menggali kekayaan arsitektur …staff.ui.ac.id/system/files/users/kemas.ridwan/... · web...

21
STRATEGI PENGEMBANGAN ARSITEKTUR TRADISIONAL DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU KOMODITAS UNGGULAN BUDAYA 1 Gunawan Tjahjono dan Kemas Ridwan Kurniawan Pusat Kajian Permukiman Vernacular 1 Makalah ini didiskusikan dalam acara Lokakarya Pekan Produk Budaya Indonesia 2007, Jakarta Convention Center, 13 Juli 2007. 1

Upload: dangthuan

Post on 15-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STRATEGI PENGEMBANGAN ARSITEKTUR

TRADISIONAL DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU

KOMODITAS UNGGULAN BUDAYA1

Gunawan Tjahjono dan Kemas Ridwan Kurniawan

Pusat Kajian Permukiman Vernacular(Center for Vernacular Settlement)

Departemen Arsitektur Fakultas Teknik

Universitas Indonesia2007

1 Makalah ini didiskusikan dalam acara Lokakarya Pekan Produk Budaya Indonesia 2007, Jakarta Convention Center, 13 Juli 2007.

1

Tradisi merupakan suatu istilah yang kita ambilalihkan seutuhnya dari kata tradition

(Latin, ‘tradere’) yang berarti melimpahkan ke pelanjut sesuatu yang bernilai.2

Apakah dengan demikian di Indonesia tak pernah mengenal tradisi sehingga tak ada

kosa kata yang mampu mengimbanginya untuk dialihkatakan? Hal itu tampaknya

suatu tugas bagi ahli bahasa dan sejarahwan budaya untuk menjawab, dan berada di

luar cakupan bahasan saya. Namun saya akan membeberkan suatu landasan untuk kita

simak bersama atas kelahiran tradisi.

Sudah saatnya para pegelut masalah tradisional memahami tradisi dalam

situasi kekinian agar dapat kemudian meletakkannya dalam suatu cakupan ruang dan

waktu yang gayut sehingga tak lagi kita memberi jarak dan menjadikannya sesuatu

yang demikian adiluhung dan tak dapat diganggu gugat. Sesuatu itu diturunkan atau

dilanjutkan sehingga menjadi tradisi tentu ada peristiwa awalnya dan dengan

demikian ada juga titik akhirnya atau, titik perubahannya.

Jika keadaan itu yang terjadi pada masa lalu, sangat masuk akal bahwa

kelahiran suatu tradisi berawal dari suatu peristiwa yang hasilnya mampu

membuahkan suatu keuntungan atau kebajikan besar bagi mereka yang terlibat di

dalamnya. Pengalaman kelompok manusia yang telah mampu menyelesaikan suatu

persoalan, suatu kebimbangan, suatu pertengkaran atau hambatan-hambatan tentu

sangat berharga sehingga ingin diterapkan pada situasi lain. Hasilnya yang berupa

gagasan, benda, atau upacara yang kemudian dianggap oleh kelompok termanfaat

perlu dilanjutkan, dan setelah berselang beberapa generasi, menjadi suatu tradisi.

Dalam tata olah itu kelembagaan terlibat dan untuk menjamin penerusannya, ada yang

kita kenal sebagai penjaga tradisi.3

Tradisi dengan demikian amat moderen pada saat ia dilahirkan atau

diciptakan. Kenyataannya, tradisi-tradisi yang kita saksikan di dunia saat ini adalah

ciptaan atau temuan.4 Hanya, kita tak pernah menelusuri atau menanyakan lagi siapa

penciptanya. Itulah yang berbeda dari ciptaan masa kini yang selalu dapat 2 Tradere dalam bahasa Latin berarti pindahtangankan sesuatu. Simak, E. Partridge. Origins: A short Etymological Dictionary of Modern English. New York: Greenwich House, 1983.3 Khusus untuk istilah itu, guardian of tradition, lihat. A. Giddens. “Living in a Post-Traditional Society.” Ulrich Beck, Anthony Giddens, Scott Lash (eds). Reflexive Modernization: Politic, Tradition, and Aesthetics in the Modern Social Order (Palo Alto: Stanford University Press, 1995), hal. 56-109. 4 Eric Hobsbaum and Terence Ranger (eds). The Invention of Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1996-1983), pp. 1-14.

