menghidupkan tradisi apofatik
DESCRIPTION
Sebuah Tinjauan Buku The Case for God Karya Karen ArmstrongTRANSCRIPT
MENGHIDUPKAN TRADISI APOFATIK MEMULIHKAN WAJAH AGAMA:
Sebuah Tinjauan Buku The Case for God Karya Karen Armstrong*
Oleh: Pdt. Hendri M. Sendjaja, M.Hum., Lic.Th. (GKI Samanhudi Jakarta)
Judul Asli : The Case for God: What Religion Really Means Penulis : Karen Armstrong Penerbit/ Tahun Terbit : Anchor Books, New York, 2009 Halaman : xviii + 406 Judul Terjemahan : Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme Penulis : Karen Armstrong Penerjemahan : Yuliani Liputo Penerbit/ Tahun Terbit : Penerbit Mizan, Bandung, 2011 Halaman : 608
Pengantar
Fundamentalisme agama merupakan salah satu gejala mencuat seiring proses
modernisasi. Dalam bukunya Fundamentalisme: Pertautan sikap keberagamaan dan
modernitas, Steve Bruce mengungkapkan hal itu secara jelas. Menurut Bruce, melalui
atomisasi, sekularisasi, rasionalisasi, dan egalitarianisme, proses modernisasi berhasil
mengubah secara cepat tatanan kehidupan sosial masyarakat (Bruce 2003, 22-54). Ini
pada gilirannya menjadi stimulus bagi beberapa kaum beragama untuk bersikap
defensif dalam keberagamaan mereka. Belakangan unjuk aksi kekerasan, antara lain
melalui aksi bom bunuh diri, menyertai sikap defensif kaum fundamentalis. Aksi-aksi
itu jelas menodai wajah agama.
Gejala lain yang mencuat seiring modernisasi adalah memaraknya “Ateisme
Baru”. Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris merupakan pengusung-
pengusung Ateisme Baru yang giat menyerang agama, terutama fundamentalisme
agama. Di Amerika Serikat, sejak 2007 Dawkins – melalui Richard Dawkins Foundation
* Disampaikan pada Konven Pendeta & Calon Pendeta GKI Klasis Jakarta Utara di GKI Nurdin
Jakarta, 25 Februari 2013.
2
for Reason and Science – meluncurkan proyek bersama untuk mengembangkan
paham ateis baru berdasarkan sains dan penalaran ilmiah. Proyek ini pada gilirannya
mendapat dukungan dari beberapa kelompok ateis nasional Amerika dan menurut
dugaan turut meningkatkan jumlah penganut ateisme di Amerika Serikat. Hasil jajak
pendapat yang disebut “The Global Index of Religiosity and Atheism” menyatakan
bahwa jumlah orang Amerika yang mengaku ateis naik secara signifikan, sementara
jumlah orang Amerika yang mengaku beragama turun dari 73% pada 2005 menjadi 60%
pada 2012 (Winston 2012). Di luar Amerika Serikat, jumlah penganut ateisme ternyata
juga meningkat, yakni hampir 10%. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap,
berikut ini negara-negara yang jumlah penganut ateismenya cukup signifikan menurut
jajak pendapat yang dilakukan RedC Opinion Poll pada 2012: China: 47%, Jepang: 31%,
Republik Czechna: 30%, Prancis: 29%, Korea Selatan: 15%, Jerman: 15%, Belanda: 14%,
Austria: 10%, Icelandia: 10%, Australia: 10%, dan Irlandia: 10% (Zaimov 2012).
Buku Karen Armstrong, The Case for God, terbit di tengah konteks sebagaimana
digambarkan di atas. Karen Armstrong, lahir di Worcestershire 14 November 1944,
adalah mantan anggota Society of the Holy Child Jesus (1962-1969) yang fasih berbicara
tentang agama-agama. Menurut pengakuannya ia mengalami pelecehan fisik dan
psikologis di tengah perkumpulan itu. Oleh karena itu, ia meninggalkan Gereja Katolik
Roma dan bersimpatik dengan pandangan-pandangan Dawkins. Namun, setelah 20
tahun belajar sejarah agama-agama dunia, ia menaruh perhatian kembali kepada
agama. “I never thought I’d come back to religion, but what brought me back was the
study of other faith traditions,” katanya kepada U.S. Catholic (U.S. Catholic 2009).
Perhatian Armstrong kepada agama dan keberagamaan yang penuh cinta kasih
mendorong ia menulis buku agama-agama yang inspiratif. Pada 1993 ia menerbitkan A
History of God: The 4.000-year quest of Judaism, Christianity, and Islam (diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia pada 2001 dengan judul Sejarah Tuhan oleh Penerbit
Mizan), sebuah buku yang memaparkan evolusi tiga tradisi agama monoteistik
(Yudaisme, Kristen, dan Islam) dari permulaan hingga masa modern. Buku itu berhasil
membuat namanya dikenal di dunia. Buku The case for God: What religion really
means adalah bukunya yang ke-22 sejak 1982. Melalui buku ini Armstrong mau
menegaskan bahwa agama “bukanlah sesuatu yang terutama menyangkut pikiran
manusia, melainkan lebih pada perbuatan mereka. Kebenarannya diperoleh melalui
3
amalan langsung“ [“Religion, therefore, was not primarily something that people
thought but something they did. Its truth was acquired by practical action”] (Armstrong
2009, xii; 2011, 14). Agar menjadi “sebuah disiplin praktis yang mengajari kita
menemukan kemampuan baru pikiran dan hati” [“a practical discipline that teaches us
to discover new capacities of mind and heart”] atau “semacam ‘kecakapan’ yang
diperoleh melalui latihan terus menerus” [“a ‘knack’ acquired by constant practice”]
(Armstrong 2009, xiii; 2011, 15-16), agama perlu menegaskan kembali transendensi
Yang Ilahi. Upaya ini pada gilirannya akan memulihkan wajah agama dan sekaligus
menjawab tantangan fundamentalisme agama dan Ateisme Baru.
Struktur Penulisan
Karen Armstrong membagi tulisannya ke dalam dua bagian. Bagian pertama
memaparkan bagaimana orang-orang berpikir tentang The unknown God di dunia pra-
modern (dari 30.000 SM hingga 1500 M). Dengan menekankan keberagamaan manusia
pra-modern yang menekankan transendensi Yang Ilahi sehingga agama menjadi
semacam “kecakapan” (knack) yang perlu dilatih terus-menerus, Armstrong
mengangkat beberapa isu yang dipandang bermasalah oleh orang-orang modern,
yaitu: kitab suci, inspirasi, penciptaan, mujizat, wahyu, iman (faith), kepercayaan
(belief), dan misteri.
Bagian kedua (The Modern God) mengemukakan kebangkitan The modern God
(dari 1500 M hingga sekarang) yang menjungkir-balikkan banyak persangkaan
(presuppositions) agama tradisional. Armstrong berfokus kepada kekristenan karena
tradisi agama ini paling terkena dampak bangkitnya modernitas ilmiah dan juga paling
dihantam oleh Ateisme Baru. Menurutnya, selama abad ke-16 dan ke-17, orang-orang
Barat mulai mengembangkan peradaban baru yang diatur dengan rasionalitas ilmiah
dan ekonomi berbasis pada teknologi dan penanaman modal. Agama tidak lepas dari
rasionalisasi. Rasionalisasi tafsiran atas agama pada gilirannya menimbulkan dua
fenomena baru yang saling berkaitan, yaitu: fundamentalisme dan ateisme.
