mewujudkan pendidikan multikultural di indonesia
DESCRIPTION
Di tulis oleh:afandiTRANSCRIPT
MEWUJUDKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
(SEBUAH KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI BERBAGAI
NEGARA)
Oleh : Afandi
Program Pascasarjana Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
Pendahuluan
Sedikitnya selama tiga dasawarsa terakhir, kebijakan yang sentralistis dan
pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan
masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang
muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Sejarah menunjukkan,
pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang
bagi umat manusia. Di Indonesia sendiri, konflik kekerasan yang melibatkan
suku, agama, ras dan golongan (SARA) masih sering terjadi. Berbagai peristiwa
berdarah seperti di ambon, poso, sampit, sambas dan berbagai daerah lainnya
memberikan gambaran betapa rentannya gesekan yang terjadi akibat adanya
perbedaan pandangan, pola hidup dan gesekan kebudayaan antara masyarakat
mayoritas dan minoritas.
Rapuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara serta pengakuan atas hak-hak
asasi manusia saat ini mendorong munculnya gerakan pengakuan dan persamaan
akan keragaman budaya serta eksistensinya di dalam masyarakat yang dikenal
dengan istilah multikulturalisme. Secara sederhana multikulturalisme dapat
dipahami sebagai sikap bagaimana masing-masing kelompok bersedia untuk
menyatu (integrate) tanpa mempedulikan keragaman budaya yang dimiliki.
Mereka semua melebur, sehingga pada akhirnya ada proses “hibridisasi” yang
meminta setiap individu untuk tidak menonjolkan perbedaan masing-masing
kultur (Ramly, 2005).
Wawasan Makro Pendidikan 1
Sebuah kesadaran akan pentingnya multikulturalisme tersebut hanya dapat
berkembang dengan baik apabila secara terus-menerus dilatihkan dan dididikkan
pada generasi-generasi selanjutnya melalui pendidikan. Dengan pendidikan, sikap
saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi penerus
dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya
lain. Oleh karena pendidikan multicultural sangat diperlukan untuk mengatasi
berbagai konflik horizontal, seperti keragaman suku, ras dan agama serta konflik
vertical seperti tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial budaya bangsa Indonesia.
Peran pendidikan di dalam multikulturalisme hanya dapat dimengerti di
dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi
disiplin-disiplin yang lain seperti agama, social science, antropologi, sosiologi
dsb. Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis
pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta
pengembangan yang meminta partisipasi antar disiplin. Pendidikan multikultural
dapat dijadikan sarana untuk mengikis perbedaan-perbedaan yang dapat menjadi
buah bagi adanya perpecahan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut mendorong
penulis memilih topic ”Mewujudkan Pendidikan Multikultural di Indonesia:
Sebuah Kajian Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara”
Multikulturalisme
Secara epistemologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak),
kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Menurut Suparlan (2002) akar kata
dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Multikulturalisme pada
dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas
keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia
yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azra, 2007).
Parekh (2000) membedakan lima macam bentuk multikulturalisme yaitu:
Wawasan Makro Pendidikan 2
1. Multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di
mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan
terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh
kelompok ini, seperti masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki
Usmani atau masyarakat ”Amish” di AS. Kelompok ini menerima
keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan
budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya. Di
Indonesia, multikulturalisme isolasionis dapat ditemui pada masyarakat
Madura di Kalimantan.
2. Multikulturalisme akomodatif, masyarakat plural yang memiliki kultur
dominan, membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi
kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif
merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-
ketentuan sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada
kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan mereka, sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur
dominan. Model ”multikulturalisme akomodatif” ini dapat ditemukan di
Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.
3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-
kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality)
dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam
kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Fokus pokok
kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan
cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok
dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha
menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis
sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme ini didukung misalnya oleh
kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok Muslim
imigran di Eropa, yang menuntut untuk dapat menerapkan syari`ah,
mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan sebagainya.
Wawasan Makro Pendidikan 3
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, masyarakat plural di mana
kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan
kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang
mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini,
dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan
mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas.
Itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur
dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan
menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama
sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis
multikulturalisme, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat Kulit
Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapuskan ”batas-batas
kultural” sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana
setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu
dan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen
interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-
masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini yang sebagian besar
adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang
memiliki kecenderungan postmodernist dan memandang seluruh budaya
sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.
