menyikapi restrukturisasi dan privatisasi industri ... restrukturisasi dan... · namun demikian,...
TRANSCRIPT
Menyikapi Restrukturisasi Dan Privatisasi Industri
Telekomunikasi
Menjelang tutup tahun 2002, sektor telekomunikasi Indonesia ditandai dengan peristiwa
divestasi saham pemerintah di Indosat yang menimbulkan berbagai pertanyaan publik.
Sementara itu, jika kita kembali pada awal tahun, ada beberapa rencana yang waktu itu
menjadi wacana dan semangat untuk direalisasikan. Melanjutkan diberlakukannya
Undang – Undang Telekomunikasi, pemerintah mencanangkan dilanjutkannya dua
agenda besar: restrukturisasi dan privatisasi industri telekomunikasi yang sempat terhenti
seiring pergantian regim pemerintahan. Berkaitan dengan dua agenda besar tersebut serta
divestasi saham pemerintah di Indosat di penghujung tahun ini, ada pertanyaan kebijakan
yang perlu dielaborasi, sudah sejauh manakah program restrukturisasi dan privatisasi
diimplementasikan? Dan bagaimana pula dengan manfaat serta akibat negatif yang harus
ditanggung oleh masyarakat dengan implementasi kedua program tersebut.
Pada tataran teori, restrukturisasi sektor telekomunikasi dapat berlangsung tanpa
privatisasi. Meski demikian, pada kenyataannya banyak negara yang melakukan
restrukturisasi yang selanjutnya diikuti dengan privatisasi. Sehingga dengan demikian,
dapat dikatakan restrukturisasi sektor telekomunikasi akan berujung pada privatisasi.
Mengapa demikian? Uraian terhadap jawaban ini mesti diawali dengan penjelasan
mengenai struktur pasar dan karakteristik industri jasa telekomunikasi.
Konsep Struktur Pasar
Scherer dan Ross dalam Industrial Market Structure And Economic Performance (1990)
melukiskan struktur pasar dalam konteks keterhubungan antara kondisi dasar yang
melandasi aktivitas ekonomi, perilaku pasar, dan kinerja perekonomian. Kondisi dasar
merupakan pertautan antara unsur – unsur yang menjadi penentu sifat dua sisi
perkonomian: penawaran dan permintaan. Pada sisi penawaran terdapat bahan baku,
teknologi, pasar tenaga kerja, variasi dan kualitas produk, serta perilaku bisnis.
Sedangkan yang termasuk unsur pemengaruh permintaan antara lain elastisitas harga,
produk substitusi, laju pertumbuhan ekonomi, aktivitas sosial masyarakat, strategi
pemasaran, dan opsi pembelian. Kombinasi unsur penawaran dan permintaan pada
gilirannya akan mempengaruhi struktur pasar yang ditandai dengan berbagai indikator
seperti jumlah, ukuran, dan distribusi penjual dan pembeli. Struktur pasar dapat pula
dikenali dengan ada tidaknya hambatan bagi pendatang baru, atau dalam tataran teoretis
dapat dilihat dari bentuk kurva biaya.
Secara ekstrem struktur pasar hanya ada dua: persaingan sempurna dan monopoli.
Persaingan sempurna terjadi jika jumlah, ukuran dan distribusi pelaku pasar tidak terukur
jumlahnya, serta tidak ada hambatan berarti untuk masuk dan keluar dari pasar.
Sebaliknya, jika kondisi persaingan sempurna tidak terjadi yang muncul adalah pasar
yang bersifat monopolis. Restrukturisasi dalam konteks pembangunan telekomunikasi di
Indonesia dapat dilihat sebagai upaya untuk menggeser spektrum dari pasar monopolis ke
pasar persaingan.