4
Gagasan The Case for God
1. The Unknown God
Penelusuran sejarah keagamaan manusia pra-modern mengungkapkan bahwa
titik berangkat keberagamaan manusia adalah manusia itu sendiri sebagai makhluk
pencari makna yang rindu akan realitas ultima (the ultimate reality). Dengan kerja
keras, manusia berusaha memenuhi kerinduan itu. Dari sini, Armstrong pun
menegaskan, “Agama adalah kerja keras. Wawasannya tidak tumbuh dengan dengan
sendirinya dan harus dibina dalam cara yang sama seperti halnya seni, musik, atau
puisi harus ditumbuhkan” [“Religion is hard work. Its insights are not self-evident and
have to be cultivated in the same way as an appreciation of art, music, or poetry must
be developed”] (Armstrong 2009, 8; 2011, 55).
Bagi manusia pra-modern, realitas ultima bukanlah tuhan yang dipersonalkan,
bukan juga Wujud Tertinggi (Supreme Being), melainkan sebuah realitas yang meliputi
semua, seluruhnya transenden, dan tidak pernah dapat diselami. Oleh karena itu,
Armstrong mengingatkan, wacana religius tentang realitas ultima harus mengantar
orang kepada apresiasi terhadap batas-batas bahasa dan pemahaman.
Jadi, wacana religius tidak harus berusaha untuk menyampaikan informasi yang jelas tentang yang Ilahi, namun harus mengantarkan pada apresiasi terhadap batas bahasa dan pemahaman. Yang ultima itu tidak asing bagi manusia, tetapi tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan kita. Ia tidak dapat diakses oleh pemikiran rasional, diskursif, tetapi membutuhkan keadaan pikiran yang ditumbuhkan secara hati-hati dan penyangkalan terhadap diri sendiri. [So religious discourse should not attempt to impart clear information about the divine but should lead to an appreciation of the limits of language and understanding. It could not be accessed by rational, discursive thouhgt but required a carefully cultivated state of mind and the abnegation of selflessness.] (Armstrong 2009, 26; 2011, 82)
Keterbatasan bahasa dan pemahaman tentang Yang Ilahi nampak pada kitab
suci. Dengan penelusuran lapisan-lapisan tulisan kitab suci, hal itu menjadi sangat jelas.
Untuk itu, Armstrong pun menjelaskan lapisan demi lapisan yang terdapat di dalam
Taurat Musa.
Dalam penelusurannya Armstrong mengungkapkan bahwa mulai abad ke-8 SM,
ketika keberagamaan masih mengandalkan ritual lahir, umat Israel terbagi ke dalam
dua kerajaan: Kerajaan Yehuda di selatan dan Kerajaan Israel di utara. Raja-raja di
5
masing-masing kerajaan itu mulai memesan penulisan epik untuk arsip-arsip mereka.
Di Yehuda tulisan yang dihasilkan disebut “J” karena si penulis mengidentifikasi
tuhannya dengan nama panggilan “Jahweh” (“Yahweh”). Di Israel tulisan yang
dihasilkan disebut “E” karena si penulis memakai julukan yang lebih formal untuk
tuhan, “Elohim”. Lapisan paling awal dari Alkitab merupakan gabungan dokumen J
dan E yang dikerjakan setelah Kerajaan Israel dihancurkan oleh pasukan Asyur pada
722. Dari sini Armstrong menegaskan, “Sejak awal, karenanya, tidak ada satu pesan
ortodoks tunggal dalam Alkitab: J dan E menafsirkan sejarah Israel secara cukup
berbeda, dan perbedaan ini dipertahankan oleh para editornya” [“From the very
beginning, therefore, there was no single, orthodox message in the Bible: J and E
interpreted the history of Israel quiete differently, and these differences were preserved
by the editors”] (Armstrong 2009, 30; 2011, 88).
J dan E menulis bukan uraian faktual yang ketat. Keduanya tidak melakukan
upaya apa pun untuk meneliti sejarah Kanaan, tetapi cukup puas dengan
mengadaptasi kisah-kisah lama agar sesuai dengan kondisi zaman mereka sendiri.
Oleh karena itu, tidak heran jika pembaca menemukan inkonsistensi pesan dan
gambaran tentang Allah di dalam Alkitab.
Pada abad ke-7 kaum Deuteronomis melakukan reformasi agama Israel dan
juga menulis ulang sejarah Israel serta membuat tambahan utama ke dalam narasi JE
dengan memberi penekanan lebih kepada Musa. Mereka berusaha untuk menegakkan
Tuhan nasional yang menjadi satu-satunya lambang bagi Yang Ilahi. Dengan upaya ini,
“mereka telah merancang sebuah tuhan dalam gambaran mereka sendiri” [“they had
crafted a god in their own image”] (Armstrong 2009, 38; 2011, 99). Dengan perkataan
lain, menurut Armstrong, mereka telah melakukan pemberhalaan. Namun, “kaum
Deuteronomis bukan penentu kata akhir, karena penulis-penulis Alkitab lainnya
bekerja keras untuk melawan pemberhalaan ini” [the Deuteronomists did not have the
last word because other biblical writers worked hard to counter this idolatrous
tendency”] (Armstrong 2009, 39; 2011, 101).
Pengalaman pembuangan Israel ke Babel sejak 597 membongkar gambaran
Tuhan rasionalistik kaum Deuteronomis. Sekelompok imam di pembuangan itu, yang
kemudian dikenal sebagai P (Priestly), mulai menafsirkan simbol-simbol lama untuk
membangun spiritualitas yang benar-benar baru. Mereka memasukkan ke dalam teks,
6
termasuk ke dalam gambaran tentang Allah, apresiasi atas penderitaan orang lain dan
juga atas kehidupan. (Armstrong 2009, 42; 2011, 105-106).
Ketika Taurat Musa lengkap, Ezra, seorang ahli kitab yang pulang dari Babel,
“bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan
dan peraturan di antara orang Israel” (Ezra 7:10). Ezra mengadakan sidang bagi bangsa
Israel dan memerintahkan bahwa setiap laki-laki yang beristri orang asing harus
mengusir istrinya (Ezra 9-10). Di sini Ezra telah menafsirkan kitab suci itu secara
eksklusif. Ia menekankan kewajiban pemisahan demi kekudusan, tetapi melalaikan
imbauan P yang sama kerasnya agar orang Israel memperlakukan orang asing dengan
kasih dan hormat. Armstrong menyimpulkan:
Alkitab terdiri atas banyak teks yang kontradiktif sehingga pembacaan kita selalu bersifat selektif. Namun, tragisnya, pembacaan selektif atas kitab suci untuk menegakkan sudut pandang tertentu atau memarginalisasi yang lain akan menjadi dorongan yang terus menggoda kaum monoteis [The Bible consists of many contradictory texts, so our reading is always selective. Tragically, however, a selective reading of scripture to enforce a particular point of view or marginalize others would be a constant temptation for monoteists] (Armstrong 2009, 47; 2011, 113).
Tindakan Ezra yang tegas itu menunjukkan dengan jelas bahwa Taurat Musa
memerlukan interpretasi. Tindakan itu pada dasarnya menandai awal dari Yudaisme
klasik. Dalam kaitan dengan pandangannya tentang wahyu (revelation), Yudaisme
klasik dipahami sebagai:
sebuah agama yang berfokus tidak hanya pada penerimaan dan pelestarian wahyu, tetapi pada reinterpretasi konstan. ... Dalam Yudaisme klasik, wahyu tidak akan pernah menjadi sesuatu yang telah terjadi sekali untuk selamanya, melainkan sebuah proses berkelanjutan yang tidak pernah bisa berakhir, karena ada sesuatu yang selalu segar untuk ditemukan. [a religion that focuses not merely on the reception and preservation of revelation but on its constant reinterpretation. ... In classical Judaism, revelation would never be something that had happened once and for all time, but an ongoing process that could never end, because there was always something fresh to be discovered] (Armstrong 2009, 47-48; 2011, 113-114).