Pendidikan Multikultural
Dimensi pendidikan multikultural memiliki perbedaan dengan pendidikan
kebudayaan. Seringkali orang terjebak pada rumusan-rumusan peristilahan tampa
tau asal-muasalnya sehingga memperoleh definisi yang berbeda dengan tujuan
pendidikan multikultural itu sendiri. Seringkali orang terjebak pada mencari-cari
rumusan kultur itu apa, dan multikultur itu apa, lalu pendidikan multikultur
disimpulkan daripadanya. Dengan kata lain, disimpulkanlah bahwa pendidikan
multikultur itu sebagai upaya mengajarkan berbagai macam kultur Indonesia,
Wawasan Makro Pendidikan 4
mulai dari bahasa, lagu, pakaian, dsb. Sehingga konsep dasar pendidikan
multikultural itu sendiri menjadi bias dan tidak mencapai tujuan yang diharapkan.
Pendidikan multikultural itu awalnya merupakan gerakan reformasi
pendidikan di Amerika Serikat dalam rangka meniadakan (setidaknya
mengurangi) diskriminasi rasial dan etnis serta kultur yang melekat padanya, dan
berupaya agar semua orang bisa memperoleh kesempatan yang setara untuk
mendapatkan pendidikan. Menurut Banks (2002) pendidikan multikultural
merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang
mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk
gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari
individu, kelompok, maupun negara.
Menurut HAR Tilaar (2004), pendidikan multikultural berawal dari
berkembangnya gagasan kesadaran tentang ”interkulturalisme” seusai PD II.
Kemunculan gagasan dan kesadaran ”interkulturalisme” ini, selain terkait dengan
perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari
kolonialisme dan diskriminasi rasial, juga meningkatkan pluralitas di negara-
negara barat sendiri akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru
merdeka di Amerika dan Eropa.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global
sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa yang
memuat 3 pesan utama yakni: Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan
kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam
kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta
mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama
dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan
mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang
memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan
masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan
menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan
hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran
Wawasan Makro Pendidikan 5
peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih
kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi menjadi landasan
pendidikan multikultural dalam memfasilitasi pengalaman pendidikan agar semua
siswa dapat mewujudkan semua potensinya secara penuh dan menjadikannya
sebagai manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, maupun global.
Sehingga pendidikan multikultural dapat dikatakan sebagai suatu gerakan
pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara
untuk seluruh siswa.
Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan
lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, Menurut Banks (2002)
pendidikan multikultural setidaknya harus memiliki prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1. Pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan
menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa
memandang latar belakang yang ada.
2. Pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran
(kelas) dan kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak bisa
dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang
komprehensif.
3. Pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang
komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem
kekuasaan untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam
pendidikan.
4. Tujuan pendidikan multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa
jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai prestasi maksimal
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
5. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh
siswa, tanpa memandang latar belakangnya.
Lebih lanjut Banks (2002) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural
memiliki beberapa dimensi yang berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Dimensi
Wawasan Makro Pendidikan 6
pertama (Contents Integration), yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata
pelajaran atau disiplin ilmu. Dimensi kedua (The Knowledge Construction
Process), yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam
sebuah mata pelajaran (disiplin). Dimensi ketiga (An Equity Paedagogy), yaitu
menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka
memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya
(culture) ataupun sosial (social). Dimensi keempat (Prejudice Reduction), yaitu
mengidentifikasi karakteristik ras siswa yang menentukan metod pengajaran
mereka. Dimensi kelima yakni melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam
kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis
dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.
Oleh karena itu, pendidikan multikultural bertujuan memperluas bukan
hanya toleransi terhadap budaya yang berbeda, tetapi lebih jauh dari itu adalah
mengembangkan mutual respect. Pelaksanaan konsep ini memerlukan
pengalaman kelompok yang dibangun dengan memperhatikan pemahaman yang
pada gilirannya menjadi sikap yang relatif stabil dan konsisten. Sudah barang
tentu proses ini memerlukan waktu dan usaha pemeliharaan yang harus menjadi
perhatian para guru. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa belajar bukan
hanya terjadi pada aras (level) perilaku, tetapi juga terjadi secara internal pada
aras abstrak, misalnya pada keyakinan terhadap asumsi dasar perilaku itu.
Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara
Pendidikan Multikultural di Kanada
Kanada menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan kebijakan
multicultural pada tahun 1971. Multikulturalisme di kanada ini diawali ratusan
tahun yang lalu dengan kedatangan penduduk asli kanada dari Asia dengan
melewati gunung-gunung es untuk mencapai Amerika Utara. Setelah menetap
penduduk tersebut menyebar ke berbagai Negara yang mengawali beragamnya
bahasa dan kebudayaan di Kanada. Kemudian datangnya orang-orang Eropa yang
diawali oleh prancis dan kemudian disusul oleh Ingris. Inilah yang mengawali
Wawasan Makro Pendidikan 7
kekayaan akan kebahasaan dan kebudayaan yang ada di Kanada. Lalu pada abad
ke 18, Inggris yang berada di USA kalah dalam revolusi Amerika dan mereka
diusir menuju ke British North America (Kanada) (Deviani, 2013). Saat ini
pertumbuhan penduduk Kanda dapat diidentifikasi atas empat kelompok yakni:
1. Etnis asli ada sekitar 50 jenis dengan berbagai bahasa yang hidup secara
nomaden sebagai pemburu dan petani.
2. Etnis Perancis pada abad 16 sampai 18 masuk sebagai penjajah dan
pedagang karena perdagangan bulu binatang. Percampuran etnis Perancis
dengan penduduk asli Indian melahirkan penduduk Metis.
3. Kedatangan Inggris setelah Treaty of Paris (1763) yang ditambah etnis
Perancis yang terlibat Perang Kemerdekaan Amerika 1776.
4. Imigran dari Eropa (terutama Belanda, Ukraina dan Jerman) dan Asia
(Jepang, India, Cina) dilatar belakangi kebutuhan pekerja di propinsi
tengah dan barat.
Kanada dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah kultur
penduduknya paling banyak di dunia. Keadaan di Kanada ini sangat terbuka,
saling menghormati dan damai untuk para imigran dan pendatang lainnya. Pada
tahun 1971, pemerintah federal kanada meluncurkan kebijakan mengenai
multikulturalisme di kanada. Kebijakan ini membuat semua orang di Kanada
dipaksa untuk menerima perbedaan dan mengajak seluruh imigran untuk ikut
berpartisipasi dalam hidup yang setara dan bermasyarakat di Kanada. Sebenarnya
yang menyebabkan dikeluarkannya kebijakan ini adalah faktor ketika pada
pertengahan 1960, terjadi banyak masalah antara hubungan Inggris dan Prancis di
Kanada.
Sesudah PD II terjadi banjir imigran dari Italia, Jerman, Belanda dan
Polandia. Pada tahun 1960-an terjadi perkembangan ekonomi Kanada yang
membutuhkan tenaga terdidik untuk memenuhi kebutuhan metropolitan. Toronto
menjadi pusat konsentrasi imigran asing. Berbeda dengan AS yang menerapkan
politik asimilasi, pemerintah liberal Kanada menerapkan politik multikulturalisme
yang memberlakukan status yang sama untuk bahasa Perancis dan Inggris sebagai
bahasa resmi.
Wawasan Makro Pendidikan 8
Pada tahun 1972 didirikanlah Direktorat Multikultural di dalam lingkungan
Departemen Luar Negeri untuk memajukan cita-cita multikultural, integrasi
social, dan hubungan positif antar ras. Upaya tersebut melahirkan Canadian
Multiculturalism act (1988) yang isinya antara lain :
1. Alokasi dana untuk memajukan hubungan harmonis antar ras,
2. Memperluas saling pengertian kebudayaan yang berbeda,
3. Memelihara budaya dan bahasa asli,
4. Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, dan
5. Pengembangan kebijakan multikultural di semua kantor pemerintah
federal.
Kanada merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan legal
terhadap multikulturalisme. Sekalipun kebijakan multikultural merupakan
kebijakan federal, namun masing-masing negara bagian melaksanakan kebijakan
sesuai dengan kebutuhannya. Kebijakan multikultural dimasukkan dalam bentuk
yang berbeda-beda di dalam program sekolah, penataran guru. Kurikulum dikaji
ulang untuk dilihat hal-hal yang mengandung stereotipe dan prasangka antar etnis.
Demikian pula di dalam pendidikan oleh Ontario Heritage Language Programme
yang didirikan tahun 1977 memberikan bantuan terhadap pengajaran bahasa etnis
yang bermacam-macam sesudah jam resmi sekolah. Guru diberikan penataran
untuk menyebarluaskan sumber-sumber yang bebas dari prasangka, terutama
kelompok kulit berwarna (black population).
Di propinsi Manitoba, Alberta dan Saskacthewan sekolah diijinkan
memberikan bahasa di luar bahasa Inggris dan Perancis sampai 50 % dari jumlah
jam di sekolah. Kebijakan ini diterima dengan baik oleh kelompok imigran,
terutama imigran Ukraina dan Jerman. Sejak 1993, beberapa dewan pendidikan
seperti Vancouver School Board melaksanakan penataran guru-guru untuk
Pendidikan Multikultural, mendirikan komite penasehat untuk hubungan rasial,
serta melembagakan hubungan rasial di distrik sekolah. Secara terinci Magsino
(dalam Tilaar, 2004) mengidentifikasi 6 jenis model Pendidikan Multikultural:
Wawasan Makro Pendidikan 9
1. Pendidikan “emergent society”. Model ini merupakan suatu upaya
rekonstruksi dari keanekaan budaya yang diarahkan kepada terbentuknya
budaya nasional.
