metodologi ekonomi islam
DESCRIPTION
ekonomi islamTRANSCRIPT
METODOLOGI EKONOMI ISLAM
1.1 Pendahuluan
Tujuan utama dari metodologi adalah membantu mencari kebenaran. Islam
meyakini bahwa terdapat 2 sumber kebenaran mutlak yang berlaku untuk setiap
aspek kehidupan pada setiap ruang dan waktu, yaitu Alquran dan Sunnah.
Kebenaran suci ini akan mendasari pengetahuan dan kemampuan manusia dalam
proses pengambilan keputusan ekonomi.1 Metodologi didapat dari Pengetahuan,
namun pengetahuan ini harus dapat dibuktikan apakah hipotesa-hipotesanya bisa
dibuktikan kebenarannya atau tidak. Ilmu pengetahuan merupakan suatu cara yng
sistematis untuk memecahkan masalah kehidupan manusia yang mendasarkan
segala aspek tujuan (ontologis), metode penurunan kebenaran ilmiah
(epistemologis) yang didasarkan pada kebenaran deduktif (wahyu ilahi) yang
didukung oleh kebenaran induktif (empiris) ayat kauniyah, dan nilai-nilai
(aksiologis) yang terkadung dalam ajaran islam.2
Muhammad Anas Zarqa, menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari
tiga kerangka metodologi. Pertama adalah presumption and ideas, atau yang
disebut ide dan prinsip dasar ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari al-Qur`an, al-
Sunnah, dan fiqh al-Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi
pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam
itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam
Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Ketiga yang disebut dengan positive
part of economic science. Bagian ini menjelaskan tentang realitas ekonomi, dan
bagaimana konsep ekonomi Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil.
Melalui tiga pendekatan tersebut, maka ekonomi Islam dibangun dan mempunyai
1 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Hlm. 27.2 http://juniskaefendi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-metodelogi-ekonomi-islam.html
ruh serta kekuatan dalam memberikan solusi untuk mengatasi permasalahan
umat.3
1.2 Fiqih
Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, mengenai perilaku
manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci.
Ruang lingkup fiqih adalah pada hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-
peraturan yang berisi perintah atau larangan, seperti: wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah (boleh).
Ruang lingkup fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti
sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian
fiqih sering disebut dalam bahasa arab, dengan istilah iqtishady. Fiqih ekonomi
(fiqih iqtishady) dalam Islam, mencakup tentang aturan-aturan atau rambu-rambu
yang diperoleh dari hasil ijtihad manusia yang didasarkan pada wahyu Ilahi (Al-
Qur’an dan Al-Hadist), berkenaan dengan bagaimana manusia (individu-individu
dan masyarakat) dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan membuat
pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia. Kajian
fiqih ekonomi terfokus pada bidang-bidang yang ada dalam ilmu ekonomi, yaitu
peraturan mengenai hak milik individu, teori produksi, teori konsumsi, dan
berbagai prinsip-prinsip ekonomi yang ada di dalamnya, seperti prinsip keadilan,
prinsip ihsan (berbuat kebaikan), prinsip mas’uliyah (pertanggungjawaban),
prinsip kifayah (kecukupan), prinsip wasathiyah (keseimbangan), prinsip
waqi’iyah (realistis), prinsip kejujuran, dan sebagainya.4
Para ulama bersepakat bahwa fiqih itu bermacam-macam jenisnya, seperti
fiqih ibadah, fiqih munakahat (perkawinan), fiqih muamalah, fikih siyasah
(politik) dan lainnya. Walaupun fiqih berhubungan dengan hukum-hukum Islam
yang bersifat praktis, tetapi teori-teorinya dapat diterapkan dan dikembangkan
dalam masalah ekonomi yang tercakup di bawah fiqih muamalah. Selain itu, para
3 Sumar’in, S.EI, M.S.I, Ekonomi Islam: Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Perspektif Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 18.4 http://mrasyidin.blogspot.co.id/2008/07/dasar-fiqh-ekonomi-islam.html
ahli tafsir, fiqih dan ilmu kalam juga telah menjelaskan nilai-nilai Islam dan
penerapannya dalam masalah ekonomi.5
Berikut diantaranya penafsiran dari bermacam jenis fiqih, meliputi:
a. Fiqih Muamalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang
berdasarkan hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam
kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil islam secara rinci. Ruang
lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia
berdasarkan hukum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang
berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan
mubah. Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut
urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia
dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :
Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
Menetapkan harga yang kompetitif Meninggalkan intervensi yang dilarang
Menghindari eksploitasi
Memberikan toleransi
Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah
b. Fiqih Jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf sebagai hasil
pemahaman atas dalil yang terperinci. Jinayah adalah tindakan kriminal atau
tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan
melawan perundang-undangan. Tujuan disyari’atkannya adalah dalam
rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan.
Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti:
pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berbuat zina,
minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang
dan melakukan gerakan kekacauan.
5 Masyhudi Muqorobin, “Beberapa Persoalan Metodologi dalam Ilmu Ekonomi: Antara Sekuler dan Islam”, dalam Jurnal Ekonomi Sosial Pembangunan, Vol. 2,No. 2, ( Desember,2001).
Jenis-jenis bentuk hukumannya yaitu:
Hudud, yaitu ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh nash jenis dan
berat-ringannya hukuman.
Qishah, yakni hukuman yang sama dengan tindak kejahatannya. Ada yang
berbentuk diyat, yaitu denda sebagai pengganti tidak dilakukannya qishash.
Ta’zir, yaitu hukuman yang tidak tersebut dalam ketentuan diatas dengan
ketetapan hakim.
c. Fiqih Munakahat, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa‘dirahimahullahu berkata: “Pria memimpin wanita dengan mengharuskan
mereka menunaikan hak-hak Allah ta‘ala seperti menjaga apa yang
diwajibkan Allah dan mencegah mereka dari kerusakan. Mereka juga
memimpin kaum wanita dengan memberi belanja/nafkah, memberi pakaian
dan tempat tinggal”. (Tafsir Al Karimir Rahman fi Tafsir Al Kalamin
Mannan hal. 17).
d. Fiqih Ibadah, Ibadah merupakan suatu bentuk rasa syukur terhadap segala
ciptaan dan rejeki yang Allah berikan, adapun hal-hal yang termasuk
kedalam fiqih adalah aqidah (rukun iman, rukun islam, dan ketauhidan),
shalat, zakat, amal baik infaq, sedekah dan lain-lain. Ibadah adalah
instrumen dalam pencapaian kebahagiaan di akhirat, karena apa yang kita
lakukan didunia Allah akan membalasnya diakhirat.6
1.3 Ushul al-fiqh dan Ekonomi Islam
Ushul fiqh atau dasar-dasar hukum Islam, membicarakan tentang indikasi-
indikasi dan metode deduksi hukum-hukum fiqih dari sumbernya. Indikasi-
indikasi ini terutama ditemukan dalam Alquran dan Sunnah yang merupakan
sumber pokok Syariat Islam. Artinya, hukum-hukum fiqih digali dari Alquran dan
Sunnah atas dasar beberapa prinsip dan metode yang dikenal dalam ushul fiqh.
Beberapa penulis menganggap ushul fiqh sebagai metodologi hukum.7 Para ulama
ushul fiqh berpendapat bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah untuk mengetahui
6 http://yonputra.blogspot.co.id/2013/12/methodologi-ekonomi-islam-mata-kuliah.html7 Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul Fiqih),Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 1.
dalil-dalil syara’ yang menyangkut permasalahan akidah, ibadah, muamalah,
uqubah (sangsi) dan akhlak. Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut pada
gilirannya dapat diamalkan sesuai dengan hukum yang terdapat dalam Alquran
dan Hadis. Oleh karena itu, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh
bukan merupakan tujuan, tapi hanya sebagai sarana untuk mengetahui hukum-
hukum Allah SWT pada setiap kasus. Sehingga, dapat dipedomani dan diamalkan
sebaik-baiknya. Dengan demikian, yang menjadi tujuan sebenarnya adalah
mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah SWT yang diperoleh
melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.8
Pengembangan yang digunakan dalam metodologi Islam berbeda dengan
pengembangan yang digunakan dalam metodologi konvensional. Pengembangan
yang digunakan dalam metodologi ekonomi konvensional berdasarkan kepada
gejala-gejala ekonomi yang muncul dan bagaimana pengamatan yang telah
dilakukan oleh para ahli ekonomi. Metodologi ekonomi konvensional
dikembangkan dari interpretasi manusia tentang manusia dan realita kehidupan.
