menulis di jurnal hukum: gagasan, struktur, dan gaya …

26
Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 2 (2019): 471-496 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2014 MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA Andri Gunawan Wibisana * * Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia Korespondensi: [email protected], [email protected] Naskah dikirim: 14 April 2019 Naskah diterima untuk diterbitkan: 12 Juni 2019 Abstract Writing articles in a law review is different from writing an opinion in a newspaper or articles in other types of journals. Indonesian authors often fail to indicate the problems to be discussed, the proposed thesis statement or idea (claim), and the structure of the article. They also write too descriptive and employ very limited references. This paper aims to support the authors to find out important aspects in formulating a good legal article. For this reason, this paper explains that an article must contain the claim, and be novel, non-obvious, and useful. This paper also explains the importance of the introduction of an article and explains how to start the introduction. The article demonstrates the importance of the structure of articles, references, and languages. By knowing and taking into account the elements of good articles, Indonesian authors would be able to produce articles with quality comparable to that of reputable international journals. In this case, the only problem for a publication in reputable international law journals would only be a matter of writing an article in English and no longer of the quality of the article. Keywords: law review articles, claim, structure, referencing Abstrak Menulis artikel pada jurnal hukum berbeda dari menulis artikel pada surat kabar dan artikel pada jurnal ilmiah pada umumnya. Sayangnya, para penulis di Indonesia seringkali gagal memperlihatkan permasalahan yang hendak dibahas di dalam artikelnya, tidak menjelaskan thesis statement atau gagasan (claim) yang hendak diajukan, tidak pula menuliskan struktur penulisan dari artikel, terlalu bersifat deskriptif, dan memuat referensi yang sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan membantu para penulis menemukan hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penulisan sebuah artikel hukum yang baik. Untuk itu, tulisan ini menjelaskan bahwa sebuah artikel harus memuat pernyataan gagasan (claim atau thesis), bersifat kebaruan (novelty), bersifat non-obvious, dan memiliki kegunaan. Tulisan ini juga menjelaskan pentingnya pendahuluan dari sebuah artikel dan menerangkan bagaimana memulai pendahuluan. Hal yang juga penting di dalam artikel adalah struktur artikel, referensi, dan bahasa. Dengan diketahui dan diperhatikannya elemen penyusun artikel yang baik, artikel dari penulis Indonesia dapat memiliki kualitas yang sejajar dengan artikel pada jurnal- jurnal internasional bereputasi, sehingga hambatan publikasi pada jurnal tersebut menjadi bukan lagi persoalan kualitas tulisan, tetapi hanya persoalan bagaimana menulis artikel ke dalam bahasa Inggris. Kata Kunci: ulasan artikel hukum, klaim, struktur, referensi.

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 2 (2019): 471-496

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2014

MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA

Andri Gunawan Wibisana *

* Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Korespondensi: [email protected], [email protected]

Naskah dikirim: 14 April 2019

Naskah diterima untuk diterbitkan: 12 Juni 2019

Abstract

Writing articles in a law review is different from writing an opinion in a newspaper or

articles in other types of journals. Indonesian authors often fail to indicate the

problems to be discussed, the proposed thesis statement or idea (claim), and the

structure of the article. They also write too descriptive and employ very limited

references. This paper aims to support the authors to find out important aspects in

formulating a good legal article. For this reason, this paper explains that an article

must contain the claim, and be novel, non-obvious, and useful. This paper also

explains the importance of the introduction of an article and explains how to start the

introduction. The article demonstrates the importance of the structure of articles,

references, and languages. By knowing and taking into account the elements of good

articles, Indonesian authors would be able to produce articles with quality

comparable to that of reputable international journals. In this case, the only problem

for a publication in reputable international law journals would only be a matter of

writing an article in English and no longer of the quality of the article. Keywords: law review articles, claim, structure, referencing

Abstrak

Menulis artikel pada jurnal hukum berbeda dari menulis artikel pada surat kabar dan

artikel pada jurnal ilmiah pada umumnya. Sayangnya, para penulis di Indonesia

seringkali gagal memperlihatkan permasalahan yang hendak dibahas di dalam

artikelnya, tidak menjelaskan thesis statement atau gagasan (claim) yang hendak

diajukan, tidak pula menuliskan struktur penulisan dari artikel, terlalu bersifat

deskriptif, dan memuat referensi yang sangat terbatas. Tulisan ini bertujuan membantu

para penulis menemukan hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penulisan sebuah

artikel hukum yang baik. Untuk itu, tulisan ini menjelaskan bahwa sebuah artikel

harus memuat pernyataan gagasan (claim atau thesis), bersifat kebaruan (novelty),

bersifat non-obvious, dan memiliki kegunaan. Tulisan ini juga menjelaskan pentingnya

pendahuluan dari sebuah artikel dan menerangkan bagaimana memulai pendahuluan.

Hal yang juga penting di dalam artikel adalah struktur artikel, referensi, dan bahasa.

Dengan diketahui dan diperhatikannya elemen penyusun artikel yang baik, artikel dari

penulis Indonesia dapat memiliki kualitas yang sejajar dengan artikel pada jurnal-

jurnal internasional bereputasi, sehingga hambatan publikasi pada jurnal tersebut

menjadi bukan lagi persoalan kualitas tulisan, tetapi hanya persoalan bagaimana

menulis artikel ke dalam bahasa Inggris. Kata Kunci: ulasan artikel hukum, klaim, struktur, referensi.

Page 2: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

472 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

I. PENDAHULUAN

Artikel pada jurnal hukum memiliki nilai dan manfaat yang sangat besar bagi

sarjana hukum. Bradford, misalnya, menganggap bahwa mempublikasikan artikel di

sebuah jurnal hukum adalah sebuah kehormatan dan keistimewaan. Dengan mengutip

pandangan para editor berbagai jurnal hukum di AS, Bradford meneruskan, “law

reviews hold a special place of trust and importance in the legal system and in

society”, karena jurnal-jurnal tersebut “play a vital role in the preservation of

society.”1

Sayangnya, di Indonesia peran jurnal hukum belum seperti di AS atau di

Eropa. Jarang sekali ditemukan, jika bukan tidak ada, fakultas hukum yang

mengajarkan penulisan bagi artikel hukum. Pertanyaan-pertanyaan mengenai

bagaimana hasil penelitian dituangkan ke dalam artikel, bagaimana argumen disusun,

atau kapan sebuah argumen perlu menggunakan rujukan sebagai pendukung argumen,

seringkali kurang memperoleh perhatian. Akibatnya, sarjana hukum kerap gagap

ketika menulis artikel untuk jurnal hukum.

Artikel pada jurnal ilmiah memiliki kebiasaan tertentu yang berbeda dari

artikel populer di surat kabar, terutama terkait dengan topik, bahasa yang digunakan,

dan gaya penulisan rujukan (sitasi). Selain itu, dibandingkan dengan artikel pada jurnal

ilmiah pada umumnya, artikel pada jurnal hukum juga memiliki keunikan tersendiri.

Keunikan ini terutama terkait dengan struktur artikel, penggunaan pendekatan tertentu,

serta pentingnya referensi pendukung.

Dari pengalaman beberapa kali menjadi mitra bebestari di beberapa jurnal,

terdapat beberapa masalah yang lazim ditemukan pada banyak artikel (draft artikel)

hukum di Indonesia. Pertama, bagian pendahuluan sangat panjang, tetapi gagal

memperlihatkan permasalahan yang hendak dibahas, tidak menjelaskan thesis

statement atau gagasan (claim) yang hendak diajukan, dan tidak pula menuliskan

struktur penulisan dari artikel. Akibatnya, artikel menjadi tidak terarah. Kedua,

mayoritas artikel hukum tersebut terlalu bersifat deskriptif. Artikel tersebut hanya

menggambarkan bagaimana hukum tertentu di Indonesia. Lebih buruk lagi, banyak

dari artikel tersebut yang menggambarkan hukum Indonesia hanya berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Ketiga, mayoritas artikel tersebut tidak menggunakan

rujukan yang baik. Seringkali artikel yang ditulis hanya memuat referensi yang sangat

terbatas, yang itu pun lebih banyak merupakan buku teks. Artikel-artikel tersebut

sepertinya tidak menyadari bahwa terdapat hubungan yang erat di antara menulis

artikel dengan membaca: semakin baik seseorang membaca, semakin baik artikel yang

akan ditulisnya.

Tulisan ini bertujuan membantu para penulis menemukan hal apa saja yang

perlu diperhatikan dalam penulisan sebuah artikel hukum yang baik. Dengan diketahui

dan diperhatikannya elemen penyusun artikel yang baik, artikel yang dihasilkan

diharapkan dapat memiliki standar dan kualitas yang relatif sejajar dengan artikel pada

jurnal-jurnal di luar negeri. Selanjutnya, dengan semakin berkualitasnya artikel pada

jurnal hukum di Indonesia, dapat pula diharapkan bahwa cita-cita menjadikan jurnal

hukum sebagai bagian dari perkembangan hukum akan segera terwujud. Selain itu,

dengan meningkatnya kualitas artikel dari penulis Indonesia, hambatan publikasi pada

1 C. Steven Bradford, “As I Lay Writing: How to Write Law Review Articles for Fun and

Profit: A Law-and-Economics, Critical, Hermeneutical, Policy Approach and Lots of Other Stuff That

Thousands of Readers Will Find Really Interesting and Therefore You Ought to Publish in Your

Prestigious, Top-Ten, Totally Excellent Law Review”, Journal of Legal Education, Vol. 44 (1994),

hlm. 14.

Page 3: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 473

jurnal hukum internasional bereputasi bukan lagi hambatan besar dari sisi substansi,

tetapi menjadi hanya persoalan bagaimana menulis artikel ke dalam bahasa Inggris.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini akan disusun sebagai berikut.

Setelah Pendahuluan, Bagian II akan membahas mengenai pentingnya topik dan

orisinalitas artikel. Bagian ini akan menawarkan beberapa tips yang dapat digunakan

untuk menyusun topik dan memperlihatkan kebaruan dari artikel yang hendak dibuat.

Setelah itu, Bagian III akan membahas mengenai pendahuluan dari sebuah artikel. Di

sini yang akan dibahas tidak hanya mengenai pentingnya pendahuluan bagi sebuah

artikel ilmiah, tetapi juga beberapa hal yang perlu ada di dalam pendahuluan, yaitu

permasalahan dan latar belakangnya, thesis, dan kerangka (peta jalan) artikel. Bagian

IV akan membahas struktur apa saja yang perlu dibangun untuk sebuah artikel hukum.

Tulisan ini hendak menggambarkan bahwa struktur artikel di beberapa jurnal hukum,

yaitu pendahuluan—metodologi—data—diskusi—analisa—kesimpulan, bukanlah

merupakan struktur yang tepat untuk sebuah artikel hukum. Bagian IV juga akan

membahas beberapa hal teknis terkait bahasa dan pola-pola penyusunan kalimat dan

paragraf. Bagian ini akan memuat pula diskusi mengenai pentingnya referensi dalam

artikel hukum, serta perlunya kesepakatan di antara pengelola jurnal hukum Indonesia

terkait model sitasi yang akan digunakan. Bagian V akan menguraikan beberapa

kalimat penutup.

II. TOPIK DAN KOMPONEN DASAR ARTIKEL

Proses penyusunan artikel pada dasarnya dimulai dari penentuan topik yang

hendak ditulis. Setelah itu, penulis akan menyusun pertanyaan yang akan dibahas dan

gagasan yang akan disampaikan di dalam artikel. Untuk itu, sebelum seseorang

memulai menulis artikelnya, perlu kiranya dipaparkan bagaimana topik disusun, dan

hal mendasar apa yang perlu ada untuk menyusun sebuah artikel yang baik.

1. Penentuan Topik

Sebuah artikel yang baik akan berawal dari topik yang baik. Persoalannya

adalah bagaimana seorang penulis dapat menemukan topik yang tepat untuk ditulis.

Lebovits menyatakan bahwa sebuah artikel dapat merupakan sebuah uraian dan

pembahasan aspek substantif atau prosedural dari persoalan hukum tertentu. Selain itu,

sebuah artikel dapat pula mengetengahkan masalah yang belum terpecahkan dan

bagaimana pemecahannya.2 Hal yang dikemukakan oleh Lebovits di atas dapat

menjadi cara bagi seorang penulis untuk menentukan topik yang akan dipilihnya.

Selain itu, dapat pula ditambahkan di sini bahwa topik dapat saja dipilih dari

adanya sebuah putusan atau peraturan atau pernyataan yang menimbulkan perdebatan,

yang kemudian akan diuji dan dianalisa dengan landasan teoretis tertentu. Dapat pula

sebuah artikel hendak membahas pandangan yang lazim dianut, dan kemudian

membantah pandangan tersebut berdasarkan perspektif tertentu.

Selain hal di atas, Volokh menyatakan bahwa artikel yang baik tidak hanya

harus bersifat orisinal, tidak terlalu mudah untuk dijawab, berguna, dan masuk akal,

tetapi juga harus dapat dilihat oleh pembaca telah memenuhi karakter tersebut.3

Dengan demikian, Volokh melihat bahwa pandangan atau komentar pembaca tentang

artikel memegang peranan yang penting untuk menentukan kualitas artikel. Hal yang

2 Gerald Lebovits, “Academic Legal Writing: How to Write and Publish”, New York State Bar

Association Journal, Vol. 78:1 (2006), hlm. 64. 3 Eugene Volokh, “Writing a Student Article”, Journal of Legal Education, Vol. 48:2 (June

1998), hlm. 248.

Page 4: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

474 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

sama juga dikemukakan oleh Osbeck. Baginya, semakin baik sebuah artikel, semakin

dekat artikel tersebut dengan kebutuhan dan kepentingan dari pembacanya.4

Berbeda dengan Volokh dan Osbeck, beberapa pengarang justru melihat

pentingnya kemampuan penulis untuk menyeimbangkan antara ketertarikan pribadi

penulis dengan manfaat dari artikel bagi orang lain pada saat penulis menentukan

topik artikel. Menurut Lebovits, apa pun tujuan dari penulisan artikel hukum, terdapat

dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam penentuan topik. Pertama, topik

artikel selalu mengetengahkan kepentingan atau ketertarikan penulis. Kedua,

kepentingan atau ketertarikan itu harus diseimbangkan dengan manfaat dari penulisan

topik yang dipilih.5 Hal senada juga diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang,

sebagaimana dikutip oleh Robson, menyatakan bahwa “[i]deally, your choice of

subject will be informed equally by your audience’s needs and concerns and by your

own interests.”6 Selain kedua hal di atas, topik yang dipilih haruslah merupakan topik

yang menarik untuk ditulis (interesting), dapat ditulis (manageable), dan penting

(significant) untuk ditulis.7 Singkatnya, topik artikel harus lah merupakan hal yang

pada satu sisi menarik bagi penulis, dan pada sisi lain berguna bagi orang lain.

Sebuah topik dapat dipilih dari banyak faktor dan kejadian. Mungkin pula

inspirasi pemilihan topik muncul secara tiba-tiba di tempat yang tidak terduga.

Namun demikian, seperti dinyatakan Sternberg, “[i]t may be arguable whether the

final choice is determined by “fate” or “being in the right place at the right time”, but

prior to that right moment or right idea come months, or even years, of selective

reading and thinking about dozens of related issues”.8 Meskipun pandangan Sternberg

tersebut disampaikannya dalam konteks pemilihan topik sebuah disertasi, akan tetapi

pandangan tersebut juga dapat diterapkan untuk pemilihan topik artikel hukum.

Belajar dari Sternberg, dapat disimpulkan bahwa membaca pada akhirnya merupakan

hal terpenting dalam proses penulisan sebuah karya ilmiah hukum.

Tentu, membaca saja tidak cukup. Hasil penelitian dan penelusuran bahan

bacaan perlu dituangkan dalam gagasan orisinal seorang penulis.

2. Komponen Dasar Artikel

Menurut Volokh, artikel yang baik setidaknya mampu memiliki lima hal

mendasar. Pertama, adanya pernyataan (claim); Kedua, bersifat baru (novel); Ketiga,

bukan merupakan hal yang selayaknya telah diketahui (non-obvious); Keempat,

berguna (useful); Kelima, dilihat oleh pembaca sebagai artikel yang memenuhi sifat

kedua s.d. kelima.9 Dasar artikel yang baik tersebut akan dibahas berikut ini.

a. Pernyataan (claim)

Pernyataan (claim) adalah thesis yang menjadi dasar sebuah artikel. Sebuah

artikel yang baik selalu memilki thesis tentang suatu hal, atau dengan kata lain

4 Mark K. Osbeck, “What Is “Good Legal Writing” and Why Does It Matter?”, Drexel Law

Review, Vol. 4 (2012), hlm. 425-426. 5 Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 64. 6 Ruthann Robson, “Law Students as Legal Scholars: An Essay/Review of Scholarly Writing

for Law Students and Academic Legal Writing”, City University of New York Law Review, Vol. 7:1

(2004), hlm. 197 7 Richard Delgado, “How to Write a Law Review Article”, University of San Francisco Law

Review, Vol. 20 (1986), hlm. 448 8 David Sternberg, How to Complete and Survive a Doctoral Dissertation (New York: St.

Martin’s Press, 1981), hlm. 51. 9 Eugene Volokh (1998), loc cit.

Page 5: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 475

memiliki gagasan yang hendak disampaikan.10 Menurut Volokh, pernyataan (claim)

dapat berbentuk pernyataan yang deskriptif, yaitu pernyataan yang mengambarkan

suatu hal sebagaimana adanya. Misalnya, pernyataan dapat berupa gambaran historis

atas perkembangan hukum tertentu, uraian mengenai efek tertentu dari hukum, atau

pernyataan tentang bagaimana pengadilan menginterpretasikan hukum tertentu. Pada

sisi lain, pernyataan dapat pula bersifat perskriptif, yaitu pernyataan yang

mengetengahkan apa yang perlu dilakukan. Misalnya, pernyataan bagaimana pasal

tertentu di dalam konstitusi seharusnya diinterpretasikan, undang-undang seperti apa

yang harus dibuat untuk mengatasi persoalan tertentu, atau bagaimana aturan tertentu

seharusnya diubah.11

Selain itu, sebuah tulisan/pernyataan dapat pula bersifat eksplanatoris,

misalnya artikel yang menjawab pertanyaan bagaimana sebuah aturan

diinterpretasikan dalam makna tertentu dan bukan yang lainnya, atau pertanyaan

mengapa aturan tertentu berbunyi seperti hukum positif yang berlaku saat ini. Dapat

pula sebuah artikel bersifat evaluatif, misalnya dengan mempertanyakan apa

pembenaran dari sebuah putusan atau aturan tertentu. Dalam hal ini, artikel berfungsi

untuk secara kritis menilai atau menguji sebuah keadaan atau hukum tertentu.

Tidak tertutup kemungkinan jika sebuah artikel memuat pernyataan yang

bersifat deskriptif dan perskriptif. Menurut Volokh, artikel yang memiliki pernyataan

kombinasi ini justru sangat dianjurkan karena artikel tersebut tidak hanya akan

menerangkan apa yang ada dan mungkin belum diketahui oleh orang lain, tetapi juga

menjelaskan apa yang sebaiknya perlu dilakukan terhadap keadaan tersebut.12 Jika hal

yang pertama merupakan aspek deskriptif dari artikel, maka aspek kedua adalah aspek

perskriptif dari artikel tersebut.

Untuk memberikan gambaran konkret mengenai pernyataan/thesis, berikut

adalah sebelas tipe pernyataan/thesis sebagaimana dikemukakan oleh Volokh:13

a. “Aturan X tidaklah konstitusional karena…”

b. “Pembuat undang-undang seharusnya membuat undang-undang mengenai…”

c. “Jika diinterpretasikan secara tepat, Pasal X memiliki makna bahwa…”

d. “Aturan ini dapat memiliki dampak berupa…”

e. “Aturan ini dapat memiliki akibat berupa…, karenanya harus diganti [atau diubah

sehingga berbunyi…”

f. “Pengadilan telah menginterpretasikan aturan X sebagai…, karenanya aturan

tersebut perlu diamandemen sehingga berbunyi…”

g. “Beberapa aturan hukum dalam hal tertentu ternyata tidak konsisten, sehingga

berakibat pada…”

h. “Penelitian empiris dari artikel ini menunjukkan bahwa aturan X tanpa disadari

telah mengarahkan kita pada…, dan karenanya aturan tersebut harus diubah

menjadi…”

i. “Penelitian empiris dari artikel ini menunjukkan bahwa aturan X memiliki efek

positif berupa…, dan karenanya perlu dipertahankan [diperluas penerapannya ke

arah…]”

j. “Pandangan umum yang menyatakan bahwa … adalah keliru [tepat], karena …”

10 Dalam bahasa Samuelson, pernyataan ini disebut dengan point, yaitu suatu gagasan atau

thesis yang hendak disampaikan oleh penulis. Sebuah artikel harus memiliki gagasan (point) ini. Pamela

Samuelson, “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes”, University of Pittsburgh Law Review,

Vol. 46 (1984), hlm. 151. 11 Eugene Volokh, Academic Legal Writing: Law Review Articles, Student Notes, Seminar

Papers, and Getting on Law Review, 3rd ed. (New York: Foundation Press, 2007), hlm. 9. 12 Ibid., hlm. 11. 13 Ibid., hlm. 9-10.

Page 6: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

476 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Tentu saja, kesebelas tipe pernyataan tersebut tidaklah kaku. Seorang penulis

dapat saja menggabungkan lebih dari satu tipe pernyataan di atas. Namun demikian,

perlu tetap diingat bahwa artikel tidak boleh hanya berisi pemaparan deskriptif atas

suatu hal tertentu, misalnya peraturan atau putusan.

b. Kebaruan (Novelty)

Seorang penulis memiliki beban untuk memperlihatkan bahwa tulisannya

menawarkan sudut pandang, gagasan, atau solusi baru atas sebuah persoalan hukum

yang sebelumnya telah ada. Dalam kalimat Delgado, menulis artikel dilakukan dengan

jalan “find one new point, one new insight, one new way of looking at a piece of law,

and organize your entire article around that”.14 Kebaruan ini menjadi jaminan bahwa

artikel yang dibuat adalah karya yang orisinal.

Persyaratan kebaruan/orisinal inilah yang menjadikan artikel ilmiah sulit untuk

dikerjakan. Sebuah artikel akan sangat mungkin ditolak jika hanya berisi hal yang

sebelumnya telah dibahas oleh tulisan lain. Cara pertama untuk memperoleh topik

yang orisinal adalah dengan mencari topik tertentu yang belum pernah ditulis. Namun

demikian, hal ini tidaklah mudah. Setelah begitu banyak tulisan membahas persoalan

hukum yang sama, apa yang tersisa untuk dijadikan topik artikel? Cara kedua yang

dapat dilakukan adalah dengan menambahkan “rasa” baru, nuansa baru, solusi baru,

pandangan baru, atau perspektif baru atas persoalan tersebut.15

Volokh mengusulkan bahwa agar artikel yang dibuat dapat menawarkan hal

baru, maka artikel tersebut harus dibuat dengan menambahkan pengecualian dari

aturan hukum tertentu. Menurutnya, alih-alih menyatakan bahwa “bans on

nonmisleading commercial advertising should be unconstitutional”, artikel sebaiknya

menyatakan bahwa “bans on nonmisleading commercial advertising should be

unconstitutional unless minors form a majority of the intended audience for the

advertising”. Volokh meneruskan bahwa semakin kompleks gagasan dari sebuah

tulisan seseorang, akan semakin besar kemungkinan tulisan tersebut memuat gagasan

yang baru.16

Untuk membantu penulis menemukan orisinalitas dan kebaruan, tulisan ini

menawarkan beberapa tips yang disampaikan oleh Siems.17 Menurutnya, sebuah

penelitian atau tulisan yang membahas pertanyaan mikro (micro-legal questions)18

dapat menjadi lebih orisinal dengan ditambahkan beberapa hal. Pertama, tulisan dapat

dibuat lebih orisinal dengan menekankan pada segi koherensi dan konsistensi dari

14 Richard Delgado, loc cit. 15 Selain dari kedua kemungkinan ini, orisinal tulisan juga kadang dimintakan secara tegas oleh

jurnal hukum dalam bentuk pernyataan bahwa artikel yang dikirim adalah artikel yang tidak pernah

dipublikasikan sebelumnya, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun prosiding. Lihat: Douglas E.