2. Pendidikan kelompok budaya yang berbeda. Model ini merupakan suatu
pendidikan khusus pada anak dari kelompok budaya yang berbeda.
Tujuannya adalah memberikan kesempatan yang sama dengan mengurangi
perbedaan antara sekolah dan keluarga, atau antara kebudayaan yang
dikenalnya di rumah dengan kebudayaan di sekolah. Model ini bertujuan
membantu anak untuk menguasai bahasa resmi serta norma dominan
dalam masyarakat.
3. Pendidikan untuk memperdalam saling pengertian budaya. Model ini
bertujuan untuk memupuk sikap menerima dan apresiasi terhadap
kebudayaan kelompok yang berbeda. Model ini merupakan pendekatan
liberal pluralis yang melihat perbedaan budaya sebagai hal yang berharga
dalam masyarakat. Di dalam kaitan ini, pendidikan multikultural diarahkan
kepada memperkuat keadilan sosial dengan menentang berbagai jenis
diskriminasi dan etnosentrisme.
4. Pendidikan akomodasi kebudayaan. Tujuan model ini adalah mempertegas
adanya kesamaan dari kelompok yang bermacam-macam. Mengakui
adanya partikularisme dengan tetap mempertahankan kurikulum dominan.
5. Pendidikan “accomodation and reservation” yang berusaha untuk
memelihara nilai-nilai kebudayaan dan identitas kelompok yang terancam
kepunahan.
6. Pendidikan multikultural yang bertujuan untuk adaptasi serta pendidikan
untuk memelihara kompetensi bikultural. Model ini mengatasi pendekatan
kelompok spesifik, identifikasi dan mengembangkan kemampuan untuk
berkomunikasi secara cross-cultural dengan mendapatkan pengetahuan
tentang bahasa atau kebudayaan yang lain
Pengalaman di Kanada menunjukkan bahwa isi budaya (cultural content) di
dalam kurikulum sekolah menempati urutan kedua, sedangkan yang utama adalah
bagaimana mencapai kemajuan akademis. Pendidikan Multikultural di Kanada
Wawasan Makro Pendidikan 10
tergantung di mana pendidikan multietnis itu berada di dalam kerangka struktur
ekonomi, politik, dan sosial masyarakatnya.
Pendidikan Multikultural di Amerika
Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit putih,
sejak didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan
berdirinya Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru pada
tahun 1934 dikeluarkan Undang Undang Indian Reservation Reorganization Act
di daerah reservasi suku Indian. Tujuan pendidikannya adalah proses
Amerikanisasi. Suatu kelompok etnis atau etnisitas adalah populasi manusia yang
anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya berdasarkan
keturunan (Phierquinn, 2013). Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain
seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan
identifikasi ini. Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya, perilaku,
bahasa, ritual, atau agama.
Kemudian pendidikan multikultural di Amerika Serikat mulai mencuat
kembali sekitar tahun 1960-an, lewat sebuah gerakan reformasi yang ditujukan
pada perubahan pendidikan yang selama ini melakukan tindak diskriminasi
terhadap masyarakat “minoritas,” yaitu masyarakat yang berada di luar “white-
male-Protestant-Anglo Saxon (WMPA).”
Gerakan pendidikan multikultural itu adalah gerakan untuk mereformasi
lembaga-lembaga pendidikan agar memberikan peluang yang sama kepada setiap
orang, tanpa melihat asal-usul etnis, budaya, dan jenis kelaminnya, untuk sama-
sama memperoleh pengetahuan, kecakapan (skills), dan sikap yang diperlukan
untuk bisa berfungsi secara efektif dalam negara-bangsa dan masyarakat dunia
yang beragam etnis dan budaya (Banks, 2002).
Menghilangkan diskriminasi sebagai salah satu tujuan utama gerakan
pendidikan multikultural itu dengan tegas dinyatakan Banks sebagai berikut. Latar
belakangnya adalah adanya pengalaman pahit kelompok-kelompok etnis Afro-
Amerika, Pribumi Amerika, Asia-Amerika, dan Latino-Amerika yang pernah dan
masih sedang menjadi korban diskriminasi, bukan saja dalam kehidupan
Wawasan Makro Pendidikan 11
kemasyarakatan, melainkan juga secara legal kelembagaan (dalam undang-undang
pun terdiskriminasikan).