Sedangkan dalam Islam, metodologi dikembangkan dari pemahaman bahwa alam
dan isinya adalah ciptaan Allah, maka peraturan-Nyalah yang paling pantas untuk
dilaksanakan.9
Penerapan ushul fiqh dalam metodologi ekonomi Islam dapat
menggunakan beberapa metode, seperti qiyās (analogi), istihsān (menganggap
baik terhadap sesuatu) dan maslahah mursalah atau istislāh
(kemaslahatan). Walaupun demikian, antara satu mazhab fikih dengan yang lain
terjadi perbedaan pendapat dalam menyikapinya. Misalnya, seputar qiyās. qiyās
adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nas
dengan cara membandingkannya dengan yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nas karena ada persamaan ‘illat antara kedua peristiwa tersebut.10
Qiyās ada dua macam, yaitu qiyās jāli dan qiyās khafi. Jika qiyās jāli tidak
mampu menyelesaikan permasalah yang ada, maka penyelesainnya dapat
menggunakan qiyās khafi. Tujuannya adalah untuk memberi kemudahan kepada
8 Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos, 1996, hlm. 59 Masyhudi Muqorobin, Op.Cit., hlm. 11.10 Kamal Mukhtar, Ushul Fiqih I dan II. (Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1996), hlm. 103.
umat Islam dan menegakkan kemaslahatan dan keadilan. Sungguhpun demikian,
jika semua metode-metode hukum di atas, belum dapat menyelesaikan
permasalahan ekonomi dan keuangan, maka dapat menggunakan metode
maslahah mursalah atau istislāh yang populerkan penggunaannya oleh
Imam al-Shātibi dari mazhab Maliki. Metode ini juga digunakan oleh sebagian
ulama mazhab Shāfi‟i, seperti Imam al-Tufail, al-Ghazali dan al-Āmidi.
Penerapan metode istislāh dalam ekonomi Islam, seperti penerapan teori
kepuasan masyarakat dalam ekonomi konvensional.11
1.3.1 Tingkatan dalam Metodologi Ekonomi Islam
Dalam pengambilan keputusan dan melakukan ijtuhad untuk menyikapi
masalah kehidupan, ulama telah melakukan pengembangan terhadap metode yang
dilakukan. Secara umum metode yang dilakukan para cendikiawan untuk
melahirkan ilmu itu sendiri dibagi dua metode pendekatan. Begitu pula halnya
dalam melakukan pengkajian dan menurunkan ilmu ekonomi islam, adapun
pendekatan metode yang dimaksud meliputi yaitu:
a. Metode deduksi, metode ini dikembangkan oleh para ahli hukum islam dan
sangat dikenal dikalangan mereka, diaplikasikan terhadap ekonomi islam
modern untuk menampilkan prinsip-prinsip islam dan kerangka hukumnya
dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber hukum islam, Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
b. Metode pemikiran retrospektif, metode ini digunakan banyak penulis
muslim kontemporer yang merasakan tekanan, kemiskinan dan
keterbelakangan di dunia islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan
terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan kembali kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan
tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan.
Berikut konsep dasar metodologi ekonomi islam diuraikan dalam bagan
dibawah ini.
11 Ibid, hlm. 136-138.Qur’an dan Sunnah Ushul Fiqh dan Qawaid
Aqidah Syariah Akhlak
Gambar. Kerangka Metodologis Ekonomi Islam
Secara sederhana ilmu ekonomi islam dapat diturunkan dari kerangka
metodologis ekonomi islam, mencakup berbagai hal, diantaranya:
a. Kebenaran dan kebaikan
Dalam pandangan islam kebenaran dan kebaikan mutlak hanya dari Allah
SWT, baik yang berbentuk ayat qauliyah ataupun kauniyah. Dalam Al-
Qur’an Allah memerintahkan manusia untuk membaca kejadian di alam
semesta untuk menemukan kebenaran dengan petunjuk Al-Qur’an.
b. Metodologi ilmu alam versus ilmu sosial
Teori ekonomiRealitas ekonomi
Metode Induksi
Dalam ilmu alam, perilaku subjek didasarkan pada aturan-aturan yang ada
dalam tatanan jagad raya yang sudah tertentu sifatnya. Sedangkan dalam
ilmu ekonomi adalah mengidentikkan ekonomi dengan proses yang terjadi
dalam ilmu fisika. Anggapan inilah yang telah menjebak ilmu ekonomi
dalam perangkap determinisme (tekanan). Selanjutnya penilaian kebenaran
dengan hanya menggunakan pendekatan pada metode ini melahirkan faham
positifistik.
