mfc enkapsulasi
TRANSCRIPT
Teknik immobilisasi sel dapat digambarkan sebagai pembatasan gerak fisik atau lokalisasi dari
sel pada suatu wilayah ruang dengan preservasi aktivitas katalis yang diinginkan. Keunggulan
teknik immobilisasi sel yaitu dapat meningkatkan produktivitas volumetrik, meningkatkan
konsentrasi produk dalam aliran keluaran, mampu menurunkan konsentrasi substrat dalam aliran
keluaran, dan mencegah terjadinya wash out pada aliran keluar produk (Widjaja, dkk. 2010)
Widjaja, Tri, Natalia Hariani, R. Darmawan, dan Setiyo Gunawan. 2010. Teknologi Immobilisasi
Sel Ca-Alginat Untuk Memproduksi Etanol Secara Fermentasi Kontinyu Dengan Zymomonas
Mobilis Termutasi. Surabaya: Seminar Rekayasa Kimia dan Proses.
Tinjauan Pustaka
Enkapsulasi adalah proses atau teknik untuk menyalut inti yang berupa suatu senyawa
aktif padat, cair, gas, ataupun sel dengan suatu bahan pelindung tertentu yang dapat mengurangi
kerusakan senyawa aktif tersebut. Enkapsulasi membantu memisahkan material inti dengan
lingkungannya hingga material tersebut terlepas ke lingkungan. Material inti yang dilindungi
disebut core dan struktur yang dibentuk oleh bahan pelindung yang menyelimuti inti disebut
sebagai dinding, membran, atau kapsul (Kailasapathy, 2002, Krasaekoopt dkk, 2003). Kapsul
merupakan bahan semipermeabel, tipis, berbentuk bulat dan kuat dengan diameter bervariasi dari
beberapa mikrometer hingga millimeter (Anal dan Singh, 2007).
Enkapsulasi dapat dilakukan pada bakteri probiotik untuk memberikan perlindungan
terhadap bakteri probiotik dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti panas dan
bahan kimia (Frazier dan Westhoff 1998). Enkapsulasi probiotik telah banyak dilakukan untuk
meningkatkan ketahanan atau viabilitas sel probiotik selama proses pembuatan produk dan
penyimpanan (Homayouni dkk, 2008, Capela, 2006; Krasaekoopt dkk, 2003), serta
meningkatkan ketahanan selama dalam jalur pencernaan (pH rendah dan cairan empedu)
(Sultana dkk, 2000, Picot dan Lacroix, 2004, Mandal dkk, 2006, Castilla dkk, 2010). Enkapsulasi
beberapa kultur bakteri termasuk probiotik dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dan
mengubah menjadi bentuk serbuk agar lebih mudah dalam penggunaan (Krasaekoopt dkk, 2003).
Enkapsulasi probiotik dapat diaplikasikan untuk produksi kultur starter susu fermentasi
dan produksi makanan4minuman probiotik yang menekankan aspek peningkatan viabilitas sel
dalam produk dan saluran pencernaan, serta untuk meningkatkan sifat sensorik produk
(Mortazavian dkk, 2007). Sifat membran atau kapsul harus disesuaikan dengan tujuan
penggunaan probiotik terenkapsulasi pada suatu produk. Membran dirancang untuk melindungi
sel dan dapat melepaskan sel dengan laju pelepasan yang terkontrol pada kondisi yang spesifik
serta memungkinkan terjadinya difusi molekul yang berukuran kecil (sel, metabolit dan substrat)
melintasi membran (Vidyalakshmi dkk, 2009). Sifat membran tersebut sangat bergantung pada
teknik enkapsulasi dan jenis bahan yang digunakan (Kailasapathy, 2002, Krasaekoopt dkk, 2003,
Mortazavian dkk, 2007, Vidyalakshmi dkk, 2009).
Teknologi untuk enkapsulasi probiotik dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1)
Enkapsulasi probiotik di dalam larutan bahan pengkapsul, 2) Pengeringan larutan bahan
pengkapsul (Mortazavian dkk, 2007). Tahapan enkapsulasi probiotik dapat dilakukan dengan dua
teknik, yaitu ekstrusi dan emulsi (Krasaekoopt dkk, 2003). Teknik ekstrusi dilakukan dengan
cara menambahkan mikroorganisme probiotik ke dalam larutan hidrokoloid natrium alginat,
kemudian diteteskan ke dalam larutan pengeras (CaCl2) menggunakan syringe sehingga
terbentuk beads. Ukuran dan bentuk beadsyang dihasilkan bergantung pada diameter jarum dan
jarak tetes jarum dengan larutan CaCl2 (Krasaekoopt dkk, 2003).