Terdapat empat jenis dan fase perkembangan pendidikan multikultural di
Amerika (Banks, 2002), yaitu:
1. Pendidikan yang bersifat segregasi yang memberi hak berbeda antara kulit
putih dan kulit berwarna terutama terhadap kualitas pendidikan;
2. Pendidikan menurut konsep salad bowl, di mana masing-masing
kelompok etnis berdiri sendiri, mereka hidup bersama-sama sepanjang
yang satu tidak mengganggu kelompok yang lain;
3. Konsep melting pot, di dalam konsep ini masing-masing kelompok etnis
dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya.
Namun dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan tersebut, mereka
dapat membina hidup bersama. Meskipun masing-masing kelompok
tersebut mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya tetapi
apabila perlu unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan
demi untuk menciptakan persatuan kehidupan sosial yang berorientasi
sebagai warga negara as. Kepentingan negara di atas kepentingan
kelompok, ras, dan budaya
4. Pendidikan multikultural melahirkan suatu pedagogik baru serta
pandangan baru mengenai praksis pendidikan yang memberikan
kesempatan serta penghargaan yang sama terhadap semua anak tanpa
membedakan asal usul serta agamanya. Studi tentang pengaruh budaya
dalam kehidupan manusia menjadi sangat signifikan. Studi kultural
membahas secara luas dan kritis mengenai arti budaya dalam kehidupan
manusia
Pendidikan Multikultural di Australia
Kedatangan bangsa kulit putih di benua Australia telah membawa implikasi-
implikasi terhadap tatanan tradisional etnik pemukim asli. Kegiatan eksploitasi
terhadap sumber kekayaan alam yang berlangsung kemudian telah memunculkan
perubahan-perubahan besar dalam berbagai lapangan kehidupan. Dengan
Wawasan Makro Pendidikan 12
dibukanya ladang-ladang emas di daerah-daerah pertambangan seperti di Victoria,
New South Wales dan Australia Barat, telah meningkatkan taraf perekonomian
masyarakat. Dampak penemuan emas ini ternyata juga berpengaruh pada
peningkatan imigran yang datang ke Australia, seperti dari Cina, Asia, Jepang dll.
Dengan demikian pertumbuhan penduduk semakin meningkat pesat. Akibat dari
ini semua adalah timbulnya perpecahan dikalangan masyarakat, terutama antar
ras, seperti pengalaman-pengalaman di beberapa tambang Victoria pada tahun
1957.
Multikulturalisme, kemudian menjadi gagasan yang muncul untuk
mengatasi heterogenitas etnis yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar
belakang budaya yang berbeda. Upaya untuk penyatuan pola budaya ini semula
sudah dirintis melalui gagasan assimilasi dan integrasi dalam rangka mencegah
perpecahan antar etnis di Australia. Gagasan multikulturalisme yang kemudian
diperkenalkan, dalam konteks yang sesungguhnya adalah legitimasi hak atas
berkembangnya berbagai kultur di Australia secara sama. Namun dalam
prakteknya gagasan multikulturalisme ini hanya menekankan aspek kultural
semata tanpa dibarengi dengan pandangan yang sama terhadap kesempatan kerja.
Sehingga, gagasan ini, oleh sementara pihak hanya dianggap sebagai upaya
radikal untuk mempromosikan kepentingan etnis tertentu saja.
Pada akhir tahun 1940an, ketika Australia membuka pintunya terhadap para
imigran-imigran non British dan mengizinkan mereka tinggal dan menetap,
beberapa persyaratan ditetapkan untuk mengasimilasikan mereka agar menjadi
warga Australia yang sesungguhnya dan dapat melupakan kebudayaan asli
mereka. Ketika imigran-imigran pertama yang berasal dari Itali dan Greek pada
akhir tahun 1940 masuk ke Australia, mereka mengalami diskriminasi rasial dari
orang-orang Inggris dan Irlandia. Para imigran ini mencoba untuk menguasai
bahasa Inggris serta meniru pola hidup orang Australia. Ini dianggap suatu cara
asimilasi yang kemudian sangat bermanfaat ketika kebijakan White Australia,
namun tidak demikian halnya dengan asimilasi untuk imigran dari Asia dan
Afrika karena perbedaan fisik mereka dengan orang Australia sangat menonjol .