c. Objek ekonomi islam
Ekonomi islam merupakan manifestasi ajaran islam dalam perilaku ekonomi
baik mulai penentuan tujuan kegiatan ekonomi, sikap, analisis dan respon
terhadap fenomena sosial. Dalam tatanan empiris, perilaku ekonomi islam
secara parsial dapat dijumpai pada sekelompok masyarakat muslim ataupun
nonmuslim.12
1.3.2 Isu-Isu Seputar Islamisasi Ilmu Ekonomi
terdapat 3 (tiga) isu-isu penting dalam proses Islamisasi ilmu Ekonomi, yaitu (1)
perbedaan worldview (pandangan dunia), (2) hubungan wahyu dan akal; dan (3)
persoalan metodologi. 10 1. Perbedaan Worldview Worldview berfungsi sebagai
dasar bagi keseluruhan bangunan teori pengetahuan. Dalam worldview itulah
konsep, aksioma, hukum dan teori ekonomi dimapankan, dan setiap sistem
sosial memiliki visinya sendiri. Worldview Barat sangat dipengaruhi oleh falsafah
darwinisme sosial, materialisme dan determinisme (Ahmadiono, 2003: 208).
Tolok ukur kebenaran, kesenangan dan aspek-aspek lain dalam hidup
ditentukan oleh parameter kebendaan. Oleh karena itu, apapun yang berada di
luar jangkauan indera, sudah pasti akan ditolak. Worldview Barat ini
terefleksikan oleh visi Adam Smith, Karl Marx dan JM.Keynes. Worldview
kapitalisme klasik tidak mungkin dapat dilepaskan dari visi Adam Smith yang
menurunkan postulatpostulat hukum alam dalam hukum-hukum ekonomi. Jika
Tuhan menciptakan sebuah mekanisme yang bekerja secara harmonis dan
otomatis tanpa ada intervensi apapun, maka laissez faire merupakan
kebijaksanaan yang tertinggi dalam kehidupan sosial umat manusia (al-Faruqi,
12 Sumar’in, S.EI, M.S.I, Ekonomi Islam: Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Perspektif Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 18-19.
1995: 179). Smith selanjutnya mewacanakan pemuasan self-interest dan
persaingan bebas sebagai hukum alam yang menggerakkan motif-motif ekonomi
manusia yang dipandang selaras dengan kepentingan sosial. Pengembangan visi
kapitalisme kasik ini mencapai puncaknya ketika Leon Walras mengenalkan
konsep "Tatonnement" untuk menunjukkan bahwa seluruh kekuatan pasar
dalam ekonomi laissez faire secara simultan mampu menjaga keseimbangan
(economic equilibrium). Teoretisasi Walras ini kian memperjelas abstraksi Smith
tentang peran tangan tersembunyi (invisible hands) dalam pembentukan harga
pasar sebagai paradigma utama ekonomi kapitalis. Selanjutnya, kelahiran Karl
Marx mengoreksi visi ini bahwa dominasi kapitalisme telah menciptakan
struktur ekonomi yang sangat timpang, terutama terhadap kelompok buruh dan
kaum marjinal lainnya. Kemudian, visi Keynes tentang peran pemerintah hadir
ketika kapitalisme tengah diliputi great depression. Sampai saat ini, meskipun
belakangan juga menuai banyak kritik, teori Keynes dipandang sebagai counter
argument paling valid terhadap teori ekonomi klasik (Hoetoro, 2007: 197-200).
