metodologi pengkajian tafsir

17
Metodologi Studi Tafsir Secara etimologi tafsir adalah ان ي لب ح ا ض يلا ا(penjelasan) ف ش ك ل ا(pengungkapan) dan ل ك ش م ل ا ذ ف ل ل ا ن ع راد م ل ا ف ش ك(menjabarkan kata yang samar). Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman. Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu : 1. Tafsir Pada Zaman Nabi Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yangterkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an,

Upload: nadhira-diraa-hanafie

Post on 11-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Metodologi Pengkajian Tafsir

TRANSCRIPT

Metodologi Studi TafsirSecara etimologi tafsir adalah (penjelasan) (pengungkapan) dan (menjabarkan kata yang samar). Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Quran dan pemahamannya.Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman. Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :1. Tafsir Pada Zaman NabiAl-Quran diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Quran. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Quran dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yangterkandung dalam al-Quran, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Quran. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Quran, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah , keterangan-keterangan (mujizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44).Jadi metode tafsir pada zaman nabi itu dengan cara mendengar bacaan al-Quran dan mengetahui kebenarannya, dan dengan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW.

2. Tafsir Pada Zaman ShohabatAdapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Quran adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan Al-Quran dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist Marfu atau paling kurang adalah Mauquf .

3. Tafsir Pada Zaman TabiinMetode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabiin mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:a) Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan Atho bin Abi Robah.b) Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Kaab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Kaab Al-Qurodli.c) Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Masud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Diamah As-Sadusy. Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.

4. Tafsir Pada Masa PembukuanPembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu:a) Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.b) Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.c) Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama tanpa menyebutkan orangnya.d) Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku buku tarjamahan dari luar Islam.e) Periode Kelima, tafsir maudhui yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan.

Metode PenafsiranMetode tafsir dapat diartikan sebagai suatu prosedur sistematis yang diikuti dalam upaya memahami dan menjelaskan maksud kandungan Al-Quran atau bisa juga dikatakan metode tafsir merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam menginterprestasikan pesan-pesan Al-Quran, sedangkan metodologi tafsir adalah analisis mengenai metode-metode penafsiran Al-Quran.Ketika menafsirkan Al-Qran, mufassir biasanya merujuk kepada tradisi ulama salaf, namun tidak jarang yang merujuk pada temuan ulama kontemporer. Metode tafsir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf dalam menafsirkan Al-Quran ialah sebagai berikut: Pertama, Tafsir Bil Matsur atau Bir-Riwayah (Riwayat)Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang soheh) dengan menggunakan penafsiran al-Quran dengan al-Quran, penafsiran al-Quran dengan sunnah, penafsiran al-Quran dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Quran dengan perkataan para tabiin. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Kedua, Tafsir Bir-Rayi atau Diroyah (Ijtihad).Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:a) Ar-Royu al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:1) Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Quran dan as-sunnah2) Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil matsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.b) Ar-Royu Al-Madzmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bidah yang sengaja menafsirkan ayat al-Quran sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Ketiga, Tafsir Al-Isyari (Tafsir yang Berlandaskan Isyarat)

Selain metode tafsir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf dalam menafsirkan AlQuran, ada pula yang memilahnya kepada metode klasik (yang merujuk pada Al-Quran dan hadits (riwayah, dirayah, dan isyari) dan kontemporer (global, analitis, perbandingan, tematik, dan kontekstual).Paling tidak hingga dewasa ini, metode tafsir diklasifikasikan ke dalam lima buah metode, yaitu global, analitis, perbandingan, tematik, dan kontekstual. Berikut penjelasannya:1) Metode Global (Ijmali)Sementara pakar menganggap bahwa metode ini merupakan metode yang pertama kali hadir dalam sejarah metodologi tafsir. Karena pada era Nabi dan sahabat, persoalan bahasa terutama bahasa Arab bukanlah penghambat dalam memahami Al-Quran. Mayoritas sahabat ahli bahasa Arab. Mereka mengetahui secara baik latarbelakang turunnya ayat yang terlibat langsung dalam situasi dan kondisi umat Islam ketika ayat Al-Quran turun. Raelitas sejarah yang demikian sangat kondusif dalam menyuburkan persemaian metode global, karena sahabat tidak memerlukan penjelasan yang rinci dari Nabi, tetapi cukup dengan uraian sederhana. Prosedur metode global yang praktis dan mudah dipahami tupanya turut memotivasi ulama tafsir untuk menulis karya tafsir.Melihat penerapan metode global yang ringkas dan mudah dimengerti, maka didefinisikan sebagai suatu metode yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan cara mengemukakan makna global. Ia membahas ayat demi ayat sesuai dengan mushhaf, lalu mengemukakan arti global ayat-ayat tersebut dengan memuat sinonim dari lafazh yang digunakan Al-Quran. Sementara kelemahannya adalah menjadi petunjuk Al-Quran bersifat parsial dan tidak ada ruang untuk analisis memadai sehingga menimbulkan ketidakpuasan pembacanya.

