) dan
multibasiler (MB). Adapun gambaran klinis penyakit kusta ini disajikan dalam
table berikut.
Tabel 2. Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta PB
SIFAT TT BT I
Lesi :
5
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
Makula saja, makula
dibatasi infiltrat
Satu, dapat beberapa
Asimetris
Kering bersisik
Jelas
Biasanya Tak Jelas
Makula dibatasi
infiltrat
Beberapa, atau
satu dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
Tak Jelas
Hanya makula
Satu atau beberapa
Variasi
Halus agak berkilat
Jelas/tidak
Tidak ada sampai
tidak jelas
BTA :
Lesi kulit
Sekret hidung
Negatif
Banyak (ada globus)
Negatif/positif 1
Biasanya Negatif
Biasanya negatif
Negatif
Tes
Lepromin
Positif kuat (3+) Positif lemah Positi lemah sampai
negatif
Tabel 2. Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta-MB
SIFAT LL BL BB
Lesi :
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
Makula, Infiltrat
Difus, Papul, Nodul
Tidak terhitung,
praktis tidak ada
kulit sehat
Simetris
Halus Berkilat
Tidak Jelas
Biasanya Tak Jelas
Makula, Plakat,
Papul
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Hampir simetris
Halus Berkilat
Agak Jelas
Tak Jelas
Plakat, Dome
Shaped (Kubah),
Punched Out
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas ada
Asimetris
Agak Kasar/berkilat
Agak Jelas
Lebih Jelas
BTA :
Lesi kulit
Sekret hidung
Banyak (ada globus)
Banyak (ada globus)
Banyak
Biasanya Negatif
Agak Banyak
Negatif
6
Tes
Lepromin
Negatif Negatif Biasanya negatif
2.7. Pemeriksaan Pasien Kusta4
1. Anamnesis :
- Keluhan pasien
- Riwayat kontak dengan pasien
- Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi.
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga tanda
kerusakan kulit.
3. Palpasi
- Kelainan kulit. Kelainan ini dapat berupa nodus, infiltrat, jaringan parut,
ulkus, khususnya pada tangan dan kaki.
- Kulit kering. Dalam keadaan normal telapak tangan itu lembab. Bila M.
leprae telah merusak serabut saraf otonom dari kelenjar keringat pada
tangan tersebut, maka kulit itu akan menjadi kering.
- Pengecilan otot. Otot-otot yang tidak digunakan karena kerusakan saraf
motorik mengerut dengan cepat sekali. Hal ini disebut pengecilan otot.
Bandingkan tangan anda dengan tangan penderita. Periksalah terutama
telapak tangan pada pangkal ibu jari tangan (daerah thenar) dan pada
pangkal jari kelingking (daerah hypothenar). Pada bagian punggung tangan
perhatikan bagian antara ibu jari tangan dan pangkal jari telunjuk (ruang
pertama di antara tulang).
- Kelainan saraf. Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N.
Aurikularis magnus, N. Ulnaris, N. Peroneus dan N. Tibialis Posterior.
Harus diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada
waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi
7
dilakukan sedemikian rupa jangan sampai menyakiti atau pasien mendapat
kesan kurang baik. Pada pemeriksaan saraf tepi perlu diperhatikan, yakni :
Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
Membesar atau tidak
Pembesaran regular (smooth) atau iregular, bergumpal
Perabaan keras atau kenyal
Nyeri atau tidak
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal
dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak.
4. Tes Fungsi Saraf
a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa
perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang
diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu
petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya
dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari
telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas,
maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain/karton. Lesi di kulit dan bagian kulit lain yang dicurigai, perlu
diperiksa sensibilitsnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang sehat dan kulit
yang tersangka diserang Morbus Hansen. Bercak kulit harus diperiksa pada
bagian tengahnya, jangan dipinggirnya.
- Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum tusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam
dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan
tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
- Rasa Suhu
8
Dilakukan dengan menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas
(sebaiknya 40oC) yang lainnya air dingin. Lalu diminta pasien menetukan rasa
dingin (sebaiknya 20oC). mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu
bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
Sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal, untuk
memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.
Bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah
menyebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu pada daerah
tersebut terganggu.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
Morbus Hansen, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis
yaitu :
1. Tes dengan pensil tinta (Tes Gunawan)
Pinsil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai
ke daerah kulit normal.
2. Tes Pilokarpin
Daerah kulit pada macula dan perbatasannya disuntik dengan pilocarpin
subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat,
sedangkan daerah lesi tetap kering.
c. Tes Motoris (Voluntary Muscle Test)
- Pemeriksaan fungsi Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari Kelingking)
Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3 dan 4 tangan kanan
penderita dengan telapak tangan penderiita menghadap ke atas dan posisi
ekstensi (jari kelingking/5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan
pemeriksa).
Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dan jari-jari
lainnya. Bila penderita dapat melakukannya, minta ia menahan
kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya, dan kemudian ibu jari
pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking.
9
Penilaian :
Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh dan jari
lainnya berarti sudah lumpuh.
Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti
lemah.
Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongan pemeriksa, ibu jari bisa
maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa, berarti masih kuat.
- Pemeriksaan fungsi Saraf Medianus (Kekuatan otot Ibu Jari)
Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan
kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap ke atas, dan
dalam posisi ekstensi. Ibu jari penderita ditegakkan ke atas sehingga tegak
lurus terhadap telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk ke arah
hidung) dan penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.
Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari penderita yaitu dari bagian
batas antara punggung dan telapak tangan mendekati telapak tangan.
Penilaian:
Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat.
Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah.
Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh.
- Pemeriksaan fungsi Saraf Radialis (Pergelangan tangan)
Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan
penderita.
Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan kanan yang terkepal ke
atas.
Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi (ke atas) lalu dengan tangan
kanan pemeriksa menekan tangan penderita ke bawah ke arah fleksi.
Penilaian:
Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat.
Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah.
10
Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh (pergelangan tangan tidak bisa
ditegakkan ke atas).
- Pemeriksaan fungsi Saraf peroneus communis (Saraf Poplitea Lateralis)
Dalam keadaan duduk, penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan
tumit tetap terletak di lantai/ekstensi maksimal (seperti berjalan dengan
tumit).
Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa
dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita ke bawah/lantai.
Penilaian:
Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah.
Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan ke
atas).
2.8. Pemeriksaan Penunjang1
1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada
seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae.
Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset
dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang
paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga
biasanya didapati banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
Ridley. Nol (0) bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
11
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100
lapangan.
2. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS
nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,
makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak
dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan
M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak
dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan. 1
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu
12
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran
unsur – unsur tersebut.
3. Pemeriksaan Serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae,
yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD
serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan
serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji
ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick
(Mycobacterium Leprae dipstick).
4. Tes Lepromin
Merupakan tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi
Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila
terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)
pada tuberkolosis.
2.9. Pengobatan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan pengobatan penderita.7
13
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi
atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif
dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk
sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia hemolitik,
skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.7
Klofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Klofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K