Abrams, “Writing It Right: Writing in Law Reviews, Bar Association Journals, and Blogs (Part 1)”,

Journal of the Missouri Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 26. 16 Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 16. 17 Perlu disampaikan bahwa tips yang disampaikan oleh Siems sebenarnya ditujukan untuk

menemukan “orisinalitas” di dalam sebuah penelitian hukum. Akan tetapi, tulisan ini melihat bahwa

tips tersebut juga berguna untuk diterapkan dalam penulisan artikel hukum. 18 Menurut Siems, penelitian tentang pertanyaan mikro adalah penelitian yang membahas

tentang persoalan hukum tertentu, baik itu persoalan terkait ketentuan, undang-undang, atau putusan

tertentu. Sebagai perbandingan, penelitian hukum yang bersifat makro (macro-legal questions) adalah

penelitian yang fokus pada pembahasan problem, konsep, atau asas yang bersifat umum. Penelitian ini

akan sangat erat kaitannya dengan teori hukum dan filsafat hukum. Lihat: Mathias M. Siems, “Legal

Originality”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 28:1 (2008), hlm. 148-149 dan dan 150.

Page 7: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 477

sebuah bahan hukum.19 Cara ini biasanya dilakukan dengan melibatkan “interpretive

legal theory” yang ditujukan untuk mengidentifikasi gambaran umum dan struktur

dasar hukum. Dapat pula cara ini ditempuh melalui “legal synthesis”, yang berupaya

untuk menyatukan elemen-elemen dari putusan dan peraturan ke dalam aturan-aturan

yang koheren dan bermanfaat, atau melalui “systemic approach”, yang akan menguji

apakah aturan-aturan yang berbeda dapat menunjukkan karakteristik yang sama

sebagai sebuah bagian dari sistem yang sama.20

Kedua, orisinalitas dapat dilakukan dengan menambahkan pendekatan sejarah

hukum pada tulisan yang dibuat.21 Dalam hal ini, tulisan dapat menjelaskan, misalnya,

bagaimana sejarah hukum menjelaskan konsep hukum dari masa lalu yang masih bisa

diterapkan pada hukum sekarang. Sejarah hukum dapat menjadi cara untuk

memahami, mengkritisi, dan menilai aspek hukum tertentu saat ini.

Ketiga, menemukan orisinalitas dapat dilakukan dengan menambahkan topik

makro (‘macro-legal topics’) ke dalam tulisan yang awalnya merupakan penelitian

untuk menjawab pertanyaan mikro (‘micro-legal analysis’).22 Di sini, tulisan dapat

diperbaiki dengan menambahkan pembahasan berdasarkan asas hukum tertentu, atau

dengan menambahkan perspektif tertentu yang diambil dari teori hukum atau filsafat

hukum.

Keempat, orisinalitas dapat diperoleh dengan jalan melakukan analisa

berdasarkan perbandingan hukum. Perbandingan hukum akan memberikan jawaban

yang tidak dapat diberikan jika penelitian/tulisan hanya didasarkan pada hukum di

dalam satu sistem hukum.23 Dalam hal ini, tulisan dapat membandingkan suatu konsep

hukum tertentu dari lebih dari satu sistem hukum. Misalnya, dengan menjawab

pertanyaan mengapa sistem hukum tersebut berbeda, dan apakah dibutuhkan

konvergensi hukum.

Kelima, menambahkan pendekatan dari disiplin ilmu lain juga dapat

memperkaya kedalaman analisa dan meningkatkan orisinalitas tulisan. Berbagai

contoh dari pendekatan ini adalah analisa ekonomi atas hukum (law and economics),

hukum dan akuntansi, sosiologi hukum, hukum dan psikologi, serta hukum dan

sastra.24

Keenam, menghubungkan hukum dengan kenyataan (‘connecting law to life’).

Hal ini dilakukan dengan melihat bagaimana hukum di dalam kenyataan hidup

masyarakat (law in action). Tulisan semacam ini dapat pula dilakukan dengan

mempertimbangkan aspek politik, ekonomi, budaya, atau kualitas penegakan hukum

dari negara di mana sebuah aturan hukum diberlakukan.25

c. Non-obviousness

Artikel yang baik, menurut Volokh, adalah artikel yang non-obvious.26 Istilah

ini diartikan di sini sebagai sesuatu yang tidak terlalu jelas, tidak terlalu mudah dan

umum, sehingga tidak dapat diketahui tanpa adanya penelitian. Artikel yang non-

obvious dapat ditunjukkan dengan jalan memperlihatkan bahwa tidak semua orang

akan sampai pada gagasan yang diutarakan oleh penulis. Singkat kata, dalam konteks

19 Koherensi adalah sekumpulan gagasan yang apabila dilihat secara keseluruhan akan menjadi

masuk akal. Sedangkan konsistensi berarti tidak adanya kontradiksi. Ibid., hlm. 149. 20 Ibid., hlm. 149-150. 21 Ibid., hlm. 150. 22 Ibid. 23 Ibid., hlm. 151. 24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 152. 26 Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 17.

Page 8: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

478 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

non-obviousness, seorang penulis seperti hendak menyatakan bahwa hanya dia lah

yang mencapai gagasan/kesimpulan ini.

Dengan demikian, sebuah artikel dapat saja merupakan pernyataan yang baru,

yang belum dibahas oleh tulisan lain, namun tetap bukan merupakan tulisan yang baik.

Hal ini terjadi jika pernyataan yang dibuat adalah pernyataan yang hasilnya sudah jelas

(obvious), sehingga dapat disimpulkan oleh setiap orang tanpa perlu melalui sebuah

penelitian. Untuk menghindari hal ini, pernyataan dapat dibuat dengan menambahkan

hal-hal khusus. Misalnya, alih-alih hanya membahas tentang apakah hak atas

lingkungan hidup yang baik telah dijamin di dalam UUD 1945, artikel diarahkan untuk

membahas apakah hukum Indonesia memungkinkan untuk memperluas penafsiran hak

konstitusional atas lingkungan hidup agar meliputi pula hak generasi yang akan datang

atas lingkungan hidup yang baik.

d. Kegunaan (Utility)

Sebuah artikel yang baik haruslah berguna, baik secara praktis maupun

teoretis. Karena itu lah, maka sebuah artikel sebaiknya tidak hanya bersifat deskriptif,

tetapi juga menyajikan sikap dan gagasan penulisnya tentang apa yang seharusnya.

Upaya lainnya untuk menunjukkan kegunaan dari sebuah artikel adalah dengan jalan

melihat kemungkinan untuk menerapkan temuan pada satu yurisdiksi ke dalam

yurisdiksi yang lain, atau dengan memperhatikan persoalan yang belum dibahas oleh

putusan, peraturan, atau artikel lainnya.

Volokh menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

kegunaan dari sebuah artikel. Pertama, fokus pada persoalan/issue yang belum

terpecahkan. Kedua, menerapkan argumen/gagasan penulis pada yurisdiksi yang

berbeda. Ketiga, menambahkan telaah yang bersifat perskriptif untuk temuan awal

yang bersifat deskriptif. Keempat, “menghaluskan” gagasan awal yang menuntut

perubahan mendasar dengan memperhatikan penerimaan publik atau implikasi politis

dari gagasan tersebut. Kelima, menghindari penggunaan jargon-jargon retoris, yang

membuat artikel menjadi tidak persuasif, untuk memastikan bahwa argumen yang

diajukan penulis tidak mengalienasi penulis dari pembacanya.27

3. Ketertarikan Penulis atau Pandangan Pembaca?

Selain hal di atas, unsur kelima dari Volokh menyatakan bahwa artikel yang

baik haruslah memenuhi sifat kedua s.d. kelima.28 Unsur kelima ini memperlihatkan

bahwa bagi Volokh, pandangan atau komentar pembaca tentang artikel (yaitu bersifat

orisinal, tidak terlalu mudah untuk dijawab, berguna, dan masuk akal) sepertinya

merupakan hal yang sangat penting bagi sebuah artikel. Hal yang sama juga

dikemukakan oleh Osbeck. Baginya, semakin baik sebuah artikel, semakin dekat

artikel tersebut dengan minat dan kepentingan dari pembacanya.29

Berbeda dengan Volokh dan Osbeck, beberapa pengarang justru melihat

pentingnya kemampuan penulis untuk menyeimbangkan antara ketertarikan pribadi

penulis dengan manfaat dari artikel bagi orang lain. Menurut Lebovits, apa pun tujuan

dari penulisan artikel hukum, terdapat dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan

dalam penentuan topik. Pertama, topik artikel selalu mengetengahkan kepentingan

atau ketertarikan penulis. Kedua, kepentingan atau ketertarikan itu harus

diseimbangkan dengan manfaat dari penulisan topik yang dipilih.30 Hal senada juga

27 Ibid., hlm. 18-21. 28 Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 248. 29 Mark K. Osbeck, op cit., hlm. 425-426. 30 Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 64.

Page 9: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 479

diperlihatkan oleh Fajans dan Falk yang, sebagaimana dikutip oleh Robson,

menyatakan bahwa “[i]deally, your choice of subject will be informed equally by your

audience’s needs and concerns and by your own interests.”31 Selain kedua hal di atas,

topik yang dipilih haruslah merupakan topik yang menarik untuk ditulis (interesting),

dapat ditulis (manageable), dan penting (significant) untuk ditulis.32 Singkatnya, topik

artikel harus lah merupakan hal yang pada satu sisi menarik bagi penulis, dan pada sisi

lain berguna bagi orang lain.

4. Hal yang Perlu Dihindari dalam Penentuan Topik

Selain keenam hal dasar yang perlu ada dalam penyusunan artikel ilmiah yang

baik, Volokh juga mengungkapkan beberapa hal yang tidak perlu atau jangan dipilih

sebagai topik artikel, di antaranya adalah: Pertama, artikel yang hanya menunjukkan

adanya persoalan, tetapi tidak memberikan solusi atas persoalan tersebut.33 Kedua,

Artikel yang mengulas hanya satu putusan saja.34 Ketiga, artikel yang hanya mengulas

satu peraturan perundang-undangan dari satu wilayah atau negara.35 Keempat, artikel

yang hanya menjelaskan “what the law is”, bagaimana hukumnya atau bagaimana

bunyi pasalnya.36

Artikel tipe kedua, ketiga, dan keempat harus dihindari karena artikel semacam

ini cenderung akan bersifat deskriptif, tanpa ada analisa, evaluasi, atau pengujian,

misalnya tentang apakah putusan, peraturan, atau hukum yang sedang diuji tersebut

tepat, berguna, berpotensi menghasilkan dampak yang baik (atau buruk). Alih-laih

membahas hanya satu putusan atau satu hukum di satu wilayah, artikel dapat dibuat

lebih menarik dengan, misalnya, membandingkannya dengan berbagai putusan lain

untuk menarik benang merah tertentu, atau dengan berbagai hukum di negara lain

untuk melihat pelajaran apa yang dapat dipetik dari penerapan di negara lain. Kelima,

artikel yang hanya merespon satu pandangan dari sarjana tertentu, tanpa

memperhatikan bagaimana penulis lain telah membahas pandangan tersebut.37

Keenam, artikel yang terlalu retoris, yang oleh Volokh disebut sebagai “excessive

mushiness”, sehingga tidak memberikan jawaban yang tegas.38

Sebagai tambahan, perlu kiranya disebutkan pula di sini dua persoalan yang

harus dihindari oleh para penulis, sebagaimana diungkapkan oleh Samuelson.

Persoalan pertama adalah penulis tidak memiliki sesuatu untuk disampaikan. Hal ini

biasanya terjadi karena dua sebab. Pada satu sisi, artikel yang dibuat hanya berisi

uraian deskriptif tentang hukum tertentu atau gambaran hasil survey literatur, tanpa

ada analisa di dalamnya. Pada sisi lain, penulis artikel bersikap mendua atau bahkan

tidak memiliki sikap sama sekali terkait suatu hal. Persoalan kedua, adalah artikel

yang justru memuat terlalu banyak gagasan. Hal ini biasanya terjadi ketika penulis

merasa semua hal penting untuk disampaikan, sehingga ia gagal untuk memilih

gagasan mana yang akan menjadi fokus dari artikelnya.39

31 Ruthann Robson, op cit., hlm. 197 32 Richard Delgado, loc cit. 33 Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 252. 34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid. 37 Ibid. 38 Volokh memberikan conoth gambaran apa itu pernyataan yang terlalu retoris dan bagaimana

mengatasinya. Dalam hal ini, Volokh berpendapat bahwa alih-alih menyatakan bahwa “Single-sex

educational programs should be legal if they're reasonable”, penulis lebih baik menyatakan “Single-sex

educational programs should be legal if they're narrowly tailored to an educational approach that's

been shown effective in controlled studies”. Ibid., hlm. 253. 39 Pamela Samuelson, op cit., hlm. 151-152.