Pandangan tentang kitab suci sebagai sebuah buku yang tidak tertutup dan
wahyu sebagai peristiwa sejarah yang tidak jauh terus hidup hingga Yudaisme Rabinik
berkembang. Para rabi Yahudi menyebut kitab suci sebagai “miqra”: “panggilan untuk
bertindak”. Mereka bekerja keras untuk midrash dengan melakukan darash, “belajar,
menyelidiki, pergi mencari”, demi wawasan segar atas kitab suci. Sebagaimana para
filsuf Helenistik, mereka membangun “bricolage” intelektual: membangun sesuatu yang
7
baru secara intelektual dari bahan-bahan lama yang tersedia. Secara kreatif mereka
menafsirkan ulang teks-teks otoritatif yang tersedia untuk memajukan tradisinya.
Prinsip ini berlaku bagi mereka: “Tidak ada penafsiran yang selesai sampai penafsirnya
telah menemukan aturan praktis baru yang akan menjawab kebutuhan mendesak dari
masyarakatnya” [“No exegesis was complete until the interpreter had found a practical
new ruling that would answer the immediate needs of his community”] (Armstrong
2009, 81; 2011, 162).
Selama tahun 50-an dan 60-an beredar surat-surat Paulus yang memuat
penafsiran inventif secara radikal atas Kitab Taurat dan Kitab Nabi-nabi. Dalam surat-
suratnya itu, Paulus menunjukkan bahwa Yesus adalah titik puncak sejarah Yahudi.
Ketika memberi gelar “Tuhan” kepada Yesus, ia tidak memaksudkan bahwa Yesus itu
Allah. Ia memberikan Yesus status mitos dan simbolis yang akan masuk akal jika
mythos itu dipraktikkan. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, ia mengutip sebuah
nyanyian yang menunjukkan bahwa sejak pertama sekali pengikut Kristus itu melihat
kehidupan Yesus sebagai kenosis, pengosongan diri yang rendah hati. Tentang ini,
Armstrong menegaskan:
Kecuali jika mereka meniru kenosis Yesus dalam perincian terkecil kehidupan mereka sendiri, mereka tidak akan memahami mythos Tuhan Yesus. Seperti semua ajaran agama besar, doktrin Kristen akan selalu menjadi miqra yang hanya masuk akal bila diterjemahkan ek dalam sebuah ritual, program meditasi atau etis. [Unless they imitated Jesus’s kenosis in the smallest details of their own lives, they would not understand the mythos of the lord Jesus. Like all great religious teaching, Christian doctrine would always be a miqra that would make sense only when translated into a ritual, meditative, or ethical program] (Armstrong 2009, 85; 2011, 168).
Seperti para rabi, orang-orang Kristen menggunakan teknik-teknik midrashic
dalam pemahaman kitab suci. Dalam midrash, seperti juga dalam dialog Socratik,
upaya bersama-sama dikedepankan daripada latihan dalam kesendirian. Jadi orang-
orang Kristen berkumpul “berdua-dua dan bertiga-tiga” untuk membahas kitab suci.
Mereka mempercakapkan itu secara bersama-sama sehingga kitab suci itu akan
membuka dan memberikan wawasan yang segar kepada mereka. (Armstrong 2009, 84;
2011, 166)
Di dunia Helenistik, para Bapa Gereja yang berpendidikan Yunani di Aleksandria
merasa teks-teks kitab suci Ibrani itu sulit dimengerti dan etos Alkitab kuno itu agak
asing. Salah seorang di antara mereka adalah Origenes (185-254). Origenes pernah
8
belajar allegoria bersama para sarjana Yunani dan Yahudi di Aleksandria dan midrash
bersama para rabi di Palestina. Ia berpendapat, tidak mungkin bagi orang Kristen yang
berpendidikan Yunani untuk membaca Alkitab dalam cara yang sepenuh harfiah.
Anomali dan inkonsistensi mencolok dalam kitab suci memaksa kita untuk melihat di
balik arti harfiahnya. “Bagi Origenes, penafsiran adalah musterion, inisiasi yang
memerlukan kerja keras, tetapi yang akhirnya membawa sang mystes ke hadirat Ilahi.”
Tiga tahap yang para mystes (orang yang mengambil bagian dalam Misteri – musterion)
perlu jalani: (1) tahap “tubuh” atau makna literal dari teks kitab suci; (2) tahap “jiwa”
atau makna moral dari teks kitab suci; dan (3) tahap “spiritual” atau makna alegoris
yang memperjumpakan sang mystes dengan Firman yang tersembunyi (Armstrong
2009, 95-96-; 2011, 183-184). Armstrong menyimpulkan:
Bagi para bapa Gereja, Alkitab adalah sebuah “misteri” bukan karena ia mengajarkan banyak doktrin yang tidak dapat dimengerti, melainkan karena ia mengarahkan perhatian orang Kristen kepada tingkatan realitas yang tersembunyi. Kitab suci juga merupakan “misteri” karena penafsiran adalah proses spiritual yang mirip setiap inisiasi berlanjut tahap demi tahap sampai momen pencerahan pada akhirnya. Anda tidak bisa berharap dapat memahaminya tanpa menjalani penyangkalan diri dan pikiran yang berdisiplin. Kitab suci bukan sekadar teks, melainkan sebuah “aktivitas”; Anda tidak hanya membacanya – Anda harus menindakinya.” [For the fathers of the Church, scripture was a “mystery” not because it taught a lot of incomprehensible doctrines, but because it directed the attention of Christians toward a hidden level of reality. Scripture was also a “mystery”, because exegesis was a spiritual process that, like any initiation, proceeded stage by stage until the finel moment of illumination. You could not hope to understand it without undergoing this disciplined ascesis of heart and mind. Scripture was not just a text but an”activity”; you did not merely read it – you had to do it] (Armstrong 2009, 96-97; 2011, 185)
Sejak awal abad ke-4 kekristenan mulai mengembangkan keasyikan dengan
kebenaran doktrinal. Sementara beberapa orang Kristen berdebat tentang definisi
dogmatis, beberapa lainnya mengembangkan spiritualitas keheningan dan
ketidaktahuan. Di Aleksandria, Imam Arius, yang sangat ingin menjaga transendensi
Allah, memicu perdebatan sengit tentang keilahian Yesus. Athanasius yang ingin
menjaga praktik liturgis Gereja berpendapat, “jika pengikut Arius percaya Kristus
hanyalah makhluk belaka, tidakkah mereka bersalah melakukan pemberhalaan ketika
mereka menyembahnya?” Sambil menekankan ketidaktahuan dalam mengenali
substansi (ousia) Allah, Athanasius menyatakan bahwa “Kristus Sang Firman tidak
diciptakan, tetapi telah diperanakkan ‘dalam cara yang tidak terkatakan, tak
terlukiskan’ dari ousia Sang Bapa – bukan dari ketiadaan seperti semua hal lain. Jadi,
9
dia ‘dari Allah’ dalam cara yang sama sekali berbeda dari semua makhluk lain” [“Christ,