ATPase. Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare,
nyeri lambung.7
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik.7
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus
untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn
kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk
penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan
oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan
menjadi :7
1. Pausibasiler (PB)
2. Multibasiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment.
Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus
obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi
kuman kusta dalam jaringan.1,7
Pausibasiler dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin
Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung Release From Treatment
(RFT). Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan
14
ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen
pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dengan pembesaran saraf diberikan
regimen pengobatan PB lesi (2-5).1,7
Tabel 4. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
(5-14 th)
300 mg 200 mg 50 mg
Pausibasiler dengan lesi 2 – 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan
selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From
Treatment) yaitu berhenti minum obat.1,7
Tabel 5. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hr diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum
di rumah
Multibasiler (BB, BL, LL) dengan lesi > 5. Lama pengobatan 12 dosis ini
bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,
dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat.1,7
Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB
selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.1,7
15
Tabel 6. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
Rifampicin Dapson Klofazimin
Dewasa 600 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hari
diminum di rumah
300 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
diminum di depan
petugas
50 mg/hari
diminum di rumah
150 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50
mg selang sehari
diminum di rumah
2.10. Reaksi Kusta
Dalam perjalanannya sebagai penyakit kronik pada kusta, sering timbul
suatu reaksi. Reaksi kusta adalah suatu keadaan hipersensitivitas akut atau subakut
yang merupakan komplikasi dari penyakit kusta yang masih aktif dan lebih sering
sebagai akibat dari pengobatan penyakit tersebut. Reaksi tersebut disebabkan oleh
respon imunitas pasien terhadap Mycobacterium leprae. Reaksi ini dapat terjadi
sebelum pengobatan, dalam masa pengobatan dan setelah pengobatan. Reaksi ini
terbagi atas dua bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe 2
(ENL). Reaksi tipe 1 umumnya dijumpai pada penderita kusta tipe non polar yaitu
Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB), dan Borderline Lepromatosa
(BL). Sedangkan reaksi tipe 2 umumnya timbul pada tipe polar yaitu Lepromatosa
(LL) dan dapat pula pada Borderline Lepromatous (BL).1,5
Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan
tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler
16
(SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas
humoral. 4
a. Reaksi Tipe I
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal
upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal
dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya
reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil.
Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal.
Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena
paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,
sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih
lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat
pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk
yang lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama
menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah
cukup 4.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang
melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak
pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum
(ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau
plakat, ukuran bermacam-macam, pada umumnya kecil, terdistribusi bilateral dan
17
simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat
pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri,
pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise.
Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi,
testis, dan limfe. 4
Tabel 7. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe I dan Tipe II 1,4
No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris2 Peradangan di
kulitBercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), dapat timbul bercak baru
Timbul nodul kemerahan, lunak, dan nyeri tekan.
Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi).3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya > 6 bulan.4 Tipe kusta PB atau MB MB5 Saraf Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
Dapat terjadi
6 Keterkaitan organ lain
Hampir tidak ada Terjadi pada mata, KGB, sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus Melahirkan
Obat yang meningkatkan
kekebalan tubuh
Emosi
Kelelahan dan stress
fisik lainnya
kehamilan
Tabel 8. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 1,4
No. Gejala /Tanda
Tipe I Tipe IIRingan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : merah, tebal, panas, nyeri.
Bercak : merah, tebal, panas, nyeri
yang semakin parah sampai
pecah.
Nodul : merah,panas, nyeri.
Nodul : merah, panas, nyeri
yang semakin parah sampai
pecah.
2. Saraf tepi Nyeri pada perabaan (-)
Nyeri pada perabaan (+)
Nyeri pada perabaan (-)
Nyeri pada perabaan (+)
18
3. Keadaan umum
Demam (-) Demam (+) Demam (+) Demam (+)
4. Keterlibatan organ lain
- - - +
2.10. Prognosis
Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa
pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang
menjadi TT. Sementara yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif.
Gejala yang timbul sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi. BT, BB, BL,
LLs bisa berkembang menjadi lebih buruk upgrade, sementara BT, BB dan BL
yang downgrading akan dapat sembuh sendiri. BL, LLs, dan LLp bisa
berkembang mejadi ENL.1,4-5
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis
3.1.1. Identitas Pasien :
Nama Pasien : Ny. Rohana
Usia : 43 tahun
Alamat : Jalan Sebuntal RT.018 Muara Badak
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan Terakhir : SD
Status Pernikahan : Menikah
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD. A. Wahab
Sjahranie pada tanggal 11 April 2014. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
dilakukan pada tanggal 11 April 2014.
3.1.2. Keluhan Utama
Kontrol pengobatan kusta.
3.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku telah menjalani pengobatan kusta dalam 1 tahun terakhir.
Selama menjalani pengobatan pasien mengaku tidak mengalami perburukan
gejala, bahkan gejala-gejala yang ada sebelum mengalami pengobatan diakui oleh
pasien telah menghilang.