2

ditemukenalkan penciptanya.5 Ini membawa kita pada suatu kenyataan bahwa pada

saat sesuatu yang telah menradisi itu tak mampu mengatasi permasalahan dan bahkan

membebani penerusnya, selalu ada cara untuk mengubah atau mengalihkannya

menjadi bentuk lain.

Dalam bentuk yang baru jika sesuatu itu terkandung nilai luhur, maka ia akan

mentradisi pula. Jangan kira budaya barat yang moderen tak memelihara tradisi,

karena moderen itu suatu gagasan yang kini telah melampaui berbagai generasi dan

oleh sebab itu pantas menjadi tradisi.6 Dalam tradisi tersebut, terdapat sikap kritis

yang hingga kini dianggap perlu dipelihara karena hal itu akan menjamin suatu

keunggulan dalam menghadapi segala bentuk tantangan.7

Apakah bangunan yang kita banggakan kini itu sejak awal demikian? Tentu

tidak, karena wujud yang kini hadir itu juga hasil suatu perkembangan, dan yang

dibanggakan itu hanya dapat dibangun oleh kelas masyarakat tertentu yang ingin

menunjukkan bahwa telah mampu membangun suatu gaya yang telah dilembagakan

oleh para tetua sebagai pengawal tradisinya sebagai wujud yang lajim untuk kelas

sosial tertentu. Jika hal itu yang terjadi, maka kapan wujud yang kita saksikan itu

lahir?

Agar tak terlalu mendongengkan tradisi, kita perlu mencatat kenyataan bahwa

sebagian warisan yang masih hidup belum melampaui empat abad. Kraton

Yogyakarta dan Surakarta bahkan belum tiga ratus tahun lamanya. Bahkan bentuk

joglo, belum termuat di lempengan ukir dinding candi-candi Jawa Timur. Dengan

demikian bentuk tersebut menradisi karena suatu penciptaan. Keadaan demikian tak

hanya dialami nenek moyang kita, di Barat juga demikian. Sebagian ritus, pakaian,

dan kebiasaan itu merupakan hasil penciptaan yang belum terlalu lama. Dengan dasar

pemikiran yang sama, kami berpendapat bahwa tradisi adiluhung itu merupakan suatu

penciptaan, termasuk bahasa yang berlaku dalam masyarakat feodal kita.

5 Simak B Queyssane. “Commentery: Tradition vs Modernity.” TDSR. Vol 1 No.1, 1989, hal.3-6.6 Tak semua penciptaan yang menyenangkan itu dapat digolongkan sebagai tradisi. Fashion, misalnya bukan tradisi. Tentang perbedaan tradisi dari fashion, simak E.Shils. Tradition.7 Simak, K.Popper.

3

Gambar 1. Pembangunan Rumah Tongkonan di

Sulawesi.

Warisan arsitektur di Nusantara yang sebagian besar kini menjadi Indonesia

ini, mengalami banyak permasalahan untuk mampu bertahan dan berlanjut dalam arti,

tetap dihidupkan masyarakat pewarisnya karena memang memiliki keadaan dan daya

untuk berlanjut. Wujud bangunan daerah bertradisi kuat banyak yang memukau

pengamatnya dan telah berubah menjadi monumen tersendiri dalam benak sebagian

besar dari mereka yang pernah menyaksikannya. Oleh sebab itu banyak penulis

merekam keadaan mereka, dan menyampaikan kesannya sehingga orang yang tak

dapat langsung berhadapan dengannya mampu mencerap melalui media dan ikut

merasakan kehadirannya. Arsitektur bangunan meru dan pura di Bali, Tongkonan di

Toraja, Rumah Gadang di Tanah Minang, merupakan contoh-contoh yang

membanggakan.