Jika hanya dilihat dari kepentingan untuk menambah jumlah penawaran, dan keyakinan
bahwa banyak pihak swasta dapat menyelenggarakan layanan, uraian di atas dapat juga
menjelaskan mengapa pergeseran struktur pasar sektor telekomunikasi hampir selalu
diikuti dengan privatisasi. Namun demikian, dalam kenyataannya, alasan privatisasi
perusahaan BUMN telekomunikasi di Indonesia lebih diwarnai oleh motivasi untuk
menutup defisit fiskal dari pada upaya restrukturisasi.
Scherer dan Ross selanjutnya menjelaskan pula bahwa pada gilirannya struktur pasar
akan mempengaruhi tingkah laku (conduct) pelaku pasar terutama dalam hal sikapnya
terhadap kebijakan harga, strategi pengembangan usaha, serta reaksi terhadap regulasi.
Tingkah laku yang diwujudkan dalam strategi maupun operasional baik secara individu
maupun agregat akan mempengaruhi kinerja (performance) perusahaan maupun
perekonomian. Dalam konteks ini akan terlihat apakah pasar sudah efisien atau masih
banyak kemubasiran (dead weight loss) yang sengaja atau tidak diciptakan oleh pelaku
pasar.
Dengan alur pikir di atas, diskursus mengenai struktur pasar dan kinerja sektor
telekomunikasi, mau tidak mau akan bersinggungan dengan kebijakan publik, seperti
misalnya perijinan, perpajakan, standar peralatan dan layanan, interkoneksi, penetapan
tarif, kompetisi versus monopoli, dan lain – lain. Hal ini diperkuat oleh masih adanya
anggapan bahwa telekomunikasi tergolong sektor strategis yang pengelolaannya
membutuhkan keterlibatan intensif pemerintah dalam bentuk pengawasan dan
pengaturan.
Realita dan Hambatan
Senario ideal dari program restrukturisasi biasanya diawali dengan perencanaan jumlah
pemain yang dianggap efisien untuk melayani pasar. Selanjutnya satu pemain baru
diijinkan untuk menjadi operator pada layanan jaringan maupun layanan jasa
telekomunikasi sehingga membentuk pasar yang duopolis. Jika sukses, senario akan
dilajutkan dengan era kompetisi penuh di mana makin banyak perusahaan yang diberi ijin
menjadi operator layanan jasa jaringan dan jasa nilai tambah di atasnya.
Permasalahannya, tidak selalu senario berjalan mulus. Menarik pelajaran dari Inggris
dalam merestrukturisasi industri telekomunikasinya, ada persoalan mendasar yang
menjurus ke arah konflik ketika regulator merubah pasar dari monopoli ke persaingan
melalui dikeluarkannya ijin – ijin baru. Jika selama regim monopoli, penyelenggara
tunggal dibebani kewajiban sosial, seperti memberi layanan kepada daerah – daerah
miskin atau karena kondisi geografisnya tidak menghasilkan keuntungan, munculnya
pemain baru menjadikan monopolis berubah perilaku berkompetisi semu. Dikatakan
kompetisi semu karena secara de facto, masih monopolis, namun dengan berkedok
kompetisi menggunakan kekuatan pasarnya untuk menutup peluang usaha pemain baru.
Sementara itu, pemain baru akan lebih senang bermain di pasar basah dari pada masuk ke
pasar kering. Jika skenario semacam ini terjadi, restrukturisasi tidak akan membawa
perubahan apa – apa, malahan justru makin menguatkan eksistensi monopolis.
Hambatan restrukturisasi sektor telekomunikasi sebagaimana diuraikan di atas rupanya
terjadi pula di Indonesia. Menyikapi berlakunya UU 36/1999 tentang Telekomunikasi
yang membawa semangat hapusnya monopoli, Telkom sebagai monopolis merubah
strategi usahanya. Namun demikian, perubahan strategi ini dilandasi oleh semangat untuk
mempertahankan kekuasaan pasar. Sehingga perilaku yang muncul adalah makin
bertambah banyaknya produk – produk layanan Telkom (yang seharusnya dapat
diselenggarakan oleh Usaha Kecil Menengah /UKM), dan makin agresifnya Telkom
menutup peluang bisnis pelanggan yang dianggap sebagai pesaing (Internet Service
Provider, Warnet, Wartel). Hal ini masih ditambah dengan kuatnya lobby kepada
regulator untuk menggolkan kenaikan tarif telepon dan menetapkan secara sepihak tarif
interkoneksi menjadikan Telkom sebagai monster raksasa yang melahap semut – semut
hitam. Selain itu, dengan alasan demi menjaga kesehatan perusahaan, pembangunan
jaringan baru di daerah tidak potensial terpaksa ditunda atau bahkan dilupakan, hal ini
jelas makin memperlama meningkatnya densitas telepon.
