metabolisme xenobiotik
DESCRIPTION
Metabolisme XenobiotikTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid cair
yang mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukaran
antara sel yang berada dalam tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki
sifat protektif terhadap organisme dan khususnya terhadap darah sendiri.
Darah membentuk sekitar 8% dari berat tubuh total dan memiliki volume
rata-rata 5 liter pada wanita dan 5,5 liter pada pria. Darah terdiri dari tiga
jenis elemen selular khusus, eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah
putih) dan trombosit (keping darah) yang membentuk suspensi dalam
cairan kompleks plasma. Fungsi utama sel darah merah adalah
pengangkutan hemoglobin, yang selanjutnya mengangkut oksigen dari
paru-paru ke jaringan. Sel darah putih merupakan unit sistem pertahanan
tubuh yang cepat dan kuat, sebagian besar diangkut secara khusus ke
daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius sedangkan
trombosit untuk pembentukan bekuan darah. (Sherwood. 2011)
Proses pembentukan komponen sel darah atau disebut juga dengan
Hematopoiesis. Dimana dalam proses tersebut terjadi
proliferasi, maturasi, dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Sel-
sel darah merah pada orang dewasa dibentuk di sumsum tulang, yang
membentuk tulang sumbu tubuh. Selama masa perkembangan janin,
hematopoiesis pertama kali terjadi di yolk sack dan kemudian pindah ke
hati dan limpa dan akhirnya ke tulang. Produk sel darah dijaga relatif
konstan, tetapi memiliki kapasitas untuk meningkat apabila kebutuhan
bertambah. Organ-organ yang mampu melakukan hematopoiesis pada
masa janin tetap memiliki kemampuan ini seandainya kebutuhan
menuntut. (Guyton & Hall. 2007)
2
2. Tujuan dan Manfaat
A. Tujuan Umum
Memberikan informasi tentang hematopoiesis yang meliputi
komponen sel darah, pembentukan dan faktor yang mempengaruhinya.
B. Tujuan Khusus
a. Mengetahui macam-macam sel darah.
b. Mengetahui organ yang mereproduksinya.
c. Mengetahui proses pembentukan dan pematangan sel darah.
d. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam hematopoiesis.
3. Manfaat
a. Secara Teoritis
Bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang hematopoiesis .
b. Secara Praktis
Diharapkan dapat mengerti tentang macam-macam sel darah, organ
yang memproduksi sel darah, proses pembentukan dan pematangan sel
darah dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam hematopoiesis.
.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Macam-Macam Sel Darah Dan Organ Yang Memproduksinya
Sistem hematologi terdiri dari semua sel-sel darah, sumsum tulang
tempat sel-sel tumbuh matang, dan jaringan lomfoid tempat sel darah
disimpan jika tidak bersirkulasi. Sistem hematologi dirancang untuk
membawa oksigen dan nutrisi, mengangkut hormon, membuang produk
sampah, dan menghantarkan sel-sel untuk mencegah infeksi, menghentikan
perdarahan, dan memfasilitasi proses penyembuhan. Darah juga
memungkinkan tubuh memberi makan dan menyembuh-kan dirinya serta
menghubungkan antara bagian bagian tubuh. Darah terdiri dari sekitar 45%
komponen sel dan 55% plasma. Komponen sel tersebut adalah sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit).
Sel darah merah berjumlah 99% dari total komponen sel, dan sisanya 1%
adalah sel darah putih dan platelet. Plasma terdiri dari air 90%, dan 10%
sisanya dari protein plasma, elektrolit, gas terlarut, berbagai produk sampah
metabolisme, nutrien, vitamin, dan kolesterol. Protein plasma terdiri dari
albumin, globulin, dan fibrinogen. Albumin merupakan protein plasma yang
paling banyak dan membantu mempertahankan tekanan osmotik plasma dan
volume darah. Globulin mengikat hormon yang tidak larut dan sisa plasma
lainnya agar dapat larut. Proses ini memungkinkan zat-zat penting terangkut
di dalam darah dari tempat asalnya dibuat ke tempat zat-zat tersebut bekerja.
Sebagai contoh, zat-zat yang dibawa berikatan dengan protein plasma
termasuk hormon tiroid, besi, fosfolipid, bilirubin, hormon steroid globulin
lainnya, imunoglobulin, adalah antibodi yang ada di dalam darah untuk
melawan infeksi. Fibrinogen merupakan komponen penting dalam proses
pembekuan darah. (Guyton & Hall. 2007)
4
1.1 Macam-Macam Sel Darah
Jadi sel-sel darah itu sendiri terbagi atas beberapa sel yaitu :
1) Sel Darah Merah
Konsentrasi hemoglobin dalam sampel darah (gram per 100 mL)
biasanya kira-kira satu pertiga hematokrit. Sel darah merah
dideskripsikan secara klinis menurut ukuran dan jumlah hemoglobin
di dalam sel. Rerata volume korpuskular atau mean corpuscular
volume (MCV) adalah ukuran volume dalam mikrokubik untuk satu
sel darah merah. MCV paling sering digunakan sebagai penanda
apakah sel berukuran normal, kecil atau besar dan digunakan secara
klinis untuk menentukan anemia. (Elizabeth J.C. 2009)
Normositik : sel berukuran normal (MCV 87-103 fL/sdm atau ;
im3/sdm).
Mikrositik : sel berukuran terlalu kecil (MCV<87|im3/sdm).
Makrositik : sel berukuran terlalu besar (MCV >103j.tm3/sdm).
Hipokromik : sel dengan jumlah hemoglobin terlalu sedikit.
Normokromik : sel dengan jumlah hemoglobin normal.
Hiperkromik : sel yang jumlah hemoglobinnya terlalu banyak.
(Elizabeth J.C. 2009)
1.2 Antigen Sel Darah Merah
Sel darah merah memiliki berbagai macam antigen spesifik yang
terdapat di membran selnya dan tidak ditemukan di sel lain. Antigen-
antigen ini diberi nama A dan B, dan Rh. (Elizabeth J.C. 2009)
Macam-macam antigen yaitu :
1) Antigen ABO
Setiap individu memiliki dua alel (gen), masing-masing
mengkode antigen A atau B, atau tidak keduanya, yang diberi nama
O. Satu alel diterima dari masing-masing orang tua. Antigen A dan B
bersifat ko-dominan. Individu yang memiliki antigen A dan B (AB)
akan memiliki darah (golongan) AB. Individu yang memiliki dua
5
antigen A (AA), atau satu A dan satu O (AO), akan memiliki darah
A. Individu yang memiliki dua antigen B (BB), atau satu B dan satu
O (BO), akan memiliki golongan darah B. Individu yang tidak
memiliki kedua antigen (OO) akan memiliki darah O. Individu yang
memiliki darah golongan AB dapat menerima golongan darah A, B,
atau O. Akan tetapi, respons imun akan terbentuk jika individu tanpa
antigen A atau antigen B terpajan antigen tersebut selama transfusi
darah. Antigen Rh adalah kelompok antigen utama lainnya pada sel
darah merah yang juga diwariskan dari masing-masing orang tua.
Antigen Rh utama disebut faktor Rh. Individu yang memiliki antigen
Rh dianggap Rh positif (Rh+). Individu yang tidak memiliki antigen
Rh dianggap Rh negatif (Rlr). Gen Rh positif bersifat dominan.
Dengan demikian, individu harus memiliki dua faktor negatif Rh
agar menjadi Rh negatif. Individu yang Rh positif akan
menerima darah Rh negatif. (Guyton & Hall. 2007)
2) Hemoglobin
Hemoglobin terdiri dari materi yang mengandung besi yang disebut
hem dan protein globulin. Terdapat sekitar 300 molekul hemoglobin
dalam satu sel darah merah. Setiap molekul hemoglobin memiliki
empat tempat pengikatan untuk oksigen. Oksigen yang terikat dengan
hemogoblin disebut oksihemoglobin. Keempat cabang hemogoblin
dalam sel darah merah dapat mengikat oksigen sebagian atau
seluruhnya. Hemoglobin dalam sel darah merah dapat mengikat oksi-
gen sebagian atau seluruhnya di keempat tempatnya. Hemoglobin
yang jenuh mengikat oksigen secara penuh atau total, sedangkan
hemoglobin yang jenuh parsial atau mengalami deoksigenasi memiliki
saturasi kurang dari 100%. (Elizabeth J.C. 2009)
6
1.3 Struktur dan Fungsi Normal Eritrosit
Sel darah merah (SDM) atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak
berinti yang kira-kira berdiameter 8 urn, tebal bagian tepi 2 um dan
ketebalannya berkurang di bagian tengah menjadi hanya 1 mm atau
kurang. Karena lunak dan lentur maka selama melewati mikrosirkulasi
sel-sel ini mengalami perubahan konfigurasi. Stroma bagian luar
membran sel mengandung antigen golongan darah A dan B serta faktor
Rh yang menentukan golongan darah seseorang. Komponen utama SDM
adalah hemoglobin protein (Hb), yang mengangkut sebagian besar
oksigen (O2) dan sebagian kecil fraksi karbon dioksida (CO2) dan
mempertahankan pH normal melalui eritrosit. (Silvia A.P. 2005)
1.4 Sel Darah Putih
Sel darah putih dibentuk di sumsum tulang dari sel-sel progenitor.
Pada proses diferensiasi selanjutnya, sel-sel progenitor menjadi golong-
an yang tidak bergranula yaitu, limfosit T dan B, monosit, dan makrofag,
atau golongan yang bergranula yaitu, neutrofil, basofil, dan eosinofil.
Peran sel darah putih adalah untuk mengenali dan melawan
mikroorganisme pada reaksi imun, dan untuk membantu proses pe-
radangan dan penyembuhan. Trombosit, yang merupakan fragmen sel
sumsum tulang, berperan penting dalam proses pengendalian per-
darahan. Selain itu, sel-sel ini sering bekerja sama dengan sel darah putih
dalam proses peradangan dan penyembuhan. (Elizabeth J.C. 2009)
1.5 Jenis Sel Darah Putih
Sel darah putih atau leukosit terdiri dari berbagai jenis yaitu :
1. Limfosit B dibentuk di dalam sumsum tulang kemudian bersirkulasi
dalam darah sampai menjumpai antigen yang telah diprogram untuk
mengenali antigen tersebut. Pada tahap ini, limfosit B mengalami
pematangan lebih lanjut dan menjadi sel plasma serta menghasilkan
antibodi. (Elizabeth J.C. 2009)
7
2. Limfosit T meninggalkan sumsum tulang dan berkembang selama
migrasi menuju ke timus. Setelah meninggalkan timus, sel-sel ini
bersirkulasi dalam darah atau disimpan dalam jaringan limfatik
sampai bertemu dengan antigen-antigen yang mereka telah diprogram
untuk mengenalinya. Setelah dirangsang oleh antigen, sel-sel ini
menghasilkan zat kimia yang menghancurkan mikroorganisme dan
memberi informasi ke sel darah putih lainnya bahwa telah terjadi
infeksi. (Elizabeth J.C. 2009)
3. Monosit dibentuk di sumsum tulang, dan masuk ke dalam sirku-lasi
dalam bentuk imatur. Di area terjadinya cedera atau infeksi, monosit
meninggalkan darah dan mengalami proses pematangan menjadi
makrofag setelah masuk ke jaringan. (Elizabeth J.C. 2009)
4. Makrofag dapat tetap tersimpan di dalam jaringan, atau digunakan
dalam reaksi peradangan segera setelah sel ini matang(Elizabeth J.C.