Candi yang bertebaran dari Sumatera hingga Kalimantan yang tak lagi

berpemakai, meninggalkan kesan yang berarti dan yang terakbar dianugrahkan

sebagai pusaka dunia seperti Borobudur. Warisan-warisan masih banyak. Tak semua

di antaranya akan menghasilkan bentuk baru karena sudah selesai tradisi

membangunnya, dan kini menjadi saksi sejarah. Arkeolog dan sejarahwan mencoba

mereka cara membangun tersebut dan merekamkan hasil rekaan mereka dalam buku

sebagai sautu hipotesis yang masih perlu dibuktikan. Beberapa rekaan mendapat

sambutan bagi mereka yang merasa masuk ke dalam kerangka berpikirnya, sedangkan

bagi yang memiliki cara pandang lain mencoba membuat rekaan tandingan.

4

Terlepas dari apakah rekaan yang satu lebih absah dari rekaan lain, tak ada

satu jua rekaan yang dicoba ulang dan membuat masyarakat yakin bahwa cara, yang

kemudian menurunkan teknik, tersebut pantas dipelihara untuk kemudian ditradisikan.

Dengan demikian terputuslah suatu tradisi membangun. Yaitu membangun candi batu

dan candi bata. Demikian pula karena kehadiran candi tersebut amat berkaitan dengan

tata kota yang sebagian terletak di daerah berair, suatu kemampuan menata air juga

turut lenyap. Kelokalan yang lahir dan tumbuh dari jiwa tempat seakan tak

terulangkan lagi dan suatu pengetahuan membuat, memelihara, serta kaitannya

dengan pengambilan keputusan penyusunan kebijakan turut lenyap.

Penggalian warisan tentu akan jauh lebih baik jika hasilnya memiliki nilai

pakai dan jual dalam konteks globalisasi kapitalisme ini. Dan hal itu rupanya yang

akan kita sama-sama diskusikan dalam rangka meningkatkan kemampuan penciptaan

pasar bagi nilai luhur budaya. Saya kira sikap ini wajar dianut suatu negara bangsa

yang memiliki beraneka ragam pusaka, termasuk bangunan dan arsitekturnya. Jika

arsitektur itu adalah pengetahuan dan keterampilan membangun bangunan maka ke

arah ilmu membagnun itu seyogyanya kita gali. Habis menggali tentu ada pertanyaan,

“lalu apa?”

Pengetahuan yang tertanam itu mendorong kelahiran suatu wujud akhir

bangunan. arsitektur suatu daerah akan bertahan jika seni dan pengetahuan yang

menjiwai sosok itu hidup dan senantiasa berkembang. Hal itu hanya akan terjadi jika

masyarakat yang melahirkan dan mencoba memertahankan tradisi membangunnya

masih bangga dan tetap merasakan nilai kehadirannya yang menguntungkan (dalam

arti seluas-luasnya). Jika tidak maka perlu ada terobosan baru yang juga berangkat

dari yang lama, namun tak meninggalkannya. Dalam hal ini suatu sosok baru akan

lahir dan mengajukan diri untuk diuji. Jika sosok baru mampu menahan beberapa

generasi maka suatu tradisi baru lahir, tanpa memutuskan hubungan dengan sosok

lama.

Keadaan tak selalu demikian, faktor luar selalu berperan untuk menguji

keampuhan nilai yang semula tumbuh di dalam masyarakat tertentu. Masyarakat

selalu mampu membandingkan nilainya terhadap tantangan luar. Masyarakat terbuka

mampu dengan cepat mengambil sikap mengadopsi, memerbaiki nilai luar yang

masuk untuk menjadikan nilai diri yang telah berkembang. Masyarakat tertutup lebih

memilih mengisolasikan diri dan dengan ketat bertahan dengan nilai lamanya sejauh

tak menimbulkan benturan dengan kekuatan luar yang senantiasa memiliki

5

kepentingan. Jika suatu masyarakat yang berada di tengah-tengah maka ada

kemungkinan akan kehilangan nilai lama dan tak dapat mengejar atau hidup bersama

yang baru.

Gambar 2. Model Struktur Rumah

Bernafas di Sangir yang sudah punah.