Berbeda dengan teknik ekstrusi, teknik emulsi dilakukan dengan menyuspensikan
sebagian kecil polimer (alginat) ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak bunga
matahari, minyak conola, atau minyak jagung, kemudian dihomogenisasi dalam bentuk water in
oil (w/o). Emulsi tersebut akan membentuk droplet. Ukuran beads pada metode emulsi
ditentukan oleh ukuran droplet emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat dikontrol
dengan kecepatan pengadukan saat emulsifikasi (Krasaekoopt dkk, 2003). Kelebihan dan
kekurangan teknik ekstrusi dan emulsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan Teknik Ekstruksi dan Emulsi (Krasaekoopt dkk, 2003)
Ekstruksi Emulsi
Kelayakan Teknologi Sulit Untuk Meningkatkan
Skala Produksi
Mudah Untuk Meningkatkan
Skala Produksi
Biaya Rendah Tinggi
Kemudahan Mudah Sulit
Ketahanan Mikroorganisme 80-95% 80-95%
Ukuran Bead 2-5 mm 25 µm – 2 mm
Pada penelitian ini, kami menggunakan enkapsulasi teknik ekstruksi dikarenakan cara
pembuatannya mudah dan kualitasnya sama dengan teknik emulsi.
Metode Penelitian
BAHAN PENGKAPSUL
Biopolimer yang paling sering digunakan untuk enkapsulasi bakteri probiotik adalah
alginat. Keuntungan penggunaan alginat sebagai bahan pengkapsul adalah tidak toksik,
membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat menjerap material sensitif seperti sel
bakteri probiotik, serta sel dapat release (Kailasapthy, 2002).
Alginat tergolong salah satu contoh hidrokoloid alami. Alginat merupakan kopolimer
rantai lurus dari residu asam β4(144)4D4manuronat (M) dan asam α4(144)4L4guloronat (G)
yang membentuk homopolimer M atau G dan blok heteropolimer MG (Cardenas dkk, 2008).
Struktur molekul alginat dapat dilihat pada Gambar 2. Alginat telah digunakan secara luas untuk
enkapsulasi probiotik skala laboratorium (Rokka dan Rantamäki, 2010). Garam alginat larut
dalam air, tetapi mengendap dan membentuk jel pada pH lebih rendah dari tiga. Alginat dapat
membentuk jel (formasi egg-box), film, manik (beads), pelet, mikropartikel, dan nano partikel
(Sarmento, 2007).
Gambar 1. Struktur molekul natrium alginat
Penambahan kation divalen (misalnya Ca2+) yang berfungsi sebagai penaut silang antar
molekul alginat, akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi yang akan membentuk jel matriks
kalsium alginat. Kapsul kalsium alginat sangat berpori yang memungkinkan air dapat berdifusi
keluar masuk matriks (Rokka dan Rantamäki, 2010). Ikatan yang terbentuk antara Ca2+ dengan
alginat dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Pengaruh kation Ca2+ terhadap struktur alginate
Penggunaan alginat sebagai bahan enkapsulasi sering dikombinasikan dengan bahan
lainnya, diantaranya dengan penambahan prebiotik (Hi4Maize) (Sultana dkk, 2000, Homayouni
dkk, 2008), terigu dan polard (Widodo dkk, 2003) sebagai bahan pengisi (filler), chitosan
sebagai coating (Krasaekoopt dkk, 2003), dan pektin untuk membentuk kompleks alginate 4
pektin yang lebih kuat (Castilla dkk, 2010).\
Bakteri Lactobacillus bulgaricus yang dilarutkan dalam air hangat sampai 50 ml
dicampur dengan Na alginate 4% lalu diteteskan dengan jarum suntik ke dalam CaCl2 2%.
Tetesan alginate akan memadat selama kontak dengan CaCl2 dan membentuk suatu bead dan
menjerat sel ragi. Bead dibiarkan mengeras selama 30 menit lalu disaring dan dicuci dengan
0,85% NaCl. Kemudian bead disimpan pada T=40C sampai 0,25% larutan ekstrak ragi sampai
bead itu digunakan.
Gambar 3. Diagram alir enkapsulasi bakteri dengan teknik ekstruksi (Krasaekopt dkk, 2003)
Anal AK, Singh H. 2007. Recent advances in microencapsulation of probiotics for industrial
applications and targeted delivery. Trends in Food Sci Tech 18: 240-251.
Capela P. 2006. Use of cryoprotectants, prebiotics and microencapsulation of bacterial cells in
improving the viability of probiotic organisms in freeze-dried yoghurt[thesis]. Australia:
School of Molecular Sciencies, Victoria University.
Cárdenas R, Chávez M, González JL, Aley P, Espinosa J & Jiménez-García LF. 2008. Oocyte
structure and ultrastructure in the Mexican silverside fish Chirostoma humboldtianum
(Atheriniformes: Atherinopsidae). Rev. Biol. Trop. 56: 1825-1835.
Castilla OS, CL Calleros, HS Garcia G, JA Ramirez, EJ Vernon C. 2010. Textural properties of
alginat-pectin beads and survivability of entrapped Lb. casei in simulated gastrointestinal
condition and in yoghurt. Food Res Int 43:111-117.
Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1998. Food Microbiology 4th ed. Mc Graw-Hill Book Co,
Singapore.
Homayouni A, A Azizi, MR Ehsani, MS Yarman, SH Razavi. 2008. Effect of
microencapsulation and resistant starch on the probiotic survival and sensory properties
of symbiotic ice cream. Food Chemistry 111: 50-55
Kailasapathy, K. 2002. Microencapsulation of probiotic bacteria: technology and potential
applications. Curr. Issues Intest. Microbiol. 3:39-48. www.PubMed.gov
Kolida, S., K. Tuohy, and G. R. Gibson. 2002. Prebiotic effects of inulin and oligofructose. Br. J.
Nutr. 87(Suppl. 2):S193-S197. www.PubMed.gov
Krasaekoopt, W., Bhandari, B., Deeth, H. 2003. Evaluation of encapsulation techniques of
probiotics for yoghurt. International Dairy Journal.
Mandal S, AK Puniya, K.Sigh. 2006. Effect of alginat concentration on survival of
microencapsulated Lactobacillus casei NCDC-298. Int. Dairy J 16: 1190-1195.
Mortazavian, A., S.H. Razavi, M.R. Ehsani and S. Sohrabvandi. 2007. Principles and Methods of
Microencapsulation of Probiotic Microorganisms. Irianian Journal of Biotechnology. Vol
5. No. 1:1-18.
Picot A dan Lacroix C. 2004. Encapsulation of Bifidobacteria in whey protein based
microcapsules and survival in simulated gastrointestinal conditions and in yoghurt.
International Dairy J 14: 505–515.
Rokka, S dan Pirjo Rantamaki. 2010. Protecting probiotic bacteria by microencapsulation:
chalange for industrial application. Eur food Res Technol 231: 1-12
Sarmento. 2007. Alginate/chitosan nanoparticles are effective for oral insulin delivery.
Pharmaceutical research 24(12): 2198-2206.
Sultana, K., G. Godward, N. Reynold, R. Arumugaswamy, P. Peiris and K. and K. Kailsapathy.
2000. Encapsulation of probiotic bacteria with alginat-starch and evaluation of survival in
simulated gastrointestinal condition and in yoghurt. J. Food Microbiology 62 : 47-55.
Sultana, K., G. Godward, N. Reynold, R. Arumugaswamy, P. Peiris and K. Kailsapathy. 2000.
Encapsulation of probiotic bacteria with alginat-starch and evaluation of survival in
simulated gastrointestinal condition and in yoghurt. J. Food Microbiology 62: 47-55.
Vidhyalakshmi, R, Babu, P. D, dan R. Bhakyaraj. 2009. A Low Cost Nutritious Food.
“Tempeh”- A Review. World Journal of Dairy & Food Sciences 4 (1): 22-27.
Widodo, Soeparno dan E. Wahyuni. 2003. Bioenkapsulasi probiotik (Lactobacillus casei) dengan
pollard dan tepung terigu serta pengaruhnya terhadap viabilitas dan laju pengasaman. J.
Teknol. Ind. Pangan. 14(2) : 98-106