the Word, had not been created bt had been begotten ‘in an ineffable, indescribable
manner’ from ousia of the Father – not from nothingness like everything else. So he
was ‘from God’ in an entirely different manner from all other creatures”] (Armstrong
2009, 108; 2011, 202). Pandangan Athanasius ini pada gilirannya menjadi pernyataan
resmi dari Konsili Nicea pada 325 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Maximus sang
Pengaku Iman (±580-662). (lihat: Armstrong 2009, 109-110; 2011, 203-205)
Konsili Nicea ternyata tidak meredakan perdebatan dogmatis. Di tengah situasi
itu, tampil tiga Bapa Kapadokia, Basilius, Gregorius dari Kaisarea, dan Gregorius dari
Nyssa. Mereka mengingatkan agar orang Kristen berhenti berpikir tentang Allah dalam
cara-cara yang rasional. Jika orang melakukan itu, maka ia berpikir tentang Allah
sebagai makhluk, karena ia hanya mampu berpikir sampai di situ. Para Bapa
Kapadokia menyodorkan pandangan tentang Trinitas. Bagi mereka:
Trinitas bukanlah sebuah ‘misteri’ yang harus dipercaya, melainkan gambaran yang seharusnya dikontemplasikan orang Kristen dengan cara tertentu. Itu adalah sebuah mythos, karena berbicara tentang kebenaran yang tidak dapat dijangkau oleh logos, dan, seperti semua mitos, itu hanya masuk akal ketika Anda menerjemahkannya ke dalam tindakan praktis. Ketika mereka bermeditasi tentang Allah yang telah mereka kenali sebagai Tiga dan Satu, orang Kristen akan menjadi sadar bahwa Allah berbeda sama sekali dengan wujud apa pun dalam pengalaman mereka. Trinitas mengingatkan orang Kristen untuk tidak berpikir tentang Allah sebagai sekadar personalitas dan bahwa apa yang kita sebut ‘Allah’ tidak dapat diakses oleh analisis rasional. [The Trinity was not a ‘mystery’ that had to be believed but an image that Christians were supposed to contemplate in a particular way. It was a mythos, because it spoke of a truth that was not accessible to logos, and, like any myth, it made sense only when you translated it into practical action. When they meditated on the God that they had known as Three and One, Christians would become aware that God bore no relation at all to any being in their exprerience. The Trinity reminded Christians not to think about God as a simple personality and that what we call ‘God’ was inaccessible to rational analysis.] (Armstrong 2009, 115; 2011, 212-213)
Walaupun perdebatan dogmatis berawal di Timur, Gereja Timur tampaknya
lebih mengembangkan spiritualitas keheningan yang lebih matang daripada Gereja
Barat. Di Barat sendiri, Agustinus (354-430) cukup berpengaruh. Ia berpendapat bahwa
studi tentang alam tidak mampu memberi kita informasi tentang Allah. Teologi
apofatik Yunani rupanya merasuk dirinya. Namun, teologi apofatiknya itu tidak cukup
mengembangkan spiritualitas keheningan di Gereja Barat. Mulai abad ke-9, ketika
tulisan-tulisan seorang Yunani yang memakai nama Denys Areopagite diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin, barulah Gereja Barat mengembangkan spiritualitas keheningan
10
yang lebih matang. Denys memaparkan latihan spiritual dalam proses dialektis sebagai
berikut: (1) kita menegaskan apa itu Allah, tetapi begitu kita mendengarnya kita
terdiam, terbeban beratnya absuditas dalam pembicaraan tentang Allah seperti itu; (2)
kita menyangkal penegasan tentang Allah yang kita buat. Namun cara penyangkalan
itu sama tidak akuratnya dengan “cara penegasan” tadi. Tentang metode Denys ini,
Armstrong menilai:
Latihan ini membawa kita pada apophasis, lumpuhnya ucapan, yang retak dan hancur di hadapan mutlaknya sifat yang dapat diketahui dari apa yang kita sebut Allah. ... Metode dialektis Denys mengantarkan kepada keterpukauan intelektual yang akan membawa kita melampaui persepsi sehari-hari dan memperkenalkan kita kepada cara lain untuk melihat. [The exercise leads us to apophasis, the breakdown of speech, which cracks and disintegrates before the absolute unknowabiliy of what we call God. ... Denys’s dialectical method leads to an intellectual rapture that takes us beyond everyday perception and introduce us to another mode of seeing] (Armstrong 2009, 126; 2011, 228-229)
Di Gereja Timur metode apofatik Denys dipraktikkan di dalam suasana liturgi
sebab liturgi selalu dipandang sebagai musterion, ritual yang menginisiasi semua
peserta ke dalam cara lain untuk melihat. Di Barat walaupun tidak diterapkan di dalam
liturgi, metode apofatik dipandang penting sebagai cara untuk memahami kebenaran
agama dan untuk mengajari umat berpikir tentang Allah. Pada abad Pertengahan
Anselmus dari Canterburry (1033-1109) dan Thomas Aquinas (1225-1274)
mengembangkan apofatisisme ini.
Menurut Anselmus, akal manusia tidak mampu memahami Allah yang tidak bisa
diketahui. Dalam doanya ia menyatakan, “Karena aku tidak berusaha memahami agar
aku dapat mempunyai iman (intellegere ut credam), tapi aku mempersembahkan
diriku agar aku bisa memahami (credo ut intelligam) [“For I do not seek to understand
in order that I may have faith (intellegere ut credam), but I commit myself in order that
I may understand (credo ut intelligam)].” Armstrong menerjemahkan ‘credo ut
intelligam’ bukan sebagai “Aku percaya supaya aku dapat mengerti” [“I believe in order
that I may understand”], tetapi “Aku mempersembahkan diriku agar aku bisa
memahami” [“I commit myself in order that I may understand”]. Di sini kata ‘credo’ –
sebagaimana pernah dipakai Hieronimus (Jerome) dalam terjemahannya atas kata
Yunani pisteuo (pistis: iman) – merupakan kata yang berasal dari “cor do”: “Aku
berikan hatiku” [“I give my heart”]. Jadi, bagi Anselmus, untuk memahami Allah, aku
mesti mempersembahkan diriku. Dengan perkataan lain, “kebenaran agama tidak akan
11
masuk akal tanpa komitmen yang diekspresikan secara praktis” [religious truth made
no sense without practically expressed commitment]. (Armstrong 20019, 132; 2011, 236-
237)
Thomas mengembangkan apofatisisme berpijak pada rasionalisme metafisik
yang baru. Menurutnya, semua bahasa kita tentang Allah hanya mampu membuat
perkiraan, karena kata-kata kita merujuk pada kategori yang terbatas. Oleh karena itu,
Thomas menyadari bahwa doktrin tentang Allah hanyalah buatan manusia.