Jika dianalogikan dengan industri roti, ijin penyelenggaraan jaringan yang diberikan
pemerintah sama dengan gandum, terigu sama dengan jaringan, serta roti, mie, dan
produk olahan berbahan baku terigu sama dengan jasa telekomunikasi yang berjalan di
atas jaringan. Pemerintah yang punya gandum menyerahkan sebagian besar gandumnya
kepada Telkom dan sisanya kepada Indosat untuk dioleh menjadi terigu. Karena
majoritas terigu dipegang Telkom maka kendali distribusinya pun ditentukan oleh
Telkom. Perusahaan roti yang bersedia tunduk pada ketentuan Telkom akan mendapat
terigu dengan harga yang baik, sementara perusahaan roti yang tidak cooperative tidak
memperoleh jatah terigu atau harus membeli dengan harga lebih mahal. Sialnya, Telkom
juga punya perusahaan roti dan mie, sehingga berkepentingan agar toko roti dan pabrik
mie lain mati. Sementara itu, pemerintah belum bermaksud menambah penerima
gandum.
Anehnya perhatian yang yang diberikan regulator kepada Telkom tidak sebaik yang
diberikan kepada pemegang ijin baru, Indosat. Alasan yang berulang kali diketengahkan
adalah karena Indosat hendak dijual kepada investor (asing) sehingga perlu perusahaan
nasional (Telkom) yang kuat. Merasa sebagai pendatang baru dan akan dijual, komitmen
manajemen Indosat untuk membangun jaringan baru tentu hanya kecil saja. Hal ini
terbukti dengan munculnya janji untuk menargetkan pembangunan 759 ribu sambungan
menggunakan teknologi wireless, suatu jumlah yang kurang signifikan dalam
meningkatkan teledensity. Dapat diduga Indosat akan mengikuti jejak Telkom dalam
memprioritaskan pada pasar yang basah dari pada masuk ke pasar yang tidak potensial.
Sikap kurang transparan, dan keberpihakan kepada monopolis yang ditunjukkan
regulator, serta perilaku pemegang hak duopoli dalam strategi bisnisnya diperkirakan
akan memperlambat laju restrukturisasi pasar industri telekomunikasi di Indonesia.
Apalagi didukung dengan belum tersedianya perangkat legal yang adil dan efisien untuk
mengakomodasi adanya konvergensi telekomunikasi dan teknologi informasi, serta
keengganan pemerintah dan regulator dalam mewujudkan Badan Regulasi
Telekomunikasi (yang) Independen sebagaimana dituntut oleh masyarakat melalui UU
36/1999.
Dikaitkan dengan pertanyaan kedua di awal kolom ini, jika restrukturisasi sektor
telekomunikasi, khususnya pada layanan jaringan dan jasa telekomunikasi tetap hanya
berwujud duopoli, sementara tujuan restrukturisasi adalah mencipatakan pasar yang
diramaikan oleh banyak operator dan semuanya berkompetisi secara sehat, dapatkah
dikatakan bahwa restrukturisasi telah berhasil dilaksanakan dengan baik? Seiring dengan
dinamika sektor telekomunikasi yang selalu ditandai dengan inovasi teknologi, jika
struktur pasar masih seperti sekarang ini dapat dikatakan restrukturisasi belum
memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat. Walahuallam.
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi