menggugat pendidikan hukum di indonesia oleh : zainal asikin 1 filedalam perundang undangan....
TRANSCRIPT
Menggugat Pendidikan Hukum di Indonesia
Oleh : Zainal Asikin 1
A. PENDAHULUAN
Persoalan arah pendidikan hukum di Indonesia bukanlah persoalan yang baru
dan sedehana. Akan tetapi pesoalan ini telah berlangsung lama dan terus menjadi
perdebatan para akademisi dan praktisi hukum.
Persoalnnya kemanakah dan mau dibawa kemana arah pendidikan hukum
Indonesia ?
Ketika pendidikan tinggi hukum dimulai di Indonesia pada awal abad 20,
pendidikan hukum sepenuhnya mengikuti pola pendidikan tinggi hukum di Belanda.2
Kurikulum serta pola pengajaran juga sepenuhnya mengikuti pola pengajaran di
Belanda, meskipun ada penyesuaian dengan kondisi obyektif Hindia Belanda
sebagai tanah jajahan. Lama pendidikan hukum (rechtshogeschool atau fakulteit der
Rechtsgeleerheiit) yang dibuka tanggal 28 Oktober 1924 dipimpin oleh Paul Scholten,
adalah 5 tahun, dibagi menjadi 3 tahap yaitu :
Tahap Pertama yang diselesaikan selama 2 tahun dengan ujian kandidat (
candidaats exament}. Tahap kedua dengan ujian doktoral (doctoraal exament)
ditempuh selama 2 tahun, dan Tahap ketiga, ditambah pada tahun terakhir sebagai
ujian doktoral akhir melalui pengambilan jurusan ( richtingen)—hukum perdata, pidana,
1. Penulis adalah Ketua Magister Hukum Fak Hukum Unram, Pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum Unram ( 1996 sampai 2004), Pernah Menjadi Wakil Dekan ! Fak Hukum Unram ( 1988-1996), Pernah Menjadi Wakil Rektor IV Unram ( 2005-2009), Menjadi Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat Unram 2010-2012). 2 Makdir, Makalah Ssminar dan Lokakarya Pengkajian Kurikulum Fak Hukum, Fahultas Hukum UII, 23
Desmeber 2006.
hukum ketatanegaraan, dan sosiologi-ekonomi. Setelah lulus semua tahapan tersebut
maka mahasiswa berhak menyandang gelar ” Meester in de Rechten”.3
Berlanjut kemudian melalui perubahan pada tahun 1946 dengan
Hoogeronderwijs Ordonnantie 1946 (Stb. No. 47/1947) dan Universiteitsreglement
1946 (Stb. No. 170/1947). Sebagaimana halnya dengan penyelenggaraan
pendidikan tinggi hukum di Belanda sebelumnya , maka pendidikan hukum di
Indonesia kurikulumnya masih lebih menitik- beratkan pada pendidikan
akademiknya (academic schooling) dan kurang memperhatikan “professional
schooling”-nya.4
Hal yang juga disampaikan oleh Himahanto Juwana dalam makalahnya
Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia bahwa tujuan pendidikan hukum tidak lepas
dari tujuan yang dikehendaki oleh pemerintah.5 Artinya ketika awal pendidikan
hokum diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka lulusan pendidikan
hokum diharapkan dapat mengisi jabatan birokrasi dibidang hokum
(rechtsambtenaren) seperti jaksa, hakim, panitera.
Oleh sebab itu kurikulum pendidikan hukum dirancang untuk mencapai tujuan
utama yaitu para mahasiswa benar benar menguasai kaidah hukum (norma hukum)
3 Hooge Onderwijs Ordonantie( Stb 1924/No.456, jo Stb 1926 ,No 338 jo 1927 No.395 jo 1929 No.222 jo Stb 1932
No.14. jo Stb 1933 No.345. Jo 1934 No.529. Lama pendidikan di Rechtshogeschool adalah lima tahun yang dibagi dalam
dua tahap. Tahap pertama diselesaikan dalam dua tahun dengan ujian kandidat (candidaatsexamen), dan tahap
kedua dengan ujian doktoral (doctoraal-examen). Pada tahun yang terakhir, yang dikenal sebagai ujian doktoral
bagian ketiga terdapat pemecahan dalam empat jurusan (richtingen) yang dapat dipilih mahasiswa, yaitu: Hukum
Keperdataan, Hukum Kepidanaan, Hukum Ketatanegaraan, dan Sosiologi-Ekonomi. Mereka yang telah lulus ujian ini
berhak memakai gelar Meester in de Rechten (pasal 10). Gelar ini memberikan kewenangan kepada yang
bersangkutan untuk diangkat menjadi: (a) advokat dan pengacara serta jabatan-jabatan dalam bidang kehakiman
lainnya, dan (b) pegawai pemerintah serta dalam bidang pendidikan (pasal 20). Peraturan
pendidikan Rechtshogeschool telah dikeluarkan dalam S. 1924 No. 457 yang telah ditambah dan diubah terakhir oleh
S. 1936 No. 106 dan 438.
4 Hal yang sama disampaikan oleh Soetandyo Wignjosoebroto:2000, Pembangunan Hukum Nasional dan
Pendidikan Hukum di Indonesia Pada Era Pascakolonial, h.2, diakses dari http://www.huma.or.id
5 Himahanto Yuwana, Reformasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, halaman 3
dalam perundang undangan. Mahasiswa benar benar harus menguasai pasal pasal
undang yang akan diterapkan dalam ruang ruang persidangan dan di pemerintahan.
Akan tetapi begitu sulitnya menjadi dan mencapai gelar Meester in de
Rechten (MR) mengingat gelar tersebut derajatnya sama dengan gelar Strata 2 ,
bahkan karena begitu pentingnya dan mendesaknya akan kebutuhan itu, maka
Pemerintahpun mendirikan Sekolah Hakim dan Jaksa ( SHD), pendidikan keterampilan
hukum plus, yang ditempuh selama 4 tahun, dan para lulusannya langsung diterima
sebagai pegawai pengadilan atau kejaksaan (atau sebelumnya telah menjadi
pegawai Pengadilan dan Kejaksaan).
Pendidikan SHD tersebut berakhir pada tahun 1980 seiring dengan dieluarkanya
UU Tentang Kejaksaan No.5 Tahun 1991 dan UU Kekuasaan Kehakiman No.14 Tahun
1970 dimana syarat menjadi hakim harus Sarjana Hukum.
Jadi intinya bahwa sekolah hukum di Indonesia awalnya hanya pendikan hukum
yang mengajarkan ilmu tentang kaidah (Normwissenschaft atau
sollenwissenschaft , yaitu ilmu tentang Norma (undang undang ). Termasuk
didalamnya sebagian besar mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum
Indonesia, seperti: Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Tata
Usaha, Hukum Internasional, dan lain-lain. Disamping itu diajarkan pula Ilmu
Pengertian Verstandnis Wissenschaft, yaitu ilmu tentang pengertian pokok
dalam hukum seperti subyek hukum, hak dan kewajiban, obyek hukum dll6
Sedangkan Tatsachenwissenschaft; Ilmu tentang kenyataan (kajian empiris),
termasuk didalamnya Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Hukum
dan Masyarakat, dan lain-lainnya dianggap tidak terlalu penting.
Selaras dengan itulah maka kurikulum atau mata kuliah yang ditawarkan
(diajarkan) tidak terlalu banyak yaitu : 1. Pengantar Ilmu Hukum,2. Hukum Tata
Negara dan Administrasi, 3. Hukum Perdata dan Acara Perdata, 4. Hukum Pidana dan
Acara Pidana, 5. Hukum Adat, 6. Hukum dan Pranata Islam, 7. Hukum Dagang,8.
6 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm 9
Sosiologi, 9.Ilmu Pemerintahan, 10. Ilmu Bangsa-bangsa Hindia Belanda,11. Bahasa
Melayu, Bahasa Jawa, Bahasa Latin,12. Filsafat Hukum, 13. Asas-asas Hukum Perdata
Romawi, 14. Hukum Perdata Internasional, 15.Hukum Intergentil, Kriminologi, 16.
Psikologi, 16. Ilmu Kedokteran Forensik, 17.Hukum Internasional, dan Statistik. Dengan
keputusan Gubernur Jenderal mata kuliah tersebut di atas masih dapat ditambah untuk
menjaga agar pendidikan hukum dapat mengikuti dan mengarahkan perkembangan
masyarakat.
Kemudian sampai tahun 70- an pola kurikulum Pendidikan Hukum di Indonesia
masih sama dengan pola di atas sehingga perkuliahan di pendidikan hokum seringkali
dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu Tingkat Persiapan ( PIH, Ilmu Negara, PHI dan
Asas Asas Hukum), Tingkat Sarjana I ( mata kuliah Hukum I), Tingkat Sarjana II
( Hukum II, Metode Penelitian, Filsafat Hukum dan Pilihan wajib dan Pilihan Bebas).
Sehingga mata kuliah yang ditawarkan berkisar 30 sampai 40 mata kuliah yang
ditembuh pada rentang waktu 4 tahun sampai tidak terhingga (karena tidak dikenal
istilah drop out). Setiap mata kuliah ditempuh dalam 1 tahun (bukan smester)
sehingga para dosen dan mahasiswa benar benar memiliki waktu yang cukup untuk
memahami materi perkuliahan.
Pada masa itu, materi perkuliahan melulu hanya berbagai doktrin, dogma,
adagium, asas, dan pasal-pasal perundang-undangan positif. Kesimpulannya, dimasa itu
pendidikan tinggi hukum baru pada konteks perundang-undangan dan hukum positif
saja. Sehingga hampir bisa dikatakan secara ekstrem bahwa pada saat itu fakultas
hukum tidak lebih sebagai fakultas perundang-undangan.
B. PERUBAHAN KURIKULUM BERBASIS PROFESI ?
Perubahan dan pembaharuan arah pendidikan hukum di Indonesia mulai
dikembangkan pada tahun 70 an. Salah seorang pelopor dari pembaharuan
pendidikan hukum ini adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang mengemukakan bahwa
hukum itu bukan hanya sebagai kaidah, tetapi juga adalah sebagai sarana
pembangunan. Teori ini sebagai modifikasi terhadap teori law as a tool of social
engineering dari Roscoe Pound.7 Pada periode ini mulai diperkenalkan latihan
keterampilan professional, etika professional, dan tanggung jawab
professional.8
Pembaharuan kurikulum ini terus menurus dipikirkan dan dilakukan dan
kemudian menjadi terkenal dengan nama kurikulum 1993. Dengan kurikulum
ini diharapkan semua Fakultas Hukum secara proporsional mengajarkan aspek-
aspek kemahiran hukum dan aspek-aspek pengetahuan atau keilmuan
hukum. Dengan demikian diharapkan setelah lulus nanti mereka memiliki bekal yang
cukup memadai untuk masuk ke dunia praktik hukum.9
Kurikulum inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Kurikulum pendidikan
tInggi hukum di Indonesia. Kurikulum ini berlaku berdasarkan Keputusan Mendikbud
No. 0325/U/1994 dan No. 056/U/1994 yang kemudian dalam perkembangannya
mengalami sedikit perubahan di tahun 2000 dengan Keputusan Mendikbud No.
232/U/2000. Perubahan pokok dari kurikulum bukan pada substansinya melainkan
lebih pada (1). perubahan penamaan materi muatan kurikulum nasional menjadi
kurikulum inti, dan kurikulum lokal menjadi kurikulum institusional (2). Kurikulum
1994 ini pada dasarnya disusun dengan landasan dengan semangat, serta motivasi
untuk melakukan pembaharuan pendidikan tinggi hukum agar lebih mampu
menyiapkan para lulusan fakultas hukum siap kerja dalam memasuki lapangan kerja
atau siap mengemban profesi hukum, sehingga dalam kurikulum 1994 ini
diintrodusirnya matakuliah hukum yang sarat dengan bobot kemahiran hukum.