Ketika kita mengatakan bahwa ‘Allah itu baik’ atau ‘Allah itu ada’, ini bukan pernyataan faktual. Ini adalah analogis karena menerapkan bahasa yang tepat dalam satu bidang untuk sesuatu yang sangat berlainan. Pernyataan bahwa ‘Allah itu pencipta dunia’ juga analogis karena kita menggunakan kata ‘pencipta’ di luar konteks manusia normal. [When we say that ‘God is good’ or ‘God exists’, these are not factual statements. They are approximate, because they apply language that appropriate in one field to something quite different. The statement that ‘God is the Creator of the World’ is also analogical, because we are using the word ‘creator’ outside its normal human context.] (Armstrong 2009, 146; 2011, 258)
John Duns Scotus (1265-1308) dan William Ockham (1285-1349) menolak
pandangan Thomas. Menurut Scotus, nalar mampu menunjukkan keberadaan apa
pun. Kata ‘keberadaan’ itu bersifat univokal; artinya memiliki makna dasar yang sama,
yang dapat diterapkan kepada apa pun, entah kepada Allah, laki-laki, perempuan,
gunung, binatang, atau pepohonan. Jadi, dengan mengabaikan tradisi apofatik, Scotus
menekankan bahwa kita mampu mengetahui secara banyak tentang Allah dalam “cara
yang deskriptif”. Seperti Scotus, Ockham pun menyatakan bahwa kata-kata seperti
‘keberadaan’, ‘kekuatan’, atau ‘kehadiran’ dapat digunakan dengan cara yang sama
untuk Allah dan makhluk-makhluk. Akibatnya Ockham memandang doktrin agama itu
bersifat tidak simbolik, melainkan secara harfiah benar dan harus tunduk pada analisis
dan penyelidikan yang eksak. Demikian pandangan Scotus dan Ockham mengawali
keretakan antara teologi dan spiritualitas. Selama abad ke-13 teologi skolastik baru
menjadi kering dan menjemukan sehingga orang mulai berpikir bahwa mereka hanya
mampu mencapai Allah dengan mengenyahkan intelek sama sekali. (Armstrong 2009,
149-152; 2011, 262-266)
Pada abad ke-14 dan ke-15 muncul spiritualitas baru yang mengedepankan doa
yang diprivatisasi dan kesalehan emosional untuk mengalami kehadiran Allah. Meister
Eckhart (±1260-1327) merasa tidak nyaman dengan perkembangan ini. Ia menegaskan,
intelek masih merupakan ‘tempat’ dalam pikiran di mana yang Ilahi menyentuh
12
manusia; dalam intellectus, ‘Aku’ berakhir dan ‘Tuhan’ dimulai. Oleh karena itu, tidak
perlu gaya hidup khusus untuk mengalami Allah. Orang yang menjadi terikat pada
salah satu ‘jalan’ spiritual yang diprivatisasi ‘menemukan jalan’ dan kehilangan Tuhan
yang tersembunyi dari ‘jalan’. Setiap ‘Allah’ yang kita temukan dengan jalan yang
dimutlakkan adalah sebuah berhala yang pada gilirannya menjauhkan kita dari kita
sendiri. Eickhart menuliskan:
Sebab, jika engkau mencintai Allah karena dia adalah Allah, karena dia adalah roh, karena dia adalah persona, dan karena dia adalah citra – semua itu harus lenyap! Lalu, bagaimana seharusnya aku mencintainya? Engkau harus mencintainya karena dia adalah bukanAllah, bukanroh, bukanpersona, bukancitra, melainkan karena dia adalah – murni, tidak bercampur, terang ‘Esa’ yang terpisah dari segala dualitas; dan dalam yang Esa itu, kita harus tenggelam selamanya, dari ‘sesuatu’ menjadi ‘tiada’ [For if you love God as he is God, as he is spirit, as he is person, and he is image – all this must go! Then how should I love him? You should love him as he is nonGod, a nonspirit, a nonperson, a nonimage, but as he is – pure, unmixed, bright ‘One’ separated from all duality; and in that One we should sink eternally down, out of ‘something’ into ‘nothing’.] (Meister Eickhart, Renovamini Spiritum, sebagaimana dikutip Armstrong 2009, 155; 2011, 271-272)
Meskipun skolastisisme baru berkembang pada abad ke-14, metode apofatik
Denys masih tertanam di dalam teologi Barat. Selain pada Eickhart, kita pun mendapati
apofatisme Denys pada Julian dari Norwich dan penulis anonim The Claud of
Unknowing. Teologi ketidaktahuan telah mendorong kenosis dan kerendahan hati.
Armstrong menegaskan, “Teologi bukan hanya menjadi bersifat teoretis yang kering;
tanpa disiplin apofatik, ia dalam bahaya menjadi penyembahan berhala” [“Theology
was not only becoming aridly theoretical; without the discipline of the apophatic, it was
in danger of becoming idolatrous”] (Armstrong 2011, 276).
2. The Modern God
Perubahan ekonomi masyarakat pada abad ke-16 – yang semula bertumpu pada
hasil pertanian dan kini pada replikasi sumber daya teknologis dan penanaman modal
terus-menerus – telah mendorong penciptaan jenis peradaban yang baru bagi orang-
orang Barat. Penemuan-penemuan di berbagai bidang mendongkrak orang Barat
kepada kepercayaan diri untuk melihat ke masa depan. Perintis seperti Christopher
Columbus niscaya mendorong mereka untuk berani melampaui batas-batas dunia
13
yang mereka ketahui sebelumnya. Orang-orang Barat menjadi sadar, di luar batas-
batas dunia yang mereka ketahui itu, karena teknologi modern, mereka bukan hanya
akan mampu bertahan hidup, melainkan juga makmur. (Armstrong 2011, 285)
Proses kompleks yang sedang bekerja di Barat itu perlahan-lahan mengubah
cara orang berpikir dan mengalami dunia, termasuk agama. Sekularisasi berlangsung
disertai oleh peran Gereja yang mulai menurun. Tiga proyek yang saling terkait
berikut ini turut mempercepat sekularisasi: Renaisans, Reformasi, dan Revolusi Ilmiah.
(Armstrong 2009, 165-166; 2011, 286-287)
Armstrong menilai, sebagian besar keberhasilan Reformasi adalah berkat
penemuan mesin cetak yang membantu tidak hanya dalam menyebarkan ide-ide baru,
tetapi juga dalam mengubah hubungan orang dengan teks Alkitab. Munculnya
percetakan merupakan faktor yang signifikan bagi perubahan individu dan sosial.
Armstrong menuliskan:
Percetakan membantu menyekulerkan hubungan pembaca dengan kebenaran yang berusaha dia peroleh. ... Ketika buku cetak mulai menggantikan metode komunikasi lisan, informasi yang disajikannya kehilangan identitas personal dan, mungkin, menjadi lebih tetap dan kurang fleksibel daripada masa lalu, ketika kebenaran berkembang dalam hubungan dinamis antara guru dan murid. [Printing helped to secularize the relationship of te reader to the truth that he was trying to acquire. ... As the printed book began to replace oral methods of communication, the information it provided was depersonalized and, perhaps, became more fixed and less flexible than in the old days, when truth had developed in dynamic relation between master and pupil.] (Armstrong 2009, 172; 2011, 295)
Selama era Reformasi, berlangsung pertengkaran teologis, tidak hanya antara
Gereja Katolik dan para Reformis, tetapi juga di antara para Reformis itu sendiri.
Pertengkaran itu mendesak masing-masing pihak untuk merumuskan secara tepat
doktrin Kristen yang pelik. Sebagai hasil sejak 1520-an kaum Reformis mulai
menerbitkan “katekismus” untuk memastikan bahwa para pengikutnya menerima
penafsiran tertentu tentang iman. Gereja Katolik pun menegakkan ortodoksi dogmatis
melalui Konsili Trente (1545-1565). Pada gilirannya ketika pegangan ajaran itu telah
terumuskan, iman yang benar menjadi masalah penerimaan pegangan ajaran itu.
Kecenderungan ini menghasilkan munculnya sejumlah sekte yang “masing-masing
dengan bias doktrinal dan penafsiran Alkitab sendiri-sendiri, dan masing-masing yakin
bahwa ia sajalah yang memiliki monopoli atas kebenaran” [“each with its own
14
doctrinal bias, its own interpretation of the Bible, and each conviced that it alone had a
monopoly on truth”] (Armstrong 2009, 173; 2011, 296-297).
Pada akhir abad ke-15 sifat intoleran modernitas mulai muncul ke permukaan
di Italia. Gereja Katolik Roma meramu teologi Thomas Aquinas serta filsafat dan fisika
Aristoteles menjadi sebuah sistem dogma yang kaku. Kosmologi Aristotelian menjadi
sulit untuk dikritik karena otoritarianisme Gereja begitu kuat. Itulah sebabnya Nicolaus
Copernicus (1473-1543), yang mengusung gagasan heliosentris yang berbeda dari
kosmologi Aristotelian yang geosentris, tidak menerbitkan secara resmi risalahnya De
Revelotionibus, tetapi hanya mengedarkannya secara pribadi. Pada 1543, menjelang
akhir hayatnya, risalah Copernicus terbit. Martin Luther (1483-1546) bereaksi. Ia
menyatakan dengan kesal dalam karyanya Table Talk bahwa Copernicus adalah
seorang bodoh yang ingin ‘menjungkirbalikkan seluruh seni astronomi’, tetapi
tampaknya lebih mengkuatirkan ortodoksi ilmiah daripada implikasi religiusnya.