Awal mulanya, ± 1,5 tahun yang lalu pasien mengeluhkan timbulnya
bercak-bercak berwarna putih pada lengan bawah kanannya. Awal mulanya
bercak tersebut tidak terlalu besar dan hanya berjumlah 1 buah, namun kelamaan
menjadi semakin besar dan berjumlah menjadi 3 buah. Bercak-bercak ini pun
kemudian ditemukan oleh pasien pada lengan bawah kiri, kedua tungkai bawah,
serta pada wajahnya. Pasien pun mengeluhkan bahwa dulunya bercak ini terasa
panas dan nyeri. Pasien tidak mengaku tidak mengalami mati rasa pada daerah
20
bercak-bercak tersebut, namun ia merasakan bahwa kedua tangan dan kakinya
sering terasa keram/kebas. Pasien mengaku tidak mengalami kerontokan pada
rambut alisnya.
Pasien awalnya mengira bahwa ia menderita penyakit panu, dan
mengobatinya dengan obat yang dibelinya sendiri di apotik. Karena tidak juga
mengalami perbaikan, pasien akhirnya berobat ke puskesmas. Setelah berobat di
Puskesmas pasien juga mengaku tidak ada perbaikan, sehingga pasien meminta
untuk di rujuk ke rumah sakit.
3.1.4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami riwayat penyakit serupa sebelumnya.
3.1.5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada keluarganya yang mengalami keluhan seperti
yang dialami oleh pasien.
3.1.6. Riwayat Sosioekonomi
Pasien tidak bekerja. Pasien tinggal bersama suami, anak-anak serta cucu-
cucunya.
3.2. Pemeriksaan Fisik
3.2.1. Status Generalisata
Keadaan umum : tampak sehat
Kesadaran : composmentis, E4V5M6
Tanda-Tanda Vital :
• Frekuensi nadi : 110 x/menit
• Tekanan Darah : 110/80 mmHg
• Frekuensi napas : 24 x/menit
• Suhu aksiler : 36,8 ⁰C
21
Kepala / Leher
• Rambut berwarna hitam, bentuk kepala normal.
• Edema pre orbita (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (+), refleks cahaya (+/+).
• Penebalan cuping telings (+/+).
• Facies Leonina (-)
Thoraks
Jantung
• Inspeksi iktus kordis tidak tampak
• Palpasi iktus kordis tidak teraba.
• Perkusi Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra. Batas kanan : ICS
IV linea para sternalis dextra.
• Auskultasi S1S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)
Pulmo
• Inspeksi bentuk dada normal, pergerakan nafas dinding kiri dan kanan
tampak simetris.
• Palpasi pergerakan nafas dinding kiri dan kanan teraba simetris.
• Perkusi sonor pada lapang paru dektra dan sinistra.
• Auskultasi suara nafas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen
• Inspeksi flat, distensi abdomen (-), massa (-).
• Auskultasi bising usus (+) normal
• Palpasi soefl, nyeri tekan abdomen (-), organomegali (-).
• Perkusi timpani.
Ektremitas
CTR < 2, akral hangat, paresis (-), atropi otot (-).
22
3.2.2. Status Dermatologis
Lokasi : regio maksilaris, antebrachii dektra & sinistra,
regio cruris dektra & sinistra, regio dorsum manus
dektra dan sinistra.
Efloresensi : tampak makula hiperpigmentasi sirkumskrip,
dengan ukuran numular hingga plakat, punch-out
lesions (+). Jumlah lesi lebih dari 5 lesi.
3.2.3. Pemeriksaan Fisik Tambahan
Pemeriksaan Saraf Tepi
N. Aurikularis Magnus : pembesaran (-), nyeri (-).
N. Ulnaris : pembesaran (-), nyeri (-).
N. Paroneus Lateralis : pembesaran (-), nyeri (-).
Pemeriksaan Fungsi Saraf
Fungsi Sensoris :
Tidak ada kelainan sensasi raba dan nyeri pada daerah lesi.
Pasien tidak mengalami anastesi pada 4 titik di palmar dan plantar dekstra
dan sinistra.
Pemeriksaan sensorik pada reflek kornea pasien +/+.
Fungsi Motorik
Otot abduktor digiti minimi (saraf ulnaris) gerakan motorik normal.
Otot abduktor policis brevis (saraf median) gerakan motorik normal.
Otot ektensor carpi radialis longus, ektensor carpi radialis brevis, ektensor
carpi ulnaris, ektensor digitorum (saraf radialis) gerakan motorik
normal.