Sebelum berlakunya kedua SK tersebut, kurikulum program Sarjana Hukum mengacu
pada “kurikulum inti” yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Pendidikan
Tinggi Depdikbud No 30/DJ/Kep/1983 tanggal 27 April 1983. Kurikulum inti tersebut
lebih berorientasi dan menitik beratkan pada kepentingan fungsi peradilan dan
pemerintahan
7 Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, hlm. 59-60. 8 Ibid, hlm 67 9 Sidharta Rohan Prastowo, Legal Research Institute, 2004,t, hlm xii
Dalam pedoman penyusunan kurikulum pendidikan tinggi (antara lain tercantum
dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000), sempat dinyatakan
bahwa perbedaan tersebut dapat dilihat dari kualifikasi kompetensi hasil lulusan, yang
kurang lebih perbedaannya sebagai berikut :
Pertama , Program sarjana diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki
kualifikasi sebagai berikut:
(a) menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian
tertentu sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan
merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya;
(b) mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai
dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada
masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;
(c) mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di
bidang keahliannya maupun dalam berkehidupan bersama di masyarakat;
(d) mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian
yang merupakan keahliannya.
Sejak itu muncullah apa yang dinamakan Prof. Satjipto Rahardjo sebagai
diversifikasi kedalam:
1. Program Pofesi; yang menekankan pada pendidikan keterampilan (skill)
2. Program Keilmuan; yang intinya adalah perburuan terhadap kebenaran
(searching for truth).
Termasuk dalam program profesi adalah pendidikan tinggi hukum pada jenjang
S1 atau yang sering disebut sebagai Fakultas Hukum, karena di S1 Ilmu Hukum tujuan
akhirnya adalah mendapatkan Sarjana Hukum yang memiliki kecakapan ilmu praktis
semata. Inilah yang disebut sebagai legal professional. Akibat dari keinginan
agar pendidikan hukum melahirkan tenaga yang professional, maka
berbagai mata kuliah kemudian dimasukan dalam kurikulum yang paling
kurang 144 Sks yang ditempuh dengan system smester. Dengan banyaknya
dan membengkaknya jumlah mata kuliah maka pendidikan hokum menjadi
kehilangan arah dan ibarat senetron kejar tayang, karena materi yang
harus disampaikan tidak seimbang dengan waktu yang tersedia.10
Kedua , sedangkan pada program S2 dan S3 dinamakan program keilmuan,
sebab di program tersebut, seharusnyalah ada peningkatan jenjang, daripada hanya
mengajarkan dunia praktis semata seperti dalam S1. Jadi program S1 adalah sekolah
Juris, sedangkan S2 dan S3 adalah sekolah Ilmuwan.
Jadi perubahan yang terjadi di era 80 -an, seolah olah ingin membalik
tujuan pendidikan hukum jenjang S1 yang awalnya adalah pendidikan
akademik menjadi pendidikan profesi, sedangan pendidikan akademik
(keilmuan) ditempuh dalam jenjang S2 dan S3.
Namun sayang cita cita untuk menjadikan pendidikan hukum (S1) melahirkan
lulusan yang terampil dan profesioal, masih jauh dari yang diharapkan diakibatkan oleh
terlalu banyaknya mata kuliah yang di bebankan kepada para mahasiswa.
Lebih lanjut Pemerintah kembali mengeluaran Permenristek No.44 Tahun
2015 diatur standar nasional Perguruan Tinggi dengan mengacu Perpres No.8 Tahun
2012 dimana standar komptensi kelulusan Pendidikan Tinggi Menyangkut 3 hal yaitu
:
1. Sikap ;
2. Pengetahuan
3. Keterampilan ( Keterampilan Umum dan Keterampilan Khusus)
10 Celakanya juga setiap para dosen yang baru pulang sekolah, berkeinginan agar Thesis dan Disertasinya
dijadikan mata kuliah , karena dianggap semua penting. Maka berjejerlah mata kuliah baru sehingga membuat jumlah SKS menjadi membengkak.