2009)
5. Neutrofil, basofil, dan eosinofil adalah sel-sel darah putih bergranular
yang membantu respons peradangan. Makrofag, neutrofil, basofil
dan eosinofil berfungsi sebagai fagosit, yaitu sel yang mencerna dan
menghancurkan mikroorganisme dan sel debris yang berakumulasi.
Meskipun fungsi basofil belum jelas, basofil bekerja seperti sel mast
yang mengeluarkan peptida vasoaktif, yang menstimulasi
respons infiamasi. (Elizabeth J.C. 2009)
1.6 Struktur dan Fungsi Normal Leukosit
Pertahanan tubuh melawan infeksi adalah peran utama leukosit atau
sel darah putih (SDP). Batas normal jumlah sel darah putih berkisar dari
4000 sampai 10.000/mm3. Lima jenis sel darah putih yang sudah
diidentifikasikan dalam darah perifer adalah (1) neutrofil (50% sampai
75% SDP total), (2) eosinofil (1% sampai 2%), (3) basofil (0,5% sampai
1%), (4) monosit (6%), dan (5) limfosit (25% sampai 33%). (Underwood,
2006)
8
Neutrofil, eosinofil, dan basofil disebut juga granulosit, artinya sel
dengan granula dalam sitoplasmanya. Diameter granulosit berkisar dari
10 sampai 14 nm, identifikasi bergantung pada afinitas granula tersebut
terhadap zat warna tertentu. Sel yang granulanya memiliki afinitas eosin,
yang berwarna merah sampai merah jingga, disebut eosinofil, sedangkan
sel yang memiliki afinitas zat warna biru atau basa disebut basofil.
Granula neutrofil yang juga disebut neutrofil segmen atau leukosit
polimorfonuklear (PMN), mempunyai afinitas sedikit terhadap zat warna
basa atau eosin, dan memberi warna biru atau merah muda pucat yang
dikelilingi oleh sitoplasma yang berwarna merah muda. Ketiga jenis
granulosit kelihatannya berasal dari sel induk pluripotensial dalam
sumsum tulang. (Underwood. 2006)
Walaupun semua mekanisme regulator untuk diferensiasi dan
pematangan sel darah putih serta semua sel turunannya belum
sepenuhnya dimengerti, tetapi identifikasi beberapa faktor perangsang
koloni (CSF) atau faktor pertumbuhan hematopoietik telah menjelaskan
proses tersebut. CSF adalah glikoprotein yang berasal dari sel yang
tergolong dalam kelompok regulator sel darah putih. (Underwood. 2006)
Diferensiasi, pematangan dan pelepasan monosit terjadi lebih dari
24 hari, suatu periode yang lebih lama dari granulosit. Monosit
meninggalkan sirkulasi dan menjadi makrofag jaringan serta merupakan
bagian dari sistem monosit-makrofag. Umur monosit adalah beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Monosit memiliki fungsi fagosit,
membuang sel-sel cedera dan mati, fragmen-fragmen sel, dan
mikroorganisme (seperti pada endokarditis bakterial). (Underwood.
2006)
Limfosit adalah leukosit mononuklear lain (mono-morfonuklear)
dalam darah, yang memiliki inti bulat atau oval yang dikelilingi oleh
pinggiran sitoplasma sempit berwarna biru yang mengandung sedikit
granula. Bentuk kromatin inti sarat dengan jala-jala yangberhubungan di
dalam. Limfosit bervariasi dalam ukuran dari kecil (7 sampai 10 urn)
sampai besar, seukuran granulosit dan tampaknya berasal dari sel induk
9
pluripotensial di dalam sumsum tulang dan bermigrasi ke jaringan
limfoid lain termasuk kelenjar getah bening, lien, timus dan permukaan
mukosa traktus gastrointestinal dan traktus respiratorius. Terdapat dua
jenis limfosit mencakup limfosit T bergantung timus, bukan berarti
pengaruh sel T hanya dipengaruhi oleh timus, tetapi timus disini hanya
sebagai organ target dari sel T, pada awalnya sel T terbentuk di sumsum
tulang tapi setelah berumur dewasa timus akan menghilang dengan
sendirinya dan sel T masuk ke sirkulasi dan ke jaringan limfoid untuk
membantu peran leukosit dalam proses membunuh kuman-kuman
penyakit serta sebagai respon terhadap reaksi alergi. Limfosit T
bermigrasi dari kelenjar timus ke jaringan limfoid lain. Sel-sel ini secara
khas ditemukan pada korteks kelenjar getah bening dan lembaran limfoid
periarteriola dari pulpa putih lien. Limfosit B tersebar dalam folikel-
folikel kelenjar getah bening, lien dan pita-pita medula kelenjar getah
bening. Limfosit T bertanggung jawab atas respons kekebalan selular
melalui pembentukan sel yang reaktif antigen, sedangkan limfosit B, jika
dirangsang dengan semestinya akan berdiferensiasi menjadi sel-sel
plasma yang menghasilkan imunoglobulin, sel-sel ini bertanggung jawab
atas respons kekebalan. (Underwood. 2006)
1.7 Trombosit
Trombosit adalah jasad kecil bergranula dengan diameter 2
sampai 4 p.m. Jumlahnya sekitar 300.000/uL darah dan pada keadaan
normal mempunyai waktu paruh sekitar 4 hari. Megakariosit, yaitu sel
raksasa di dalam sumsum tulang, membentuk trombosit dengan cara
mengeluarkan sedikit sitoplasma ke dalam sirkulasi. Sekitar 60-75
trombosit yang telah dilepas dari sumsum tulang berada di dalam
peredaran darah, sedangkan sisanya sebagian besar terdapat di dalam
limpa. Tindakan pengangkatan limpa (splenektomi) mengakibatkan
peningkatan hitung trombosit (trombositosis). Trombosit mempunyai
cincin mikrotubulus di sekeliling tepinya serta invaginasi (lekukan)
membran yang luas dilengkapi dengan sistem saluran kompleks yang
10
berhubungan dengan cairan ekstraseluler. Membran selnya
mengandung reseptor untuk kolagen, faktor dinding pembuluh
fibrinogen. Sitoplasmanya mengandung aktin, miosin, glikogen,
lisosom dan 2 macam granula: (1) granula padat, mengandung
senyawa nonprotein yang akan disekresikan sebagai respons terhadap
pengaktifan trombosit, mencakup serotonin, ADP serta adenin
nukleotida lainnya dan grunulanya, mengandung protein sekresi sclain
hidrolase lisosom. Termasuk dalam protein tersebut adalah faktor
pembekuan dan faktor pertumbuhan asal trombosit (platelet-derived
growth factor, PDGF). PDGF juga dibentuk oleh makrofag dan sel
endotelium. Senyawa ini merupakan senyawa yang tersusun dari
polipeptida subunil A dan B. Ditemukan baik senyawa bentuk
homodimer (AA dan BB maupun heterodimer (AB). PDGF merangsang
penyembuhan luka dan merupakan mitogen kuat bagi otot polos
pembuluh darah. Baik trombosit maupun dinding pembuluh darah
mengandung fibrinogen, yang di samping berperan pada proses adhesi,
juga mengendalikan kadar faktor pembekuan dalam sirkulasi.
(William F.G. 2008)
Produksi trombosit dikendalikan oleh faktor perangsang koloni
yang mengatur produksi megakariosit, serta trombopoietin, suatu
faktor protein dalam sirkulasi. Faktor ini memudahkan pematangan
megakariosit dan dihasilkan di hati dan ginjal. Trombosit mempunyai
reseptor trombopoietin. Akibatnya, apabila jumlah trombosit rendah,
hanya sedikit trombopoietin yang diikat, dan lebih banyak yang
tersedia untuk me-rangsang pembentukan trombosit. Sebaliknya,
apabila jumlah trombosit banyak, banyak yang terikat dan hanya sedikit
trombopoietin tersedia, menimbulkan adanya pengaturan umpan baik
dalam produksi trombosit. Bagian ujung amino molekul trombopoietin
memiliki aktifitas perangsangan trombosit, sedangkan bagian ujung
karboksil mengandung sejumlah besar residu karbohidrat dan terkait
dengan ketersediaan hayati (hioavailability) molekul tersebut. Untuk
maksud pengobatan, bagian ujung amino diproduksi dengan cara
11
teknik rekombinan serta konjugasi dengan glikol polietilen (PEG),
yang sangat meningkatkan aktifitasnya. (William F.G. 2008)
1.8 Plasma
Bagian cairan dari darah, yaitu plasma, merupakan suatu larutan
yang luar biasa, mengandung banyak sekali molekul anorganik, dan
molekul organik yang sedang diangkut ke bagian-bagian tubuh atau
membantu transpor zat-zat lain. Volume plasma berkisar sekitar 5%
dari berat badan, atau setara 3500 mililiter pada seorang pria 70 kg.
Kalau darah lengkap di karenakan menggumpal dan gumpalannya
diambil, cairan sisanya disebut serum. Serum pada dasarnya
mempunyai komposisi yang sama dengan plasma kecuali pada
kandungan fibrinogen dan faktor pembekuanya. Serum juga
mempunyai kandungan serotonin yang lebih tinggi dibandingkan
plasma, karena terjadi pemecahan trombosit selama proses
penggumpalan. Kadar normal macam zat di dalam plasma dibahas dalam
bab mengenai sistem yang menangani zat-zat yang terkandung di
dalam serum. (William F.G. 2008)
Protein plasma terdiri dari fraksi-fraksi albumin, globulin,
dan fibrinogen. Fraksi globulin dibagi menjadi banyak komponen.