Berbeda dari Luther, Yohanes Calvin (1509-1564) tidak pernah menyinggung
Copernicus. Ia memegang teguh prinsip akomodasi Agustinus sehingga tidak terkejut
ketika mendengar bahwa gambaran alkitabiah tentang kosmos berbeda dari penemuan
ilmiah. (Armstrong 2009, 179; 2011, 305)
Kasus Gereja Katolik berhadapan dengan Galileo Galilei (1564-1642) yang
membuktikan bahwa teori Copernicus itu benar, telah menjadi simbol konflik abadi
dan inheren antara agama dan sains. Namun, Armstrong memberi penilaian: “pada
kenyataannya Galileo adalah korban bukan hanya dari agama per se, melainkan dari
Gereja Katolik pasca-Tridentina pada masa ketika itu terasa seperti spesies yang
terancam punah” [“in fact, Galileo was a victim not of religion per se but of the post-
Tridentine Catholic Church at a time when it felt an endangered species”] (Armstrong
2009, 183; 2011, 311). Galileo tampaknya tidak menyadari bahwa Vatikan ketika itu
telah menganggap teologi tidak lagi sebagai sains spekulatif, tetapi sebagai serangkaian
proposisi yang dirumuskan sedemikian rupa dari ajaran-ajaran Aristoteles dan Thomas
Aquinas untuk mengakhiri semua diskusi dan memaksimalkan kepastian. Melalui
teolog kepausan Kardinal Jesuit Robert Bellarmine (1542-1621), kini “tugas teologi
hanyalah menata doktrin-doktrin ke dalam sebuah sistem rapi yang dapat dikerahkan
secara efektif untuk melawan musuh-musuh Gereja” [the task of theoloy was simply to
15
organize doctrines into neat systems that could be marshaled effectively against the
enemies of the Church”] (Armstrong 2009, 185; 2011, 313).
Walaupun Vatikan melandasi teologinya pada Thomas Aquinas, Vatikan
agaknya mengganti apofatisisme Thomas yang menegaskan ketidaktahuan dan
kerendahan hati manusia akan Yang Ilahi dengan “nafsu akan kepastian dan
intoleransi dogmatis yang kasar”. Spiritualitas keheningan berubah menjadi debat
bertele-tele; dan iman mulai disamakan dengan kepercayaan terhadap opini buatan
manusia. (Armstrong 2009, 187; 2011, 317)
Pada awal abad ke-17, seluruh Eropa berada dalam resesi ekonomi yang parah,
kecuali Belanda. Pada masa itu Belanda sedang menikmati zaman keemasan
kemakmuran dan perluasan; dan dalam kehidupan keagamaan, mereka tidak ikut
terlanda dogmatisme sektarian baru. Di negeri inilah, tepatnya di Amsterdam, tampil
ateis Barat modern pertama, yaitu dari komunitas Yahudi ‘Marrano’ (istilah yang berarti
‘babi’, diadopsi orang Yahudi Portugis untuk menunjukkan diri sebagai anggota
organisasi bawah tanah yang sukses). Armstrong mencatat kisah tragis Marrano
bernama Uriel da Costa yang stres dan bunuh diri karena bersitegang dengan corak
keberagamaan Yahudi kontemporer setempat yang minim latihan rohani. Armstrong
juga mengingat Juan da Prado seorang Marrano yang tiba di Amsterdam pada 1655.
Juan da Prado yang memahami bahwa Tuhan itu identik dengan hukum alam,
mengalami pengucilan. Alih-alih bertobat, ia justru lantang menyerukan bahwa semua
agama itu sampah, dan bahwa akal, bukan wahyu, merupakan satu-satunya penentu
kebenaran. Seruan semacam ini menjadi tanda bahwa babak rasionalisme sedang
berlangsung (Armstrong 2009, 187-189; 2011, 317-320)
Dengan René Descartes (1596-1650), rasionalisme bergulir mantap di dunia
Barat. Descartes mengembangkan metode filosofis yang berpijak pada ilmu
matematika yang menghasilkan kepastian mutlak. Ia memandang kosmos sebagai
mesin rumit yang digerakkan dan ditopang oleh Tuhan. Armstrong menyarikan
kosmologi Descartes sebagai berikut:
Pada saat penciptaan, Tuhan telah menetapkan hukum matematikanya atas atom-atom sehingga ketika sebuah atom bertabrakan dengan yang lain, itu bukan sebuah kebetulan, melainkan terjadi melalui prinsip-prinsip yang sudah ditanamkan secara ilahiah. Setelah semuanya mulai bergerak, tidak ada lagi tindakan Ilahi yang diperlukan dan Tuhan bisa pensiun dari dunia serta membiarkannya berjalan sendiri. [At the moment of creation, God had imposed his mathematical laws upon the atoms, so that
16
when an atom collided with another, this was not a matter of chance but achieved by divinely implanted principles. Once everything had been set in motion, no further divine action was necessary, and God was able to retire from the world and allow it to run itself.] (Armstrong 2009, 197; 2011, 331)
Atas pandangan di atas, Armstrong menilai bahwa pandangan Descartes sangat
tidak religius. Tuhan Descartes, yakni gagasan yang jelas di dalam pikirannya, lama-
lama akan menjadi berhala. Meditasi Descartes tentang diri yang berpikir menghasilkan
bukan kenosis, melainkan ‘penonjolan keunggulan ego’ [‘in the triumphant assertion of
ego’]. (Armstrong 2009, 197; 2011, 331)
Isaac Newton (1642-1727) menajamkan pandangan rasional dan mekanistik
Descartes atas alam. Ia tidak ragu mengatakan bahwa teori Mekanika Universalnya
mampu menjelaskan semua sifat Tuhan. Dalam hukum gravitasi yang menahan
seluruh alam bersama-sama, ia melihat bukti tentang kuasa Ilahi, suatu kekuatan besar
yang menguasai dan mengendalikan semesta alam. Tampak jelas, pada teologi
Newton, Tuhan telah direduksi menjadi penjelasan ilmiah dan diberi fungsi yang
didefinisikan secara jelas di dalam kosmos. Sains menjadi satu-satunya jalan untuk
mencapai pemahaman yang tepat tentang yang suci: “Karena tidak ada jalan (tanpa
wahyu) untuk tiba pada pengetahuan tentang Tuhan, kecuali melalui bingkai alam”.
Demikianlah rasionalitas ilmiah menjadi ‘agama fundamental’ bagi Newton.
(Armstrong 2009, 205; 2011, 343)
Abad ke-18 merupakan abad yang menggairahkan. Itulah zaman Pencerahan
(Aufklärung). Dalam zaman itu, Deisme melanda Eropa. Teologi yang agak paradoks
berkembang selama zaman itu. Teologi menyatakan bahwa di dunia supernatural,
Tuhan tetap menjadi Bapa yang misterius dan penuh kasih, aktif dalam kehidupan para
penyembah-Nya. Di dunia alam, Tuhan telah dipaksa untuk mundur. Dalam konteks
itulah, Pietisme bertumbuh. (Armstrong 2009, 209-214; 2011, 348-356)
Pietisme berbagi banyak cita-cita Pencerahan. Paham yang mengedepankan
peran hati dan latihan rohani untuk kesalehan ini tidak percaya pada otoritas
eksternal. Kaum Pietis tidak memberontak terhadap nalar. Mereka hanya menolak
untuk mereduksi iman menjadi sekadar keyakinan intelektual. Mereka
mengelompokkan dirinya bersama kaum modern dalam menentang yang kuno,
berbagi perhatian terhadap kebebasan, dan bersukacita dengan kemungkinan
kemajuan. Namun, mereka menolak untuk melepaskan pola-pola lama agama demi
17
mendukung kesalehan yang diramu secara sistematis. Sebagai contoh John Wesley
(1703-1791), ia terpesona dengan Pencerahan dan mencoba menerapkan “metode”
ilmiah dan sistematis pada spiritualitas. Menurutnya agama bukanlah sebuah doktrin di
dalam kepala, melainkan cahaya di dalam hati. “Ortodoksi atau pendapat yang benar
paling-paling hanyalah sebagian sangat kecil dari agama, itu pun jika ia diizinkan
untuk menjadi salah satu bagian darinya” [“Orthodoxy or right opinion is at best but a
very slender part of religion, if it can be allowed to be any part of it at all”] (Armstrong
2009, 215; 2011, 356).