Kemudian dalam Permenristek dan Perpres tersebut di bagi jenjanjang Pendidikan
Tinggi menjadi beberapa strata yaitu :
1. Pendidikan Diploma 4/Sarjana Terapan atau Sarjana ; yaitu jenjang pendidikan
yang diharapkan melahirkan lulusan yang menguasai konsep teoritis bidang
pengetahuan dan keterampilan tertentu secara umum dan konsep
teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan dan keterampilan tersebut.;
2. Program magister diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: (a) mempunyai kemampuan mengembangkan dan
memutakhirkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian dengan cara
menguasai dan memahami, pendekatan, metode, kaidah ilmiah disertai
ketrampilan penerapannya; (b) mempunyai kemampuan rnemecahkan
permasalahan di bidang keahliannya melalui kegiatan penelitian dan
pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah: (c) mempunyai kemampuan
mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan dengan ketajaman
analisis permasalahan, keserbacakupan tinjauan, kepaduan pemecahan masalah
atau profesi yang serupa; Lulusan program magister, magister terapan, dan
spesialis satu paling sedikit menguasai teori dan teori aplikasi bidang
pengetahuan tertentu
3. Program doktor diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi
sebagai berikut: (a) mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu,
teknologi, dan/atau kesenian baru di dalam bidang keahliannya melalui
penelitian; (b) mempunyai kemampuan mengelola, memimpin, dan
mengembangkan program penelitian; (c) mempunyai kemampuan pendekatan
interdisipliner dalam berkarya di bidang keahliannya. Luluan program doktor,
doktor terapan, dan subspesialis paling sedikit menguasai filosofi keilmuan bidang
pengetahuan dan keterampilan tertentu.
Dari uraian di atas semakin tidak jelas apa dan bagaimana arah
pendidkan hukum di Indonesia, apakah jenjang S1 kearah pendidikan
keterampilan atau akademik ? Begitupula pendidikan magister , apakah
kepada pendidikan akademik atau professional ?
Ketidak jelasan ini berdampak kepada keraguan masyarakat dan
pengguna (stakeholder) atas kemampuan dan keterampilan para alumni
pendidikan hukum. Akibatnya seorang Sarjana Hukum (yang konon sudah
mendapat ilmu keterampilan) untuk menjadi Advokat , kembali harus
mengikuti pendidikan profesi advokat dan harus magang sekurang kurangnya
2 tahun).11
Yang lebih unik lagi tamatan magister hukum yang menempuh
pendidikan magister kenotariatan/magister terapan, masih harus diragukan
keterampilannya sehingga untuk bisa diangkat menjadi Notaris harus
magang selama 2 tahun lagi di kantor notaries dan harus diuji lagi agar bisa
berpraktik dengan syarat syarat yang cukup berat.12
Kemudian seorang magister kenotariatan untuk bisa berpraktik dan
diangkat menjadi PPAT harus mengikuti magang selama satu tahun dan
harus diuji lagi oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan sarat sarat
yang tidak mudah. 13
Semua itu sebenarnya bentuk pelecehan atas ouput pendidikan
hukum di Indonesia yang meragukan kualitas hasil proses pembelajaran. Dan
yang ikut melecehkan juga, justru Pemerintah yang membidangi pendidikan
tinggi, terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Riset dan Dikti No.5
Tahun 2019 tentang Pendiidkan Advokat , yaitu perlunya pendidikan profesi
advokat selama 2 tahun bagi yang ingin menjadi advokat. Ini artinya
pendidikan S1 Fakultas Hukum masih dianggap belum terampil untuk
menjalani profesi advokat.
Akhirnya pertanyaan pamungkas adalah hendak kemana pendidikan
tinggi hukum Indonesia ? Pertanyaan yang sama pernah disampaikan oleh
11 UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat, pasal 2 , pasal 3 ayat (1 ) 12 UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris , Pasal 3 13 PP No. 24 Tahun 2016 tentang PPAT , Pasal 6 ayat 1
Prof Sudarto .14 Sampai saat ini nampaknya masih belum ditemukan dimana
letak persoalannya sehingga apa yang diharapkan dari sarjana hukum
memenuhi harapan pengguna, ditambah lagi sarjana hukum tidak yakin akan
kemampuan dirinya, dan pengguna juga masih ragu akan kemampuan
sarjana hukum.