Wawasan Makro Pendidikan 13
Pada tahun 1966 pemerintah Australia mengubah kebijaksanaan imigrasi
yang memungkinkan orang-orang non-Eropa dapat memperoleh izin untuk tetap
tinggal di Australia, namun ketika pada tahun 1970an masuk para imigran dari
Asia, ternyata mereka tidak disambut dengan hangat oleh masyarakat Australia,
karena, disamping perbedaan fisik yang sangat menonjol, juga latar balakang
budaya dan pola hidup yang sangat berbeda. Kenyataan inilah yang menunjukkan
bahwa kebijaksanaan asimilasi pada dasarnya tidak bermanfaat banyak bagi para
imigran Asia dan Afrika hitam.
Ketika Gough Withlam terpilih sebagai perdana menteri Australia pada
tahun 1972, ia mencoba untuk menghapuskan konsep asimilasi berdasarkan white
Australia untuk kedamaian dan kesejahteraan negara dan atas nama kebenaran.
Untuk upaya ini ia mengangkat Al Grassby sebagai Menteri Imigrasi dan kepala
Komisi Hubungan Masyarakat. Withlam menyediakan pendidikan bahasa Inggris
untuk para imigran dalam rangka membantu mereka dalam pergaulan sehari-hari.
Melalui pemerintahan Withlam konsep multikulturalisme diperkenalkan sebagai
tindakan konstruktif untuk pencapaian identitas baru masyarakat Australia.
Pada tahun 1978 Galbally Report menyarankan prinsip-prinsip dasar
kebijaksanaan multikulturalisme yang sampai saat ini masih diperpegangi.
Pertama, ditekankan agar kesempatan yang sama harus diberikan kepada semua
orang untuk merealisasikan potensinya. Kedua, setiap orang harus dapat menjaga
kebudayaan mereka tanpa mengalami prasangka apapun. Ketiga, kursus-kursus
dan pelayanan-pelayanan khusus harus dipersiapkan untuk para imigran sambil
kebutuhan jangka pendek mereka diberikan. Keempat, Semua program yang
dibentuk untuk para imigran harus dengan konsultasi para imigran tersebut.
Pada tahun 1987, Hawke mendirikan Office of Multicultural Affair (OMA)
dan berada di bawah Departemen Perdana Menteri. Melalui Badan ini
dikembangkan konsep-konsep multikulturalisme secara lebih mendalam dan
menekankan batasan-batasan konsep itu serta ide Australia sebagai suatu unsur
unifikasi. Dengan begitu imigran-imigran diharapkan memberikan loyalitasnya
terhadap Australia. Bahkan OMA, melalui agenda nasionalnya menjelaskan dan
mempertajam defenisi multikulturalisme sebagai suatu istilah yang
Wawasan Makro Pendidikan 14
menggambarkan diversitas budaya dan etnik dalam Australia Baru (Londom
dalam Shamad, 2009).
Tiga acuan yang dirumuskan Hawke dalam membatasi konsep
multikulturalisme, yaitu : pertama, semua orang boleh mengekspressikan warisan
kebudayaan nenek moyang mereka, asalkan tidak bertentangan dengan hukum
yang ada. Kedua, semua masyarakat Australia berhak atas keadilan sosial tanpa
melihat warna kulit, bahasa, agama serta keturunan, dan ketiga, effesiensi
ekonomi yang mengandung keperluan untuk meneruskan dan mengembangkan
serta menggunakan semua potensi-potensi komunitas baru Australia.
Sebagaimana telah dikemukakan, munculnya gagasan multikulturalisme di
Australia didorong oleh berbagai motivasi, salah satunya yang terpenting adalah
karena terus mengalirnya para imigran dari negara-negara tetangga Asia, namun
kebijaksanaan ini memunculkan reaksi-reaksi dari kalangan Anglo-Australian
yang ingin mempertahankan bentuk masyarakat yang homogen. Menurut mereka,
dengan diterapkannya kebijaksanaan ini, berarti terancamnya hegemoni unsur-
unsur kebudayaan Anglo di Australia. Yang lebih ekstrim lagi adalah pandangan
mereka bahwa multikulturalisme telah menghancurkan kebudayaan nasional.
Keluhan-keluhan seperti ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya
perasan dislokasi, bahkan menumbuhkan gejolak rasisme, terutama di kalangan
orang-orang Anglo Australia yang merasa kehilangan hegemoni identitas dan
kebudayaan.