Satu klasifikasi membaginya menjadi globulin, albumin serta fibrinogen,
struktur protein yang sesungguhnya lebih rumit dibandingkan apa
yang diperlihatkan dalar ilustrasi maupun penjelasan tersebut, tetapi
dapat membantu untuk memperlihatkan ukuran dan bentuk relatif
satu molekul lain terhadap yang lainya serta terhadap molekul lain
seperti glukosa. (William F.G. 2008)
1.9 Organ Yang Memproduksi Sel Darah
Produksi sel darah terjadi di organ-organ dibawah ini, yaitu :
1) LIMPA
Limpa adalah organ kecil yang terletak di rongga abdomen kiri
atas. Organ ini dianggap sebagai organ limfoid sekunder,
12
berlawanan dengan sumsum tulang dan timus sebagai organ
limfoid primer. Seperti semua organ limfoid, limpa terlibat dalam
pembentukan atau penyimpanan darah. (Elizabeth J.C. 2009)
Limpa adalah tempat hematopoiesis di dalam janin. Setelah
lahir, limpa mengandung makrofag jaringan dan agregat limfosit.
Limpa diperdarahi dengan baik oleh sel pembuluh darah yang
merupakan cabang arteri splenika (lienalis), yang merupakan
cabang dari aorta abdominalis. Susunan vaskular limpa yang rumit
mengandung mikroorganisme, sel-sel mati, dan sisa debris lainnya
yang telah dihancurkan makrofag dan limfosit. Setelah mengalir
melalui jaringan kapiler limpa, pembuluh darah menyatu kembali
menjadi venula dan darah dialirkan ke hati melalui sistem aliran
darah porta hepatica. (Elizabeth J.C. 2009)
Sewaktu darah melewati limpa, makrofag yang terdapat di
sana bekerja sebagai fagosit untuk membersihkan darah dari sel
debris (termasuk sel darah merah yang lisis) dan mencerna
mikroorganisme. Makrofag menyajikan potongan-potongan
mikroorganisme yang telah dicerna ke limfosit B dam T di
dekatnya, sehingga memicu respons imun. Individu yang telah
kehilangan limpanya (biasanya setelah trauma, meskipun beberapa
individu dapat mengalami pengangkatan limpa melalui bedah jika
hitung trombositnya rendah dan tidak dapat dikoreksi) tidak
mendapat manfaat dari fungsi pertahanan terhadap infeksi tertentu
dibandingkan dengan limpa yang masih berfungsi. (Elizabeth J.C.
2009)
Limpa juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk
darah, mampu menampung beberapa ratus mililiter pada orang
dewasa. Dengan penurunan tekanan darah, limpa dapat melepas
darah ini ke sirkulasi vena untuk membantu mengembalikan
tekanan darah yang normal. Limpa juga merupakan tempat
penyimpanan besi yang di-hasilkan selama proses katabolisme
hemoglobin. Besi disimpan dalam makrofag limpa sampai
13
diperlukan kembali untuk membentuk sel darah merah baru. Tidak
adanya limpa dapat terjadi defisiensi besi. Limpa juga menyimpan
sel darah merah yang sudah tua. (Elizabeth J.C. 2009)
2) KELENJAR LIMFE
Kelenjar limfe adalah kapsul kecil jaringan limfoid yang
terdapat di seluruh sistem limfatik, dekat vena limfatika. Limfe
yang mengalir dalam pembuluh limfe disaring oleh nodus-nodus
ini. (Elizabeth J.C. 2009)
Kelenjar limfe mengandung banyak limfosit, monosit, dan
makrofag. Sel-sel ini berproliferasi di kelenjar tersebut dan
sebagian di-bebaskan ke sirkulasi selama infeksi atau peradangan.
Sel sel darah putih yang ada di limfe menangkap dan
memfagositosis mikroorganisme yang dibawa aliran limfe sehingga
limfe dibersihkan sebelum kembali ke sirkulasi. Kelenjar limfe
yang terdekat dengan area infeksi akan terpajan mikroorganisme
dalam jumlah terbesar. Hal ini menyebabkan makrofag dan limfosit
berproliferasi sehingga kelenjar membesar. Kelenjar menjadi
rentan sewaktu bertempur melawan infeksi(Elizabeth J.C. 2009)
1.10KOMPONEN DARAH NORMAL
Darah adalah suatu suspensi partikel dalam suatu larutan koloid
cair yang mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium
pertukaran antara sel yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar,
serta memiliki sifat protektif terhadap organisme dan khususnya terhadap
darah sendiri. (Silvia A.P. 2005)
Komponen cair darah yang disebut plasma terdiri dari 91 sampai
92% air yang berperan sebagai medium transpor, dan 8 sampai 9% zat
padat. Zat padat tersebut antara lain protein-protein seperti albumin,
globulin, faktor-faktor pembekuan, dan enzim; unsur organik seperti zat
nitrogen nonprotein (urea, asam urat, xantin, kreatinin, asam amino),
lemak netral, fosfolipid, kolesterol, dan glukosa, dan unsur anorganik,
14
berupa natrium, klorida, bikarbonat, kalsium, kalium, magnesium, fosfor,
besi, dan iodium. (Silvia A.P. 2005)
Walaupun semua unsur memainkan peranan penting dalam
homeostasis, tetapi protein plasma sering terlibat dalam diskrasia darah.
Di antara tiga jenis utama protein serum, albumin yang terbentuk dalam
hati berjumlah sebesar 53% dari seluruh protein serum. Peran utama
albumin adalah mempertahankan volume darah, dengan menjaga tekanan
osmotik koloid, keseimbangan pH dan elektrolit, serta transpor ion-ion
logam, asam lemak, hormon, dan obat-obatan. Globulin yang dibentuk di
dalam hati dan jaringan limfoid berjumlah sebesar 43%. dari protein
serum. Globulin sangat berperan dalam pembentukan antibodi
(imunoglobulin). Fibrinogen, yang jumlahnva hanya 4%, merupakan
salah satu faktor pembekuan darah. (Silvia A.P. 2005)
Unsur sel darah terdiri dan sel darah merah (eritrosit), beberapa
jenis sel darah putih (leukosit), dan fragmen sel yang disebut trombosit.
Eritrosit berfungsi sebagai transpor atau pertukaran oksigen (O2) dan
karbondioksida (CO2), leukosit berfungsi untuk mengatasi infeksi, dan
trombosit untuk hemostasis(Silvia A.P. 2005)
Atas dasar pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua
sel darah normal dianggap berasal dari satu sel induk pluripotensial
dengan kemampuan berrnitosis. Sel induk dapat berdiferensiasi menjadi
sel induk limfoid dan sel induk mieloid yang menjadi sel-sel progenitor.
Diferensiasi terjadi pada keadaan terdapat faktor perangsang koloni,
seperti eritropoietin untuk pembentukan eritrosit dan G-CSF untuk
pembentukan leukosit. Sel progenitor mengadakan diferensiasi melalui
satu jalan. Melalui serangkaian pembelahan dan pematangan, sel-sel ini
menjadi sel dewasa tertentu yang beredar dalam darah. Sel induk
sumsum dalam keadaan normal terus mengganti sel yang mati dan
memberi respons terhadap perubahan akut seperti perdarahan atau infeksi
dengan berdiferensiasi menjadi sel tertentu yang dibutuhkan. (Silvia A.P.
2005)
15
Sistem makrofag monosit merupakan bagian dari sistem
hematologik dan terdiri dari monosit dalam darah dan sel prekursornya
dalam sumsum tulang. Monosit jaringan yang lebih dewasa disebut
sebagai makrofag (suatu leukosit spesifik yang bertanggung jawab atas
fagositosis pada reaksi peradangan). (Silvia A.P. 2005)
2. Proses Pembentukan dan Pematangan Sel Darah
2.1 Perkembangan Normal Sel Darah
Sel darah pertama kali muncul pada minggu ketiga perkembangan
mudigah di yolk sack, tetapi sel-sel ini terbentuk dari suatu populasi sel
tunas primitif yang terbatas menghasilkan sel mieloid. Asal sel tunas
hematopoietik definitif yang menghasilkan sel limfoid dan mieloid masih
belum diketahui. Sebagian besar penelitian berpendapat bahwa sel
tersebut muncul di mesoderm regio aorta atau gonad mesonefros (AGM)
intraembrionik, tetapi juga terdapat bukti bahwa sel tersebut berasal dari
suatu subset kecil sel yang berasal dari yolk sack. Pada bulan ketiga
embriogenesis, sel tunas yang berasal dari AGM dan/atau yolk sack
bermigrasi ke hati, tempat utama pembentukan sel darah sampai sesaat
sebelum lahir. Mulai bulan keempat perkembangan, sel-sel tunas
bermigrasi ke sumsum tulang untuk melaksanakan hematopoiesis di
tempat ini. Saat lahir, sumsum di seluruh tulang secara hematopoietis
menjadi aktif dan hampir merupakan satu-satunya sumber sel darah.