Kenyataan yang terjadi di sebagain masyarakat bertradisi kuat di Indonesia

menunjukkan bahwa campur tangan pihak luar yang tak terelakkan itu datang justeru

dari pemerintah dalam hal ini PU yang mengenalkan rumah sehat sebagai pengganti

rumah tradisional di sebagain daerah yang belum menghasilkan bangunan adiluhung.

Sebagai akibat propaganda rumah sehat, masyarakat terkena pencampurtanganan yang

lambat laun merasa rendah diri jika meneruskan membangun secara tradisi.8

Sementara itu di luar semakin sulit mendapat pengganti bahan bangunan yang dulu

cukup mudah diperoleh untuk memperbaiki bagian yang rusak di suatu rumah. Atas

desakan dalam dan luar, tukang pada akhirnya berpindah dan mengadopsi teknik yang

disediakan oleh yang kuat atau dalam hal ini pasar sehingga teknik dan pengetahuan

tradisional tak lagi berkembang, dan kemudian lenyap.9

Memang selama ini belum ada kebijakan yang meletakkan warisan budaya itu

menjadi suatu aset yang strategis dalam dunia yang semakin mendatar tanpa batas

8 Lihat G. Tjahjono. “The House That Breathes: Indigenous Architecture of the Sangirese.” Dalam National Committee. Monuments and Sites: Indonesia. Bandung: ICOMOS, 1999. hal . 58-63.9 Tata olah pelenyapan teknik konstruksi dan masalah yang dihadapkan banyak masyarakat yang mengalaminya sempat saya bahas dalam. G. Tjahjono. “Dwellings in Indonesia: Tradition, Resilience, and Change.” dalam R. Knapp (ed). Asia’s Old Dwellings: Tradition, Resilience, and Change. Oxford: Oxford University Press, 2003. hal. 159-184.

6

administrasi ini.10 Apa yang dilakukan selama ini lebih merujuk pada aset tersebut

perlu dipelihara, dilestarikan sebagai atraksi kepariwisataan. Hal itu tentu tak salah,

namun matra yang dijadikan kebijakan amat terbatas dan mereduksikan tradisi

menjadi suatu benda yang tabu diubah. Tentu keadaan ini terjadi karena pemahaman

tentang tradisi yang belum tembus ke tata olah kelahiran dan perkembangannya

sehingga ada matra yang belum tertampilkan ke permukaan.

Jika tradisi itu suatu dinamika temuan manusia maka tata olahnya perlu

mendapat perhatian lebih agar dapat meletakkan hasilnya sebagai suatu tahap dalam

perkembangan budaya bangsa. Dengan demikian tentu dari suatu titik awal dapat

memicu perkembangan yang belum dapat kita pradugakan dalam tahap ini.

Meletakkan tradisi dalam peta budaya sebagai suatu awal pembentukan strategi untuk

meningkatkan daya tahan dan saing bangsa dalam kancah persaingan global akan

memiliki nilai lebih kritis untuk saat ini. Saya belum berani menilai apakan strategi

mengomunitaskan hasil tradisi itu akan menjadikan kita unggul atau kuat dalam

persaingan perdagangan. Namun yang jelas bahwa budaya, dengan inti nya seperti

nilai, sikap dan keyakinan suatu bangsa atau kelompok manusia amat menentukan

kemampuan bertahan dan unggul.

Pemetaan Produk Budaya Arsitektur Tradisional

Dengan demikian, kita dihadapkan pada dua pilihan; apakah produk budaya arsitektur

itu sendiri yang ingin kita kembangkan, ataukah kita melihat agak jauh ke dalam, ke

intisari dari arsitektur itu sendiri yaitu menggali ilmu membangunnya, yang dengan

cara itu kita bisa menghasilkan berbagai produk yang lebih bervariasi? Akan lebih

baik kalau produk tersebut tidak berhenti di salah satu bentuk saja, karena kita ingin

terus melahirkan berbagai bentuk baru. Inovasi menjadi salah satu kuncinya. Dengan

demikian kita menginginkan bahwa tradisi yang nanti terbentuk juga akan menjadi

sesuatu yang dinamis. Untuk itu tentu ‘pengetahuan membangun’ yang lebih kita

prioritaskan sebelum beranjak ke pilihan berikutnya.