Di kalangan imigran juga muncul berbagai reaksi atas kebijakan
multikulturalisme karena dalam prakteknya multikulturalisme menekankan pada
etnisitas. Banyak kalangan yang menganggap bahwa multikulturalisme sebagai
semboyan kosong yang justru bersifat rasisme struktural terutama terlihat dari
prilaku ekonomi dan pasar tenaga kerja. Kenyataan kontradiktif pelaksanaan
kebijakan multikulturalisme juga terlihat dari kelompok masyarakat asli
“Aborigin”. Pengalaman- pengalaman pahit yang dialami oleh penduduk asli ini
semenjak mereka kehilangan tanah-tanah mereka seperti white Australian policy,
assimilasi, hingga multikulturalisme, menjadikan mereka kehilangan kepercayaan
terhadap negara dan pemerintahan Australia sendiri. Mereka merasa bahwa
Wawasan Makro Pendidikan 15
berbagai kebijakan yang diterapkan tidak lain hanyalah upaya kontrol sosial
terhadap kebudayaan mereka. Posisi Aborigin pada akhirnya merupakan dilema
tersendiri dalam kebijakan multikulturalisme. Oleh karena itu di tingkat birokrasi
dibentuk Aboriginal Reconsiliation Council yang bekerja sama dengan The
National Multicultural Advisory Council. Di sini, penekanan diberikan kepada
‘cultural diversity’ dari pada multikulturalisme, dengan harapan hal ini akan lebih
mudah diterima. Namun yang paling dirasakan dalam penerapannya ialah tidak
adanya upaya anti rasisme yang serius, terutama dalam mengatasi diskriminasi
rasial yang berlaku dalam segala tingkatan masyarakat.
Mewujudkan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Untuk membangun bangsa ke depan, diperlukan upaya untuk menjalankan
asas gerakan multikulturalisme menjadi sebuah tujuan bangsa dalam masyarakat
yang plural. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma
hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk
mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa.
Sebelum lanjut, dalam konteks implementasinya di Indonesia, pendidikan
multilkultural itu dapat dilihat atau diposisikan sebagai berikut, (Amirin, 2012):
1. Sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan
keberagaman budaya Indonesia hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem pendidikan dan
kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur (berbarkat) dan bahagia dunia akhirat.
2. Sebagai pendekatan pendidikan; yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan
pendidikan yang kontekstual, yang memperhatikan keragaman budaya
Indonesia.
3. Bidang kajian dan bidang studi; yaitu disiplin ilmu yang—dibantu oleh
sosiologi dan antropologi
pendidikan,
menelaah dan mengkaji
aspek- aspek
Wawasan Makro Pendidikan 16
kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan perwujudannya (norma,
etiket atau tatakrama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-lain—mencakup
“manifestasi budaya” agama) untuk/dalam penyelenggaraan dan
pelaksanaan pendidikan.
Gambar 1. Fungsi Pendidikan Multikultural
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal. Pendidikan
multikultural yang dikembangkan di Indonesia merupakan counter terhadap
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Model pendidikan multikultural
bukanlah sebuah formalitas yang sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi
lebih luas dari itu, pendidikan multikultural dituntut untuk dapat mereformasi
sistem pembelajaran itu sendiri.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia
perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski
(dalam Mahfud, 2009), yang mencakup tiga jenis transformasi, yakni: (1)
transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3)
transformasi masyarakat. Pada kegiatan transformasi diri, pendidikan
multikultural harus dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat mengubah
mindset mereka akan pandangan etnosentrisme yang sempit menjadi pandangan
multikultralisme sebagai sebuah keniscayaan yang menjadi anugerah tuhan YME.
Pada kegiatan transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, pendidikan
multikultural haruslah menjadi prioritas utama dalam membangun kebersamaan
diantara berbagai perbedaan. Guru sebagai fasilitator dituntut untuk dapat
Wawasan Makro Pendidikan 17
mengarahkan peserta didik kedalam bentuk-bentuk pembelajaran yang
memungkinkan terjadinya hubungan dialogis yang harmonis dalam mensikapi
adanya perbedaan kultur, agama dan budaya. Pada kegiatan transformasi
masyarakat, harus tercipta sebuah tatanan masyarakat yang mengutamakan sebuah
interaksi yang selaras dan seimbang dalam mensikapi adanya perbedaan.
Masyarakat haruslah melebur ke dalam sebuah tatanan masyarakat kosmopolitan
yang tidak lagi memandang dominansi suatu kelompok terhadap kelompok lain,
sikap antipati dalam berinteraksi dengan kelompok lain dan saling menghargai
akan adanya perbedaan dalam stuktur sosial masyarakat.
Dalam mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia, menurut
Kurmaryani (tanpa tahun) setidaknya terdapat 4 hal utama yang perlu di tekankan
antara lain: Pertama, model kurikulum yang dapat digunakan dalam pendidikan
multicultural di Indonesia haruslah mencermikan nilai-nilai budaya Indonesia.