Pada bayi aterm, hematopoiesis di hati berkurang hingga minimal,
menetap hanya di fokus-fokus kecil yang tersebar dan menjadi inaktif
segera setelah lahir. Hingga masa pubertas, sumsum di seluruh tulang
tetap merah dan aktif secara hematopoiesis. Pada usia 18 tahun, hanya
vertebra, iga, sternum, tengkorak, panggul, dan regio epifisis proksimal
humerus dan femur yang mempertahankan sumsum merah, sementara
sumsum lainnya menjadi kuning, berlemak, dan inaktif. Oleh karena itu,
pada orang dewasa, hanya sekitar separuh rongga sumsum tulang aktif
dalam hematopoiesis. . (Kumar, Vinay. 2009)
16
Beberapa hal dalam rangkaian ini perlu ditekankan. Ketika lahir,
sumsum tulang hampir merupakan satu-satunya sumber semua bentuk
sel darah termasuk prekursor limfosit. Pada bayi prematur, fokus-fokus
hematopoiesis sering ditemukan di hati dan, meskipun jarang, di limpa,
kelenjar limfe, atau timus. Hematopoiesis ekstramedular pascaembrionik
yang signifikan merupakan hal yang abnormal pada bayi aterm. Dengan
meningkatnya kebutuhan akan sel darah pada orang dewasa, sumsum
tulang yang berlemak dapat berubah menjadi sumsum merah yang
aktif. Contohnya, pada defisiensi sel darah merah (anemia), sumsum
dapat meningkatkan produksi sel darah merah (eritropoiesis) hingga
delapan kali lipat. Jika sel tunas sumsum dan lingkungan mikro normal
serta nutrien yang dibutuhkan tersedia, misalnya jumlah besi, protein,
vitamin yang memadai, kehilangan prematur sel darah merah (seperti
terjadi pada penyakit hemolitik) akan menyebabkan anemia hanya jika
mekanisme kompensatorik sumsum tulang terlampaui. Pada keadaan ini,
hematopoiesis ekstramedula dapat muncul kembali di limpa, hati, dan
bahkan kelenjar limfe. (Kumar, Vinay. 2009)
2.2 Asal dan Diferensiasi Sel Hematopoietik
Elemen dalam darah sel darah merah, granulosit, monosit,
trombosit, dan limfosit mempunyai asal yang sama, yaitu dari sel tunas
hematopoietik pluripoten yang terletak di puncak dari suatu hirarki
kompleks progenitor. Sebagian besar penelitian yang menunjang skema
ini berasal dari penelitian pada mencit, tetapi dipercayai bahwa
hematopoiesis pada manusia terjadi melalui mekanisme yang hampir
serupa. Sel tunas pluripoten menghasilkan dua jenis progenitor
multipoten, sel tunas limfoid umum dan sel tunas mieloid umum. Sel
tunas limfoid umum akan menghasilkan prekursor sel T (sel pro-T), sel B
(sel pro-B), dan sel natural killer. Rincian mengenai diferensiasi limfoid
tidak dibahas di sini, tetapi perlu ditunjukkan bahwa perbedaan
morfologis di antara sel-sel limfoid pada berbagai tahap diferensiasi
umumnya hampir tidak kentara. Akibatnya, umumnya dipakai antibodi-
17
antibodi monoklonal yang mengenali antigen spesifik stadium
perkembangan untuk mendefinisikan subset-subset limfosit normal. Dari
sel tunas mieloid umum terbentuk paling tidak tiga jenis committed stem
cells yang mampu berdiferensiasi mengikuti jalur eritroid/megakariositik,
eosinofilik, dan granulosit-makrofag. Pada pemeriksaan fungsional,
committed stem cells disebut satuan pembentuk koloni (colony-forming unit,
CFU) karena secara in vitro masing-masing dapat menghasilkan koloni
progeni yang berbeda. Dari berbagai committed stem cells terbentuk
stadium-stadium intermediat dan akhirnya prekursor sel tertentu (yang
secara morfologis mudah dikenali), misalnya proeritroblas, mieloblas,
megakarioblas, monoblas, dan eosinofiloblas, yang selanjutnya mengha-
silkan progeni matur. (Sherwood, 2011)
Karakteristik spesifik sel-sel imatur yang terletak tinggi dalam
hirarki. Hal yang disepakati adalah adanya beberapa tema menyeluruh
yang berlaku pada hematopoiesis. Karena elemen darah matur adalah sel
yang telah berdiferensiasi terminal dengan rentan usia terbatas, sel-sel ini
harus terus-menerus diganti. Oleh karena itu, sel tunas tidak hanya
berdiferensiasi, tetapi juga terus memperbarui diri, yang merupakan
suatu sifat penting pada sel tunas. Sel tunas pluripoten memiliki
kapasitas terbesar untuk memperbarui diri, tetapi dalam keadaan normal
sebagian besar tidak ikut serta dalam siklus sel. Seiring dengan
terbentuknya komitmen pada turunan tertentu difrerensiasi, proses
pembaruan diri menjadi terbatas, tetapi terjadi peningkatan fraksi
committed stem cells yang membelah secara aktif. Contohnya, dalam
keadaan normal hanya terdapat beberapa sel tunas mieloid yang berada
dalam siklus sel, tetapi hampir 50% CFU-GM (prekursor granulosit dan
makrofag) yang membelah secara aktif. Hal ini menandakan bahwa sel-
sel yang telah berdiferensiasi diganti terutama oleh sel tunas yang
menghasilkan turunan tertentu. Meskipun prekursor yang paling dini
yang masih dapat dikenali (misalnya mieloblas atau proeritroblas) juga
aktif berproliferasi, sel-sel ini tidak dapat memperbarui diri, dan akhirnya
18
semua progeninya akan berdiferensiasi dan mati. Jadi, berdasarkan
definisi, sel-sel ini tidak memiliki sifat sel tunas. (Sherwood, 2011)
Gambar 1: Proses pembentukan sel darah . (Kumar, Vinay. 2009)
Banyak penyakit pada sumsum tulang termasuk kegagalan
sumsum (anemia aplastik) dan neoplasma hematopoietik (mis. leukemia)
disebabkan oleh disfungsi sel tunas, dan karenanya perhatian banyak
dicurahkan pada mekanisme fisiologis yang mengatur proliferasi dan
diferensiasi sel progenitor. Proses-proses ini melibatkan faktor larut dan
interaksi sel hematopoietik dengan sel stroma di sumsum tulang. Di
antara berbagai faktor pertumbuhan hematopoietik, sebagian, seperti
19
faktor sel tunas (juga disebut ligan c-KIT) dan ligan-FLT3, bekerja pada
sel tunas yang sangat dini. Lainnya, seperti faktor perangsang koloni
granulosit makrofag (GM-CSF), bekerja pada CFU-GM. Sebagian faktor
rekombinan saat ini digunakan untuk merangsang hematopoiesis termasuk
eritropoietin, GM-CSF, G-CSF, dan trombopoietin. (Sherwood. 2011)
Sel tunas yang berasal dari sumsum tulang memiliki sejumlah sifat
yang mengejutkan. Meskipun terutama terletak di sumsum tulang,
terdapat subset yang normalnya beredar dalam darah. Oleh karena itu,
hematopoiesis terjadi di sumsum tulang karena lingkungannya yang
khusus yang mendorong sel tunas untuk menetap, bertahan hidup, dan
berdiferensiasi, namun bukan karena sel tunas terbatas di tempat ini.
Pergerakan terarah (homing) sel tunas, yang melibatkan molekul perekat
permukaan, menyebabkan kita dapat melakukan transplantasi sumsum
tulang hanya dengan menginfuskan sel tunas donor ke dalam darah
perifer. Hal yang lebih luar biasa, sel tunas yang berasal dari sumsum
tulang dan terdapat di darah dapat tertanam di jaringan lain dan juga
berkembang menjadi sel nonhematopoietik. Nasib yang berbeda ini telah
diketahui dan diakui, seperti dicontohkan oleh diferensiasi sel tunas
sumsum tulang menjadi prekursor sel endotel (hemangioblas), yang
selanjutnya akan menghasilkan sel endotel. Kapasitas ini tidak
mengejutkan, karena hubungan yang erat antara elemen darah dan sistem
kardiovaskular. Pada kenyataannya, banyak gen yang berperan dalam
pembentukan sel hematopoietik juga ikut serta dalam pembentukan
pembuluh darah dan sel endotel. Studi-studi yang lebih kontroversial
berpendapat bahwa sel tunas yang berasal dari sumsum tulang juga dapat
berdiferensiasi secara langsung menjadi hepatosit, sel duktus biliaris,
miokardium, otot rangka, sel endotel, glia, dan bahkan neuron. Penjelasan
lain untuk hasil ini, misalnya fusi sel tunas sumsum dengan tipe sel matur
lain atau pencemaran sel tunas hematopoietik oleh sel tunas jenis lain, masih
perlu disingkirkan. Bagaimanapun, diharapkan bahwa sel tunas yang
berasal dari sumsum tulang akan memiliki plastisitas yang cukup untuk
digunakan dalam berbagai terapi berbasis sel tunas. (Sherwood. 2011)
20
21
2.3 Model Sel Punca pada Hematopoiesis
Hematopoiesis bermula dari sel punca hematopoietik yang bersifat
pluripoten. Proses ini memiliki kemampuan untuk replikasi sendiri dan
diferensiasi. Progenitor dengan berbagai tipe pematangan terbentuk melalui
pembagian asimetris dan dari pembagian ini, setiap sel punca dan
progenitor baru akan dibentuk. Proses tersebut terjadi secara acak dan
insidental menurut pemikiran terkini. Sel punca dan progenitor tidak
dapat dikenali secara morfologis. Akhirnya, diferensiasi terjadi pada
berbagai sel matur di darah perifer. Sitokin dan faktor pertumbuhan
meningkatkan pematangan atau mencegah terjadi nya apoptosis turunan sel
yang spesifik. Sel-sel yang terbentuk dari proses acak tersebut dan tidak
diperlukan akan mengalami apoptosis. (Freund, Mathias. 2011)
Prekursor limfoid juga terbentuk dari sel punca hematopoietik yang
pluripoten. Diferensiasi sel B dari pro-sel B menjadi pra-sel B terjadi di
kelenjar getah bening. Diferensiasi ini diatur oleh suatu hipermutasi somatik
berbagai regio gen imunoglobulin. (Freund, Mathias. 2011)
Sel-sel B, setelah berkontak dengan antigen dengan keberadaan
sinyal kostimulatorik dan diperantarai oleh sel retikulum dendritik
folikular di centrum germinale, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel plasma atau sel B memori. Sel yang tidak berkontak dengan antigen yang
sesuai akan mengalami apoptosis. (Freund, Mathias. 2011)
Sel-sel T mengalami suatu pematangan yang serupa seperti sel B de-
ngan tata ulang gen reseptor sel T, ekspansi dan seleksi di timus. Sel T juga
teraktifkan di perifer setelah berkontak dengan antigen dan dapat berekspansi
secara poliklonal. Sel sitotoksik merupakan CD8+. Sel pembantu (helper)
CD4+ terbagi menjadi dua populasi: sel Th1 menyekresi IFN-Ydan IL-2.
Sel tersebut mengaktifkan makrofag dan sel T sitotoksik. Sel Th2
menyekresi IL-4, lL-5 dan IL-6. Sel Th2 mengaktifkan sel B untuk
menghasilkan antibodi. Sel limfatik yang matur dapat teraktifkan setelah
berkontak dengan antigen dan berekspansi secara poliklonal. Hal tersebut
membedakan sel-sel ini dari sel-sel mielopoiesis. (Freund, Mathias. 2011)
22
Gambar 2: Teori pembentukan dan maturasi sel darah (Silvia A.P. 2005)
2.4 Perkembangan Sel Darah Merah di Sumsum Tulang
Tahap-Tahap Pematangan Eritrosit yaitu :
1. Proeritroblas
Sel-sel eritropoiesis yang paling muda dan paling besar. Inti
bulat, berwarna ungu tua, struktur kromatin padat dan merata,
dengan tiga sampai lima nukleolus yang tampak tidak jelas.
Sitoplasma berwarna biru seperti bunga di ladang gandum dengan
daerah terang yang berbentuk bercak atau seperti bulan sabit, yang
analog dengan zona golgi dan mitokondria yang berisi lipoid.
Sensitivitas terhadap lesi mekanis menyebabkan kecenderungan
penjuluran sitoplasma. (Freund, Mathias. 2011)
23
2. Normoblas, basofilik
Diameter sel mengecil dibandingkan dengan proeritroblas. Inti
bulat tanpa nukleoli yang dapat dikenali. Kondensasi spesifik dan
sebaran kromatin yang sangat kontras (alur terang di antara
gumpalan-gumpalan kromatin berwarna ungu), sitoplasmanya
tampak basofilik sedang. (Freund, Mathias. 2011)
3. Normoblas, polikromatik
Diameter selnya lebih berkurang. Warna sitoplasma ungu
kebiru-abu-abuan (percampuran warna terjadi melalui proses
hemoglobinisasi yang progresif = permulaan sifat oksifilik). Intinya
tampak kompak, yang berbeda dengan normoblas basofilik, dan
memperlihatkan sebaran (area) yang spesifik. (Freund, Mathias.