Page 10: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

480 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

III. PENDAHULUAN: ARTI PENTING DAN ISI PENDAHULUAN

Pendahuluan (Introduction) bagaikan sebuah overture dalam sebuah opera.40

Bagian ini mengantar pembaca pada tema utama yang akan dibacanya sepanjang

tulisan. Pada saat membaca pendahuluan, pembaca berharap akan mengetahui ke arah

mana artikel akan dibuat, apa tujuan akhir (thesis) dari artikel yang dibacanya, dan

bagaimana rute (struktur artikel) untuk mencapai tujuan yang dituju. Pendahuluan

sebuah artikel juga merupakan bagian di mana penulis memiliki kesempatan untuk

memberikan kesan dan mendemonstrasikan kepada para pembaca bahwa tulisan yang

sedang dibaca mereka adalah tulisan yang menarik, penting, dan berguna.41 Sebuah

artikel yang kualitasnya buruk ditandai dengan pendahuluan yang buruk.

1. Isi Pendahuluan

Menurut Volokh, terdapat setidaknya tiga hal yang harus dilakukan oleh penulis

di dalam pendahuluan. Pertama, penulis harus dapat menunjukkan adanya masalah

yang perlu untuk dibahas dan dipecahkan.42 Kimble menyarankan agar penulis

membuat ilustrasi dari persoalan yang kongret.43 Semakin kongkret sebuah masalah,

semakin penting pula masalah tersebut.

Kedua, penulis harus menunjukkan gagasan (claim) yang hendak disampaikan

secara tegas, singkat, dan jelas. Dalam kaitannya dengan hal ini, penulis pun harus

mampu menunjukkan bahwa gagasan yang diusulkannya adalah gagasan yang novel,

nonobvious, dan useful.44

Ketiga, penulis harus mampu membuat framing yang baik dari masalah hendak

dibahasnya.45 Dalam hal ini, penulis harus dengan baik mampu menyampaikan

gagasan dan masalah kepada pembaca dalam kerangka atau perspektif tertentu. Jika

seseorang hendak menulis tentang bagaimana pencegahan dan pengendalian

pencemaran karena sampah plastik, topik seperti ini dapat didekati dari perspektif

yang berbeda-beda. Misalnya saja, topik ini dapat didekati dengan melihat bagaimana

efektivitas kebijakan pengurangan kantong plastik berbayar. Topik ini juga dapat

didekati dari penerapan kewajiban standar tertentu dari kantong plastik atau bahkan

pelarangan. Setiap pendekatan ini akan melahirkan cara pandang yang berbeda,

sehingga akan sulit rasanya apabila penulis menyajikan seluruh pendekatan tersebut di

dalam satu artikel.

Selain dari permasalahan dan gagasan (claim atau thesis), bagian pendahuluan

dari sebuah artikel juga harus memuat struktur artikel, yang akan memberikan peta

jalan (roadmap) atau kerangka artikel, yang memberikan gambaran mengenai rencana

pembahasan di dalam artikel yang ditulis. Peta jalan ini sering kali dianggap sebagai

bagian yang harus ada dari artikel pada jurnal hukum di AS, sehingga apabila seorang

penulis tidak membuatnya, maka editor jurnal (yang baik) akan menambahkan peta

jalan ini di dalam artikel.46 Biasanya peta jalan ini muncul pada (beberapa) paragraf

terakhir dari bagian pendahuluan.47

40 Ibid., hlm. 157. 41 Ibid., hlm. 158. 42 Eugene Volokh (1998), op cit., hlm. 254 43 Joseph Kimble, “Tips for Better Writing in Law Reviews (and Other Journals)”, Thomas M.

Cooley Law Review, Vol. 30 (2013), hlm. 201. 44 Eugene Volokh (1998), loc cit. 45 Ibid., hlm. 254-255. 46 C. Steven Bradford, op cit., hlm. 18. 47 Emily Bolles, “Introductions and Conclusions for Scholarly Papers”, The Writing Center at

Georgetown University Law Center, 2015, tersedia pada:

<https://www.law.georgetown.edu/academics/academic-programs/legal-writing-scholarship/writing-

Page 11: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 481

Sebagai contoh, peta jalan dapat dirumuskan sebagai berikut: “Setelah

Pendahuluan, Bagian I akan menjelaskan gambaran mengenai…. Selanjutnya, analisa

mengenai […] akan diberikan pada Bagian II…. Kesimpulan akan diberikan pada

Bagian [….]”.48

Uniknya, di Indonesia justru peta jalan ini masih belum sepenuhnya

diterapkan. Banyak artikel pada jurnal hukum yang pada bagian pendahuluannya sama

sekali tidak memberikan keterangan mengenai bagaimana artikel akan disusun. Hal ini

patut disayangkan, mengingat peta jalan memiliki arti penting baik bagi pembaca

maupun bagi penulis. Bagi pembaca, peta jalan berfungsi memberikan informasi

bagaimana penulis akan membahas permasalahan yang diajukannya. Bagi penulis,

peta jalan membantunya mengorganisasikan argumen dan pemikirannya. Apabila

diikuti, peta jalan akan membantu penulis membangun alur cerita yang mengalir,

lancar dan jelas.

2. Metodologi?

Pada beberapa kesempatan menjadi mitra bebestari, beberapa jurnal hukum

meminta adanya penilaian mengenai kesesuaian antara topik artikel dengan

metodologi yang dipilih. Permintaan adanya penilaian mengenai metodologi ini

menunjukkan bahwa metodologi dianggap sebagai sesuatu yang penting di dalam

penulisan artikel hukum.

Pada umumnya, artikel hukum di Indonesia menuliskan pada bagian

metodologinya kalimat yang kira-kira berbunyi: “Artikel ini ditulis dengan

menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menggunakan

studi dokumen atau kepustakaan. Artikel ini menggunakan bahan hukum primer

berupa…., bahan hukum sekunder berupa…”.

Penjabaran metodologi seperti ini bermasalah karena dua hal. Pertama, apabila

artikel tersebut hendak ditulis untuk jurnal internasional, maka istilah “yuridis

normatif” sebagai penelitian berbasis bahan pustaka/dokumen, adalah istilah yang

membingungkan dan perlu dihindari. Di negara lain, penelitian normatif sepertinya

tidaklah diartikan sebagai penelitian kepustakaan. Smits, misalnya, mengartikan

penelitian normatif tidak sebagai bentuk data, tetapi sebagai sifat penelitian mengenai

apa yang seharusnya “what ought to be”.49 Kedua, menjelaskan metodologi dengan

jalan menerangkan jenis data/bahan hukum pada akhirnya akan membuat bagian

metodologi ini menjadi bagian yang membosankan karena tidak ada perbedaan yang

mendasar di antara satu artikel dengan artikel lainnya.

Mayoritas, kalau bukan semua, artikel hukum di jurnal hukum di AS atau

Eropa tidak akan memuat bagian mengenai metodologi dalam arti jenis data atau

sebagai keterangan mengenai bahan hukum. Pada jurnal-jurnal ini, metodologi

biasanya akan diterangkan hanya jika artikel didasarkan pada penelitian empiris (non-

doktrinal), yang memang sangat penting untuk menjelaskan bagaimana, di mana, dan

kapan data penelitian diperoleh.

Untuk artikel yang didasarkan pada penelitian kepustakaan, yang di Indonesia

sering kali disebut dengan penelitian yuridis normatif, maka yang diterangkan

center/upload/Bolles-Introductions-and-Conclusions-for-Scholarly-Papers.pdf>, diakses pada Februari

2018, hlm. 3. 48 Contoh lainnya, dapat dilihat dari tulisan berikut: “This Article is organized as follows. Part

I provides the background …. Part II discusses the theoretical basis for …. Part III investigates …. Part

IV proposes reforms to …. Part V explores the question of why ...” Lihat: Eric Posner dan Cass R.

Sunstein, “Dollars and Death”, University of Chicago Law Review, Vol. 72 (2005), hlm. 543. 49 Jan M. Smits, The Mind and Method of the Legal Academic (Cheltenham, UK: Edward

Elgar, 2012), hlm. 35-99.

Page 12: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

482 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

bukanlah mengenai jenis data dan bagaimana bahan hukum diperoleh, tetapi

bagaimana bahan hukum (data) tersebut akan dianalisa. Dalam hal ini, yang perlu

diterangkan adalah bagaimana pembahasan akan artikelnya akan didasarkan pada

pendekatan teoretis tertentu, misalnya dengan menggunakan analisa ekonomi,

sosiologi hukum, atau mungkin perbandingan hukum. Pendekatan teoretis ini

memegang peranan penting dalam menentukan kualitas artikel, karena sebuah artikel

yang baik tidak boleh hanya merupakan tulisan yang bersifat deskriptif, tetapi harus

juga mampu memberikan analisa berdasarkan pendekatan tertentu. Pendekatan yang

digunakan perlu ditulis di dalam artikel, namun tanpa menyebutnya sebagai

metodologi.

3. Bagaimana Memulai Pendahuluan?

Memulai bagian pendahuluan, yang juga memulai sebuah tulisan, seringkali

merupakan urusan yang cukup sulit. Jika dimulai dengan pernyataan yang terlalu

umum, pendahuluan akan sangat panjang dan membutuhkan beberapa halaman hanya

untuk sampai pada persoalan dan thesis statement. Pendahuluan seperti ini beresiko

tidak hanya menjadi pendahuluan yang membosankan, tetapi juga gagal membungkus

topik dalama frame yang jelas. Sebaliknya, jika pendahuluan dimulai terlalu singkat,

terlalu dekat dengan persoalan yang akan dibahas, akan muncul resiko bahwa

pendahuluan menjadi gagal untuk menarik perhatian pembaca dan menunjukkan

bahwa persoalan yang akan dibahas adalah persoalan yang memang penting. Terlepas

dari dua kemungkinan di atas, satu hal yang pasti adalah semakin umum pernyataan

yang digunakan untuk memulai pendahuluan, maka akan semakin panjang pula

pendahuluan tersebut.50

Berikut ini adalah beberapa tips memulai pendahuluan. Pertama, bagian

pendahuluan dimulai dengan langsung menjabarkan pertanyaan atau persoalan yang

ingin dijawab.51 Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam Gunningham yang memulai

artikelnya dengan serentetan pertanyaan berikut:

“How can the substantial shifts that have taken place in environmental law,

regulation and governance over the last four decades be explained? Are the

sorts of policy mechanisms that are in place today more effective, efficient or

politically acceptable than their predecessors? Has the nature of the

environmental challenge itself changed and if so, with what implications? Are

the techniques that are necessary to deal with today’s challenges radically

different from those that served us well in earlier decades? And what is the

role of the state in countries substantially shaped by neo-liberal ideology, in

which the roles of government have been both changed and weakened? Have

we, for example, moved ‘from regulation to governance’?” 52

Dalam paragraf selanjutnya, Gunningham menyatakan bahwa tujuan dari

artikelnya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menguji

perkembangan hukum, regulasi, dan tata kelola lingkungan hidup. Menurutnya, “[t]his

article explores these and related questions by seeking to examine the basic

50 Sebagai rule of thumb, dapat kiranya digunakan patokan bahwa Pendahuluan kira-kira

sebanyak 10% dari total panjang artikel. Artinya, sebuah artikel dengan panjang Pendahuluan 10

halaman, maka panjang artikel keseluruhannya kira-kira adalah 100 halaman. 51 Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 42. 52 Neil Gunningham, “Environment Law, Regulation and Governance: Shifting Architectures”,

Journal of Environmental Law, Vol. 21:2 (2009), hlm. 179-180.

Page 13: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 483

architectures of environmental law, regulation and governance and how they have

changed since the first major environmental legislation was enacted in the 1970s”.53

Kedua, bagian pendahuluan dimulai dengan contoh (masalah) kongkret yang

mendorong pembaca untuk bertanya-tanya bagaimana contoh (masalah) kongkret

tersebut akan diatasi. Pendahuluan demikian tidak hanya akan membuat masalah yang

akan dibahas menjadi lebih tegas, tepapi juga akan menunjukkan bahwa masalah

tersebut penting untuk dibahas.54 Contoh dari model bagian pendahuluan seperti ini

dapat dilihat dari tulisan Kysar di bawah ini:

“Climate change is coming to the common law. Plaintiffs in several cases

have pressed tort claims against carefully composed groups of greenhouse

gas emitting defendants, seeking monetary damages and injunctive relief to

lessen the threat and financial burden of climate change’s harmful impacts.