2) Metode Analitis (Tahlili)Metode analitis dipandang unik, karena dalam praktiknya ia dibeadkn dalam dua bentuk, matsur dan ray. penyajian tafsirnya meliputi barbagai corak disiplin, seperti bahasa, hukum, ilmu pengetahuan, mistik, filsafat, dan sastra sosial kemasyarakatan. Menurut al-Farmawi, metode analitis adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dari seluruh aspeknya.Sistematikanya diawali dengan mengemukakan korelasi antar ayat atau surat.menjelaskan latarbelakang turunnya, menganalisis kosakata dan lafazh dalam konteks bahasa Arab, menyajikan kandungan ayat secara global, menjelaskan hukum yang dapat dipetik dari ayat, dan terakhir menerangkan makna dan tujuan syara yang terkandung dalam ayat. Dalam corak tafsir ilmu pengetahuan dan sastra sosial kemasyarakatan biasanya mufassir memperkuat argumentasinya dengan mengutip pendapat ilmuwan dan teori ilmiah kontemporer.Keunggulan metode ini terletak pada cakupannya yang sangat luas, dapat menampung berbagai gagasan dan menyediakan informasi mengenai kondisi sosial, linguistik, dan sejarah teks. Sementara kelemahannya membuat petunjuk Al-Quran bersifat parsial, melahirkan penafsiran yang subjektif, memuat riwayat israiliyat, komentar yang terlalu banyak melelakan untuk dibaca dan informasiya tumpang tindih dengan pengetahuan.

3) Metode Perbandingan (Muqarin)Metode perbandingan didefinisikan sebagai suatu metode penafsiran yang bersifat perbandingan dengan mengemukakan penafsiran ayat Al-Quran yang ditulis oleh para mufassir.Yang menjadi sasaran kajiannya meliputi: Perbandingan ayat Al-Quran dengan ayat lain, Perbandingan ayat Al-Quran dengan hadits, Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir yang lain.Manfaat yang dapat dipetik melalui metode ini adalah untuk membuktikan ketelitian Al-Quran, meyakinkan bahwa tidak ada ayat-ayat Al-Quran yang kontradiktif, memperjelas makna ayat, dan tidak menggugurkan hadits yang berkualitas sahih.Metode ini unggul karena mampu memberikan wawasan yang relative luas, mentolerir perbedaan pandangan yang dapat mencegah sikap fanatisme pada aliran tertentu, memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat, dan bagi mufassir termitivasi untuk mengkaji berbagai ayat, hadits dan pendapat mufassir yang lain. Sementara kelemahannya adalah tidak cocok dikaji oleh para pemula (mubtadi) karena memuat bahasan yang teramat luas, kurang dapat diandalkan dalam menjawab problema masyarakat, dan dominan membahas penafsiran ulama terdahulu dibandingkan penafsiran baru.

4) Metode Tematik (Maudlui)Secara umum, metode tematik memiliki dua bentuk kajian, yaitu:Pertama, mengkaji satu surat Al-Quran secara utuh dan komprehensif dengan menjelaskan meksudnya yang umum dan spesifik, dan menerangkan kaitan antara berbagai persoalan yang dimuatnya.Kedua, mengkoleksi sejumlah ayat dari berbagai surat yang membahas satu persoalan tertentu, lalu ayat-ayat itu ditata sedemikian rupa dan diletakkan dibawah satu topic, dan selanjutnya ditafsirkan secara tematik.Prosedur penafsiran Al-Quran dengan metode tematik dapat dirinci sebagai berikut:a) Menentukan bahasan Al-Quran yang akan diteliti secara tematikb) Melacak dan mengkoleksi ayat-ayat sesuai topic yang diangkatc) Menata ayat-ayat tersebut secara kronologis dengan mendahulukan ayat makkiyah dan madaniyyah, dan mengetahui sebab turunnya ayatd) Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebute) Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematisf) Melengkapi bahasan dengan hadits-hadits terkaitg) Mempelajari ayat-ayat itu secara tematik dan komprehensif dengan cara mengkoleksi ayat yang memuat makna yang sama, mengkompromikan pengertian yang umum dan khusus, mengsinkronkan ayat-ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan nasikh dan mansukh, sehingga semuanya memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran.Metode ini unggul karena dipandang mempu menjawab tantangan zaman, dinamis dan praktis tabpa harus merujuk pada kitab-kitab tafsir yang tebal dan berjilid-jilid, penataannya yang sistematis membuat para pembaca dapat menghemat waktu, dan pemilihan tema-tema up to date membuat Al-Quran tidak ketinggalan zaman, serta pemahamannya pun menjadi utuh. Sementara kelemahannya adalah menyajikan ayat Al-Quran secara sepotong-sepotong sehingga terkesan kurang etis terhadap ayat-ayat suci, pemilihan topic tertentu membuat pemahaman terbatas, dan membutuhkan kecermatan dalam menentukan keterkaitan ayat dengan tema yang diangkat.