2011)
4. Normoblas, ortokromatik (oksifilik)
Pada kelompok sel ini, ukuran inti terus berkurang. Bersamaan
dengan hal itu, terjadi pemadatan kromatin inti (piknosis) hingga
mencapai stadium terbentuknya sisa inti yang berwarna hitam
homogen. Sitoplasma berwarna merah muda kuning keabu-abuan,
dan tepi luarnya sering tidak berbatas tegas. Sel pada tahap ini telah
mengalami hemoglobinisasi sempurna. (Freund, Mathias. 2011)
2.5 Sel Darah Merah di Darah Perifer
1. Retikulosit
Retikulosit khas dengan adanya substantia granulofila mentosa
atau reticulofilamentosa = struktur internal yang berbentuk jala atau
benang atau seperti granul, yang hanya tampak setelah pewarnaan vi-
tal dengan Brillant Cresyl Blue. Interpretasi warna: eritrosit
berwarna biru hijau muda, dan substantia reticulofilamentosa biru
kehitaman. (Freund, Mathias. 2011)
24
2. Eritrosit (Normosit)
Berbentuk cakram kekuningan, dengan ukuran yang hampir
sama besar tanpa struktur internal (diameter 7-8 um). Bagian terang
di tengah .disebabkan bentuk cakram yang bikonkaf. (Freund,
Mathias. 2011)
Gambar 3: Struktur elemen eritropoietik (Freund, Mathias. 2011)
2.6 Leukosit
Leukosit (sel darah putih atau SDP) adalah suatu mobile pada
sistem pertahanan tubuh. Imunitas kemampuan tubuh menahan atau
menyingkirkan benda asing yang berpotensi merugikan atau sel abnormal.
Leukosit dan turunan-turunannya, bersama dengan berbagai protein plas-
ma, membentuk sistem imun, suatu sistem pertahanan internal yang
mengenali dan menghancurkan atau menetralkan benda-benda dalam tubuh
yang asing bagi diri normal. Secara spesifik, sistem imun (1)
mempertahankan tubuh dari patogen penginvasi (mikroorganisme penyebab
proeritroblas basofilik e. polikromatik e.
ortokromatik e. retikulosit eritrosit
25
penyakit misalnya bakteri dan virus); (2) mengidentifikasi dan meng-
hancurkan sel kanker yang timbul di tubuh; dan (3) berfungsi sebagai
petugas kebersihan yang membersihkan sel-sel tua (misalnya sel darah merah
yang sudah uzur) dan sisa jaringan (misalnya jaringan yang rusak akibat
trauma atau penyakit). Yang terakhir ini esensial bagi penyembuhan luka
dan perbaikan jaringan. (Sherwood. 2011)
Fungsi utama leukosit adalah sebagai agen pertahanan di luar
darah. Untuk melaksanakan fungsinya, leukosit umumnya meng-
gunakan strategi cari dan hancurkan; yaitu, sel-sel ini pergi ke tempat
invasi atau kerusakan jaringan. Penyebab utama SDP berada di dalam
darah adalah agar cepat diangkut dari tempat produksi atau
penyimpanannya ke tempat manapun yang membutuhkan.
(Sherwood. 2011)
Terdapat lima jenis leukosit. Leukosit tidak memiliki
hemoglobin (berbeda dengan eritrosit) sehingga tidak berwarna yaitu
putih, kecuali jika secara spesifik diwarnai agar dapat dilihat dengan
mikroskop. Tidak seperti eritrosit, yang memiliki struktur
seragam fungsi identik, dan jumlah konstan, leukosit bervariasi dalam
struktur, fungsi, dan jumlah. Di dalam darah terdapat lima jenis
leukosit yang berbeda yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan
limfosit masing-masing dengan struktur dan fungsi tersendiri. Sel-sel
ini agak lebih besar daripada eritrosit. (Sherwood. 2011)
Kelima jenis leukosit masuk ke dalam dua kategori utama,
bergantung pada gambaran nukleus dan ada tidaknya granula di dalam
sitoplasmanya jika dilihat dibawah mikroskop, neutrofil, basofil,
eosinofil, dan basofil dikategorikan sebagai granulosit (sel yang
mengandung granula) polimorfonukleus (bentuk inti beragam).
Nukleus sel-sel ini tersegmentasi menjadi beberaa lobus dengan bentuk
bervariasi, dan sitoplasmanya mengandung banyak granula yang
membungkus membran. Ketiga jenis granulosit dibedakan berdasarkan
afinitas granulanya terhadap pewarna merah eosin, basofil cenderung
menyerap warna biru basa, dan neutrofil bersifat netral, tidak
26
menunjukkan preferensi warna. Monosit dan limfosit dikenal sebagai
arganulosit granulosit (sel yang tidak mengandung granula)
mononukleus (satu inti). Keduanya memiliki satu nukleus besar
daripada limfosit dan memiliki nukleus berbentuk oval atau seperti
ginjal. Limfosit adalah leukosit yang paling kecil, biasanya memiliki
nukleus bulat besar yang menempel sebagian besar sel. (Sherwood.
2011)
2.7 Fungsi dan Usia Leukosit
Berikut ini adalah fungsi dan usia granulosit:
1. Neutrofil
Spesialis fagositik. Selain itu, para ilmuwan baru-baru ini
menemukan bahwa neutrofil menge-luarkan suatu jaringan serat
ekstrasel yang dinamai neutrophil extracellular traps (NET). Serat-
serat ini mengandung bahan kimia pemusnah bakteri,
memungkinkan NET menjerat lalu menghancurkan bakteri di luar
sel. Karena itu, neutrofil dapat mematikan bakteri baik secara
intrasel dengan fagositosis maupun ekstrasel dengan NET yang
dikeluarkannya. Neutrofil hampir selalu merupakan pertahanan
pertama pada invasi bakteri dan, karena itu, sangat penting dalam
respons peradangan. Selain itu, sel ini melakukan pembersihan
debris. (Sherwood. 2011)
2. Eosinofil
Spesialis jenis lain, peningkatan eosinofil dalam darah
(eosinofilia) berkaitan dalam keadaan alergik (misalnya asma dan
hay fever) dan dengan infestasi parasit internal (misalnya cacing).
Eosinofil jelas tidak dapat menelan parasit cacing yang ukurannya
lebih besar, tetapi sel ini melekat ke cacing dan mengeluarkan bahan-
bahan yang mematikannya. (Sherwood. 2011)
27
3. Basofil
Leukosit yang paling sedikit dan paling kurang kurang
dipahami. Sel ini secara struktur dan fungsi cukup mirip dengan
sel mast, yang tidak pernah beredar dalam darah tetapi tersebar di
jaringan ikat di seluruh tubuh. Para ilmuwan dahulu percaya bahwa
asofil berubah menjadi sel mast dengan bermigrasi dari sistem
sirkulasi, tetapi para peneliti telah membuktikan bahwa basofil
berasal dari sumsum tulang sementara sel mast berasal dari sel
prekusor di jaringan ikat. Baik basofil maupun sel mast mensintesis
dan menyimpan histamin dan heparin, yaitu bahan kimia poten
yang dapat dibebaskan jika terdapat rangsangan yang sesuai.
Pelepasan histamin penting dalam reaksi alergik, sedangkan heparin
mempercepat pembersihan partikel lemak dari darah setelah kita
makan makanan berlemak. Heparin juga dapat mencegah
pembekuan (koagulasi) sampel darah yang diambil untuk analisis
klinis dan digunakan secara luas sebagai obat antikoagulan, tetapi
masih diperdebatkan apakah heparin berperan secara fisiologis
dalam mencegah pembekuan. (Sherwood. 2011)
Setelah dibebaskan ke dalam darah dari sumsum tulang,
granulosit biasanya tetap berada di dalah selama kurang dari sehari
sebelum meninggalkan pembuluh darah untuk masuk ke jaringan,
tempat sel-sel ini bertahan hidup tiga sampai empat hari lagi
kecuali jika mereka mati lebih dulu akibat menjalankan tugas.
Sebagai perbandingan, fungsi dan usia agranulosit adalah
sebagai berikut: (Sherwood. 2011)
4. Monosit
Seperti neutrofil, berkembang menjadi fagosit Sel-sel ini
muncul dari sumsum tulang selagi masih belum matang dan
beredar hanya satu atau dua hari sebelum menetap di berbagai
jaringan di seluruh tubuh. Di tempat barunya, sel-sel ini
28
melanjutkan pematangan dan menjadi sangat besar, berubah
menjadi fagosit jaringan besar yang dikenal sebagai makrofag. Usia
makrofag dapat berkisar dari bulanan hingga tahunan kecuali jika
sel ini hancur lebih isi menjalankan tugas fagositiknya. Sebuah
sel fagositotik hanya dapat menelan benda asing dalam jumlah
terbatas sebelum akhirnya mati. (Sherwood. 2011)
5. Limfosit
Membentuk pertahanan imun terhadap sasaran-sasaran vang
limfosit tersebut telah terprogram secara spesifik. Terdapat dua
jenis limfosit, limfosit B dan limfosit T (sel B dan sel T). Limfosit
B menghasilkan antibodi, yang beredar dalam-darah dan
bertanggung jawab dalam imunitas , humoral, atau yang diperantarai
oleh antibodi. Suatu antibodi berikatan dengan benda asing spesiflk,
misalnya bakteri (yang memicu produksi antibodi tersebut), dan
menandainya untuk dihancurkan (dengan fagositosis atau cara lain).