Surprisingly, not all of these cases have been dead on arrival. Although

malleable and expedient doctrines such as standing, political question, and

preemption might be invoked to justify dismissal, at least one climate change

tort suit instead was poised to proceed to the merits, at least until the

Supreme Court granted review of the Second Circuit Court of Appeals’

refusal to dismiss the suit on justiciability grounds. Depending on the

outcome of that appeal, the question of whether greenhouse gas emissions

constitute an actionable tort under federal or state law, much discussed in

law journals, may eventually receive full judicial airing—[catatan kaki

diabaikan].”55

Dalam bagian pendahuluannya yang bertenaga tersebut, Kysar tidak hanya

mampu menjelaskan contoh kongkret berupa berkembangnya gugatan perubahan

iklim, tetapi juga mampu menerangkan persoalan yang akan dibahas dan thesis dari

artikelnya (“the question of whether greenhouse gas emissions constitute an

actionable tort under federal or state law, much discussed in law journals, may

eventually receive full judicial airing”). Semuanya dikerjakan dalam satu paragraf.

Ketiga, bagian pendahuluan dimulai dengan cerita, dapat cerita kongkret atau

cerita hipotetis, yang menarik dan membekas untuk pembaca, namun tetap terkait

dengan topik/gagasan dari artikel.56 Heinzerling menulis:

“In 1990, North Carolina scientists testing for contaminants in the local

water supply decided to use Perrier as a control sample. Clearly, they figured

that Perrier would be free of the contaminants for which they were testing.

They figured wrong: Perrier contained benzene. Not only that, Perrier

contained benzene at levels far exceeding the U.S. Environmental Protection

Agency's standard for benzene in drinking water. Perrier responded by

voluntarily recalling its U.S. inventory while asserting that the rest of its

worldwide inventory contained no benzene. Soon thereafter, benzene was

found in Perrier bottles in Europe. Perrier then recalled its entire worldwide

inventory-approximately 230 million bottles. The recall and relaunch of the

product cost over $250 million.”

53 Ibid., hlm. 180. Contoh lain dari artikel yang dimulai dengan pertanyaan dapat dilihat pada,

misalnya: Richard B. Stewart, “A New Generation of Environmental Regulation?”, Capital University

Law Review, Vol. 29 (2001); atau Daniel Schwarcz, “Shame, Stigma, and Crime: Evaluating the

Efficacy of Shaming Sanctions in Criminal Law”, Harvard Law Review, Vol. 116:7 (May, 2003). 54 Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 43-44. 55 Douglas A. Kysar, “What Climate Change Can Do about Tort Law”, Environmental Law,

Vol. 41 (2011), hlm. 2. 56 Ibid., hlm. 44-47.

Page 14: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

484 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Heinzerling kemudian mengaitkan antara kejadian ditemukannya karsinogen

dalam minuman kemasan (Perrier) dengan penggunaan Cost-Benefit Analysis oleh

EPA ketika Lembaga ini memutuskan batasan kandungan arsenik di dalam air

mimum. Lebih jauh lagi, Heinzerling menilai bahwa penggunaan CBA dalam

kebijakan batasan arsenik pada air minum juga didukung pendapat Cass Sunstein,

seorang guru besar hukum ternama di AS. Artikel Heinzerling ini dimaksudkan untuk

membantah pandangan EPA dan Sunstein tentang penggunaan CBA dalam kebijakan

terkait perlindungan lingkungan hidup dan kesehatan publik.57 Penggunaan cerita

kongkret, apalagi jika cerita itu merupakan skandal yang membekas dalam ingatan

publik, merupakan cara yang baik untuk meyakinkan pembaca bahwa artikel yang

sedang dibuat adalah artikel yang penting.

Contoh lainnya, perhatikan dua paragraf awal dari tulisan Posner dan Sunstein

berikut:

“How should the legal system assign dollar values to human lives? Consider

a highly publicized example.

“On September 22, 2001, Congress enacted legislation to compensate the

survivors of those killed in the attacks of eleven days earlier. Under the final

regulations, survivors were permitted to claim amounts for both economic

and noneconomic losses. The economic losses were to be measured by

calculating each victim's expected lost wages from September 11, 2001,

through the anticipated date of retirement, subject to several adjustments,

including a reduction by an estimate of household consumption or

expenditure by the victim. Noneconomic losses were set at $250,000 per

victim plus $100,000 per surviving spouse and for each surviving child—

[catatan kaki diabaikan].”58

Kutipan dari Posner dan Sunstein di atas menyajikan cerita kongkret yang

masih membekas pada pembaca, yaitu baru empat tahun dari tahun publikasi.

Selanjutnya, kedua pengarang kemudian memaparkan bagaimana penghitungan

“harga” nyawa manusia di AS dibentuk oleh dua cabang hukum, yaitu hukum

administrasi yang memberikan “harga” melalui Cost-Benefit Analysis (CBA), dan

hukum pertanggungjawaban perdata (torts) yang memberikan “harga” atas kerugian

melalui pengadilan. Sebelum sampai kepada gagasannya untuk menunjukkan bahwa

kedua cabang hukum tersebut dapat belajar satu-sama lain terkait penghitungan

“harga” nyawa, kedua pengarang memaparkan bagaimana hukum administrasi

(melalui regulasi) dan hukum perdata (melalui torts) berbeda dalam cara, penekanan,

dan nilai apa saja yang perlu diperhatikan ketika menentukan “harga” nyawa

manusia.59

Keempat, bagian pendahuluan dimulai dengan pemaparan kontroversi yang

sedang terjadi.60 Case dalam paragraf pembukanya menerangkan kritik terhadap

pendekatan “Atur dan Awasi” (command and control, CAC) sebagai upaya

mendorong munculnya ketaatan (compliance) dalam pengelolaan lingkungan.

Menurut Case,

“Calls are universal among scholars and policy analysts for innovation in

creation and implementation of American environmental regulatory policy.

57 Ibid., hlm. 2312-2313. 58 Eric Posner dan Cass R. Sunstein, op cit., hlm. 537. 59 Ibid., hlm. 538-543, 60 Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 47-50.

Page 15: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 485

Traditional regulatory approaches to controlling pollution are often

pejoratively labeled as “command-and-control.” Since the early 1970s,

however, these approaches are credited with substantial, yet critically

limited, successes in reducing the harmful environmental impacts of

industrial activity…There is, however, considerable debate over the efficiency

of command-and-control approaches and whether similar gains could have

been obtained through alternative regulatory strategies at far less cost… —

[catatan kaki diabaikan]” 61

Kritik ini menempatkan CAC sebagai pusat kontroversi, yang kemudian akan

dibandingkan dengan pendekatan lainnya, yaitu Environmental Management System

(EMS) sebagai pendekatan yang lebih mengandalkan kesukarelaan. Artikel Case

tersebut merupakan pembahasan superioritas pendekatan alternatif ini dibandingkan

dengan CAC.62

Kelima, bagian pendahuluan dimulai dengan pandangan atau aturan yang

hendak dibantah.63 Lihat misalnya kutipan paragraf pembuka dari artikel dari Weinrib

berikut ini:

“The theories of civil recourse and corrective justice are so closely related

that when Ben Zipursky was in Toronto several years ago presenting his

paper Civil Recourse, Not Corrective Justice, I publicly asked him whether

the word “not” in the title was a typo. Civil recourse takes over the central

insights of corrective justice: that the conceptual apparatus of tort law ought

to be understood in its own terms rather than as a disguise for instrumental

considerations; that tort law is not an operation of distributive justice; that

tort liability is a response to wrongdoing; and that wrongs are violations of

norms that relate the plaintiff and the defendant to each other. Although

acknowledging their indebtedness to corrective justice (and indeed saluting it

as “a major advance in modern interpretive tort theory”), John Goldberg

and Ben Zipursky nonetheless have always insisted that civil recourse is

significantly different.”64

Dalam kutipan di atas terlihat bahwa Weinrib hendak mengajukan bantahan

pada artikel Golberg dan Zipursky yang memandang keadilan korektif dan teori civil

recourse adalah dua hal yang berbeda. Menurut Weinrib, keadilan korektif dan teori

civil recourse adalah dua hal yang sama.

Sebuah artikel dapat saja ditujukan untuk mendukung satu pandangan tertentu,

dan bukan sebagai bantahan atas pandangan tersebut. Jika ini yang terjadi, maka

pembukaan bagian pendahuluan dapat dimulai sebagaimana terlihat dalam artikel

Heinzerling berikut: “[m]y goal here is modest: I simply wish to defend the view that

the moral commitment against knowing killing should play a role in decisions about

environmental problems. In recent years, economic analysis has substantially

succeeded in de-ethicizing environmental issues; this paper is part of an effort to re-

ethicize them.”65

61 David W. Case. “Changing Corporate Behavior Through Environmental Management

Systems”, William and Mary Environmental Law and Policy Review, Vol. 31 (2006), hlm. 75-76. 62 Ibid., hlm. 77. 63 Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 51-52. 64 Ernest J. Weinrib, “Civil Recourse and Corrective Justice”, Florida State University Law

Review, Vol 39 (2011), hlm. 273. 65 Lisa Heinzerling, “Knowing Killing and Environmental Law”, NYU Environmental Law

Journal, Vol. 16 (2006), hlm. 521.

Page 16: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

486 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Keenam, bagian pendahuluan yang secara langsung menyatakan tujuan dari

artikel. Pendahuluan semacam ini mirip dengan bagian pendahuluan yang dimulai

dengan pertanyaan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari tulisan Marong, yang sejak

paragraf pertama mengutarakan tujuan dari artikel yang dibuatnya. Marong

menyatakan:

“This paper has three broad objectives. First, it seeks to establish that the

historical development of sustainable development as a legal concept shows

that it implies the pursuit of economic development, environmental

protection, and social development as non-hierarchical objectives of

international society. Secondly, it is argued that while sustainable

development enjoys significant support in international legal instruments, and

is endorsed by a large number of other international actors, it falls short of a

principle of customary international law and is best approached as a

legitimate expectation that actors at the international and domestic levels

ought to conduct their affairs to facilitate the realization of the above

objectives. Thirdly, it is argued that legal norms such as the precautionary

principle, the principle of environmental impact assessment, and public

participation in decision-making could play an important role in the

realization of sustainable development….”66

IV. STRUKTUR ARTIKEL, MUATAN DAN BAHASA

Seperti juga artikel hukum pada umumnya, sebuah artikel hukum haruslah

mampu menerangkan gagasan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Untuk itu,

seorang penulis harus mengetahui apa yang menjadi gagasannya dan bagaimana

mendukung gagasan tersebut. Sepanjang artikelnya, penulis harus mampu

memaparkan thesis statement, dan kemudian membangun argumen yang terorganisasi

dengan baik untuk mendukung pernyataan tersebut.67 Bagian ini akan menerangkan

beberapa hal penting dari sebuah artikel hukum, yaitu: struktur, kemasukakalan, sitasi,

dan bahasa.

1. Struktur

Di Indonesia, seringkali ditemukan jurnal hukum yang meminta agar struktur

artikel ditulis berdasarkan format: Pendahuluan—Metodologi—Data/Hasil—

Diskusi—Kesimpulan, atau Pendahuluan—Pembahasan—Kesimpulan. Kedua format

ini bukan hanya kaku dan lebih cocok untuk jurnal non hukum, tetapi juga membatasi

penulis untuk menyusun argumennya sesuai dengan persoalan (pertanyaan) yang telah

dirumuskan sebelumnya. Menurut Samuelson, struktur artikel harus disusun

sedemikian rupa sehingga memungkinkan penulis untuk mengintegrasikan fakta, data,

atau analisa putusan dan peraturan ke dalam argumen yang hendak dibangunnya.

66 Alhaji B.M. Marong, “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of International

Legal Norms in Sustainable Development”, Georgetown International Environmental Law Review, Vol.

16 (2003), hlm. 21-22.

Contoh lainnya dapat ditemukan dalam Maggio, yang menulis dalam paragraf pertama dari

artikelnya tentang fokus dari artikel tersebut: “[t]his article focuses on the "equity" aspect of sustainable

development, especially as it relates to conservation of resources of biological diversity. This article

discusses…”intergenerational equity,” and analyzes its current applications in international law.”

Lihat: G.F. Maggio, “Inter/intra-generational Equity: Current Applications under International Law for

Promoting the Sustainable Development of Natural Resources”, Buffalo Environmental Law Journal,

Vol. 4 (1997), hlm. 162. 67 M.H. Sam Jacobson, “The Legal Writer: What's Your Point? Tips For Writing Clearly”,

Oregon State Bar Bulletin, Vol. 71 (2011), hlm. 13.

Page 17: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 487

Karena sebuah artikel disusun untuk meyakinkan pembaca dengan gagasan penulis,

maka struktur artikel tidak boleh menghambat penulis untuk menyampaikan

gagasannya tersebut.68

Uraian Samuelson di atas menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada batasan

atau konvensi khusus terkait struktur sebuah artikel. Namun demikian, beberapa pola

dapat lah kiranya disampaikan di sini.