Saraf common peroneal gerakan motorik normal.
Saraf posterior tibial gerakan motorik normal.
3.3. Diagnosis Kerja
MH tipe MB Release from Treatment.
23
3.4. Usulan Pemeriksaan
Pemeriksaan bakterioskopik.
Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal.
3.5. Usulan Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien ini, dapat ditindaklanjuti berdasarkan
gejala klinis serta pemeriksaan bakterioskopis. Pada pasien ini, keluhan-
keluhan yang ada sebelum pengobatan dirasakan telah menghilang serta tidak
ada lagi lesi-lesi baru yang timbul, dan pemeriksaan baktrioskopik pun
diusulkan pada pasien ini. Penatalaksanaan selanjutnya, tergantung pada hasil
pemeriksaan baterioskopik. Apabila pada pemeriksaan bakterioskopik
hasilnya masih positif, maka terapi regimen MDT-MB tetap dilanjutkan,
hingga hasilnya pemeriksaan bakterioskopiknya negatif. Adapun regimen
MDT-MB adalah sebagai berikut.
1. Dapson 100 mg/hari
2. Rifampisin 600 mg/bulan (diawasi)
3. Klofazimin 50 mg/hari dan 300 mg/bulan (diawasi)
Selama pengobatan dilakukan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan
dan pemeriksaan bakteriostatik setiap 3 bulan.
Apabila pada pasien ini menunjukkan hasil pemeriksaan
bakterioskopik yang negatif, maka dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa
pengobatan secara klinis dan bakteriokopis minimal setiap tahun selama
minimal 5 tahun.
3.6. Prognosis
Ad Vitam : bonam.
Ad Sanationam : dubia at bonam.
Ad Cosmetican : dubia at bonam.
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Tutorial kasus dilakukan terhadap pasien wanita berusia 43 tahun, yang
datang dengan keluhan utama berupa kontrol pengobatan kusta. Pada pasien ini
ditegakkan diagnosis Morbus Hansen tipe Multibasiler MB – Release from
Treatment (RFT), berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisiknya.
Dari data pasien yang diperoleh melalui anamnesis, diketahui bahwa pasien
adalah seorang wanita yang berusia 43 tahun. Menurut kepustakaan, kusta lebih
banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan 2:1,
dengan insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun.1 Walaupun pada
kasus ini, penderita adalah seorang wanita, tidak menutup kemungkinan bahwa
penyakit kusta dapat mengenai wanita.
Diagnosis kusta pada pasien ini, salah satunya diperoleh melalui anamnesis,
yang mana sebelum menjalani pengobatan pasien mengeluhkan timbulnya bercak-
bercak berwarna putih pada lengan bawah kanannya. Awal mulanya bercak
tersebut tidak terlalu besar dan hanya berjumlah 1 buah, namun kelamaan menjadi
semakin besar dan berjumlah menjadi 3 buah. Bercak-bercak ini pun kemudian
ditemukan oleh pasien pada lengan bawah kiri, kedua tungkai bawah, serta pada
wajahnya. Pasien pun mengeluhkan bahwa dulunya bercak ini terasa panas dan
nyeri, serta ia merasakan bahwa kedua tangan dan kakinya sering terasa
kebas/baal. Menurut kepustakaan, kusta adalah penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae, yang dapat menyerang saraf tepi
(primer), kulit, dan organ tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.1,4-6 Kelainan
pada saraf tepi dapat bersifat sensorik, motorik dan otonomik. Sensorik biasanya
berupa hipoestesi ataupun anstesi pada lesi kulit yang terserang, dapat pula
anastesia yang simetris pada kedua tangan dan kaki (gloves and stocking
anaestesia). Kelainan motorik dapat berupa kelemahan pada ektremitas atas,
bawah, otot wajah dan otot mata. Kelainan saraf otonom menyebabkan lesi yang
terserang tampak lebih kering karena mengenai kelenjar keringat. Pada kulit,
kelainannya dapat berupa bercak hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi, yang
dirasakan oleh pasien sebagai sebagai daerah yang mati rasa/tebal.1,4-6
25
Pada pasien ini, keluhan-keluhan yang dipaparkannya telah sesuai dengan
kepustakaan, yakni adanya bercak-bercak keputihan pada beberapa bagian
tubuhnya, yang dari kepustakaan merupakan salah satu manifestasi dari kelainan
kulit pada penderita kusta. Keluhan ini disertai dengan adanya rasa kebas/baal
pada kedua tangan dan kakinya yang pada kepustakaan merupakan salah satu
manifestasi dari kelainan saraf tepi yang terjadi.