Limfosit T tidak membentuk antibodi; sel ini secara langsung
menghancurkan sel sasaran spesifiknya dengan mengeluarkan
beragam zat kimia yang melubangi sel korban, suatu proses yang
dinamai imunitas selular. Sel sasaran dari sel T mencakup sel tubuh
vang dimasuki oleh virus dan sel kanker. Limfosit hidup sekitar
100 sampai 300 hari. Selama periode ini sebagian besar secara
terus-menerus terdaur ulang antara jaringan limfoid, limfe, dan
darah, dan hanya menghabiskan waktu beberapa jam di dalam
darah. Karena itu, setiap saat hanya sebagian kecil dari limfosit
total berada di dalam darah. (Sherwood. 2011)
29
Gambar 4: Elemen selular darah normal dan hitung sel darah manusia yang normal (Sherwood. 2011)
2.8 Trombosit
Selain eritrosit dan leukosit, trombosit (platelet, keping darah) adalah
tipe ketiga elemen seluler yang terdapat dalam darah. Dalam setiap mililiter
darah secara normal terdapat sekitar 250 juta trombosit (kisaran 150.000
sampai 350.000/mm3). (Kumar, Vinay. 2009)
Trombosit bukanlah sel lengkap tetapi fragmen kecil sel (garis
tengah sekitar 2 sampai 4 urn) yang dilepaskan dari tepi luar sel sumsum
tulang yang sangat besar (garis tengah hingga 60 um) yang dikenal sebagai
megakariosit. Satu megakariosit biasanya memproduksi sekitar 1000
trombosit. Megakariosit berasal dari sel punca tak berdiferensiasi yang
sama dengan yang menghasilkan turunan eritrosit dan leukosit. Trombosit
pada hakikatnya adalah vesikel yang terlepas yang mengandung sebagian
sitoplasma megakariosit terbungkus dalam membran plasma. (Kumar,
Vinay. 2009)
Trombosit tetap berfungsi rata-rata selama 10 hari, setelah itu keping
darah ini dibersihkan dari sirkulasi oleh makrofag jaringan, terutama yang
terdapat di limpa dan hati, dan diganti oleh trombosit baru yang
dibebaskan dari sumsum tulang. Hormon trombopoietin, yang dihasilkan
oleh hati, meningkatkan jumlah megakariosit di sumsum tulang dan
30
merangsang masing-masing megakariosit untuk menghasilkan lebih
banyak trombosit. Faktor-faktor yang mengontrol sekresi trombopoietin
dan mengatur kadar trombosit saat ini sedang dalam penelitian. (Kumar,
Vinay. 2009)
Trombosit tidak meninggalkan pembuluh darah seperti yang
dilakukan SDP, tetapi pada setiap saat sekitar sepertiga trombosir disimpan
di rongga-rongga berisi darah di limpa. Trombosit simpanan ini dapat
dibebaskan dari limpa ke dalam sirkulasi sesuai kebutuhan (misalnya
selama perdarahan) oleh kontraksi limpa yang dipicu oleh saraf simpatis.
(Kumar, Vinay. 2009)
Karena merupakan potongan sel maka trombosit tidak memiliki
nukleus. Namun, trombosit memiliki organel dan enzim sitosol untuk
menghasilkan energi dan membentuk produk sekretorik, yang disimpan di
banyak granula yang tersebar di seluruh sitosol. Selain itu, trombosit
mengandung banyak aktin dan miosin, yang menyebabkan keping darah
ini mampu berkontraksi. Kemampuan sekretorik dan kontraksi ini penting
dalam hemostasis. (Kumar, Vinay. 2009)
2.9 Trombopoiesis
Perkembangan Trombosit di Sumsum Tulang
Morfologi trombopoiesis sangat berbeda dari eritropoiesis dan
granulopoiesis karena tidak terjadi sebagai suatu perkembangan sel
fungsional matang dari prekursor yang belum matang dengan perbedaan
kriteria morfologis yang nyata dan melalui pembelahan pematangan yang
terjadi selanjutnya. Pada trombopoiesis, terjadi proses poliploidisasi
berulang kali, yang menimbulkan perkembangan berbagai tipe sel 2N-32N
(64N) melalui endoreduplikasi DNA, yang setara dengan berbagai tahapan
fung-si. Terdapat tiga macam bentuk sel yang dapat dikenali. (Freund,
Mathias. 2011)
31
Megakarioblas
Badan sel biasanya lebih besar daripada badan sel proeritroblas.
Perbandingan antara inti dan sitoplasma berubah karena inti menjadi lebih
besar. Kepadatan kromatin inti berbeda-beda. Nukleolus sebagian besar
tertutup, tetapi terdapat dalam jumlah besar. Pada penyatuan inti yang
mencolok, terdapat sel yang berinti dua hingga empat. Sitoplasma tampak
basofilik kuat, terbebas dari granulasi, dan di bagian tepi kadang-kadang
sedikit terjuntai. Sering terdapat trombosit yang melekat. (Freund, Mathias.
2011)
Promegakariosit
Promegakariosit merupakan megakariosit yang setengah matang:
Produk poliploidisasi megakarioblas yang berdimensi besar. Inti sel sangat
besar dan sedikit berlobus selain bentuk dengan kecenderungan segmentasi
(berlobus) yang dapat dikenali dengan jelas. Kromatin inti sebagian besar
teranyam rapat, nukleolus yang ada kebanyakan terselubungi. Sitoplasma
tampak basofilik, yang menunjukkan permulaan aktivitas trombopoiesis.
Luas sitoplasma bertambah secara nyata. Di tepi sel, terdapat trombosit
yang melekat. (Freund, Mathias. 2011)
Megakariosit Yang Matang
Sel terbesar yang dijumpai pada hematopoiesis di sumsum tulang
dalam kondisi normal. Serangkaian gumpalan (haustra) inti yang khas
terbentuk dan sitoplasma azurofilik ditutupi bintik-bintik halus, sebagai
perwujudan terakhir pembentukan trombosit yang aktif. Perluasan dan
penonjolan bagian sitoplasma azurofilik menandakan suatu persiapan
pelepasan trombosit. (Freund, Mathias. 2011)
Sebagian kecil megakariosit (di bawah 10%) menunjukkan inti
tung-gal atau ganda yang berbentuk bulat-oval dan kecil yang dikenal
sebagai mikromegakariosit pada pengecilan diameter sel. Elemen-elemen
ini juga memiliki aktivitas trombopoietik. Suatu fenome-na yang
istimewa adalah fenomena yang dikenal sebagai emperipolesis, yaitu
32
pengembaraan granulosit matang melalui sitoplasma megakariosit tanpa
mengganggu integritas sel, yang juga tidak mengindikasikan suatu proses
fagositosis. (Freund, Mathias. 2011)
Gambar 6: Fotomikrograf sebuah megakariosit yang sedang
membentuk. (Sherwood. 2011)
Struktur sitoplasma megakariosit yang berada pada tahap ini dan
masih saling berhubungan, menunjukkan penjuluran yang tidak beraturan
dan bertambahnya peluruhan; pada keadaan ini, terbentuk makropartikel
yang tak terbilang banyaknya dan selanjutnya mikropartikel dengan
granulasi azurofilik halus yang merupakan trombosit matang. Sisa inti yang
tidak mengandung sitoplasma tetap ada sampai dihancurkan oleh makrofag
di sumsum tulang. (Sherwood. 2011)
33
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hematopoiesis Beserta
Kelainannya
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan sel darah
diantaranya adalah : (Guyton & Hall. 2007).
3.1 Oksigen
Oksigenasi jaringan adalah pengatur utama produksi del darah
merah. Setiap keadaan yang menyebabkan penurunan transportasi
sejumlah oksigen ke jaringan biasanya akan meningkatkan kecepatan
produksi sel darah merah. Jadi, bila seseorang begitu menjadi anemis
akibat adanya perdarahan atau kondisi lainnya maka sumsum tulang
segera memulai produksi sejumlah besar sel darah merah. Selain itu, bila
terjadi kerusakan pada sebagian besar sumsum tulang akibat sebab
apapun, ter-utama oleh terapi dengan sinar-x, akan mengakibatkan
hiperplasia sumsum tulang yang tersisa, dalam usahanya untuk
memenuhi kebutuhan sel darah merah dalam tubuh. (Guyton & Hall.
2007).
Di dataran yangsangat tinggi, dengan jumlah oksigen dalam udara
yang sangat rendah, oksigen dalam jumlah yang tidak cukup itu diangkut
ke jaringan, dan produksi sel darah merah sangat meningkat. Dalam hal
ini, bukan konsentrasi sel darah merah dalam darah yang mengatur
produksi sel, melainkan jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan dalam
hubungannya dengan kebutuhan jaringan akan oksigen. (Guyton & Hall.
2007).
Berbagai penyakit pada sistem sirkulasi yang menyebabkan
penurunan aliran darah melalui pembuluh darah perifer, dan terutama
yang dapat menyebabkan kegagalan penyerapan oksigen oleh darah
sewaktu melewati paru-paru, dapat juga meningkatkan kecepatan
produksi sel darah merah. Hal ini tampak jelas terutama pada keadaan
gagal jantung yang lama, dan pada kebanyakan penyakit paru, karena
hipoksiajarmgan yang timbul akibat keadaan ini akan meningkatkan
produksi sel darah merah, dengan hasil akhir berupa kenaikan hematokrit
34
dan biasanya juga akan meningkatkan volume darah total. (Guyton &
Hall. 2007).
3.2 Eritropoietin
Eritropoietin Merangsang Produksi Sel Darah Merah, dan
Pembentukannya Meningkat Sebagai Respons Terhadap Hipoksia.
Stimulus utama yang dapat merangsang produksi sel darah merah dalam
keadaan oksigen yang rendah adalah hormon dalam sirkulasi yang
disebut eritropoietin, yaitu suatu glikoprotein dengan berat molekul kira-
kira 34.000 gram/mol. Tanpa adanya eritropoietin, keadaan hipoksia
tidak akan berpengaruh atau pengaruhnya sedikit sekali dalam
perangsangan produksi sel darah merah. Akan tetapi, bila sistem
eritropoietin ini berfungsi, maka hipoksia akan menimbulkan
peningkatan produksi eritropoietin yang nyata, dan eritropoietin
selanjutnya akan memperkuat produksi sel darah merah sampai hipoksia
mereda. (Guyton & Hall. 2007).
Peran Ginjal dalam Pembentukan Eritropoietin
Pada orang normal, kira-kira 90 persen dari seluruh eritropoietin
dibentuk dalam ginjal; sisanya terutama dibentuk di hati. Bagian ginjal
tempat pembentukan eritropoietin masih belum diketahui dengan pasti.
Ada suatu kemungkinan yang cukup kuat bahwa eritropoietin disekresi
oleh sel epitel tubulus renal, karena darah yang anemis tidak mampu
menghantarkan cukup oksigen dari kapiler peritubulus ke sel tubulus
yang sangat banyak mengonsumsi oksigen, sehingga merangsang
produksi eritropoietin. (Guyton & Hall. 2007)
Kadang-kadang, keadaan hipoksia di bagian tubuh lainnya, tetapi
bukan di ginjal, akan merangsang sekresi eritropoietin ginjal. Hal ini
menunjukkan bahwa mungkin terdapat beberapa sensor di luar ginjal
yang mengirimkan sinyal tambahan ke ginjal untuk memproduksi
hormon tersebut. Khususnya, baik norepinefrin maupun epinefrin serta
35
beberapa prostaglandin akan merangsang produksi eritropoietin. (Guyton
& Hall. 2007)
Bila kedua ginjal seseorang diangkat atau rusak akibat penyakit
ginjal, maka orang tersebut akan menjadi sangat anemis, sebab 10 persen
eritropoietin normal yang dibentuk di jaringan lain (terutama di hati)
hanya cukup menyediakan sepertiga sampai setengah dari produksi sel
darah merah yang diperlukan oleh tubuh. (Guyton & Hall. 2007)
Pengaruh Eritropoietin dalam Pembentukan Sel-Sel Darah Merah
Bila kadar oksigen rendah, eritropoietin akan mulai dibentuk dalam
beberapa menit sampai beberapa jam, dan produksinya mencapai
maksimum dalam waktu 24 jam. Namun, hampir tidak dijumpai adanya
sel darah merah baru dalam sirkulasi darah sampai 5 hari kemudian.