Dalam Pencerahan, beberapa orang pun mulai bersikap kritis apa yang diyakini
dan atas apa yang terjadi. Ketika orang sangat mengunggulkan metode ilmiah ala sains
atau ilmu-ilmu kealaman sebagai jalan satu-satunya untuk mencapai kebenaran,
Giambattista Vico (1668-1744) menyodorkan metode yang lain, yakni metode historis.
Menurut Vico, metode ilmiah (ala sains) berhasil dengan benda-benda, tetapi kurang
meyakinkan jika diterapkan kepada orang atau seni. Metode itu tidak kompeten untuk
menilai agama karena kebenaran agama bersifat simbolik dan simbol-simbolnya
bervariasi sesuai dengan konteksnya. (Armstrong 2009, 217-218; 2011, 360-361)
Di Prancis Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) tidak sepakat dalam pandangan
optimistis philosophes tentang kemajuan. Menurutnya, sains bersifat memecah belah
karena sangat sedikit orang mampu berpartisipasi di dalam Revolusi Ilmiah dan
sebagian besar tertinggal di belakang. Akibatnya orang hidup di dunia intelektual yang
berbeda. Rasionalisme ilmiah yang memelihara objektivitas yang tidak memihak, dapat
mengaburkan “kemuakan alami untuk melihat makhluk sensitif menjadi binasa atau
menderita” [“the natural repugnance to see any sensitive being perish or suffer”]. Itulah
sebabnya Rousseau menegaskan bahwa kita harus lebih mendengarkan “hati” daripada
percaya kepada “otak”. Mendengarkan hati di sini menunjuk kepada sikap penerimaan
yang diam menanti, siap untuk mendengarkan dorongan naluriah yang mendahului
kata-kata dan pikiran sadar kita. (Armstrong 2009, 218; 2011, 362)
Baron d’Holbach (1723-1789) tampil sebagai seorang anti-teistik yang bergairah
dan ingin menggantikan agama dengan sains. Pada 1770 ia menerbitkan The System of
Nature, sebuah buku yang dijuluki sebagai Alkitab “naturalisme ilmiah” atau “saintisme,
yang dipakai banyak orang untuk menyerang agama. Menurut d’Holbach, “agama itu
lahir dari kelemahan, ketakutan, dan takhayul; manusia telah menciptakan tuhan-
18
tuhan untuk mengisi celah kosong dalam pengetahuan mereka sehingga keyakinan
agama adalah tindakan intelektual pengecut dan putus asa” [“religion was born
weakness, fear, and superstition; people had created gods to fill the gaps in their
knowledge, so religious belief was an act of intellectual cowardice and despair”]
(Armstrong 2009, 223; 2011, 369). D’Holbach meyakini sebagai satu-satunya realitas,
dunia alam material tidak memerlukan Penyebab eksternal karena dunia alam itu
muncul secara kebetulan. Jadi, tidak ada Tuhan, tidak ada jiwa, dan tidak ada
kehidupan setelah kematian. Karena tidak ada bukti bagi keberadaan Tuhan, semua
individu rasional dan berpendidikan harus menolak agama sama sekali. (Armstrong
2009, 224; 2011, 370)
Pada awal abad ke-19, William Paley (1743-1805) menanggapi The System of
Nature. Ia menerbitkan Natural Theology (1802), yang menegaskan argument by
design sebagai bukti tak terbantahkan bagi keberadaan Tuhan. Menurut Paley, alam
semesta ini merupakan sebuah mekanisme yang muncul tidak secara kebetulan, tetapi
secara langsung dibuat oleh Tuhan. Natural Theology menjadi bacaan wajib bagi
mahasiswa Cambridge sepanjang abad ke-19. Charles Darwin (1809-1882) mendapati
buku itu sangat persuasif (Armstrong 2009, 227-228; 2011, 375-376)
Pada abad ke-19, berbeda dari Eropa, Amerika mengalami masa kebangunan
rohani yang digerakkan oleh para evangelis yang bermaksud membawa bangsa baru
itu ke dalam kabar gembira dari Injil. Para evangelis membuang jauh Tuhan kaum Deis
yang jauh dan menyerukan agar orang kembali kepada otoritas Alkitab, komitmen
pribadi pada Yesus, dan agama hati bukan kepala. Kristen Evangelis ini pada gilirannya
membuat banyak orang Amerika menuju anti-intelektualisme dan individualisme yang
kasar. Namun, dalam berteologi, mereka tampaknya masih mengandalkan argumen
dari desain Paley. (Armstrong 235-237; 2011, 385-388)
Pada pertengahan abad ke-19, Charles Darwin mengemukakan teori yang akan
membantah argumen dari desain Paley. Dalam bukunya The Descent of Man (1871)
Darwin berpendapat bahwa Homo Sapiens berkembang dari nenek moyang orang
utan, gorila, dan simpanse. Manusia bukanlah puncak dari penciptaan yang bertujuan.
Seperti semua makhluk lain, manusia telah berevolusi dengan trial and error dan
Tuhan tidak terlibat dalam penciptaannya. Demikianlah penemuan Darwin
19
mempercepat kecenderungan yang sudah tumbuh untuk mengeluarkan teologi dari
diskusi ilmiah (Armstrong 2009, 245-246; 2011, 400-401)
Darwinisme tentu saja mendapat respons pro dan kontra. Beberapa orang
mendukung dan bahkan mengembangkan teori evolusi. Beberapa yang lain, seperti
kaum Evangelis, menentang keras Darwinisme.
Memasuki abad ke-20, beberapa terobosan di bidang fisika menjadi signifikan
bagi perkembangan sains dan menyumbang sesuatu bagi agama. Dengan terobosan
teori relativitas Albert Einstein (1879-1955) dan teori mekanika kuantum Niels Bohr
(1885-1962) dan Werner Heisenberg (1901-1976), ilmuwan mulai meninggalkan fisika
Newtonian yang mekanistik. “Ilmuwan mulai terdengar seperti para teolog apofatik.
Bukan hanya Tuhan yang berada di luar jangkauan pikiran manusia, melainkan alam
juga sudah semakin sukar dipahami” [“Scientist were beginning to sound like
apophatic theologians. Not only was God beyond the reach of the human mind, but the
natural world was also terminally elusive”]. (Armstrong 2009, 266; 2011, 429)
Namun, sikap pengakuan akan ketidaktahuan terhadap Tuhan dan alam
sebagaimana dinyatakan para fisikawan itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan
bagi manusia modern yang ingin kepastian mutlak. Oleh karena itu, tidak heran,
beberapa orang mulai mencari dasar pembenaran dari kitab suci untuk sebuah
kepastian yang mutlak. Literalisme kitab suci berkembang. Kelompok-kelompok
fundamentalis bermunculan.
Studi Armstrong tentang fundamentalisme dalam Yudaisme, Kristen, dan Islam
menunjukkan bahwa gerakan fundamentalis berakar pada ketakutan mendalam.
“Fundamentalisme – baik itu Yahudi, Kristen, atau Muslim – hampir selalu dimulai
sebagai gerakan defensif, tetapi biasanya merupakan respons terhadap kampanye
seagama atau orang-orang sebangsanya yang dirasa bermusuhan dan invasif.” Oleh
karena itu, tegas Armstrong,
Sejarah berikutnya akan menunjukkan bahwa ketika sebuah gerakan fundamentalis diserang, mereka hampir selalu menjadi lebih agresif, sakit hati, dan berlebihan. Karena fundamentalisme berakar dalam ketakutan akan penghancuran, para penganutnya melihat setiap serangan semacam itu sebagai bukti bahwa dunia sekuler atau liberal memang cenderung pada penghapusan agama. [Subsequent history would show that when a fundamentalist movement is attacked, it almost invariably becomes more aggressive, bitter, and excessive. Rooted as fundamentalism is in a fear of annihilation, its adherents see any such offensive as proof that the secular or liberal world is indeed bent on the elimination of religion.] (Armstrong 2009, 274; 2011, 440)
20
Armstrong menilai, dalam segala bentuknya fundamentalisme adalah iman yang
sangat reduktif. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kelompok-kelompok
fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka coba bela. Selain harfiah, mereka
pun bersikap selektif dalam pembacaan kitab suci.