11 Dengan mendasarkan pada worldview di atas, ilmu ekonomi konvensional
bercorak egoistis, yaitu aktivitas ekonomi hanya bertujuan memenuhi
kepentingan diri sendiri. Ini didukung dengan beberapa konsep yang lahir dari
worldview dan menjadi pilar paradigma ekonomi konvensional, Salah satu pilar
itu adalah rasional economic man. Ilmu ekonomi konvensional berpandangan
bahwa perilaku individu adalah rasional. Aspek rasionalitas diartikan sebagai
upaya pemenuhan kepentingan "diri sendiri" secara bebas dan kepentingan itu
berwujud maximisasi kekayaan dan kepuasan tanpa melihat dampaknya kepada
kesejahteraan orang lain (Ahmadiono, 2003: 208-209). Selain konsep di atas,
bagian lain yang tak kalah pentingnya adalah pengaruh positivisme dalam
ekonomi konvensional. Positivisme telah menjadi bagian integral dari paradigma
ilmu ekonomi konvensional. Ini berakibat pada pengabaian peran nilai moral
sebagai alat untuk memfilter alokasi dan distribusi sumber daya dan
menganggap faktor-faktor seperti cita rasa, preferensi dan lembaga sosio-
ekonomi sebagai variabel yang tak perlu diperdebatkan. Selain itu, positivisme
mendorong ilmu ekonomi harus mempunyai jawaban benar atau salah yang
dapat ditentukan secara empiris. Dalam ekonomi konvensional, jawaban ini
otomatis menekankan pada konsep yang dapat diukur secara material atau
keuangan. Sikap demikian telah menjauhkan dari tugas menganalisis dampak
nilai-nilai sosial dan institusi pada alokasi dan distribusi sumber daya. Pandangan
lain yang menjadi pilar paradigma ekonomi konvensional adalah konsep pasar
bebas atau non intervensi pemerintah, yang sering disebut dengan "laissez
faire". Konsep ini menilai bahwa ekonomi akan berjalan dengan baik jika ia
dibiarkan berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan pemerintah. Sistem
ekonomi akan mampu memulihkan dirinya sendiri (self adjustment) karena ada
kekuatan pengatur yang disebut sebagai invisible hands (tangan gaib)
(Jusmaliani, 2005: 348). Dengan berpijak pada worldview dan paradigma di atas,
ekonomi konvensional melahirkan beberapa asumsi teoritik yang menegaskan
bahwa 12 watak dasar ekonomi konvensional memandang manusia sebagai
bersifat selfish. Ini terlihat dari teori harga yang menjadi cermin kepentingan
individu, teori persaingan sempurna yang mengabaikan adanya fakta bahwa
tidak semua individu mampu masuk dalam pasar dan teori nilai guna
(utilitarianisme) sebagai nilai yang sejalan dengan kesenangan materi dan teori
keadilan distributif yang hanya menganggap keadilan adanya kesempatan yang
sama setiap orang untuk mendapatkan barang ataupun jasa dalam mekanisme
pasar. Meski demikian, memang tidak dapat disangkal bahwa visi kapitalisme ini
kini telah mencapai aktualisasinya dalam sebuah peradaban material yang paling
spektakuler sepanjang sejarah. Namun sayangnya, peradaban ini telah jauh
mengubah kualitas dengan kuantitas, intuisi dengan rasio, hidup untuk idealita
dengan hidup untuk kesenangan, kebenaran dengan kekuasaan, dan
sebagainya. Berbeda dengan scientific worldview, Islamic worldview adalah
sebuah visi yang menyatukan kebenaran wahyu dan ilmu pengetahuan secara
harmoni. Islamic worldview didasarkan kepada wahyu (al-Qur'an dan alHadits),
bersifat fleksibel, namun tidak bisa digantikan. Islamic worldview dibangun oleh
tiga keyakinan pokok, yaitu Tauhid, khilafah dan 'adalah (Ahmadiono, 2003:
200). Implikasi dari Islamic worldview ini adalah formulasi teoritis ekonomi Islam
tidak hanya terfokus pada penjelasan yang bersifat mekanistik atau positivistik
terjadinya perilaku dan interaksi ekonomi, sebagaimana terlihat dalam ekonomi
modern, seperti dalam teori konsumsi, pasar, upah, teori produksi, dan
sebagainya. Namun, justru dalam ekonomi Islam, perilaku ekonomi yang
berimplikasi kepada etika, moralitas dan nilainilai normatif lainnya dipandang
penting dan karena itu perlu dimasukkan dalam pengembangan teori (Hoetoro,
2007: 207). Tauhid merupakan konsep inti dalam worldview Islam, mendasari
keyakinan manusia atas keesaan Allah dan berperilaku sesuai dengan
aturanaturan-Nya. Tawhid juga memberikan pemahaman bahwa Allah telah
menciptakan seluruh alam semesta secara sadar dan terencana. Penciptaan
alam ditundukkan Allah sebagai sumber daya ekonomis dan keindahan bagi 13
seluruh manusia. Implikasinya adalah terbukanya kesempatan yang sama bagi
manusia dalam memperoleh rezeki Allah, meskipun ketidakmerataan ekonomi
di antara manusia tak terlepas dari kekuasaan Allah. Namun, dalam kerangka
tawhid, perbedaan kemampuan secara ekonomis ini justru mendorong pada
adanya persaudaraan, saling membantu dan bekerja sama dalam kegiatan
ekonomi melalui mekanisme syirkah, qirad, dan sebagainya (Ahmadiono, 2003:
210). Konsep khilafah dalam Islam menempatkan manusia sebagai wakil Allah di
muka bumi. Manusia mendapat sarana sumber-sumber materi yang dapat
membantunya dalam mengemban misinya secara efektif. Pemanfaatan sumber-
sumber pemberian Allah itu harus dilakukan untuk menciptakan kesejahteraan
(falah) seluruh umat manusia, bukan untuk kepentingan pribadi sendiri
sebagaimana menjadi falsafah ekonomi konvensional. Karenanya, untuk
mewujudkan tujuan ini, Islam juga menjadikan konsep 'adalah sebagai bagian
pandangan dunianya. Dalam konteks sosio-ekonomi, tujuan keadilan mewujud
pada distribusi pendapatan, dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari
falsafah moral Islam yang mendasarkan pada persaudaraan kemanusiaan
universal. Adanya dorongan persaudaraan universal dan keadilan dalam al-
Qur'an dan as-Sunnah tidak akan dapat direalisir tanpa adanya pemerataan
distribusi pendapatan dan kekayaan. Dalam ekonomi Islam, konsepsi ini
berperan penting karena membedakannya dari konsep rasionalitas ekonomi
sebagaimana yang dijumpai dalam ilmu ekonomi modern (Hoetoro, 2007: 203).