Berdasarkan fakta ini, dan penelitian lain, sudah dapat ditentukan bahwa
pengaruh utama eritropoietin adalah merangsang produksi proeritroblas
dari sel stem hematopoietik di sumsum tulang. Selain itu, begitu
proeritroblas terbentuk, maka eritropoietin juga menyebabkan sel-sel ini
dengan cepat melalui berbagai tahap eritroblastik ketimbang pada
keadaan normal. Hal tersebut akan lebih mempercepat produksi sel darah
merah yang baru. Cepatnya produksi sel ini terus berlangsung selama
orang tersebut tetap dalam keadaan oksigen rendah, atau sampai jumlah
sel darah merah yang telah terbentuk cukup untuk mengangkut oksigen
dalam jumlah yang memadai ke jaringan walaupun kadar oksigennya
rendah; pada saat ini, kecepat-an produksi eritropoietin menurun sampai
kadar tertentu yang akan mempertahankan jumlah sel darah merah yang
dibutuhkan, namun tidak sampai berlebihan. (Guyton & Hall. 2007)
Bila tidak ada eritropoietin, sumsum tulang hanya membentuk
sedikit sel darah merah. Pada keadaan lain yang ekstrem, bila jumlah
eritropoietin yang terbentuk sangat banyak, dan jika tersedia sejumlah
besar zat besi dan zat nutrisi lainnya yang diperlukan, maka kecepatan
produksi sel darah merah dapat meningkat sampai sepuluh kali lipat atau
lebih dibandingkan keadaan normal. Oleh karena itu, mekanisme
36
eritropoietin dalam pengaturan produksi sel darah merah merupakan
suatu mekanisme yang kuat. (Guyton & Hall. 2007)
3.3 Vitamin B12 (Sianokobalamin) dan Asam Folat
Karena adanya kebutuhan yang berkesinambungan untuk
memenuhi sel darah merah, maka sel eritropoietik sumsum tulang
merupakan salah satu sel yang tumbuh dan bereproduksi paling cepat di
seluruh tubuh. Oleh karena itu, seperti yang diperkirakan, pematangan
dan kecepatan produksinya sangat dipengaruhi oleh status nutrisi sese-
orang. (Guyton & Hall. 2007)
Dua vitamin yang khususnya penting untuk pematangan akhir sel
darah merah adalah, vitamin B12 dan asam folat. Keduanya penting untuk
sintesis DNA karena masing-masing vitamin dengan cara yang berbeda
dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat, yaitu salah satu zat
pembangun esensial DNA. Oleh karena itu, kurangnya vitamin B12 atau
asam folat dapat menyebabkan abnormalitas dan pengurangan DNA dan
akibatnya adalah, kegagalan pematangan inti dan pembelahan sel.
Selanjutnya, sel-sel eritroblastik pada sumsum tulang, selain gagal
berproliferasi secara cepat, akan menghasilkan sel darah merah yang
lebih besar dari normal, disebut makrosit, dan sel itu sendiri mempunyai
membran yang sangat lemah dan seringkali berbentuk tidak teratur,
besar, dan oval berbeda dengan bentuk lempeng bikonkaf yang biasa. Sel
yang berbentuk kurang baik ini, setelah masuk dalam darah sirkulasi,
mampu mengangkut oksigen secara normal, akan tetapi kerapuhannya
menyebabkan sel tersebut memiliki masa hidup yang pendek, yakni
setengah sampai sepertiga normal. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
defisiensi vitamin B12 atau asam folat dapat menyebabkan kegagalan
pematangan dalam proses eritropoiesis. (Guyton & Hall. 2007)
37
Kegagalan Pematangan Sel Akibat Buruknya Absorpsi Vitamin B12
Penyebab umum kegagalan pematangan adalah adanya kegagalan
untuk mengabsorbsi vitamin B12 dari traktus gastrointestinal. Hal ini
sering terjadi pada penyakit anemia pernisiosa, dengan dasar kelainan
berupa atrofi mukosa lambung, yang gagal menghasilkan sekret lambung
normal. Sel-sel parietal pada kelenjar lambung me-nyekresi glikoprotein
yang disebut faktor intrinsik, yang bergabung dengan vitamin B12 dari
makanan, sehingga B12 dapat diabsorpsi oleh usus. Hal tersebut dapat
terjadi dengan cara berikut: (1) Faktor intrinsik berikatan erat dengan
vitamin B12. Dalam keadaan terikat, B12 terlindungi dari pencernaan oleh
sekret gastrointestinal. (2) Masih dalam keadaan terikat, faktor-faktor
intrinsik akan berikatan dengan reseptor khusus yang terletak di brush
border membran sel mukosa di ileum. (3) Kemudian, vitamin B12
diangkut ke dalam darah selama beberapa jam berikutnya melalui proses
pinositosis, yang mengangkut faktor intrinsik bersama vitamin melewati
membran. Oleh karena itu, kekurangan faktor intrinsik akan
menyebabkan kurangnya ketersediaan vitamin B12 akibat kelainan
absorbsi vitamin tersebut. (Guyton & Hall. 2007)
Begitu vitamin B12 sudah diabsorbsi dari traktus gastrointestinal,
maka vitamin ini akan disimpan dalam jumlah yang besar di hati dan
kemudian dilepaskan secara lambat sesuai kebutuhan sumsum tulang.
Jumlah minimum vitamin B12 yang dibutuhkan setiap hari untuk menjaga
supaya pematangan sel darah merah tetap normal hanya sebesar 1 sampai
3 mikrogram, dan yang disimpan di hati dan jaringan tubuh lainnya kira-
kira 1000 kali jumlah ini. Jadi, untuk menimbulkan anemia akibat
kegagalan pematangan dibutuhkan gangguan absorpsi B12 selama 3 sam-
pai 4 tahun. (Guyton & Hall. 2007)
38
Gambar 7 : Anemia Defisiensi Vitamin B12 (Freund, Mathias. 2011)
Kegagalan Pematangan yang Disebabkan oleh Defisiensi Asam Folat
(Asam Pteroilglutamat).
Asam folat adalah bahan normal yang ditemukan pada sayuran
hijau, buah-buahan tertentu, dan daging (terutama hati). Namun, bahan
ini mudah rusak selama makanan dimasak. Selain itu, pada orang-orang
dengan kelainan absorpsi gastrointestinal, misalnya sering mengalami
penyakit usus halus yang disebut sprue (sariawan usus), seringkali
mengalami kesulitan yang serius dalam mengabsorbsi asam folat maupun
vitamin B12. Oleh karena itu, sebagian besar kegagalan maturasi
disebabkan adanya defisiensi absorpsi asam folat dan vitamin B12 di usus.
(Guyton & Hall. 2007)
39
Gambar 8 : Saluran Pencernaan Pada Defisiensi B12 atau Folat (Mehta. 2006)
3.4 Hemoglobin
Sintesis hemoglobin dimulai dalam proeritroblas dan ber-lanjut
bahkan dalam stadium retikulosit pada pembentukan sel darah merah.
Oleh, karena itu ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan
masuk ke dalam aliran darah, retikulosit tetap membentuk sejumlah kecil
hemoglobin satu hari sesudah dan seterusnya sampai sel tersebut menjadi
eritrosit yang matur. (Guyton & Hall. 2007)
Dasar kimiawi pembentukan hemoglobin yaitu mula-mula,
suksinil-KoA, yang dibentuk dalam siklus krebs, berikatan dengan glisin
untuk membentuk molekul pirol. Kemudian, empat pirol bergabung
untuk membentuk protoporfirin IX, yang kemudian bergabung dengan
besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya, setiap molekul heme
bergabung dengan rantai polipeptida panjang, yaitu globin yang
disentesis oleh ribosom, membentuk suatu subunit hemoglobin yang
disebut rantai hemoglobin. Tiap-tiap rantai mempunyai berat molekul
kira-kira 16.000 gram/mol; empat rantai ini selanjutnya akan berikatan
40
longgar satu sama lain untuk membentuk molekul hemoglobin yang
lengkap. (Guyton & Hall. 2007)
Terdapat beberapa variasi kecil di berbagai rantai sub-unit
hemoglobin, bergantung pada susunan asam amino di bagian
polipeptidanya. Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa, rantai beta, rantai
gamma, dan rantai delta. Bentuk hemoglobin yang paling umum pada
orang dewasa, yaitu hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua rantai
alfa dan dua rantai beta. Hemoglobin A mempunyai berat molekul
64.458 gram/mol. (Guyton & Hall. 2007)
Karena setiap rantai hemoglobin mempunyai sebuah gugus
prostetik heme yang mengandung satu atom besi, dan karena adanya
empat rantai hemoglobin di setiap molekul hemoglobin, kita dapat
menemukan adanya empat atom besi di setiap molekul hemoglobin ;
setiap atom ini dapat berikatan longgar dengan satu molekul oksigen,
sehingga empat molekul oksigen (atau delapan atom oksigen) dapat
diangkut oleh setiap molekul hemoglobin. (Guyton & Hall. 2007)
Tipe rantai hemoglobin pada molekul hemoglobin menentukan
afinitas ikatan hemoglobin terhadap oksigen. Abnormalitas rantai ini
dapat mengubah ciri-ciri fisik molekul hemoglobin. Contohnya, pada
anemia sel sabit, asam amino valin digantikan oleh asam glutamat pada
satu titik, masing-masing di kedua rantai beta. Jika tipe hemoglobin ini
terpapar dengan oksigen berkadar rendah, akan terbentuk kristal panjang
di dalam sel-sel darah merah yang panjangnya kadang-kadang mencapai
15 mikrometer. Hal ini membuat sel-sel tersebut hampir tidak mungkin
melewati kapiler-kapiler kecil, dan ujung kristal tersebut yang tajam
cenderung merobek membran sel, se-hingga terjadi anemia sel sabit.
(Guyton & Hall. 2007)
Kombinasi Hemoglobin Dengan Oksigen
Gambaran paling penting dari molekul hemoglobin adalah
kemampuannya untuk dapat berikatan secara longgar dan reversibel
dengan oksigen. Kemampuan ini akan dikaitkan dengan pernapasan,
41
karena fungsi utama hemoglobin dalam tubuh adalah bergabung dengan
oksigen dalam paru dan ke-mudian melepaskan oksigen ini di dalam
kapiler jaringan perifer yang tekanan gas oksigennya jauh lebih rendah
daripada di paru-paru. (Guyton & Hall. 2007)
Oksigen tidak bergabung dengan dua ikatan positif besi dalam
molekul hemoglobin. Malahan, berikatan secara longgar dengan salah
satu ikatan yang disebut ikatan koordinasi atom besi. Ikatan ini begitu
longgarnya sehingga gabungan tersebut bersifat sangat reversibel.