Fundamentalisme agama dikritik habis-habisan oleh beberapa orang yang
dikenal sebagai para “ateis baru”. Sebenarnya seperti semua fundamentalis agama,
para ateis baru ini percaya bahwa mereka sendirilah yang memiliki kebenaran. Seperti
fundamentalis Kristen, mereka membaca Alkitab dalam cara yang sama sekali harfiah.
Mereka malah melangkah lebih jauh. Tidak hanya menyerang kelompok-kelompok
fundamentalis, mereka pun menyama-ratakan agama-agama sebagai penyebab semua
masalah dunia. Agama-agama adalah sumber kejahatan mutlak dan “meracuni
segalanya”. Demikianlah pandangan Richard Dawkins, Sam Harris, dan Christopher
Hitchens yang berada di barisan terdepan gerakan rasional kontemporer. (Armstrong
2009, 302; 2011, 481)
Armstrong menyampaikan bahwa secara faktual traktat anti-agama tanpa
kendali telah meraih pembaca yang begitu luas baik di Eropa maupun di Amerika.
Fakta itu menunjukkan bahwa banyak orang tanpa latar belakang pengetahuan teologi
yang cukup merasa bermasalah dengan Tuhan modern. Sebagian orang beriman
masih dapat bekerja secara kreatif dengan simbol ini, tetapi yang lain jelas tidak. Lalu
Armstrong menyindir:
Mereka tidak mendapat banyak bantuan dari pendeta mereka, yang mungkin tidak memiliki pendidikan teologi yang maju dan pandangan dunianya barangkali masih terikat kepada Tuhan modern. Teologi modern tidak selalu mudah dibaca. Akan sangat membantu jika para teolog mencoba menyajikannya dalam cara yang menarik, yang mudah dimengerti, untuk memungkinkan jemaat mengikuti diskui mutakhir dan wawasan baru tentang kesarjanaan alkitabiah, yang jarang sampai ke bangku jemaat. [They get little help from their clergy, who may not have had an advanced theological training and whose worldview may still be bounded by the modern God. Modern theology is not always easy reading. Theologians should try to present it in an attractive, accessible way to enable congregants to keep up with the latest discussions and the new insights of biblical scholarship, which rarely reach the pews.] (Armstrong 2009, 308; 2011, 490)
Akhirnya Armstrong pun mengemukakan beberapa pemikir posmodern yang
patut dipertimbangkan untuk “masa depan Tuhan”. Para posmodernis, seperti Gianni
Vattimo dan John Caputo, menekankan agama sebagai sebuah wacana interpretatif
yang mestinya bermuara pada praktik kehidupan. Menurut Vattimo, agama sejak awal
21
berkembangnya tak henti melakukan dekonstruksi atas teks-teks sucinya, sehingga dari
awal ia memiliki potensi untuk membebaskan diri dari ortodoksi metafisis. Di sini
Vattimo berusaha meruntuhkan tembok pemisah antara orang-orang teis dan ateis.
Yang dikedepankannya adalah tindakan nyata dari (penganut) agama dalam
kehidupan.
Tanggapan Kritis
Melalui The case for God, Karen Armstrong berupaya menghidupkan tradisi
apofatik untuk memulihkan wajah agama. Teologi tanpa mempertimbangkan
apofatisisme cenderung mempercakapkan Tuhan sebagai berhala, karena – sesuai
produk rasionalitas manusia – Tuhan di situ jadi dibatasi dan dikuasai, bahkan
“dipolitisasi” demi kepentingan dia yang berteologi tersebut. Itulah “the modern God”.
Fundamentalisme dan Ateisme Baru yang memarak belakangan ini tidak lain
adalah buah dari modernisme dan rasionalisme. Keduanya jelas memahami “the
modern God”, bukan “the unknown God”. Jadi, saya sepakat dalam pendapat dengan
Armstrong bahwa kita perlu menegaskan kembali tradisi apofatik (dalam setiap teologi
atau wacana agama kita) sehingga agama menjadi suatu “kecakapan” (knack), suatu
disiplin praktis, yang perlu dilatih terus-menerus, demi menumbuhkan rasa akan yang
transenden. Di sini teologi agaknya berpadu kembali dengan spiritualitas: spiritualitas
keheningan dan ketidaktahuan. Dalam spiritualitas itu, upaya pencarian makna
menjadi intinya. Ini berpulang pada hakikat kita sebagai homo religiosus.
Satu hal yang perlu didalami lebih lanjut adalah: bagaimana dengan pandangan
teologis (Kristen) yang mengatakan bahwa Allah sesungguhnya yang mencari kita,
bukan kita yang mencari Dia? Mungkinkah kita dapat mengatakan bahwa Dia
sesungguhnya tidak mencari kita? Dalam semangat apofatik, kiranya itu mungkin.
“Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan?” tanya Rasul Paulus dalam Roma 11:34.
Mudji Sutrisno pernah menuliskan suatu pernyataan yang tampaknya relevan
untuk kita kerjakan:
“Dalam dialog dengan masa depan, agama mendapati banyak tantangan dan tuntutan peran yang semakin besar. Peran agama di masa depan, menurut saya, bukan pada sumbangan keilmiahan dan otoritas keilmuan. Tapi pada kesiapsediaannya melayani umat manusia dalam ketentuan-ketentuan dasarnya. ... Di masa depan, ada dua fungsi agama yang mesti ditonjolkan, yaitu: fungsi kritis-profetis dan fungsi pembebasan.
22
Fungsi kritis-profetis mau mengkritik keyakinan lama dan menyadarkan nilai-nilai yang dilupakan, terutama dalam hormat kepada martabat kemanusiaan. Lalu mesti berani pula melakukan otokritik, misalnya terhadap gejala agama yang terlalu formalistis. Fungsi agama sebagai pembebasan menuju ke arah semakin dihormatinya martabat kemanusiaan. Ini berarti agama berperan membuat orang lebih mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dalam kultur modern yang mekanistis. (Sutrisno 1996, 1, 3-4)
Daftar Acuan
Armstrong, Karen. 2011. Masa depan Tuhan: Sanggahan terhadap fundamentalisme dan ateisme. Terj. Yuliani Liputo. Bandung: Penerbit Mizan.
_______. 2009. The case for God: What religion really means. New York: Anchor Books. Bruce, Steve. 2003. Fundamentalisme: Pertautan antara sikap keberagamaan dan
modernitas. Terj. Herbhayu A. Noerlambang. Jakarta: Erlangga. Douthat, Ross. 2009. Perpetual revelations. The New York Times 4 October.
http://www.nytimes.com/2009/10/4/books/review/Douthat-t.html?_... (diakses 18 Februari 2013).
Sutrisno, Mudji. 1996. Agama: Wajah cerah dan wajah pecah. Jakarta: Penerbit Obor. U.S. Catholic. 2009. How not to talk about God: An interview with Karen Armstrong.
http://www.uscatholic.org/print/5076 (diakses 18 Februari 2013). Winston, Kimberly. 2012. Atheism rises, religiosity declines in America.
http://www.huffingtonpost.com/2012/08/14/atheism-rise-religiosity... (diakses 18 Februari 2013).
Zaimov, Stoyan. 2012. Atheism on the rise in Asian and European nations, poll finds.
http://www.global.christianpost.com/news/atheism-on-the-rise-in-asian-a... (diakses 18 Februari 2013).