Hal itu disebabkan oleh arah pendidikan hukum masih mencari bentuk
dan meraba raba arah antara pendidikan profesi (yang setengah hati) dan
pendidikan kemahiran (yang masih canggung).
C. KESIMPULAN
Untuk menyelesaikan benang kusut atas arah dan tujuan pendidikan
hukum itu, maka perlu menentukan arah yang jelas terhadap pendidikan
hukum di Indonesia dengan kurikulum yang mendukungnya, yaitu :
1. Perlunya Pendidikan Diploma (D4) Hukum yang khusus mendidik
calon Sarjana Terapan di bidang hukum yang memang dipersiapkan
menjadi tenaga professional di bidang masing masing ( pengacara,
jaksa, hakim dan lain lain). Sarjana terapan (D4) memang khusus
diberikan materi hukum praktis dan oleh karenanya lulusannya
tidak untuk melanjutkan ke Jenjang S2. Hal ini mengadopsi pola
pendidikan Juris Doctor di beberapa Negara Barat. Tamatan ini
untuk berprofesi sebagai Advokat harus mengikuti ujian oleh
Mahkamah Agung atau Organisai Advokat tanpa melalui
pendidikan/pelatihan tambahan lagi dan tanpa harus magang lagi.
2. Pendidikan Sarjana Hukum (S1) yang berbasis kurikulum pendidikan
akademik yang dipersiapkan menjadi tenaga akhli hukum yang
14 Prof SUdarto, Hukum dan Hukum Pidana , Penerbit Alumni, 1986, Bandung, Jlm 2.
dapat melanjutkan ke jenjang S2 HUKUM dan S3 HUKUM. Hal ini
mengadopsi pola pendidikan Legum Bachelor.
3. Khusus untuk magister terapan seperti Notaris dan PPAT, maka
lulusannya tidak perlu mengikuti magang 2 tahun lagi dan tidak
perlu mengikuti ujian lagi, jadi langsung mengajukan permohonan
ijin ke Pemerintah ( Menkumham atau Menteri Agraria dan Tata
Ruang).
Pembahauan kurikulum tersebut tentunya harus melibatkan seluruh pemangku
kepentingan, baik Ikatan Advokat, Ikatan Notaris, Kepala Badan Pertanahan
Nasional, Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia. Pembentuk UU, dan
sebagainya sehingga kurikulum Pendidikan Hukum menjadi suatu system yang
terpadu dengan undang undang yang lainnya.
Demikianlah sekelumit catatan saya tentang pendidikan hukum di
Indonesia,dan jika terdapat kekurangan dipersilahkan para peserta untuk
menambahkan. Terima kasih.
Mataram Juni 2019
DAFAR PUSTAKA
Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro kerjasama Mochtar, Karuwin & Komar :
2002, Reformasi Hukum di Indonesia, CYBERconsult.
Asep Saefullah dan Herni Sri N: 2003, Pendidikan Hukum di Indonesia Perlu
Jalan Alternatif, Jentera Jurnal Hukum, Edisi Khusus.
Bagir Manan dalam Bisnis Indonesia Rabu 18 Februari 2004, h T3.
Prof. Bagir Manan: 2004, Peranan Pendidikan Hukum dalam Pembangunan dan Penegakkan Hukum untuk Masa Depan Indonesia, diakses dari http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9738&cl=Kolom
Bursja Zahir : 1978, Pendidikan Tinggi: Hubungan dengan Masyarakat dan
Keadaan Sekarang, Prisma No.2 Maret, Tahun VII
Erman Rajagukguk: 1997, Peranan Hukum dalam Pembangunan pada era Globalisasi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997.
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D: 2006, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, diakses dari http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.
Mochtar Kusumaatmadja: 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, cetakan ke 2, Alumni.
Prof SUdarto, Hukum dan Hukum Pidana , Penerbit Alumni, 1986, Bandung
Sidharta Rohan Prastowo, Legal Research Institute, 2004, Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015