Atas dasar worldview yang demikian, sebagai upaya Islamisasi ilmu ekonomi
lahir beberapa konsep yang menjadi pilar paradigma ekonomi Islam. Pertama,
Islam memandang manusia mempunyai kewajiban moral menjaga
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Adanya konsep
persaudaraan dan kesejahteraan manusia, universal sebagai implikasi dari
paham tawhid dan khilafah menunjukkan penekanan Islam pada sifat altruisme
dalam diri manusia. Kedua, Islam menjadikan moral sebagai mekanisme filter
sebagai penyempurna bagi sistem pasar yang juga diakui 14 dalam Islam. Filter
moral menekankan pada pendayagunaan sumber daya ekonomi harus sejalan
dengan konsep khilafah dan 'adalah. Ketiga, mekanisme pasar bebas terkontrol.
Islam menerima adanya campur tangan pemerintah dalam pendistribusian
secara merata sumber daya ekonomis. Peran negara dalam mekanisme pasar
dapat berupa bantuan untuk mewujudkan kesejahteraan dengan memantapkan
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan sosial, mempertahankan jalur
ekonomi di atas ketentuan yang telah disepakati, dan mencegah penyelewengan
melalui kepentingan pribadi (Ahmadiono, 2003: 210-211). Ketiga pilar
paradigma ekonomi Islam ini dipandang sangat strategis dalam membangun
sistem perekonomian Islami yang tidak hanya mencari keuntungan pribadi,
seperti yang menjadi watak dasar ekonomi konvensional. 2. Hubungan Wahyu
dan Akal Hubungan antara wahyu (revelation) dan akal (reason) adalah isu
metodologis lain yang sering ditemukan dalam wacana ilmiah Barat dan Islam.
Menurut Zubair Hasan, hubungan antara wahyu dan akal dapat ditinjau dalam
dua cara, yaitu (1) akal bekerja dari dalam sebagai sarana organik ketika
berbicara soal wahyu, atau (2) akal menolak wahyu dari luar. Tetapi, secara
metodologis, posisi keduanya berbeda; yang pertama mencerminkan cara
pandang Islami, sedangkan yang kedua merupakan cara pandang sekuler
(Hasan, 1998: 12). Konseptualisasi akal tersebut menunjukkan bahwa ekonomi
konvensional telah menolak secara tegas pelibatan wahyu sebagai sumber
pengetahuan dan berpendapat bahwa kebenaran teori ekonomi hanya dapat
dibuktikan jika sesuai dengan fakta-fakta empiris. Analogi Adam smith tentang
self interest sebagai hukum yang mengatur tindakan ekonomi manusia sederajat
dengan hukum-hukum yang mengatur mekanisme alam semesta jelas
mengindikasikan penolakan itu. Sementara di sisi lain, ekonomi Islam
meletakkan wahyu sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan bagi manusia,
sementara akal memperoleh penghormatan sebagai sarana untuk memahami
15 wahyu tersebut. Fungsi pokok wahyu adalah menjelaskan fenomena ekonomi
dalam perspektif transendental dan hal-hal yang tak terjawab oleh logika. Oleh
karena itu, analisis ekonomi Islam menjangkau spektrum yang lebih luas
daripada analisis ekonomi konvensional (Hoetoro, 2007: 258). 3. Persoalan
Metodologi Dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi, metodologi ilmu ekonomi
merupakan hal yang penting dan mendasar karena melalui metodologi inilah
kebenaran hukum atau teori diharapkan tercapai. Perumusan teori-teori
ekonomi yang didasarkan kepada paradigma atau worldview Islam mau tidak
mau harus berangkat dari sebuah metodologi yang berbeda dengan metodologi
ilmu ekonomi saat ini. Secara prinsip, keduanya berbeda sama sekali dalam
banyak hal, terutama tentang tatanan nilai, filsafat dan pandangan dunia
(worldview) yang mendasari, alur sejarah perkembangannya serta posisinya
terhadap ilmu ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, proses Islamisasi ilmu
ekonomi diharapkan dapat mengintegrasikan keduanya yang meski berbeda,
namun juga memiliki sejumlah kesamaan yang bersifat natural (Muqorobin,