Menggali pengetahuan membangun (ilmu membangun) memerlukan suatu

strategi. Pertama-tama tentu saja kita memerlukan peta ilmu membangun tersebut.

Nusantara meliputi gugusan tanah dan air yang membentang dari ujung barat

(Sabang) sampai dengan ujung timur (Merauke). Di dalam wilayah tersebut kita bisa

10 Untuk dunia yang semakin datar, simak T. Friedman. The World is Flat: The Globalized World in the Twenty-First Century. New York: Penguin Books, 2006.

7

menemukan kantung-kantung pengetahuan yang sudah mentradisi beberapa generasi.

Kita bisa mengelompokkannya menjadi beberapa kategori berdasarkan peta geografis

migrasi manusia yang diduga menurunkan budaya-budaya tertentu, yaitu:

A. Wilayah Tengah dan Timur, alur migrasi pertama (5-4000 tahun yang lalu)

diduga menurunkan budaya Austronesia awal dengan beberapa unsur

arsitektur khas daerah Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan bagian timur.

Catatan: Papua termasuk ras Melanesia yang berasal dari selatan.

B. Wilayah Barat alur migrasi kedua (4-2500 tahun yang lalu) yang diduga

meninggalkan budaya Dong Song dengan unsur arsitektur, perkakas dan

pengisi ruang, seperti arsitektur khas Minangkabau.

Atau pengelompokkan berdasarkan keahlian pertukangannya, yaitu:

A. Menggunakan material: Kayu, Batu (tradisi Megalitik), Tanah Liat (Plastis)

B. Menggunakan teknologi: Pasak dan Ikat.

Gambar 3. Simpul peta tradisi membangun di Nusantara.

Pengetahuan ini, walaupun ada yang tertulis, namun sebagian besar non-

literasi. Untuk itu, kita mengandalkan penutur tradisi (budayawan atau sejarahwan)

atau yang lebih tepat lagi adalah ‘tukang’ yang ahli dalam tradisi membangun ini.

Pertukangan (craftmanship) merupakan salah satu tradisi tertua di dunia. Sejak ribuan

tahun sebelum Masehi, di pusat-pusat peradaban dunia seperti di Afrika Utara, Asia,

Eropa dan Amerika, tukang batu dan tukang kayu menempati posisi yang tinggi di

dalam strata kemasyarakatan.

Pada era modernisme, yang mengandalkan mesin dan teknologi, peran

craftmanship tidak bisa diabaikan. Di Inggris, pada abad ke 19, muncul gerakan Art

8

and Crafts yang digagas oleh William Morris (arsitek) dan kawan-kawan. Gerakan ini

membentuk semacam ‘Art-Workers Guild’ (1884), yaitu semacam forum diskusi bagi

para arsitek, perancang dan tukang (craftsmen). Dalam forum ini mereka berupaya

menjawab tantangan modernisme yang mengandalkan industrialisasi dan produksi

massal. Peninggalan dari gerakan ini adalah perhatian terhadap arsitektur vernakular

mulai terbangkit.

Di Jepang, dengan kepercayaan Shin-to (banyak dewa) terdapat sebuah tradisi

untuk terus menerus mempreservasi Ise shrine (rumah untuk dewa matahari) setiap

dua puluh tahun sekali. Elemen-elemen dan benda-benda sakral yang dipercaya

mempunyai spirit dijaga kelestariannya, sementara rumah yang melindungi dan

membungkus spirit tersebut senantiasa dipugar untuk tetap lestari menjaga spirit.

Gambar 4. Ise Shrine di Jepang.

Kini, di abad ke XXI ini, kita berhadapan dengan dunia yang semakin datar

dan menisbikan peran batas geografis. Oleh sebab itu, formulasi dari pengetahuan

membangun ini yang nantinya menghasilkan sebuah produk, tidak-bisa-tidak akan

menjangkau dunia luar. Fenomena semacam ini sebenarnya sudah terjadi, hanya saja

masih bersifat sporadis dan belum menjadi sistemik.

9

Gambar 5. Teknologi Pasak dan Ikat memungkinkan rumah-rumah di Nusantara dapat dirakit atau di bongkar dan dipindahkan dengan fleksibel.