Adapun keluhan rasa panas dan nyeri pada bercak-bercak yang timbul di
kulit pasien, meskipun tidak sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan
bahwanya bercak tersebut biasanya diikuti dengan keluhan mati rasa; namun
adanya suatu reaksi kusta dapat menimbulkan keluhan tersebut. Reaksi kusta
adalah suatu keadaan hipersensitivitas akut atau subakut yang merupakan
komplikasi dari penyakit kusta yang masih aktif dan lebih sering sebagai akibat
dari pengobatan penyakit tersebut. Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan,
dalam masa pengobatan dan setelah pengobatan. Reaksi ini terbagi atas dua
bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe 2 (ENL). Pada pasien
ini, reaksi kusta yang terjadi merupakan reaksi reversal ringan, yang pada
kepustakaan ditandai dengan bercak yang ada menjadi semakin aktif (dapat
berupa eritematus, tebal, disertai dengan rasa panas dan nyeri pada bercak), dan
biasanya keadaan umum pasiennya masih baik.1,4-5
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini, status generalisata
didapatkan dalam batas normal. Status dermatologis dengan lokalisasi regio
maksilaris, antebrachii dektra & sinistra, regio cruris dektra & sinistra, regio
dorsum manus dektra dan sinistra; tampak efloresensi berupa multipel makula
hiperpigmentasi sirkumskrip yang lebih dari 5 lesi, dengan ukuran numular
hingga plakat, dan beberapa punch-out lesion. Temuan klinis ini sesuai dengan
kepustakaan yang memaparkan bahwa kelainan kulit pada penderita kusta dapat
terjadi pada regio mana saja, dan efloresensinya dapat berupa makula
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi yang dibatasi dengan infiltrat, papul, plak
eritema, ataupun berupa nodus. Lesi ini dapat timbul dengan jumlah 1-5 pada tipe
pausibasiler dan lebih dari 5 lesi pada tipe multibasiler. Selain itu, distribusi lesi
pun dapat bervariasi, pada tipe kusta pausibasiler dapat ditemukan lesi yang
terdistribusi secara tidak simetris, berbeda pada tipe multibasiler yang cenderung
26
terdistribusi lebih simetris.4 Dari gambaran klinis lesi pada pasien ini, diagnosis
kusta tipe multibasiler dapat disimpulkan.
Pemeriksaan fisik yang lain, yang dilakukan pada pasien ini ialah
pemeriksaan terhadap penebalan saraf tepi, pemeriksaan pada fungsi sensorik dan
motorik. Hasil pemeriksaannya adalah dalam batas normal, yakni tidak ada
penebalan pada saraf tepi yang diperiksa, tidak ada kelainan sensibilitas rasa raba
dan nyeri pada lokasi bercak, serta fungsi motorik pasien baik. Temuan ini
mungkin terkait dengan pengobatan yang telah dilakukan oleh pasien.
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini telah dilakukan 1 tahun lalu untuk
menunjang penegakkan diagnosis. Hasil dari pemeriksaan didapatkan indeks
bakteri (IB) 3+ dan indeks morfologi (IM) 74%. Berdasarkan kepustakaan, IB
merupakan penilaian terhadap kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan
nonsolid pada sebuah sediaan. Sedangkan IM merupakan penilaian untuk
memperkirakan proporsi kuman yang hidup diantara seluruh kuman. Adapun
manfaat dari pemeriksaan bakterioskopik ini ialah untuk membantu menegakkan
diagnosa penyakit, membantu menentukan tipe kusta (dimana pada tipe PB
pemeriksaan bakterioskopik cenderung menunjukkan hasil negatif, sedangkan
pada tipe MB cenderung menunjukkan hasil positif), menilai respon pengobatan,
menilai end-point pengobatan pada pasien MB, dan membantu menentukan
prognosis.7 Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang ini, diagnosis kusta tipe MB
dapat ditegakkan.