Menurut Lebovits, standar jurnal hukum di AS biasanya merumuskan struktur

sebuah artikel dalam bentuk:69

1. Pendahuluan, yang biasanya memuat ruang lingkup pembahasan dan kerangka

(peta jalan) artikel;

2. Bagian latar belakang (overview)

3. Bagian diskusi dari peraturan atau putusan pengadilan

4. Bagian analisa

5. Bagian diskusi tentang kebijakan/respon yang diusulkan

6. Kesimpulan.

Alternatifnya, struktur dapat dirumuskan lebih padat sebagai berikut:70

1. Pendahuluan;

2. Bagian diskusi tentang hukum (aturan) tertentu, termasuk perkembangannya;

3. Bagian diskusi tentang unsur dari hukum (aturan) tersebut berdasarkan bahan

hukum primer dan sekunder;71

4. Bagian yang mendiskusikan konsekuensi praktis dari aturan yang didiskusikan;

5. Kesimpulan.

Sementara itu, Motro menganalogikan struktur artikel pada jurnal hukum

dengan sebuah drama tiga babak, yang terdiri dari eksposisi, konfrontasi, dan resolusi.

Babak Pertama dari drama adalah eksposisi, yang bertujuan memperkenalkan konflik

antara “sang penjahat” (the villain) dan “sang jagoan” (the hero). Bagian ini akan

menjelaskan keburukan dan kelemahan dari sang penjahat. Pada Babak Kedua,

digambarkan konfrontasi. Inilah bagian inti dari drama, yang mengetengahkan

panggung pertarungan antara sang penjahat dan sang pahlawan. Pertarungan, tentu

saja, harus dimenangkan oleh sang pahlawan. Pada Babak Ketiga, yaitu resolusi,

konflik akan diselesaikan, berbagai pertanyaan akan terjawab, dan cerita akan

disimpulkan.72 Bagaimana “drama” ini dikaitkan dengan artikel dapat dilihat dalam

penjelasan berikut.

Ketika menyusun bagian pendahuluan dan Bagian I dari artikelnya, Motro

membayangkan bagian eksposisi sebuah drama. Menurutnya, pendahuluan

memperkenalkan konflik antara sang pahlawan, yaitu gagasan penulis (idea), dengan

sang penjahat, yaitu gagasan yang hendak dibantah atau berseberangan dengan

gagasan penulis (counter idea). Pendahuluan ini bukan hanya memperkenalkan

pembaca dengan konflik tersebut, tetapi juga menerangkan bahwa konflik tersebut

penting untuk diketahui oleh Pembaca.73 Peta jalan di dalam pendahuluan sangat

68 Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152-155. 69 Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51 dan 64. 70 Ibid., hlm. 51. 71 Perlu diketahui bahwa diskusi di sini tidak hanya dibatasi pada unsur-unsur menurut

peraturan perundang-undangan saja, tetapi juga harus termasuk putusan pengadilan yang menafsirkan

atau menerapkan aturan hukum yang didiskusikan tersebut. 72 Shari Motro, “The Three-Act Argument: How to Write a Law Article that Reads Like a

Good Story”, Journal of Legal Education, Vol. 64 (2015), hlm. 707-708. 73 Ibid., hlm. 708.

Page 18: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

488 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

penting sebagai cara untuk menjelaskan bagaimana penulis akan membangun

argumennya dan membuktikan gagasannya.

Setelah itu, Bagian I, atau seringkali disebut latar belakang atau overview, akan

menjelaskan sang penjahat, yaitu gagasan yang hendak dibantah (counter idea).

Gagasan yang hendak dibantah ini dapat berupa pandangan umum yang berlaku

(conventional wisdom), peraturan perundang-undangan, persoalan yang belum

terpecahkan, gagasan yang baru berkembang, atau kecenderungan pandangan tertentu.

Secara singkat, gagasan ini adalah status quo yang hendak dibantah. Pada bagian ini,

seorang penulis perlu untuk menggambarkan latar belakang pemikiran atau alasan

pembenar (rationales) dari status quo atau counter idea yang hendak dibantahnya.74

Untuk menjamin non-obviousness dari artikel yang hendak dibuat, penulis

perlu menggambarkan bahwa status quo atau counter idea memiliki landasan

pemikiran yang cukup kuat. Jika landasan pemikiran counter idea ternyata lemah,

artikel menjadi tidak menarik karena, seperti diutarakan Motro, “anybody can tear

down a paper tiger”.75 Dalam konteks ini, kelebihan-kelebihan dari status quo atau

counter idea perlu pula tergambarkan dengan jelas.

Setelah memaparkan bagaimana kuatnya status quo atau counter idea,

panggung kemudian terbuka untuk Bagian II. Inilah panggung untuk munculnya sang

pahlawan, gagasan utama dari penulis. Pada bagian ini, penulis harus mampu

melumpuhkan setiap argumen, pembenaran, dan kelebihan dari status quo atau

counter idea yang dipaparkan sebelumnya. Pada bagian ini pula penulis memblejeti

kelemahan-kelamahan dari sang penjahat. Pada akhir dari Bagian II, sang pahlawan,

argument-argumen penulis, harus muncul sebagai pemenang.76

Selanjutnya, Bagian III menawarkan resolusi. Inilah bagian ketika penulis

membayangkan apa yang mungkin terjadi setelah argumen penulis mengalahkan status

quo atau counter idea. Setalah berhasil menunjukkan kelemahan status quo atau

counter idea, Bagian III akan menunjukkan bahwa kelemahan tersebut menemukan

obatnya pada gagasan yang ditawarkan penulis. Inilah saatnya sang pemenang terbang

dan bermimpi lebih jauh.77 Artinya, penulis dapat mengetengahkan rekomendasi atau

proposal baru untuk menggantikan yang lama, atau mencari batas/tantangan dari

gagasannya.

Penutup adalah epilog. Pada bagian ini penulis menjelaskan hal-hal terpenting

dari pertarungan yang sudah dilaluinya, sambil menjelaskan sekali lagi pentingnya

gagasan utama dari artikel yang ditulisnya.

Motro menggambarkan artikel drama tiga babaknya dalam abstrak berikut:

“[I] Under current law [counter idea]. The main rationales for this

rule/approach/paradigm are… [II] A closer look, however, reveals several

problems. For one, the current rule… The current rule also fails to… Finally,

it… [III] This article proposes that the current rule be replaced/modified…

[Closer].”78

74 Ibid. 75 Ibid. 76 Ibid., hlm. 709. 77 Ibid. 78 Motro menjelaskan pula bahwa apabila artikel dimaksudkan untuk mendukung, dan bukan

membantah, sebuah status quo, maka struktur tulisan dapat dimulai dari pembahasan tentang adanya

upaya untuk mengganti status quo (Bagian I). Menyusul kemudian bantahan dari penulis tentang upaya

penggantian tersebut (Bagian II). Ibid.

Karena Motro tidak menjelaskan bentuk Bagian III dan penutupnya, maka sepertinya Bagian

III ini akan tetap merupakan rekonsiliasi (sintesa) antara Bagian I dan Bagian II, sedangkan penutup

tetap sebagai epilog dari artikel.

Page 19: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 489

Ada pun struktur dari artikel tersebut akan terlihat seperti di bawah ini:79

Pendahuluan

I. Status Quo dan Pembenarannya

A. Penjelasan tentang Status Quo

B. Pembenaran atas Status Quo

1. Pembenaran 1

2. Pembenaran 2

II. Argumen Bantahan terhadap Status Quo

A. Subbagian 1

B. Subbagian 2

III. Proposal/implikasi hukum atau kebijakan

Kesimpulan

2. Kemasukakalan (Soundness), Referensi dan Gaya Sitasi

Seorang penulis perlu selalu menanyakan kepada dirinya apakah

klaim/gagasan yang dibuatnya adalah gagasan yang masuk akal. Penulis perlu

mengajukan beberapa pengujian terhadap gagasannya, untuk memperlihatkan sejauh

mana gagasannya dapat bertahan dari beberapa serangan. Dalam tulisannya, Volokh

menggambarkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengujian, misalnya

bahwa pengujian harus masuk akal, harus melibatkan putusan/preseden yang terkenal,

dan putusan atau gagasan yang dijadikan alat pengujian harus dapat memberikan

tantangan pada gagasan penulis.80 Artikel tentu saja perlu disesuaikan (direvisi) sesuai

dengan hasil pengujian yang dilakukan.81 Proses pengujian ini pada akhirnya ditujukan

untuk membuktikan bahwa gagasan yang diusung oleh penulis dapat bekerja dengan

baik, sebagaimana diklaim olehnya pada bagian abstrak dan pendahuluan.82

Sebuah artikel yang baik memiliki gagasan dan argumen yang kokoh. Untuk

membentuk argumen yang kokoh ini diperlukan bukti yang kuat. Karena itu, artikel

tidak hanya harus konsisten dan koheren, tetapi juga harus didukung oleh bahan-bahan

pendukung. Sebuah artikel hukum akan menggunakan bahan dukungan yang diperoleh

dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan artikel/pendapat dari

penulis yang memiliki otoritas.

Referensi atau seringkali pula disebut catatan kaki atau sitasi, merujuk pada

caranya penulisannya di dalam artikel, memiliki peran yang sangat penting di dalam

artikel hukum. Untuk mendukung argumen/gagasan yang diajukan, maka penulis

harus merujuk pada putusan yang diterima, peraturan/hukum yang berlaku, atau teori

dari ahli hukum atau dari disiplin lain. Dalam hal ini, penulis harus mampu menyeleksi

referensi yang ada, sehingga referensi tersebut adalah referensi yang paling penting

atau relevan, yang berasal dari sumber yang autoritatif.83 Penulis perlu pula

mengusahakan agar setiap rujukan harus selalu merujuk pada sumber utama (primary

reference). Selain itu, setiap artikel juga harus menghindari penggunaan Wikipedia

atau blogspot sebagai dasar rujukan.

Referensi sering dianggap sebagai cara mudah untuk mengukur kualitas

tulisan. Dalam arti bahwa referensi yang baik dan mampu mendukung argumen

79 Diadaptasi dari: Ibid., hlm. 710. 80 Eugene Volokh (2007), op cit., hlm. 25-27. 81 Ibid., hlm. 24-25. 82 Michael J. Madison, “The Lawyer as Legal Scholar”, University of Pittsburgh Law Review,

Vol. 65 (2003), hlm. 71. 83 Joseph Kimble, op cit., hlm. 201-202.

Page 20: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

490 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

penulisnya, pada akhirnya akan mengarah pada artikel yang baik. Pada dasarnya,

setiap pernyataan yang merujuk pada hukum atau fakta tertentu harus mencantumkan

rujukan dan referensi, yang biasanya dituliskan pada catatan kaki.84

Selain itu, referensi yang baik juga merupakan bukti adanya kejujuran dari

penulis, yang memberikan kredit pada sumber acuan artikelnya. Karenanya, penulis

juga diminta untuk akurat dalam menuliskan referensinya, sebab tidak akuratnya

referensi yang digunakan dapat berakibat pada hilangnya kepercayaan pembaca pada

apapun yang dikatakan oleh penulis.85

Selain untuk menuliskan sumber referensi, catatan kaki/akhir memiliki fungsi

lain, yaitu:86

a) Memberikan informasi mengenai contoh yang mengilustrasikan pernyataan

penulis di dalam teks;

b) Mendemonstrasikan kedalaman penelitian yang dilakukan;

c) Memberikan penghargaan pada sumber yang telah menjadi acuan dalam penulisan

artikel;87

d) Mendemonstrasikan kedalaman pemahaman penulis tentang apa yang sedang

ditulisnya;

e) Mengangkat/mendiskusikan hal tertentu yang terkait dengan gagasan utama

tulisan, tetapi akan mengaburkan pembahasan apabila hal tersebut didiskusikan di

dalam teks utama.

f) Membahas keberatan dari pembaca yang mungkin muncul dan tidak dapat

diabaikan, tetapi tidak dapat dibahas panjang lebar di dalam teks utama karena

akan mengganggu alur pembahasan.

Mayoritas jurnal hukum meminta penulisan sitasi dengan menggunakan

catatan kaki (footnote) atau catatan akhir (endnote). Penulisan referensi melalui catatan

84 Lebovits menyatakan bahwa penulisan referensi dimaksudkan untuk mendukung argumen

yang diajukan, sehingga berarti bertujuan untuk memperkuat artikel, dan bukan untuk memperpanjang

artikel. Gerald Lebovits, “Legal-Writing Myths”, The Scribes Journal of Legal Writing, Vol. 16 (2014),

hlm. 121.