2005: 1). Metodologi dalam ekonomi memuat seperangkat kriteria, aturan dan
prosedur yang digunakan untuk menguji sifat, ruang lingkup dan kinerja ilmu
ekonomi (Hoetoro, 2007: 245). Di bidang ilmu-ilmu sosial, termasuk ekonomi,
formulasi teori adalah pekerjaan yang berat karena terkait dengan dinamika
pelakunya dan seringkali terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Oleh karena
itu, tujuan utama teori-teori sosial sebenarnya tidak untuk memprediksi dan
meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi lebih dimaksudkan
untuk menjelaskan dinamika peristiwa yang sedang berlangsung. Namun
ironisnya, terutama di ekonomi, sudah lama muncul kecenderungan untuk
membuat banyak penelitian empiris yang digunakan sebagai dasar pijak teoritis
dalam memprediksi kemungkinan yang mungkin terjadi. 16 Barangkali banyak
ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi yang mengikuti pola pikir atau penalaran
yang umum dipakai dalam dunia eksakta (kealaman), seperti fisika, kimia dam
biologi, yang memiliki parameter yang sudah baku dan pasti, seperti gaya
gravitasi, yang dibuktikan dengan bendabenda yang selalu jatuh mendekati
bumi. Hal inilah yang menyebabkan banyak lontaran kritik yang dialamatkan
kepada metodologi ilmu ekonomi karena terlalu matematik, steril dan tidak
realistik serta sangat terasa kering dari wacana etik dan nilai-nilai humanis yang
semestinya tidak pernah lepas dari kemanusiaan manusia itu sendiri (Adnan,
2000: 297). Dalam hal metodologi ilmu ekonomi Islam, diantara tokoh yang
pernah menawarkan pemikirannya adalah Ismail Raji al-Faruqi (1982: 22-33),
yang menawarkan prinsip-prinsip dasar metodologi Islami, yaitu the unity of
Allah (SWT), the unity of creation, the unity of truth and the unity of knowledge,
the unity of life dan the unity of humanity. Dengan menelaah pandangan ini,
ternyata metodologi yang ditawarkan al-Faruqi jauh berbeda dibandingkan
dengan apa yang saat ini disebut sebagai scientific approach. Scientific approach
berbasis pada sesuatu yang empiris, secara tidak langsung menafi'kan eksistensi
Tuhan. Hal ini disebabkan karena paham ini menilai bahwa sebuah kebenaran
harus diperoleh dengan a posteriori. Safi mencatat bahwa metodologi Barat
memiliki dua kelemahan, yaitu (1) terjebak kepada bias-bias empirisme yang
mencapai puncaknya dalam pendekatan positivisme logis, dan (2) pencabutan
wahyu Ilahi sebagai sumber pengetahuan ilmiah. Akibat dari bias-bias
metodologi ini adalah bahwa kebenaran ilmiah hanya dapat dibuktikan secara
empiris dan logis atau bahkan harus sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi.
Sementara itu, metodologi tradisional Islam juga mengandung kelemahan yaitu
membatasi ijtihad kepada penjelasan legalistik formal, terlalu atomistik dan
terpaku kepada pemikiran analogis (Hoetoro, 2007: 250). Untuk mengatasi
persoalan ini, terdapat dua pendekatan yang populer dalam metodologi
ekonomi islam, yaitu (1) pendekatan radikal (all-ornothing); dan (2) pendekatan
bertahap (step by step). Pendekatan pertama 17 didasarkan kepada gagasan
tentang universalitas dan kesempurnaan Islam dengan mengandaikan
terbentuknya sebuah model masyarakat Islam murni sehingga prinsip-prinsip
ekonomi Islam dapat terwujud sepenuhnya. Sementara itu, pendekatan kedua
tampak lebih pragmatis. Pendekatan ini lebih menekankan pada langkah-
langkah yang evalusioner untuk memodifikasi tatanan sosial-ekonomi modern
menuju idealita Islam. Nampaknya, pendekatan kedua ini lebih banyak diminati
karena dipandang memberi ruang yang fleksibel untuk melakukan modifikasi
dan perbaruan metodologis sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Pada umumnya,
Islamisasi ekonomi menempuh pendekatan ini (Hoetoro, 2007: 251).