Pada pasien ini, pemeriksaan bakterioskopik ulang diusulkan untuk
mengetahui respon pengobatan serta menentukan tatalaksana selanjutnya. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan yang telah dijelaskan sebelumnya.1 Tes fungsi hati dan
ginjal pun diusulkan pada pasien ini, mengingat rejimen MDT-MB bersifat
hepatotoksik, serta nefrotoksik.
Penatalaksanaan pada pasien ini, dapat ditindaklanjuti berdasarkan
gejala klinis serta pemeriksaan bakterioskopis.1 Pada pasien ini, keluhan-
keluhan yang ada sebelum pengobatan dirasakan telah menghilang serta tidak
ada lagi lesi-lesi baru yang timbul, dan pemeriksaan bakterioskopik pun
diusulkan pada pasien ini. Penatalaksanaan selanjutnya, tergantung pada hasil
pemeriksaan bakterioskopik. Apabila pada pemeriksaan bakterioskopik
27
hasilnya masih positif, maka terapi regimen MDT-MB tetap dilanjutkan,
hingga hasilnya pemeriksaan bakterioskopiknya negatif. Adapun regimen
MDT-MB adalah sebagai berikut.1,7
1. Dapson 100 mg/hari
2. Rifampisin 600 mg/bulan (diawasi)
3. Klofazimin 50 mg/hari dan 300 mg/bulan (diawasi)
Selama pengobatan dilakukan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
pemeriksaan bakteriostatik setiap 3 bulan.
Apabila pada pasien ini menunjukkan hasil pemeriksaan bakterioskopik
yang negatif, maka dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara
klinis dan bakteriokopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Usulan
yang diberikan ini telah sesuai dengan kepustakaan yang ada.1
Pasien ini, untuk sementara disimpulkan sebagai release from treatment
(RFT) mengingat telah menyelesaikan pengobatannya selama 12 bulan.
Berdasarkan kepustakaan, pasien dikatakan sebagai RFT apabila telah
menyelesaikan waktu lazim dari pengobatannya, dimana untuk kusta tipe MB
lama pengobatan dengan rejimen MDT-MB adalah 12 bulan.7
Prognosis pada pasien ini secara vitam adalah baik, secara sanationam
adalah cenderung baik, dan secara kosmetikan cenderung baik.
28
BAB V
PENUTUP
Seorang wanita berusia 43 tahun datang dengan keluhan utama kontrol
pengobatan kusta. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta hasil
pemeriksaan penunjang sebelumnya ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah
MH tipe MB – RFT. Untuk penatalaksaanaan selanjutnya pada pasien ini, akan
dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang yang diusulkan.
Secara umum, penegakan diagnosis, alur penatalaksanaan sudah sesuai
dengan literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini berdasarkan perjalanan
penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkan adalah dubia at bonam.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88
2. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007; 665-
71
3. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008; 1789-96
4. Amirudin Dali M., Hakim Zainal, Darwis Emil. Diagnosis penyakit Kusta.
Dalam : Emmy S. Sjamsoe-Dili, Menaldi L. Sri, Ismiarto P. Srie, Nilasari
Hanny. (ed). Kusta Edisi II. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2003.
5. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kusta. Makassar: Penerbit Hasanuddin
University Press. 2003; 101-13.
6. Murtiastutik Dwi, Ervianti Evy, Agusni Indropo, Suyoso Sunarso. (ed).
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi II. Surabaya : Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair. 2011; 43-56.
7. S. Soebono Hardyanto, Suhariyanto Bambang. Pengobatan Penyakit Kusta.
Dalam : Emmy S. Sjamsoe-Dili, Menaldi L. Sri, Ismiarto P. Srie, Nilasari
Hanny. (ed). Kusta Edisi II. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2003.
30
LAMPIRAN FOTO
31