Perlu pula disampaikan di sini bahwa tidak semua ahli hukum tampaknya setuju dengan

manfaat dari referensi (catatan kaki). Hakim Mikva, seorang mantan hakim pada pengadilan banding

Circuit, yang ketika mahasiswa merupakan editor in chief dari University of Chicago Law Review,

menulis: “I have mentioned footnotes, and I might as well disclose my real bias against them. I stopped

using them in my opinions and still do not use them for any substantive purpose. I think footnotes are an

abomination. If God had intended the use of footnotes to be a norm, He would have put our eyes in

vertically instead of horizontally….” Lihat: Honorable Abner J. Mikva, “Law Reviews, Judicial

Opinions, and Their Relationship To Writing”, Stetson Law Review, Vol. XXX (2000), hlm. 524.

Selanjutnya, Mikva juga menyebut paksaan untuk menggunakan referensi (catatan kaki)

sebanyak mungkin sebagai virus yang perlu disingkirkan. Satu-satunya penyesalan dari Hakim Mikva

adalah “I just wish it had not taken me so long to get rid of the footnote virus and that I did not still

secretly think that maybe the number of footnotes does have something to do with the worthiness of the

writing.” Ibid., hlm. 525.

Bradford menduga bahwa keengganan, atau lebih tepatnya pemberontakan, Hakim Mikva

terhadap tuntutan untuk menggunakan catatan kaki pada akhirnya berkontribusi pada kegagalannya

menjadi hakim agung di AS. Karena itu, kejadian ini didisebut dengan “Mikva mistake”, sebuah

penolakan atas penggunaan catatan kaki yang berakhir pada kegagalan seseorang mencapai karir hukum

yang lebih tinggi. Lihat: C. Steven Bradford, op cit., hlm. 24. 85 Joseph Kimble, op cit., hlm. 202. 86 Pamela Samuelson, op cit., hlm. 161. 87 Dalam bahasa Lebovits: “[f]ootnotes and endnotes provide authority for assertions and

attribute borrowed material. They also get your name and paper into the stream of discussion.By

quoting others, you’ll get noticed by those you quoted. In turn, they’ll quote you. Then you and your

paper become immortal”. Lihat: Gerald Lebovits (2006), op cit., hlm. 51.

Page 21: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 491

kaki/akhir berfungsi sebagai textual footnote, yaitu keterangan mengenai sumber yang

dijadikan acuan oleh penulis di dalam teksnya. Referensi dapat juga berfungsi sebagai

authoritative footnote, yang menjelaskan, membuktikan, atau mengindikasikan bahwa

argumen yang digunakan penulis didasarkan pada sumber/pandangan yang autoritatif.

88

Penulis harus senantiasa memutakhirkan gaya sitasinya, sehingga mengikuti

gaya selingkung dari jurnal yang akan ditujunya. Di AS, hampir semua jurnal hukum

menggunakan catatan kaki (footnote) dengan gaya sitasi bluebook.89 Sedangkan jurnal-

jurnal yang diterbitkan di Eropa, biasanya menggunakan catatan kaki dengan model

sitasi Oscola.90 Mengingat baik Bluebook maupun Oscola memuat keterangan lengkap

tentang sumber yang dirujuk, misalnya nama pengarang, judul buku beserta tahun

publikasi, serta judul artikel berserta nama jurnal, volume dan tahunnya, maka jurnal

AS dan Eropa yang menggunakan kedua gaya sitasi tersebut tidak menggunakan daftar

pustaka.91 Kegagalan untuk mengikuti gaya selingkung dari jurnal yang akan dituju

seringkali berakhir pada penolakan dari jurnal tersebut.

Sayangnya, di Indonesia sepertinya tidak ada kesepakatan di antara pengelola

jurnal hukum tentang gaya sitasi. Lebih dari itu, gaya yang biasanya digunakan di

Indonesia adalah gaya sitasi yang ada di luar negeri, misalnya Turabian, sehingga

menimbulkan kebingungan ketika seseorang hendak menuliskan sitasi dari bahan

hukum primer, terutama putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan.

Untuk menghindari berlarutnya persoalan gaya sitasi ini, para pengelola jurnal hukum

dan para pengajar mata kuliah penelitian hukum perlu duduk bersama dan menentukan

gaya sitasi yang disepakatinya.

Hal terakhir yang perlu dibicarakan pada bagian ini adalah parafrase dan

kutipan langsung. Meskipun sebuah tulisan telah mencantumkan referensi untuk

sumber yang menjadi rujukannya, penulis masih perlu melalukan parafrase. Ini adalah

sebuah proses di mana penulis menuangkan pernyataan yang dirujuknya dengan

menggunakan kalimatnya sendiri, tanpa mengubah makna dari pernyataan yang

menjadi rujukan. Penulis harus menunjukkan bahwa pernyataan yang ditulisnya

berbeda dengan pernyataan yang menjadi rujukannya, tetapi tetap memiliki arti yang

sama.92

Parafrase tidak dilakukan dalam hal penulis memilih untuk melakukan kutipan

langsung. Kutipan langsung ini lebih baik dibatasi hanya pada situasi di mana penulis

ingin menunjukkan bahwa pernyataan yang dirujuk adalah benar-benar dari sumber

yang dirujuk tanpa adanya intervensi dari penulis.

3. Bahasa

Samuelson menulis bahwa di dalam sebuah artikel, hal yang sama pentingnya

dengan adanya gagasan (thesis) adalah adanya kemampuan untuk menyampaikan

88 Richard Delgado, op cit., hlm. 451. 89 Anonymous, The Bluebook: A Uniform System of Citation, 19th Ed. (The Harvard Law

Review Association, 2010). 90 Anonymous, “OSCOLA: Oxford University Standard for the Citation of Legal Authorities”,

4th ed., Faculty of Law, University of Oxford, tersedia pada:

<https://www.law.ox.ac.uk/sites/files/oxlaw/oscola_4th_edn_hart_2012.pdf> 91 Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana disyaratkan adanya informasi yang lengkap

tentang referensi di dalam catatan kaki, dan pada saat yang sama juga disyaratkan adanya daftar

pustaka. Sebuah pemborosan halaman. 92 Untuk contoh penggunaan parafrase, lihat misalnya: Lisa Webley, Legal Writing, 4th ed.

(London: Routledge, 2016), hlm. 108-110.

Page 22: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

492 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

gagasan/itu dengan masuk akal.93 Banyak sarjana hukum, sayangnya, berpandangan

bahwa gaya penulisan tidaklah penting, sebab yang penting adalah isi dari tulisan. Hal

ini tidak tepat. Lebovits menyebutnya sebagai mitos. Menurut Lebovits, “[y]ou can't

be a great lawyer, whatever your other qualities, unless you write well.” Selanjutnya,

Lebovits mengutip pandangan Dekan dari Fordham Law School yang menulis bahwa

“[w]ithout good legal writing, good lawyering is wasted, if not impossible”.94 Dengan

demikian, gaya penulisan juga penting untuk diperthatikan.

Kesederhanaan, Kejelasan, dan Kalimat yang Efektif

Pertanyaannya, gaya penulisan yang seperti apa yang perlu diikuti? Rowe

menjawab: tulisan hukum harus ditulis secara sederhana. Menurutnya, kesederhanaan

akan membawa kejelasan (clarity), yang merupakan kunci bagi sebuah tulisan yang

baik.95

Dari tulisan Abrams dan tulisan Rowe dapat diidentifikasi setidaknya tiga hal

yang penting dalam pembentukan gaya tulisan yang sederhana, yaitu kata yang pendek

(short words), kalimat yang pendek (short sentences), dan struktur yang sederhana

(simple structure).

a) Kata yang pendek/sederhana

Abrams menulis bahwa dalam pidato pelantikannya sebagai presiden, Presiden

Kennedy hanya menggunakan satu kata yang panjangnya lebih dari dua suku kata,

yaitu “americans”. Beberapa kata terdiri dari dua suku kata, dan sisanya, sebagian

besar, merupakan kata dengan satu suku kata. Pidato itu masih dianggap sebagai

salah satu pidato pelantikan terbaik sampai saat ini, salah satu sebabnya karena

kesederhanaan pidato tersebut.96 Menurut Abrams, ahli hukum juga seharusnya

menggunakan kata-kata yang pendek, yang justru lebih bertenaga dan akurat

dalam menerangkan fakta dan hukum.97

Mungkin dalam bahasa Indonesia sedikit sulit untuk menemukan kata-kata yang

pendek, yang hanya terdiri dari satu suku kata. Namun demikian, pesan penting

yang ingin disampaikan di sini adalah kesederhanaan. Pilihlah kata yang

sederhana dan tidak rumit. Yang panjang dan kompleks adalah gagasan penulis,

bukan kata-kata yang dipilihnya. Persis seperti judul dari artikel Abrams: long

ideas, short words.

b) Kalimat pendek

Sama seperti kata, kalimat juga seharusnya merupakan kalimat yang pendek.

Kalimat yang pendek akan mampu memberikan kejelasan lebih baik dibandingkan

dengan kalimat yang panjang. Hal-hal yang memang memiliki pokok pikiran atau

pesan yang berbeda, harus ditulis dalam kalimat yang berbeda.98

c) Struktur kalimat sederhana

Struktur kalimat yang sederhana dapat membuat tulisan menjadi lebih mudah

dipahami. Dalam bahasa Inggris, kalimat yang sederhana biasanya memiliki pola:

93 Pamela Samuelson, op cit., hlm. 152. 94 Gerald Lebovits (2014), op cit., hlm. 113. 95 Suzanne E. Rowe, “The Legal Writer: Keep It Simple: ‘Short and Sweet’ Brings Clarity to

Legal Writing”, Oregon State Bar Bulletin, Vol. 68 (2008), hlm. 96 Douglas E. Abrams, “Writing It Right: Long Ideas, Short Words”, Journal of the Missouri

Bar, Vol. 72 (2016), hlm. 148. 97 Ibid. 98 Suzanne E. Rowe, op cit., hlm. 12-13.

Rowe mengusulkan agar kalimat terdiri dari paling banyak 25 kata. Jika ada satu dan lain hal

satu kalimat memiliki lebih dari 25 kata, maka pada bagian lain harus diseimbangkan dengan kalimat

yang kurang dari 25 kata. Ibid.

Page 23: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 493

subject—verb—object, di mana subject adalah aktor dari kalima, verb adalah

tindakan dari aktor tersebut, dan object adalah yang menerima tindakan.99 Dalam

bahasa Indonesia, pola kalimat sederhana biasanya terdiri dari: subyek—

predikat—obyek—keterangan.

Usahakan agar sebuah kalimat tidak memuat anak kalimat. Jika terpaksa, maka

jumlah anak kalimat dalam sebuah kalimat perlu dibatasi tidak lebih dari satu

anak kalimat.

Alur Cerita dan Paragraf

Karena kalimat dibuat pendek, maka kalimat menjadi tidak mengalir dengan

baik. Mirip seperti seseorang yang sedang belajar mengendarai mobil. Terlalu sering

mobil berhenti secara mendadak. Untuk melancarkan alur cerita, maka diperlukan

adanya kata penghubung. Dengan kata penghubung ini, kalimat-kalimat menjadi

menyatu dan mengalir dengan lebih baik. Ibarat mobil, maju dan lajunya menjadi lebih

halus dan lancar.

Perhatikan contoh di bawah ini:

“Terdapat dua tipe integrasi perizinan, yang keduanya diharapkan oleh UU

No. 32 Tahun 2009 yaitu integrasi izin yang bersifat internal, dalam arti izin-

izin pengelolaan lingkungan disatukan menjadi izin lingkungan, yang lazim

disebut dengan integrasi izin, dan integrasi eksternal, dalam arti integrasi izin

usaha dengan izin lingkungan, yang lazim disebut dengan izin berantai yang

oleh ahli hukum Indonesia dianggap sebagai sistem izin yang berasal dari

Belanda, yaitu ketting verguning, di mana izin lingkungan dijadikan syarat

dari izin usaha, dan apabila izin lingkungan dicabut, maka izin usaha menjadi

tercabut pula atau menjadi batal demi hukum.”

Paragraf di atas nyaris tidak dapat dipahami. Kalimat-kalimat yang

disampaikan terlalu panjang, dan tidak memiliki satu kerangka berpikir yang sama.

Selain itu, paragraf di atas juga buruk karena menurut kebiasaan, sebuah paragraf

terdiri lebih dari satu kalimat.