1.3.3 Metodologi Ekonomi Islam Dibandingkan dengan Ekonomi Barat
Para ekonom muslim beranggapan bahwa nilai-nilai Islam telah mulai
mewarnai penerapan ilmu ekonomi di era modern. Akan tetapi, hal ini diperlukan
adanya elaborasi metodologi ekonomi yang tepat. Kemudian, metodologi ini
dikembangkan dalam ilmu usūl fiqh lalu dikaitkan dengan ilmu ekonomi
konvensional, seperti halnya pada beberapa disiplin ilmu yang lain.13 Munculnya
metodologi dalam ilmu ekonomi konvensional dimulai ketika ilmu ekonomi ini
sendiri relatif mapan dan telah mengalami perkembangan yang cukup berarti.
Oleh karena itu, keberadaan metodologinya adalah untuk menjustifikasi atau
mengabsahkan keberadaan ilmu ekonomi sekaligus dengan praktek-praktek
empirisnya. Situasi yang selalu berubah, menjadi dasar dari pentingnya
kemapanan ilmu ekonomi, melalui sebuah metodologi. Tanpa metodologi,
konsekuensinya, bila kelak terjadi perubahan mendasar terhadap praktek
perekonomian secara global, maka ia juga akan mencari alat justifikasi yang baru
dan sesuai, atau sebaliknya mengalami situasi yang tragis dan sulit untuk
dibayangkan.14 Sedangkan dalam ilmu ekonomi Islam, Islam membangun
metodologinya terlebih dahulu. Dalam konteks ini misalnya berbentuk usūl fiqh,
baru kemudian ilmu fiqh yang tercakup di dalamnya fiqh mu‟āmalat dengan
berbagai kategorinya yang berkembang mengikuti metodologi. Dari sini pula
suatu sistem kemudian memperoleh berbagai momentum sejarahnya melalui
berbagai bentuk, baik teori maupun empiris. Para pemikir Muslim, seperti Ibnu
Sina, Ibnu Khaldun, Imam Ghazali, Imam Abū Hanifah beserta kedua muridnya
yaitu Imam Abū Yūsuf dan Imam Syaibani, Imam Malik, Ibnu Taimiyyah dan
nama-nama lain yang jumlahnya tidak terhitung telah memformulasikan berbagai
perangkat dalam mekanisme ekonomi yang banyak dipakai ilmu ekonomi
konvensional saat ini.
Prinsip pengembangan metodologi ilmu di barat bertujuan untuk membentuk
ekonomi apa yang bisa diterapkan, setelah menganalisa apa saja yang sudah
dihasilkan oleh ekonomi dalam beberapa abad (posterior evolution). Artinya ilmu
13 Masyhudi Muqorobin, “Beberapa Persoalan Metodologi dalam Ilmu Ekonomi: Antara Sekuler dan Islam”, dalam Jurnal Ekonomi Sosial Pembangunan, Vol. 2,No. 2, ( Desember,2001), Hlm 15.14 Ibid, Hlm. 270-271.
hanya dimaknai sebagai tanggapan terhadap perilaku manusia yang selalu
berubah-ubah dan sesuai kebutuhan. Selain itu konsep kebenaran hanya dinilai
dari logika dan kebenaran universal berdasarkan pemahaman manusia.
Sedangkan metodologi Ekonomi Islam itu sendiri bertujuan untuk membantu
mencari kebenaran islam, meyakini bahwa ada dua kebenaran yang sesungguhnya
berlaku untuk setiap aspek kehidupan pada setiap ruang dan waktu yaitu Al-
Qur’an dan Sunnah. Metodologi ekonomi islam merupakan bentuk penafsiran dari
Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri sebagai way of life dalam islam. Selanjutnya
dalam menafsirkan Qur’an dan Sunnah tersebut diperlukan ilmu pendukung yakni
ilmu Ushul; dan Qawaid, yang akan melahirkan ilmu dan pemahaman terhadap
islam yang komperhensif dan universal.