Salah satu ciri khas di Nusantara ini adalah semua rumah dapat dirakit. Rumah

dapat dipindahkan jika pemiliknya harus pindah keluar dari asalnya. Rumah-rumah

beratap joglo banyak yang pindah dari asalnya ke tempat-tempat kolektor di Jakarta.

Bencana gempa di Yogya juga mengakibatkan migrasi rumah-rumah joglo yang dapat

dibongkar pasang. Namun kekhasan pasak kini mulai pudar dengan semakin banyak

tukang yang membangun dengan menggunakan paku. Kebangkitan teknik rakitan ini

mulai teramati lagi belakangan ini. Beberapa simpul produksi dapat ditinjau di

beberapa daerah. Sebagai contoh adalah:

- Pembuatan rumah Bali di Kuta yang bisa dibongkar pasang, dan

selanjutnya dikirim dan dirakit di salah satu kepulauan Pasifik.

- Di Sulawesi Utara terdapat pengrajin rumah di Woloan yang

memproduksi rumah siap dipasang dan diekspor ke luar wilayah.

- Di Nias ada sejenis kebangkitan pembuatan rumah Nias Utara yang

diprakarsai orang Jerman.

- Di Palembang terdapat pengrajin rumah Limasan yang dijual secara

lokal.

- Di Jepara dan Kudus terdapat pengarajin rumah tradisional Jawa

beratap Joglo, dan mereka menjual karya rumah mereka kepada

pemukim-pemukim lain di tanah air dengan harga puluhan juta rupiah

saja.

10

Dengan demikian, tentu menjadi salah satu perhatian kita untuk menangkap

fenomena ini menjadi sebuah peluang bagi pengembangan sebuah tradisi baru. Dari

yang bersifat sopradis menjadi sebuah gerakan yang terpadu dengan tidak

menghilangkan ciri khas masing-masing. Dalam kondisi ini kita dihadapkan pada dua

pilihan kembali, yaitu komoditas budaya seperti apa yang ingin kita hasilkan? Apakah

kita ingin ‘memproduksi’ karya arsitektur baru berdasarkan pertukangan

(craftmanship), dengan resiko biaya menjadi tinggi namun nilai artistiknya juga

tinggi. Atau apakah kita ingin hanya sekedar ‘mereproduksi’ sebuah karya arsitektur

baru yang dilakukan oleh teknologi (mesin) dengan keuntungan biaya menjadi lebih

murah namun nilai artistiknya tidak begitu signifikan dan berpotensi mematikan

tradisi lama yang sudah berjalan? Keputusan ini harus dipertimbangkan masak-masak,

khususnya oleh Pemerintah sebagai pengambil keputusan nantinya, agar keberpihakan

terhadap tradisi lokal tetap terjaga namun ekonomi kreatif masih tetap bisa

dilaksanakan.

Strategi ke Depan

Upaya pemetaan yang kita bahas di atas tadi sebenarnya bisa kita letakkan dalam

kerangka menyeluruh yang lebih sistematis, dan melibatkan pihak-pihak lain yang

lebih luas (pemerintah, kalangan swasta, LSM, institusi pendidikan dan organisasi

profesi arsitek). Bisa kita katakan bahwa pemetaan kekayaan budaya itu tadi

merupakan tahap awal bagi tersusunnya sebuah strategic plan yang lebih menyeluruh.

Pekan Produk Budaya Indonesia 2007 yang digagas oleh pemerintah, yang

mana Arsitektur menjadi salah satu sektor yang dianggap mempunyai peluang untuk

kita gali dan angkat di forum internasional, merupakan sebuah kesempatan emas bagi

penjajagan awal program ini. Melalui acara ini perlu kita perhatikan rumusan arah

kebijakan jangka panjang ke depan, berupa visi dan misi (Pengembangan Ekonomi

Kreatif Berbasis Budaya dan Pusaka Budaya), tujuannya (etos kerja, sumber produk

dan jasa, pemberi nilai tambah di pasar global, wawasan lingkungan dan social) dan

pentahapannya.