Untuk memperbaiki paragraf di atas, maka kalimat yang ada harus dipecah

menjadi kalimat-kalimat pendek. Agar kalimat-kalimat pendek tersebut dapat memiliki

keterkaitan satu-sama lain, sehingga dapat mengalir dengan lebih baik, maka perlu

pula digunakan kata-kata penghubung. Dalam kutipan di bawah ini, kata penghubung

ditulis dengan garis bawah:

“Sedianya, UU No. 32 Tahun 2009 diharapkan memuat dua tipe integrasi

perizinan. Pertama, adalah integrasi izin yang bersifat internal, dalam arti

izin-izin pengelolaan lingkungan disatukan menjadi izin lingkungan. Hal ini

lazimnya disebut dengan integrasi izin. Kedua, integrasi eksternal, dalam arti

integrasi izin usaha dengan izin lingkungan. Hal ini lazimnya disebut dengan

izin berantai. Dalam hal ini, izin lingkungan dijadikan syarat dari izin usaha,

dan apabila izin lingkungan dicabut, maka izin usaha menjadi tercabut pula

atau menjadi batal demi hukum. Terkait izin berantai ini, ahli hukum

Indonesia beranggapan bahwa sistem izin berantai ini berasal dari Belanda,

sehingga seringkali sistem ini disebut dengan ketting verguning, yang artinya

izin berantai—[garis bawah adalah kata penghubung].”

99 Ibid., hlm. 13.

Page 24: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

494 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Pemilihan kata penghubung yang tepat membutuhkan kemahiran yang terasah

oleh latihan. Namun demikian, untuk membantu pemilihan kata penghubung ini,

beberapa buku menyediakan daftar kata penghubung. Untuk tulisan berbahasa Inggris,

kumpulan kata/frasa penghubung dapat ditemukan pada buku yang ditulis Ryan

Deane.100

Koherensi sebuah artikel ditandai dengan kesatuan (unity) dan keterkaitan

(cohesion) antara satu kalimat dengan kalimat lainnya, antara satu paragraf dengan

paragraf lainnya, dan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Dalam hal ini, elemen-

elemen dari satu artikel harus disusun dalam kesatuan yang saling mendukung.

Paragraf hanya memuat satu pokok pikiran. Setiap paragraf dimulai oleh

kalimat utama, atau disebut juga topic/thesis sentence, yang memuat pokok pikiran.

Kalimat-kalimat lainnya di dalam paragraf tersebut adalah kalimat pendukung, yang

bertugas menjelaskan atau mendiskusikan kalimat utama.101 Koherensi dibangun

dengan membuat kalimat-kalimat di dalam paragraf terkait dengan kalimat utama.

Paragraf diakhiri dengan konfirmasi atas kalimat utama, atau dengan penjelasan

tentang keterkaitan paragraf dengan gagasan artikel dan permasalahan.102 Paragraf

dapat pula diakhir dengan sebuah kalimat penghubung.

Guna membangun koherensi dan alur cerita yang baik, maka perlu ada jalinan

antara satu paragraf atau bagian dengan paragraf atau bagian lainnya. Untuk itu, di

antara paragraf yang satu dengan yang lain seringkali perlu disambungkan dengan

kalimat penghubung. Kalimat penghubung ini biasanya ditulis sebagai kalimat terakhir

dari sebuah paragraf. Sedangkan untuk mengaitkan satu bagian dengan bagian lainnya,

kadang kala perlu dibuat pula paragraf penghubung, yang biasanya terletak pada

paragraf paling awal atau terakhir akhir dari sebuah bagian (subbab). Paragraf ini

dapat berisi rangkuman dari apa yang telah dibahas dan apa yang akan dibahas

selanjutnya.

V. CATATAN PENUTUP

Di Indonesia tidak terdapat standar yang seragam mengenai struktur, gaya

selingkung, model penulisan rujukan, dan sampai panjang halaman dari artikel hukum.

Akibatnya, beberapa jurnal mengikuti aturan penulisan yang mirip dengan jurnal ilmu

sosial. Hal ini pada gilirannya menjadikan bentuk dan gaya (style) dari artikel-artikel

hukum di Indonesia berbeda dengan artikel-artikel pada jurnal hukum di luar negeri.

Tulisan ini menganggap bahwa publikasi di dalam jurnal di Indonesia

sesungguhnya memiliki manfaat yang lebih besar untuk perkembangan hukum

Indonesia, dibandingkan dengan publikasi dalam jurnal terindeks scopus. Namun

demikian, tulisan ini menyadari bahwa kebiasaan penulisan artikel hukum di

Indonesia, yang dipaparkan di atas, perlu segera dihentikan. Kebiasaan tersebut hanya

menyebabkan artikel tersebut memiliki kualitas yang tidak terlalu baik.

Karena itu, para pengajar metode penelitian hukum dan para pengelola jurnal

hukum perlu segera duduk bersama dan mencapai kesepakatan mengenai muatan dan

100 Ryan Deane, Make Your Writing Flow: A Practical Guide to Transitional Words and Phrases

(Create Space Independent Publishing Platform, 2015). 101 Untuk diskusi lebih jauh tentang penyusunan paragraf, lihat: E. Scott Fruehwald, Legal

Writing Exercises: A Practical Guide to Clear and Persuasive Writing for Lawyers (ABA Publishing,

2014), hlm. 105-108.

Buku Komposisi sangat penting untuk diperhatikan karena buku ini juga mengungkapkan

bagaimana menyusun paragraf yang baik dan apa saja variasi penyusunan paragraf. Lihat: Gorys Keraf,

Komposisi, Cet. 8 (Jakarta: Penerbit Nusa Indah, 2016), hlm. 62-105. 102 Lisa Webley, op cit., hlm. 25-26.

Page 25: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

Menulis di Jurnal Hukum, Andri Gunawan Wibisana 495

gaya bagi penulisan artikel hukum di Indonesia, sehingga artikel di Indonesia memiliki

kualitas yang tidak berbeda dengan artikel yang dimuat di dalam jurnal-jurnal hukum

di negara lain. Sebuah artikel yang cemerlang tetaplah akan cemerlang, tanpa peduli

apakah artikel tersebut ditulis dalam Bahasa Indonesia atau bahasa lain. Jika sudah

demikian, dapatlah kita berharap bahwa jurnal-jurnal hukum Indonesia menjadi jurnal

bergengsi, yang berisi perdebatan mutakhir dan bernas, bukan hanya dari para penulis

Indonesia tetapi juga dari para sarjana di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, “OSCOLA: Oxford University Standard for the Citation of Legal

Authorities”, 4th ed., Faculty of Law, University of Oxford, tersedia pada:

<https://www.law.ox.ac.uk/sites/files/oxlaw/oscola_4th_edn_hart_2012.pdf>

Anonymous, The Bluebook: A Uniform System of Citation, 19th Ed. (The Harvard Law

Review Association, 2010).

Abrams, Douglas E. “Writing It Right: Writing in Law Reviews, Bar Association

Journals, and Blogs (Part 1)”. Journal of the Missouri Bar, Vol. 72 (2016).

Abrams, Douglas E. “Writing It Right: Long Ideas, Short Words”. Journal of the

Missouri Bar, Vol. 72 (2016).

Bolles, Emily. “Introductions and Conclusions for Scholarly Papers”, The Writing

Center at Georgetown University Law Center, 2015, tersedia pada:

<https://www.law.georgetown.edu/academics/academic-programs/legal-

writing-scholarship/writing-center/upload/Bolles-Introductions-and-

Conclusions-for-Scholarly-Papers.pdf>, diakses pada Februari 2018, hlm. 3.

Bradford, C. Steven. “As I Lay Writing: How to Write Law Review Articles for Fun

and Profit: A Law-and-Economics, Critical, Hermeneutical, Policy Approach

and Lots of Other Stuff That Thousands of Readers Will Find Really

Interesting and Therefore You Ought to Publish in Your Prestigious, Top-

Ten, Totally Excellent Law Review”. Journal of Legal Education, Vol. 44

(1994).

Case, David W. “Changing Corporate Behavior Through Environmental Management

Systems”. William and Mary Environmental Law and Policy Review, Vol. 31

(2006).

Deane, Ryan. Make Your Writing Flow: A Practical Guide to Transitional Words and

Phrases (CreateSpace Independent Publishing Platform, 2015).

Delgado, Richard. “How to Write a Law Review Article”. University of San Francisco

Law Review, Vol 20 (1986).

Fruehwald, E. Scott. Legal Writing Exercises: A Practical Guide to Clear and

Persuasive Writing for Lawyers (ABA Publishing, 2014).

Gunningham, Neil. “Environment Law, Regulation and Governance: Shifting

Architectures”. Journal of Environmental Law, Vol. 21:2 (2009).

Heinzerling, Lisa. “Knowing Killing and Environmental Law”. NYU Environmental

Law Journal, Vol. 16 (2006).

Jacobson, M.H. Sam. “The Legal Writer: What's Your Point? Tips For Writing

Clearly”. Oregon State Bar Bulletin, Vol. 71 (2011).

Keraf, Gorys. Komposisi, Cet. 8. Jakarta: Penerbit Nusa Indah, 2016.

Kimble, Joseph. “Tips for Better Writing in Law Reviews (and Other Journals)”,

Thomas M. Cooley Law Review, Vol. 30 (2013).

Page 26: MENULIS DI JURNAL HUKUM: GAGASAN, STRUKTUR, DAN GAYA …

496 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Kysar, Douglas A. “What Climate Change Can Do about Tort Law”. Environmental

Law, Vol. 41 (2011).

Lebovits, Gerald. “Academic Legal Writing: How to Write and Publish”. New York

State Bar Association Journal, Vol. 78:1 (2006).

Lebovits, Gerald. “Legal-Writing Myths”. The Scribes Journal of Legal Writing, Vol.

16 (2014).

Madison, Michael J. “The Lawyer as Legal Scholar”, University of Pittsburgh Law

Review, Vol. 65 (2003).

Maggio, G.F. “Inter/intra-generational Equity: Current Applications under

International Law for Promoting the Sustainable Development of Natural

Resources”. Buffalo Environmental Law Journal, Vol. 4 (1997).

Marong, Alhaji B.M. “From Rio to Johannesburg: Reflections on the Role of

International Legal Norms in Sustainable Development”. Georgetown

International Environmental Law Review, Vol. 16 (2003).

Mikva, Honorable Abner J. “Law Reviews, Judicial Opinions, and Their Relationship

to Writing”. Stetson Law Review, Vol. XXX (2000).

Motro, Shari. “The Three-Act Argument: How to Write a Law Article that Reads Like

a Good Story”. Journal of Legal Education, Vol. 64 (2015)

Osbeck, Mark K. “What Is “Good Legal Writing” and Why Does It Matter?”. Drexel

Law Review, Vol. 4 (2012).

Posner, Eric dan Cass R. Sunstein, “Dollars and Death”. University of Chicago Law

Review, Vol. 72 (2005).

Robson, Ruthann. “Law Students as Legal Scholars: An Essay/Review of Scholarly

Writing for Law Students and Academic Legal Writing”. City University of

New York Law Review, Vol. 7:1 (2004).

Rowe, Suzanne E. “The Legal Writer: Keep It Simple: ‘Short and Sweet’ Brings

Clarity to Legal Writing”. Oregon State Bar Bulletin, Vol. 68 (2008).

Samuelson, Pamela. “Good Legal Writing: of Orwell and Window Panes”. University

of Pittsburgh Law Review, Vol. 46 (1984).

Schwarcz, Daniel. “Shame, Stigma, and Crime: Evaluating the Efficacy of Shaming

Sanctions in Criminal Law”. Harvard Law Review, Vol. 116:7 (May, 2003).

Siems, Mathias M. “Legal Originality”. Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 28:1

(2008).

Smits, Jan M. The Mind and Method of the Legal Academic (Cheltenham, UK:

Edward Elgar, 2012).

Sternberg, David. How to Complete and Survive a Doctoral Dissertation. New York:

St. Martin’s Press, 1981.

Stewart, Richard B. “A New Generation of Environmental Regulation?”. Capital

University Law Review, Vol. 29 (2001)

Volokh, Eugene. “Writing a Student Article” Journal of Legal Education, Vol. 48:2

(June 1998).

Volokh, Eugene. Academic Legal Writing: Law Review Articles, Student Notes,

Seminar Papers, and Getting on Law Review, 3rd ed. New York: Foundation

Press, 2007.

Webley, Lisa. Legal Writing, 4th ed. London: Routledge, 2016.

Weinrib, Ernest J. “Civil Recourse and Corrective Justice”. Florida State University

Law Review, Vol 39 (2011).