5) Metode KontekstualMetode kontekstual adalah metode yang mencoba menafsirkan Al-Quran berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latarbelakang sejarah, sosiologi, dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Arab pra islam dan selama proses wahyu Al-Quran berlangsung.Metode ini pada intinya berkaitan erat dengan hermeneutika, sebuah metode penafsiran teks yang dapat berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis, dan filosofis.Kehadiran metode ini dipicu oleh kekhawatiran yang akan ditimbulkan ketika Al-Quran ditafsirkan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Disinilah mungkin letak perbedaannya dengan metode tematik, asbab al-nuzl, tetapi juga menyelidiki latar belakang sosiohistoris masyarakat dimana Al-Quran diturunkan, untuk kemudian dicari prinsip dan nilai moral yang terkandung dalam kedua data sejarah tersebut.Untuk mengaplikasi metode kontekstual di era kontemporer, setidaknya ada dua pendekatan yang sangat berperan yaitu sejarah, dan hermeneutika. Metode kritik sejarah menjadi salah satu pendekatan sejarah, misalnya digunakan ketika mengkaji islam historis, yaitu mengkritisi tradisi dan disiplin-disiplin keislaman sejak era klasik hingga kontemporer, termasuk metode tafsir yang berkembang dalam tradisi islam. Pendekatan sejarah melalui analisis sjarah sosial juga sangat berperan dalam mengungkap kinteks latarbelakang turunnya wahyu Al-Quran. Sementara hermeneutika digunakan untuk mengkaji islam normative yang berkaitan dengan substansi Al-Quran dan hadits.Dalam perspektif hermeneutika, upaya penelusuran terhadap konteks pada dasarnya merupakan satu upaya pemahaman teks untuk selanjutnya menangkap makna dan semangat dari suatu teks, kemudian melakukan reproduksi makna teks tersebut ke zaman dimana teks tersebut ditafsirkan (kontekstualisasi). Jadi, menafsirkan Al-Quran dengan menggunakan analisis teks, konteks, dan konekstualisasi merupakan pendekatan yang dilakukan secara hermeneutis.

Pendekatan SejarahSecara etimologis, sejarah berarti narasi berbagai peristiwa, rekaman kronologis peristiwa, dan disiplin ilmu yang mencatat dan menganalisis peristiwa lampau.Ada empat alas an mengapa kajian sejarah diperlukan oleh umat islam. Pertama, umat islam berkewajiban untuk meneladani Nabi. Kedua, sejarah merupakan alat untuk menafsirkan dan memahami maksud Al-Quran dan hadits. Ketiga, tolak ukur sanad hadits. Keempat, untuk merekam peristiwa-peristiwa pra dan pasca kedatangan islam.Sekaitan dengan metode tafsir kontekstual, kritik sejarah berperan dalam menggali prinsip-prinsip yang dikandungnya untuk dihadapkan kepada prinsip-prinsip yang berkembang di era kontemporer.Keterlibatan pendekatan sejarah dalam kajian keislaman kiranya mampu memberikan solusi bagi dilakukannya rekontruksi sejarah islam di masa depan yang mengacu pada nilai-nilai Qurani.

Metode HermeneutikaSecara etimologis, kata hermeneutika mengakar pada kata kerja bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan.Sebagaimana metode-metode lain, hermeneutika tidak lahir dari ruang kosong. Ada lingkungan yang turut mempengaruhi kelahiran hermeneutika serta membentuk konsepnya. Dalam analisis Werner, ada tiga lingkungan yang mendominasi pengaruh terhadap pembentukan hermeneutika hingga sekarang:1. Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani2. Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab suci agama mereka3. Masyarakat Eropa zaman pencerahan (Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.Ketiga miliu ini tidak terjadi secara bersamaan, akan tetapi merupakan tahapan-tahapan.

Berdasarkan analisis tersebut, Hamid Fahmi Zarkasyi membagi sejarah hermeneutika menjadi tiga fase, yaitu:1. Dari Mitologi Yunani ke Teologi Yahudi dan KristenDalam mitologi Yunani, dewa-dewa dipimpin oleh Zeus bersama Maia. Pasangan ini mempunyai anak bernama Hermes. Hermes inilah yang bertugas untuk menjadi perantara dewa dalam menyampaikan pesan-pesan mereka kepada manusia.Metode hermeneutika secara sederhana merupakan perpindahan fokus penafsiran dari makna lain yang lebih dalam. Dasar mereka adalah kepercayaan bahwa dibalik perkataan manusia pun sebenarnya ada inspirasi Tuhan. Kepercayaan tersebut sejatinya refleksi pandangan hidup orang-orang Yunani saat itu.

2. Dari Teologi Kristen ke Gerakan Rasionalisasi dan FilsafatDalam perkembangan selanjutnya, makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk diterjemahkan dalam kehiduoan sekarang. Satu masalah yang selalu dimunculkan adalah perbedaan antara bahasa teks serta cara berpikir masyarakat kuno dan modern.Dalam hal ini, fungsi hermeneutika berubah dari alat interprestasi Bibel menjadi metode pemahaman teks secara umum. Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar filologi Friederich Ast (1778-1841). Ast membagi pemahaman teks menjadi tiga tingkatan:a. Pemahaman historis, yaitu pemahaman berdasarkan perbandingan satu teks dengan yang lain.b. Pemahaman ketatabahasaan, dengan mengacu pada makna kata teks.c. Pemahaman spiritual, yakni pemahaman yang merujuk pada semangat, mentalitas dan pandangan hidup sang pengarang terlepas dari segala konotasi teologis ataupun psikologis.Dari pembagian diatas, dapat dicermati bahwa objek penafsiran tidak dikhususkan pada Bibel saja, akan tetapi semua teks yang dikarang manusia.

3. Dari Hermeneutika Filosofis ke Filsafat HermeneutikaPergeseran fundamental lain yang perlu dicatat dalam perkembangan hermeneutika adalah ketika hermeneutika sebagai metodologi pemahaman berubah menjadi filsafat. Dalam periode ini, akal menjadi patokan bagi kebenaran yang berakibat pada penolakan hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh akal atau metafisika.Babak baru ini dimulai oleh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) yang dianggap sebagai bapak hermeneutika modern dan pendiri Protestan Liberal. Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal hermeneutic. Dalam gagasannya, teks agama sepatutnya diperlakukan sebagaimana teks-teks lain yang dikarang manusia.

Pada era Post-Reformasi abad ke-17, istilah hermeneutika muncul dalam judul-judul buku teologi Kristen. Aktivitas penafsiran dibedakan kedalam aspek teorotis dan praktis. Praktik penafsiran identik dengan exengesis, sementara hermeneutics digunakan untuk menunjukkan pada tujuan dan kriteriapraktik tersebut.Yang menarik dari kajian hermeneutika adalah bahwa ia tidak membedakan antara teks agama dan secular. Al-Quran dianggap setara dengan teks-teks lainnya. Kunci utama terletak pada tafsirannya, ia bisa menjadi aturan hukum, karya sastra, teks filosofis, atau data sejarah. Semua teks mengacu pada aturan penafsiran yang sama. Dalam hermeneutika tidak ada penafsiran yang benar atau salah. Yang aada hanyalah upaya bervariasu untuk mendekati teks dari kepentingan dan motivasi yang berbeda. Tidak hanya ada penafsiran tunggal terhadap teks. Sebuah penafsiran teks pada prinsipnya bersifat pluralistic. Teks hanya merupakan sebuah bentuk dimana mufassir mengisinya dengan muatan dari waktu dan ruangnya.Relevansi dan efektivitas pendekatan sejarah dan hermeneutika dalam kajian tafsir pun menjadi jelas tentang adanya sebuah prosedur untuk memahami Al-Quran.Tanpa pemahaman yang memadai atas latarbelakang mikro dan makro Al-Quran ini, agaknya kecenderungan melakukan kesalahan besar tak terhindarkan, bahkan termasuk dalam manila semangat dasar, tujuan Al-Quran dan aktivitas Nabi. Kajian terhadap kedua latarbelakang ini membutuhkan pendekatan sejarah, sebagaimana juga penelusuran tema secara runtut historis dan arti yang dikandungnya memerlukan pendekatan hermeneutika.

Ada beberapa karakteristik yang membedakannya dari pemahaman metodologi tafsir klasik, yaitu:1. Metodologi tafsir kontemporer menjadikan Al-Quran sebagai Kitab petunjuk.2. Adanya kecenderungan penafsiran yang melihat kepada pesan yang ada dibalik taks Al-Quran.Metodologi tafsir kontemporer tidak menerima begitu saja ungkapan literal Al-Quran, tetapi mencoba melihat jauh sasaran yang ingin dicapai oleh ungkapan literal tersebut. Jadi, yang ingin dicari adalah ruh atau pesan moral Al-Quran.