Tahap I Tahap II Tahap III

Strategic Plan Guideline Action Plan

(Pemetaan) (Panduan Detail) (Penerapan & Kegiatan)

11

Sebagai upaya pertama perlu kita kaji peta budaya arsitektur tradisional. Di

dalam buku Indonesian Heritage (series Architecture) telah direkam secara sistematis

peta budaya ini. Tentunya kajian dari referensi semacam ini perlu dilanjutkan untuk

merekam pengetahuan (aspek pertukangan) sebagai landasan inovasi lebih lanjut. Dari

pemetaan produk budaya arsitektur ini nantinya akan tergambar beberapa hal: Aspek

Fisik: bentuk/gaya, teknologi, material. Aspek Non Fisik: ide/kreatifitas,

craftsmanship, nilai (sosial-budaya ekonomi), community involvement, kebijakan and

sistem.

Gambar 6. Tradisi craftmanship dan membangun yang dipertahankan melalui transfer knowledge antar generasi dalam sebuah keluarga di desa Bena Bawaja (Flores). Courtyard menjadi arena workshop.

Selain itu, karena produk budaya ini juga berkaitan dengan market ekonomi,

perlu juga dilakukan peta peluang pasar (market) dalam lingkup nasional, regional

dan global. Berbagai contoh modern bagaimana penerapan arsitektur tradisional ke

dalam pembangunan rumah/bangunan modern perlu juga kita kaji lebh dalam untuk

mengetahui kelemahan dan kelebihannya. Dari pemetaan ini kita akan mendapatkan

sintesa daftar: produk potensial, promosi dan peluang global market, kemungkinan

terapan dalam situasi kekinian.

Kesimpulan

Pekan Produk Budaya Indonesia 2007 kita harapkan dapat membangkitkan tradisi

melalui redefinisi dan menciptakan tradisi baru. Tradisi yang sudah ada tetap kita

12

lanjutkan, namun tradisi baru perlu kita gagas melalui inovasi untuk mengantisipasi

kejumudan tradisi. Upaya penggalian kekayaan produk budaya arsitektur dapat kita

mulai dari pemetaan pengetahuan membangun (khususnya tradisi pertukangan) yang

sudah ada, dengan harapan dapat menghasilkan variasi produk yang kreatif. Untuk itu

pemetaan merupakan tahap awal sebagai rencana strategis (Strategic Plan) untuk

merangkum potensialitas dari produk arsitektur tradisional yang dapat menjadi

komoditas. Tentu saja sesudah ini perlu kita upayakan kegiatan lanjutannya yaitu

pembuatan Panduan (Guideline) dan Rencana Aksi (Action Plan) untuk menghasilkan

dan memasarkan produk budaya arsitektur tradisional yang bernilai komoditas.

Gambar 7. Penjaga Tradisi.

Referensi

Friedman. T., The World is Flat: The Globalized World in the Twenty-First Century. New York: Penguin Books, 2006.

Giddens, A., “Living in a Post-Traditional Society.” Ulrich Beck, Anthony Giddens, Scott Lash (eds). Reflexive Modernization: Politic, Tradition, and Aesthetics in the Modern Social Order (Palo Alto: Stanford University Press, 1995), hal. 56-109.

Hobsbaum, Eric, and Ranger, Terence., (eds). The Invention of Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1996-1983), pp. 1-14.

Partridge, E., Origins: A short Etymological Dictionary of Modern English. New York: Greenwich House, 1983.

13

Queyssane, B. ,“Commentery: Tradition vs Modernity.” TDSR. Vol 1 No.1, 1989, hal.3-6.

Tjahjono, G., “Dwellings in Indonesia: Tradition, Resilience, and Change.” dalam R. Knapp (ed). Asia’s Old Dwellings: Tradition, Resilience, and Change. Oxford: Oxford University Press, 2003. hal. 159-184.

Tjahjono, G., Indonesian Heritage; Architecture. Singapore: Archipelago Press, 1999.

Tjahjono, G., “The House That Breathes: Indigenous Architecture of the Sangirese.” Dalam National Committee. Monuments and Sites: Indonesia. Bandung: ICOMOS, 1999. hal . 58-63.

14