Selanjutnya, oksigen diangkut ke jaringan bukan dalam bentuk ion
melainkan dalam bentuk molekul (yang terdiri dari dua atom oksigen),
yang karena longgarnya dan sangat reversibel, oksigen dilepaskan ke
dalam cairan jaringan dalam bentuk molekul, dan bukan dalam bentuk
ion. (Guyton & Hall. 2007)
3.5 Protein Plasma
Protein plasma adalah suatu kelompok konstituen plasma yang
tidak sekedar terangkut dalam plasma. Komponen penting ini dalam
keadaan normal tetap berada dalam plasma dan melakukan banyak fungsi
penting. Inilah fungsi-fungsi terpenting tersebut : (Sherwood. 2011)
1. Tidak seperti konstituen plasma yang larut dalam air plasma, protein
plasma tersebar (terdispersi) sebagai koloid. Selain itu, karena
merupakan konstituen plasma terbesar maka protein plasma biasanya
tidak keluar melalui pori-pori halus di dinding kapiler untuk masuk
ke cairan interstisium. Berkat keberadaan merka sebagai dispersi
koloid dalam plasma dan ketiadannya dalam cairan interstisium
maka protein plasma menciptakan suatu gradien osmotik antara
darah dan cairan interstisium. Tekanan osmotik koloid ini adalah
gaya primer yang mencegah keluarnya plasma secara berlebihan dari
kapiler ke dalam cairan interstisium sehingga membantu
mempertahankan volume plasma. (Sherwood. 2011)
2. Protein plasma ikut berperan dalam kemampuan plasma
menyangga perubahan pH. (Sherwood. 2011)
42
3. Tiga kelompok protein plasma albumin, globulin, dan
fibrinogen diklasifikasikan berdasarkan berbagai sifat fisika dan
kimiawinya. Selain fungsi umum yang baru dicantumkan, masing-
masing tipe protein plasma me lakukan tugas spesifik sebagai
berikut: (Sherwood. 2011)
a. Albumin, protein plasma yang paling banyak, ber
peran besar dalam menentukan tekanan osmotik koloid berkat
jumlahnya. Protein ini secara nonspesifik juga berikatan dengan
banyak bahan yang kurang larut dalam plasma (misalnya
bilirubin, garam empedu, dan penisilin) untuk transportasi dalam
plasma. (Sherwood. 2011)
b. Terdapat tiga subkelas globulin: alfa (a), beta (P), dan gama (y).
(1) Seperti albumin, sebagian dari globulin alfa dan beta
mengikat bahan-bahan yang kurang larut dalam plasma
untuk transportasi dalam plasma, tetapi globulin ini sangat
spesifik terhadap bahan yang akan mereka ikat dan
angkut. Contoh bahan yang diangkut oleh globulin
spesifik
adalah hormon tiroid, kolesterol dan besi. (Sherwood.
2011)
(2) Banyak dari faktor yang berperan dalam proses
pembekuan darah adalah globulin alfa atau beta.
(Sherwood. 2011)
(3) Protein-protein darah inaktif, yang diaktifkan sesuai
kebutuhan oleh masukan regulatorik tertentu, termasuk
dalam golongan globulin alfa (misalnya globulin alfa
angiotensinogen diaktif kan menjadi angiotensin, yang
beperan penting dalam mengatur keseimbangan garam
dalam tubuh. (Sherwood. 2011)
(4) Globulin gama adalah imunoglobulin (antibodi), yang
sangat penting bagi mekanisme pertahanan tubuh.
(Sherwood. 2011)
43
c. Fibrinogen adalah faktor kunci dalam pembekuan darah.
(Sherwood. 2011)
3.6 Enzim
Hanya beberapa enzim penting yang tidak dapat diperbarui yang
tetap terdapat di dalam eritrosit matang: enzim glikolitik dan karbonat
anhidrase. Enzim glikolitik penting untuk menghasilkan energi yang
dibutuhkan untuk menjalankan mekanisme transpor aktif yang berperan
dalam memperta-hankan konsentrasi ion yang sesuai di dalam sel. Yang
ironis, meskipun eritrosit adalah kendaraan untuk mengangkut O2 ke
semua jaringan lain di tubuh, tetapi sel ini tidak dapat menggunakan O2
yang dibawanya untuk menghasilkan energi. Karena tidak memiliki
mitokondria, yang merupakan tempat berbagai enzim untuk fosforilasi
oksidatif, maka eritrosit hanya mengandalkan giikolisis untuk
membentuk ATP. (Sherwood. 2011)
Enzim-enzim penting lain dalam SDM, karbonat anhidrase, sangat
berperan dalam transpor CO2. Enzim ini mengatalisis suatu reaksi kunci
yang akhirnya menyebabkan perubahan CO2 yang dihasilkan oleh proses
metabolik men-jadi ion bikarbonat (HCO3-), yaitu bentuk utama peng-
angkutan CO2 dalam darah. Karena itu, eritrosit berperan dalam transpor
CO2 melalui dua cara melalui pengang-kutannya dengan hemoglobin dan
perubahannya menjadi HCO3- yang diinduksi oleh karbonat anhidrase.
(Sherwood. 2011)
3.7 Metabolisme Besi
Besi merupakan trace element yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.
Besi di alam terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat dari
segi evolusinya, maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima
besi yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makanan
berubah dimana sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, terutama
di negara tropik, tetapi perangkat absorpsi besi tidak mengalami evolusi
44
yang sama, sehingga banyak menimbulkan defisiensi besi. (I Made
Bakta. 2006)
Komposisi Besi Dalam Tubuh
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh, berupa: (1)
senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang
berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang
dipersiapkan bila masukan besi berkurang; dan (3) besi transpor, besi
yang berikatan dengan protein tertentu dalarn fungsinya untuk meng-
angkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. (I Made
Bakta. 2006)
Besi dalam tubuh tidak pernah terdapat dalam bentuk logam bebas
(free iron), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas
akan merusak jaringan, mempunyai sifat, seperti radikal bebas. (I Made
Bakta. 2006)
Tabel 1 : Kandungan Besi Seorang Laki-Laki Dengan BB 75 Kg (I
Made Bakta. 2006)
Tabel diatas menggambarkan komposisi besi pada seorang laki-laki
dengan berat badan 75 kg. Jumlah besi pada wanita pada umumnya lebih
45
kecil oleh karena massa tubuh yang juga lebih kecil. (I Made Bakta.
2006)
Absorpsi Besi
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan
dalam usus. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh
diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi pada
duodenum dan jejunum proksimal disebabkan oleh struktur epitel usus
yang memungkinkan untuk itu. Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3
fase, yaitu : (I Made Bakta. 2006)
1. Fase luminal: besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian
siap diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam 2
bentuk sebagai berikut: (I Made Bakta. 2006)
a. Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, proporsi
absorpsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan
penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. (I
Made Bakta. 2006)
b. Besi nonheme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan,
proporsi absorpsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu
atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. (I Made
Bakta. 2006)
Tergolong sebagai bahan pemacu absorpsi besi adalah meat factors
dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat
ialah tanat, phytat dan serat (fibre). (I Made Bakta. 2006)
Dalam lambung karena pengaruh asam lambung maka besi
dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi
dari besi bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap. (I Made Bakta.
2006)
46
2. Fase mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang
merupakan suatu proses aktif. Penyerapan besi terjadi terutama
melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan
terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks. Dikenal
adanya mucosal block, suatu mekanisme yang dapat mengatur
penyerapan besi melalui mukosa usus. (I Made Bakta. 2006)
3. Fase korporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi,
utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan, serta penyimpanan besi
(storage) oleh tubuh. (I Made Bakta. 2006)
Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus), melewati bagian
basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat
oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin akan me-lepaskan besi
pada sel RES melalui proses pinositosis. Banyaknya absorpsi besi
tergantung pada berikut: (I Made Bakta. 2006)
1. Jumlah kandungan besi dalam makanan.
2. Jenis besi dalam makanan: besi heme atau nonheme
3. Adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam makanan.
4. Jumlah cadangan besi dalam tubuh
5. Kecepatan eritropoiesis. (I Made Bakta. 2006)
Siklus Besi Dalam Tubuh
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup
yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan
besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar
antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui
eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung
dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang
sebesar 22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak
24 mg per hari. Eritrosit yang terbentuk secara efektif yang akan beredar
melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg
akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya eritropoesis inefektif
47
(hemolisis intramedular). Besi yang terdapat pada eritrosit yang beredar,
setelah mengalami proses penuaan juga akan dikembalikan pada
makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg sehingga dapat dilihat suatu
lingkaran tertutup (closed circuit) yang sangat efisien. (I Made Bakta.
2006)
Gambar 9 : Skema Siklus Pertukaran Besi Dalam Tubuh (I Made Bakta. 2006)
Klasifikasi Besi Menurut Berat Difensiesinya
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defi-
siensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu: (I Made Bakta. 2006)
1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun, tetapi
penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu. (I Made Bakta.
2006)
2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis) : cadangan
besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu,
tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. (I Made Bakta. 2006)
3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia
defisiensi besi. (I Made Bakta. 2006)
48
Gambar 10 : Anemia Defisiensi Besi (Mehta. 2006)
49
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hematopoiesis merupakan proses pembentukan komponen sel darah.
Dalam proses tersebut terjadi proliferasi dan diferensiasi sel yang terjadi
secara serentak.
2. Saran
Referat ini hanya sebagai pengantar untuk mengetahui komponen sel
darah dan proses pembentukan nya, beserta faktor-faktor yang berpengaruh
dalam proses pembentukan sel darah, yang bertujuan untuk menambah ilmu
dan wawasan mengenai hematopoiesis yang lebih mendalam pembaca dapat
memperolehnya pada buku-buku yang tersedia di perpustakaan.
50
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I.M. 2006. Hematologi Klinis Ringkas. EGC. Jakarta. 26-30 hal.
Elizabeth , J.C. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta. 397-406 hal.
Freund, M. 2011. Atlas Hematologi. Edisi 11. EGC. Jakarta. 15-35 hal.
Guyton, A.C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta. 821-836 hal.
Kumar, V. 2009. Robbin & Cotran Dasar Patologis Penyakit Edisi 7. EGC.
Jakarta. 638-679 hal.
Metha, A. 2006. At a Glance Hematologi Edisi 2. Erlangga. Jakarta. 26-31 hal.
Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
EGC. Jakarta. 247-268 hal.
Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia Edisi 6. EGC. Jakarta. 425-433 hal.
Underwood, J.C.E. 2006. Patologi Umum dan Sistemik. EGC. Jakarta.707-771
hal.