Kurikulum yang disusun tersebut harus dapat mengintegrasikan proses
pembelajaran nilai, pengetahuan dan keterampilan “hidup” dalam masyarakat
yang multicultural, seperti: terampil bernegosiasi, mengemukakan dan
menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning dan problem
solving yang diharapkan dapat meningkatkan internalisasi nilai-nilai kebudayaan
Indonesia di dalam kehidupan perserta didik.
Kedua, guru juga memainkan peranan penting dalam mewujudkan
pendidikan multikultural di Indonesia. Seorang guru yang mengajar melalui
pendekatan multicultural harus “fleksibel”, karena untuk mengajar dalam
multikultur seperti di Indonesia, pertimbangan “perbedaan budaya” adalah hal
penting yang harus menjadi perhatian guru. Faktor-faktor seperti: membangun
paradigma keberagamaan inklusif dan moderat di sekolah, menghargai keragaman
bahasa, membangun sikap sensitive gender, membangun pemahaman kritis
terhadap ketidakadilan dan perbedaan status social, membangun sikap anti
diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan
umur harus dikemas dalam ranah pembelajaran dan penyadaran di persekolahan,
sehingga tercipta suatu paham untuk memahami dan menerima segala perbedaan
yang ada pada setiap individu peserta didik dan pada akhirnya peserta didik
Wawasan Makro Pendidikan 18
diharapkan mampu memiliki karakter kuat untuk selalu bersikap demokratis,
pluralis dan humanis.
Ketiga, proses pembelajaran yang dikembangkan harus menempatkan
peserta didik pada kenyataan social di sekitarnya. Artinya, proses belajar yang
mengandalkan peserta didik untuk belajar secara kelompok dan bersaing secara
kelompok dalam suatu situasi kompetitif yang positif. Dengan cara ini, perbedaan
antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta
didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, social, ekonomi,
intelektual dan aspirasi politik.
Keempat, evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek
kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang
dikembangkan. Asesmen kinerja, asesmen portofolio, asesmen rubric, pedoman
obsevasi, pedoman wawancara, rating scale, skala sikap, cek-list, kuesioner dan
lain sebagai sebagai alat penilaian yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
pembelajaran yang menggunakan pendekatan multicultural.
Penutup
Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam
ras, suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan
multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia
yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam
konflik.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat
kemajemukan, maka peran pendidikan yang berbasis multikultural menjadi sangat
strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik
yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat
dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke
depan.
Pendidikan multikultural di Indonesia hanya dapat dibangun melalui upaya-
upaya yang berkesinambungan dan terpadu. eran dan dukungan dari guru/tenaga
pengajar, institusi pendidikan, dan para pengambil kebijakan pendidikan lainnya,
Wawasan Makro Pendidikan 19
terutama dalam penerapan kurikulum dengan pendekatan multicultural. Guru dan
institusi pendidikan (sekolah) perlu memahami konsep pendidikan multicultural
dalam perspektif global agar nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan ini
dapat diajarkan sekaligus dipraktekkan di hadapan para peserta didik, sehingga
diharapkan melalui pengembangan pendidikan multicultural ini para peserta didik
akan lebih mudah memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka agar
selalu berperilaku humanis, pluralis dan demokratis.
Daftar Pustaka
Amirin, T.M. 2012. Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan dan Pendidikan. Vol 1: (1)
Banks, J. A. 2002. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon.
Deviani, H. 2013. Dinamika Multikulturalisme Kanada (1968-2006). htttp://heidistoria.blogspot.com. Online diakses 15 September 2013.
Kusmaryani, Y. Tanpa tahun. Pendidikan Multikultural; Suatu Kajian Tentang Pendidikan Alternatif di Indonesia Untuk Merekatkan Kembali Nilai-nilai Persatuan, Kesatuan dan Berbangsa di Era Global. Online (12 September 2013)
Mahfud, C. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ramly, N. 2005. Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan, Jakarta: Grafindo
Parekh, B. 2000. Rethinking Multivulturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge: Havard University Press
Phierquin. 2013. Perbandingan Multikulturalisme di Berbagai Negara. http://phierda.wordpress.com/ Online (diakses 15 September 2013)
Shamad, I. 2009. Politik dan Kebudayaan Etnik : Multikulturalisme Versi Australia. http://irhashshamad.blogspot.com/ Online (diakses 15 September 2013)
Wawasan Makro Pendidikan 20
Suparlan, P. 2002. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol 6 (1-12)
Tilaar, HAR. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Kompas
---------------- 2004. Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja
Rosdakarya
Wawasan Makro Pendidikan 21